kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme...

85
i KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF KONSEP DIYAT SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: MURTADHI ACHMAD NINGRAT 11140430000042 P R O G R A M S T U D I P E R B A N D I N G A N M A D Z H A B F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H J A K A R T A 1440 H / 2019 M

Upload: others

Post on 08-Jan-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

i

KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM

PERSPEKTIF KONSEP DIYAT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

MURTADHI ACHMAD NINGRAT

11140430000042

P R O G R A M S T U D I P E R B A N D I N G A N M A D Z H A B

F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M

U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I

S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H

J A K A R T A

1440 H / 2019 M

Page 2: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

ii

KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM

PERSPEKTIF KONSEP DIYAT

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Murtadhi Achmad Ningrat

NIM: 11140430000042

Di Bawah Bimbingan,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2019 M

Page 3: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

iii

Page 4: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

iv

Page 5: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

v

ABSTRAK

Murtadhi Achmad Ningrat. NIM 11140430000042. KOMPENSASI BAGI

KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF

KONSEP DIYAT. Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M.

vii + 74 halaman.

Studi ini menjelaskan mengenai ketentuan kompensasi pada Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme

dalam konsep diyat. Sebagai suatu langkah hukum yang diberlakukan untuk

melindungi hak-hak yang dimiliki oleh korban pada tindak pidana terorisme. Oleh

karena itu kesinambungan yang dimiliki pada kompensasi hanya terjadi ketika

pelanggaran pada tindak pidana berat, untuk itu pembahasan ini mencakup pada

prespektif hukum pidana Islam secara umum dan khususnya pada konsep diyat.

Metode ini menggunakan sebuah penulisan dalam penelitian yaitu metode

penelitian hukum normatif yang mana meletakkan hukum sebagai system norma.

System norma adalah asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-

undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin. Sesuai dengan

karakteristik kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode library

research dengan melakukan pengkajian terhadap norma-norma hukum, buku-

buku, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara penerapan konsep diyat pada

kompensasi ini memiliki perbedaan dari segi pertanggungjawabannya yaitu;

pertama, untuk kompensasi yang dilimpahkan oleh negara seutuhnya bukan

terhadap pelaku dan yang kedua untuk diyat sendiri lebih dibebankan oleh pihak

pelaku sebagai penggantian akibat yang ditumbulkan dari tindak pidana. Namun

dari secara persamaannya sama-sama lebih mengedepankan hak yang diperoleh

oleh korban. Kompensasi ini dilakukan ketika suatu tindak pidana yang

dinyatakan berat seperti tindak pidana HAM misalnya, pada korban tindak pidana

terorisme dapat diberlakukan secara menyeluruh. Secara status kompensasi ini

merupakan hak konstitusional yang diberikan untuk korban.

Kata Kunci : Kompensasi, Diyat, dan Korban Tindak Pidana Terorisme.

Pembimbing : Dr. Muhammad Taufiki, S.Ag., M.Ag. dan H. Ahmad Bisyri

Abd. Shomad, MA Daftar Pustaka : 1947 s.d. 2018

Page 6: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

vi

KATA PENGANTAR

حيم حمانالر بسمللالر

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah

SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan

sahabatnya. Selanjutnya, penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak

terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penuisan skripsi ini,

baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan

dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

Disamping itu, izinkan penulis untuk menyapaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dekan Fakultas syariah dan Hukum Asep Saefuddin Jahar, MA yang

menjabat pada periode 2014-2019 dan Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,

M.H., M.A yang saat ini menjabat pada periode 2019- 2023 serta para

pembantu dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab Fahmi Muhammad Ahmadi,

M.Si dan Sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab Hidayatulloh, MH

yang telah membantu banyak hal kepada penulis.

3. Bapak H. Ahmad Bisyri Abdul Shomad, MA. Selaku dosen penasihat

akademik yang selalu memberikan inspirasi dan motivasi penuh kepada

penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan

sebagaimana mestinya.

4. Pembimbing I dan II: Dr. Muhammad Taufiki, S.Ag., M.Ag. dan H. Ahmad

Bisyri Abdul Shomad, MA. Sebagai dosen pembimbing dalam penulisan

skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan dan arahan kepada

penulis. Serta ikhlas meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan

arahan dan masukan yang membangun kepada penulis dalam penulisan karya

ilmiah ini. Semoga apa yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat

ganjaran dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Page 7: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

vii

5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Umum maupun Perpustakaan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi

kepustakaan.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan

ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu selalu dalam rahmat dan

lindungan Allah SWT. Sehingga, ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat

dikemudian hari.

7. Seluruh civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu, Terimakasih telah membantu pemahaman penulis

selama masa perkuliahan.

8. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis haturkan

dengan rasa penuh bangga kepada kedua orang tua penulis yang tercinta,

ayahanda Achmad Muhidin, SH. Dan ibunda Insupiani serta kakak dan adik

penulis, Muttaqin Achmad Ningrat, Nur Afifah, Resi Resviani dengan segala

dukungan serta motivasinya baik secara moril maupun materiil yang tidak

akan pernah penulis lupakan atas jasa-jasa diberikan kepada penulis. Dengan

do’a yang kalian panjatkan akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai

dengan baik untuk kelanjutan studi penulis saat ini.

9. Nur Wasiah Adiwiyono S.H teman terbaik penulis yang telah memberikan

banyak pesan dan kesan kepada penulis. Semoga Allah SWT tetap

memberikan kesehatan kepadanya.

10. Sahabat dan teman terbaik penulis yang banyak membantu dalam segala hal

apapun selama di Ciputat, ananda Khoirul Rezqy, Fakhri Muhammad, Reno

Trie Ramadhan, Ahmad Zaelani, Abdullah Mahfud, Abdul Harits, Budi

Kurniawan, Ari Al Maulana, M. Angga Yuda, Khalil Gibran, Fahmi

Fajrianto, Deni Alamsyah, Sahrul Fauzi, dan Ahmad Tio Handini S.H.

Semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan dalam hidupnya baik dari

kesehatan dan keselamatan maupun apapun itu. Salam hormat dari penulis

dan ucapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya telah banyak membantu

penulis dalam hal apapun selama berada di Ciputat.

Page 8: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

viii

11. Terimakasih kepada reyhan, farhan, yudi, rifaldi, ryansyah, iksir, dan reza dan

yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu terutama di pmh hmi.

Karena telah memberikan pengalaman kepada penulis sekaligus sudah

membantu penulis dalam menyelesaikan hal-hal apapun, dan terimakasih

semuanya rombongan besan. Semoga selalu diberikan keberkahan dan

dilindungi Allah SWT.

Demikian penulis ucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dan

mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata dalam penulisan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bermanfaat bagi semua

pihak.

Jakarta, 31 Desember 2018

Murtadhi Achmad Ningrat

Page 9: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... ... iii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv

ABSTRAK ........................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................... ix

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............ 4

C. Tujuan Penelitian ............................................................... 5

D. Manfaat Penelitian ............................................................. 6

E. Review Kajian Terdahulu ................................................... 6

F. Metode Penelitian .............................................................. 8

G. Sistematika Penulisan …………........................................ 11

BAB II : KONSEP KOMPENSASI PADA TINDAK PIDANA

TERORISME DALAM HUKUM PIDANA POSITIF

A. Kompensasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme.............................................................. 12

B. Pandangan Hukum Pidana tentang Kompensasi............... 16

C. Pemberlakuan kompensasi bagi korban berdasarkan Delik

pada tindak pidana terorisme …….................................... 26

BAB III : KONSEP DIYAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Diyat dalam Hukum Pidana Islam................... 32

B. Dasar Hukum Diyat……………………………………... 34

C. Jenis-Jenis Diyat................................................................ 37

Page 10: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

x

1. Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Jiwa…………. 38

2. Tindak Pidana Selain Jiwa…………………………… 44

D. Ketentuan Diyat dalam Hukum di Indonesia….……….... 49

BAB IV : KOMPENSASI DALAM KONSEP DIYAT BAGI KORBAN

TINDAK PIDANA TERORISME

A. Konsep Kompensasi dan Konsep Diyat bagi korban tindak

pidana terorisme……………….................................…… 55

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................... 70

B. Rekomendasi...................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 71

Page 11: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum dan keadilan bagi

warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat

perlengkapan negara atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang

demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.1

Pemikiran negara hukum di mulai sejak Plato dengan konsepnya “bahwa

penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan

(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi”.

Kemudian ide tentang negara hukum popular pada abad ke-17 sebagai

akibat dari situasi politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme. Dalam

perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham

kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi

kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas

dasar kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Dalam kaitannya dengan negara

hukum, kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum, di

samping masalah kesejahteraan rakyat.2

Salah satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas. Asas legalitas

berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum.

Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk Undang-undang dan

berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak

mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Gagasan negara hukum

menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintah harus didasarkan

pada Undang- undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar

rakyat yang tertuang dalam Undang-undang.

Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa yang

mengakibatkan hilangnya hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara

1 Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011),

hlm. 8. 2 Ni’matul Huda, Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review, (Yogyakarta : UII

Press, 2005), hlm.19.

Page 12: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

2

kodrat melekat dalam diri manusia yaitu hak untuk hidup dan hak untuk

merasa aman dan nyaman. Pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan

salah satu perwujudan dari konsep negara hukum yang diatur di dalam

ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen terhadap UUD

1945, pengakuan atas hak asasi manusia diatur di dalam ketentuan Pasal 28

UUD 1945. Sedangkan setelah atau pasca amandemen terhadap UUD 1945,

pengaturan mengenai hak asai manusia semakin diperjelas dan diperinci

sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 28 dan Pasal 28A-28J UUD 1945.

Terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan

ideologis, sejarah dan politis serta merupakan bagian dari dinamika

lingkungan strategis pada tataran global dan regional. Kendatipun aksi

terorisme yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa tahun terakhir ini

kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan hanya sedikit aktor-aktor

dari luar. Namun tidak dapat dibantah bahwa aksi terorisme saat ini

merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik dengan mereka yang

memiliki jejaring trans-nasional.3

Bukan sekedar aksi teror semata, akan tetapi pada kenyataannya tindak

pidana terorisme juga melanggar hak asasi manusia sebagai hak dasar yang

secara kodrat melekat dalam diri manusia yaitu hak untuk hidup dan hak

untuk merasa aman dan nyaman. Pengakuan terhadap hak asasi manusia

merupakan salah satu perwujudan dari konsep negara hukum yang diatur di

dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Sebelum amandemen terhadap UUD 1945, pengakuan atas hak asasi

manusia diatur di dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Sedangkan setelah

atau pasca amandemen terhadap UUD 1945, pengaturan mengenai hak asai

manusia semakin diperjelas dan diperinci sebagaimana yang diatur di dalam

Pasal 28 dan Pasal 28A-28J UUD 1945.

Dalam mengupayakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga dari

tindak kejahatan terorisme maka pemerintah Indonesia merasa perlu untuk

3 Muhammad A.S. Hikam, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung

Radikalisme, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2016), hlm. 33-34.

Page 13: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

3

membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu

dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Nomor 1 Tahun 2002. Yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi

Undang-Undang RI dengan Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme.4

Salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang tersebut

adalah tragedi bom di Sari Club dan Paddy’s Club Kuta Legian Bali 12

Oktober 2002, yang selayaknya digolongkan sebagai kejahatan terbesar di

Indonesia dari serangkaian teror yang ada. Tragedi tersebut adalah sebuah

bukti nyata bahwa teror adalah aksi yang sangat keji yang tidak

memperhitungkan, tidak memperdulikan dan sungguh-sungguh mengabaikan

nilai-nilai kemanusiaan.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No 15 Tahun 2003 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun

2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-

Undang, kenyataan masih marak terjadi tindak terorisme dengan motif dan

cara beragam sehingga pemerintah merubah undang-undang sebelumnya,

khususnya dalam hal perlindungan terhadap korban yang diakibatkan tindak

pidana terorisme yakni tentang kompenasasi bagi para korban pada Undang-

Undang perubahan pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai

pasal 36.

Dalam hukum Islam tindakan pidana disebut Jarimah atau Jinayah namun

fuqaha lebih sering menggunakan istilah Jinayah, Hukuman bagi orang yang

melanggar Jinayah adalah qishash atau diyat. bila ia memotong anggota

tubuh maka anggota tubuhnya. Qishash (قصاص) berasal dari bahasa Arab

yang berarti “mencari jejak”, seperti “al-qasas“. Sedangkan dalam istilah

4 Romli Atmasasmita dan Tim, Analisis dan Evaluasi Peraturan PerundangUndangan

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003),

(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2012),

hlm. 73.

Page 14: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

4

hukum Islam, maknanya adalah pelaku kejahatan dibalas seperti

perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan juga dipotong.5

Berdasarkan tafsiran Al-Quran Qishaash ialah mengambil pembalasan

yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat

kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diyat (ganti

rugi) yang wajar. Pembayaran diyat atau ganti rugi dari pelaku kepada korban

atau ahli warisnya memiliki kesamaan konsep dengan Undang-Undang

perubahan pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai pasal 36

yaitu pemberian kompensasi kepada pihak korban tindak pidana yang

mengakibatkan kerugian berupa hilangnya anggota tubuh atau anggota

seseorang.

Konsep ganti rugi atau kompensasi dalam Undang-Undang perubahan

pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai pasal 36 dan

hukum islam secara substantif memiliki kesamaan namun dalam beberapa hal

terjadi perbedaan. Dari latar belakang tersebut, maka penulis mengankat

skripsi dengan judul, KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA

TERORISME DALAM PERSPEKTIF KONSEP DIYAT.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat diidentifikasi

beberapa permasalahan tentang kompensasi bagi korban tindak pidana

terorisme menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang

pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai pasal 36 dan

hukum pidana Islam sebagai berikut :

a. Adanya kesamaan konsep ganti rugi bagi korban tindak pidana

terorisme menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 2018

pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 35A sampai pasal 36

dan hukum pidana Islam.

b. Terjadinya perbedaan dalam proses pelaksanaan kompensasi atau

ganti rugi bagi korban terorisme.

5 Labib MZ, Risalah Fiqh Islam, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2006), hlm. 579.

Page 15: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

5

2. Pembatasan Masalah

Mengingat masalah tentang terorisme menjadi kasus yang amat

disoroti di Indonesia maupun di dunia, maka dalam penelitian ini akan

dibatasi pada konsep Diyat dalam pemberlakuan kompensasi bagi korban

terorisme dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang

pemberantasan terorisme dan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2018

tentang pemberian kompensasi, restituasi, dan bantuan kepada saksi dan

korban. Peraturan pemerintah ini sebagai acuan dari pemberian ganti rugi

yang harus dilakukan oleh korban, berdasarkan turunan hierarki dari

undang-undang pemberantasan terorisme. Penulis akan menganalisis

terkait dengan Kompensasi dan konsep Diyat pada korban terorisme

kemudian dibandingkan pada konsep hukum Pidana Islam dan Hukum

Pidana Positif.

3. Perumusan Masalah

Perumusan berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka

perumusan masalah dalam penelitian ini adalah

bagaimana perbandingan konsep kompensasi dalam Hukum Pidana

Positif dan Diyat pada Hukum Pidana Islam bagi korban tindak pidana

terorisme?

Berdasarkan pokok rumusan masalah penulis merinci kedalam

bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Analisis dari konsep diyat sebagai ganti kerugian menurut hukum

Pidana Islam?

2. Analisis kompensasi menurut hukum Pidana Positif?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menjelaskan perbandingan antara Kompensasi dengan konsep

Diyat bagi korban terorisme menurut hukum Pidana Positif dan hukum

Pidana Islam.

Page 16: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

6

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

pandangan baru terhadap terorisme dan kompensasi bagi korban terorisme

di Indonesia dalam dua persperktif, yaitu hukum pidana islam dan hukum

pidana positif.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini, yaitu:

a. Bagi Akademis

Menambah pengalaman dan pengetahuan yang dapat diterapkan

dalam bentuk nyata sebagai pertisipasi dalam menjaga keseimbangan

negara dan kepercayaan masyarakat Indonesia kepada pertahanan

negara berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar NRI 1945

serta undang undang yang berlaku dalam kehidupan bangsa sebagai

bagian dari masyarakat internasional terutama tentang permasalahan

terorisme.

b. Bagi Masyarakat Umum

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat

mengenai terorisme dan penerapan diyat sebagai kompensasi korban

terorisme karena masyarakatlah yang akan merasakan dampak paling

buruk dari keberadaan pelaku terorisme.

c. Bagi Pemerintah

Dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengambil

kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung dan menjaga kestabilan

negara serta kepercayaan terhadap keberadaan dan keamanan negara.

E. Review Kajian Terdahulu

1. Skripsi

Dalam penelitian memang sudah menjadi bahas yang sangat biasa,

namun perlindungan yang ditimbulkan pada korban ini tidak banyak

menjadi sorotan pemerintah. Namun pembahasan ini tercapai setelah

ada pengesahan terkait dengan perubahan undang-undang

Page 17: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

7

pemberantasan terorisme dengan sebuah persamaan konsep ganti rugi

yang ada pada islam. Setelah penulis mencermati dan membaca

skripsi yang sekiranya berkaitan dengan judul yang akan penulis teliti,

sehingga menemukan kesamaan dan akan dijadikan sebagai review

(kajian). Dengan skripsi yang berjudul “Model Penegakan Hukum

Dalam tindak Pidana Terorisme” yang disusun oleh Fanny Fajriah

mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum Skripsi Tahun 2015,

yaitu pembahsan berupa kecendrungan dalam model penanganan

pada tindak pidana terorisme yang terdapat pada undang-undang,

namun sangat berbeda dari penulis teliti yang tertitik beratkan pada

korbannya.

Dalam Skripsi yang berjudul “Pidana Ganti Kerugian Pada

Kecelakaan Kendaraan Bermotor Yang Mengakibatkan Tewasnya

Korban” oleh Fandi Machfuz tahun 2010 yang juga membahasa pada

pemidanaan ganti rugi yang menyebabkan korbannya tewas dalam

kecelakaan. Namun pembahasan yang berbeda dari objek yang

menyebabkan ganti rugi pada skripsi yan penulis teliti.

