menakar isu feminisme dan tantangannya .docx

22
MENAKAR ISU FEMINISME DAN TANTANGANNYA TERHADAP WANITA MUSLIMAH Pendahuluan Ibu R.A. Kartini dikenal sebagai pahlawan kaum perempuan dalam menuntut hak-haknya mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Dari situlah dengan apa yang kita kenal dengan Emansipasi Wanita. Pemikiran tentang kaum perempuan terus berkembang seiring berkembangnya pula isu-isu gender yang banyak dikenal dengan kesetaraan gender merebak di dunia. Isu atau gagasan tersebut dibawa oleh kaum feminis dengan pahamnya feminisme untuk menuntut kesetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki. Namun, sejalan dengan merebak serta mengakarnya isu gender ini di Negara-negara berkembang terutama, timbul kontroversi terhadapa gagasan-gagasan yang dibawa. Tak ayal, paham yang mengusung perempuan sebagai kunci kemajuan pun menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih pelik. Kepemimpinan di bawah tangan wanita adalah hasil penanaman ide-ide gender atau feminisme. Dan ternyata, pemerintahan yang dipegang oleh kaum wanita mengalami banyak konflik. Permasalahan social lainnya pun timbul, seperti perubahan struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, fenomena un-wed dan free sex, masalah wanita karir, dll. 1

Upload: thelightness-nur

Post on 26-Nov-2015

39 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

MENAKAR ISU FEMINISME DAN TANTANGANNYA TERHADAP WANITA MUSLIMAH

Pendahuluan

Ibu R.A. Kartini dikenal sebagai pahlawan kaum perempuan dalam menuntut hak-haknya mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Dari situlah dengan apa yang kita kenal dengan Emansipasi Wanita. Pemikiran tentang kaum perempuan terus berkembang seiring berkembangnya pula isu-isu gender yang banyak dikenal dengan kesetaraan gender merebak di dunia.Isu atau gagasan tersebut dibawa oleh kaum feminis dengan pahamnya feminisme untuk menuntut kesetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki. Namun, sejalan dengan merebak serta mengakarnya isu gender ini di Negara-negara berkembang terutama, timbul kontroversi terhadapa gagasan-gagasan yang dibawa. Tak ayal, paham yang mengusung perempuan sebagai kunci kemajuan pun menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih pelik. Kepemimpinan di bawah tangan wanita adalah hasil penanaman ide-ide gender atau feminisme. Dan ternyata, pemerintahan yang dipegang oleh kaum wanita mengalami banyak konflik. Permasalahan social lainnya pun timbul, seperti perubahan struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, fenomena un-wed dan free sex, masalah wanita karir, dll.Gawatnya, paham ini telah masuk dan menginfus dunia islam atau Negara-negara yang notabene penduduknya mayoritas beragama Islam. Perkembangan paham-paham feminis ini tentunya menuai banyak kecaman dari kalangan muslim, tidak sedikit juga pemikiran yang berasal dari paham liberal, berimbas pada kebebasan kaum muslim diantaranya dalam berpikir. Maka dari itu, perlu peninjauan tentang masalah ini terlebih ini sudah menyangkut persoalan akidah. Dalam islam, segala persoalan dan aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan dan berbagai bidang telah diatur dalam Al-Quran. Lalu, bagaimana pandangan islam tentang paham feminis beserta isu-isu atau gagasan yang diusung? Bagaimana islam memandang persoalan yang sensitif (bagi feminis), mengenai pernyetaraan laki-laki dan perempuan?

Definisi FeminismeFeminisme adalah sebuah ideologi sekaligus sebuah gerakan pembebasan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak antara dua jenis manusia: laki-laki dan perempuan, yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat.[footnoteRef:2] Istilah feminisme ini atau sering juga di sebut gender menurut Dr. Mansour Fakih, belum ada uraian yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas. Mereka menghendaki pemisahan gender dan seks. Artinya secara kodrati tidak perlu dipermasalahkan tetapi secara sifat itu yang perlu diperhatikan. Bagi mereka, konsep gender sendiri yaitu suatu sifat yang melekat pada lawan laki-laki maupun perempuan yang dikonstuksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.[footnoteRef:3] [2: Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet. I. h.236.] [3: Farid Achmad Okbah, Feminisme Dalam Timbangan, diakses pada 14 Maret 2010. http://www.alislam.or.id.]

