laporan teknologi patgul akhir
TRANSCRIPT
Laporan Praktikum Hari : Selasa, 27 Mei 2013
Teknologi Pati, Gula dan Dosen : Rini Suparwati, S.TP, M.Si
Sukrokimia Asisten:
1. Ramiza Dewaranie Lauda / F34090093
2. Ihwan Purnomo / F34090065
APLIKASI TEPUNG KOMPOSIT, PRODUK EKSTRUDAT
DAN PRODUK MIE
Oleh :
1. Rista Fitria ( F34100003)
2. Maskur Rozaqi ( F34100010)
3. Bastian Khoirul Anam ( F34100034)
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIA BOGOR
BOGOR
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bencana alam membawa dampak kekurangan bahan pangan, oleh karena itu diperlukan
pangan yang mengandung cukup kalori dan nutrisi seperti layaknya a full meal. Bentuk makanan yang
dapat dikembangkan dengan kecukupan kalori, protein, lemak, dan nutrisi lainnya yang dibutuhkan
oleh tubuh adalah makanan padat (food bars). Food bars dibuat dari campuran bahan pangan (blended
food) yang diperkaya dengan nutrisi yang kemudian dibentuk menjadi bentuk padat dan kompak (a
food bar form). Diharapkan dapat mencukupi kebutuhan kalori rata-rata orang Indonesia per hari
yakni 2100 kkal dengan kandungan protein 07-12% dari total kalori, dan lemak 35-45%. Untuk
memperbaiki sifat fisik makanan padat sehingga lebih keras dan tidak mudah hancur saat
pendistribusian diperlukan binder agent (bahan pengikat), mengingat pada keadaan darurat bantuan
makanan sering disalurkan dari pesawat dengan ketinggian tertentu, karena lokasi bencana yang tidak
memungkinkan dijangkau melalui darat. Berdasarkan karakteristik tepung komposit yaitu banyak
mengandung glukomannan, suatu senyawa yang memiliki kemampuan sebagai thickener, film former,
emulsifier, stabilizer, dan bahan pengikat (binding agent), maka tepung ini dapat dimanfaatkan.
Untuk mengatasi ketergantungan terhadap tepung terigu, saat ini banyak dilakukan penelitian
terhadap bahan baku pati dan tepung yang berasal dari dalam negeri. Bahan-bahan yang banyak
digunakan sebagai pengganti terigu antara lain adalah singkong, jagung, talas, umbi, dan lain-lain.
Namun, berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, tepung-tepung tersebut di atas masih belum
bisa menggantikan tepung terigu karena sifatnya yang tidak sebaik tepung terigu dalam
pengolahannya.
Produk pangan saat ini bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Diversifikasi pangan perlu
dilakukan agar produk pangan itu sendiri mempunyai nilai tambah yang semakin meningkat. Bahan
baku produk pangan tersebut diantaranya adalah tepung, baik tepung dari gandum maupun tepung dari
singkong, selain dari tepung ada pula produk olahan dari biji-bijian. Tepung merupakan hasil
penggilingan biji-bijian atau umbi yang mengandung pati dan mempunyai komposisi kimia yang
relatif sama dengan bahan pembuatnya.
Oleh karena itu, digunakan tepung komposit yang merupakan campuran dari berbagai macam
tepung agar diperoleh sifat tepung yang sesuai kebutuhan. Pada praktikum ini, tepung komposit yang
digunakan adalah tepung terigu yang dicampur dengan tepung umbi atau tepung serealia lainnya.
Mie merupakan salah satu bentuk pangan yang sudah populer dan disukai oleh berbagai
kalangan masyarakat. Mie disajikan dalam berbagai bentuk yaitu mie basah, mie kering, dan mie
instan. Beberapa mie tersebut mempunyai sifat yang berbeda tergantung dari proses pembuatan dan
bahan tambahan yang digunakan. Mie biasanya dibuat dari bahan baku terigu yang sampai saat ini
semuanya masih diimpor Indonesia, baik dalam bentuk tepung maupun dalam bentuk biji gandum.
Proses pengolahan pangan menggunakan metode ekstrusi banyak memiliki keuntungan
diantaranya produktifitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi
walaupun dari bahan baku yang sama dan kerusakan nutrisi dapat dihindari karena proses
menggunakan suhu tinggi dan waktu yang singkat. Proses ekstrusi dapat menghasilkan produk pangan
yang bersifat stabil dan bebas dari kontaminasi mikroba sehingga dapat disimpan lama. Kandungan
nutrisi dari suatu produk merupakan hal utama yang harus diperhatikan dalam pemenuhan kebutuhan
gizi manusia. Proses ekstrusi juga ditujukan untuk melengkapi nilai gizi bahan pangan. Kemampuan
ekstruder untuk mencampur berbagai bahan baku dapat juga dieksploitasi untuk pengembangan
pangan fungsional. Bahan baku seperti kedelai dan pangan nabati yang relatif tidak enak dapat
dicampur untuk menghasilkan produk baru
B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik tepung dari berbagai bahan dan
penerimaan konsumen terhadap produk olahan tepung baik dari aroma, rasa, tekstur, penampilan, dan
warna, pembuatan produk ekstrusi dan untuk mengetahui perubahan sifat fisika dan kimia yang terjadi
akibat proses ekstrusi.
II. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
Untuk tepung komposit, alat yang digunakan adalah baskom, spatula, Loyang, mixer, dan
oven. Untuk bahan yang diperlukan pada pembuatan tepung komposit ini adalah terigu berprotein,
tepung serealia atau umbi-umbia, baking powder, margarine, gula pasir, telur, susu cair, dan kertas
roti.
1. Pembuatan Produk Ekstrudat
Pada pembuatan produk ekstrudat, diperlukan bahan tepung jagung, tepung beras, grits
jagung dan beras, serta flavor & perasa. Alat yang digunakan adalah single screw atau twin screw
extruder.
2. Pembuatan Mie Berbasis Terigu
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain tepung terigu protein tinggi
sebanyak 2,2 kg, tapioka 550 gram, air, 900 mL garam 20 gram, telur 1 butir, minyak dan sodium
fosfat. Peralatan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain homogenizer dan noodle maker.
B. Metode Cake Composit
Cookies
Tambahkan susu dan tepung dan adonan dimasukkan kedalam
oven selama 30 menit
Kocok margarin dengan gula hingga terbentuk krim putih dan
tambahkan telur dan kocok kembali
Siapakan Loyang dan olesi dengan margarin dan bahan-bahan
Dibuat adonan dari campuran 1 butir kuning telur, gula halus, dan
margarin diaduk dengan mixer sampai mengembang
Disiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan cookies
Dicampurkan tepung sebanyak 140 gram dan 100 gram ke dalam
adonan dan diaduk dengan mixer
Adonan dibentuk dengan ukuran yang sama dan dipanggang dalam
oven sampai cookies matang
Produk Wafer
Produk Ektrudat
Siapkan bahan baku berupa jagung, beras, dan jagung-beras masing-
masing 1 kg bahan. Dimana untuk SSE bahan berbentuk grid dan untuk
TSE bahan berbetuk tepung minimal 60 mesh.
Untuk SSE bahan dimasukkan pada mesin dan dihasilkan snack ciki
lalu masukkan snack pada plastik lalu taburkan flavor, aroma, rasa dan
warna.
Untuk TSE campurkan bahan terlebih dahulu menggunakan mixer
molen yang terdiri dari tepung dan bahan tambahan lainnya seperti
flavor, aroma, rasa dan warna.
Setelah merata masukkan adonan pada mesin TSE lalu letakkan hasil
beras analog pada tray dan keringkan beras analog pada oven
Siapkan bahan berupa tepung ubi, tepung mocaf dan tepung beras
100 gr, minyak kelapa 100 gr, gula halus 80 gr, garam 5 gr, putih
telur 4 butir, dan vanili 1 sendok teh.
Tambahkan garam dan vanili dan kocok kembali sampai tercampur
sempurna.
Masukkan tepung sesuai dengan kelompok masing-masing
Tambahkan telur dan kocok kembali sampai tercampur merata
Kocok minyak kelapa dan gula halus hingga putih
Tuangkan adonan pada pemanggang wafer lalu tutup pemanggang dan
tunggu beberapa menit sampai wafer matang lalu cetak wafer selagi
panas sesuai dengan selera masing-masing.
Pembuatan mie
Rehydration Ratio
Biang mie (soda abu dan garam )
Dilarutkan dengan air
Telur diaduk dengan disisihkan
Tepung tergu dan tapioka diaduk
Adonan dicampur selama 5-10 menit
Lembaran adonan dibentuk dengan menggunakan roll
secara berulang hingga elastis
Mie dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
Mie dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
Mie mentah
Bahan sebanyak 2,5 gram mie atau sohun
Ditempatkan pada ayakan dalam gelas piala 250 ml berisi air mendidih
Dimasak 10 menit
Disarng dengan saringan nilon
Rasio Rehidrasi = (Berat mie masak)/(berat mie belum masak)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL [ Terlampir ]
B. PEMBAHASAN
1. APLIKASI TEPUNG KOMPOSIT
a. Cake Composit
Tepung merupakan partikel padat yang berupa butiran halus yang berasal dari bahan nabati
atau hewani. Tepung biasa dimanfaatkan dalam pembuatan bermacam-macam produk seperti mie,
roti, dan lainnya. Tepung diketahui terbagi menjadi dua golongan, yaitu tepung yang terbuat dari satu
jenis bahan misalkan tepung singkong, tepung beras, maupun tepung ubi jalar dan tepung yang terbuat
dari berbagai jenis bahan atau dikenal dengan nama tepung komposit, misalnya tepung komposit
kasava-terigu-kedelai, tepung komposit jagung-beras, atau tepung komposit kasava-terigu-pisang.
Tujuan pembuatan tepung kompisit sendiri untuk mendapatkan karakteristik bahan yang
sesuai untuk produk olahan yang diinginkan atau untuk mendapatkan sifat fungsional tertentu. Selain
untuk mendapatkan karakteristik bahan yang sesuai keinginan, penggunaan tepung komposit dalam
pembuatan produk ditujukkan untuk mengurangi ketergatungan terhadap gandum dalam pembuatan
produk dan untuk mengubah karakteristik gizi produk, misalnya dengan memperkaya kandungan
protein, vitamin, atau mineral.
Dalam pembuatan cake, tepung yang digunakan adalah tepung dengan kadar protein yang
rendah. Hal ini dikarenakan agar tekstur yang dihasilkan pada cake lebih halus. Apabila digunakan
tepung dengan kadar protein yang tinggi maka cake akan keras. Menurut Bogasari Baking Centre
(2013), tepung dengan kadar protein tinggi akan membuat tekstur menjadi keras. Pada pembuatan
produk kali ini digunakan berbagai macam tepung seperti tepung mocaf, ketan hitam dan ubi kayu.
Tepung mocaf merupakan tepung singkong yang telah dimodifikasi dengan fermentasi,
sehingga dihasilkan tepung singkong dengan karakteristik mirip terigu sehingga dapat digunakan
sebagai bahan pengganti terigu atau campuran terigu 30 % – 100 %. Dibandingkan dengan tepung
singkong biasa tepung mocaf memiliki kualitas yang lebih baik yaitu lebih putih, lembut dan tidak bau
apek. Selain itu, pada tepung kasava termodifikasi ini tidak mengandung gluten yang banyak
terkandung dalam tepung terigu, sehingga aman di konsumsi oleh penderita autis dan balita.
Kandungan gizi tepung kasava termodifikasi tidak begitu berbeda dengan terigu. Hanya saja, pada
tepung kassava memiliki kandungan protein yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tepung
terigu. Keunggulan dari tepung kasava adalah kandungan kalsium, fosfor, dan serat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tepung terigu serta tidak mengandung glutein yang berbahaya jika dikonsumsi
oleh anak-anak penderita autis. Selain itu tepung kasava mengandung fitoestrogen, suatu hormon yang
berfungsi untuk mencegah menopause dini yang biasa tejadi pada kaum wanita.
Perbedaan tepung mocaf dengan tepung singkong adalah pada proses pengolahaannya.
Tepung singkong atau tepung cassava dibuat dari singkong yang dikupas dipotong-potong menjadi
sawut dan langsung dikeringkan, kemudian ditepungkan. Sedangkan tepung mocaf setelah singkong
dipotong-potong menjadi sawut kemudian di fermentasi dahulu, dicuci, dikeringkan kemudian
digiling. Mocaf merupakan produk tepung dari singkong yang diproses menggunakan prinsip
memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikroba BAL (Bakteri Asam Laktat)
mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim
pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong, sedemikian rupa
sehingga terjadi liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang
menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organik, terutama
asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa
naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Demikian pula, cita
rasa mocaf menjadi netral dengan menutupi cita rasa singkong sampai 70%. Walaupun dari komposisi
kimianya tidak jauh berbeda, Mocaf mempunyai karakteristik fisik dan organoleptik yang spesifik jika
dibandingkan dengan tepung singkong pada umumnya. Kandungan nitrogen mocaf lebih rendah
dibandingkan tepung singkong, dimana senyawa ini dapat menyebabkan warna coklat ketika
pengeringan atau pemanasan. Dampaknya adalah warna mocaf yang dihasilkan lebih putih jika
dibandingkan dengan warna tepung singkong biasa (Anonim, 2013).
Tepung kasava telah banyak digunakan dalam pembuatan produk-produk pangan, antara lain
seperti roti, biskuit, mie instan, dan lain-lain. Muharam (1992) telah melakukan modifikasi tepung
kasava dengan cara pengukusan, penyangraian, dan penambahan GMS (Glyceril Mono Stearat).
Selain itu, modifikasi tepung kasava juga dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip modifikasi sel
ubi kayu secara fermentasi (Subagio, 2006). Secara teknis, cara pengolahan tepung kasava yang
dimodifikasi dengan enzim selulolitik sangat sederhana, mirip dengan cara pengolahan tepung kasava
biasa, namun disertai dengan proses fermentasi. Ubi kayu dibuang kulitnya, dikerok lendirnya, dan
dicuci sampai bersih. Kemudian dilakukan pengecilan ukuran ubi kayu dan dulanjutkan dengan tahap
fermentasi selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, ubi kayu tersebut dikeringkan dan ditepungkan
sehingga dihasilkan produk tepung kasava termodifikasi (Hanif, 2009).
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari percobaan, dilakukan pengujian organoleptik dengan
metode uji hedonik. Parameter yang digunakan dalam pengujian ini antara lain rasa, tekstur, dan
aroma. Berdasarkana pengujian yang dilakukan terhadap cake 1,2,dan 3, didapatkan hasil penilaian
panelis terhadap parameter rasa dengan nilai 3,36:3,77:3,4. Dari ketiga hasil tersebut, dapat
disimpulkan bahwa cake 2 memiliki nilai tertingi dengan nilai 3,77. Dengan demikian, berdasarkan
parameter rasa, panelis menyukai cake 2 dengan bahan dasar tepung ketan hitam. Berdasarkan nilai F
hitung, diketahui nilai yang didapatkan adalah 2,64 dan nilai F tabel adala 3,15. Nilai F hitung lebih
kecil dibandingkan nilai F tabel, dengan demikian dapat disimpulkan tidak ada perbedaan nyata antar
perlakuan.
