manaqib wali-wali keturunan nabi muhammad saw 1

74
1 MANAQIB WALI-WALI KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW 1

Upload: muhammad-reza-shahab

Post on 05-Aug-2015

857 views

Category:

Documents


99 download

TRANSCRIPT

MANAQIBWALI-WALI KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW1

1

- Sekilas Sejarah salaf Al-Alawiyin - AL IMAM ISA AR-RUMI - AL IMAM AHMAD AL MUHAJIR - AL IMAM UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR - AL IMAM ALWI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR - AL IMAM ALI KHALI' QASAM - AL IMAM MUHAMMAD SHOHIB MIRBATH - AL IMAM AL FAQIH AL MUQADDAM MUHAMMAD - AL IMAM ALWI AL GHUYUR - Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad as Saqqaf (Tarim) - AL IMAM ALI SHAHIBUD DARK - AL HABIB UMAR AL MUHDHOR - AL HABIB ABDULLAH BIN ABU BAKAR AS SAKRAN - AL HABIB AHMAD BIN ABU BAKAR AS SAKRAN - AL HABIB ALI BIN ABU BAKAR AS SAKRAN - Al-Habib Abu Bakar Sakran bin Abdurrahman As-Seggaf - Al - Habib Abdullah bin Alwi Al - Haddad Shohibur Rotib

2

Sekilas SejarahSalaf Al-AlawiyinSekilas sejarah Salaf Al-alawiyin yang disampaikan oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri di tengah sejumlah pemuda, di rumah Al Faqih Al Muqaddam, di kota Tarim, pada tahun 1367 H./1947 M.) Diterjemahkan dari buku,Sirah As-Salaf min Bani 'Alawy Al-Husainiyin, oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri, terbitan 'Alam AI-Ma'rifah, Cetakan I, 1405 H, Jeddah, Saudi Arabia Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Dengan nama Allah kami mohon pertolongan. Shalawat dan salam sejahtera atas junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga dan para Sahabat. Pokok pembahasan ceramah ini adalah perjalanan hidup para salaf pendahulu kita keturunan Alawiyin dan Sayidina Husein, serta siapa-siapa yang mengikuti jejak mereka. Semoga Allah mencurahkan rahmat atas semua. Saya pilih bidang bahasan ini karena disamping mengandung banyak pengetahuan tentang sejarah kita ia merupakan bidang perselisihan dalam pemahamannya. Berbagai macam visi telah timbul, disebabkan tidak adanya, di antara kita dewasa ini, orang-orang yang melakukan penyelidikan secara teliti dengan cara penulisan yang memuaskan, sampaipun mereka yang merasa dirinya sangat antusias terhadap sejarah perjalanan hidup para salaf tersebut. Kendati demikian, kami tidak menyampaikan kecuali hal-hal yang benarbenar jelas dan terang laksana matahari di waktu siang, tersurat di dalam kitabkitab Alawiyin, baik yang lama maupun yang baru sehingga dapat dimengerti secara jernih dan mudah dicerna. Memang, kesalahpahaman dalam memahami perjalanan hidup salaf tidak ditimbulkan karena samar dan tidak jelasnya sejarah itu, melainkan karena keengganan kita dan tidak adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban itu. Barangkali kelak akan datang suatu saat, di mana menyatakan pendapat atau membahas, persoalan-persoalan semacam ini, atau fakta-fakta historis yang lain akan mempunyai arti yang sangat penting di mana orang sangat mendambakan untuk memperoleh, meskipun hanya sekilas cahaya dari padanya agar dapat menerangi mereka menuju jalan yang lurus. Siapa Salaf ? Kata Salaf mempunyai beberapa penggunaan. Penggunaan secara umum, yaitu sebagai istilah yang dipakai oleh ahli-ahli ilmu agama sebagai sebutan khusus bagi mereka yang hidup pada abad-abad pertama, kedua, dan ketiga Hijrah, atau dengan kata lain sebagai sebutan bagi para sahahat Nabi, tabiin dan tabiit-tabiin.3

Namun ulama Hadramaut (dari golongan Alawiyin) menggunakan sebutan itu selain bagi mereka yang tersebut di atas juga bagi pendahulu-pendahulu mereka (kaum Alawiyin) yang saleh. Habib Abdullah Al-Haddad [1] membatasi penggunaan sebutan itu mulai dari Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran [2] ke atas Mereka, kata Al-Haddad, adalah orang-orang di mana kita tunduk sepenuhnya (dalam segala hal) yang mereka lakukan. Adapun yang datang kemudian, mereka laki-laki dan kita laki-laki (yakni kita herhak mengikuti atau menolak sesuai dengan dalil). Kendati demikian, ucapan Al Haddad ini tidak menghalangi mereka yang datang sesudah Syekh Ali Abubakar As-Sakran , bahkan Al Haddad sendiri dan murid-muridnya, untuk digolongkan sebagai salaf. Sebab telah menjadi istilah ulama Hadramaut terdahulu sampaipun mereka yang akhir-akhir ini masih bisa kita jumpai menggunakan kata salaf bagi pendahulu mereka yang saleh. di mana kemudian akan kami jelaskan tahap-tahapnya Permulaan Sejarah Perjalanan Hidup Alawiyin Abad ketiga Hijrah merupakan abad kegoncangan dan kekacauan, khususnya di negeri Irak yang selalu terjadi pemberontakan dan huru-hara (fitnah). Kerajaan Bani Abbas tidak mampu lagi mengekang dan mengatasi pemberontakan dan huru-hara yang senantiasa timbul dan telah membuat seluruh dunia Islam bergolak laksana periuk yang sedang mendidih, sedang penguasa tak mampu menegakkan keamanan umum yang telah goyah selama bertahun-tahun. Semua itu membuat banyak orang terutama tokoh-tokoh yang menonjol berhijrah meninggalkan kampung halamannya mencari kediaman yang aman. Di antara orang yang hijrah dari Irak adalah Al-Iman Ahmad Al-Muhajir Ilallah [3] (berhijrah mencari ridha ALLAH) Sebab Al Muhajir- seperti tokohtokoh ahlul bait yang lainnya selalu merasa ketakutan dan senantiasa menjadi sasaran pembunuhan dan penganiyaan. Hal demikian makin terasa pada saat terjadi pemberontakan dan huru-hara, di mana musuh-musuh Alawiyin rnenggunakannya sebagai kesempatan untuk menganiaya dan membantai mereka. Hal ini terutarna akibat rasa khawatir bahwa di dalam suasana kacau itu, kaum Alawlyin akan menampilkan diri untuk memegang kendali kekuasaan di tengah umat Islam yang tetap berpendirian bahwa kewajiban mereka adalah menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Ahlulbait, keturunan Nabi pembawa agama ini serta bernaung di bawah panjinya, betapapun secara lahir mereka (umat Islam) tunduk kepada pemimpin yang lain. Atau demikianlah semestinya. Namun banyak di antara tokoh Alawiyin berusaha menahan diri dan menghindar untuk tidak terjebak ke dalam huru-hara itu serta berupaya untuk4

tidak terlibat dalam pergolakan-pergolakan politik, disebabkan pelajaranpelajaran praktis yang mereka terima dari berbagai pengalaman dalam bidang ini. Karena itu, bergerak di dalam lapangan politik menurut pandangan mereka akan selalu berakhir dengan kegagalan. Demikianlah pendirian segolongan Alawiyin. Namun ada segolongan lain berpendirian, bahwa Alawiyin harus berkorban dalam segalanya untuk menyelamatkan umat, yang harus terus menerus berjuang sehingga tujuan tercapai, atau mati bergelimang darah di tengah medan pertempuran. Imam Al Muhajir termasuk golongan pertama, sedang saudaranya Muhammad bin Isa termasuk golongan kedua, dibuktikan dengan perlawanannya terhadap kekuasaan Abbasiyah. Dalam hal ini, Al Muhajir selalu memperingatkan dan memberi nasihat kepada saudaranya agar tidak melakukan perlawanan. Peringatan dan nasihat diberikan secara terus menerus, sehingga akhirnya merasa puas dan yakin akan kebenaran pendirian Al Muhajir, lalu menghentikan perlawanannya. Jadi jelaslah, Al Muhajir memilih tinggal di Hadramaut (Yaman Selatan), negeri yang tandus gersang, hampir terputus hubungannya dengan dunia luar, hanyalah sekadar dapat hidup aman dan damai bersama keluarganya, serta dapat menunaikan kewajiban agama dan kegiatan duniawi dalam suasana tenteram dan aman, setelah menyaksikan segala pengalaman yang terjadi baik di negeri Irak maupun di daerah-daerah lain, berupa pemberontakan, huruhara dan peristiwa-peristiwa lain. Semua itu menyebabkan hilangnya ketenangan dan menyusahkan hati. Hendaknya kita tidak terburu untuk berprasangka bahwa Al Muhajir hanya bermaksud mengurung diri, serta beruzlah tanpa mempedulikan umat dan masyarakat di sekitarnya. Tidak. Al Muhajir bertujuan mendirikan suatu masyarakat baru, di negeri baru ini, sesuai cita-cita dan keyakinannya. Oleh karena itu setibanya di negeri ini Al Muhajir tak henti hentinya berjuang melawan kaum Ibadhiah [4] yang merupakan mayoritas penduduk Hadramaut. Yaitu setelah gagal berdialog dengan mereka secara baik, sehingga terpaksa senjata harus berbicara. Al Muhajir dan pengikutnya yang berjumlah kecil itu, telah mendapat dukungan dari penduduk Jubail dari Wadi Dauan yang bersimpati kepada Ahlulbait. Cara hidup Al Muhajir (mencari kedamaian dan kebenaran ) diterima kemudian oleh anak cucunya dan benar-benar mempengaruhi jiwa mereka, yang akhirnya kehidupan mereka hampir sama di semua tahap-tahap sejarah, sebagai akan dituturkan kemudian.

