kekerasan atas nama agama

34
Kekerasan Atas Nama Agama: Problem dan Solusinya Suatu hari Al-Hallaj pernah berkata: “Telah ku merenung amat panjang agama-agama, aku temukan satu akar dari berbagai banyak cabang”. Sebagaimana Al-Hallaj, Gandhi menyuarakan pendapat serupa. Bahwa agama itu seperti cabang-cabang dari pohon yang sama, bunga-bunga dari satu kebun, saudara sekandung dari satu keluarga. Dapat disimpulkan, sesungguhnya agama yang terbaik itu bukan Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Islam ataupun yang lainnya, tapi semuanya. Pada dasarnya semua agama itu bermuara pada satu kebenaran. Donny WS* Agama yang paling dicintai Allah SWT adalah al-hanifiyyah al- samhah (yang mudah menerima kebenaran dan toleran pada sesama). HR. Al-Bukhari Sekali lagi, kita dikejutkan oleh serangkaian peristiwa kekerasan atas nama agama. Beberapa hari yang lalu, Gereja Jemaat HKPB di Kabupaten Bekasi dirobohkan oleh Petugas Satpol PP. Alasan penghancurannya sangat tidak logis: karena tidak mempunyai surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Penulis pun bertanya-tanya, bukankah banyak juga mesjid dan rumah ibadah lainnya yang tidak mempunyai surat IMB? Kenapa tidak juga dihancurkan? Kenapa kita bisa beribadah, sementara orang lain tidak? Bukankah itu hak setiap warga negara?. Selain itu, baru-baru ini kelompok masa yang mengatasnamakan sebuah forum menyegel Gereja Katolik di Kampung Duri Tambora, Jakarta Barat yang sejak tahun 1968 sudah digunakan sebagai tempat ibadah. Walaupun tidak ada korban yang terluka, hal ini telah menambah deretan panjang kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia. Masalah Seputar Agama: Dua Faktor Menurut data Wahid Institute, sepanjang tahun 2012 telah terjadi 274 kasus kekerasan atas nama agama. Hal ini meningkat 1 % dari tahun 2011 yang berjumlah 267 kasus. Hal ini membuktikan bahwa, sebagian besar masyarakat ternyata masih ‘gagap’ dalam

Upload: blosid-blog-and-slideshare

Post on 11-Apr-2017

892 views

Category:

Education


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kekerasan atas nama agama

Kekerasan Atas Nama Agama: Problem dan Solusinya

 Suatu hari Al-Hallaj pernah berkata: “Telah ku merenung amat panjang agama-agama, aku temukan satu akar dari berbagai banyak cabang”. Sebagaimana Al-Hallaj, Gandhi menyuarakan pendapat serupa. Bahwa agama itu seperti cabang-cabang dari pohon yang sama, bunga-bunga dari satu kebun, saudara sekandung dari satu keluarga. Dapat disimpulkan, sesungguhnya agama yang terbaik itu bukan Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Islam ataupun yang lainnya, tapi semuanya. Pada dasarnya semua agama itu bermuara pada satu kebenaran.

Donny WS*          

  Agama yang paling dicintai Allah SWT adalah al-hanifiyyah al-samhah (yang mudah menerima kebenaran dan toleran pada sesama). HR. Al-Bukhari

          Sekali lagi, kita dikejutkan oleh serangkaian peristiwa kekerasan atas nama agama. Beberapa hari yang lalu, Gereja Jemaat HKPB di Kabupaten Bekasi dirobohkan oleh Petugas Satpol PP. Alasan penghancurannya sangat tidak logis: karena tidak mempunyai surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Penulis pun bertanya-tanya, bukankah banyak juga mesjid dan rumah ibadah lainnya yang tidak mempunyai surat IMB? Kenapa tidak juga dihancurkan? Kenapa kita bisa beribadah, sementara orang lain tidak? Bukankah itu hak setiap warga negara?. Selain itu, baru-baru ini kelompok masa yang mengatasnamakan sebuah forum menyegel Gereja Katolik di Kampung Duri Tambora, Jakarta Barat yang sejak tahun 1968 sudah digunakan sebagai tempat ibadah. Walaupun tidak ada korban yang terluka, hal ini telah menambah deretan panjang kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia.

Masalah Seputar Agama: Dua Faktor

         Menurut data Wahid Institute, sepanjang tahun 2012 telah terjadi 274 kasus kekerasan atas nama agama. Hal ini meningkat 1 % dari tahun 2011 yang berjumlah 267 kasus.  Hal ini membuktikan bahwa, sebagian besar masyarakat ternyata masih ‘gagap’ dalam menyikapi masalah perbedaan. Penulis melihat ada dua faktor yang menyebabkan kenapa hal ini terus terjadi: faktor internal dan eksternal. Faktor internal terjadi karena adanya keterbatasan pengetahuan oleh pemeluk agama dalam memahami agamanya, sehingga memunculkan pemahaman skripturalisme. Skripturalisme adalah sebuah pemahaman yang menempatkan agama hanya sebatas teks-teks keagamaan. Dalam paham ini, fungsi utama dalam sebuah agama hanya terletak pada teks-teks yang terkandung di dalamnya. Mereka mengabaikan substansialisasi dan kontekstualisasi keagamaan. Dampaknya adalah mereka terpenjara oleh teks, dogma, dan simbolisme keagamaan. Menurut penulis ini sangat berbahaya, karena pemahaman semacam ini akan berpotensi besar untuk melahirkan kekerasan dan anarkisme.

         Misalkan, penulis melihat banyak sekali ceramah ustadz-ustadz di televisi, radio, maupun khatib-khatib Jumat yang menganjurkan kebencian satu sama lain. Hanya berbekal satu-dua ayat teks suci mereka mudah sekali untuk saling membenci satu sama lain, saling mengkafiri sesama muslim dan mencap orang lain (yang bukan golongan mereka) pasti masuk neraka. Apakah ini yang dinamakan dakwah? Apakah mereka yang memegang kunci-kunci neraka? Bukankah yang

Page 2: Kekerasan atas nama agama

berhak menentukan seorang itu masuk surga atau neraka hanya Tuhan? Bukankah yang berhak menentukan seseorang itu kafir atau tidak hanya Tuhan? Mereka, para “pembela Tuhan” itu mudah sekali mencap orang sebagai kafir. Padahal ada hadist: "Man kaffara akhahu musliman fahuwa kafirun” (Barangsiapa yang mengkafirkan saudara yang beragama Islam, justru ia yang kafir). Mereka para “pembela Tuhan” itu seakan telah mengambil alih jabatan dan wewenang Tuhan. Penulis masih belum bisa mengerti, kenapa masih ada sebagian orang yang membatasi kasih sayang Tuhan. Bukankah rahmat Tuhan itu tidak terbatas?

       Fakor eksternal terjadi diluar agama, seperti gagalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengakomodasi ekspresi-ekspresi Islam yang berbeda. Dalam kasus kekerasan atas nama agama misalnya, penulis melihat banyak fatwa-fatwa MUI yang ikut berkontribusi menyulut api kebencian, misalkan dengan fatwa–fatwa diskriminatif, seperti pelarangan Ahmadiyah. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan pembiaran oleh negara juga menjadi faktor eksternal yang menyuburkan kekerasan atas nama agama. Disini terlihat jelas, peran negara masih ‘impoten’ dalam menjaga perbedaan yang sudah menjadi fakta sosial. Dalam berbagai kasus, seringkali pemerintah lebih membela mayoritas dan mengorbankan yang minoritas. Padahal menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) seharusnya negara, pemerintah, dan masyarakat wajib mengakui dan melindungi HAM seseorang tanpa kecuali. Oleh karena itu, dalam menjaga hak-hak minoritas, semestinya tugas negara harus lebih aktif sehingga fungsi negara bisa terwujud dengan baik. Seperti, pertama menjalankan konstitusi dengan sebaik-baiknya, kedua memastikan semua warga negara berhak memiliki keyakinan masing-masing. Dalam hal ini, negara harus bisa memastikan kebebasan masyarakat. Ketiga, negara harus bisa memberikan perlindungan bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Mencari Titik Temu Agama

     Manusia diciptakan secara berbeda-beda. Tidak mungkin kita menyembah Tuhan dengan cara yang sama, pasti berbeda pula. Bukan tanpa sebab Tuhan menciptakan kita berbeda, dalam Al-Quran dikatakan: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang (syir’atan wa minhajan). Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (fastabiqu al-khayrat). Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya (ila Allahi marji’ukum jami’a). Lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS Al Maidah: 48). Ini menandakan bahwa keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Menguji agar seberapa banyak kita bisa berkontribusi untuk kebaikan umat manusia dan kemanusiaan (al-khayrat). 