2. Buku

“Membela Islam Membela Kemanusiaan” yang ditulis oleh Fajar

Riza Ul Haq Tahun 2017 Menjelaskan uraian mengenai pembahasan

persatuan yang digambarkan dalam Islam dan sebuah perlindungan

kepada korban terorisme sebagai kejahatan HAM.

3. Jurnal

Jurnal dengan judul “Arah Perubahan Undnag-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” oleh Trias Palupi

Kurnianingrum. Dalam jurnalnya ia menjelaskan tentang beberapa

ketentuan dalam UU Anti Terorisme yang belum mampu menjawab

kebutuhan pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia. Revisi

UU Anti Terorisme harus dilakukan secara transparan dan sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan. Perluasan kewenangan dan

Page 18: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

8

tindakan pidana dalam RUU Anti Terorisme perlu diimbangi dengan

perluasan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

F. Metode Penelitian

metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif,

yakni merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pencarian

makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi

tentang suatu fenomena; fokus dan multimetode, bersifat alami dan

holistik, mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta

disajikan secara naratif.6 Adapun hal ini penulis harus dapat

menyimpulkan dari semua metode dalam penulisan skripsi ini,

diantaranya:

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan

jenis penelitian hukum normatif. Sesuai dengan karakteristik

kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode library

research (kajian kepustakaan) dengan pendekatan kualitatif.

Dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan

perbandingan7, yang dalam penelitian ini penulis membandingkan

antara hukum pidana positif yaitu Undang-Undang Perubahan

Pemberantasan Terorisme dengan hukum pidana Islam.

Penelitian hukum normatif sendiri mencakup:8

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum.

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.

d. Penelitian sejarah hukum.

e. Penelitian perbandingan hukum.

6 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014), hlm. 329. 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014),

hlm. 172. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 2008), hlm. 51.

Page 19: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

9

Sedangkan data yang digunakan untuk menemukan

pendapat pemikiran hukum Islam pada kitab-kitab klasik mazhab

yang mahsyur yang bersangkutan dengan hukum pidana islam

pada diyat. Serta pemikiran hukum islam kontemporer yang

sangat relevan.

2. Kriteria dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer, sekunder dan tertier. Sumber data primer adalah sumber

data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.9

Dengan menggunakan semua data yang ada, yaitu:

a. Data primer, yaitu data yang bersifat utama dan penting

yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah

informasi berkaitan dengan penelitian, yaitu:

1) Norma Hukum dalam Undang-Undang Perubahan

Pemberantasan Teorisme.

2) Peraturan Pemerintah nomor 7 Tahun 2018

Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan

Bantuan kepada Saksi dan Korban.

3) Ketentuan Diyat menurut Hukum Pidana Islam

yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah dan

Pendapat Hukum Pidana Islam dari berbagai

madzhab yang masyhur.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara

mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen

yang berhubungan dengan masalah penelitian ini, isu-

isu yang berkaitan dengan masalah ini. Bahan-bahan

tersebut digunakan untuk mendukung, membantu,

9 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Cetakan Ke-2. (Bandung:

Alfabeta, 2008), hlm. 225.

Page 20: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

10

melengkapi dan membahas masalah-masalah yang

timbul dalam penelitian ini.

c. Data tertier merupakan petunjuk dsn penjelasan

bermakna terhadap baham hukum primer dan sekunder,

seperti: kamus, ensiklopedia, artikel, koran, majalah,

situs, internet, jurnal politik dan pemerintahan serta

makalah yang berkaitan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode

pengumpulan data, yaitu menggunakan study pustaka (library

research). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

dapat mengumpulkan aturan perundang-undangan atau putusan-

putusan pengadilan yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Tetapi yang lebih esensial adalah penelusuran buku-buku hukum,

karena di dalam buku itulah banyak terkandung konsep-konsep

hukum. Metode kepustakaan dilakukan guna mengeskplorasi

teori-teori tentang konsep dan pemahaman khususnya terkait

dengan tema penelitian yakni konsepi diyat pada pemberlakuan

kompensasi bagi korban terorisme dengan analisa hukum islam

dan hukum pidana positif.

4. Teknik Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian

diklasifikasi. Setelah itu penulis menganalisis dengan

menggunakan pendekatan comparative atau perbandingan.10

Dalam hal ini penulis membandingkan antara Undang-Undang

pemberantasan terorisme dan hukum islam.

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014),

hlm. 172.

Page 21: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

11

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan

metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan skripsi pada

Buku Pedoman Penulisan Skripsi FSH UIN Jakarta Tahun 2017.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi menjadi lima bab.

Masing-masing bab terdiri dari subbab sesuai yang dibahas dan diteliti.

Adapun pernyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, memuat; latar belakang masalah, identifikasi,

batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode

penelitian, sistematika penulisan dan daftar pustaka.

BAB II Konsep Kompensasi pada Tindak Pidana Terorisme dalam

Hukum Pidana Positif

BAB III Konsep Diyat Dalam Hukum Pidana Islam, memuat;

pengertian Diyat, dasar hukum Diyat, jenis-jenis Diyat,

ketentuan diyat dalam hukum pidana Islam dan hukum

pidana di Indonesia.

BAB IV Pembahasan tentang; kompensasi bagi korban tindak pidana

terorisme

BAB V Penutup; Kesimpulan dan Rekomendasi.

Page 22: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

12

BAB II

KONSEP KOMPENSASI PADA TINDAK PIDANA TERORISME DALAM

HUKUM PIDANA POSITIF

A. Kompensasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme

Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang

dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan

kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup,

fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif idelologi, politik, atau

gangguan keamanan.11 Ini adalah suatu perbuatan yang luar biasa sehingga

menyebabkan teror dengan suasana mengganggu ketenangan dan kegoncangan

jiwa pada korban, mengalami kejadian luar biasa sehingga korban mengalami

trauma yang cukup berat dari perbuatan yang dilakukan oleh teroris. Pada

kejadian ini membuat korban kehilangan yang sangat berguna dan bermanfaat

pada bagian tubuhnya, sehingga pemberian ganti rugi yang ditimbulkan dari

pelaku tindak pidana terorisme harus diberikan agar lebih bisa mengobati luka

yang diderita oleh korban atau pihak keluarga korban salah satunya adalah

kompensasi.

1. Pengertian Kompensasi

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku

tidak mampu memeberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung

jawabnya kepada Korban atau keluarganya.12 Menurut pasal 1 ayat 4 dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 7 tahun 2018 ini sudah jelas,

bahwa yang diberikan ganti kerugian kepada korban atau keluarga korban yang

mengalami kejadian akibat peneroran teroris tersebut dibebankan oleh negara.

11 Undang-Undang Republik Indonesia no 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan tindak

pidana terorisme pasal 1 ayat 2. 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban, Pasal 1 ayat 4.

Page 23: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

13

Kompensasi merupakan pemenuhan ganti rugi yang dilakukan oleh korban

melalui suatu permohonan dan dibayar oleh masyarakat/Negara. Dalam hal ini

tidak dipersyaratkan adanya hukuman terhadap pelaku kejahatan.13

Kompensasi yang berkarakter perdata tapi diberikan melalui proses peradilan

pidana. Sistem ini masih mempertahankan perbedaan antara kesalahan perdata

dan pidana. Di Jerman sistem ini dinamakan ‘adhasionprozess, di Prancis restitusi

terhadap korban disebut sebagai “I’action civile,” dan pada peradilan pidananya

korban adalah hanya sebagai ‘a civil partie’

Namun pada pembahasan ini kompensasi sangat dekat dengan karakternya

dalam hukum perdata dengan melalui proses yang ada dalam peradilan pidana.

Untuk melakukan ganti kerugian itu terbagi menjadi dua. Ada yang dinamakan

dengan restitusi dan ada yang dinamakan dengan kompensasi. Terkait dengan

restitusi dan kompensasi sama-sama memberikan ganti kerugian kepada korban,

tentu terdapat perbedaan dari secara pemahaman. Perbedaan antara kompensasi

dan restitusi adalah kompeensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh

masyarakat/negara, atau merupakan pertanggungjawaban masyarakat/negara (The

responsible of the society). Sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, karena yang

timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan

wujud pertanggungjawabam terpidana.

Kerugian dan penderitaan yang dialami korban dapat dibedakan antara: (a) yang

bersifat materiel (yang dapat diperhitungkan dengan uang); dan (b) yang bersifat

imateriel (misalnya perasaan takut, sedih, dan sakit). Mengenai korban tipe (b),

telah umum diterima bahwa masyarakat (Negara) yang harus menyediakannya.

Diusulkan agar diadakannya klinik atau pusat yang melayani korban.

Permasalahannya, dalam hal korban tipe (a) maka dianggap sepantasnyalah

pelaku menyediakan ganti rugi.14

Alasan utama ganti kerugian kompensasi kepada korban oleh Negara antara lain:

13 Vergil L. Williams; Marry Fish, “A Proposed Model for Individualized Offender

Restitution Through State Victim Compensation dalam Drapkin, & Viano, Victimologi: A New

Focus Vol. II: Society’s Reaction to Victimization, (Toronto-London: Lexington, 1974), hlm. 167. 14 Mardjono Reksodiputro, Kumpulan Karangan Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan

Kejahatan, Buku Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga

Krimilogi UI, 1994), hlm. 77.

Page 24: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

14

a) Kewajiban Negara untuk melindungi warga negaranya;

b) Tidak cukupnya gantikerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban;

c) Ketidaklayakan pembagi hasil;

d) Pandangan sosiologis bahwa kejahatan merupakan kesalahan masyarakat

pada umumnya.15

Hak dan kewajiban korban menurut Arif Gosita antara lain:16

a) Si korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai

dengan taraf keterlibatan korban itu sendiri dalam terjadinya kejhaan tersebut.

b) Berhak menolak restitusi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau

diberikan restitusi karena tidak memerlukannya).

c) Mendapatkan restitusi/ kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban

meninggal dunia karena perbuatan tersebut.

d) Mendapat pembinaan dan rehabilitas

e) Mendapat hak miliknya kembali.

f) Mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi

saksi.

g) Mendapatkan bantuan penasihat hukum.

2. Kompensasi dalam peraturan perundang-undangan

Pada undang-undang nomor 5 tahun 2018 ada beberapa aturan yang ditujukan

pada negara sebagai bentuk jawab negara, dalam pasal 35A ayat 4 yang berbunyi,

sebagai berikut:

“bentuk tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a) Bantuan medis;

b) Rehabilitasi psikososial dan psikologis;

c) Santunan bagi korban dalam hal korban meninggal dunia; dan

d) Kompensasi.”17

15 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penengak dan Pengembangan Hukum

Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 25. 16 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penengak dan Pengembangan Hukum

Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 53-54.

Page 25: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

15

Menurut pernyataan dalam pasal yang di atas, sudah jelas bahwa negara akan

mengganti semua kerugian yang diakibat oleh pelaku. Baik secara apapun agar

korban merasa terlindungi dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Yaitu

segala macam halnya dengan salah satunya adalah kompensasi.

Kompensasi pun diatur dalam aturan lainnya, tak hanya ada dalam Undang-

Undang melainkan dengan diperkuat dari terbitnya aturan sistem hukum nasional

berupa pemberian kompensasi terdapat di Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia nomor 7 tahun 2018 dalam pasal 2 yaitu, sebagai berikut:

(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh

Kompensasi.

(2) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (l) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya.

(3) Perrnohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dialukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas

bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.18

Artinya Perlindungan korban khususnya hak korban untuk memperoleh ganti

rugi merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang kesejahteraan dan jaminan

social (social security). Hal ini pun mendapat pengakuan dalam Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 25 ayat 1 yang menyatakan:

Setiap orang berhak atas suatu standar kehidupan yang memadai untuk

kesehatan dan kesejahteraan dirinya serta keluarganya, termasuk makanan,

pakaian, rumah, dan perawatan kesehatan serta pelayanan social yang yang

diperlukan, dan hak atas keamanan pada masa menganggur, sakit, tidak mampu

bekerja, menjanda, lanjut usia, atau kekurangan nafkah lainnya dalam keadaan

di luar kekuasaannya.19

17 Undang-Undang Republik Indonesia no 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan tindak

pidana terorisme pasal 35A ayat 4. 18 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian

Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban, Pasal 2. 19 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, Making Sense of Human Rights, Refleksi

Filosofi atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996),

hlm. 267.

Page 26: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

16

Perlindungan korban dalam hal ganti kerugian dipertegaskan kembali dalam

deklarasi Ham seperti bunyi pasal di atas. Untuk memperkuat citra hukum sebagai

perlindungan dan berkeadilan, agar dapat lebih menjaga hak-hak yang terdapat

pada korban dari segala sisi.

Pada dasarnya kompensasi ini bersifat perdata, namun pemberian kompensasi

yang akan dilakukan melalui proses pidana dan didukung oleh pemberian

terhadap negara. Dan proses yang diajukan pada kompensasi ini melalui perdata

yang terealisasikan oleh negara sebagi wujud pertanggungjawaban negara melalui

putusan pengadilan kepada pelaku karena negara gagal mencegah terjadinya

kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Dan dalam hukum pidana perlindunga

korban juga diatur agar kompensasi yang diberikan oleh Negara dapat sesuai yang

diinginkan oleh korban.

B. Pandangan Hukum Pidana tentang Kompensasi

Dalam Hukum pidana lebih mengasumsikan bahwa pelaku pelanggaran dianggap

menggangu ketertiban dalam masyarakat dari pada mengganggu kepentingan

hukum korban. Hal ini jelas dari pendapat ‘… public prosecution was originally

superimposed upon a system of private prosecution, but private prosecution was

eventually seen as impracticable, to often subject to abuse, and inconsistent with

the view that crimes were ‘acts against the state ‘and not simply wrongs inflited

upon an individual victim.20 Yang diartikan dalam Bahasa Indonesianya adalah

“penuntutan publik pada awalnya ditumpangkan pada sistem penuntutan pribadi,

tetapi penuntutan pribadi akhirnya dilihat sebagai tidak praktis, sering menjadi

sasaran pelecehan, dan tidak konsisten dengan pandangan bahwa kejahatan

'bertindak melawan negara' dan bukan hanya kesalahan yang ditimbulkan pada

korban individu”.

Untuk mengetahui dari secara luas mengenai hukum Pidana, alangkah lebih

baiknya kita mengetahui dari keumuman hukum pidana yang ada di Indonesia.

Agar bisa membedakan 6mana yang lebih diprioritaskan dari hukum pidana

20 Jerold H. Israel, Yale Kamisar, Wayne R. laFave, Criminal Prosedure and The

Constitution, Leading supreme Court and Introductory Text, (St. Paul, Minn: West Publishing Co.,

1989), hlm. 21.

Page 27: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

17

dengan asasnya, dari beberapa penjelasan terkait dengan kompensasi pada

Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana terorisme.

1. Pandangan Hukum Pidana Secara Umum terkait Kompensasi

Dalam aturan umum KUHP juga tidak mengenal jenis ‘pidana ganti rugi’. Pidana

bersyarat yang memuat ganti rugi dalam Pasal 14 c KUHP tentang pidana

bersyarat pada dasarnya tidak bersifat pidana dan hanya sekedar pengganti untuk

menghindari atau tidak menjalani pidana.21 Namun jika ganti kerugian tersebut

tidak bisa dibayarkan oleh pelaku maka ganti kerugian tersebut dibebankan

kepada negara, dan pelaku tetap menjalankan hukuman yang sesuai dengan

putusan pengadilan karena tindak pidana terorisme termasuk dalam kejahatan luar

biasa.

Dari segi tempat, UU Pemberantasan Tindak Pidana terorisme mengatur persoalan

yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas nasional pasif dan asas

ekstrateritorial. Sebagaimana pasal 2 KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana

terorisme juga mendasarkan atas asas teritorial yang dirumuskan dalam Pasal 3

ayat (1) yang berbunyi: “peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang ini

berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak

pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia...dst”.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengertian

ganti kerugian merupakan ganti kerugian terbatas terutama berkenaan dengan

pasal 195 KUHAP karena jumlah yang dapat dimintakan, telah dibatasi sdang

dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, pembatasan demikian tetap

diperlakukan tetapi tidak dimaksudkan untuk meniadakan hak menuntut ganti

kerugian karena kesalahan pihak lain tersebut. Semua ganti kerugian dapat

diajukan melalui acara perdata, tetapi dalam penyelesaian perkara pidana, hal

tersebut dibatasi.

21 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penengak dan Pengembangan Hukum

Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 61.

Page 28: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

18

KUHAP seyogyanya dinilai, sejauh mana dapat mengungkapkan kebenaran untuk

menegakkan keadilan demi ketenteraman masyarakat. Tujuan dari hukum acara

pidana materiil untuk menjamin terpeliharanya ketertiban masyarakat,

terpeliharanya kepentingan umum, bukan kepentingan individu.22 Perhatian

KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana berupa mempercepat proses untuk

memperoleh ganti kerugian yang dideritanya sebagai akibat perbuatan terdakwa

dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara gugatan ganti

kerugian, yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata.23

Yang agak maju, pengaturan ganti kerugian yang dialami korban kejahatan

terdapat di swiss. Jika terdakwa/terpidana kurang mampu, maka pemerintah

mengambil alih pemberian ganti kerugian tersebut kepada korban kejahatan. Hal

yang demikian menurut pendapat beberapa pakar, masih kurang tepat karena

sebagai imbalan dari pelaksanaan kewajiban setiap warga negara maka warga

negar tersebut berhak untuk menikmati ketertiban/keamanan , yang merupakan

tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian pemerintah wajib memberi ganti

kerugian kepada korban kejahatan dan selanjutnya pemerintah dapat menuntut

ganti kerugian tersebut dari terdakwa/terpidana.24

Dasar dari penggabungan perkara gugatan ganti kerugian adalah pasal 98 KUHAP

yang bunyinya sebagai berikut:

“(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi

orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan

untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana

itu.”25

22 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum

Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 80. 23 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum

Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 80. 24 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum

Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 81. 25 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum

Pidana, (PT Raja Grafindo: Jakarta, 1997), hlm. 82.

Page 29: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

19

hal ini diatur oleh pasal 98 ayat (2) KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:

“permintaan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) hanya dapat diajukan

selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam

hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum

hakim menjatuhkan putusan.”

Jadi, seseorang yang merasa dirugikan, mengajukan permintaan kepada ketua

sidang yang sedang memeriksa perkara pidana yang dilakukan terdakwa yang

mengakibatkan kerugian tersebut, untuk menggabungkan perkara gugatan ganti

kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan.