5

Tahap-Tahap Sejarah Alawiyin Sesungguhnya sejarah perkembangan Alawiyin, mengalami pasang-naik dan pasang-surat, sesuai dengan kehidupan mereka yang selalu berubah. bagaimanapun juga, golongan Alawiyin selalu memelihara identitasnya, yaitu berpegang teguh dengan KITAB ALLAH (Al Quran) dan SUNNAH (ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW dalam segala bidang kehidupan) luhur yang padu dan utuh secara Islam. Adapun sejarah perkembangan Alawiyin menurut pandangan kami dapat dibagi menjadi empat tahap, sebagai berikut : Tahap Abad (Hijriah) Pertama Ke-3 s/d Ke-7 Zaman Ahmad Al-Muhajir s/d M. Al-Faqih AlMuqaddam Kedua Ke-7 s/d Ke-11 M. Al-Faqih Al-Muqaddam s/d Abdullah AlHaddad Ketiga Abad ke 11 s/d ke 13. Keempat Ke-14 s/d Kini Tahap-tahap itu diikuti pula dengan perbedaan gelar dan sebutan bagi tokoh tokoh Alawinyin, maka sebutan atau gelar setiap tahap berbeda dengan gelar atau sebutan pada tahap yang lain. Sebagai berikut : Tahap - Gelar Pertama Al-Imam Kedua - As-Syech Ketiga - Al-Habib Keempat As-Sayid Sebutan demikian itulah yang digunakan orang bagi tokoh-tokoh Alawiyin pada masing-masing tahap. Kendati demikian, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sebutansebutan dan gelar-gelar itu khusus bagi tokoh-tokoh Alawiyin. Hanya saja seperti diketahui sebutan dan gelar-gelar itu lebih populer penggunaannya bagi mereka. TAHAP PERTAMA Tahap pertama sejarah perjalanan hidup Alawiyin ini memiliki keistimewaan sebagai tahap pembangunan kehidupan baru dan pembauran dengan masyarakat baru di negeri baru. Pada tahap ini, tokoh-tokoh Alawiyin telah berhasil mempengaruhi masyarakat Hadramaut serta menyesuaikan diri6

dengan kehidupan mereka. Tokoh-Tokoh Alawiyin dalam kehidupan sehari-hari benar-benar mirip dengan kehidupan tokoh-tokoh sahabat Nabi di kurun Islam pertama, baik dalam ilmu, akhlak maupun ibadah. Ketika baru berada di tengah rnasyarakat Hadramaut. Al Muhajir dihadapkan dengan suasana jihad yang tak terelakkan. Al Muhajir ketika itu harus melawan golongan ibadhiah, baik dengan lisan maupun dengan senjata, sehingga Al Muhajir berhasil menyebar luas ajaran Ahlus sunnah seperti jelas di uraikan didalam kitab-kitab sejarah yang menerang riwayat hidup (Biografi) Al Muhajir. Kemudian, putra-putranya dan keturunannya meneruskan langkah itu, memimpin masyarakat hadramaut dalam bidang ilmu, budaya dan ekonomi. Bahkan dalam bidang politik yang bersifat mengawasi dan membimbing (para penguasa) demi tercapainya kepentingan umum, tanpa berambisi memegang tampuk kekuasaan secara praktis. Tokoh-tokoh Alawiyin pada tahap ini, adalah Imam-Imam mujtahid (dalam arti tidak mengikuti atau terikat dengan salah satu mazhab) seperti diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang masing-masing tokoh terkenal dengan gelar Imam seperti Imam Al Muhajir, Imam Alawi bin Ubaidillah dan lain-lain. Namun, ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan Imam Assyafii dalam bagian terbesar madzhabnya Adapun aspek-aspek aqidah mereka, sama seperti para leluhur mereka sampai Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Tokoh-tokoh Alawiyin ini telah membawa sebagian kekayaan mereka dari negeri asal, yaitu Bashrah (Irak). Kekayaan itu amat besar jumlahnya sehingga mereka dapat membeli tanah-tanah, kebun-kebun, bangunan-bangunan, dan sebagainya di negeri ini. Kekayaan itu juga dikembangkan di dalam bidang pertanian yang menjadi usaha pokok dan sumber utama Alawiyin tahap itu. Dalam keadaan demikian, mereka senantiasa teringat karnpung halaman dan sesekali timbul kerinduan ketika mengenang masa lampau di negeri Irak, sehingga mereka rnembuat lambang-lambang dengan narna taman-taman, kebun dan pesanggrahan yang telah ditinggalkannya itu. Dalam tahap ini setiap Alawi menampilkan pribadi yang mulia dengan beberapa keistimewaan berupa ilmu. akhlak. ibadah dan. wibawa, sehingga keluarga ini dikenal dan dibedakan oleh masyarakat karena ciri-ciri kemuliaan itu. Ilmu Tokoh-Tokoh Alawiyin Ilmu yang dikuasai tokoh-tokoh Alawiyin tahap ini meliputi: Tafsir Hadist, Fiqih, Sastra/ Bahasa, metode berdebat dan berdiskusi, serta ilmu pengetahuan lain, yang telah berkembang pesat dewasa itu termasuk tasawuf. Hanya saja ilmu tasawuf ini memperoleh perhatian lebih dalam dan lebih khusus pada

7

tokoh-tokoh tahap kemudian. Tokoh-tokoh tahap ini memperhatikan tasawuf sebagai amalan praktis dan buhan sebagai teori ilmiah semata. Akhlak dan Budi Pekerti Alawiyin Sifat yang paling menonjol bagi seorang Alawi tahap ini adalah: kedermawanan, dan keberanian (sebagai ciri umum keturunan bani Hasyim). Sifat ini diimbangi dengan tawadhu rendah hati), di samping tegas dan tidak kenal kompromi dalam mempertahankan kebenaran. memperhatikan bidang keperwiraan, menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Sifat terakhir ini kernudian berubah pada tokoh-tokoh Alawiyin generasi berikutnya, yang dalam menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dianggap menyalahi tradisi dan bertentangan dengan sopan santun hal ini berlaku sejak Alawiyyin mengikuti Terakat Tasawwuf pada abad ketujuh ketika Imam Al Faqih Al Muqoddam menerima Khirqah (Baju Tasawwuf) dan Syekh Abu Madyan, tokoh sufi dari negeri magrib (Afrika utara) . Sejak itu Al Fagih Al Muqoddam menjauhi penggunaan senjata untuk menekuni ilmu dalam suasana damai. Hubungan Alawiyin dengan Dunia Luar Adalah merupakan watak dan tabiat seorang Alawi, tidak pernah merasa tentram di satu daerah tertentu, untuk kemudian tinggal selama hidup. Hidup bebas dan pergi, kemana saja untuk mencari daerah-daerah baru merupakan watak dan cirinya. Satu daerah saja dipandang sempit dan tidak memberi kepuasan untuk mengembangkan cita-cita dan mencapai tujuannya. Apalagi di negeri seperti Hadramaut, negeri ini akan memaksa penduduknya berhijrah karena sempitnya bidang ke hidupan. di samping terjadinya pergolakan dan pertumpahan darah antara kabilah-kabilah yang selalu berkecamuk. akibat tidak adanya pemerintahan yang kuat dan stabil. OIeh karena itu, seorang Alawi seperti halnya penduduk Hadramaut pada umumnya mengadakan perjalanan ke negeri-negeri tetangga, seperti: Yaman, Hijaz, Syam dan. Irak, baik demi tujuan budaya, ekonomi, maupun agama. Pada mulanya, Alawiyin seringkali hilir mudik mengunjungi Irak negeri asal mereka untuk bertemu kembali dengan sanak keluarga. memeriksa harta kekayaan yang ditinggalkan, bahkan hingga kini keturunan Imam Muhammad bin Isa Ar Rumi (saudara sekandung Al Muhajir) terus juga berkembang di negeri ini. Sesuatu yang patut digarisbawahi di sini, ialah bahwa tokoh tokoh Alawiyin yang menonjol pada tahap perkembangan, ini terdiri dari keturunan8

Imam Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi, yakni Bashri, Jadid dan Alawi. Kendali pimpinan dipegang oleh keturunan kedua orang yang pertama, yaitu Bashri dan Jadid. Namun keturunan mereka kemudian terhenti dan tidak berkelanjutan, yang pada abad ketujuh H. tidak ada lagi seorang pun dari keturunan mereka. Sayang ahli-ahli sejarah tidak menghidangkan untuk kita jasa dan peran yang pernah dimainkan oleh keturunan Bashri dan Jadid, kecuali nama beberapa tokoh saja yang dicatat, yang di antaranya adalah Imam Ahli Hadits Imam Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat 620 H.) dan Imam Salim bin Bashri (wafat 604 H.) Adapun tokoh-tokoh sesudah waktu tahap ini hanyalah dari turunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Ar Rumi (dari Alawi inilan datang sebutan Alawiyin bagi keturunaannya). Meskipun demikian, silsilah keturunan Alawiyin seluruhnya selalu melalui lima rangkaian nasab saja, yang menunjukkan bahwa Alawiyin baru berkembang dan bercabang setelah abad ke enam H. Rangkaian silsilah ke lima orang itu adalah: Muhammad bin Ali bin Alawi bin Munammad bin Alawi ( bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir). Di antara putra-putri Muhammad bin Ali bin Alawi ( terkenal dengan gelar Shahib Mirbath, wafat 556 H.) yang berketurunan hanyalah dua orang putranya, yakni Imam Alawi, paman ( saudara ayah ) Al Faqih Al Muqaddam, dan Imam Ali bin Muhammad, ayah Al Faqih Al Muqaddam. Pada kedua orang inilah tercakup seluruh nasab Al-Alawiyin, seperti tercakupnya nasab seluruh Al-Husainiyin pada Imam Ali Zainal Abidin, kemudian pada putranya Muhammad Al Bagir. Ubaidillah adalah putra Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Asshadiq bin Muharnmad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Siti Fatimah Azzahra putri Rasul Allah saw. TAHAP KEDUA (a) Tahap ini bermula-seperti telah kami terangkan pada awal ceramah dari abad ketujuh H hingga menghampiri abad kesembilan H. Yakni dari masa Al Fagih Al Muqaddam hingga mendekati zaman Al-Habib Abdullah Al Haddad. Tokoh tokoh tahap ini terkenal dengan gelar Syekh. Apabila kita hendak membuat suatu perbandingan antara tokoh-tokoh masa ini, yang di antara tokoh-tokohnya adalah para Imam seperti Al Faqih Mugaddam[5] , Assegaf[6] , Al Muhdhar[7] , Al-Aidarus*8+ , Zain Al-Abidin Al-Aidarus *9+ dengannya tanpa di sini patut kita kemukakan secara obyektif, bahwa tokoh-tokoh tahap ini, dalam kenyataannya yang dibuktikan melalui karya dan hasil tulisan mereka, tidaklah mencapai hasil atau kualitas puncak, baik dalam penulisan karya-karya ilmiah maupun dalam syair. Bahkan tidak kita jumpai di antara karya mereka9

yang menunjukkan kejeniusan dan kehebatan dalam bidang-bidang ilmu dan kebudayaan yang dapat mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang akhlak dan pengamalan agama. Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh tasawuf yang mendalam, sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk berkarya, baik dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah (sebab tasawuf hanya memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup besar terhadap segi-segi lahiriah penerj.). Kalaupun ada, hal itu tidak banyak di lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah, terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan, tokoh-tokoh tahap ini sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa adanya tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa. Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap ini telah mengalami peningkatan dibanding dengan tahap sebelumnya. Apabila tahap terdahulu kegiatannya terbatas pada bidang pertanian saja, dengan menginvestasikan kekayaan mereka hanya dalam bidang ini saja, maka Alawiyin pada tahap ini di samping pertanian telah juga berinvestasi di bidang perdagangan. Mereka mendirikan pusat-pusat perdagangan di pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman. Mereka juga mengadakan perjalanan dagang ke India dan negara-negara lain, disertai dakwah menyiarkan agama Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negaranegara Asia Tenggara), untuk kedua tujuan tersebut, maka hal itu baru mereka lakukan kemudian (yakni sekitar abad kesebelas H. penerj.). Dengan cara demikian mereka perluas daerah perdagangan serta kegiatannya di dalam negeri dengan mengalirya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan mereka hanya terbatas pada bidang pertanian saja. Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh Alawiyin melakukan berbagai kegiatan ekonomi, namun berkat disiplin ketat, kekuatan iman dan takwa, mereka tetap tekun dalam menjalankan ibadah, membaca wirid-wirid khusus, dan berdakwah. Allah telah berkenan memberikan berkah waktu dengan membagi masing-masing kegiatan secara cermat, sehingga dapat melakukan semua kegiatan itu dengan sempurna, sesuai keseimbangan yang digariskan oleh syariat. Berbicara mengenai tingkat kesufian Alawiyin tahap ini, maka seperti telah dikemukakan pada awal ceramah. bahwa Tarekat Tasawuf baru dikenal di hadramaut pada awal abad ketujuh H. ketika Syekh Abu Madyan tokoh ahli Sufi dari negeri magrib (Afrika utara) mengutus muridnya yang tepercaya ke negeri Hadramaut untuk menghubungi Alfagih Al Muqaddam secara khusus dan beberapa ulama yang lain di negeri ini. Dalam pada itu, Syekh Abu Madyan10

