larangan beribadah di kuburan
DESCRIPTION
www.desasalaf.co.ccTRANSCRIPT
LARANGAN BERIBADAH DI KUBURAN
Oleh Abu Nida` Chomsaha Sofwan
Di dalam al Qur`an, Allah telah menyifati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salllam
dengan banyak sifat terpuji. Di antaranya, Allah menyifati beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam sebagai seorang yang sangat menginginkan keimanan dan keselamatan umat ini,
dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Salah satu bentuk
kesempurnaan keinginan beliau n yang kuat agar umatnya beriman dan selamat adalah,
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dari segala sarana yang
dapat menggiring kepada kesyirikan, dan menutup seluruh celah yang dapat mengantarkan
kepada perbuatan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar bersikap
keras dan tegas dalam masalah syirik. Bahkan, khawatir dianggap luput menekankan
bahayanya, perihal syirik ini masih juga dijelaskan saat beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mendekati masa-masa sakaratul maut.
Salah satu sarana dan celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik, yaitu
beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih. Perbuatan ini telah menjadi
fenomena yang telah lama ada, dan bahkan menjadi kebiasaan sebagian besar kaum
muslimin di negeri ini. Bahkan bukan lagi beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang
shalih tersebut, tetapi telah beribadah kepada orang shalh yang menghuni kuburan
tersebut. Kuburan-kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang konon merupakan lokasi
kuburan orang shalih dikunjungi, lalu melakukan beragam peribadahan di sisinya,
seperti: berdoa, shalat, membaca al Qur`an, thawaf, sedekah dan sebagainya.
Padahal dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dapat diketahui,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat keras sikap nya terhadap orang-orang
yang beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang yang shalih. Kalau beribadah kepada
Allah di sisi kubur saja, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersikap keras, tentu
akan lebih keras lagi jika sampai beribadah kepada penghuni kubur tersebut.
Berikut adalah hadits-hadits mengenai larangan tersebut :
1. Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari’ Aisyah Radhiyallahu
'anha, bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha (salah seorang istri Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam) menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang gereja dengan rupaka-rupaka di dalamnya yang dilihatnya di Negeri Habasyah
(Ethiopia). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ا�"�+ #�� ا1�"0 /�ار أو��� ا��.�ر، ,"� ��+ و*��روا �)'�ا %��$ #"! ��ا ا��� ��؛ ا���� أو ا��� �� ا����� ���� � ت إذا أو���
"Mereka itu, apabila ada orang yang shalih -atau hamba yang shalih- meninggal di
antara mereka- mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah, dan mereka buat di
dalam tempat itu gambar-gambar mereka; mereka itulah makhluk yang paling buruk di
hadapan Allah.
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam “mereka itulah makhluk yang paling buruk di
hadapan Allah” menunjukkan haramnya membangun masjid-masjid di atas pekuburan, dan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan hal itu.
Perbuatan itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada kekufuran dan kesyirikan, yang
secara nyata merupakan kezhaliman yang paling besar.
Al Baidhawi berkata: “Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani bersujud kepada kuburan
para nabi dengan maksud mengagungkan derajat mereka, dan menjadikan kuburan-kuburan
tersebut sebagai kiblat, yang mereka menghadap dalam shalat, serta menjadikannya
sebagai berhala-berhala, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat mereka”.
Imam al Qurthubi berkata,”Mula-mula, para pendahulu mereka memahat gambar-gambar
tersebut agar mereka dapat menjadikannya sebagai suri teladan dan mengenang perbuatan-
perbuatan shalih mereka, sehingga dapat memiliki kesungguhan beribadah yang sama
seperti mereka; karenanya, mereka beribadah kepada Allah di sisi kuburan-kuburan
mereka. Kemudian setelah mereka meninggal, datanglah generasi yang tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup terhadap agama, sehingga tidak mengerti maksud dari pendahulu
mereka tersebut; lalu setan merasuki mereka dengan menyatakan, bahwa para pendahulu
mereka tersebut sebenarnya telah menyembah rupaka-rupaka ini dan mengagungkannya. Oleh
karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang terjadinya hal tersebut untuk
menutup segala hal yang dapat mengarah ke perbuatan tersebut.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”(Mereka dikatakan sebagai makhluk
yang paling buruk), karena memadukan dua fitnah sekaligus. Yaitu fitnah memuja kuburan
dengan membangun tempat ibadah di atasnya dan fitnah membuat gambar-gambar.” Keduanya
disebut fitnah, karena memalingkan manusia dari agama.
