[proposal skripsi] strategi pemerintahan john howard dalam pelolosan undang-undang anti-terorisme...

26
PROPOSAL SKRIPSI STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME Disusun dalam rangka pembuatan skripsi Dosen Pengampu : Dr. Eric Hiariej, M.Phil Oleh: ASA AGUNG PRIWANTORO 08/265063/SP/22638 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Upload: asa-agung

Post on 25-Jun-2015

1.650 views

Category:

News & Politics


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

PROPOSAL SKRIPSI

STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM

PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME

Disusun dalam rangka pembuatan skripsi

Dosen Pengampu :

Dr. Eric Hiariej, M.Phil

Oleh:

ASA AGUNG PRIWANTORO

08/265063/SP/22638

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

Page 2: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum parlemen bekerja melalui mekanisme-mekanisme yang telah diatur dan

berlangsung sejak lama. Tetapi adanya tantangan dan tekanan pada era pemerintahan modern

dan keadaan dari berbagai negara yang berbeda satu sama lain menyebabkan perlunya

modifikasi-modifikasi atas mekanisme-mekanisme tesebut. Berbagai prosedur berevolusi

untuk menunjang pelaksanakan tiga fungsi dari parlemen, yaitu penyediaan anggaran

penyelenggaraan pemerintahan; untuk mempertanyakan, mempublikasikan dan menyelidiki

tindakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat; dan untuk membahas, mengubah maupun

meloloskan rancangan undang-undang. (Aitkin dan Jinks 1985) Pada masing-masing fungsi

dari parlemen tersebut ketegangan diantara backbenchers1 dan pemimpin sering terjadi.

Di berbagai negara, termasuk Australia, dalam pembentukan suatu kebijakan publik,

proses yang terjadi didalam parlemen menentukan keluarnya sebuah kebijakan publik

tersebut karena kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan hasil kompromi dari

berbagai pihak yang terlibat didalam pembentukan tersebut. (Winarno 2008) Namun proses

ini terkadang dapat menyebabkan ‘terabaikan’nya opini publik. Berangkat dari asumsi bahwa

proses didalam parlemen jauh lebih menentukan daripada opini publik karena menurut

Konstitusi Australia bab 51 dan 52 pada dasarnya yang memiliki kekuasaan legislatif untuk

membuat kebijakan publik adalah parlemen dan parlemen memiliki kekuasaan eksklusif

untuk membuat hukum yang ditujukan untuk menciptakan perdamaian, ketertiban dan good

government di Australia. (Parliamentary Education Office 2012) Sehingga kebijakan publik

yang dihasilkan dapat berbeda dari apa yang diharapkan oleh publik itu sendiri. Hal tersebut

dapat dilihat dalam studi kasus pembentukan kebijakan anti-terorisme pada era pemerintahan

John Howard periode keempat.

Hak asasi seharusnya dihormati serta dijunjung oleh pemerintah dalam pembentukan

suatu kebijakan namun dilema klasik sering dialami oleh negara-negara liberal. Dilema

1 Backbencher merupakan anggota parlemen yang bukan menteri, menteri bayangan (shadow minister) maupun presiding officer (anggota parlemen yang terpilih untuk memimpin, atau bertanggung jawab atas administrasi dari sebuah kamar parlemen. Jika di Senat disebut Presiden, dan di HoR, Speaker) dan mereka menempati kursi belakang disetiap kamar. (Parliament of Australia 2012)

Page 3: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

tersebut dapat dilihat dalam usaha pemerintah dalam mengatasi tindakan kriminal, kekerasan

hingga ancaman terorisme. Dalam usahanya untuk mengatasi ancaman terorisme, dilema

yang muncul berasal dari keinginan untuk mencapai efektivitas maksimum dalam perang

melawan terorisme tanpa mengorbankan karakter pada nilai-nilai demokratis. Namun fakta

yang berlangsung dibawah agenda “war on terrorism” yang berlangsung diberbagai belahan

dunia sangat memprihatinkan. Banyak negara, dari Amerika Serikat, Indonesia, Kanada,

hingga Zimbabwe, yang memberlakukan undang-undang anti-terorisme, yang mana substansi

dari undang-undang tersebut mengorbankan hak-hak asasi manusia (HAM) bahkan termasuk

hak-hak yang dikategorikan ke dalam non-derogable rights2.