     Menurut John Hick, 93 % umat beragama itu menganut agama secara kebetulan, karena setiap orang pada dasarnya tidak bisa memilih. Sudah saatnya, dalam hubungan beragama jangan kita cari perbedaan, tetapi cari persamaan. Mungkin cara kita menuju Tuhan saja yang berbeda-beda. Pada dasarnya setiap agama mempunyai dimensi spiritual yang sama: berserah diri kepada Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, dalam prosesnya agama-agama akan menuju kepada satu titik pertemuan (common platform) atau dalam istilah Al-Quran disebut dengan kalimah sawa. Penulis meyakini, pintu menuju Tuhan itu tidak hanya satu, tetapi banyak, sebanyak pikiran manusia. Seperti kata Al-Quran: “Wahai anak-anaku, janganlah kalian masuk dari satu pintu yang sama, tapi masuklah dari pintu-pintu yang berbeda” (QS Yusuf: 67). Senada dengan Al-

Page 3: Kekerasan atas nama agama

Quran, dalam kitab Bhagawadgita juga disebutkan: “Dengan jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalanKu”. Hal ini menyimpulkan bahwa, sebenarnya agama itu hanya sebuah jalan menuju Tuhan. Meskipun jalan itu beragam, warna-warni, luas, plural, tetapi semuanya akan menuju ke arah vertikal yang sama: Tuhan Yang Maha Esa.

      Suatu hari Al-Hallaj pernah berkata: “Telah ku merenung amat panjang agama-agama, aku temukan satu akar dari berbagai banyak cabang”. Sebagaimana Al-Hallaj, Gandhi menyuarakan pendapat serupa. Bahwa agama itu seperti cabang-cabang dari pohon yang sama, bunga-bunga dari satu kebun, saudara sekandung dari satu keluarga. Dapat disimpulkan, sesungguhnya agama yang terbaik itu bukan Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Islam ataupun yang lainnya, tapi semuanya. Pada dasarnya semua agama itu bermuara pada satu kebenaran. Mengapa demikian? Karena semua agama mengajarkan kebaikan, tidak mengajarkan keburukan. Dengan agama apa pun kita bisa menjadi lebih baik, lebih adil, lebih bijaksana, lebih mencintai sesama, lebih manusiawi, lebih beretika, lebih bertanggung jawab. Dengan agama apa pun, kita bisa mendekatkan diri dengan Tuhan.

Membangun Tradisi Dialog

       Dialog agama bukanlah debat, melainkan proses komunikasi antar pemeluk agama dalam rangka memahami ajaran, pemahaman, dan pemikiran dalam setiap agama. Esensi dari dialog agama adalah ta’aruf (saling memahami). Tetapi, menurut Ahmad Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam mengatakan bahwa tujuan dialog agama bukan sekedar saling memahami dan mencari titik pertemuan (kalimah sawa). Menariknya, masih menurut Ahmad Wahib, tujuan dialog agama adalah untuk pembaharuan, perubahan, transformasi, baik individu maupun sosial, ke arah yang lebih ideal.

      Pada dasarnya, dialog antar agama tidak akan tercapai apabila pemahaman keagamaan kita masih fanatik, keras, terutup, konservatif, dan esklusif. Mengapa demikian? Karena pemahaman yang seperti ini akan menggiring kita kepada klaim kebenaran (truth claim) masing-masing penganut agama. Akibatnya, pandangan seperti akan menutup upaya dialog dan mencari titik temu agama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Maka dari itu, modal utama dari dialog antar agama adalah berpikiran terbuka, inklusif, toleran, dan pluralis. Pandangan seperti ini akan membawa kita kepada sebuah kesadaran akan relativitas agama-agama, dimana tidak menutup kemungkinan bahwa kebenaran dan keselamatan ada di setiap agama. Kalau modal itu sudah kita punya, proses dialog agama pasti akan berjalan dengan baik.

      Berangkat dari perbedaan yang sudah menjadi fakta sosial, dialog agama sangat penting sebagai salah satu solusi atas berbagai konflik beragama. Dialog agama merupakan sebuah mekanisme yang harus dibangun, dikembangkan, dijaga, dirawat secara terus menerus oleh para penganut agama. Sudah barang tentu, dialog saja tidak cukup. Dibutuhkan aksi nyata oleh para penganut agama demi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Misalkan dengan cara melakukan kerjasama dalam mengurangi kemiskinan, membantu korban bencana alam, dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.

Page 4: Kekerasan atas nama agama

        Sebagai penutup, penulis hendak mengutip pendapat Leonard Swidler, dalam jurnalnya The Dialogue Decalogue yang menerangkan tentang 10 desain format dialog agama, pertamasedia belajar, kedua harus dua arah (dua pihak pemeluk agama), ketiga masing-masing pemeluk agama harus bersikap jujur dan ikhlas, keempat perbandingan yang adil, maksudnya tidak boleh membandingkan antara konsep dan praktek, hendaknya membandingkan konsep dengan konsep atau praktek dengan praktek, kelima harus memposisikan dirinya sesuai dengan eksistensinya sendiri (identitas yang otentik), keenam masing-masing pihak dalam dialog antaragama harus menghilangkan prasangka satu dengan yang lainnya,ketujuh dialog agama hanya bisa dilakukan dengan posisi yang seimbang (kesetaraan), kedelapan saling percaya satu sama lain, kesembilan kritis pada tradisi sendiri, jadi masing-masing pihak dalam dialog agama harus sadar bahwa diri dan keberagamannya masih perlu penyempurnaan, kesepuluh mengalami dari dalam (passing over), pernyataan terakhir ini yang menurut penulis paling menarik karena masing-masing pihak dalam dialog agama harus mencoba agama atau kepercayaan lain, dalam istilah lain melakukan “magang.” Pertanyaannya, mampukah masing-masing pemeluk agama membangun dan melaksanakan tradisi dialog seperti ini? Wallahualam bi shawab.

*Mahasiswa S-1 Akuntansi Unversitas Al-Azhar Indonesia, Peserta Kuliah Pluralisme Angkatan-I

Page 5: Kekerasan atas nama agama

MENCARI SOLUSI IDIAL DALAM MENYIKAPI KONFLIK AGAMA DAN ETNIS DI INDONESIA 04 Mar

Oleh :

Drs I Ketut Wiana.M.Ag.

(Ketua Pengurus Harian PHDI Pusat, Bidang Agama dan Antar Iman)

“Pemeluk agama yang bersikap exclusive itu mempromosikan agamanya pada masyarakat luas  bagaikan para pengusaha mempromosikan produknya  sebagai produk  unggul yang paling wah

dalam segala hal. Sikap yang demikian itu menimbulkan upaya beragama lebih banyak diexpresikan keluar diri dari pada  kedalam diri sendiri. Karena sibuk memperomosikan Agama

untuk orang lain lalu lupa mengexpresikan ajaran Agama itu pada diri”.

PENDAHULUAN

Agama mendapat kedudukan yang amat penting,terhormat dan  suci di  Negara Kesatuan  Republik Indonesia ini. Karena itu para penganutnya terutama para pemuka Agama di Indonesia ini mampu mendaya gunakan Agama yang dianutnya sebagai kekuatan untuk hidup terhormat. Agama seyogianya dapat dijadikan pendorong paling utama untuk mengeksistensikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada diri manusia itu sendiri, bahkan  aspek kemanusiaan itulah unsur yang terpenting dalam diri manusia. Bung Karno sering menyatakan bahwa  “Homo homini sosius”. Artinya manusia adalah sahabatnya manusia. Bukan ”Homo homini lupus”, Artinya: Manusia  bukan srigala bagi manusia”. Dalam Subha  Sita  Weda  ada  dinyatakan: “Wasu dewa kutumbakam” Artinya  : semua umat manusia  penghuni bumi  ini adalah bersaudara. Karena kita bersaudara seyogianya  juga bersahabat. Dewasa ini memang ada  yang berkembang suatu kenyataan  bahawa bersaudara tetapi tidak bersahabat.