Kata feminisme ini sendiri barasal dari kata latin femina yang artinya memiliki sifat keperempuanan. [footnoteRef:4]Femninisme diawali dari persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki. Dari sebuah persepsi inilah timbul bebagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan-ketimpangan tersebut dan ingin mencoba menemukan sebuah formula penyetaraan hakperempuan dan laki-laki di segala bidang dengan adanya potensi mereka sebagai manusia. [4: Dadang S. Ansori, Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, (Jakarta: Pustaka Hidayah, November1997), Cet. I. h.19.]

Asal Mula FeminismeGerakan ini lahir pada abad 19, gerakan ini cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Pada saat itu perempuan di negara-negara Eropa ingin memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukan bahwa secara umum kaum perempuan (feminim) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki, khususnya pada masyarakat yang sifatnya patriarki. Dalam feminisme ada bebrapa gelombang, gelombang pertama terjadi di negara Eropa,[footnoteRef:5] pada saat itu dimana kaum perempuan merasa dirugikan baik dalam bidang pendidikan sosial, maupun dalam bidang politik. Sedangkan gelombang kedua ini lahir pada tahun 1960, yaitu ditandai dengan puncaknya hak suara perempuan diikut sertakan dalam parlemen. Pada tahun 1960 inilah sebuah awal bagi perempuan untuk mendapatkan hak suara didalam parlemen dan hingga ikut serta dalam kancah perpolitikan negara. [5: Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam: Akar-Akar Historis Perdebatan Modern, (Jakarta: PT. Lentera Basitama, September200), Cet. I. h. 10.]

Pada tahun 1960-an ini gerakan ini cukup mendapatkan momentum sejarah. Untuk menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur cacat akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.[footnoteRef:6] Gerakan feminisme ini berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini, namun tetap saja terlihat banyak mengalami halangan. [6: Leo Agustino, Op.cit, h. 237]

Feminisme gelombang kedua ini merupakan suatu proyek transformasi radikal dan bertujuan untuk menciptakan dunia yang difeminiskan. Dengan adanya operasi penindasan dalam berbagai kehidupan, ketidak adilan dalam ranah politik dan kekuasaan dan kemudian hal itu menjadi kajian para feminisme gelombang kedua, karena itulah pada dekade tersebut lahir apa yang disebut dengan politik feminisme. Politik feminisme yang dimaksud dalam konteks global yaitu memperjuangkan hak ikhwal terhadap perempuan. Dalam dekade sekarang ini ada banyak aliran-aliran bermunculan dipanggung sejarah pemikiran dan praktik politik, diantaranya kita kenal dengan aliran feminisme liberal,[footnoteRef:7] feminisme radikal, feminisme marxis, feminisme anarkis, dan terakhir feminisme postmodern.[footnoteRef:8] [7: Dadang S. Ansori, Op.cit, h. 24.] [8: Leo Agustino, Op.cit, h. 243.]

Perkembangan Feminisme Dari Barat Hingga IslamDewasa ini, memang tidak bisa dipungkiri, bahwa seluruh aspek kehidupan kaum muslim saat ini sedang berada dalam kondisi terpuruk akibata dari rendahnya taraf berpikir mereka. Munculnya sebuah gagasan tentang feminisme di dunia islam ini, adalah salah satu bagian kecil dari fenomena al-ghazwu al-fikri. Dimana hal ini tidak hanya melibatkan banyak pihak tetapi kaum muslimah juga ikut terlibat, jelas ini berarti bahwa kondisi kaum perempuan sangat buruk, termasuk juga didalamnya melibatkan perempuan muslim, sehingga pada akhirnya para aktifis perempuan merasa terdorong untuk melakukan berbagai analisis yang kemudian melahirkan isu-isu turunan, contohnya: isu kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan terutama dibidang politik,[footnoteRef:9] dan lain sebagainya. [9: Najma Saidah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan: Bercermin Pada Sahabiyat r. a, (Jakarta: CV. Idea Pustaka Utama, Oktober2003), Cet. I, h. 20.]

