kalkulus dasar 1.0

238
0 KALKULUS DASAR S= a b 1+ dy dx dx f ' ( x) =lim Δ x→ 0 f ( x + Δx ) f ( x) Δx Untuk Sekolah Menengah Atas dan Awal Universitas a b f ( x) a b f ( x ) dx + f ( b) 2 + f ( a) 2 versi

Upload: sunkar-e-gautama

Post on 04-Aug-2015

637 views

Category:

Documents


72 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kalkulus Dasar 1.0

Paradoks Softbook Publisher

0

KALKULUS DASAR

S=∫a

b

√1+ dydx

dx

f ' ( x )= limΔ x →0

f ( x+Δ x )−f ( x)Δ x

Untuk Sekolah Menengah Atas dan Awal Universitas

Sunkar E. Gautama

∑a

b

f (x )≅∫a

b

f ( x )dx+f (b)

2+

f ( a )2

versi 1.0

Page 2: Kalkulus Dasar 1.0

1

Page 3: Kalkulus Dasar 1.0

Sunkar E. Gautama© Paradoks Softbook Publisherhttp://paradoks77.blogspot.com For free

2

KALKULUS DASARUntuk Sekolah Menengah Atas dan Universitasversi 1.0

Page 4: Kalkulus Dasar 1.0

Judul buku : Kalkulus Dasar – Untuk Sekolah Menengah Atas dan Universitas

Edisi : 1.0

Penulis : Sunkar Eka Gautama

Tahun terbit : 2012

1 12

Kata Pengantar

3

Open source:

Buku ini ditujukan untuk disebarkan secara cuma-cuma demi dunia

pendidikan di Indonesia. Tiap orang berhak untuk mencetak atau

mengeditnya, bahkan diperbolehkan membuat buku non-komersial

baru berdasarkan buku ini dengan mencantumkan judul buku yang

menjadi platform, nama pengarang, dan penerbit online Paradoks

Softbook Publisher pada sampul buku Anda.

Dilarang keras mengomersialkan buku ini tanpa izin penerbit!

Penerbit online Paradoks Softbook Publisher

Kritik, saran, koreksi, dan pertanyaan:

http://paradoks77.blogspot.com

[email protected]

Page 5: Kalkulus Dasar 1.0

Tidak terasa buku ke-dua saya yang berjudul Kalkulus Dasar ini kelar juga.

Menyelesaikan buku ini di sela-sela kuliah dan kerja ternyata cukup sulit. Namun

dilatarbelakangi semangat yang kuat melihat masih cukup minimnya buku-buku

kalkulus dasar yang ditulis berbasis konseptual, akhirnya dalam tempo lima bulan

buku ini bisa diselesaikan. Penyusunan buku berbasis konseptual ini dipilih karena

buku-buku berbasis ikhtisar jarang yang dapat mengantar pembaca mengenal

seluk-beluk materi dalam buku, mengapa ini begini dan mengapa itu begitu. Apalagi

jika bukunya buku matematika, jelaslah matematika akan tampak bagaikan

monster.

Atas terselesaikannya buku ini, penulis berterima kasih kepada segenap

materi-energi yang berkontribusi dalam pembuatan buku ini, khususnya kepada

orangtua penulis, MS Word, Cindy (atas bantuannya mengetikkan beberapa bagian

tulisan), serta saudara Aldytia, Ariansyah, Nur Hidayat, dan Akbar yang sudi

menemani ngopi dan ngobrol di bawah pohon tatkala penulis jenuh,

Alih-alih mengonversi buku ini ke format pdf, berdasarkan ilham yang

didapat penulis memutuskan tetap menggunakan format docx sehingga buku ini

benar-benar open source, boleh dikopi, disunting, dan dicetak semaunya. Hak cipta

adalah bagian tak terpisahkan dari suatu karya, tapi untuk buku saya, hak ciptanya

tidak dilindungi undang-undang – semata-mata untuk pendidikan di Indonesia.

Karena merupakan edisi perdana, penulis memohon maaf atas kesalahan-

kesalahan teknis maupun non-teknis pada buku ini – tolong tidak hanya dimaklumi,

tetapi juga dilaporkan oleh pembaca yang budiman demi kepentingan koreksi buku

ini pada revisi selanjutnya. Akhir kalimat, terima kasih telah menggunakan buku ini.

Salam hangat.

Makassar, Oktober 2012

Penulis

4

Page 6: Kalkulus Dasar 1.0

Daftar Isi

Kata Pengantar 4

Daftar Isi 5

Pendahuluan 7

1. Himpunan dan Fungsi 8

1.1. Himpunan dan Bilangan 8

1.2. Definisi Fungsi 13

1.3. Beberapa Jenis Fungsi 17

1.4. Operasi pada Fungsi 26

2. Limit 29

2.1. Definisi Limit 29

2.2. Limit Fungsi Aljabar 33

2.3. Teorema Limit 44

2.4. Limit Fungsi Trigonometri 45

2.5. Kontinyuitas Suatu Fungsi 47

3. Turunan 49

3.1. Turunan Fungsi di Suatu Titik 49

3.2. Turunan Fungsi Aljabar 56

3.3. Turunan Fungsi Trigonometri 60

3.4. Turunan Fungsi Komposit dan Aturan Rantai 62

3.5. Turunan Tingkat Tinggi (Orde Tinggi) 65

3.6. Turunan Fungsi Implisit 69

3.7. Turunan Fungsi Pangkat Irasional 69

3.8. Analisis Gradien dan Nilai Ekstrim 70

4. Integral 78

4.1. Integral sebagai Anti-Turunan 78

4.2. Notasi Integral 79

5

Page 7: Kalkulus Dasar 1.0

4.3. Integral sebagai Luas Daerah di Bawah Kurva 81

4.4. Beberapa Bentuk Integral 85

4.5. Metode Substitusi 88

4.6. Integral Parsial 95

4.7. Integral Fungsi Rasional 101

4.8. Integral Tentu 104

5. Turunan Parsial dan Turunan Berarah 115

5.1. Fungsi n Variabel 115

5.2. Turunan Parsial 117

5.3. Aturan Rantai Fungsi Implisit 119

5.4. Diferensial Total dan Hampiran 123

5.5. Gradien dan Turunan Berarah 126

6. Aplikasi Turunan dan Integral 129

6.1. Aplikasi Turunan 129

6.2. Aplikasi Integral 139

7. Deret Tak Hingga 147

7.1. Deret Tak Hingga 147

7.2. Deret Pangkat 153

7.3. Deret Taylor dan MacLaurin 154

7.4. Turunan dengan Bantuan Deret 155

8. Pengantar Persamaan Diferensial 157

8.1. Konsep Persamaan Diferensial 157

8.2. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu 159

8.3. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua 159

Daftar Pustaka 164

6

Page 8: Kalkulus Dasar 1.0

Pendahuluan

Kalkulus diferensial pertama kali dirumuskan oleh Leibniz dan Newton

secara terpisah. Sebelumnya, pada abad ke-19, seorang matematikawan Prancis

bernama Augustin-Louis Cauchy (1789 – 1857) merumuskan konsep limit yang

menjadi dasar dari kalkulus diferensial.

Kalkulus diferensial kemudian berkembang menjadi alat yang luar biasa

dalam pemecahan problem matematis yang sulit dinalarkan secara aritmatika.

Sebagai contoh sederhana, dengan integral kita dapat menghitung volume benda

yang merupakan rotasi dari fungsi f ( x ) dengan batas tertentu. Dengan kalkulus

diferensial sistem-sistem fisis dapat dimodelkan mulai dari momen inersia,

gerak benda yang kompleks, atmosfer bintang, hingga struktur jagat raya.

Belakangan ini, pemodelan matematis semakin rumit sehingga

penyelesaiannya harus dikerjakan dengan bantuan komputer yang kemudian

membuat cabang matematika baru, yakni metode numerik. Baik menggunakan

metode analitik maupun numerik, kalkulus merupakan salah satu senjata

utamanya.

Adapun tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan penyusunan buku

ini bagi pembaca antara lain adalah:

Dengan penyusunan buku berbasis konseptual, diharapkan pembaca

mengetahui dan memahami konsep dan definisi limit, turunan, dan integral.

Dapat menyelesaikan persoalan-persoalan matematis ataupun pemodelan

yang memerlukan bantuan kalkulus diferensial.

Memiliki modal yang cukup mengenai dasar matematis kalkulus untuk

mempelajari ilmu matematika dan ilmu alam pada tingkat lanjut.

Dapat menyelesaikan problem sehari-hari dengan lebih baik menggunakan

analogi kalkulus diferensial.

7

Page 9: Kalkulus Dasar 1.0

Bab 1 Himpunan dan Fungsi

1. HIMPUNAN DAN BILANGAN

Sebelum membahas lebih jauh mengenai fungsi, ada baiknya kita

mempelajari atau menyegarkan kembali ingatan kita mengenai himpunan dan

bilangan. Mengapa hal ini penting? Yang pertama, fungsi terlibat dengan

himpunan. Fungsi tidak lain adalah aturan pemetaan dari satu himpunan ke

himpunan yang lain. Yang kedua, buku ini adalah buku matematika, jadi jelas

saja isi dari himpunan-himpunan yang akan dibahas adalah bilangan. Jika Anda

mendapati himpunan yang dibahas dalam buku ini berisikan binatang, jangan

khawatir, Anda tidak sedang membaca buku zoologi, ini cuma sekadar pengantar

ke pemahaman matematisnya.

1.1. Definisi Himpunan

Dalam pengertian umum, himpunan tidak lain adalah kumpulan

objek-objek tertentu yang memiliki setidaknya satu kesamaan, yakni syarat

yang diperlukan untuk bisa dimasukkan dalam himpunan tadi. Misalkan

kambing, sapi, dan kerbau dapat dikategorikan sebagai hewan

memamahbiak sebab mereka memenuhi syarat untuk bisa dimasukkan

dalam kelompok hewan memamahbiak karena: mereka memang

memamahbiak. Hal terpenting dalam himpunan ialah tidak boleh ada dua

benda yang sama dimasukkan dua kali. Semua objek-objek dalam himpunan

haruslah berbeda karena jika tidak akan terjadi penggelembungan suara.

Namun dalam lain kasus, kita tidak perlu mempunyai syarat yang

jelas ataukah kita tidak perlu menjelaskan syarat suatu himpunan. Kita

katakan saja himpunan A berisikan tomat, tempe, daging sapi, dan es

campur. Kita cukup mendeklarasikan elemen-elemen suatu himpunan tanpa

8

Page 10: Kalkulus Dasar 1.0

menjelaskan syaratnya (meskipun ada syarat dibaliknya, misal barang-

barang yang ada di kulkas rumah saya).

