bunuh diri dalam pandangan islam (novilia)

46
Bunuh diri dalam Pandangan Islam Bagaimana Islam memandang tindakan bunuh diri? Prinsip mengambil nyawa adalah sama, baik nyawa orang lain maupun nyawa diri sendiri. Nyawa atau kehidupan bukanlah milik kita, melainkan diciptakan atau dijadikan dengan maksud dan tujuan. Hanya Sang Penciptalah yang mempinyai keputusan akhir dalam perkara ini, apakah Dia akan memanggil Kembali seseorang kepada- Nya atau tidak memanggilnya. Jadi kita bukanlah pemilik dari nyawa. Azaz ini adalah prinsip yang sangat luas dan agung yang tidak boleh dilanggar, karena akhirnya akan menimbulkan kekacauan jika tidak diperhatikan. Nyawa anak kita, nyawa istri kita, ataupun nyawa keluarga-keluarga terdekat kita, semuanya dipercayakan kepada kita dan itu tidak boleh dilanggar. Oleh karena itulah Alquran menekankan perlunya membaca "bismillah Allahu Akbar" sebelum menyembelih hewan. Hal itu mengingatkan kita bahwa kita tidak mempunyai hak atas nyawa dalam bentuk apapun juga., bukan sja mengenai nyawa manusia yang dipertanyakan itu, semua nyawa di-sertifikasi oleh Tuhan, kecuali nyawa hewan yang Dia berikan sebagai karunia bagi kita yang bisa diambil utk keperluan makan. Bahkan sikap membuang-buang makanan dari hewan secara mubazir tidak diizinkan oleh Islam, yang untuk itu kita harus mempunyai cukup alasan yang baik. Dimana nyawa kehidupan yang mempunyai tingkatan lebih tinggi tidak dapat dikorbankan untuk keperluan kehidupan yang bertingkatan lebih rendah, tetapi apa yang mempunyai tingkatan lebih rendah dapat dikorbankan untuk yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi. Jadi bunuh diri hanyalah salah satu titik sudut saja dari seluruh pola rencana kehidupan. (Mirza Tahir Ahmad) “Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam” Bunuh Diri

Upload: novilia-eka-sari

Post on 30-Jan-2016

46 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

novi

TRANSCRIPT

Page 1: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

Bunuh diri dalam Pandangan Islam

Bagaimana Islam memandang tindakan bunuh diri?

Prinsip mengambil nyawa adalah sama, baik nyawa orang lain maupun nyawa diri sendiri. Nyawa atau kehidupan bukanlah milik kita, melainkan diciptakan atau dijadikan dengan maksud dan tujuan. Hanya Sang Penciptalah yang mempinyai keputusan akhir dalam perkara ini, apakah Dia akan memanggil Kembali seseorang kepada-Nya atau tidak memanggilnya. Jadi kita bukanlah pemilik dari nyawa.

Azaz ini adalah prinsip yang sangat luas dan agung yang tidak boleh dilanggar, karena akhirnya akan menimbulkan kekacauan jika tidak diperhatikan. Nyawa anak kita, nyawa istri kita, ataupun nyawa keluarga-keluarga terdekat kita, semuanya dipercayakan kepada kita dan itu tidak boleh dilanggar.

Oleh karena itulah Alquran menekankan perlunya membaca "bismillah Allahu Akbar" sebelum menyembelih hewan. Hal itu mengingatkan kita bahwa kita tidak mempunyai hak atas nyawa dalam bentuk apapun juga., bukan sja mengenai nyawa manusia yang dipertanyakan itu, semua nyawa di-sertifikasi oleh Tuhan, kecuali nyawa hewan yang Dia berikan sebagai karunia bagi kita yang bisa diambil utk keperluan makan. Bahkan sikap membuang-buang makanan dari hewan secara mubazir tidak diizinkan oleh Islam, yang untuk itu kita harus mempunyai cukup alasan yang baik.

Dimana nyawa kehidupan yang mempunyai tingkatan lebih tinggi tidak dapat dikorbankan untuk keperluan kehidupan yang bertingkatan lebih rendah, tetapi apa yang mempunyai tingkatan lebih rendah dapat dikorbankan untuk yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi. Jadi bunuh diri hanyalah salah satu titik sudut saja dari seluruh pola rencana kehidupan.