Kaum feminisme tetap percaya bahwa dengan mewujudkan ide kesetaraan gender ini merupakan hal yang niscaya, bahkan merupakan sebuah keharusan jika keterpurukan perempuan ingin cepat diselesaikan. Namun mereka mengakui bahwa tidak mudah memperjuangkan kesetaraan gender ini. Ada sebuah istilah yang kita kenal yaitu istilah pemberdayaan (empowerment), yang artinya adalah sebagai salah satu proses yang bertujuan untuk mengubah arah dan sifat dari kekuatan-kekuatan sistemik yang memarjinalkan perempuan dan kelompok rentan lainnya. Adapun maksud istilah kekuatan sistemik yaitu mencakup seluruh struktur kekuasaan diberbagai level dan bidang, baik darai level bidang pemerintahan, negara, maupun masyarakat.Adanya kemunculan politik islam telah menarik minat pada kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat muslim. Namun minat ini tidak sepenuhnya baru, sebab sebutan kata islam didunia barat ini lebih cenderung menarik perhatian khusus pada kedudukan perempuan. Perbedaan penafsiran dan pemahaman tentang islam oleh kaum tradisional. Modernisasi dan sekularis, yang didasarkan pada klaim Al-quran dan Hadits. Itu jelas memperhatikan bahwa masalah-masalah yang muncul adalah sebagian dari sesuatu yang masih ada dalam kerangka acuan islam. Alternatifnya, usaha untuk memahami peran perempuan dalam islam dari perspektif non muslim dan memasukkan prinsip-prinsi liberal barat yang sekuler kedalam islam.Persoalan gender dan peran perempuan sudah merupakan bagian integral dari sistem nilai dan pandangan dunianya.[footnoteRef:10] Kaum feminis berpendapat bahwa wanita dalam bahasa Jawa yaitu wani ditoto yang artinya berani ditata. Namun dalam Prasasti Gandasuli ditemukan kata serapan yaitu Parpuanta[footnoteRef:11] yang artinya yang dipertuan atau dihormati bisa juga dikatakan sebagai gelar kehormatan yang berarti tuan. Untuk itu kaum feminisme tidak mau menggunakan istilah wanita, tetapi lebih memilih istilah perempuan. Persepsi meraka bahwa istilah wanita mengandung makna bias patriarki, mereka juga berpendapat bahwa pola hidup perempuan itu sebenarnya sama dengan laki-laki, namun perempuan diberikan kelebihan potensi untun mengandung dan menyusui anak, oleh sebeb itu potensi ini tidak dimiliki oleh laki-laki. [10: Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, April 2000), Cet. I. h. 326.] [11: Najma Saidah dan Husnul Khatimah, Op.cit, h. 121]

Jika dilihat dari sudut pandang Feminisme Barat maupun islam, hijab sepertinya merupakan penghalang utama yang mencegah perempuan muslim dan secara umum masyarakat muslim untuk menjadi beradab. Feminisme Barat juga merupakan produk modernisme dan posmodernisme. Gerakan dan madzhab pemikiran ini secara fundamental dan prinsipil barada dalam konflik yang serius dengan pandangan-pandangan islam.[footnoteRef:12] Namun dengan demikian banyak persoalan tertentu yang diajukan feminisme dalam kesepahaman dengan pandangan-pandangan islam mengenai perempuan. [12: A. H. Jemala Gembala, Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, (Jakarta: Al-Huda, Juli 2005), Cet. I. h. 36.]

Selanjutnya, menurut seorang pendapat aktifis perempuan, Musdah Mulia memandang Islam dan Feminisme menurut buku yang beliau tulis mengenai perempuan dan politik. Berdasarkan analisa dan fenomena diatas, berkaitan dengan hak perempuan, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa hak perempuan itu selalu tertindas dan dibatasi. Menurut bukunya Musdah Mulia ini dijelaskan bahwa perempuan selalu mengalami lebih banyak halangan ketimbang laki-laki.[footnoteRef:13] Disinilah perempuan harus membuktikan bahwa dirinya memang pantas dan bisa diandalkan. Salah satu kuncinya ada tiga unsur yang merajut kepemimpinan dalam diri seseorang, yaitu kekuasaan, kompetensi diri, dan agresif kreatif adalah unsur-unsur kemampuan memimpin seseorang. Menurut beliau untuk memperhatikan fenomena ini sangatlah penting bagi kita khususnya kaum perempuan, baik dalam perspektif barat maupun islam. [13: Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), Cet. I. h. 2.]

