laporan pengaruh suhu
DESCRIPTION
pengaruh suhuTRANSCRIPT
PENGARUH SUHU TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Mikrobiologi
Yang dibina oleh
Ibu Sitoresmi Prabaningtyas
Oleh :
Kelompok 1 / Offering B
Intan Permatasari (140341605268)
Joddy Oki Ibrahim (140341606446)
Ni’matul Khoiriyyah (140341605274)
Nikita Rizky (140341604916)
Nisrina Deti N.A.M (140341606721)
The Learning University
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
FEBRUARI 2016
I. Topik : Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Bakteri
II. Tanggal Praktikum : Selasa, 16 Februari 2016
III. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri.
2. Menentukan titik kematian termal bakteri.
IV. Dasar Teori
Pertumbuhan bagi suatu mikroba merupakan penambahan secara teratur
semua komponen sel suatu mikroba. Pembelahan sel adalah hasil pertumbuhan
sel. Pada mikroba bersel tunggal (uniseluler), pembelahan atau perbanyakan sel
merupakan pertambahan jumlah individu. Pada mikroba bersel banyak
(multiseluler) pembelahan sel tidak menghasilkan pertambahan jumlah
individunya, tetapi hanya merupakan pembentukan jaringan atau bertambah
besarnya suatu mikroba (Suharjono, 2006).
Kehidupan mikroorganisme pada umumya sangat tergantung pada faktor
lingkungan. Faktor lingkungan itu meliputi faktor abiotik dan faktor biotic. Faktor
abiotik adalah faktor luar seperti suhu, pH, tekanan osmosis. Sedangkan faktor
biotik adalah dari mikroorganisme itu sendiri (Tim Dosen, 2003). Untuk
pertumbuhan tiap-tiap jasad mempunyai suhu pertumbuhan yang berbeda-beda,
yaitu ada maksimum dan optimum (Dwijoseputro, 1994).
Daya tahan terhadap temperature tidak sama bagi tiap-tiap spesies. Ada
spesies yang mati setelah mengalami pemanasan beberapa menit di dalam cairan
medium pada temperature 60oC, sebaliknya bakteri yang membentuk spora genus
Bacillus dan genus Clostridium itu tetap hidup setelah dipanasi dengan uap 100oC
atau lebih selama kira-kira setengah jam (Dwijoseputro, 1994).
Temperatur maut (Termal Death Point) adalah temperature yang serendah-
rendahnya yang dapat membunuh bakteri yang berada dalam standar medium
selama 10 menit. Tidak semua individu dari suatu spesies mati bersama-sama
pada suatu temperatur tertentu. Biasanya individu yang satu lebih tahan daripada
individu yang lain terhadap suatu pemanasan sehingga tepat bila kita katakana
adanya angka kematian pada suatu temperatur (Termal Death Rate)
(Dwijoseputro, 1994).
Menurut Dwijoseputro (1994), mengenai pengaruh temperatur terhadap
kegiatan fisiologi, maka mikroorganisme dapat bertahan di dalam suatu batas
temperatur tertentu. Berdasarkan atas batas temperatur itu, bakteri dapat dibagi
atas tiga jenis..
Bakteri termofilik (politermik) yaitu bakteri yang tumbuh baik sekali pada
temperature 55o-60oC.
Bakteri mesofil (mesotermik) yaitu bakteri yang dapat hidup dengan baik
antara 5o-60oC, temperature optimumnya 25o-40oC.
Bakteri psikofil (oligotermik) yaitu bakteri yang dapat hidup antara 0-30oC,
temperature optimumnya 10o-20oC.
Akan tetapi diatas suhu tertentu, protein, asam nukleat, dan komponen-
komponen sel lainnya mengalami kerusakan permanen. Selain berpengaruh pada
laju pertumbuhan, temperatur yang ekstrim dapat membunuh mikroorganisme
(Brooks, 2005).
V. Alat dan Bahan
V.1 Alat
Beaker glas
Tabung ukur
Thermometer
Laminar Air Flow (LAF)
Water bath
Jarum inokulasi berkolong
Inkubator
V.2 Bahan Biakan dari koloni 1 dan koloni 2
Medium nutrient cair
Medium NA
VI. Prosedur
VII. Hasil Pengamatan
No Koloni
Pertumbuhan Bakteri40℃ 50℃ 60℃ 70℃ 80℃ 90℃ 100℃
1 ++ ++ ++ ++ ++ - -2 ++ ++ + + + + -
Keterangan:
Disediakan 7 tabung kultur medium nutrien cair, lalu berilah kode A1-A7.
