mengapa bom bunuh diri 2005 - website staff...

3
MENGAPA BOM BUNUH DIRI? Evie Nurlyta Hafiyah Staf Pengajar Psikologi UI Siapa yang tidak membenci Bush? Kalaulah tidak semua orang membencinya, pastilah ada banyak sekali yang tidak menyukai sepak terjang Bush yang berwatak agresor. VCD pelaku bom bunuh diri menjelaskan bahwa motif utama mereka adalah menunjukkan perlawanan terhadap kekuasaan Bush. Tetap, pengakuan yang diberikan oleh ketiga pelaku Bom Bali II membuat kita terhenyak. Bukan karena kita tidak pernah menduga apa kiranya alasan bom bunuh diri dilakukan sebagai sebuah pilihan mereka untuk menunjukkan perlawanan, tapi karena dugaan kita selama ini benar: Mereka melakukannya karena mereka percaya tindakannya benar, mulia, dan dijamin surga. Dugaan-dugaan ini sudah ada di kepala kita sedari negeri ini dilanda oleh aksi- aksi teror atas nama jihad. Adalah pengakuan yang terekam itu yang membuat kita terhenyak penasaran: Apa yang sesungguhnya yang terjadi pada mereka? Banyak orang di belahan dunia ini—bukan hanya orang Islam saja di Indonesia— yang juga tidak menyukai sepak terjang Amerika dan membenci pemerintahan Bush. Maradona, misalnya, menyuarakan ketidaksukaannya terhadap Bush di media; Lebih gila lagi Presiden Venezuela memimpin demonstrasi rakyatnya menunjukkan penolakan terhadap Amerika. ’Keberanian’ apa yang merasuki benak dan hati para pemuda itu? Apa yang terjadi pada diri mereka? Proses diri yang bagaimana yang memunculkan sikap dan pilihan hidup demikian? Bunuh Diri = Keputusasaan Kronis Tingkah laku bunuh diri pada hakikatnya merupakan sebuah kondisi keputusasaan yang kronis. Ini berlaku bagi bunuh diri secara umum. Orang yang membunuh dirinya sendiri merasa tak ada harapan dalam hidupnya (hopeless), apakah harapan terhadap dirinya sendiri atau harapan terhadap kehidupan dunia di sekelilingnya. Jelas, harapan adalah satu imajinasi positif yang memotivasi manusia untuk bertahan dan berusaha untuk terus hidup. Saat manusia kehilangan harapan, ia menjadi manusia lemah—bahkan terlemah—karena dunia dengan segala kompleksitasnya menjadi terlalu berat untuk dipikul dan diterima sebagai suatu realitas. Memiliki harapan hidup berarti memiliki tujuan hidup, dan dengan demikian menjadikan hidup bermakna (Frankl, 1968). Hidup tanpa harapan adalah hidup tak bertujuan—atau kehilangan tujuan—dan hidup yang demikian tak bisa lagi memberikan makna bagi seseorang akan arti kehadirannya di dunia. Sejak manusia adalah makhluk yang tidak hanya merasakan pahit-manisnya kehidupan, tapi juga senantiasa menghayati atas rasa pahit-manisnya kehidupan itu, maka bisa dipastikan bahwa ketidakbermaknaan hidup akan membuat dirinya merasa sangat kecil, tidak berharga, hinggs pada akhirnya melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup, atau membiarkan sesuatu yang buruk terjadi agar bisa meninggalkan kehidupan yang pahit. Di sini, muncullah pikiran-pikiran dan intensi bunuh diri, bahwa kematian jauh lebih baik daripada kehidupan, bahwa mati menjadi solusi bagi kesulitan dan kompleksitas dunia, juga bahwa

Upload: hakhuong

Post on 23-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENGAPA BOM BUNUH DIRI 2005 - Website Staff UIstaff.ui.ac.id/.../nurlyta.hafiyah/material/nurlyta-bombunuhdiri.pdf · MENGAPA BOM BUNUH DIRI? Evie Nurlyta Hafiyah Staf Pengajar Psikologi