Femenisme Dalam IslamFeminisme adalah ideologi yang murni sekuler, namun bagaimana hasilnya jika istilah yang lahir di Barat ini dikawinkan atau disandingkan dengan Islam. Tentu akan muncul beragam tanggapan, seperti apakah yang dimaksud dengan disandingkan itu adalah disandingkannya nilai-nilai feminisme dengan nilai-nilai Islam sebagai sebuah agama yang telah mapan? Dalam artian yang lain, misalnya mencari kecocokan antara nilai-nilai feminisme dengan ajaran-ajaran Islam. Atau disandingkan dalam arti bahwa Islam sebenarnya memiliki nilai-nilai tentang feminisme sendiri tanpa harus ada bantuan dari luar?Sebelum beranjak lebih jauh, sejatinya tidak ada gerakan feminis Islam yang menegaskan dirinya sendiri sebagai feminis Islam. Sebagai sebuah konsep dan penanda bagi sebuah aliran tertentu, feminisme Islam pada awalnya diadopsi dari luar masyarakat Islam; ia sebagian besar adalah ciptaan para akademisi dan peneliti feminis muslim yang hidup dan bekerja di Barat.[footnoteRef:14] [14: Haideh Moghissi,, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, LKiS, 2005, h. 170.]

Feminisme dalam maknanya sebagai sebuah perjuangan bagi kesetaraan gender telah lama eksis di dunia Islam. Tokoh-tokoh yang sadar gender itu antara lain Tahereh Qurrat-ol Ayne (Iran, pertengahan 1800-an), Fatima Aliya Hanim (Turki, akhir 1800-an), Nazira Zin al-Din (Lebanon, pertengahan 1920-an), Rohana Kuddus (Minangkabau), Rahmah el-Yunusiyah, dan lain-lain. Dalam sejarah masyarakat Islam, sebenarnya perjuangan mereka yang sadar gender terhadap keadilan hak-hak telah menjadi sesuatu yang sangat penting. Mengingat memang perlu dibangun suatu alarm yang dapat menyadarkan ketidakadilan dan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang telah lama menjamur di masyarakat mereka.Dalam perkembangan selanjutnya, perjuangan feminisme di Timur seakan mendapat kawan ketika di wilayah lain, yakni di Barat, perjuangan terhadap keadilan dan kesetaraan gender juga digaungkan. Perjuangan ini mendapat persinggungan ketika beberapa intelektual muslim menuntut ilmu di Barat, di antara mereka sebut saja Qasim Amin, Fatima Mernissi, Amina Wadud dan lainnya. Persinggungan ini juga terjadi melalui konferensi-konferensi bersama, semisal konferensi internasional di Roma yang dihadiri oleh delegasi Mesir yang beranggotakan Saiza Nabarawie, Nabawiyya Musa, dan Huda Syarawie. Konferensi ini ternyata memang membawa perubahan, terbukti setelah menghadiri konferensi itu mereka mendeklarasikan keinginan perempuan untuk mengakhiri pemisahan laki-laki dan perempuan serta pengekangan atas perempuan di rumah.Kembali pada persoalan yang sempat dimunculkan di atas, yakni tentang apa yang dimaksud dengan feminisme Islam, berikut adalah tiga pola respon masyarakat Islam;1. Feminisme apologeticAliran ini merupakan aliran yang mencoba mengadaptasikan agama agar cocok dengan prinsip-prinsip feminis. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa aliran ini memberi porsi yang lebih besar pada prinsip-prinsip feminis. Dalam pengertian lain, aliran ini menerima feminisme sebagai aliran yang tak terbantahkan. 2. Feminisme Reaksioner (defensive)Aliran ini merupakan aliran yang memandang bahwa perempuan sudah mendapatkan kesetaraan dan posisi yang terhormat dalam tradisi Islam. Sehingga dengan demikian tidak dibutuhkan lagi adanya reformasi dalam hal-hal yang terkait dengan wanita.3. Pendekatan StrukturalisPendekatan ini melihat hak-hak dan posisi perempuan dalam keseluruhan konteks struktur masyarakat dan menghindari perpecahan masyarakat dalam terminologi feminisme atau maskulinisme.[footnoteRef:15] Pendekatan ini menghubungkan antara pria dan wanita dengan tanggung jawab sosial dan individual (tentunya dengan memperhatikan ajaran-ajaran religius), tanpa adanya tendensi monoseksual. [15: Ali Hossein Hakeem, et. al. Membela Perempuan; Menakar Feminisme dengan nalar Agama, Al-Huda, 2005, h. 34.]

