peluang dan tantangan ekonomi islam: hari ini dan masa yang akan datang

Upload: khairunnisa-musari

Post on 19-Oct-2015

428 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Makalah ini disampaikan dalam Short Course of Islamic Economic yang diselenggarakan oleh Morning Shine LAZ Rumah Itqon Zakat Infak (RIZKI) pada 15 Maret 2014 di Gedung RIZKI, Jl. Karimata 25B, Jember. Makalah ini memuat sejumlah artikel pribadi yang telah dimuat di media massa yang mencoba menampilkan berbagai sisi peluang dan tantangan ekonomi Islam saat ini dan yang akan datang.

TRANSCRIPT

  • PELUANG DAN TANTANGAN ILMU EKONOMI ISLAM:

    HARI INI DAN YANG AKAN DATANG1

    Oleh: Khairunnisa Musari

    1. PENGANTAR

    Rancang bangun ilmu ekonomi Islam menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah

    sebagai pondasi. Al-Quran adalah kalamullah yang menjadi sumber ilmu pertama dan

    utama dalam melakukan studi normatif. Dalam ilmu ekonomi Islam, Al-Quran adalah

    permulaan dari segala ilmu pengetahuan. Pengetahuan dalam Al-Quran memiliki

    kebenaran mutlak yang telah mencakup segala kehidupan secara komprehensif dan

    karenanya tidak dapat dikurangi dan ditambah.

    Namun demikian, Al-Quran pada dasarnya tidak selalu menyampaikan pengetahuan

    yang praktis, tetapi lebih banyak pada prinsip atau norma atau kaidah umum. Nabi

    Muhammad SAW yang kemudian menerjemahkan ayat-ayat Al-Quran tersebut ke dalam

    tataran implementasi. Oleh karena itu, berikutnya As-Sunnah yang merupakan perkataan

    dan perbuatan serta diamnya Nabi Muhammad SAW menjadi sumber ilmu kedua dalam

    studi ilmu ekonomi Islam.

    Sebagai muslim, kita harus meyakini bahwa ilmu ekonomi Islam dapat menjadi solusi

    bagi berbagai persoalan perekonomian. Namun harus diakui, ilmu ekonomi Islam saat ini

    belum mampu menjawab sepenuhnya berbagai persoalan ekonomi dunia dan nasional.

    Sebagai bidang ilmu baru dalam kurikulum pendidikan tinggi formal, ilmu ekonomi Islam

    saat ini masih dalam tahap pencarian guna kristalisasi diri karena terlahir di tengah

    sistem ekonomi mainstream. Meskipun ekonomi Islam sudah mulai diimplementasikan di

    sedikit negara dan juga komunitas-komunitas tertentu, namun ekonomi Islam masih

    menghadapi sejumlah persoalan mendasar pada tataran tertentu. Keberadaan ekonomi

    Islam tidak cukup dengan hanya membeberkan fakta-fakta historis dengan berbagai filosofi

    yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, perumusan teori dan praktek ekonomi

    Islam kontemporer memerlukan rekonstruksi teori dan praktek ekonomi mainstream.

    Berikut ini sejumlah artikel yang telah dimuat di media massa yang mencoba menampilan

    berbagai sisi peluang dan tantangan ekonomi Islam saat ini dan yang akan datang.

    1.1 Ekonomi Syariah, New Intitutional Economics?2

    Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka di kalangan

    para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi syariah merupakan solusi bagi masalah ini dan

    apakah ekonomi syariah akan menjadi paradigma baru yang menggantikan sistem ekonomi kapitalis.

    Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah terjadi saat ini merupakan

    pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus menjadi momentum kebangkitan

    1 Makalah ini disampaikan dalam Short Course of Islamic Economic yang diselenggarakan oleh Morning

    Shine LAZ Rumah Itqon Zakat Infak (RIZKI) pada 15 Maret 2016 di Gedung RIZKI, Jl. Karimata 25B, Jember.

    2 Artikel pribadi yang ditulis bersama Rifki Ismal, Mahasiswa S3 Islamic Banking and Finance, Durham

    University, UK, (saat ini menjadi Peneliti Senior Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia) dan dimuat di

    Harian Republika, 24 Januari 2009.

  • 2

    ekonomi syariah. Fenomena ini jika dikaji dengan pendekatan konsep new institutional

    economics (NIE), maka pandangan tersebut mendekati kebenaran.

    4 Elemen NIE

    Secara teoretis, NIE adalah suatu konsep yang memaparkan kriteria atau syarat untuk

    membangun suatu paradigma sistem ekonomi baru yang setidaknya terdiri dari empat

    elemen.

    Elemen pertama, budaya adalah cara berpikir, perasaan, kecenderungan, dan perilaku

    individu atau kelompok masyarakat. Budaya antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan,

    kondisi sosial politik, dan komunikasi. Jika ingin menghadirkan suatu paradigma baru,

    maka diperlukan penyesuaian (perubahan) budaya.

    Elemen kedua, institusi adalah keberadaan peraturan atau regulasi, dukungan

    pemerintah, dan sistem peradilan. Elemen ini mencakup ada tidaknya institusi publik di

    tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Ahmed, Habib, 2008). Dikaitkan dengan

    pengembangan ekonomi syariah di tanah air, kehadiran undang-undang (UU) Perbankan

    Syariah pada April 2008 lalu merupakan pengukuhan terhadap pilar institusi dalam

    ekonomi syariah. Hal ini kian menguat dengan berkembangnya lembaga pendukung lain

    seperti sistem peradilan untuk perbankan syariah, sistem pendidikan yang mengajarkan

    ekonomi/perbankan syariah, legalisasi UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), cetak

    biru pengembangan perbankan syariah, peraturan Bapepam untuk perusahaan pembiayaan

    syariah, dan lainnya.

    Elemen ketiga, organisasi adalah suatu alat yang diciptakan individu/sekelompok

    masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, Indonesia boleh dikatakan telah

    berhasil mengembangkan bank syariah, asuransi syariah, sukuk, dan perusahaan

    pembiayaan syariah dengan baik. Rata-rata pertumbuhan aset, simpanan, dan pembiayaan

    bank syariah lebih dari 50 persen sepanjang 2000-2008. Hal ini sekaligus menjadi salah satu

    bukti empirik selain jumlah bank syariah, asuransi syariah, dan lembaga syariah lainnya

    yang terus bertambah setiap tahun. Beberapa perguruan tinggi ternama pun telah membuka

    jurusan/fakultas ekonomi/perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di

    bidang ini yang setiap tahun semakin bertambah.

    Elemen keempat, pasar adalah keberadaan tempat/media untuk melakukan transaksi,

    termasuk unsur-unsur penunjangnya seperti teknologi, infrastruktur, dan instrumen pasar

    keuangan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah di Indonesia masih dalam tahap

    pengembangan karena pasar uang syariah di Indonesia masih sangat terbatas. Selain itu,

    ketergantungan perbankan syariah kepada pasar uang syariah masih minim karena aktifitas

    pembiayaan yang cukup tinggi dengan tingkat pembiayaan bermasalah (non performing

    financing) yang rendah dan penarikan dana oleh deposan yang masih terkendali. Namun

    demikian, tuntutan pengembangan pasar keuangan syariah ke depan merupakan suatu

    keharusan seiring dengan semakin berkembangnya industri ini.

    Menuju Paradigma Ekonomi Baru

    Untuk menjawab apakah ekonomi syariah di Indonesia akan menjadi paradigma baru

    atau minimal alternatif bagi ekonomi konvensional, maka pendekatan NIE menunjukkan

    arah yang demikian.

    Kondisi Indonesia saat ini menyiratkan penerimaan masyarakat yang cenderung

    meningkat meski pengaruh sistem ekonomi konvensional masih dominan. Tentu saja untuk

  • 3

    membangun elemen budaya, khususnya menciptakan masyarakat yang sharia-based,

    merupakan suatu pekerjaan rumah tersendiri.

    Namun demikian, dengan semakin maraknya negara-negara di Eropa melakukan

    restrukturisasi perbankan dan keuangan syariah, hal ini sejatinya semakin menguatkan

    kiprah dan penerimaan masyarakat internasional terhadap institusi ekonomi syariah.

    Beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan yang

    berpenduduk muslim minoritas seperti China, Jepang, Korea, dan Inggris telah dengan

    cepat mempersiapkan elemen institusi untuk mendukung penciptaan sistem perbankan dan

    keuangan syariah.

    Dalam hal organisasi, pengembangan ekonomi syariah, utamanya bank syariah, juga

    menunjukkan kinerja yang semakin baik. Berbagai pembenahan telah dilakukan, khususnya

    yang terkait dengan manajemen risiko, peningkatan kualitas pelayanan, dan pemenuhan

    kebutuhan sumber daya insani. Semua ini dimaksudkan untuk mengimbangi pertambahan

    institusi perbankan dan keuangan syariah baru.

    Terakhir, perlahan namun pasti, pasar dari industri syariah terus menunjukkan

    peningkatan seiring kebutuhan transaksi berbasis syariah yang semakin tinggi. Kondisi ini

    semakin kondusif dengan kesadaran otoritas pasar keuangan, regulator perbankan, dan

    pelaku pasar yang semakin baik. Hal ini tercermin dengan semakin intensifnya koordinasi

    masing-masing pihak yang kian memacu perkembangan pasar industri perbankan dan

    keuangan syariah di tanah air.

