37973331 penatalaksanaan bph

30
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK, PENUNJANG DAN PENATAALAKSANAAN MEDIK PADA BENIGNA PROSTATE HIPERPLASIA (BPH) Disusun oleh: Kelompok 3B Agustina Dwi 0706270213 Diana Tri Budi S0706270384 Fitri Annisa 0706270592 Hedy Hardiana 0706 Hestiana Rahayu 0706270705 Listarina Noviani 0706270831 Nur Fitriani Y 0706270964 Rio Febrian 0706271121 Titin Hermaneti 0706271241

Upload: linda-rusliana-sari

Post on 30-Dec-2014

51 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

bph, farma

TRANSCRIPT

Page 1: 37973331 Penatalaksanaan BPH

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK, PENUNJANG DAN PENATAALAKSANAAN

MEDIK PADA BENIGNA PROSTATE HIPERPLASIA (BPH)

Disusun oleh:

Kelompok 3B

Agustina Dwi 0706270213

Diana Tri Budi S0706270384

Fitri Annisa 0706270592

Hedy Hardiana 0706

Hestiana Rahayu 0706270705

Listarina Noviani 0706270831

Nur Fitriani Y 0706270964

Rio Febrian 0706271121

Titin Hermaneti 0706271241

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2010

Page 2: 37973331 Penatalaksanaan BPH

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK UNTUK BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:

1. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin

2. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy,

foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk,

ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans

Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat

pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti

difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).

3. Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih

tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada

anterior kapsula prostat.

4. Prostatektomi Parineal Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui

perineum.

PEMERIKSAAN PENUNJANG UNTUK BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

1. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH

yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain

yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura

uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan

adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat 3

kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada

pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan

urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun

eritostiruria akibat pemasangan kateter.

2. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer

specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam

hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:

a. pertumbuhan volume prostat lebih cepat

Page 3: 37973331 Penatalaksanaan BPH

b. keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan

c. lebih mudah terjadinya retensi urine akut.

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.

Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju

pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar

PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl

sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun19. Kadar PSA di

dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat

(biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia

yang makin tua. Sesuai yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa serum PSA

meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahanlahan menurun terutama

setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan

usia adalah:

o 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml

o 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml

o 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml

o 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml

Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi

kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA

bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam

mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA

menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat. Sebagian

besar petunjuk yang disusun di berbagai negara merekomendasikan pemeriksaan PSA

sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan sarat yang berhubungan

dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien.

Tes PSA ini sebaiknya dilakukan setiap tahun sejak berumur 50 tahun, namun untuk

pria yang memiliki riwayat penyakit kanker prostat atau orang keturunan Afrika-Amerika, tes

PSA sebaiknya dimulai sejak umur 40 tahun.

Adapun menurut Mansjoer Arief, (2000) pemeriksaan penunjang pada penyakit BPH,

meliputi :

1. Pemeriksaan laboratorium

o Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat

adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus

Page 4: 37973331 Penatalaksanaan BPH

diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,

infeksi saluran kemih.

o Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari

fungsi ginjal dan status metabolik.

o Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar

penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.

2. Pemeriksaan radiologis yang biasanya dilakukan adalah foto polos abdomen,

pielografi intravena, USG dan sistoskopi, tujuannya adalah untuk memperkirakan

volume BPH.

3. Pemeriksaan fisik

Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang

penting pada pasien BPH, disamping pemerik-saan fisik pada regio suprapubik untuk mencari

kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan

adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu

tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung

underestimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar,

hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada

pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada

pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat

sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi

neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter

ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks

di daerah sakral.

4. Pemeriksaan fungsi ginjal

Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah

ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30%

dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah

(25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas

menjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan

dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9%  jika

terdapat kelainan kadar kreatinin serum10. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini

berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran

kemih bagian atas.

Page 5: 37973331 Penatalaksanaan BPH

5. Catatan harian miksi (voiding diaries)

Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius

bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat

berguna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan

mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa

jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik,

instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang

berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang

baik2,10, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama 3-4 hari sudah

cukup untuk menilai overaktivitas detrusor.