Di inokulasikan 1 ose biakan bakteri yang tersedia ke dalam medium tersebut, lalu inkubasikan pada suhu 37
selama 1x24 jam.
Disediakan 2 buah medium lempeng NA, lalu buatlah garis dengan menggunakan spidol pada bagian luar dari
dasar cawan petri, sehingga membentuk 4 kuadran.
Kemudian berilah kode A1-A4 di cawan I dan kode A5-A7 di cawan II.
Panaskan tujuh tabung kultur tersebut diatas dengan menggunakan water bath. tabung A1= 40, A2= 50, A3=60, A4=70, A5=80, A6=90, A7=100, pemanasan dilakukan selama 10 menit.
Diletakkan tabung-tabung kultur tersebut di rak tabung setelah pemanasan dan biarkan pada suhu kamar.
Inokulasikan biakan bakteri ke dalam tujuh tabung kultur tersebut pada permukaan medium lempeng NA secara zig-zag sesuai kode kuadran, kuadran A8 digunkan sebagai kontrol yang
tidak diinokulasikan dengan bakteri.
Lakukan perlakuan no 1 sampai 7 tersebut dengan biakan bakteri lainnya.
Imkubasikan biakan bakteri pada medium lempeng NA tersebut pada suhu 37 selama 1x24 jam.
Amatilah pertumbuhan baktetri pada tiap kuadran. catatlah ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri.
+++ : Pertumbuhan bakteri sangat banyak.
++ : Pertumbuhan bakteri banyak.
+ : Pertumbuhan bakteri sedikit.
− : Tidak ada pertumbuhan bakteri.
VIII. Analisis Data
Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan mengenai pengaruh suhu
terhadap pertumbuhan bakteri. Medium yang digunakan adalah medium NA dan
medium cair. Medium NA dibuat dari 6 gram NA instan dengan 300 ml aquades
yang kemudian dididihkan dan dituang 10 ml ke dalam masing-masing cawan.
Medium cair dibuat dari nutrien cair tanpa agar, yaitu 0,9 gram beef extract; 1,5
gram bacto pepton, dan 300 ml aquades yang dicampur dan dipanaskan hingga
mendidih . Medium cair yang telah dibuat dimasukkan dalam tabung reaksi
sebanyak 3 ml dan ditutup kapas lalu disterilkan menggunakan otoklaf dan
disimpan selama 24 jam. Cara sterilisasi dengan otoklaf antara lain mengisi air
hingga di atas sedikit angsang ±1 cm lalu memasukkan panci dan memasukkan
media cair serta medium NA yang telah dibungkus kertas yang akan disterilisasi
ke dalamnya dan disusun dengan rapi, tubuh sterilisator dipasang cocok dengan
tempatnya, yang terletak pada tutup. Otoklaf ditutup dengan rapat, pastikan baut-
baut yang ada dibagian atas tutup sudah terpasang. memutar serentak secara
bersama-sama baut-baut yang berlawanan letaknya agar tutup autoklaf ini berada
pada posisi yang tepat, kemudian pengatur katup pengaman dibuka, agar udara
yang ada di dalam autoklaf keluar. Saat sumber pemanas (api) dari kompor
dinyalakan, dan sudah keluar uap banyak hingga terdengar bunyi desisan, katup
segera ditutup. Skala jarum dijaga pada 15 lbs ±15 menit lalu kompor dimatikan.
Tunggu hingga tekanan turun menjadi 0 untuk membuka atau meluruskan katup
pengaman dan membuka tutup otoklaf untuk mengeluarkan medium steril.