MENGAPA BOM BUNUH DIRI? Evie Nurlyta Hafiyah

Staf Pengajar Psikologi UI Siapa yang tidak membenci Bush? Kalaulah tidak semua orang membencinya, pastilah ada banyak sekali yang tidak menyukai sepak terjang Bush yang berwatak agresor. VCD pelaku bom bunuh diri menjelaskan bahwa motif utama mereka adalah menunjukkan perlawanan terhadap kekuasaan Bush. Tetap, pengakuan yang diberikan oleh ketiga pelaku Bom Bali II membuat kita terhenyak. Bukan karena kita tidak pernah menduga apa kiranya alasan bom bunuh diri dilakukan sebagai sebuah pilihan mereka untuk menunjukkan perlawanan, tapi karena dugaan kita selama ini benar: Mereka melakukannya karena mereka percaya tindakannya benar, mulia, dan dijamin surga. Dugaan-dugaan ini sudah ada di kepala kita sedari negeri ini dilanda oleh aksi-aksi teror atas nama jihad. Adalah pengakuan yang terekam itu yang membuat kita terhenyak penasaran: Apa yang sesungguhnya yang terjadi pada mereka? Banyak orang di belahan dunia ini—bukan hanya orang Islam saja di Indonesia—yang juga tidak menyukai sepak terjang Amerika dan membenci pemerintahan Bush. Maradona, misalnya, menyuarakan ketidaksukaannya terhadap Bush di media; Lebih gila lagi Presiden Venezuela memimpin demonstrasi rakyatnya menunjukkan penolakan terhadap Amerika. ’Keberanian’ apa yang merasuki benak dan hati para pemuda itu? Apa yang terjadi pada diri mereka? Proses diri yang bagaimana yang memunculkan sikap dan pilihan hidup demikian? Bunuh Diri = Keputusasaan Kronis Tingkah laku bunuh diri pada hakikatnya merupakan sebuah kondisi keputusasaan yang kronis. Ini berlaku bagi bunuh diri secara umum. Orang yang membunuh dirinya sendiri merasa tak ada harapan dalam hidupnya (hopeless), apakah harapan terhadap dirinya sendiri atau harapan terhadap kehidupan dunia di sekelilingnya. Jelas, harapan adalah satu imajinasi positif yang memotivasi manusia untuk bertahan dan berusaha untuk terus hidup. Saat manusia kehilangan harapan, ia menjadi manusia lemah—bahkan terlemah—karena dunia dengan segala kompleksitasnya menjadi terlalu berat untuk dipikul dan diterima sebagai suatu realitas. Memiliki harapan hidup berarti memiliki tujuan hidup, dan dengan demikian menjadikan hidup bermakna (Frankl, 1968). Hidup tanpa harapan adalah hidup tak bertujuan—atau kehilangan tujuan—dan hidup yang demikian tak bisa lagi memberikan makna bagi seseorang akan arti kehadirannya di dunia. Sejak manusia adalah makhluk yang tidak hanya merasakan pahit-manisnya kehidupan, tapi juga senantiasa menghayati atas rasa pahit-manisnya kehidupan itu, maka bisa dipastikan bahwa ketidakbermaknaan hidup akan membuat dirinya merasa sangat kecil, tidak berharga, hinggs pada akhirnya melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup, atau membiarkan sesuatu yang buruk terjadi agar bisa meninggalkan kehidupan yang pahit. Di sini, muncullah pikiran-pikiran dan intensi bunuh diri, bahwa kematian jauh lebih baik daripada kehidupan, bahwa mati menjadi solusi bagi kesulitan dan kompleksitas dunia, juga bahwa