Manusia adalah makhluk hidup  yang memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan. Alam semesta dengan segala isinya adalah ciptaan Tuhan. Karena itu semua manusia apapun agamanya adalah ciptaan Tuhan. Meskipun berbeda Agama yang dianut lahir dalam  suku yang berbeda, ras yang berbeda, tetapi  tetap sama-sama manusia. Janganlah karena alasan berbeda agama, manusia tidak diperlakukan sebagai  manusia. Justru sebaliknya karena alasan agamalah  manusia  harus diperlakukan lebih  manusiawi. Karena agama berasal dari  sabda Tuhan Yang Maha Pengasih  dan Maha Penyayang.

MAKNA HARMONI DAN KONFLIK

Kehidupan bersama dalam masyarkat selalu berhadapan dengan dua kondisi sosial. Kondisi sosial yang selalu dihadapi  itu adalah hidup dalam suasana  harmoni dan  hidup dalam suasana

Page 6: Kekerasan atas nama agama

konflik. Kondisi harmoni dan konflik silih berganti menghadiri kehidupan bersama itu. Kedua kondisi sosial  tersebut  masing-masing memiiki dimensi positif dan negatif. Ia akan berdimensi positif apabila harmoni dan konflik tersebut didasarkan pada proses penegakan kebenaran. Ini artinya harmoni itu sebagai kondisi  yang positif kalau ia sebagai  perwujudan kebenaran sejati. Demikian juga konflik itu akan berdimensi positif kalau dilandasi untuk menegakan kebenaran. Harmoni tanpa kebenaran  dapat menumpulkan dan melemahkan makna nilai-nilai kehidupan. Tegaknya nilai-niai kehidupan tersebut  sangat dibutuhkan untuk dapat memberikan makna untuk memajukan hidup ini mewujudkan ketentraman untuk mencapai kesejahtraan bersama yang adil dan beradab. Harmoni dalam hidup bersama memang merupakan suatu keadaan yang didambakan oleh setiap manusia normal di dunia ini. Cuma kalau harmoni itu sebagai perwujudan kebenaran.

Kondisi konflik betapapun kecilnya suatu kondisi yang tidak diharapakn oleh setiap orang. Namun konflik dalam kehidupan bersama merupakan suatu kenyataan yang hampir tidak pernah dapat dihindari. Untuk dapat mengambill makna positif dari setiap konflik yang terjadi, konflik itu harus dimanagement menuju rekonsiliasi. Untuk mencapai rekonsiliasi itu setiap konflik harus diarahkan sesuai dengan sistem-sistem yang terdapat dalam ilmu management  konflik. Konflik yang paling berat adalah konflik yang dipicu dengan alasan perbedaan pemahaman agama  dan perbedaan etnis. Kondisi konflik harus sesegera mungkin dimanagement dari  kondisi yang Fight ke Flight terus menuju Flow sampai ke Agreement dan terakhir menuju Rekonsiliasi. Dalam suasana Rekonsiliasi inilah kehidupan bersama dapat bergerak menuju kehidupan yang aman dan damai. Kehidupan yang aman dan damai ini dapat menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan nilai material secara seimbang dan kontinue.

Nilai spiritual dan nilai material yang tumbuh seimbang  dan kontinue itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan untuk membangun manusia dan masyarakat yang  harmonis dinamis dan produktif. Hanya dalam masyarakat yang harmonis, dinamis dan produktif itulah dapat menjadi wadah kehidupan untuk mewujudkan  apa yang disebut hidup aman damai dan bahagia lahir batin.

PERMASALAHAN

Terjadinya  suasana tegang yang mengarah pada konflik dalam kehidupan beragama bukanlah disebabkan oleh ajaran Agama yang dianut oleh umat beragama. Konflik itu terjadi karena cara  pemahaman Agama yang keliru.  Ada dua cara pemahaman Agama yang keliru yaitu:

PERTAMA: CARA PEMAHAMAN YANG BERSIFAT EXCLUSIVE NEGATIF

Yang dimaksud dengan sikap exclusive itu  adalah suatu sikap yang demikian mengangungkan Agama yang dianutnya yang melebihi Agama  lain dengan menganggap Agama lain yang tidak dianutnya adalah Agama yang lebih rendah. Agama lain yang tidak dianutnya itu adalah Agama yang tidak benar. Sikap exclusive yang negatif itu dapat menumbuhkan benih-benih sikap untuk anti pada Agama lain yang dianut oleh orang lain. Sedikit saja ada persandingan antar umat beragama yang berbeda dapat menimbulkan kondisi  konflik. Karena dalam persndingan antar umat beragama yang berbeda itu, mereka merasa Agama yang dianutnyalah yang paling exclusive. Kelebihan-kelebihan  yang ada pada Agama yang dianutnya sangat diyakini akan

Page 7: Kekerasan atas nama agama

dapat  menyelesaikan segala persoalan hidup dan kehidupan di dunia ini. Karena itu semua orang harus ikut Agama yang dianutnya.

Dari sini timbulah upaya untuk menarik orang yang belum seagama dengannya supaya ikut memeluk Agama yang dianutnya. Hal ini dianggap tugas yang sangat suci dan sebagai perintah dari Tuhan. Agama lain adalah Agama yang tidak sempurna. Karena ia tidak sempurna harus dipinggirkan. Demikianlah  salah satu ciri sikap exclusive yang banyak ditampilkan oleh para penganut Agama. Oknum-oknum  yang bersikap exclusive negatif  seperti itu ada  pada setiap kumunitas pemeluk Agama. Sikap itulah yang menjadi sumber paling rawan menimbulkan konflik. Pemeluk Agama yang bersikap exclusive itu mempromosikan Agamanya pada masyarakat luas  bagaikan para pengusaha mempromosikan produknya  sebagai produk  unggul yang paling wah dalam segala hal. Sikap yang demikian itu menimbulkan upaya beragama lebih banyak diexpresikan keluar diri dari pada  kedalam diri sendiri. Karena sibuk memperomosikan Agama untuk orang lain lalu lupa mengexpresikan ajaran Agama itu pada diri. Sebagai akibatnya terjadilah ketimpangan antara perbuatan dan wacana yang dipromosikan  itu. Demikianlah permasalahan yang dapat memicu timbulnya konflik umat baik intern umat seagama  maupun antar umat yang berbeda Agama.

KEDUA: SIKAP BERAGAMA YANG MUNAFIK

Dalam ajaran Agama Hindu ada dua bentuk penampilan tradisi beragama. Ada yang disebut Maksika Nyaya yaitu kebiasaan  lalat.  Ada yang beragama seperti kebiasaan Madukara Nyaya yaitu beragama seperti kebiasaan kumbang. Sikap beragama seperti lalat (Maksika Nyaya) itulah sikap yang munafik. Kebiasaan  lalat adalah; sekarang hinggap di makanan yang enak sebentar lagi hinggap di bangkai yang busuk. Sebentar lagi hinggap  ditempat yang kotor kemudian hinggap di lauk-pauk yang bersih. Demikian seterusnya silih berganti. Ada orang demikian khusuk melakukan ibadah Agamanya setelah itu ia melakukan korupsi. Habis melakukan ceramah Agama mengajak orang berbuat baik dan mulia, setelah itu diam-diam berselingkuh.

Kebiasaan lalat itu saangat berbeda dengan kebiasaan Madukara atau  lebah madu. Lebah Madu selalu hinggap di bunga-bunga yang indah dan wangi. Ia hanya mengisap sari-sari bunga itu untuk dijadikan madu. Setelah jadi madu ia relakan  untuk dinikmati oleh makhluk lain terutama manusia. Kemunafikan beragama itu menimbulkan krisis moral dan krisis kepercayaan. Dari krisis tersebutlah menjadi sumber konflik baik vertikal maupun horisontal. Ada pejabat yang menampilkan diri sangat taat pada Agamanya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk menutupi maksud-maksud jahatnya untuk menggunakan jabatanya itu untuk memperkaya diri dengan merugikan orang lain atau uang rakyat. Karena rakyat kehilangan kepercayaan kepada pejabat. Hal ini menyebabkan pejabat yang jujur dan baik ikut kena getahnya. Dari sinilah awalnya timbul konflik vertikal antara rakyat dengan pemerintahnya. Padahal tidak semua pejabat beragama munafik seperti itu.