(Mirza Tahir Ahmad)

  “Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam” Bunuh Diri adalah tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuanaktif orang lain. Alasan atau motif bunuh diri bermacam-macam, namunbiasanya didasari oleh rasa bersalah yang sangat besar, karena merasagagal untuk mencapai sesuatu harapan. Motif Bunuh DiriPada dasarnya, segala sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat (iniadalah sistematika). Dalam hubungan sebab akibat ini akan menghasilkansuatu alasan atau sebab tindakan yang disebut motif.Motif bunuh diri ada banyak macamnya. Disini penyusun menggolongkandalam kategori sebab, misalkan :1 .Di landa keputusasaan dan depres i2.Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.3.Gangguan kejiwaan / tidak waras (gila).4.Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)

Page 2: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

5.Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.Dalam ilmu sosiologi, ada tiga penyebab bunuh diri dalam masyarakat, yaitu :1.egoistic suicide (bunuh diri karena urusan pribadi),2.altruistic suicide (bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain), dan3.anomic suicide (bunuh diri karena masyarakat dalam kondisikebingungan).Hukum Bunuh Diri Dalam Islam

Semua keterangan yang menerangkan tentang tindak kriminalpembunuhan itu, meliputi masalah bunuh diri. Jadi barangsiapa bunuh diridengan cara apapun, berarti dia telah melakukan suatu pembunuhan yangdiharamkan Allah.Kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidakdapat membuat dirinya, anggotanya ataupun sel-selnya. Diri manusia padahakekatnya hanyalah sebagai barang titipan yang diberikan oleh Allah.

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Euthanasia

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan

thanatos, yang berarti “kematian”.[2] Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma

atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau

penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat

kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.[3]

B.     Macam Macam Euthanasia

Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:[4]

1.      Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan

suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien

sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis

sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan

dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien

serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit

yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang

bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi

(overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan

pernapasannya sekaligus.

2.      Euthanasia Pasif

Page 3: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang

menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.

Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim

dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang

dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan

dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,

yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis

masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan

pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat

tinggi.

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah

dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.

Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat

mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan

dapat mempercepat kematiannya.

Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan

merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam

praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter

terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan

pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode

etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak

pidana di negara mana pun.[5]

C.     Pandangan Syariah Islam

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di

segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif

maupun euthanasia pasif.

1.      Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori

pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan

penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau

keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan

pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya

firman Allah SWT :

Page 4: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

: ). .... األنعام....... اآلية بالحق إال الله حرم التي النفس تقتلوا ال ) 151و

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)

melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

خطأ إال مؤمنا يقتل أن لمؤمن كان ما : و ) . النساء.... )92اآلية

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali

karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

رحيما....... بكم كان الله إن أنفسكم تقتلوا ال : و ) . النساء.... )29اآلية

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).[6]

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia

aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad)

yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan

mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena

membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

القتلى القصاصفي عليكم كتب آمنوا الذين ايها : يا ). البقرة.... )178اآلية

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS

Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan

memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,

meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT : 

بإحسان....... إليه أداء و بالمعروف فاتباع شيء أخيه من له عفي .فمن اآلية....

: )178البقرة(

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang

memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar

(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam

keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun

(jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i.[7] Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang

emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas

Page 5: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

(1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham =

2,975 gram perak).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan

melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini

hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak

diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan

euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan

Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa

kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun

penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya

dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu

keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu.

Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman :

hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga

untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).[8]

2.      Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik

menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa

pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada

pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara

menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut

Syariah Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat

(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam

masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu

hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,

seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah.[9]

Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah

SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia

ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Page 6: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu

Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan

menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

للطلب األمر في األصل

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan”.

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu

tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada

dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-

hadits lain itu membolehkan tidak berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan

hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan

(epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk

kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga.

Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu

berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering

tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak

tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan

hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi

(qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya,

hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal

ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, maka

jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter

berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya.

Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan

yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak

memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya

masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena

organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien

adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum

euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada

Page 7: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi

dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat

dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,

walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus

pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak

penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).

D.    Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia[10]

1.      Menurut Aspek Medis

Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan

seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan

atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi

pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan

seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death). 

Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan

semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari

bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis

lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak

diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia

tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa

mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode

etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun

menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah

dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka

pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut.

Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang

mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan

konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan

pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik

moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien

dan bukan mengakhiri hidup pasien.

2.      Menurut Aspek Hukum

Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal

khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi

Page 8: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

“barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang

disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12

tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis

(euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:

“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan

sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib

memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana

penjara....”. 

Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa

dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan

“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu,

atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun

kalau orang itu jadi bunuh diri.”

Page 9: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

BAB III

ANALISA KELOMPOK

Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena hal

ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia dapat

menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan

manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak untuk

menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri.

Sering banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik unutuk dilakukan

karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru, sebab tidak

mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi bila pada akhirnya manusia jualah

yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak

percaya Tuhan. Ketika kita melihat orang yang sudah sekarat bertahun-tahun dan sangat

menderita, beberapa kelompok orang sering secara cepat mengambil keputusan karena merasa

kasihan dan mengambil tindakan yang menurut mereka baik agar orang tersebut tidak lagi hidup

dalam kondisi yang menderita, tindakan baik yang kebanyakan kita lakukan yaitu meminta

tolong dokter atau para medis untuk ‘membunuh’nya, hal itu juga dipicu karena orang ini sudah

terlalu menyusahakan keluarganya.