Oke, dalam matematika himpunan disimbolkan dengan huruf kapital

semisal A, B, C, dan lain-lain. Objek-objek dalam himpunan (elemen-

elemennya) disimbolkan dengan huruf kecil. Untuk memerikan suatu

himpunan, elemen-elemennya dapat dituliskan dalam tanda kurung

kurawal.

A={1,2,3,4,5 }

B={1,3,5,7 , …}

Atau kita dapat menuliskan deskripsi (syarat) elemen dari suatu

himpunan.

A={x∨1≤ x ≤ 5; x∈Z }

B={x∨x=2 n−1 ;n∈N }

Simbol N , Z , Q, R ,dan C masing-masing menyatakan bilangan asli

(1,2,3,…), bilangan bulat/integer (…,-1,0,1,2,…), bilangan rasional

Q={x∨x=ab

;a , b∈Z , b≠ 0 }, bilangan riil (rasional dan irasional), dan

bilangan kompleks (bilangan riil dan imajiner), sedangkan simbol ∈ dibaca

“elemen dari”. Himpunan juga dapat digambarkan dalam skema berupa area

tertutup yang merepresentasikan himpunan dan di dalamnya terdapat

elemen-elemen dari himpunan yang dimaksud.

Selain mendefinisikan elemen dari suatu himpunan, biasanya

terdapat hubungan antara dua atau lebih himpunan. Hubungan-hubungan

yang mungkin antara lain ialah:

1. Irisan/intersection (∩)

Misalkan himpunan A berisikan hewan-hewan yang dapat terbang

sebagai berikut A = {merpati, elang, lalat, kelelawar} dan himpunan B

berisikan mamalia sebagai berikut B = {anjing, kuda, paus, kelelawar}.

Perhatikan bahwa kelelawar (atau kalelawar ya?) merupakan elemen

dari himpunan A dan B, dengan kata lain himpunan A dan B beririskan di

9

Page 11: Kalkulus Dasar 1.0

kelelawar, dinotasikan: kelelawar=A ∩B (dibaca: kelelawar sama

dengan A iris B).

2. Gabungan/union (∪)

Misalkan siswa-siswi SMA Putus Harapan (sebut himpunan A) terbagi

menjadi dua jurusan, yakni IPA (himpunan B) dan IPS (himpunan C).

Artinya bila himpunan B digabung dengan himpunan C akan menjadi

himpunan A, dinotasikan: A=B∪C (dibaca: A sama dengan B gabung C).

3. Himpunan bagian/subset (⊂) dan himpunan induk/superset (⊃)

Berkaitan dengan poin nomor 2, bagaimanakah jika SMA Putus Harapan

terbagi menjadi tiga jurusan yakni IPA, IPS, dan bahasa (sebut himpunan

D)? Tidak benar jika kita menuliskan B∪C=A karena A juga berisikan C,

yang benar adalah B∪C∪D=A. Tetapi benar juga jika kita mengatakan

B adalah himpunan bagian (subset) dari A, dinotasikan: B⊂ A (dibaca: B

subset dari A). Ataukah dengan bahasa yang sedikit berbeda kita dapat

mengatakan A adalah himpunan induk (superset) dari B, dinotasikan:

A⊃B (dibaca: A superset dari B).

1.2. Bilangan Riil (Real Number)

Dari penjelasan sebelumnya tentang himpunan, dapat kita tuliskan

N⊂Z⊂Q⊂R⊂C . Sebelum bilangan riil dikonsepkan, orang dulunya

mengira semua panjang dapat dinyatakan dalam bilangan rasional, x=ab

dengan a ,b∈Z , b≠ 0. Tetapi setelah Pythagoras mengemukakan

teoremanya, diketahui bahwa panjang sisi miring segitiga siku-siku dengan

sisi-sisi yang berpenyiku sama dengan 1 ialah √2, yang mana tidak dapat

dinyatakan dalam bentuk rasional. Bilangan-bilangan yang tidak dapat

dibawa dalam bentuk rasional selanjutnya dinamakan bilangan irasional.

Ciri-ciri bilangan irasional ialah bila dituliskan dalam bentuk desimal

menghasilkan bilangan dengan angka di belakang koma tak hingga

panjangnya dan tidak memiliki suatu pola berulang yang tetap. Misalkan

bilangan π=3,14159265358979323846264 … memiliki tak hingga angka di

10

Page 12: Kalkulus Dasar 1.0

belakang koma yang susunannya tidak memiliki pola. Tetapi bilangan

0.69230769230769230769… bukanlah bilangan irasional meskipun angka

di belakang komanya tak hingga panjangnya karena susunannya memiliki

pola berulang. Terbukti, 0.69230769230769230769… dapat diubah ke

dalam bentuk pecahan yakni 9

13.

Bilangan riil (R) merupakan gabungan dari bilangan rasional dan

bilangan irasional. Bilangan riil didefinisikan sebagai semua [titik] bilangan

yang berada sepanjang garis datar (misal sumbu X).

1.3. Selang (Interval)

Ada tak hingga banyaknya bilangan riil, dan seringkali kita hanya

ingin meninjau bilangan-bilangan riil dalam selang tertentu saja. Suatu

selang biasanya dapat dinyatakan dalam ketaksamaan, semisal a< x<b yang

berarti nilai-nilai x berada di antara a dan b. Selang seperti ini disebut

selang terbuka, dan biasa dinotasikan juga sebagai (a ,b). Adapun selang

semacam a ≤ x≤ b berarti nilai-nilai x dari a hingga b. Selang seperti ini

disebut selang tertutup yang biasa juga dinotasikan sebagai [a , b]. Jadi

dalam selang tertutup batasnya juga dimasukkan dalam himpunan,

sedangkan dalam selang terbuka tidak. Semua elemen yang mungkin dalam

bilangan real dapat dinotasikan sebagai −∞<x<∞ atau (−∞,∞).

Beberapa contoh selang yang mungkin ialah ¿, ¿, (−∞,b), (a ,∞), ¿,

dan ¿. Cobalah Anda terjemahkan maksudnya.

1.4. Koordinat Kartesius

Dalam menggambarkan letak/koordinat suatu titik biasanya

digunakan suatu sistem koordinat. Mengingat nilai input dan hasil output

fungsi dapat dianggap sebagai koordinat, maka titik itu juga dapat

digambarkan dalam sistem koordinat. Salah satu yang paling umum

digunakan ialah koordinat kartesius. Dalam koordinat kartesius terdapat

sumbu-sumbu orientasi arah berupa garis riil yang lurus dan saling tegak

11

Page 13: Kalkulus Dasar 1.0

X

654321

-1-2-3-4-5-6

X

Y

-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6

A = (4,3)

B = (-2,-5)

Y

y = f(x)

0

lurus (ortogonal) satu sama lain. Jika kita menggambarkan letak titik dalam

dua dimensi, maka hanya diperlukan dua sumbu (misal X dan Y) untuk

menunjukkan arah atas, bawah, kiri, dan kanan. Begitu pula bila ingin

menggambarkan letak titik dalam tiga dimensi, diperlukan tiga sumbu

orientasi (misal X, Y, dan Z).

Jika terdapat suatu titik A dalam koordinat kartesian dua dimensi,

proyeksi titik A ke sumbu X disebut sebagai nilai komponen x dari titik A

dan proyeksi titik A ke sumbu Y disebut sebagai nilai komponen y dari titik

A sehingga dapat dituliskan letak titik A sebagai A ( x A , y A ). Untuk pemetaan

suatu fungsi, dengan meletakkan nilai-nilai input pada satu sumbu

(misalkan sumbu X) nilai-nilai output diletakkan pada sumbu lainnya

(sumbu Y), maka lokasi pasangan nilai (input-output) dapat diperoleh

dengan menghubungkan komponen x (input) dan komponen y (output)-nya.

Gambar 1.1. Letak titik A = (4,3) dan B = (-2,-5) digambarkan dalam koordinat kartesius 2D (kiri) dan fungsi f(x) yang direpsentasikan sebagai kumpulan titik-titik digambarkan dalam koordinat kartesiuas (kanan).

12

Page 14: Kalkulus Dasar 1.0

2. DEFINISI FUNGSI

Pernahkah Anda masuk ke kebun binatang atau wahana hiburan?

Biasanya tiket masuknya bervariasi: orang dewasa Rp 100.000,00, di bawah 12

tahun Rp 50.000.00, dan balita gratis. Yeah, ini adalah salah satu bentuk fungsi!

Mungkin Anda juga pernah mendengar rumus kesetaraan massa-energi dari

Einstein, E=m c2, persamaan itu juga merupakan fungsi. Lalu apa bedanya fungsi

dan persamaan? Mari temukan penjelasannya di bawah ini.

2.1. Pemetaan

Pemetaan ialah proses menghubungkan suatu input terhadap

outputnya berdasarkan relasi/syarat/aturan. Jadi hal yang penting dalam

pemetaan adalah input, relasi, dan output. Biasanya kita telah memilki nilai-

nilai input yang jelas, juga telah memiliki relasi yang telah ditentukan.

Dengan memasukkan nilai-nilai input ke dalam mesin pemroses (relasi),

maka keluar nilai outputnya. Dengan begitu kita dapat menghubungkan

nilai-nilai input dengan nilai output yang dihasilkannya, inilah pemetaan!

Himpunan dari nilai-nilai input itu disebut daerah asal (domain), sedangkan

himpunan dari nilai-nilai output disebut daerah hasil (codomain).

Pemetaan dapat digambarkan melalui diagram yang mudah

dimengerti, mudah digambarkan di atas kertas, tetapi cukup menjengkelkan

jika harus digambarkan dengan MS Word. Misalkan pemetaan hewan-

hewan (sebagai input) terhadap makanannya (sebagai output). Jadi

relasinya adalah “memakan”.

13

Page 15: Kalkulus Dasar 1.0

kuda •

macan tutul •

kambing •

paus biru •

ikan gabus •

kucing hutan •

• kelinci

• rumput

• kril

• ikan mas

• mi instan .rasa soto

memakanAB

Gambar 1.2. Diagram panah yang menggambarkan pemetaan dari A ke B.

Pada diagram di atas terlihat beberapa elemen dari daerah asal

terpetakan lebih dari satu nilai di daerah hasil (contohnya kucing hutan

terpetakan di kelinci dan ikan mas). Begitu pula beberapa elemen dari

daerah asal terpetakan pada nilai yang sama di daerah hasil (misalkan

macan tutul dan kucing hutan sama-sama terpetakan di kelinci). Ada pula

pemetaan di mana tiap elemen dari daerah asal tepat terpetakan pada satu

elemen di daerah hasil, menghasilkan pasangan-pasangan domain-

codomain. Pemetaan semacam ini disebut pemetaan satu-satu.

