memori banding najamudin juni 2011
TRANSCRIPT
MEMORI BANDING
Atas Nama Terdakwa
IR. NAJAMUDDIN BIN MUNARI
Perkara Pidana No. 04/Pid.Sus/B/2011/PN.K.Kp
Diajukan oleh
TIM PENASIHAT HUKUM
Kuala Kapua, 13 Juni 2011
Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah
Melalui Ketua Pengadilan Negeri Kuala Kapuas
Jl. Tambun Bungai No. 55
Dengan hormat,
Danu Hanura dan kawan-kawan, Advokat dan Pengacara dari Kantor Hukum Danu
Hanura yang beralamat di ................................., berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal ............. (terlampir) dari Terdakwa Ir. Najamuddin Bin Munari untuk
selanjutnya disebut PEMBANDING;
Bahwa PEMBANDING dengan ini hendak menyampaikan memori banding atas
Putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas dalam perkara pidana No.
04/Pid.Sus/B/2011/PN.K.Kp pada tanggal 1 Juni 2011 dan PEMBANDING mengajukan
Akta Banding pada tanggal 6 Juni 2011 dan berarti masih dalam tenggang waktu yang
ditentukan Undang-Undang, yang amar putusannya berbunyi sebagai berikut:
Mengadili:
- Menyatakan Terdakwa Ir. Najamuddin Bin Munari telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “sengaja merambah
kawasan hutan”;
- Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ir. Najamuddin Bin Munari dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda
kepada terdakwa sebesar Rp 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) dengan
ketentuan jika denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 3 (tiga) bulan;
- Menyatakan barang bukti:
Memori Banding 1
2 (dua) unit peralatan berat berupa Buldozer merk Komatsu terdiri dari seri
J13132 type D85ESS-2 tahun 2008 dan seri J13397 type D85ESS tahun 2009
dirampas untuk Negara;
- Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.500,- (dua ribu
lima ratus rupiah).
I. PENDAHULUAN
Setelah membaca dan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang
dikemukakan dalam putusan perkara pidana atas nama Terdakwa Ir.
Najamuddin Bin Munari (Perkara Pidana No. 04/Pid.Sus/B/2011/PN.K.Kp),
PEMBANDING menyatakan sangat berkeberatan dan berpendapat bahwa
Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri telah tidak mempertimbangkan fakta-
fakta yang terungkap di persidangan secara lengkap, tidak menerapkan hukum
pembuktian sebagaimana mestinya, tidak mempertimbangkan secara
sungguh-sungguh hal-hal yang telah dikemukakan dalam Nota Pembelaan, baik
disampaikan oleh Penasihat Hukum maupun Terdakwa.
Dengan tidak dipenuhinya hal-hal di atas, maka Pembanding berpendapat
bahwa dalam perkara atas nama Terdakwa Ir. Najamuddin Bin Munari
menurut hukum pembuktian yang sah, tidak dapat dinyatakan TERBUKTI
melakukan tindak pidana “SENGAJA MERAMBAH KAWASAN HUTAN”
sebagaimana dalam Dakwaan didakwakan dan dituntut Penuntut Umum. Oleh
karenanya, mohon agar Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi terhormat,
MEMBEBASKAN TERDAKWA Ir. Najamuddin Bin Munari DARI DAKWAAN ATAU
SETIDAK-TIDAKNYA MELEPASKAN DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM.
Memori Banding 2
Adapun alasan-alasan keberatan PEMBANDING terhadap pertimbangan-
pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kuala Kapuas adalah
sebagaimana Kami uraikan dalam bab berikut ini:
II. KEBERATAN-KEBERATAN ATAS PUTUSAN MAJELIS HAKIM PENGADILAN
NEGERI
1. Tentang Terpenuhi Unsur Barangsiapa Hanya Karena Terdakwa Memiliki
Identitas yang Lengkap
Bahwa di dalam halaman 36 Putusan Pengadilan Negeri, Majelis Hakim
berpendapat telah terpenuhi unsur “barangsiapa”, hanya karena Terdakwa
Ir. Najamuddin Bin Munari merupakan orang perorangan yang memiliki
identitas lengkap sebagaimana dalam surat dakwaan dan diakui pula oleh
terdakwa. Argumentasi yang dinyatakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
terlalu sederhana dan tidak melakukan penelusuran terhadap fakta-fakata
persidangan secara mendalam apakah Terdakwa layak bertanggungjawab
jika dikaitkan dengan waktu kejadian perkara seperti yang didakwakan
Penuntut Umum.
Di dalam Dakwaan dinyatakan bahwa waktu kejadian tindak pidana sekitar
awal bulan Mei Tahun 2009 sampai dengan Bulai Juli Tahun 2009 atau pada
waktu-waktu lain di bulan Mei 2009 atau setidak-tidak-tidaknya di waktu
lainnya di bulan Mei sampai dengan Juli atau setidak-tidaknya masih di
tahun 2009. Sedangkan pemeriksaan yang dilakuan POLDA Kalteng
dilakukan pada tanggal 15 Juni 2009. Berdasarkan Akta Nomor 24 tanggal
15 Januari 2009 yang dibuat oleh Notaris Dr. Irawan Soerodjo, SH., M.Si,
susunan Direksi PT Susantri Permai mengalami perubahan dimana Anthony
Nazareth menjabat sebagai Presiden Direktur, sedangkan Terdakwa dan
Memori Banding 3
Antony Bosco menjabat sebagai Direktur. Jika tempus delicti sebagaimana
yang didakwakan adalah bulan Mei sampai dengan Juli 2009 dan
pemeriksaan yang dilakukan penyidik pada tanggal 15 Juni 2009, maka
yang seharusnya bertanggung jawab berdasarkan tempus delicti adalah
Anthony Nazareth yang menjabat Presiden Direktur pada saat kejadian,
bukan Terdakwa. Terdakwa baru menjabat sebagai Presiden Direktur sejak
bulan Oktober 2009 berdasarkan Akta Nomor 186 tanggal 26 Oktober 2009
dengan Notaris Dr. IRAWAN SOERODJO, SH.
2. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tidak Pernah Melihat Peta TGHK, Tetapi
Menyatakan Peta TGHK sebagai Acuan
Bahwa di dalam bukti-bukti yang disajikan di persidangan memang tidak
pernah ditunjukkan wujud dan bentuk Peta TGHK. Majelis Hakim
menyatakan TGHK sebagai acuan sebagaimana Putusan halaman 42
paragraf 3 hanya didasarkan pada Keterangan Saksi Mohammad Nizar dan
Ahli Ir. Yopie, tanpa melihat bagaimana bentuk Peta TGHK dan akibatnya
jika Peta TGHK dijadikan acuan.
Berdasarkan bukti lampiran peta Keputusan Menteri Pertanian No.
759/Kpts/Um/10/1982 tentang Penunjukkan Areal Hutan di Wilayah
Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 ha (Lima
Belas Juta Tiga Ratus Ribu Hektar) (“Selanjutnya disebut Kepmentan No.
759 Tahun 1982) ternyata tidak ada Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan,
tetapi yang ada hanyalah Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan
Hutan Prop. Dati I Kalimantan Tengah. Dengan adanya salah penyebutan
judul Peta, tidak melihat secara langsung peta yang digunakan acuan untuk
memutus perkara ini dan hanya bersandar pada “Katanya”, menunjukkan
Majelis Hakim tidak mengungkap kebenaran materiil dalam perkara ini.
Memori Banding 4
Jika kita melihat secara baik-baik Peta Rencana Pengukuhan dan
Penatagunaan Hutan Prop. Dati I Kalimantan Tengah, maka seluruh
Provinsi Kalimantan Tengah merupakan kawasan hutan tanpa terkecuali.
Dan oleh karena itu, jika Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan
Hutan Prop. Dati I Kalimantan Tengah, maka seluruh penduduk Kalimantan
Tengah harus dipidana karena menggunakan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah.
Berdasarkan Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Prop.
Dati I Kalimantan Tengah Tahun 1982, seluruh Kabupaten Kapuas berada di
kawasan hutan. Hal ini berarti mulai dari Kantor Bupati, Kantor Dinas-Dinas,
Kantor POLRES, Pengadilan Negeri Kuala Kapuas, Kejaksaan Negeri Kuala
Kapuas, permukiman penduduk di Palangka Raya, jalan-jalan raya, sekolah-
sekolah, universitas, rumah sakit dan hotel-hotel di Kabupaten Kapuas
berada di kawasan hutan. Jika Terdakwa dinyatakan bersalah hanya karena
Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Prop. Dati I
Kalimantan Tengah Tahun 1982 dijadikan acuan, maka bukan Cuma
Terdakwa yang harus dinyatakan bersalah. Tetapi juga 329.440 Penduduk
Kabupaten Kapuas juga dipidana, termasuk Penuntut Umum maupun
Majelis Hakim yang memutus perkara ini karena menggunakan atau
menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
Berdasarkan Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Prop.
Dati I Kalimantan Tengah Tahun 1982, seluruh Kota Palangka Raya berada
di kawasan hutan. Hal ini berarti mulai dari Kantor POLDA Kalimantan
Tengah yang menyidik kasus ini, Kantor Gubernur, Kantor Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Tengah, Kantor Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah, Kantor
Kejaksaan Negeri Palangka Raya, Kantor POLRES Palangka Raya, Bandar
Udara Tjilik Riwut, permukiman penduduk di Palangka Raya, jalan-jalan
Memori Banding 5
raya, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit dan hotel-hotel di Palangka
Raya berada di kawasan hutan.
Jika memang Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Prop.
Dati I Kalimantan Tengah Tahun 1982 dijadikan acuan dalam menentukan
kawasan hutan, maka berdasarkan asas persamaan hukum atau equality
before the law seluruh penyidik POLDA Kalimantan Tengah (termasuk juga
yang menyidik Kasus ini), Gubernur beserta jajajarannya, Walikota Palangka
Raya beserta jajarannya, aparat pemerintah dan penegak hukum yang
menempati Palangka Raya, Hakim-Hakim Pengadilan Tinggi dan seluruh
Penduduk Palangka Raya yang berjumlah 220.223 jiwa (hasil sensus
penduduk tahun 2010) harus dikenakan pasal 50 ayat (3) huruf a UU
Kehutanan karena menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara
tidak sah.
3. Tidak Dipertimbangkannya Bahwa Kepmentan No. 759 Tahun 1982 Hanya
Bersifat Sementara dan Belum Melalui Proses Pengukuhan Kawasan
Hutan sebagai Amanat Pasal 14 ayat (2) UU Kehutanan
Substansi dari Kepmentan No. 759 Tahun 1982 tidak berisi peraturan,
tetapi hanya bersifat penetapan yang bersifat sementara. Dikatakan
demikian karena isi/substansi dari Keputusan tersebut adalah sebagai
berikut:
Memutuskan.
Menetapkan
Pertama: Menunjuk areal hutan di wilayah Propinsi Dati I Kalimantan
Tengah seluas ±15.300.000 ha sebagai kawasan hutan dengan fungsi dan
luas seperti perincian sebagai berikut:
1. Hutan Suaka Alam/Hutan Wisata 729.919 ha
2. Hutan Lindung 800.000 ha
Memori Banding 6
3. Hutan Produksi terbatas 3.400.000 ha
4. Hutan produksi biasa 6.000.000 ha
5. Hutan produksi yang dapat dikonversikan 4.302.101 ha
Kedua: Batas sementara kawasan hutan tersebut pada amar Pertama
terlukis dalam peta pada lampiran surat keputusan ini sedangkan batas
tetap akan ditetapkan setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan
batas di lapangan.
Ketiga: Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Kehutanan untuk
melaksanakan pengukuran dan penataan batas Kawasan Hutan tersebut di
lapangan.
Keempat: Kawasan hutan yang telah ditunjuk/ditetapkan sebelum
diterbitkannya Surat Keputusan ini, yang letaknya diluar kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam diktum Pertama Surat Keputusan ini tetap
tidak mengalami perubahan selama belum ada penetapan lebih lanjut.
Kelima: Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya dengan
ketentuan, bahwa segala sesuatu akan diubah dan diatur kembali apabila
dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini.