    Secara keseluruhan, ekonomi syariah sebagai sebuah paradigma baru berdasarkan

    konsep NIE telah meletakkan pondasinya di Indonesia. Harus diakui, terlalu dini jika kita

    meminta pengambil kebijakan menerapkan sistem ekonomi ini. Banyak sekali kendala dan

    pekerjaan rumah yang masih harus kita siapkan. Berapa lama proses tersebut berlangsung,

    tentunya berpulang kepada usaha kita bersama. Pada saatnya nanti, tanpa harus memaksa,

    ekonomi syariah akan menjadi pilihan jika para pelaku di dalamnya dapat membuktikan

    kebaikan dari sistem ini. Wallahualam bish showab.

    1.2 Reorientasi Target Bank Syariah3

    Untuk memacu pertumbuhan bank syariah, Bank Indonesia (BI) menargetkan pangsa aset bank

    syariah sebesar 5 persen pada akhir 2008. Menjelang akhir semester I 2008, pangsa pasar bank

    syariah belum mampu melampaui setengah target tersebut. Menyikapi hal tersebut, ke depan, BI

    perlu melakukan muhasabah dan mereorientasi target.

    Undang-Undang (UU) Perbankan Syariah kini tinggal menunggu rapat paripurna

    Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan. Beberapa penyesuaian harus segera

    dilakukan BI terhadap sejumlah peraturannya agar bisa kompatibel dengan UU tersebut.

    Diperkirakan ada sekitar 26 peraturan BI (PBI) yang harus disesuaikan dengan Rancangan

    UU (RUU) Perbankan Syariah.

    Berkenaan dengan itu, fokus BI tampaknya akan banyak diserap oleh sejumlah

    pekerjaan guna merevisi PBI. Ada 5 ketentuan yang ada di RUU Perbankan Syariah yang

    belum diatur dalam PBI. Karenanya, jika target pangsa pasar bank syariah 5 persen tidak

    tercapai tahun ini, hal tersebut boleh jadi harus dimaklumi. Namun demikian, hikmah

    3 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Republika, 18 Juni 2008.

  • 4

    terbesar dari keadaan ini adalah hadirnya kesempatan bagi BI untuk bermuhasabah dan

    mereorientasi target bank syariah.

    BI dan Target-Targetnya

    Tahun 2008 memang merupakan tahun terakhir dalam Fase Memperkuat Struktur

    Industri Perbankan Syariah, sekaligus tahun awal dalam Fase Memenuhi Standar Keuangan

    dan Kualitas Pelayanan Internasional. Fase-fase tersebut merupakan rangkaian

    implementasi dan prioritas inisiatif-inisiatif strategis dalam Cetak Biru Pengembangan

    Perbankan Syariah di Indonesia 2002-2011.

    Untuk 2008, BI meyakini industri bank syariah masih menikmati periode high growth.

    Oleh karena itu, BI mematok pangsa aset 5 persen sebagai direction dan anchor bagi industri

    perbankan syariah. Dalam program akselerasinya tahun ini, BI menerbitkan sejumlah

    kebijakan lanjutan. Dengan berbagai kebijakan tersebut, BI memproyeksikan pertumbuhan

    aset, dana pihak ketiga (DPK), dan pembiayaan selama 2008 mampu mencapai masing-

    masing sebesar Rp 91,6 triliun, Rp 73,3 triliun, dan Rp 68,9 triliun.

    Lebih jauh, angka-angka yang dipatok BI memang bukanlah sesuatu yang mustahil

    meskipun sebenarnya cukup sulit dicapai. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi dari

    berbagai target tersebut adalah mewaspadai efek samping dari target tersebut. Hal ini

    mengingat, sejumlah kelemahan fundamental dalam pengembangan perbankan syariah,

    utamanya dalam penyediaan sumber daya insani (SDI), masih belum teratasi. Celakanya,

    target-target yang ditetapkan BI berpotensi menjadi pemicu api dalam sekam.

    Reorientasi Target

    Memasyarakatkan syariah adalah langkah logis yang harus dilakukan untuk

    mengatasi berbagai kelemahan yang ada. Dan untuk itu, edukasi merupakan keniscayaan.

    Perlu kerja keras agar banyak pihak memahami konsep ekonomi dan perbankan serta

    konsep syariah secara simultan dan terintegrasi.

    BI selaku otoritas, sangat berkepentingan untuk memasyarakatkan ekonomi syariah,

    secara eksternal maupun internal. Tanpa disadari, beberapa pihak memandang perbankan

    syariah sekedar lembaga bisnis komersil semata. Akibatnya, value yang dibawa perbankan

    syariah terlupakan dan sekedar menjadi hiasan belaka. Ini tercermin dari target yang

    dipatok BI cenderung bersahabat dengan hal-hal komersial. Tuntutan atas materi lebih

    dikedepankan daripada nilai-nilai moral yang diusung bank syariah.

    Oleh karena itu, penting dalam hal ini bagi BI untuk mereorientasi target bank syariah.

    Capaian keberhasilan harusnya mengedepankan pencapaian dalam mengusung nilai-nilai

    syariah. Harus diakui, pengetahuan dan pemahaman SDI yang kurang memadai atas label

    syariah yang diusung institusinya, kerap menimbulkan sejumlah penyimpangan dalam

    operasional bank syariah. Banyak bank bernafaskan syariah, namun masyarakat di

    dalamnya masih belum mampu memaknai konsep syariah. Padahal, konsep God Corporate

    Governance (GCG) seharusnya menjadi senyawa yang meleburkan sikap jujur (shiddiq),

    dapat dipercaya (amanah), menyampaikan (tabligh), pandai dan cerdas (fathonah), serta

    selalu konsisten (istiqomah) dalam nilai-nilai yang dibawa bank syariah. Ketidakhati-hatian

    untuk mengejar target otoritas dapat menjadi mesin penghancur bisnis perusahaan. Yang

    paling menakutkan, label syariah sekedar menjadi alat untuk mengeduk keuntungan dan

    kepentingan.

    Dengan demikian, dalam program akselerasi bank syariah, yang harus dikejar

    bukanlah target-target materi. Capaian edukasi dalam upaya meningkatkan kuantitas dan

  • 5

    kualitas SDI serta tercapainya tingkat pemahaman menjadi parameter utama. Masyarakat

    sekaligus pelaku bank syariah perlu diberi edukasi yang tidak sekedar melulu

    mengandalkan aspek religius atau aspek ekonomis semata. Perlu adanya pendekatan yang

    obyektif, rasional, dan berwawasan ilmiah agar masyarakat terbuka dan dapat berpikir

    cerdas dan arif. Dalam hal ini, program akselerasi memang dibutuhkan, tapi bukan sebagai

    karbit ataupun pemanfaatan momen semata untuk mengejar pasar. Nilai-nilai moralitas

    GCG seharusnya menjadi diferensiasi dan keunggulan bagi bank syariah untuk masuk

    pada pasar yang begitu besar. Inilah pondasi kuat bagi bank syariah untuk tumbuh secara

    alamiah dan tidak perlu dibiakkan dengan target-target komersil, yang justru berpotensi

    mendegradasi nilai-nilai syariah.

    1.3 Antara Stiglitz, Indonesia, dan Ekonomi Syariah4

    Ada benang merah antara Stiglitz, pemenang Nobel ekonomi 2001, dengan Indonesia dan ekonomi

    syariah. Melalui buku-bukunya, Stiglitz banyak mengungkap berbagai persoalan yang secara

    langsung dan tidak langsung dihadapi Indonesia. Melalui bukunya pula, terkuak pemikiran Stiglitz

    yang entah disadarinya atau tidak, memiliki sudut pandang yang sama dengan ekonomi syariah.

    Joseph E. Stiglitz adalah pemenang Nobel bidang ekonomi tahun 2001.

    Kemenangannya diraih atas penciptaan cabang teori baru yang disebut The Economics of

    Information yang banyak mengulas dampak asimetri informasi. Teori ini merupakan pionir

    dalam konsep adverse selection dan moral hazard yang saat ini menjadi pedoman bagi para

    teoritis dan analis kebijakan.

    Selain sebagai pemenang Nobel, Stiglitz dikenal juga sebagai ekonom kontroversial.

    Stiglitz kerap membela kepentingan negara-negara dunia ketiga. Ia terkenal dengan

    kritiknya terhadap globalisasi, fundamentalisme ekonomi pasar, dan sejumlah lembaga

    internasional. Stiglitz dengan berani mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan

    Bank Dunia telah menjadi alat bagi kepentingan Amerika Serikat (AS) untuk menekan

    negara-negara dunia ketiga melalui cengkeraman kapitalisme ekonomi.

    Publikasi

    Pandangan Stiglitz dalam setiap publikasinya menjadi penting karena ia pernah

    menjadi bagian penting dari perancang dan pemegang kebijakan AS. Stiglitz memotret

    kebijakan AS dalam mengelola agenda globalisasi. Buku-bukunya membuka mata dunia

    tentang bagaimana resep kebijakan IMF dan Bank Dunia yang berpengaruh besar pada

    ekonomi negara-negara berkembang ternyata tidak selalu benar.

    Stiglitz berpendapat, terpuruknya perekonomian di negara-negara berkembang

    banyak diakibatkan kepatuhan yang sangat kepada resep kebijakan Washington Consensus.

    Untuk mengurai lebih dalam mengenai Washington Consensus, Stiglitz menulis Washington

    Consensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan (2002). Washington Consensus menyatakan, kinerja

    perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro, dan

    penerapan kebijakan harga yang tepat. Sesungguhnya, butir-butir Washington Consensus

    tidak dapat begitu saja diterapkan dalam kebijakan ekonomi suatu negara. Adanya

    sejumlah negara yang mencapai keberhasilan pembangunan tanpa mengikuti sepenuhnya

    rekomendasi Washington Consensus merupakan fakta yang tidak dapat diabaikan.

    4 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Surabaya Post, Ouvre, 7 Juni 2009.