Waktu pengajuan permintaan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian itu

ditentukan, yakni:

a. Dalam hal penuntut umum hadir pada persidangan, diajukan sebelum

penuntut umum membacakan/mengajukan tuntutan pidana yang biasanya

disebut “rekuisitor”. Hal ini dimaksudkan agar penuntut umum, dalam

rekuisitor mempertimbangkan dengan seksama tuntutan pidana dengan

memperhatikan perkara gugatan ganti kerugian tersebut. dalam doktrin,

keperdulian terhadap korban termasuk hal yang meringankan hukuman

bagi terdakawa.

b. Perkara pidana yang dihadiri penuntut umum adalah perkara pidana yang

acara pemeriksaannya adalah perkara biasa dan pemeriksaan singkat.

c. Dalam hal penuntut umum tidak hadir yakni pekrara pidana dengan acara

pemeriksaan cepat yakni:

(1) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan, dan

(2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.

tindak pidana yang dapat digabungkan dengan pekara gugatan ganti kerugian,

antara lain sebagai berikut:26

26 Leden Merpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum

Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 99-101.

Page 30: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

20

a. Luka/luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan

(kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama), yakni pelanggaran pasal

170 KUHP.

Pihak korban dapat mengajukan permintaan penggabungan perkara pidana

dengan gugatan ganti kerugian yakni biaya-biaya yang nyata-nyata telah

dikeluarkan, misalnya: pengobatan, biaya rumah sakit, honor dokter, biaya-

biaya penguburan dan lain-lain. Jika merasa adanya kerugian immateriil, dapat

diutarakan , tetapi akan digugat dengan perkara tersendiri. Pengutaraan

tersebut ada manfaatnya, untuk menghindarkan kesalahan penerapan ne bis in

idem, agar jelas mana yang telah diputus oleh pengadilan mana yang belum

diadili. Jika terdakwa tidak berkemampuan, agar diajukan menurut acara

perdata biasa dnegan melibatkan ahli waris terdakwa dan atau ayah/ibunya

maupun saudara-saudaranya.

b. Pelanggaran terhadap pasal 187 dan pasal 188 KUHP yakni kebakaran

disebabkan kesengajaan atau kelalaian terdakwa. Jika barang-barang yang

terbakar tersebut telah diganti atau diperbaiki maka biaya-biaya

penggantian maupun perbaikan, dapat ditagih melalui penggabungan

perkara gugatan ganti kerugian dengan perkara pidananya.

c. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan, termasuk

kejahatan penganiayaan, pembunuhan. Korban kejahatan tersebut telah

mengeluarkan biaya-biaya pengobatan dan lain-lain. Hak ini tidak berbeda

dengan butir 7 huruf d yakni menyangkut biaya-baiya yang telah

dikeluarkan, akan tetapi tidak dapat diajukan kerugian-kerugian

immateriil, yang harus diajukan secara terpisah menurut acara perdata

biasa.

d. Semua kejahatan-kejahatan yang mengakibatkan kerusakan barnag,

atau/dan mengakibatkan luka/luka berat atau kematian, dapat dimintakan

penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana yang

dilakukan terdakwa.

Page 31: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

21

Kenyataan dalam masyarakat, dengan kemajuan alat-alat perhubungan saat ini

yang ditunjang kemjuan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperkirakan pada tahun

dua ribuan, kasus-kasus permintaan penggabungan perkara ganti kerugian akan

semakin banyak, khususnya karena masalah kecelakaan lalu lintas atau kerugian-

kerugian kebendaan lainnya, misalnya tabrakan mobil, tabrakan kapal, bus dan

lain-lain yang menimbulkan kerugian sehingga korban kecelakaan mengeluarkan

biaya baik untuk pengobatan maupun untuk perbaikan-perbaikan barang-barang

miliknya yang rusak.

2. Asas-Asas Yang Diberlakukan Dalam Kompensasi

Pada pembahasan ini, melihat dari berlakunya Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana terorisme yang mengatur tentang tindak pidana teorisme

berdasarkan kepada asas teritorial, asas nasional pasif dan asas ekstrateritorial.

Namun penjelasan secara rinci hanya yang berkesinambungan dengan bentuk

tindak pidana pada terorisme.

Pemberlakukan asas nasional pasif terdapat pada pasal 4 yang menyatakan bahwa

UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetap berlaku bagi tindak pidana

terorisme yang dilakukan:

a. Terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara

Republik Indonesia;

b. Terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk

tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;

c. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah

Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;

d. Untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu;

e. Di atas kapal yang berbendera megara Republik Indonesia ataua pesawat

udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik

Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau

f. Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat

tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.

Page 32: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

22

Menurut Moeljanto, pemberlakuan asas nasional pasif dalam KUHP dimaksudkan

untuk melindungi kepentingan nasional, yaitu terkait dengan keamanan negar

adan keagungan kepala negara (pasal 4 ke-1), pemahaman mata uang kertas

Indonesia atau segel-segel dan merek-merek yang dikeluarkan atau digunakan

oleh negara (pasal 4 ke-2); surat-surat ulang atau sertifikat-sertifikat utang yang

dikeluarkan oleh negara atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3); dan perampokan

kapal Indonesia ke dalam kekuasaan bajak laut (pasal 4 ke-1).27

Demi menjaga kedaulatan hukum Indonesia, maka ketentuan asas ekstrateritorial

tidak perlu diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan

demikian, pemberlakuan asas ekstrateritorial cukup berpedoman pada Pasal 9

KUHP atas dasar ketentuan yang diakui dalam hukum internasional. Sedangkan

ketentuan lainnya dapat diatur melalui perjanjian ekstradisi atau perjanjian timbal

balik dalam masalah pidana dengan berpedoman pada asas-asas dan ketentuan

yang berlaku dalam hukum nasional maupun Internasional. Asas-asas ekstradisi

yang sudah baku diterima masyarakat internasional dan sudah menjadi hukum

kebiasaan internasional, ataupun yang secara umum dicantumkan dalam

perjanjian-perjanjian atau peraturan perundang-undangan nasional tentang

ekstradisi yaitu:28

a. Asas kejahatan ganda (double criminality principle) yang menyatakan

bahwa tindak pidana yang dijadikan alasan negara peminta untuk

melakukan ekstradisi harus merupakan tindak pidana juga menurut hukum

negara yang diminta.

b. Asas kekhususan (speciality principle/rule of speciality) yang menentukan

bahwa orang yang dimintakan ekstradisi harus dihukum sesuai dengan

alasan yang digunakan negara peminta untuk melakukan ekstradisi.

c. Asas tidak mengekstradisi warga negara sendiri (non extradition of

nationals).

27 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2008), hlm. 48. 28 Siswantoro Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana;

Instrumen Penengak Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Rineke Cipta, 2009), hlm. 107-108.

Page 33: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

23

d. Asas tidak mengekstradisikan pelaku kejahatan politik (non extradition of

political criminal).

e. Asas kadaluarsa (lapse of time principle) yang menyatakan bahwa

permintaan negara peminta harus ditolak apabila kejahatan yang dijadikan

alasan ekstradisi ternyata telah kadaluarsa baik menurut hukum negara

peminta ataupun negara yang diminta.

f. Asas non/ne bis in idem yang menyatakan bahwa negara yang diminta

harus menolak melakukan ekstrsdisi apabila tearbukti orang dimintakan

ekstradisi telah diadili dan/atau dijatuhi putusan berdasarkan oleh

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat atas

kejahatan yang dijadikan alasan ekstradisi.

Asas nasionalitas aktif atau asas personalitas adalah asas pemberlakuan hukum

pidana suatu negara terhadap warga negaranya, yang melakukan tindak pidana di

negara lain. Asas ini berkenaan dengan lingkungan kuasa menurut orang

(personal sphere), yaitu pelaku adalah warga negaranya.29

Asas ini terdapat dalam pasal 5, sedangkan dalam Pasal 7 KUHPid ada

perluasan terhadap asas nasionalitas aktif. Menurut Pasal 5 ayat (1) KUHPid,

ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga

negara yang di luar Indonesia melakukan:

a. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal-

pasal 160,161,240,279,450, dan 451.

b. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-

undangan Indonesia sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-

undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.30

Jadi, terhadap WNI diterapkan asas ini jika melakukan suatu kejahatan

(misdrijven) menurut undang-undang Indonesia sedangkan menurut undang-

29 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,

(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 283. 30 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,

(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 283-284.

Page 34: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

24

undang negara di mana perbuatan dilakukan ancaman dengan pidana. Di sini

hanya dikatakan “menurut undang-undang negara di mana perbuatan dilakukan

diancam dengan pidana”, sebab mungkin negara lain itu tidak mengenal

klasifikasi delik atas Kejahatan dan Pelanggaran seperti Indonesia.

Dalam Pasal 5 ayat (2) KUHPid ditentukan bahwa penuntutan perkara

sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi

warga negara susudah melakukan perbuatan.

Dalam Pasal 5 ayat (1) butir 1 disebutkan secara khusus beberapa delik

tertentu. Untuk delik-delik tersebut, sekalipun perbuatan itu tidak diancam pidana

dalam undang-undang negara di mana perbuatan dilakukan, pengadilan Indonesia

tetapi memiliki kewenangan mengadili. Delik-delik yang disebutkan secara

khusus, yaitu:

1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I (Kejahatan terhadap Keamanan

Negara) dan Buku II (Kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil

Presiden) dari Buku II KUHPid.

2. Pasal 160,161,240,279,450, dan 451 KUHPid.

Pembatasan terhadap berlakunya asas nasionalitas aktif ini, yaitu menurut

Pasal 6 KUHPid, berlakunya Pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian

rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati jika menurut perundang-

undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak

diancamkan pidana mati.

Pasal 7 merupakan perluasan asas nasionalitas aktif, karena pejabat yang

dimaksud dalam Pasal 7 KUHPid mencakup:

1. Pejabat yang warga negara Indonesia; dan

2. Pejabat yang bukan warga negara Indonesia. Dengan adanya cakupan

terhadap pejabat yang bukan warga negara Indonesia, berarti pasal ini

tidak murni merupakan asas nasionalitas aktif melainkan hanya perluasan

asas nasionalitas aktif. Ada pula yang menggolongkan Pasal 7 ini ke dalam

asas nasionalitas pasif.

Page 35: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

25

Asas nasionalitas pasif terkandung dalam sebagian dari Pasal 4 KUHPid-

sebagian yang lain merupakan asas universalitas-, yaitu ketentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di

luar Indonesia:

1. Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-pasal 104, 106, 107, 108, dan 131.

2. Suatu kejadian mengenai [asas universalitas: mata uang atau uang kertas

yang dikeluarkan oleh negara atau bank], ataupun mengenai materai yang

dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintahan Indonesia.

3. Pemalsuan surat utang atau sertifikat utang atas tanggunggan Indonesia,

atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula

pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat

atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat

tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau

dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu.

4. Asas universalitas: salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal

438, 444 sampai dengan 446 tentang Pembajakan Lau dan Pasal 447

tentang Penyerahan Kendaraan Air kepada Kekuasaan Bajak Laut dan

Pasal 479 huruf j tentang Penguasaan Pesawat Udara secara Melawan

Hukum, Pasal 479 huruf i,m,n dan o tentang kejahatan yang mengancam

keselamatan penerbangan sipil.31

Perluasan asas nasionalitas pasif terdapat dalam Pasal 8 KUHPid yang

menentukan bahwa ketentuan pidana dalam pidana dalam perundang-undangan

Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar

Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana

sebagaimana dimaksud dama Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku ketiga;

begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di

Indonesia, maupun dalam Ordonasi Perkapalan.

31 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,

(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 286-287.

Page 36: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

26

Asas nasionalitas pasif dalam KUHPid bertujuan melindungi kepentingan

nasional Indonesia. Asas ini tidak melindungi kepentingan perseorangan warga

negara Indonesia. Karenanya, jika seorang WNI saat melakukan darmawisata di

luar negeri Indonesia, tidak dapat diterapkan asas ini. Asas teritorial, asas

nasionalitas aktif san asas universalitas juga tidak dapat diterapkan. Pelaku

pembunuhan tidak dapat diadili oleh pengadilan Indonesia.

C. Pemberlakuan kompensasi bagi korban berdasarkan Delik pada tindak

pidana terorisme

Pemberlakuan kompensasi yang dimaksudkan dalam peristilah terhadap ganti

kerugian yang dberikan kepada korban tindak terorisme ini, harus melihat delik

ketika pemberlakuan undang-undang antiterorisme tersebut. Ada yang berupa

delik terhadap Negara adapula yang merupakan delik terhadap Perseorangan.

1. Delik Terhadap Negara32

Kepentingan hukum negara adalah kepentingan hukum dari negara sebagai

keseluruhan. Yang menjadi kepentingan hukum negara yaitu ketenteraman dan

keamanan negara. Perbuatan-perbuatan yang oleh pembentuk KUHPid

dipandang sebagai pelanggaran terhadap kepentingan hukum negara dijadikan

sebagai delik terhadap Negara.

Delik terhadap negara terutama diatur dalam empat bab pertama dari Buku II

KUHPid, yaitu:

1. Bab I : Kejahatan terhadap keamanan Negara

Bab ini mencakup Pasal 104 sampai dengan 129, di mana Pasal 105 telah

ditiadakan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan Pasal 109 telah ditiadakan

berdasarkan Staatsblad 1930 No. 31; di lain pihak ada penambahan Pasal 107a

sampai dengan 107f oleh UU No. 27 Tahun 1999 yang berkenaan dengan

ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.

32 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,

(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 296-304.

Page 37: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

27

Pasal-pasal yang banyak dikenal karena diawali dengan kata makar, yang

merupakan terjemahan dari kata bahasa Belanda: aanslag, artinya serangan,

yaitu:

a. makar dengan masksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan,

atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah

(Pasal 104);

a. makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh

ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara (Pasal

106);

b. makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107 ayat

1).33

2. Delik Terhadap Perseorangan

Kepentingan hukum perseorangan adalah kepentingan hukum dari

seseorang, tetapi gangguan terhadap kepentingan hukum ini telah melibatkan

kepentingan umum. Delik terhadap perseorangan mencakup:

a. Delik terhadap Nyawa

Beberapa delik terhadap nyawa:

(1) Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana

Menurut Pasal 338 KUHPid, barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa

orang lain, diancam karena pembunuhan (doodslag) dengan pidana penjara

paling lama 15 tahun.

Delik ini merupakan delik material, yaitu merupakan delik selesai jika ada

seorang lain yang kehilangan nyawa (mati). Jika korban tidak atau belum mati,

masih merupakan percobaan pembunuhan.

33 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,

(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 296.

Page 38: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

28

Pembunuhan dengan rencana (moord), menurut Pasal 340 KUHPid, yaitu

barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas

nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama

20 tahun.

Delik pembunuhan dengan rencana (moord) merupakan ketentuan khusus

terhadap delik pembunuhan (doodslag), yaitu mencakup semua unsur

pembunuhan ditambah dengan unsur yang lain, yaitu dengan rencana terlebih

dahulu (voorbedachte rade). Unsur yang ditambahkan ini merupakan unsur

pemberat terhadap delik pembunuhan.

Untuk memenuhi unsur dengan rencana terlebih dahulu, maka perbuatan itu

harus merupakan pelaksanaan niat yang telah direncanakan dan dipertimbangkan

dengan kepala dingin (tenang) (HR, 17-1-1921, 2-12-1940).34

a. Menyebabkan Mati karena Kealpaan

Dalam pasal 359 KUHPid ditentukan bahwa barangsiapa karena kesalahannya

(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara

paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Delik ini

merupakan delik kealpaan (culpa) mengakibatkan matinya orang lain.

a) Delik terhadap Tubuh

Beberapa delik terhadap tubuh:

(1) Penganiayaan

Penganiayaan merupakan delik yang berkenaan dengan badan/tubuh seseorang.

Terdapat aneka ragam jenis penganiayaan yang diatur dalam Buku II Bab XX

KUHPid yang berjudul Penganiayaan (Mishandeling), yang mencakup Pasal 351

sampai dengan Pasal 358, yaitu:

34 P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,

2016), hlm. 142.

Page 39: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

29

1. Penganiayaan (Pasal 351 ayat 1), diancam pidana penjara paling lama 2

tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500,00.

2. Penganiayaan mengakibatkan luka berat (Pasal 351 ayat 2), diancam

pidana penjara paling lama 5 tahun.

3. Penganiayaan mengakibatkan mati (Pasal 351 ayat 3), diancam pidana

penjara paling lama 7 tahun.

4. Penganiayaan ringan (Pasal 352), yaitu penganiayaan yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan

jabatan atau pencarian, diancam pidana penjara paling lama 3 bulan atau

denda paling banyak Rp.4.500,00.

5. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu (Pasal 353 ayat 1), diancam

pidana penjara paling lama 4 tahun.

6. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu mengakibatkan luka berat

(Pasal 353 ayat 2), diancam pidana penjara paling lama 7 tahun.

7. Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu mengakibatkan kematian

(Pasal 353 ayat 3), diancam pidana penjara paling lama 9 tahun.

8. Sengaja melukai berat orang lain (Pasal 354 ayat 1), diancam pidana

penjara paling lama 8 tahun.

9. Sengaja melukai berat orang lain, jika perbuatan mengakibatkan kematian

(Pasal 354 ayat 2), diancam pidana penjara paling lama 10 tahun.

10. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu (Pasal

355 ayat 1), diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

11. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, jika

perbuatan itu mengakibatkan kematian (Pasal 355 ayat 2), diancam pidana

penjara paling lama 15 tahun.

12. Penganiayaan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355, yang melakukan

kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya

(Pasal 356 ke 1), pidana dapat ditambahkan dengan sepertiga.

13. Penganiayaan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355, yang dilakukan

terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang

sah (Pasal 356 ayat 2), pidana dapat ditambahkan dengan sepertiga.

Page 40: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

30

14. Penganiayaan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355, dilakukan dengan

memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk

dimakan untuk diminum (Pasal 356 ke 3), pidana dapat ditambahkan

dengan sepertiga.

15. Turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa

orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus

dilakukan olehnya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun

delapa bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-

luka berat (Pasal 358 ke 1).

16. Turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa

orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus

dilakukan olehnya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat

tahun, jika akibatnya ada yang mati (Pasal 358 ke 2).35

Ketentuan pokok tentang penganiayaan terdapat dalam Pasal 351 ayat (1)

KUHPid yang menentukan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara

paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah. Penganiayaan berarti perbuatan dengan sengaja menimbulkan

rasa sakit pada orang lain. Pada Pasal 351 ayat (4) diberikan perluasan bahwa

dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.36

a. Mengakibatkan Luka-luka karena Kealpaan

Dalam pasal 360 KUHPid diatur delik kealpaan mengakibatkan orang lain

mendapat luka-luka berat (ayat 1) dan delik kealpaan mengakibatkan orang lain

luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan

pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu (ayat 2).

Pengertian luka berat, menurut Pasal 90 KUHPid, yaitu:

35 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,

(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 300-302. 36 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,

(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 303.

Page 41: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

31

(1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh

sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

(2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau

pekerjaan pencarian;

(3) Kehilangan salah satu pancaindra;

(4) Mendapat cacat berat;

(5) Menderita sakit lumpuh;

(6) Terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;

(7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan37

Dengan adanya delik dari setiap perkara yang dilakukan pada tindak pidana

terorisme agar keterangan dari perlakuan tersebut dapat memenuhi hak korban

yang seharusnya ada yaitu ganti kerugian pada korban. Diatur dalam beberapa

pasal pada KUHPidana dengan berbagai kriteria, sehingga dari beberapa delik

dapat diklasifikasikan agar pengoptimalan ganti kerugian pada korban sesuai

dengan keinginan yang diharapkan oleh korban.

37 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, edisi cetakan 1,

(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 304.

Page 42: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

32

BAB III

KONSEP DIYAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Diyat dalam Hukum Pidana Islam

Diyat secara etimologi berasal dari kata “wada-yadi-wadyan wa

diyatan” ( ودية -ودي -يدي-ودي ). Bila yang digunakan mashdar wadyan ( وديأ)

berarti saala (سأل = mengalir) yang dikaitkan dengan lembah. Akan tetapi,

jika yang digunakan adalah masdar ( دية), berarti membayar harta tebusan

yang diberikan kepada korban atau walinya dengan tindak pidana

(jinayah). Bentuk asli kata diyat (دية) adalah widyah (ودية) yang dibuang

huruf wau-nya.38

Namun pembahasan Diyat secara terminologi adalah harta yang

wajib karena suatu kejahatan terhadap jiwa atau sesuatu yang dihukumi

sama seperti jiwa.39 Banyak sekali yang berpendapat terkait diyat, karena

diyat merupakan bagian dari salah satu hukuman pengganti dari pada

Qishash. Yang mana ketika si korban atau si wali korban sudah

memaafkan kejadian atas pembunuhan secara sengaja atau tindak pidana

yang dilakukan oleh pelaku, setidaknya pelaku harus membayar diyat

sebagai pengganti pelaku tidak melakukan atau dimaafkan Qishashnya

sesuai dengan ukuran yang sudah ditentukan oleh syari’at.

Ketika melihat dari secara bahasa (etimologi) dan secara istilah

(terminologi) adakalanya penglihatan dari pengertian diperluas pada

beberapa aspek. Diyat dalam kamus bahasa Arab diartikan sebagai sesuatu

berupa harta yang wajib dikeluarkan karena membunuh atau melukai

seseorang.40 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, diyat adalah denda

(berupa uang atau barang) yang harus dibayar karena melukai atau

membunuh.41

38 Paisol burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishas di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2015), hlm. 54. 39 Paisol burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishas di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2015), hlm. 55. 40 Louit Ma’luf, Kamus al-Munjid, (Beirut Libanon: Darul Al-Masyriq, 1973), hlm. 894. 41 Departemen Pendidikan dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1990), hlm. 156.

Page 43: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

33

Adapun pengertian menurut Abdul Qadir Audah diyat adalah

sejumlah harta dalam ukuran tertentu. Diyat merupakan harta pengganti

jiwa atau anggota tubuh, yakni sebagai ganti rugi yang diberikan oleh

seorang pelaku tindak pidana kepada korban atau ahli warisnya karena

suatu tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan

sesorang.42 Meskipun bersifat hukuman, diat merupakan harta yang

diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan (kas) Negara.43

Sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq adalah sebagai

berikut:

الىالمجنيىعليهاووليةلمالالذييحببسببالجناية,وتوءدىالديةهيا

“Diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku, karena

terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan diberikan

kepada korban atau walinya.44

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini mendefinisikan diyat

adalah harta yang wajib dibayarkan karena berbuat kriminal terhadap

orang merdeka, baik dengan membunuhnya maupun dengan mencederai

anggota tubuhnya.45 Oleh karena itu sudah jelaslah bahwa dari secara

etimologi maupun terminologi yaitu menunjukan dengan pembayaran

sebuah tebusan (denda), karena pelaku melakukan perbuatan kriminal

yang tertuju pada uqubah almaliyah (hukuman bersifat harta) yang

diserahkan kepada pihak korban apabila korban tersebut masih hidup atau

diserahkan kepada wali (keluarga) apabila korban sudah meninggal, bukan

kepada pemerintah.

Dalam kehidupan sehari-hari hukum mengatur secara rinci tentang

permasalahan kejahatan dari unsur tindak pidana. Namun tindak pidana

yang menyebabkan ganti rugi atau diyat harus diawasi oleh pemerintah

agar keberaturan dalam unsur pidana seimbang. Seperti yang sudah

42 Moh Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional. Dari Aceh Untuk

Indonesia. (Bandung: Unpad Press, 2009), hlm. 62. 43 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-jinai al-islami, Juz 1, (Kairo: dar al-kitab al-arabi),

hlm. 325. 44 T.M Hasbi Ash-Shiddiqi, dkk., Alquran dan Terjemahannya, Mujamma’ Khadim Al-

Haramain Asy-Syarifain, (Madinah: 1971), hlm. 135. 45 Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT Bina

Ilmu, 1993), hlm. 29.

Page 44: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

34

disampaikan dari beberapa pernyataan terkait dengan diyat ini, setidaknya

pemerintah harus menjaga kesejahteraan masyarakat.

Syariat Islam menjadikan diyat sebagai hukuman pokok untuk

tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang serupa sengaja atau

pembunuhan dan penganiayaan yang terjadi karena kesalahan.46

Diyat diwajibkan dalam kasus pembunuhan sengaja dimana

kehormatan orang yang terbunuh lebih rendah dari pada kehormatan

pembunuh, seperti seorang laki-laki merdeka membunuh hamba sahaya.

Selain itu diyat diwajibkan atas pembunuh yang dibantu oleh para Aqilah

(saudara-saudara laki-laki dari pihak ayah), hal ini bilamana pembunuh

mempunyai saudara. Ini diwajibkan atas kasus pembunuhan serupa

kesengajaan dan pembunuhan karena suatu kesalahan.47

Jika dilihat dalam beberapa penjelasan yang sudah dikemukakan di

atas, diyat dilakukan ketika pembunuhan itu terjadi karena ada unsur

kesengajaan maupun tidak sengaja begitu pula dengan penganiayaan yang

menyebabkan kehilangan nyawa pada seseorang. Untuk itu penulis

melihat lebih jauh lagi terkait dengan pembahasan ini dengan beberapa

dasar hukum yang menjadi pertimbangan dalam Islam seperti pada As-

sunnah yaitu: Al-Quran dan Hadits. Agar dasar hukum dari setiap

permasalahan dapat dikatakan sebagai acuan terhadap terjadinya diyat.

B. Dasar Hukum Diyat

1. Al-Quran

Hukuman diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan dalil dari

Alquran adalah firman Allah:

ب كم ورحمة فمن ن ر لك تخفيف م ن ذ فمن عفى وله من اخيه شىء فٱت باع بٱلمعروف وأداء إليه بإحس

ٱعتدى بعد ذالك فلهۥ عذاب اليم (178)

46 Abdul Qadir Audah, At-tashri’ Al-Jinai’ Al-Islami, Jilid. 2, (Beirut: Dar Al-Katib Al-

Arabi) hlm. 668. 47 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nur Hasanuddin Dari”Fiqhus Sunah”,

(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 456.

Page 45: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

35

Artinya: “Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari

saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang

baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang

memberi maaf dengan cara yang baik(pula), yang demikian itu adalah

suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang

melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”

(Q.S. AL-Baqarah: 178)48

Dalam al-quran Surah An-Nisaa’ ayat 92 Allah berfiman:

دقوا ... فمن لم ية مسلمة الى اهله ال ان يص ؤمنة م ود مؤمنا خطا فتحرير رقبة لقت …و من

يجد فصيام شهرين متتابعين... (النساء:92)

“... dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah,

(hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta

membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh itu)

kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (QS. An-Nisaa’: 92).

Menurut ayat ini, hukuman diyat dikenakan kepada pelaku pembunuhan

karena kesalahan, namun di sini kedudukannya sebagai hukuman pokok.

Adapun penerapannya untuk pembunuhan sengaja merupakan hukuman

pengganti. jika dimaafkan oleh keluarga korban, pembunuh hendaknya

membayar diyat dengan cara yang baik sebagaimana telah dimaafkan

dengan baik. Juga firman-Nya (Q.S. An-Nisa: 92). Ayat ini

memerintahkan pembayaran diyat, kecuali jika keluarga korban berbuat

baik dengan bersedekah atau merelakan tidak menerima diyat tersebut.

Ayat ini berhubungan dengan pembunuhan yang tidak disengaja dan mirip

sengaja (syibhul khata).

Solusi Alquran ini memberi kebebasan kepada keluarga korban untuk

memilih menuntut balas atau dalam bentuk materi/diyat. Alquran bahkan

menambah pengampunan yang tentu saja diangggap kebijakan yang

memiliki nilai tinggi. Solusi ini menganggap pembunuhan sebagai

kejahatan yang bersifat pribadi. Tetapi ditempat lain (Al-Maidah: 32)

prinsip ini dengan jelas menyatakan pembunuhan sebagai kejahatan

48 Al-Qurtuby, Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an,

(Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2006), hlm. 89.

Page 46: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

36

terhadap kemanusiaan, bukan hanya terhadap keluarga korban,49

melainkan juga terhadaap masyarakat luas.

Menurut Aljazairi, surat Al-Baqarah ayat 178 ini mengandung dua fungsi:

1. Fungsi sosial, yaitu membasmi kembalinya penjabaran kepada

kejahatannya, ancaman, memperbaiki, dan mencegah orang lain ke

dalam perbuatan pembunuhan tersebut.

2. Fungsi moral, yaitu kepuasan perasaan orang banyak untuk

menjamin rasa ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat.50

2. Hadits

Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasulullah bersabda:

عليهوسلمقل صلىللا اانيلفهوبخيرالنظرتللهقتمنقو...عنابيهريرةعنالنبي ينام

ااني قتليفدىوام

Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW:... Barangsiapa yang

keluarganya terbunuh maka ia bisa memilih dua pilihan, bisa memilih

diyat dan bisa juga memilih pelakunya dibunuh (qishash)”. (H.R. Al-

Bukhary)51

Dari Anas bin Nadhor beliau berkata:

سول ته كسرت ثنية جارية فطلبوا اليها العفو فابوا فاتوا ر بي ع عم نع انس بن نضران الر

عليه وسلم بالقصاص صلى للا صاصالق فامر رسول للا عليه وسلم وابوا ال صلى للا للا

Artinya: “Dari Anas bin Nadhor Bahwasanya Rubayyi” (bibinya pernah

mematahkan gigi seorang wanita, lalu mereka (keluarganya Rubayyi”)

meminta maaf, dan mereka (keluarga korban) enggan memaafkan,

kemudian ditawarkan kepada mereka ganti rugi, tetapi mereka tetap

enggan menerimanya, lalu mereka datang kepada Rasulullah dan mereka

tetap enggan tetap menuntut qishash, maka Nabi memrintahkan untuk

diqishash.” (H.R. Al-Bukhary)52

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit bahwa Rasulullah bersabda:

49 Ilyas Supena, Pergeseran Paradigma Fiqih Kontemporer. Jurnal Hukum Islam (Vol. 5

no. 2), STAIN Pekalongan, (Gma Media, Yogyakarta, 2007), hlm 149-150. 50 Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minjahul Muslim. Nasr wat At-Tauzii, (Madinah: 1964),

hlm. 443. 51 Al-Asqalany, Al-Hafizh Ahmad Bin Ali Bin Hajar, Fath Al-Bary Bi Syarh Shahih Al-

Bukhari.Jilid 14, hadits no. 6880, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1997), hlm.188. 52 Al-Asqalany, Al-Hafizh Ahmad Bin Ali Bin Hajar, Fath Al-Bary Bi Syarh Shahih Al-

Bukhari.Jilid 14, hadits no. 6880, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1997), hlm. 212.

Page 47: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

37

صعن رسولللا ان عنه امترضيللا بنالص لىعبادة وسلعللا ليه عصابة قالوحوله نمم

شيئا ولتس بالل أنالتشركوا على بايعوني ولترقاصحابه اولدكمزنواولتوا قتلوا ببهتانولتأت وا

فىمعروف ولتعصوا وارجلكم بينايديكم فاجموفىمنفتفترونه مناصنكم و علىللا ابره

افعوقبفىالدنيافهوكفارةلهومنا انلذ منصابمنذلكشيء فهوالىللا ثمسترهللا كشيئا

شاءعفاعنهوانشاءعاقبهفبايعناهعلىذلك

Artinya: “Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit bahwa Rasulullah

shallallahu‘alaihi wassalam bersabda ketika berada ditengah-tengah

sebagaian sahabat: “Berbai’atlah kalian kepadaku untuk tidak

menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina,

tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan yang

kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam

perkara yang ma’ruf. Barangsiapa diantara kalian yang memenuhinya

maka pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari hal

tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat

baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari hal-hal tersebut kemudian

Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia ) maka urusannya

kembali kepada Allah, jika Dia mau, dimaafkannya atau disiksanya”.

Maka kami membai’at Beliau untuk perkara-perkara tersebut”. (H.R.

Muslim)53

Dari beberapa point terkait dengan dasar hukum yang diterapkan diyat

tersebut harus melihat, bahwa penggantinya adalah hukuman qishash

ketika keluarga memafkan dan apabila keluarga tidak memaafkan

hukuman diyat tidak berlaku. Sehingga penerapannya hanya sebatas

hukuman qishash semata, namun pelaksanaan hukuman tersebut hanya

disyariatkan untuk dilaksanakan di dunia dalam hukuman bagi

pembunuhan dan yang menghilangkan manfaat dari beberapa fungsi pada

badan. Pembahasan ini pun tidak hanya sampai pada dasar hukumnya

melainkan penulis melihat dari beberapa jenis dan sebab terjadinya diyat.

Agar dapat memahami seutuhnya hal yang dilakukan ketika penerapan

diyat harus dilaksanakan.

C. Jenis-Jenis Diyat

Pada pembahasan ini, sebelum beranjak kepada beberapa jenis diyat alangkah

baiknya lagi jikalau kita mengetahui berupa klasifikasi diyat dalam hukum

53 Al-Shababithi, Isham, Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi, Jilid 6, (Kairo: Daar al-

Hadits, 1994), hlm. 238.

Page 48: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

38

yang bisa dilakukan ketika adanya pembunuhan dan selain adanya

pembunuhan. Karena bentuk hukuman yang ada dalam tindak pidana pun

terbagi dalam dua macam: pertama, Tindak Pidana Pembunuhan terhadap jiwa

dan kedua, Tindak Pidana selain jiwa.

Karena pada hal ini perlakuan tindak pidana bisa terjadi terhadap jiwa maupun

selain jiwa. Hingga menimbulkan hukuman atas tindak pidana dalam 2

kategori tersebut. Adapun hukuman yang terdapat dalam pembunuhan

terhadap jiwa dan selain jiwa salah satunya adalah diyat. Untuk lebih

mengetahui secara mendalam ada beberapa macam pembunuhan yang

berdasarkan pada jiwa. Menurut Jumhur Fuqaha, pembunuhan dibagi kepada

tiga bagian, yaitu: pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja,

dan pembunuhan karena kesalahan.54

1. Tindak Pidana Pembunuhan terhadap jiwa.

Pembagian jenis diyat hanya pada pembunuhan yang dapat menghilangkan

nyawa korban, dengan dilakukan pada pelaku terhadap korban sehingga

membedakannya hanya berdasarkan beberapa kriteria pembunuhan terhadap

jiwa. Adapun rincian hukuman pembunuhan pada jiwa akan dijelaskan dalam

beberapa aspek, diantaranya:

a) Hukuman untuk pembunuhan sengaja

Dalam kriteria pembunuhan sengaja, diyat bukan salah satu hukuman

dalam hal ini, tetapi ada hukuman lain yang lebih utama dari diyat.

Hukuman pokok untuk pembunuhan sengaja adalah qishash dan kifarat,

sedangkan penggantinya adalah diyat dan ta’zir. Adapun hukuman

tambahannya adalah penghapusan hak waris dan hak wasiat.55

54 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-

‘Arabi), hlm. 7. 55 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-

‘Arabi), hlm. 113-114.

Page 49: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

39

Namun dalam penulisan ini penulis hanya menjadikan diyat sebagai

pembahasan utama yang sesuai dengan batasan yang penulis tuliskan

sebelumnya. Walaupun diyat bukan hukuman pokok pada pembunuhan

sengaja ini tetapi untuk melengkapi jikalau si korban atau ahli waris korban

yang memaafkan dan meminta ganti rugi sebagai hukuman pengganti

qishash.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jenis diyat. Menurut

Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i dalam qaul qadim,

diyat dapat dibayar dengan salah satu dari tiga jenis, yaitu unta, emas, atau

perak. Alasannya adalah sebagai berikut:

1). Hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Hazm dari ayahnya dari

kakeknya, bahwa Rasulullah SAW, menulis surat kepada penduduk

Yaman. Diantara isi suratnya itu adalah:

Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh seorang mukmin tanpa

alasan yang sah dan ada saksi, ia harus diqishash kecuali apabila

keluarga korban merelakan (memaafkannya): dan sesungguhnya

dalam menghilangkan nyawa harus membayar diyat, berupa seratus

ekor unta.56

2). Penetapan Sayidina Umar dalam hadis (atsar) yang diriwayatkan oleh

Baihaqi melalui Imam Syafi’i. Sayidina Umar menetapkan untuk

penduduk yang memiliki emas, diyatnya adalah seribu dinar, dan

untuk perak diyatnya adalah sepuluh ribu dirham.57

namun untuk pembahasan secara rinci, dengan keterkaitan diyat secara

pembayarannya. Terbagi menjadi beberapa macam dengan beberapa

klasifikasi berbeda. Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad ibn

56 Muhammad ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Juz VII, (Saudi Arabia: Idarah Al-

Buhuts Al-Ilmiyah), hlm. 212. 57 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,

1989), hlm. 302.