Konflik karena perbedaan etnis  juga disebabkan oleh sikap exclusive dari sementara oknum. Setiap etnik memiliki sifat dasar yang ada kelebihan dan kekurangan. Semua Agama sudah mengajarkan kita bahwa hanya Tuhan Yang Maha Esa itulah yang  maha sempurna. Ada oknum tertentu hanya melihat kelebihan etnisnya sendiri dan hanya melihat kekurangan etnis lain. Kalau

Page 8: Kekerasan atas nama agama

ada tokoh, apakah itu pejabat, pengusaha, politisi dan tokoh-tokoh lainya berbuat salah sering kesalahan pribadi itu duhubung-hubungkan dengan etnis bahkan Agama yang bersangkutan. Demikianlah secara umum analisa singkat ini. Kami melihat adanya konflik antar umat bergama dan konflik karena alasan perbedaan etnis.

MEMBANGUN  BANGSA  DAN AGAMA  

“Membangun Bangsa Demi Agama dan Membangun Agama Demi Bangsa“. Kalimat  tersebut kami  kutip  dari  refleksi hasil Kongkres Nasional I agama-agama di Indonesia dari  tgl 11  s/d 12 Oktober 1993 di Jogyakarta. Kongkres I agama-agama di Indonesia ini diselenggrakan oleh sebuah panitia yang terdiri dari berbagai unsur semua agama yang ada Indonesia.  Kongres tersebut didukung sepenuhnya oleh Pemerintah RI melalui Departemen Agama RI. Kongres tersebut diadakan dalam rangka memperingati 100 Tahun Parlemen Agama-Agama Sedunia yang diadakan pada Th 1893 di Chicago Amerika Serikat.

Kami sebagai salah seorang Pimpinan PHDI Pusat saat itu juga ikut hadir sebagai pemakalah. Di samping menghasilkan sebuah refleksi, kongkres tersebut juga telah mengeluarkan sebuah deklarasi. Salah satu poin dari deklarasi tersebut ada beberapa tugas yang ditetapkan untuk dikerjakan oleh Lembaga tersebut yang sangat patut kita ingat kembali. Misalnya, melakukan kegiatan sosial antar umat  beragama untuk meningkatkan partisipasi umat beragama dalam pembangunan nasional dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia.

Ternyata hasil Kongres tersebut masih belum nampak hasilnya. Terbukti dalam menghadapi krisis ini, justru diberbagai tempat di Indonesia terjadi konflik yang bernuansa perbedaan Agama. Ini berarti kita belum berhasil membangun Agama-Agama yang dianut di Indonesia sebagai kekuatan untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Tanpa persatuan dan kesataun bangsa,  berbagai potensi bangsa sulit didayagunakan untuk membesarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur atau sejahtera lahir batin dalam rangka membangun  masyarakat dunia yang aman dan damai.

Hasil Kongres I agama-agama di Indonesia itu masih sangat relevan untuk dijadikan landasan kebijakan untuk mengarahkan pikiran kita dalam memecahkan persoalah konflik pemeluk agama, baik pemeluk umat se-agama maupun pemeluk umat yang berbeda agama di Indonesia.

Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, Guru Besar Universitas Udayana  menyatakan, “Letak harga diri kita sejauh mana kita mampu menghargai orang lain, kalau kita tidak dapat menghargai orang lain berarti kita juga orang yang  tidak punya haraga diri”. Kalau kita menganggap orang itu seperti tidak ada atau tidak ada artinya, jangan heran kalau suatu saat kita juga dianggap tidak ada artinya. Pemikiran Mantan Gubernur Bali dan mantan Dubes Indonesia di India ini masih sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam mencari solusi konflik antar Agama dan Etnis. Dalam kitab Bhagawad Gita ada disebutkan istilah “Cakra Yadnya“, yang artinya suatu pengabdian yang timbal balik. Kalau kita ingin mendapatkan pengabdian dari alam lingkungan maka mengabdilah kita pada upaya untuk melestarikan lingkungan alam tersebut. Kalau kita ingin mendapat pengabdian dari orang lain, maka mengabdilah juga pada kepentingan orang lain. Kalau kita ingin mendapatkan karunia Tuhan maka lakukan Sradha dan Bhakti (iman

Page 9: Kekerasan atas nama agama

dan taqwa) kepada Tuhan dalam bentuk pikiran, perkataan dan perbuatan. Demikjan juga sebaliknya kalau pemeintah ingin mendapatkan pajak yang benar dari para pengusaha, ciptakanlah iklim berusaha yang  sehat dan kondusive. Janganlah mereka diperas dengan berbagai pungutan liar, saham kosong dan berbagai peraturan yang sangat birokratis. Sebaliknya kalau pengusaha ingin produknya mendapatkan tempat di hati rakyat, berikanlah mereka produk yang baik dengan harga yang pantas.

Konsep Cakra yadnya dalam kitab Bhagawa Gita salah satu kitab suci Hindu itu menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa hidup bersama di dunia ini dengan baik tanpa saling mengabdi, saling menghargai, saling memahami, dan saling tolong menolong. Istilah Cakra Yadnya yang terdapat dalam kitab Bhagawad Gita III.16 merupakan kelanjutan dari Bhagawad Gita III.10. Dalam Sloka ini dinyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala isinya adalah berdasarkan Yadnya. Ini artinya Tuhan tidak meiliki pamerih apa-apa dalam karya agungNya itu.

Tuhan pun menciptakan Yadnya untuk kehidupan semua ciptaanNya. Semua ciptaanNya di ciptakan berbeda-beda agar mereka hidup untuk saling membutuhkan. Kalau mereka menganggap dirinya sudah paling baik dan sempurna mereka akan jadikan perbedaan itu untuk saling membentur satu sama lainya. Perbedaan yang diciptakan oleh Tuhan itu agar manusia itu mau saling membutuhkan satu sama lainya berdasarkan Yadnya ini, artinya kalau  manusia itu ingin hidup yang bahagia lakukanlah yadnya kepada Tuhan dalam bentuk Sradha dan Bhakti. Lakukanlah upaya untuk aktif menjaga kelestarian lingkungan. Kalau kita mengabdikan diri untuk kelestarian lingkungan, lingkungan itupun akan menjadi sumber penghidupan umat manusia. Kalau kita ingin mendapatkan pengabdian dari sesama manusia maka mengabdilah kita kepada sesama manusia sesuai dengan fungsi, profesi dan bakat kita masing-masing. Inilah yang di dalam istilah sekarang disebut Tri Hita Karana. Tri Hita Karana ini artinya setiap umat Hindu diajarkan untuk membangun sikap yang seimbang antara memuja Tuhan melalau Sradha dan Bhakti, dengan mengabdi pada  sesama manusia dan  aktif menjaga kelestarian lingkungan alam. Dari sini kami dapat memetik suatu makna bahwa  sikap beragama yang benar adalah  mengutamakan membangun diri untuk menjadi aktif mengatasi krisis alam, krisis ekonomi, politik, sosial, krisis kepercayaan atau apa yang disebut krisis Nasional.

MENCARI MAKNA KONFLIK YANG BERWAJAH  GANDA

Konflik terjadi karena manusia menyalahgunakan perbedaan yang dikaruniai oleh Tuhan. Meskipun demikian, konflik itu tidaklah selalu berdimensi negatif. Semua ciptaan Tuhan ini memiliki dua sisi. Ada yang berdimensi negatif ada juga yang berdimensi positif. Konflik  berarti bahaya dan kesempatan.