Tak terkecuali bagi Australia, sejak tahun 2002, pasca kejadian 9/11, pemerintah

Australia dibawah kepemimpinan John Howard memperkenalkan perundang-undangan anti-

terorisme baru yang berbeda-beda, sebagai bagian dari kampanye untuk menjamin keamanan

nasional Australia serta memenuhi kewajiban internasional Australia. Namun seperti kondisi

perundangan anti-terorisme di negara lain, Australia meloloskan undang-undang anti-

terorisme dengan substansi yang melanggar HAM, seperti penangkapan dan penahanan tanpa

tuduhan (preventative detention), yang tercantum dalam Divisi 105 Criminal Code Act 1995

(Cth) yang menjadi bagian implementasi Anti-Terrorism Act (no.2) 2005 (Cth), hal ini

memungkinkan seseorang untuk ditahan tanpa tuduhan selama 48 jam untuk mencegah aksi

teroris yang terjadi atau untuk menyimpan barang bukti yang berkaitan dengan aksi teroris

setelah kejadian terjadi. Hal berikutnya yang mendapat sorotan adalah adanya perintah

kontrol (control order), seperti yang tercantum pada Divisi 104 Criminal Code Act 1995

(Cth) yang memungkinkan adanya kewajiban, larangan dan pembatasan yang akan dikenakan

pada seseorang untuk tujuan melindungi masyarakat dari aksi teroris. Sedangkan substansi

undang-undang anti-terorisme tersebut menjadi kontradiksi dengan apa yang tercantum pada

Pasal 9.1 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Office of the United

Nations High Commissioner for Human Rights 2010):

Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be

subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty

except on such grounds and in accordance with such procedure as are established

by law.

2 Non-derogable rights merupakan HAM yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun. Contoh: hak hidup, hak bebas dari perbudakan dan penghambaan, hak diakui sebagai pribadi didepan hukum, kebebasan berpikir dan bekeyakinan agama, dll. (Office of the High Commissioner for Human Rights 2013)

Page 4: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

Melihat kontradiksi yang terjadi seperti diatas, dapat mengundang sejumlah polemik

didalam masyarakat Australia maupun internasional. Pertama, seperti yang dijelaskan

sebelumnya, undang-undang anti terorisme yang akan dihasilkan melanggar ketentuan HAM

atau secara khusus melanggar hak sipil, yang mana Australia sendiri telah meratifikasi

ICCPR, sehingga mereka seharusnya mengaplikasikannya dalam setiap aspek kehidupan

bermasyarakat. Kedua, dalam pembentukan undang-undang tersebut turut memunculkan pro

kontra. Berbagai tentangan serta respon negatif terhadap pembentukan undang-undang anti-

terorisme yang disebabkan oleh substansi undang-undang tersebut muncul di beberapa

komponen masyarakat Australia, seperti dari kelompok Amnesty International, the Uniting

Church in Australia, the Islamic Council of Victoria, the Ethnic Communities Council of

Victoria, the Ethnic Communities Council of Victoria, partai politik, akademisi, dan lainnya.

(Head 2002) Tidak hanya organisasi atau kelompok masyarakat namun tokoh nasional seperti

Malcolm Fraser (mantan Perdana Menteri Australia) (Fraser 2005), juga turut mengkritisi

undang-undang tersebut. Namun tidak dipungkiri masih terdapat masyarakat atau pihak-pihak

yang mendukung terciptanya undang-undang yang lebih mengikat, seperti Pimpinan Badan

Penasihat Pemerintah Urusan Umat Islam Australia yang mengatakan mendukung dengan

suara bulat undang-undang tersebut karena hal tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk

upaya dari pemerintah untuk menjamin keamanan nasional Australia. (Radio Australia 2005)

Ketiga, Pemerintah berhasil membuat anggota parlemen lainnya, dalam hal ini Partai Buruh,

untuk menyetujui rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Karena dengan

turut sertanya Partai Buruh, yang berposisi sebagai pihak oposisi, secara otomatis

menyisakan Partai Demokrat Australia dan Partai Hijau yang tetap menentang adanya

undang-undang anti-terorisme.

1.2 Rumusan Masalah

Pada penelitian ini, berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang diajukan

oleh penulis adalah ”Bagaimana strategi Pemerintahan John Howard untuk meloloskan

Undang-Undang Anti-Terorisme 2005?”. Penulis akan mencoba menjelaskan strategi

negosiasi yang digunakan oleh pemerintahan John Howard didalam parlemen Australia untuk

meloloskan undang-undang anti-terorisme, yang menuai banyak pro kontra di lingkungan

masyarakat Australia. Undang-Undang Anti-Terorisme 2005 yang dijadikan fokus

pembahasan oleh penulis mengacu pada Anti-Terrorism Act (No.2) 2005 atau Undang-

Undang Anti-Terorisme (No.2) 2005.

