majalah berita teknokra 2014

60
MAJALAH BERITA Dalam Jeratan ISSN 0215-8116 Desember 2013

Upload: rukishiro-fitri

Post on 14-Oct-2015

228 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Majalah mahasiswa Universitas Lampung oleh Pers Mahasiswa UKPM Teknokra Universitas Lampung. Liputan mencakup Provinsi Lampung. Diterbitkan setahun sekali.

TRANSCRIPT

  • MAJALAH BERITA

    Pasir saktiDalam Jeratan

    ISSN 0215-8116Desember 2013

  • Teknokra 2013 Edisi 214

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Salam Kami

    Beberapa minggu lalu, mi-lis di email Teknokra ramai oleh perbincangan menge-nai jilbab hitam. Sosok misterius ini juga menjadi perbin-cangan hangat di berbagai media online, terutama kompasina dan tem-po.co.

    Dalam tulisannya, jilbab hi-tam berkicau tentang praktek per-mainan media sekelas Tempo. Ia juga menulis bahwa Tempo melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri ke-tika meliput berita praktek korupsi di SKK Migas. Tak khayal, pengakuan jilbab hitam mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Bahkan, tempo.co harus menurunkan lima artikel untuk mengklarifikasi pemberitaan. Belakangan, identitas oknum ini telah diketahui sebagai Indro Bagus Satrio Utomo, mantan wartawan de-tik.com.

    Bagi mahasiswa yang tak ber-sentuhan dengan dunia jurnalistik, mungkin tidak akan ambil pusing dengan kasus ini. Namun, sesung-guhnya media merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Tanpa kita sadari, kita tidak hanya mem-butuhkan makanan dan minuman untuk tetap hidup. Setiap orang juga membutuhkan informasi untuk dapat berinovasi. Informasi itu tentu kita peroleh melalui media. Namun, apa jadinya jika media pemberi in-formasi itu ternyata justru mengem-ban kepentingan orang-orang yang tak bertanggungjawab?

    Bagi kami aktivis pers maha-siswa Teknokra, media adalah sebuah kepercayaaan. Informasi yang disaji-kan oleh majalah Teknokra bagai lilin yang membawa pembaca untuk me-nentukan sikap. Teknokra mencoba berani mengungkap berbagai per-masalahan di Lampung. Langkah ini kami tempuh sebagai cara ber-tindak sebagai social control.

    Kami berusaha membangun kepercayaan pembaca dengan memberikan informasi yang jelas. Keberimbangan dan keaku-ratan berita selalu kami junjung. Kami sadar, tanpa itu majalah Tek-nokra tak ubahnya deretan kalimat tanpa arti. Bahkan, bisa jadi fitnah bagi orang lain.

    Tak mudah memang menjaga nama dan kepercayaan majalah yang genap berusia 36 tahun ini. Mempertahankan kontinuitas juga menjadi salah satu cara menjaga ke-percayaan pembaca. Bukan hal yang mudah memang, betapa kami harus tetap setia pada kata profesional tanpa dibayar. Kami harus terus bergerak demi kelahiran karya-karya kami.

    Majalah tahunan ini sebagai

    Kepercayaan

    bukti konsistensi kami sebagai pers mahasiswa. Meski tak kami pung-kiri masalah klise terbitan molor masih juga lekat. Tak ada kata lain yang dapat kami ucapkan selain maaf kepada pembaca, karya terbaru kami masih mendapat se-genap kepercayaan seluruh civitas akademika. Dalam majalah tahu-nan ini, kami mengemas berbagai pemberitaan seputar Lampung dan isu nasional. Ditengah derasnya ke-pentingan media-media mainstream, kami berharap informasi yang kami sajikan dapat menjadi alternatif.

    Bagi kami, letihnya bergelut den-gan malam akan terbayar dengan kepuasan pembaca saat mengkon-sumsi majalah Teknokra. Selamat membaca dan

    Tetap Berpikir Meredeka! .

    ALAMAT Graha Kemahasiswaan Lt.1 Jl.Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandarlampung 35145 Telp.(0727) 788717 Email [email protected] WEBSITE www.teknokra.com FB Teknokra Unila TWITTER @teknokraunila

    Pelindung: Prof.Dr.Ir.H.Sugeng P.Harianto, M.S. Penasihat: Prof.Dr.Sunarto, S.H.,M.H. Dewan Pembina: Maulana Mukhlis, S.Sos., MIP. Anggota Dewan Pembina: Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo,M.Sc., Asep unik S.E.,M.E., Drs.M.Toha B Sampurna Jaya.M.S., Ir.Anshori Djausal,M.T., M.A., Dr.Yuswanto.S.H.,M.H., Dr. Eddi Rifai S.H.M.H., Asrian Hendi Caya,SE.,ME., Dr. Yoke Moelgini M.Sc, Irsan Dalimunte, S.E.M.Si,MA., Dr.Dedy Hermawan S.Sos,M.Si., Dr. Nananng Trenggono M.Si., Dr.H.Sulton Djasmi, M.Si., Syafarrudin, S. Sos. M.A., Toni Wijaya S.Sos.M.A

    Pemimpin Umum: Rudiyansyah

    Pemimpin Redaksi: Rikawati Redaktur Pelaksana: Vina Oktavia Redaktur Pe-lakasana Online: M. Burhan Redaktur Berita: Desfi Dian M (Non Aktif) Hayatun Nisa, Reporter : Hanna F (Non Aktif), Fitria W, Khorik I Redaktur Foto: Novalinda S Fotografer: Kurnia M Redaktur Artistik: Fitri Wahyuningsih Staf Artistik: Imam G Kameramen & Webdesigner: Yovi Lusiana

    Pemimpin Usaha: Rukuan Sujuda Manajer Keuangan: Puji Lestari

    Staf Keuangan: Yurike PratiwiKoordinator Per-iklanan: Yurike P Koordinator Pemasaran: Faris Yursanto Staf Pemasaran: Lia Vivi F Staf Iklan: Sindy Nurul Mugniati

    Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan: Aprohan Saputra Staf SDM: M.Burhan Staf Analisis dan Perpus-takaan: M Faza Pandunegoro

    Kepala Kesekretarian: Inayati Sofiah Staf Kesekretariatan: Jenni Ayuningtiyas (Non Aktif), Ayu Yuni Antika

    MAJALAH TEKNOKRA diterbitkan oleh Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) TEKNOKRA Universitas Lampung

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    JendelaObrolan 5

    Pendidikan 6

    Lingkungan 8

    Komitmen 10

    Budaya 16

    Kyay Jamo Adien 18

    Feature 21

    Inovasi 23

    Opini 25

    Pariwisata 27

    TTS 29

    Esai Foto 30

    Tutorial 32

    Komunitas 33

    Kesehatan 35

    Wawancara Khusus 37

    Life Style 43

    Kuliner 45

    Resensi 47

    Cerpen 49

    Karikatur 52

    Sejarah 53

    Sisi Lain 55

    Komik 57

    Etos Kita 58

    PERISTIWA 11

    SOROTAN 19

    EKSPRESI 40

    JUDUL:Dalam

    Jeratan Pasir Sakti

    Desain:Fitri Wahyu

    Ningsih

    Kondisi penambangan di pasir sakti semakin tidak terkontrol, bekas galian ditinggalkan begitu saja. Tak ada lagi batas antara pemukiman dan ham-paran air bekas galian yang sudah seperti danau, hingga kini belum ada upaya dari pemerintah untuk memberi-kan solusi bagi masyarakat pasir sakti.

    Jalan Tirtayasa seperti kubangan, tak ja-rang terjadi kecelakaan. padahal terma-suk dalam wilayah ibukota Bandarlam-pung. Masyarakat pun sudah menuntut untuk perbaikan jalan, tetapi harapan itu belum juga tercapai. Pemkot dan Pem-prov yang harruya bertanggung jawab malah saling lempar tanggungjawab.

    Sebagai tenaga pendidik Showi-yah tak ingin melakukan penelitian hanya untuk kenaikan pangkat. Bukan hanya uang tetapi kontri-busi nyata. Berbagai usaha yang ia lakukan untuk membantu ke-sulitan yang dialami masyara-kat kini sudah mulai dirasakan

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Obrolan

    Berdasarkan Rencana Pem-bangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, Univer-sitas Lampung (Unila) me-miliki visi menjadi perguruan tinggi sepuluh terbaik di Indonesia pada tahun 2025. Sebuah visi besar yang memerlukan upaya ekstra untuk mewujudkannya. Tahun 2010, Unila telah meraih peringkat 11 Indone-sia dan peringat 1 universitas di-luar Jawa sebagai perguruan tinggi yang menghasilkan karya ilmiah berdasarkan penilaian Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jen-dral Perguruan Tinggi tahun 2010. Sedangkan Juli tahun 2012. Tetapi hingga kini masih banyak PR yang juga belum terselsaikan.

    Ditemui diruangannya, Rek-tor Unila Prof. Sugeng P. Harianto menjelaskan bahwa sejak periode pertama kepemimpinannya hingga saat ini sudah banyak yang diupa-yakan untuk mewujudkan visi be-sar tersebut. Saat periode pertama kepemimpinannya ditahun 2007-2011 Unila memfokuskan diri untuk Penguatan Kelembagaan. Mema-suki periode keduanya tahun ini (2011-2015) Unila fokus meningkat-kan pelayanan terbaik dengan pen-jaminan mutu.

    REFLEKSI UNILA Top Ten University

    Sebagai koordinator Badan Ker-jasama Perguruan Tinggi Negeri (BKS PTN) wilayah barat (Suma-tera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Jawa Barat) Unila di-haruskan meningkatkan pelayanan terbaik di berbagai aspek. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam kapasitas penjaminan mutu yaitu peningkatan kapasitas penelitian.

    Melalui banyak penelitian itu-lah, Unila diharapkan mampu mengembangan keunggulan lokal yang lebih menekankan pada sum-ber daya yang dapat diunggulkan di daerah Lampung tetapi tetap harus disesuaikan dengan kearifan lokal. Contoh di sektor pertanian seperti, budidaya tanaman singkong, jag-ung, lada, dan kopi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup men-janjikan. Unila pun harus mampu membanggakan masyarakat Lam-pung dengan membantu revitalisasi ekonomi, artinya Unila harus mam-pu membantu meningkatkan per-ekonomian masyarakat Lampung.

    Selain itu, Unila juga terus me-ningkatkan kerjasama yang melibat-kan perusahaan, masyarakat, dan pemerintah, baik provinsi maupun daerah demi mendukung visi Unila. Tidak hanya di dalam negeri, ker-

    jasama sudah banyak diwujudkan hingga taraf internasional. Seperti University of Kentucky Amerika Serikat, Faculty of Art and Educa-tion Deakin University Australia, Faculty of Education Chulalongkorn University Thailand, Institute of Education International Islamic Uni-versity Malaysia (IIUM) dan masih ada yang lainnya.

    Peningkatan akreditasi univer-sitas pun menjadi sasaran utama Unila untuk mewujudkan visinya. Sudah banyak jurusan di masing-masing fakultas yang terakreditasi A, tetapi masih ada jurusan yang memiliki akreditasi B, bahkan C. banyaknya jumlah professor di Unila pun menjadi pendukung ter-wujudnya pencapaian visi Unila. Target saya, sebenarnya 10% dosen jadi profesor dan setidaknya dalam satu bulan ada dua dosen yang men-jadi professor, ujar Sugeng. Pada tahun 2013, jumlah Profesor di Unila mencapai 45 orang, jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan tahun 2007 yang baru berjumlah 18 orang.

    Menurut Sugeng, kendala yang dihadapi yaitu dosen dan karyawan yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak bisa dengan mu-dah diberhentikan jika melakukan pelanggaran tertentu, kendala yang juga cukup krusial yaitu anggaran yang dirasa kurang dari Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari mahasiswa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

    Prof. Sugeng mengharapkan ker-jasama yang harmonis dari Ketua Ju-rusan dan Dekan Fakultas masing-masing fakultas untuk memberikan pelayanan terbaik bagi kebutuhan akademik mahasiswa dalam men-empuh pendidikan agar mahasiswa nyaman dan dapat membantu setiap tujuan ditingkat fakultas dan mewu-judkan visi dan misi besar Unila. .

    Oleh Ayu Yuni Antika

    Foto Ayu Yuni Antika

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Pendidikan

    Supenti kebingungan saat disodori pertanyaan nama presiden Indonesia. Ga-dis berusia 14 tahun ini tak mengenal sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, ia juga tak bisa menyanyikan lagu kebangsaan In-donesia Raya. Ketidaktahuannya itu disebabkan ia tidak adanya sekolah yang berdiri di pulau tempat ia ting-gal.

    Bagi Supenti, tak mengenyam pendidikan bukanlah pilihan. Dulu, masih ada dua guru yang rela men-gajar anak-anak Pulau Tegal, Ka-bupaten Pesawaran. Namun, salah seorang guru bernama Apud me-ninggal dunia. Satu orang guru lainnya tidak lagi bisa mengajar lan-taran harus mengurusi kebun untuk menyambung hidup.