6. Pemeriksaan residual urine

Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal

di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-

2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai

residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih

dari 12 mL.

Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melaku-kan

pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun

non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran

melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak meng-enakkan

bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga

terjadi bakteriemia. Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai

variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada

waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan

perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna.

Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang

cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120

ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. Dahulu para ahli urologi

beranggapan bahwa volume residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi,

sehingga perlu dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine

tidak selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi. Hal ini

diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine

Page 6: 37973331 Penatalaksanaan BPH

tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih. Namun, bagaimanapun adanya

residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan miksi. Watchful waiting biasanya akan

gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak, demikian pula pada volume residual

urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi

medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa negara

terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian dari pemeriksaan

awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual

yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan

melalui melalui USG transabdominal.

7. Pencitraan traktus urinarius

Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius

bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH

dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya:

(a) kelainan pada saluran kemih bagian atas,

(b) divertikel atau selule pada buli-buli,

(c) batu pada buli-buli,

(d) perkiraan volume residual urine, dan

(e) perkiraan besarnya prostat.

Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata

bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas;

sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan

penanganan berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas

tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal

diketemukan adanya:

(a) hematuria,

(b) infeksi saluran kemih,

(c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG),

(d) riwayat urolitiasis, dan

(e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.

Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan besarnya

prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan. Namun

pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG

prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya

Page 7: 37973331 Penatalaksanaan BPH

karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai

pemeriksaan rutin, kecuali hendak menjalani terapi:

(a) inhibitor 5-α reduktase,

(b) termoterapi,

(c) pemasangan stent,

(d) TUIP atau

(e) prostatektomi terbuka.

Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan

transabdominal (TAUS) ataupun transrektal (TRUS). Jika terdapat peningkatan kadar

PSA, pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai

kemungkinan adanya karsinoma prostat.

8. Uretrosistoskopi

Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli-buli.

Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli,

trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan

sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak

mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra,

dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai

pemeriksaan rutin pada BPH.

Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk

menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu

pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli

sistoskopi sangat membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.

9. Pemeriksaan urodinamika

Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai

pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan

urodinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu

disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi otot detrusor.

Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja

LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh

kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak

akan bermanfaat. Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi

Page 8: 37973331 Penatalaksanaan BPH

pasien BPH bergejala. Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini

merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi prostat (BPO),

dan mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan pem-bedahan. Menurut Javle et al

(1998)30, pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi

positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan uro-dinamika pada BPH adalah berusia kurang

dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine>300 mL, Qmax>10

ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan

terapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.

10. Diagnosis Banding

Kelemahan otot destrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih

neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal yang

mengorbankan persarafan didaerah pelvis, dan penggunaan obat-obatan (penenang,

penghambat reseptor ganglion dan parasimpatik).

Kekakuan leher buli-buli dapat disebabkan oleh proses fibrosis. Resistensi uretra dapat

disebabkan oleh pembesaran prostat (jinak atau ganas), tumor dileher buli-buli, batu uretra

dan striktur uretra.

Penatalaksanaan Medis Benigna Prostat Hiperplasia

Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan

penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi

berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat satu, apabila

ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas

mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan

gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba

dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat dua,

hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan derajat

empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi kesehatan dunia (WHO)

menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS

(WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan

pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15.

Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi

bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.

Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan

untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya belum

Page 9: 37973331 Penatalaksanaan BPH

memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara konservatif.

Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi

operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral

resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi,

dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat

tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan

TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram.

Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai

dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat

empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari

retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif

dapat dengan TUR P atau operasi terbuka.1,2

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan

kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan

bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus).

Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-

bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah.

Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran

kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan

detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :

1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat

2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7

Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat

benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :

TERAPI KONSERVATIF NON OPERATIF

Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi.

Didorong oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari

pendekatan yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam penatalaksanaan

terapi hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang merupakan terapi non

operatif. Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak memungkinkan

dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif.

A. Watchful Waiting

Page 10: 37973331 Penatalaksanaan BPH

Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan. Tindakan yang

dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan.

