new mkalah retardasi mental
DESCRIPTION
fghgjkTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Retardasi mental bukanlah suatu penyakit; melainkan akibat suatu proses patologis di
otak yang ditandai adanya keterbatasan fungsi adaptif intelektual. Penyebab retardasi
mental sering kali tidak teridentifikasi, dan akibat-akibatnya terlihat jelas pada seseorang
dalam bentuk kesulitan secara intelektual dan keterampilan hidup adaptif yang ditemukan
sebelum orang berusia 18 tahun.
Sejak publik law 94-142 (Education for all handicapped children act) disetujui pada
tahun 1975, sistem sekolah umum telah diberi mandate untuk menyediakan layanan
pendidikan yang memadai bagi anak dengan disabilitas. Individuals with disabilities act
of 1990 memperluas dan memodifikasi peraturan di atas. Saat ini, penyediaan pendidikan
umum untuk semua anak, termasuk anak dengan disabilitas, diatur berdasarkan hokum
dan harus diberikan “di dalam lingkungan yang paling tidak membatasi”.
Prevalensi retardasi mental pada satu waktu diperkirakan sekitar 1 persen dari
populasi. Insiden retardasi mental sulit dihitung karena retardasi mental ringan kadang-
kadang tidak dikenali hingga masa kanak-kanak pertengahan. Pada beberapa kasus,
meskipun fungsi intelektual terbatas, keterampilan adaptif yang baik tidak terganggu
sampai masa kanak-kanak akhir atau masa remaja awal, dan diagnosis tidak ditegakkan
sebelum masa tersebut. Insiden tertinggi pada anak usia sekolah, dengan usia puncak 10
hingga 14 tahun. Retardasi mental kira-kira lebih sering pada laki-laki sekitar 1,5 kali di
bandingkan perempuan. Pada lansia, prevalensinya lebih rendah; orang dengan retardasi
mental berat memiliki angka mortalitas tinggi akibat komplikasi gangguan fisik yang
terkait.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
1. Mampu memahami dan mengetahui tentang gangguan psikiatri pada anak dan
remaja retardasi mental.
1
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi tentang gangguan retardasi mental.
2. Untuk mengetahui dan memahami etiologi tentang gangguan retardasi mental.
3. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis tentang gangguan
retardasi mental.
4. Untuk mengetahui dan memahami klasifikasi tentang gangguan retardasi
mental.
5. Untuk mengetahui dan memahami komorbiditas tentang gangguan retardasi
mental.
6. Untuk mengetahui dan memahami ciri-ciri perkembangan orang dengan
retardasi mental.
7. Untuk mengetahui dan memahami diagnosis banding dari retardasi mental.
8. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan retardasi mental
9. Untuk mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan retardasi
mental.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFENISI
Retardasi mental ialah keadaan dengan inteligensi yang kurang (subnormal) sejak
masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan
mental yang kurang secara keseluruhan (seperti juga pada demensia), tetapi gejala utama
(yang menonjol) ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga
ologofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.
(Maramis,1995).
International classification of disease revisi ke 10 (ICD-10) menggunakan istilah
“retardasi mental” tetapi mendefinisikannya agak berbeda dari yang terdapat dalam DSM-
IV. Menurut ICD-10, “retardasi mental adalah suatu kondisi terhentinya atau tidak
lengkapnya perkembangan pikiran, yang terutama ditandai oleh gangguan keterampilan
yang dimanifestasikan selama periode perkembangan, yang mempengaruhi keseluruhan
tingkat kecerdasan, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.
Istilah “kelemahan pikiran” (feeble-minded-ness) pernah digunakan di masa lalu
dalam literature amerika dan Inggris, dimana istilah “kecacatan mental” (mental
handicap) juga digunakan sampai belakangan ini untuk menyebutkan bentuk retardasi
mental yang ringan. Istilah “oligofrenia” di gunakan di rusia, skandinavia, dan Negara-
negara eropa lain. “amentia” tidak lagi digunakan dalam psikiatri modern kecuali kadang-
kadang dimaksudkan pada stadium terminal suatu penyakit degeneratif.
Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri dari fungsi
intelektual yang dibawah rata-rata dan gangguan dalam keterampilan.
2.2 ETIOLOGI
Faktor etiologis retardasi mental terutama dapat berupa genetik, perkembangan, didapat,
atau kombinasi berbagai faktor. Penyebab genetik meliputi kondisi kromosomal dan
diwariskan; faktor perkembangan mencakup perubahan kromosom seperti trisomi atau
pajanan pranatal terhadap infeksi dan toksin; dan sindrom yang didapat mencakup
trauma perinatal (seperti prematuritas) dan faktor sosiokultural. Di antara gangguan
metabolik dan kromosom, sindrom Down, fragile X syndrome, dan fenilketonuria (PKU)
adalah gangguan tersering yang biasanya menghasilkan sedikitnya retardasi mental
3
sedang. Orang dengan retardasi mental ringan kadang-kadang memiliki pola familial
yang tampak pada orang tua dan saudara kandungnya. Kurangnya gizi, pengasuhan, dan
stimulasi sosial turut berperan dalam perkembangan retardasi mental. Pengetahuan
terkini mengesankan bahwa faktor genetik, lingkungan, biologis, dan psikososial turut
bekerja di dalam retaradsi mental.
1. Faktor Genetik
Kelainan kromosom abnormal menyebabkan retardasi mental, meskipun
penyimpangan kromosom seks tidak selalu menyebabkan retardasi mental
(seperti sindrom Turner dengan XO dan sindrom Krinefelter dengan variasi
XXY,XXXY, dan XXYY).
1) Sindrom Down
Meskipun teori dan hipotesi yang dikembangkan didalam 100 tahun
belakangan ini melimpah ruah, penyebab Sindrom Down masih belum
diketahui. Masalah penyebab bahkan semakin rumit sejak dikenalinya baru-
baru ini tiga jenis penyimpangan kromosom di dalam Sindrom Down:
a) Pasien dengan trisomi 21 (tiga kromosom 21, yang seharusnya dua)
menunjukkan mayoritas yang berlebihan; pasien tersebut memiliki 47
kromosm, dengan ekstra kromosom 2.
b) Gagal berpisah pada pembelahan sel setelah fertilisasi menyebabkan
mosaikisme, keadaan adanya sel normal dan trisomi didalam berbagai
jaringan.
c) Di dalam translokasi, terdapat penyatuan dua kromosom, sebagian besar
yaitu kromosom 21 dan 15, sehingga tetap menghasilkan 46
kromosom, ,meskipun ada tambahan kromosom 21. Gangguan ini, tidak
seperti trisomi 21, biasanya diwariskan.