    Supenti tak sendirian, enam be-las anak lain juga tidak mengenyam bangku sekolah. Anak-anak Pulau Tegal hanya menghabiskan waktu untuk bermain. Pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah tidak pernah sampai kabarnya ke telinga

    mereka. Padahal, letak Pulau Tegal tergolong dekat dari pusat ibukota Provinsi Lampung. Waktu yang dibutuhkan hanya satu jam meng-gendarai sepeda motor dan lima belas menit untuk menyeberang pu-lau.

    Kegemaran anak-anak pulau Te-gal akan ilmu tak luntur meski pu-lau yang hanya berpenghuni 31 ke-pala keluarga. Antusiasme mereka terlihat saat sembilan mahasiswa Universitas Lampung datang un-tuk berbagi ilmu pada (09/11). Dua orang mahasiswa, Ryzkita dan Sil-vana Maya Pratiwi gesit memanggil anak-anak pulau untuk berkumpul.

    Devin Nodestyo mengajak anak-anak pulau Tegal belajar menggam-bar. Kegiatan belajar non formal ini berlangsung atraktif. Mereka tak malu-malu berkenalan dan menye-butkan cita-citanya. Saat ditanyai, sebagian besar anak bercita-cita menjadi guru mengaji dan guru sekolah.

    Kegiatan belajar di Pulau Tegal berhenti sejak satu tahun lalu. Se-

    belumnya, sebuah bangunan tua difungsikan sebagai tempat belajar. Salah seorang warga, Sarmah (35) bercerita ruangan tersebut diba-ngun oleh salah satu partai politik 5 tahun lalu. Dua tahun belakangan, warga menggunakan gedung itu sebagai sekolah. Anak-anak pulau Tegal menyebutnya madrasah. Na-mun, madrasah itu tidak punya izin dari pemerintah. Proses belajar pun dilakukan seadanya.

    Menurut Supenti, kegiatan bela-jar dimulai pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Anak kedua dari tiga bersaudara itu mengaku selalu datang tepat waktu. Sehabis berdoa, kegiatan belajar dimulai dengan mengaji. Setelah itu, Supenti dim-inta belajar membaca dan menulis. Tak jarang, ia juga mengerjakan soal-soal yang ada di dalam buku untuk mengasah kemampuan berhitung.

    Dua tahun belajar, Supenti di-nyatakan lulus sampai kelas 3 sekolah dasar. Menurutnya, penen-tuan naik kelas tak melalui proses ujian dan pembagian rapot. Ia dan

    Pulau Tanpa SekolahOleh Vina OktaviaFoto-foto Rudiyansyah

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    teman-temannya hanya diminta mengerjakan soal-soal yang ada di dalam buku. Apabila sudah mampu mengerjakan seluruh soal, Supenti boleh melanjutkan belajar meng-gunakan buku tingkat selanjut-nya. Sayangnya, Supenti tak dapat melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Tak ada yang bisa ngajarin lagi, curhatnya.

    Guru yang selama ini menga-jar anak-anak Pulau Tegal memang hanya lulusan Madrasah Tsanawi-yah. Sanwani (48) mengaku diminta mengajar oleh warga sekitar. Menu-rutnya, ia pernah mengajar 21 anak bersama rekannya yang kini telah tiada. Latar belakang pendidikan yang kurang membuatnya hanya be-rani membimbing anak-anak sam-pai kelas 3 SD. Ia berhenti mengajar karena tak banyak lagi anak-anak yang masih kelas 1 dan 2. Hanya ada enam anak yang belum seko-lah, ujarnya. Ia mengaku bersedia mengajar lagi jika ada 10 anak yang belum bisa membaca.

    Selama menjadi guru, Sanwani mendapat sumbangan dari siswa-nya. Setiap anak memberikan Rp. 7.500,00 setiap bulan sebagai uang SPP. Ia juga mendapatkan intensif dari seorang donatur di luar pu-lau sebesar Rp. 500.000,00. Dengan demikian, ia dapat konsentrasi men-gajar. Kini, tak ada lagi donatur yang dapat membantunya. Uang sum-bangan enam orang anak juga hanya terkumpul Rp.37.500,00. Ayah dua orang anak ini mengaku tak sang-gup mencukupi kebutuhan keluar-ganya dengan nominal tersebut. Ia terpaksa menggarap kebun demi menjaga dapurnya tetap mengepul.

    Keputusan Sanwani untuk ber-henti mengajar anak-anak Pulau Tegal sangat disayangkan warga sekitar. Namun, warga memahami kondisi tersebut. Sarmah hanya bisa berharap ada guru bantuan dari luar pulau. Ibu rumah tangga ini san-gat menginginkan anaknya dapat melanjutkan sekolah. Namun, keti-

    adaaan dana dan fasilitas membuat-nya harus merelakan Supenti tak sekolah. Pengennya sih anak-anak saya pinter semua, ujarnya.

    Sarmah mengaku penghasilan suaminya hanya cukup untuk biaya makan. Setiap minggu, ia diberikan uang Rp. 150.000,00 oleh suaminya. Itu pun jika cuaca baik dan ada pen-gunjung yang menyewa kapal milik keluarganya. Ia juga tak mampu berbuat banyak untuk pendidikan anak-anaknya.

    Ia paham sulitnya mencari guru yang mau menetap di pulau yang ia huni. Beruntung, sejak awal 2011, seorang guru muda bernama Farhan Syakur tergerak untuk membantu pendidikan di Pulau Tegal. Laki-

    laki asal Tanggamus ini memang tak memberikan pendidikan formal. Namun, ia rutin datang setiap Sabtu untuk mengajak anak-anak belajar. Farhan lebih sering bercerita atau mengajak anak-anak bernyanyi.

    Saat ditemui, Farhan mengaku mengetahui kondisi Pulau Tegal dari anak didiknya. Saat itu, ia dan beberapa muridnya melakukan bak-ti sosial untuk anak-anak pulau. Ia mengobrol dengan beberapa warga dan mengetahui kondisi pendidi-kan di pulau itu. Sabtu berikutnya, ia mulai rutin berkunjung kesana.

    Terkadang, ia pun terpaksa datang sendirian. Biayanya sekitar dela-pan puluh ribu, ujar sulung dari depan saudara itu.

    Kesibukannya melanjutkan studi S2 sempat membuatnya tak lagi ru-tin mengajar. Namun, ia berusaha menyempatkan diri. Dari ia pulalah, bantuan dari beberapa komunitas berdatangan. Tahun 2011, komuni-tas Canting asal Yogyakarta pernah berkunjung ke pulau dan memberi-kan buku-buku pelajaran. Selain itu, Farhan juga kedatangan donatur buku dari Serang. Komunitas hibah buku ini memberikan tiga kardus buku.

    Kesungguhan Farhan untuk membantu pendidikan di Pulau Te-

    gal tak pernah putus. Kini, ia beren-cana mengusahakan home schooling untuk anak-anak. Ia menyadari, pengadaan sekolah formal di pu-lau ini membutuhkan waktu yang panjang. Selain itu, mengandalkan bantuan pemerintah juga akan sulit diurus dalam waktu singkat. Mini-mal mereka tetap dapat melanjut-kan pendidikan, ujarnya. Ia diban-tu beberapa mahasiswa Unila yang menjadi relawan sedang menggo-dok konsep ini. Kelak, ia berharap keinginannya ini dapat tercapai. .

    Pendidikan

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Seingat Arif, peristiwa itu terjadi tahun 2000 saat ia masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Dari halaman rumahnya, ia kegirangan melihat bebatuan bukit Camang yang hancur terkena le-dakan bom. Mirip seperti kembang api yang dilempar ke atas, kenangnya. Saat itu, ia tak paham alasan penge-boman bukit Camang yang berdiri di belakang rumah-nya. Kelamaan, ia tahu bahwa diatas bukit itu akan dibangun rumah-rumah elite.

    Tiga belas tahun berlalu, pembangunan perumahan milik PT. Bukit Alam Surya belum rampung semuanya. Namun, warga RT 014, LK II, Kelurahan Bumi Raya su-dah harus menerima imbasnya. Minggu (13/09), seban-yak 14 rumah rusak akibat longsor dari atas bukit. Dua rumah harus rata dengan tanah. Empat rumah dianta-ranya rusak berat. Enam rumah lagi rusak sedang dan dua rumah rusak ringan.

    Indah (34) salah seorang korban longsor mengatakan longsor berasal dari penampungan air milik peruma-han. Ia mengaku bencana longsor ini ada setelah adanya proyek pembangunan perumahan. Alhasil, dapur mi-liknya jebol akibat terjangan tanah. Sempat takut juga kalau dengar suara kereta, dikira suara longsor, ujar ibu dari empat anak ini.

    Menurut Indah, pagi itu hujan turun sejak pukul 04.30 WIB. Ia dan keluarganya masih sempat menampung air hujan ke dalam bak untuk keperluan mandi. Hujan ak-hirnya berhenti pukul 08.00 WIB. Suami Indah, Jumani

    yang saat itu sedang duduk di teras rumah dikejutkan oleh suara pohon waru yang tumbang dari atas bukit. Ia pun menengok ke atas bukit. Setelah satu pohon tum-bang, sebongkah batu besar dan tanah ikut ambruk. Jumani lekas memanggil indah yang sedang berada di kamar. Mereka sempat terjatuh dan tertimbun tanah longsor. Saya jatuh karena tanahnya setinggi paha, cerita Indah.

    hal yang sama juga dirasakan Arif dan warga lain-nya. Arif bahkan harus rela kehilangan rumah dan barang-barang berharga miliknya. Ijazah saya aja gak tahu kemana, ujar bujangan yang bekerja di salah satu bengkel otomotif itu. Ia dan orang tuanya terpaksa me-ngungsi lantaran rumahnya tak dapat lagi ditinggali.

    Longsor yang menimpa warga RT. 014/LK II itu sempat membuat sebagian warga geram. Sebanyak 30 warga desa sempat naik ke atas bukit meminta pertang-gungjawaban pihak perumahan. Aslan Maulana yang ikut memprotes pihak perumahan mengaku warga meminta agar peristiwa ini tidak terulang lagi. Warga meminta pihak perumahan membuat bendungan baru agar air tidak menumpuk disatu titik. Petugas penjaga posko perumahan, Aad membenarkan adanya warga yang mendatanginya. Sehari setelah peristiwa, sebuah alat berat terlihat beroperasi membuat tanggul baru.

    Ketua RT setempat, Satim (43) mengatakan telah mengajukan surat ke PT. Bukit Alam Surya. Dalam su-rat tersebut, ia meminta agar pihak perumahan mem-

    Lingkungan

    BANGUN BISNIS DIKAWASAN

    PERBUKITANOleh Vina OktaviaFoto Novalinda Silviana

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Lingkungan

    bantu korban tanah longsor. Ia juga meminta agar pihak perumahan membenahi tanggul penahan air agar peristiwa serupa tak terjadi lagi. Menurut Satim ia masih menunggu jawaban dari pihak perumahan. Selain mengajukan surat ke pihak perumahan, bantuan untuk para korban juga datang dari beberapa pihak, salah satunya dari walikota Bandarlampung. Seusai kejadian, Herman HN ditemani timnya me-mantau para korban. Menurut pen-gakuan Satim, Herman berjanji akan memberikan ganti rugi kepada para korban. Untuk rusak berat 50 juta, rusak sedang 25 juta, dan rusak ringan masih dipertimbangkan, ujarnya.

    Menanggapi kejadian ini, pihak perumahan Bukit Alam Surya (BAS) yang diwakili oleh Syarifuddin men-gatakan pihaknya telah memberikan bantuan kepada warga. Koordinator Humas PT. BAS itu mengungkap-kan peristiwa longsor yang terjadi adalah murni bencana alam. Pi-haknya menolak anggapan bahwa pembangunan tanggul penam-pungan air tidak sesuai prose-dur. Menurutnya, pembangunan drainase sudah sesuai dengan per-aturan pemerintah. Pembangunan langsung diarahkan ke sungai Way Balau, ungkapnya.

    Ia menambahkan, pihak peruma-han telah berkoordinasi dengan warga sekitar untuk memperbaiki daerah yang rusak akibat longsor.

    Bencana alam yang terjadi aki-bat jebolnya penampungan air milik perumahan bukan kali ini terjadi. Januari 2012, banjir juga menerjang warga Bakung akibat jebolnya tang-gul penahan air perumahan Citra Garden. Iin (58) harus kerepotan membersihkan rumah dari sisa ta-nah akibat banjir.

    Nenek dua cucu ini kaget karena banjir yang menimpanya lebih besar dari tahun sebelumnya. Esoknya, ia tahu bahwa banjir itu terjadi aki-bat jebolnya danau buatan milik

    perumahan Citra Garden. Peruma-han ini memang terletak didataran tinggi yang letakknya di atas desa Bakung. Tak heran, air hujan yang turun akan mampir di desa Bakung karena kondisi geografisnya yang merupakan dataran rendah.