Page 50: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

40

Hasan, dan Imam Ahmad ibn Hanbal, jenis diyat itu ada enam macam,

yaitu: Unta, Emas, Perak, Sapi, Kambing, atau Pakaian.58

Pendapat yang sudah dijelaskan dalam kalangan ulama ini berdasarkan

hadits dari Rasulullah. Adapaun macam pertimbangan dari pembunuhan

sengaja ini sehingga pembagian diyat dibagi menjadi dua bagian, yaitu

berdasarkan dengan pembayaran ganti rugi atas perlakuan pelaku terhadap

si korban dengan kondisi kerugian yang dialami korban atau ahli waris yang

ditinggalkan oleh korban.

Pembagian diyat dalam 2 (dua) bagian tersebut berdasarkan pemberatan dan

peringanan diyat, diantaranya adalah:

1. Diyat mughalladzah.

Menurut jumhur ulama, diyat mughalladzah berlaku dalam pembunuhan

sengaja apabila qishash dimaafkan oleh keluarga korban, dan pembunuhan

menyerupai sengaja. Sedangkan Malikiyah berpendapat diyat

mughalladzah dalam pembunuhan sengaja berlaku apabila disetujui oleh

wali si korban, dan juga dalam pembunuhan oleh orang tua kepada

anaknya.59 Menurut Hanafiyah diyat mughalladzah juga berlaku dalam

pembunuhan sengaja yang terjadi karena syubhat, yaitu pembunuhan oleh

orang tua atas anaknya. Diyat dalam pembunuhan sengaja ini berlaku

dengan persetujuan pelaku dan wali korban, setelah adanya pemaafan dari

pihak keluarga atau sebagian dari mereka.60

Diyat mughalladzah hanya berlaku apabila diyat tersebut dibayar dengan

unta, sesuai dengan ketentuan syara’, dan tidak berlaku dalam jenis yang

lain, seperti: emas dan perak. Komposisinys menurut Malikiyah,

Syafi’iyah, dan Imam Muhammad ibn Hasan, dibagi menjadi tiga

58 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-

‘Arabi), hlm. 177. 59 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,

1989), hlm. 304. 60 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,

1989), hlm. 304.

Page 51: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

41

kelompok: pertama Tiga puluh ekor unta hiqqah (umur 3-4 tahun), kedua

Tiga puluh ekor unta jadza’ah (umur 4-5 tahun), ketiga Empat puluh ekor

unta khalifah (sedang bunting).61

2. Diyat mukhaffafah

Diyat mukhaffafah adalah diyat yang diperingan. Menurut pendapat

Hanafiyah dan Hanabilah Komposisinya adalah Kewajiban pembayaran

dibebankan kepada ‘aqilah (keluarga), Pembayaran dapat diangsur selama

tiga tahun, 20 ekor unta bintu makhadh (unta betina umur 1-2 tahun), 20

ekor unta ibnu makhadh (unta jantan umur 1-2 tahun), 20 ekor unta bintu

labun (unta betina umur 2-3 tahun), 20 ekor unta hiqqah (umur 3-4 tahun),

20 ekor unta jadza’ah (umur 4-5 tahun). Sementara menurut Malikiyah dan

Syafi’iyah, untuk unta ibnu makhadh diganti dengan ibnu labun (unta

jantan umur 2-3 tahun).62 Ketentuan ini didasarkan kepada hadis dari Ibnu

Mas’ud, bahwa Nabi bersabda:

diyat untuk pembunuhan karena kesalahan dibagi kepada lima bagian dua

puluh ekor unta hiqqah, dua puluh ekor unta jadz’ah, dua puluh ekor unta

bintu makhadh, dua puluh ekor unta bintu labun, dan dua puluh ekor unta

ibnu labun. (Diriwayatkan oleh Daruquthni). Dan diriayatkan oleh imam

yang empat (ahli hadis), dengan lafaz dua puluh ekor ibnu makhadh

sebagai pengganti dua puluh ekor ibnu labun.63

b) hukuman pembunuhan menyerupai sengaja

pembunuhan menyerupai sengaja dalam hukum islam diancam dengan

beberapa hukuman, sebagai hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian

lagi hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan

menyerupai sengaja ada dua macam, yaitu diyat dan kifarat. Sedangkan

61 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,

1989), hlm. 304. 62 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,

1989), hlm. 305. 63 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah

Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 248.

Page 52: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

42

hukuman pengganti yaitu tazir. Hukuman tambahan yaitu pencabutan hak

waris dan wasiat. Adapun hal yang menyerupai sengaja tidak diancam

dengan hukuman qishash, melainkan hukuman diyat mughalladzah. Hal ini

didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan

Ibn Majah dari Abdullah ibn Amr ibn Ash, bahwa Rasulullah Saw,

bersabda:

Ingatlah, sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai sengaja yaitu

pembunuhan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta,

diantaranya empat puluh ekor yang di dalam perutnya ada anaknya (sedang

bunting). (hadis ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibn Majah,

dan dishahikan oleh Ibn Hibban).64

Diyat syibul ‘amdi (pembunuhan menyerupai sengaja) sama dengan diyat

pembunuhan sengaja, baik dalam jenis, kadar, maupun pemberatannya.

Hanya saja keduanya berbeda dalam hal pertanggung jawab dan waktu

pembayaranya. Dalam pembunhan sengaja, pembayaran diyatnya

dibebankan kepada pelaku, dan harus dibayar tunai. Sedangkan diyat untuk

pembunuhan menyerupai sengaja dibebankan kepada ‘aqilah (keluarga),

dan pembayarannya dapat diangsur dalam waktu tiga tahun. Akan tetapi

Imam Malik berpendapat bahwa syibhul ‘amd (menyerupai sengaja) sama

dengan sengaja dalam pembebanan diyat harta pelaku, kecuali dalam hal

pembunuhan oleh orang tua terhadap anaknya yang pada mulanya dilakukan

dalam rangka pendidikan dengan pedang atau tongkat. Dalam hal ini,

diyatnya adalah diyat syibhul ‘amd, yaitu diyat mughalladzah (diyat yang

berat), komposisinya dibagi tiga dan diangsur selama tiga tahun, seperti

pembunuhan karena kesalahan.65

Adapun ukuran diyat yang ditanggung oleh ‘aqilah (keluarga) tidak ada

kesepakatan di kalangan fuqaha. Menurut Hanafiyah, ‘aqilah (keluarga)

hanya menanggung seperduapuluh (5%) diyat, yaitu lima ekor unta dalam

64 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah

Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 249. 65 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,

1989), hlm. 305.

Page 53: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

43

tindak pidana atas selain jiwa. Akan tetapi untuk tindak pidana atas jiwa

(pembunuhan), ‘aqilah menanggung semua diyat.66 Menurut Malikiyah dan

Hanabilah, ‘aqilah hanya menanggung maksimal sepertiga diyat.

Syafi’iyah berpendapat bahwa ‘aqilah menanggung semua diyat, baik

sedikit maupun banyak.67

c) Hukuman pembunuhan karena kesalahan

Hukuman diyat untuk pembunuhan karena kesalahan, seperti telah

disinggung diatas adalah diyat mukhaffafah, yaitu diyat yang diperingan.

Bahwa dalam pembahasan diyat mukhaffafah yang sudah dijelaskan

sebelumnya, pembayaran diyat untuk tindak pidana pembunuhan

menyerupai sengaja dan kesalahan dibebankan kepada ‘aqilah. Pengertian

‘aqilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq adalah kelompok yang

secara bersama-sama menanggung pembayaran diyat. Mereka kelompok

ashabah, yaitu semua kerabat laki-laki dari pihak bapak yang balig, berakal,

dan mampu. Dengan demikian, pihak perempuan, anak kecil, orang gila,

dan miskin (tidak mampu), tidak termasuk kelompok ‘aqilah.68

Pembebanan diyat kepada ‘aqilah dalam pembunuhan menyerupai sengaja

dan kesalahan, didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abu

Dawud:

“dari jabir bahwa dua orang perempuan dari kabilah hudzail salah satunya

membunuh yang lainnya, dan wanita itu masing-masing mempunyai suami

dan anak. Maka Rasulullah SAW, menjadikan diyat si terbunuh atas ‘aqilah

(keluarga) pembunuh, sedangkan suami dan anaknya dibebaskan dari

kewajiban membayar diyat. Berkata Jabir: Berkata ‘aqilah korban

(terbunuh): apakah warisannya jatuh ke tangan kami? Maka Rasulullah

66 ‘Ala Ad-Din Al-Kasani, Bada’I Asy-shanai’ fi Tartib Asy-Syara’I, Juz VII, (Beirut: Dar

Al-Fikr, 1996), hlm. 378. 67 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,

1989), hlm. 305. 68 Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), hlm. 470.

Page 54: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

44

SAW, bersabda: tidak warisannya tetap untuk suami dan anaknya. (Hadis

riwayat Abu Dawud)69

2. Tindak Pidana Selain Jiwa

a. Hukuman Untuk Ibanah (perusakan) athraf dan sejenisnya

Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk qishash apabila hukuman

qishash terhalang karena suatu sebab, atau gugur karena sebab-sebab yang baru

saja dibicarakan. Diyat sebagai hukuman pengganti berlaku dalam tindak pidana

atas selain jiwa dengan sengaja. Di samping itu, diyat juga merupakan hukuman

pokok apabila jinayahnya menyerupai sengaja atau kesalahan, seperti apa yang

dikemukakan oleh Syafi’iyah dan Hanabilah.

irsy (irsyun) atau dapat disebut ganti rugi ada dua macam.

1). Irsy (ganti rugi) yang telah ditentukan (irsy muqaddar)

2). Irsy (ganti rugi) yang belum ditentukan (irsy ghairu muqaddar)

Irsyun muqaddar adalah ganti rugi yang sudah ditentukan batas dan jumlahnya

oleh syara’. Contohnya seperti ganti rugi untuk satu tangan atau satu kaki.

Sedangkan irsyun ghair muqaddar adalah ganti rugi atau denda yang belum

ditentukan oleh syara’, dan untuk penentuannya diserahkan kepada hakim ganti

rugi yang kedua ini disebut hukumah.70

a. Diyat kamilah

Diyat kamilah atau diyat sempurna berlaku apabila manfaat jenis anggota badan

dan keindahannya hilang sama sekali. Hal ini terjadi dengan perusakan seluruh

anggota badan yang sejenis, atau dengan menghilangkan manfaatnya tanpa

merusak atau menghilangkan bentuk atau jenis anggota badannya itu. Anggota

badan yang berlaku diyat yang sempurna ada empat kelompok, yaitu sebagai

berikut:

69 Muhammad ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Juz VII, (Saudi Arabia: Idarah Al-

Buhuts Al-Ilmiyah), hlm. 242. 70 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, Maret

2005), hlm. 196.

Page 55: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

45

1). Anggota yang tanpa pasangan termasuk dalam kelompok ini adalah: Hidung,

Lidah, Zakar (kemaluan), Tulang belakang (ash-shulb), Lubang kencing,

Lubang dubur, Kulit, Rambut, dan Jenggot.

2). Anggota yang berpasangan (dua buah), Adapun yang termasuk dalam

kelompok ini adalah: Tangan, Kaki, Mata, Telinga, Bibir, Alis, Payudara, Telur

kemaluan laki-laki, Bibir kemaluan perempuan, Pinggul, dan Tulang rahang.

3). Anggota yang terdiri dari dua pasang yang termasuk dalam kelompok ini

adalah kelopak mata, bulu mata.

4). Anggota yang terdiri dari lima pasang atau lebih yaitu: jari tangan, Jari kaki,

dan Gigi.71

b. Diyat Ghair Kamilah

Bahwa diyat ghair kamilah berlaku dalam ibanah al-athraf, apabila jenis anggota

badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh.

Diyat ghair kamilah atau ini berlaku untuk semua jenis anggota badan, baik yang

tunggal (tanpa pasangan) maupun yang berpasangan.

Dalam perusakan anggota badan yang tunggal (tanpa pasangan), irsy berlaku

apabila perusakan terjadi pada sebagian anggota badan. Dalam perusakan hidung

misalnya, irsy berlaku pada perusakan batang hidung (qashabah). Demikian pula

dalam pemotongan lidah, irsy berlaku pada pemotongan sebagian lidah yang

mengakibatkan kurang sempurnanya perkataan, atau pada perusakan lidah yang

bisu. Dalam pemotongan zakar, irsy berlaku pada pemotongan zakar yang tidak

ada hasyafah-nya. Dalam perusakan atau pemotongan anggota badan yang

berpasangan, irsy berlaku apabila pemotongan terjadi pada sebagian dari pasangan

tersebut. sebagai contoh, untuk pemotongan sebelah tangan atau kaki dikenakan

irsy muqaddar (ganti rugi yang tertentu). Pada pemotongan satu jari misalnya,

berlaku irsy muqaddar yaitu sepuluh ekor unta, dua jari dua puluh ekor unta, dan

seterusnya. Pemotongan sebelah telinga dikenakan irsy muqaddar. Demikian pula

71 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, Maret

2005), hlm. 197.

Page 56: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

46

perusakan atau penanggalan satu gigi dikenakan irsy muqaddar, yaitu lima ekor

unta, dua gigi sepuluh ekor unta, dan seterusnya.72

b. Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan

Hukuman Diyat di atas dikemukakan bahwa manfaat anggota badan ada yang

menyatu dengan anggota badannya dan ada pula yang terpisah. Dalam hal

manfaat yang menyatu dengan anggota badannya maka apabila anggota badannya

hilang atau rusak, dan dengan sendirinya mengakibatkan lenyapnya manfaatnya,

hukuman yang dijatuhkan hanya satu diyat, yaitu diyat anggota badan, apabila

manfaatnya lenyap, sedangkan anggota badannya masih tetap utuh, barulah

berlaku diyat manfaat. Sebagai contoh dapat dikemukakan, apabila seseorang

memukul kepala orang lain dan mengakibatkan lenyapnya daya penglihatan dan

daya pendengaran, sedangkan mata dan telinganya masih tetap utuh makan dalam

kasus ini pelaku dikenakan dua diyat, yaitu diyat penglihatan dan pendengaran.73

Dalam hal pemanfaatan pada anggota badan, apabila anggota badan rusak atau

hilang beserta dengan pelenyapan manfaatnya harus diberlakukan dua diyat yaitu

satu diyat untuk anggota tubuhnya dan satunya lagi untuk pemanfaatan dari

anggota tubuh tersebut. Imam Malik membatasi manfaat anggota badan ini hanya

pada sepuluh jenis saja, yaitu: Akal, Pendengaran, Penglihatan, Penciuman,

Pembicaraan, Suara, Rasa (dzauq), Jima’ dan keturunan, Perubahan warna kulit,

Berdiri dan duduk.74

c. Hukuman Untuk Syajjaj

Hukuman Diyat yang diberlakukan untuk syajjaj adalah diyat ghair kamilah atau

yang disebut dengan irsy (ganti rugi). Untuk syajjaj di bawah mudhibah para

ulama telah sepakat bahwa dalam kasus ini tidak ada irsy muqaddar (ganti rugi

yang tertentu). Dengan demikian, untuk syajjaj sebelum (di bawah) mudhibah

72 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, Maret

2005), hlm. 197. 73 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Sinar Grafika, Maret

2005), hlm. 209. 74 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-

‘Arabi), hlm. 278.

Page 57: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

47

hanya berlaku hukumah. Yaitu ganti rugi yang besarnya diserahkan kepada

putusan hakim. Akan tetapi ada satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa untuk

damiyah dikenakan satu ekor unta, badhi’ah dua ekor unta, mutalahimah tiga ekor

unta, dan simhaq empat ekor unta. Dasarnya adalah bahwa Zaid ibn Tsabit pernah

memutuskan hal itu.75

Pendapat ini juga didasarkan kepada hadis Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari

kakeknya bahwa Rasullah SAW. Bersabda:

Di dalam luka-luka mudhibah berlaku lima ekor unta. (Hadis riwayat Imam

Ahmad dan empat ahli hadis)76

Untuk luka munqilah, yaitu luka yang menyebabkan tulang bergeser dari

posisinya. Dikenakan ganti rugi lima belas ekor unta. Dasarnya adalah hadis yang

diriwayatkan oleh Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm dari ayahnya

dari kakeknya bahwa Nabi menulis surat kepada penduduk Yaman yang di

dalamnya disebutkan:

... Dan di dalam luka munqilah hukumannya adalah lima belas ekor unta....77

Untuk luka al-ammah atau al-ma’mumah, yaitu luka yang sampai kepada ummu

ad-dimagh (selaput otak), ganti ruginya adalah sepertiga diyat. Dasarnya adalah

hadis Amr ibn Hazm yang di dalamnya disebutkan:

.... Dan di dalam luka ma’mumah adalah sepertiga diyat ...78

Untuk luka ad-damighah, yaitu luka yang sampai menembus ke bagian otak, ganti

ruginya adalah sepertiga diyat. Menurut fuqaha mazhab Syafi’i dan Hanbali,

untuk luka al-ammah dan ad-damighah dikenakan sepertiga diyat untuk al-

75 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-

‘Arabi), hlm. 280. 76 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah

Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 250. 77 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah

Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 244-245. 78 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah

Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 244-245.

Page 58: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

48

ammah, sedangkan untuk kelebihannya dikenakan hukumah. Para fuqaha

umumnya kurang berminat membicarakan otak mengakibatkan kematian.79

d. Hukuman Untuk Jirah

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, jirah adalah pelukaan pada anggota

badan selain wajah, kepala, dan athraf. Anggota badan yang pelukaannya

termasuk jirah ini meliputi leher, dada, perut sampai batas pinggul. Jirah ini ada

dua macam:

1. Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam dari dada dan perut, baik

pelukaannya dari depan, belakang, maupun samping.