Parameter yang diuji lainnya adala parameter tekstur. Berdasarkan penilaian panelis
diketahui nilai rata-rata untuk cake 1,2, dan 3 adalah 3,13:3,73:3,23. Bedasarkan nilai tersebut, dapat
diketahui bahwa cake 2 dengan bahan dasar tepung ketan hitam paling disukai oleh panelis
berdasarkan parameter teksturnya. Nilai F hitung yang diperoleh adalah 5,53 sedang kan nilai tabelnya
adalah 3,15. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaaan nyata antar perlakuan.
Berdasarkan uji Dubcan yang telah dilakukan, diketahui cake 3 memiliki kesamaan dengan cake 1,
cake 2 tidak sama dengan cake 1 dan cake 3. Sehingga dapat disimpulkan kesukaan panelis terhadap
tekstur cake tepung ketan hitam berbeda dengan cake lainnya.
Parameter terakhir yang diuji adalah parameter aroma. Berdasarkan penilaian yang
dilakukan, diketahui nilai rata-rata adalah 3,43:3,63:3,567. Berdasarkan nilai yang didapat, diketahui
cake 2 memiliki nilai tertingi dengan nilai 3, 63. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari
perameter aroma, cake 2 dengan bahan dasar tepung ketan hitam paling disukai oleh panelis
dibandingkan dengan cake lainnya. Dari nilai F hitung diketahui nilai F hitung lebih kecil
dibandingkan dengan nilai F tabel, sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan nyata antar
perlakuan dan tidak perlu dilakukan uji Duncan.
b. Cookies
Cookies merupakan salah satu makanan ringan yang digemari oleh konsumen. Cookies pada
umumnya dibuat dengan bahan dasar tepung terigu. Dalam praktikum ini, pembuatan cookies
dilakukan dengan bahan dasar tepung komposit, seperti tepung jagung, tepung garut, dan tepung ketan
hitam. Tepung jagung diketahui memiliki sifat fleksibel karena tepung jagung dapat digunakan
sebagai bahan baku berbagai macam produk pangan. Selain itu, menurut Suarni dan I.GP.
Sarasutha.(2002), tepung jagung dapat diolah menjadi berbagai makanan atau mensubstitusi terigu
pada proporsi tertentu, sesuai dengan bentuk produk olahan yang diinginkan. Pemanfaatan tepung
jagung sebagai bahan dasar pangan biasa digunakan untuk kue basah, kue kering, mie kering, dan roti-
rotian. Tepung jagung komposit dapat mensubstitusi 30-40% terigu untuk kue basah, 60-70% untuk
kue kering, dan 10-15% untuk roti dan mie (Antarlina dan Utomo 1993). Bila dibandingkan dengan
tepung sagu atau singkong, tepung jagung akan menghasilkan tekstur yang lebih lembut dalam
pembuatan makanan. Dan akibat tekstur tersebut, tepung jagung biasa dijadikan bahan untuk
mengentalkan sup.
Tepung garut diketahui memiliki tersktur dan warna yang hampir sama dengan tepung sagu.
Tepung garut memiliki kandungan serat dalam karbohidrat yang cukup tinggi. Tepung garut memiliki
tekstur dengan warna putih dan memiliki ketahanan hingga 9 bulan dengan kadar air kurang dari
18,5%. Berikut ini komposisi kandungannya:
Kandungan zat Jumlah (%, db)
Air 11,9
Abu 0,58
Protein 0,14
Lemak 0,84
Amilosa 25,94
Serat larut air 5,03
Serat tidak larut air 8,74
Sumber: Marsono, et all. 2005
Tepung garut telah digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan barbagai macam
makanan tradisional seperti jenang, dodol, cendol, dan kue kering. Selain itu, tepung ini juga dapat
dijadikan campuran terigu untuk pembuatan mie dengan kadar 15-20% dan pada kadar 10-20%
pembuatan roti tawar (Karjono, 1998). Selain kandungan gizi yang dipaparkan dalam tabel tersebut,
umbi garut mempunyai keunggulan dalam hal nilai indeks glikemiknya. Menurut Marsono (2002),
indeks glikemik umbi garut adalah 14 sedangkan glukosa 100. Degan demikian, umbi garut deketahui
dapat digunakan sebagai sumber pangan yang memiliki nilai kecernaan rendah sehingga dapat
digunakan sebagai diet rendah kalori.
Berikutnya adalah tepung ketan hitam. Tepung ketan hitam merupakan bahan yang banyak
digunakan dalam pembuatan kue-kue di Indonesiaselain tepung beras. Tepung ketan dapat ditemukan
dengan mudah dipasaran dalam bentuk tepung halus dan kering. Berikut ini kandungan gizi yang
terdapat pada tepung ketan hitam:
Zat Gizi Makro Mineral Vitamin
Energy : 1595.8 kcal Phytic acid : 939.0 mg Retinol : 0.0 µg
Protein: 18,6 g Calcium : 837.5 mg Vit. B1 : 0.2 mg
Fat :8,3 g Magnesium: 129.0 mg Vit. B2: 0.2 mg
Karbohidrat 360.0 g Zinc : 3.4 mg Niacine : 3.1 mg
Dietary Fiber: 3,8 g Iron: 5.0 mg Vit. B6: 0.4 mg
Pantoth. acid: 3.1 mg
Tot. fol.acid : 22.5 µg
Vit. B12 : 0.0 µg
Vit. C : 0.0 mg
Vit. A: 0.0 µg
Sumber: (http://gizimu.wordpress.com/2011)
Tepung ketan diketahui memiliki amilopektin yang lebih besar bila dibandingkan dengan
tepung-tepung lain. Banyaknya kandungan amilopektin pada tepung ketan inilah yang meyebabkan
tepung ketan (beras ketan) akan menghasilkan produk yang lebih pulen dibandingkan dengan tepung
lainnya. Makin tinggi kandungan amilopektin maka semakin pulen produk yang akan dihasilkan.
Menurut Anni Faridah (2008), terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan
produk menggunakana tepung ketan:
• Pilih tepung ketan yang murni tidak berasal dari beras ketan yang tercampur dengan beras,
halus dan sebaiknya baru ditumbuk untuk kue-kue tertentu. Tepung ketan yang tidak akan
menghasilkan kue yang keras atau kaku dan kurang mengembang bila digoreng
• Pembuatan adonan dari tepung ketan sebaiknya menggunakan air yang sum-sum kuku agar
adonan mudah dibentuk tetapi tidak melengket pada jari-jari, misalnya pada waktu
membentukan kue kelepon
• Kue yang terbuat dari tepung ketan tidak boleh dimasak terlalu lama untuk menghindari agar
kue jangan sampai pecah dan bentuknya tidak berubah karena sifat ketan cepat masak pada
pembuatan kue
Pada pembuatan produk cookies kali ini, akan dilakukan pengujian organoleptic dengan
metode pengujian hedonik. Tujuan dari pengujian ini untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis
terhadap cookies yang dibuat pada praktikum kali ini. Parameter yang diuji dalam uji hedonik kali in
adalah warna, rasa, tekstur dan penerimaan umum. Kode yang diberikan, yaitu cookies 1 untuk
kelompok 1, cookies 2 untuk kelompok 2 dan cookies 3 untuk kelompok 3. Peilaian terhadap cookies
dilakukan dengan penilaian terhadap parameter rasa. Penilaian rata-rata para panelis terhadap warna
secara berurutan dari cookies 1,2, dan 3, yaitu 3,4:3,767:3.37. Dari angka rata-rata tersebut diketahui
nilai rata-rata tertingi adalah cookies 2 dengan nilai rata-rata 3,767. Hal ini menunjukkan cookies 2
lebih disukai oleh panelis berdasarkan parameter rasa. Dengan kata lain panelis lebih suka cookies
yang dibuat dari tepung jagung (cookies 2) dibanding dengan cookies yang dibuat dari tepung garut
(cookies 1) dan tepung ketan hitam (cookies 3). Kemudian data yang diperoleh dari uji hedonik diolah
untuk mendapat nilai F hitung yang selanjutnya dibandingkan dengan F tabel pada rasio ragam 5%.
Adapun nilai F hitung yang didapat adalah 2,44. Nilai F hitung lebih kecil dibanding F tabel,
sehingga dapat disimpulkan bahwa taka da perbedaan nyata antar perlakuan..
Parameter kedua yang diuji hedoniknya adalah tekstur. Rata-rata penilaian panelis terhadap
ketiga cookies secara berurutan dari cookies 1,2 dan 3 adalah 3,33; 3,67; 3,67. Berdasarkan ketiga
nilai yang didapatkan, diketahui cookies 2 dan 3 memiliki nilai yang sama yaitu 3,67 dan lebih tinggi
dibanding cookies 1. Hal ini menunjukkan bahwa rasa cookies 2 dan 3 lebih disukai oleh panelis
dibanding cookies 1. Pada pengolahan data, didapatkan nilai F hitung sebesar 2,84 sedangkan F tabel
sebesar 3,15 pada tingkat kepercayaan 5%. Nilai F hitung lebih kecil dibanding F tabel. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam perlakuan.
Parameter ketiga yang diuji adalah aroma. Rata-rata penilaian panelis terhadap ketiga sampel
berurutan dari cookies 1,2 dan 3 adalah 3,367;3,5;3,63. Nilai tertinggi dari data tersebut adalah
cookies 3 sebesar 3,63, yaitu cookies tepung ketan hitam. Hal ini menunjukkan bahwa panelis lebih
menyukai cookies tepung ketan hitam dibanding cookies tepung jagung dan cookies tepung garutdari
segi aroma. Pada pengolahan data, didapat F hitung sebesar 1,045 sedangkan nilai F tabel 3,15 pada
tingkat kepercayaan 5%. Nilai F hitung lebih kecil dibanding F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata
terhadap perlakuan.
Dari ketiga parameter yang telah diuji, dapat disimpulkan dari parameter rasa yang lebih
disukai adalah cookies tepung jagung dibanding cookies lainnya. Dari parameter tekstur cookies yang
lebih disukai dari cookies lainnya adalah cookies tepung garut dan tepung ketan hitam. Sedangkan
pada parameter aroma cookies tepung ketan hitam lebih disukai pada tepung lainnya.
c. Wafer
Wafer merupakan sejenis makanan ringan pada kategori biskuit. Biskuitmerupakan makanan
olahan yang sudah sangat dikenal luas dalam kehidupan sehari-hari. Definisi biskuit menurut Standar
Nasional Indonesia (Departemen Perindustrian, 1992) adalah produk makanan kering yang dibuat
dengan cara memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan bahan
pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan lain yang
diizinkan. Biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu sebagai berikut :
Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras,berbentuk pipih, dapat
berkadar lemak tinggi atau rendah dan bila dipatahkanpenampang potongannya bertekstur
padat.
crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui prosesfermentasi atau
pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebih asin danrelatif renyah, serta bila dipatahkan
penampang potongannya berlapis-lapis.
cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemaktinggi, renyah dan
bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurangpadat.
wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar,renyah dan bila
dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.
Macrae (1992) menyebutkan bahwa wafer adalah biskuit yang sangat tipis dengan ketebalan
lebih kecil dari 1 mm dan 4 mm, mempunyai tekstur yang lembut dan renyah serta mempunyai
permukaan yang halus yang dibentuk secara tepat ukuran dan detail permukaannya. Wafer dibentuk
dari adonan yang dipanggang di antara sepasang plat metal yang panas. Wafer hasil pemanggangan
berbentuk sheet atau lembaran yang datar dan besar yang kemudian dilapis krim sebelum pemotongan
dan mungkin juga dilapisi dengan coklat. Bentuk wafer ini disebut dengan wafer flat. Wafer yang
dilapisi dengan coklat disebut wafer coatedsedangkan yang tidak dilapisi disebut uncoated. Ada dua
jenis wafer yang biasanya dijual di pasaran, yaitu wafer flat dan wafer stick. Wafer stick mempunyai
bentuk bulat yang panjang seperti stick. Meskipun demikian banyak variasi jenis wafer lain yang
beredar di pasar seperti bentuk cone untuk es krim, serta wafer yang berbentuk gulungan (rolled) dan
lipatan (folded).
Gambar 1. Produk Wafer : (a) wafer flat coated, (b) wafer flat uncoated
(c) wafer crispy caramel dan (d) wafer stick
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada baik di dalam maupun luar negeri dan standar
yang ditetapkan oleh perusahaan eksportir, makarekomendasi yang dapat diberikan untuk penetapan
standar mutu tepung ubi jalar di Indonesia adalah: kadar airmaksimal 10%, kadar abu maksimal 3%,
kadar lemak maksimal 1%, kadar protein minimal 3%, kadar serat kasarminimal 2%, dan kadar
karbohidrat minimal 85%. Selain persyaratan kimia juga ditetapkan persyaratan fisik
danmikrobiologis. Persyaratan fisik mengikuti persyaratan produk tepung pada umumnya yaitu
bentuk, bau dan warna normal, tidak diperkenankan keberadaan benda-benda asing, dan dengan
tingkat kehalusan minimal 95%produk lolos ayakan 80 mesh (Ambarsari, et al., 2009).
Menurut penelitian Antarlina (1994) tepung ubi jalar mempunyai kadar protein yang rendah.
Untuk meningkatkan kadar protein tepung ubi jalar dalam pembuatan kue, perlu substitusi dengan
tepung yang mempunyai kadar protein yang lebih tinggi. Tepung ubi jalar mempunyai kandungan
karbohidrat paling tinggi dibandingkan tetapi mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah dan
kandungan abu lebih tinggi dari pada tepung jagung.Makin tinggi kandungan abu, warna tepung
menjadi gelap.Tepung dengan kandungan lemak tinggi lebih cepat mengalami kerusakan.Kadar serat
yang lebih tinggi pada tepung ubi jalar menyebabkan warna tepung tidak putih (Zuraida dan Supriati,
2001).Komposisi kimia dan sifat fisik tepung ubijalardapat dilihat pada tabel di bawah.
Keberadaan benda asing dalam produk tidak diperkenankan karena dapat berakibat fatal,
yaitu hilangnya kepercayaan dari pihak konsumen. Adanya benda-benda asing mencerminkan
kecerobohan dan pelaksanaan kerja yang tidak higienis. Yang dimaksud dengan benda-benda asing
adalah berbagai kotoran misalnya tanah, pasir, kerikil, rambut, ataupun sisa kulit umbi. Warna tepung
ubi jalar yang dihasilkan dapat berbeda tergantung dari jenis umbi yang digunakan sebagai bahan
Baku.