Di dalam butir kedua Kepmentan No. 759 Tahun 1982 menyatakan bahwa
”Batas sementara kawasan hutan tersebut pada amar Pertama terlukis
dalam peta pada Lampiran Surat ini, sedangkan batas tetap akan
ditetapkan setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan batas di
lapangan”. Karena hanya bersifat sementara, maka keberadaan tersebut
Peta Lampiran Kepmentan No. 759 Tahun 1982 tidak bisa diajukan acuan
untuk jangka waktu yang lama, mengingat adanya perubahan dan
kebutuhan masyarakat terhadap lahan untuk kegiatan pembangunan.
Memaksa masyarakat Kalimantan Tengah untuk mengacu Peta Lampiran
Kepmentan No. 759 Tahun 1982 sama dengan membelenggu masyarakat
untuk berkembang. Pembuat Kepmentan No. 759 Tahun 1982 menyadari
Memori Banding 7
bahwa pengukuhan kawasan hutan harus disesuaikan dengan kondisi di
lapangan, dengan cara melakukan pengukuran dan penataan batas.
Selanjutnya, Diktum Ketiga mempunyai makna, bahwa hal ini adalah
penugasan dan bersifat sementara sehingga di dalam penyelesaiannya
dapat dilakukan Direktur Jenderal yang terkait dengan pengukuran di
lapangan untuk memastikan berapa sebenarnya luas kawasan hutan di
Kalimantan Tengah. Pengukuran mengandung makna bahwa luasan belum
diketahui secara pasti karena hanya berdasarkan perhitungan luas di atas
kertas atau di atas peta. Maka sifat surat tersebut jelas disebutkan
sementara. Berarti tidak pasti dan kepastian luas adalah hasil pengukuran
di lapangan yang sesungguhnya.
Oleh karena perlu dipertanyakan, Apakah batas sementara bisa dijadikan acuan
untuk menentukan terbuktinya unsur pidana. Berdasarkan asas kepastian hukum,
seharusnya Terdakwa baru bisa dipidana jika berdasarkan batas tetap telah
memasuki kawasan hutan. Di dalam definisi pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yang
menyatakan “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan
tetap”. Oleh karena itu merujuk pada definisi tersebut, maka suatu kawasan
dinyatakan sebagai kawasan hutan jika sudah ditetapkan sebagai hutan tetap
terlebih dahulu dengan menggunakan batas tetap, bukan batas sementara
sebagaimana Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Prop.
Dati I Kalimantan Tengah Tahun 1982. Kemudian pasal 14 ayat (2) UU
Kehutanan, memberikan syarat bahwa suatu kawasan hutan mempunyai
kepastian hukum jika telah menjalani seluruh proses pengukuhan kawasan hutan.
Pasal 14 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan bahwa ”Kegiatan pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk
memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan”.
Memori Banding 8
Kemudian pasal 15 ayat (1) menyatakan ”Pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai
berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.”
Selanjutnya, Pasal 15 ayat (2) menyatakan “Pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
rencana tata ruang wilayah”. Sayangnya Penuntut Umum maupun Majelis
Hakim Pengadilan Negeri tidak memperhatikan ketentuan Pasal 14 dan 15,
padahal kedua pasal tersebut merupakan satu rangkaian dalam
menentukan kawasan hutan.
4. Tidak Dipertimbangkannya Perda RTRWP 2003 sebagai Acuan
Berdasarkan Keterangan Ahli Ir. Andarias Lempang dan fakta-fakta
persidangan, lokasi 293 ha merupakan Kawasan Pengembangan Produksi
(KPP) jika merujuk pada Peta Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan No. 8
Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP).
Di Propinsi Kalimantan Tengah, sejak tahun 1993 telah memiliki RTRWP
dengan adanya Peraturan Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah No. 5 Tahun
1993 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah.
Peraturan Daerah, telah terjadi pemaduserasian di Propinsi Kalimantan
Tengah yang kemudian diubah yakni dengan Peraturan Daerah Propinsi
Kalimantan Tengah No. 8 Tahun 2003.
Memori Banding 9
Keberadaan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi (RTRWP) bukanlah sesuatu yang turun dari langit, tetapi
merupakan amanat Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 yang kemudian
diganti dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Selain berlandaskan Undang-Undang Penataan Ruang,
pembentukan Peraturan Daerah RTRWP juga didasarkan pada Undang-
Undang Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah yang mengatur tentang
RTRWP memberikan pengaturan tentang penetapan Kawasan Lindung dan
Budidaya yang di dalamnya terdapat kawasan hutan. Beberapa kawasan
yang menurut Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Prop.
Dati I Kalimantan Tengah Tahun 1982 masuk dalam kawasan hutan, namun
berdasarkan Peta RTRWP masuk dalam KPP dan KPPL.
Terbitnya UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
menginstruksikan kepada Pemerintah Propinsi untuk membentuk Rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP). Pasal 21 ayat (2) UU No. 24 Tahun
1992 menyebutkan bahwa ”Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I berisi:
a. arahan pengelolaan kawasan lindung dan
kawasan budi daya;
b. arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan
kawasan tertentu;
c. arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian,
pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya;
d. arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan
perkotaan;
e. arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi
prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan
prasarana pengelolaan lingkungan;
f. arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;
Memori Banding 10
g. arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara,
dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan
keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan”
Selanjutnya pasal 21 ayat (6) menyatakan “Rencana Tata Ruang wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I ditetapkan dengan peraturan daerah”. Sebagai
respon atas UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka pada
tahun 1993 dibentuklah Peraturan Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah No.
5 Tahun 1993. Cakupan dari RTRWP berisi tentang arahan penataan ruang
yang di dalamnya terdapat arahan kawasan hutan.
Pada tanggal 20 September 2003 dibentuklah Perda Provinsi Kalimantan
Tengah No. 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Kalimantan
Tengah. Perda ini menggantikan Perda No. 5 Tahun 1993. Perda Propinsi
Kalimantan Tengah No. 8 Tahun 2003 menyatakan bahwa luas wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah menjadi 15.356.700 ha dengan komposisi
kawasan non hutan seluas 5.061.846,46 ha dan kawasan hutan seluas
10.294.853,52 ha. Perda Propinsi Kalimantan Tengah No. 8 Tahun 2003
telah ditetapkan pada tanggal 20 September dan Diundangkan di Palangka
Raya pada tanggal 13 Oktober 2003 dalam Lembaran Daerah Propinsi
Kalimantan Tengah Tahun 2003 No. 28 Seri E.