Pada hakikatnya tidak ada masalah di dunia Islam dalam hal gender. Islam menempatkan dan memposisikan perempuan dan laki-laki secara adil. Keduanya sama-sama memiliki kewajiban dan amanat. Keduanya dibebankan tanggung jawab yang sama berdasarkan sarana-sarana sempurna yang dimiliknya.Kendati demikian, dalam perkembangannya ada kesalahpahaman yang menyebabkan seakan-akan konsep kemanusiaan dalam Islam antara laki-laki dan perempuan berjalan berat sebelah. Untuk itu perlu diperjelas kembali bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap perempuan. Secara umum, Islam memandang perempuan dalam dua konsep dasar, yakni; pertama, sisi persamaan dan kedua, sisi perbedaan.Pertama, sisi persamaan, yakni melihat persamaan laki-laki dan perempuan dari sisi esensi kemanusiaan. Dalam artian bahwa perempuan sebagaimana halnya laki-laki dibedakan dari makhluk lainnya, semisal binatang, tumbuhan, dan malaikat. Selain itu juga bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berasal dari unsur yang satu (ruh). Lebih lanjut, kesamaan dalam hal-hal ini berimplikasi pada tanggung jawab yang dibebankan kepada keduanya, yakni meliputi tanggung jawab terhadap diri, masyarakat, dan Tuhan sebagai Penciptanya.Kedua sisi perbedaan, yakni membedakan manusia dari sisi jenisnya, yakni laki-laki dan perempuan. Secara implikatif, hal ini berdampak bagi adanya pembagian peran antara keduanya. Kendati demikian, pembagian ini tidak berarti memperlemah posisi salah satunya, tetapi justru dapat saling memberikan kontribusi. Inilah yang kemudian membagi peran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Dua pembagian di atas sangat kentara sekali di saat zaman Nabi Muhammad saw. Dari perspektif Islam, kedatangan Nabi Muhammad 14 abad yang lalu adalah rahmat bagi seluruh alam, tidak terkecuali bagi kaum perempuan yang ketika itu merupakan golongan tertindas dan lemah. Kalau Feminisme Barat menuduh Islam sebagai agama yang justru merendahkan wanita, maka dengan ~kalau dalam istilah Fatima Mernissi~ kembali ke Madinah, kita akan sependapat bahwa apa yang dikatakan mereka adalah salah besar. Kalau menilik sejarah kemunculannya dan juga nilai-nilai yang tertuang dalam teks-teks sucinya, Islam justru adalah agama yang menghormati dan menjunjung tinggi perempuan. Lihat saja apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw di masa hidupnya. Dialah yang mengangkat posisi rendah dan hina perempuan di Jazirah Arab ke posisi yang seharusnya. Islam yang dibawanya mendudukkan wanita sederajat dengan laki-laki.Tak cukup sampai disitu, Islam bahkan memberikan peran dan hak-hak yang sebelumnya tidak didapat oleh perempuan di masa pra-Islam. Hak-hak itu meliputi hak untuk berpendapat, hak untuk memperoleh warisan, hak untuk memperoleh pendidikan dan hak untuk terlibat dalam ranah publik, entah itu bekerja maupun berpolitik (memilih dan dipilih). Memang untuk hak yang terakhir ini masih banyak perdebatan, namun tak bisa disalahkan jika ada yang berpendapat demikian. Berangkat dari asumsi bahwa Tuhan itu Maha Bijaksana dan Maha Adil, maka tentu seperangkat hukum dan ajaran yang disampaikan kepada umat manusia melalui nabi-Nya adalah relevan dan adil. Namun tentu tidak akan semudah hal ini, pasti ada sanggahan yang akan mengikutinya, yakni bagaimana dengan ketidakadilan dan adanya ketidaksetaraan gender yang berlaku pada umat Islam sepanjang sejarahnya?Para cendekiawan, baik dari modernis maupun ulama hampir sepakat bahwa pencampuradukan antara agama (Islam) dengan tradisi, kejumudan cara berpikir, serta berkuasanya pemerintahan yang despotik adalah sumber dari anggapan bahwa Islam adalah agama yang tidak adil atau diskrimantif terhadap perempuan. Sehingga tak heran jika kemudian, para feminis atau pun modernis misalnya mencoba untuk memahami atau menafsirkan ulang teks-teks yang berkaitan dengan wanita dalam Islam.Lebih dari itu semua, perlu untuk ditekankan kembali bahwa Islam memposisikan perempuan secara adil dan proporsional. Islam menjamin hak-hak yang oleh Feminisme Barat masih dipertanyakan, semisal hak politik, hak berperan aktif dalam ruang publik, hak memperoleh pendidikan, dan hak-hak lainnya. Namun demikan, Islam tidak serta merta memberi kebebasan yang kelewat batas, tetap ada aturan-aturan dari agama. Islam memiliki seperangkat etika yang mengontrol perilaku manusia baik secara individu maupun sosial. Demi terciptanya masyarakat yang bermoral, dalam Islam, wanita tidak bisa dipandang sebelah mata. Wanita memiliki peran yang sangat signifikan untuk tujuan itu (masyarakat bermoral). Oleh karena itu, Islam kemudian sangat memperhatikan peran wanita sebagai sebuah individu dalam kaitannya dengan masyarakat agar tercipta sebuah masyarakat dimana nilai-nilai spiritual tetap bersemayam disana. Dengan demikian, perannya tidak murni hanya untuk sesuatu yang bisa dinilai secara fisik-material, namun juga secara spiritual.