Keberadaan antosianin menyebabkan umbi jalar berwarna merah ataupun ungu, sedangkan
keberadaan senyawa karotenoid menyebabkan umbi berwarna kuning atau oranye (kuning
kemarahan). Semakin pekat warna jingga pada umbi, makin tinggi kadar betakorotennya. Hasim dan
Yusuf ( 2008 ) menyebutkan bahwa ubi jalar putih mengandung 260 mg (869 SI) (3-karoten) per 100
g bahan, sedangkan ubi jalar kuning mengandung 2900mg (9675 SI) j3-karoten, dan ubi jalar ungu
atau merah jingga sebesar 9900 mg (32967 SI). Disamping (3-karoten. Suprapta (2003) menyebutkan
ubi jalar ungu mengandung antosianin yang kadarnya dapat mencapai 110,51 mg per 100 g
bahan. Namun demikian masih menurut Hasim dan Yusuf (2008), pada produk tepung ubi jalar,
sebagian ¢-karoten yang terkandung dalam bahan (40%) dapat rusak karena proses pengeringan
(penjemuran). Selainsebagai senyawa pembentuk pigmen, (3-karoten merupakan bahan pembentuk
vitamin A dalamtubuh, sedangkan antosianin memilikikemampuan sebagai antimutagenik
danantikarsinogenik. Selain itu, kandungan antosianin juga memiliki fungsi dalam mencegah
gangguan fungsi hati, antihipertensi, dan dapatmenurunkan kadar gula darah (antihiperglisemik).
Dari beberapa hasil penelitian di Indonesia, tingkat kadar air tepung ubi jalar yang diperoleh
rata-rata adalah 7.81%, dengan kisaran 6.77 - 10.99%. Namun apabila dibandingkan dengan standar
yang digunakan oleh perusahaan eksportir (3.65%), maka nilai tersebut masihrelalif Iinggi.
Perlakuan suhu dan lamapengeringan pada proses pengolahan tepungakan sangat mempengaruhi
kadar air produk yang dihasilkan, Dikernukakan oleh Antarlina ( 1991), umur panen ubi jalar
sebagai bahan baku juga sangat berpengaruh lerhadap kandungan air pada produk tepung yang
dihasilkan.Produk dalam bentuk tepung memang dianjurkan agar memiliki tingkat kadar air yang
rendah karena produk ini sangat riskan terhadap pertumbuhan jamur selama prosespenyimpanannya.
Selain mempengaruhi terjadinya perubahan kimia, kandungan air dalam bahan pangan juga ikut
menentukan kandungan mikroba pada produk pangan tersebul.
Sama halnya dengan kadar air, kadar lemak yang terlampau tiinggi juga kurang
menguntungkan dalam proses penyimpanan tepung karena dapat menyebabkan ketengikan. Kadar
lemak tepung ubi jalar di Indonesia rata rata mencapai 0.75%, namun relalif cukup tinggi
apabila dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan eksportir yaitu0.16%.
Biasanya lemak dalam tepung akan mempengaruhi sifat amilografinya. Lemak akan berikatan
kompleks dengan amilosa yang membentuk heliks pada saa( getatinisasi pati
yang menyebabkan kekenlalan pati (Ilminingtyas dan Kartikawati, 2009).
Tepung yang dihasilkan dari beberapa varietas ubi jalar di Indonesia memeiliki kandungan
abu rata-rata 4-17%, dengan kisaran antara 2,58-5,31%. Hasil ini dapat dikatakan terlampau tinggi
apabila dibandingkan dengan standar yang ditetapkan perusahaan eksportir (2.1 1%) maupun hasil
analisis terhadap tepung ubi jalar di beberapa negara lainnya. Menurut Suarni et al. (2005), tingginya
kadar abu pada bahan menunjukkan tingginya kandungan mineral namun dapat juga disebabkan
oleh adanya reaksi enzimatis (browning enzymatic)yang menyebabkan turunnya derajat pulih
tepung. Ditambahkan oleh Mudjisono dalam Ginting dan Suprapto (2005) bahwa kadar abu yang
tinggi pada bahan tepung kurang disukai karena cenderung memberi warna gelap pada produknya.
Semakin rendah kadar abu pada produk tepung akan semakin baik, karena kadar abu selain
mempengaruhi warna akhir produk juga akan mempengaruhi tingkat kestabilan adonan (Bogasari,
2006).
Beberapa hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa tepung ubi jalar yang
dihasilkan memiliki kadar protein rata-rata mencapai 3.18% (dengan kisaran antara 2.11 --4.46%).
Selain jenis varietas ubi jalar itu sendiri, kandungan protein pada tepung ubi jalar juga dipengaruhi
oleh proses pengupasan pada saat produksi. Menurut Woolfe (1992), kandungan protein tertinggi
pada ubi jalar terletak pada lapisan terluar daging umbi,yang berdekatan dengan kulit luar. Adanya
proses pengupasan yang berlebihan menyebabkan bagian daging ubi jalar yang kaya protein menjadi
ikut terbuang.
Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa kadar serat tepung ubi jalar yang
dihasilkan rata-rata mencapai 3.93% (dengan kisaran 1.95 - 5.54%). Kadar serat yang tinggi pada
tepung ubi jalar dapat meningkatkan nilai lambah produk, karena serat dalam bahan makanan
memiliki nilai positif bagi gizi dan metabolisme pada batas-batas yang masih bisaditerima oleh
tubuh yaitu sebesar 100 mg/kg berat badan/hari (Ilminingtyas dan Kartikawati, 2009).
Ditambahkan oleh Elisabeth dan Ambarsari (2009), kandungan serat tepung ubi jalar
merupakan jenis serat larut yang memiliki kemampuan dalam menyerap kelebihan kadar lemak dan
kolesterol dalam darah, serta sangat baik untuk mencegah gangguan pencernaan dan kanker kolon.
Kandungan karbohidrat rata-rata pada tepung yang dihasilkan dart beberapa jenis ubi jalar
di Indonesia adalah 83.8%. Menu rutWinarno (2002), kadar karbohidrat memiliki peranan
penting dalam menentukan karakteristik suatu bahan makanan, baik rasa, warna, tekstur,dan lain
sebagainya. Andarwulan (2008) mengemu- kakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan penurunan daya cerna pati (karbohidrat) yaitu penggunaan suhu yang terlampau tinggi
pada saat proses pengolahan, interaksi antara pati dengan komponen non pati, dan jumlah resistant
starch yang terdapat dalam pati.
Tepung mocaf
Tepung mocaf dikenal sebagai tepung singkong alternatif pengganti terigu. Kata mocaf
sendiri merupakan singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung singkong yang
dimodifikasi. Tepung mocaf memiliki karakter yang berbeda dengan tepung ubi kayu biasa dan
tapioka, terutama dalam hal derajat viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan kemudahan
melarut yang lebih baik.Prinsip pembuatan tepung mocaf adalah dengan memodifikasi sel ubi kayu
atau singkong secara fermentasi, sehingga menyebabkan perubahan karakteristik yang lebih baik dari
tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan
melarut. Secara umum proses pembuatan mocaf meliputi tahap-tahap sortasi, pengupasan,
pemotongan, perendaman, dan pengeringan.
Adapun komponen yang terkandung dalam tepung Mocaf dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel. Komposisi Kimia Tepung mocaf
Tepung mocaf tidak sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu. Kadar abu mocaf
lebih rendah dari tepung terigu, yaitu 0,30 %, hal ini dapat terjadi karena pada proses pembuatan
mocaf, ada proses perendaman menggunakan air kapur, sehingga kadar abu yang terukur lebih
rendah.Nilai pH mocaf cebderung rendah, hal ini dapat dipahami bahwa pada proses pembuatan
mocaf proses perendaman memang sengajadilakukan. Diketahui bahwa mikroba yang tumbuh pada
singkong selama proses fermentasi akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat
menghancurkan dinding sel umbi singkong sedemikian rupa sehingga terjadi pembebasan granula pati
yang selanjutnya akan terhidrolisis dan menghasilkan monosakarida yang akan digunakan oleh
mikroba untuk membentuk asam-asam organik (Subagio, 2006).
Tepung mocaf memiliki kandungan nutrisi yang berbeda dari tepung terigu. Perbedaan
kandungan nutrisi yang mendasar adalah tepung mocaf tidak mengandung zat gluten (zat yang hanya
ada pada terigu), yang menentukan kekenyalan makanan. Tepung mocaf berbahan baku singkong
memiliki sedikit protein sedangkan tepung terigu berbahan gandum kaya protein. Tepung mocaf lebih
kaya karbohidrat dan memiliki gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut yang lebih baik. Selain
itu, tepung mocaf berwarna putih, lembut, dan tidak berbau singkong. (Salim, 2011:10).
Keunggulan dari tepung mocaf adalah kandungan serat terlarut(soluble fiber) lebih tinggi
dari pada tepung gaplek.Kandungan mineral(kalsium) lebih tinggi (58) dibanding padi (6) dan
gandum (16). Oligasakarida penyebab flatulensi sudah terhidrolis.Mempunyai daya kembang setara
dengan gandum tipe II (kadar protein menengah). Dan daya cerna lebih tinggi dibandingkan dengan
tapioka gaplek.
Tepung jagung
Secara umum terdapat dua metode pembuatan tepung jagung yaitu metode basah dan metode
kering. Berdasarkan hasil penelitian Suarni et al. (2001), penepungan dengan metode basah
(perendaman) menghasilkan rendemen tepung yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode kering
(tanpa perendaman), namun kandungan nutrisi pada penepungan dengan metode kering lebih
tinggi.Kandungan zat gizi tepung jagung cukup baik. Berdasarkan hasil penelitian Suarni (2009),
kadar protein tiga varietas jagung (Anoman-1, Srikandi Putih-1, dan lokal) berkisar 7,54-7,89% pada
metode kering dan 6,70-7,24% pada metode basah. Kadar lemak tepung 2,05-2,38% pada metode
kering lebih tinggi dibandingkan metode basah yang hanya 1,86-2,08%. Kadar lemak yang rendah
akan menguntungkan dari segi penyimpanan karena tepung dapat disimpan lebih lama. Kadar serat
kasar tepung hasil pengolahan kering (1,29-1,89%) lebih tinggi dibandingkan dengan metode basah
(1,05-1,06%). Kadar serat mengalami penurunan dari biji jagung menjadi tepung. Tepung jagung juga
mengandung serat makanan yang dibutuhkan tubuh, bahkan jagung kuning mengandung beta karoten
(provitamin A) dan jagung merah mengandung unsur Fe.
Mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) disajikan pada Tabel
dibawah. Kriteria fisik mutu tepung (bau, rasa, warna) harus normal, yaitu bau spesifik jagung, rasa
khas jagung, warna sesuai dengan varietas jagung (putih, kuning), dan secara umum sesuai spesifik
bahan aslinya. Tepung jagung dapat digunakan dalam pembuatan berbagai produk pangan antara lain
roti, muffins, donat, pancake, makanan bayi, biskuit, wafer, sereal sarapan siap saji dan juga sebagai
bahan pengisi dan pengikat dalam produk olahan daging (Kent & Evers, 1994).
Tabel Syarat mutu tepung jagung berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI)
Sifat fisikokimia tepung jagung beragam, bergantung pada varietas. Oleh karena itu,
pemilihan varietas sebagai bahan tepung jagung akan menentukan kualitas kue kering yang
dihasilkan. Berdasarkan daya serap air, daya serap minyak, dan sifat emulsi, tepung jagung lokal Pulut
memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Hal ini berkaitan dengan
kadar amilosa yang lebih rendah. Daya serap minyak dan daya serap air menunjukkan kemampuan
tepung dalam mengikat air dan minyak, sehingga sifat ini perlu diperhatikan dalam pembuatan adonan
dari tepung tersebut. Sifat emulsi berkaitan erat dengan konsentrat protein dalam bahan. Aktivitas
emulsi adalah kemampuan protein mengambil bagian dalam pembentukan emulsi dan menstabilkan
emulsi yang terbentuk. Kapasitas emulsi merupakan kemampuan larutan atau suspensi untuk
mengemulsikan lemak (Bian et al. 2003). Untuk membentuk emulsi yang stabil maka molekul protein
lebih awal harus menjangkau permukaan air, lemak, kemudian membentang sehingga kelompok
hidrofobik dapat berhubungan dengan fase lemak. Sisi protein penstabil yang disajikan ke fase air
harus bersifat hidrofilik dan memiliki asam amino polar yang bermuatan. Sifat emulsi ini dapat
menguntungkan pada sebagian besar produk makanan termasuk margarin, saus, adonan roti, dan
cake.
Tekstur tepung jagung hasil pemrosesan dengan metode basah agak halus (secara visual) dan
lolos saringan 70 mesh untuk semua varietas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pemrosesantepung
jagung dengan metode basah yang menghasilkan tekstur lebih halusdibandingkan dengan metode
kering (Suardi et al. 2002). Nilai derajat putih tepung bergantung pada bahan dasar jagung yang
diolah. Warna biji pipilan kering jagung Pulut adalah putih susu sehingga nilai derajat putihnya lebih
tinggidibandingkan dengan varietas lokal bukanPulut yang warna bijinya putih bening. Pada
umumnya konsumen lebih memilih tepung yang berwarna putih.
Perbandingan rasio amilosa dan amilopektin suatu bahan berpengaruh pada produk akhir
makanan olahan (Winarno 2002). Varietas lokal Pulut mempunyai kadar amilosa lebih rendah
dibanding varietas lainnya. Pati tersebut bila dipanaskan akan memberi sifat lengket sehingga sesuai
untuk makanan olahan yang membutuhkan adonan liat/lengket.Sifat kimia pati dipengaruhi oleh
perbandingan komposisi amilosa dan amilopektin, bobot molekul, dan struktur yang membentuk
granula pati. Kadar amilosa pati jagung lokal Pulut sebesar 8,99% berpengaruh pada sifat
amilografnya. Suhu awal gelatinisasi lokal Pulut yakni 72°C lebih rendah dibandingkan dengan
varietas Anoman-1 (82°C), Srikandi Putih-1 (81°C), dan lokal non-Pulut (84°C). Waktu awal
gelatinisasi varietas lokal Pulut adalah 20,50 menit, lebih rendah dibandingkan dengan waktu awal
gelatinisasi varietas lainnya (Tabel 4). Kadar gluten tepung jagung yang <1% menunjukkan tepung
tersebut lebih sesuai untuk membuat kue kering dan sejenisnya.
Kadar gluten terigu pada umumnya di atas 10% sehingga mempunyai sifat mengembang
yang diperlukan dalam pembuatan dan pembakaran adonan rerotian, cake dan sejenisnya (Suarni dan
Patong 2002; Suarni dan Zakir 2002).Karakter amilografi diindikasikan oleh proses gelatinisasi, dan
karakteristik tersebut merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas tepung jagung. Waktu
dan suhu awal gelatinisasi tepung setiap varietas jagung berbeda, bergantung pada komposisi
kimianya .