Page 5: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

1.3 Landasan Konseptual

1.3.1 Contending3

Pendekatan manajemen konflik secara umum melibatkan dua variabel utama yang

darinya dapat diturunkan menjadi five key points atau lima strategi. Dua variabel menyatakan

bahwa pihak yang terlibat kedalam konflik memiliki dua fokus perhatian independen;

pertama, perhatian terhadap sasaran atau tujuan diri sendiri, dan kedua, perhatian terhadap

sasaran atau tujuan pihak/orang lain. Model seperti ini biasa disebut the dual model concerns.

Perhatian terhadap sasaran orang lain, yang ditunjukkan dalam garis vertikal menunjukkan

tingkat kemauan suatu pihak untuk berkooperasi dengan pihak lain. Sementara garis

horizontal mengindikasikan tingkat asertivitas seseorang terhadap kepentingan diri sendiri.

Dalam grafik 1.1, semakin kekanan menunjukkan semakin tingginya tingkat prioritas

terhadap sasaran/tujuan diri sendiri dan semakin rendahnya kemauan untuk berkooperasi

dengan pihak lain, dan sebaliknya. Dari dua variabel tersebut dihasilkan lima pola strategi

utama manajemen konflik.

Lima strategi utama manajemen konflik yang biasa diidentifikasi pada model the dual

concerns yaitu: contending, yielding, inaction, problem solving, dan compromising. Yielding

(juga disebut accomodating atau obliging), strategi ini didalam bagan grafik terletak dibagian

sudut kiri atas. Pihak yang menggunakan strategi ini menunjukkan sedikit perhatian terhadap

tujuan/sasaran mereka sendiri, dan kooperatif terhadap sasaran/tujuan pihak lain. Dengan kata

lain yielding merupakan strategi yang menuruti apa yang diinginkan pihak lain. Inaction

(juga disebut avoiding), strategi yang terletak di sudut kiri bawah ini menunjukkan pihak

yang menggunakan strategi ini menunjukkan sedikitnya kepedulian mereka terhadap

sasaran/tujuan yang dicapai didalam manajemen konflik, baik hasil mereka sendiri maupun

pihak lainnya. Pihak yang menggunakan strategi ini tidak mengambil tindakan apapun untuk

mengatasi persoalan. Problem solving (juga disebut collaborating atau integrating), strategi

yang terletak disudut kanan atas ini menunjukkan kepedulian para pihak untuk mencapai

sasaran mereka sendiri dan sasaran yang dicapai oleh pihak lainnya. Pengguna strategi ini

mengusahakan kepentingan semua pihak terpenuhi (win-win agreements). Compromising,

strategi yang terletak di tengah-tengah grafik 1.1. Ini merupakan upaya moderat untuk

mengejar sasaran sendiri dan membantu pihak lain mencapai sasaran mereka. Strategi ini

mencoba untuk menyelesaikan konflik dengan mengidentifikasi solusi yang parsial namun

3 D. G. Pruitt, P. J. Carnevale, 1993, Negotiation in Social Conflict, California: Brooks/Cole Publishing, hal.30-35.

Page 6: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

hasilnya tidak terlalu memuaskan bagi pihak-pihak yang terkait. Dan strategi kelima dari

strategi manajemen konflik yaitu contending. Contending juga disebut competing atau

dominating, sehingga contending dapat dipahami sebagai strategi bertanding atau strategi

menang sendiri. Dan penulis menjadikan strategi contending sebagai salah satu landasan

konspetual yang digunakan untuk menganalisa studi kasus yang dijadikan rumusan masalah.

Contending juga disebut competing atau dominating, sehingga contending dapat

dipahami sebagai strategi bertanding atau strategi menang sendiri. Strategi ini merupakan

salah satu dari lima strategi utama manajemen konflik, dan berada di sudut kanan bawah.

Pihak yang menggunakan strategi ini bertujan untuk mengejar hasil mereka sendiri dan hanya

menunjukkan sedikit perhatian terhadap pihak lain untuk memperoleh hasil yang

diinginkannya. Seringkali pengguna strategi ini menggunakan kekuasaan formal atau

kekuasaan lain yang dimilikinya untuk memenuhi tujuannya tanpa memperhatikan

keprihatinan pihak lainnya, sehingga menyebabkan strategi ini bertentangan dengan strategi

yielding. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dean Pruitt dan Jefrey Rubin, bahwa pihak yang

mengunakan strategi ini akan mempertahankan aspirasi mereka dan mencoba membujuk

pihak lain untuk menyerah. (Pruitt dan Rubin 1986) Didalam strategi ini terdapat beberapa

taktik perdebatan yang sering digunakan oleh pihak yang bernegoisasi, antara lain: threats

(ancaman), harrasment (gangguan), positional commitments4, persuasive arguments, hingga

time pressure. Semua teknik tersebut memiliki tujuan untuk membujuk pihak lain untuk

membuat konsesi atau menolak upaya serupa dari pihak lain.