Jika kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan

mengtuhankan diri kita sendiri sebagai ‘Tuhan’ yang dapat menentukan hidup atau matinya

orang ini. Pada dasarnya pihak-pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, beranggapan

bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan

segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian.

Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka

ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini merupakan tindakan dan

pola pikir yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab seperti yang kita ketahui

bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan

mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.

Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu keluarga

merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si penderita dan

membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah nilai kehidupan ini bisa

dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat diukur dengan uang,

karena kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup

Page 10: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

kita dan kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau

digunkan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup bukan untuk

mati. Jadi selama si pasien masih memiliki kesempatan untuk hidup mengapa orang lain justru

ingin mengakhiri hidupnya. Oleh karena itulah hidup kita ini lebih berharga daripada uang dan

tak bisa diukur dengan nilai apapun.

Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya

tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga ingin melakukan

euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Karena

ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati, dan orang-orang sekitarnya lebih ingin ia

untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan

semakin parah karena depresi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu

tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan

cara membunuh.

Euthanasia ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang

fungsinya menunjang kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut

harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut? Alat-alat yang

dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja dengan membunuhnya,

sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu masih menunjang diri pasien tersebut

untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan

jika administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia,

karena euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan sakit,

sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah bertujuan untuk

memberikan kematian yang “nyaman”. Masalahnya disini adalah dokter belum

bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada didepannya, jadi selagi

pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih tanggungan keluarga. Untuk

mengurangi hal-hal seperti ini, pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan

hukum yang terdapat pada pasal 304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat

administrasi yang belum selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang.

Seharusnya, administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan.

            Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak

bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa

tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan

tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk mengurangi

Page 11: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu saja hal ini

melanggar hak asasi si pasien. sPengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan pasien sudah

termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter

seharusnya berusaha untuk mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir

kesanggupannya. dalam kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus

mengerahkan kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara

hidup, tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup si pasien.

Euthanasia dalam keperawatan

Minggu, 02 Juni 2013

Euthanasia

BAB IPENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan untuk

menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan tertentu. Di

jaman modern ini, tercatat telah banyak sekali kasus-kasus eutanasia, baik yang ter-ekspose

maupun yang tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi

bahan perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum. Yang

pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa

orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya eutanasia adalah untuk menghindarkan

pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang dianggap terlalu menyiksa.

Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan,

sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur eutanasia, namun

tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat ketat.

Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap

melakukan tindakan yang melanggar hukum. Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang

penyelenggaraan eutanasia, namun masih banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan

Page 12: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

eutanasia, baik yang diketahui maupun tidak, dengan berbagai alasan. Kampanye anti

eutanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini menunjukkan bahwa praktek

eutanasia memang masih kerap terjadi.

Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia, mengenai

pengertiannya, sejarahnya, pendapat-pendapat seputar eutanasia dan juga pandangan

beberapa Negara dan beberapa Agama tentang penerapan eutanasia serta hukum terkait

eutanasia.

1.2  TujuanAdapun tujuan ditulisnya makalah ini, yaitu:

a. Pembaca mengetahui pengertian dari eutanasia?

b. Pembaca mengetahui bagaimana standar prosedur pelaksanaan eutanasia?

c. Pembaca mengetahui apa saja jenis-jenis eutanasia yang pernah dilakukan?

d. Pembaca mengetahui bagaimana sejarah penerapan eutanasia?

e. Pembaca mengetahui bagaimana hukum eutanasia pada beberapa Negara di dunia?

f. Pembaca mengetahui bagaimana pandangan Agama terhadap praktek eutanasia?

1.3  Sistematika Penulisan Makalah

  Makalah ini terdiri atas lima bab yaitu :

BAB I : Pendahuluan berisikan tentang latar belakang penulisan makalah, tujuan penulisan makalah, sistematika penulisan, dan metoda penulisan makalah.

BAB II : Tinjauan Teori Aspek legal terkait Euthanasia berisikan tentang pengertian Euthanasia; sejarah Euthanasia; klasifikasi Euthanasia; Pandangan Euthanasia menurut para ahli, agama; Aspek hukum Euthanasia di Indonesia dan hukum Euthanasia di berbagai belahan negara.BAB III : Kasus terkait aspek legal Euthanasia.BAB IV: Pembahasan terkait kasus aspek legal Euthanasia.BAB V : Penutup berisikan tentang simpulan dan saran.

1.4  Metoda Penulisan Makalah

 Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metoda studi kepustakaan.

Page 13: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1        Pengertian

 

        Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan Thanatos yaitu mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit. Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang. Hal ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.