juga mengirim khirqah tasawuf, berupa sehelai baju yang dipakaikan oleh seorang guru (tasawuf) kepada muridnya, yang dengan demikian seorang guru berhak rnengarahkan pendidikan muridnya itu (secara tasawuf ). Melalui seorang muridnya, sebagai perantara, Syekh Abu Madyan memakaikan khirqah itu kepada Al Faqih Al Muqaddam. Ketika Syekh Abu Marwan, guru Al Faqih Al Muqaddam mengetahui hal itu, ia menjadi marah, demikian juga dengan beberapa ulama Tarim yang tidak menyukai hal itu, sebab mereka khawatir akan kehilangan citacita dan rencana mereka untuk menokohkan Al Faqih Al Muqaddam sebagai pemimpin dan Imam. Ketika itu Alfagih Almugaddam belajar beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan dengan acapkali menyandang senjata, bahkan kadang-kadang sambil belajar ia meletakkan pedang menyilang di atas pahanya. Orang-orang yang kurang senang dengan tindakan Al Faqih Al Muqaddam itu, mengira apa yang kelak akan dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam merupakan salah satu tarekat yang hanya semata mata memperhatikan segisegi keruhanian tanpa menghiraukan urusan duniawi. Namun sesungguhnya Alfagih lebih bijaksana serta berpandangan jauh dan luas. Ia tidak menginginkan pengikutnya mengenakan gimbal bertambal (muraggaat), mengembara tanpa arah sebagai darwisy (orang fakir) yang melakukan caracara aneh dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau menjalankan latihanlatihan ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al Muqaddam melarang pengikutnya bertaklid buta terhadap guru, khususnya dalam hal-hal yang ada kemungkinan bertentangan dengan Alkitab dan Sunnah. Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah Atthariqah Al-Alawiyah yang dasarnya adalah mengikuti apa yang tersurat di dalam Alkitab (Alquran) dan Assunnah (ajaran Nabi), meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama (para sahabat dan tabiin). Itulah yang dinyatakan di dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku dan tindak tanduk Salaf Al alawiyin. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut : Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau petunjuk-Nya Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi : Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf, tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas11

kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun pribadi. Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan para tabiin yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang untuk berjihad menyebarluaskan ilmu dan dakwah. Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta yang amat besar jumlahnya asal diperoleh melalui jalan yang wajar dan halal, yang kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu, mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk pembiayaannya, menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan, membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren untuk menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Mengusahakan perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang bersengketa, bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan. Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafii, namun mereka tidak bertaklid kepada Imam Syafii dalam segala hal. Dalam soal-soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Imam Syafii. Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asyari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asyari dalam beberapa hal, seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman. Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi karya-karya Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan tasawuf, namun mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan kekurangan dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka yang mengatakan. Di dalam kitab Ihya ada beberapa pernyataan seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya *10+. TAHAP KEDUA (b) Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melanggar akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut tarekat lainnya. Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat atau melakukan latihan latihan rohani secara berlebihan dan melampaui batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan cara yang tidak merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan nafsu angkara murka dan syahwat.

12

Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan. Alfagih Al-Muqaddam misalnya bapak Alawiyin dalam tasawuf, mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih bertindak mengurusi perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu seperti di riwayatkan di dalam Silsilah Al Aidarusiyah adalah sekitar 360 guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati). Penulis kitab Al masyra Ar rawiy bercerita tentang kekayaan Al-habib Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur.[11] cucu Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.) Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur ini telah mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah yang diberikan kepada para penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan ibadahnya, hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya. Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru) terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan Maghrib(Afrika Utara). Demikian pula dengan Habib Abdurrahman Assagaf, betapapun banyak kegiatan dan kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar, namun memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta laporan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada waktu antara maghrib dan isya, seperti diriwayatkan oleh Alkhathib, penulis kitab Aljauhar. Pohonpohon kurmanya amatlah banyak, tidak sedikit di antara pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya sendiri, sambil membaca surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya. Habib Umar Al Muhdhar putra Habib Abdurrahman Assaqaf, adalah seorang ulama besar yang diyakini sebagai seorang wali Allah, namun tergolong seorang yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-kapal, tanah-tanah pertanian, kebun kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di dalam surat wasiatnya. Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-Adani, putra Habib Abdullah AlAidarus ( yang makamnya cukup terkenal di kota Aden ) tergolong seorang hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu para tamu dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografinya.Imam13

Abu Bakar Al-Adani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat sebanyak 30 ribu dinar. Imam Abu Bakar Al-Adani wafat 914 H. Demikian pula halnya dengan keturunan Habib Abdullah bin Syekh AlAidarus ( keponakan al-Adani ), yang banyak berhubungan dengan raja-raja India. Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping hasil karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah, tokoh-tokoh ini mampu memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan pangeran. Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk perbaikan sosial dan kepentingan umum.[12] Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada fanatisme dan jumud (kebekuan) atau menjurus kepada ekstrimisme dan ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara keseimbangan dalam semua segi. Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada tokohtokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak secara umum tidak mampu dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar, baik itu berupa tidak tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus, maupun mengkhatamkan pembacaan Alquran beberapa kali di waktu siang dan beberapa kali di waktu malam. Hal hal semacam itu hanyalah merupakan tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di samping adanya kesediaan batin untuk melakukannya. Hal-hal semacam ini memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang khusus dan merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan mereka sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja digolongkan sebagai karamah yang telah diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas. Perlu pula dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang diucapkan oleh beberapa tokoh Alawiyin tertentu seperti dicatat oleh sebagian penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara, dan yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah bukan karena mereka telah meyakini faham wahdatul wujud (panteisme), bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan membanggakan diri, seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu cukup dikenal dalam sejarah.14

Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada dalam suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang mengakibatkan dosa, apalagi kufur. Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya. Organisasi Alawiyin An Naqabah Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelum bercabangcabang dan bersuku-suku, kaum Alawiyin tidak merasa perlu untuk membuat suatu sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan mereka. Cukuplah bagi golongan ini untuk mempunyai seorang atau beberapa orang pemimpin yang secara otomatis diakui sebagai pemimpin keluarga atau marga. Baru pada tahap kedua dalam sejarah perkembangan Alawiyin, setelah menjadi banyak dan tersebar ke berbagai daerah terasalah bagi tokoh Alawiyin guna membela dan memelihara kedudukan dan kepentingan mereka, melindungi kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang bersifat intern maupun ekstern. Sistim ini dikenal dengan sebutan Naqabah. Sistem ini baru diadakan pada zaman Habib Umar Al-Muhdhar, yakni pada akhir abad kesembilan Hijriah, di mana Habib Umar Al Muhdhar sekaligus terpilih sebagai Naqib. Dewan Naqabah ini terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan oleh 5 orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka, sebagai tersirat di dalam teks piagam yang disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di majalah Al-Jamiyah, nornor 8, tahun 1357 H. Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini rnengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syariat Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (atau Nagib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan. Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang anggota dewan masing-masing merupakan wakil-wakil atau naqib-naqib dari setiap kelompok atau suku, sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh Naqib Annaqabah *atau Naqib para Naqib+ yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Nagib Al-Asyraf. Setiap anggota dewan sangat patuh dan taat terhadapnya. Dan kepadanya pula dikembalikan segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan perbaikan, di samping ia merupakan lambang kekuatan, kesepakatan, wibawa dan pengaruh Alawiyin.

15

Dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, lembaga ini akan menempuh cara damai. Namun jika tidak berhasil, maka digunakanlah cara boikot, yaitu Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran atau membangkang, dengan cara menolak berjabat tangan (bersalam-salaman) maupun dengan cara-cara lain. Tindakan Naqib akan diikuti semua Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan yang benar. Apa yang kami tuturkan ini adalah bersumberkan piagam yang telah kami sebutkan, di atas dan ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Habib Umar Al Muhdhar, dan didukung dan dibubuhi tanda tangan Sultan Tarim ketika itu, yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan membantu terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam piagam itu, yang diikuti pula oleh tanda tangan seluruh naqib (anggota dewan) beserta pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang dari 50 orang. Patut disayangkan bahwa teks piagam ini tidak rnenyebutkan tanggal dan tahun penulisannya dan juga tidak menyebut urut-urutan nama (daftar) para nagib yang pernah menduduki jabatan itu, namun dengan membaca kembali kitab-kitab biografi Alawiyin, seperti kitah Al-Masyra Arrawiy dan lain-lain, menerangkan bahwa di antara para Naqib yang terkenal, antara lain adalah Habib Abdullah Al-Aidarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah Habib Umar Al Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Muhammad bin Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar Jamalullail untuk diangkat sebagai Nagib, namun ia menolak dan menunjuk Habib Abdullah Al-Aidarus sebagai gantinya, yang saat itu masih berusia muda, tetapi telah menunjukkan kemampuan untuk memangku jabatan tersebut. Akhirnya setelah pertamanya menolak juga Habib Abdullah Al-Aidarus menerima. Pengganti A1-Aidarus adalah Imam Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat tahun 973 H. Berikutnya Habib Abdullah bin Syekh bin Abubakar Al-Aidarus (wafat 1019 H.), kemudian putranya bernama Habib Zainal Abidin (wafat 1041 H.). Adapun pada masa-masa selanjutnya saya tidak menemukan catatan sejarah yang menegaskan adanya seorang Naqib yang dipilih, meskipun kadang-kadang terjadi kepemimpinan seorang tokoh Alawiyin semata-mata karena daya tarik kharisma dan kekuatan pribadinya di samping memang memenuhi persyaratan untuk jabatan sebagai Naqib. Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem Manshabah, yang tersebar luas di beberapa daerah Hadramaut. Tugas Munshib pada dasarnya adalah mendamaikan sengketa yang terjadi antara suku-suku yang memanggul senjata, menyebarluaskan ilmu dan dakwah, menjamu para tamu yang datang berkunjung. Soal ini akan dibicarakan lebih luas lagi kemudian.16

Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul seorang tokoh yang mengungguli tokoh-tokoh Alawiyin yang lain dalam ilmu, pengaruh dan kedermawanannya, yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad (wafat 1316 H.) sehingga sepakatlah tokoh-tokoh Alawiyin untuk mengangkatnya sebagai Nagib. Mereka telah menandatangani piagam untuk pengangkatannya itu. namun ada seorang tokoh yang cukup terkenal dan berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan itu. Yaitu Habib Husein bin Hamid Al-Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya gagal . Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib Husein tersebut ada dua tokoh lain yang tidak menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap oposisi terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka orang-orang yang cukup kuat, sehingga golongan oposisi yang kecil itu dapat rnengalahkan mayoritas yang menyetujui. Barangkali, seandainya pengangkatan Al-Haddad sebagai Nagib ini terlaksana, tokoh ini akan mampu menarik Alawiyin kembali kepada cara hidup pendahu pendahunya, serta menghidupkan tradisi-tradisi mulia yang hampir hilang. TAHAP KETIGA Tahap ini bermula dari abad kesebelas H. hingga abad keempat belas H. Tokoh-tokoh abad ini dikenal dengan gelar Habib , seperti Habib Abdullah AlHaddad, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr Al Jufrie dan lain lain. Tingkat ilmiah dan tasawuf tahap ini secara umum berada di bawah tingkat sebelumnya. Kendati demikian, telah muncul di atas pentas tokohtokoh yang cukup menonjol serta pribadi-pribadi istimewa tidak kurang peranannya dari tokoh-tokoh kedua tahap sebelumnya. Tokoh utarna tahap ini adalah Habib Abdullah Al-Haddad (wafat 1132 H.) sebagai tokoh puncak golongan Alawiyin masa itu, dan Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih (wafat 1163 H.). Hijrah Kaum Alawiyin Tahap ini ditandai dengan derasnya arus hijrah melebihi masa-masa sebelumnya ke India, pada abad kesebelas dan keduabelas H. yang kemudian berlanjut dengan hijrah ke negara-negara Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia) pada abad-abad berikutnya. Adapun faktor yang mendorong Alawiyin melakukan hijrah adalah seperti telah disinggung pada pembahasan perkembangan alawiyin pada masa tahap pertama ditambah pula dengan perkembangan alawiyin di Hadramaut melebihi masa-masa sebelumnya. Sedemikian sehingga mereka yang berada di luar lebih17

besar dari mereka yang berada di tanah air sendiri, di mana di negeri mereka Hadramaut kemungkinan yang tersedia tidak mampu memberi kepuasan bagi perwujudan cita-cita mereka. Oleh karena itu, wajarlah kiranya apabila mereka berhijrah, lalu menjadikan daerah baru itu sebagai tanah airnya. Dan tidak aneh pula apabila mereka kemudian menonjol, serta menunjukkan kemampuan-kemampuan luar biasa sehingga dapat menduduki posisi-posisi penting, memegang kendali perekonomian, kegiatan keagamaan bahkan kadang-kadang juga kekuasaan eksekutif. Kaum Alawiyin dalam hal ini juga diikuti oleh golongan-golongan lain yang hijrah dari Hadramaut, baik mereka yang hijrah ke Timur Jauh, Afrika Timur, Hijaz (Saudi Arabia) dan lain-lain. Bahkan ada di antara mereka yang kemudian mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini. Seperti kerajaan Al Aidarus di Surrat (India), Kesultanan Al-Qadri dan Al-Syekh Abubakar di Kepulauan Komoro (Comores), Al-Syahab di Siak, Al-Qadri di Pontianak dan Al-Bafagih di Pilipina. Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai sejarah terinci, sebagian di antaranya dimuat oleh majalah Arrabithah Al-Alawiyah dan majalah Annahdhah Al Hadhramiyah. Kedua sumber ini bisa dijadikan bahan penelitian bagi mereka yang berminat untuk rnengkajinya. Melalui kaum Alawiyin, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia dan Filipina. Hijrah kaum Alawiyin dan saudara-saudara mereka lainnya dari Hadramaut ke negara-negara tetangga (negara-negara Arab di Timur Tengah), tidak banyak mempengaruhi tradisi, juga bahasa mereka, yakni di negaranegara yang berbahasa Arab, seperti Hijaz (Saudi Arabia), negara-negara Teluk, Mesir, Syam (Suria) dan Sudan, kendati di tiga negeri terakhir ini jumlah mereka tidak banyak. Adapun di perantauan luar Arabia, seperti negara-negara Islam tersebut di atas, maka dengan sendirinya mereka telah mengadakan hubungan kekeluargaan melalui pernikahan untuk mempererat hubungan dengan penduduk setempat, karena memang sulit bagi mereka memboyong keluarga bersama mereka. Seandainya yang demikian terjadi (yakni rnembawa isteriisteri dan anak-anak mereka) maka bahasa Arab akan lebih cepat dan lebih luas tersiar, sebagai bahasa Alquran yang dimuliakan oleh kaum Muslimin. Akan tetapi, meskipun telah melakukan pembauran di daerah-daerah yang amat jauh itu, namun hingga waktu yang lama mereka masih rnemelihara tradisi dan mengenang tanah air, terutama Tarim, sebagai pusat ilmu dan pusat Alawiyin. Sekali-sekali mereka berkunjung ke negeri itu untuk berziarah. Baru beberapa abad kemudian hubungan mereka dengan negeri asal berkurang, sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka hidup,

18

untuk lanjutnya terlebur di dalam periuk acuannya, walaupun agama dan adat istiadat yang hak tetap terpelihara. Bahkan pada masa sementara Alawiyin masih mengunjungi negeri asal, mereka telah mernbawa kebudayaan dan tradisi India, Jawa (Indonesia), dan daerah atau negara lain di mana mereka hidup. Hal ini tampak jelas pada awal abad ketigabelas H. Adalah sangat aneh jika ada sementara tokoh Alawiyin yang menentang hijrahnya Alawiyin ke luar dan menganjurkan dengan gigih agar mereka tetap tinggal di negerinya (Hadramaut), terutama pada ketiga abad terakhir ini namun tidak ada di antara para pemikir atau sesepuh yang berusaha secara sungguh-sungguh memberi jalan yang dapat menghalangi laju arus hijrah ini. Yaitu dengan menyebar luaskan kesadaran, menggalakkan pertanian, membuat mereka merasa puas untuk hidup sederhana serta meninggalkan tradisi-tradisi yang merugikan. Kalau pun ada, orang-orang yang cukup memperingatkan hal demikian itu, amatlah sedikit. Di antara mereka adalah Habib Muhsin bin Alawi Assaqaf (wafat 1293 H.) Adapun untuk tidak melakukan hijrah sama sekali dari Hadramaut baik bagi Alawiyin maupun penduduk Hadramaut secara keseluruhan memanglah merupakan hal yang tidak dimungkinkan oleh keadaan negeri itu sendiri sejak dahulu kala. Para Munshib Pada tahap perkembangan ini, lahirlah jabatan Munshib. Jabatan itu sendiri dikenal sebagai Manshabah. Sebagian besar Munshib Alawiyin muncul pada abad kesebelas dan abad keduabelas H. Seperti Munshib Al-Attas, Munshib Al Aidarus, Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim, Munshib Alhabsyi, Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali, Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain. Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi sesama manusia. Pemangku jabatan ini yang menerimanya secara turun temurun selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa khususnya sengketa antara suku-suku yang bersenjata menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan petunjuk dan bantuan bagi yang memerlukan bantuan. Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga kini (1948 M), sesuai dengan tujuan Manshabah yang didirikan untuknya. Para Munshib tidak jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi tugas dan jabatannya. Hanya saja generasi yang kernudian biasanya makin lemah bila dibanding dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian, kemampuan,19

maupun kewibawaan, sehingga secara berangsur, lembaga ini makin lama makin berkurang peranannya. Hal ini terutarna disebabkan kurangnya perhatian terhadap pendidikan, baik ilrnu maupun keahlian, sesuai dangan, apa yang dahulu dikuasai oleh bapak-bapak mereka. Golongan Alawiyin dan Politik Pada pasal-pasal lampau telah dibicarakan sejarah perkembangan Alawiyin dalam berbagai bidang kehidupan pada ketiga tahap terdahulu. Kini hanya tinggal bidang politik. Adalah merupakan prinsip yang rnenjadi pegangan tokoh-tokoh Alawiyin, mereka senantiasa menjauhkan diri dan tidak hendak mencampuri urusan politik, kecuali dalam hal-hal yang erat hubungannya dengan kepentingan dan maslahat umum. Yaitu dengan menggunakan pengaruh spiritual mereka, dan hanya pada batas-batas tertentu. Disebutkan dalam biografi bahwa Al Muhdhar, Al-Aidarus. Al-Adani, Zain Al-Abidin Al-Aidarus, Al-Haddad dan lain-lain adakalanya mereka bergaul dengan para raja dan penguasa negeri serta mengadakan surat rnenyurat dengan mereka. Para penguasa itu pun sering meminta nasihat dan petunjuk dari tokoh-tokoh tersebut serta mengharap doa mereka. Namun, bila diteliti hubungan mereka dengan para penguasa nyatalah bahwa hubungan mereka tidak lebih daripada mengarahkan para penguasa agar melakukan kebijaksanaan yang sesuai dengan keadilan dan kepentingan umum. Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin mempunyai pengaruh spiritual yang cukup besar di kalangan suku-suku bersenjata, namun mereka tak pernah; mengeksploitasi pengaruh itu untuk tujuan-tujuan yang tidak layak. Jika sekiranya mereka mengarahkan minat, demi kepentingan pribadi, atau berambisi meraih kekuasaan politis, dengan mudah mereka akan mencapai apa yang dinginkannya. Pada masa-masa itu seringkali peluang terbuka dan kesempatan ada, namun mereka tidak pernah memanfaatkannya, seperti dapat diketahui oleh mereka yang mengkuti dan mengkaji sejarah Hadramaut. Seperti pada peristiwa yang terjadi di antara Zain Al-Abidin AIAidarus dengan Hasan bin Al-Qasim, Imam golongan Zaidiyah dari Yaman, peristiwa Husein bin Sahl dengan Syekh Awadh Gharamah, semua itu merupakan bukti-bukti nyata bagi apa yang dikemukakan tadi.*13+ Dalam hal ini, dapatkah kiranya dikemukakan alasan seperti telah disebutkan sebelum ini, tentang langkanya karya-karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan, dan budaya, yaitu akibat sangat dalamnya pengaruh ajaran tasawuf dalam jiwa rnereka? Atau mungkin juga ada alasan-alasan lain yang hingga kini belum terungkap mengingat apa yang terjadi dalam praktek seringkali jauh berbeda dengan dasar-dasar teori semata?20