Konflik adalah suatu bahaya. Entah berapa  penderitaan dan nyawa yang menjadi korban karena terjadi konflik diberbagai belahan dunia ini. Itulah wajah bahaya yang sangat mengerikan dari konflik. Namun demikian dalam pengalaman sejarah hidup manusia konflik itu tidaklah selalu berwajah seram membahayakan. dan bersifat merusak. Konflik juga berarti suatu kesempatan untuk melakukan sesuatu yang lebih benar dan lebih adil. Banyak konflik menjadi suatu kesempatan untuk mampu menghadirkan sesuatu yang baru yang membawa kehidupan bersama

Page 10: Kekerasan atas nama agama

ini menjadi lebih baik dan lebih benar. Konflik juga banyak yang menimbulkan kesadaran baru, pertumbuhan kepribadian dan juga sebagai peluang untuk menegakan kebenaran dan keadilan.

Dari jaman Kerajaan sampai jaman kehidupan demokrasi ini banyak dicatat oleh sejarah peristiwa yang menggunakan konflik sampai dalam bentuk perang untuk menegakan kebenaran dan keadilan. Hal itu karena  buntunya jalan damai dalam menegakan suatu kebenaran dan keadilan. Oleh karena konflik itu suatu kenyataan hidup, tentunya manusia tidak dapat menghindar begitu saja pada kenyataan konflik. Mereka harus berupaya untuk menggunakan akal sehatnya untuk mengatasi konflik dengan cara-cara yang tidak sampai memakan korban jiwa dan penderitaan apa lagi sampai  menenggelamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Jadinya manusia dalam menghadapi konflik jangan lari dari konflik. Terjunilah konflik itu untuk mencari makna-makna positifnya sehingga kehidupan ini menjadi semakin maju lahir batin.

MERUBAH ORIENTASI ILMU PERBANDINGAN AGAMA

Sebelum era tahun delapan puluhan, Ilmu Perbandingan Agama (Comparatif Religion Study) selalu membanding-bandingkan agama yang satu dengan agama yang lainya. Hal itu sangat tergantung pada yang menjelaskan perbandingan agama tersebut. Kalau ia beragama A maka Agama B, C ,D dan seterusnya dianggap lebih jelek. Karena tolak ukurnya agama A dipakai mengukur agama B, C dan D. Demikian juga sebaliknya. Kalau yang menjelaskan Ilmu Perbandingan Agama itu menganut  agama B, maka agama A, C, D dan seterusnya akan dianggap lebih jelek, karena yang digunakan sebagai tolok ukurnya adalah agama B. Demikian seterusnya.

Akibatnya kehidupan antar umat beragama semakin runcing dan semakin tidak membawa kerukunan dalam masyarakat. Era setelah tahun delapan puluhan mulailah ada perubahan orientasi Ilmu Perbandingan Agama. Tujuan ilmu perbandingan Agama tidak lagi untuk saling mejelekkan agama yang tidak dianut dan mengagung-agungkan agama yang dianut agar kelihatan agama orang lain itu lebih jelek dari agama yang dianut. Tujuan Ilmu Perbandingan Agama menjadi berubah, yaitu untuk mendalami agama orang lain yang tidak dianut agar lebih memudahkan dan melancarkan pergaulan dengan umat yang berbeda agama. Hal ini dikemukakan oleh  Hendro Puspito dalam Bukunya berjudul “Sosiologi Agama”. Perubahan orientasi inilah yang banyak mendorong timbulnya dialog-dialog antar umat  yang berbeda Agama. Namun dialog tersebut baru menyentuh dialog Sosiologis belum menyentuh pada dialog keimanan. Dialog Sosiologis itu baru mencari “musuh bersama” umat beragama, sehingga seluruh umat beragama ada pada satu barisan menghadapi berbagai persoalan bersama sebagai musuh bersama umat beragama. Musuh bersama itu adalah keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan lahir dan batin, arogansi dan kesenjangan. Banyak pihak yang berpendapat bahwa dialog itu hendaknya ditingkatkan sampai menyentuh dialog keimanan sehingga persatuan dan kesatuan umat yang berbeda agama akan semakin erat, untuk menghadapi musuh bersama berupa berbagai persoalan bersama itu.

Bentuk dialog keimanan itu masih belum ada kesamaan persepsi dan visi diantara para tokoh-tokoh umat beragama dari semua agama yang ada, namun dialog yang bersifat sosiologis sudah banyak dirasakan halis-hasilnya, meskipun belum seperti yang diharapkan. Dengan cara dialog itu seseorang akan semakin paham pada keberadaan agama orang lain untuk tujuan positif. Di

Page 11: Kekerasan atas nama agama

sinilah baru muncul apa yang disebut oleh Aloys Budi Pramono sebagai “Riligious Leteracy”, dalam harian Kompas, 9 Nopember 2001.

Religious Leteracy ini adalah sikap melek Agama lain. Sikap ini sebagai syarat yang semakin dibutuhkan oleh dunia modern yang semakin mengglobal ini. Ciri masyarakat modern semakin cendrung munculnya pluralistik dalam berbagai kehidupan. Pluralisme yang paling peka adalah pluralisme di bidang Agama. Kalau hal ini tidak dimanagement dengan baik maka pluralisme itu akan mendatangkan berbagai kesukaran sosiologis dalam kehidupan bersama itu. Seperti berbagai konflik yang merebak di tanah air seperti konflik Ambon dan Poso.

RELIGIOUS LETERACY MEMBANGUN KERUKUNAN

Rukun adalah sebagai terminal sosial untuk mengantarkan kehidupan yang aman dan damai. Hidup yang aman dan damai sebagai iklim sosial yang dibutuhkan untuk menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan nilai material secara seimbang dan kontinue. Nilai-nilai spiritual dan nilai meterial yang seimbang dan kontinue itu dibutuhkan untuk membangun manusia yang utuh dan berkwalitas. Salah satu aspek yang dapat menimbulkan gangguan kerukunan sosial adalah pluralisme dibidang Agama. Dengan mengembangkan sikap Religious Literacy kesalah pahaman akan pluralisme Agama akan semakin dapat diatasi.

Religious Leteracy itu akan semakin menampakan hasilnya apabila hal itu dilakukan secara jujur oleh semua pihak terutama para pemuka-pemuka semua agama. Gerakan ke arah Religious Leteracy sudah semakin nampak. Penulis sendiri sebagai umat Hindu terutama sebelum reformasi sering diundang ke Gereja dan beberapa perguruan tinggi yang bernafaskan agama seperti ke Institut Agama Islam Negeri, ke Universitas Atma Jaya untuk berceramah tentang Agama Hindu. Tujuan ceramah itu adalah untuk meningkatkan pemahaman umat Islam dan Kristen tentang ajaran Agama Hindu. Yang paling sering dilakukan ditingkat Nasional adalah Dialog antar Umat beragama baik yang dilakukan oleh Litbang Departemen Agama RI, maupun yang disponsori oleh masing-masing lembaga agama yang ada.

Salah satu tujuan dialog umumnya mencarikan solusi berbagai permasyalahan yang timbul di lapangan menyangkut gesekan yang sering terjadi dalam kehidupan antara umat  yang berbeda agama. Melek agama lain tidak saja diupayakan dalam dialog-dialog antara umat yang berbeda agama, namun hendaknya juga ditumbuhkan sendiri oleh masing-masing umat beragama terutama oleh tokoh-tokohnya. Toleransi itu hendaknya ditumbuhkan dari dalam diri sendiri sebagai suatu kebutuhan hidup dalam masyarakat yang pluralistis itu. Jadinya dengan melek Agama lain, toleransi itu terjadi tidak atas tekanan dari luar diri sendiri.

KALAU “KAMI” MENGALAHKAN “KITA”

Eksistensi individu dan kelompok semakin kuat dalam proses modernisasi yang konon sudah berada pada  kondisi post modern. Nilai-nilai spiritual agama memang mendorong untuk memajukan eksistensi individu dan sosial yang berkualitas. Tetapi karena beragama lebih mengutamakan aspek institusi formal maka hal itu memunculkan sikap exclusivisme agama yang berlebihan. Eksistensi individu dan kelompok yang kuat itu menyebabkan “eksistensi kami mengalahkan kita“. Kami sebagai partai A lebih diutamakan dari pada kita sebagai bangsa

Page 12: Kekerasan atas nama agama

Indonesia. Kami sebagai penganut Agama B lebih dieksistensikan dari pada kita sebagai umat manusia. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya membangun persaudaraan sejati dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Persuadraan sejati itu adalah kuatnya sikap bersauidara sesama manusia. Apakah saudara seayah seibu, seagama, separtai, sesuku, sebangsa, senegara dst. Dalam persaudaraan yang sejati eksistensi kami dan kita sama-sama salaing memperkuat. Meskipun menganut aliran politik yang berbeda tetapi tetap merasa besaudara senegara.