2.2 Sejarah Euthanasia

Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul

sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam supahnya tersebut

Hippokrates menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang

mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua

Page 14: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

tentang eutanasia di atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh

Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah

memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada

tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York,

yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah

masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya

eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di

Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada

pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia

tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang

bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan

Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua

yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai

bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam

suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita

keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup

mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak

diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada

era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi

terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan

oleh cacat genetika. (Wikipedia). Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh

Adolf Hitler, menganggap bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu

bangsa, sehingga secara besar-besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa kepada

semua orang cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang cukup menarik terkait

dengan praktek eutanasia di beberapa tepat di jaman dahulu kala, berikut sedikit uraiannya: 

a. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam

sungai Gangga.

b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.

c. Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah

berlaku sejak tahun 1933.

Page 15: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

d. Di beberapa Negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang

sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.

e. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai

kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika

Serikat.

f. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah

Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan

eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam

praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada

praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.

2.3      Klasifikasi

               A.   Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi: 

Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit.                    Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian                          segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain                           sepertinpihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.

Assisted Suicide, tindakan ini bersifat individual yang pada keadaan tertentu dan                       alasan tertentu menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.

Tindakan yang langsung menginduksi kematian dengan alasan meringankan                       penderitaan tanpa izin individu bersangkutan dan pihak yang punya hak untuk                        mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi agak berbeda                       pengertiannya karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas kasihan.

             B.  Menurut

Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga  kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.

Page 16: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

              - Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.

         - Autoeuthanasia, yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).

C.        Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

 

-   Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.

- Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.

    Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

2.4 Pendapat Ahli Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy

killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.

Page 17: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.

2.5 Pandangan Agama

       A. Menurut Ajaran Agama Islam

 Euthanasia berasal dari kata ‘eu’ yang berarti normal, baik, atau sehat, dan ‘thanatos’ yang artinya mati. Secara harfiah istilah ini berkonotasi positif, yaitu mati secara baik (dan mudah), tanpa penderitaan. Sehingga sesungguhnya euthanasia merupakan dambaan dan harapan setiap setiap pemeluk aliran kepercayaan dan agama. Dalam hal agama hal seperti ini disebut dengan mati yang husnul khatimah. Tetapi di kalangan medis, euthanasia mengakhiri kehidupan seseorang secara sengaja dengan tenang dan mudah untuk mengakhiri penderitaannya.

    Dalam agama Islam atau hukum apapun, masalah kematian adalah suatu keniscayaan, hanyalah Tuhan yang punya kewenangan terhadap hidup makhluknya. Dengan demikian, manusia tidak diberi hak atau wewenang dalam mengakhiri hidup seseorang.

   Islam sangat menghargai jiwa. Banyak ayat al Quran maupun hadist nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia. Oleh karenanya, seseorang tidak diperkenankan melenyapkan hidup seseorang. Manusia dilarang memperlukakan jiwa manusia dengan tidak hormat. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan sesuai dengan aturan pidana Islam.

    Secara normative, memudahkan proses kematian secara aktif ( Euthanasia Aktif ) tidak dibenarkan oleh syara’. Sebab berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Dengan demikian dokter telah melakukan tindakan pembunuhan, baik dengan penghentian pengobatan, pemberian racun yang keras, penyengatan listrik, dan lain-lain. Dalam segi agama, perbuatan tersebut dikategorikan dalam pembunuhan yang diharamkan meskipun factor yang mendorongnya adalah rasa kasihan kepada pasien dan bermaksud meringankan rasa sakitnya. Selain itu, euthanasia aktif maupun auto-euthanasia tidak diperbolehkan, karena alasan sebagai berikut:

1.    Dari pihak pasien yang meminta kepada dokter karena tidak tahan lagi menderita sakit, karena jenis penyakit ini teralu kronis/ gawat dan telah lama dialami, maka ia meminta kepada dokter untuk melakukan euthanasia. Pertimbangan lain karena pasien sadar bahwa beban pengobatannya sangat besar bagi keluarganya. Atau pasien menyadari bahwa ajalnya sudah sangat dekat, harapan sembuhnya kecil, sehingga pasien meminta dirinya dilakukan

Page 18: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

euthanasia. Hal ini tidak boleh dilakukan karena termasuk bunuh diri, di mana bunuh diri dalam agama apapun adalah terlarang.

2.    Dari pihak keluarga / wali yang merasa kasihan atas penderitaan pasien, apalagi jika pasien tampaknya tidak tahan lagi menanggung penyakitnya.

3.    Kemungkinan lain, bisa terjadi, pihak keluarga tertentu bekerja sama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien karena suatu factor amoral, jelas ini merupakan suatu pembunuhan.

    Sedangkan untuk menentukan hukum euthanasia pasif ini terlebih dahulu perlu dilihat keterkaitannya dengan hukum berobat. Ulama menyatakan bahwa hukum berobat menjadi sunah, wajib, mubah, atau haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Namun apabila pasien sudah diberi berbagai macam cara pengobatan, baik dengan cara meminum obat, suntikan, ataupun menggunakan alat-alat pernapasan dan lain sebagainya dalam waktu yang relative lama tetapi penyakitnya tidak mengalami kemajuan, pengobatan seperti itu tidak wajib dilakukan, dengan kata lain, boleh mencabut atau menyudahi proses pengobatannya.