Bagaimana pun juga, jelaslah, bahwa Alawiyin tidak pernah berusaha, apalagi berpetualang, untuk mencapai keberhasilan dalam bidang politik baik untuk mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti dilakukan oleh saudarasaudara sepupu mereka yaitu Syarif-Syarif Mekkah, para Sultan di negeri Maghrib (Afrika Utara) dan para Imam di Yaman. Adanya pribadi-pribadi tertentu dari kaum Alawiyin yang pernah berhasil mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti disebutkan sebelum ini, tidak dapat dijadikan dasar umum bagi cara hidup salaf dan tokoh Alawiyin. Kadangkadang pengaruh situasi dan kondisi begitu kuat untuk menentukan sikap. Suasana demikian itulah yang membuat sementara Alawiyin mernegang tampuk pimpinan dan tidak dapat mengelak untuk menghindar dari jabatan. TAHAP KEEMPAT Tahap ini bermula dari abad keEmpat Belas H. hingga kini. Yakni, di dalam pasal ini kita akan berbicara tentang keadaan kita sekarang, agar dapat membuat perbandingan antara kita sendiri dengan perilaku dan sejarah salaf kita yang terdahulu. Adalah sangat disayangkan bahwa tahap ini dibanding dengan tahaptahap sebelumnya merupakan masa kemunduran dan kemerosotan di hampir semua bidang kehidupan. Bahkan kemunduran dan kemerosotan ini merupakan gejala umum yang menimpa seluruh dunia Islam. Meskipun demikian, adanya perbedaan antara tahap pertama dengan tahap-tahap berikutnya memang benar-benar terasa. Makin jauh kereta sejarah berjalan, makin jauh kemunduran dan kemerosotan itu terasa, makin surut sinar keagungan Alawiyin dan makin tenggelam ke dasar. Keadaan demikian ini merupakan kebalikan bagi bangsa-bangsa yang hidup, yang makin lama makin maju (14) Diagnosa dan Pengobatan Faktor utama yang menyebabkan kemunduran itu adalah tidak adanya pendidikan yang benar dan tepat. Salaf kita dahulu adalah orang-orang yang amat ahli dalam bidang ini. Melalui jalur itu, mereka mengarahkan putra-putra mereka sesuai dengan apa yang mereka rencanakan dan mereka kehendaki, untuk rnemuaskan hati mereka. Perguruan tinggi dan fakultas kaum Alawiyin adalah alam terbuka dan lingkungan hidup itu sendiri. Adalah keliru apabila kita beranggapan bahwa lingkungan kita, sekolahsekolah kita, majlis-majlis talim kita sekarang merupakan sarana pendidikan yang di dalamnya disalurkan ajaran-ajaran seperti yang dahulu diajarkan oleh salaf kepada putra-putra mereka. Bahkan kenyataan yang kita lihat adalah kebalikan dari apa yang dahulu dikerjakan oleh para salaf itu.21

Kemerosotan akhlak di kalangan sementara Alawiyin telah mencapai derajat terendah, demikian pula surutnya ilmu pengetahuan, di samping tersebarnya penyakit-penyakit sosial. Alhasil, kini kita sedang mengalami kemunduran yang mengerikan, padahal jalan untuk mengatasi semua itu adalah jelas, yaitu, kembali mengikuti cara hidup para salaf dalam ilmu, akhlak dan amal, sehingga semua tindakan yang kita lakukan sesuai dengan status kita di tengah masyarakat. Demikian pula halnya dengan kaum Muslimin secara keseluruhan. Sebab, akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan cara-cara yang dahulu memperbaiki pendahulunya , demikian ditegaskan oleh pemimpin besar umat ini, Rasul Allah saw. Marilah kita usahakan. Dan Allah akan senantiasa menolong mereka yang membela dan menegakkan ajaran-Nya. ************* CATATAN KAKI / FOOTNOTE 01. Abdullah bin Alwi Al -Haddad. Allah telah menganugerahkan kepada Abdullah Al Haddad daya hafal yang luar bisa, sehingga telah hafal Al-Quran seluruhnya dalam usia kecil. Kendati telah mengalami penyakit sehingga menyebabkannya menjadi seorang tunanetra, namun ketajaman hati dan kecerdasan fikirannya melebihi mereka yang berpenglihatan sempurna. AlHaddad telah mampu menguasai berbagai ilmu yang diajarkan oleh guru-guru kepadanya, lalu muncul sebagai seorang tokoh besar dalam ilmu-ilmu Syariat, Tasawuf dan Bahasa, maka berdatanganlah para murid dari segenap penjuru untuk mereguk sumber ilmu yang deras ini. Di samping pelajaran yang disampaikan secara langsung, Al Haddad telah pula mengarang beberapa buku yang kemudian tersebar luas. Karya-karya Al Haddad ini antara lain : Annashaih Addiniyah, Risalah Almuawanah, sebuah Diwan (kumpulan syair) dan lain-lain. Wafat di Tarim 1132 H. 02. Habib Ali bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assagaf, bergelar AsSakran (dimabuk cinta Ilahi). Terkenal dalam berbagai bidang ilmu, khususnya tasawuf. Wirid As Sakran hingga kini masih banyak dibaca orang. Wafat 895 H. 03. Imam Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin JafarAsshadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husin. Al Muhajir Ila Allah (orang yang berhijrah menuntut ridha Allah) meninggalkan Basrah di Irak pada tahun 317 H. bersama keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 70 orang, menuju Hijaz (Saudi Arabia), kemudian ke Yaman (Utara), dan selanjutnya Hadramaut (Yaman Selatan). Al Muhajir sampai di Hadramaut pada tahun 318 H dan untuk pertama kali mendirikan rumah di Hajrain, lalu pindah ke Husayisah tempat beliau menetap hingga wafat pada tahun 345 H.22

04. Ibadhiah adalah salah satu golongan Khawarij di bawah pimpinan Abdullah bin Ibadh. Berkali-kali kelompok ini memberontak terhadap kekuasaan Bani Umayyah dan yang paling terkenal adalah pemberontakan mereka dibawah pimpinan Abdullah bin Yahya,sekitar tahun 129 H . Golongan ini kemudian mengembangkan pengaruhnya di Oman, Yaman dan Hadramaut. 05. Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. Al-Fagih Al Muqaddam adalah tokoh Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah mengenakan khirgah (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli sufi, ialah Syekh Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam menerima khirgah itu melalui seorang perantara, Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Muqad, seorang murid Syekh Abu Madyan. Syekh Abdurrahman diutus oleh gurunya khusus untuk tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum sempat menemui Al Fagih Al Muqaddam. Meski demikian, sebelum wafat ia telah melimpahkan misi itu kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh Abdullah Al Maghribi untuk menyampaikan khirgah kepada Al Fagih Al Muqaddam di Tarim, Menurut kitab AlMasyra Arrawiy, Al Fagih Al Mugaddam telah mencapai derajat Al Mujtahid Al Muthlaq di dalam ilmu Syariat, makam Al Quthbiyah di dalam bidang tasawuf. Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan mengatakan Al Faqih Muqaddam telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan AI-ImamahWafat 653 H. 06. Habib Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak berpuluh ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri, saudaranya Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Saad bin Ali Madzhij, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi. Bergelar Assagaf karena kedudukannya sebagai pengayom, serta tingginya derajat ulama ini baik dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai dermawan. Assagaf telah mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk mencukupi kebutuhan mesjidmesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma, namun segala kekayaan itu tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan hatinya, apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. Sehingga kalau seandainya dikatakan kepadaku, kata Assagaf, kebun-kebun itu tidak ada yang berbuah, aku akan menari kegirangan. Di antara kata mutiara Assagaf adalah sebagai berikut : Manusia semua membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal dan akal membutuhkan taufik. Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu dan amal tanpa niat adalah sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti sunnah adalah tidak diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara (sangat hati-hati dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian. Assaqaf wafat pada tahun 819 H.23

07. Umar Al Muhdhar bin Abdurrahman Assagqaf. Imam zamannya dalam ilmu, tokoh dalam tasawuf. Terkenal dengan kemurahan hatinya. Rumahnya tidak pernab sunyi dari para tamu yang datang berkunjung baik untuk kepentingan agama maupun kepentingan duniawi Menjamin nafkah beberapa keluarga yang tak mampu dan mendirikan tiga buah mesjid. Umar Al Muhdhar terkenal dengan doanya yang amat mustajab. Wafat 833 H 08. Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman Assagaf terkenal dengan gelar A1Aidarus (AlAydrus), Ia berusia 10 tahun, ketika ayahnya wafat dan langsung diasuh oleh pamannya, Umar Al Muhdhar, yang sekaligus bertindak sebagai gurunya. Ia telah mempelajari ilmu-ilmu Syariat, Tasawuf dan Bahasa. Ketika AI-Muhdhar wafat, ia berusia 25 tahun. Tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Imam Muhammad bin Hasan. Jamal Al-Lail sebagai Naqib, namun menolak dan menyarankan agar mengangkat Abdullah Al-Aidarus ini untuk menggantikan pamannya. Ulama besar yang bertindak menyebarluaskan ilmu dan dakwah, tekun dan mengisi waktunya dengan ibadah, menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di dalam kitab Almasyra dinyatakan: Dalam kedermawanan bagaikan seorang amir, namun dalam tawadhu bagaikan seorang fakir. Sangat senang menampakkan nikmat Allah atas dirinya dengan mengenakan pakaian-pakaian indah, kendaraan yang megah dan rumah yang bagus. Wafat 865 H. 09. Habib Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syekh Al Aidarus, adalah seorang Imam yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya adalah ayahnya sendiri. Ia bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, tidak pernah berpisah selama ayahnya hidup. Setelah ayahnya wafat, Zainal Abidin menggantikan ayahnya itu sebagai Naqib, mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi kepentingan masyarakat umumnya, dan Alawiyin khususnya. Zain Al-Abidin sangat dihormati dan disegani oleh Sultan, di mana Sultan tidak memutuskan sesuatu sebelum terlebih dahulu meminta pendapat Imam ini, bahkan tidak jarang Sultan datang ke rumahnya untuk sesuatu kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Akibat kedudukan yang tinggi ini, Zain AlAbidin menghadapi banyak lawan, namun selalu menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana. sehingga akhirnya lawan berubah menjadi kawan. di samping sebagai guru besar dalam ilmu-ilmu Syariat, Tasawuf dan Bahasa, ia menguasai soal pertanian dan bidang -bidang profesi lain; memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan petunjuk, bahkan di penghujung hayatnya ia sering mengobati mereka yang menderita penyakit, sebagai tabib. Wafat 1041 H 10. Ulama telah merasa puas dengan karya-karya Imam Al-Ghazzali dan Annawawi sehingga tidak merasa perlu untuk menyusun kitab-kitab sendiri baik dalam ilmu Syariat, Tasawuf maupun Akhlak. Mereka mencurahkan tenaga dan24

fikiran untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kitab-kitab itu. 11. Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Setelah menyelesaikan pendidikan pada ayah dan datuknya, Al Faqih Almugaddam, ia meneruskan pendidikannya ke Yaman dan Hijaz untuk berguru kepada ulamaulama besar di kedua negeri itu Kemudian bermukim di tanah suci untuk menyebarluaskan ilmu dan mengajarkanya. Karena mengajar dikedua kota suci Makkah dan Madinah ia digelari Imam Al-Haramain dan Mujaddid abad kedelapan Hijriah. Ketika itu datang berita wafatnya Imam Ali bin Alwi (sudara kandungnya) dimana tokoh-tokoh Hadramaut telah menulis sepucuk surat taziah dan sekaligus memintanya kembali pulang ke kampung halaman untuk memimpin umat dan menggantikan kedudukan Almarhum sebagai dai dan mengajarkan berbagai ilmu kepada mereka yang menuntutnya. Berpuluh murid telah dicetak menjadi ulama besar termasuk di antara mereka adalah putraputranya sendiri, Ali, Ahmad dan Muhammad. Wafat di Tarim, pada tahun 731 H 12. Alawiyin telah berjuang-bersama seluruh rakyat melawan portugis yang datang menyerang pesisir Hadramaut dengan tujuan menduduki negeri itu pada tahun 1097 H. Berkat kegigihan mereka telah berhasil mengusir kaum kolonial , Kendati telah gugur para syuhada dalam peristiwa ini . 13. Salah satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di mana Sultan Badr bin Thuwairiq berniat mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh Abubakar bin Salim (wafat 1044 H.). Namun Imam Husein menolak dan menekankan kepada Sultan ini untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu dan mendampinginya 14. Kendati suasana umum amat suram pada tahap ini namun ada juga tokoh-tokoh yang sangat menonjol dalam ilmu dakwah dan perbaikan sosial seperti Al-Imam Ali bin Muhammad Alhabsyi Shohibul Maulid Simtud Dhuror(wafat 1333 H.), Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas (wafat 1334 H.), Allamah Abubakar bin Abdurrahman Syahab (wafat 1341 H.), Habib Muhammad bin Thahir Al Haddad (wafat 1319 H.), Habib Husein bin Hamid Al Muhdhar (wafat 1341 H.), dan banyak lagi tokoh yang lain. Kendati demikian hal ini sangat kurang memadai bila dibanding dengan banyaknya Alawiyin secara keseluruhan yang memang cukup besar jumlahnya dan tersebar di berbagai penjuru.