Retardasi mental merupakan gambaran yang menumpang tindih Sindrom
Down. Sebagian besar orang dengan sindrom ini mengalami retardasi sedang atau
berat, hanya sebagian kecil yang memiliki IQ diatas 50. Perkembangan mental
tampak normal dari lahir hingga usi 6 bulan; nilai IQ secara bertahap menurun
dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga sekitar 30 pada usia yang lebih tua.
Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas: uji infantil mungkin tidak
mengungakpkan tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin terungkap ketika uji
yang lebih canggih digunakan pada masa kanak-kanak awal. Menurut banyak
4
sumber, anak dengan sindrom Down terlihat tenang, ceria, dan kooperatif, serta
mudah beradaptasi dirumah . Pada remaja, gambaran berubah: anak remaja dapat
mengalami berbagai kesulitan emosional, gangguan perilaku, dan (terkadang)
gangguan psikotik.
Diagnosis sindrom Down ditegakkan dengan relatif mudah pada anak berusia
lebih tua tetapi sering sulit pada bayi yang baru lahir. Tanda yang paling penting
pada neonatus mencakup hipotonia menyeluruh, fisura palpebra miring, kulit
leher berlebih, tengkorak datar dan kecil, tulang pipi tinggi, dan lidah menonjol.
Tangan lebar dan tebal, dengan garis transversal tunggal pada telapak tangan serta
jari kelingking pendek dan melengkung kedalam. Refleks moro lemah atau tidak
ada. Lebih dari 100 tanda atau stigamata telah digambarkan didalam sindrom
down tetapi jarang ditemukan semuanya pada satu orang. Harapan hidup dulunya
kira-kira12 tahun; dengan ditemukannya antibiotik, hanya sedikit pasien muda
yang tidak dapat melawan infeksi, tetapi banyak yang tidak dapat hidup diatas
usia 40 tahun. Meskipun demikian, harapan hidup mereka meningkat.
Orang dengan sindrom Down cenderung menunjukkan kemunduran nyata di
dalam bahasa, memori, keterampilan, merawat diri, dan memecahkan masalah
pada usia 30-an. Studi pasca kematian pada pasien dengan sindrom Down di atas
usia 40 tahun menunjukkan tingginya insidensi plak senilis dan kekusutan
neurofiblil, seperti yang ditemukan pada penyakit Alzheimer. Kekusutan
neurofibril diketahui terdapat pada berbagai penyakit degeneratif, sedangkan plak
senilis tampak paling sering ditemukan pada penyakit Alzheimer dan sindrom
Down. Karena itu, patofisiologi kedua gangguan ini memiliki kesamaan dalam
beberapa hal.
2) Fragile X syndrome
Fragile X syndrome merupakan penyebab tunggal retardasi mental yang
terbanyak kedua. Sindrom ini terjadi akibat mutasi kromosom X pada tempat
yang dikenal sebagai fragile site (Xq27.3). Profil perilaku orang dengan
sindrom ini mencakup tingginya angka ADHA, gangguan belajar, dan
gangguan perkembangan pervasif, seperti autisme.
5
3) Sindrom Prader-Willi
Sindrom Prader Willi didalilkan terjadi akibat delesi kecil yang mengenai
kromosom 15, biasanya terjadi secara sporadis. Prevalensinya kurang dari 1
dalam 10.000. Orang dengan sindrom ini menunjukkan perilaku makan
kompulsif dan sering obesitas, retardasi mental, hipogonadisme, perawakan
kecil, hipotonia, dan kaki serta tangan yang kecil. Anak dengan sindrom ini
sering memilki perilaku menentang dan menyimpang.
4) Fenilketonuria
PKU diturunkan sebagai ciri mendelian autosomal resesif sederhana. Sebagian
besar pasien dengan PKU mengalami retardasi berat, tetapi beberapa
diantaranya dilaporkan memiliki intelegensi dalam batas ambang atau normal.
Meskipun gambaran klinisnya beragam, anak dengan PKU biasanya
hiperaktif; mereka menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak dapat diduga
serta sulit diatur. Perilakunya kadang-kadang menyerupai anak dengan anak
autisme atau skizofrenia.
5) Gangguan Rett
Gangguan Rett dihipotesiskan sebagai sindrom retardasi mental dominan
terkait-X, bersifat degeneratif, dan hanya mengenai perempuan. Kemunduran
keterampilan komunikasi, perilaku motorik, dan fungsi sosial dimulai pada
kira-kira usia 1 tahun. Gejala mirip-autistik lazim ditemukan, demikian juga
ataksia, seringai wajah, menggeretakkan gigi, dan hilangnya pembicaraan.
6) Sindrom Lesch-Nyhan
Sindrom Lesch-Nyhan adalah gangguan langka yang disebabkan oleh
defisiensi enzim yang terlibat di dalam metabolisme purin. Gangguan ini
terkait-X; pasien mengalami retardasi mental, mikrosefali, kejang,
koreoatetosis, dan spastisitas. Sindrom ini juga disertai mutilasi diri kompulsif
berat dengan menggigit mulut serta jari. Sindrom Lesch-Nyhan merupakan
contoh lain sindrom yang ditentukan secara genetik dengan pola perilaku yang
spesifik dan dapat diduga.
2. Faktor Perkembangan dan Faktor yang Didapat
6
a. Periode Pranatal
Infeksi meternal selama kehamilan, terutama infeksi virus, diketahui
menimbulkan kerusakan janin dan retardasi mental. Derajat kerusakan janin
bergantung pada berbagai variabel seperti jenis infeksi virus, usia gestasional
janin, dan keparahan penyakit.
1) Rubella (Campak Jerman)
Rubella telah menggantikan sifilis sebagai penyebab utama malformasi
kongenital dan retardasi mental yang disebabkan oleh infeksi maternal.
Anak dari ibu dengan infeksi ini dapat menunjukkan beberapa kelainan,
termasuk penyakit jantung kongenital, retardasi mental, katarak, tuli,
mikrosefali, dan mikroftalmia. Penentuan waktu sangatlah penting, karena
derajat dan frekuensi komplikasi berbanding terbalik dengan usia
kehamilan pada waktu infeksi maternal. Rubella maternal dapat dicegah
dengan imunisasi.
2) Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
Banyak janin dari ibu dengan AIDS tidak pernah mencapai usia cukup
bulan karena aborsi spontan atau lahir mati. Pada mereka yang dilahirkan
dan terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV), hingga setengahnyaa
mengalami ensefalopati progresif, retardasi mental, dan kejang dalam
tahun-tahun pertama kehidupan. Anak yang dilahirkan terinfeksi HIV
seringkali hanya dapat hidup beberapa tahun; meskipun demikian,
sebagian besar bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV, tidak
terinfeksi virus tersebut.
3) Sindrom Alkohol Janin
Sindrom alkohol janin mengakibatkan retardasi mental dan gambaran
fenotipik yang khas berupa dismorfisme wajah yang mencakup
hipertelorisme, mikrosefali, fisura palpebra yang pendek, lipatan
epikantus yang dalam, serta hidung yang pesek dan terdongak ke atas.
Anak yang memiliki sindrom ini sering mengalami gangguan belajar,
ADHD, dan retardasi mental tanpa dismorfisme wajah.
4) Pajanan Obat Pranatal
7
Pajanan pranatal terhadap opiat, seperti heroin, sering menghasilkan bayi
yang kecil untuk usia kehamilan, dengan lingkar kepala dibawah persentil
ke-10 dan gejala putus zat yang nyata dalam 2 hari pertama
kehidupannnya. Gejala putus zat pada bayi mencakup iritabilitas,
hipertonia, tremor, muntah, menangis dengan nada tinggi, serta pola tidur
abnormal. Kejang tidak lazim terjadi, tetapi sindrom putus zat dapat
mengancam nyawa bayi jika tidak di obati. Diazepam (Valium),
Phenobarbital (Luminal), chlorpromazine (Thorazine), dan paregoric telah
digunakan untuk menerapi putus zat opiat pada neonatus.
5) Komplikasi Kehamilan
Toksemia kehamilan dan diabetes maternal yang tidak terkontrol
membahayakan bagi janin dan kadang-kadang menimbulkan retardasi
mental. Malnutrisi maternal selama kehamilan sering menimbulkan
prematuritas dan komplikasi obstetris lain. Perdarahan vagina, plasenta
previa, pelepasan plasenta yang prematur, dan prolaps tali pusat dapat
merusak otak janin karena menimbulkan anoksia. Potensi efek teratogenik
agen farmakologis yang diberikan selama hamil telah dipublikasikan
secara luas setelah tragedi thalidomide (obat yang menyebabkan tingginya
persentase bayi cacat ketika diberikan kepada perempuan hamil).
Penggunaan lithium (Eskalith) selama kehamilan baru-baru ini dikaitkan
dengan beberapa malformasi kongenital, terutama sistem kardiovaskular
(cth., anomali Ebstein).
b. Periode Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi prematur dan bayi dengan berat
lahir rendah memilki resiko tinggi mengalami gangguan neurologis dan
intelektual yang nyata selama masa sekolah. Sejumlah studi baru-baru ini
mendokumentasikan bahwa di antara anak-anak dengan berat lahir sangat
rendah (kurang dari 1.000 gram), 20 persennnya ditemukan mengalami cacat
bermakna, termasuk palsi serebral, retardasi mental, autisme, dan intelegensi
rendah dengan masalah belajar yang berat.
8
1) Gangguan Masa Kanak-Kanak yang Didapat
Kadang-kadang, status perkembangan anak berubah secara dramatis
sebagai akibat penyakit spesifik atau trauma fisik. Dahulu, kadang-
kadang sulit untuk memastikan gambaran lengkap kemajuan
perkembangan anak sebelum adanya penyakit atau trauma, tetapi efek
merugikan pada perkembangan atau keterampilan anak terjadi
setelahnya.
2) Infeksi
Infeksi yang paling serius dan memengaruhi integritas otak adalah
ensefalitis dan meningitis. Sebagian besar episode ensefalitis disebabkan
oleh virus. Meningitis yang terlambat didiagnosis, bahkan jika kemudian
diikuti terapi antibiotik, dapat memengaruhi perkembangan kognitif anak
secara serius.
3) Trauma Kepala
Penyebab cedera kepala yang paling dikenal baik dan menimbulkan
kecacatan perkembangan, termasuk kejang, adalah kecelakaan kendaraan
bermotor, tetapi lebih banyak lagi cedera kepala yang disebabkan oleh
kecelakaan rumah tangga, seperti jatuh dari meja, dari jendela yang
terbuka, dan dari tangga. Penganiayaan anak juga merupakan penyebab
cedera kepala.
4) Masalah Lain
Salah satu penyebab kerusakan otak parsial adalah asfiksia akibat hampir
tenggelam. Pajanan jangka panjang terhadap timbal adalah penyebab
gangguan intelegensi dan keterampilan belajar yang telah ditetapkan.
Tumor intrakranial dengan berbagai jenis dan asalnya, pembedahan, dan
kemoterapi juga dapat merugikan fungsi otak.
5) Faktor Lingkungan dan Sosiolkultural
Retardasi ringan dapat terjadi sebagai akibat kekurangan gizi,
pengasuhan, serta stimulasi yang tepat secara bermakna. Anak yang
mengalami keadaan ini dapat mengalami kerusakan jangka panjang pada
perkembangan fisik dan emosinya. Lingkungan prenatal yang diganggu
oleh perawatan medis yang buruk dan gizi maternal yang buruk dapat
merupakan faktor yang turut berperan di dalam timbulnya retardasi
9
mental ringan. Kehamilan remaja merupakan faktor resiko dan disertai
komplikasi obstetrik, prematuritas, serta berat lahir rendah. Perawatan
medis pascalahir yang buruk, malnutrisi, pajanan zat toksik seperti
timbal, dan trauma fisik adalah faktor resiko retardasi mental ringan.
Ketidakstabilan keluarga, sering berpindah-pindah, dan jumlah pengasuh
yang banyak tetapi tidak memadai dapat megurangi hubungan emosional
yang penting pada bayi, menyebabkan gagal tumbuh serta potensi resiko
terhadap otak yang sedang berkembang. (Kaplan,2010).
2.3 MANIFESTASI KLINIS
Survei telah mengidentifikasi beberapa gambaran klinis yang terdapat dalam frekuensi
yang lebih besar pada orang dengan retardasi mental dibandingkan populasi umum.