    Kontrakan wanita pembuat emp-ing itu terletak di desa Bakung, Teluk Betung. Daerahnya seringkali terke-na banjir saat musim hujan datang. Seingat Iin, semenjak tiga tahun lalu rumahnya selalu kedatangan ban-jir. Ketinggian air memang hanya 20 sentimeter. Namun, banjir itu lumayan menguras tenaganya un-tuk membersihkan sisa tanah yang terbawa air. Tahun lalu, banjir yang mampir dirumah Iin lebih besar. Banjir itu bahkan merusak televisi yang biasa ia dan keluarganya ton-ton. Selain itu, lemari tempat meny-impan pakaian pun ikut rusak kare-na terendam banjir.

    Banjir yang Iin alami juga men-impa banyak warga lain. Bahkan, kini setiap rumah mulai memban-gun rumahnya menjadi dua lan-tai sebagai persiapan saat banjir datang. Iin tak mampu melakukan hal itu. Selain ia hanya mengontrak, uang hasil usahanya juga harus ia sisihkan untuk membayar uang kontrakannya. Keluarganya bukan-nya tak mau pindah dari sana. Na-mun, Iin merasa kontrakan yang ia tinggali sudah sangat murah diban-dikan kontrakan lain. Ia hanya harus membayar sebesar 600-700 ribu per tahun.

    Iin memang mengaku mendapat bantuan dari pengelola perumahan. berupa nasi bungkus, mie instan, dan beras sebanyak dua kilogram. Bantuan itu didapat setelah warg-anya melakukan protes ke pihak perumahan. Ia menilai bantuan itu tak cukup sebagai ganti rugi. Ya, harapannya ganti rugi semuanya. Televisi dan lemari juga mendapat ganti, keluh Iin.

    Berbagai pembangunan pe-rumahan yang merusak lingkun-

    gan mendapatkan tanggapan dari Ketua Lembaga Swadaya Masyara-kat (LSM) Walhi Lampung. Bejo Dewangga mengungkapkan ma-raknya pembangunan yang mengi-kis perbukitan di Bandarlampung disebabkan oleh ketidak tegasan pemerintah. Menurutnya, tidak ada peraturan daerah yang melarang warga Bandarlampung membangun kawasan perumahan dan bisnis di kawasan perbukitan atau daerah re-sapan air. Akibatnya, banyak lahan yang dijadikan perumahan atau ka-wasan bisnis.

    Ketiadaan peraturan daerah ini juga menyebabkan pemerintah ti-dak dapat mempidanakan pihak pengembang apabila terjadi keru-sakan lingkungan atau bencana alam akibat kesalahan pembangu-nan. Bejo menghimbau semua pihak seperti warga, mahasiswa, dan LSM yang ada di Lampung dapat mende-sak pemerintah kota untuk mem-buat Perda demi menyelamatkan perbukitan di Bandarlampung.

    Ia berharap, pemerintah dapat lebih tegas untuk mengalihkan kepemilikan lahan kepada peme-rintah dan melestarikan sisa per-bukitan dan daerah resapan air di Bandarlampung.

    Sementara itu, walikota Bandar-lampung, Herman H.N. mengung-kapkan perizinan pembangunan di Bandarlampung adalah tang-gungjawab walikota sebelumnya. Ia hanya dapat membantu masyarakat dengan memberikan bantuan ganti rugi. Ia juga menghimbau waga un-tuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan.

    Mengenai sanksi bagi pengem-bang, pemerintah tidak dapat ber-buat banyak. Herman mengatakan status tanah adalah kepemilikan pribadi sehingga sulit untuk dike-nai sanksi. Namun, ia meminta pi-hak pengembang dan warga dapat bekerjasama demi menjaga ling-kungan. .

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    KOMITMEN

    Pasir Sakti merupakan nama kecamatan di Kabupaten Lampung Timur yang se-bagian masyarakatnya berprofesi sebagai buruh tani dan buruh tambak. Lahan di Pasir Sakti merupakan tanah tandus yang tidak produktif, tanaman-tanaman perta-nian tidak bisa tumbuh. Kondisi itu itu terus berlangsung. Hingga tahun 1996 desa ini sangat minim pemban-gunan. Mulai dari akses transpor-tasi, pendidikan maupun kesehatan. Masyarakatnya yang berprofesi sebagai buruh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

    Ditengah kesulitan itu, masyara-kat mendapatkan angin segar ke-tika perusahaan PD Wahana Raharja membeli lahan warga untuk penam-bangan. Mulanya penambangan dilakukan dengan dipetak-petakan dan berjarak 100 meter dari pemu-kiman warga, pasir yang diangkut dari Pasir Sakti digunakan untuk menimbun pembangunan dermaga III Bakauheni di Kabupaten Lam-pung Selatan. Itu pun hanya sebagai pemasok dan belum ada penamban-gan. Selain itu, ada peraturanya jelas setiap lahan yang diizinkan untuk dilakukan pengalian.

    Hal itu sangat berdampak pada perekonomian masyarakat, jalan yang awalnya tanah mulai diper-baiki karena selalu dilewati truk, masyarakat pun memiliki peng-hasilan tambahan sebagai buruh tambang. Fasilitas sekolah dan tem-pat ibadah pun mulai dibangun. Penambangan pasir begitu menjadi primadona, pekerjaan buruh tani seketika ditinggalkan dan memilih menjadi buruh tambang.

    Namun angin segar itu hanya se-mentara, perlahan penambangan se-makin meluas. Berbagai perusahaan dan bahkan semua yang memiliki

    lahan bebas melakukan penam-bangan. Toh tidak perlu membuat perizinan karena memang tak ada peraturan tegas terkait perizinan. Alhasil ditahun 2002 pembangunan tambang pasir menjadi tidak terkon-trol. Pembangunan yang awalnya harus berjarak 100 meter dari pemu-kiman kini hanya berjarak 3 meter. Bahkan pondasi rumah mulai terki-kis oleh genagan air.

    Harapan perbaikan kehidupan kini sirna, malah berganti dengan bayang-bayang yang sewaktu-wak-tu nyawa mengancam. Beberapa warga pun sudah menjadi korban tenggelam karena kedalamannya mencapai 4-12 meter. Tak ada lagi tempat untuk anak-anak bermain, sekolah pun sudah berbatasan den-gan genangan air yang sudah men-jadi danau.

    Hingga kini tak ada tindakan, jangankan untuk solusi pemulihan lingkungan yang diharapkan. Data penambangan pun menjadi tidak jelas. Sanksi bagi penambang yang nakal hanya sekedar harapan. Pemerintah juga hanya sebatas me-ninjau lalu pergi, hinggi kini solusi yang sangat dinanti warga tak kun-jung menghampiri.

    Sebagian warga sempat protes dengan kondisi ini, tetap saja suara mereka tak didengarkan. Bahkan

    aparat pemerintah setempat me-ngaku tak pernah mendapatkan mandat pemerintah kabupaten atau-pun pusat untuk mengusahakan solusi bagi warga Pasir Sakti. Hanya menunggu pendataan perusahaan tambang yang hingga kini tak juga berjalan.

    Bagaikan buah simalakama, jika penambangan dihentikan maka dari mana sumber kehidupan. Jika ti-dak pun bayang-bayang pertaruhan nyawa menjadi ancam, genangan air akan semakin meluas bahkan sudah tak berbatas dengan pemukiman. Tak khayal banyak masyarakat yang sebenarnya merasa terancam tetapi memilih bersikap pasif.

    Pemerintahpun tak segera turun tangan, kenapa begitu sulit men-elusuri perusahaan yang melakukan penambangan. Berapa banyak pihak yang mengambil keuntungan dari bumi Pasir Sakti tanpa ada usaha memperbaiki. Setiap hari 20 truk mengangkut kekayaan bumi Pasir Sakti. Dan tersisa hanya lubang-lu-bang bekas galian yang mengancam ribuan kehidupan.

    Kemana pemerintah kini, ma-syarakat Pasir Sakti menjerit membu-tuhkan solusi bukan hanya datang melihat lalu pergi. Yang dibutuhkan kini solusi bukan lagi saling lem-par tanggungjawab, jangan hanya mengambil keuntungan tetapi ke-hidupan ribuan masyarakat diper-taruhkan. Selain solusi yang dinanti pemerintah juga harus memiliki peraturan jelas terkait penamban-gan, tak hanya itu, sanksi tegas bagi pelanggar harus diterapkan.

    Semoga jeritan masyarakat Pasir Sakti akan segera didengarkan. Se-hingga masyarakat bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan lepas dari jeratan yang sewaktu-waktu bisa mengancam kehidupan. .

    Dalam Jeratan Pasir sakti

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Peristiwa

    Senin, 22 Juli lalu awan mendung menyelimuti desa Rejomulyo, salah satu desa di Kecamatan Pasir Sakti, Lampung Timur. Jalanan berpasir yang basah membuatnya semakin sulit dilalui. Ditambah lagi lubang-lubang besar yang digenangi air hujan dibeberapa ruas jalan akibat selalu dilewati truk yang memuat ratusan kubik pasir yang diangkut dari bumi Pasir Sakti menuju der-maga Bakauheni.

    Di sepanjang jalan ratusan hek-tar genangan air yang sudah seperti danau menjadi suguhan pemanda-ngan, ratusan hektar genangan air itu merupakan lubang-lubang bekas galian pasir dengan kedala-man mencapai 4 hingga 12 meter. Genangan-genangan tersebut han-ya berjarak 3 sampai 5 meter dari halaman belakang rumah warga. Bahkan,terdapat beberapa rumah yang pondasinya sudah menggan-tung karena tanah yang semakin ter-kikis. Tidak hanya rumah, sekolah pun sudah tak berbatas, halaman sekolah yang seharusnya tempat

    Dalam Jeratan Pasir sakti

    bermain siswa sudah seperti danau. Senyumnya menghiasi wajah

    kurus laki-laki paruh baya ketika ditanya tentang nasibnya di desa tersebut ia bilang harapannya sur-am. Dulunya dia dan istrinya adalah petani, sawahnya yang hanya 1.5 hektar kini sudah bersalin rupa. Sawahnya ia rasa tak menjamin ke-hidupan keluarga sehari-hari mem-buat ayah tiga anak ini menggali sawahnya untuk diambil pasirnya.

    Sambil memangku anaknya yang masih berumur tiga tahun disalah satu kursi kayu di ruang tamunya, Syaiful Amri Ketua RT Dusun 4 desa Rejomulyo. Pasir membuat eko-nomi keluarganya membaik, tetapi hidupnya semakin tidak tenang, se-bab galian pasirnya ternyata hanya dapat disedot selama setahun, ke-dalaman galian mencapai tiga me-ter sudah tidak menghasilkan pasir karena lapisan tanahnya sudah ta-nah liat. Pasirnya habis, sudah ting-gal tanah liat, ujar Syaiful.

    Bekas galiannya kini hanya me-nyisakan genangan air seluas 1.5 hektar dengan kedalaman 3 meter,

    ia pun hanya dapat menahan napas menceritakan nasib sawahnya. Syaiful tidak punya pilihan lagi se-lain menjadi buruh tambang. Bah-kan, anak sulungnya yang saat itu sedang menikmati bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) terpaksa berhenti dan ikut menjadi buruh demi membantu ekonomi keluarga.

    Penghasilannya tidak pasti, rata-rata dalam sehari ia dan anak laki-lakinya mendapatkan empat puluh ribu rupiah, itu pun mereka ker-jakan bergantian, lalu pasirnya di-kumpulkan menunggu pengempul atau supplier datang untuk mengam-bil pasir yang telah mereka kumpul-kan seharian. Hitungannya kubik, perkubiknya dihargai dua ribu rupi-ah. Dalam sehari ia dapat menyedot pasir sekitar 20 kubik pasir.

    Sebenarnya rasa takut selalu membayangi ketika melihat galian pasir di belakang rumahnya yang hanya berjarak 4 meter, galian itu akan semakin meluas. Bahkan sewaktu waktu rumahnya pun akan menjadi genangan air. Tetapi ia tak punya banyak pilihan. Jika ingin bertani juga tak ada tanaman yang tumbuh.

    Kondisi ini terjadi di tujuh desa lainnya di Kecamatan Pasir Sakti, yakni Pasir Sakti, Mekar Sari, Mu-lyo Sari, Purworejo, Kedung Ringin, Labuhan Ratu, dan Sumur Kucing. Setiap desa memiliki luas galian pa-sir yang berbeda-beda. Pemiliknya mulai dari perusahan, sampai warga setempat.