Wallahu A`lam25

AL IMAM ISA AR-RUMI Abu Muhammad Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Imam Jafar alShaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Beliau seorang imam besar ilmu agama, dibesarkan dan di didik ilmu hadits, ilmu fiqih dan ilmu agama lain oleh ayahnya Imam Muhammad bin Ali al-Uraidhi. Imam Isa bin Muhammad mempunyai kulit berwarna putih kemerahmerahan yang merupakan sebaik-baiknya warna, sebagaimana perkataan Imam Ali bahwa warna kulit Rasulullah adalah putih kemerah-merahan. Beliau juga dinamakan al-Rumi dan al-Naqib, karena beliau mempunyai rupa putih kemerah-merahan seperti pria yang berasal dari negeri Rum, sedangkan sebutan al-Naqib disebabkan kedudukannya sebagai pemimpin para kaum syarif yang selalu menjaga dan menjamin keamanan kaumnya, nama beliau juga merupakan nama salah satu nabi yaitu nabi Isa alaihi salam. Adapun gelar yang lain yaitu al-Azraq, karena beliau mempunyai mata yang berwarna biru. Imam Isa bin Muhammad wafat sekitar tahun 270 hijriyah di Basrah, Iraq. Imam al-Rumi dikaruniai tiga puluh orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan, diantaranya adalah Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyin di Hadramaut. Adapun anak laki-laki Imam Isa alRummi adalah : a. Abdullah, Abdurahman, Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ahwal, Abdullah al-Asghor, Daud, Yahya, Ali, Abbas, Yusuf, Hamzah, Sulaiman. Mereka tidak mempunyai keturunan b. Ismail, Zaid, Qasim, Hamzah, Harun, Yahya, Ali, Musa, Ibrahim, Jafar, Ali al- Asghor, Ishaq, Husin, Abdullah, Muhammad, Isa, Ahmad alMuhajir. AL IMAM AHMAD AL MUHAJIR Al-Imam Ahmad Al-Muhajir (820-924) Juga dikenal dengan panggilan Al-Imam Ahmad bin Isa merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad alBaqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Diriwayatkan bahwa ia lahir pada tahun 241 Hijriyah (820 Masehi) walaupun ada pula yang menyebut 260 Hijriyah.26

Hijrah ke Hadramaut Imam Ahmad bin Isa dinamakan Al-Muhajir karena ia meninggalkan Basrah, Irak pada zaman pemerintahan Khalifah Abbassiyah yang berpusat di Baghdad, pada tahun 317H (896 M). Mula-mula ke Madinah dan Mekkah, kemudian pada tahun 318 H dari Mekkah ke Yaman kurang lebih sekitar tahun 319 H. Beliau berhijrah disebabkan karena banyaknya fitnah yang terjadi di Irak pada waktu itu. banyak para Ahlul Bait keturunan Rasulullah diburu atau bahkan dibunuh karena pemerintah khawatir kalau mereka mau mengambilalih kekuasaan. Imam al-Muhajir adalah orang pertama yang datang ke Hadramaut berserta keluarganya yang berjumlah 70 orang. Ikut serta dalam perjalanan adalah anaknya yang bernama Ubaidillah dan ketiga cucunya; Alwi, Jadid dan Basri. Ia wafat pada tahun 345h (924 M) di Husayyisah, sebuah kota antara Tarim dan Sewun, Hadramaut. Makamnya di atas sebuah bukit umumnya salahsatu yang pertama kali diziarahi oleh para pengunjung yang datang ke Hadramaut. Keturunan dan status Imam Ahmad al-Muhajir wafat pada tahun 345 Hijriyah, dan dikarunia keturunan: 1. Muhammad (Keturunannya tersebar di negri Baghdad ) 2. Abdullah / Ubaidillah (Abu Alawy). Lahir di Basrah dan meninggal pada 383 H di Somal, Yaman. 1. Basri 2. Jadid 3. Alwi al-Awwal 1. Muhammad 1. Alwi ats-Tsani 1. Salim 2. Ali Khali' Qasam 1. Muhammad Shahib Mirbath 2. Abdullah 3. Husain Semua para sayyid dari keluarga BaAlawi, Hadramaut bernasab kepadanya. Sebagian besar para Walisongo di Indonesia juga adalah keturunan Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa. Imam Ahmad Al-Muhajir ialah seorang Imam Mujtahid, yang lebih banyak diikuti daripada mengikuti.

27

Gelar al-Muhajir. Para ahli sejarah sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada Imam Ahmad bin Isa sejak hijrahnya dari negeri Iraq ke daerah Hadramaut. hanya Imam al-Muhajir yang khusus menerima gelar tersebut meskipun banyak pula orang-orang dari kalangan ahlul bait dan dari keluarga pamannya yang berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan berbagai macam gerakan yang timbul. Di namakan al-Muhajir, karena beliau hijrah dari Basrah ke Hadramaut karena sebab-sebab perbaikan yang diperlukan, diantaranya adalah mencari ketenangan demi menyelamatkan agamanya dan agama para pengikutnya ke tempat yang aman. Hijrah yang dilakukan oleh al-Muhajir bukanlah sesuatu yang baru, tetapi merupakan hal yang biasa dilakukan oleh sepuluh pemimpin dari kalangan keluarga Nabi saw, seperti Rasulullah saw dan keluarganya yang hijrah dari Mekkah ke Madinah, Imam Ali bin Abi Thalib hijrah dari Hijaz ke Iraq, yang diikuti oleh anak dan cucunya setelahnya seperti Imam al-Husein bin Ali, Zaid bin Ali bin Husein, Muhammad al-Nafsu al-Zakiyah bin Abdullah al-Mahdh bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib serta saudaranya Ibrahim dan Idris, kakek Bani Adarisah di Maghrib dan lainnya. Sedangkan al-Muhajir hijrah dari Basrah ke Hadramaut disebabkan timbulnya fitnah, bencana dan kedengkian yang telah mewabah pada masyarakat Iraq, berkuasanya para ahli bidah dan banyaknya penghinaan terhadap para syarif Alawiyin, dan beratnya berbagai tekanan yang mereka rasakan, banyaknya para pencuri dari kalangan orang-orang hitam, dan perbuatan yang tidak pantas terhadap wanita kaum muslimin serta banyaknya pembunuhan, di samping itu mereka juga mencaci maki khalifah Usman, Ali, Tolhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah, maka pada tahun 317 hijriyah, Imam alMuhajir hijrah ke Hadramaut berserta keluarganya yang berjumlah 70 orang.[4] Ikut serta dalam perjalanan beliau anaknya yang bernama Ubaidillah dan ketiga cucunya Alwi, Jadid dan Basri. Anak Imam Ahmad yang bernama Muhammad tetap tinggal di Iraq untuk menjaga harta Imam Ahmad al-Muhajir, sampai beliau mendapat keturunan dan meninggal di sana. Dalam majalah al-Rabithah, jilid 5 halaman 296 dijelaskan bahwa, .Imam Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut tidak untuk mencari kekayaan dunia, karena di Hadramaut tidak ada sesuatu untuk dicari. Barang siapa mendengar berita tentang negeri Hadramaut, maka dapat dikatakan bahwa Sayid Ahmad bin Isa dan keturunannya tidaklah hijrah dari negeri Iraq yang subur ke negeri yang tandus dan tidak dapat ditemukan adanya banyak makanan, akan tetapi beliau hijrah bersama keluarga dan anaknya karena menjaga diri dan agamanya dari fitnah dan kekejaman bala tentara kerajaan.

28

Sebelum ke Hadramaut, beliau melakukan perjalanan melalui Hijaz pada tahun 317 hijriyah, bersama sebagian maula dan anak pamannya seperti kakek dari keluarga al-Ahadilah dan al-Qudaim, dan pada tahun 318 hijriyah ke Madinah melalui Syam, disebabkan jalan ke Makkah dan Madinah dari Iraq kurang aman. Mereka tinggal di Madinah sampai musim haji untuk menunaikannya dan saat itu kaum Qaramithah telah mengambil Hajar alAswad dari tempatnya. Dalam perjalanan haji, al-Imam al-Muhajir bertemu dengan rombongan haji Hadramaut. Setelah itu al-Muhajir berangkat ke Yaman dan memilih sayid Muhammad bin Sulaiman bin Ubaidillah bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Dhohman bin Auf bin al-Imam Musa al-Kadzim untuk tinggal di Wadi Saham, sebagaimana al-Muhajir memilih seorang dari keluarga al-Qudaim untuk tinggal di Wadi Surdud. Ketika sampai di Wadi Duan, al-Muhajir tinggal di Jubail, kemudian pindah lagi ke Hajrain daerah yang mempunyai pemandangan yang indah. Dengan ilmu dan bukti-bukti beliau memberikan pemahaman kepada ahlu bidah dan ahlu sunnah di sana sehingga Allah swt mempertemukan kedua kelompok yang bertikai itu di bawah kemuliaan al-Muhajir. Menurut Muhammad bin Salim al-Bijani, daerah yang pertama kali disinggahi Imam Ahmad adalah Jubail di mana penduduknya mempunyai sifat yang baik dan mereka menerima dengan senang hati kedatangan Imam alMuhajir. Negeri Jubail terletak di Wadi Duan yang penduduknya bermadzhab Ahlussunnah dan Syiah yang dikelilingi oleh penganut madzhab Ibadiyah. Penduduk Jubail berasal dari suku Kindah dan Sodap. Tidak lama kemudian Imam Ahmad pindah ke Hajrain dan tinggal di sana selama satu tahun. Di Hajrain beliau membeli perkebunan kurma dengan harga 1.500 dinar dan menghadiahkan perkebunan tersebut kepada mawalinya. Kemudian beliau pergi ke desa Bani Jasir dan kemudian ke Husaisah. Di Husaisah beliau menetap sampai wafat. Pengembaraan beliau di Hadramaut di mulai dari tahun 320 hijriyah sampai tahun 345 hijriyah. Beliau hidup pada zaman Daulah Ziyadiyah (Bani Umayah) dan pada zaman Daulah Zaidiyah (al-Hasyimi) di Yaman. Selama di Hadramaut, beliau memerangi kaum Ibadhiyah dan kaum Qaramithah tanpa senjata. Kemudian beliau pindah ke Husaisah, yang jaraknya setengah marhalah dari Tarim, dan ditempat itu beliau menghabiskan sisa umurnya untuk berdawah menuju kesatuan pandangan dan kekuatan madrasah alquran dan sunnah berdasarkan manhaj ahlu sunnah wal jamaah. Beliau adalah seorang mujtahid dalam ilmu ushul, maka kuatlah manhaj yang membawa kebahagiaan di Hadramaut atas usahanya, sehingga muncul madzhab Imam Syafii yang