Gambaran ini, yang dapat terjadi sendiri atau sebagai bagian dari gangguan mental,
termasuk hiperaktivitas, toleransi yang remdah terhadap frustasi, agresi, ketidakstabilan
afektif, perilaku motorik stereotipik berulang, dan berbagai perilaku mencederai diri
sendiri. Perilaku mencederai diri sendiri tampak lebih sering dan lebih intens pada
retardasi mental yang semakin berat. Penentuan apakah gambaran klinis ini merupakan
gangguan mental kormobid atau gejala sisa langsung keterbatasan perkembangan yang
terkait dengan retardasi mental sering sulit dilakukan. (Kaplan, 2010)
2.4 KLASIFIKASI
1. Retardasi Mental Ringan ( IQ 50-55 hingga 70 ).
Mereka tidak selalu dapat dibedakan dari anak-anak normal sebelum mulai
bersekolah. Di usia remaja akhir biasanya mereka dapat mempelajari keterampilan
akademik yang kurang lebih sama dengan dengan level kelas 6. Ketika dewasa
mereka mampu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan atau di
balai karya di rumah penampungan, meskipun mereka mungkin membutuhkan
bantuan dalam masalah sosial dan keuangan. Mereka bisa menikah dan mempunyai
anak.
2. Retardasi Mental Sedang ( IQ 35-40 hingga 50-55 ).
10
Orang-orang yang mengalami retardasi mental sedang dapat memiliki kelemahan fisik
dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik yang normal,
seperti memegang dan mewarnai di dalam garis, dan keterampilan motorik kasar,
seperti berlari dan memanjat. Mereka mampu dengan banyak bimbingan dan latihan,
bepergian sendiri di daerah lokal yang tidak asing bagi mereka.
3. Retardasi Mental Berat ( IQ 20-25 hingga 35-40 )
Orang-orang tersebut umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan
keterbatasan dalam pengendalian sensori motorik. Sebagian besar dimasukkan dalam
institusi penampungan dan membutuhkan bantuan dan supervisi terus-menerus.
Mereka hanya dapat melakukan sedikit aktivitas secara mandiri dan sering terlihat
lesu karena kerusakan otak mereka yang parah menjadikan mereka relatif pasif dan
kondisi kehidupan mereka hanya memberikan sedikit stimulasi.
4. Retardasi Mental Sangat Berat ( IQ di bawah 20-25 )
Hanya 1 hingga 2 persen dari mereka yang mengalami retardasi mental yang masuk
dalam kelompok retardasi mental sangat berat, yang membutuhkan supervisi total dan
sering kali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sabagian besar mereka memiliki
abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri
kemanapun. Tingkat kematian di masa kanak-kanak pada orang-orang yang
mengalami retardasi mental sangat berat dan sangat tinggi. (Davidson Gerald,2004).
2.5 KOMORBIDITAS
1) Prevalensi
Survei epidemiologis menunjukkan bahwa hingga dua pertiga anak dan orang dewasa
dengan retardasi mental memiliki gangguan mental kormobid; angka ini beberapa kali
lebih tinggi dibandingkan pada sampel komunitas yang tidak mengalami retardasi
mental. Prevalensi psikopatologi tampaknya terkait dengan derajat retardasi mental.
Studi epidemiologis terkini menemukan bahwa 40,7 persen anak berusia antara 4 dan
18 tahun yang memiliki disabilitas intelektual memenuhi kriteria sedikitnya satu
gangguan psikiatri. Keparahan retardasi berdampak kepada jenis gangguan psikiatri.
Mereka yang mengalami retardasi mental berat lebih kecil kemungkinannya untuk
menunjukkan gejala psikiatri.
2) Gangguan Neurologis
11
Didalam tinjauan terkini mengenai gangguan psikiatri pada anak dan remaja dengan
retardasi mental dan epilepsi, kira-kira sepertiganya juga memiliki gangguan autistik
atau keadaan mirip autistik. Kombinasi retardasi mental, epilepsi aktif, dan autisme
atau keadaan mirip autisitik terjadi 0,07 persen di dalam populasi umum.
3) Sindrom Genetik
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa sindrom berdasar genetik seperti fragile X
syndrome, sindrom prader-willi, dan sindrom Down terkait dengan manifestasi
perilaku spesifik yang komorbid. Orang dengan fragile X syndrome diketahui
memiliki angka gangguan defisit perhatian/hiperaktivitas (attention
deficit/hyperactivity disorder-ADHD) yang sangat tinggi (hingga tigaperempat dari
pasien yang diteliti). Tingginya perilaku interpersonal dan fungsi bahasa yang
menyimpang sering memenuhi kriteria gangguan autistik dan gangguan kepribadian
menghindar. Sindrom prader-willi hampir selalu disertai gangguan makan kompulsif,
hiperfagia, dan obesitas.
4) Sindrom Psikososial
Kesulitan komunikasi meningkatakan kerentanan orang dengan retardasi mental
terhadap perasaan frustasi dan canggung. Perilaku yang tidak sesuai, seperti penarikan
diri, lazim ditemukan. Perasaan terasing dan tidak mampu yang terus-menerus, telah
dikaitkan dengan perasaan ansietas, marah, disforia, dan depresi. (Kaplan, 2010).
2.6 CIRI PERKEMBANGAN ORANG DENGAN RETARDASI MENTAL
Derajat
Retardasi Mental
Usia Prasekolah (0-5)
Pematangan dan
Perkembangan
Usia Sekolah (6-20)
Pelatihan dan
Pendidikan
Dewasa (21 dan
Lebih) Kemampuan
Sosial dan
Keterampilan Kerja
Sangat berat Retardasi hebat;
kapasitas untuk
berfungsi di dalam
area sensori motorik
kecil; memerlukan
asuhan perawat;
memerlukan bantuan
terus-menerus dan
Terdapat sejumlah
perkembangan
motorik;dapat
berespon terhadap
pelatihan
kemandirian minimal
atau terbalas.
Terdapat sejumlah
perkembangan bicara
dan motorik; bisa
mencapai perawatan
diri yang sangat
terbatas;
membutuhkan asuhan
12
pengawasan. perawat
Berat Perkembangan
motorik buruk;
pembicaraan
minimal; umumnya
tidak bisa mengambil
manfaat dari
pelatihan
kemandirian;
keterampilan
komunikasi sedikit
atau tidak ada.