Perda Propinsi Kalimantan Tengah No. 8 Tahun 2003 merupakan produk
hukum yang sah dan berlaku mengikat. Dikatakan produk hukum dalam
bentuk Peraturan Daerah bersifat mengikat karena Peraturan Daerah
merupakan bagian dari Tata urutan peraturan perundang-undangan baik
menurut TAP MPR No. III Tahun 2000 maupun Undang-Undang No. 10
Tahun 2004. Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
Memori Banding 11
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Selanjutnya berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 menyatakan bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Kedudukan Peraturan Daerah, khususnya Peraturan Daerah No. 8 Tahun
2003 tentang RTRWP Propinsi Kalimantan Tengah sangat kuat dengan
memperhatikan:
1. Di dalam Konsideran menimbang huruf b yang dinyatakan: ”bahwa
dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, maka Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi
Kalimantan Tengah No. 5 Tahun 1993 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah, perlu ditinjau
Memori Banding 12
kembali dan disesuaikan terutama dalam rangka penjabaran strategi
dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional”
2. Sesuai Peraturan Daerah No 8 Tahun 2003 di dalam Bab XI Ketentuan
Penutup, Pasal 65 dinyatakan: ”Dengan berlakunya Peraturan Daerah
ini, maka Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi Kalimantan Tengah No. 5
Tahun 1993 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I Kalimantan Tengah dinyatakan tidak berlaku”. Juga di dalam
Pasal 66 Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2003 dinyatakan: “Hal-hal yang
belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
pelaksanannya akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Gubernur”.
Sesuai Pasal 67: “Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
(RTRWP) adalah 15 (lima belas) tahun sejak Peraturan Daerah ini
diundangkan”. Pasal 68: “Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan”.
3. Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2003 telah ditetapkan pada tanggal 20
September 2003 dan agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Daerah Propinsi Kalimantan Tengah. Diundangkan di Palangka
Raya pada tanggal 13 Oktober 2003, LEMBARAN DAERAH PROPINSI
KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2003 NO. 28 SERI E;
4. Dan sampai sekarang Perda No. 8 Tahun 2003 masih berlaku dan belum
dicabut baik itu oleh Gubernur, Menteri Dalam Negeri ataupun
Presiden.
5. Tidak Dipertimbangkannya Kondisi Riil Di Lapangan yang Berupa Ladang
dan Semak Belukar, Serta Diabaikannya Bukti Kepemilikan Berupa Surat
Keterangan Tanah
Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan terdakwa kondisi riil di
lokasi 293 ha berupa ladang dan semak belukar. Berdasarkan sejarah
Memori Banding 13
kepemilikan, areal tersebut telah dikuasai oleh masyarakat sejak lama
sebelum tahun 1982 atau sebelum Kepmentan No. 759 Tahun 1982
diterbitkan. Berdasarkan Bukti Kepemilikan Tanah yang dikeluarkan oleh
Kepala Desa, areal 293 ha telah dikuasai oleh masyarakat sejak tahun 1980
yang digunakan sebagai ladang dan perkebunan karet dan buah-buahan.
Kepmentan No. 759 Tahun 1982 diterbitkan yang menganut domein
verklaring yakni semua kawasan di Provinsi Kalimantan Tengah adalah
kawasan hutan, kecuali terdapat hak-hak dan bukti kepemilikan lainnya
yang sah yang akan dikeluarkan dari kawasan hutan ketika pengukuran dan
penataan batas di lapangan. Dengan dianutnya domein verklaring dalam
menentukan kawasan hutan, maka terjadilah pencaplokan hak-hak
kepemilikan atas nama kawasan hutan. Jika Kepmentan No. 759 Tahun
1982 tetap dijadikan rujukan dan diabaikannya bukti kepemilikan berupa
Surat Keterangan Tanah, maka sama saja kita melestarikan sistem domein
verklaring yang merupakan peninggalan sistem penjajahan Belanda yang
digunakan untuk mengambil secara sepihak tanah-tanah milik masyarakat.
6. Tidak Dipertimbangkannya Putusan Pidana No.160/Pid.B/2010/PN.Mtw
yang Sudah Berkekuatan Hukum Tetap, Dimana Di Dalam Putusan
Tersebut Ketika “Setiap Orang” Menggunakan Perda RTRWP sebagai
Acuan, maka Ia harus Dilindungi Hukum dan Tidak Bisa Dipidana.
Bahwa memang benar, sistem peradilan kita tidak mengenal yuriprudensi
dimana Putusan Hakim sebelumnya bersifat mengikat terhadap putusan
selanjutnya. Tetapi bukan berarti putusan sebelumnya yang telah
berkekuatan hukum dikesampingkan dan tidak digunakan acuan dalam
memutus perkara. Jika memang pertimbangan-pertimbangan yang ada di
dalam Putusan sebelumnya logis dan memenuhi rasa keadilan, maka ada
Memori Banding 14
baiknya Majelis Hakim menggunakan Putusan tersebut sebagai bahan
pertimbangan.
Perkara Pidana No.160/Pid.B/2010/PN.Mtw mempunyai karakteristik yang
sama dengan Perkara Pidana No. 04/Pid.Sus/B/2011/PN.K.Kp yang
menimpa Terdakwa. Kedua perkara tersebut sama-sama diidakwa tindak
pidana kehutanan dengan landasan Kepmentan No. 759 Tahun 1982.
Padahal berdasarkan Peta RTRWP Kalimantan Tengah 2003, lokasi kedua
perusahaan berada di kawasan non hutan alias KPP dan/atau KPPL.
Perbedaannya yakni yang satu perusahaan tambang, sedangkan
perusahaan yang dikelola oleh Terdakwa adalah Perkebunan. Yang satu
berada di Kabupaten Barito Utara, sedangkan kasus yang menimpa
Terdakwa berada di Kabupaten Kapuas.
