laporan
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
Daftar Isi ............................................................................................................ 1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ................................................................................. 2
2. Rumusan Masalah ............................................................................ 2
3. Tujuan ............................................................................................... 2
4. Manfaat ............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
BAB III PEMBAHASAN
1. Hipersensitivitas Tipe I .................................................................... 9
2. Hipersensitivitas Tipe II ................................................................... 9
3. Hipersensitivitas Tipe III ................................................................. 10
4. Hipersensitivitas Tipe IV …………………………………………. 11
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................. 14
BAB V DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 16
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme dan respon
pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Respon yang diberikan
oleh sistem imun terkadang berlebihan dan tidak seperti yang diinginkan,
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Hal tersebutlah yang disebut
hipersensitivitas. Hipersensitivitas terdapat empat macam ,yaitu hipersensitivitas
tipe I,tipe II, tipe III, dan tipe IV.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari laporan tutorial skenario IV, yaitu :
Apakah reaksi hipersensitivitas itu?
Bagaimana karakteristik macam-macam reaksi hipersensitivitas?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan tutorial skenario IV, yaitu:
Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan
tentang reaksi hipersensitivitas.
Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan
macam-macam reaksi hipersensitivitas mulai dari tipe I sampai tipe IV.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan laporan tutorial skenario IV, yaitu:
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan tentang
reaksi hipersensitivitas.
2
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan macam-
macam reaksi hipersensitivitas mulai dari tipe I sampai tipe IV.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Immunoglobulin E atau IgE merupakan antibody yang beredar dalam aliran
darah. Antibody ini kadang juga menimbulkan reaksi alergi akut pada tubuh. Oleh
karena itu, tubuh seseorang yang sedang mengalami alergi memiliki kadar IgE
yang tinggi. IgE penting dalam melawan infeksi parasit, misalnya skistosomiasis,
yang banyak ditemukan di Negara-negara berkembang. Hipersensitivitas adalah
peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan
atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan
yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara. Menurut Gell dan
Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I
hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi,
tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-
mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau
stimulatory hypersensitivity.
1. Hipersensitivitas tipe I
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut : (Gell dan Coombs)
1. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.
2. Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit
melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan-
bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik.
2. Hipersensitivitas tipe II (sitotoksik)
Reaksi hipersensitivitas tipe II dimediasi oleh antibody IgG dan IgM yang
berkaitan pada sel atau jaringan tertentu. Dengan demikian, kerusakan yang
4
terjadi terbatas pada sel atau jaringan yang membawa antigen yang dituju oleh
IgG atau IgM.
IgG /IgM dalam darah berikatan dengan epitop di permukaan
imunogen/antigen MHC yang ada di permukaan sel.Terjadi percepatan fagositosis
sel sasaran/lisis sel sasaran setelah terjadi pengaktifan system C. Jika sasarannya
adalah bakteri, maka hasilnya baik bagi tubuh. Jika sasarannya adalah
eritrosit,maka akibatnya mungkin anemia hemolitik. Jenis lain reaksi tipe II
adalah sitotoksisitas yang diperantai oleh sel yang dependen antigen (ADCC).
Leukosit seperti neutrofil dan makrofag memiliki reseptor untuk bagian tertentu
(bagian Fc) molekul immunoglobulin kemudian berikatan dengan sel dan
menghancurkannya
Sumber: (Sylvia A. price dan Lorraine M. Wilson,2005)
Mekanisme Perusakan
Pada hipersensitivitas tipe II, antibody yang diarahkan pada antigen
permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai sel
efektor untuk menimbulkan kerusakan sel sasaran. Setelah antibody menempel
pada permukaaan sel atau jaringan, dia akan mengaktifkan komponen komplemen
C1. Akibat dari aktivasi ini adalah sebagai berikut:
1. Fragmen-fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh
aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan sel-sel polimorfonuklear
ke lokasi reaksi dan merangsang sel mast dan basofil untuk menghasilkan
molekul-molekul yang dapat menarik dan mengaktifkan sel-sel efektor
lain.
2. Jalur komplemen klasik dan lengkung aktivasi mengakibatkan
pengendapan C3b, C3bi, dan C3d pada membrane sel sasaran.
3. Jalur komplemen klasik dan jalur litik memproduksi kompleks serangan
membrane C5b-9 dan menyelipkan kompleks tersebut ke dalam membrane
sel sasaran.
Reaksi terhadap sel-sel darah dan trombosit
5
Beberapa contoh paling jelas tentang reaksi tipe II ditemukan pada reaksi
terhadap eritrosit berikut ini:
1. Transfusi darah yang tidak cocok (incompatible). Resipien transfuse
tersensitisasi dengan antigen pada permukaan eritrosit donor.
2. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (haemolytic disease of the
newborn, HDNB). Wanita hamil tersensitisasi oleh eritrosit janin.
3. Anemia hemolitik autoimun. Penderita tersensitisasi oleh eritrositnya
sendiri.
Reaksi terhadap trombosit dapat menimbulkan trombositopenia, sedangkan reaksi
terhadap neutrofil dan limfosit diduga mengakibatkan lupus eritematosus sistemik
(LSE)
3. Hipersensitivitas tipe III
Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan
kompleks antigen-anibodidalam jaringan atau pembuluh darah. (Aru W.
Sudoyo,dkk :2006) Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang
persisten ( malaria ), bahan yang terhirup ( spora jamur yang menimbulkan
alveolitis ekstrinsik alergi ), atau dari jaringan sendiri ( penyakit autoimun ). (Aru
W. Sudoyo,dkk :2006) Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh
sel fagosit mononuclear terutama dalam hati, limpadan paru tanpa bantuan
komplemen. Dalam proses tersebut ukuran kompleks imun merupakan factor
penting. Pada umumnya kompleks yang besar,mudah dan cepat dimusnahkan
dalam hati. (Aru W. Sudoyo,dkk :2006)
Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen,
tetapi dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan
secara efektif oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan
kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis
besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:
6
1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody
yang lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang
dapat mengendap di berbagai jaringan.
2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi
secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.
3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru –
paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.
4. Hipersensitivitas tipe IV
Pada reaksi hipersensivitas tipe I, II, dan III yang berperan adalah antibodi
(Imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Hipersensivitas tipe IV diperantarai oleh sel T
tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi menjadi dua tipe dasar: (1)
hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel
langsung, diperantarai oleh sel CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T
CD4+ THI menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sellain,
terutama makrofag, yangmerupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler,
sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor. (Billy Anderson Sinaga, Diah P.
Sari, dkk: 2009)
Pada reaksi yang diperantai oleh sel T ini terjadi pengaktifan sel T sitotoksik
(CD8) atau sel T helper (CD4), oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran
sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang di perantai oleh sel sitotoksik sering
dibangkitkan oleh sel yang terinfeksi virus dan dapat menyebabkan kerusakan
jaringan luas. Reaksi yang diperantai sel CD 4 bersifat lambat (delayed),
memerlukan waktu 24 sampai 72 jam untuk terbentuknya. Sel tersebut ditandai
dengan pembentukan sitokin pro-inflamatori yang merangsang fagositosis
makrofag dan meningkatkan pembengkakan atau edema.
Contoh penyakit yang disebabkan oleh reaksi tipe IV adalah tiroiditis
otoimun (Hashimoto), ketika terbentuk sel T terhadap jaringan tiroid, penolakan
tandur dan tumor dan reaksi alergi tipe lambat, misalnya alergi terhadap poison
7
ivy. Uji kulit tuberkulin mengisyaratkan adanya imunitas yang diperantai sel
secara lambat terhadap basil tuberkulosis.(Elizabeth J. 2009)
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV
Interaksi dari limfosit T primer yang spesifik dengan antigen terpusat pada respon
DTH (Gambar 9.22).
Belum juga diketahui
bagaimana sel T primer
meninggalkan sirkulasi
untuk mencapai tempat
akumulasi antigen
dalam jaringan.
Mungkin hanya
sejumlah kecil sel-T
primer saja yang
diperlukan untuk
mencapai antigen,
mungkin melalui
sirkulasi secara acak
untuk memicu terjadinya respons. Secara umum, limfosit-T penolong tidak
bereaksi dengan antigen bebas. Limfosit-T penolong dapat mengenali antigen
hanya ketika antigen tersajikan dalam ikatan dengan molekul HLA kelas II.
Molekul HLA seperti ini terletak pada permukaan sel pembawa antigen (antigen
presenting cell) yang termasuk di dalamnya makrofag dan sel khusus dengan
tonjolan dendritik dalam epidermis, disebut sel Langerhans. Reaksi ini
menstimulasi sel-T penolong untuk mensekresi sejumlah senyawa yang secara
kolektif disebut sitokin, yang mengaktifkan sitotoksik dan sel-T supresor dan
membawa makrofag ke daerah tersebut. (Underwood, J.C.E.1999)
BAB III
8
PEMBAHASAN
3.1 TIPE-TIPE HIPERSENSITIVITAS
3.1.1 Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis pada awalnya diduga bahwa
tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap parasit tertentu terutama
cacing. Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun
1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini allergen
yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya
Ig E.