2.2. Definisi Fungsi

Telah dijelaskan bahwa komponen-komponen utama pemetaan

adalah input (domain), proses (relasi), dan output (codomain). Jika relasinya

berbentuk sedemikian rupa sehingga satu nilai input hanya memiliki satu

nilai output, maka relasi itu disebut fungsi (relasi adalah hipernim dari

fungsi). Meskipun demikian, tetap masih ada kerancuan mengenai definisi

ini jika diterapkan untuk bilangan. Untuk lebih jelas, perhatikan gambar di

bawah ini.

14

Page 16: Kalkulus Dasar 1.0

••••

••••

••••

••••

••••

••••

••••

••••

a b c d

Gambar 1.3. Macam-macam kemungkinan diagram panah.

Pada gambar di atas, diagram a dan c merupakan pemetaan fungsi,

karena tiap elemen dari daerah asal hanya terpetakan satu kali. Pada

diagram b ada satu titik dari daerah asal yang tidak terpetakan (nol kali) dan

pada diagram d ada satu titik yang terpetakan dua kali, sehingga relasinya

bukanlah fungsi.

Mungkin Anda telah paham tentang syarat fungsi. Berikut beberapa

contoh mana yang fungsi dan mana yang bukan fungsi. Cobalah Anda

temukan mengapa mereka disebut fungsi atau bukan fungsi.

Contoh fungsi:

1. y=x+1

2. y=2 x2+3 x−1

3. If round(x/2) – (x/2) = 0; genap

else; ganjil

Contoh yang bukan fungsi

1. y=√25−x2

2. y= x0

3. Yang guru ke kelompok A, pengusaha ke kelompok B

Sampai sejauh ini fungsi-fungsi yang dibahas hanyalah fungsi satu

variabel, atau dengan bahasa sehari-hari hanya ada satu faktor yang

menjadi syarat pemetaan. Untuk sementara hal ini dianggap cukup.

Meskipun demikian, fungsi banyak variabel tetap akan dibahas pada bab 5.

15

Page 17: Kalkulus Dasar 1.0

2.3. Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil

Perhatikan grafik fungsi sin x, cos x , x2, dan x3 di bawah ini.

Gambar 1.4. Fungsi genap dan fungsi ganjil.

Jika diperhatikan dengan baik, pada fungsi sin x dan x3 berlaku

f (−x )=−f (x ) (1.1)

Jika memenuhi definisi dari persamaan 1.1, fungsi tersebut

dikategorikan sebagai fungsi ganjil. Sekerang coba perhatikan fungsi cos x

dan x2, diperoleh

f (−x )=f (x ) (1.2)

Jika memenuhi definisi dari persamaan 1.2, fungsi tersebut

dikategorikan sebagai fungsi genap. Pada fungsi genap jelas terlihat sumbu

Y berlaku sebagai cermin, atau kurva di daerah X−¿¿ merupakan

pencerminan dari kurva di daerah X+¿ ¿. Dari definisi ini, buktikanlah

pemangkatan dengan bilangan genap dari semua fungsi riil merupakan

fungsi genap, sedangkan pemangkatan dengan bilangan ganjil tidak

merubah kelas fungsinya.

16

Page 18: Kalkulus Dasar 1.0

3. BEBERAPA JENIS FUNGSI

Kita telah cukup banyak membahas mengenai fungsi. Berikutnya akan

diberikan beberapa jenis fungsi yang sering muncul dalam keseharian dan ujian

Anda.

3.1. Fungsi Polinom

Fungsi polinom ialah fungsi yang berbentuk

f ( x )=a0+a1 x+a2 x2+…+an xn

Dengan n bilangan bulat non-negatif dan a0 , a1 ,…,an adalah tetapan

riil.

Jika an≠ 0, dikatakan derajat atau orde polinom tersebut adalah n. Jika

n = 0, maka fungsi tersebut menjadi f ( x )=a0 untuk semua nilai x. Fungsi

seperti itu disebut fungsi konstan.

3.2. Fungsi Rasional

Fungsi rasional ialah fungsi yang berbentuk pembagian dua fungsi

polinom, yaitu:

f ( x )=a0+a1 x+a2 x2+…+an xn

b0+b1 x+b2 x2+…+bn xn

Dengan syarat penyebutnya tidak sama dengan nol untuk semua nilai

x (syarat perlu pembilang ≠ 0).

3.3. Fungsi Irasional

Fungsi irasional adalah fungsi yang memuat tanda penarikan akar.

Contohnya f ( x )=x+ 3√ x3−2 x.

3.4. Fungsi Nilai Mutlak

17

Page 19: Kalkulus Dasar 1.0

Nilai mutlak didefinisikan sebagai

|x|=x; bila x≥ 0

|x|=−x; bila x<0Misalnya |7|=7, |0|=0, dan |−7|=− (−7 )=7.Dari definisi di atas terlihat bahwa untuk setiap bilangan riil x berlaku |x|≥ 0.Salah satu cara mudah untuk membayangkan nilai mutlak ialah jarak

(suatu skalar, tidak memilki arah). |x| adalah jarak x dari titik (0,0), begitu

pula |x−a| ialah jarak antara x dengan a. Dari definisi nilai mutlak ini,

didapati pula sifat nilai mutlak dalam suatu ketaksamaan yakni

|x|<a; berarti – a<x<a (1.3.a)|x|>a; berarti x←a atau x>a (1.3.b)Berikut ini ialah sifat-sifat nilai mutlak dalam operasi aljabar1. |ab|=|a||b|

2. |ab|=|a|

|b|3. |a+b|≤|a|+|b|

Contoh:

1. Selesaikanlah ketaksamaan |x−7|<2!

Jawab:

Mengingat sifat nilai mutlak pada pers. 1.3.a, dapat diperluas menjadi

|f ( x )|<a; berarti – a< f (x )<a, sehingga−2<x−7<2

Tambahkan masing-masing ruas dengan 7, diperoleh

5<x<9

Jadi himpunan penyelesaiannya ada dalam selang (5,9 ).

2. Selesaikanlah ketaksamaan |4 x−8|≥ 12!

18

Page 20: Kalkulus Dasar 1.0

Jawab:

Mengingat sifat nilai mutlak pada pers. 1.3.b, dapat diperluas menjadi

|f ( x )|≥ a; berarti f ( x ) ≤−a atau f ( x ) ≥ a, sehingga4 x−8 ≤−12 atau 4 x−8 ≥12

Tambahkan masing-masing ruas dengan 8, diperoleh

4 x≤−4 atau 4 x≥ 20

sehingga x≤−1 atau x≥ 5

Jadi himpunan penyelesaiannya ada dalam selang (∞ ,−1 ]∪¿.

3. Selesaikanlah ketaksamaan |4−x|≤ 2!

Jawab:

−2 ≤ 4−x≤ 2

−6 ≤−x ≤−2

Kalikan semua ruas dengan -1 (ingat jika ketaksamaan dikalikan dengan -1 maka

tandanya berbalik, seperti bila 2<4, maka −2>−4).

6 ≥ x≥ 2 atau 2 ≤ x ≤6. Jadi himpunan penyelesaiannya berada dalam selang [2,6].

Setelah mempelajari “operasi” nilai mutlak, sekarang kita akan

membahas fungsi nilai mutlak. Ingatlah kembali bahwa jika ada tanda nilai

mutlak, maka fungsi itu berubah sifatnya pada titik yang ditunjukkan oleh

subfungsi dalam tanda nilai mutlak itu. Misalkan f ( x )=3−2|4 x+2|, maka

fungsi f ( x ) akan berubah sifat di titik 4 x+2=0 atau x=−0,5. Jadi fungsi nilai

mutlak f ( x ) dapat kita pecah menjadi dua bagian, yakni:

f ( x )={−8 x−1 ; jika x ≥−0,58 x+7 ; jika x←0,5

Berikut grafiknya:

19

Page 21: Kalkulus Dasar 1.0

Gambar 1.5. Grafik fungsi nilai mutlak f ( x )=3−2|4 x+2|.

Satu contoh lagi, misalkan f ( x )=x|x|+|x−3|. Terdapat dua tanda

mutlak, sehingga terdapat dua titik di mana f ( x ) akan berubah sifat. Kedua

titik itu ialah x=0 dan x−3=0 ; x=3. Perhatikan pada subfungsi dalam tanda

mutlak yang pertama, |x|, untuk x<0 maka |x|=−x, sedangkan untuk x≥ 0

maka |x|=x. Cara yang serupa dikerjakan untuk tanda mutlak yang ke-dua,

|x−3|, menghasilkan |x−3|=−x+3 untuk x<3, dan |x−3|=x−3 untuk x≥ 3.

Dengan demikian terdapat tiga selang yang memuat “fungsi baru” yang

berbeda yakni:

f ( x )={ x2+x−3; jika x≥ 3x2−x+3 ; jika 0≤ x<3−x2−x+3 ; jika x<0

3.5. Fungsi Tangga

Fungsi tangga ialah fungsi bilangan bulat terbesar. Jadi, sebelum

membahas fungsi bilangan bulat terbesar, kita bahas terlebih dahulu

“operasi” bilangan bulat terbesar. Ibarat terdapat tangga yang terdiri dari

dua puluh anak tangga di rumah Anda. Dalam hal ketinggiannya, tangga itu

kita anggap sebagai suatu selang dalam garis riil dan ketinggian tiap-tiap

anak tangga itu berada pada nilai bilangan bulat. Jika Anda berada pada

anak tangga ke-tiga, dan melangkahkan kaki maju tetapi ketinggian langkah

kaki Anda hanya sepertiga anak tangga, Anda tidak akan naik ke mana-

mana, melainkan tetap di kedudukan semula. Meskipun Anda mengangkat

20

Page 22: Kalkulus Dasar 1.0

kaki setinggi setengah, 0,9, atau 0,9999… kali tinggi anak tangga Anda tetap

tidak akan naik. Hal yang analog (tidak persis) terjadi bila Anda turun

tangga. Meskipun Anda hanya melangkah turun 0,001 kali ketinggian anak

tangga saja, Anda pastilah akan turun satu anak tangga.

Dari penggambaran di atas, dapat kita simpulkan dalam operasi

bilangan bulat terbesar (disimbolkan sebagai [|f (a )|] ), hanya dikenal

bilangan-bilangan bulat/integer. Jika f ( a ) bukan bilangan bulat maka [|f (a )|] akan bernilai sama dengan bilangan bulat terbesar yang lebih kecil dari

pada f ( a ).

Contohnya kita ambil saja operasi pada konstanta. Bila x=2,2,

terdapat bilangan bulat …, -1,0,1,2 yang lebih kecil dari 2,2, jadi [|2,2|]=2.

Dengan mudah kita ketahui [|1,7|]=1, [|3,5|]=3, [|−4,6|]=−5, dan [|10|]=10.