Informasi tentang sifat amilograf tepung dapat membantu pengguna dalam memilih varietas
jagung yang akan digunakan sesuai kebutuhan, karena setiap olahan memerlukan kriteria sifat
amilograf tertentu. Awal gelatinisasi bahan adalah suhu dan waktu di mana gelatinisasi mulai terjadi,
sedangkan waktu dan suhu granula pati pecah dihitung saat gelatinisasi sudah sempurna. Sifat
amilograf tepung yang berbeda ditunjukkan oleh lokal Pulut, yaitu waktu dan suhu awal gelatinisasi
serta waktu dan suhu granula pati pecah lebih rendah dibanding tepung dari varietas lainnya. Hal
tersebut dipengaruhi oleh kadar amilosa pati Pulut (8,99%) yang lebih rendah dibandingkan dengan
varietas lainnya (18,32−20,71%). Winarno (2002), Santosa et al. (2006), serta Widaningrum dan
Purwani (2006) menyatakan bahwa kadar amilosa suatu bahan pangan berpengaruh pada sifat
amilografnya. Viskositas puncak adalah kriteria yang digunakan untuk mengetahui kemampuan
tepung atau pati dalam mempertahankan granulanya akibat proses pemanasan.
Dalam air dingin, granula pati terdispersi dan membentuk larutan berviskositas rendah.
Viskositas larutan pati meningkat drastis bila mengalami pemanasan hingga mencapai suhu ± 80°C
disertai pengadukan. Suhu saat larutan pati mulai mengental disebut suhu gelatinisasi. Gelatinisasi
pati merupakan proses endoterm yang terjadi karena adanya air. Suhu gelatinisasi pati tepung jagung
berbeda, bergantung pada varietas. Perbedaan suhu tersebut disebabkan oleh perbandingan kadar
amilosa dan amilopektin (Santosa et al. 2006; Widaningrum dan Purwani 2006). Bentuk granula juga
merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati jagung mempunyai ukuran granula yang cukup besar
dan tidak homogen, yaitu untuk yang kecil 1−7 m dan untuk yang besar 15−20 m. Granula besar
berbentuk oval polihedral dengan diameter 6−30 m. Granula pati yang berukuran kecil mempunyai
ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar. Bentuk
granula pati tepung jagung varietas unggul Anoman-1, yaitu jagung khusus untuk pangan,
dibandingkan dengan granula tepung terigu. Ukuran granula terigu lebih kecil dibanding granula pati
jagung (Suarni et al. 2008).
Tepung beras
Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar
butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi utama yaitu amilosa dan
amilopektin. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi empat bagian yaitu beras
ketan (1-2%), beras beramilosa rendah (9-20%), beras beramilosa sedang (20-25%) dan beras
beramilosa tinggi (25-33%) (Winarno 1997).
Beras beramilosa rendah (9-20%) cocok untuk pembuatan makanan bayi, makanan sarapan,
dan makanan selingan, karena sifat gelnya yang lunak. Pembuatan roti dari tepung beras atau
campuran tepung beras dan terigu (30:70) menggunakan beras dengan kadar amilosa rendah, suhu
gelatinisasi rendah, dan viskositas gel yang rendah akan menghasilkan roti yang baik. Beras yang
mengandung kadar amilosa sedang sampai tinggi (20-27%) dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan beras pratanak dalam kaleng dan sup nasi dalam kaleng. Beras beramilosa tinggi dapat
digunakan sebagai bahan bakupembuatan bihun. Beras jenis ini mempunyai stabilitas dan daya tahan
untuk tetap utuh dalam pemanasan tinggi, serta mempunyai sifat retrogradasi yang kuat, sehingga
setelah dingin pasta yang terbentuk menjadi kuat, tidak mudah hancur atau remuk (Siwi & Damardjati
1986). Tepung beras diperoleh dari penggilingan atau penumbukan beras dari tanaman padi (Oryza
sativa Linn). Penggilingan butir beras ke dalam bentuk tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
cara kering dan cara basah. Kedua cara ini pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga dari bagian
tepung. Tepung beras diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan ukuran partikelnya, yaitu butir
halus (>10 mesh), tepung kasar atau bubuk (40 mesh), tepung agak halus (65-80 mesh), dan tepung
halus (≥ 100 mesh) (Hubeis 1984).
Penggilingan beras menjadi bentuk tepung dapat meningkatkan daya gunanya sebagai
penyedia kebutuhan kalori dan protein bagi manusia, serta bahan baku industri pangan, meskipun
kandungan zat gizinya menjadi lebih rendah. Ukuran partikel tepung beras juga berpengaruh terhadap
sifat-sifat fungsionalnya. Tepung yang mempunyai ukuran lebih halus mempunyai penyerapan air
yang lebih tinggi. Kerusakan pati pada tepung yang berukuran kasar lebih rendah daripada tepung
halus. Tepung jenis ini lebih banyak digunakan untuk pembuatan roti yang menggunakan bahan 100%
tepung beras, sedangkan tepung halus yang mengalami kerusakan pati yang lebih tinggi lebih disukai
untuk tepung campuran yang mengandung 36% tepung beras (Nishita & Bean 1982).
Wafer dibuat dengan cara minyak kelapa sebanyak 100gram dan gula halus 80 gram di kocok
hingga putih. Setelah itu, tambahkan telur putihnya saja sebanyak 4 butir dan kocok kembali. Setelah
tercampur merata masukkan tepung sesuai dengan pembagian pada tiap kelompok. Pada pembuatan
wafer ini tepung yang digunakan untuk kelompok 4 menggunakan tepung ubi, kelompok 5 tepung
mocaf dan kelompok 6 menggunakan tepung beras. Khusus untuk kelompok yang menggunakan
tepung mocaf, sebelum dicampurkan dalam adonan tepung disangrai terlebih dahulu supaya lebih
kering dan wafer yang dihasilkan menjadi lebih renyah. Setelah itu tambahkan garam sebanyak 5
gram dan vanili 1 sendok teh, kocok adonan sampai tercampur merata.
Produk yang diuji adalah wafer dengan parameter tekstur, dengan kode produk 1 untuk wafer
kelompok 6 , produk 2 untuk wafer kelompok 5, dan produk 3 untuk wafer kelompok 4. Nilai rata-rata
penilaian terhadap tekstur pada tiap jenis wafer diurutkan dari paling kecil hingga paling besar, 3,067
untuk wafer produk 3; 3,567 untuk wafer produk 1 dan 3,6 untuk wafer produk 2. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa wafer produk 2 yaitu wafer yang terbuat dari tepung mocaf lebih disukai daripada
wafer yang terbuat dari tepung beras serta wafer yang terbuat dari tepung ubi , karena wafer produk 1
mempunyai penilaian yang paling tinggi yaitu 3,6, dimana semakin tinggi tingkat penilaian maka
teksturwafer tersebut akan semakin disukai. Dengan kata lain, panelis lebih menyukai teksturwafer
yang terbuat dari mocaf dibanding wafer yang terbuat dari tepung beras atau tepung ubi.
Berdasarkan pengolahan data hasil pengujian diperoleh nilai F hitung sebesar 4,0895
kemudian dibandingkan dengan F tabel yang bernilai 3,15 pada tingkat kepercayaan 5%. Ternyata
nilai F hitung lebih besar dari F tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nyata
antar sampel. Untuk mengetahui sampel mana yang sama atau lebih dari yang lain, maka diperlukan
analisis lebih lanjut terhadap sampel tersebut. Analisis yang dimaksud adalah berupa uji Duncan.
Berdasarkan pengolahan data hasil pengujian dapat diperoleh kesimpulan bahwa tingkat
kesukaan panelis terhadap tekstur wafer produk 1 tidak sama dengan wafer produk3, begitupun
dengan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur wafer produk 2 tidak sama dengan tekstur produk 3.
Namun, tingkat kesukaan panelis terhadap teksturwafer produk 2 sama dengan wafer produk 1.
Dengan kata lain, tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur wafer produk 3 berbeda dengan kedua
wafer lainnya (wafer produk 1 dan wafer produk 2). Sehingga dapat ditarik kesimpulan kembali
bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur wafer yang terbuat dari tepung beras tidak sama
dengan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur wafer yang terbuat dari tepung ubi, begitupun
dengan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur wafer yang terbuat dari mocaf tidak sama dengan
tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur wafer yang terbuat dari tepung ubi. Namun, tingkat
kesukaan panelis terhadap tekstur wafer yang terbuat dari tepung mocaf sama dengan tingkat
kesukaan panelis terhadap tekstur wafer yang terbuat dari tepung beras. Dengan kata lain, tingkat
kesukaan panelis terhadap tekstur wafer yang terbuat dari tepung ubi berbeda dengan kedua wafer
lainnya.
Parameter pengujian lainnya adalah rasa, dengan kode produk 1 untuk wafer kelompok 6 ,
produk 2 untuk wafer kelompok 5, dan produk 3 untuk wafer kelompok 4. Nilai rata-rata penilaian
terhadap rasa pada tiap jenis wafer diurutkan dari paling kecil hingga paling besar, 2,6 untuk wafer
produk 2; 2,83 untuk wafer produk 1 dan 3,43 untuk wafer produk 3. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa wafer produk 3 yaitu wafer yang terbuat dari tepung ubi lebih disukai daripada wafer yang
terbuat dari tepung beras serta wafer yang terbuat dari tepung mocaf, karena wafer produk 2
mempunyai penilaian yang paling tinggi yaitu 3,43, dimana semakin tinggi tingkat penilaian maka
rasawafer tersebut akan semakin disukai. Dengan kata lain, panelis lebih menyukai rasa wafer yang
terbuat dari tepung ubi dibanding wafer yang terbuat dari tepung beras atau tepung mocaf.
Berdasarkan pengolahan data hasil pengujian diperoleh nilai F hitung sebesar 8,8725
kemudian dibandingkan dengan F tabel yang bernilai 3,15 pada tingkat kepercayaan 5%. Ternyata
nilai F hitung lebih besar dari F tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nyata
antar sampel. Untuk mengetahui sampel mana yang sama atau lebih dari yang lain, maka diperlukan
analisis lebih lanjut terhadap sampel tersebut. Analisis yang dimaksud adalah berupa uji Duncan.
Berdasarkan pengolahan data hasil pengujian dapat diperoleh kesimpulan bahwa tingkat
kesukaan panelis terhadap rasawafer produk 1 tidak sama dengan rasa wafer produk3, begitupun
dengan tingkat kesukaan panelis terhadap rasa wafer produk 2 tidak sama dengan rasa produk 3.
Namun, tingkat kesukaan panelis terhadap rasa wafer produk 2 sama dengan rasa wafer produk 1.
Dengan kata lain, tingkat kesukaan panelis terhadap rasa wafer produk 3 berbeda dengan kedua wafer
lainnya (wafer produk 1 dan wafer produk 2). Sehingga dapat ditarik kesimpulan kembali bahwa
tingkat kesukaan panelis terhadap rasa wafer yang terbuat dari tepung beras tidak sama dengan tingkat
kesukaan panelis terhadap rasa wafer yang terbuat dari tepung ubi, begitupun dengan tingkat kesukaan
panelis terhadap rasa wafer yang terbuat dari mocaf tidak sama dengan tingkat kesukaan panelis
terhadap rasa wafer yang terbuat dari tepung ubi. Namun, tingkat kesukaan panelis terhadap rasa
wafer yang terbuat dari tepung mocaf sama dengan tingkat kesukaan panelis terhadap rasa wafer yang
terbuat dari tepung beras. Dengan kata lain, tingkat kesukaan panelis terhadap rasa wafer yang terbuat
dari tepung ubi berbeda dengan kedua wafer lainnya.
Parameter pengujian lainnya adalah aroma, dengan kode produk 1 untuk wafer kelompok 6 ,
produk 2 untuk wafer kelompok 5, dan produk 3 untuk wafer kelompok 4. Nilai rata-rata penilaian
terhadap aroma pada tiap jenis wafer diurutkan dari paling kecil hingga paling besar, 3,067 untuk
wafer produk 1; 3,1 untuk wafer produk 3 dan 3,367 untuk wafer produk 2. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa wafer produk 2 yaitu wafer yang terbuat dari tepung mocaf lebih disukai daripada
wafer yang terbuat dari tepung beras serta wafer yang terbuat dari tepung ubi, karena wafer produk 2
mempunyai penilaian yang paling tinggi yaitu 3,367, dimana semakin tinggi tingkat penilaian maka
aromawafer tersebut akan semakin disukai. Dengan kata lain, panelis lebih menyukai aromawafer
yang terbuat dari tepung mocaf dibanding wafer yang terbuat dari tepung beras atau tepung ubi.
Berdasarkan pengolahan data hasil pengujian diperoleh nilai F hitung sebesar 1,368
kemudian dibandingkan dengan F tabel yang bernilai 3,15 pada tingkat kepercayaan 5%. Ternyata
nilai F hitung jauh lebih kecil dari F tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nyata
antar sampel. Maka, tidak perlu dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan. Dengan kata lain, panelis
memberikan respon hasil hedonik terhadap aroma wafer yang berbeda nyata antar sampel.
Parameter pengujian lainnya adalah warna, dengan kode produk 1 untuk wafer kelompok 6 ,
produk 2 untuk wafer kelompok 5, dan produk 3 untuk wafer kelompok 4. Nilai rata-rata penilaian
terhadap warnapada tiap jenis wafer diurutkan dari paling kecil hingga paling besar, 2,9 untuk wafer
produk 2; 3,2 untuk wafer produk 3 dan 3,4 untuk wafer produk 2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
wafer produk 2 yaitu wafer yang terbuat dari tepung mocaf lebih disukai daripada wafer yang terbuat
dari tepung beras serta wafer yang terbuat dari tepung ubi , karena wafer produk 2 mempunyai
penilaian yang paling tinggi yaitu 3,4, dimana semakin tinggi tingkat penilaian maka warnawafer
tersebut akan semakin disukai. Dengan kata lain, panelis lebih menyukai warnawafer yang terbuat dari
tepung mocaf dibanding wafer yang terbuat dari tepung beras atau tepung ubi.
Berdasarkan pengolahan data hasil pengujian diperoleh nilai F hitung sebesar 2,885
kemudian dibandingkan dengan F tabel yang bernilai 3,15 pada tingkat kepercayaan 5%. Ternyata
nilai F hitung jauh lebih kecil dari F tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nyata
antar sampel. Maka, tidak perlu dilakukan uji lanjut, yaitu uji Duncan. Dengan kata lain, panelis
memberikan respon hasil hedonik terhadap warna wafer yang berbeda nyata antar sampel.