Kejadian reaksi tipe I terdiri dari 3 fase. Fase yang pertama Fase Sensitasi
yaitu jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE agar terikat oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil. Yang kedua adalah
Fase Aktivas yaitu jangka waktu yang dibutuhkan selama terjadi pajanan ulang
dengan antigen, mastosit akan mengeluarkan granul yang akan menimbulkan
reaksi. Fase terakhir adalah Fase Efektor yaitu jangka waktu untuk terjadi respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas mastosit .
IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat
oleh mastosit/basofil. IgE yang sudah ada permukaan mastosit akan menetap
untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi secara pasif apabila serum
(darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit atau sirkulasi orang
normal.
Penyakit-penyakit yang ditimbulkan segera sesudah tubuh terpajan dengan
allergen biasanya adalah asma bronchial, rintis, urtikaria (kaligata), dan dermatitis
atopi.
3.1.2 Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik, yaitu:
1. IgG /IgM dalam darah berikatan dengan epitop di permukaan
imunogen/antigen MHC yang ada di permukaan sel
9
2. Terjadi percepatan fagositosis sel sasaran/lisis sel sasaran setelah terjadi
pengaktifan system C. Jika sasarannya adalah bakteri, maka hasilnya baik
bagi tubuh. Jika sasarannya adalah eritrosit,maka akibatnya mungkin
anemia hemolitik
3. Jenis lain reaksi tipe II adalah sitotoksisitas yang diperantai oleh sel yang
dependen antigen (ADCC). Leukosit seperti neutrofil dan makrofag
memiliki reseptor untuk bagian tertentu (bagian Fc) molekul
immunoglobulin kemudian berikatan dengan sel dan menghancurkannya.
3.1.3 Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat
endapan kompleks antigen-anibodidalam jaringan atau pembuluh darah, juga
merupakan reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh deposisi immune
complex, fiksasi komplemen, dan sel-sel radang di permukaan radang.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten
( malaria ), bahan yang terhirup ( spora jamur yang menimbulkan alveolitis
ekstrinsik alergi ), atau dari jaringan sendiri ( penyakit autoimun ).
Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit
mononuclear terutama dalam hati, limpadan paru tanpa bantuan komplemen.
Dalam proses tersebut ukuran kompleks imun merupakan factor penting. Pada
umumnya kompleks yang besar,mudah dan cepat dimusnahkan dalam hati.
Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen,
tetapi dalam keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan
secara efektif oleh jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan
kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis
besar dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody
yang lemah, menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat
mengendap di berbagai jaringan.
10
2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi
secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self.
3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru
– paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.
3.1.4 Hipersensitivitas Tipe IV
Pada reaksi hipersensivitas tipe I, II, dan III yang berperan adalah antibodi
(Imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Hipersensivitas tipe IV diperantarai oleh sel T
tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi menjadi dua tipe dasar: (1)
hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel
langsung, diperantarai oleh sel CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T
CD4+ THI menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sellain,
terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler,
sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
Pada reaksi yang diperantai oleh sel T ini terjadi pengaktifan sel T
sitotoksik (CD8) atau sel T helper (CD4), oleh suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang di perantai oleh sel
sitotoksik sering dibangkitkan oleh sel yang terinfeksi virus dan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan luas. Reaksi yang diperantai sel CD 4 bersifat
lambat (delayed), memerlukan waktu 24 sampai 72 jam untuk terbentuknya. Sel
tersebut ditandai dengan pembentukan sitokin pro-inflamatori yang merangsang
fagositosis makrofag dan meningkatkan pembengkakan atau edema.
Contoh penyakit yang disebabkan oleh reaksi tipe IV adalah tiroiditis
otoimun (Hashimoto), ketika terbentuk sel T terhadap jaringan tiroid, penolakan
tandur dan tumor dan reaksi alergi tipe lambat, misalnya alergi terhadap poison
ivy. Uji kulit tuberkulin mengisyaratkan adanya imunitas yang diperantai sel
secara lambat terhadap basil tuberculosis.
Mekanisme Hipersensitivitas Tipe IV
11
Interaksi dari limfosit T primer yang spesifik dengan antigen terpusat pada
respon DTH (Gambar 9.22). Belum juga diketahui bagaimana sel T primer
meninggalkan sirkulasi untuk mencapai tempat akumulasi antigen dalam jaringan.
Mungkin hanya sejumlah kecil sel-T primer saja yang diperlukan untuk mencapai
antigen, mungkin melalui sirkulasi secara acak untuk memicu terjadinya respons.
Secara umum, limfosit-T penolong tidak bereaksi dengan antigen bebas. Limfosit-
T penolong dapat mengenali antigen hanya ketika antigen tersajikan dalam ikatan
dengan molekul HLA kelas II. Molekul HLA seperti ini terletak pada permukaan
sel pembawa antigen (antigen presenting cell) yang termasuk di dalamnya
makrofag dan sel
khusus dengan
tonjolan dendritik
dalam epidermis,
disebut sel
Langerhans.