Secara formal dapatlah kita tuliskan

[|x|]=n jika n ≤ x<n+1

Contoh:

1. Tentukanlah aturan fungsi tangga f ( x )= [|−2 x|] dalam selang −1 ≤ x ≤1

Jawab:

Menurut definisi bilangan bulat terbesar

[|−2 x|]=n jika n ≤−2 x≤ n+1, kalikan dengan −12

pada ketiga ruas diperoleh

−n+12

≤ x≤−n2

.

Agar −1 ≤ x ≤1, pilih n=−2 ,−1,0,1, sehingga

n=−2⟹ 12< x≤ 1⟹ [|−2 x|]=−2⟹ f ( x )=−2

n=−1⟹0< x≤12⟹ [|−2 x|]=−1⟹ f ( x )=−1

n=0⟹−12< x≤ 0⟹ [|−2 x|]=0⟹ f ( x )=0

n=1⟹−1<x≤−12⟹ [|−2 x|]=1⟹ f ( x )=1

21

Page 23: Kalkulus Dasar 1.0

untuk x=−1⟹ [|−2 x|]=2⟹ f ( x )=2

Jadi aturan fungsinya adalah

f ( x )={−2 ;

12<x≤ 1

−1;0< x≤12

0 ;−12< x≤ 0

1 ;−1<x ≤−12

2 ; x=−1

3.6. Fungsi Trigonometri

Fungsi trigonometri ialah fungsi yang memuat operasi-operasi

trigonometri seperti sinus, kosinus, dan tangen.

Fungsi trigonometri merupakan perkakas dalam mengonversi suatu

sistem koordinat kartesian ke dalam koordinat polar (dengan demikian

menggunakan basis fungsi lingkaran, x2+ y2=r2) atau sebaliknya. Dalam

“ruang” dua dimensi, koordinat kartesius menyatakan posisi suatu titik

dalam jarak proyeksi ke sumbu X (yakni x) dan jarak proyeksi ke sumbu Y

(yakni y) terhadap pusat koordinat, sedangkan dalam sistem koordinat bola,

posisi suatu titik dinyatakan dalam jarak terpendek titik dari pusat

koordinat (dalam ruang datar merupakan garis lurus) yakni r dan sudut

22

Gambar 1.6. Sudut dalam lingkaran dan segitiga menggambarkan hubungan antara koordinat kartesius dan koordinat polar.

Page 24: Kalkulus Dasar 1.0

yang dibentuk antara sumbu referensi (biasanya X+) dengan r (yaitu θ).

Untuk memperoleh hubungan antara x, y, r, θ dan mengingat sifat

kesebangunan segitiga dibuatlah definisi,

sin θ= sisi dekatsisimiring

= xr

(1.4)

cosθ= sisi hadapansisimiring

= xr

(1.5)

tanθ= sisi dekatsisi hadapan

= sin θcosθ

= xy

(1.6)

Perhatikan segitiga siku-siku pada gambar 1.6, diperoleh sin α=ac

,

padahal cos β=ac

. Mengingat jumlah sudut dalam segitiga planar ialah 180 °

sehingga α=90 °−β maka diperoleh kesimpulan

sin (90 °−θ )=cosθ (1.7.a)

cos (90°−θ )=sinθ (1.7.b)

Mengingat sifat periodesitas fungsi trigonometri, dipenuhi juga

hubungan

sin (90 °+θ )=cosθ (1.7.c)

cos (90°+θ )=sin θ (1.7.d)

Hubungan penting yang lainnya ialah

sin2 θ+cos2θ=1 (1.8)

Yang dapat dibuktikan sebagai x2

r2 + y2

r2 = x2+ y2

r2 = r2

r2 =1.

Selain dinyatakan dalam satuan derajat, besar sudut juga dapat

dinyatakan dalam radian dan jam busur.

Jenis satuan sudut Sudut lingkaran penuh Keterangan

Derajat 360 ° 1 °=60'=3.600

Radian 2 π rad(rad )=( 2 π

360 )°

Jam busur 24h 1h=60m=3.600s=15 °

23

Page 25: Kalkulus Dasar 1.0

Gambar 1.7. Grafik fungsi sinus (atas, biru), cosinus (atas, merah), dan tangen (bawah, biru)

Selain itu dikenal pula fungsi cosecan, secan, dan cotangen sebagai

pangkat negatif satu dari fungsi sinus, cosinus, dan tangen atau secara

matematis diperikan sebagai

csc θ= ry= 1

sin θ(1.9)

secθ= rx= 1

cosθ(1.10)

cot θ= cscθsec θ

= xy= 1

tanθ(1.11)

24

Page 26: Kalkulus Dasar 1.0

Gambar 1.8. Grafik fungsi cosec (biru), sec (merah), dan cotangen (hijau) dalam koordinat kartesian.

Ada pula yang disebut sinus hiperbolik, cosinus hiperbolik, dan

tangen hiperbolik. Perbedaannya ialah bila fungsi trigonometri berbasis

lingkaran, maka fungsi trigonometri hiperbolik berbasis hiperbola,

x2− y2=r 2, di mana dalam kasus ini r juga merupakan jarak dari pusat ke

puncak hiperbola. Perhatikanlah gambar hiperbola x2− y2=4 dibandingkan

dengan lingkaran x2+ y2=4 di bawah ini.

Gambar 1.9. Perbandingan gambar antara hiperbola (kiri) dan lingkaran (kanan) dengan r = 2.

25

Page 27: Kalkulus Dasar 1.0

Dengan definisi yang hampir serupa dengan fungsi trigonometri

biasa, fungsi trigonometri hiperbolik didefinisikan sebagai:

sinh α= xr

(1.12)

cosh α= xr

(1.13)

tanh α= sinh αcosh α

= xy

(1.14)

Gambar 1.10. Grafik fungsi sinh (biru), cosh (merah), dan tanh (hijau) dalam koordinat kartesian.

4. OPERASI PADA FUNGSI

Tentunya fungsi yang dimaksud di sini adalah fungsi metematis.

Setidaknya terdapat dua macam operasi yang umum pada fungsi, yakni operasi

aljabar dan komposisi fungsi.

4.1. Operasi Aljabar

Fungsi-fungsi dapat saling dijumlahkan, dikurangkan, dikalikan, dan

dibagi untuk memperoleh fungsi baru. Misalkan fungsi u ( x )=3 x+4 dan

26

Page 28: Kalkulus Dasar 1.0

v ( x )=2 x−1, maka dapat kita peroleh fungsi-fungsi baru yang merupakan

hasil operasi aljabar dari kedua fungsi tadi.

1. Penjumlahan, misal f ( x )=u ( x )+v ( x )=(u+v ) ( x )

u ( x )+v ( x )=(3 x+4 )+ (2 x−1 )=5 x+3

2. Pengurangan (selisih), misal f ( x )=u ( x )−v ( x )=(u−v ) (x )

u ( x )−v ( x )=(3 x+4 )−(2 x−1 )=x+5

3. Perkalian, misal f ( x )=u ( x ) ∙ v (x)=(u∙ v ) ( x )

u ( x )+v ( x )=(3 x+4 ) (2 x−1 )=6 x2+5 x−4

4. Pembagian (rasio), misal f ( x )=u ( x )v ( x )

=( uv ) (x )

u ( x )v ( x )

=(3 x+4 )(2 x−1 )

Selain melakukan operasi aljabar antar dua fungsi atau lebih, kita

juga dapat menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan, membagi,

memangkatkan, dan menarik akar suatu fungsi dengan suatu konstanta.

Tentu saja hal ini sangat mudah sehingga penjelasan lebih lanjut dirasa

tidak perlu.

4.2. Fungsi Komposisi

Fungsi komposisi adalah gabungan dua atau lebih fungsi. Agar bisa

dikomposisikan, fungsi-fungsi itu haruslah memiliki satu peubah yang sama

ataukah fungsi yang satu merupakan peubah dari fungsi yang lain. Ibarat

mesin pintal dan mesin tenun, serat diproses dalam mesin pintal menjadi

benang yang kemudian diproses lagi dalam mesin tenun sehingga menjadi

kain.

Sebelum memulai definisi matematikanya lebih lanjut, baiknya kita

simak dulu pemahaman berikut ini.

Nilai-nilai x (bahan mentah) ingin diproses dengan fungsi

y=f ( x )=x2+1 untuk menghasilkan output-output y (bahan baku). Lalu y

akan diproses lagi dengan fungsi z=g ( y )=2 y+3 untuk menghasilkan

output-output z (bahan jadi). Jika kita tidak ingin mempedulikan proses-

27

Page 29: Kalkulus Dasar 1.0

prosesnya satu demi satu, dapatlah diringkaskan keseluruhan proses itu

dari input x menghasilkan output z, yakni:

z=g ( y )=2 y+3

z=g ( f (x ) )=2 ( x2+1 )+3=2 x2+5

Kita perolehlah ringkasan proses-prosesnya menjadi satu proses dari bahan

mentah menjadi bahan jadi yaitu z=g ( f (x ) )=2x2+5.

Dalam matematika, boleh jadi kita tidak memerlukan penamaan

berbeda untuk bahan mentah dan bahan baku, kita bisa menamakan

keduanya sebagai x. Contohnya lagi diketahui f ( x )=23

x+4 dan g ( x )=x2−2,

maka:

f ( g ( x ) )=23

( x2−2 )+4=23

x2+ 83

g (f ( x ) )=( 23

x+4 )2

−2=49

x2+ 163

x+14

Notasi f ( g ( x ) ) juga biasa dituliskan sebagai ( f ∘ g ) (x ) (dibaca fungsi f

komposisi g) dan notasi g (f ( x ) ) juga biasa dituliskan sebagai ( g∘ f ) (x ). Jelas

bahwa ( f ∘ g ) (x ) tidak mesti sama dengan ( g∘ f ) (x ). Untuk komposisi tiga

fungsi atau lebih aturan yang sama berlaku, juga penulisan f (g ( h ( x ) ) ) dapat

ditulis ( f ∘ g∘h ) ( x ).

4.3. Invers Suatu Fungsi

Jika dipenuhi suatu sifat

( f ∘ f −1 ) (x )=x (1.15.a)

atau

( f−1∘ f ) (x )=x (1.15.b)

Maka f−1(x) disebut sebagai fungsi invers dari f (x). Langkah

pertama yang perlu dilakukan untuk mencari invers dari fungsi satu

28

Page 30: Kalkulus Dasar 1.0

variabel, semisal y=f (x ) ialah dengan mengubahnya menjadi x=f ( y ).

Setelah itu Anda cukup menukar variabel y menjadi variabel awal, yakni x.

Contohnya fungsi y=f ( x )= 12 x−3

y= 12 x−3

2 x−3= 1y

x= 12 y

+ 32=3 y+1

2 y

Jadi diperoleh x=3 y+1

2 y. Jika kita tukar nama variabelnya, diperoleh

invers dari fungsi y yakni y−1=f −1 ( x )=3x+1

2 x. Berikut akan kita coba

membuktikan teorema pada persamaan 1.15.a dan 1.15.b dengan contoh.