Menganut Agama yang berbeda tetapi tidak merasa karena perbedaan Agama yang dianut itu sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan dalam kondisi bermusuhan. Rasa bermusuhan antara umat yang berbeda agama atau antara masyarakat yang berbeda partai politik akan terjadi apabila adanya sikap untuk saling meniadakan antara satu dengan yang lain. Sikap itu muncul karena tidak adanya sikap integritas yang murni dalam masing-masing individu dan kelompok. Kepentingan individu dan kelompok itu seharusnya tidak dibuat berdikotomi dengan kepentingan bersama yang lebih luas.

Kami dan kita jangan dibuat berdikotomi. Kalau “kami mengalahkan kita“, maka persatuan dan kesatuan bangsa tidak akan terjadi. Karena berbagai kelompok sosial yang membangun bangsa asyik dan mengexclusivekan kelompoknya masing-masing. Kalau dalam satu bangsa tidak ada persahabatan yang sejati bagaimana mungkin terjadi persahabatan dalam persaudaraan dunia yang aman dan damai. Sebaliknya kalau “kita mengalahkan kami“, maka akan terjadi penekanan negara pada berbagai kelompok sosial  dalam suatu negara. Rasa tertekan yang bersifat struktural akan menghantui kehidupan masyarakat.

Dalam kondisi masyarakat yang tertekan tidak mungkin mampu produktif menumbuhkan nilai-nilai spiritual maupun material secara seimbang dan kontinue. Kehidupan yang aman dan sejahtera akan terwujud kalau kondisi sosial itu mendorong tumbuhnya nilai-nilai spiritual dan material secara seimbang dan kontinue. Pelanggaran hukum dan HAM akan menjadi-jadi kalau “kita tidak memberikan peluang hidup pada kami“. Kalau demikian halnya setiap orang harus mampu membangun sikap yang seimbang terhadap “kami dan kita” dalam dirinya.

Kehidupan beragama harusnya dapat memberi kontribusi dalam menumbuhkan sikap hidup yang seimbang terhadap “kami dan kita”. Agama Hindu sangat yakin bahwa semua manusia yang hidup di kolong langit ini tercipta karena Kemaha Kuasaan Tuhan Yang Esa. Dari sudut pandangan ini semua manusia adalah bersaudara. Namun demikian, tidak berarti tidak boleh ada keanekaragaman hidup di dunia ini. Hakekat manusia multi dimensi. Manusia itu sama dan sekaligus berbeda. Setiap manusia memiliki jasmani dan rokhani. Cuma struktur jasmani dan rokhaninya itu yang berbeda-beda. Persamaan dan perbedaan dalam diri manusia itu sebagai media untuk menuju yang satu. Yang satu itu adalah untuk memuliakan hidup di dunia ini. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak ingin memuliakan hidupnya di dunia ini. Karena itu dalam mengeksistensikan sikap “kami“ jangan sampai mengabaikan aspek “kita“. Karena hal itu akan mengganggu hakekat manusia dalam memuliakan hidupnya.

Kalau prinsip “kami“ yang terlalu eksis maka akan dapat mengganggu eksistensi “kami“ yang lainya. Kalau terjadi proses saling mengganggu antara prinsip “kami“ yang satu dengan prinsip “kami“ yang lain maka hal itu akan menjadi hambatan bagi manusia untuk memuliakan hidupnya. Agar prinsip “kami“ yang satu tidak saling mengganggu dengan prinsip “kami“ yang

Page 13: Kekerasan atas nama agama

lainya dalam hal inilah diperlukan prinsip “kita“. Prinsip “kita“ inilah yang akan menjadi benang merah berbagai perbedaan antara “kami“ yang satu dengan “kami“ yang lainya. Apa yang disebut Sama Beda dalam ajaran Hindu akan dipertemukan secara terpadu.

Kondisi Indonesia saat ini sepertinya mengarah pada “kami semakin mengalahkan kita“. Untuk mencegah dinamika yang mengarah pada kalahnya “kita oleh kami“ perlu diingatkan agar semua pihak membangkitkan paradigma keseimbangan. Kehidupan beragama semestinya yang paling dikedepankan untuk memberi contoh bersinerginya antara  “kami dengan kita“ dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kehidupan beragama dapat dibangun “kami yang kuat”, tetapi juga menguatkan “kita“. Membangun kehidupan beragama yang kuat demi bangsa. Membangun bangsa yang kuat demi melindungi kehidupan beragama. Demikianlah ”kami” saling memperkuat dengan “kita”.

FANATISME BERAGAMA YANG SALAH ARAH

Fanatisme beragama di Indonesia pernah mendapat perhatian dari Ibu Megawati Sukarno Putri saat menjabat Presiden. Fanatisme beragama perlu ditafsir ulang. Penafsiran ulang Fanatisme beragama itu dirasakan sangat penting untuk menjaga citra positif kehidupan beragama di Indonesia. Kalau kehidupan beragama sampai menimbulkan kerawanan sosial yang dapat membuat ambruknya suatu negara tentunya bukan salahnya agama yang disabdakan oleh Tuhan. Manusialah yang menyalah gunakan agama yang dianutnya untuk berbuat yang dapat mengganggu keamanan hidup bersama itu.

Fanatisme dalam bahasa Inggris artinya mengekpresikan kepercayaan secara berlebihan. Mengekspresikan kepercayaan kepada agama yang dianut tentunya sesuatu yang wajib dilakukan sebagai penganut suatu agama. Cuma arah eksrepresi itu perlu dilakukan dengan kesadaran Budhi bukan dengan ekspresi emosi tanpa kendali. Fanatisme beragama itu bisa diarahkan kepada arah yang positif dan bisa juga kearah yang negatif. Kalau fanatisme beragama diarahkan untuk membangun sikap hidup yang positif tentunya kita tidak perlu khawatir pada bentuk fanatisme kehidupan beragama yang dilakukan. Misalnya, agama mengajarkan tidak boleh berjudi. Meskipun rayuan lingkungan untuk berjudi demikian kuat, tetaplah fanatik tidak mau ikut berjudi. Apa lagi dilingkungan tempat pemujaan seperti Pura misalnya. Demikian juga agama mengajarkan janganlah mengkonsumsi minuman keras. Lakukanlah hal itu secara fanatik. Meskipun banyak pihak mempengaruhi agar kita ikut menegak minuman keras. Kuatkanlah keyakinan kita pada ajaran agama yang kita anut bahwa minuman keras itu dilarang oleh agama yang kita anut. Apa lagi dalam rangka Upacara Yadnya, suguhkanlah minuman keras itu saat metabuh untuk Upacara Bhuta Yadnya. Janganlah kita sebagai manusia justru yang meminumnya.

Kitab suci Agama Hindu mengajarkan bahwa untuk menentukan seseorang itu Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra bukanlah Wangsa atau keturunannya. Yang menentukan adalah Guna dan Karmanya. Janganlah kita ngotot bahwa hal itu berdasarkan Wangsa. Itu namanya bukan fanatik agama, tetapi fanatik adat yang sesat. Karena adat itu ada yang adi luhung ada juga yang sesat. Tujuan yang paling utama Upacara Yadnya adalah sebagai media sakral mendekatkan manusia pada alam lingkungannya (Sarwa Prani), kepada sesama manusia dan yang tertinggi kepada Tuhan. Marilah kita fanatik untuk mewujudkan Upacara Yadnya agar

Page 14: Kekerasan atas nama agama

tiga tujuan berupacara Yadnya itu semakin terwujud dalam setiap kita melangsungkan Upacara Yadnya. Janganlah justru Upacara Yadnya dijadikan media untuk memprovokasi perpecahan umat dan merusak sistim hidup yang lainya. Semuanya itu justru bertentangan ajaran Agama.