2. Ghair jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari anggota

badan tersebut, melainkan hanya pada bagian luarnya saja.

Hukuman untuk jirah ini adakah qishash. Apabila qishash tidak bisa

dilaksanakan, maka diganti dengan diyat. Hukuman Diyat untuk ghairah jaifah

adalah hukumah. Sedangkan ganti rugi untuk jaifah adalah sepertiga diyat. Hal ini

didasarkan kepada hadis Amr ibn Hazm yang di dalamnya disebutkan:

... Dan di dalam jaifah hukumannya adalah sepertiga diyat...80

Apabila seseorang menusuk orang lain pada bagian depan perutnya sampai

tembus (keluar) ke belakang maka menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan

Imam Ahmad, tindakan tersebut dihitung dua jaifah, dan hukumannya adalah dua

sepertiga diyat. Adapun mazhab Syafi’i tetap menganggapnya sebagai satu jaifah.

Pendapat ini merupakan dalam jaifah pertama berlaku sepertiga diyat, sedangkan

dalam jaifah kedua hanya dikenakan hukumah.81

79 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-

‘Arabi), hlm. 283. 80 Muhammad ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, (Mesir: Syarikah

Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), hlm. 244. 81 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-

‘Arabi), hlm. 283.

Page 59: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

49

D. Ketentuan Diyat dalam Hukum di Indonesia

Diyat ini adalah salah satu hukum Pidana Islam, namun untuk penerapan yang di

pakai di Indonesia dalam hukum Pidana sudah ada beberapa yang di pakai. Di

mana kehilangan jiwa dibayar dengan jiwa ataupun hukuman penjaran dalam

waktu tertentu. Hukum yang ada di Indonesia sendiri bertujuan untuk melindungi

masyarakat, dan hukum Pidana Islam pun secara khusus bertujuan melindungi

jiwa pada masing-masing orang atau masyarakat. Penetapan hukum yang ada di

Indonesia sudah berdasarkan tempat yang konstitusional yaitu:

1. Dasar Filosofis

Dalam hal ini syariat Islam belum dipahami sebagai hukum normatif yang tidak

mengikat dalam masyarakat. Namun hukum yang bersifat normatif itulah yang

akan dijadikan sebagi acuan perilaku bagi sanksi moral dalam masyarakat.

Kesalahpahaman tersebut membuat syariat Islam hanya menjadi kekuatan moral

ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakkan atau diberlakukan sebagai

tuntutan akidah. Padahal syariat Islam di turunkan Allah kepada umat manusia

adalah untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Kekuatan syariat Islam dalam

menata ketertiban dan kedamaian masyarakat selain yang bersifat normatif dalam

bidang ubudiah dan muamalah, juga harus ditopang dalam bidang jinayah agar

segala hak-hak masyarakat yang terampas bisa dikembalikan. Oleh karena itu,

hukum pidana Islam sebagai hukum publik harus dilegislasi menjadi hukum

positif. 82

2. Dasar Sosiologis

Pelaksanaan hukum pidana Islam di Indonesia telah dipraktikkan di berbagai

kesultanan di Indonesia sebelum dikuasai oleh penjajah Belanda. Demikian juga

berbagai data yang ditulis dalam disertasi Abdul Ghani Abdullah yang menulis

tentang peradilan agama dalam pemerintahan Islam di kesultanan Bima 1947-

82 A. Rahmat dan Ahmad Rosyadi, H. M. Rais, Formalisasi Syariat Islam Dalam

Prespektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 36.

Page 60: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

50

1957.83 Hukum di kerajaan-kerajaan itu adalah hukum-hukum syari’at. Literatur

yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan adalah literatur fiqih

dengan mazhab Syafi’i.84 Hasrat memberlakukan hukum Islam juga dilakukan

para penguasa Kesultanan Aceh. Ini terbukti dengan adanya teks buatan As-

Salatin, karangan Nuruddin Ar-Raniri, mencatat bahwa sultan Alaudin adalah

Raja yang alim, yang sangat menghendaki rakyatnya melaksanakan ajaran

Islam.85 Kenyataan serupa juga dapat ditemukan di Kerajaan Banjar. Kentalnya

hukum Islam di Kerajaan Banjar ini tercermin dari bai’at yang berbunyi “Patih

baraja’an Dika, Andika badayan Sara”, artinya, saya tunduk pada perintah

Tuanku, karena Tuanku berhukumkan syara’.86

Sedangkan di era reformasi, setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya

secara perlahan tapi pasti. Lahirnya ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang

sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin

membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum

Islam. Lebih dari itu, di samping peluang yang semakin jelas, upaya kongkret

merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah

membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

tentang pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Menurut Maria F.I.

Surapto, terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum

Islam dan proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan

dinamika politik di Indonesia.87

Dalam kacamata sosiologis, Juhaya S. Praja mengatakan, setidaknya, ada tiga

faktor yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam

83 Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan

Bima, (Mataram: Yayasan Lengge, 1947-1957). 84 Daud Rasyid, et.al, Penerapan Syariat Islam Di Indonesia Antara Peluang dan

Tantangan, (Jakarta: Globalmedia, 2004), hlm. 54. 85 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Dinamika Sosial Politik Di

Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 18. 86 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Dinamika Sosial Politik Di

Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 19. 87 Maria Farida Indrianti Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar

Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 124-130.

Page 61: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

51

kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai

yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang

harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan,

dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari

hukum Islam telah diserap menjadi bagian hukum Positif yang berlaku. Ketiga,

adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam

sehingga peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan

yang masih mempunyai pengaruh cukup besar.88

3. Dasar Yuridis

Secara langkah hukum pidana Islam ini sudah ada namun belum termasuk

didalamnya yang terdapat ”Peradilan Agama merupakan salah satu badan

peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegak hukum

dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,

infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah” (Penjelasan atas Undang-undang Nomor

3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama), dan tidak disebutkan di dalamnya hukum Pidana

Islam. Namun dari secara penerapan ada beberapa terapan hukum pidana nasional

yang berada pada ranah hukum pidana Islam walaupun tidak mengartikan

sepenuhnya melainkan hanya syariat Islamnya saja. Teori ini mengungkapkan,

bentuk eksistenti hukum pidana Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional

ialah sebagai berikut; (1) merupakan bagian integral dari hukum nasional

Indonesia, (2) keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh

hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional, (3) norma-norma

hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional

88 Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. XV.

Page 62: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

52

Indonesia, dan (4) sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional

Indonesia.89

dalam hal penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, terdapat kecenderungan

yang dikemukakan ahli hukum yaitu : pertama adalah hukum Islam hanya berlaku

bagi warga yang beragam Islam dan yang kedua adalah bahwa substansi hukum

Islam masuk ke dalam perundang-undnagan Indonesia yang tanpa menggunakan

label islam sehingga mengikat dari keseluruhan warga negara tanpa melihat

agamanya. Jika substansi yang disajikan terkandung sebagai hukum Islam pada

dasarnya sebagai terdapat dalam hukum pidana nasional di Indonesia.

Berdasarkan kecenderungan pertama, maka karena negara Indonesia buka negara

Islam, melainkan negara yang menjamin tiap-tiap penduduk agar dapt beribadat

sesuai agamanya masing-masing dan sesuai anjuran Alquran Surat Al-Kafirun

ayat 4-6, maka negara dapat menegakkan hukuman diyat hanya untuk umat Islam

saja, dan dipersilahkan juga kepada negara untuk menegakkan syari’at agama

yang lainnya juga (jika dimungkinkan), dengan ketentuan hanya untuk

pemeluknya saja. Dalam hal ini, suma dkk. berpendapat ketika hukum pidana

Islam telah menjadi materi muatan hukum pidana nasional, umat Islam perlu

memberi jaminan yang mengikat bahwa pasal-pasal diyat tadi hanya pasal

diferensiasi. Karena itu hukum pidana Islam hanya berlaku bagi pelaku pidana

yang beragama Islam. Jika pelaku beragama non Islam melakukan kejahatan

terhadap orang yang beragama Islam, maka cukup dikenakan pasal pidana

umum.90 Sedangkan bila mengikuti kecenderungan kedua, maka diyat tidak

identik dengan labelisasi Islam dan otomatis menjadi hukum bagi seluruh warga

Indonesia tanpa membedakan agama.

Adapun dari segi metode penerapan, menurut Ahmad Sukardja, ada dua

pendekatan dalam pelaksanaan hukum pidana Islam, yaitu jawabir dan zawajir.

Jika pendekatan jawabir menghendaki pelaksanaan secara tekstual berdasarkan

89 Hasan Bisri, Hukum Islam di Indonesia: Pengembangan dan Pembentukan, (Bandung:

Rosada Karya,1991), hlm. 137. 90 Muhammad Amin Suma et.al. Pidana Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2001), hlm. 244.

Page 63: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

53

nash, dimana hukum itu ditegakkan dengan maksud menebus kesalahan dan dosa

si pelaku pidana. Sedangkan pendekatan zawajir lebih melihat bagaimana agar

tujuan penghukuman itu sendiri dapat dicapai, yaitu membuat jera si pelaku dan

menimbulkan takut pada diri orang lain untuk melakukan perbuatan pidana

sejenis. Selanjutnya, Sukardja berpendapat bahwa dalam rangka pengintegrasian

hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional, kedua pendekatan ini patut

menjadi pertimbangan.91 Pendekatan jawabir menghendaki hukuman diyat

diterapkan secara apa adanya seperti dalam wasiat Alquran. Sedangkan

pendekatan zawajir tidak mengharuskan sebuah bentuk hukuman diyat bila ada

hukuman lain yang bertujuan sama. Pendekatan zawajir berpotensi membuat

kabur eksistensi hukuman diyat itu sendiri.

Sedangkan dengan kedua pendekatan tersebut, ketika mengupas model

ideal penerapa hukum Islam dalam praktik kenegaraan, Bahtiar Effendy dalam

disertasinya mengungkapkan setidaknya adanya dua spektrum pemikiran yang

saling bertentangan. Pemikiran pertama mengatakan bahwa Islam harus menjadi

dasar negara dan bahwa “Syari’ah” harus diterima sebagai kontitusi negara. Aliran

ini juga menyatakan bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan.92 Model

teoretis ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal

dan formal idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai

oleh keinginan menerapkan ”Syari’ah” secara langsung sebagai kontitusi negara.

Pemikiran kedua mengatakan bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku

tentang teori negara yang harus dijalankan oleh ummah. Alquran adalah kitab

yang mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis yang berkenaan

dengan aktivitas sosial dan politik.93 Dengan alur argumentasi seperti ini, yang

terpenting adalah bahwa negara menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar etis yang

91 Muhammad Amin Suma et.al. Pidana Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2001), hlm. 260-261. 92 Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Disertasi pada Universitas Paramadina Jakarta, 1998, hlm. 12. 93 Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Disertasi pada Universitas Paramadina Jakarta, 1998, hlm. 13.

Page 64: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

54

telah diterapkan dalam Al-quran. Model pemikiran ini lebih menekankan

substansi dari pada formalisasi.

Terlepas dari adanya pro dan kontra tentang formalisme dan substansialisme

dalam masalah penerapan hukum pidana Islam dalam konteks ke-Indonesia-an ini,

umat Indonesia dituntut kearifannya untuk bisa mempertimbangkan secara

proporsional berbagai aspek mengenai nilai positif (mashlahat) maupun nilai

negatif (mafsadat) yang bisa diprediksi sebagai konsekuensi dari masing-masing

pendapat. Tujuannya adalah agar bentuk pemberlakuan hukum pidana diyat yang

nantinya dipilih, dapat benar-benar mencerminkan dan sekaligus berada dalam

koridor penciptaan mashlahat bagi kehidupan manusia, khususnya bangsa

Indonesia. Hal ini mengingat esensi dari tujuan disyari’atkan hukuman diyat

adalah untuk menciptakan kemashlatan dan mencegah kerusakan kehidupan

manusia.

Page 65: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

55

BAB IV

KOMPENSASI DALAM KONSEP DIYAT BAGI KORBAN TINDAK

PIDANA TERORISME

A. Konsep Kompensasi dan Konsep Diyat bagi korban tindak pidana

terorisme

Sebagaimana telah dijelaskan bab sebelumnya konsep ganti kerugian yang

ditujukan pada hukum Pidana Islam dan hukum Pidana Positif telah mendapat

tempat dalam hukum peradilan di Indonesia yang lebih melindungi hak-hak yang

diperoleh korban. Sehingga hak tersebut menjadi dasar untuk menyejahterakan

masyarakat yang ada di Indonesia secara sempit maupun yang secara luas, terkait

dengan konsep pembagian pada hukum Pidana Islam dari beberapa yang

dijelaskan secara adil dalam pembagiannya dan hukum Pidana Positif yang

mengatur untuk pembagian secara konstitusional entah dalam perundang-

undangan maupun lingkup kekuasan KUHPidana.

Namun, perihal konsep diyat dan kompensasi yang terkandung dari

beberapa pasal dan aturan yang ada dalam hukum Pidana Islam dan hukum Pidana

Positif dijelaskan secara ekspilisit bagaimana yang harus digantikan dari kerugian

yang dialami sebagaimana dalam hal untuk melindungi hak rakyat masyarakat

Indonesia. Dalam bab ini akan dijelaskan dengan beberapa permasalahan terkait

dengan konsep ganti kerugian hukum Pidana Islam begitu pula sering disebut

dengan Diyat, ganti kerugian dalam hukum Pidana di Indonesia yang sering

disebut dengan Kompensasi, dan beberapa perbedaan dan persamaan yang ada

diantara keduanya sehingga sama-sama untuk membantu menyejahterkaan dan

memberi rasa aman kepada masyarakat khususnya di Indonesia.

Diyat merupakan bagian dari hukum pidana Islam sebagai pengganti qishash,

apabila pelaku tersebut dimaafkan oleh keluarga korban (aqilah) dan dimaafkan

oleh korban itu sendiri. Sedangkan arti diat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah denda (berupa uang atau barang) yang harus dibayar karena melukai atau

membunuh.94 Sayyid Sabiq dalam pandangannya mengartikan diyat yaitu

94 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1990), hlm. 156.

Page 66: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

56

pemberian wajib yang diberikan kepada si korban atau walinya disebabkan

adanya tindak pidana (jarimah).95 Namun diyat bukan merupakan suatu jarimah

yang sangat diutamakan melainkan jarimah pengganti. Apabila pihak korban

sudah memaafkan atau korban yang menerima luka dari si pelaku Dan qishash

pun akan gugur.

Menurut syeikh Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbaini, harta yang wajib atas

orang merdeka, karena kejahatan terhadap jiwa ataupun lainnya.96 Menurut Abdul

Qadir Audah, harta yang wajib diberikan oleh sipelaku kepada si korban atau

kepada ahli warisnya, karena ia melakukan perbuatan pidana.97 Sedangkan

menurut Delta Pemungkas, tebusan atau ganti rugi atas tindak pidana atau jinayah

pembunuhan atau tindakan yang mengakibatkan cacat tubuh pada orang lain, baik

sengaja atau tidak, oleh orang dewasa maupun anak-anak di bawah umur.98

Kedudukan diyat sebagai pengganti qishash atau sebagai hukuman utama dalam

hukum Pidana Islam sangat begitu penting, karena perlindungan dari pihak korban

tersebut lebih merasa dihargai akan kehidupannya dan kemanfaatan fungsi

anggota tubuh. Untuk itu Allah berfirman dalam Al-Qur’an, surah Al-Maidah ayat

45 yang berbunyi sebagai berikut:

أن فيهآ عليهم كتبنا و بالعين والعين بالنفس باألاألنوالنفس واألذنف قصاصنف والجروح ن فمنوالس

تصدقبهفهوكفارةلهومنلميحكمبمآأنزلآلل (45ون)همالظالمولئكفأ

“ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat), bahwasanya

jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telingan

dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada qishashnya, barang siapa

yang melepaskan (hak qisahsh) nya, mka melepaskan hak itu (menjadi) penebus

dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang

diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim”. (QS. Al-

Maidah: 45)

Kemudian dalam surah Al-Israa’ ayat yang berbunyi sebagai berikut:

95 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. II, (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 465. 96 Syeikh Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbaini, Mugni Muhtaj, Juz. IV, (Mesir:

Mahtabah Mustafa Al-Bab Al-Himabi, 1993), hlm. 53. 97 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jinayah Al-Islamy, (Beirut: Darul Kutub, 1986),

hlm. 551. 98 Delta Pemungkas, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Delta Pemongkas,

1997), hlm. 342.

Page 67: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

57

ومنقتل بالحق إل مللا النفسالتىحر لتقتلوا امظو جعلنلوم يسفقد لولي هسلطان افال إن ها رففىالقتل

ا) (33كانمنصور

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),

melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara

dzalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,

tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh, sesungguhnya

ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Israa’: 33)

Dari Firman Allah pada dua ayat di atas ditujukan kepada perlakuan pelaku

kejahatan terhadap jiwa maupun selain jiwa tanpa ada alasan yang dibenarkan

oleh syari’at. Artinya dalam hukum Pidana Islam sangat dihargai bagi setiap

orang yang memiliki kemanfaatan pada anggota tubuh seorang manusia. Kedua

ayat inilah yang menjadi salah satu dasar untuk diterapkannya diyat sebagai

pengganti bagi qishash maupun sebagai sebuah keutamaan ketika menentukan

pada hukum pidana Islam. Karena itulah sebagai umat muslin kita mengambil

rujukan yang terdapat dalam Al-Quran, Hadits dan beberapa kaidah fiqih dari para

ulama.

Adapun kaidah fiqih dalam hal ini adalah sebgaai berikut:

ألشديزالبالضرراألخفالضررا

“dlarar yang lebih besar dihilangkan dengan dlarar yang lebih ringan”99

Kaidah ini menjelaskan tentang bagaimana menghilangkan suatu bahaya yang

tidak menimbulkan bahaya yang lain yang lebih besar. Karena dlarar yang lebih

kecil dilakukan demi menghilangkan dlarar yang lebih besar, maka diterapkan

hukum qishash.100 Sebab jika hukuman tidak diterapkan akan memiliki dampak

yang sangat besar dan membuat kehidupan menjadi tidak tentram. Diyat disini

sebagai pengganti bila pemaafan yang dilakukan oleh pihak keluarga terhadap

pelaku dimaafkan dengan tidak dilakukannya qishash. Artinya ketika qishash

menjadi suatu dlarar yang lebih besar dan ketika harus diringankan dengan sebuah

pemaafan maka keringan tersebut dengan diberlakunya Diyat.