    Memudahkan proses kematian semacam ini seyogyanya tidak diembeli dengan unsure membunuh karena kasih saying, dalam hal ini tidak ada tindakan aktif dari dokter, tetapi, dokter hanya meninggalkan sesuatu yang bersifat tidak wajib. Tindakan ini dibolehkan oleh agama bila pihak keluarga meninginkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan beban pasien dan keluarganya.

     Peralatan bantu medis yang terpasang pada pasien yang lama koma misalnya, hal tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah, yakni yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah dengan denyut nadi saja, padahal dari segi aktivitas pasien sudah seperti orang mati, tidak responsive, tidak dapat mengerti sesuatu, dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan syarafnya sudah rusak. Membiarkan pasien dalam keadaan demikian hanya akan menghabiskan dana. Selain itu, juga berarti menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih bisa mendapatkan manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, pasien juga hanya akan membuat keluarganya merasa sedih dan menderita. Dalam kondisi seperti ini,medis diperbolehkan melepas seluruh instrument yang dipasang pada seseorang meskipun jantungnya masih berdenyut, karena berdenyutnya jantung pasien karena kerja instumen tersebut.

B. Dalam ajaran gereja Katolik Roma

    Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de eutanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri

Page 19: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).

C. Dalam ajaran Agama Hindu Pandangan Agama Hindu terhadap eutanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma,

moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.

Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

           C.           Dalam ajaran Agama Buddha

Ajaran Agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

          D.      Dalam ajaran gereja Ortodoks 

Page 20: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak

kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa,

upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh

kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan

gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan

kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat

terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.

F. Dalam ajaran Agama Yahudi

  Ajaran Agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya

kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan

yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun

tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas

kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan

Tuhan.

   Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama

Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut

balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan

menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan

bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.

G. Dalam ajaran Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang

berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu

pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :

   Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan

bahwa : 

            " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal  

              membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga  

              kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung 

              kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".

Page 21: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

  Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai

suatu

           perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus

           dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara

           tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian 

           terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk

melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh

adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan

mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga

dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan

harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani

dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy

killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri

hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian

tersebut.

2.6    Aspek Hukum Euthanasia di Indonesia

     Di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang secara jelas mengatur tentang euthanasia.namun demikian ada ketentuan pasal pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dimana euthanasia ini di atur secara tersirat,yaitu:pasal 304,pasal 306,dan pasal 344 KUHP.

Pasal 304 KUHP

Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian,dihukum penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ratus ribu rupiah.

Catatan.

Page 22: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya lebih tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti yang diatur dalam pasal 306 KUHP ayat 2.

Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.

Pasal 306 KUHP

Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 mengakibatkan orang mati,sitersalah itu dihukum penjarapaling lama 9 tahun.

Pasal 344 KUHP

Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,yang disebutnya dengannya dengan nyata dan bersungguh sungguh,dihukum penjara paling lama 12 tahun.

Catatan

Pasal 344 KUHP ini isinya mirip dengan tindkan euthanasia aktif,karena ada tindakan menghilangkan nyawa orang lain.

Dalam kaitannya baik dengan euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan terdapat ketentuan dalam pasal pasal berikut.

Pasal 388 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja nyawa orang lain,dihukum karena makar mati,dengan penjara paling lama 15 tahun”.

Pasal 340 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain,dihukum,karena pembunuhan yang direncanakan,dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara paling lama 20 tahun

Pasal 359 KUHP

     Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang lain dihukum penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun

Pasal 345 KUHP

Page 23: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

     Barang siapa dengan sengaja mengasut orang lain untuk bunuh diri,membantunya dalam perbuatan itu,atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,dihukum penjara selama lamanya 4 tahun. Kepustakaan menyebutkan adanya 2 pendapat mengenai hubungan dokter dengan pasien dalam kaitannya dengan permasalahan mengenai nyawa.pendapat pertama yang di dukung oleh Van Hamel Noyon Langemayer, Simon, Pompe, dan Hazewinkel Suringa, yang menyatakan bahwa :

    Niat yang secara sadar tanpa tujuan tertentu untuk membunuh atau mengakibatkan derita bukan merupakan tujuan dari tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter.

   Pendapat kedua yang didukung oleh Rang de Doeldeert Hart dan Fonsdekker yang mengatakan bahwa oleh karenanya maka justru persetujuan dari orang dirawat yang dipakai sebagai ukuran apakah suatu perbuatan itu bertentangan atau tidak.menurut pendapat kedua bertujuan pasien merupakan satu satunya alas an pembenar bagi tidak dipindananya seorang dokter (Koeswadjie,1996)

  Dari apa yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa KUHP,tidak dapat sertamerta diterapkan terhadap kasus di bidang kedokteran-kesehatan.