  • 6

    Dalam The Roaring Nineties yang diterjemahkan di Indonesia menjadi Dekade

    Keserakahan: Era 90-an dan Awal Petaka Ekonomi Dunia (2006), Stiglitz mengangkat dampak

    buruk kebijakan liberalisasi pasar yang menjadi konsekuensi sistem globalisasi, khususnya

    di negara-negara miskin dan berkembang. Buku ini membongkar kemunafikan dan standar

    ganda kebijakan ekonomi AS yang didesakkan ke negara-negara berkembang dalam paket

    liberalisasi pasar perdagangan. Dalam buku ini, Stiglitz menegaskan pula keprihatinannya

    terhadap korupsi dan kolusi yang menjamur di negara-negara miskin dan berkembang

    akibat tingginya ketimpangan sosial.

    Dalam Making Globalizaton Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang lebih Baik

    (2006), Stiglitz mengulas berbagai problem serius yang diidap globalisasi yang

    mengakibatkan banyak ketimpangan. Stiglits menjadikan buku ini sebagai peta dalam

    mewujudkan globalisasi yang bermanfaat bagi semua bangsa-bangsa di dunia. Ia

    mengemukakan cara-cara baru yang radikal untuk mengatasi utang negara berkembang. Ia

    menyarankan reformasi sistem cadangan devisa global untuk mengatasi ketidakstabilan

    keuangan internasional. Ia membahas perdagangan, paten, pengelolaan sumber daya,

    pemanasan global, demokratisasi, hingga argumen tentang pentingnya reformasi lembaga-

    lembaga dunia.

    Dalam The Three Trillion Dollar War (2008), Stiglitz bersama Linda J. Bilmes mengulas

    hitungan rinci biaya ekonomi dan manusia yang dikeluarkan AS untuk Perang Irak. Dengan

    jargon ekonomi tentang opportunity cost, biaya yang dikeluarkan AS untuk membiayai

    perang akan sangat berarti dalam mengatasi berbagai persoalan pelik terkait kemiskinan,

    pengangguran, dan peningkatan kesejahteraan di AS sendiri dan berbagai negara di

    belahan dunia. Meski AS tampak baik-baik saja, namun sesungguhnya dampak yang

    dirasakan masyarakat sangat besar. Jika saja AS dapat memanfaatkan dana yang ada untuk

    menciptakan kedamaian dunia, maka hal itu akan jauh lebih berarti.

    Stiglitz dan Indonesia

    Hampir di semua bukunya, Stiglitz mengulas tentang keterpurukan negara-negara

    berkembang, termasuk Indonesia. Diskusi tentang Indonesia lebih rinci terdapat dalam

    Globalization and Its Discontents (2002). Perhatiannya yang besar pada Indonesia tentu bukan

    sekedar karena kecintaannya pada Bali, tetapi karena keprihatinannya pada Indonesia.

    Diungkapnya, penderitaan Indonesia lebih besar daripada banyak negara lain. Akibat

    mengikuti kebijakan Washington Consensus, pemulihan ekonomi Indonesia paling lambat di

    Asia Timur. Meski kemudian ekonomi Indonesia tumbuh, tetapi tetap lebih rendah

    daripada yang seharusnya dapat dicapai. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih

    rendah daripada negara-negara yang menolak kebijakan IMF.

    Untuk kasus Indonesia, Stiglitz mengingatkan bahwa kekuatan pasar bebas sering

    merugikan sebagian besar masyarakat lemah. Pemerintah hendaknya melakukan upaya

    nyata untuk melindungi rakyatnya. Stiglitz menekankan peran pemerintah ini juga sebagai

    kritik atas Washington Consensus yang diadopsi pemerintah Indonesia. Ia mengingatkan, AS

    yang sangat mendukung globalisasi dan pasar bebas ternyata tetap memberi proteksi atas

    sejumlah sektor pertanian dan industrinya. Oleh karena itu, selayaknya negara-negara

    berkembang juga memberlakukan beberapa proteksi atas produknya.

    Dalam kunjungannya ke Indonesia, Stiglitz juga banyak bicara mengenai masalah

    politik pemerintah Indonesia di bidang penanaman modal asing. Dengan berani, Stiglitz

    mengkritisi pemerintah Indonesia agar berani menegosiasi ulang kontrak-kontrak

    pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat.

  • 7

    Stiglitz dan Ekonomi Syariah

    Seorang rekan di bank sentral Indonesia bercerita, ketika Stiglitz mengunjungi

    Jakarta, petinggi bank sentral Indonesia pernah menyampaikan kepada Stiglitz bahwa

    konsep ekonomi yang digaungkan Stiglitz sebenarnya adalah konsep ekonomi syariah.

    Stiglitz menjawab, "Memang benar, konsep saya tentang paradigma baru ekonomi moneter

    itu adalah ekonomi syariah.

    Sebelumnya, melalui buku Toward a New Paradigm in Monetary Economics (2003),

    Stiglitz dan Bruce Greenwald memperkenalkan pendekatan baru dalam ilmu ekonomi.

    Pendekatan inilah yang menjadi benang merah antara Stiglitz dengan ekonomi syariah,

    selain seruan dalam setiap buku-bukunya yang selalu menuntut keadilan dan mengecam

    ketimpangan.

    Setidaknya ada tiga pendekatan Stiglitz dalam buku tersebut yang merupakan teori

    ekonomi syariah bidang moneter. Pertama, Stiglitz mengemukakan bahwa efektivitas

    kebijakan moneter sangat bergantung pada kondisi perbankan, terutama dalam penyaluran

    kredit. Kredit lebih sesuai untuk mengukur transactional demand dan spending power yang

    sesungguhnya. Penegasan Stiglitz tentang pentingnya kredit untuk menunjang

    pertumbuhan ekonomi selaras dengan teori ekonomi syariah yang berorientasi pada sektor

    riil.

    Kedua, Stiglitz menyatakan bank harus berperilaku netral dan risiko harus

    terdistribusi efektif bagi seluruh pelaku ekonomi. Dalam teori ekonomi syariah, bank

    diasumsikan tidak dapat memastikan keuntungan dan kerugian di masa depan serta harus

    mengedepankan profit-loss sharing. Konsep ini memberi pesan bahwa bank harus diposisi

    netral serta keuntungan dan risiko harus terdistribusi pada semua pelaku ekonomi.

    Ketiga, Stiglitz menyatakan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur

    suku bunga kini tidak efektif lagi dalam mempengaruhi kegiatan di sektor riil. Untuk itu,

    penggunaan instrumen suku bunga untuk mempengaruhi jumlah uang beredar hendaknya

    diubah menjadi kebijakan yang berdasarkan kepada mekanisme permintaan-penawaran

    kredit. Hal ini selaras dengan prinsip ekonomi syariah yang mengharamkan penggunaan

    instrumen bunga. Dalam teori ekonomi syariah, intisari kestabilan ekonomi bukan dengan

    money creation, melainkan dengan money velocity. Wallahualam bishowab.

    1.4 Mendesak Back-Up Rupiah5

    Rancangan Undang-Undang (RUU) Mata Uang termasuk dalam daftar Program Legislasi Nasional

    RUU prioritas Tahun 2010. Semua fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati RUU

    dilanjutkan pembahasannya di tingkat panitia kerja (Panja).

    Pada periode 2004-2009, RUU Mata uang sudah pernah digodok oleh DPR. Namun

    RUU tersebut gagal di-UU-kan. Pada periode 2009-2014, RUU ini kembali masuk dalam

    daftar Program Legislasi Nasional RUU prioritas Tahun 2010.

    RUU Mata Uang merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal

    23 B yang berbunyi macam dan harga mata uang ditetapkan dengan UU. RUU yang

    terdiri dari 12 Bab dan 46 Pasal ini mengatur pengelolaan mata uang, mulai dari proses

    perencanaan hingga proses pemusnahan. Selain itu, RUU ini juga mengatur kewajiban

    penggunaan rupiah sebagai alat pembayaran dan penanganan peredaran uang palsu.

    5 Artikel pribadi yang dimuat di Harian KONTAN, 29 September 2010.

  • 8

    Dari 172 daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam RUU tersebut, sebanyak 52 DIM

    disetujui DPR. Sisanya 120 DIM diusulkan untuk dibahas Panja. Dari DIM yang diajukan

    pemerintah, tampaknya pembahasan lebih menyentuh pada siapa yang bertanggung jawab

    dalam membuat perencanaan, pencetakan, pengeluaran, penandatanganan, pemberantasan

    uang palsu, serta pengauditan secara periodik terhadap seluruh proses pelaksanaan.

    Demi untuk menuntaskan dan melengkapi RUU Mata Uang, Panja pada Oktober ini

    akan bertolak ke Kanada untuk studi banding. Kanada dipilih sebagai negara tujuan karena

    dinilai berhasil mengimplemantasikan UU Mata Uang. Anggota dewan bermaksud

    mempelajari proses pencetakan, distribusi, dan peleburan mata uang serta implementasi

    UU tersebut. Sejauh ini, masukan-masukan yang hendak dipelajari anggota dewan lebih

    pada teknis. Padahal, yang tidak kalah mendesak untuk dikaji adalah bagaimana

    membangun sistem dan road map agar mata uang rupiah terjamin nilainya di masa depan.

    Hard Currency

    Untuk jangka panjang, RUU Mata Uang menyimpan harapan untuk menjadikan

    rupiah tergolong sebagai hard currency. Misi ini patut diapresiasi. Untuk mewujudkannya,

    tentu terdapat sejumlah persyaratan. Diantaranya, rupiah harus convertible dan tingkat

    acceptability yang tinggi dalam lalu lintas perdagangan internasional. Secara politis,

    pemerintah Indonesia mungkin akan sulit melakukannya. Namun yang terpenting dan

    sering terabaikan adalah esensi dari keberadaan mata uang itu sendiri bagi perekonomian

    domestik.