4 Threat merupakan salah satu taktik dalam strategi contending berupa ancaman kepada pihak lain apabila tuntutannya tidak diterima oleh pihak lain. Harrasment merupakan salah satu taktik contending yang berupa gangguan, dan gangguan tersebut akan berhenti/dihentikan ketika pihak yang menjadi objek, menerima tuntutan pihak pertama. Positional commitments merupakan salah satu taktik contending yang berupa pernyataan yang menekankan pada suatu tawaran tertentu yang sering digabungkan dengan ancaman untuk memutuskan negosiasi jika pihak lain tidak menerima tawaran ini.

Page 7: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

Grafik 1.1 The Dual Concerns Model

Tidak mengherankan, jika penggunaan taktik perdebatan yang tidak seimbang tersebut

berdampak pada menjadi besarnya peluang tercapainya kesepakatan yang mengarah

kepengguna strategi contending. Kesepakatan seperti itu dapat menjadi Pyrrhic victories5

dalam situasi adanya potensi integratif, karena taktik dalam strategi contending sering

menyebabkan rendahnya keuntungan bersama dan ketika batas yang ditetapkan tinggi, akan

menyebabkan kegagalan dalam memperaih kesepakatan. Strategi contending menciptakan

kekakuan pemikiran yang inkompatibel dengan kreativitas sehingga strategi ini membuat

pihak yang menggunakannya enggan untuk mencari atau menemukan pilihan baru.

Penggunaan taktik dalam strategi ini bisa menjadi problematis ketika taktik mereka

juga digunakan oleh pihak lain -ketika threats menimbulkan counter-threats atau terjadi

harrasment yang berbalas. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa kondisi imitasi

maupun resiprokal tersebut dapat dikaitkan dengan kegagalan untuk mencapai kesepakatan

didalam suatu negosiasi serta memperlemah relasi jangka panjang diantara para pihak yang

bernegosiasi. Satu alasan mengenai hal tersebut adalah bahwa adanya imitasi taktik dapat

menyebabkan eskalasi spiral, dimana masing-masing pihak membalas taktik berdebat terbaru

dari pihak yang lain, yang menyebabkan bertumbuhnya rasa permusuhan diantara para pihak.

Meskipun memiliki kekurangan, strategi contending terkadang berguna sebagai

prekursor dalam hubungannya terhadap pemecahan masalah. Berbagai taktik yang digunakan

dalam strategi ini dapat membawa musuh yang sebelumnya enggan bernegosiasi menjadi

ingin bernegoisasi atau dapat juga mengurangi tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak

ketingkat yang realistis yang memungkinkan adanya penemuan solusi. Selain itu dengan

strategi ini juga dapat membantu meyakinkan lawan bahwa taktik yang pihak lawan gunakan

tidak mungkin berhasil, sehingga mendorong mereka untuk beralih ke problem solving.

Strategi contending terkadang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi pada

pengembangan win-win agreements dengan mempertajam pemahaman tentang perhatian

utama pengguna mereka. Ini telah ditunjukkan oleh Linda Putnam dan Steven Wilson dalam

kasus ancaman Amerika Serikat terhadap Uni Soviet selama Krisis Berlin kedua.6 Namun,

5 Pyrrhic victory merupakan kemenangan yang diraih namun menghasilkan dampak yang jauh lebih merugikan dikemudian hari. Contoh: Perang Anglo-Zulu 1879 (Battle of Isandlwana), 22.000 prajurit Zulu, yang merupakan 55% populasi pria di wilayah Zulu, berhasil mengalahkan 1400 tentara Inggris. Walaupun berhasil mengalahkan pasukan Inggris tetapi 4000 pria prajurit Zulu atau sekitar 10% populasi pria di Zulu menghilang dan terluka parah. (Knight 1996)

Page 8: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

hal ini hanya mungkin terjadi jika eskalasi spiral tidak terjadi dan yang terjadi adalah

pemecahan masalah.

1.3.2 Time Pressure 7

Terdapat banyak jenis taktik dalam strategi contending dan sesungguhnya yang paling

kuat dalam mempengaruhi pembuatan konsesi yaitu yang dapat dimanfaatkan sebagai alat

untuk mendorong pihak lain untuk mengakui. Misalnya, time pressure atau tekanan waktu ,

dapat mendorong adanya pembuatan konsesi. Time pressure itu sendiri merupakan suatu

tekanan yang disebabkan oleh adanya batasan waktu tertentu dalam suatu negosiasi. Oleh

karena itu memberikan time pressure pada pihak lain bisa menjadi taktik yang digunakan

dalam contending. Waktu menjadi salah satu variabel penting dalam bernegosiasi, selain

informasi dan kekuatan. Waktu dapat bersifat menentukan bagi keberhasilan untuk meraih

suatu kesepakatan karena demands (tuntutan) dan konsesi dalam suatu negosiasi juga

dipengaruhi oleh tekanan waktu. Banyak kondisi yang dapat menyebabkan munculnya time

pressure, menurut Peter Carnevale dan Edward Lawler :