Dalam Putusan yang dibacakan pada tanggal 16 Desember 2010,
Pengadilan Negeri Muara Teweh membebaskan Terdakwa Ir. Darwizin Alias
Atong dengan pertimbangan sebagai berikut:
Menimbang, bahwa oleh karena areal Kuasa Pertambangan PT Unirich
Mega Persada (PT UMP) sebagaimana disebutkan di dalam Surat Kepala
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Barito Utara dinyatakan
berada dalam 2 (dua) buah ketentuan yang berbeda dimana berdasarkan
Peta TGHK 1982 areal Kuasa Pertambangan PT Unirich Mega Persada (PT
UMP) berada dalam kawasan hutan, sedangkan berdasarkan Peta RTRWP
areal Kuasa Pertambangan PT Unirich Mega persada (PT UMP) berada
dalam Kawasan Pemukiman dan Pengambangan Lainnya (KPPL) dan
Kawasan Pengembangan Produksi (KPP), sehingga menimbulkan
permasalahan ketentuan mana yang dijadikan acuan di dalam perkara ini
apakah Peta TGhk 1982 ATAU KETENTUAN Peta RTRWP Kalimantan
Tengah 2003, maka Majelis akan mempertimbangkan hal tersebut sebagai
berikut di bawah ini ;
Memori Banding 15
Menimbang, bahwa di persidangan telah terjadi perbedaan di antara
para saksi maupun para ahli terhadap areal Kuasa Pertambangan PT
Unirich Mega Persada (PT UMP), dimana disatu sisi berpendapat areaL
Kuasa Pertambangan Eksplotasi PT. Unirich Mega Persada (PT UMP)
berada dalam kawasan hutan, sedangkan di sisi lain berpendapat areal
Kuasa Pertambangan PT. Unirich Mega Persada (PT UMP) tidak termasuk
kawasan hutan ;
Menimbang, bahwa lebih lanjut ahli Prof. Dr.H.M.Hadin Muhjad,
SH.,m.Hum, menyebutkan bahwa untuk menentukan mana kawasan
hutan dan mana yang bukan kawasan hutan adalah dengan melakukan
pengukuhan kawasan hutan dimana prosedurnya adalah menunjukan
kawasan hutan, penataan batas, dipetakan selanjutnya ditetapkan dan
dikukuhkan mejadi kawasan hutan dan setahu ahli apa yang diamanatkan
kepada Direktur Jenderal Kehutanan untuk melakukan pengukuran dan
penataan batas kawasan hutan sebagaimana Surat Keputusan Menteri
Pertanian No.759/Kpts/Um/10/1982 belum pernah dilaksanakan;
Menimbang, bahwa pendapat ahli Prof.Dr.H.M. Hadin Muhjad, SH., MH
tersebut didukung pula oleh keterangan ahli Dr. Tommy Hendra Purwaka,
SH., LL.M bahwa Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
759/Kpts/Um/10/1982 tersebut hanyalah berupa beschikking yakni
bersifat tidak mengatur dan hanya penetapan saja, bukan sebagai
peratura yang sifatnya mengatur sehingga memberi kosekuensi hukum
kalau ada 2 (dua) ketentuan, maka salah satu harus digunakan dan karena
Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalimantan Tengah merupakan
peraturan (regeling) maka Peraturan Daerah inilah yang berlaku;
Menimbang, bahwa lebih lanjut adli Dr.Tommy Hendra Purwaka, SH.,
LL.M berpendapat bahwa pengertian kata “batas sementara” pada amar
kedua Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 759/Kpts/Um/10/198
mengandung arti bahwa sifat Surat Keputusan tersebut adalah sementara,
sedangkan amar ketiga berisi “memerintahkan kepada Direktur Jenderal
Memori Banding 16
Kehutanan untuk melakukan pengukuran dan penataan batas kawasan
hutan”, mengandung arti bahwa Direktur Jenderal ditugaskan ke lapangan
untuk mencek dan melakukan pemetaan. Jadi menurut ahli batas-batas
sementara sebagaimana sebagaimana dimaksud di dalam amar kesatu
baru merupakan batas-batas yang digambarkan di peta saja, belum
berdasarkan fakta di lapangan kaena kalau dilihat dari Peta TGHK 1982
hampir seluruh areal Barito Utara/Muara Teweh termasuk akwasan
hutan;
Menimbang, bahwa demikian pula halnya ahli Ir. Rahman Purwoko
berpendapat bahwa di dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
759/Kpts/Um/10/1982 perihal Penunjukan Areal Hutan terdapat
kejanggalan karena tidak ada tahapan invetarisasi dan nama lampiran
Peta TGHK tersebut adalah Tata Guna Hutan Kesepakatan, sedangkan
pengertian “Tata Guna Hutan Kesepakatan” adalah setelah dilakukan
pengukuhan, jadi anehnya mengapa nama lampirannya “Peta Tata Guna
Hutan” padahal penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan
serta pengukuhan belum pernah dilakukan dan ahli menegaskan pula
bahwa bila Peta TGHK 1982 diterapkan berarti keseluruhan (100%) areal
Barito Utara merupakan kawasan hutan;
Menimbang, bahwa ahli Ir.Rahman Purwoko menegaskan pula di
dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No.759/Kpts/Um/10/1982
disebutkan luas kawasan hutan Kalimantan Tengah 99,63% tetapi dalam
kenyataannya Propinsi Kalimantan Tengah dan Barito Utara sudah ada
sebelum tahun 1982, permasalahnnya adalam mengapa Surat Keputusan
Menteri Pertanian No 759/Kpts/Um/10/1982 yang dikeluarkan pada tahun
1982 tersebut tidak direvisi untuk disesuaikan dengan kondisi yang
sebenarnya padahal menurut ahli kondisi kawasan hutan saat ini baik
Kawasan Hutan Produksi (HP) dan Kawasan Pemukiman dan
Pengembangan Lainnya (KPPL) serta Kawasan Pemgembangan Produksi
Memori Banding 17
(KPP) sudah diatur di dalam Perda No.8 Tahun 2003 tentang RTRWP
Kalimantan Tengah;
Menimbang, bahwa di dalam kesaksiannya Ir. Sugito lebih lanjut
menyatakan bahwa penetapan kawasan hutan atas dasar Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 759/Kpts/Um/10/1982 “sudah definitif”
dan saksi Ir Yesaya Arung juga berpendapat Peta TGHK “merupakan
produk terbaik” karena didasarkan data curah hujan, jenis tanaman serta
ketinggian/kelempengan, sebaliknya Dr. Tommy Hendra Purwaka,SH.,LL.M
menyatakan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
759/Kpts/Um/10/1982 bersifat sementara karena di dalam amar kedua
Surat Keputusan tersebut jelas menyebutkan “batas sementara”, berarti
sifat Surat Keputusan tersebut “sementara” ;
Menimbang, bahwa ahli Dr. Tommy Hendra Purwaka, SH.,LL.M
menambahkan pula bahwa di dalam amar ketiga berisi “memerintahkan
kepada Direktur Jenderal Kehutanan untuk melakukan pengukuran dan
penataan batas kawasan hutan”, berarti batas-batas sebagaimana
dimaksudkan di dalam amar kesatu baru merupakan batas-batas yang
digambarkan di atas peta saja, belum berdasarkan fakta di lapangan dan
ternyata sampai saat ini apa yang diperintahkan Menteri Pertanian agar
Diektur Jenderal Kehutanan melakukan pengukuran dan penataan batas
kawasan hutan belum pernah dilaksanakan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas Majelis
berpendapat Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
759/Kpts/Um/10/1982 belum dapat dikatakan “sudah definitif” dan
“merupakan produk terbaik”, karena kenyataannya sampai saat ini
pengukuran dan penataan batas kawasan hutan belum pernah
dilaksanakan dan di samping itu Surat Keputusan Menteri tersebut ada
menyebutkan kata “sementara”, berarti apa yang dikatakan saksi Ir.