29

kemudian menjadi madzhab anak keturunannya dalam bidang furu. Al-Muhajir wafat dan dikuburkan di Husaisah tahun 345 hijriyah. Kisah lainnya Al Imam Ahmad Al-Muhajir berasal dari negara Irak, tepatnya di kota Basrah. Ketika mencapai kesempurnaan di dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah, bersinarlah mata batinnya dan memancarlah cahaya kewaliannya, sehingga tersingkaplah padanya hakekat kehidupan dunia dan akherat, mana halhal yang bersifat baik dan buruk. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir di Irak adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan tetapi ketika mulai melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih mementingkan keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua dan membulatkan tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah, "Bersegeralah kalian lari kepada Allah..." Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan menyelamatkan agamanya dan keluarganya, dikarenakan tersebarnya para ahlul bid'ah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka membunuh dan menganiaya. Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membunuh dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga 2 dirham. Mereka pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly menceritakan tentang hal ini bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000 jiwa. Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Siti Aisyah dan Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij. Karena sebab-sebab itu, Al-Imam Ahmad Al-Muhajir memutuskan untuk berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah beliau bersama keluarga dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk di dalam rombongan tersebut adalah putra beliau yang bernama Ubaidillah dan anak30

anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Ba'alawy), Bashri (kakek keluarga Bashri), dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang sufi dan saleh. Termasuk juga yang ikut dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu beliau, serta termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut diantaranya adalah kakek keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah termasuk keturunan dari paman-paman beliau). Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Kemudian setelah itu, melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu melanjutkan ke desa Jusyair. Tak lama disana, lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat Tarim). Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana. Semenjak menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana beliau mulai menyebarkan-luaskan As-Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil menyelamatkan keturunannya dari fitnah jaman. Masuknya Al-Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut dan menetap disana banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang ulama besar, AlImam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, "Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah. Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada keluarga Ba'alawy, maka tidak ada kebaikan padanya." Hadramaut menjadi mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali Az-Zabiidy (semoga Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke dalam kediaman salah seorang Saadah Ba'alawy, sambil berkata, "Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta." AL IMAM UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR Beliau adalah Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau seorang imam yang agung dan

31

dermawan, alim dan berakhlak mulia, penuh dengan sifat-sifat kebaikan dan kemuliaan. Beliau juga seorang yang sangat tawadhu (rendah diri). Karena begitu tawadhunya, beliau tidak menamakan dirinya dengan nama Abdullah, akan tetapi di-tasghir1-kan menjadi Ubaidillah, semata-mata untuk mengagungkan Allah dan berendah diri di hadapan-Nya. Beliau adalah seorang yang Allah memberikan keistimewaan sifat-sifat yang terpuji pada dirinya. Berkata AS-Sayyid Ali bin Abubakar mengenai diri beliau, Abdullah, orang yang menjaga dirinya dalam agama,paling terkemuka dalam kedermawanan dan keagungan ilmunya.Datuk para keturunan mulia, sumber kedermawanan,dan lautan ilmu, itulah tuan kami yang mulia. Beliau mengambil ilmu dari ayahnya. Selain itu, beliau juga mengambil ilmu dari para ulama di jamannya. Di kota Makkah, beliau berguru kepada AsySyeikh Abu Thalib Al-Makky. Dibawah asuhan gurunya, beliau berhasil menamatkan pelajaran dari kitab gurunya tersebut yang berjudul Guut AlGuluub. Tampak pada diri beliau berbagai macam karomah yang dikaruniakan kepada dirinya. Beliau, Al-Imam Ubaidillah, jika meletakkan tangannya pada orang yang sakit, lalu beliau meniupnya dan mengusapkan di tubuhnya, maka sembuhlah si sakit itu. Mengenai kedermawanannya, beliau jika menggiling kurma miliknya dan meletakkannya di tempat penggilingan, maka kurma-kurma itu semuanya beliau sedekahkan, meskipun jumlahnya banyak. Beliau mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya, baik itu di dalam kezuhudannya, ilmunya ataupun ibadahnya. Setelah ayahnya wafat, beliau pindah ke daerah Saml, dan memberikan tanah miliknya ke budaknya yang telah dimerdekakannya yang bernama Jafar bin Mukhaddam. Tinggallah beliau di kota Saml. Beliau menikah dengan wanita dari daerah tersebut dan dilahirkannya salah seorang anaknya yang bernama Jadid. Sampai akhirnya beliau menutup mata untuk terakhir kalinya di kota tersebut pada tahun 383 H. Kisah lain Imam Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali alUraidhi Jafar ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Basrah, dibesarkan dalam lingkungan para ahli ilmu. Dinamakan Ubaidillah karena bentuk tasghir dari Abdullah dan beliau suka dipanggil dengan nama tersebut. Beliau hijrah dari Iraq bersama ayahnya ke kota Madinah kemudian ke Hadramut, bersama beliau ikut serta istri dan anaknya yang paling besar bernama Basri yang mengikuti jejak ayahnya dalam menyebarluaskan ilmu dan berdawah ke jalan Allah swt. Guru beliau adalah ayahnya sendiri Imam Ahmad bin Isa. Pada tahun 317 hijriyah beliau mengadakan perjalanan ke Makkah dan sekaligus menunaikan ibadah32

haji ke Baitullah. Imam Ubaidillah bin Ahmad bin Isa seorang yang hafal hadits, para ulama banyak meriwayatkan hadits darinya. Beliau juga merupakan ulama kenamaan di zamannya. Harta kekayaan beliau berupa perkebunan yang subur dan luas. Beliau membeli tanah yang luas di Sumal dan Bait Jubair untuk membantunya membiayai kegiatan dalam penyebaran ilmu dan infaq ke jalan Allah swt. Beliau selalu menanamkan kepada anak-anaknya dengan pelajaran atas dasar manhaj ahlu sunnah. Beliau wafat setelah kaidah-kaidah yang dipelopori oleh ayahnya telah tumbuh subur. Beliau wafat di Sumal tahun 383 hijriyah. Di lain riwayat beliau dikuburkan di daerah Najdi dekat dengan kota Boor. Awal Sufi Di Hadramaut. Pendiri pertama madrasah bani Alawi yang hanya padanya manhaj Saadah Bani Alawi melekat sebagaimana telah disebutkan ialah al-Imam al-Muhajir yang pada saat itu beliau hidup di tengah-tengah zaman yang penuh fitnah, beliau pula yang pertama kali menumbuhkan dasar-dasar manhaj tersebut. Setelah beliau wafat, manhaj beliau diteruskan oleh anaknya Ubaidillah yang hidup di zaman ayahnya dengan menyaksikan berbagai cara beramal dan dawah, beliau juga merupakan orang pertama yang mengambil ijazah ilmu usul ahlu sunnah wal jamaah di Mekkah dan Madinah. Beliau pergi ke Mekkah diutus oleh ayahnya, dimana hal tersebut merupakan saksi yang agung akan kecintaan al-Imam al-Muhajir terhadap usaha mengembangkan wawasan dengan mengambil pemikiran-pemikiran baru yang tercermin dalam cara berpikir anak-anak dan cucunya sebelum manusia yang lain. Ubaidillah bin Ahmad tidak saja cukup mempelajari ilmu usul dan hadits di Makkah Mukarromah, bahkan beliau mempelajari ilmu tasawuf dan ilmu akhlaq kenabian kepada guru besar ahlu sunnah a-Imam al-Allamah al-Syekh Abu Thalib al-Makki yang wafat pada tahun 386 hijriyah, kepada gurunya beliau membaca kitab Quut al-Qulub, sebagaimana mempelajari ilmu fiqih beliau selalu diijazahkan dari setiap periwayatan dan sanad. Dari sinilah menyambung sanad keluarga Abi Alawi dan madrasah mereka kepada sanad ahlu sunnah. Untuk masalah ini para ahli sejarah menjelaskannya dalam biografi Ubaidillah bin Ahmad, diantaranya : Ubaidillah bin Ahmad, beliau orang yang pertama kali membawa ajaran tasawuf di Hadramaut, beliau kembali ke Hadramaut pada zaman ayahnya masih hidup, dan ayahnya memberikan izin kepada beliau untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada manusia hingga ayahnya wafat pada tahun 345 hijriyah. Maka kepemimpinan ayahnya berpindah kepadanya. Beliau telah meletakkan tasawuf dalam mimbar ilmu dan dawah sebagaimana hal tersebut telah dilakukan oleh al-Imam al-Muhajir, sehingga para ulama, ahli syair pada zamannya memuji akan keutamaan ilmu33

dan kemuliaan serta kedermawanannya, beliau telah berakhlaq seperti akhlaq kakeknya Rasulullah saw. Dan ketika ayahnya wafat di Husaisah pada tahun 345 hijriyah kekhilafahan ilmu dan dawah kembali kepadanya, dan masyarakat sangat mengharapkannya di berbagai tempat, dan ini menunjukkan bahwa beliau banyak berdawah ke pelosok daerah, maka berangkatlah beliau ke desa Sumal dan menghadiahkan semua tanah dan apa yang dimilikinya semua kepada maulanya Jafar bin Makhdam sebagaimana hal tersebut telah dilakukan oleh ayahnya al-Muhajir, yang membeli perkebunan kurma ketika beliau tiba di Hajrain Hadramaut, kemudian berpindah lagi ke daerah Bani Jusaib sebelum akhirnya beliau menentap di Husaisah. Beliau menghadiahkan semua harta dan perkebunannya kepada maulanya Suwaih yang termasuk maula yang terdahulu ikut serta hijrah dari Iraq. Di Sumal dan di Bait Jubair beliau mengusahakan sumber kehidupan untuknya dan untuk para pengikutnya dengan membeli sebidang tanah pertanian dan perkebunan kurma. Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad telah mendirikan kaidah-kaidah ilmu dan syariah dan dawah kejalan Allah swt berdasarkan manhaj berpikir yang telah diterima bulat oleh para ulama ahlu sunnah di Hadramaut, dimana saat itu terdapat ulama dari keluarga Abi Fadhol dan dari keluarga al-Khatib di negeri Tarim, sebagaimana sama halnya dengan kaum Khawarij dan beberapa ulama mereka yang mengambil hujjah serta keterangan-keterangan dari uslub yang diajarkan oleh ayahnya dengan cara akhlaq yang mulia tanpa mendahulukan rasa fanatik dan hawa nafsu, sehingga keadaan Hadramaut berubah menjadi negeri ahlu sunnah dikarena beliau, begitu pula pada zaman ayahnya. Keturunan Imam Ubaidillah. Silsilah Saadah Bani Alawi al-Husaini yang menetap di Hadramaut sampai hari ini dan yang telah menyebar ke penjuru alam semua bersumber kepada Sayid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Beliau merupakan satu-satunya anak dari keturunan Ubaidillah bin Ahmad yang mempunyai keturunan yang bersambung hingga hari ini. Imam Ubaidillah bin Ahmad mempunyai tiga orang anak : Basri, Jadid dan Alwi. Basri dan Jadid mempunyai keturunan yang tinggal di Hadramaut dan terputus pada awal tahun 700 hijriyah, hingga tidak ada lagi dari keturunannya yang tercatat dalam silsilah dan biografi keluarga Alawi. Pengarang kitab Ghuror al-Bahau al-Dhowwiy menulis : Sesungguhnya keluarga Bani Jadid terputus begitu pula keluarga dari Bani Basri, yang hidup paling akhir dari keluarga Jadid ialah seorang wanita di Zubaid yang bernama Jadidah. Alwi bin Ubaidillah mempunyai banyak keturunan yang tersebar di Hadramaut, Yaman, Hijaz, Mesir, Kholij, Indonesia, Afrika Timur, India, Sailan dan negeri lainnya. Dalam hal ini telah ditetapkan nisbah Saadah Bani Alawi34