Untuk mengetahui daya tahan pertumbuhan bakteri pada suhu tertentu, maka pada praktikum ini digunakan beberapa suhu yaitu 40oC, 50oC, 60oC, 70oC, 80oC, 90oC dan 100oC. Bakteri yang digunakan yaitu bakteri koloni 1 dan bakteri koloni 2. Masing-masing 7 tabung untuk koloni 1 dan 7 tabung untuk
koloni 2 yang telah disiapkan diberi 1 ose inokulum bakeri, diberi label lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Kemudian medium lempeng NA yang telah disterilisasi sebelumnya dibuat garis pada bagian luar dasar cawan membentuk 4 kuadran dan diberi label. 14 tabung kultur yang telah disiapkan dipanaskan pada suhu sesuai label, yaitu 40oC, 50oC, 60oC, 70oC, 80oC, 90oC dan 100oC selama 10 menit. Masing-masing tabung yang telah dipanaskan diinokulasikan pada permukaan medium lempeng yang telah dibentuk 4 kuadran sesuai label, satu kuadran sebagai kontrol. Hasil inokulasi pada medium lempeng diinkubasikan selama 24 jam kemudian diamati pertumbuhan bakterinya tiap kuadran.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pada bakteri koloni 1 yang diperlakukan dengan beberapa suhu mulai dari 40oC hingga 100oC dan dibandingkan dengan kontrol, bakteri koloni 1 dapat tumbuh dengan pertumbuhan yang banyak pada suhu 40oC, 50oC, 60oC, 70oC dan 80oC sedangkan pada suhu 90oC dan 100oC tidak dapat tumbuh. Sedangkan pada koloni 2 yang diperlakukan dengan beberapa suhu mulai dari 40oC hingga 100oC dan dibandingkan dengan kontrol, bakteri koloni 2 pada suhu 40oC dan 50oC memiliki pertumbuhan bakteri yang banyak, pada suhu 60 oC hingga 90 oC pertumbuhan bakteri sedikit, sedangkan pada suhu 100 oC bakteri yang diinokulasikan pada medium NA tidak mengalami pertumbuhan. Hal tersebut dikarenakan pada suhu 100 oC bakteri mengalami kematian termal.
IX. Pembahasan
Pertumbuhan mikroba pada umumnya sangat tergantung dan dipengaruhi
oleh faktor lingkungan, perubahan faktor lingkungan dapat mengakibatkan
perubahan sifat morfologi dan fisiologi. Hal ini dikarenakan mikroba selain
menyediakan nutrient yang sesuai untuk kultivasinya, juga diperlukan faktor
lingkungan yang memungkinkan pertumbuhan mikroba secara optimum. Mikroba
tidak hanya bervariasi dalam persyaratan nutrisinya, tetapi menunjukkan respon
yang menunjukkan respon yang berbeda-beda. Untuk berhasilnya kultivasi
berbagai tipe mikroba diperlukan suatu kombinasi nutrient serta faktor lingkungan
yang sesuai (Pelczar & Chan, 2008).
Kehidupan mikroorganisme pada umumnya sangat tergantung pada faktor
lingkungan. Faktor lingkungan itu meliputi faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor
abiotik adalah faktor luar seperti suhu, pH, tekanan osmosis dan lain-lain.
Sedangkan faktor biotik adalah dari mikroorganisme itu sendiri (Djide, 2006).
Apabila faktor abiotik tersebut memenuhi syarat sehingga optimum untuk pertumbuhan bakteri dapat tumbuh dan berkembang biak (Hastuti, 2012). Karena semua proses pertumbuhan
bergantung pada reaksi kimiawi dan karena laju reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh
temperatur, maka pola pertumbuhan bakteri dapat sangat dipengaruhi oleh
temperatur. Temperatur juga mempengaruhi laju pertumbuhan dan jumlah total
pertumbuhan organisme. Keragaman temperatur dapat mengubah proses-proses
metabolik tertentu serta morfologi sel (Pelczar & Chan, 2008). Untuk
pertumbuhan tiap-tiap jasad mempunyai suhu pertumbuhan yang berbeda-beda,
yaitu ada maksimum dan optimum (Dwijoseputro, 2005).
Daya tahan terhadap temperature tidak sama bagi tiap-tiap spesies. Ada
spesies yang mati setelah mengalami pemanasan beberapa menit di dalam cairan
medium pada temperature 60oC, sebaliknya bakteri yang membentuk spora genus
Bacillus dan genus Clostridium itu tetap hidup setelah dipanasi dengan uap 100oC
atau lebih selama kira-kira setengah jam (Dwidjoseputro, 2005). Suhu maut atau titik kematian termal adalah suhu terendah yang dapat membunuh bakteri yang berada dalam standard medium selama 10 menit. Pada umumnya bakteri lebih tahan terhadap suhu rendah daripada suhu tinggi (Hastuti, 2012).