Hakekat Manusia dan Keutamaan Wanita[footnoteRef:16] [16: http://nayari-return.blogspot.com/2008/12/hakekat-manusia-dan-keutamaan-wanita.html]

Tuhan yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran, Dia menciptakan manusia, Mengajarkannya pandai berbicara. (QS. Ar-Rahman: 1-4)Makna Manusia dalam ayat diatas tidaklah terbatas pada jenis dan golongan manusia tertentu, namun mencangkup seluruh jenis manusia, baik pria maupun wanita. Tuhan yang Maha Pemurah adalah guru dengan sifat kasih-Nya yang mendahului, dan manusia sebagai muridnya, empat criteria dan tingkatan dari ayat diatas dimana manusia terdidik dalam sekolah rahmat tersebut, maka dia akan menjadi manusia. Setelah menjadi manusia, maka perkataannya akan menjadi jelas dan dapat dijadikan sebagai penjelas. Oleh karena itu keempat kreteria diatas adalah urutan yang tepat dan saling memiliki ketergantungan.Al-Quran hadir sebagai Kitab Suci untuk mensucikan rohaniah manusia. Jikalau Al-Quran diturunkan untuk penyempurnaan Roh manusia maka tepatlah bahwa tak ada batasan antara pria dan wanita dalam pencapaiaan kesucian rohaniah manusia.Hal yang eksistensial pada diri manusia adalah roh. Pada ayat diatas ditegaskan sebuah bahasa pengajaran dan pendidikan kepada roh, pengajaran serta pendidikan ini sama sekali tidak terbatasi oleh pria dan wanita karena keduanya memiliki predikat yang sama, tak ada roh wanita dan tak ada roh pria. Pertama, pria dan wanita hanya berkaitan dengan tubuh, bukan berkaitan dengan Roh, Kedua, Pengajaran, pendidikan, bimbingan dan kesucian adalah berkaitan dengan nafs (jiwa), Ketiga, nafs (Jiwa) bukan jasad dan jasad bukan nafs. Dalam Al-Quran bahwa Roh yang menjadi dasar bukan Raga, dan Roh bukan pria dan wanita.