Page 2: MENGAPA BOM BUNUH DIRI 2005 - Website Staff UIstaff.ui.ac.id/.../nurlyta.hafiyah/material/nurlyta-bombunuhdiri.pdf · MENGAPA BOM BUNUH DIRI? Evie Nurlyta Hafiyah Staf Pengajar Psikologi

kematian bukan sesuatu yang menyakitkan, tapi justru menghilangkan kesakitan. Intensi atau niatan demikian sebenarnya bukan sesuatu yang berlawanan dengan nature manusia. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisa, telah menjelaskan bahwa manusia memiliki dua insting: insting hidup (eros) dan insting mati (tanatos). Insting hidup akan membawa manusia untuk selalu melindungi diri (preservasi) dan membela diri (defence). Insting mati membawa manusia pada perusakan diri, tindakan-tindakan yang menghancurkan, menyakiti dan merugikan diri. Di antara kedua insting tersebut, insting kehidupanlah yang lebih menguasai manusia, hingga terciptalah masyarakat dengan norma-nilai-budayanya, bahkan peradaban manusia dalam arti luas. Dalam struktur kepribadian, dorongan untuk hidup mesti lebih kuat pada orang-orang dengan ego yang mantap. Hal ini mutlak karena ego adalah inti diri (self) individu, dengan pengertian yang sebenarnya menjadi diri sendiri, dan berupa kendali dari dua elemen lain kepribadian yang bernama id dan superego. Id atau dorongan-dorongan dasar menuntut pemuasan segera, seperti makan, minum, dan seks. Sementara superego adalah nilai-nilai yang diintroyeksikan oleh orang-orang di sekeliling, menuntut kesempurnaan sehingga menjadi hati nurani atau diri ideal dalam kepribadian manusia. Bisa dikatakan bahwa superego lebih berupa harapan-harapan yang diinginkan oleh dunia eksternal terhadap diri seseorang. Dalam kasus bom bunuh diri, keyakinan menjadi martir melawan ’musuh’ dengan mengorbankan diri sesungguhnya berasal dari desakan superego. Keinginan kuat melakukan itu dengan keyakinan tindakan saya ’benar-mulia-bernilai surga’ dilatarbelakangi oleh sumber nilai di luar diri pelaku, utamanya tokoh yang memiliki kewibawaan-kekuatan di matanya dengan argumentasi meyakinkan. Mesti ada satu masa dimana pelaku merasa bimbang atau tidak yakin atas tindakan yang akan dilakukan. Kebimbangan itu sesungguhnya adalah upaya ego untuk mengambil-alih diri yang lebih dikuasai superego. Upaya ini bisa ditanggapi sebagai sebuah ketakutan, pertanyaan hati nurani, atau apapun yang mempertanyakan niatan pelaku. Lebih lanjut, dalam pertentangan antara ego dan superego, keduanya akan saling merebut tali kekang diri, sayangnya superego-lah yang berhasil, ia masuk dengan dalil-dalil agama yang diyakini kebenaran-kesahihannya berasal dari kitab suci atau semacamnya untuk kemudian menguatkan intensi pelaku untuk melakukan bom bunuh diri. Di sinilah letak kelemahan diri para pelaku tersebut. Mereka adalah pemuda yang sangat dikuasai oleh superego, sehingga mengabaikan keraguan dirinya sendiri. Ego mereka tidak mantap, dan ketiadaan kemampuan sekelompok pemuda itu untuk menguatkan egonya saat keraguan datang adalah indikasi bahwa mereka lemah secara personal. Jelas, keraguan dalam mempertanyakan tindakan bukanlah pertanda bahwa anda, saya, atau siapapun adalah seorang yang lemah, tapi justru mekanisme di dalam diri kita untuk evaluasi-introspeksi diri. Anda punya keraguan terhadap sesuatu itu sehat, kecuali bila intensitas dan frekuensinya terlalu kuat, maka itu berarti anda diragukan sebagai pribadi yang kuat.