    Namun kondisi paling parah terjadi di desa Rejomulyo, kondisi genangan air sudah merata seperti danau. Ribuan hektar lahan yang awalnya ditumbuhi pohon akasia bahkan pemukiman warga sekarang tampak seperti lautan yang luas, mesin penyedot pasir menderu di setiap lahan pertambangan yang tak terhitung secara pasti, beberapa alat berat seperti eksavator meleng-kapi aktivitas pertambangan. Galian bekas penambangan begitu saja di-

    Oleh Faris Yursanto, Hayatun NisaFoto-foto Faris Yursanto, Hayatun Nisa

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    tinggalkan oleh penambang.Sejarah Penambangan

    Awal mulanya pasir sakti bagian dari Kabupaten Lampung Tengah, Kecamatan Jabung Timur, lalu ada proses pemekaran desa, Kecamatan Jabung Timur memisahkan diri dan membentuk kabupaten Lampung Timur, setelah disahkan ada usulan untuk mengganti nama kecamatan menjadi Pasir Sakti, maka terben-tuklah Kecamatan Pasir Sakti, Kabu-paten Lampung Timur. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 5.764 hek-tare yang didalamnya terdapat 8 desa yaitu, Pasir Sakti, Mekar Sari, Mulyo Sari, Rejomulyo, Purworejo,

    Kedung Ringin, Labuhan Ratu dan Sumur Kucing.

    Sambil menghisap rokok di ta-ngan kirinya ia menceritakan se-jarah penambangan pasir di sekitar tempat tinggalnya. Jumiran tak me-nyangka setelah masa kepemimpi-nannya sebagai kepala desa di desa Kedung Ringin penambangan pasir menjadi tidak terkendali. Pria be-rumur lebih dari setengah abad ini merupakan tokoh masyarakat desa Kedung Ringin yang lebih dari 25 tahun tinggal di kecamatan Pasir Sakti. Ia menjadi pemimpin di desa Kedung Ringin dari tahun 1988 sam-pai tahun 2003. Lahan di Pasir sakti merupakan tanah tandus yang tidak produktif, tanaman-tanaman per-tanian tidak bisa tumbuh di tanah Pasir Sakti.

    Namun harapan itu datang ke-tika tahun 1996 PD Wahana Raharja membeli lahan warga untuk penam-bangan. Mulanya penambangan dilakukan dengan dipetak-petakan dan jarak masih jauh dari pemu-kiman warga, saat itu pasir dari Pasir Sakti digunakan untuk men-imbun pembangunan Dermaga III Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan. dan belum ada penamba-ngan, hanya pemasok, setelah pen-imbunan untuk keperluan dermaga tersebut selesai tidak pernah ada lagi penggalian pasir. namun setelah ta-hun 2002 penambangan menjadi ti-dak terkontrol.

    Mulanya masyarakat pasir sakti bekerja sebagai buruh tani dengan upah 50 ribu perhari, namun perla-han pekerjaan itu ditinggalkan kare-na ada pesaing buruh pasir yang ga-jinya lebih tinggi.

    Jumiran juga tidak tahu persis peraturan desa yang mengatur per-tambangan setelah periode kepe-mimpinanya. Di bawah tahun 2000 masih ada petakan tahap kedua ke-napa kok dihabisin, semua jadi laut sekarang, terangnya.

    Semua Penambangan Berstatus IlegalBanyak kejanggalan dari penam-

    bangan selama ini mulai dari kepe-milikan lahan yang tidak jelas, siapa saja yang melakukan penambangan tidak terdata yang akhirnya tidak pembayaran PBB pun saling lem-

    par. Setiap hari tidak kurang dari 200 truk melintasi jalan di Pasir Sakti.Truk-truk tersebut setiap hari melintas yang beratnya sekitar 8 ton menyebabkan jalan yang dilewa-tinya rusak. Dari itu maka dibuatlah pos-pos retribusi sebagai kompen-sasi dari perbaikan jalan. Retribusi ini juga sebagai sumbangan un-tuk pembangunan desa. walaupun warga merasa diuntungkan dengan adanya pertambangan karena ban-yak warga setempat menjadi buruh tambang tetapi aktivitas pertam-bangan yang tanpa izin sebenarnya dalam jangka panjang justru meru-gikan warga sendiri, karena tidak ada izin atau status perizinan yang tidak jelas,.

    Pihak Perusahaan maupun pen-gusaha dan warga yang memiliki pertambangan dengan mudah me-lepaskan diri dari tanggung jawab seperti membayar kontribusi ke desa, pembayaran PBB dan ini ten-tu berimbas pada Pendapatan Asli Daerah (PAD), selain itu juga karena status perizinan tidak jelas membuat pihak pertambangan merasa tidak punya tanggung jawab akan keru-sakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas pertambangan pasir, per-tambangan membiarkan begitu saja lubang-lubang luas yang digenangi air.

    Perusahaan itu sampai seka-rang itu tidak terdeteksi karena tidak ada izin, semua ilegal, ujar Supoyo camat Pasir Sakti. Pihak kecamatan sebenarnya sudah melakukan him-bauan kepada warga agar melaku-kan perizinan namun warga tidak melakukannya. Supoyo mengaku selama ini tidak pernah memberikan rekomendasi. Pihak kecamatan se-benarnya sudah berupaya melaku-kan pendataan. Setiap bulan pihak kecamatan melakukan rapat dengan kepala desa untuk membahas pen-dataan penambangan namun kepala desa belum melakukannya.

    Pihak kecamatan tidak bisa ber-tindak lebih lanjut selama peme-

    Peristiwa

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    rintah kabupaten tidak memberi perintah ke kecamatan karena kecamatan juga tidak punya we-wenang lebih, kecamatan hanya perpanjangan tangan dari pemerin-tah kabupaten. Kini daerah pertam-bangan semakin meluas dan merata di 8 desa. Supoyo yang baru 10 bu-lan menjabat merasa tidak pernah memberikan rekomendasi, dan di buku register perizinan pun tidak ada catatan yang jelas dari tahun-tahun sebelumnya.

    Ia juga menambahkan bahwa pemerintah kabupaten tidak pernah memberi perintah untuk mendata penambangan. Dari 8 desa, Rejomu-lyo merupakan desa yang memiliki penambangan terluas yakni sekitar 435 hektare. Rejomulyo yang dahu-lunya ditumbuhi dengan hektaran sawit kini berubah menjadi galian pasir. Sebenarnya sudah dilakukan peraturan desa yang menyatakan bahwa penambangan hanya boleh dilakukan 100 meter dari pemuki-man warga namun tetap saja dilang-gar oleh penambang.

    Tidak ada kebijakan dari atas padahal tidak ada izin, sudah ada upaya juga dari kabupaten dengan mengumplkan para penambang un-tuk menhimbau segera membuat perizinan, menurut informasi dari distamben izin seluruh perusahaan yang ada di pasir sakti sudah habis sejak setahun yg lalu. Tetapi tidak ada kebijakan dari kabupaten untuk menertibkan perizinan tersebut.

    Supoyo mengaku kesulitan men-deteksi berapa perusahaan yang melakukan pertambangan, walau-pun setiap bulanya diadakan rapat koordinasi tetapi tetap saja tidak ada perkembangan. Aparatur desa beralasan akan mendata secepatnya. Tetapi hingga kini data itu belum juga didapat pihak kecamatan. Dit-ambah lagi setiap dilakukan rapat dengan perusahaan selalu saja yang datang mewakili pihak buruh. Bu-kan perusahan secara langsung yang melakukan petambangan tetapi atas

    Peristiwa

    nama orang lain dan hanya sebagai pembeli pasir saja.

    Mereka selalu beralasan be-sok dan besok, saya mau melapor ke Pemkab sementara saya sendiri belum mendapatkan laporan data. Akhirnya hanya menunggu dan per-masalahan berlanjut, terangnya.

    Saya juga tidak bisa ceritakan detail perusahaan dan pihak mana saja yang melakukan penamban-gan, ini seperti lingkaran setan dan semua berkepentingan, tambahnya.

    Pasir Sumber PembangunanMeskipun warga menyadari

    kalau penambangan yang mereka lakukan akan berdampak buruk bagi lingkungan. Namun, disisi lain dengan adanya penambangan pasir mereka beranggapan kondisi per-ekonomian khususnya pada pem-bangunan desa sendiri mulai mem-baik. Menurut Rubiyanto warga desa Rejomulyo, kecamatannya itu merupakan kecamatan yang mar-ginal terutama desa Rejomulyo. Se-belum ada penambangan, sebagian besar warga kecamatan ini memang bekerja sebagai buruh, seperti buruh tani dan buruh tambak. Sebagian ke-cilnya petani dan pemilik tambak.

    Tapi setelah panambangan ma-suk sebagian besar warga yang awalnya adalah buruh tani dan buruh tambak, mulai beralih mata

    pencaharian menjadi buruh tam-bang. Bahkan bukan jumlah yang sedikit kalau bicara warga yang sesuka hati menggali lahan mereka sendiri tanpa melalui prosedur peri-jinan penambangan. Mulanya sebe-lum penambangan mengeksploitasi Pasir Sakti, semuanya berjalan baik. Jalan berpasir yang awalnya amat sulit dilalui apalagi oleh kendaraan besar mulai dibangun, hasil pertani-an menjadi mudah untuk diangkut keluar.

    Akses transportasi mulai lancar meskipun pembangunan jalan ma-sih sangat sederhana, seperti hanya penambahan batu pada jalan pasir lalu ditutup pasir lagi, sehingga jala-nan pasir yang longsor jika dilalui kendaraan bermotor manjadi stabil. Selain pembangunan jalan, mush-olah-musholah juga mulai berdiri di hampir tiap dusun, penerangan jalan, pembuatan underlah, dan per-baikan kantor desa.

    Rumah warga pun sebagian be-sar sudah permanen, bahkan ada beberapa rumah warga yang sudah bangunan mewah. Terdapatnya portal sebagai retribusi tidak cukup untuk pembangunan seperti jalan. Karena di sebagian besar pemban-gunan jalan di desa-desa kecamatan Pasir Sakti merupakan swadaya ma-syarakat. Contohnya seperti desa Mulyosari, yang pada Februari lalu

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Peristiwa

    terjadi konflik antara beberapa war-ga yang tidak setuju dengan adanya penambangan pasir di desa terse-but. Konflik terjadi ketika jalan uta-ma akses ke SD N 1 Mulyosari rusak parah, hingga sudah tiga kali truk terbalik, siswa-siswa SD tersebut ha-rus melalui akses lain yang jaraknya dua kali lebih jauh.

    Menurut Rubiyanto, warga sudah meminta kepala desa untuk meng-ganti jalur pengangkutan pasir, na-mun kepala desa menolak berdasar-kan musyawarah dengan perangkat desa lainnya. Truk pengangkut pasir pun tetap melewati jalan yang sama. Usai jalan diperbaiki, seminggu setelahnya truk pengangkut pasir kembali melewati jalan tersebut. Ketika dimintai keterangan kepala desa (nama kepala desa) beralasan bahwa memang desa memberikan ijin truk-truk tersebut melalui jalan tersebut, karena menurutnya adan-ya penambangan pasir di desa terse-but membantu pendapatan desa, ia juga beralasan bahwa jalan yang di-lalui itu juga berdasarkan perizinan dari musyawarah desa.

    Dia juga mengatakan ada per-janjian antara perusahaan pemilik penambangan pasir yang mengun-tungkan desa, retribusi yang di-dapat dari pertambangan sangat membantu pemasukan desa menin-gkatkan segala sektor. Tapi hal se-baliknya dirasakan oleh warga yang tidak setuju adanya penambangan di Mulyosari.

    Tak Ada PilihanTerik matahari membakar kulit,

    sejenak ia berhenti mengaduk se-men lalu duduk di bangku kayu di bawah pohon jambu air yang rindang ditemani secangkir kopi dan satu teko air dingin dan empat gelas kosong yang ditata di nam-pan. Eko, sapaan lelaki berumur 48 tahun warga desa Rejomulyo dusun Rejo Agung itu sedang membuat kolam ikan di halaman samping rumahnya. Mau coba ternak ikan,

    senyumnya mengembang sembari merogoh rokok dan korek api dari kantung kausnya.

    Dia menarik pematik korek api hingga dua kali, dan membakar rokok yang sudah di mulutnya. Disini panas jadi memang sulit un-tuk buat kolam ikan, jadi kolamnya dibuat tinggi, keluhnya.

    Dua orang lain masih sibuk den-gan adukan semen dan seorang lagi membuat dinding kolam. Enaknya bangun disini pasirnya punya sen-diri, ujarnya sembari mengamati pekerja lainnya.

    Ia punya 20 hektar galian pasir di desanya itu. Sejak 2011 ia pun menyedot lahan kosongnya, tentu penghasilanya amat lumayan. Awal-nya juga ada batas antara galian pasir miliknya dengan galian pasir milik perusahaan atau warga lain. Sekarang gak bisa bedain mana galian yang punya saya sama punya yang lain, lah wong udah jadi lautan semua, jelasnya menghela napas. Namun, kini lahannya ditinggalkan begitu saja. Sama seperti hamparan genangan air lainnya.