Dapat bicara atau
belajar
berkomunikasi; dapat
dilatih kebiasaan
kesehatan dasar; bisa
mengambil manfaat
dari pelatihan
kebiasaan yang
sistematik; tidak bisa
mengambil manfaat
dari pelatihan
kejujuran.
Dapat berpartisipasi
secara sebagian untuk
perawatan diri di
bawah pengawasan
menyeluruh; dapat
mengembangkan
keterampilan
pertahanan diri hinga
taraf kegunaan
minimal dalam
lingkungan yang
terpantau
Sedang Dapat bicara atau
belajar
berkomunikasi;
kewaspadaan sosial
buruk; perkembangan
motorik sedang; bisa
mengambil manfaat
dari pelatihan
kemandirian; dapat
ditatalaksana dengan
pengawasan sedang
Dapat mengambil
manfaat dari
pelatihan
keterampilan sosial
dan pekerjaan;
cenderung tidak
dapat mengikuti
materi akademik
lebih dari kelas dua,
dapat belajar
berpergian sendiri ke
tempat-tempat yang
dikenali
Bisa mencapai
perawatan diri di
dalam pekerjaan
tanpa keterampilan
atau semiterampil di
dalam tempat
pernaungan;
membutuhkan
pengawasan dan
petunujuk ketika
berada di dalam stres
sosial atau ekonomi
ringan
Ringan Bisa
mengembangkan
keterampilan sosial
dan komunikasi;
retardasi minimal
dalam area sensori-
motorik; sering tidak
Dapat mempelajari
keterampilan
akademik hingga
kira-kira kelas ensam
pada akhir untuk
masa remaja; dapat
diarahkan untuk
Biasanya dapat
mencapai
keterampilan sosial
dan kejuruan yang
cukup untuk
menyokong diri
sendiri secara
13
dapat dibedakan
dengan orang normal
sampai usia yang
lebih tua.
penyesuaian sosial minimal tetapi
membutuhkan
petunjuk dan bantuan
ketika berada di
bawah stress sosial
atau ekonomi yang
tidak biasa.
Diadaptasi dari Mental Retarded Activities of the U.S. Departement of Health, Education
and Welfare. Washington DC: US Government Printing Office; 1989: 2. Digunakan dengan
izin. Kriteria DSM-IV-TR pada dasarnya diadaptasi dari table ini. (Kaplan,2010).
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Menurut defenisi, retardasi mental harus dimulai sebelum usia 18 tahun. Beberapa
hendaya sensorik, terutam tuli dan buta, dapat dikelirukan dengan retardasi mental jika
selama uji tidak digunakan alat bantu. Defisit pembicaraan dan palsi serebral sering
membuat anak tampak mengalami retardasi, bahkan saat intelegensinya berada dalam
batas ambang atau normal. Jenis penyakit kronis dan melemahkan apapun dapat
menurunkan fungsi anak pada semua area. Gangguan konfulsif dapat memberikan kesan
adanya retardasi mental, terutama saat adanya kejang yang tidak terkontrol. Sindrom
otak kronis dapaat mengakibaatkan cacat tertentu-tidak dapat membaca (aleksia), tidak
dapat menulis (agrafia), tidak dapat berkomunikasi (afasia), dan beberapa cacat lain-
yang mungkin terdapat pada orang dengan intelegensi normal atau bahkan superior.
Anak dengan gangguan belajar, yang dapat terjadi bersamaan dengan retardasi mental,
mengalami keterlambatan atau kegagalan perkembangan pada area khusus seperti
membaca atau matematika, tetapi anak tersebut berkembang normal pada area lain.
Sebaliknya, anak dengan retardasi mental menunjukkan keterlambatan umum pada
sebagian besar area perkembangan.
Retardasi mental dan gangguan perkembangan pervasif sering terdapat bersamaan.
Karena tingkat fungsi mereka yang biasa saja, anak dengan perkembangan pervasif
memilki lebih banyak masalah dengan hubungan sosial dan mengalami penyimpangan
bahasa yang lebih dibandingkan anak yang mengalami retardasi mental.
Anak dibawah usia 18 tahun yang memenuhi kriteria diagnostik demensia dan
menunjukkan IQ kurang dari 70 diberikan diagnosis demensia dan retardasi mental.
14
Mereka yang IQ-nya turun hingga kurang dari 70 setelah usia 18 tahun dan yang memilki
onset baru gangguan kognitif tidak diberikan diagnosis retardasi mental tetapi hanya
diagnosis demensia. (Kaplan, 2010).
2.9 PENATALAKSANAAN
1) Terapi
Retardasi mental dikaitkan dengan berbagai gangguan psikiatri komorbid dan paling
sering membutuhkan berbagai dukungan psikososial. Terapi orang dengan retardasi
mental didasari pada penilaian akan kebutuhan sosial dan lingkungan serta perhatian
terhadap komorbidnya. Terapi optimal untuk keadaan yang dapat menyebabkan
retardasi mental adalah pencegahan primer, sekunder dan tersier.
a) Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan
atau mengurangi keadaan yang menimbulkan terjadinya gangguan yang terkait
dengan retardasi mental. Cara-caranya mencakup edukasi untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat umum dan kesadaran akan retardasi mental: upaya
professional kesehatan yang berkelanjutan untuk meyakinkan dan
memperbaiki kebijakan kesehatan: undang-undang untuk menyediakan
perawatan kesehatan anak dan ibu yang optimal: dan eradikasi gangguan yang
diketahui diakibatkan oleh kerusakan SSP.
b) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dan pengobatan dini keradangan otak,
perdarahan subdural, kraniostenosis (sutura tengkorak menutup terlalu cepat,
dapat dibuka dengan kraniotomi; pada mikrosefali yang kongenital, operasi
tidak menolong).
c) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus,
sebaiknya disekolah luar biasa. Dapat diberi neroleptika kepada yanag gelisah,
hiperaktif atau destruktif. Amphetamine dan kadang-kadang juga antihistamin
berguna juga pada hiperkinesa. Barbiturate kadang-kadang dapat menimbulkan
efek paradoxal dengan menambah kegelisahan dan ketegangan. Dapat dicoba
juga obat-obat yang memperbaiki mikrosirkulasi di otak (membuat masuknya
zat asam dan makanan dari darah ke sel-sel otak lebih mudah) atau yang
15
langsung memperbaiki metabolisme sel-sel otak, akan tetapi hasilnya, kalau
ada, tidak segera dapat dilihat. (Kaplan,2010).