    Dalam konteks ini, pemerintah seyogyanya berpikir untuk menjamin nilai mata uang

    rupiah melalui dukungan aset berkualitas atas jumlah mata uang beredar (back-up currency).

    Back-up currency sesungguhnya sejalan dengan kecenderungan kebijakan ekonomi banyak

    negara beberapa tahun belakangan. Singapura, Malaysia, dan Thailand adalah negara

    tetangga yang sudah mulai menerapkannya.

    Harus diakui, sistem mata uang yang berlangsung saat ini adalah salah satu biang

    krisis ekonomi di Indonesia dan juga negara lain. Terikatnya nilai mata uang suatu negara

    kepada mata uang negara lain dan tidak pada dirinya sendiri menyebabkan nilai suatu mata

    uang tidak pernah stabil. Bergejolaknya nilai mata uang tertentu, dapat dipastikan akan

    berpengaruh terhadap kestabilan mata uang yang lain.

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin terbukanya

    perekonomian Indonesia, maka nilai tukar rupiah menjadi sangat rentan terhadap arus lalu

    lintas modal internasional yang bergerak sedemikian dinamis.

    Diversifikasi Cadangan Devisa

    Agar bisa memberi manfaat bagi pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi,

    maka dibutuhkan back-up currency. Adalah lebih penting menjadikan rupiah tidak mudah

    tergerus inflasi dan diobrak-abrik mata uang lain daripada sekedar membangun citra yang

    praktis, nyaman, dan bergengsi sebagaimana yang diharapkan dari redenominasi. Back-up

    currency lebih berarti daripada redenominasi dalam mengatasi inflasi. Redenominasi justru

    berpeluang untuk menghasilkan money illution yang pada gilirannya akan berbuah inflatoir

    effect.

    Tahap awal untuk menginisiasi back-up rupiah dapat dimulai salah satunya dengan

    melakukan diversifikasi cadangan devisa. Sistem cadangan devisa yang berlaku saat ini

    umumnya menjadikan USD sebagai instrumen penyimpan nilai. Sudah banyak yang

  • 9

    mengkritisi bahwa USD bukan penyimpan nilai yang baik. Beberapa negara bahkan

    menggaungkan kebutuhan krusial akan sistem mata uang global baru.

    Emas sesungguhnya layak menjadi instrumen penyimpan nilai. Meski kerap

    dipersoalkan lantaran tidak likuid, namun nyatanya Amerika Serikat (AS) menjadi

    penyimpan terbesarnya. Fort Knox dikenal sebagai tempat penyimpanan emas terbesar di

    dunia. Cadangan emasnya diperkirakan mencapai 8.946,9 ton. Berikutnya adalah Jerman,

    Italia, Perancis, China, Swiss, Jepang, Belanda, dan Rusia. Bahkan IMF termasuk pula yang

    memiliki simpanan emas terbesar di dunia.

    Ke depan, pemerintah perlu mempertimbangkan upaya-upaya untuk membangun

    sistem penjaminan nilai mata uang rupiah. Pemerintah perlu keberanian untuk melakukan

    back-up currency berupa cadangan emas atau cadangan devisa lain sesuai dengan jumlah

    rupiah beredar. Dalam melakukan transaksi perdagangan bilateral atau multilateral,

    pemerintah layak pula mempertimbangkan mata uang berbasis komunitas. Misalnya saja,

    dengan menggunakan dinar seperti halnya yang dilakukan Malaysia, Iran dan Brunei

    dalam perdagangannya dengan sejumlah negara Islam.

    Yang tidak kalah penting, pemerintah hendaknya mulai sadar bahwa USD tidak bisa

    dijadikan tolok ukur kepulihan, kemakmuran, dan juga pertumbuhan ekonomi. USD

    bukanlah mata uang yang terjamin kestabilannya. Dibutuhkan diversifikasi cadangan

    devisa untuk mengeliminir resiko nilai tukar rupiah terhadap hard currency tersebut.

    Berikutnya, barulah kita melangkah pada back-up rupiah yang sesungguhnya agar terjamin

    stabilitas nilainya di masa depan.

    1.5 Ketika Wall Street Menceraikan Etika6

    Sejak September, aksi protes warga Amerika Serikat (AS) semakin agresif. Protes menentang sistim

    keuangan dan kebijakan pemerintah AS kian meluas. Kemarahan warga atas terjadinya rebound di

    Wall Street yang tak diikuti dengan perbaikan tingkat pengangguran, menuai aksi demo yang terus

    bermunculan.

    Krisis keuangan dunia secara maraton terus bermunculan sejak 2008. Kasus subprime

    mortgage, bangkrutnya bank-bank investasi besar, krisis utang, bailout, kegaduhan di pasar

    finansial, terus saja saling mengekor. AS dan Eropa yang menjadi barometer perekonomian

    dan keuangan dunia kini terus menjadi bulan-bulanannya.

    Yang menarik untuk disimak saat ini adalah aksi protes warga AS terhadap rebound

    di Wall Street yang terjadi disaat meningkatnya jumlah PHK di negara tersebut. Kebanyakan

    dari mereka meyakini bahwa pemerintah telah dikendalikan oleh bank dan korporasi-

    korporasi besar yang serakah sehingga mengabaikan kepentingan sebagian besar warga

    negaranya.

    Ya, AS kini sedang menguji kesolidan sistem dan kebijakan ekonomi mereka yang

    selama ini menjadi jantung ekonomi dunia. Jika kekacauan ekonomi di Eropa banyak dipicu

    oleh krisis utang dengan rasio utang yang mencengangkan, maka yang belakangan terjadi

    di AS dipicu oleh krisis ketidakpercayaan akibat berbagai kecurangan dari pelaku ekonomi

    dan keuangan.

    Bush-Obama Paradox

    6 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Republika, 19 Oktober 2011.

  • 10

    Pasca jatuhnya sejumlah perusahaan investasi keuangan di AS pada 2008 lalu,

    Presiden Bush saat itu meminta konggres untuk menyetujui rencana penyelamatan sektor

    finansial bernilai USD 700 miliar. Bush menyatakan, perekonomian dalam kondisi bahaya

    sehingga perlu intervensi pemerintah untuk menyelamatkannya. Upaya Bush mendapat

    banyak kritikan karena menyimpang dari ideologi pasar-bebas yang dianut AS. Terlebih

    lagi, Bush dikenal memiliki keyakinan yang tinggi bahwa pasar-bebas adalah sebuah

    prinsip moral yang harus diwujudkan karena merupakan hak asasi manusia dalam mencari

    kebebasan penghidupan.

    Jika disimak, pasar-bebas yang menjadi prinsip moral Bush sesungguhnya bertitik

    tolak dari paham Adam Smith yang mengasumsikan mekanisme permintaan dan

    penawaran mampu melakukan self-regulating dan self-correcting melalui an invisible-hand.

    Jika bertitik tolak dari paham ini, maka upaya Bush tersebut adalah paradox.

    Mengingat kehancuran pasar finansial di AS, Bush Paradox ini sesungguhnya dapat

    dipahami. Pada titik inilah, Bush mungkin baru merasa pentingnya campur tangan

    pemerintah pada pasar meski hal itu bertentangan dengan paham yang ia anut.

    Lebih jauh, Obama kemudian melanjutkan paradox ini. Obama menggelontorkan dana

    untuk mengembalikan kepercayaan dunia kepada AS sebagai motor ekonomi dunia meski

    harus menanggung konsekuensi defisit anggaran yang besar. Berbagai program

    penanggulangan yang menghabiskan uang rakyat yang kebanyakan berasal dari kelas

    menengah, nyatanya tak juga memulihkan perekonomian domestik. Yang ada, PHK terus

    menyebar ke penjuru negeri.

    Obama memang meminta pertanggungjawaban lembaga keuangan yang didonor

    pemerintah. Obama mengingatkan, wajib pajak adalah yang paling dirugikan atas

    keruntuhan keuangan jika pelaku pasar memanfaatkan masa pemulihan untuk keuntungan

    pribadi. Sayang, aksi spekulan di Wall Street tampaknya tidak terbendung untuk mendapat

    untung berlipat setelah sebelumnya mengalami kerugian besar. Meski masalah krisis utang

    Eropa dan ketakutan resesi baru melanda AS terus menghantam bursa Wall Street dan

    tekanan jual membuat indeks saham utama tergerus, tetapi Wall Street masih mampu

    beberapa kali melanjutkan penguatannya. Hal inilah yang memicu kemarahan sebagian

    warga AS.

    Mengawinkan Etika pada Pasar Keuangan

    Fenomena yang berkembang dan berujung pada munculnya Bush-Obama Paradox

    semakin menguatkan kita bahwa intervensi pemerintah dibutuhkan dalam pasar. Pasar-

    bebas sejatinya bukan dimaknai sebagai terbukanya pasar tanpa batas dan dibiarkan

    mengatur dan memulihkan dirinya sendiri. Tidak bisa dimungkiri, pasar sesungguhnya

    sarat dengan berbagai ketidakmampuan. Kapitalis berpotensi besar untuk mengendalikan

    pasar sesuai dengan kepentingan. Kecurangan dan berbagai penyimpangan lain berpeluang

    besar untuk terjadi. Uang yang dijadikan bulan-bulanan komoditi dan spekulasi ternyata

    menyebabkan pasar tidak terkendali.