Beliau rahimahullah juga berkata,”Hal inilah yang dipakai Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagai alasan untuk melarang membangun masjid-masjid di atas
kuburan-kuburan, karena telah banyak menjerumuskan umat-umat sebelumnya, baik ke dalam
syirik besar maupun syirik lainnya yang lebih ringan. Banyak orang cenderung melakukan
perbuatan syirik terhadap patung orang shalih dan patung-patung yang mereka anggap
bahwa ia merupakan garis-garis rajah dari bintang-bintang, dan hal lain yang serupa
dengan bintang. Ini terjadi, karena berbuat syirik dengan menyembah kuburan orang yang
diyakini keshalihannya lebih terasa di dalam jiwa, daripada berbuat syirik dengan
menyembah pohon atau batu.
Oleh karena itu pula, Anda mendapatkan ahli syirik memohon di sisi kuburan dengan
penuh kesungguhan, penuh kekhusyuan dan sikap berserah diri, serta menyembahnya dengan
sepenuh hati, padahal ibadah yang seperti itu tidak pernah mereka lakukan di rumah-
rumah Allah ataupun di waktu tengah malam menjelang Subuh. Di antara mereka ada yang
bersujud kepada kuburan itu. Ketika melakukan shalat dan berdoa di sisi kuburan
tersebut, kebanyakan mereka mengharapkan keberkahan, yang tidak pernah mereka harapkan
ketika berada di masjid-masjid.
Lantaran perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerusakan, maka dengan tanpa ragu, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikisnya. Sampai-sampai beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang shalat di pekuburan secara mutlak, meskipun orang melakukannya tidak
dengan maksud mengharapkan berkah tempat tersebut sebagaimana ia mengharapkannya
ketika shalat di dalam masjid. Begitu pula beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang umatnya melakukan shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari, karena
waktu-waktu tersebut digunakan oleh kaum musyrikin untuk menyembah matahari.
Karenanya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya shalat pada waktu-
waktu tersebut, meskipun mereka tidak memiliki tujuan yang sama dengan tujuan kaum
musyrikin tadi. Hal ini sebagai upaya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup
rapat celah-celah menuju kesyirikan.
Adapun bila seseorang melakukan shalat di sisi kuburan dengan maksud untuk mendapatkan
keberkahan melalui shalat di sisi kuburan tersebut, maka ini jelas merupakan sikap
memusuhi Allah dan RasulNya, melanggar aturan agamaNya, mengada-adakan sesuatu di
dalam agama yang tidak pernah Allah izinkan. Kaum muslimin telah bersepakat secara
ijma’, bahwa di antara perkara-perkara mendasar dalam agama, yaitu mengetahui bahwa
shalat di sisi kuburan adalah dilarang. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
melaknat orang yang mengfungsikan kuburan sebagai masjid. Karena itu, di antara
perbuatan mengada-ada (bid’ah) yang paling besar dan merupakan sebab-sebab terjadinya
kesyirikan adalah melakukan shalat di sisi kuburan dan mengfungsikannya sebagai
masjid, serta mendirikan masjid-masjid di atasnya. Nash-nash dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam yang melarang hal itu, dan memperingatkan pelakunya secara keras
sangatlah banyak dan mutawatir. Seluruh kelompok umat secara jelas dan terang-terangan
melarang untuk mendirikan masjid-masjid di atasnya, karena mereka mengikuti sunnah
yang shahih dan sharih (jelas).
Para ulama pengikut Imam Ahmad dan ulama yang lain, yakni pengikut Imam Malik dan Imam
Syafi’i, secara terang-terangan mengharamkan perbuatan tersebut. Ada juga yang
menyatakan, hal itu sebagai perbuatan makruh, namun sepatutnya membawa maknanya kepada
karahah at tahrim (makruh yang berindikasi pengharaman) sebagai tanda bersangka baik
kepada para ulama yang menyatakan demikian, sehingga mereka tidak disangka membolehkan
perbuatan yang secara mutawatir dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan pelakunya beliau laknat.”
2. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia pernah
berkata: Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak diambil nyawanya,
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun segera menutupkan kain di atas mukanya, lalu
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan
napas. Ketika dalam keadaan demikian, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
2��6�� %��ر ا,�51وا وا���� رى، ا����د #"! ا�"�+ � �� أ7��(�
"Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka
menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)".
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal itu saat mendekati kematiannya,
untuk memperingatkan umatnya dari perbuatan mereka (Yahudi dan Nasrani) itu.
Seandainya bukan karena peringatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut,
niscaya kubur beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan ditampakkan; hanya saja beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam khawatir, jika (kubur beliau) akan dijadikan sebagai
tempat ibadah.”
Syaikh Shalih Alu asy Syaikh menjelaskan, ada tiga bentuk menjadikan kuburan sebagai
tempat ibadah.