Kaidah yang berikutnya yaitu:

99 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah: Dalam Prespektif Fiqh, cetakan kedua

(Jakarta: Radar Jaya Offset, April 2016), hlm. 140. 100 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah: Dalam Prespektif Fiqh, cetakan kedua

(Jakarta: Radar Jaya Offset, April 2016), hlm. 140.

Page 68: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

58

مان منسقطتعندهالعقوبةلموجب ضوعفعليهالض

“barangsiapa terlepas dari hukuman karena suatu sebab, maka dilipatkan

pembayaran ganti rugi atasnya”.

Kaidah di atas menunjukkan hukuman ketika terlepasnya dari suatu sebab maka

harus ada pembayaran ganti kerugian. Apabila seseorang mengerjakan perkara

haram yang mengakibatkan terjadinya hukuman duniawi atas dirinya, namun

hukuman itu tidak bisa diterapkan karena tidak terpenuhi syaratnya atau karena

adanya penghalang, maka hukuman itu tidak diterapkan kepadanya, akan tetapi ia

dikenakan hukuman lain yaitu dilipatkan kewajiban membayar denda sebagai

hukuman atas perbuatannya mengerjakan perkara haram tersebut.101

Diyat ini memiliki beberapa jenis ketentuan untuk menentukan ukuran yang

sesuai dengan perlakuan yang dilakukan terhadap pelaku itu sendiri. Jenis-

jenisnya pun bermacam-macam ada tindak pidana pembunuhan terhadap jiwa

maupun tindak pidana pembunuhan selain jiwa. Namun pembunuhan menurut

jumhur fuqaha terbagi dalam tiga bagian, yaitu :

a) Pembunuhan sengaja;

b) Pembunuhan menyerupai sengaja;

c) Pembunuhan karena kesalahan.102

diyat ini menjadi ketentuan untuk melihat manakah nilai yang harus dibayar

berdasarkan dengan pemberatan dan peringanannya:

a) Diyat mughalladzah

Diyat mughalladzah hanya berlaku apabila diyat tersebut dibayar dengan unta,

sesuai dengan ketentuan syara’, dan tidak berlaku dalam jenis yang lain, seperti:

emas dan perak. Komposisinya menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Imam

Muhammad ibn Hasan, dibagi menjadi tiga kelompok: pertama Tiga puluh ekor

unta hiqqah (umur 3-4 tahun), kedua Tiga puluh ekor unta jadza’ah (umur 4-5

101 Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Talqihul Afhamil ‘Aliyyah bi Syahril Qawa’idil

Fiqhiyyah, kaidah ke-60 dan Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Ibnu

‘Utsaimin, hlm. 321. 102 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kitab

Al-‘Arabi), hlm. 7.

Page 69: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

59

tahun), ketiga Empat puluh ekor unta khalifah (sedang bunting).103 Pemberlakuan

diyat ini menurut jumhur ulama dalam pembunuhan sengaja apabila qishash

dimaafkan oleh keluarga korban dan pembunuhan menyerupai sengaja.

b) Diyat mukhaffafah

Diyat mukhaffafah adalah diat yang diperingan. Menurut pendapat Hanafiyah dan

Hanabilah Komposisinya adalah Kewajiban pembayaran dibebankan kepada

‘aqilah (keluarga), Pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun, 20 ekor unta

bintu makhadh (unta betina umur 1-2 tahun), 20 ekor unta ibnu makhadh (unta

jantan umur 1-2 tahun), 20 ekor unta bintu labun (unta betina umur 2-3 tahun), 20

ekor unta hiqqah (umur 3-4 tahun), 20 ekor unta jadz’ah (umur 4-5 tahun).

Sementara menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, untuk unta ibnu makhadh diganti

dengan ibnu labun (unta jantan umur 2-3 tahun).104

Dengan adanya klasifikasi jenis diyat berdasarkan pembunuhan terhadap jiwa

tersebut, hanya memenuhi tiga kriteria saja. Oleh karena itu secara penegakan

hukum pidana Islam dari segi perlindungan terhadap korban sangat dikedepankan,

karena tujuan dalam hal ini untuk menanggulangi agar tidak terjadi kembali dan

memberi peringatan kepada orang lain serta memberi rasa aman dan tentram

kepada masyarkat. Pembagian dari ukuran pembayaran untuk diat pembunuhan

terhadap jiwa ini ada beberapa perbedaan pembayarannya tetapi masih tetap lebih

mengutamakan kemaslahatan bagi si korban. Untuk diat pembunuhan terhadap

selain jiwa ini lebih mengutamakan bukan dari sebuah pembunuhan melainkan

dengan adanya suatu tindakan yang dilakukan dengan hilangnya sebuah

kemanfaatan pada anggota badannya.

Adapun tindak pidana selain jiwa ini ada ketika si pelaku melakukan

penganiayaan atau semacamnya kepada si korban sehingga korban kehilangan

103 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,

1989), hlm. 304. 104 Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al-Fikr,

1989), hlm. 305.

Page 70: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

60

manfaat anggota tubuh yang dimilikinya. Pembagian untuk ukuran diyat ini

terbagi menjadi dua yaitu:

a) Diyat kamilah atau diyat sempurna

berlaku apabila manfaat jenis anggota badan dan keindahannya hilang sama

sekali. Hal ini terjadi dengan perusakan seluruh anggota badan yang sejenis, atau

dengan menghilangkan manfaatnya tanpa merusak atau menghilangkan bentuk

atau jenis anggota badannya itu. Anggota badan yang berlaku diat yang sempurna

ada empat kelompok, yaitu sebagai berikut:

5). Anggota yang tanpa pasangan termasuk dalam kelompok ini adalah: Hidung,

Lidah, Zakar (kemaluan), Tulang belakang (ash-shulb), Lubang kencing,

Lubang dubur, Kulit, Rambut, dan Jenggot.

6). Anggota yang berpasangan (dua buah), Adapun yang termasuk dalam

kelompok ini adalah: Tangan, Kaki, Mata, Telinga, Bibir, Alis, Payudara, Telur

kemaluan laki-laki, Bibir kemaluan perempuan, Pinggul, dan Tulang rahang.

7). Anggota yang terdiri dari dua pasang yang termasuk dalam kelompok ini

adalah kelopak mata, bulu mata.

8). Anggota yang terdiri dari lima pasang atau lebih yaitu: jari tangan, Jari kaki,

dan Gigi.105

b) Diyat Ghair Kamilah

Bahwa diyat ghair kamilah berlaku dalam ibanah al-athraf, apabila jenis anggota

badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh.

Diyat ghair kamilah atau ini berlaku untuk semua jenis anggota badan, baik yang

tunggal (tanpa pasangan) maupun yang berpasangan.

Dalam perusakan anggota badan yang tunggal (tanpa pasangan), irsy berlaku

apabila perusakan terjadi pada sebagian anggota badan. Dalam perusakan hidung

105 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (jakarta: PT Sinar Grafika, Maret

2005), hlm. 197.

Page 71: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

61

misalnya, irsy berlaku pada perusakan batang hidung (qashabah). Demikian pula

dalam pemotongan lidah, irsy berlaku pada pemotongan sebagian lidah yang

mengakibatkan kurang sempurnanya perkataan, atau pada perusakan lidah yang

bisu. Dalam pemotongan zakar, irsy berlaku pada pemotongan zakar yang tidak

ada hasyafah-nya. Dalam perusakan atau pemotongan anggota badan yang

berpasangan, irsy berlaku apabila pemotongan terjadi pada sebagian dari pasangan

tersebut. sebagai contoh, untuk pemotongan sebelah tangan atau kaki dikenakan

irsy muqaddar (ganti rugi yang tertentu). Pada pemotongan satu jari misalnya,

berlaku irsy muqaddar yaitu sepuluh ekor unta, dua jari dua puluh ekor unta, dan

seterusnya. Pemotongan sebelah telinga dikenakan irsy muqaddar. Demikian pula

perusakan atau penanggalan satu gigi dikenakan irsy muqaddar, yaitu lima ekor

unta, dua gigi sepuluh ekor unta, dan seterusnya.106

Bahwa pembagian terhadap diyat dari secara keseluruhan menentukan derita yang

dialami korban terkait dengan tindak pidana jiwa maupun selain jiwa yang

merugikan. Sehingga dari secara pembunuhan dan yang menghilangkan manfaat

anggota tubuh dari secara kemanfaatannya, lebih berfikir ganti kerugian secara

mudharat yang ditimbulkan ketika korban meninggal dan beban yang ditinggal

oleh keluarga korban. Dan kalau unruk menghilangkan manfaat pada anggota

tubuh juga dapat diberi ganti kerugian, karena menimbulkan mudharat pada

korban yang sebelumnya dia bisa melakukan aktifitas dengan sempurna namun

untuk saat setelah terjadinya sesuatu kejadian kurang bisa untuk melakukan

aktifitas yang sempurna.

Jika melihat kesinambungan ganti kerugian dari korban terorisme terhadap

penerapan yang diambil dalam konesep diat ini sebagai hukum pidana Islam

sangat tepat, karena Islam mengajarkan tentang kerukunan hidup sesama

masyarkat dan untuk menimbulkan rasa takut untuk melakukan perbuatan

jarimah. Jarimah pembunuhan juga dapat diartikan sebagai suatu tindak pidana

yang melanggar syara’ karena pelanggaran hukum had atau ta’zir baik didahului

106 H Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (jakarta: PT Sinar Grafika, Maret

2005), hlm. 197.

Page 72: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

62

dengan unsur-unsur pembunuhan sengaja dengan suatu perencanaan ataupun tidak

didahului suatu perencanaan.107

Artinya untuk tindak pidana terorisme ini ganti kerugian kepada korban dari

konsep diat sangat sesuai dengan definisi jarimah itu sendiri. Sehingga unsur yang

dilakukan secara sengaja maupun yang lainnya sehingga melanggar syara dapat

dihukum, sebelum penerapan diat harus terlebih dahulu adanya pemaafan pada

pihak korban. Menurut Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya Tafsir al-Qurán

al-hakim menjelaskan bahwa tujuan dari Qishash yaitu keadilan dan keserupaan

dan menghilangkan penindasan yang dilakukan oleh orang yang kuat terhadap

orang yang lemah. Kemudian jika dari pihak keluarga korban memaafkan pelaku

pembunuhan, maka disertai pemaafan tersebut, kepada pelaku pembunuhan

dengan kewajiban membayar diyat.108

Tentunya, dalam proses penerapan konsep diat untuk pemberlakuan kompensasi

harus melihat dari segi penderitaan yang dirugikan oleh korban batasan yang telah

ditetapkan oleh hukum pidana Islam. Karena pada dasarnya hukum pidana Islam

berlaku secara kesesuaian dengan derajat manusia itu sendiri tanpa

membedakannya.

Dalam kompensasi adalah salah satu hak pada korban untuk merasa bahwa korban

merasa terlindungi oleh negara. Pada dasarnya untuk melihat dari sisi korban

perlindungannya diatur secara konstitusional dalam pasal 28 G ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, yang menyatakan

bahwa hak untuk perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan

harta benda, serta hak aman dari ancaman. Artinya, dalam perlindungan korban

terkait dengan seluruh hak terhadap diri pribadi yang diatur dalam hirarki

perundang-undangan Indonesia yang tertinggi. Oleh karena itu kompensasi hadir

107 Sofyan Maulana, Hukum Pidana Islam dan Pelaksanaan, (Jakarta: Rineka Cipata,

2004), hlm. 83. 108 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Beirut : Dar al-Kitab al-

Ilmiyah), jilid I, h. 167 dalam Musaw Akbar, Tindak Pidana Pembunuhan dan Ancaman Hukum

Hanya dalam Konsep Hukum Jinayah dan Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta: Program

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm. 19.

Page 73: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

63

sebagai langkah pembayaran ganti rugi kepada korban untuk lebih melindungi

hak-hak yang harus dimiliki korban.

Perihal pada perlindungan korban dengan langkah yang lebih eksplisit untuk

pengaturan dan pelaksanaannya dalam perlindungan dari bentuk kompensasi

tersebut. Mengenai aturan yang berlaku dalam pengaturan kompensasi ini ada

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sebagai berikut:

Pasal 35 A ayat (4)

“Bentuk tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. Bantuan medis;

b. Rehabilitasi psikososial dan psikologis;

c. Santunan bagi keluarga dalam hal korban meninggal dunia; dan

d. Kompensasi.109

Pasal 36

(1) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 35A ayat (4) huruf d

diberikan kepada korban atau ahli warisnya.

(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembiayaannya

dibebankan kepada negara.

(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban,

keluarga atau ahli warisnya melalui lembaga yang menyelenggarakan

urusan di bidang perlindungan saksi dan korban dimulai sejak saat

penyidikan.

(4) Dalam hal korban, keluarga atau ahli warisnya tidak mengajukan

kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kompensasi diajukan

oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan saksi

dan korban.

(5) Penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban

akibat tindak pidana terorisme dalam tuntutan.

109 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentnag Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-

Undang.

Page 74: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

64

(6) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada yaat (1) diberikan dan

dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

(7) Dalam hal korban belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan tidak di

bawah pengampuan, kompensasi dititipkan kepada lembaga yang

menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.

(8) Dalam hal pelaku dinyatakan bebas berdasarkan putusan pengadilan,

kompensasi kepada korban tetap diberikan.

(9) Dalam hal pelaku tindak pidana terorisme meninggal dunia atau tidak

ditemukan siapa pelakunya, korban dapat diberikan kompensasi

berdasarkan penetapan pengadilan.

(10) Pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang

pelindungan saksi dan korban.110

Dengan melihat secara keseluruhan pasal 35A ayat 4 dan pasal 36 tentang

kompensasi, maka dari secara rasional menurut dengan pasal tersebut adalah teat.

Karena negara pun harus turut membantu dan ikut serta dalam menjaga atau

memberi perlindungan kepada korban melalui adanya kompensasi. Maka dari itu

sudah sewajarnya ketika pemberlakuan kompensasi ini harus dilaksanakan, karena

demi ketentraman dan kesejahteraan masyakarat Indonesia khususnya.

Kompensasi atau ganti kerugian yang diberikan negara kepada korban adalah

untuk menghargai dan menjaga tindakan yang ditimbulkan pada tindak pidana

terorisme pada korban. Tindak pidana terorisme di Indonesia senastiasa

meninggalkan penderitaan dan kerugian bagi korbannya, baik korban yang

merupakan sasaran teroris maupun korban yang bukan sasaran teroris. Korban

serangan terorisme mengalami fenomena anonimitas dimana para korban yang

berjatuhan merupakan korban yang random atau terpilih secara acak dan tidak

110 Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentnag Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-

Undang.

Page 75: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

65

bersalah sama sekali.111 Namun jika melihat pasal 35A ayat (4) dan pasal 36 yang

menjelaskan jikalau salah satu tanggung jawab negara ketika terjadinya tindak

pidana terorisme dan terdapat korban pada kejahatan tersebut, maka berlakunya

kompensasi bagi korban dengan pemberian kepada korban atau ahli warisnya.

Artinya semua hal terkait pembiayaan ganti kerugian dibebankan oleh negara

dengan korban atau keluarga korban yang mengajukan ke LPSK dan berdasarkan

dengan jumlah kerugian yang diderita korban. Hal ini menjadi sesuai dengan Asas

Kepastian Hukum yang mengedepankan adanya pengaturan hukum dalam suatu

perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan yang sesuai

dengan hirarkinya dan melindungi hak-hak korban. Namun Asas Keadilan

(Justice Principle) yang diterapkan di dalam UU ini kurang tepat karena

pembagian nya hanya sesuai dengan jumlah kerugian tanpa ada penentuan yang

tertentu.

Sedangkan dalam pemenuhan untuk mempunyai hak dari secara perlindungan

terhadap diri, keluarga yang sesuai dengan pasal 28 G ayat (1) dan ada pada

kemanfaatan korban maupun bagi keluarga korban. Dan juga beberapa peraturan

yang ada dalam HAM untuk kejahatan luar biasa, seperti terorisme ini.

Berdasarkan pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan HAM, yang menyatakan bahwa: “

Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM”.

Hal ini berarti bahwa korban hanya dapat mengajukan haknya memperoleh

restitusi dan kompensasi jika dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.

Sehingga, jika korban ingin memperoleh restitusi dan kompensasi harus

mengajukannya pada saat proses peradilan pidana berjalan.

Banyak kalangan menganggap bahwa salah satu faktor kegagalan korban

memperoleh kompensasi dan atau restitusi disebabkan oleh konsep kompensasi

dan restitusi yang dianut dalam UU Pengadilan HAM tidak sesuai dengan konsep

dan praktik kompensasi berdasarkan prinsip-prinsip internasional. Konsep

kompensasi yang dianut oleh UU Pengadilan HAM adalah bahwa untuk adanya

111 Muhammad Alfath Tauhidillah, Korban Sebagai Dampak dari Tindak Pidana

Terorisme: Yang Anonim dan Terlupakan, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. V No. II, Agustus

2009, hlm. 19-30.

Page 76: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

66

kompensasi, harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan

dijatuhi pidana sekaligus diperintahkan untuk membayar ganti kerugian kepada

korban. Tetapi, karena pelaku tidak mampu membayarnya, entah karena

korbannya terlalu banyak atau jumlahnya yang terlalu besar, maka negara

mengambil alih pertanggungjawaban pelaku tersebut. Hal ini berbeda dengan

prinsip-prinsip internasional, dimana yang sudah disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan kompensasi adalah kewajiban yang harus dilakukan negara

terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (yang berat) untuk melakukan

pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagi bentuk, seperti perawatan

kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan

tanah. Jadi, menurut prinsip-prinsip internasional kompensasi itu diberikan kepada

korban bukan karena pelaku tidak mampu. Tetapi sudah menjadi kewajiban

negara (state obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran hak asasi

manusia yang berat dan mengakibatkan adanya korban.112

Konsep dan filosofi hukum pidana dan sistem peradilan pidana yang memberikan

perlindungan secara berimbang hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak

pidana, masyarakat dan negara, dewasa imi dikenal dengan peradilan restoratif

sebagai konsep peradilan yang menghasilakn keadilan restoratif.113 Keadilan

restoratif dapat disebut juga dengan keadilan relatif, yang merupakan salah satu

teori pemidanaan dalam sistem peradilan pidana.