    Sebagai suatu lembaga yang mempunyai kekuatan besar, daulat pasar dapat

    menggusur daulat rakyat. Semua manusia di dalamnya dianggap memiliki kekuatan yang

    sama. Kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis diarahkan untuk memenuhi keinginan para

    pemilik modal daripada kebutuhan masyarakat yang lebih besar. Filsafat ekonomi

    kapitalisme menceraikan etika sehingga perilaku manusia hilang arah karena terdorong

    hasrat untuk menjadi greedy.

  • 11

    Sebagai sebuah norma yang tak tertulis, mengawinkan etika dengan pasar keuangan

    diharapkan dapat menghantar pelaku di dalamnya menghindari praktek-praktek yang

    menjatuhkan. Dengan etika pula, pelaku pasar diharapkan tidak lagi melakukan spekulasi

    yang secara nyata bersifat predatorik. Spekulasi inilah yang menggoncang ekonomi

    berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi

    itu pula, jumlah uang yang beredar menjadi tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor

    riil karena adanya penghisapan. Sejalan dengan itulah, etika diharapkan dapat

    menjembatani sektor keuangan dan sektor riil untuk bertemu.

    Dalam hal ini, jika kegiatan ekonomi dapat dikembalikan pada etika yang bersumber

    dari religi, maka keadilan akan lebih jelas. Kegiatan ekonomi di sektor keuangan tidak lagi

    memfasilitasi pelaku yang menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang dalam pasar

    uang, bank atau pasar modal. Kegiatan ekonomi di sektor keuangan kelak hanya

    memfasilitasi ketersediaan dana untuk modal usaha melalui mekanisme yang benar.

    Dengan cara ini, sistem ekonomi yang bertumpu pada sinergi sektor riil dan keuangan akan

    berjalan mantap, tidak mudah goyang atau digoyang seperti saat ini. Wallahualam bish

    showab.

    1.6 Luxembourg Menuju Pusat Keuangan Islam Eropa dan Dunia7

    Selama 3 hari Islamic Finance News (IFN) Asia Forum 2011 berlangsung, setidaknya

    terdapat 9 negara yang berkesempatan memberi paparan tentang potensi keuangan Islam di

    negara masing-masing melalui beragam session. Negara-negara tersebut adalah Indonesia,

    Qatar, Australia, Srilanka, Oman, Jepang, Pakistan, Iran, dan Luxembourg.

    Country presentation dari negara Luxembourg cukup menarik perhatian peserta IFN

    Asia Forum 2011. Selain karena tampaknya menjadi satu-satunya negara yang mewakili

    kawasan Eropa, juga karena dihadiri langsung oleh Minister of Finance, Grand Duchy of

    Luxembourg, Luc Frieden. Pada hari ketiga, Frieden menjadi pembuka acara melalui session

    for keynote address yang dimanfaatkannya untuk bercerita tentang potensi keuangan Islam di

    Luxembourg.

    Mengawali paparannya di podium, Frieden memulai dengan sebuah pernyataan,

    Saya yakin, anda semua bertanya-tanya mengapa saya hadir di tempat ini. Bukankah negara-negara

    di Eropa sedang mengalami krisis, lalu mengapa saya masih bisa-bisanya muncul di sini, katanya

    setengah berkelakar.

    Ya, saya yakin pernyataan Frieden memang mewakili isi kepala hampir kebanyakan

    peserta IFN Asia Forum 2011. Kawasan Eropa memang secara beruntun mengalami krisis

    keuangan akibat utang Eurozone. Lalu mengapa Frieden masih sempat-sempatnya ke Kuala

    Lumpur menghadiri acara ini?

    Menjadi Pusat Keuangan Islam Eropa dan Dunia

    Luxembourg memang tampak serius untuk mengundang investor keuangan Islam

    masuk ke negara tersebut. Frieden mengatakan, Penting bagi kami untuk menghadiri

    perhelatan ini. Pemerintah Luxembourg meyakini bahwa keuangan Islam adalah bagian tak

    terpisahkan dari sistem keuangan internasional. Beberapa negara Eropa memang sudah banyak yang

    7 Artikel pribadi yang dimuat di Majalah SHARING, Edisi 59 Tahun VI November 2011, Hlm. 42-43, dan

    merupakan hasil liputan selama 3 hari mengikuti Islamic Finance News (IFN) Asia Forum di Kuala Lumpur pada

    17-19 Oktober 2011 yang dikuti oleh peserta dari sejumlah negara dari Middle East, Europe, North Africa, Southeast

    Asia, dan North America.

  • 12

    ingin menjadi pusat keuangan Islam dan Luxembourg juga memiliki potensi untuk menjadi bagian

    dari pusat keuangan Islam di kawasan ini.

    Frieden yang mengawali karir politiknya melalui Partai Demokrat Kristen (Christian

    Social Party/CSV) ini pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Anggaran di

    usia 34 tahun. Berikutnya, Frieden menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan kemudian

    menjadi Menteri Keuangan sejak 2009 hingga saat ini. Beliau juga menjabat sebagai

    Gubernur Bank Dunia serta menjadi wakil pemerintah Luxembourg dalam Council of

    Minister of the European Union.

    Meski krisis ekonomi global tengah terjadi, Frieden menegaskan bahwa

    pemerintahnya meyakini industri keuangan Islam akan tetap tumbuh stabil. Hal ini

    setidaknya tercermin dari minat investor yang terus tumbuh terhadap produk keuangan

    Islam. Frieden mengatakan, Pemerintah Luxembourg melihat produk keuangan Islam sangat

    inovatif dan adaptif bagi sistem keuangan internasional. Untuk itu, pemerintah Luxembourg ingin

    mengintegrasikan produk keuangan Islam dengan produk keuangan yang sebelumnya telah ada di

    Luxembourg.

    Frieden memang tidak menyia-nyiakan kesempatan dalam IFN Asia Forum 2011

    untuk mengundang para investor masuk ke Luxembourg. Panitia bahkan memberi agenda

    khusus bagi pemerintah Luxembourg melalui breakout session untuk mengadakan

    Luxembourg for Finance. Dalam kesempatan tersebut, Frieden menyampaikan paparan

    khusus berjudul Kuala Lumpur and Luxembourg: Partners for Global Financial Services.

    Dalam kesempatan yang sama, Chief Executive Officer (CEO) Luxembourg for Finance,

    Fernand Grulms, juga membawakan paparan Luxembourg, An International Hub for Financial

    Services. Sedangkan Marc Saluzzi, Chairman of Association of Luxembourg Fund Industry,

    membawakan paparan Luxembourg, Your Gateway to Europe. Kedua lembaga ini adalah

    tim kerja multidisipliner yang memang ditugaskan oleh pemerintah Luxembourg untuk

    mengembangkan keuangan Islam di Luxembourg.

    Lebih jauh, 2 mini seminar diselenggarakan pula dalam kesempatan yang sama

    dengan tema How Can Asian Asset Managers Leverage The UCITs Products dan Luxembourg,

    A First Mover in The European Islamic Finance Sector. Tema terakhir ini cukup menarik.

    Meski klaim Luxembourg akan menjadi pusat keuangan Islam di Eropa dan dunia dirasa

    terlambat, mengingat sudah banyak negara di Eropa yang telah lebih dahulu mengklaim hal

    demikian, tapi tekat besar Luxembourg memang sangat jelas terlihat. Banyak pembenahan

    regulasi, terutama pajak, yang terus digaungkan pemerintah Luxembourg untuk

    menyambut para investor untuk masuk ke pasar keuangan Islam di Luxembourg, utamanya

    dalam hal reksadana dan sukuk.

    Menghilangkan Hambatan dan Ketidakpastian

    Wilayah Luxembourg berada di pegunungan dengan kotanya yang berbukit-berbukit

    dan berjurang-jurang. Banyak peninggalan benteng, gereja, dan kastil-kastil tua dari abad

    pertengahan yang menjadi saksi kejayaan peradaban di masa lalu. Meski negeri ini

    mayoritas dihuni oleh penganut Katolik, namun Luxembourg sangat terbuka untuk menjadi

    pusat keuangan Islam Eropa dan dunia.

    Selain sebagai negara Eropa pertama yang bergabung dalam Islamic Financial Service

    Board (IFSB) pada November 2009 lalu, Luxembourg juga menjadi negara Eropa pertama

    yang bursanya melakukan listing sukuk sejak 2002. Saat ini, Luxembourg telah memasuki

    tahap penting dalam peletakan fondasi pengembangan pasar uang Islam di Eropa. Nota

  • 13

    kesepahaman mulai dirintis bersama negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) seperti

    Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Bahrain.

    Frieden menegaskan, pemerintah Luxembourg berkomitmen untuk menghilangkan

    hambatan dan ketidakpastian bagi investor yang ingin masuk ke negara tersebut.

    Pemerintah setempat telah memberlakukan reformasi pajak bagi seluruh produk keuangan

    Islam, utamanya untuk produk sukuk dan reksadana syariah, guna memfasilitasi masuknya

    investasi berbasis syariah Islam dalam jumlah besar. Akuisisi sejumlah bank di Luxembourg

    oleh institusi keuangan Islam Qatar tampaknya memang juga menjadi landasan untuk

    pengembangan lebih lanjut bagi ceruk bisnis keuangan Islam di Luxembourg.

    Tidak bisa dipungkiri, krisis finansial Amerika Serikat (AS) dan Eropa menjadi

    momentum bagi pasar keuangan Islam untuk kian mengukuhkan keberadaannya. Semakin

    banyaknya penerimaan dari negara-negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim

    mengindikasikan bahwa pasar keuangan Islam dapat diterima secara universal lintas

    agama, suku, dan bangsa. Sebagai salah satu negara nonmuslim di kawasan Eropa,

    Luxembourg terus menunjukkan progres dari itikatnya untuk menjadi pusat keuangan

    Islam Eropa dan dunia. Partisipasinya sebagai first mover dalam pencatatan surat berharga

    Islam internasional menjadikan Luxembourg percaya diri untuk ambil bagian dalam

    globalisasi keuangan Islam. Wallahualam bish showab.