Konseling pada orangtua dilakukan secara flexsibel dan pragmatis dengan
tujuan antara lain membantu mereka dalam mengatasi frustasi oleh karena
mempunyai anak dengan retardasi mental. Mereka sering perlu ditenangkan
dan sekaligus dianjurkan dengan mengatakan bahwa bukanlah salah mereka
bahwa anak ini menderita retardasi mental, tetapi adalah salah bila mereka
tidak mau berusaha untuk mengatasi keadaan anak itu. Karena orangtua sering
menghendaki anak itu diberi obat, dapat diberi penerangan bahwa sampai
sekarang belum ada obat yang dapat membantu pertukaran zat (metabolisme)
sel-sel otak, akan tetapi biarpun anak itu menelan obat semacam itu banyak dan
lama sekali (tidak mengganggu badan), ia tidak akan maju kalau ia tidak belajar
melalui latihan dan pendidikan.
Latihan dan Pendidikan.
Pendidikan anak dengan retardasi mental secara umum ialah:
a. Mempergunakan dan mengembangkan sebaik-baiknya kapasitas
yang ada.
b. Memperbaiki sifat-sifat yang salah atau yang antisosial.
c. Mengajarkan suatu keahlian (“Skill”) agar anak itu dapat mencari
nafkah kelak.
Latihan anak-anak ini lebih sukar daripada anak-anak biasa karena
perhatian mereka mudah sekali tertarik kepada hal-hal yang lain. Harus
diusahakan untuk mengikat perhatian mereka dengan merangsang
pancaindera, misalnya dengan alat permainan yang berwarna atau yang
berbunyi, dan semuanya harus konkrit, artinya dapat dilihat, didengar dan
diraba. Prinsip-prinsip ini yang mula-mula dipakai oleh Froebel dan
Pestalozzi, hingga sekarang masih digunakan ditaman kanak-kanak. Mereka
dipelajari membuat gedung-gedung, jembatan, menara dan sebagainya dengan
blok-blok, kemudian baru membaca, menulis dan berhitung. Selanjutnya
diberi pekerjaan yang praktis dan yang tidak memerlukan inteligensi yang
16
tinggi, seperti menjahit, membuat keranjang, membuat keset dan alat-alat dari
kayu (pertukangan kayu).
Latihan diberikan secara kronologis dan meliputi :
Latihan dirumah : Pelajaran-pelajaran mengenai makan sendiri, berpakaian
sendiri, kebersihan badan.
Latihan disekolah : Yang penting dalam hal ini ialah perkembangan rasa
sosial.
Latihan teknis : Diberikan sesuai dengan minat, jenis kelamin dan
kedudukan sosial. Pada pria umpamanya peternakan,
pertanian, pekerjaan administrasi, tukang sepatu, tukang
kayu, percetakan, penjahit, penatu dan sebagainya.
Latihan moral : Dari kecil anak harus diberitahukan apa yang baik dan apa
yang tidak baik. Agar ia mengerti maka tiap-tiap
pelanggaran disiplin perlu disertai dengan hukuman dan
tiap perbuatan yang baik perlu disertai hadiah. Hukuman
dapat berupa: dimarahi, tidak diberi makanan yang disukai,
larangan bermain untuk sementara waktu dan sebagainya.
Hadiah dapat berupa : kata-kata pujian, mainan, makanan
dan sebagainya.
Selanjutnya perhatian kita perlu juga dicurahkan pada lingkungan anak
tersebut; ayah, ibu dan orang-orang lain disekitarnya harus memberi contoh
yang baik. (Maramis,1995).
2) Edukasi Untuk Anak
Tatanan edukasi untuk anak yang mengalami retardasi mental harus mencakup
program komprehensif yang memberikan pelatihan keterampilan adaptif, pelatihan
keterampilan sosial, dan pelatihan kejujuran. Perhatian khusus harus difokuskan pada
komunikasi dan upaya untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Terapi kelompok
sering menjadi format yang berhasil asalkan anak dengan retardasi mental dapat
17
belajar dan mempraktikkan situasi kehidupan yang nyata dihipotesiskan dan
mendapatkan umpan balik yang mendukung.
3) Terapi Perilaku, Kognitif, dan Psikodinamik
Terapi perilaku telah digunakan selama beberapa tahun untuk membentuk dan
meningkatkan perilaku sosial serta untuk mengendalikan dan meminimalkan perilaku
agresif dan destruktif orang tersebut. Terapi kognitif, seperti menghilangkan
keyakinan yang salah serta latihan relaksasi dengan instruksi diri sendiri, telah
direkomendasikan untuk pasien retardasi mental yang dapat mengikuti perintah.
Terapi psikodinamik digunakan pada pasien dan keluarga nya untuk mengurangi
konflik mengenai pengharapan yang menimbulkan ansietas, kemarahan, dan depresi
yang menetap.
4) Edukasi Keluarga
Salah satu area yang paling penting yang dapat dilakukan klinisi adalah memberikan
edukasi kepada keluarga pasien dengan retardasi mental mengenai cara untuk
meningkatkan kompetensi dan harga diri sambil mempertahankan pengharapan yang
realistik untuk pasien. Orang tua bisa mendapatkan keuntungan dari konseling yang
berkelanjutan atau terapi keluarga dan harus diberikan kesempatan untuk
mengekspresikan perasaan bersalah, putus asa, sedih, penyesalan berulang, dan
kemarahan terhadap gangguan serta masa depan anaknya. Psikiater harus siap untuk
memberikan orang tua semua dasar dan informasi medis terkini mengenai penyebab,
terapi, dan area terkait lainnya (seperti pelatihan khusus dan perbaikan defek
sensorik).
5) Intervensi Sosial
Olimpiade khusus international adalah program olah raga rekreasional yang dibuat
untuk populasi ini. Disamping menyediakan forum untuk mengembangkan kebugaran
fisik, olimpiade khusus juga meningkatkan interaksi sosial, persahabatan, dan
diharapkan, harga diri umum.
6) Farmakologi
Pendekatan farmakologis untuk terapi gangguan mental komorbid pada pasien dengan
retardasi mental sama untuk pasien tanpa retardasi mental. Semakin banyak data yang
menyokong penggunaaan berbagai obat psikotropik untuk pasien dengan gangguan
jiwa dan juga retardasi mental. (kaplan,2010).