2. PRODUK EKSTRUDAT
Menurut Badan Standardisasi Nasional (2000) yang dimaksud dengan makanan ringan
ekstrudat ialah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari bahan baku tepung dan atau
pati untuk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang
diizinkan denganatau tanpa melalui proses penggorengan. Untuk menghasilkan produk ini dan
memasarkannya secara luas, maka terdapat beberapa syarat mutu yang harus sesuai dengan SNI 01-
2886-2000. Tetapi perlu diperhatikan bahwa definisi menurut Badan Standardisasi Nasional ini hanya
mencakup hasil ekstrusi untuk makanan ringan saja, sedangkan masih banyak sekali produk olahan
makanan lain yang dihasilkan oleh teknologi ekstrusi dan memiliki standar industri masingmasing.
Produk-produk yang dihasilkan oleh teknologi ekstrusi, termasuk serbukminuman, biskuit,
kraker, produk crispy serupa roti, breadcrumb, crouton, bahan makanan kaya serat dan untuk
keperluan diet, pasta siap saji, sup yang dikeringkan dan produk siap saji lainnya, produk-produk
makanan dengan kandungan air sedang, liquorice dan produk kembang gula lainnya, makanan hewan,
snack, TVP, makanan bayi dan berbagai produk lainnya (Linko et. al., 1982).
Pada dasarnya proses ekstrusi terdiri dari pendorongan formula melaluiulir ekstruder dan
keluar melalui lubang pencetak dengan berbagai ukuran.(extrusionoregon)Teknologi ulir ganda (twin
screw) pada ekstruder merupakanteknologi yang relatif baru bila dibandingkan dengan metode
pemasakan danpencampuran konvensional. Banyak produk-produk baru yang dihasilkan
olehekstruder ulir ganda, tetapi kebanyakan para penggunanya enggan untukmengungkapkan
formulasi dan metode pemasakan yang mereka gunakan. Kitamungkin akan terkejut dengan
banyaknya jenis produk yang dihasilkan denganekstruder ulir ganda.
Contoh produk-produk yang dihasilkan oleh ekstruder ulir gandadiantaranya ialah pasta
almond, makanan bayi (makanan-makanan yang berbahandasar beras, gandum, dan oat), produk
kembang gula (licorice, permen karet,permen batangan, permen soft centers dan coklat), kaseinat,
sereal (flake jagung,bran, gandum, rice crispy, oat, produk sereal yang mengembang dan kaya
akanserat, siap untuk dimakan), kue-kue (produk ko-ekstrusi dengan berbagai macamfilling), pakan
ikan (pakan untuk ikan di akuarium dan pakan komersial untuksalmon, trout dan catfish) roti
flatbread dalam berbagai macam rasa (isi buahbuahan,kaya serat dan whole wheat), berbagai macam
flavor, makanan kaya serat,makanan siap saji dancampuran minuman siap saji, pati yang dimodifikasi
sebagaibahan fungsional, makanan hewan peliharaan, snack untuk hewan peliharaan, kejuolahan,
produk-produk snack (snack yang jenisnya mengembang dengan berbagaimacam bentuk seperti
keriting, bola, snack ko-ekstrusi dan pelet), pakan udangdan TVP (Texturized Vegetable Protein).
Teknologi ekstrusi ulir gandasebenarnya telah digunakan selama bertahun-tahun untuk pengolahan
komponenplastik dan baru-baru ini untuk kosmetik (Clextral, 2007).
Ekstrusi adalah suatu proses dimana bahan dipaksakan oleh sistem ulir untuk mengalir dalam
suatu ruangan yang sempit sehingga akan mengalami pencampuran dan pemasakan sekaligus. Sumber
panas utama dalam proses ekstrusi berasal dari konversi energi mekanik (gesekan) yaitu akibat
gesekan antar bahan dan gesekan antar bahan dengan ulir. Kerja ulir tersebut juga menghasilkan
akumulasi tekanan dalam sistem barrel ekstruder, bahan dipaksakan keluar melalui cetakan (die) yang
kecil ukurannya dan kembali ke tekanan normal (atmosfer) secara seketika yaitu ketika produk
melewati die (Oktavia, 2007).
Prinsip ekstrusi banyak digunakan untuk keperluan-keperluan yang berkaitan dengan industri
logam, polimer, plastik, dan produk makanan pasta, tetapi karena prinsipnya yang sama, ekstrusi dapat
diterapkan pada proses pengolahan produk-produk makanan secara luas (Pratama, 2007). Teknologi
ekstrusi berperan penting di industri pangan karena merupakan proses yang bersifat efisien. Di dalam
proses ekstrusi, dilakukan kombinasi dari beberapa proses meliputi pencampuran, pemasakan,
pengadonan, penghancuran, pencetakan, dan pembentukan. Saat ini, fungsi pengolahan dengan
ekstrusi juga mencakup separasi, pendinginan dan pemanasan, penghilangan senyawa volatil dan
penurunan kadar air, pembentukan cita rasa dan bau, enkapsulasi, serta sterilisasi (Estiasih & Ahmadi,
2009).
Teknik ekstrusi dapat berupa pengolahan suhu rendah seperti pada pasta, atau pengolahan
suhu tinggi seperti pada makanan ringan. Tekanan yang digunakan dalam ekstruder berfungsi
mengendalikan bentuk, menjaga air dalam kondisi cair yang sangat panas, dan meningkatkan
pengadukan. Tekanan yang digunakan bervariasi antara 15 sampai lebih dari 200 atm. Tujuan utama
ekstrusi adalah untuk meningkatkan keragaman jenis produk pangan dalam berbagai bentuk, tekstur,
warna, dan cita rasa. Pemasakan ekstrusi adalah kombinasi dari sebuah pompa dan sebuah pengubah
panas. Bahan baku masuk ke dalam ekstruder melalui hopper (wadah penampung) dan terdorong ke
depan mengarah ke die (cetakan) oleh putaran satu atau lebih ulir. Pemasakan ekstrusi dengan proses
suhu tinggi waktu pendek (HTST, high temperature short time) dapat mencegah kontaminasi mikroba
dan inaktivasi enzim (Estiasih & Ahmadi, 2009).
Alat ekstrusi (ekstruder) terdiri dari suatu ulir (sejenis ulir bertekanan) yang menekan bahan
baku sehingga berubah menjadi bahan semipadat. Bahan tersebut ditekan keluar melalui suatu lubang
terbatas (cetakan/die) pada ujung ulir. Jika bahan baku tersebut mengalami pemanasan maka proses
ini disebut pemasakan ekstrusi (ekstrusi panas). Ciri utama proses ekstrusi adalah sifatnya yang
kontinu. Alat ekstruder dioperasikan dalam kondisi kesetimbangan dinamis, yaitu input setara dengan
output, atau bahan yang masuk setara dengan produk yang dihasilkan. Untuk mendapatkan
karakteristik ekstrudat tertentu, bahan yang masuk dan kondisi pengoperasian harus diatur sedemikian
rupa sehingga perubahan kimia yang terjadi dalam barrel (tabung dalam ekstruder) sesuai dengan
yang diinginkan (Estiasih & Ahmadi, 2009).
Ekstruder yang biasanya tersedia di pasaran adalah dari jenis ekstruderulir tunggal (single
screw extruder/SSE) dan ekstruder ulir ganda (twin screwextruder/TSE) yang dapat digunakan secara
luas pada produksi bahan-bahanmakanan komersial. Model twin screw extruder (TSE) lebih sering
dipilih olehperusahaan-perusahaan pengolah makanan. Model ini merupakan pilihan yangtepat untuk
melakukan diversifikasi jenis-jenis makanan, dikarenakankemampuannya yang baik dalam mengatur
daya tekan mekanis dan daya gilingefektif pada adonan di dalam selubung mesin ekstruder (barrel)
(Baianu, 1992).
Ekstruder tipe ulir biasanya dikelompokkan berdasarkan seberapa banyak energi mekanis
yang dapat dihasilkan. Sebagai contoh, ekstruder dengan energimekanis yang rendah dirancang untuk
mencegah proses pemasakan pada adonanbahan. Ekstruder tipe ini biasanya digunakan pada
pembuatan pretzel, pasta danbeberapa jenis makanan ringan dan sereal. Ekstruder dengan energi
mekanistinggir dirancang untuk memberikan energi yang besar agar dapat diubah menjadipanas untuk
mematangkan adonan bahan dan biasa digunakan dalam produksimakanan hewan, makanan ringan
dengan bentuk mengembang dan sereal (Frame, 1994).
Dalam hal mekanisme penggerakkan bahan dalam ekstruder, terdapat perbedaan yang
nyata antara ekstruder ulir tunggal dan ganda. Pada ekstruder ulirtunggal daya untuk menggerakkan
bahan berasal dari pengaruh dua gesekan, yangpertama adalah gesekan yang diperoleh dari ulir dan
bahan sedangkan yang keduaadalah gesekan antara dinding barrel ekstruder dan bahan. Ekstruder ulir
tunggalmembutuhkan dinding barrel ekstruder untuk menghasilkan kemampuanmenggerakkan yang
baik, maka dari itulah dinding selubung ekstruder padaekstruder ulir tunggal memainkan peran
penting dalam menentukan rancanganekstruder (Linko, et. al. dalam Jowitt, 1982).
SSE memiliki ulir yang berputar di dalam sebuah barrel. Jika bahan yang diolah menempel
pada ulir dan tergelincir dari permukaan barrel, maka tidak akanada produk yang dihasilkan dari
ekstruder karena bahan ikut berputar bersama ulirtanpa terdorong ke depan. Untuk menghasilkan
output produksi yang maksimalmaka bahan harus dapat bergerak dengan bebas pada permukaan ulir
danmenempel sebanyak mungkin pada dinding.Pada umumnya zona operasi pada SSE (tergantung
spesifikasi mesin)terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
Solid transport zone yang terletak di bawah hopper/feeder. Pada zona inibahan digerakkan dalam
bentuk bubuk atau granula. Berhubung outputproduk yang dihasilkan harus sama dengan input
bahan yang dimasukkanmaka perencanaan yang buruk pada zona ini akan membatasi output
yangdihasilkan.
Melting zone. Pada zona ini bahan padat akan dipanaskan
Pump zone. Pada bagian pertama zona ini, tinggi saluran berkurangdisebabkan oleh peningkatan
diameter dari ulir. Pada zona ini bahanmengalami tekanan untuk mengurangi jumlah ruang-ruang
kosong padabahan. Pada bagian kedua zona ini yang disebut juga sebagai meteringzone, bahan
digerakkan dan dihomogenisasi lebih lanjut. Pada beberapaekstruder peningkatan tekanan terjadi
di zona ini.
Kadang-kadang diperlukan beberapa zona tambahan selain tiga zona di atas,tetapi hal ini
dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Zona tambahan diperlukanuntuk menyediakan daya tekan
tambahan untuk pengadonan, homogenisasi bahandan daerah dengan tekanan rendah untuk
mengeluarkan udara dari bahan-bahanyang dipanaskan.Pada Pump zone dimana saluran ulir dipenuhi
oleh adonan bahan terdapattiga jenis aliran yang dapat dibedakan :
Drag flow disebabkan oleh pengaruh bersinggungannya bahan denganbarrel dan permukaan ulir.
Pressure flow yang disebabkan oleh tekanan yang meningkat pada ujungekstruder (die). Arah dari
aliran ini berlawanan dengan arah drag flow.
Leakage flow. Aliran melalui celah antara barrel dan gerigi ulir. (Janssen,1978).
Ekstruder ulir tunggal (sumber: www.uea.ac.uk/~h007/extruder/)
SSE mengandalkan pada drag flow untuk menggerakkan bahan dalam barrel dan
menghasilkan tekanan pada die. Agar bahan terdorong maju maka bahan tidak boleh ikut berputar
dengan ulir. Sama saja seperti cara kerja sebuah sekrup dan mur, agar sekrup bergerak maju maka mur
harus dalam keadaan diam bukannya ikut bergerak dengan sekrup (Levine dan Miller dalam Heldman
dan Lund, 2007). Hingga saat ini ekstruder ulir tunggal masih digunakan secara luas pada banyak
jenis produksi pangan dan pakan. Alasan kenapa hingga sekarang orangorang masih menggunakan
ekstruder ulir tunggal ialah karena pada kala itu alat ini merupakan satu-satunya alternatif untuk
menggantikan metode pengolahan konvensional. Secara keseluruhan memang proses ekstruder tipe ini
jauh lebih unggul dibanding metode pengolahan konvensional tetapi sekarang TSE yang jauh lebih
maju dari segi teknologi mampu menawarkan banyak keuntungan bagi para pengolah. Bersamaan
dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang menyadari keuntungan-keuntungan yang
ditawarkan maka mereka akan lebih cenderung untuk menggunakan TSE (Clextral, 2007).
Pada ekstruder ulir ganda, dua ulir yang paralel ditempatkan dalam barrel berbentuk angka 8.
Jarak ulir yang diatur dengan rapat akan mengakibatkan bahan bergerak di antara ulir dan barrel
dalam sebuah ruang yang berbentuk C. Tujuannya ialah untuk mengatasi keterbatasan pada hasil kerja
SSE seperti tergelincirnya bahan dari dinding barrel. Sebagai hasilnya bahan akan terhindar dari
aliran balik (negarif) ke arah bahan masuk tetapi digerakkan pada arah positif yaitu menuju die tempat
bahan keluar. Pada ekstruder tipe ini gesekan pada dinding barrel tidak terlalu penting untuk
diperhatikan walaupun sebenarnya hal ini tergantung dari proses pengolahan apa yang dilakukan.
Tetapi bentuk geometris ulir sangatlah penting untuk diperhatikan karena bentuk ulir ini dapat
menyebabkan peningkatan tekanan pada ruang ekstruder yang akan menyebabkan aliran bahan dari
satu ruang ke ruang yang lain baik ke arah negatif maupun positif (Linko, et. al. dalam Jowitt, 1982).
Secara umum, ulir pada ekstruder ulir ganda dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu
ulir intermeshing dan non-intermeshing. Pada ulir ekstrudertipe non-intermeshing, jarak antara poros
ulir setidaknya sama dengan diameterluar ulir. Sedangkan pada ulir tipe intermeshing, jarak antar
poros ulir lebih kecildaripada diameter luar ulir, atau permukaan ulir dimungkinkan dalam
keadaansaling bersentuhan. Pada ulir tipe ini bahan yang tergelincir dari dinding barrelmenjadi tidak
mungkin karena ulir intermeshing yang satu akan mencegah bahanpada ulir lain untuk berputar
dengan bebas (Linko, et. al. dalam Jowitt, 1982).Selain dua kategori utama tersebut, terdapat juga
beberapa jeniskonfigurasi ulir pada ekstruder ulir ganda berdasarkan arah putarannya. Yangpertama
ialah intermeshing/non-intermeshing counter rotating, dimana pada tipeini arah putaran ulir saling
berlawanan. Kedua ialah tipe intermeshing/nonintermeshingco-rotating, dimana arah putaran ulir
sama. Selain itu ada jugakonfigurasi ulir self wiping dimana bentuk kedua ulirnya berbeda dengan ulir
tipeintermeshing. Semua perbedaan jenis ulir dan arah putarannya tersebut akanmenghasilkan
karakteristik aliran, mekanisme gerak bahan dan pencampurandengan pengaruh yang berbeda-beda
pada bahan karena tipe-tipe ulir tersebutmemiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Gambar. Contoh Kerapatan Ulir Intermeshing, Counter Rotating
Sumber : van Zuilichem, et. al. dalam Jowitt 1982.