Sugito maupun Ir. Yesaya Arung bahwa Surat Keputusan Menteri
Memori Banding 18
Pertanian No. 759/Kpts/Um/10/1982 merupakan keputusan yang “definitif
dan merpakan produk terbaik” tidaklah benar;
Menimbang, bahwa selanjutnya patut pula dikemukakan pendapat ahli
hukum pidana Syaifudin SH., MH, bahwa UU No.41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan bukanlah Undang-undang Pidana tetapi satu Undang-Undang
yang mengatur tentang Kehutanan, dimana untuk memenuhi fungsi
administrasi maka dibuatlah ketentuan pidana, jadi maksud adanya
ketentuan pidana di dalam UU Kehutanan adalah semata-mata untuk
mengeakkan norma Hukum Administrasi;
Menimbang, bahwa ahli hukum pidana Syaifudin, SH., MH menegaskan
pula bahwa untuk merumuskan sanksi di dalam Hukum Administrasi harus
berpegang pada prinsip-prinsip ketegasan yang terdapat di dalam Teori
Hukum Pidana yakni prinsip kepastian dan adanya fakta hukum dan
kenyataannya dalam perkara ini masih terdapat problema normatif
tentang kawasan hutan dimana problema normatifnya, apakah areal itu
berada dalam kawasan hutan atau tidak;
Menimbang, bahwa lebih lanjut ahli menambahkan bahwa di dalam
Hukum Administrasi kalau terdapat problema normatif maka tidak serta
merta langsung digunakan Hukum Pidana, karena Hukum Pidana secara
tegas menganut adanya satu kepastian di dalam konteks/ sisi perbuatan
pidananya, namun kalau Hukum Administrasinya sudah jelas menyebutkan
areal tersebut sebagai kawasan hukum maka Hukum Pidana harus
diterapkan/ ditegakkan sehingga dengan demikian fungsi Hukum Pidana
disini adalah untuk melindungi norma Hukum Administrasi, kalau norma
Hukum Administrasi belum jelas atau kabur, maka hukum pidana jangan
dulu diterapkan karena Hukum Pidana merupakan Ultimum Remedium;
Menimbang, bahwa di samping apa yang telah diuraikan di atas,
Majelis patut mencermati Pertimbangan Hukum Jaksa Agung Republik
Indonesia di dalam suratnya No. b072A/A/Go.1/09/2010 tanggal 21
September 2010 perihal Permohonan Pertimbangan Hukum atas
Memori Banding 19
Keterlanjuran Pemanfaatan Kawasan Hutan yang ditujukan kepada
Menteri Kehutanan Republik Indonesia (bukti p-104);
Menimbang, bahwa di dalam “Butir VI Pertimbangan Hukum”nya Jaksa
Agung menyebutkan bahwa “Dalam hal Kementerian Kehutanan memiliki
bukti pendukung adanya Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Rencana Tata Ruang yang tumpang tindih dengan UU No. 41
Tahun 1999 tenatng Kehutanan, maka sewajarnya ditempuh upaya
penyelesaiannya melalui jalur out of sourt sattlement (penyelesaian di luar
pengadilan) dimana cara ini tidak merugikan investor atau pengusaha
yang memiliki izin usaha, karena dalam kegiatan usaha telah
menghasilkan pemberdayaan manusia dalam lingkungan usahanya dan
dalam doktrin penegakan hukum keperdataan kualifikasi hukum bagi
pihak pengusaha yang telah memiliki izin berdasarkan Peraturan Daerah,
maka secara yuridis adalah digolongkan sebagai pihak yang berkualitas
atau sebagai pihak yang dinilai beritikad baik atau goedetrouw, oleh
karena itu harus dilindungi secara hukum ;
Menimbang, bahwa memperhatikan Pertimbangan Hukum Jaksa
Agung yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan tersebut di atas
khususnya “pertimbangan tentang investor atau pengusaha yang telah
memiliki izin dan sebagai pihak yang dinilai beritikhad baik atau
goedetrouw harus dilindungi secara hukum”, maka Majelis patut untuk
mempertimbangkan hal-hal tersebut dikaitkan dengan keterangan saksi-
saksi maupun keterangan terdakwa serta bukti-bukti surat sebagaimana
tersebut di bawah ini ;
Menimbang, bahwa memperhatikan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan berupa keterangan saksi H.Sukardjo, B. S.Pd, Muhammah
Nyanya, S.Sos, Bonaventura, Yahaya, ST, Febriano Noman, Drs. H.Asran,
MM, Dawud Suyipto dan Ir Teguh Sapto Subroto sebagaimana tersebut di
atas dan mengutip keterangan terdakwa yang mengatakan telah
memenuhi apa yang disarankan Bupati untuk segera melakukan
Memori Banding 20
penambangan serta memperhatikan pula bukti-bukti yang diajukan
terdakwa yang berkaitan dengan perizinan, pembayaran royalti,
pembayaran royalti, pembayaran pajak dan pembayaran berupa
kewajiban-kewajiban lainnya oleh terdakwa yang tidak pernah ditolak oleh
negara dan menghubungkan dengan Pertimbangan Jaksa Agung RI yang
ditujukan kepada Menteri Kehutanan, Majelis berpendapat bahwa