Hakikat Manusia Bukan Pria Bukan pula WanitaPemisahan antara yang memiliki makna nilai dan lawannya dicontohkan didalam Al-Quran, Al-Quran yang mengibaratkan Ilmu sebagai sebuah nilai dan kebodohan adalah lawan dari nilai, Iman sebagai nilai dan kufur adalah lawannya, kehinaan dan kemulyaan, kebahagiaan dengan kesengsaraan dan lain sebagainya. Kejujuran, kebaikan, kebodohan, keberdasan, seorang pembohong dsb adalah sifat yang telah menjelaskan bahwa selamanya sifat tersebut tidak memiliki jasad. Dengan demikian bahwa yang memiliki nilai pada dasarnya adalah Roh bukan pria maupun wanita. Tolak ukur yang mengidentifikasi subyek-subyek penyandang nilai dan yang menentukan norma nilai, membuktikan bahwa subjek dan predikat terlepas dari masalah gender (antara pria dan wanita).Ketika Islam menggambarkan bahwa pria dan wanita tidak berbeda dari segi nilai, maka penciptaan manusia ketika Allah SWT berbicara tentang Roh, Dia mengatakan, bahwa secara materi, maka dijadikanlah makhluk, Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain . Ia dijadikan makhluk yang lain setelah sempurna menjadi janin, baik itu pria maupun wanita. Disinilah baru pembicaraan pria dan wanita.

Sebagai bahan Pertimbangan dan Kesimpulan.Pertama, Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah wanita yang sholehah. (HR. an-NasaI dan Ahmad)Hadith yang menggambarkan tentang perempuan layaknya perhiasan dunia, merupakan ekspresi penghargaan yang total Islam dalam menghargai dan menempatkan perempuan sebagai insan yang terhormat, walaupun perempuan dalam Hadith ini fokus pada perempuan yang salihah.

Kedua, Gambaran tentang sikap feminin Rasulullah salah satunya ditampilkan dalam Hadith yang menjelaskan tentang kehidupan Rasulullah dalam keluarga dimana beliau acapkali ikut andil dalam kegiatan-kegiatan rumah tangga. Aktifitas rumah tangga tidak hanya menjadi tugas isteri, melainkan juga menjadi tugas suami.

Ketiga, kepemimpinan pada dasarnya bukan merupakan posisi yang diperuntukkan hanya kepada laki-laki. Karena kepemimpinan menyangkut tanggungjawab yang diemban berdasarkan peran dan posisi yang diberikan. Bahkan setiap individu adalah pemimpin sesuai dengan domain sosial yang digeluti. Laki-laki dan perempuan adalah pemimpin yang sama-sama memiliki tanggungjawab.

Keempat, praktek kekerasan adalah tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai agama, termasuk kekerasan terhadap perempuan sebagaimana digambarkan dalam Hadith tentang sikap kurang simpati Rasulullah pada sahabat yang melakukan pembunuhan terhadap perempuan dalam peperangan sebagai refleksi tentang larangan melakukan kekerasan terhadap kaum perempuan.

Kelima, perempuan juga memiliki hak dan kesempatan untuk bebas den merdeka dalam mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga suami harus memberikan hak itu dengan baik tanpa harus melakukan karantina terhadap kehidupan kaum perempuan, agar ia dapat mengembangkan potensinya dengan baik.

Daftar PustakaA. H. Jemala Gembala, Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, (Jakarta: Al-Huda, Juli 2005), Cet. I. Ali Hossein Hakeem, et. al. Membela Perempuan; Menakar Feminisme dengan nalar Agama, Al-Huda, 2005.Dadang S. Ansori, Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, (Jakarta: Pustaka Hidayah, November1997), Cet. I. Farid Achmad Okbah, Feminisme Dalam Timbangan, diakses pada 14 Maret 2010. http://www.alislam.or.id.Haideh Moghissi,, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, LKiS, 2005.Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam: Akar-Akar Historis Perdebatan Modern, (Jakarta: PT. Lentera Basitama, September200), Cet. I. Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet. I.Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, April 2000), Cet. I. Najma Saidah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan: Bercermin Pada Sahabiyat r. a, (Jakarta: CV. Idea Pustaka Utama, Oktober2003), Cet. I.Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), Cet. I.http://nayari-return.blogspot.com/2008/12/hakekat-manusia-dan-keutamaan-wanita.html

1