Gambar. Tipe-tipe Ulir
a. counter rotating, intermeshing
b. co-rotating, intermeshing
c. counter rotating, non-intermeshing
d. co-rotating, non-intermeshing(Janssen, 1978).
Gambar Dua Ulir Paralel Pada Ekstruder Ulir Ganda
Sumber : van Zuilichem, et. al. dalam Jowitt 1982.
Ekstruder ulir ganda memiliki kapasitas yang lebih besar dalammenghasilkan produk
walaupun ekstruder ulir ganda biasanya beroperasi dengan kecepatan putaran yang rendah (20 – 60
rpm) daripada ekstruder ulir tunggal (100 – 400 rpm). Hal ini menunjukkan sangat efektifnya
ekstruder ulir ganda dalam menggerakkan bahan (van Zuilichem, et. al. dalam Jowitt 1982). Ekstruder
ulir ganda dikembangkan untuk mengatasi beberapa keterbatasan kemampuan kerja dari ekstruder ulir
tunggal (Single ScrewExtruder). Bila dibandingkan dengan ekstruder ulir tunggal, ada beberapa
keuntungan yang dapat diperoleh dengan penggunaan ekstruder ulir ganda, diantaranya ialah : Aliran
produk dari awal hingga akhir dapat dikendalikan atau diawasi dengan lebih baik. Pada ekstruder ulir
ganda, hasil kerja dua ulir menggerakkan produk melalui barrel ekstruder. Pada ekstruder ulir tunggal
produk bergerak sebagai akibat dari gesekan antara ulir dan dinding barrel.
Ekstruder ulir tunggal sering mengalami selip (slippage) dan tersumbat (surging). Slippage
terjadi ketika tekanan tinggi di dalam barrel menyebabkan produk menjadi tergelincir antara ulir dan
dinding barrel. Hal ini akan menyebabkan tahap pemasakan dan pengolahan yang dijalani produk
tidak sempurna. Surging terjadi ketika produk tertahan dari aliran bahan yang seharusnya terus
bergerak ke arah ujung ekstruder (die). Bila proses produksi terus berjalan maka tekanan akan
meningkat dan akhirnya produk pecah tidak beraturan ketika melalui die. Hal ini akan mengakibatkan
produk yang masih belum matang dan bentuk yang dihasilkan tidak sesuai dengan keinginan.
Semua faktor yang berpengaruh pada pengolahan dengan proses ekstrusi dapat diatur lebih
baik dengan menggunakan ekstruder ulir ganda. Semua parameter pengolahan seperti suhu, tekanan,
kecepatan ulir, kandungan air dan kecepatan aliran bahan dapat diubah dengan leluasa. Hal ini akan
memberikan pengendalian yang maksimal pada proses ekstrusi. Pada ekstruder ulir tunggal faktor-
faktor pengolahan seperti di atas dapat disesuaikan juga, tetapi pada tingkat yang jauh lebih rendah.
Proses pencampuran pada TSE menyebabkan tahap pencampuran bahan yang lebih baik
dibandingkan dengan proses pencampuran yang dihasilkan oleh ekstruder ulir tunggal. Di samping
itu, TSE mampu melakukan tahaptahap pencampuran yang lebih beragam sebagai hasil kerja dari
komponen-komponen seperti cakram pencampur yang rumit bentuknya, ulir-ulir dengan arah putaran
yang dapat diatur, kepadatan gerigi, daya giling dan jarak antar ulir yang dapat diatur. Kesemuanya itu
akan menghasilkan proses pencampuran bahan yang dilaksanakan dengan sangat baik. TSE dapat
mengolah partikel dengan beragam ukuran dan dalam waktu yang sama menjamin tahap pencampuran
bahan dan keseluruhan pengolahan berjalan dengan baik.
Bagian dalam TSE dapat dibersihkan secara otomatis (pada ulir tipe selfwhiping), karena dua
ulir yang terdapat dalam barrel TSE dapat salingmembersihkan. Hal ini disebabkan karena putaran
yang dihasilkan salahsatu ulir dapat membersihkan ulir yang lain dari sisa-sisa bahan.
Ekstruderdengan ulir tunggal tidak memiliki kemampuan ini dan sangat rentanterhadap “titik mati”
yang sukar dibersihkan. Pada titik ini produk sisayang tidak terbawa aliran bahan akan melekat pada
ulir. Produk sisa iniakan terbakar lalu lepas dan menyumbat die, hal ini akan mengakibatkanbarrel
menjadi rusak.
TSE memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dibandingkan denganekstruder ulir tunggal.
Sebagian besar produk olahan bahan makanan yangdapat dihasilkan oleh ekstruder ulir tunggal dapat
pula dihasilkan olehTSE, tetapi tidak sebaliknya. TSE dapat mengolah produk pada kelembaban yang
lebih tinggi, mengolah bahan kering pada berbagaimacam ukuran partikel. Sementara pada ekstruder
ulir tunggal agarpengolahan berjalan optimal maka bahan-bahan yang dibutuhkan harusmemiliki
ukuran partikel yang seragam. TSE juga dapat mengolah bahanbahandengan kandungan lemak dan
gula yang lebih tinggi dari bahanbahanyang dapat diolah dengan menggunakan ekstruder ulir tunggal.
Tahap scale-up dengan TSE dapat lebih diprediksi. Proses peralihan daripengembangan
laboratorium ke produksi secara menyeluruh merupakanmasalah utama dari ekstruder ulit tunggal.
Sementara pada TSE bukanmerupakan masalah selama data yang diperoleh itu benar dan
terusdirekam selama riset dan pengembangan produk baru. TSE memberikanpengendalian yang
sangat akurat atas parameter produksi, yang mana halini sangat penting dalam tahap scale-
up.Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakanekstruder ulir ganda/Twin Screw
Extruder (TSE) bila dibandingkan denganmetode pengolahan konvensional diantaranya TSE mampu
menghasilkan produk baru. Hanya dengan menggunakan satuekstruder saja kita dapat menghasilkan
produk dengan pilihan bentuk danjenis yang beragam. Metode konvensional membatasi kita pada
hanya satuproses pengolahan saja karena memang alat yang digunakankemampuannya memang
terbatas. Sebagai contoh mixer hanya dapatdigunakan untuk mencampur bahan saja tidak bisa
digunakan untuk tahappengolahan yang lain seperti memasak adonan dan mencetak.
Ekstrudermemberikan kita fleksibilitas yang luar biasa dalam mengolah bahan dankontrol proses
pengolahan yang belum tentu tersedia dalam metodekonvensional.
TSE berperan sebagai suatu sistem pengolahan yang lengkap, oleh karenaitu menghasilkan
produktivitas yang tinggi. Bahan-bahan dicampur,dimasak, dibentuk dan diadoni dalam satu proses
yang berkesinambungan.Beberapa ekstruder yang telah tersedia saat ini sudah bisa menghasilkanlebih
dari 16 ton produk jadi per jamnya.TSE menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Kemampuan
kerjaekstruder memberikan kendali yang hampir tak terbatas terhadap prosesprosespengolahan yang
dialami bahan dan perubahan-perubahan yangdikehendaki pada produk dapat dilakukan dengan
mudah selama prosespemasakan berlangsung. Hal ini memberikan kontrol yang penuh terhadapproses
pemasakan dan pengolahan produk. Di samping itu metodepemasakan HTST dalam TSE mampu
menghasilkan produk yangberkualitas. Temperatur tinggi yang digunakan akan
membunuhmikroorganisme berbahaya, di saat yang bersamaan dapat meminimalisasihilangnya zat
gizi dan flavor pada makanan yang sedang diolah.
Ekstruder membutuhkan biaya yang rendah bila dibandingkan denganbiaya yang dikeluarkan
untuk peralatan memasak konvensional. Harga belisatu TSE akan lebih rendah daripada kita membeli
peralatan memasaktradisional seperti mixer, oven, pengering dan aksesoris pelengkap lainnyauntuk
meghasilkan produk yang sama. Selain itu, TSE efektif dalam biayapengoperasian karena mampu
melaksanakan fungsi-fungsi pengolahanseperti pencampuran, pengadonan, pemasakan dan
pencetakan dalam satuproses pengolahan saja.
TSE sangat serbaguna, dapat menghasilkan produk makanan denganpilihan jenis dan bentuk
yang beragam. Dapat dilakukan dengan caramelakukan penganekaragaman bahan-bahan dan
modifikasi kondisipengolahan.TSE sangat efisien pada penggunaan energi. Pada beberapa proses,
TSEdapat mengurangi kebutuhan energi yang digunakan untuk pengolahan.Dengan TSE produk dapat
dimasak lebih cepat dan efisien. Hal inidisebabkan oleh proses pengaturan temperatur dan
kelembaban yangdilakukan secara tepat dan juga membutuhkan waktu reaksi yang lebihsingkat
(Clextral, 2007).
Untuk melakukan proses pemasakan produk makanan, ekstruder ulir ganda (Twin Screw
Ekstruder) merupakan alat pengolahan yang semakin umum digunakan di industri pengolahan
pangan. Alat ini merupakan suatu reaktor biologis yang berkecepatan tinggi dengan melakukan
serangkaian proses pemanasan, pendinginan, pengadonan, pencampuran, penguapan, pemotongan dan
penurunan suhu menggunakan udara (aerating). Ekstruder jenis ini sekarang semakin banyak
digunakan karena mudah sekali bagi kita untuk mengatur serangkaian parameter-parameter tahap
pengolahan ekstrusi (Schlosburg, 2005).
Secara umum pronsip kerja ekstruder adalah bahan diisikan melalui corong ke dalam
laras/tabung berulir secaraberkesinambungan. Putaran ulir menyebabkan bahan terdorong ke
bagiandie. Selama proses ini, bahan mengalami gaya tekan dan gesekan antara ulirdengan bahan.
Gesekan yang dialami oleh bahan turut serta menimbulkankalor yang memanaskan bahan tersebut.
Bahan yang keluar dari dieselanjutnya dipotong pada panjang tertentu oleh pisau yang berputar.
Bahanyang telah keluar dari ekstruder mengalami perubahan tekanan dan suhuyang jauh lebih rendah
daripada di dalam ekstruder. Pada kondisi tersebutair di dalam bahan, sebelumnya dalam keadaan
bersuhu tinggi (120 – 160oC) dan bertekanan tinggi (70 – 150 atm) di dalam ekstruder, akan
mudahmenguap ke udara. Hal ini menyebabkan terciptanya rongga – rongga udaradi dalam bahan
sekaligus tertariknya molekul bahan. Kondisi inimenyebabkan proses pengembangan bahan
Pada praktikum pembuatan produk ekstrudat di gunakan dua bahan yaitu jagung dan beras.
Proses pembuatan dilakukan dengan menyiapkan bahan terlebih dahulu. Untuk single screw extruder
semua bahan dalam bentuk grits. Sebelum bahan dimasukkan dalam alat terlebih dahulu menyiapkan
3 formula yaitu jagung, beras, dan jagung-beras dimana masing-masing memiliki bobot 1 kg. Untuk
twin screw extrude semua bahan harus dalam bentuk tepung minimal 60 mesh. Setelah itu seiapkan 3
formula yaitu tepung jagung, tepung beras, dan tepung jagung-beras masing-masing 1 kg bahan.
Campurkan bahan-bahan tambahkan flavor, aroma, rasa dan warna. Lalu masukkan semua bahan pada
mixer supaya tercampur merata setelah itu adonan dimasukkan dalam mesin extruder. Setelah produk
terbentuk, lalu masukkan dalam oven untuk dikeringkan.Pada penggunaan mesin single screw
extruder produk yang dihasilkan berupa snack ciki sedangkan untuk twin screw extrude produk yang
dihasilkan adalah beras analog.
3. PRODUK MIE
Mie merupakan bahan pangan yang berbentuk pilinan memanjang dengan diameter 0,07-
0,125 inchi yang dibuat dengan bahan baku terigu atau tanpa tambahan kuning telur (Beans et
al,1974). Sifat khas mie adalah elastis dan kukuh dengan lapisan permukaan yang tidak lembek dan
tidak lengket. Menurut Oh, et al (1983) tahapan proses pembuatan mie secara garis besar berupa
pencampuran (mixing), pengadukan (kneeting), pemotongan (cutting) dan pemasakan (cooking).
Berdasarkan ukuran diameter, produk mie dibedakan menjadi tiga. Yaitu Spaghetti (0.11-
0.27 inchi), Mie (0.07-0.125 inchi), Vermiseli (kurang dari 0.04 inchi). Sedangkan berdasarkan bahan
baku, produk mie dibagi menjadi dua, yaitu mei (noodle) dari bahan tepung, terutama tepung terigu
dan mie transparant (transparance noodle) berasal dari bahan pati, misalnya Soon (dari pati beras) dan
mie Cina (Wiersema, 1992 didalam Simanjuntak, 2001).
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu diperoleh dari biji
gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu diantara serealia lainnya aadalah
kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada
adonan mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan
pemasakan (Astawan, 1999).
Tepung terigu memiliki kandungan pati sebesar 65-70%, protein 8-13%, lemak 0,8-1,5%
serta abu dan air masing-masing 0,3-0,6% dan 13-15,5% (Kent Jones dan Amas, 1967). Diantara
komponen tersebut yang erat kaitannya dengan sifat khas mie adalah proteinnya yaitu prolamin
(gliadin) dan glutelin (glutenin) yang digolongkan sebagai protein pembentuk gluten (Kent, 1967).
Pada dasarnya tepung terigu mengandung protein yang merupakan zat gizi yang paling
penting. Dalam sel protein terdapat protein struktural dan metabolik. Protein struktural merupakan
bagian integral dari struktur sel dan tidak dapat diekstraksi sehingga menyebabkan disintegrasi sel
tersebut. Protein metabolik dapat diekstraksi tanpa merusak integrasi struktur sel itu sendiri. Dalam
molekul protein mengandung unsur C, H, O dan N, (Tati Nurmala, 1980).
Berdasarkan kandungan airnya, mie dapat dikelompokan menjadi dua jenis mie yaitu mie
basah dan mie kering. Mie basah memiliki kadungan air yang cukup tinggi sehingga mie jenis ini
cepat rusak dan biasaya hanya bertahan sampai satu hari. Mie kering memiliki kandungan air rendah
sehingga daya simpannya relatif panjang dan mudah dalam penanganannya. Beberapa contohmie
kering diantaranya adalah mie ramen, soba dan mie instan. Berikut ini adalah beberapa jenis mie yang
dapat dijumpai di pasaran (Astawan, 2002) :
1) Mie Segar (Raw Chinesee Noodle)
Mie jenis ini tidak mengalami proses tambahan setelah pemotongan dan mengandung air
sekitar 35 persen. Kandungan air yang cukup tinggi menyebabkan mie jenis ini cepat rusak.