    Baik dalam pasal 304,306 maupun pasal 344 KUHP tidak disebutkan pern keluarga.apabila keluarga yang menghendaki tindakan euthanasia, maka doter harus mempunyai bukti berupa sebuah pernyataan tertulis yang disertai tanda tangan dan saksi dari pihak keluarga apabila keluarga betul-betul menghendaki tindakan itu misalnya karena alasan ekonomi dan lain lain.

   Pada pasal 344 pengakhiran kehidupan harus atas permintaan penderita.apabila tindakan itu dilakukan atas permintaan orang lain, misalnya keluarga, maka tindakan keluarga tersebut maka sama dengan pembunuhan.       Namun demikian apabila hal itu dilakukan dengan alasan daya paksa,maka hal tersebut dapat dimanfaatkan berdasarkan pasal48 KUHP, yang berbunyi:barang siapa yang melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindari tidak boleh dihukum.saat ini kasus euthanasia masih merupakan suatu dilemma, karena di Indonesia hak untuk mati masih belum ada.

2.7 Hukum Eutanasia di berbagai belahan Negara

A. Belanda

Page 24: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

     Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan

eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang

menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia.

Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk

mengakhiri penderitaannya.

    

     Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal

eutanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.

     

     Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Eutanasia" dalam majalah

Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman melaporkan

bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak

akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan.

Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang

spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

     Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk

melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan

menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun

telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan

eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

B. Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para

pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah

dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia diNegara ini, namun mereka juga

mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya

upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".

Belgia kini menjadi Negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan

Negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang

merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa

seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang

Page 25: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir

hidupnya

C. Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU

yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama.

Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill"

(UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi

bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

D. Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya

Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminaln

( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian

Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan

memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi

undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-syarat

yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta

bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan

keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan

tenggang waktu 15 hari diantaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah

satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus

mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam

mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur

secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh

berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun

kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.

        

         Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan,

sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU Negara bagian ini. Mungkin saja

nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah

studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak

Page 26: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika

mendukung dilakukannya euthanasia. 

E. Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan

peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang

Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil

bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu

kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan

Konstitusional dan komite hukum Negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial

tersebut dihapus dari rancangan tersebut.

F. Cina

Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutanasia diketahui terjadi

pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta

seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi

menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian

Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada

tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan

untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun

ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

BAB III

ANALISA SITUASI

3.1           Kasus terkait 1

Pada suatu publikasi besar – besaran, persidangan yang digelar di Massachusetts (Commonwealth v. Anne Capute [1982]), seorang perawat praktik berlisensi disebuah rumah sakit mendapat tuduhan pembunuhan. Jaksa penuntut menuduh Perawat Capute berniat membunuh pasien ketika ia memberikan 195mg morfin sesuai instruksi dokter untuk menghilangkan nyeri pasien pada satu kali pemberian dalam periode 8 jam. Jaksa penuntut

Page 27: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

berpendapat bahwa jumlah morfin yang diberi kepada pasien adalah penyebab kematian pasien dan bahwasanya pasien tidak akan meninggal jika tidak diberi morfin.

Pengacara Perawat Capute mengungkapkan bahwa pasien menderita penyakit terminal yang menyebabkan kematiannya. Terhadap kemungkinan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, jika terbukti bersalah, Capute menyatakan dihadapan dewan juri bahwa ia memberi morfin untuk membantu pasien dan bahwa pengacara tidak memahami nyeri dari penderitaan pasien karena mereka tidak berada disana dan menyaksikan kejadian sesungguhnya.

Karena dewan juri tidak percaya pembuktian dewan penuntut, yakni bahwa kematian pasien disebabkan oleh obat yang diberikan, Capute dinyatakan bebas dari tuntutan pembunuhan. 

3.2           Kasus terkait 2Pada 1994, diadakan vote di Oregon mengenai euthanasia. Oregon voters mengesahkan

euthanasia atau yang disebut juga bunuh diri- dibantu (assisted-suicide). Namun, penetapan hukum pengadilan mengenai hal ini masih ditunda. Oregon voters berpendapat bahwa dokter atau tenaga medis lain berhak mencari alternative lain untuk meringankan rasa sakit bagi pasien yang sakit parah dan memiliki penderitaan tak tertahankan. Publik berpendapat bahwa pasien berhak menentukan takdir mereka sendiri. Hal ini berarti dokter boleh memberikan tindakan euthanasia bila pasien tersebut menginginkannya.

Dr. Jack Kevorkian yang telah melakukan ‘bantuan bunuh diri’ (euthanasia) lebih dari 130 pasien terminal didukung oleh banyak orang, termasuk para juri yang berhasil membebaskan dirinya dari tuntutan pengadilan Michigan pada 1995. Hingga pada tahun 1998, Dr. Kevorkian memperoleh pengakuan legal dan etik.