    Kekhawatirannya kini menjadi hal yang biasa, kerusakan ling-kungan yang ia dan warga lain-nya sadari mengancam kehidupan mereka kelak, kini menjadi lum-rah. Dia pun menunjukkan bekas galian pasir miliknya yang ada di belakang rumahnya, tak terlalu luas, bekas galian pasirnya kini ditum-buhi rumput liar, galiannya cukup dalam, namun tak banyak air yang menggenang. Ya takutlah tapi kalo mati kan mati sama-sama, tam-

    bahnya.Tidak hanya

    kerusakan ling-kuangan yang d i a k i b a t k a n penambangan p a s i r , b a h -k a n s u d a h b e r a p a k a l i warga tewas

    tenggelam di hamparan air bekas galian.

    Eko hanya salah satu warga yang tergiur dengan iming-iming pasir yang pada akhirnya menyesali pili-hannya. Pasir menjadi satu-satunya pilihan, mereka ingin pertambangan pasir segera ditutup tapi dilain sisi mereka menikmati hasil dari pe-nyedotan pasir di Pasir Sakti.

    Upaya PemerintahCamat pasir sakti, Supoyo men-

    gaku tidak mengetahui tindakan dari pemerintah kabupaten, dia hanya sebatas mendengar surat rekomendasi untuk menutup pert-ambangan. Tetapi hingga kini surat itu belum ia terima. Dinas pertam-bangan memang pernah berkun-jung ke pasir sakti, tetapi menurut Supoyo hanya sekedar datang dan tidak ada tindak lanjut.

    Kepala Bidang Prasarana dan Wilayah, Choldin mengatakan me-kanisme perizinan untuk melaku-kan penambangan adalah pertama investor meminta perizinan ke bu-pati lalu menyerahkannya ke Badan Koordinasi Penataan Ruang Dae-rah (BKPRD) setelah itu BKPRD memberikan rekomendasi apakah boleh atau tidak untuk melakukan penambangan. Rekomendasikan dikeluarkan tapi tidak diberikan, Ujar Choldin. Izin terbagi menjadi 2, yaitu izin usaha penambangan dan izin lingkungan. Izin penambangan diberikan oleh Dinas Pertambangan dan Energi, sementara Izin lingkun-gan diberikan oleh Badan Lingkun-gan Hidup. .

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    KHUSUSWAWANCARA

    Kondisi penambangan pa-sir di Kecamatan Pasir Sakti sudah dalam zona mengkhawatirkan, keru-sakan alam akibat penambangan su-dah mulai dirasakan. Galian-galian pasir yang ditinggalkan sudah se-perti danau, tidak hanya masalah ekonomi saja yang diperhitungkan. Beberapa warga pun meninggal du-nia. Namun masyarakat terkesan pasif karena sadar bumi pasir tem-pat mereka menggantungkan hi-dup. Begitu pun pemerintah, belum ada upaya untuk mengatasi hal ini. Padahal setiap hari galian pasir yang tidak memiliki izin kian bertambah. Reporter Teknokra Faris Yursanto berkesempatan mewawancarai ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, Bejo Dewangga. Berikut pe-tikan wawancaranya.

    Menurut bapak bagaimana kondisi penambangan pasir di Pasir Sakti saat ini?

    Kalau bicara lingkungan penam-bangan itu pasti merusak, dilihat dari pergeseran lingkungan. Kita kembali lagi mempersoalkan peri-zinan, karena kalau perusahaan itu punya izin. Izinnya itu sampai bera-pa tahun beroperasinya. Kemudian izin lingkungan itu seperti apa, Am-dalnya seperti apa.

    Penambangan pasir itu idealnya seperti apa?

    Namanya penambangan itu ti-dak ada yang ideal, sorotan Walhi. Yang namanya penambangan itu pasti merusak. Sesuatu yang diambil dari bumi itu pasti merusak, seperti penambangan batubara itu pasti meninggalkan bekas. Ia akan me-ninggalkan bekas kubangan. Begitu juga penambangan pasir. Itu akan menyebabkan adanya sesuatu yang hilang itu namanya ekologi, sebena-rnya penambangan itu gak ada yang baik. Kalau bicara ideal, kita gak tau idealnya seperti apa karena yang na-manya penambangan itu merusak.

    Sejauh ini apa yang sudah di-

    lakukan Walhi terkait dengan penambangan pasir sakti?

    Walhi kan NGO, Walhi sudah menyurati kepada yang memberi-kan kebijakan yaitu Pemda Lam-pung Timur, ternyata masyarakat disana juga pasif tidak berontak. Kalau masyarakat berontak kami bisa memfasilitasi itu. Yang men-jadi persoalan juga adalah tentang jalan lintas yang dilewati Lampung Selatan yang digali itu lampung timur. Ketika masyarakat lampung selatan menolak dia (pemerintah) mengerahkan aparat. Ketika konfir-masi di BPLH itu sudah dihentikan

    Sikap Pemerintah APAtiS

    tapi ternyata masih berjalan.

    Yang selama ini mengadu ke Walhi siapa saja pak?

    Masyarakat Lampung Selatan selama ini yang masih mengadu adalah masyarakat Lampung Se-latan khususnya Sragi.

    Menurut bapak sikap pemerin-tah bagaimana?

    Apatis mereka, tidak ada rasa untuk memperbaiki atau menghen-tikan itu. Tidak ada itikad baik sep-erti mediasi, dia (pemerintah) lebih mendukung pada perusahaan.

    Kenapa sulit sekali mendata penambangan-penambangan yang ada disana?

    Ya karena memang disumput-sumputi, misalnya saya punya uang saya menyuruh orang lain dan orang itu juga menyuruh orang lain. Dan solusi terbaik adalah menghen-tikannya.

    Untuk penanggulangannya, se-benarnya apa yang harus dilaku-kan?

    Ya dihentikan, itu penanggu-langan yang jitu. Kita hentikan penambangan baru kita melakukan reklamasi. .

    Oleh Faris Yursanto

    Foto Faris Yursanto

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Budaya

    Buhinjang,Lama-lama Hilang

    Minggu pagi, pukul 07.00 WIB, anak-anak kecil dan kaum ibu pergi ke sungai untuk melaksanakan rutinitas rumahtangga seperti mencuci baju, mencuci piring, atau mandi. Pakaian yang mereka kenakan seperti ibu rumah tangga umumnya. Tetapi ada yang berbeda dengan pakaian bawahan yang dikenakan. Semua seragam mengenakan hinjang dengan berbagai motif bunga, terlihat rapih hingga menutup kaki. Sementara itu, di seberang jalan seorang nenek berku-pluk hijau telihat menenteng belanjaan, baru saja pulang dari pasar. Dengan mengenakan kebaya hijau tua dan hinjang orange bermotif bunga ia mulai menyapa ibu-ibu yang ada di pinggiran sungai.

    Tidak hanya itu, kemana pun mata memandang akan selalu men-emukan setidaknya sepotong hin-jang di jemuran setiap rumah. Itu lah gambaran kehidupan sehari-hari Desa Penyandingan, Kecamatan Ke-lumbayan, Kabupaten Tanggamus. Hinjang (sarung) memang sangat akrab dengan masyarakat Lam-pung. Tak hanya dipakai saat acara adat saja, hinjang juga dipakai untuk keseharian, mulai dari mandi, ber-tandang ke rumah tetangga, bahkan pergi ke pasar. Saat bermain pun tak jarang ditemukan anak-anak perempuan berhinjang.Tak ada rasa malu untuk mengenakanya. Justru masyarakat merasa malu jika tidak memakai hinjang.

    Jahidi (22) salah satunya, ia telah akrab dengan hinjang sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sehari-hari hinjangnya selalu ia pakai ke-cuali jika hendak ke kebun. Menu-rutnya, hinjang bukanlah suatu hal yang terkesan ribet. Menurut Jahidi, hinjang yang sering ia gunakan ber-motif kotak-kotak dan berwarna

    Oleh Fitri WahyuningsihFoto Fitri Wahyuningsih

    Hinjang (sarung) dulunya adalah kain yang sangat akrab dengan masyarakat Lampung, salah satunya di desa Penyandingan, Kecamatan Kelumbayan, Kabu-paten Tanggamus. Tidak hanya dipakai saat acara adat, hinjang juga dipakai untuk keseharian, mulai dari mandi, bertandang ke rumah tetangga, bahkan pergi ke pasar. Perasaan malu datang jika tidak mengenakan hinjang. Namun kini, modernisasi juga ikut menyapu tradisi lama ini.

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Budaya

    biru tua, hinjang itu juga yang sering ia pakai untuk shalat.

    Senada dengan Jahidi, Siti Rohm-ah yang berusia 62 tahun ini pun dulunya memakai hinjang sejak usia 7 tahun. Menurutnya hinjang berfungsi sebagai penutup aurat. Siti menjelaskan jika zaman dahu-lu laki-laki yang hendak melamar seorang gadis akan memperhatikan bentuk rambut dan betis. Untuk itu-lah para gadis diharuskan mengena-kan penutup rambut, kebaya, dan hinjang supaya sulit bagi laki-laki untuk langsung menilai fisik sang gadis.

    Siti juga menambahkan jika hin-jang tidak hanya dikenakan sebagai pakaian sehari-hari dan saat upa-cara adat saja, tetapi juga sebagai dekorasi ruangan, dimana hinjang-hinjang tersebut dipajang di ruang depan yang disebut Khehedaian.

    Perempuan itu malu kalau tidak pakai hinjang, ujarnya. Menurut Siti, sejak dulu hinjang sudah dipak-ai sebagai pakaian adat. Seandainya seorang perempuan tidak memiliki hinjang di rumah, itu merupakan se-buah aib. Meskipun diakuinya, saat ini beberapa pemuda pemudi di Pe-nyandingan pun mulai meninggal-kan hinjang. Tak seperti dizaman-nya, saat ini beberapa perempuan

    merasa biasa saja saat mengenakan celana.

    Hal yang sama juga disampai-kan Kepala pekon Penyandingan, Zubaidi mengatakan jika biasan-ya masyarakat yang sudah lama merantaulah yang mulai mening-galkan hinjang. Contohnya saja Eka Fertina Rahma Wijaya atau yang biasa disapa Eka. Gadis yang baru merampungkan studi kebidanannya di Akademi Kebidanan Alifa Pring-sewu ini tak lagi memakai hinjangnya ketika pulang ke kampung halaman. Meskipun beberapa kali ditegur orangtuanya, Eka masih berangga-pan bahwa berhinjang adalah suatu hal yang ribet. Pasalnya Eka belum terbiasa memakai hinjang karena se-jak SMP hingga bangku kuliah Eka sudah merantau. Kadang dimarah orangtua, apalagi kalau pakai celana pendek, akunya. Meskipun begitu, Eka tetap memakai hinjang ketika acara adat berlangsung.

    Cerita lain datang dari Sukma Wati yang tengah menempuh pen-didikan SMA di Penyandingan. Dia dibesarkan dilingkungan yang jauh dari adat Lampung, ia pun baru mengenal hinjang ketika pindah ke Penyandingan. Dia datang dari Salong , lantaran tidak ada SMA di sana. Gadis asli Banten ini awalnya

    hanya memakai rok karena belum bisa memakai sarung. Susah, melo-rot terus, ujarnya.

    Selama setahun Wati sapaan akrabnya mulai membiasakan diri memakai hinjang. Lantaran ling-kungan yang juga mayoritas men-genakan hinjang, Wati pun akhirnya terbiasa dengan hinjang. Hingga dirinya terbiasa mengenakan hin-jang untuk sehari-hari.

    Zubaidi menjelaskan hinjang merupakan warisan dari nenek moyang, yang memang dari dulu sudah dilestarikan. Menurutnya ka-lau seorang perempuan sudah ber-hinjang, akan dianggap lebih rapih dan lebih sopan. Zubaidi pun tak memungkiri mulai tergesernya hin-jang dengan pakaian-pakaian mod-ern. Meskipun begitu, para orangtua di Penyandingan masih akan meles-tarikan hinjang. Orangtua kalau anaknya nggak pakai hinjang pasti dimarahi, katanya. Ia berharap budaya berhinjang ini akan diles-tarikan terus. Supaya jadi ciri lah, tambahnya.

    Hal senada juga disampaikan Masri Yahya, Kepala Dinas Kebu-dayaan dan Pariwisata Lampung. Lama-lama orang ingin yang sim-pel, dan mudah untuk bergerak, ujarnya. Beliau pun menjelaskan bahwa hinjang pada dasarnya bu-kan hanya pakaian daerah lampung, melainkan seluruh negeri, bahkan di luar negeri pun ada, hanya motif dan bahannya saja yang membeda-kannya. Hinjang biasanya dipadu-kan dengan kebaya khas daerah ma-sing-masing atau bisa juga dengan kebaya modern.

    Meskipun masih yakin peles-tarian hinjang tetap dilakukan di pedalaman-pedalaman desa, ia pun menghimbau kepada para wanita untuk tetap mengenakan hinjang. Selain tampak lebih anggun dan pe-minin, juga sebagai pelestarian bu-daya lokal. Kalau berhinjang dan berkebaya itu, seksi tapi lebih so-pan, aku Masri Yahya. .