18
2.10 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Diagnosis retardasi mental dapat ditegakkan setelah anamnesis, penilaian intelektual
standar, dan pengukuran fungsi adaptif menunjukkan bahwa perilaku anak saat ini secara
signifikan berada dibawah tingkat yang diharapkan. Diagnosis ini sendiri tidak merinci
penyebab atau prognosis. Uji laboratorium dapat digunakan untuk mengetahui penyebab
serta prognosis.
a. Anamnesis
Anamnesis paling sering diambil dari orang tua atau pengasuh, dengan perhatian
khusus terhadap kehamilan ibu, dan persalinan; adanya riwayat keluarga dengan
retardasi mental; orang tua dengan perkawinan sedarah; dan ganggun herediter.
Sebagai bagian dari anamnesis, klinisi menilai keseluruhan tingkat fungsi dan
kapasitas intelektual orang tua serta iklim emosional di dalam rumah.
b. Wawancara Psikiatrik
Dua faktor yang sangat penting ketika mewawancarai pasien: sikap pewawancara
dan cara berkomunikasi dengan pasien. Pewawancara tidak boleh terarahkan oleh
usia mental pasien, karena tidak dapat secara utuh mencirikan orang tersebut.
Kemampuan verbal pasien, termasuk bahasa reseptif dan ekspresif, harus
dinilai sesegera mungkin, dengan mengamati komunikasi verbal dan nonverbal
antara pemberi perawatan pasien serta dengan melakukan anamnesis. Pertanyaan
yang mengarahkan harus dihindari karena orang dengan retardasi dapat mudah
tersugesti dan ingin menyenangkan orang ain. Pengarahan dan struktur yng
samar-samar, serta penguatan mungkin perlu untuk membuat mereka tetap berada
di dalam topik atau tugasnya.
Secara umum, pemeriksaan psikiatrik pada pasien dengan retardasi harus
mengungkapkan bagaimana pasien menghadapi tahap-tahap perkembangan.
c. Pemeriksaan Fisis
Bagian tubuh yang berbeda-beda mungkin memiliki ciri khas tertentu yang
dihasilkan penyebab prenatal dan lazim ditemukan pada orang dengan retardasi
mental. Selama pemeriksaan, klinisi harus mengingat bahwa anak dengan
retardasi mental, terutama mereka dengan masalah perilaku terkait, memiliki
peningkatan resiko mengalami penganiayaan anak.
d. Pemeriksaan Neurologis
19
Rontgen tengkorak biasanya dilakukan secara rutin tetapi hanya memberikan
kejelasan pada relatif sedikit keadaan, seperti kraniosinostosis, hidrosefalus, dan
gangguan lain yang mengakibatkaan kalsifikasi intrakranial (contohnya
toksoplasmosis, sklerosis tuberose, angiomatosis serebral, dan
hipoparatiroidisme). Pemindaian computed tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI) telah menjadi alat yang penting untuk mengungkap
patologi sistem saraf pusat (SSP) yang terkait retardasi mental. Temuan berupa
hidrosefalus internal, atrofi korteks, atau porensefali yang kadang-kadang
ditemukan pada anak dengan retardasi mental berat dan dengan kerusakan otak
tidak di anggap penting untuk gambaran umum.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium yang digunakan untuk menjelaskan penyebab retardasi mental
mencakup analisis kromosom, tes urine dan darah untuk gangguan metabolik,
serta pencitraan saraf. Kelainan kromosom merupakan satu-satunya penyebab
retardasi mental yang paling lazim ditemukan pada orang yang penyebab
retardasinya dapat diidentifikasi.
f. Studi Kromosom
Penentuan kariotipe di dalam laboratorium genetik dipertimbangkan setiap kali
kecurigaan adanya gangguan kromososm atau ketika penyebab retardasi mental
tidak teridentifikasi.
Amniosentesis, yaitu sejumlah kecil cairan amnion diambil dari rongga amnion
transabdominal pada kira-kira usia kehamilan 15 minggu, berguna di dalam
mendiagnosis kelainan kromosom prenatal. Amniosentesis sering
dipertimbangkan jika terdapat resiko janin yang meningkat untuk sindrom Down,
seperti meningkatnya usia maternal. Banyak gangguan herediter serius dapat di
perkirakan dengan amniosentesis, dan harus dipertimbangkan pada perempuan
hamil berusia diatas 35 tahun.
Chronic villi sampling (CVS) adalah teknik penapisan untuk menentukan
kelainan kromosom janin. Jika hasilnya abnormal, keputusan untuk mengakhiri
kehamilan dapat di ambil dalam trimester pertama.
g. Analisis Darah dan Urine
Sindrom Lesch-Nyhan, galaktosemia, PKU, sindrom Hurler, dan sindrom Hunter
merupakan contoh gangguan yang mencakup retardasi mental dan dapat
20
diidentifikasi melalui analisis enzim yang sesuai atau asam amino maupun
organik. Kelainan enzim di dalam gangguan kromosom, terutama sindrom Down,
menjanjikan untuk menjadi alat diagnostik yang berguna. Kelainan pertumbuhan
yang tidak dapat dijelaskan, gangguan kejang, tonus otot yang buruk, ataksia,
kelainan tulang atau kulit, dan kelainan mata adalah beberapa indikasi untuk
dilakukannya uji fungsi metabolik.
h. Penilaian Psikologis
Uji psikologis yang dilakukan oleh psikolog berpengalaman, merupakan bagian
dari evaluasi standar untuk retardasi mental. Skala Gesell dan Bayley serta catell
infant intelligence scale adalah yang paling sering digunakan pada bayi. Untuk
anak, Stanford Binet Intelligence Scale dan Wechsler Intelligence Scale for
Children edisi ketiga (WISC-III) adalah yang paling luas digunakan di amerika
serikat.
No Diagnosa Keperawatan Intervensi
1 Resiko cedera Untuk memastikan keamanan
klien.
a. Ciptakan lingkungan yang aman
bagi klien. Singkirkan benda-
benda kecil dari area yang akan
dilalui dan jauhkan benda-
benda tajam dari jangkauan
klien.
b. Letakkan benda-benda yang
sering kali digunakan klien
ditempat yang mudah
dijangkau.
c. Lapis pagar tempat tidur dan
kepala tempat tidur klien
dengan riwayat kejang.