Salah satu faktornya adalah biaya negosiasi lanjutan, seperti waktu yang hilang dari pencarian

alternatif lain, atau ketika barang yang sedang dinegosiasikan mulai memburuk kondisinya

(misalnya, buah yang mulai membusuk). Time pressure merupakan hasil dari sedikitnya alokasi

waktu yang ditetapkan untuk bernegosiasi atau sedikitnya waktu karena telah berdekatan

dengan deadline. Beberapa contoh nyata dari deadline yang menghasilkan time pressure, antara

lain: kontrak yang akan berakhir pada tengah malam, adanya pembeli lain yang akan segera

melakukan penawaran, dan titik kompromi yang tidak dapat tercapai. Selain itu, pihak ketiga

juga sering menggunakan deadline sebagai taktik untuk mempercepat terjadinya

kompromi...Untuk beberapa hal, semua perundingan melibatkan waktu jeda dari tujuan-tujuan

lain dan tekanan waktu hampir selalu meningkat ketika negosiasi dilanjutkan, terutama ketika

para negosiator, menjadi lelah atau frustrasi.

Penggunaan time pressure memiliki efek yang signifikan dalam suatu negosiasi. Dalam

beberapa studi telah menunjukkan bahwa adanya batasan waktu tertentu dapat menghasilkan

tuntutan yang lebih rendah, dan konsesi lebih cepat. Sehingga muncul juga time pressure 6 Ilustrasi yang dijadikan contoh adalah pesan mengancam yang dikirim oleh John F.Kennedy kepada Uni

Soviet pada Krisis Berlin kedua pada tahun 1961. Pesan berisi komitmen Amerika Serikat untuk mempertahankan fokus utama mereka, melanjutkan kehadiran Sekutu di Berlin Barat. Pesan tersebut didukung dengan peningkatan kehadiran militer. Meskipun demikian, ancaman tersebut diikuti dengan keberhasilan negosiasi dengan Uni Soviet, walaupun keberhasilan negosiasi tersebut sebagian dikarenakan ditambahkannya insentif bagi Uni Soviet sebagai ganti sikap kooperatif mereka dalam menyelesaikan konflik. (Pruitt dan Carnevale, Negotiation In Social Conflict 1993)

7 Op.,Cit, hal. 59-60.

Page 9: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

yang dapat didefinisikan sebagai keinginan untuk mencapai kesepakatan dengan cepat.

(Carnevale dan McCusker 1993) Dalam studinya, Gary Yukl menunjukkan bahwa adanya

kemungkinan bahwa tekanan waktu merupakan mekanisme untuk mengurangi tingkat

permintaan sehingga dapat menghasilkan kesepakatan yang kurang ambisius. Tekanan waktu

juga berinteraksi dengan batas, didalam batas tersebut memiliki dampak lebih besar pada

tuntutan jika berada dibawah tekanan waktu yang lebih besar. Hal ini mungkin karena

dibawah tekanan waktu yang lebih besar, batas dan tuntutan lebih dekat satu sama lain.

Harold Kelley dkk. menunjukkan bahwa batasan waktu bukannya memperlambat tetapi

justru mempercepat konsesi. Secara tersirat hal tersebut menjelaskan, meskipun dibawah

tekanan waktu yang tinggi (high time pressure), para perunding akan sama-sama enggan

bernegosiasi sama ketika mereka dalam kondisi tekanan waktu yang rendah (low time

pressure). Namun mereka merasakan urgensi yang lebih besar untuk mempercepat terjadinya

konsesi saat berada dalam kondisi tekanan waktu yang tinggi. Walaupun mempercepat

konsesi, biasanya hasil konsesi dalam kondisi tekanan waktu yang tinggi sering bersifat

ambivalen. Namun tekanan waktu bisa menjadi taktik yang berguna jika itu diterapkan secara

sepihak pada pihak lain. Misalnya, negosiator berurusan dengan pihak yang berasal dari luar

kota, mungkin negosiator dapat menunda perjanjian hingga Jumat siang. Hal ini akan

menempatkan tekanan waktu pada semua tamu yang ingin kembali pada akhir pekan,

sehingga memotivasi mereka untuk membuat membuat kesepakatan atau konsesi tanpa

mempertimbangkannya.