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Jamo K

    YAY

    Adie

    nO

    leh M.Burhan

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Sorotan

    Tak ada lagi aspal sebagai penutup jalan, yang terli-hat hanya jalan yang warna kecoklatan usai diguyur hujan, kondisi jalan menjadi licin, kubangan memenuhi hampir selu-ruh badan jalan menjadi suguhan pemandangan setiap pengendara yang melintas. Gambaran jalan Tir-tayasa yang termasuk dalam ka-wasan kota Bandarlampung, jalan utama yang terletak di Kecamatan Sukabumi.

    Tak jarang terjadi kecelakaan karena kondisi jalan yang berlu-bang, salah satunya Yuli Doris, tanpa ragu wanita berusia 39 tahun ini menunjukan bekas luka dilengan kirinya karena terjatuh dari Honda Specy putih yang tengah ia kenda-rai saat melaju di jalan Tirtayasa. Guru di yayasan Pendidikan Islam Darul Huda ini menceritakan saat itu kondisi jalan baru saja diguyur hujan. Hampir seluruh badan jalan tertutup lumpur.Yuli yang berbon-cengan dengan sang anak terpeleset hingga kehilangan keseimbangan. Motor yang dikendarai menimpa-nya hingga mengakibatkan luka di lengan dan kaki.

    Kejadian itu membuatnya harus meninggalkan kewajiban mengajar selama dua minggu. Untungnya ada guru yang menggantikan men-gajar selama saya cuti, Ujar Yuli saat ditemui di ruang guru usai mengajar, Selasa (2/12).

    Di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Huda, Yuli mengajar Bahasa Indonesia kelas 3 hingga kelas 6. Lokasi tempatnya mengajar yang berada di kawasan Jln. Prof. Dr. Ir Sutami, mengharuskanya melintasi jalan Tirtayasa setiap harinya.

    Menurut Yuli kondisi jalan Tir-tayasa saat ini sangat tidak layak dilalui, ia harus merasakan pekat-nya debu ketika hari panas. Ketika hujan harus berjibaku dengan jalan yang berlumpur dan penuh lubang yang digenangi air. Yuli berharap ja-lan Tirtayasa segera diperbaiki, agar ia dapat menjalankan tugas sebagai pendidik tanpa harus was was.

    Hal yang tak jauh berbeda juga dialami Tri Waluyo yang menggan-tungkan hidupnya di Jalan Tirtaya-sa. Berprofesi sebagai supir angku-tan umum sudah ia jalani sejak tiga tahun terakhir. Dengan menggu-nakan kendaraan yang juga bukan

    miliknya Waluyo harus melintasi jalan Tirtayasa dengan rute Ramaya-na-Simpang Galih.

    Senada dengan Yuli, Waluyo pun mengeluhkan kondisi jalan Tirtaya-sa yang rusak parah, pria berusia 39 tahun ini mengatakan seharusnya dapat ditempuh hanya dalam 30 menit kini butuh waktu 2 jam untuk melaluinya. Ia pun hanya bisa me-narik sekitar empat kali untuk rute Ramayana-Simpang Galih.

    Tak hanya itu, Waluyo juga men-gaku setiap bulanya harus mengelu-arkan uang yang tidak sedikit untuk memperbaiki mobilnya. Karena se-tiap setengah bulan ada saja bagian mobilnya yang rusak dan harus masuk bengkel. Dengan pendapa-tan bersih sekitar 140 ribu per hari, Waluyo harus rela mengeluarkan uang yang melebihi pendapatannya agar mobilnya tetap bisa dugunakan.

    Masyarakat pun bukan tidak meminta usaha perbaikan jalan dari pemerintah, berbagai spanduk tuntutan masyarakat dipasang di sepanjang jalan yang masuk dalam wilayah administratif kecamatan Sukabumi ini.

    Hal itu dibenarkan oleh Abdul

    Kubangan Dijalan ibukotaOleh RudiyansyahFoto-foto Rudiyansyah

    Jalan Tirtayasa rusak parah. Pemerintah sebagai penyedia fasilitas bagi hajat hidup orang banyak tak lagi mampu memenuhi harapan. Pemerintah kota dan provinsi yang harusnya menjadi solusi malah salaing lempar tangan.

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Sorotan

    Roni, kepala seksi ketentraman dan ketertaban kecamatn Sukabumi mengatakan pemerintah kecamatan sering menerima keluhan rusaknya jalan Tirtayasa. Namun, pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa karena keputusan tetap ada di tingkat yang lebih tinggi.

    Menurut Abdul pihak keca-matan selalu berusaha menyam-paikan aspirasi masyarakat saat agenda musyawarah cabang dengan pemerintah kota yang biasa diada-kan setiap bulan Februari. Alumnus Magister Ilmu Pemerintahan Unila ini menaruh harapan besar agar Jalan Tirtayasa segera diperbaiki. Karena menurut Abdul infrastruk-tur jalan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakatnya. Selain itu, Tak salah jika mereka menun-tut penyelenggara pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan kha-layak. Karena masyarakatpun telah menunaikan kewajibanya melalui pembayaran pajak.

    Pemerintah Lempar Tanggung-jawab

    Menanggapi permasalahan ru-

    saknya jalan Tirtayasa Walikota Bandarlampung, Herman HN me-nyatakan dengan tegas bahwa jalan Tirtayasa adalah tanggungjawab pemerintah provinsi.

    Jalan Tirtayasa itu masih men-jadi aset provinsi, jadi perbai-kan juga kewajiban pemerintah provinsi, ujarnya saat ditemui di ruangan kerjanya, Kamis (5/12).

    Menurut Herman jika memang menurut pemerintah provinsi jalan yang berlokasi di kecamatan Suka-bumi itu sudah diserahkan kepada pemerintah kota, ia kembali menan-yakan surat tanda terimanya. Se-tiap serah terima pasti ada bukti, tegasnya.

    Dia pun paham sebagian be-sar pengguna jalan adalah warga Bandarlampung. Menurut Herman banyak guru, karyawan dan ma-syarakat Bandarlampung setiap hari haru melewati jalan yang kini rusak parah. Namun, Herman menutur-kan apa daya pemerintah kota.

    Menyikapi perdebatan status ja-lan Tirtayasa, pemerintah provinsi menurut Herman pernah akan men-gagendakan pertemuan antara kota

    dan provinsi. Namun sampai saat ini undangan Pemprov tak juga diterimanya.

    Herman berharap pihak Pem-prov segera memperbaiki jalanan tersebut. Salah satu caranya adalah dengan menganggarkan dana pada 2014 mendatang, ujarnya.

    Jika perbaikan tidak juga dire-alisasikan oleh pemprov, Herman mengaku tidak bisa menjanjikan Pemkot akan memperbaiki, karena butuh anggaran yang cukup besar.

    Setali tiga uang dengan pemerin-tah kota, Pemerintah provinsi Lam-pung pun belum dapat memberi-kan kejelasan status jalan Tirtayasa. Sekertaris daerah Lampung, Berlian Tihang saat ditemui di Balai Kera-tun usai mengikuti upacara pelepas-an PNS yang telah memasuki masa purna bhakti mengungkapkan sam-pai saat ini Pemprov masih meny-erahkan penanganan jalan Tirtayasa kepada pemerintah kota.

    Karena menurut Berlian jalan Tirtayasa sudah diserahkan kepada pemerintah kota Bandarlampung dan sampai saat ini pemerintah kota pun belum menyerahkan kembali

    kepada pihak Pemprov jika memang tak bisa memper-baiki.

    Menurut Berlian sampai saat ini Pemprov belum men-galokasikan anggaran untuk perbaikan jalan Tirtayasa. Pi-hak provinsi khawatir akan ada tumpang tindih pen-ganggaran antara kota dan provinsi.

    Ia juga membenarkan mes-ki gubernur telah menghim-bau agar dinas bina marga kota dan provinsi melakukan pertemuan untuk membahas jalan Tirtayasa, tetapi sampai saat wawancara dilakukan ia mengaku belum mendapat laporan telah diadakan perte-muan tersebut. .

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Feature

    Waktu menunjukkan pukul setengah tu-juh pagi, waktu yang mengisyaratkan di-rinya untuk mulai mengangkut sampah dari satu rumah ke rumah lain yang berjarak dua kilometer untuk sampai ke tempat pembua-ngan sementara di jalan Pramuka.

    Jailani, warga Sumber Agung yang baru bekerja 3 bulan, 8 jam dalam sehari ia harus bergelut dengan sampah. Dari penghasilan sebesar 450 ribu setiap bulan diper-gunakan untuk menghidupi kelima anaknya. Gaji tersebut berasal dari uang kebersihan yang dibebankan tiap kepala keluarga sebesar 15 ribu, dan terkadang gaji pun terlambat karena banyak warga yang mem-bayar tidak tepat waktu.

    Hidup sebagai seorang Sokli ti-daklah mudah, Sokli harus bekerja pada semua kondisi cuaca. Pria berusia 30 tahun ini harus menahan

    dinginnya hujan dan teriknya ma-tahari. Dan tak ada hari libur, dari hari Senin hingga Minggu ia habis-kan untuk mengangkut sampah dari Palang Besi menuju ke pasar tani ke jalan Cik Di Tiro lalu jalan Tanjungraja. Ia baru bisa berbaring di rumah ketika pekerjaannya usai dan terkadang apabila magrib tiba ia masih mengangkut sampah jika sampah semakin banyak.

    Bersama supirnya Jailani mu-lai membuka plastik sampah yang baunya saja bisa membuat orang muntah, tanpa memakai sarung tangan jemari yang mulai keriput membuka dan merobek plastik yang berisi sampah. Tak ada satu pun yang tidak dibuka, dalam bungku-san plastik itu ia berharap bisa me-nemukan barang-barang bekas yang bisa langsung dijual. Diwaktu yang bersamaan rekannya memindahkan sampah dengan garpu sampah yang untuk dimasukkan ke keranjang

    tossa yang kemudian dimasukan ke-dalam truk sampah.

    Ada botol bekas, botol plas-tik, bekas kotak makan, dan buku dipisahkan dibawah tossanya. Po-koknya apa aja yang bisa dijual, dipisahin, ujarnya. Tidak ada rasa murung atau pun jijik, canda tawa menghiasi proses pembongkaran itu.

    Jailani juga merasa bersyukur, banyak ibu rumahtangga yang ke-rap memberikan makanan saat ia menggangkut sampah, ada kalanya rongsokan langsung diberikan ke-padanya supaya bisa langsung di-jual. Setiap hari mendapatkan peng-hasilan 15 ribu dari hasil penjualan barang rongsokan.

    Kehidupan yang sama dijalani oleh Adi yang harus bergelut de-ngan baunya sampah. Hanya saja, Adi menggunakan truk sampah dan mendapatkan gaji sebesar 850 ribu rupiah perbulannya, ia juga dimung-kinkan untuk diangkat menjadi PNS.

    MENGABDI untuk Lampung Tetap bersih

    Oleh Yovi LusianaFoto-foto Yovi Lusiana

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Menyisiri jalan Tengku Umar hingga tugu Raden Intan, melihat ada kotak sampah, mobil pun lang-sung berhenti salah satu keneknya turun dan dengan segera mengang-kut kotak sampah dengan cepat, tak terlihat seperti berat, langsung ia melempar ke dalam truk yang di-dalamnya sudah ada dua temannya yang siap menyambut.

    Terkadang ketiganya bergantian untuk turun kebawah. Didalam truk sampahpun dipilah mana yang bisa dijual dan yang dibuang ke tem-pat Pembuangan Akhir (TPA). Di pintu truk tampak beberapa karung bergelantungan yang berisi kumpu-lan barang-barang bekas.

    Menjadi tukang sampah harus menjadi pilihan, riwayat pendidi-kan keduanya hanya sekolah dasar tidak mampu bersahing didunia kerja. Bahkan, tak tahu lagi dimana ijazah itu disimpan.

    Sampah itu limbah tapi bila di-pilih hasilnya bisa bertambah, itu semboyan para petugas kebersihan, sampah yang menjadi sumber pe-nyakit itu memang limbah, namun ditangan para petugas itu sampah bisa menambah penghasilan.

    Hasil penjualan rongsokannya untuk makan sehari-harinya sebe-lum mendapatkan gaji. Bau sampah, pecahan beling, makanan basi, bela-tung, cacing, air sampah, kotoran sudah akrab pada diri petugas kebersihan.

    Sering kali pecahan beling yang menyayat kulit tidak bermasalah, bagi keduanya itu sebagai bumbu dalam pekerjaan. Berbagai atribut seperti sarung tangan, sepatu boot, masker, topi, dan almamater jarang dikenakan karena tidak bertahan lama. Lebih enak gini gak pakai sa-rung tangan, tangan gak susah milih rongsokannya, ujar Adi.

