lp dan askep bph

30
LAPORAN PENDAHULUAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) Disusun Oleh: SUMANTRI NIM: 09:030 PROGRAM STUDI S-1KEPERAWATAN STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG – PROBOLINGGO 2013 1

Upload: syamsiah-anwar

Post on 09-Dec-2014

200 views

Category:

Documents


23 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lp Dan Askep BPH

LAPORAN PENDAHULUANBENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

Disusun Oleh:SUMANTRINIM: 09:030

PROGRAM STUDI S-1KEPERAWATANSTIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN

GENGGONG – PROBOLINGGO2013

1

Page 2: Lp Dan Askep BPH

1. ANATOMI

Kelenjar prostat terletak tepat di bawah leher kandung kemih. Kelenjar ini

mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan

kelanjutan dari vas deferen. Kelenjar ini berbentuk seperti buah kenari. Normal beratnya

kelenjar prostat kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata: panjang 3.4 cm, lebar 4.4 cm,

tebal 2.6 cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum pubroprostatikum dan sebelah

inferior oleh diafragma urogenital. Pada prostat bagian posterior berumuara duktus

ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontarum pada dasar uretra

prostatika tepat proksimal dan sfingter uretra eksterna.

Secara embriologis terdiri dari 5 lobus: lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah,

lobus posterior 1 buah, dan lobus lateral 2 buah. Sedangkan menurut klassifikasi Lowsley;

prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri.

Sedangkan menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona

transisional, segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50

lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah

bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi

oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Nasar,1985;

Tanango,1995).

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan

menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak

tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista

kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang

kelenjar prostat terdiri dari :

a. Kapsul anatomis

Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus kelenjar

prostat.

b. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler

c. Jaringan kelenjar yang terbagi atas tiga kelompok bagian :

1) Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang

menghasilkan bahan baku sekret.

2) Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai

adenomatous zone.

2

Page 3: Lp Dan Askep BPH

3) Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang

merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami

hipertrofi pada usia lanjut.

Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari tiga lapis :

a. Kapsul anatomis

b. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya

(outer zone) sehingga terbentuk kapsul

c. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone)

dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung

banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada

lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan

suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena

sedikit mengandung jaringan kelenjar.

Vaskularisasi kelenjar prostat yang utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang

dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium inferior), dan a.

pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk

lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi

menjadi 2 kelompok , yaitu:

a. Kelompok arteri uretra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic

junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar

periuretral.

b. Kelompok arteri kapsul, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang

yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar parauretral).6

Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian

bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca

interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral. Persarafan kelenjar prostat sama dengan

persarafan kandung kemih bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis.

Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari Hipogastricus

dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.

3

Page 4: Lp Dan Askep BPH

Gbr: kelenjar prostat dan BPH

Darah vena prostat dialirkan kedalam fleksus vena periprostatika yang berhubungan

dengan vena dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang juga berhubungan

dengan pleksus vena presakral. Oleh karena struktur inilah sering dijumpai metastase

karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan vertebra lumbalis.

Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang

dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Pertambahan unsur kelenjar

menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan

jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu

ditekan keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan

berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan

ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang

juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang

berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan

peradangan.

4

Page 5: Lp Dan Askep BPH

2. FISIOLOGI

Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama ejakulasi,

mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi pasti cairan ini belum

diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa sperma.

Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat dianggap

imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita. Kelenjar prostat dibawah pengaruh

Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol. Jadi prostat dipengaruhi

oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive terhadap androgen adalah bagian

perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah bagian tengah. Karena itu pada

orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang

berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut (Blandy,1983;

Ganong, 1983; Burkit 1988).

Fungsi Prostat adalah menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna

untuk menlindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terapat pada uretra dan vagina. Di

bawah kelenjar ini terdapat Kelenjar Bulbo Uretralis yang memilki panjang 2-5 cm yang

fungsinya hampir sama dengan kelenjar prostat. Kelenjar ini menghasilkan sekresi yang

penyalurannya dari testis secara kimiawi dan fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa.