Menurut Carnevale dan Lawler, time pressure memiliki efek yang berbeda dari variabel

penting lainnya. Beberapa hal diatas menjadi bukti bahwa taktik ini, mendorong kedua pihak

untuk menghasilkan konsesi maupun keputusan dan meningkatkan kemungkinan penggunaan

taktik contending lainnya. Ini mungkin dikarenakan efek dasar tekanan waktu adalah untuk

mengurangi terjadinya inaction, dan untuk meningkatkan pentingnya mengambil tindakan

untuk bergerak ke arah kesepakatan. Pembuatan konsesi adalah salah satu bentuk tindakan

yang dapat diambil, munculnya contending adalah bentuk lainnya, oleh karena itu, tekanan

waktu dapat menghasilkan kedua reaksi tersebut.

Ada juga bukti bahwa time pressure dapat mengurangi kemungkinan mencapai win-win

agreements. Terdapat dua alasan yang mungkin untuk ini. Pembuatan konsesi dan

contending, yang merupakan dua hasil dari time pressure, keduanya bertentangan dengan

perkembangan win-win agreements. Selain itu, biasanya membutuhkan waktu untuk

Page 10: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

menemukan solusi baru, informasi harus dikumpulkan dan/atau mencoba berbagai

kesepakatan yang memungkinkan. Dan time pressure membuat sulit untuk melakukan hal-hal

tersebut.

Page 11: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

1.3.3 Persuasive Arguments 8

Persuasive arguments (juga disebut informational influence) menyoroti kapasitas

argumen-argumen baru untuk mengubah pendapat seseorang. (Burnstein dan Vinokur 1977)

Seperti yang diutarakan oleh Daniel Gigone dan Reid Hastie bahwa teori ini mengasumsikan

bahwa pada awal negosiasi, akan keluar berbagai sudut pandang dari para pihak. Karena hal

tersebut, maka orang akan mendengar argumen-argumen baru yang memberikan dukungan

bagi sudut pandang mereka sendiri dan ini akan dianggap sebagai bukti lebih lanjut untuk

mendukung posisi mereka. Namun target bukanlah “lembaran kosong”. Setiap orang hadir

dalam suatu situasi dengan sikap dan tendensi tertentu sebelumnya, yang akan mempengaruhi

keterbukaannya terhadap informasi baru. Walaupun anggota kelompok memasuki diskusi

dengan menyadari adanya satu set informasi atau argumen mendukung yang telah mereka

bawa, namun mereka akan memiliki tendensi ke sisi yang menawarkan informasi dengan

jumlah besar dan hal tersebut akan mendorong mereka untuk mengambil posisi yang lebih

kuat, memimpin, atau secara keseluruhan, yang pada akhirnya dapat memunculkan adanya

polarisasi.

Persuasive arguments terjadi dengan proses sebagai berikut; ketika di awal jalannya

diskusi, setiap pihak masing-masing menyimpan pendapat atau argumen masing-masing.

Seiring dengan jalannya diskusi, setiap pihak membagi pendapat ke masing-masing anggota

diskusi. Dari proses share of arguments inilah terjadi “pencerahan” bagi masing-masing

anggota diskusi, dan oleh karenanya tercipta polarisasi dimana para pihak cenderung

berkelompok sesuai dengan pendapat mereka yang paralel. (Burnstein dan Vinokur 1977)

Masing-masing orang memiliki taktik persuasif yang spesifik, yang akan hampir selalu

bervariasi dalam berbagai kesempatan, bagaimanapun terdapat pedoman umum yang akan

berlaku untuk berbagai situasi persuasi, baik secara tertulis maupun lisan. Tidak semua

prinsip yang disebutkan dibawah wajib digunakan, ataupun beberapa prinsip yang disebutkan

merupakan rangkaian wajib dalam upaya persuasi, akan tetapi acuan-acuan prinsip ini akan

membuat upaya persuasi lebih sukses (Berkowitz 2013):

Mengetahui fakta atau bukti yang diperlukan, atau, lebih baik lagi, kuasai

fakta/bukti tersebut diluar kepala atau simpan daftar bukti tersebut sedekat mungkin dengan

8 W.S. Rogers., 2003, Social Psychology: Experimental and Critical Approaches.Maidenhead: Open University Press, hal.283-284.

Page 12: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

Anda. Sertakan dengan kemampuan penyampaian kepada audiens dengan cara yang tidak

keras kepala, akan tetapi juga tidak terlalu merendahkan diri. Kemampuan

mengkomunikasikan dan mengorganisir hasil riset dari bukti atau fakta terkait merupakan

langkah kunci untuk memberi landasan dalam upaya persuasi.

Mengutamakan kesamaan atau kongruensi antara anda dengan pihak lain.