    Kepala bidang kebersihan, Siswanto mengatakan, Dinas ke-bersihan dan Pertanaman mengaku sudah memberikan kesejahteraan kepada para petugas kebersihan, untuk tenaga kontrak yang diberi-kan gaji 850.000 perbulan yang se-belumnya hanya 450.000, dan setiap bulannya diberikan uang intensif sebesar 100 ribu dan untuk yang bekerja lembur khusus untuk kenek diberikan 50.000 per bulan.

    Menjadi petugas kebersihan baik

    sokli ataupun petugas dengan truk tidak ada kata pemecatan meskipun umur mereka sudah tidak produktif untuk bekerja. Hanya saja jam kerja yang mereka tempuh dikurangi dan diberikan back up pada jalur mereka, karena kerja pasti kurang maksimal.

    Siswanto juga menambahkan apabila ada petugas yang mengun-durkan diri, maka dibebaskan un-tuk mencari penggantinya. Hal itu sebagai apresiasi untuk para petugas yang telah mengabdikan dirinya untuk menjaga bumi Lampung tetap bersih.

    Selain itu, bagi mereka yang sudah bekerja puluhan tahun ti-dak bisa langsung dijadikan PNS, karena menjadikan seorang petugas menjadi PNS bukan wewenang dari Dinas Kebersihan dan Pertanaman. Terkadang kami kasihan juga me-lihat mereka yang sudah lama men-jadi petugas, tapi mau gimana lagi, mereka untuk menjadi PNS Ijasah mereka tidak ada, terang Siswanto.

    Menurut Siswanto dari dinas sendiri akan mengusulkan kenaikan gaji untuk para petugas kebersihan menjadi 1.165.000 untuk tahun de-pan. Namun, untuk para Sokli harus bersabar untuk mendapatkan gaji yang sesuai dengan upah minimum relatif, karena sokli bukan dibawah Dinas Kebersihan dan Pertanaman. Dikarenakan dari pemerintah dae-rah tidak ada dana yang cukup un-tuk menggaji sokli. Para sokli itu hanya bisa mengandalkan iuran yang didapatnya dari warga. .

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    inovasi

    Selama ini seni khususnya seni musik tradisional se-lalu memakai acuan peneli-tianya adalah Bali dan Jawa dikarenakan keanekaragaman alat musik yang ada dan memiliki sum-ber re-ferensi yang lengkap. Selain itu, lebih mudah dipelajari karena dianggap sudah mempunyai legiti-masi atau patokan-patokan baku se-cara akademisi.

    Provinsi Lampung juga memi-liki beberapa seni musik tradisional salah satunya Gamolan Pekhing yang berasal dari Sekala Berak Ka-bupaten Lampung Barat yang meru-pakan alat musik bambu dengan bentuk yang unik karena resonansi dan bilahnya semua terbuat dari bambu.

    Dengan keunikan tersebut ban-yak para seniman berlomba-lomba untuk memanfaatkan sebagai alat untuk pendukung dalam sebuah garapan baik sebagai musik instru-mental maupun iringan tari. Namun mereka tidak pernah memperhati-kan bagaimana kelangsungan hidup alat dan kesenian tersebut dimasa yang akan datang.

    Hal itulah yang melatar belaka-ngi I Wayan Sumerta Dana Arta mencari sebuah terobosan dalam bidang akademisi, menurut Wayan yang perlu digarap dalam gamolan pekhing adalah laras yang selanjut-nya dibuat sistem penotasian yang sangat sederhana untuk memudah-kan dalam belajar mengajar baik di-masyarakat maupun di bidang aka-

    demisi. Wayan juga menambahkan bah-

    wa laras mengacu kepada deretan nada-nada dan jarak nada dalam satu oktaf yang terdapat dalam alat tersebut. Jika laras sudah diketemu-kan akan mudah mencari karakter gamolan pekhing yang selama ini seniman hanya bermain dan me-ngolah nada tanpa memperhatikan apa nadanya. Dari penelitianya ini Wayan berharap musik tradisional Lampung dibuatkan notasi sehing-ga mudah dipelajari secara akade-mis, dan diprogramkan menjadi salah satu mata kuliah di perguruan tinggi seni Indonesia sebagai upaya menyebarluaskan seni musik tradi-sional Lampung. mengingat selama ini didominasi kesenian Jawa, Sun-da, Bali dan Sumatera Barat.

    Terlebih lagi kini pengrajin pem-buat gamolan pekhing tinggal satu-satunya yaitu Syafril Anwar, sehing-ga diperlukan inovasi baru untuk

    Nada Ciri Khas GamolaN PeKhiNG

    memperkenalkan gamolan pekh-ing sebagai warisan budaya bangsa yang perlu dikembangkan dan dise-barluaskan.

    Pria berusia 42 tahun ini juga mengatakan supaya nadanya ter-dengar halus dan bagus pembuatan gamolan pekhing harus melalui be-berapa tahapan sebagai berikut.

    Pertama, diawali dengan pe-milihan bambu sebagai bahan un-tuk gamolan pekhing,yaitu pilihan bambu harus yang berumur 10 hing-ga lima belas tahun.

    Kedua, bambu tersebut lalu dite-bang dan dijemur dengan diangin-anginkan. Proses ini berlangsung selama 5 hingga 7 bulan.

    Ketiga, bambu di potong-potong berdasarkan ruas yang ada masing-masing untuk dijadikan baluk

    Keempat, sisanya dibuat bilah-bilah untuk nada gamolan.

    Kelima, bilah nada dipotong-po-tong sesuai nada yang akan dibuat

    Oleh Rikawati

    Repro

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    inovasi

    dengan ukuran: 38 cm, 36 cm, 34 cm, 32 cm, 32 cm, 30 cm, 28 cm (7 bilah nada).

    Keenam, pada baluk dibuat dibuat lobang bentuk memanjang sekitar 30 cm

    Ketujuh, setelah baluk dan bilah dibentuk lalu kulitnya dikupas un-tuk memudahkan proses pewarnaan

    Kedelapan, proses pelarasan nada diawali dengan membuat lo-bang pada ujung-ujung bilah nada yang natinya tempat menggantung-kan tali dalam penyusunan nada.

    Kesembilan, lobang tempat tali dib or sekitar 3cm sampaiu 7 cm dari ujung bilah, an lobang tersebut diberi nama Lobang Titi Laras.

    Kesepuluh, Dalam Pelarasan ada rumus yaitu semakin tebal bilah bamboo nadanya semakin tinggi dan semakin tipis bilah bambu tersebut nada yang ditimbulkam semakin rendah, atau semakin pan-jang bilah bamboo nada yang timbul semakin tinggi.

    Kesebelas, di dalam membuat tinggi-rendah nada dalam pelarasan dengan cara mencoak bagian dalam bilah bamboo untuk merendahkan nada dan mencoak bagian ujung bilah bambu untuk meninggikan

    nada.Nada yang diinginkan sesuai

    patokan dalam Gamolan Pekhing adalah nada : 1 (do), 2(re), 3 (mi), 5(sol), 6(la), 7 (si), 1 (do oktav). Nada ini sangat unik yang menjadi ciri khas Gamolan Pekhing yang mem-bedakan dengan gamelan yang ada di Nusantara. Deretan nada terbut diberikan nama Laras Pelog Enam Nada. Inovasi dari Wayan ini sudah mendapatkan hak cipta dari Dirjen HAKI Kementrian.

    Keduabelas, Setelah Pelarasan selesai dilanjutkan dengan proses pewarnaan yaitu bilah beserta ba-lok diberi warna memakai politer warna merah maron sebagai warna khas Lampung, diawali dengan pengamplasan media sampai halus lalu dipoleskan politer sampai rata di bawahg terik sinar matahari, un-tuk menghasilkan pewarnaan yang maksimal (mengkilat).

    Ketiga belas, pewarnaan selesai dilanjutkan dengan pemasangan bi-lah nada sesuai urutan nada yang di-inginkan yakni do, re, mi, sol, la, si, do dikaitkan pada lubang titi laras dengan memakai tali dan dikunci menggunakan lidi-lidi bambu.

    Keemapat belas, pada awalnya

    tali pengkait menggunakan tali ro-tan, mengingat rotan semakin lang-ka dan kekuatannya tidak maksimal akhirnya sekarang diganti dengan tali nilonyang bisa tahan lama dan lentur.

    Kelima belas, di ujung-ujung bi-lah nada diuatkan GAnjal (ganjel bambu) yang berfungsi untuk me-misahkan bilah denga BAluk se-hingga tidak bersentuhan waktu memukul Gamolan.

    Keenam belas, setelah pemasan-gan semua di atas selesai tinggal terakhir dibuatkan pemukul yang bah-annya juga dari bambu tersebut dibuat berbentuk bulat memanjang ukuran sekitar 20 sampai dengan 25 cm.

    Berkat kerja kerasnya Wayan ber-hasil menemukan bentuk Gamolan Pekhing secara detail dari awal cara pembuatanya mulai dari pemilihan bahan sampai siap menjadi Gamo-lan Pekhing. 24 April tahun 2012 lalu inovasinya ini mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena diang-gap bagi bangsa dan negara sebagai penemu Gamolan. Ia juga berharap Gamolan Pekhing menjadi bahan ajar disekolah dan perguruan tinggi seni di Indonesia. .

    Iklan

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    OPINI

    Seni setiap daerah menggam-barkan kehidupan sehari-hari masyarakatnya, yang bisa dilihat dari jenis alat musik dan karakter serta teknik permainan alat musik yang ada. Seperti Bali mempunyai beragam alat musik yang disebut gamelan dengan teknik yang unik yang dise-but gegebug (Bandem,1985), dengan permainan yang dinamis dan para pakar sering menamakan dengan musik siang. Gambaran tersebut mencerminkan kehidupan masyara-katnya yang tidak pernah mengenal malam semua ibarat siang dengan segala aktifitas dan kreatifitas yang tidak pernah berhenti sepanjang waktu serta dinamika kehidupan yang serba cepat dan gesit serta ket-erbukaan dari dunia luar khusus-nya dalam seni berbagi unsur untuk memperkaya kesenian tradisi Bali.

    Pakar etnomusikologi Colin Mc Pee juga mengatakan musik Bali penuh dengan dinamika yang sering disebut dengan musik kebyar, yang oleh Bandem dijelaskan pada acara penerimaan penghargaan interna-sional untuk dedikasinya dalam bidang etnomusikologi- musik bangsa-bangsa di Tokyo pada tang-gal 11 Mei 2006, bahwa Kebyar seb-agai ekspresi seni yang meluap-luap dengan aksi dramatis yang sangat menakjubkan.

    Menciptakan Ciri Khas

    Lain halnya dengan musik Jawa atau gamelan Jawa dengan permain-an yang lembut dan halus mengalun, yang mencerminkan masyarakatnya yang lugu, penuh toto kromo dan ba-hasa yang santun yang merupakan pemaknaan kedalam. Disamping itu musik berkembang sesuai den-gan alam dan budaya penganutnya seperti kemesraannya dengan alam semesta dan musim yang mengikuti (Nikagawa,2006).

    Selama ini para pakar seni khu-susnya seni musik tradisional se-lalu mamakai acauan penelitiannya adalah Bali dan Jawa dikarenakan keanekaragaman alat musik yang ada dan sumber referensi yang leng-kap. Selain itu para pendukung seni seperti, kerjasama antara pemerin-tah, seniman dan budayawan serta masyarakat saling mendukung dalam rangka melestarikan dan mengembangkan seni budayanya sendiri, sehingga bisa menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri.

    Para seniman dan sastrawan ten-tu tidak bisa bekerja sendirian, upa-ya pemerintah untuk memberikan dukungan juga sangat diperlukan. sehingga bisa jalan beriringan.

    Selain Bali dan Jawa secara me-nyeluruh Padang dan Makasar juga menjadi salah satu tujuan penelitian seni baik musik maupun tari karena dianggap sudah mempunyai legiti-

    Seni Lampung

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    OPINI

    masi atau patokan-patokan baku secara akademisi. Padang yang ter-kenal dengan Talempongnya mampu mendongkrak dan membuat harum negeri tersebut, dan Makasar de-ngan Pakarenanya membuat tarian dan musiknya dipelajari di universi-tas- universitas seni Indonesia.

    Daerah Lampung dengan buda-yanya yang sangat heterogen juga memiliki bermacam seni budaya yang sangat unik baik musik, tari, dan teater tradisional yang sebena-rnya perlu mendapatkan perhatian, yang ternyata sudah go interna-sional secara diam-diam baik lewat lembaga pemerintah dan swasta seperti teater dan sastra yang su-dah diakui keberadaannya di manca negara.

    Tarian Lampung juga sudah dil-irik para peneliti seni untuk dijadi-kan buku, sebagai acuan pendidi-kan seni di sekolah-sekolah. Tidak ketinggalan seni musik tradisonal Lampung yang selama ini sering dikumandangkan lewat pesta adat, acara kebesaran, festival seni, dan lain sebagainya. Seni musik tradis-ional mengenal beberapa ensambel musik seperti, Talobalak, gamolan Peking/Kulintang Pekhing, Gitar tung-gal, Serdam, Gambus lunik, Kerenceng, Serdam dan berdah (Firmansyah dkk, 1994).