Page 3: MENGAPA BOM BUNUH DIRI 2005 - Website Staff UIstaff.ui.ac.id/.../nurlyta.hafiyah/material/nurlyta-bombunuhdiri.pdf · MENGAPA BOM BUNUH DIRI? Evie Nurlyta Hafiyah Staf Pengajar Psikologi

Motif Perlawanan Apa sikap anda terhadap pengakuan para pelaku Bom Bali II dalam VCD yang menghebohkan itu? Setuju, tidak setuju, atau tidak bisa menentukan sikap? Anda mungkin akan mengatakan, ”Saya setuju pada perlawanan mereka terhadap Bush, tapi saya tidak bisa mengamini bom bunuh diri yang salah tempat-sasaran.” Apapun yang akan anda katakan, pernyataan yang terakhir ini pasti banyak diakui oleh kelompok masyarakat yang sadar akan watak agresor pemerintahan Bush. Pernyataan mirip dengan ini pula yang keluar dari mulut ayahanda Dr.Azahari. Lalu, jika dan hanya jika banyak orang sepakat pada ide perlawanan itu, mengapa hanya kelompok kecil yang merealisasikan ide tersebut ke dalam tindakan yang ’luar biasa’? Segala tindakan muncul dari keunikan individu. Satu keunikan yang dipaparkan di atas berkenaan dengan tindakan bunuh diri adalah superioritas superego dalam kendali diri. Adakah keunikan lain yang bisa menjelaskan mengapa hanya sedikit orang melakukan hal tersebut? Menurut Freud, misalnya, keunikan itu adalah frustasi. Anda mungkin sebal sekali terhadap Bush, tapi apakah kesebalan anda sudah sampai pada taraf frustasi? Para pemuda pelaku bom Bali dengan motif perlawanan itu jelas sangat sebal-benci (hostility feeling) kepada Amerika dkk, dan luar biasa kesal terhadap penguasaan Amerika di kehidupan masa kini dalam aspek yang luas. Perasaan hostilitas itu bermetamorfosa menjadi frustasi saat Amerika di bawah komando Bush menyerang negara-negara Islam dan ’kaya’ seperti Afganistan dan Irak. Keunikan lain individu agresif dan berkepribadian otoriter adalah dukungan terhadap doktrin-doktrin kaku bukan karena rational self-interest, tapi karena ada kebutuhan emosional (Adorno dkk, 1950). Bukan karena argumentasi logis, tapi karena ada keinginan dan rasa takut yang berjalin tumpang-tindih. Kebutuhan emosional bagi para pelaku Bom Bali tersebut jelas adalah kebutuhan untuk melawan. Melawan tidak lagi sekadar motif, tapi sudah menjadi kebutuhan bagi diri. Di situ, perlawanan berfungsi sebagai cara untuk menunjukkan kemarahan dan hostilitas. Masalahnya kemudian, mengapa orang-orang sipil dan tempat publik yang menjadi sasaran dan target? Anda boleh bilang, ”Bush is too difficult to be fought.” Sebenarnya, bukan cuma itu. Adalah memang target tingkah laku bom bunuh diri untuk pengalihan (displacement) dorongan agresi yang dimiliki pelaku. Pengalihan bukan membuka kebuntuan akan sukarnya melawan ’musuh’, tapi tepatnya membantu menyalurkan dorongan agresi yang meliputi diri, apakah karena frustasi, hopeless, atau kondisi-kondisi sosial yang tidak menyenangkan, seperti kemiskinan dan penindasan. Pendek kata, para pelaku bom Bali adalah pribadi yang otoriter, egonya lemah, sementara superego kaku dan rigid, pilihan sikap sosial-politik pun sangat konservatif, terlalu memuja tokoh yang dihormati, dan cenderung mencurigai perbedaan-penyimpangan dari aturan moralnya yang tradisional. Anda mungkin membenci Amerika, tapi kepribadian anda tidak otoriter. Karenanya, anda bisa mencari pilihan lain untuk mengekspresikan atau tidak sikap anda tersebut. Tentu, selain kekerasan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. []