Penekanan terhadap kesamaan/komonalitas nilai, kepercayaan, pengalaman maupun

kepentingan akan meningkatkan daya tawar persuasi ke pihak lain.

Mengutip pendapat ahli/tokoh yang terkenal di bidangnya. Pengutipan opini-opini

ahli atau pemimpin-pemimpin tertentu dapat meyakinkan pihak lain akan pentingnya klausa

yang dibawa saat negosiasi. Orang-orang tertentu, seperti orang terpandang dalam komunitas

Anda dapat meyakinkan pihak lain akan dan menjadi bahan pertimbangan penting bagi pihak

lain dalam menentukan keputusan.

Para pemimpin disini seperti menteri, politisi, eksekutif bisnis, kolumnis surat kabar,

kepala sekolah, direktur suatu lembaga, presiden klub, aktivis lingkungan, dll. Siapa pun

mereka, mereka dapat mempengaruhi audiens Anda lebih baik dari yang Anda lakukan.

Mengantisipasi akan kemungkinan adanya counter-argument yang bisa

mempengaruhi pendapat pihak lain. Ini sering menjadi cara terbaik untuk mengantisipasi

dan membantah argumen tentangan diawal pembicaraan, kecuali Anda yakin bahwa audiens

Anda tidak akan pernah mendengar sudut pandang lain, atau ada kemungkinan sangat sedikit

perlawanan atau oposisi. Sebagai contoh:

Page 13: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

"Lawan kita akan mengatakan ini, itu, dan lainnya, tetapi kalian dan saya tahu betul bahwa ..."

"Sekarang saya mengerti bahwa Anda mungkin berpikir seperti ini dan itu, saya pun pernah

berpikir seperti itu. Tapi setelah beberapa saat, saya menyadari bahwa ...."

Berterima kasih kepada target, disaat komitmen yang diinginkan telah dicapai,

contoh: "Itu bagus! Kami benar-benar menghargai itu!", dll, maupun jika tidak ada

komitmen yang dibuat, Anda tetap berterima kasih kepada target karena telah mendengarkan,

dan memberikan perhatian selama perdebatan berlangsung. Persetujuan secara lisan, bahkan

'terima kasih', dapat memperkuat kemungkinan akan adanya komitmen yang lebih baik yang

dapat dihasilkan dan tindakan akan diambil di masa mendatang.

Page 14: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

1.4 Hipotesis

Dalam upaya untuk meloloskan undang-undang anti-terorisme yang menuai pro kontra

dari beberapa lapisan masyarakat Australia, saat proses formulasi undang-undang tersebut,

ketika mendiskusikan dengan anggota parlemen lainnya Pemerintahan John Howard

menerapkan strategi contending. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang mereka tunjukkan

selama pembahasan undang-undang. Mereka memaksakan tercapainya tujuan yang mereka

inginkan terhadap anggota lainnya daripada berusaha untuk memecahkan masalah yang

timbul, yaitu pelangaran HAM. Strategi yang mereka gunakan juga didukung dengan taktik-

taktik yang memiliki karakter kompetitif. Mereka menggunakan taktik time pressure

persuasive arguments.

Taktik time pressure dihadirkan oleh pemerintah dalam bentuk alokasi waktu yang

pendek dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) dan penerapan the guillotine

sehingga mempersempit waktu diskusi atau tinjauan di parlemen agar tidak banyak

perubahan yang terjadi pada RUU yang diajukan sedangkan untuk mendukung taktik time

pressure, Pemerintah Australia juga menggunakan persuasive arguments. Dengan taktik

persuasive arguments pemerintah mencoba untuk mempengaruhi pemikiran para anggota

parlemen lainnya bahwa terciptanya undang-undang ini diperlukan untuk memperkuat

keamanan nasional, seperti yang dikatakan oleh John Howard bahwa adanya perubahan

undang-undang memastikan bahwa Australia tetap berada pada garis depan dalam usaha

melawan ancaman global terorisme sehingga posisi mereka dalam memberikan ketenangan

pikiran kepada masyarakat Australia menjadi lebih kuat dan lebih baik. (Harris-Simmer

2005) Hal tersebut ditambahkan pula oleh Jaksa Agung Philip Ruddock, yang mengatakan

bahwa dengan adanya proses pembuatan undang-undang anti-terorisme memastikan Australia

berada dalam posisi terkuat untuk mencegah kemungkinan ancaman baru atau yang telah ada

dalam menghentikan usaha para teroris melakukan tindakan yang mereka inginkan.

(Australian Broadcasting Corporation 2005).