terdakwa selaku investor atau pengusaha telah melakukan kewajibannya
dengan benar sehingga patut dikualifikasi sebagai pihak yang beritikhad
baik atau goedetrouw, sehingga patut dan beralasan terdakwa harus
dilindungi secara hukum;
Menimbang, bahwa oleh karena pihak yang beritikhad baik atau
goedetrouw sebagaimana Pertimbangan Jaksa Agung RI maupun
pertimbangan Majelis harus dilindungi secara hukum dan kenyatannya
berbagai persyaratan berkaitan dengan perizinan serta royalti kepada
negara telah dibayar terdakwa dan Bupati Barito Utama juga telah
menyatakan areal PT Unirich Mega Perdana (PT UMPT) berada dalam
KPPL/KPP dan di dalam mengelola pertambangan tidak mendapat
larangan dari instansi yang berkompeten, sehingga terdakwa meyakini
telah memenuhi persyaratan untuk melakukan penambangan serta
keterangan saksi-saksi maupun pendapat ahli yang mengatakan Perda
No.8 Tahun 2003 sampai saat ini masih berlaku dan belum pernah dicabut
sebagaimana telah dipertimbangkan di atas dan telah terbukti, maka
Majelis berpendapat yang tepat dijadikan acuan di dalam menentukan
apakah lokasi penambangan PT Unirich Mega Persada (PT UMP) termasuk
dalam kawasan hutan atau tidak adalah Perda No.8 Tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kaimantan Tengah.
7. Tidak Dipertimbangkan Surat Jaksa Agung No. B072A/A/Gp.1/09/2010
Memori Banding 21
Pada tanggal 21 September 2010 Jaksa Agung mengirimkan Surat No.
B072A/A/Gp.1/09/2010 kepada Menteri Kehutanan Perihal Permohonan
Pertimbangan Hukum atas Keterlanjuran Pemanfaatan Kawasan Hutan. Di
dalam Butir VI Pertimbangan Hukumnya, Jaksa Agung menyebutkan
“Dalam hal Kementerian Kehutanan yang memiliki bukti adanya Peraturan
Daerah yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, maka sewajarnya
ditempuh penyelesaian lewat jalur out of court settlement (penyelesaian di
luar pengadilan) dimana cara ini tidak merugikan investor atau pengusaha
yang memiliki izin usaha, karena dalam kegiatan usaha telh menghasilkan
pemberdayaan manusia dalam lingkungan usahanya dan dalam doktrin
penegakan hukum keperdataan kualifikasi hukum bagi pihak pengusaha
adalah digolongkan pihak yang berkualitas dan dinilai beretikat baik ”. Di
dalam pertimbangannya, Jaksa Agung menyatakan bahwa “Pengusaha
yang telah memiliki ijin berdasarkan Peraturan Daerah, maka secara
yuridis adalah digolongkan sebagai pihak yang berkualitas atau sebagai
pihak yang dinilai beretikad baik atau goedetrouw, oleh karena itu harus
dilindungi secara hukum”.
8. Dalam Putusan-Putusan Sebelumnya, “Merambah Kawasan Hutan”
Hanya Ditujukan Untuk yang Tidak Mempunyai Izin Sama Sekali
Di dalam Putusan sebelumnya yakni Putusan Perkara Pidana No. 1939
K/Pid.Sus/2009, Putusan No. 1919 K/Pid.Sus/2009 dan Putusan No.1604
K/Pid/ 2007, menyatakan bahwa kegiatan perambahan adalah kegiatan
pembabatan atau membuka hutan yang dilakukan tanpa izin. Berdasarkan
alat bukti yang dihadirkan di persidangan, bahwa PT Susantri Permai dalam
menjalankan usaha perkebunan termasuk di dalamnya kegiatan membuka
lahan telah mengantongi berbagai izin yang dipersyaratkan antara lain:
1. Keputusan Bupati Kapuas No. 946 Tahun 2006 tanggal 30 September 2006
tentang pemberian ijin lokasi kepada PT Susantri Permai untuk keperluan
perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Kapuas Hulu Kabupaten Kapuas;
Memori Banding 22
2. Surat Bupati Kapuas Nomor 957/DISHUTBUN Tahun 2008 tertanggal 26
September 2008 tentang Pemberian Izin Usaha Perkebunan (IUP) kepada PT.
SUSANTRI PERMAI, berlaku selama 12 (dua belas) bulan.
3. Surat Bupati Kapuas Nomor: 974/BPN/Tahun 2008 tertanggal 27 September
2008 tentang Pemberian Perpanjangan Izin Lokasi kepada PT. SUSANTRI PERMAI
untuk keperluan Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Kapuas hulu,
Kabupaten Kapuas., berlaku selama 1 (satu) tahun.
4. Keputusan Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kapuas No.
660/779/BHL/IX/2008 tanggal 28 Desember 2008 tentang Kesepakatan Kerangka
Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL) Usaha dan/atau Kegiatan
Pembangunan Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit di Kecamatan
Kapuas Hulu, Kabupaten Kapuas.
5. Surat Menteri Pertanian RI No: 1534/Kpts/SR.120/11/2008 tertanggal 6
Nopember 2008 tentang Pemberian Izin Pemasukan Benih Tanaman Kedalam
Wilayah Negara Republik Indonesia.