( f ∘ f −1 ) (x )=f ( f−1 (x ) )= 1

2(3 x+12 x )−3

= 1

3+1x−3

=x

( f−1∘ f ) (x )=f −1 ( f (x ) )=3 ( 1

2 x−3 )+1

2( 12x−3 )

=32+ 2x−3

2=x

Bab 2 Limit

29

Page 31: Kalkulus Dasar 1.0

1. DEFINISI LIMIT

Secara harfiah, limit berarti batas. Dalam matematika, limit dapat

dipandang sebagai batas, nilai yang mendekati (approach). Jika dikaitkan dalam

fungsi, limit fungsi x di a dapat dikata nilai fungsi untuk x mendekati a, sedekat

mungkin, tapi tidak pernah tepat di a.

1.1. Interpretasi Grafik

Pengertian limit fungsi di suatu titik dapat dipahamai dengan

menggunakan grafik. Untuk lebih detilnya, perhatikan langkah-langkah

berikut.

Langkah 1

Tetapkan bilangan positif ε sehingga selisih antara f ( x ) dengan L kurang

dari ε, ditulis |f ( x )−L|<ε atau L−ε<f ( x )<L+ε . Ungkapan ini digambarkan

oleh sabuk horizontal dengan lebar 2ε (batas atas L+ε dan batas bawah

L−ε) seperti pada Gambar 2.1.a.

Langkah 2

Pilihlah bilangan positif δ sehingga selisih antara x dengan a positif tetapi

kurang dari δ, ditulis 0<|x−a|<δ .

|x−a|>0 menunjukkan bahwa x≠ a.

|x−a|<δ atau a−δ <x<a+δ . Ungkapan ini digambarkan oleh sabuk vertikal

dengan lebar 2 δ (batas kanan a+δ dan batas kiri a−δ) seperti pada Gambar

2.1.b.

Langkah 3

Perpotongan antara sabuk horizontal dan sabuk vertikal yang diperoleh

pada kedua langkah di atas membentuk persegi panjang ABCD seperti

diperlihatkan pada Gambar 2.1.c.

Persegi panjang ABCD ini yang digunakan untuk menentukan ada

atau tidak adanya limit fungsi di sekitar x=a sebagai berikut

30

Page 32: Kalkulus Dasar 1.0

sabuk-horizontal

Jika grafik fungsi f (x) yang berada dalam sabuk-vertikal juga berada

dalam persegi panjang ABCD, maka fungsi f (x) mempunyai limit L

untuk x mendekati a.

Jika grafik fungsi f (x) yang berada dalam sabuk-vertikal tetapi tidak

berada dalam persegi panjang ABCD, maka fungsi f (x) tidak mempunyai

limit untuk x mendekati a.

Gambar 2.1. Grafik fungsi f (x)

Sebagai contoh, perhatikan Gambar 2.2.

1) Fungsi f (x) pada Gambar 2.2.a mempunyai limit L untuk xmendekati a.

Sebab fungsi yang berada dalam sabuk-vertikal dengan lebar 2δ juga

berada dalam persegi panjang ABCD.

2) Fungsi f (x) pada Gambar 2.2.b tidak mempunyai limit untuk x

mendekati a. Sebab ada sebagian fungsi yang berada dalam sabuk-

vertikal dengan lebar 2δ tidak berada dalam persegi panjang ABCD, yaitu

cabang fungsi f (x) yang berada di sebelah kanan garis x=a.

Definisi formal:

31

(a) (b) (c)a+δa−δx=a

sabuk-vertikal

y=f ( x ) , x≠ ay=f ( x ) , x≠ a

(a) limx →a

f ( x )=L (b) limx→ a

f ( x ) tidak aa

Gambar 2.2. Limit fungsi.

Page 33: Kalkulus Dasar 1.0

limx →a

f (x )=L (2.1)

Berarti untuk setiap ε>0 terdapat nilai δ >0 sedemikian sehingga

|f ( x )−L|<ε dan 0<|x−a|<δ .

Limit Kiri dan Limit Kanan

Telah kita ketahui nilai fungsi f (x) di x=a dapat didekati dari kiri

maupun dari kanan. Nilai limit f (x) untuk x menuju a dari arah kiri (x → a–

atau x < a) disebut limit kiri, sedangkan nilai limit f (x) untuk x menuju a

dari arah kanan (x → a+ atau x > a) disebut limit kanan. Suatu fungsi f (x)

dikatakan memiliki limit di x=a jika dan hanya jika memiliki limit kiri dan

limit kanan dan limit kirinya sama dengan limit kanannya.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar di bawah ini:

Gambar 2.3. Limit kiri dan limit kanan. Pada gambar (a) dikatakan fungsi memiliki limit di x = a, sedangkan pada gambar (b) fungsi tidak memiliki limit di x = a.

32

(a) limx →a

f ( x )=L1, limx→ a+¿ f (x )=L2¿

¿,

dan

(b) limx →a

f ( x )=L1, limx→ a+¿ f (x )=L2¿

¿

, dan

Suatu fungsi f (x) dikatakan memiliki limit di x=a jika dan hanya jika

limx→ a−¿ f (x)¿

¿ ada, yakni L–

limx→ a+¿ f (x)¿

¿ ada, yakni L+

limx→ a−¿ f (x)= lim

x →a+¿ f (x)¿¿¿

¿ atau L– = L+

Page 34: Kalkulus Dasar 1.0

1.2. Pengamatan dari Penghitungan Nilai Fungsi

Pengertian limit fungsi di suatu titik dapat pula dipahami dengan

menghitung langsung nilai-nilai fungsi di sekitar titik yang ditinjau.

Misalkan fungsi f ( x )=2 x+3 ingin diketahui nilai fungsi dan limitnya di x=2.

Nilai fungsi di titik x=2 ialah f (2 )=2 (2 )+3=7.

Nah, bagaimana jika kita ingin mengetahui nilai f ( x ) untuk x menuju

2? Maka dapat dihitung nilai-nilai fungsi di sekitar x=2.

x 1,8 1,9 1,99 1,999 →2,000← 2,001 2,01 2,1 2,2

f ( x ) 6,6 6,8 6,98 6,998 ? 7,002 7,02 7,2 7,4

Dari tabel di atas dapat disimpulkan nilai f (x) semakin mendekati 7

bila x mendekati 2. Dengan demikian dapat dituliskan

limx →2

2 x+3=7

Nah, sekarang kita coba cari nilai dan limit fungsi f ( x )= x2−4x−2

di titik

x=2. Jika dihitung nilai fungsinya diperoleh f (2 )=(2)2−4(2)−2

=00

, suatu bentuk

yang tidak kita ketahui nilainya. Sekarang, kita coba menghitung nilai fungsi

di sekitar x=2.

x 1,8 1,9 1,99 1,999 →2,000← 2,001 2,01 2,1 2,2

f ( x ) 3,8 3,9 3,99 3,999 ? 4,001 4,01 4,1 4,2

Ternyata diperoleh untuk x mendekati 2, f ( x ) akan mendekati 4. Jadi

dapat kita simpulkan limx →2

x2−4x−2

=4.

33

Page 35: Kalkulus Dasar 1.0

2. Limit Fungsi Aljabar

2.1. Bentuk Tak Hingga dan Tak Tentu

Kita telah tahu bahwa nilai yang paling kecil dalam bilangan (dalam

hal ini bilangan positif) ialah bilangan yang mendekati nol. Lalu, berapakah

atau apakah bilangan yang memiliki nilai terbesar? Sayangnya tidak ada

bilangan seperti itu, karena setiap kita memilih bilangan yang sangat-sangat

besar sekalipun kita tetap akan menemukan bilangan yang lebih besar lagi.

Tak hingga adalah suatu entitas dalam matematika untuk

merepresentasikan nilai yang sangat besar. Penting untuk diingat karena

tak hingga (∞) hanyalah representasi dari bilangan yang sangat besar,

sehingga tak hingga (∞) bukanlah bilangan dalam artian yang sebenarnya.

Misalkan grafik dari y=1x

, maka untuk x menuju 0, y akan terus

membesar ke atas (untuk daerah kanan) dan ke bawah (untuk daerah kiri).

Nah, berapakah nilai y untuk x=0? Jika kita melihat pola bahwa semakin

kecil nilai x (dengan mengabaikan tanda positif dan negatif) maka y akan

semakin besar, maka dapat disimpulkan untuk x=0 maka y=∞.

Gambar 2.4 Limit tak hingga dan limit fungsi di tak hingga.

34

Page 36: Kalkulus Dasar 1.0

Jika dinyatakan dalam bentuk limit, maka dapat dituliskan

limx→ 0+¿ 1

x=+∞¿

¿

limx→ 0−¿ 1

x=−∞¿

¿

limx →0 |1

x |=∞ (2.2.a)

Tentunya persamaan 2.2.a di atas juga berlaku untuk |ax| dengan a

sembarang bilangan real.

limx →0 |a

x |=∞ (2.2.b)

Berikutnya adalah bentuk tak tentu. Bentuk tak tentu adalah bentuk

matematis seperti 00

. Untuk memastikan sifat tak tentu dari 00

mari simak

pemerian berikut.

a × b=c→cb=a

0 × 0=0 →00=0

1 ×0=0 →00=1

77 × 0=0 →00=77

Itulah yang dimaksudkan bahwa 00

adalah bentuk tak tentu, karena

hasilnya memungkinkan berapa saja. Bisa saja 0, 1, ½, -4, 77, 109, dan

sebagainya. Namun hal ini tidak berarti dalam suatu kasus bentuk 00

memiliki banyak hasil, tidak. Hasilnya hanya satu, hanya saja kita tidak

mungkin mengetahui hasilnya itu yang mana, kecuali jika kita mengetahui

polanya. Ingat pula perkalian suatu bilangan riil dengan bentuk tak tentu

menghasilkan bentuk tak tentu juga.

35

Page 37: Kalkulus Dasar 1.0

00

× a=0 × a0

=00

Di mana a adalah sembarang bilangan riil. Jadi perkalian antara 00

dangan a menghasilkan 00

. Tapi jangan salah, 00

di ruas kiri nilainya tidak

sama dengan 00

di ruas kanan (kecuali a=1). Seandainya 00

di ruas kiri

nilainya sama dengan k, maka 00

di ruas kanan nilainya adalah a k. Bingung?

Yang jelas karena membingungkan maka bentuk ini perlu dihindari.

Misalkan dalam pembuatan program, persamaan aljabar harus ditulis dalam

bentuk yang paling sederhana, untuk mencegah munculnya bentuk tak

tentu. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca pada bagian 2.2.