Sewaktu perangsangan seksual, prostat mengeluarkan cairan encer seperti susu yang

mengandung berbagai enzim dan ion ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah

volume cairan vesikula seminalis dan sperma. Cairan prostat bersifal basa (alkalis). Sewaktu

mengendap di cairan vagina wanita, bersama dengan ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan

karena motilitas sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah.

3. PENGERTIAN

A. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.

Price&Wilson (2005)

B. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin,

2000)

C. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang

keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi

orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)

D. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara

umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan

pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999)

5

Page 6: Lp Dan Askep BPH

4. INSIDEN

Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan

diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup

rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang

5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk

Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang

berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki

Indonesia yang menderita BPH. Dengan demikian, akan banyak pula kasus di rumah sakit

yang pada umumnya berindikasi pembedahan.

5. ETIOLOGI

Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya

Benigne Prostat Hyperplasia antara lain :

A. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari

kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh

globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam

keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target

cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di

dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5

dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi

“hormone receptor complex”. Kemudian hormone receptor complex ini mengalami

transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang

kemudian melekat pada kromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini

akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar

prostat.

B. Teori Hormonal

Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan

penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya

hyperplasia stroma.

C. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)

6

Page 7: Lp Dan Askep BPH

Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth factor,

transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal growth

factor. Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan

penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan

epitel. Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar

prostat.

D. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel

dari kelenjar prostat.

E. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa

berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel

yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam

jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi.

Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi

lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi

atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi

berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).

6. KLASIFIKASI

A. Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.

B. Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak

sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria

dan menjadi nocturia.

C. Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

D. Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara

periodik (over flow inkontinen).

7. PATOFISIOLOGI

7

Page 8: Lp Dan Askep BPH

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior

buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat

normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya

Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,

zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).

Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan

keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi

tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan

bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam

sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan

bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-

RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi

pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada

traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan

pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,

tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor

dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem

simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang

bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi

keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan

serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang

disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.

Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase

penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila

keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan

tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat

digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor

gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus

(mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah,

rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna

atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi

walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi

meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).

8

Page 9: Lp Dan Askep BPH

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi

menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan

obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik

menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan

terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik

mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan

tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam

vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan

hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan

mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan

pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

8. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai

Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :

A. Gejala Obstruktif yaitu :

a) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan

yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa

lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam

uretra prostatika.

b) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena

ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai

berakhirnya miksi.

c) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.

d) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan

waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

e) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

B. Gejala Iritasi yaitu :

a) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

b) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam

hari (Nocturia) dan pada siang hari.

c) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

9

Page 10: Lp Dan Askep BPH

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien

dengan BPH adalah :

A. Laboratorium

a) Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.

b) Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan

sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

B. Pencitraan

a) Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang

menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari

retensi urin.

b) IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau

hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

c) Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan

keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

d) Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan

melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

10. PENATALAKSANAAN

A. Non Farmakologi

a) Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan diuretic

mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot detrussor menurun.

b) Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic, anti histamin,

decongestan.

c) Observasi Watchfull Waiting

Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat yang diberikan

adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,

menghindari obat-obatan dekongestal (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi,

10

Page 11: Lp Dan Askep BPH

dan tidak diperbolehkan minuman alkohol agar tidak sering miksi. Setiap 3 bulan

lakukan kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.

B. Farmakologi

a) Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :

1) Inhibitor 5 alfa reduktase

Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat

golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron sehingga

prostat yang membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat

daripada golongan alpha blocker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang

sangat besar. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido dan

ginekomastia.

b) Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-prostatika :

Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin

Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di dalam prostat dan

leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan alpha adrenergik. Seperti

diketahui di dalam otot polos prostat dan leher vesica banyak terdapat reseptor alpha

adrenergik. Obat-obatan yang sering digunakan prazosin, terazosin, doksazosin, dan

alfuzosin. Obat penghambat alpha adrenergik yang lebih selektif terhadap otot polos

prostat yaitu α1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai

obat ini dapat dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4

mg/hari. Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi pada

vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor.

Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine, menurunkan

sisa urin dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga memberi penyulit hipotensi,

pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang bisa terjadi ejakulasi retrograd,

biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu

setelah pemakaian obat.

C. Pembedahan

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal,

infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis

jenis pembedahan:

11

Page 12: Lp Dan Askep BPH

a) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau

resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

b) Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.

c) Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah

melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.

d) Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum

dan rektum.

e) Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan

jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra

dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.

Kontraindikasi adalah: Infak miokard akut(IMA), dan cerebro vasculer

acid(CVA), dekompensasi cordis, dalam keadaan koma,diabetes millitus, malnutrisi

berat, tekanan darah sistol 200-260 mmHg

11. Komplikasi

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat

menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

a. Inkontinensia Paradoks

b. Batu Kandung Kemih

c. Hematuria

d. Sistitis

e. Pielonefritis

f. Retensi Urin Akut Atau Kronik

g. Refluks Vesiko-Ureter

h. Hidroureter dan Hidronefrosis

i. Gagal Ginjal

12

Page 13: Lp Dan Askep BPH

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.

Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :

a. Sirkulasi

Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi

dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek

pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada.

kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.

b. Integritas Ego

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena

memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-

tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

c. Eliminasi

Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien

dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin

berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia,

disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan

invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter

untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi

warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada

bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi

gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi

BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada

postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.

d. Makanan dan cairan

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri

pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH,

13

Page 14: Lp Dan Askep BPH

sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan

yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun

nutrisinya.

e. Nyeri dan kenyamanan

Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang

utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada

pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan

kuat, nyeri punggung bawah.

f. Keselamatan/ keamanan

Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput

dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis

tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya

tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi),

sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda

infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.

g. Seksualitas

Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah

tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes

selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran

atau nyeri tekan pada prostat.

A. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi

dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok

pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.

b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya

hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi

akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin

miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Pada

pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa

kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan

supra simfisis.

14

Page 15: Lp Dan Askep BPH

c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu

uretra, karsinoma maupun fimosis.

d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis

e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi

sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat

diketahui derajat dari BPH, yaitu :

a) Derajat I = beratnya ± 20 gram.

b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

c) Derajat III = beratnya > 40 gram.

Pemeriksaan fisik diagnostik yang paling penting untuk BPH adalah colok

dubur (digital rectal examination). Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pembesaran

prostat teraba simetris dengan konsistensi kenyal, Pemeriksaan colok dubur dapat

memberikan gambaran tentang keadaan tonus sfingter ani, reflek bulbo cavernosus,

mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja

teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan:

a) Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

b) Adakah asimetris

c) Adakah nodul pada prostat

d) Apakah batas atas dapat diraba

e) Sulcus medianus prostat

f) Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar,

konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan

dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin

berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan

pada karcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara

lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian

atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan

disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba

apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk

mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat

adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi

15

Page 16: Lp Dan Askep BPH

seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis,

condiloma di daerah meatus.

2. Diagnosa keperawatan

A. Preoperasi

1) Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena kelemahan

detrusor (dekompensasi otot detrusor).

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera ( iritasi kandung kemih, spame,

sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih).

3) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap

patogen (pemasangan kateter).

4) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan akan dilakukannya

tindakan operasi.

B. Pascaoperasi

1) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca

obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi

secara kronis.

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi

( terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan).

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan

neurovaskuler (nyeri).

4) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan

lingkungan terhadap patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur

invasif).

3. Rencana keperawatan

A. Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena kelemahan detrusor

(dekompensasi otot detrusor).

1) Tujuan : setelah dilakukan askep 1X24 jam tidak terjadi distensi kandung kemih.