Penyimpanan dalam lemari es dapat mempertahankan kesegaran mie sampai 50-60 jam. Mie segar
umumya dibuat dari terigu yang keras agar mudah penanganannya. Mie segar umumnya digunakan
sebagai bahan baku mie ayam.
2) Mie Basah
Mie basah mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan.
Kadar air dalam mie basah mencapai 52 persen. Kadar air yang sangat tinggi mengakibatkan daya
simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Di indonesia mie basah dikenal sebagai mie
kuning atau mie baso.
3) Mie Kering
Mie kering adalah mie yang telah mengalami proses pengeringan sehingga kadar airnya
mencapai 8-10 persen. Pengeringan dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari atau
dengan oven. Kandungan kadar air yang rendah membuat mie jenis ini mempunyai daya simpan yang
relative panjang dan mudah dalam penanganannya.
4) Mie Instan
Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3551-1994 mendefinisikan mie instan sebagai
produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan tambahan bahan makanan lain dan
tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah dimasak atau
diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Kadar air mie instan umumnya mencapai 5 – 8
persen sehingga memiliki daya simpan yang lama
Pembuatan mie dapat menggunakan berbagai macam tepung yaitu tepung terigu, tepung
beras, tepung kanji atau tepung kacang hijau. Namun mie yang banyak dijumpai di Indonesia
menggunakan bahan baku tepung terigu yang berasal dari gandum. Bahan baku yang digunakan dalam
proses pembuatan mie adalah tepung terigu, air, telur, garam dapur, air abu untuk pengenyal. Mutu
produk mie dapat ditentukan berdasarkan warna dan kualitas masaknya. Mie yang disukai masyarakat
Indonesia adalah mie dengan warna kuning, bentuk khas mie yaitu berupa untaian panjang yang dapat
mengembangsampai batas tertentu dan lenting serta kalau direbus tidak banyak terdapat padatan yang
hilang (Setyaningrum dan Marsono, 2003)
Terigu banyak digunakan untuk pemuatan mie, kue, roti, biskuit. Ciri khas terigu adalah
mengandung protein yang lebih tinggi dan dapat membentuk gluten yang berupa jaringan dari
sebagian penyusun protein, apabila terigu diberi air dan digilas-gilas. Adonan yang mengandung
gluten tersebut berikatan satu sama lain dan bersifat lenting, dengan demikian lebih mudah dibentuk,
lebih mudah matang, dalam keadaan encer adonan tidak segera mengendap dibanding tepung beras.
Pada produk makanan, gluten juga cenderung memberikan rasa lebih enak daripada produk makanan
yang dibuat dari tepung yang lain. Tepung terigu adalah bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu
diperoleh dari biji gandum yang digiling. Tepung ini berfungsi untuk membentuk struktur mie,
sumber protein, dan karbohidrat. Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan dalam
pembuatan mie adalah gluten. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah
yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksi
berlangsung (Handayani, 2007).
Kadar protein memiliki pengaruh terhadap daya patah mie instan yang dihasilkan, semakin
tinggi kadar protein, maka daya patah mie instan akan semakin tinggi. Protein dalam tepung
menghasilkan struktur mie yang kuat yang dihasilkan dari adanya ikatan yang kuat antara komponen
pati dan protein sehingga daya patahnya juga meningkat (Oh, et al., 1985).
Makin tinggi substitusi tepung terigu oleh tepung non terigu, maka makin rendah elastisitas
mie. Hal ini dikarenakan elastisitas mie masak dipengaruhi oleh gluten. Semakin sedikit terigu yang
digunakan, maka semakin rendah gluten yang ada didalamnya yang berarti elastisitas mie lebih
rendah. Gluten menentukan elastisitas dan stabilitas olahan dari tepung. Besarnya protein pembentuk
gluten menentukan sifat adonan dan produk yang dihasilkan (Munarso dan Haryanto, 2009).
Bahan-bahan lain yang digunakan antara lain air, garam, bahan pengembang, bumbu dan
telur Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat (akan mengembang),
melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH
antara 6-9. makin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorbsi air
mengikat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus air yang memenuhi
persyaratan sebagai air minum, diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasal (Astawan,
2008). Adapun jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan berkisar 28-38 %. Jika air kurang dari
28 % adonan menjadi sulit dicetak. Sementara itu, penambahan air yang lebih dari 38 % akan
menyebabkan adonan itu lengket (Suyanti, 2008).
Garam berperan dalam memberi rasa, memperkuat tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas
dan elastisitas mie serta mengikat air. Garam dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase
sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2008).
Penambahan garam pada pembuatan mie juga dapat menghambat pertumbuhan jamur/kapang
(Suyanti, 2008).
Putih telur akan menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mie.
Lapisan tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoeng dan kekeruhan
saus mie sewaktu pemasakan. Lesitin pada kuning telur merupakan pengemulsi yang baik, dapat
mempercepat hidrasi air pada terigu, dan bersifat mengembangkan adonan (Anonim2, 2010)
Emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan dua jenis bahan yang tidak saling melarut karena
molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Gugus hidrofilik mampu berikatan
dengan air atau bahan lain yang bersifat polar, sedangkan gugus lipofilik mampu berikatan dengan
minyak atau bahan lain yang bersifat non polar (Suryani et al., 2002).
Pada praktikum pembuatan mie menggunakan bahan-bahan seperti telur, tepung, biang mie,
garam dan air. Pada masing-masing kelompok menggunakan jenis tepung yang berbeda-beda.
Kelompok satu menggunakan gandum, kelompok dua menggunakan gandum dengan tapioka,
sedangkan kelompok tiga menggunakan gandum dengan mocaf. Biang yang digunakan pada
praktikum ini yaitu sodium karbonat. Sodium karbonat juga disebut dengan soda abu. Penambahan
biang mie pada proses pembuatan mie bertujuan untuk mempercepat proses terbentuknya mie dan
membuat sifat kenyal pada mie. Fungsi pemberian biang abu yaitu untuk mempercepat penyerapan
gluten meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas meningkatkan kehalusan tekstur dan meningkatkan
sifat kenyal. Selain sebagai alkali kalium karbonat juga digunakan untuk flavor dan mengontrol pH
Pada setiap jenis mie yang dibuat pada praktikum dilakukan uji organolaptik berupa
penerimaan konsumen terhadap aroma, rasa, dan kekenyalannya. Untuk uji organolaptik aroma
terhadap mie didapatkan hasil uji statistika F hitung lebih kecil dairpada F tabel. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa ketiga mie dengan jenis tepung berbeda tidak mempunyai perbedaan yang nyata
satu sama lain. Mayoritas semua panelis mempunyai tingkat kesukaan yang sama terhadap ketiga jenis
mie. Uji organolaptik terhadap rasa mie mendapatkan hasil nilai F hitung lebih besar dari F tabel.
Sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara produk mie yang di buat dari jenis tepung yang
berbeda. Untuk mengetahui jenis mie yang mempunyai perbedaan dilakukan uji lanjutan yaitu uji
duncun’s. Hasil dari uji duncun’s menunjukan bahwa mie dengan gandum dan campuran gandum
dengan tapioka mempunyai kesamaan, berbeda dengan mie dari bahan gandum dicampur mocaf.
Tetapi berdasarkan penerimaan onsumen terhadap produk dengan campuran gandum dan mocaf lebih
disukai debandingkan mie yang lain.
Untuk uji terhadap tekstur dari mie yang dihasilkan didapatkan nilai F hitung yang lebih
besar dari F tabel. Jadi sama dengan uji rasa mie, tekstur dari mie juga terdapat perbedaan yang nyata
dari ketiga jenis produk. Uji lanjut dilakukan untuk mengetahui jenis mie yang memiliki perbedaan.
Untuk tekstur produk tiga ( campuran gandum dan mocaf ) berbeda dengan produk satu ( gandum )
dan produk dua ( gandum dengan tapioka ), namun produk mie yang lebih disukai adalah produk satu
dan dua. Terakhir yaitu uji organolaptik terhadap kekenyalan mie. Hasil uji statistika yang dilakukan
didapatkan F hitung yang lebih kecil daripada Ftabel. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis mie
tidak terdapat perbedaan yang nyata.
Dalam proses pembuatan mie , perlu dilakukan beberapa anlisa untuk menguji kualitas dari
mie yang dihasilkan, salah satunya adalah analisa cooking properties. Analisa ini meliputi uji cooking
yield, cooking loss, dan swelling index. Mie dengan kualitas yang baik harus memiliki cooking yield
swelling index yang tinggi. Tingginya cooking yield dan swelling index mengindikasikan
kemampuan mie dalam menyerap air yang tinggi pula. Dengan kemampuan menyerap air yang tinggi,
dapat diperoleh mie dengan tekstur yang kenyal dan tidak mudah putus. Tetapi uji uni tidak dilakukan
pada praktikum pembuatan mie ini. Dua uji yang dilakukan pada praktikum adalah rehydration ratio
dan cooking loss. Mie yang bagus harus memiliki nilai cooking loss yang rendah. Rendahnya cooking
loss menunjukan bahwa mie bersifat tidak rapuh dan tidak mudah patah ketika dimasak. Sedangkan
pada praktikum untuk mie produk dua ( gandum dengan tapioka )memiliki nilai cooking loss sebesar
21,37 %. Untuk rehydration ratio mie produk gandum dan tapioka didapatkan nilai rehydration ratio
sebesar 1,309.
IV. PENUTUP A. KESIMPULAN
Tepung komposit merupakan tepung yang terbuat dari berbagai jenis bahan seperti tepung
komposit kasava-terigu-kedelai, tepung komposit jagung-beras, atau tepung komposit kasava-terigu-
pisang. Tepung kompositdiketahui memiliki karakteristik yang lebih baik daripada tepung biasa,
sehingga dalam pembuatan produk, tepung komposit menjadi andalan karena produsen dapat
membuat produk yang sesuai dengan keinginan mereka baik dari tekstur, rasa, maupun aroma. Produk
yang dibuat menggunakan tepung komposit biasanya adalah cake, cookies, wafer dan lainnya.
Pada pembuatan cake, digunakan tepung terigu dengan kadar protein rendah untuk
membentuk tekstur yang lebih lembur dan dapat mengembang dengan lebih baik. Berdasarkan
pengujian organoleptik terhadap cake dengan parameter rasa, tekstur dan aroma, diketahui bahwa cake
2 dengan bahan dasar tepung komposit ketan hitam menjadi cake yang paling disukai oleh para
panelis baik dari parameter rasa, tekstur, maupun aroma yang dihasilkan.
Pada produk cookies, dilakukan pengujian yang sama seperti pengujian terhadap cake.
Berdasarkan hasil yang didapat, diketahui cookies 2 dengan bahan tepung jagung menjadi cookies
yang paling disukai dalam hal rasanya. Untuk parameter tekstur yang dihasilkan, cookies 1 dan 2
menjadi cookies yang paling disukai. Dan untuk parameter aroma, cookies 3 dengan bahan tepung
komposit ketan hitam menjadi yang paling disukai panelis.
Pada wafer, tepung yang digunakan adalah tepung ubi, tepung mocaf, dan tepung beras.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui wafer yang dibuat dari tepung mocaf memiiki tekstur
yang disukai oleh panelis. Sedangkan bila dilhat dari parameter rasa, warna, dan aroma maka wafer
yang terbuat dari tepung ubi lebih disukai oleh panelis dibandingkan wafer yang lainnya.
Selain produk dari tepung komposir, terdapat produ ekstrudat yang dibuat. Produk ekstrudat
sendiri adalah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari bahan baku tepung dan atau
pati untuk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang
diizinkan denganatau tanpa melalui proses penggorengan. Produk yang menggunakan proses ekstrusi
atau produk ekstrudat misalnya serbuk minuman, biskuit, kraker, produk crispy serupa roti,
breadcrumb, crouton, bahan makanan kaya serat, dan lainnya.
Pada praktikum pembuatan produk ekstrudat di gunakan dua bahan yaitu jagung dan beras.
Untuk single screw extruder formulasi bahan yang digunakan adalah jagung, beras, dan jagung-beras
dimana masing-masing memiliki bobot 1 kg. Untuk twin screw extrude semua bahan harus dalam
bentuk tepung minimal 60 mesh dan formula yang digunakan dalam pembuatan produk adalah tepung
jagung, tepung beras, dan tepung jagung-beras masing-masing 1 kg bahan. Untuk membuat produk
ekstrudat, pencapuran bumbu atau flavor perlu dilakukan agar produk memiliki rasa arau aroma yang
enak. Setelah formula dimasukkan ked dalam mesin ekstruder, maka penggunaan mesin single screw
extruder akan menghasilkan produk berupa snack ciki sedangkan untuk twin screw extrude produk
yang dihasilkan adalah beras analog.
Mei merupakan bahan pangan yang berbentuk pilinan memanjang dengan diameter 0,07-
0,125 inchi yang dibuat dengan bahan baku terigu atau tanpa tambahan kuning telur. Pada prkatikum
ini, digunakan bahan seperti seperti telur, tepung, biang mie, garam dan air dengan tepung yang
digunakan setiap kelompok berbeda-beda. Setelah produk (mie) telah selesai dibuat, maka aka
dilakukan pengujian terhadap aroma, rasa, dan kekenyalan mie tersebut. Berdasarkan uji terhadap
aroma, diketahui panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama terhadap mie yang diujikan.
Berdasarkan pengujian rasa, diketahui bahwa mie dengan gandum dan campuran gandum dengan
tapioka mempunyai kesamaan dan berbeda dengan mie dari bahan gandum dicampur mocaf. Tetapi
berdasarkan penerimaan konsumen terhadap produk dengan campuran gandum dan mocaf lebih
disukai debandingkan mie yang lain. Untuk uji teksturterhadap mie yang terbentuk, tekstur produk
tiga ( campuran gandum dan mocaf ) berbeda dengan produk satu ( gandum ) dan produk dua (
gandum dengan tapioka ), namun produk mie yang lebih disukai adalah produk satu dan dua. Dan
untuk kekenyalan mie, diketahui bahwa tingkat kekenyalan mie berbeda-beda.
Selain dilakukan uji hedonik terhadap mie, dilakukan pula uji rehydration ratio, dan analisa
cooking properties ( uji cooking yield, cooking loss, dan swelling index). Uji yang dilakukan pada
praktikum adalah rehydration ratio dan cooking loss. Mie yang bagus harus memiliki nilai cooking
loss yang rendah karena menunjukan mie bersifat tidak rapuh dan tidak mudah patah ketika dimasak.