Menurut teori relatif atau restoratif ini, memidana bukanlah untuk memuaskan

tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai,

selain hanya sebagai saran untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh

112 Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Kritisi terhadap Praktik Kompensasi dan

Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian awal, (Makalah disampaikan dalam FGD yang

diselenggarakan Indonesia Corruption Wacth (ICW) dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta,

kamis 22 Maret 2007), hlm. 30-31. 113 Howard Zehr, the little Book of Restorative Justice, (Pennsylvania: Intercourse, 2002),

hlm. 18.

Page 77: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

67

karena itu, menurut J. Andeneses, teori ini dapat disebut sebagai teori

perlindungan masyarakat (the theort of social defence).114

Tanggungjawab negara adalah diartikan sebagai kewajiban negara terhadap segala

sesuatu atau berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau

pihak lain. Antara lain dengan: (1) memikul atas kesalahan yang dilakukan, (2)

dengan memberi ganti kerugian atau; (3) dengan jalan melakukan tindakan

pemulihan keadaan seperti semula. Penentuan pilihan cara yang dipakai itu,

terutama tergantung pada besar kecilnya tanggungjawab. Menurut David Ott,

bahwa dalam praktek, negara tidak dapat bertindak sendiri tetapi harus melalui

individu sebagai organ negara, perwakilan negara, pejabat negara atau badan

perusahaan negara. Tindakan berbuat atau tidak berbuat yang mereka lakukan

dapat menimbulkan pertanggungjawaban negara.115

Gambaran tentang dasar/alasan negara memberikan kompensasi pada prinsipnya

adalah:

(1) Kewajiban negara melindungi warga negaranya,

(2) Kemungkinan ketidakmampuan pembuat untuk memberikan ganti

kerugian yang cukup, dan

(3) Sosiologi hukum berpandangan kejahatan yang timbul adalah andil

kesalahan masyarakat atau kejahatan sebagai anak kandung masyarakat.116

Khusus mengenai pelanggaran HAM berat, setiap Korban pelanggaran HAM

mempunyai hak yaitu: hak untuk tahu (rights to Know), hak atas keadilan

(rights to justice),dan hak atas pemulihan (rughts to reparation).117 Untuk itu

keluarga korban berhak untuk meminta mengembalikan pemulihan secara

114 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang: Badan

Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hlm. 9.. 115 Jazim Hamidi, et.al., ed., Teori dan Politik Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: Total

Media, 2009), hlm. 371. 116 Soeharto, Perlindungan Hak; Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm.

120-121. 117 The Redress Trust, Torture Survivors’: Perceptions OF Reparation, (Preliminary

Survey: First Published 2001), hlm. 15.

Page 78: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

68

efektif terhadap korban, dan juga memiliki hak keadilan atas segala macam

bentuk penuntutan dan juga penghukuman trhadap pelaku.

Adanya keadilan pada setiap masing-masing orang dalam hukum dan menerima

perlindungannya. Dalam segala bentuk yang ditimbulkan dan diakui sebagai

sebuah sikap dan prinsip pada negara hukum, sehingga pengkalsifikasian untuk

sebuah pembayaran ganti kerugian tidak ditentukan secara jelas melainkan dengan

putusan pengadilan dan dilaksanakan oleh LPSK dalam peraturan lembaga nomor

2 tahun 2010,118 dianut dalam pasal 36 ayat (10) UU Nomor 5 Tahun 2018119, dan

pasal 14 ayat (1) PP Nomor 7 Tahun 2018120.

Kewajiban untuk memberikan reparasi kepada korban merupakan kewajiban yang

tidak perlu dikaitkan dengan ada atau tidak proses yudisial (pengadilan). Artinya

bahwa reparasi kepada korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan

pemulihan, baik adanya pelaku yang dibawa ke pengadilan ataupun tidak. Hal ini

sejalan dengan definisi korban pelanggaran HAM bahwa seseorang itu dapat

dianggap sebagai korban, tanpa peduli apakah pelakunya itu berhasil

diidentifikasikan atau tidak, ditangkap atau tidak, dituntut atau tidak, dan

mempedulikan tentang hubungan persaudaraan antara si korban dengan si pelaku.

Jadi merupakan suatu prinsip dasar bahwa apa yang disebut sebagai korban itu

tidak bisa dipengaruhi apakah pelakunya diidentifikasi atau tidak.121

Agar kompensasi yang diberikan kepada korban mempunyai kedudukan tetap

sebagai perlindungan terhadap korban dalam pemulihan yang harus dilakukan

agar korban bisa merasa terjaga oleh negara. Maka dalam merumuskan

118 Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tentang Standar Operasional

Prosedur (SOP) Permohonan dan Pelaksanaan Kompensasi Nomor: 2 Tahun 2010. 119 Pasal 36 ayat (10) UU No 5 Tahun 2018 berbunyi: “ pembayaran kompenasasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan oleh lembaga yang menyelengarakan urusan di

bidang pelindungan saksi dan korban. 120 Pasal 14 ayat (1) PP No 5 Tahun 2018 bebrunyi: “LPSK melaksanakan pemberian

kompensasi berdasarkan putusan pengadilan hak asasi manusia sebagaiman dimaksud dalama

pasal 13 paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan putusan penagdilan

diterima LPSK. 121 Wahyu Wah=giman dan zainal Abidin, Kritisi terhadap Praktik Kompensasi dan

Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian Awal, (Makalah disampaikan dalam FGD yang

diselenggarakan Indonesia Corruption Wacth (ICW) dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta,

kamis 22 Maret 2007), hlm. 30-31.

Page 79: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

69

kompensasi ini tentunya harus berpijak pada prinsip-prinsip dari skala Nasional

yaitu sebagai Negara Indonesia maupun skala Internasional, dari segi hukum

seperti adanya asas keadilaan dan asas kepastian hukum, aspek lainnya yang

mendukung terwujudnya kompensasi.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bagaimana konsep yang

dimiliki negara terkait dengan kompensasi terhadap pemberlakuaannya, yaitu:

a. Kompensasi dinyatakan secara tegas sebagai bentuk hak perlindungan

dalam diri sesorang maupun keluarganya dalam pasal 28G ayat (1) UUD

1945. Adapun penjelasan aturan kompensasinya di atur dalam Pasal 35A

ayat (4) dan Pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 2018. Serta aturan terkait

dengan prosedural pelaksanaan kompensasi dalam PP Nomor 7 Tahun

2018 dan beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh LPSK.

b. Kompensasi diberikan selama si korban sebagai perlakuan terhadap

kejahatan yang berat yaitu Tindak Pidana Terorisme.

c. Kompensasi dilakukan dengan mendapat ganti kerugian oleh negara, dan

tidak dibebankan kepada pelaku melainkan kepada negara.

d. Kompensasi berlaku ketika korban atau keluarga korban melaporkan

selama adanya persidangan, jika tidak ada laporan selama persidangan,

LPSK berhak mewakili korban untuk memperoleh kompensasi dari tindak

pidana Terorisme.

Page 80: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan yang sudah dibahas dari bab sebelumnya,

penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

Dari segi pembanding, antara konsep kompensasi dengan konsep diyat tersebut

pembayarannya secara ganti rugi lebih dibebankan kepada negara dengan syarat

harus melaporkan ke lembaga perlindungan saksi dan korban untuk konsep yang

ada pada kompensasi. Sedangkan dari konsep diyat pembayaran dibebankan

oleh si pelaku maupun keluarga si pelaku sebagai pengganti jikalau pelaku tidak

mampu atau dengan alasan apapun. Karena bagaimanapun juga kejadian tersebut

terjadi ketika ada tindak pidana yang merugikan bagi korban. Untuk tingkat

pembayarannya sesuai penderitaan yang korban alami dan disertai bukti pada

peraturan lembaga perlindungan saksi dan korban nomor 2 tahun 2010 ini adalah

konsep kompensasi. Namun untuk konsep diyat juga sama dengan konsep

kompensasi secara pembayarannya yang disesuaikan oleh penderitaan pada

korban, tetapi dalam diyat berdasarkan tingkatan dari sebuah ganti kerugian

semisalkan diyat mughalladzah dengan diyat mukhaffafah maupun dengan diyat

kamilah dan diyat ghair kamilah.

B. Rekomendasi

Atas beberapa hal yang penulis tulis dalam skripsi ini, maka penulis mencoba

untuk merekomendasikan yang berkaitan dengan konsepsi diyat pada

kompensasi. Adapun dalam hal ini sebenarnya kompensasi juga mengedepankan

hak terdapat pada si korban namun si pelaku tidak memikirkan kerugian ketika

dia melakukan akan berdampak pada orang lain. Untuk itu lebih baiknya jika ada

pemublikasian kembali dan lebih di tingkatkan kembali perlindungan yang harus

didapat secara layak ataupun lebih karena korban tidak pernah merasa sempurna

dari sebelumnya yang sesuai diajarkan pada konsepsi diyat dalam hukum Pidana

Islam yang merujuk kepada Al-Quran dan Hadis.

.

Page 81: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

71

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abu, Al-Jazairi. Bakar Jabir. Minjahul muslim. Madinah: Nasr wa At-Tauzii.

1964.

Ad-Din, ‘Ala Al-Kasani. Bada’I Asy-shanai’ fi Tartib Asy-Syara’I. Juz VII.

Beirut: Dar Al-Fikr. 1996.

Ahmad, H Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Sinar Grafika. 2005.

Al-Asqalany, Al-Hafizh Ahmad Bin Ali Bin Hajar. Fath Al-Bary Bi Syarh Shahih

Al Bukhari.Jilid 14. hadits no. 6880. Beirut: Daar Al-Fikr. 1997.

Al-Qadir, Abd Audah. At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy. Juz II. Beirut: Dar Al-

Kitab Al-‘Arabi.

Al-Qurtuby, Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr. Al-Jami’ Li Ahkam Al-

Qur’an. Beirut: Muassasah Al-Risalah. 2006.

Alfath, Muhammad Tauhidillah. Korban Sebagai Dampak dari Tindak Pidana

Terorisme: Yang Anomim dan Terlupakan. Jurnal Kriminologi Indonesia.

Vol. V No. II. Agustus 2009.

Amin, Muhammad Suma et.al.. Pidana Islam Di Indonesia. Jakarta: Pustaka

Firdaus. 2001.

A.S., Muhammad Hikam. Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia

Membendung Radikalisme. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2016.

Atmasasmita, Romli dan Tim. Analisis dan Evaluasi Peraturan

PerundangUndangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003). Jakarta: Badan Pembinaan

Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2012.

Aziz, Abdul hakim. Negara Hukum dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

2011.

Bisri, Hasan. Hukum Islam di Indonesia: Pengembangan dan Pembentukan.

Bandung: Rosada Karya. 1991.

Burlian, Paisol. Implementasi Konsep Hukuman Qishas di Indonesia. Jakarta:

Sinar Grafika. 2015.

Page 82: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

72

Din, Moh. Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional Dari Aceh Untuk

Indonesia. Bandung: Unpad Press. 2009.

Effendy, Bachtiar. islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia. Jakarta: Disertasi pada Universitas Paramadina. 1998.

Farida, Maria Indrianti Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar

Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. 1998.

Gani, Abdul Abdullah. Peradilan agama dalam pemerintahan Islam di

Kesultanan Bima. Mataram: Yayasan Lengge.

H., Jerold Israel. Yale Kamisar. Wayne R. laFave. Criminal Prosedure and The

Constitution. Leading supreme Court and Introductory Text. St. Paul. Minn:

West Publihing Co. 1989.

Hamidi, Jazim. et.al.. ed.. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta:

Total Media. 2009.

Hasbi, T.M Ash-Shiddiqi. dkk.. Alquran dan Terjemahannya. Mujamma’ Khadim

Al-Haramain Asy-Syarifain. Madinah: 1971.

Huda, Ni’matul. Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review. Yogyakarta:

UII Press. 2005.

Ibn, Muhammad Ali Asy-Syaukani. Nail Al-Authar. Juz VII. Saudi Arabai: Idarah

Al-Buhuts Al-Ilmiyah.

Ibn, Muhammad Isma’il Al-Kahlani. Subul As-Salam. Juz III. Mesir: Syarikah

Mushthafa Al-Baby Al-Halaby. 1960.

Isham, Al-Shababithi. Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi. Jilid 6. Kairo: Daar al-

Hadits. 1994.

L., Vergil Williams; Marry Fish. “A Proposed Model for Individualized Offender

Restitution Through State Victim Compensation dalam Drapkin. & Viano.

Victimologi: A New Focus Vol. II: Society’s Reaction to Victimization.

Toronto-London: Lexington. 1974.

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.

2016.

Ma’luf, Louit. Kamus al-Munjid. Beirut Libanon: Darul Al-Masyriq. 1973.

Mahmud, Peter Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media.

2014.

Page 83: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

73

Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indnoensia. edisi cetakan

1. Jakarta: Rajawali Pres. 2012.

Maulana, Sofyan. Hukum Pidana Islam dan Pelaksanaan. Jakarta; Rineka Cipata.

2004.

Merpaung, Leden. Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam

Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo. 1997.

Moeljanto. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 2008.

Muhammad, Syeikh Al-Khatib Asy-Syarbaini. Mugni Muhtaj. Juz. IV. Mesir:

Mahtabah Mustafa Al-Bab Al-Himabi. 1993.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Pidana dan Pemidanaan. Semarang: Badan

Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 1984.

Muri, A. Yusuf. Metode Penelitian; Kuantitatif. Kualitatif dan Penelitian

Gabungan. Jakarta: Kencana Prenada Media. 2014.

MZ, Labib. Risalah fiqh islam. Surabaya: Bintang Usaha Jaya. 2006.

Nawawi, Barda Arief. Beberapa Aspek kebijakan Penengak dan Pengembangan

Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1998.

Pemungkas, Delta. Ensiklopedi Nasional Indonesia Cet. III. Jakarta: Delta

Pemongkas. 1997.

Qadir, Abdul Audah. At-tashri’ Al-Jinai’ Al-Islami. Jilid. 2. Beirut: Dar Al-Kitab

Al-Arabi.

Qadir, Abdul Audah. At-Tasyri’ al-jinai al-islami. Juz 1. Kairo: Dar Al-Kitab Al-

Arabi.

Rahmat, A. dan Ahmad Rosyadi. H. M. Rais. Formalisasi Syariat Islam Dalam

Prespektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. 2006.

Rasyid, Daud. et.al. Penerapan Syariat Islam Di Indonesia Antara Peluang dan

Tantangan. Jakarta: Globalmedia. 2004.

Rasyid, Muhammad Ridha. Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Beirut: Dar alKitab al-

Ilmiyah. jilid I. h. 167 dalam Musaw Akbar. Tindak Pidana Pembunuhan

dan Ancaman Hukum Hanya dalam Konsep Hukum Jinayah dan Hukum

Pidana di Indonesia. Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. 2006.

Page 84: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

74

Reksodiputro, Mardjono. Kumpulan Karangan Kemajuan Pembangunan Ekonomi

dan Kejahatan. Buku Kesatu. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan

Pengabdian Hukum Lembaga Krimilogi UI. 1994.

S., Juhaya Praja. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya. 1991.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunah. Diterjemahkan Oleh Nur Hasanuddin Dari”Fiqhus

Sunah”. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006.

Sabiq, Sayid. Fiqh As-Sunnah. Juz II. Beirut: Dar Al-Fikr. 1980.

Soeharto. Perlindungan Hak; Tersangka. Terdakwa. dan Korban Tindak Pidana

Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: PT Refika

Aditama. 2007.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia. 2008.

Sudirman, Ahmad Abbas. Qawaid Fiqhiyyah: Dalam Prespektif Fiqh. Jakarta:

Radar Jaya Offset. 2016.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D Cet. Ke-2.

Bandung: Alfabeta. 2008.

Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Dinamika Sosial

Politik di Indonesia. Malang: Bayumedia. 2005.

Sunarso, Siswantoro. Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah

Pidana; Instrumen Penengak Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Rineke

Cipta. 2009.

Supena, Ilyas. Pergeseran Paradigma Fiqih Kontemporer. Jurnal Hukum Islam

Vol. 5 no. 2. Yogyakarta: STAIN Pekalongan. Gma Media. 2007.

Taqiyuddin, Al-Imam Abu Bakar Al-Husaini. Kifayatul Akhyar. Surabaya: PT

Bina Ilmu. 1997.

The Redress Trust. Torture Survivors’: Perceptions OF Reparation (Preliminary

Survey). First Published. 2001.

W., James Nickel. Hak Asasi Manusia. Making Sense of Human Rights. Refleksi

Filosofi atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. 1996.

Page 85: KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46086... · 2019-07-17 · ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebelum amandemen

75

Wagiman, Wahyu dan Zainal Abidin. Kritisi Terhadap Praktik Kompensasi dan

Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian awal. (Makalah disampaikan dalam

FGD yang diselenggarakan Indonesia Corruption Wacth (ICW) dan Koalisi

Perlindungan Saksi. Jakarta. kamis 22 Maret 2007.

Walid, Syaikh bin Rasyid as-Sa’idan. Talqihul afhamil ‘Aliyyah bi Syahril

Qawa’idil Fiqhiyyah. kaidah ke-60 dan Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa

Qawa’idihi. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.

Zehr, Howard. The Little Book of Restorative Justice. Pennsylvania: Intercourse.

2002.

Zuhaili, Wahbah. Al-fiqh Al-Islami wal Adillatuhu. Juz VI. Damaskus: Dar Al-

Fikr. 1989.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. No 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian

Kompensasi. Restitusi. dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban .

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentnag Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tentang Standar Operasional

Prosedur (SOP) Permohonan dan Pelaksanaan Kompensasi Nomor: 2 Tahun

2010. Lain-lainnya

Wahyu Wagiman dan zainal Abidin. Kritisi terhadap Praktik Kompensasi dan

Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian Awal. (Makalah disampaikan dalam

FGD yang diselenggarakan Indonesia Corruption Wacth (ICW) dan Koalisi

Perlindungan Saksi. Jakarta. kamis 22 Maret 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka. 1990.