Dalam sebuah berita 60 Minutes, Dr Kevorkian tidak hanya memberikan pengakuan bahwa ia memberikan obat mematikan kepada pasien, ia bahkan menunjukan video rekaman bagaimana ia melakukannnya. Pasien tersebut yang mengidap penyakit Lou Gehrig meminta Dr. Kevorkian untuk membunuhnya. Pasien tersebut menulis sebuah inform concern dan menandatanganinya. Dr. Kevorkian mengatakan bahwa motifnya melakukan euthanasia waktu itu hanyalah ingin melakukan sebuah tes/ percobaan euthanasia aktif. Akhirnya, pada April 1999 pengadilan menvonisnya bersalah sebagai kasus pembunuhan tingkat dua sehingga dia dijatuhi hukuman dua puluh lima tahun penjara.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1        Pandangan terhadap kasus 1

Page 28: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

Penggunaan morfin pada pasien menjelang kematiannya dalam mengatasi nyeri adalah hal ilustrasi klasik akan masalah ini. Efek morfin yang baik adalah menghilangkan rasa penderitaan nyeri. Efek yang berbahaya adalah mempercepat kematian. Tujuan perawat ialah meredakan penderitaan pasien, bukan membunuh pasien. Efek yang merugikan, yang kemungkinan mempercepat kematian pasien adalah bahaya yang muncul yang terkandung pada penggunaan obat. Kematian tidak diharapkan terjadi, tetapi merupakan risiko yang dapat terjadi. Keta efek yang baik dan yang berbahaya timbul secara simultan. Risiko mempercepat kematian muncul pada saat yang bersamaan dengan manfaat pasien terbebas dari nyeri.

Meringankan penderitaan pasien yang menjelang kematian sangatlah penting. Tugas utama para pemberi layanan kesehatan adalah membebaskan pasien dari rasa sakit dan penderitaan ketika usaha untuk menyembuhkan sudah diupayakan secara maksimal tugas ini merupakan alasan yang cukup untuk menggunakan morfin dengan dosis berapapun untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Walau itu adalah menghilangkan nyeri pada pasien dengan penyakit terminal bahkan ketika hal tersebut berisiko memperpendek hidup mereka.

Apa yang dilakukan oleh perawat tersebut semata menjalankan tugas, walau apa yang dilakukannya juga merupakan kewajibannya dalam meringankan penderitaan pasien untuk menghilangkan rasa nyeri hebat yang dialaminya. Memberikan perawatan secara moral memang diijinkan,namun pertimbangan atas penderitaan yang dialami pasien lebih kepada rasa kemanusiaan serta tugasnya dalam membantu pasien menghilangkan rasa nyeri. Hal ini membantu dalam menjelaskan mengapa seorang petugas pelayan kesehatan diijinkan untuk memberikan penghilang rasa nyeri dengan dosis tinggi untuk mengatasi rasa nyeri pada pasien yang menderita penyakit terminal, bahkan dalam jumlah yang dapat menyebabkan pasien meninggal lebih cepat.

Euthanasia masih menjadi hal yang diperdebatkan akan keabsahan hukumnya. Sebagian besar dokter dan perawat masih enggan menggunakan obat penghilang rasa nyeri dosis tinggi terhadap pasien yang sedang mengahadapi terminal dengan kondisi yang sangat menyakitkan. Keengganan ini terjadi akibat rasa takut terhadap hukum karena melanggar kode etik yang berlaku serta gejolak psikologi yang terjadi dalam diri seorang perawat.

4.2        Pandangan terhadap kasus 2

Banyak kritik yang menentang euthanasia. Walaupun banyak perawat atau tenaga medis lain yang berpendapat bahwa keluarga pasien koma atau terminal boleh mencabut respirator, makanan, atau alat medis lainnya, namun mereka menentang euthanasia aktif. Banyak yang berpendapat bahwa euthanasia dapat membunuh pasien, bahwa euthanasia dilakukan tanpa keinginan pasien atau sepengetahuan pasien. Pasien terminal atau koma, tidak punya kemampuan mengungkapakan keinginannya. Keluarga, dokter, maupun perawat tidak mengetahui apakah sebenarnya pasien terminal tersebut menginginkan kematian dan mereka tidak punya hak untuk memutuskan hidup mati pasien tersebut.

Page 29: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

Banyak perawat professional dan organisasi kesehatan lainnya yang menentang euthanasia. ANA (American Nursing Association) telah menyatakan penentangannya ini kepada public. Begitu pula dengan AMA ( American Medical Association). Menurut mereka, euthanasia membawa lebih banyak keburukan daripasa kebaikan. Euthanasia bertentangan dengan peran perawat.