Sedangkan pada praktikum untuk mie produk dua ( gandum dengan tapioka )memiliki nilai cooking
loss sebesar 21,37 %. Untuk rehydration ratio mie produk gandum dan tapioka didapatkan nilai
rehydration ratio sebesar 1,309. Selain itu, mie dengan kualitas yang baik harus memiliki cooking
yield dan swelling index yang tinggi karena mengindikasikan kemampuan mie dalam menyerap air
yang tinggi. Dengan kemampuan menyerap air yang tinggi, maka mie dengan tekstur yang kenyal dan
tidak mudah putus.
B. SARAN Untuk kedepannya, diharapkan komunikasi asisten praktikum dengan praktikan dapat lebih
baik lagi agar tidak terjadi kesalahan dalam menerima informasi yang disampaikan sehingga dapat
menghambat jalannya praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarsari L, Kurniati M, Nurcholis W, Andrianto D, Darusman LK. 2009. Pembuatan nanopartikel
kitosan sebagai bahan penyalut alami. Bogor : Laporan Hasil Penelitian IPB.
Andarwulan, et al. 2008. Monotoring dan verifikasi profil keamanan pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) Nasional tahun 2008. Bogor : Southeast Asian Food and Agricultural
Science and Technology (SEAFAST Center-IPB).
Ani dan Faridah. 2008. Pengolahan Tepung Ketan. http://wordpress.com/2008/pengolahan-tepung-
ketan-hitam.htm. [02 Juni 2013].
Anonim, 2010. Mie Jagung. http://seafast.ipb.ac.id/research ( 5 Juni 2013 )
Anonim. 2013. Tepung Mocaf. http://ketapang.deliserdangkab.go.id/2013/02/18/pemanfaatan-
ubikayu-menjadi-tepung-mocaf-sebagai-pengganti-terigu.html. [02 Juni 2013].
Antarlina, S.S. 1991. Pengaruh Umur Panen dan Klon Terhadap Beberapa Sifat
Sensoris,Fisik, dan Kimiawi Tepung Ubi Jalar.Tesis. Yogyakarta: Fakultas
Pasca SarjanaUniversitasGadjah Mada.
Antarlina, S.S. dan J. S. Utomo. 1993. Kue Kering dariBbahan Tepung Campuran Jagung, Gude, dan
Kedelai. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan 1992. Balittan: Malang.
Antarlina, S.S., 1994. Kerusakan Ubijalar Setelah Panen Dalam Usaha Pengendaliannya dengan
Cara pengolahan. Tesis. Malang : Pascasarjana KPKUGM-Unibraw.
Antarlina, S.S. dan J.S. Utomo. 1997. Kue kering dari bahan tepung campuran jagung, gude, dan
kedelai. hlm. 24−31. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1992. Malang
: Balai Penelitian Tanaman Pangan.
Astawan Made, 1999. Membuat mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta
Astawan M. 2002. Membuat Mie dan Bihun. Edisi Keempat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Astawan M. 2008. Membuat Mie dan Bihun. Edisi Keempat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1993. Standar Nasional Indonesia. Syarat Mutu Kue Kering
(cookies). SNI 01-2973-1992. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional.
Badan Standardisasi Nasional. 2000. Makanan Ringan Ekstrudat. Jakarta : Standar Nasional
Indonesia 01-2886-2000.
Baianu, I.C. 1992. Chapter 9: Basic Aspect of Food Extrusion dalam I.C. Baianu. Physical Chemistry
of Food Process: Principle, Techniques andApplication. Textbook, VNR Vol. 1. New York
Beans, M.M., C.C. Nimmo, J.G. Fallington, D.M Keagy and D.K. Mecham, 1974.Effect of amylase,
protease, salt and pH on Noodle Dough. Cereal Chemistry 51:427-433
Bian, Y. , D.J. Myers, K. Dias, M.A. Lihono, S. Wu, and P.A. Murpy. 2003. Fungtional
properties of soy protein fraction produced using a pilot plant-scale process. J. Am.
Chem. Soc. 80: 45−549.
Bogasari. 2006. Referensi terigu. [terhubung berkala].
http://www,bogasari.com/ref_flour.htm BPS. 2008. Statistik Indonesia. Jakarta:
Badan PusatStalistik Indonesia.
Bogasari Baking Centre .2013. Tepung Terigu dan Serba-Serbinya. [terhubung berkala]. http://www.
bogasari.com/zona-konsumen/baca-tips-bogasari.aspx?t=tepung-terigu (3 Juni 2013)
Clextral. 2007. Twin Screw Extrusion. [terhubung berkala].http:///www.clextral.com/tools_FAQ.htm.
[4 Juni 2013]
Departemen Perindustrian RI. 1992. Standar Industri Indonesia. Jakarta : Departemen Perindustrian
RI.
Elisabeth, D.A.A., dan I. Ambarsari. 2009. Introduksi Teknologi Pengolahan Ubi Jalar
Ungu Menjadi Berbagai Produk Olahan Pangan Di Kabupaten Gianyar, Bali.
Prosiding Seminar Nasional Revitalisasi Pertanian dalam Menghadapi Krisis
Ekonomi Global. Surakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Estiasih, T. dan Ahmadi, K. (2009). Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hal.
236-237
Frame, N.D. 1994. The Technology of Extrusion Cooking. New York : SpringerPublisher
Ginting, E. dan Suprapto. 2004. Kualitas kecap yang dihasilkan dari biji kedelai hitarn dan kuning.
Hlm. 267-276. Dalam S. Hardaningsih, J. Soejitno, A.A. Rahmianna, Mawoto, Meriyanto,
I.K. Tastra, E. Ginting, M.M. Adie dan Trustinah (ed). Teknologi Inovatif Agribisnis Kacang-
kacangan dan Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Bogor: Puslitbang.
Hanif. 2009. Tepung Tapioka: Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta. Hasim, A.,
dan M. Yusut. 2008. Ubi Jalar Kaya Antosianin: Pilihan Pangan Sehat.
TabloidSinar Tani Edisi XX, 26 Aguslus 2008.
Hubeis, M. 1984. Pengantar Pengelolaan Tepung Serealia dan Biji-Bijian. Diktat kuliah yang tidak
dipublikasikan. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Bogor : Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ilminingtyas, D. dan D. Kartikawati. 2009.Potensi Buah Mangrove Sebagai Alternatif
Sumber Pangan. Mangrove Training 2009: Pelatihan Penelitian
Ekosistem Mangrove dan Pengolahan Makanan Berbahan Dasar Buah
Mangrove.htlpJ/kesemal.blogspot.com/2009/05/potensi-buah-mangrove
sebagai.html. [04 Juni 2013]
Janssen, Leon, P.B.M. 1978. Twin Screw Extrusion. Amsterdam : Elsevier Scientific Publishing
Company.
Karjono, 1998, Umbi-umbi Potensial Penghasil Tepung. Trubus 347-Th XXIX-Oktober.
Kent-Jones, D.W. and A.J. Ames,1967. Modern Cereal Chemistry. Food Trade Press Inc., London
Kent NL, Evers AD. 1994. Technology of Cereals; An Introduction for Student of Food Science and
Agriculture. Ed ke-4. Oxford: Elseveir Science Ltd.
Levine, Leon, and Robert C. Miller. 2007. Extrusion Process dalam Dennis R. Heldman, Daryl B.
Lund. Handbook of Food Engineering. London : CRC Press
Linko, P., Y.Y.Linko, J. Olkku. 1982. Extrusion Cooking and Bioconversions dalam Ronald Jowitt
(edt.). Extrusion Cooking Technology. London : ElsevierApplied Science Publishers
Macrae, R., Robinson, R.K, dan Sadler, J. 1992. Ensyclopedia Of Food Science, Food Technology
And Nutrition.New York : Academic Press.
Marsono, Y.,2002. Indek Glisemik Umbi-umbian. Agritech 22 (1):13-16.
Marsono, Y., P.Wiyono, dan Zaki Utama, 2005. Indek Glikemik Prodfuk Olahan Garut (Maranta
arundinaceae L) dan Uji Sifat Fungsionalnya pada Model Hewan Coba. Laporan RUSNAS
Diversifikasi Oangan Pokok Tahun 2005. UGM Press: Yogyakarta.
Muharram. 1992. Komunikasi Balai Penelitian Kimia. Balai Penelitian Kimia, Medan.
Munarso, S. J dan B. Haryanto, 2009. Perkembangan Teknologi Pengolahan Mie. Pusat Pengkajian
Dan Penerapan Teknologi Agroindustri BPPT, Jakarta. http://www.bppt.com. [ 6 Juni 2013].
Nishita KD, Bean MM. 1982. Grinding methods:their impact on rice flour properties. J Cereal Chem
59(1):46-49.
Oh, N.H., P.A. Seib, C.W. Deyoe and A.B. Ward, 1983. Measuring the Texural Characteristic of
Cooked Noodles. Cereal Chemistry 60:433-437
Oktavia, Devi. 2007. Kajian SNI 01-2886-2000 Makanan Ringan Ekstrudat. Jurnal Standarisasi Vol 9
No.1.
Pratama, RI. 2007. Kajian Mengenai Prinsip – prinsip Dasar Teknologi Ekstrusi untuk Bahan
Makanan dan Beberapa Aplikasinya pada Hasil Perikanan [Makalah]. Jatinangor : Fakultas
Perikanan dan Kelautan, Universitas Padjadjaran.
Salim, Emil. 2011. Mengolah Singkong Menjadi Tepung Mocaf. Yogyakarta : Lili publisher.
Santosa, B.A.S., Sudaryono, dan S. Widowati. 2006. Karakteristik ekstrudat beberapa varietas
jagung dengan penambahan aquades. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian 3(2):
96−108.
Schlosburg, Joel. 2005. Twin-Screw Food Extrusion: Control Case Study. Troy, New York : Howard
P. Isermann Department of Chemical and Biological Engineering, Rensselaer Polytechnic
Institute.
Setyaningrum, Aryani, dan Masono. 2003. Pengkayaan Vitamin A dan Vitamin E dalam Pembuatan
Mie Instan Menggunakan Minyak Sawit Merah. Kumpulan Hasil Penelitian Terbaik
Bogosari Nugraha (1998-2001). Jakarta : PR. And Communication Dept. ISM Bogasari
Flour. Hal 133.
Siwi BH, Damardjati DS. 1986. Perkembangan dan kebijaksanaan produksi beras nasional. Makalah
disampaikan pada Konsultasi Teknik Pengembangan Industri Pengolahan Beras Non Nasi,
Jakarta.
Suardi, Suarni, dan A. Prabowo. 2002. Teknologi Sederhana Prosesing Sorgum sebagai Bahan
Pangan. Prosiding Seminar Nasional Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi
Selatan. hlm. 112−116.
Suarni dan M. Zakir. 2002. Sifat fisikokimia tepung sorgum sebagai substitusi terigu. Jurnal Penelitian
Pertanian 20(2): 58−62.
Suarni dan R. Patong. 2002. Tepung sorgum sebagai bahan substitusi terigu. Jurnal Penelitian
Pertanian 21(1): 43−47.
Suarni, A. Upe, dan Tj. Harlim. 2005. Karakteristik sifat fisik dan kandungan nutrisi bahan setengah
jadi dari jagung. 2005. Prosiding Seminar Nasional Kimia. Palu : Forum Kerjas Kimia
Kawasan Timur Indonesia.p. 87-92.
Suarni, Komalasari O, Suwardi. 2001. Karakteristik tepung jagung beberapa varietas/galur. Prosiding
Seminar Regional Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palu. hlm 157−164.
Suarni, M. Aqil, and I.U. Firmansyah. 2008. Starch characterization of several maize varieties for
industrial use in Indonesia. Paper of the Asian Regional Maize Workshop (ARMW),
Makassar, 20−23 October 2008.
Suarni. 2009. Prospek pemanfaatan tepung jagung untuk kue kering (cookies). Jurnal Litbang
Pertanian 28(2): 63-71.
Suarni dan I.GP. Sarasutha. 2002. Teknologi Pengolahan Jagung untuk Meningkatkan Nilai Tambah
dalam Pengembangan Agroindustri. Prosiding Seminar Nasional, BPTP: Sulawesi Tengah.
Subagio. 2006. Upaya Memanfaatkan Umbi Tals (Colocasia esculenta) Sebagai Sumber Bahan Pati
Pada Pengembangan Teknologi Pembuatan Dekstrin. Jurnal. Balai Besar Pengembangan
Teknologi Tepat Guna - LIPI, Subang Suarni. 2006. Modifikasi tepung jagung secara
enzimatik (a-amilase) untuk bahan pangan. Disertasi Pascasarjana Unhas. 125 p. (Tidak
dipublikasi).
Subagio, A. 2006. Ubi Kayu : Subtitusi Berbagai Tepung-Tepungan. Jakarta: PT.Gramedia.
Suprapta, D. N., 2003, Pemanfaatan Tumbuhan Lokal Sebagai Pestisida Nabati Guna Meningkatkan
Kemandirian Petan, Orasi Ilmiah Universitas Udayana
Suyanti. 2008. Membuat Mie Sehat Bergizi dan Bebas Pengawet. Jakarta: Swadaya
Tati Nurmala, Wiyono. 1980. Budidaya Tanaman Gandum (Triticum spp). PT karya Nusantara.
Jakarta
Van Zuilichem, D.J., W. Stolp, L.P.B.M Janssen. 1982. Engineering Aspects of Single- and Twin-
screw Extrusion-cooking of Biopolymers dalam RonaldJowitt (edt.). Extrusion Cooking
Technology. London : Elsevier Applied SciencePublishers.
Widaningrum dan E.Y. Purwani. 2006. Karakterisasi serta studi pengaruh perlakuan panas dan HTM
terhadap sifat fisikokimia pati jagung. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian 3(2): 109−118.
Wiersema SG. 1992. Sweet Potato Processing in The People’s Republic of China with Emphasis on
Starch and Noodle. In: Scott GJ, Wiersema SG, Ferguson PI, editor. Proceeding Product
Development for Root and Tuber Crops. I-Asia. CIP. Lima. Peru.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. Jakarta : PT Gramedia.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. Jakarta : PT Gramedia.
Woolfe, J.A. 1992. Sweet Potato: An UntappedFood Resource. Australia: Cambridge
UniversityPress.
Zuraida, N. dan Y. Supriati. 2001. Usaha tani ubi jalar sebagai bahan pangan
alternatif dan diversifikasi sumber karbohidrat. Buletin Agro Bio 4(1): 2.
LAMPIRAN
Kelompok Produk
Cookies Cake Mie Waffle
1 Tepung Jagung Gandum
2 Tepung Garut Gandum +
Tapioka
3 Tepung Beras Ketan Gandum + Mocaf
4 Tepung Jagung Tepung
Jagung
5 Tepung Beras Ketan
Hitam Mocaf
6 TepungUbi Ungu Tepung Beras
Kelompok 2 :
Mie berbasis tepung terigu dan tapioka
1. Cookong loss
2. Rehydration Ratio