Pertama : Menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujudnya. Bentuk yang paling bisa
dipahami dari perkataan ‘mereka menjadikan kuburan tersebut sebagai masjid’ ialah,
menjadikan kuburan sebagai masjid. Yaitu tempat melakukan shalat dan sujud di atasnya.
Demikian ini jelas merupakan sarana yang sangat berbahaya, dan paling merusak yang
mengantarkan kepada syirik dan berlaku ghuluw kepada kuburan.
Kedua : Shalat ke arah kuburan. Makna menjadikan kuburan sebagai masjid dalam bentuk
ini, yaitu seseorang shalat di hadapan kuburan dengan menjadikannya sebagai kiblatnya.
Dengan kondisi ini, dia telah menjadikan kuburan sebagai tempat ia merendahkan dan
menghinakan dirinya.
Masjid di sini bukan lagi semata-mata berarti tempat sujud –meletakkan dahi di atas
tanah–, tetapi berarti tempat merendahkan dan menghinakan diri. Mereka menjadikan
kuburan para nabi sebagai masjid, maksudnya, menjadikannya sebagai kiblat. Karena itu,
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang shalat ke arah kuburan, karena merupakan
salah satu sarana kepada sikap pengagungan kuburan.
Ketiga : Menjadikan kuburan berada di dalam suatu bangunan, dan bangunan itu adalah
masjid. Jika yang dikubur itu seorang nabi, maka mereka membuat bangunan di atasnya.
Mereka lantas menjadikan di sekeliling kuburan itu sebagai masjid dan menjadikan
tempat itu sebagai tempat beribadah dan shalat.
Adapun perkataan ‘Aisyah bahwa ‘beliau memperingatkan (umatnya) dari perbuatan mereka
(Yahudi dan Nasrani)’, maka di dalamnya terdapat isyarat yang menjadi penyebabnya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang sedang dalam keadaan sakaratul maut, melaknat
Yahudi dan Nasrani dalam hadits ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin
memperingatkan para sahabatnya agar jangan sampai mengikuti langkah-langkah kedua Ahli
Kitab tersebut. Dan ternyatalah mereka, para sahabat, menerima peringatan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam itu dan mengamalkan wasiat beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Kemudian perkataan ‘Aisyah ‘dan seandainya bukan karena hal itu, niscaya kuburan
beliau ditampakkan’. Maksudnya, kalau bukan karena peringatan dan kekhawatiran beliau
n bahwa kuburan beliau dijadikan masjid oleh umatnya sebagaimana orang Yahudi dan
Nasrani, niscaya kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di luar rumahnya,
berdampingan dengan kuburan-kuburan para sahabat di Baqi atau selainnya. Di samping
alasan ini, ada juga alasan lain, yaitu sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu :
�ن <�= >;��ون ا:7�� ء إن�?�;<
"Sesungguhnya para nabi itu dikuburkan di mana mereka diwafatkan".
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah dimaklumi, bahwa beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat di dalam rumah ‘Aisyah.
Kemudian perkataan ‘Aisyah selanjutnya ‘hanya saja beliau khawatir (kuburannya) akan
dijadikan sebagai tempat ibadah’, terdapat dua riwayat.
Berdasarkan riwayat pertama, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendirilah
yang mengkhawatirkan hal tersebut, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan ummatnya untuk menguburkannya di tempat beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat. Sedangkan berdasarkan riwayat kedua, maka kemungkinan yang
mengkhawatirkan hal itu adalah para sahabat. Artinya, mereka khawatir hal itu terjadi
pada sebagian umat sehingga mereka pun tidak menampakkan kuburan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam , karena dikhawatirkan umat Islam berlebih-lebihan dan terlalu
mengagung-agungkan kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam jika ditampakkan.
Imam al Qurthubi berkata,”Oleh karena itulah, kaum muslimin berusaha semampu mungkin
menutup jalan yang mengarah kepada pemujaan kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan cara meninggikan dinding tanahnya dan menutup rapat pintu-pintu masuk ke
arahnya dengan menjadikan dindingnya mengitari kuburan beliau. Mereka pun takut
apabila letak kuburan beliau n dijadikan kiblat bagi orang-orang yang melakukan shalat
sehingga seakan shalat yang menghadap ke arahnya tersebut merupakan suatu wujud
beribadah. Karenanya, mereka kemudian membangun dua dinding dari dua sudut kuburan
bagian utara, dan mengalihkan keduanya hingga bertemu pada sudut yang membentuk
segitiga dari arah utara sehingga tidak memungkinkan siapa pun untuk menghadap ke arah
kuburan beliau.”
3. Diriwayatkan oleh Muslim dari Jundub bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
“Aku mendengar bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda lima hari
sebelum beliau wafat, ‘Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak,
bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya
Allah telah menjadikan aku sebagai khalil. Seandainya aku menjadikan seorang khalil
dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Ketahuilah bahwa
sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai
tempat ibadah, maka janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah,
karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.’”