Yang diingatkan oleh Presiden Megawati adalah pendidikan Agama di Indonesia janganlah membentuk insan fanatik dan militan menuju arah yang negatif. Fanatisme beragama yang negatif muncul karena sikap beragama yang lebih mendahulukan “to have” dari pada “to be”. Maksudnya, banyak orang merasa lebih memiliki agama yang dianutnya dari pada berupaya menjadikan dirinya seperti apa yang diajarkan oleh agama yang dianutnya. Karena agama itu sabda Tuhan, tentunya sangat suci, kebenaran yang sejati, luhur dan sangat mulia. Banyak orang menjadi mabuk karena merasa memiliki agama yang baik dan mulia itu. Meskipun ia sendiri belum menjadikan dirinya seperti apa yang diajarkan oleh Agama yang dianutnya. Semua penganut agama meyakini agamanya suci, mulia dan ciptaan Tuhan. Sedangkan agama yang tidak dianutnya diangggapnya bukan ciptaan Tuhan dan bukan Agama yang baik.

Karena salah caranya memahami agama yang suci itulah timbulnya sikap mabuk dan  fanatisme agama yang negatif. Seperti orang mabuk karena kaya, karena pintar, karena cakep, muda, bangsawan karena sakti dan juga karena minuman keras. Demikian juga setiap agama memberikan banyak jalan dan banyak cara untuk mengamalkan ajaran agama bersangkutan. Karena itulah, di intern umat seagamapun banyak terjadi berbagai perbedaan. Banyak juga umat penganut suatu agama tidak begitu paham akan berbagai perbedaan yang dimiliki oleh agama yang dianutnya.

Adanya berbagai perbedaan di intern suatu agama karena tidak dipahami dengan baik dapat juga menjadi sumber fanatisme kelompok di intern suatu agama. Apa lagi ada elit penganut agama yang tidak arif dalam memanagement suatu perbedaan. Keadaan ini sangat mudah memicu fanatisme beragama yang negatif.

Semestinya kehidupan beragama mampu memberikan kontribusi pada pembentukan insan beragama yang siap hidup dalam masyarakat yang semakin pluralitis dan heterogin. Dunia di era post modern ini akan menjadi semakin pluralistis heterogin dalam berbagai bidang kehidupan. Orang tidak selalu akan bermukim ditempat kelahiranya saja. Dengan pesatnya kemajuan tehnologi transportasi, telekomunikasi, trade (perdagangan) dan tourisme, maka orang boleh bermukim di mana saja.

Kehidupan beragama harus mampu menyiapkan insan-insan yang semakin tangguh menghadapi fluralisme dan heteroginitas sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Setiap orang harus siap hidup berdampingan dalam berbagai perbedaan dengan tidak usah kehilangan kepribadianya masing-masing. Agama seyogianya dapat memberikan kontribusi keindahan dalam fluralisme dan heteroginitas sosial budaya dalam masyarakat post modern ini.

Jor-joran dalam memunculkan identitas simbol keagamaan sebaiknya dikurangi dan lebih diutamakan untuk menunjukan prilaku yang mulia sesuai dengan profesi masing-masing sebagai wujud pengamalan Agama yang kita anut. Persaingan menunjukan identitas simbol lebih banyak negatifnya.

Page 15: Kekerasan atas nama agama

MENCARI SOLUSI MENGATASI KONFLIK

1.     Konflik Itu Harus di Management Menuju Rekonsiliasi

Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang yang hidup di dunia ini. Apa lagi konflik yang bernuansa karena perbedaan agama yang dianut dan pebedaan etnis. Konflik yang demikian itu memang suatu konflik yang sangat serius. Untuk meredam wajah bahaya dari konflik itu, maka konflik itu harus dimanagement agar ia berproses ke arah yang positif. Dr. Judo Poerwowidagdo, MA. Dosen Senior di Universitas Duta Wacana Yogyakarta menyatakan bahwa proses konflik menuju arah yang positif itu adalah sbb: Dari kondisi yang “Fight” harus diupayakan agar menuju Flight. Dari kondisi Flight diupaykan lagi agar dapat menciptakan kondisi yang Flaw. Dari Flaw inilah baru diarahkan menuju kondisi Agreement, terus ke Rekonsiliasi. Karena itu, masyarakat terutama para pemuka agama dan  etnis haruslah dibekali ilmu Management Konflik setidak-tidaknya untuk  tingkat dasar.

2.     Merobah Sistem Pemahaman Agama.

Konflik  yang bernuansa agama bukanlah karena agama yang dianutnya itu mengajarkan untuk  konflik. Karena cara umat memahami ajaran agamanyalah yang menyebabkan mereka menjadi termotivasi untuk melakukan konflik. Keluhuran  ajaran agama masing-masing hendaknya tidak di retorikakan secara berlebihan. Retorika yang berlebihan dalam mengajarkan agama kepada umat masing-masing menyebabkan umat akan merasa dirinya lebih superior dari pemeluk agama lain. Arahkanlah pembinaan kehidupan beragma untuk menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang dianut. Misalnya, semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup sabar menghadapi proses kehidupan ini. Menjadi lebih tabah menghadapi berbagai AGHT (ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan) dalam menghadapi hidup ini. Rela berkorban demi kepentingan yang lebih mulia. Tidak mudah putus asa memperjuangkan sesuatu yang benar dan adil. Tidak mudah mabuk atau lupa diri kalau mencapai sukses. Orang yang sukses seperti menjadi kaya, pintar, menjadi penguasa, cantik, cakep, memiliki suatu power, merasa diri bangsawan. Semuanya itu dapat menyebabkan orang menjadi mabuk kalau kurang waspada membawa diri. Hal-hal yang seperti itulah yang sesungguhnya lebih dipentingkan oleh masyarakat bangsa kita dewasa ini.

3.     Mengurangi Penampilan Berhura-Hura dalam Kehidupan Beragama.

Kegiatan beragama seperti perayaan hari raya agama, umat hendaknya mengurangi bentuk perayaan dengan penampilan yang berhura-hura. Seperti menunjukan existensi diri secara berlebihan, bahwa saya adalah umat yang hebat dan besar banyak pengikut  dll. Hal ini sangat mudah juga memancing konflik. Karena umat lain juga dapat terpancing untuk menunjukan existensi dirinya bahwa ia juga menganut agama yang sangat hebat dan luhur.

4.     Jangan Menyalah Gunakan Jabatan  Demi Agama.

Banyak oknum Pejabat kadang-kadang menjadikan jabatanya itu sebagai kesempatan untuk berbuat tidak adil demi  membantu pengembangan agama yang dianut oleh pejabat

Page 16: Kekerasan atas nama agama

bersangkutan. Dan menjadikan jabatanya itu sebagai media melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan umat agama yang dianutnya.

5.     Redam Nafsu Distinksi Untuk Menghindari Konflik Etnis.

Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari dalam dirinya. Salah satu nafsu itu ada yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini mendorong seseorang untuk menjadi lebih dari yang lainya. Kalau nafsu ini dikelola dengan baik justru akan membawa manusia menjadi siap hidup bersaing. Tidak ada kemajuan tanpa persaingan. Namun, persaingan itu adalah persaingan yang sehat. Persaingan yang sehat itu adalah persaingan yang berdasarkan noram-norma Agama, norma Hukum dan norma-norma kemanusiaan yang lainya. Namun, sering nafsu Distinksi ini menjadi dasar untuk mendorong suatu etnis bahwa mereka  adalah memiliki berbagai kelebihan dari etnis yang lainya. Nafsu Distinksi ini sering membuat orang buta akan berbagai kekuranganya. Hal inilah banyak orang menjadi  bersikap sombong  dan exlusive karena merasa memiliki kelebihan etnisnya.

Untuk membangun kebersamaan  yang setara, bersaudara  dan  merdeka mengembangkkan fungsi, profesi dan posisi, maka dalam hubungan dengan sesama dalam suatu masyarakat ada baiknya kami sampaikan pandangan Swami Satya Narayana sbb: “Agar hubungan sesama manusia menjadi harmonis, seriuslah melihat kelebihan pihak lain dan remehkan kekuarangannya. Seriuslah melihat kekurangan diri sendiri dan remehkan kelebiihan diri”.