B. Terapi Medikamentosa

Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa).

1.Penghambat adrenergik a

Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul

prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung reseptor alpha,

jadi dengan pemberian obat golongan alpha adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik

bloker maka tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang,

sehingga sehingga menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki gejala

miksi. Bila serangan prostatismus memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah

pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian

obat ini adalah sangat rasional. Episode serangan biasanya cepat teratasi.

Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2x10 mg/hari. Sekarang

telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik bloker yaitu Prazosine,

dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari,

Tamzulosin dan Doxazosin. Pengobatan dengan penghambat alpha ini pertama kali dilakukan

oleh Caine dan kawan-kawan yang dilaporkan pada tahun 1976. Dengan pengobatan secara

ini ditemukan perbaikan sekitar 30-70% pada symptom skore dan kira-kira 50% pada flow

rate. Tetapi kelompok obat ini tidak dapat digunakan berkepanjangan karena efek samping

obat ini berupa hipotensi ortostatik, palpitasi, astenia vertigo dan lain-lain yang sangat

mengganggu kualitas hidup kecuali bagi penderita hipertensi.

Penelitian terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin terbukti efektif

dalam pengobatan hiperplasia prostat jangka panjang pada pasien hipertensi dan normotensi.

Prazosine diketahui lebih selektif sebagai alpha 1 adrenergik bloker, sedang phenoxy

benzanmine meskipun lebih kuat tetapi tidak selektif untuk reseptor alpha 1 dan alpha 2, dan

sekarang ditakutkan phenoxy benzanmine bersifat karsinogenik. Jadi kelompok obat

penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek dan akan

lebih fungsional pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif segera terhadap

keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari

pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan

“Watch and wait”.

2. Fitoterapi

Page 11: 37973331 Penatalaksanaan BPH

Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik

dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini juga

disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan

kemoterapi ini. Banyak penyakit kronis, degeneratif, gangguan metabolisme, dan penuaan

yang belum ada obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia, dll. Banyak pula yang

belum bisa dituntaskan pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH, DM, hipertensi, rematik,

dll. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut

Fitoterapi. Disebut demikian karena berasal dari tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui

dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang.

Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara

sekian banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah

Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk pengobatan

BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya

pengendalian prosatisme BPH dalam kontek “watchfull waiting strategy”. Di Jerman 90%

kasus BPH di terapi dengan Serenoa repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara

Eropa dan Amerika pemakaiannya terus meningkat dengan cepat.

a. Saw Palmetto Berry (SPB)

Yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat tradisional Indian. Catatan

empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun

1900. Isu back to nature memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.

Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak mencatat

efektifitas dan keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis and Treatment (2001)

dinyatakan bahwa Saw Palmetto Berry (SPB) ini didalam 18 RCT (Randomized Clinical

Trial) dengan 2939 subyek adalah superior terhadap placebo dan efektifitasnya sama dengan

finasteride. Efek samping obat berupa disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride = 4,9%.

Dalam Life Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan

bahwa extract dari SPB ini secara signifikan menunjukan perbaikan klinis dalam hal :

a) Frekuensi nokturia ® berkurang

b) Aliran kencing ® bertambah lancar

c) Volume residu dikandung kencing ® berkurang

d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir ® berkurang

Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :

a) Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor androgen

Page 12: 37973331 Penatalaksanaan BPH

b) Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas enzim

cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.

b. Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)

Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria sejak

abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini ekstraknya dipakai untuk mengatasi

gejala yang berhubungan dengan BPH didalam konteks farmakoterapi maupun uji klinis

kombinasi dengan ekstraks serenoa repens.

Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung komponen utama

beta-sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan stigmasterol untuk mengobati

hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi perbaikan seperti halnya terapi menggunakan

penghambat reseptor alpha dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan efek samping yang lebih

minimal. Walaupun mekanisme kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum dapat

dibuktikan, penelitian terus dikembangkan untuk keperluan di masa depan.9,10

c. Hormonal

Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu obat yang

menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar dengan reseptor bagi LH-

RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor dengan membentuk LH-RH super

agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena banyaknya LH-RH super

agonist yang menangkap reseptor, pada permulaan justru akan terjadi kenaikan produksi LH

oleh hypofisis. Tetapi setelah reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari

reseptor , maka LH akan menurun. Contoh obat adalah Buserelin, dengan dosis minggu I 3dd

500 mg s.c. (7 hari) dan minggu II intra nasal spray 200 mg, 3 kali sehari.

Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis misalnya dengan

pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan produksi LH, yang menyebabkan produksi

testosteron oleh sel leydig berkurang. Cara ini tentu saja menyebabkan penurunan libido oleh

karena penurunan kadar testosteron darah.

Pada tingkat infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan balik dengan

menekan produksi FSH dan LH, sehingga produksi testosteron juga menurun. Contoh

preparatnya ialah Diaethyl Stilbestrol (DES) dosis satu kali 1-5 mg sehari.

Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat jinak hanya

dikenal pada sejarah, sekarang cara pengobatan ini untuk hiperplasia prostat telah

ditinggalkan. Untuk karsinoma prostat tentu saja orchiectomi masih dikerjakan oleh karena

pertimbangan kemungkinan penyebaran ca prostat dan juga biasanya penderita telah tua.

Page 13: 37973331 Penatalaksanaan BPH

Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen yang mekanisme

kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan cara menghambat 5 alpha

reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah testosteron menjadi

dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi pertumbuhan

kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak berkurang,

sehingga libido juga tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini

menyebabkan mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride, Proscar

dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride mengurangi

volume prostat sampai 30%. Penelitian lain di Kanada menyatakan bahwa Finasteride

mengurangi volume prostat pada 613 pria dengan angka rata-rata 21%, mengurangi gejala

dan memperbaiki laju pancaran urin sampai 12%. Obat ini mempunyai toleransi baik dan

tidak mempunyai efek samping yang bermakna.

Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang mempunyai

mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga DHT tidak

dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh obatnya ialah : Cyproterone acetate 100

mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone 15 mg2 kali/hari dan Anandron. Obat ini juga tidak

menurunkan kadar testosteron pada darah, sehingga libido tidak menurun. Golongan gestagen

dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat : mengurangi enzim dehidrogenase dan

isomerase yang berguna untuk metabolisme steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan

testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh obatnya adalah

Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-500 mg/hari. Kesulitan pengobatan

konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping dari

obat.

TERAPI OPERATIF

A.Terapi Bedah Konvensional

Open simple prostatectomy.Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran

prostat terlalu besar, di atas 100g, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli.

B. Terapi Invasif Minimal

- Trans urethral resection (TUR)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya

terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya.

Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada

sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh

membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna

Page 14: 37973331 Penatalaksanaan BPH

untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan

selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR. Suatu penelitian menyebutkan

bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan

evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1%

dan morbiditas sekitar 8%.

Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di

seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan

irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh

darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar

tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya

cukup murah adalah H2O steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat

masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi.

Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air

atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai

gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.

Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam

keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah sebesar 0,99%.

Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang lain

tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin , membatasi

jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk

mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.

Keuntungan :

- Luka incisi tidak ada

- Lama perawatan lebih pendek

- Morbiditas dan mortalitas rendah

- Prostat fibrous mudah diangkat

- Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

Kerugian :

- Tehnik sulit

- Resiko merusak uretra

- Intoksikasi cairan

- Trauma spingter eksterna dan trigonum

- Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar

Page 15: 37973331 Penatalaksanaan BPH

- Alat mahal

- Ketrampilan khusus

- Trans urethral incision of prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran

prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada

pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-

buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara

endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi

memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara

ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat.

Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian

ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.

c. Terapi Operatif Lainnya

Prostatektomi terbuka

- Retropubic infravesika (Terence millin)

Keuntungan :

- Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal

- Mortaliti rate rendah

- Langsung melihat fossa prostat

- Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli

- Perdarahan lebih mudah dirawat

- Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila membuka

vesika

Kerugian :

- Dapat memotong pleksus santorini

- Mudah berdarah

- Dapat terjadi osteitis pubis

- Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal

- Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam vesika

Komplikasi :

- Perdarahan

- Infeksi

- Osteitis pubis

- Trombosis

Page 16: 37973331 Penatalaksanaan BPH

- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)

Keuntungan :

- Baik untuk kelenjar besar

- Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat

- Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :

1. Batu buli

2. Batu ureter distal

3. Divertikel

4. Uretrokel

5. Adanya sistsostomi

6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis

- Kerusakan spingter eksterna minimal

Kerugian :

- Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica sembuh

- Sulit pada orang gemuk

- Sulit untuk kontrol perdarahan

- Merusak mukosa kulit

- Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :

- Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)

- Inkontinensia (<1%)

- Perdarahan

- Epididimo orchitis

- Recurent (10 – 20%)

- Carcinoma

- Ejakulasi retrograde

- Impotensi

- Fimosis

- Deep venous thrombosis

- Transperineal

Keuntungan :

- Dapat langssung pada fossa prostat

- Pembuluh darah tampak lebih jelas

- Mudah untuk pinggul sempit

Page 17: 37973331 Penatalaksanaan BPH

- Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :

- Impotensi

- Inkontinensia

- Bisa terkena rektum

- Perdarahan hebat

- Merusak diagframa urogenital

-Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)

Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat

yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan

TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara operasi

yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.

Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander (1984). Untuk

mengobati ca prostat yang masih lokal dengan memakai Nd YAG (Neodymium, Yttrium

Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini pertamakali diperkenalkan tahun 1964 tapi baru

tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi untuk mengablasi tumor buli superficial

(Hoffstetter). Pc Phee menulis mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi

segmental pada mukosa buli.

YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat

oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk prostat ini

hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P pada ca prostat, yang biasanya

diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc Nicholas 1990).

Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser prostat pada

penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR. Roth dan Aretz

(1991) menjadi pelopor penggunaan laser Transuretral Ultrasound Guided Laser Induced

Prostatectomy (TULIP), yang dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat menembak

prostat yang disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser

dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar prostat yang

membesar.

Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini tidak

banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi tetapi masih

mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG ini mengenai jaringan

prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang dapat menguapkan jaringan

dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan mempunyai efek laser maksimal pada

Page 18: 37973331 Penatalaksanaan BPH

kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat mencapai 100°C sehingga pada

kekuatan 40 – 60 watts akan menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan

terjadi letusan kecil yang disebut “pop corn effect”. Nd YAG ini aman untuk pengobatan

prostat oleh karena pembuluh darah yang agak besar dan pembuluh darah pada kapsul prostat

akan menjadi penahan panas (heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas keluar

dari prostat.

Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser

tersebut dapat dibelokkan 90° dengan menggunakan pembelok dari emas yang ditempelkan

diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan ke jaringan prostat dari dalam uretra.

Dengan alat pembelok ini 92% dari energi laser masih dapat mencapai jaringan preostat.

Costello (1992) mempelopori penggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak

menggunakan laser yang dibelokkan 90° melalui sistoskopi.

Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-

masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan

ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan

prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih lebar, yang kemudian

masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam

setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat

menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.

Keuntungan bedah laser ialah :

1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi akibat

bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi

2. Teknik lebih sederhana

3. Waktu operasi lebih cepat

4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat

5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan

6. Resiko impotensi tidak ada

7. Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :

Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional)

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.

Page 19: 37973331 Penatalaksanaan BPH

Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran

Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.

Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama, Jakarta :

Binarupa Aksara, 1995.

Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC,

1994.

Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.

Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – Efek

Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.

Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta :

Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.

Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.

Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Semarang :

Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.

Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr.

Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.

Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.

Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.

Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada

University Press, 1992.

Mansjuoer Akan, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W., Kapita Selekta Kedokteran, 3rd

edition,Jakarta : Media Aesculapius FK-UI, 2000

ppni-klaten.com/index.php?view...catid...64%3Abph => pdf

http://ortotik-prostetik.freetzi.com/media.php?module=detailberita&id=356

Kee, Joyce Lefever. 2005. Laboratory and Diagnostic Tests with Nursing Implications. New

Jersey: Pearson Education Inc.