Al Khalili berkata,”Pengingkaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan
mereka tersebut dapat diartikan dengan dua makna. Pertama, mereka bersujud terhadap
kuburan para nabi untuk mengagungkan utusan Allah tersebut. Kedua, mereka memang
menganggap boleh melakukan shalat di kuburan para nabi dan menghadap ke arah ketika
melakukan shalat, karena mereka memandang hal itu sebagai bentuk ibadah kepada Allah
dan cerminan sikap pengagungan yang sangat kepada para nabi tersebut.
Makna pertama merupakan syirik jaliy (bentuk syirik yang jelas). Sedangkan makna kedua
merupakan syirik khafiy (bentuk syirik yang tersembunyi). Oleh karena itu, mereka
layak untuk dilaknat.”
Syaikh Shalih Alu asy Syaikh berkata,”Keterkaitan hadits ini dengan permasalahan sikap
keras Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengharamkan menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid
(tempat ibadah), meskipun mungkin saja orang yang melakukannya beribadah hanya kepada
Allah. Hal itu, karena perbuatan tersebut termasuk di antara sarana-sarana yang
mengantarkan kepada syirik besar. Telah ditetapkan di dalam kaidah-kaidah syariat dan
telah disepakati oleh para muhaqqiq, bahwa menutup pintu (celah) yang mengantarkan
kepada kesyirikan dan kepada perbuatan haram adalah wajib; karena syariat datang untuk
menutup pokok-pokok perbuatan-perbuatan haram dan menutup celah-celah menuju
kepadanya. Sehingga wajib menutup setiap pintu dari pintu-pintu kesyirikan kepada
Allah. Di antara pintu-pintu itu ialah, menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang
shalih sebagai masjid. Karena itu, tidak sah shalat yang dilakukan di dalam masjid
yang dibangun di atas kuburan karena hal itu menafikan larangan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang, namun orang-orang itu melakukannya,
padahal larangan beliau tertuju kepada tempat shalat itu dilakukan sehingga shalatnya
pun batal. Jadi, orang yang shalat di dalam masjid yang dibangun di atas kuburan, maka
shalatnya batal, tidak sah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
‘ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid’, maksudnya, dengan
membangun masjid di atasnya dan shalat di sekitarnya, ‘karena sungguh aku larang
kalian darinya’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Rasulullah n , (pada) menjelang
akhir hayatnya (sebagaimana dinyatakan dalam hadits Jundub) telah melarang umatnya
untuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian, tatkala dalam keadaan hendak
diambil nyawanya –sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah– beliau melaknat orang yang
melakukan perbuatan itu. Shalat di sekitar kuburan termasuk pula dalam pengertian
menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah walaupun tidak membangunnya. Inilah makna
kata-kata Aisyah ‘dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, karena para
sahabat belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kubur beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal setiap tempat yang digunakan untuk melakukan
shalat di dalamnya, itu berarti sudah dijadikan sebagai masjid; bahkan setiap tempat
yang dipergunakan untuk shalat disebut masjid sebagai yang telah disabdakan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Telah dijadikan bumi ini untukku sebagai
masjid dan sebagai sarana bersuci.”.
Kesimpulannya : Shalat di kuburan tidak boleh, baik itu shalat menghadap ke arahnya,
atau shalat di dekatnya karena mengharap berkah tempat tersebut, atau tidak mengharap
berkahnya, tetapi hanya shalat nafilah (selain shalat jenazah). Semua itu tidak boleh.
Baik di atas kuburan itu ada bangunan, seperti masjid, atau tidak bangunan di atasnya,
maka shalat di atasnya tetap tidak boleh.
Di dalam Shahih al Bukhari, terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Jadikanlah di antara shalat kalian itu dilakukan di rumah-rumah kalian, dan
jangan di kuburan.” Juga disebutkan di dalam Shahih al Bukhari perkataan beliau kepada
Umar Radhiyallahu 'anhu ketika melihat sekelompok orang shalat di dekat sebuah kubur
‘kuburan, kuburan’, maksud beliau, jauhilah kuburan, jauhilah kuburan. Ini
menunjukkan, shalat di kuburan tidak diperbolehkan, karena merupakan pengantar kepada
kesyirikan. Lebih parah lagi jika di kuburan tersebut dibangun bangunan, lalu
menjadikan bangunan-bangunan sekitar kuburan itu sebagai masjid untuk shalat, berdoa,
membaca al Qur`an, dan semisalnya.
Maraji:
1. Fath al Majid Syarh Kitab at Tauhid.
2. At Tamhid li Syarhi Kitab at Tauhid, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh.
3. Al Qaul al Mufid, Jilid I, karya Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]