Dengan  demikian semua pihak akan mendapatkan  manfaat dari hubungan sosial tersebut. Di samping mendapatkan sahabat yang semakin erat, juga mendapatkan  tambahan pengalaman positif dari sesama dalam pergaulan sosial. Dengan melihat kelebiihan sesama maka akan semakin  tumbuh rasa persahabatan yang semakin kekal. Kalau kita lihat kekurangannya maka kita akan terus merasa jauh  dengan  sesama dalam hubungan sosial  tersebut.

Demikiian sumbangan pikiran ini semoga ada gunaya.

Makalah  ini  dibawakan dalam dialog Pemuda bersama Pemuka Agama dengan Thema “Mencari Solusi Idial dalam Menyikapi/ Merespon Konflik Agama dan Etnis di Indonesia”. Dialog ini diadakan di Jakarta dari tgl 27 s/d 30 Agustus 2000 oleh DPP KNPI.

Page 17: Kekerasan atas nama agama

.2 Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :

a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :

1.       Pembunuhan masal (genosida)

Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,

etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan (UUD No.26/2000

Tentang Pengadilan HAM)

2.      Kejahatan KemanusiaanKejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang

ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara

paksa, pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.

b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :

1. Pemukulan

2. Penganiayaan

3. Pencemaran nama baik

4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya

5. Menghilangkan nyawa orang lain

2.3 Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan

keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak

pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang

lain, menjarah dan lain-lain. Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam

interaksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat.

Page 18: Kekerasan atas nama agama

Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat.

Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiiwa

besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi

dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, seperti :

a. Kasus Tanjung Priok (1984)

Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang

berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi

pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan

dan penembakan.

b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya

Porong, Jatim (1994)

Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT

Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan

diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan

pembunuhan.

c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)

Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian

Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan

sudah tewas.

d. Peristiwa Aceh (1990)

Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik

dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga

dipicu oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh

merdeka.

e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)

Page 19: Kekerasan atas nama agama

Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para

aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang

dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).

2.4   Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Lingkungan Sekitar

1.      Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih pembinaan

yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun 2003.

2.      Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada suatu mata

kuliah kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan kepada setiap

mahasiswa.

3.      Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM terhadap

para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan di pinggir jalan

sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.

4.      Para pedagang tradisioanal yang berdagang di pinggir jalan merupakan pelanggaran

HAM ringan terhadap pengguna jalan sehingga para pengguna jalan tidak bisa

menikmati arus kendaraan yang tertib dan lancar.

5.      Orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu jurusan

tertentu dalam kuliahnya merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga

seorang anak tidak bisa memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.

2.5 Instrumen Nasional HAM

1. UUD 1945 : Pembukaan UUD 1945, alenia I – IV; Pasal 28A sampai dengan 28J;

Pasal 27 sampai dengan 34

2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

3. UU No. 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

4. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5.UU No. 7 Tahun 1984 tentang Rativikasi Konvensi PBB tentang penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

Page 20: Kekerasan atas nama agama

6.UU No. 8 tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan

Perlakuan atau penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan

Martabat Manusia

7.UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 mengenai

pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk

untuk Anak

8.UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang hak-hak

ekonomi, Sosial dan Budaya

9. UU No. 12 tahun 2005 tentang Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan

Politik

2.6  Upaya mengatasi pelanggaran hak asasi manusiaUpaya penanganan pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, sedangkan untuk kasus

pelanggaran HAM yang biasa diselesaikan melalui pengadilan umum.Beberapa upaya

yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari untuk menghargai

dan menegakkan HAM antara lain dapat dilakukan melalui perilaku sebagai berikut

1. Mematuhi instrumen-instrumen HAM yang telah ditetapkan.

2. Melaksanakan hak asasi yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab.

3. Memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki

kewajiban asasi yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.

5. Menghormati hak-hak orang lain.

BAB IIIPENUTUP

3.1   Kesimpulan            HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan

kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal

yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.

Page 21: Kekerasan atas nama agama

Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI,

dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok

atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan

peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara

peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.

Page 22: Kekerasan atas nama agama

Permasalahan dan Penegakan HAM di Indonesia dan Contoh-contohnya

    Sejalan dengan amanat Konstitusi, Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan merupakan satu kesatuanyang tidak dapat di pisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya. Sesuai dengan pasal 1 (3), pasal 55, dan 56 Piagam PBB upaya pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan melalui sutu konsep kerja sama internasional yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesederajatan, dan hubungan antar negaraserta hukum internasional yang berlaku.Program penegakan hukum dan HAM meliputi pemberantasan korupsi, antitrorisme, serta pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.

   Kegiatan-kegiatan pokok penegakan hukum dan HAM meliputi hal-hal berikut:   1. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dari 2004-2009 sebagai       gerakan nasional.   2. Peningkatan efektifitas dan penguatan lembaga / institusi hukum ataupun lembaga yang       fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi manusia   3. Peningkatan upaya penghormatan persamaan terhadap setiap warga Negara di depan hukum melalui keteladanan kepala Negara beserta pimpinan lainnya untuk memetuhi/ menaati       hukum dan hak asasi manusia secara konsisten serta konsekuen   4. Peningkatan berbagai kegiatan operasional penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam       rangka menyelenggarakan ketertiban sosial agar dinamika masyarakat dapat berjalan       sewajarnya.   5. Penguatan upaya-upaya pemberantasan korupsi melalui pelaksanaan Rencana, Aksi       Nasional Pemberantasan Korupsi.   6. Peningkatan penegakan hukum terhadao pemberantasan tindak pidana terorisme dan       penyalahgunaan narkotika serta obat lainnya.   7. Penyelamatan barang bukti kinerja berupa dokumen atau arsip/lembaga Negara serta       badan pemerintahan untuk mendukung penegakan hukum dan HAM.   8. Peningkatan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektifitas penegakan hukum dan       HAM.   9. Pengembangan system manajemen kelembagaan hukum yang transparan.  10. Peninjauan serta penyempurnaan berbagai konsep dasar dalam rangka mewujudkan proses       hukum yang kebih sederhana, cepat, dan tepat serta dengan biaya yang terjangkau oleh       semua lapisan masyarakat.

   Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :

   a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :

   1. Pembunuhan masal (genosida)      Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan       atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan       cara melakukan tindakan kekerasan (UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM)   2. Kejahatan Kemanusiaan

Page 23: Kekerasan atas nama agama

      Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang       ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara       paksa, pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.

   b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :      1. Pemukulan      2. Penganiayaan      3. Pencemaran nama baik      4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya      5. Menghilangkan nyawa orang lain

   contoh-contoh pelanggaran HAM di Indonesia :

   a. Kasus Tanjung Priok (1984)      Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi  pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.

   b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong,            Jatim (1994)      Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT. Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.

   c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)      Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas         yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.

   d. Peristiwa Aceh (1990)      Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.

   e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)      Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).

   f. Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada suatu mata kuliah       kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan kepada setiap mahasiswa.

   g. Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih pembinaan yang         menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun 2003.

   h. Masyarakat kelas bawah mendapat perlakuan hukum kurang adil, bukti nya jika masyarakat bawah membuat suatu kesalahan misalkan mencuri sendal proses hukum nya sangat cepat, akan

Page 24: Kekerasan atas nama agama

tetapi jika masyarakat kelas atas melakukan kesalahan misalkan  korupsi, proses hukum nya sangatlah lama

2.5 Upaya pencegahan pelanggaran HAM di Indonesia    Upaya pencegahan pelanggaran HAM di Indonesia dapat dilakukan dengan beberapa hal diantaranya :

    1. Melakukan pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka        melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.

    2. Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih terjadi.

    3. Mematuhi instrumen-instrumen HAM yang telah ditetapkan.

    4. Melaksanakan hak asasi yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab.

    5. Memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki kewajiban asasi yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

    6. Tidak semena-mena terhadap orang lain.

    7. Menghormati hak-hak orang lain.

BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

    HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.