BAB IV

PENUTUP

5.1        Kesimpulan

   Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 

a. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani ‘eu’ yang artinya baik dan ‘thanatos’ yang berarti

kematian, sehingga istilah eutanasia secara singkat dapat diartikan sebagai ‘kematian yang

baik’.

b. Terdapat dua prinsip utama dalam standar prosedur euthanasia, yaitu secara fisik (misalnya

dengan pemutusan leher, perusakan otak, atau penembakan kepala) dan secara kimiawi

(dengan teknik inhalasi gas beracun atau suntik subtansi kimia mamatikan)

c. Eutanasia memiliki berbagai klasifikasi berdasarkan beberapa katagori tertentu.

d. Pada beberapa Negara euthanasia telah dilegalkan sebagai salah satu tindakan medis, di

beberapa Negara yang lain, euthanasia masih digolongkan sebagai tindakan criminal, termasuk

di Indonesia.

e. Pada umumnya agama menolak dilakukannya euthanasia, karena dianggap mendahului

kehendak Tuhan, sebab, hidup dan mati ada di tangan Tuhan.

5.2           Saran

    Eutanasia merupakan suatu tindakan yang kontroversial, disatu sisi, ada niatan baik untuk

membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain, bagaimanapun eutanasia merupakan

Page 30: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

suatu praktik menghilangkan nyawa orang lain atau hewan. Saran kami, pembaca lebih banyak

lagi mengkaji terkait dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat memandang eutanasia secara

holistic dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara bijaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Helm. Ann.2005. Malpraktik Keperawatan: Menghindari Masalah Hukum. Jakarta: EGC.Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.William, Lippincot and Walkins. 2004. Nurse’s Legal handbook. 5th Ed. USA: Springhouse Corporation.

Zuhroni,dkk. 2003. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2. Jakarta: Departemen Agama RI.

www.blogperawat.com. 2010. Euthanasia Dalam Keperawatan.

http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/kasus-euthanasia-killing-yang-terjadi-di-dunia/

Transplantasi Organ di Pandang dari Kode Etika, Agama dan Segi Hukum di Indonesia

Transplatansi organ atau jarigan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. (hasilnya lebih memuaskan di bandingkan dengan terapi konservatif). Walaupun transplatansi organ atau jaringan itu telah lama dikenal dan terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medik ini tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih harus mempertimbangkan dari segi non medik, yaitu segi agama, hukum, budaya, etika dan moral.Klasifikasi Transplantasi Organ : Autograft, yaitu pemindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu sendiri. Allograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama spesiesnya. Isograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang identik, misalnya pada gambar identik. Xenograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama spesiesnya.

Transplantasi Organ

Page 31: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

1. Eksplantasi : usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah meninggal. 2. Implantasi : usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri atau tubuh orang lain.

Transplantasi Organ dari Segi Agama Islam • Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup. mendonorkan organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian si pendonor, seperti mendonorkan jantung, hati dan otaknya. Hukumnya tidak diperbolehkan, Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al – Qur‟an : 1) surat Al – Baqorah ayat 195 ” dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan ” 2) An – Nisa ayat 29 ” dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri ” 3) Al – Maidah ayat 2 ” dan jangan tolong – menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “

Transplantasi Organ dari Segi Agama Islam • Transplantasi Organ dari Donor yang Sudah meninggal Allah SWT telah mengharamkan pelanggaran terhadap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Allah SWT menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup. Diriwayatkan dari A‟isyah Ummul Mu‟minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban). Imam Ahmad meriwayatkan dari „Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda : “Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !” Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan

dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya

orang hidup.

Aspek Hukum Transplantasi Organ Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha mulai dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia. Dalam PP No. 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayatanatomis dan trasplantasi alat serta jaringan tubuh manusia, tercantum pasal-pasal tentang transplantasi sebagai berikut : Pasal 1. (c). Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal ( fungsi tertentu untuk tubuh tersebut. (d). Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal ( fungsi ) yang sama dan tertentu. (e). Tranplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran utntuk pemindahan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatab untuk menggantikan alay dan jaringan tubuh yang tidakberfungsi degan baik.

Page 32: Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam (Novilia)

(f). Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada

orang lain untuk keperluan kesehatan.

Lanjutan Pasal 10. Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan –ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam pasal 2 huruf a dan huruf b, yaitu harus degan persetujuan tertulis penderita dan keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia. Pasal 11. 1. transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan olehdokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. 2. transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan. Pasal 12. Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tidak ada sangkutan paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. Pasal 13. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf “a”, pasal 14 dan

pasal 15 dibuat diatas kertas bermaterai dengan 2 orang saksi.

Lanjutan Pasal 14. Pengambilan alat dan jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan degan persetujuan tertulis keluarga yang terdekat. Pasal 15. 1.Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberi tahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. 2. dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahkan calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut. Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi. Pasal 17. Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia. Pasal 18. Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk

ke dan dari luar negri.

Kesimpulan • Jadi pandangan agama dan hukum positif terhadap transplantasi tidak dilarang tapi dalam melakukan transplantasi harus berdasarkan asas hati nurani bukan berdasarkan nilai material dan transplantasi jangan membahayakan si pendonor.