Reaksi ini
menstimulasi sel-T
penolong untuk
mensekresi
sejumlah senyawa
yang secara
kolektif disebut
sitokin, yang
mengaktifkan
sitotoksik dan sel-T supresor dan membawa makrofag ke daerah tersebut.
Terdapat 4 reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu:
1. Reaksi JM (Jones Mole), yaitu reaksi yang ditandai oleh adanya infiltrasi
basofil dibawah epidermis, biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut
dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap siklofosfamid. Reaksi ini
biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem yang terdiri
atas infiltrasi sel basofil.
12
2. Reaksi Kontak, yaitu reaksi yang maksimal terjadinya setelah 48 jam dana
merupakan reaksi epidermal. Kontak dengan antigen mengakibatkan
ekspansi klon sel-T yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak
ulang meninggalkan respon.
3. Reaksi Tuberkulin, yaitu reaksi yang terjadi 20 jam setelah terpajan
dengan antigen. Reaksinya terdiri atas infiltrasi sel mononuklier (50%
limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit
dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan
serat-serat kolagen kulit.
4. Reaksi Granuloma, yaitu reaksi dimana pada respon akut terjadi influx
monosit, neutrofil, dan limfasit ke jaringan reaksi ini merupakan reaksi
tipe IV yang paling penting karena menimbulkan banyak efek patologis.
BAB IV
KESIMPULAN
13
Gangguan imun yang merusak jaringan diklasifikasikan dalam berbagai
cara untuk memperjelas dasar patofisiologisnya. Empat mekanisme gangguan
yang dimediasi secara imunologis telah digambarkan sesuai dengan cara
terjadinya cedera jaringan. Istilah klasik untuk reaksi yang merusak jaringan
imunologis adalah reaksi hipersensitivitas. Secara umum terdapat empat tipe
reaksi hipersensitivitas.
Reaksi hipersensitivitas tipe I (anafilaksis), pada reaksi ini allergen yang
masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E.
Kejadian reaksi tipe I terdiri dari 3 fase. Fase yang pertama Fase Sensitasi yaitu
jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE . Yang kedua adalah Fase
Aktivas yaitu jangka waktu yang dibutuhkan selama terjadi pajanan ulang dengan
antigen. Fase terakhir adalah Fase Efektor yaitu jangka waktu untuk terjadi respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas mastosit .
Reaksi hipersensitivitas tipe II merupakan reaksi sitotoksik, yaitu IgG
/IgM dalam darah berikatan dengan epitop di permukaan imunogen/antigen MHC
yang ada di permukaan sel. Jika sasarannya adalah bakteri, maka hasilnya baik
bagi tubuh. Jika sasarannya adalah eritrosit,maka akibatnya mungkin anemia
hemolitik. Selain itu juga dapat diperantai oleh sel yang dependen antigen
(ADCC) seperti neutrofil dan makrofag yang memiliki reseptor untuk bagian
tertentu (bagian Fc) molekul immunoglobulin sehingga dapat berikatan dengan sel
dan menghancurkannya.
Reaksi hipersensitivitas tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun
terjadi akibat endapan kompleks antigen-anibodidalam jaringan atau pembuluh
darah, juga merupakan reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh deposisi
immune complex, fiksasi komplemen, dan sel-sel radang di permukaan radang.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten (malaria),
bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi),
atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun).
Reaksi Hipersensitivitas tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Hipersensivitas tipe IV diperantarai oleh sel T
14
tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi menjadi dua tipe dasar: (1)
hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel
langsung, diperantarai oleh sel CD8+. Reaksi yang diperantai sel CD 4 bersifat
lambat (delayed), memerlukan waktu 24 sampai 72 jam untuk terbentuknya. Sel
tersebut ditandai dengan pembentukan sitokin pro-inflamatori yang merangsang
fagositosis makrofag dan meningkatkan pembengkakan atau edema. Terdapat 4
reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu Reaksi JM (Jones Mole), Reaksi Kontak,
Reaksi Tuberkulin, dan Reaksi Granuloma.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
15
Baratawidjaja, K.G.dan Rengganis, A.2009.Imunologi Dasar Ed.8. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI.
Pujiyanto, Sri. 2008. Menjelajah Dunia Biologi 2. Solo : PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri.
Underwood, J.C.E.1999.Patologi Umum dan Sistemik. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran-EGC.
Billy Anderson, Diah P. Sari, Dwi Ardiani Sari, Merry, Astrid.
2009.Tugas Patologi Anatomi Hypersensitivity Diseases. Medan : FKG
Universitas Sumatra Utara.
16