Selain 00

, beberapa bentuk tak tentu lainnya yang umum dikenal ialah

∞−∞ , ∞∞

, dan 0 × ∞. Perhatikan persamaan 2.2.b.

limx →0

ax=∞ ; lim

x→ 0

bx=∞

Dengan a dan b sembarang bilangan positif. Dengan mengurangkan

keduanya diperoleh

limx →0 ( a

x−b

x )=∞−∞

Dapat kita saksikan bahwa bentuk ∞−∞ lazimnya menghasilkan

bentuk limx →0 ( a

x−b

x )=limx → 0

a−bx

=± ∞ bila a ≠ b, dan bila a=b diperoleh

limx →0 ( a

x−b

x )=0. Jadi masih tak tentu berapakah nilai ∞−∞ itu kecuali kita

mengetahui nilai a dan b.

Untuk bentuk ∞∞

jika kita menggunakan kembali asumsi di atas,

diperoleh

36

Page 38: Kalkulus Dasar 1.0

limx →0

axbx

=∞∞

=ab

Kembali didapatkan bahwa kita tak bisa menentukan berapakah nilai

∞∞

itu selama kita tidak mengetahui nilai a dan b. Sekarang untuk bentuk

0 × ∞, dalam bentuk limit dapat dituliskan sebagai

limx →0 (x ×

ax )=0 × ∞=a

Diperoleh 0 × ∞=a padahal a adalah sembarang bilangan positif yang

kita pilih (berlaku juga untuk bilangan negatif), lagi-lagi tak tentu. Selain

bentuk-bentuk tak tentu yang telah disebutkan di atas terdapat beberapa

lagi bentuk-bentuk tak tentu lain yang pada dasarnya berasal dari bentuk

tak tentu yang telah dijelaskan di atas.

Ngomong-ngomong, selain bentuk tak hingga dan tak tentu, terdapat

juga bentuk tak terdefinisi dalam matematika. Yang paling populer adalah

bentuk 0√0. Asumsikanlah 0√0=k , sehingga k 0=0. Jelaslah k bukan bilangan

yang terdefinisi dalam matematika, karena semua bilangan real (bahkan

bilangan kompleks) jika dipangkatkan nol hasilnya pastilah satu.

2.2. Limit Fungsi Aljabar di Suatu Titik

Dalam menyelesaikan persoalan limit fungsi aljabar, biasanya dapat

diselesaikan dengan substitusi langsung. Misalkan limx →2

x2+3, langsung saja

substitusikan nilai x=2 dalam f ( x )=x2+3 yang menghasilkan

f (2 )=(2)2+3=7. Seperti yang dijelaskan pada subbab 1, untuk fungsi

kontinyu, bila x→ a maka pastilah f (x)→f (a).

Meskipun bentuk seperti ini lebih lazim, tapi sayangnya dalam ujian

sangat jarang ada soal yang bisa diselesaikan dengan mudah seperti ini.

Terdapat kasus-kasus di mana suatu fungsi nampak tidak kontinyu di suatu

titik karena substitusi nilai x pada titik itu menghasilkan f ( a )=00

atau

37

Page 39: Kalkulus Dasar 1.0

bentuk-bentuk tak tentu lainnya. Sialnya, yang seperti inilah yang sering

muncul dalam soal ujian Anda. Oleh karena itu diperlukan suatu metode

untuk mengetahui “pola lain” dari fungsi f (x) dengan metode aritmatika

atau manipulasi aljabar agar dapat mengidentifikasikan nilai pasti dari

bentuk tak tentu tadi (tentunya ini penting untuk meningkatkan nilai Anda

di kelas).

Metode yang dimaksudkan di atas adalah metode pemfaktoran.

Tentu saja ini kabar buruk bagi yang nilai aljabarnya merah. Oleh karena itu

di sini akan diberikan contoh-contoh yang sederhana.

Misalkan suatu fungsi f ( x )= x2−4x−2

. Berapakah nilai f (2)? Jika kita

lakukan substitusi langsung diperoleh

f (2 )=(2)2−4(2)−2

=00

Ya, sebuah bentuk tak tentu. Karena menghasilkan bentuk tak tentu

00

untuk x = 2, dapat dipastikan bahwa f (x) sendiri mengandung bentuk tak

tentu jika x = 2. Jika kita teliti, penyebut x−2 menghasilkan 0 untuk x = 2,

maka kita dapat berasumsi terdapat perkalian nol juga pada pembilangnya.

Ternyata benar, jika kita faktorkan,

f ( x )= x2−4x−2

=( x+2 )(x−2)

(x−2)= (x+2 ) ×

(x−2)(x−2)

Dengan menggunakan bantuan teorema limit diperoleh

limx →2

x2−4x−2

=limx →2

( x+2 )× limx→ 2

(x−2)(x−2)

Jadi bentuk 00

yang terkandung dalam f (x) untuk x = 2 ialah (x−2)(x−2)

yang nilainya pastilah sama dengan satu. Dengan demikian bentuk limx →2

x2−4x−2

dapat kita ubah menjadi limx →2

( x+2 ). Jika disubstitusikan x = 2 diperoleh

limx →2

( x+2 )=2+2=4.

38

Page 40: Kalkulus Dasar 1.0

Jadi intinya adalah bagaimana kita mengubah fungsi itu ke bentuk

lain dengan manipulasi aljabar agar hasil fungsi di titik yang dimaksud tidak

menghasilkan bentuk tak tentu.

Contoh:

1. Hitunglah limx→ 4

x2+42

!

Jawab:

Substitusi secara langsung.

limx→ 4

x2+42

=42+42

=10

2. Hitunglah limx →0

x2−8 xx2+2 x

!

Jawab:

Jika disubstitusi secara langsung akan menghasilkan bentuk 00

, oleh karena itu

lakukan pemfaktoran pada pembilang dan penyebutnya.

limx →0

x2−8 xx2+2 x

=limx→ 0

x (x−8)x (x+2)

= limx →0

(x−8)(x+2)

¿ 0−80+2

=−4

3. Hitunglah limx→−2

x3+8x2−4

!

Jawab:

Faktorkan pembilang dan penyebutnya.

limx→−2

x3+8x2−4

¿ limx→−2

( x2−2 x+4 )(x+2)( x+2 )(x−2)

= limx →−2

( x2−2 x+4 )(x−2)

¿(−2)2−2 (−2 )+4

(−2−2)=−4

−4=1

39

Page 41: Kalkulus Dasar 1.0

4. Hitunglah limx→ 4

√ x−2x−4

!

Jawab:

Ingat bentuk aljabar (a+b ) (a−b )=a2−b2. Faktorkanlah penyebutnya.

limx→ 4

√ x−2x−4

=limx→ 4

√x−2(√x+2 )(√ x−2)

=limx → 4

1√ x+2

limx→ 4

√ x−2x−4

= 1√4+2

= 14

5. Hitunglah limx →3

x2−x−6x−3

!

Jawab:

Faktorkanlah pembilangnya.

limx →3

x2−x−6x−3

=limx→ 3

( x+2 )(x−3)x−3

=limx→ 3

(x+2 )

limx →3

x2−x−6x−3

=3+2=6

6. Hitunglah limx →0

√4+x−√4−xx

!

Jawab:

Kalikan pembilang dan penyebutnya dengan faktor lawan pembilang.

limx →0

√4+x−√4−xx

¿ limx→ 0

√4+x−√4−xx

× √4+x+√4−x√4+x+√4−x

¿ limx→ 0

(4+x )−(4−x)x (√4+x+√4−x)

=limx →0

2 xx (√4+x+√4−x)

¿ limx→ 0

2(√4+x+√4−x )

= 2

√4+√4=1

2

2.3. Limit fungsi aljabar di tak hingga

Telah dibahas di atas mengenai limit fungsi di suatu titik. Yang kita

tulis x→ a. Nah, bagaimana jika titik yang dimaksud adalah nilai x yang

sangat besar, atau yang paling besar yang mungkin ada? Itulah yang

40

Page 42: Kalkulus Dasar 1.0

dimaksud dengan limit fungsi di tak hingga. Disebut limit karena “titik” tak

hingga itu tidak benar-benar terdefinisi, tetapi dapat kita dekati dengan nilai

yang teramat besar. Selain untuk meramalkan nilai fungsi pada nilai yang

sangat besar (apakah terus naik atau turun ataukah malah konstan), limit

fungsi di tak hingga juga penting dalam analisis deret tak hingga.

Oke, agar lebih jelas, langsung saja kita tinjau dua contoh berikut.

Yang pertama adalah fungsi f ( x )=x2−2x. Jika kita sustitusi x dengan suatu

nilai yang semakin besar diperoleh f (x) yang semakin besar pula. Jadi kita

dapat berasumsi bahwa bila x menuju tak hingga maka f (x) juga menuju tak

hingga. Selain menggunakan substitusi langsung, dapat pula kita amati saja

bentuk fungsinya. Untuk nilai yang sangat besar, jelaslah x2−2 x≈ x2. Dengan

demikian untuk nilai x yang sangat besar (juga untuk bilangan negatif

karena [–a]2 = a2) diperoleh pendekatan f (x)≈ x2 yang jelas bahwa f (x) naik

sebanding dengan x2. Dengan demikian dapat dituliskan

limx→ ∞

x2−2 x=+∞

Nah, bagaimana dengan fungsi f ( x )=2 x2−2x2 ? Berapa f ( x ) untuk

x→ ∞? Untuk memudahkan, fungsi di atas dapat kita ubah bentuknya

menjadi f ( x )=2− 2

x2 . Perhatikan untuk |x|≫ maka 2

x2 akan semakin kecil

menuju nol. Dengan demikian untuk x→ ± ∞ maka 2

x2→ 0 sehingga

diperoleh

limx→ ±∞

2 x2−2x2 = lim

x →± ∞2− 2

x2 =2−0=2

Berikut grafiknya:

41

Page 43: Kalkulus Dasar 1.0

Gambar 2.5

Grafik fungsi f ( x )=x2−2x dan

f ( x )=2 x2−2x2

.

Jadi untuk x menuju tak hingga f ( x ) akan menuju 2. Bagaimana,

apakah Anda sudah terbayang triknya? Ya, triknya adalah membuat

penyebutnya mendekati satu dengan membagi pembilang dan penyebut

dengan variabel berpangkat tertinggi dari variabel pembilang. Oke, untuk

itu saya berikan satu contoh lagi.

Contoh:

1. Carilah nilai limx→ ∞

5 x3+2 x−2x3−x2+8

!

Jawab:

Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 3, maka bagilah

pembilang dan penyebut dengan x3.

42

Page 44: Kalkulus Dasar 1.0

limx→ ∞

5 x3

x3 + 2 xx3 − 2

x3

x3

x3− x2

x3+ 8

x3

=limx→ ∞

5+ 2x2 −

2x3

1−1x+ 8

x3

=5+0−01−0+0

=5

Jadi, limx→ ∞

5 x3+2 x−2x3−x2+8

=5.