21
d. Cegah serangan fisik daan unjuk
laku (acting out) dengan
mengenali tanda-tanda klien
mulai aagitasi.
Tujuan :
Klien tidak akan mengalami
cedera.
Kriteria hasil :
1. Klien tidak mengalami bahaya
fisik.
2. Klien berespons terhadap upaya
pencegahan perilaku agitasi.
2 Defisit Perawatan Diri Tujuan jangka pendek :
1. klien akan dapat berpartisipasi
dalam aspek-aspek perawatan diri.
Tujuan jangka panjang :
1. semua kebutuhan perawatan diri
klien terpenuhi.
Intervensi:
1. identifikasi aspek perawatan diri
yang dapat dilakukan oleh klien.
Ajarkan satu aspek perawatan diri
pada satu waktu. Berikan
penjelasan yang singkat dan
konkret. Karena kemampuan klien
sangat bervariasi tingkatannya,
penting untuk mengenali masing-
masing kemampuan serta
22
memastikan bahwa klien tidak
mengalami kegagalan.
2. beri umpan balik positif untuk
usaha yang dilakukan ketika
membantu perawatan dirinya
sendiri. Penguatan positif
meningkatkan rasa percaya diri dan
mendorong pengulangan perilaku
yang diharapkan.
3. ketika satu aspek perawtan diri
telah dikuasai semaksimal mungki
lanjutkan pada aspek lain. Dorong
kemandirian, namun lakukan
intervensi apabila klien tidak
mampu melakukannya.
Kenyamanan dan keamanaan klien
adalah prioritas keperawatan.
Criteria hasil :
1. klien melakukan aktivitas
perawatan diri semampunya.
2. kebutuhan perawatan diri klien
terpenuhi.
3 Hambatan Komunikasi Verbal Tujuan jangka pendek:
1. klien akan membina rasa
percaya dengan pemberi asauhan
dan mengembangkan cara untuk
mengomunikasikan kebutuhan.
Tujuan jangka panjang:
1. kebutuhan klien terpenuhi
melalui cara komunikasi yang
dikembangkan.
2. jika klien tidak dapat
23
berbicara/berkomunikasi dengan
cara lain, kebutuhan klien dipenuhi
oleh pemberi asuhan dengan
mengantisipasi kebutuhan klien.
Intervensi:
1. pertahankan konsistensi staf
yang ditugaskan selama ini. Hal ini
memfasilitasi rasa percaya serta
kemampuan untuk memahami
tindakan dan komunikasi klien.
2. penuhi dan antisipasi kebutuhan
klien hingga terbina pola
komunikasi yeng memuaskan.
Pelajari (dari keluarga, jika
memungkinkan) kata-kata khusus
yang digunaka klien yang berbeda
dari normal.
3. identifikasi sikap atau sinyal
nonverbal yang mungkin
digunakan klien untuk
menyampaikan kebutuhan apabila
komunikasi verbal tidak ada. Latih
keterampilan komunikasi tersebut
terus menerus. Beberapa anak
retardasi mental, khususnya pada
tingkat berat dapat belajar hanya
melalui pelatihan kebiasaan
sistematis.
Criteria hasil:
1. klien mampu berkomunikasi
24
dengan pemberi asuhan yang tetap.
2. (bagi klien yang tidak mampu
berkomunikasi) : kebutuhan klien,
sebagaiman yang diantisipasi oleh
pemberi asuhan, terpenuhi.
4 Hambatan Interaksi Sosial Tujuan jangka pendek:
1. klien akan mencoba berinteraksi
dengan orang lain pada saat
ditemani oleh pemberi asuhan yang
dipercaya.
Tujuan jangka panjang:
1. klien akan mampu berinteraksi
dengan orang lain menggunakan
perilaku yang dapat diterima secara
social serta sesuai dengan tingkat
perkembangan.
Intervensi:
1. temani klien selama interaksi
pertama dengan orang lain di unit.
Kehadiran orang yeng dipercaya
memberikan rasa aman.
2. jelaskan kepada klien lain
tentang makna dibalik beberapa
sikap dan sinyal nonverbal klien.
Orang lain akan lebih menerima
bahwa klien berbeda apabila
mereka lebih memahami perilaku
klien.
3. gunakan bahasa sederhana untuk
menjelaskan kepada klien perilaku
yang dapat diterima dan tidak
dapat diterima. Susun suatu
25
prosedur modifikasi perilaku yang
memberikan penghargaan atas
perilaku sesuai dan memberikan
penguatan aversi sebagai respons
terhadap pengunaan perilaku yang
tidak sesuai. Penguatan positif,
negative, dan aversi dapat berperan
dalam perubahan perilaku yang
diharapkan. Hak-hak istimewa dan
hukuman ditetapkan secara pribadi
saat staf mempelajari kesukaan dan
ketidaksukaan klien.
Criteria hasil :
1. klien berinteraksi dengan orang
lain dalam cara yang tepat secara
social.
BAB III
PENUTUP
26
3.1 Kesimpulan
Retardasi mental ialah keadaan dengan inteligensi yang kurang (subnormal) sejak masa
perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan
mental yang kurang secara keseluruhan (seperti juga pada demensia), tetapi gejala utama
(yang menonjol) ialah intelegensi yang terbelakang.
Faktor etiologis retardasi mental terutama dapat berupa genetik, perkembangan,
didapat, atau kombinasi berbagai faktor. Penyebab genetik meliputi kondisi kromosomal
dan diwariskan; faktor perkembangan mencakup perubahan kromosom seperti trisomi
atau pajanan pranatal terhadap infeksi dan toksin; dan sindrom yang didapat mencakup
trauma perinatal (seperti prematuritas) dan faktor sosiokultural. Di antara gangguan
metabolik dan kromosom, sindrom Down, fragile X syndrome, dan fenilketonuria (PKU)
adalah gangguan tersering yang biasanya menghasilkan sedikitnya retardasi mental
sedang.
3.2 Saran
Kami sebagai penulis dalam pembuatan makalah ini menyadari masih banyak kekurangan
dan ketidaksempurnaan maka perkenankan kami untuk meminta kepada pembaca agar
dapat memberikan kritik atau sarannya untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Maramis, W.F. 1995. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
27
Kaplan, J.B., & Sadock T.C. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2, Jakarta: EGC.
Davidson Gerald C. Neille, ANN M. Kring. 2004. Psikologi abnormal. Edisi ke-9: Rajawali Press.
28