    Untuk menjaga keaslian dan kelestarian musik tradisional Lam-pung khususnya Gamolan Pekhing dan Talo Balak, perlu diperhati-kan pakem atau pokok-pokok baik teknik permainan maupun lagu-lagu yang dimainkan. Banyak ma-syarakat Lampung yang masih as-ing dengan seni musik Talo Balak

    Talo Balak merupakan musik instrumen daerah Lampung (karawi-tan) yang merupakan pencerminan dari wujud dan sistem budaya ma-syarakat pendahulunya yang ha-rus dipelihara dan dilestarikan agar dapat diwariskan ke generasi beri-kutnya sebagai warisan budaya. Se-bagaimana teori musik mengatakan

    suatu alat musik secara barungan atau ensambel bisa mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat-nya. Secara teknis Talo Balak me-miliki beberapa lagu atau tabuhan yang merupakan hasil karya seni yang mencerminkan tata kehidupan masyarakat Lampung sebagai per-wujudan simbul, tata nilai, dan pola hidup yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat pendukung-nya. Ragam unsur seni yang mendu-kung seperti melodi, pola ritmik, dan instrumennya memberikan inspira-si dan daya kreatifitas bagi seniman pemusik(penabuh) untuk mencipta garapan musik tradisional(etnik) dengan tetap pada pola atau teknik tabuhan talo balak.

    Sedangkan Gamolan Pekhing merupakan alat yang yang berasal dari Sekala Berak Kabupaten Lam-pung Barat yang merupakan alat musik bambu dengan bentuk yang unik karena resonansi dan bilahnya semua terbuat dari bambu.

    Dengan keunikan tersebut ban-yak para seniman berlomba-lomba untuk memanfaatkan sebagai alat untuk pendukung dalam sebuah garapan baik sebagai musik instru-mental maupun iringan tari

    Lampung juga memiliki lagu yang sering disebut Tabuh atau Tabuhan yang unik, sudah barang tentu bisa mewakili kekhasan suatu daerah yakni daerah Lampung yang mempunyai dua adat yakni Pepa-dun dan Saibatin yang juga tercer-min dalam suatu alat musik yakni Talo Balak dan Gamolan Pekhing.

    Kedua Alat musik tradisional ini belum tersentuh oleh peneliti-peneliti seni untuk menggarap teknik permainannya yang sudah pasti menjadi ciri khas alat tersebut dan lagu yang dimainkan, sehing-ga sangat mengkawatirkan nanti-nya menjadi suatu alat musik yang hambar dalam permainnnya atau dalam kata lain tidak memiliki Ruh Ke-Lampung-annya, mengingat he-terogennya masyarakat Lampung

    yang dibarengi oleh heterogennya seniman yang ada di Lampung. Ada yang berasal dari Jawa, Bali Suma-tera Utara, Padang, dan daerah lain-nya yang membawa masing-masing karakter kedaerahannya. karena sudah diketahi bersaama Lampung memiliki seni budaya yang hetero-gen. Sehingga tidak menutup ke-mungkinan kesenian lampung akan berkiblat Jawa, Bali, Sumatra Barat, dan lain lainnya.

    Lampung memiliki heterogeni-tas baik seni maupun masyarakat-nya, harusnya bisa lebih membumi dengan keanekaragaman tersebut. semua karakter seni dan budaya berbagai daerah di Indonesia bisa ditemukan di Lampung. tetapi perlu diwaspadai jangan sampai meng-hilangkan ciri khas Lampung itu sendiri.

    Untuk itu, dibutuhkan patokan baku atau pakem dalam bermain alat tersebut dan selain itu dibutuh-kan pelestarian yang baku sehingga bisa menjadi referensi. Sehingga seni budaya Lampung bisa membumi di-negerinya sendiri. Budaya Lampung juga memiliki ciri khas sendiri yang berbeda dengan seni daerah lainya.

    Hal ini sebagai sumbangan piki-ran ke arah pendidikan kesenian se-cara akademis dengan menemukan beberapa hal penting dalam mem-permudah sistem belajar-mengajar khususnya Teknik Bermain Gamo-lan Pekhing dan Talo Balak dalam dunia pendidikan baik lokal Lam-pung secara menyeluruh, maupun nasional, dan bahkan internasional.

    Diharapkan mampu sebagai pe-tunjuk dalam kehidupan berkese-nian baik di lingkungan masyarakat adat Lampung khususnya, maupun sanggar-sanggar seni yang aktif me-lestarikan Gamolan Pekhing dan Talo Balak. .

    *I Wayan Sumarta Dana Arta,S.SN. M.SI Budayawan Lampung.

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Tak perlu jauh ke Yogya-karta untuk berpariwisata sekaligus mengenal situs sejarah, di Provinsi Lam-pung juga ada. Salah satunya situs Purbakala Taman Nasional Pugung Raharjo yang terletak di Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur.

    Taman Purbakala ini diakui seb-agai tempat penelitian ilmu kesejara-han seperti dalam bidang historiologi, arkeologi, dan fisiologi. Tak hanya se-bagai tempat penelitan kesejarahan, taman ini pun layak untuk dikun-jungi sebagai tempat pariwisata. Ta-man ini menawarkan pemandangan tentang kegiatan masa lampau ma-syarakat pada abad VI.

    Semua tempat wajib dihadiri ketika berkunjung ke tempat ini. Karena pada tiap-tiap situsnya sarat makna filosofis dan sarat makna spiritual. Di tempat ini terdapat banyak situs peninggalan berupa; benteng, Punden, Kompleks Batu Mayat, Batu Bertakuk, Batu Lump-ang, Batu Bergores, dan Pemandian Umum.

    Terhampar benteng yang di di-tandai dengan gundukan yang pan-jangnya mencapai seribu dua ratus meter dan dengan ketinggian dua puluh empat meter pada pintu ma-suk. Hati-hati waktu masuk sini, musti permisi dulu sama penghuni sini, ujar Wahid Munir petugas di taman nasional purbakala. Menurut Munir warga sekitar selalu berang-gapan jika situs purbakala ini memi-liki aura mistis.

    Setelah melewati pintu masuk, diujung jalan yang kecil, tertera penunjuk arah yang menunjukkan

    lokasi situs-situs di Taman Purbaka-la tersebut. Tujuan pertama adalah Punden Berundak. Tempat ini diya-kini menjadi pemujaan nenek moy-ang yang dilakukan oleh penduduk beragama Hindu dan Budha, Kalau kata kita mah itu buat sembahyang berjamaah, ujar Munir

    Lalu kunjungan kedua yang tidak boleh ditinggalkan adalah kompleks Batu Mayat. Lokasi ini dipagari se-hingga tidak boleh ada yang masuk apalagi menyentuhnya. Batu ini ber-bentuk seperti balok gepeng. Uku-ran batu ini memiliki panjang 150cm dengan lebar 60cm dan tingginya 60 cm. Batu mayat dikelilingi oleh ba-tu-batu yang lebih kecil di samping kompleks maupun disekitar batu mayat. Konon, batu ini digunakan oleh penduduk masa lampau untuk melakukan upacara pemujaan yang berkaitan dengan hal gaib.

    Jika mengunjungi Taman Pur-bakala, jangan sampai melewatkan yang satu ini, lanjutkanlah perjala-nan anda dengan menuruni tangga yang curam. Dengan menengok se-dikit ke bawah yang jaraknya tak jauh dari lokasi batu mayat, ada sebuah kolam yang sepintas terlihat biasa. Namun, kolam itu mampu menambah awet muda. Namanya

    kolam suci. Konon dipercaya barang siapa yang mengusapkan air ke wa-jahnya atau malah menceburkan diri sekalian akan menjadi awet muda.

    Untuk menjaga kelestariannya, kolam suci pun dibagi menjadi dua bagian. Bagian kolam yang masih alami dan bagian yang dibuat kolam buatan. Hal ini untuk menjaga kol-am agar tidak rusak. Untuk kolam lainnya pengunjung diperbolehkan mengambil air atau menceburkan diri. Di dalam kolam terdapat tiga mata air yang tidak habis walaupun dikuras.

    Tak hanya air saja yang menjadi daya tarik di kolam. Jika anda jeli melihat ke dalam air menengok be-batuan yang ada di sana, ada beber-apa batu yang berlubang. Batu-batu tersebut merupakan batu-batu yang digunakan oleh ratu untuk mandi dan luluran. Sekarang batu-batu tersebut berada di dalam kolam dan tidak sulit mencarinya.

    Jupel mengatakan bahwa pada hari-hari besar agama Hindu, ban-yak orang beragama hindu datang melakukan ritual. Umat Hindu tersebut tak hanya berasal dari Lam-pung, tetapi beberapa umat pen-datang dari Bali pun hadir ketika sedang ada hari besar keagamaan.

    Oleh M. Faza PandunegoroFoto M. Faza Pandunegoro

    P a r i w i s a t aOPINI

    Sambil Mengenal Sejarah

  • Teknokra 2013 Edisi 214

    Jika anda meneruskan perjalanan lurus ke atas, anda akan menemui Punden yang tidak terlalu besar, namun pada zaman dahulu juga digunakan sebagai penyembahan bersama-sama. Dalam segi bentuk, tak ada yang membedakan. Walau-pun mirip, dari segi ukuran Pun-den tersebut tidak memiliki ukuran sebesar Punden yang pertama.

    Awal Ditemukan Berawal dari sebuah transmigra-

    si pada tanggal 1 Juli 1954. Transmi-grasi yang dilakukan oleh para man-tan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berada di Yogyakar-ta. Sebuah transmigrasi yang diberi nama transmigrasi family. Transmi-grasi ini dimaksudkan untuk mem-pertahankan Negara Kesatuan Re-publik Indonesia dari Belanda yang masih menduduki wilayah di Indo-nesia. Para calon transmigran bebas memilih daerah destinasi di seluruh nusantara.

    Salah seorang pejuang dari Yog-yakarta bernama Siswo Utomo yang sudah berusia lebih dari sembilan puluh tahun mengaku bahwa ia adalah salah satu dari pejuang terse-but. Dan dengan alasan umurnya yang telah menginjak usia sangat renta dan mempengaruhi daya in-gatnya, ia pun tidak mengetahui tepat umurnya. Satu-satunya ala-san ia menjadi salah satu transmi-gran tersebut adalah karena ia tak mendapat pekerjaan yang tepat yang mampu menunjang hidupnya di Yo-gyakarta pasca kemerdekaan. Tem-pat destinasinya adalah Lampung. Sehingga saat itu juga ia langsung dipindahkan ke Lampung Timur te-patnya di sebuah desa yang sekarang bernama desa Pugung Raharjo.

    Pada tahun itu para transmigran yang berjumlah 78 kepala keluarga. Para transmigran yang pindah tidak berbekal apapun untuk menghidupi hidupnya di sana. Maka pada saat itu mereka langsung membentuk suatu organisasi untuk para veteran

    yang merupakan bekas pejuang ke-merdekaan 1945. Organisasi pun dibentuk masih pada tahun yang sama dengan nama Biro Rekon-struksi Nasional (BRN) dengan tu-juan mensejahterakan masing-mas-ing anggotanya.

    Pada mulanya ada dua desa di daerah Sekampung, yaitu desa Gu-nung Sugih dan Bojong. Kedua desa pada saat itu mempercayai bahwa wilayah yang sekarang bernama desa Pugung Raharjo merupakan desa yang banyak binatang buas dan merupakan desa angker yang dipenuhi makhluk gaib. Hal itu di-karenakan tempatnya yang masih berupa hutan-hutan lebat. Maka pada saat itu tempat itu pun belum pernah disentuh oleh siapapun.

    Pada tahun 1957, para anggota BRN merintis program penyisiran hutan dengan menebang pohon di sepanjang desa yang masih berben-tuk hutan tersebut. Mereka merin-tis penyisiran lokasi tersebut untuk mendapatkan hak kepemilikan ta-nah kosong yang nantinya akan di-pergunakan untuk kegiatan bertani.

    Mereka pun berangkat beranjak dari rumah, berkumpul di depan hutan yang lokasinya persis di de-pan masjid pugung, lalu berangkat bersama-sama. Beberapa bulan ke-mudian setelah jalan telah terlihat penyisiran berakhir. Lalu mereka pun menentukan lahan masing-ma-

    sing kemudian dengan memetak-metakkannya secara adil. Setelah itu tanah yang dimiliki ditanami ber-bagai tanaman, baik untuk dikon-sumsi maupun untuk dijual.

    Suatu ketika, salah seorang ang-gota BRN dalam kegiatannya mene-bang pohon di hutan sedang beristi-rahat. Dengan hutan yang tanahnya masih sangat basah dan dipenuhi oleh pacet atau lintah darat mem-buat orang tersebut memilih beristi-rahat di gundukan yang lebih tinggi. Alih-alih ingin beristirahat, ia pun melihat batu yang berukiran batik di dalam tanah basah. Maka digalilah tana