6. Surat Bupati Kapuas No. 311/62.03.409/X/2009 tanggal 23 Oktober 2009 Perihal
Rekomendasi Kegiatan Investasi PT Susantri Permai
7. Surat Bupati Kapuas No. 545/Disbunhut tahun 2009 tanggal 30 Oktober 2009
tentang Perpanjangan Izin Usaha Budidaya Perkebunan (IUBP) kepada PT.
Susantri Permai
Karena sudah mempunyai izin yang lengkap dan lokasi yang dibuka
bukanlah kawasan hutan, maka unsur merambah kawasan hutan tidak
terbukti.
9. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tidak Konsisten, Di Satu Sisi
Berpendapat Tidak Mempunyai Kewenangan Menilai Sah atau Tidak
Peraturan, Di Sisi Lain Menyatakan Kepmentan No. 759 Tahun 1982 Bisa
Dijadikan Dasar Hukum yang Sah
Di dalam Putusan halaman 42, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
menyatakan bahwa bukan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk
menilai sah atau tidaknya suatu peraturan karena bertentangan dengan
Memori Banding 23
peraturan perundang-undangan dan sepanjang Keputusan Menteri
Pertanian No. 759 Tahun 1982 atau dikenal sebagai TGHK belum dicabut,
maka peraturan tersebut masih bisa dijadikan dasar hukum yang sah.
Jika memang Majelis Hakim berpendapat tidak mempunyai kewenangan
untuk menilai sah atau tidaknya suatu peraturan, maka seharusnya ia juga
tidak dapat menyatakan suatu peraturan dapat dijadikan dasar hukum
yang sah. Ini menunjukkan kebingungan dan ketidakkonsistenan Majelis
Hakim dalam memutus perkara.
10. Tentang Perampasan Barang Bukti Milik Pihak Ketiga
Bahwa di dalam Putusan Majelis Hakim menyatakan barang bukti: 2 (dua)
unit peralatan berat berupa Buldozer merk Komatsu terdiri dari seri J13132
type D85ESS-2 tahun 2008 dan seri J13397 type D85ESS tahun 2009
dirampas untuk Negara.
Bahwa di dalam putusan pidana terutama terkait dengan perampasan
barang juga diakui dan dilindungi barang-barang milik Pihak Ketiga. Barang-
barang yang bisa dilakukan perampasan sebagaimana diatur dalam Pasal
78 ayat (15) UU Kehutanan hanyalah barang-barang yang menjadi milik
pelaku kejahatan yang digunakan untuk dengan kejahatan. Pasal 78 ayat
(1) 15 UU Kehutanan menyatakan “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan
dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang
dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara”. Dengan
adanya terminologi “alat angkutnya”, maka barang-barang yang bisa disita
haruslah milik atau kepunyaan dari pelaku, bukan milik pihak ketiga.
Bahwa di dalam UU lain misal UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 19 ayat (1)
Memori Banding 24
menyebutkan “Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang
bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga
yang beritikad baik akan dirugikan”.
Bahwa 2 (dua) unit peralatan berat berupa Buldozer merk Komatsu terdiri
dari seri J13132 type D85ESS-2 tahun 2008 dan seri J13397 type D85ESS
tahun 2009 merupakan milik CV Mustika Mentaya yang mempunyai itikad
baik dan tidak mempunyai niat untuk melakukan tindak pidana “merambah
kawasan hutan”.
Bahwa di samping itu, dalam dakwaan maupun tuntutan tidak disebutkan
dasar hukum yang sah untuk melakukan perampasan terhadap alat-alat
sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan. Majelis Hakim
Pengadilan Negeri secara tiba-tiba menyatakan barang bukti dirampas
untuk negara tanpa menyebutkan dasar hukum yang sah untuk melakukan
perampasan, maka Putusan tentang perampasan tersebut tidak berdasar.
11. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Salah Dalam Menyatakan Terbuktinya
Dakwaan
Bahwa di dalam Putusan halaman 43, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
menyatakan diperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam
dakwaan kesatu yaitu melanggar Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 50 ayat (3) huruf
b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang telah dirubah dan ditambah
dengan UU Nomor 19 Tahun 2004.
Padahal Dakwaan yang diajukan Penuntut Umum yakni:
Pertama
Memori Banding 25
Melanggar Pasal 78 ayat (14) jo Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 50 ayat (3) huruf
b UU Kehutanan
Atau
Kedua
Melanggar Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 50 ayat (3) huruf b UU Kehutanan
Jika memang Terdakwa terbukti melanggar Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 50
ayat (3) huruf b UU Kehutanan, maka bunyi pertimbangan dalam putusan
yakni Terdakwa terbukti melakukan dakwaan kedua, bukan dakwaan
kesatu. Hal ini berarti bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri tidak cermat
dalam membaca Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan yang dijadikan acuan
dalam memutus Perkara ini.
III. PENUTUP
Bahwa berdasarkan atas segala sesuatu yang diuraikan di atas, maka
terbuktilah bahwa perbuatan dan kesalahan PEMBANDING secara hukum
tidaklah terbukti sama sekali. Oleh karena itu adalah patut dan wajar bila
Majelis Hakim tingkat banding membatalkan putusan aquo dan selanjutnya
mengadili sendiri sebagai berikut:
PRIMAIR
(1) menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana sebagaimana Dakwaan Pertama dan Kedua;
(2) membebaskan terdakwa dari dakwaan dan tuntutan hukum;
(3) menetapkan barang bukti milik PT Susantri Permai dikembalikan ke PT
Susantri Permai, barang bukti berupa 2 unit peralatan berat buldozer
merk Komatsu dikembalikan ke CV Mustika Mentaya dan barang bukti
milik Terdakwa dikembalikan ke Terdakwa,
(4) menetapkan hak atas ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana ditentukan
dalam perundang-undangan,
(5) membebankan biaya perkara kepada Negara;
SUBSIDAIR
Memori Banding 26
Mohon putusan lain yang seadil-adilnya (ex ouquo et bono).
Demikian memori banding ini Kami buat dan semoga dapat dijadikan
pertimbangan dalam Putusan.
Kuala Kapuas, 13 Juni 2011
Hormat Kami,
Tim Penasihat Hukum Terdakwa
Memori Banding 27