Mengenai pengaruh temperatur terhadap kegiatan fisiologi, maka
mikroorganisme dapat bertahan di dalam suatu batas temperatur tertentu..
Berdasarkan itu ada tiga golongan bakteri, yaitu
Bakteri termofilik (politermik) yaitu bakteri yang tumbuh baik sekali pada
temperature 55o-60oC.
Bakteri mesofil (mesotermik) yaitu bakteri yang dapat hidup dengan baik
antara 5o-60oC, temperature optimumnya 25o-40oC.
Bakteri psikofil (oligotermik) yaitu bakteri yang dapat hidup antara 0-30oC,
temperature optimumnya 10o-20oC (Dwijoseputro, 2005).
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa bakteri koloni 1 yang diinokulasikan dari medium cair ke medium NA yang diberi perlakuan suhu 40oC hingga 100oC dan dibandingkan dengan kontol, bakteri koloni 1 dapat tumbuh dengan pertumbuhan yang banyak pada suhu 40oC, 50oC, 60oC, 70oC dan 80oC sedangkan pada suhu 90oC dan 100oC tidak dapat tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa titik kematian termal bakteri koloni 1 adalah antara suhu 90°C hingga 100°C.
Menurut Supardi dan Sukamto (1999), bakteri tumbuh pada suhu 10-40°C dengan suhu optimum 37°C. Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi. Pelczar dan Chan (2007), menambahkan bahwa bakteri ini termasuk ke dalam bakteri anaerobik fakultatif, yang artinya bakteri ini secara terbatas dapat hidup dalam keadaan aerobik ataupun anaerobik serta merupakan bakteri Gram negatif dan dapat bertahan hidup hingga suhu 60°C selama 15 menit atau pada 55°C selama 60 menit. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang menunjukkan pada suhu 40°C, 50°C, 60°C, bakteri koloni 1 dapat tumbuh.
Menurut Jay (2000), bakteri akan mati pada suhu di atas 80°C pada waktu 10 menit. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa pada suhu 80°C bakteri masih dapat hidup, tetapi pada suhu 90oC pertumbuhan bakteri mulai berkurang.. Pada suhu 90oC bakteri koloni 1 tidak dapat tumbuh dikarenakan menurut Suharjono (2006) pada suhu tinggi enzim atau protein yang terdapat di dalam tubuh bakteri akan terdenaturasi,
sehingga akan menggangu metabolisme bakteri dan menyebabkan bakteri mati.
Pada koloni 2 yang diperlakukan dengan beberapa suhu mulai dari 40oC hingga 100oC dan dibandingkan dengan kontrol, bakteri koloni 2 pada suhu 40oC dan 50oC memiliki pertumbuhan bakteri yang banyak, pada suhu 60 oC hingga 90oC pertumbuhan bakteri sedikit, sedangkan pada suhu 100oC bakteri yang diinokulasikan pada medium NA tidak mengalami pertumbuhan. Hal tersebut menunjukkan bahwa titik kematian termal bakteri pada koloni 2 adalah pada suhu 100oC. Hal tersebut sesuai dengan teori menurut Pelczar & Chan (2008) bahwa pola pertumbuhan
bakteri dapat sangat dipengaruhi oleh temperatur. Mikrobia yang dapat tumbuh
pada suhu 40-80oC dan suhu optimal 55-65oC merupakan mikrobia thermofil
(Fardiaz, 2004).
Namun terdapat perbedaan antara pertumbuhan bakteri dari koloni 1 dan
koloni 2, pada koloni 2 hanya bakteri yang diberi perlakuan suhu 100oC yang
tidak mengalami pertumbuhan sedangkan pada koloni 1 pada suhu 90oC dan
100oC bakteri tidak tumbuh. Menurut Dwidjoseputro (2005), daya tahan terhadap
temperature tidak sama bagi tiap-tiap spesies. Ada spesies yang mati setelah
mengalami pemanasan beberapa menit di dalam cairan medium pada temperature
60oC, sebaliknya bakteri yang membentuk spora genus Bacillus dan genus
Clostridium itu tetap hidup setelah dipanasi dengan uap 100oC atau lebih selama
kira-kira setengah jam.