2. Carilah nilai limx→ ∞

x3−x−63 x 4−6 x2 !

Jawab:

Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 4, maka bagilah

pembilang dan penyebut dengan x4.

limx→ ∞

x3

x4 −xx4 −

6x4

3 x4

x4−6 x2

x4

= limx →∞

1x− 1

x3 −6x4

3− 6x2

=limx→ ∞

1x−0−0

3−0=lim

x→ ∞

13 x

=0

Jadi, limx→ ∞

x3−x−63 x 4−6 x2 =0.

3. Carilah nilai limx→ ∞

x3+x−6x2−4 x+12

!

Jawab:

Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 2, maka bagilah

pembilang dan penyebut dengan x2.

limx→ ∞

x+ 1x− 6

x2

1−4x+ 12

x2

= limx →∞

x+0−01−0+0

=limx → ∞

x=∞

Jadi limx→ ∞

x3+x−6x2−4 x+12

=∞.

4. Carilah nilai limx→−∞

x3+x−6x2−4 x+12

!

43

Page 45: Kalkulus Dasar 1.0

Jawab:

Serupa dengan contoh nomor 3,

limx→−∞

x=−∞

Jadi limx→−∞

x3+x−6x2−4 x+12

=−∞.

5. Carilah nilai limx→−∞

2x2+3 xx2−4

!

Jawab:

limx→−∞

2x2+3 x

x2−4= lim

x →−∞

2+ 3x

1−4

x2

=2

Jadi, limx→−∞

2 x2+3 xx2−4

=2,

Dari contoh-contoh di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa limit

fungsi aljabar yang berbentuk fungsi pembagi di tak hingga dapat memiliki

hasil:

a. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang lebih besar daripada pangkat

tertinggi variabel penyebut, maka | limx→ ±∞

f ( x)|=∞.

b. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang lebih kecil daripada pangkat

tertinggi variabel penyebut, maka limx→ ±∞

f (x )=0.

c. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang sama dengan pangkat tertinggi

variabel penyebut, maka limx→ ∞

f (x)=a dengan a∈R .

2.4. Sifat Asimtotik Fungsi

Asimtot? Nama yang aneh… Apa sih asimtot itu? Untuk merangsang

pemikiran Anda, coba perhatikan lagi gambar 2.5, dan gambar di bawah ini.

44

Page 46: Kalkulus Dasar 1.0

Asimtot tegak, datar, dan miring dari suatu fungsi merupakan representasi dari limit tak hingga dan limit di tak hingga.

Perhatikanlah gambar 2.6.a, terlihat kurva y=x

x−2 memiliki bentuk

nyaris lurus, yakni tegak pada x = 2 dan datar pada y = 1. Andaikan kita bisa

menggambarkan kurva tersebut dengan interval yang besar dan dilihat dari

jarak jauh maka akan teramati kurva y= xx−2

seperti tanda tambah. Garis x

= 2 disebut asimtot tegak dan garis y = 1 disebut asimtot datar pada kurva

y= xx−2

.

Sekarang perhatikan gambar 2.6.b, terlihat kurva y= x3+8x2−4

memiliki

bentuk nyaris lurus, yakni tegak pada x = 2 dan miring pada garis y = x. Garis

x = 2 disebut asimtot tegak dan garis y = x disebut asimtot miring pada

kurva y=x3+8x2−4

.

Jika ditilik lebih jauh, maka diperoleh kaitan bahwa asimtot tegak

tidak lain adalah manifestasi dari bentuk limit tak hingga yang bukan di

45

Page 47: Kalkulus Dasar 1.0

tak hingga dan asimtot datar adalah manifestasi dari bentuk limit di tak

hingga yang bukan tak hingga pada ketentuan pada bagian 2.3.b dan 2.3.c,

yakni bila pangkat tertinggi variabel pembilang lebih kecil atau sama

daripada pangkat tertinggi variabel penyebut. Adapun bila sesuai dengan

ketentuan 2.3.a, dengan syarat pangkat tertinggi variabel pembilang hanya

lebih tepat satu dibandingkan pangkat tertinggi variabel penyebut, akan

diperoleh asimtot miring.

Coba perhatikan fungsi y=x

x−2, untuk x = 2 diperoleh bentuk limit

tak hingga, inilah asimtot tegaknya. Untuk x≫, x−2 ≈ x sehingga untuk x

menuju tak hingga limx→ ∞

xx−2

= xx=1, inilah asimtot datarnya. Sekarang untuk

fungsi y=x3+8x2−4

, bila x = 2, diperoleh bentuk limit tak hingga, inilah asimtot

tegaknya. Bila x≫, x3+8 ≈ x3 dan x2−4 ≈ x2, sehingga untuk x≫,

x3+8x2−4

≈x3

x3 ≈ x . Nah, garis y = x inilah asimtot miringnya. Patut diingat, kurva

akan “bergerak” semakin mendekati asimtot tetapi tidak akan berpotongan

dengan asimtotnya.

46

Page 48: Kalkulus Dasar 1.0

3. Teorema Limit

Dari penjelasan sebelum-sebelumnya dapat disimpulkan beberapa

teorema-teorema limit. Berikut adalah beberapa teorema limit yang umum

dikenal.

1. Jika f ( x )=k (fungsi konstan), maka limx →a

f (x )=k untuk sembarang a∈R .

2. Jika f ( x )=x (fungsi identitas), maka limx →a

f (x )=a untuk sembarang a∈R .

3. a) limx →a

{f ( x )+g(x )}=limx →a

f (x )+limx→ a

g (x)

Dengan kata lain limit jumlah fungsi-fungsi sama dengan jumlah masing-

masing limit fungsi.

b) limx →a

{f ( x )−g( x)}=limx → a

f (x)−limx → a

g(x )

Dengan kata lain limit selisih fungsi-fungsi sama dengan selisih masing-

masing limit fungsi.

4. limx →a

k ∙ f ( x )=k ∙ limx → a

f ( x )

Limit hasil kali suatu fungsi dengan konstanta sama dengan hasil kali

konstanta dengan limit fungsi itu.

5. a) limx →a

{f ( x ) ∙ g(x )}=limx →a

f (x) ∙ limx →a

g(x )

Limit hasil kali fungsi-fungsi sama dengan hasil kali masing-masing limit

fungsi.

b) limx →a

f ( x )g ( x )

=limx→ a

f ( x )

limx →a

g ( x )

Limit hasil bagi fungsi-fungsi sama dengan hasil bagi masing-masing limit

fungsi.

6. a) limx →a

{f ( x)}n={limx → af (x)}n

Limit fungsi pangkat n sama dengan pangkat n dari limit fungsi itu.

b) limx →a

n√ f (x )=n√ limx→ a

f (x ) ; untuk limx →a

f (x )≥ 0 untuk n genap.

Limit akar pangkat n dari suatu fungsi sama dengan akar pangkat n dari

limit fungsi itu, asalkan limit fungsinya tidak negatif untuk n genap.

47

Page 49: Kalkulus Dasar 1.0

4. Limit Fungsi Trigonometri

Pada bagian sebelumnya telah dipelajari cara menyelesaikan problem

limit fungsi aljabar. Nah, sekarang saatnya untuk mempelajari limit fungsi

trigonometri. Ada tiga bentuk yang sering muncul mengenai limit fungsi

trigonometri, yakni limx →0

sin x , limx →0

cos x, dan limx →0

tan x.

4.1. Limit Fungsi Sinus

Sebelumnya ingat kembali definisi dari sinus sudut pada segitiga

siku-siku, yakni sisi di depan sudut dibagi dengan sisi miring (hipotenusa).

Untuk memudahkan, perhatikan gambar di bawah ini.

Gambar 2.7 Sinus, cosinus, dan tangen dari sudut polar.

Ambillah garis yang menghubungkan pusat lingkaran ke sembarang

titik di keliling lingkaran (jari-jari) semisal OD dan OE yang membentuk

sudut tertentu terhadap sumbu X (garis OC). Lalu tariklah garis yang tegak

lurus OC menuju titik pada keliling lingkaran pada pertemuan garis jari-jari,

seperti garis AD dan BE. Untuk garis BE (BE), diperoleh

48

Page 50: Kalkulus Dasar 1.0

BE=r sin θ

Dan busur CE (CE) panjangnya tidak lain adalah

CE=θ × r

dengan θ dalam satuan radian (untuk θ dalam derajat, panjang busur

lingkaran adalah θ

360°2 πr). Perhatikan bahwa jika diambil θ≪ hingga

menuju nol. Maka panjang garis BE akan makin mendekati panjang busur

CE, sehingga untuk θ≪ dapat kita dekati BE≈ CE.

r sin θ ≈ θ r

sin θ ≈ θ

Dengan demikian untuk limit θ menuju nol diperoleh

limθ → 0

sin θ=θ (2.3)

Dari hasil ini dapat pula diperoleh

limθ → 0

sin θθ

=limθ →0

θsin θ

=θθ=1 (2.4)

4.2. Limit Fungsi Cosinus

Untuk fungsi cosinus, jika θ≪ diperoleh panjang garis OB akan

mendekati panjang garis OC = OE, yakni r. Dengan demikian untuk θ≪

diperoleh:

cosθ=OBOE

≈rr

≈ 1

Dengan demikian limit cosθ untuk θ menuju nol ialah

limθ → 0

cosθ=1 (2.5)

Berdasarkan hasil ini dapat pula diperoleh

limθ → 0

1−cosθθ

=limθ →0 ( 1

θ− cosθ

θ )=limθ → 0 ( 1

θ−1

θ )limθ → 0

1−cosθθ

=limθ →0

cos θ−1θ

=0 (2.6)

4.3. Limit Fungsi Tangen

49

Page 51: Kalkulus Dasar 1.0

Seperti halnya limit fungsi sinus, mengingat definisi dari tangen

adalah sisi dekat dibagi dengan sisi miring, maka dangan pemilihan θ <<

diperoleh BE≈ CE dan OB akan mendekati panjang jari-jari r. Dengan

demikian untuk limit θ menuju nol berlaku:

limθ → 0

tan θ=θ (2.7)

Dari hasil ini kembali dapat pula diperoleh

limθ → 0

tan θθ

=limθ → 0

θtanθ

=θθ=1 (2.8)

5. Kontinyuitas Suatu Fungsi

Dalam suatu selang tertentu, suatu fungsi dapat saja memiliki nilai untuk

setiap masukan nilai riil dalam selang. Namun ada kalanya pada satu atau lebih

titik dalam selang yang dipilih, fungsi itu tidak memiliki nilai (tak terdefinisi).

Untuk hal-hal semacam itu dikatakanlah ada fungsi yang kontinyu dan ada fungsi

yang tidak kontinyu.