2) Kriteria hasil :

a. Berkemih dalam jumlah yang cukup

b. Tidak teraba distensi kandung kemih

c. Jumlah urine normal: 600-1600 ml/24 jam

16

Page 17: Lp Dan Askep BPH

3) Intervensi:

a. Observasi TTV

Rasional: dengan dilakukan observasi TTV keadaan pasien terpantau.

b. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.

Rasional: Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung

kemih

c. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urin.

Rasional: Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi

d. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih.

Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan

yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal

e. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.

Rasional: Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta

membersihkan ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan bakteri

f. Berikan obat sesuai indikasi (antispamodik).

Rasional: Mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat

penyembuhan

B. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih.

1) Tujuan : setelah dilakukan askep 1X24 jam Nyeri klien berkurang / terkontrol

2) Kriteria hasil:

a. Grimace (-)

b. Skala nyeri menjadi 3

c. TTV dalam batas normal: TD:110/70-130/90 MmHg, nadi: 60-80 X/menit,

RR: 16-24 X/menit, suhu: 36,5-37,50C

d. Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol

e. Menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi

untuk situasi individu.

f. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat

3) Intervensi:

a. Observasi TTV

Rasional: peningkatan Nadi dan RR menandakan nyeri klien bertambah.

b. Kaji skala nyeri dan penyebab nyeri

17

Page 18: Lp Dan Askep BPH

Rasional: sebagai acuan untuk melakukan tindakan selanjutnya.

c. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi.

Rasional: dengan teknis nafas dalam pasien lebih nyaman dan dapat

menurunkan nyeri yang diderita oleh pasien.

d. Berikan lingkungan yang tenang.

Rasional: lingkungan yang tenang dapat mengurangi stressor pada pasien dan

dapat membuat pasien lebih rileks dan menurunkan nyeri.

e. Kolaborasi pemberian obat analgesik sesuai indiksi.

Rasional: obat analgesik dapt memblok siklus nyeri dan menurunkan nyeri

pasien.

C. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,

kateter, irigasi kandung kemih sering.

1) Tujuan: setelah dilakukan askep 1X24 jam Klien tidak menunjukkan tanda –

tanda infeksi.

2) Kriteria hasil:

a. TTV dalam batas normal: TD:110/70-130/90 MmHg, nadi: 60-80 X/menit,

RR: 16-24 X/menit, suhu: 36,5-37,50C

b. Klien tidak mengalami infeksi.

c. Dapat mencapai waktu penyembuhan.

d. Tidak ada tanda-tanda infeksi(kemerahan, pus, inflamasi)

3) Intervensi:

a. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril

Rasional: Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi

b. Anjurkan intake cairan yang cukup (2500 – 3000) sehingga dapat

menurunkan potensial infeksi.

Rasional: Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi

dan mempertahankan fungsi ginjal

c. Pertahankan posisi urobag dibawah.

Rasional: Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke

kandung kemih

d. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.

Rasional: Mencegah sebelum terjadi shock.

18

Page 19: Lp Dan Askep BPH

e. Observasi urine: warna, jumlah, bau.

Rasional: Mengidentifikasi adanya infeksi.

f. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotic. Rasional: Untuk

mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J., 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, Alih Bahasa Monica

Ester, EGC, Jakarta.

Corwin, E. J., 2000, Buku Saku Pathofisiologi, Editor Endah P., EGC, Jakarta.

Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan:

Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3,

Alih Bahasa I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati, EGC, Jakarta.

Engram, B, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta

Mansjoer, A., dkk, 2000, Kapita SelektaKedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius,

Jakarta.

NANDA, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan. Nanda 2005-2006, Editor Budi Santoso,

Prima Medika, Jakarta.

Potter, P. A., & Perry, A. G., 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Prose.c,

dan Praktik, EGC, Jakarta.

Price, S. A., & Wilson, L. M., 2005, Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,

Alih Bahasa: Editor Caroline Wijaya, Edisi 4, EGC, Jakarta.

Purnomo, B. B., 2000, Dasar-dasar Urologi, CV Info Medika, Jakarta.

Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &

Suddarth, Editor Suzane, C. S., Brenda, G. B., Edisi 8, EGC, Jakarta

19

Page 20: Lp Dan Askep BPH

20