    2. STUDI KASUS

    2.1 Kasus Investasi Emas Berlabel Syariah8

    Emas memang selalu memikat. Nilainya yang terus meningkat dalam jangka waktu menengah dan

    panjang menjadi alasan utama untuk menjadikannya sebagai instrumen investasi. Tak heran jika

    terus bermunculan perusahaan-perusahaan yang menawarkan jasa investasi emas. Termasuk pula

    salah satunya perusahaan berlabel syariah yang memberi penawaran imbalan hasil yang

    menggiurkan bagi investor (www.kontan.co.id, 18 Juni 2012).

    Harga emas tercatat mengalami kenaikan cukup tinggi mulai tahun 2001 dengan rata-

    rata kenaikan sekitar 17%. Sebelumnya, kenaikan harga hanya di kisaran 6%. Banyak pihak

    yang meyakini bahwa emas tengah mengalami bubble. Hal ini didasari oleh kian maraknya

    emas menjadi komoditas dan semakin kuatnya keyakinan masyarakat bahwa emas akan

    mengalami kenaikan harga secara permanen melampaui tingkat inflasi.

    Dapat dipahami jika investasi emas menjadi tampak menarik karena apresiasinya jauh

    lebih besar daripada deposito atau sejenisnya. Gaung emas pun merambah industri jasa

    keuangan Islam. Kegiatan rahn dan qardh untuk emas di perbankan syariah menjadi motor

    penggeraknya. Hampir semua Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia kini telah

    mempunyai layanan gadai emas.

    Emas dalam sejarah ekonomi Islam memang mendapat perhatian besar. Wacana mata

    uang dinar yang banyak digaungkan para pelaku ekonomi Islam sebagai alat transaksi tidak

    lepas dari keunggulan nilai emas yang relatif stabil. Namun, stabil bukan berarti tidak

    mengalami inflasi. Nilai emas yang di-back up oleh intrisiknyalah yang menjadi dasar

    argumen emas lebih baik daripada fiat money.

    8 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Kontan, 22 Juni 2012. Artikel tersebut ditulis sebagai respon atas

    pemberitaan di Harian Kontan berjudul Waspada, investasi emas berimbal hasil selangit! tentang investigasi

    Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang merupakan perusahaan investasi emas pertama yang memperoleh

    predikat syariah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

  • 14

    Namun demikian, keberadaan emas sebagai alat transaksi atau sebagai instrumen

    hedging harus dipisahkan dengan kinerja emas dalam konteks kekinian. Bubble emas yang

    tengah berlangsung saat ini terjadi karena adanya spekulan. Pengalaman 2008

    menunjukkan perilaku investor dalam mengantisipasi krisis kredit yang menyebabkan

    pasar saham anjlok adalah dengan memborong emas. Yang terkini, aksi George Soros yang

    menambah portofolio logam mulianya hingga 273,96% pada Mei lalu. Aksi Soros

    mengundang pertanyaan mengingat harga emas saat itu sudah jatuh 8,1% per Maret dan

    tercatat sebagai penurunan terbesar sejak 2004.

    Fluktuasi Emas

    Jika sebuah perusahaan investasi emas berlabel syariah berani menawarkan imbal

    hasil fixed rate yang cukup tinggi dalam jangka waktu pendek, maka pertanyaan yang

    mengemuka adalah benarkah mekanisme yang ada sudah memenuhi prinsip syariah?

    Logika ekonomi tentu akan berbicara bahwa investasi emas akan memberi

    keuntungan jika harga emas mengalami kenaikan. Jika harga emas turun, maka investor

    akan mengalami kerugian. Dalam jangka menengah dan panjang, pengalaman di masa lalu

    mungkin dapat menjadi argumen untuk mengatakan harga emas ke depan memiliki tren

    kenaikan. Namun, dalam jangka waktu pendek yang kurang dari setahun, pengalaman

    menunjukkan bahwa emas juga mengalami fluktuasi yang mengikuti up and down

    perekonomian.

    Mungkin tak banyak yang mengingat bagaimana volatilitas harga emas bulanan dan

    tahunan selama 10 tahun terakhir. Secara bulanan, penurunan harga emas tertinggi pernah

    terjadi sebesar 16% di bulan September 2008 ke Oktober 2008. Secara tahunan, penurunan

    harga emas tertinggi pernah terjadi hingga 41,5% di tahun 2008 ke 2009. Mei 2012 lalu,

    kontrak emas berjangka untuk pengantaran Juni merosot 0,6%. Nilai ini adalah posisi

    terendah dalam empat bulan terakhir seiring dengan kekacauan politik yang kian

    memburuk di Yunani yang memberi sentimen positif terhadap US Dollar sebagai aset

    lindung nilai.

    Secara keseluruhan, bukti empirik ini menunjukkan bahwa fluktuasi emas cukup

    tajam dalam jangka waktu pendek. Kinerja emas saat ini bukanlah berbasis sektor riil murni

    yang dapat dipertanggungjawabkan kealamiahan penawaran-permintaannya. Emas sebagai

    komoditas dan faktor spekulan adalah salah satu variabel laten utama yang mempengaruhi

    emas menjadi bubble. Pertanyaannya kemudian, jika yang terjadi ke depan adalah

    penurunan harga emas secara signifikan, lalu bagaimana perusahaan jasa investasi emas

    berlabel syariah itu dapat memenuhi janjinya untuk memberi bonus hingga 30% untuk

    kontrak setahun?

    Perspektif Islam

    Dalam peta industri jasa keuangan Islam, bisnis investasi emas boleh jadi termasuk

    dalam komponen pasar modal syariah. Jika dipetakan, industri jasa keuangan Islam

    meliputi tiga komponen utama, yaitu perbankan Islam, pasar modal Islam, dan takaful yang

    masing-masing di dalamnya terdiri dari beberapa subkomponen. Kecilnya pasar jasa

    keuangan Islam boleh jadi tidak memberi pengaruh signifikan bagi perekonomian. Namun

    demikian, tidak dapat dipungkiri, pertumbuhannya yang pesat mendorong banyak sektor

    untuk turut menyandang label syariah demi mengakses pasar yang masih sangat besar.

    Sebuah kajian tentang dampak pergerakan harga emas kepada Capital Adequacy Ratio

    (CAR) individual bank Islam memberikan pesan penting. Skenario penurunan harga emas

  • 15

    sebesar 25% dan 50% ternyata berpotensi menurunkan CAR sejumlah bank Islam hingga di

    bawah 8%. Kajian ini mengindikasikan bahwa industri jasa keuangan Islam pun rentan

    terhadap fluktuasi harga emas.

    Oleh karena itu, dapat dipahami jika iming-iming imbal hasil yang menggiurkan dari

    perusahaan investasi emas berlabel syariah menimbulkan dugaan adanya kegiatan

    spekulasi yang mengarah pada unsur maysir. Di kalangan ekonom Islam, memang masih

    terdapat perdebatan tentang praktek spekulasi berbasis maysir ini. Sebagian berpendapat

    bahwa maysir bermakna pengambilan risiko yang tidak mampu ditanggung. Sebagian lain

    berpendapat bahwa maysir adalah spekulasi yang tidak meningkatkan agregat pasokan

    barang dan jasa. Apapun itu, janji imbal hasil yang cukup tinggi dalam jangka waktu

    pendek memberi ruang besar untuk mempertanyakan keabsahan Islamic compliance dalam

    mekanisme investasi dan pemberian imbal hasil. Kalau sudah begitu, semoga saja Dewan

    Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dapat segera merespon kegiatan

    investasi tersebut melalui fatwanya untuk memperjelas keabsahannya.

    2.2 Distorsi Sukuk Negara9

    Sukuk negara semula dimaksudkan untuk mendiversifikasi instrumen pembiayaan. Regulasi sudah

    menyiratkan peruntukkannya untuk membiayai proyek pembangunan. Sayang, agresif pemerintah

    dalam menerbitkan sukuk negara belakangan ini belum mampu diimbangi dengan pemanfaatan yang

    optimal. Jika himpunan dana sukuk negara tak berwujud kongkret, maka yang terjadi adalah sebuah

    distorsi bagi instrumen ini.

    Sukuk saat ini menjadi fenomena global. Sukuk menjadi bagian yang tak terpisahkan

    dari sistem keuangan dunia. Sebagai sebuah instrumen pembiayaan pembangunan berbasis

    syariah, sukuk secara universal diterima lintas agama, budaya, dan bangsa. Satu-persatu

    negara muslim dan nonmuslim kini mengadopsi dan turut menerbitkannya.

    Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia termasuk

    cukup terlambat menerapkan sukuk. Regulasi sukuk baru disahkan pada 2008. Hingga

    akhir 2009, dana sukuk yang dihimpun pemerintah Indonesia baru sekitar Rp 20 triliun.

    Agresif pemerintah mulai terlihat pada 2010. Sepanjang Triwulan I 2010, pemerintah

    sedikitnya telah melakukan 4 kali penawaran sukuk dengan dana terhimpun hampir

    menyentuh Rp 13 triliun. Memasuki Triwulan II, pada bulan April, pemerintah melakukan

    2 kali penawaran dengan dana terhimpun Rp 1,125 triliun. Sedangkan di bulan Mei, dengan

    2 kali penawaran, dana yang terhimpun Rp 5 triliun.