kepada asalnya yang diberkahi khususnya sesudah hijrahnya al-Imam Ali bin Jadid ke negeri Iraq. AL IMAM ALWI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD AL MUHAJIR Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir [ Al-Imam Alwi - Ubaidillah - Ahmad AlMuhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]. Beliau seorang yang sangat alim dan merupakan imam besar di zamannya. Beliau di lahirkan di Hadramaut dan di besarkan disana. Semenjak kecil beliau di didik langsung oleh ayahnya dan berjalan pada thariqah yang telah ditempuh oleh ayahnya. Beliau gemar mendalami ilmu dan selalu menyibukan dirinya untuk menuntut ilmu, sehingga berhasil menguasai berbagai macam ilmu. Beliau juga adalah seorang yang hafal Alquran. Selain menuntut ilmu di Hadramaut, beliau juga menuntut ilmu sampai kekota Makkah dan Madinah. Di samping kedalaman ilmunya, beliau adalah seorang yang banyak bermujahadah. Beliau banyak melakukan shalat dan puasa. Sifat wara' dan banyak bersedekah juga selalu menghiasi diri beliau. Beliau adalah orang yang pertama kali diberi nama Alwi, yaitu nama yang asalnya diambil nama burung yang terkenal. Beliau di karuniai banyak keturunan, tersebar dan baik. Keturunan beliau ini di kenal dengan nama Ba'alawy. Jadi setiap keluarga Ba'alawy diseluruh dunia ini pasti benasabkan diri kepada beliau, keluargaa Ba'alawy, tersebar di seluruh antero negeri. Nasab mereka lebih terang daripada sinar matahari dan cahaya rembulan. Beliau adalah seorang yang sempurna memadukan kemuliaan diri dan nasab. Keutamaan- keutamaan beliau terukir di berbagai lembaran tulisan. Banyak para ulama dan ahli sejarah yang memuji dan menagungkan beliau. Diceritakan dalam satu riwayat, ketika beliau hendak melaksanakan perintah haji dan berziarah ke makam kakeknya Rasulullah SAW. Ikut di dalam rombongan beliau sekitar 80 orang, belum termasuk para pembantu dan sanak kerabatnya. ikut juga di dalamnya saudaranya yang bernama Jadid. Itu semua beliau yang menanggung biaya perjalannya. Ditambah lagi beliau sering bersedekah kepada orang lain disaat perjalanan pulangnya. Beliau juga membawa unta-unta dalam jumlah banyak untuk dipakai buat orang-orang yang lemah dalam rombongannya.35

Puing-puing kota Bait Jubair: kota tertua kaum Alawiyin. Kota ini hancur karena lama ditinggalkan pada tahun 461 keluarga Ba'alawy melakukan exodus ke Tarim

Beliau hanya mempunyai seorang anak yang bernama Muhammad. Tidak berbeda dengan ayahnya, Al-Imam Muhammad juga seorang yang dikaruniai kemuliaan sifat wara', zuhud dan ibadah. Perkataan , perbuatan dan hal ihwalnya selalu berbeda dalam kebaikan. Berkumpul di dalam dirinya keutamaan dan keindahab budi pekerti. Beliau adalah seorang yang sangat pengasih kepada anak-anak yatim, orang-orang lemah dan kaum fakir miskin. Banyak para ulama dan ahli sejarah yang menyebutkan. memuji dan menghormati beliau. di samping itu, beliau adalah seorang yang berilmu, kalamnya fasih dan pandai. Beliau, Al-Imam Muhammad bin Alwi, dilahirkan di daerah Bait Jubair ( Hadramaut ) dan dibesatkan disana. Beliau mengambil ilmu langsung dari ayahnya dan juga dari beberapa ulama yang hidup di zamannya, beliau meninggal pada umur56 tahun, dengan tidak di ketahui pasti tanggal meninggalnya dan tempat di semayamkannya.

Makam Imam Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang terletak di kota Bait Jubair.

Adapun anak beliau adalah bernama Alwi. Al-Imam Alwi juga mewarisi sifat-sifat kebaikan ayahnya. Beberapa ahli sejarah menyebutkan dan memuji kehidupan beliau. Beliau seorang imam, ulama, ahli zuhud dan ibadah. Selain36

itu, beliau juga seorang yang dermawan dan tawadhu. Beliau mengabil ilmu langsung dari ayahnya dan beliau berjalan pada thariqah ayahnya.

Mesjid Ash-Shoumaah di kota Bait Jubair - kota tertua kaum Alawiyin.

Beliau di lahirkan di Bait Jubair dan dibesarkan disana dalam kemuliaan didikan. Beliau meninggal ditempat kelahirannya pada tahun 512 H. Radhiyallohu anhu wa ardhah.... AL IMAM ALI KHALI' QASAM Imam Ali Khali' Qasam [Al-Imam Ali Khali' Qasam - Alwi Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad AlMuhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad AlBaqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah AzZahro - Muhammad SAW] Beliau adalah Al-Imam Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali AlUraidhi bin Jafar Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau terkenal dengan julukan Khali Qasam (pelepas/pemberi Qasam). Julukan tersebut diberikan kepada beliau dikarenakan beliau membeli suatu tanah dengan harga 20.000 Dinar. Tanah itu kemudian beliau namakan dengan Qasam, sesuai dengan nama tanah keluarganya di kota Bashrah. Di tanah itu beliau menanam pohon kurma. Disana beliau juga membangun suatu rumah yang ditempati pada saat panen kurma. Kemudian beberapa orang membangun rumah-rumah disamping rumah37

beliau. Sampai akhirnya tempat itu menjadi suatu desa dan dinamakan dengan desa Qasam. Beliau dilahirkan di Bait Jubair (di Hadramaut), suatu daerah yang penuh berkah dan kebaikan. Beliau dibesarkan di daerah itu. Beliau mengambil ilmu dari ayahnya. Beliau sering mondar-mandir bepergian ke kota Tarim. Akhirnya beliau, diikuti oleh saudara-saudara dan anak pamannya, memutuskan untuk tinggal di kota Tarim. Beliau adalah seorang imam agung, guru besar, dan terkenal dengan keluasan ilmunya. Terkumpul di dalam diri beliau keutamaan dan kebaikan, anwar dan asrar. Beliau dikaruniai oleh Allah dengan maqam yang sangat tinggi, sehingga tampak dalam diri beliau karomah-karomah yang luar biasa. Beliau adalah seorang alim yang tiada duanya di jamannya dan tempat rujukan bagi manusia di saat itu. Jarang sekali pada suatu jaman terdapat orang yang mempunyai maqam setinggi beliau. Para ulama besar dan ahli sejarah banyak menyebutkan manaqib dan ketinggian maqam beliau di buku-buku mereka. Termasuk di antaranya adalah Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad menyebutnya dalam suatu syairnya, Rasulullah membalas salamnya, (Salam bagimu) Ya Syeikh sebagai jawaban atas salamnya (kepada Rasulullah), maka dibuat kagumlah para orang-orang mulia. Syair tersebut menggambarkan suatu karomah besar yang ada pada diri beliau, Al-Imam Ali Khali Qasam. Hal ini terjadi setelah beliau tinggal di kota Tarim. Beliau jika menjalankan shalat dan sampai pada waktu tahiyat dan membaca salam kepada Nabi SAW, As-salaamu alaika ayyuhan Nabiyu wa rohmatullohi wa barakaatuh, beliau mengulang-ulangi bacaan tersebut, sampai beliau mendengar langsung jawaban dari Rasulullah SAW, As-salaamu alaika ya Syeikh (salam sejahtera bagimu wahai Syeikh). Demikianlah yang terjadi sebagaimana diceritakan oleh beberapa ulama seperti Al-Jundi, AsySyaraji, Ibnu Hisan, dan lain-lain. Al-Allamah Asy-Syeikh Al-Khatib juga menyebutkannya di dalam kitabnya Al-Jauhar Asy-Syafaaf. Kekhususan ini, yakni dapat mendengar jawaban salam dari Rasulullah SAW, merupakan suatu maqam yang tinggi. Tidak bisa mendapatkan maqam setinggi itu, kecuali hanya segelintir auliya. Maqam itu tidak bisa didapatkan kecuali oleh orang yang sangat-sangat dekat dengan Allah. Asy-Syeikh Abdul Wahab Asy-Syarawi berkata dalam hal ini, Tidak akan sampai seseorang kepada maqam berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW dan mendengar jawaban salam dari beliau SAW, kecuali ia telah melampaui 247.999 maqam para Auliya. Asy-Syeikh Abu Al-Abbas Al-Mursi bertanya kepada teman-temannya, Adakah diantara kalian yang ketika menyampaikan salam kepada Rasul SAW di38

dalam shalat, terus dapat mendengar jawaban salam dari beliau SAW?. Mereka berkata, Tidak ada. Selanjutnya beliau berkata, Menangislah kalian, karena kalbu-kalbu kalian tertutup dari Allah dan Rasul-Nya. Beliau, Al-Imam Ali Khali Qasam, tidak hanya mendapat jawaban salam dari Rasul SAW di dalam shalatnya saja, tetapi di dalam semua kesempatan yang beliau memberikan salam kepada Rasul SAW. Beliau, meskipun mempunyai maqam yang demikian tinggi, adalah seorang yang sangat tawadhu. Beliau mempunyai akhlak yang mulia. Disamping itu, beliau adalah seorang yang pemurah. Beliau meninggal berkisar pada tahun 523-529 H. Di dalam riwayat lain dikatakan beliau meninggal pada tahun 529 H1. Jasad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal, Tarim. Radhiyallohu anhu wa ardhah AL IMAM MUHAMMAD SHOHIB MIRBATH Imam Muhammad Shohib Mirbath [Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath Ali Khali Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi Muhammad An-Naqib - Ali Al-Uraidhi Jafar Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro Muhammad SAW] Beliau adalah Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau terkenal dengan julukan Shohib Mirbath, yang artinya penghuni daerah Mirbath. Mirbath adalah julukan bagi kota Dhafar lama, suatu daerah berpantai. Beliau adalah seorang imam yang agung, unggulan di jamannya. Beliau banyak menguasai berbagai macam ilmu dan gemar mengamalkannya. Beliau seorang yang hidup dalam keadaan zuhud dan wara. Hidupnya penuh dengan ibadah dan berbuat kebajikan. Seseorang yang melihat kehidupan beliau, pasti terkagum akan keindahan akhlak dan kemuliaan sifat-sifatnya. Selain itu beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah. Kedalamannya di dalam menguasai ilmu menjadikan beliau sebagai seorang guru yang agung. Dengan kemuliaan dan kebaikan kehidupannya, muncullah di dalam diri beliau berbagai macam karomah.

39

Beliau aslinya berasal dari Hadramaut, kemudian memutuskan tinggal di Mirbath. Banyak