Umur sel mikroorganisme mempengaruhi ketahanan panasnya, selain itu
fase pertumbuhan dan suhu pertumbuhan sel juga mempengaruhi ketahanan panas
sel mikroorganisme. Makin tinggi suhu maksimal pertumbuhan sel akan semakin
tahan terhadap pemanasan. Apabila suhu pertumbuhan mikroorganisme lebih
rendah dari suhu optimal maka sel tersebut akan semakin peka
terhadap pemanasan. Pada umumnya sel pada fase pertumbuhan logaritmik lebih
peka terhadap panas jika dibanding dengan saat sel tersebut berada pada
fase pertumbuhan lainnya (Buckle, dkk., 1985).
Menurut Pothakamury (1995), perlakuan panas pada bakteri (66°C selama
10 menit) menghasilkan kerusakan hebat pada organel sel, tetapi tidak mengalami
kerusakan pecahnya dinding sel. Pada suhu yang sama, waktu pemanasan yang
lebih lama akan meningkatkan kematian sel mikroba. Semakin tinggi suhu
pemanasan, kematian sel mikroba semakin besar. Pada suhu yang lebih tinggi,
waktu pemanasan yang diperlukan untuk membunuh sejumlah sel semakin
singkat. Panas yang tinggi menyebabkan perubahan fungsi senyawa-senyawa
seluler yang menyebabkan perubahan struktur protein, yaitu denaturasi protein.
Selain itu juga akan menyebabkan inaktivasi enzim sehingga akan mengganggu
sistem metabolisme dalam sel bahkan kematian sel tesebut akibat pemanasan.
Kerusakan membran sel akan menyebabkan pembebasan fraksi lipid membran
sehingga membran sel akan kehilangan sifat selektifnya dan kerusakan DNA
(Fardiaz, 2004).
X. Kesimpulan
1. Keberadaan faktor abiotik (dalam hal ini suhu/temperatur) mempengaruhi
pertumbuhan bakteri. Suhu (temperatur) mempengaruhi laju pertumbuhan
dan jumlah total pertumbuhan bakteri. Keragaman temperatur dapat
mengubah proses-proses metabolik tertentu serta morfologi sel bakteri.
2. Bakteri memiliki daya tahan hidup dan toleransi terhadap titik suhu tertentu.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, bahwa bakteri mulai mati
(terhambat laju pertumbuhannya pada suhu 800C-900C, puncaknya yaitu pada
suhu 1000C yang mana tidak ada bakteri yang tumbuh (mati) dan
berkembang. Semakin tinggi suhu pemanasan dan semakin lama waktu
pemanasannya, maka semakin besar kematian bakteri dan semakin besar laju
pertumbuhannya.
Daftar Rujukan
Brooks, Geo F, dkk . 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika
Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H. dan Wotton, M. 1985. Ilmu Pangan.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Djide, M. Natsir. 2006. Mikrobiologi Farmasi Dasar. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Dwijoseputro. 1994. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan: Jakarta.
Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Fardiaz, Srikandi. 2004. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hastuti, U. S. 2012. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Malang: UMM Press.
Jay. 2000. Tinjauan Pustaka Mikrobiologi, (Online), (http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47393/F11jha_BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=6), diakses pada 28 Februari 2015.
Suharjono. 2006 . Komunitas Kapang Tanah di Lahan Kritis Berkapur DAS
Brantas Pada Musim Kemarau. Malang: Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Brawijaya.
Supardi dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan Produk Pangan. Bandung: Penerbit Alumni.
Pelczar, M.J., dan Chan, E.C.S. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi (terj.). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Pelczar, M.J & Chan, E.C.S. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 1. Penerjemah
Ratna Siri Hadioetomo, Teja Mas, S. Sutarmi Tjitrosomo & Sri lestari A.
Jakarta: UI Press.
Pothakamury, U.R., A. Monsalve-Gon-zalez, G.V. Barbosa-Canovas, and B.G.
Swanson. 1995. Inactivation of Escherichia coli and Staphylococcus aureus
in model foods by pulsed electric field technology. Food Research
International 28(2): 167-171.
LAMPIRAN