    Harus diakui, salah satu konsekuensi nyata dari pembayaran imbalan atas sukuk

    negara yang diterbitkan pemerintah adalah tambahan beban pada sisi pengeluaran

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ditambah lagi dengan kewajiban atas

    berbagai pengeluaran rutin lainnya, keseluruhan ini dapat berdampak pada reduksitas

    kemampuan pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi.

    Pasalnya, kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek dan program pembangunan

    menjadi berkurang.

    Sukuk negara sebenarnya menawarkan jalan keluar atas persoalan ini. Regulasi pun

    menyiratkan hal demikian. Namun pada tataran implementasi, aplikasi yang ada belum

    9 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 12 Juni 2010.

  • 16

    mampu mencapai ranah tersebut. Kondisi inilah yang jika tak diperbaiki dapat mendistorsi

    keberadaan sukuk negara.

    Instrumen Investasi

    Sejak tahun 2005, Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrumen utama pembiayaan

    APBN. Sumber pembiayaan non-utang pada masa awal pascakrisis ekonomi memberi

    kontribusi besar dalam membiayai defisit. Namun dalam perkembangannya, terjadi

    pergeseran yang tajam dari sumber pembiayaan non-utang menjadi sumber pembiayaan

    utang. Adapun sumber utama pembiayaan utang yang dulu bersumber dari pinjaman

    dalam negeri dan luar negeri, kini bersumber dari penerbitan SBN.

    Sejauh ini, ada 2 jenis instrumen yang digunakan pemerintah dalam sumber

    pembiayaan utang yang berasal dari SBN. Melalui UU Nomor 24 Tahun 2002, pemerintah

    diberi wewenang untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) sebagai sumber

    pembiayaan dalam mengatasi defisit anggaran atau menutup kekurangan kas jangka

    pendek atau mengelola portofolio utang negara. Berikutnya, untuk mendiversifikasi

    instrumen pembiayaan defisit anggaran dengan meningkatkan basis investor, maka

    pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 19 Tahun 2008 diberi landasan hukum untuk

    melakukan transaksi pengadaan pembiayaan dan pengelolaan portofolio berbasis syariah

    melalui penerbitan sukuk.

    Berbeda dengan SUN, tujuan utama penerbitan sukuk selain untuk pembiayaan

    APBN, juga untuk pembiayaan kegiatan proyek pemerintah, terutama pembangunan

    infrastruktur. Hadirnya regulasi SUN dan sukuk menjadi standing appropriation bagi

    penerbitan instrumen utang Indonesia dalam bentuk SBN.

    Untuk 2010, pemerintah masih akan menjadikan SBN sebagai sumber pembiayaan

    APBN. Pemerintah akan menaikkan target indikatif untuk mencapai penerimaan negara

    dari penerbitan SBN sebesar Rp 176,86 triliun dalam Rancangan APBN Perubahan 2010 dari

    sebelumnya Rp 175,061 triliun dalam APBN 2010. Untuk memenuhi penambahan biaya

    tersebut, pemerintah diantaranya akan meningkatkan penerbitan SBN sebesar Rp 1,849

    triliun.

    Yang Mendistorsi

    Tidak bisa dipungkiri, penerbitan sukuk sebagai salah satu bentuk SBN dinilai efektif

    untuk membantu mengurangi defisit APBN. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang

    perlu diwaspadai dalam implementasinya yang berpotensi mendistorsi.

    Pertama, sukuk negara seyogyanya menjadi instrumen transisi yang ke depan akan

    menjadikan Indonesia lebih mandiri dan bebas utang. Sejumlah studi empirik menunjukkan

    bahwa utang berbunga telah menyandera APBN Indonesia. Kelak diharapkan Indonesia

    mampu melahirkan kebijakan zero deficit. Dalam konteks inilah, sukuk dapat menjadi

    jembatannya.

    Kedua, meski sukuk secara substansi tampak mirip dengan surat utang, namun

    sesungguhnya sukuk adalah surat berharga investasi. Pemahaman pasar yang keliru telah

    menempatkan sukuk bersanding dengan SUN. Ditambah lagi pemerintah yang

    mengamininya dengan memasukkan instrumen ini pada kelompok sumber pembiayaan

    utang. Padahal, pada sukuk, investor berserikat dalam laba dan rugi dari aset. Sedangkan

    pada SUN, yang ada adalah kewajiban utang atas pihak yang menerima utang tanpa ada

    kaitannya dengan aset tertentu ataupun pemanfaatannya.

  • 17

    Ketiga, aplikasi kebanyakan sukuk negara di Indonesia cenderung diarahkan untuk

    menghasilkan uang dan bukan barang. Padahal, agar memberi manfaat yang lebih besar

    bagi sektor riil, maka dibutuhkan pemanfaatan yang kongkret berupa pembangunan fisik.

    Keempat, amanat UU memberi ruang toleransi yang besar terhadap pemanfaatan

    sukuk untuk menambal defisit anggaran. Padahal, esensi dari sukuk bukan untuk

    menambal keuangan negara, melainkan untuk membiayai proyek pembangunan dimana

    pembangunan infrastruktur adalah salah satunya.

    Kelima, transmisi sukuk negara terhadap sektor riil selama ini belum terlihat

    keberadaannya. Underlying asset yang harusnya dapat berproduksi menghasilan income bagi

    pemerintah, masih belum terealisasi. Sejatinya, underlying asset harus diberdayakan dan

    bukan sekedar menjadi agunan yang tak bermakna.

    2.3 Rentannya Gadai Emas Bank Syariah10

    Memasuki awal 2012, banyak ahli ekonomi dunia memprediksi harga emas akan kembali meningkat.

    Harga emas yang selama 10 tahun berturut-turut mengalami kenaikan, diyakini akan melanjutkan

    tren bullish. Sejumlah bank sentral di dunia, termasuk pula miliarder George Soros, beberapa kali

    diberitakan memborong emas dalam jumlah besar. Tak pelak lagi, emas kini menjadi primadona.

    Termasuk pula pada industri perbankan syariah di Indonesia.

    Sejak satu dekade terakhir, harga emas cenderung menunjukkan tren peningkatan.

    Hal ini mendorong minat investor untuk menanamkan dana dalam bentuk emas dan gadai

    emas. Gaung emas juga merambah industri perbankan syariah. Kegiatan qardh dan rahn

    menjadi motor penggeraknya.

    Secara teknis, proses gadai emas di bank syariah dimulai ketika nasabah datang ke

    bank syariah untuk menggadaikan emas. Dengan asumsi emas yang akan digadaikan

    tersebut bernilai (X), bank syariah akan melakukan penilaian (p) atau dikenal dengan istilah

    loan to value ratio (LTV) sebelum memberikan qardh senilai (pX) di luar biaya lain-lain.

    Berdampingan dengan akad gadai emas tersebut, nasabah juga melakukan akad sewa-

    menyewa (ijarah) untuk membayar sewa layanan penyimpanan emas gadai yang disediakan

    bank syariah.

    Hampir semua Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia kini mempunyai layanan

    gadai emas. Semenjak tren harga emas meningkat dan peminat gadai emas kian meluas,

    pendapatan bank syariah dari aktifitas gadai emas semakin meningkat. Di antara sejumlah

    model akad bank syariah, pertumbuhan akad qardh terbilang cukup tinggi. Sepanjang 2005-

    2010, pertumbuhan rasio pembiayaan qardh terhadap total financing perbankan syariah

    mencapai rata-rata 100%. Kenaikan berlanjut di tahun 2011 dan mulai terlihat gejala

    penurunan di tahun 2012.

    Persoalan mengemuka ketika harga emas mengalami fluktuasi. Maraknya emas

    menjadi komoditas dan kuatnya keyakinan masyarakat bahwa emas akan mengalami

    kenaikan harga secara permanen melampaui tingkat inflasi menimbulkan dugaan bahwa

    emas tengah mengalami bubble. Dan pertanyaannya, bagaimana dampak volatilitas harga

    emas terhadap bank syariah?

    10 Artikel pribadi yang ditulis bersama Rifki Ismal, Peneliti Senior Bank Indonesia, yang dimuat di Harian

    Bisnis Indonesia, 16 Juli 2012.

  • 18

    Imbas Volatilitas Emas Dunia

    Rentannya bank syariah atas volatilitas harga emas didasari oleh tiga argumen.

    Pertama, adanya fenomena transaksi gadai emas yang berubah wujud menjadi investasi

    emas dengan aksi spekulasi emas melalui jalan berkebun emas oleh nasabah. Hal ini patut

    dicermati karena aktifitas bisnis bank syariah dituntut untuk prudent, bermotif sosial dan

    bebas dari aksi spekulasi. Kedua, ketika harga emas berfluktuasi, aktifitas gadai emas yang

    berlebihan berpotensi mengganggu prudential banking operation. Hal ini kian pelik ketika

    dana nasabah digunakan bank syariah untuk membiayai gadai emas. Ketiga, ketika harga

    emas turun, nasabah gadai emas berpotensi menunda atau bahkan tidak menebus emasnya

    kembali. Pada tataran inilah bank syariah rentan mengalami kerugian.

    Selama 13 tahun terakhir, volatilitas harga emas pernah terjadi dalam jangka pendek.

    Secara bulanan, penurunan harga emas tertinggi pernah terjadi sebesar 16,81% di bulan

    September ke Oktober 2008 dan kenaikan emas tertinggi pernah mencapai 16,85% antara

    bulan Agustus ke September 1999. Secara tahunan, penurunan harga emas tertinggi pernah

    mencapai 41,5% di tahun 2008 ke 2009. Hal ini seluruhnya mengindikasikan bahwa pasar

    investasi emas cukup beresiko tinggi, apalagi untuk aktifitas spekulasi emas.