Page 15: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

1.5 Metode Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode studi literatur sebagai basis analisa.

Hal ini kemudian ditunjang dengan pengumpulan data dengan sumber para ahli dalam

pengembangan analisis mengenai strategi pelolosan undang-undang terorisme, sehingga

penulisan hasil penelitian dapat menggunakan basis analisa yang komprehensif baik dari segi

data maupun segi analisa kualitatif. Penulisan ini akan memaparkan beberapa data, antara

lain:

a. Bagian Rancangan Undang-Undang Anti-Terorisme 2005

b. Bagian Rancangan Undang-Undang Anti-Terorisme (No.2) 2005

c. Bagian Undang-Undang Anti-Terorisme 2005

d. Bagian Undang-Undang Anti-Terorisme (No.2) 2005

e. Debat parlemen mengenai Undang-Undang Anti-Terorisme (No.2) 2005

f. Istilah dalam bidang legislatif Australia

Data-data tersebut menjadi rujukan dalam melihat strategi pelolosan undang-undang

anti-terorisme. Sementara kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para

pihak yang terkait dalam pembuatan undang-undang menjadi salah satu pengembangan

analisa dalam proses pelolosan undang-undang.

Page 16: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

1.6 Sistematika Penulisan

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah

b. Rumusan Masalah

c. Landasan Konseptual

d. Hipotesa

e. Metode Penelitian

f. Sistematika Penulisan

BAB II

PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal yang terkait dengan prosedur

pembuatan undang-undang di Australia. Pembahasan akan diawali dengan penjelasan singkat

pembuatan undang-undang di Australia. Kemudian disertai penjelasan mengenai proses

pembahasan RUU yang dilakukan di parlemen baik House of Representatives maupun Senat

secara umum. Untuk menambah detil informasi terkait proses pembahasan RUU di Australia

maka juga akan dipaparkan informasi mengenai komposisi parlemen Australia dan

pentingnya faktor komposisi tersebut dalam proses pelolosan RUU. Pemaparan secara

ringkas mengenai penggunaan taktik time pressure dan persuasive arguments pada proses

pelolosan RUU terdahulu akan disertakan sebagai bukti bahwa taktik tersebut cukup sering

digunakan didalam parlemen Australia. Pada bagian akhir dari bab ini akan dijelaskan

mengenai Undang-Undang Anti-Terorisme 2005 dan Undang-Undang Anti-Terorisme (No.2)

2005. Didalamnya akan dipaparkan mengenai waktu pembuatan beserta momen-momen

penting dalam pembuatan undang-undang tersebut. Agar mengetahui bagaimana strategi

contending digunakan dalam proses pelolosan RUU dapat diketahui berdasarkan berbagai

kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pihak-pihak yang terkait dalam dinamika

proses pembuatan undang-undang.

Page 17: [Proposal Skripsi] STRATEGI PEMERINTAHAN JOHN HOWARD DALAM PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005

BAB III

TIME PRESSURE SEBAGAI TAKTIK PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-

TERORISME 2005

Untuk mengelaborasi analisis mengenai strategi yang digunakan agar lebih mendalam,

maka berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah akan dijelaskan berdasarkan taktik

yang digunakan, seperti time pressure dan persuasive arguments. Analisis yang lebih

mendalam mengenai taktik-taktik tersebut menjadi pijakan dalam menjelaskan strategi

pelolosan undang-undang anti terorisme. Taktik time pressure menjelaskan bahwa pendeknya

rentang waktu didalam proses pembuatan undang-undang menjadi suatu penekan bagi pihak

oposisi, khususnya Partai Buruh. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai penggunaan time

pressure saat pembahasan RUU beserta alasan mengapa mereka memberikan batasan waktu

tersebut dan diakhir pembahasan bab ini akan dijelaskan mengapa dengan waktu yang sempit

Partai Buruh menjadi berada dalam kondisi tertekan.

BAB IV

PERSUASIVE ARGUMENTS SEBAGAI TAKTIK PELOLOSAN UNDANG-UNDANG

ANTI-TERORISME 2005

Persuasive arguments menjelaskan kuatnya berbagai argumen yang dikemukakan oleh

pemerintah untuk mengubah pemikiran berbagai pihak oposisi. Dalam bab ini akan

dipaparkan mengenai argumen utama dari koalisi pemerintah dan pihak oposisi terkait RUU

Anti-Terorisme 2005 karena dari argumen utama tersebut pemerintah mendapatkan

keuntungan dalam pembahasan RUU. Untuk mengetahui adanya penggunaan persuasive

arguments saat pembahasan RUU maka identifikasi beberapa agumen dari pemerintah akan

disertakan didalam bab ini. Dibagian akhir bab ini terdapat analisis mengenai keuntungan

yang didapat oleh pemerintah dari argumen-argumen persuasif yang mereka sampaikan.

BAB V

KESIMPULAN