    Sebuah simulasi fluktuasi harga emas dengan tiga skenario penurunan harga emas

    bulanan sebesar 10%, 25%, dan 50% menunjukkan adanya potensi dampak volatilitas

    penurunan harga emas terhadap penurunan ketahanan individu maupun industri

    perbankan syariah. Ketahanan bank syariah yang antara lain dicerminkan oleh capital to

    adequacy ratio (CAR) dapat turun hingga di bawah 8% apabila harga emas turun hingga 50%.

    Secara matematis, penurunan CAR terjadi karena turunnya harga emas (P) yang

    melebihi batas harga gadai emas (pX). Selisih penurunan harga ini dikurangi pendapatan

    sewa emas dapat menggerus keuntungan bank syariah dan akhirnya menurunkan porsi

    modal dan CAR individu bank syariah. Meski masih bergantung pada jumlah BUS yang

    memiliki fasilitas gadai emas, jumlah nasabah yang melakukan transaksi gadai emas,

    variabel ijarah rate yang dikenakan BUS, dan nilai gadai yang ditetapkan BUS kepada

    penggadai emas, situasi pada individu bank syariah ini pada gilirannya akan berimbas pada

    industri perbankan syariah keseluruhan.

    Rahn Emas

    Turbulensi harga emas dunia patut diwaspadai bank syariah yang produk gadai

    emasnya banyak diminati masyarakat. Emas saat ini tidak sepenuhnya mencerminkan

    kinerja penawaran-permintaan alamiah. Emas kini menjadi komoditas yang sarat dengan

    spekulasi. Penurunan harga emas seperti yang diilustrasikan sebelumnya, dapat

    menurunkan CAR individu bank syariah dan industri perbankan syariah. Pada gilirannya,

    hal ini akan berdampak terhadap penurunan rasio financing to deposit ratio yang menjadi

    cermin fungsi intermediasi perbankan syariah.

    Sejatinya untuk mengimplementasikan fungsi ekonomi syariah dan mengeminir

    risiko, bank syariah hendaknya mempertimbangkan untuk memberlakukan kebijakan

    switching gadai emas menjadi productive financing dengan rahn emas. Berdasarkan evaluasi

    terhadap qardh gadai emas, meningkatnya kegiatan ini ternyata berpotensi menurunkan

    financing non qardh to deposit ratio. Semakin besar porsi qardh, maka semakin berkurang porsi

    dana untuk pembiayaan akad investasi di sektor riil. Ditambah lagi, dana qardh dari gadai

    emas cenderung bukan merupakan dana produktif di sektor riil melainkan dana konsumtif.

    Ke depan, aktifitas gadai emas diharapkan dapat ditujukan bagi kepentingan sosial

    dan tidak menjadi aktifitas utama bank syariah. Aktifitas beberapa investor yang cenderung

  • 19

    memanfaatkan fluktuasi harga emas dengan menggunakan transaksi gadai emas di bank

    syariah untuk melakukan spekulasi emas, tentunya tidak dapat diterima. Selain merugikan

    nasabah dan bank syariah, perekonomian nasional juga dirugikan disamping tentunya tidak

    sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

    2.4 Investasi ala Ustadz YM dan Mendesaknya Literasi Keuangan11

    Bisnis investasi dengan konsep patungan usaha ala Ustadz Yusuf Mansyur (YM)

    menuai kontroversi. Meski saat ini gerakan tersebut dihentikan sementara sembari

    memperbaiki legalitas, polemik yang muncul di masyarakat masih belum surut. Sejumlah

    pihak meragukan kapabilitas bisnis investasi Ustadz YM. Tudingan bahwa bisnis ini bak

    investasi bodong, money game atau multi level marketing (MLM) membuat Ustadz YM seolah

    dipojokkan.

    Jika disimak, isu penting yang harusnya dihadirkan adalah perihal mobilisasi dana

    masyarakat, yaitu bagaimana memberi perlindungan kepada dana publik tersebut. Di

    sinilah isu governance muncul, yaitu bagaimana mengelola benturan kepentingan antara

    pengelola dana dengan masyarakat yang menyerahkan dananya. Prinsip yang lazim

    digunakan adalah TARIF (Trasparency, Accountability, Responsibility, Integrity, dan Fairness).

    Dengan tetap mengapresiasi itikat baik yang melatarbelakangi penggalangan dana

    yang dilakukan Ustadz YM, tidak bisa dipungkiri, minimnya literasi keuangan bukan saja

    menjadi kelemahan Ustadz YM, tetapi juga bagi kebanyakan masyarakat yang berpolemik

    tanpa dasar sehingga isu yang mengemuka bak bola liar. Jelas, menyoal kasus ini, literasi

    keuangan (financial literacy) yang digaungkan bersama dengan program inklusi keuangan

    (financial inclusion) sudah mendesak untuk disosialisasikan secara masif.

    Literasi Keuangan

    Ilmu keuangan merupakan ilmu dinamis. Prakteknya menjadi keseharian bagi setiap

    orang. Literasi keuangan menjadi keniscayaan bagi setiap orang untuk dapat membuat

    keputusan keuangan serta mengoptimalkan instrumen dan produk keuangan yang tersedia.

    Secara sederhana, literasi keuangan adalah pengetahuan mengenai konsep-konsep dasar

    keuangan. Literasi keuangan mencakup beberapa aspek dalam keuangan, yaitu

    pengetahuan dasar mengenai keuangan pribadi (basic personal finance), manajemen uang

    (money management), manajemen kredit dan utang (credit and debt management), tabungan

    dan investasi (saving and investment), serta manajemen risiko (risk management).

    Literasi keuangan dibutuhkan agar setiap orang memiliki pengetahuan untuk

    mengelola sumber daya keuangan secara efektif demi kesejahteraan hidupnya. Kebutuhan

    individu dan produk keuangan yang semakin kompleks menuntut masyarakat untuk

    memiliki literasi yang memadai. Minimnya literasi keuangan dapat mengakibatkan

    rendahnya akses terhadap lembaga keuangan. Minimnya literasi keuangan juga dapat

    mengakibatkan masyarakat mengalami kerugian keuangan karena tidak memahami resiko

    yang membayang dari produk atau instrumen keuangan yang dipilih. Ditambah lagi jika

    pada saat yang sama terjadi penurunan kondisi perekonomian. Perilaku masyarakat yang

    konsumtif juga menambah daya boros dari sistem ekonomi dan keuangan yang ada saat ini.

    Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menaungi kegiatan investasi di

    Indonesia juga menjadi peta baru bagi masyarakat awam. Literasi keuangan terhadap

    11 Artikel pribadi yang dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 25 Juli 2013.

  • 20

    produk dan regulasi di sektor keuangan tak semuanya dapat dipahami. Sosialisasi yang

    dilakukan OJK nyatanya masih belum cukup untuk mengedukasi masyarakat luas. Hal ini

    tercermin pula dengan Ustadz YM yang tidak mengetahui bahwa setiap penarikan dana

    masyarakat dengan memberikan imbal hasil adalah bentuk investasi. Sesuai aturan,

    investasi yang beranggotakan 50 orang ke atas wajib meminta izin OJK. Bila OJK belum

    mengeluarkan izin, maka sudah dapat dipastikan kegiatan investasi tersebut dilarang.

    Edukasi Keuangan

    Edukasi keuangan (financial education) menjadi tantangan terbesar untuk

    meningkatkan literasi masyarakat dalam rangka inklusi keuangan. Edukasi adalah proses

    panjang yang mendorong setiap orang untuk memiliki rencana keuangan di masa depan

    demi mendapatkan kesejahteraan yang ingin dicapai. Era konsumsi dewasa ini cenderung

    membuat masyarakat menjadi kian tidak rasional dalam memenuhi keinginannya yang

    bukan menjadi kebutuhan.

    Melalui edukasi keuangan, diharapkan dapat terbangun perilaku keuangan (financial

    behaviour). Perilaku keuangan berhubungan dengan bagaimana seseorang memperlakukan,

    mengelola, menggunakan, dan memaknai sumber daya keuangan yang ada padanya.

    Individu yang memiliki perilaku keuangan akan cenderung untuk memanfaatkan uang atau

    aset secara efektif, mulai dari membuat anggaran, menghemat uang, mengendalikan

    belanja, berinvestasi, serta membayar kewajiban tepat waktu untuk semua tingkat

    penghasilan.

    Lebih jauh, edukasi keuangan akan menghasilkan outcome berupa literasi keuangan

    yang baik. Tepat kiranya bila OJK memutuskan untuk menjatuhkan sanksi berupa edukasi

    aturan pengelolaan dana kepada Ustadz YM atas kegiatan pengelolaan dananya, termasuk

    menjanjikan pendampingan dalam hal mengurus legalitas.

    Tidak bisa dipungkiri, literasi keuangan adalah hal mendesak dalam melindungi dana

    masyarakat. Sistem keuangan yang rentan akan munculnya mobilisasi dana manipulatif

    atau spekulatif yang beresiko tinggi menuntut masyarakat untuk paham akan karakter

    produk keuangan yang ditawarkan. Beragam jenis produk di pasar keuangan yang sarat

    moral hazard serta kerap menghadirkan asymmetric information menuntut literasi keuangan

    bagi masyarakat. Yang terpenting, urgensi literasi keuangan adalah sebagai pengetahuan

    bagi masyarakat dalam hal menyiasati keterbatasan sumber daya yang dimilikinya untuk

    dialokasikan pada berbagai kebutuhan secara efektif untuk memperoleh kesejahteraan yang

    diharapkan.

    ==============================