5.1. Fungsi kontinyu

Sebelum berbicara mengenai fungsi kontinyu, baiknya kita terlebih

dahulu menelaah makna dari kontinyu. Kontinyu merupakan kata serapan

(adaptasi) yang berasal dari bahasa Inggris yakni continue yang berarti

sinambung, menerus. Jadi sesuatu yang kontinyu adalah sesuatu yang

sinambung, tidak terputus(diskrit). Dengan begitu dapatlah kita katakan

fungsi kontinyu adalah fungsi yang grafiknya terus bersinambung, tidak

terputus dalam selang tertentu. Sebenarnya ini adalah implikasi dari semua

x=[ a ,b ] ; x∈ R terpetakan oleh f (x) yang berarti f (x) kontinyu dalam

selang [ a , b ]. Jika f (x) kontinyu dalam selang (−∞,∞) maka dikatakan f (x)

kontinyu di semua “tempat”.

5.2. Fungsi tidak kontinyu (diskontinyu)

Kebalikan dengan fungsi yang kontinyu, fungsi dikatakan tidak

kontinyu dalam suatu selang x=[ a ,b ] ; x∈ R bila satu atau lebih nilai x tidak

50

Page 52: Kalkulus Dasar 1.0

terpetakan oleh fungsi f (x). Dalam definisi ini jelas bila f (x) diskontinyu

dalam selang [ a , b ] maka f (x) juga tidak kontinyu dalam selang (−∞,∞)

karena [a , b]⊂(−∞ ,∞) 1.

5.3. Ketidakkontinyuan yang dapat dihapuskan

Apa itu ketidakkontinuan yang dapat dihapuskan? Suatu fungsi f (x)

dikatakan tidak kontinyu jika f (x) tidak terdefinisi setidaknya pada satu

titik dalam selang tertentu, misalkan di x = a dengan a∈R .

f (a)=∅

Tetapi bila f (x) memiliki limit di x→ a, dengan kata lain limit kiri

sama dengan limit kanannya, maka ketidakkontinyuan fungsi f (x) di titik

x=a dikatakan dapat dihapuskan. Mengapa dapat dikatakan dihapuskan?

Untuk mudahnya perhatikan gambar fungsi diskontinyu dan fungsi

diskontinyu yang ketidakkontinyuannya dapat dihapuskan.

1 Asumsikan x = 109, maka x

x−2=1,0000000002≈ 1. Jelas untuk x menuju tak hingga maka hasilnya

akan semakin dekat dengan 1.

51

Page 53: Kalkulus Dasar 1.0

Gambar 2.8 Ketidakkontinyuan fungsi di suatu titik (x = 2)

Kurva f ( x )= xx−2

digambarkan dengan warna merah dan kurva

f ( x )= x2−4x−2

digambarkan dengan warna biru. Kedua fungsi sama-sama tidak

kontinyu di titik x=2, tetapi pada fungsi f ( x )= x2−4x−2

ketidakkontinyuannya

dapat dihapuskan karena memiliki nilai limit di titik x=2. Perhatikan pula

grafik f ( x )= x2−4x−2

yang secara kasat mata terlihat tidak terputus dalam

selang yang diberikan.

Bab 3 Turunan

1. TURUNAN FUNGSI DI SUATU TITIK

Dari apa yang terlihat, turunan (derivatif) dapat dianggap sebagai suatu

operasi matematis yang menyatakan interpretasi nilai sebuah faktor dari faktor

lain yang berdimensi lebih besar (ordenya turun satu). Karena faktor yang

berdimensi kecil itu merupakan suatu ‘titik’ pada dimensi yang lebih besar,

maka turunan erat hubungannya dengan limit. Namun demikian, pemahaman di

atas hanyalah pernyataan berdasarkan hal-hal praktis yang nampak pada

operasi turunan. Secara formal, turunan dapat didefinisikan sebagai perubahan

nilai fungsi terhadap perubahan nilai input untuk selang yang sangat kecil

(menuju nol).

Misalkan suatu fungsi y=f (x ) yang terdefinisi pada selang tebuka I yang

memuat semua bilangan riil. Bila nilai x berubah dari x = x1 ke x = x2, maka nilai

52

Page 54: Kalkulus Dasar 1.0

fungsi juga akan berubah dari y1=f (x1) ke y2=f (x2). Dengan demikian

perubahan nilai fungsi terhadap perubahan nilai x didefinisikan sebagai:

y2− y1

x2−x1

=f ( x2)−f (x1)

x2−x1

Jika dipilih nilai x2 yang mendekati x1, maka secara matematis

didefinisikan perbandingan ini ialah

limx2 → x1

f ( x2 )−f (x1)x2− x1

Asal limitnya ada.

Dengan substitusi x2=x1+∆ x, yang bila x2→ x1 mengakibatkan ∆ x →0,

maka turunan pertama fungsi f di titik x=x1 dapat dituliskan dalam bentuk:

f ' ( x1 )= lim∆x →0

∆ y∆ x

= lim∆x → 0

f ( x1+∆ x)−f (x1)∆ x

Jika limitnya ada, dikatakan fungsi f mempunyai turunan di x=x1.

Sebaliknya jika limitnya tidak ada, dikatakan f tidak terturunkan di x=x1, dimana

Δ yΔ x

disebut hasil bagi diferensial.

Turunan pertama suatu fungsi y=f ( x ) dapat dinotasikan dengan notasi

dari Newton dan Lagrange yakni f ' ( x ) ,

ddx

f ( x ) atau notasi Leibniz yakni

dydx .

Sedangkan nilai turunan di suatu titik tertentu (misalnya di x=x1) dinotasikan

dengan f ' (c ) atau

dydx

|x=c. Notasi d yang berseliweran itu merupakan singkatan

dari kata derivative, yang berarti turunan.

Adapun teorema turunan, jika fungsi f mempunyai turunan di x=a , yaitu

f (a ) , maka fungsi f kontinu di x=a , namun kebalikan teorema ini tidak

berlaku. Penjabaran yang lebih sederhana dari turunan akan diberikan dalam

pembahasan selanjutnya.

1.1. Interpretasi Dari Turunan

53

Page 55: Kalkulus Dasar 1.0

Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari

suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain

sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami

karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal.

A. Turunan Sebagai Gradien Garis dalam Selang Titik

Masih ingat definisi gradien? Ya, secara sederhana gradien atau trend

dapat diterjemahkan sebagai kemiringan. Gradien garis (m) berarti skala

kemiringan dari suatu garis dalam selang tertentu (dari x1 ke x2) yang

diberikan dalam:

m= Δ yΔ x

=y2− y1

x2−x1(3.1)

Mengingat y=f (x ), dan mendefinisikan x2=x1+ Δ x, persamaan 3.1

dapat kita tulis ulang menjadi

m=f ( x1+Δ x )−f (x1)

Δ x

Untuk fungsi linear y=ax+b, tentunya memiliki gradien yang tetap di

semua selang sepanjang garis, karena nisbah Δ yΔ x

akan selalu konstan

bagaimana pun pemilihan selang Δ x-nya. Perhatikan gradien garis dari

fungsi y=ax+b dengan sembarang pemilihan nilai x, yaitu x1 dan x2.

m=y2− y1

x2−x1

=(a x2+b)−(a x1+b)

x2−x1

=a(x2−x1)

x2−x1

=a

Lihat? Berapa pun pemilihan nilai x1 dan x2, gradien garis dari fungsi

linear selalu sama di setiap selang yang dipilih.

Lalu bagaimana dengan fungsi kuadrat, fungsi kubik, fungsi

trigonometri, dan fungsi-fungsi lainnya yang non-linear? Fungsi-fungsi

seperti itu membentuk suatu kurva sehingga jelas gradien (kemiringan)

setiap selang di sepanjang kurva tidaklah sama. Untuk itu, dibuatlah selang-

selang kecil dan dihitung gradien dari selang-selang kecil tersebut.

Mengingat gradien dari fungsi non-linear bisa saja berbeda di setiap selang

54

Page 56: Kalkulus Dasar 1.0

bahkan titik, maka mari kita membuat selang yang kecilnya bukan main,

seperti titik. Well, ini memang terdengar ekstrim, tetapi dengan konsep limit

pada bab sebelumnya, dapat kita hitung gradien garis untuk selang satu titik

Mengingat ukuran dari titik ialah nol, maka Δ x haruslah menuju nol.

Akhirnya, dapat kita tulis persamaan gradien dengan selang Δ x → 0 yaitu:

m=Δ yΔ x

= limΔ x → 0

f (x+ Δ x )−f (x)Δ x

Karena telah mereduksi persamaan garis menjadi “persamaan titik”,

gradien pada persamaaan 3.1 di atas disebut turunan. Turunan tidak hanya

bekerja dari dimensi satu ke dimensi nol, melainkan bekerja untuk

sembarang dimensi n menjadi dimensi n – 1.

Secara geometri, turunan fungsi f di titik x=c , dinotasikan sebagai

f ' (c ) menyatakan gradien garis singgung m pada kurva y=f ( x ) di titik

(c , f (c )) , di mana garis singgung m tidak sejajar sumbu-y.

Gradien garis singgung g di titik c adalah

mg= limΔx→0

ΔfΔx

= limΔx→ 0

f (c+Δx )−f (c )Δx

Dan persamaan garis singgungnya dirumuskan dengan:

y=f '(c )(x−c )+ f (c )

Adapun garis normal, yaitu garis yang tegak lurus dengan garis

singgung melewati titik c dapat dicari persamaannya dengan mengingat

perkalian gradien garis yang tegak lurus sama dengan -1.

y= −1f ' (c )

( x−c )+ f (c )

Contoh:

1. Suatu kurva dengan persamaan fungsi f ( x )=2 x2+7 , carilah persamaan

garis singgung di titik x=2 !

Jawab:

55

Page 57: Kalkulus Dasar 1.0

Sebelumnya, periksa terlebih dahulu apakah kurva f ( x ) kontinu di titik

x=2.

f ( x )=2(2 )2+7=15

f ' ( x )=(2)2 x=4 x

f ' (2)=4 (2)=8 , fungsi f memiliki turunan di titik 2, berarti f kontinu di

titik x=2 .

Persamaan garis singgungnya adalah:

y=f '(c )(x−c )+ f (c )

y=8( x−2)+15⇔ y=8 x−1

Adapun persamaan garis normalnya adalah:

y=−18

x−1

B. Turunan Sebagai Kecepatan Sesaat dan Percepatan

Jika s( t ) suatu fungsi waktu dalam t, maka s '( t ) menyatakan kecepatan

sesaat dari perubahan s pada saat t, sedangkan s ''( t )menyatakan percepatan,

yaitu perubahan kecepatan v pada saat t. Jika s( t ) menyatakan jarak yang

ditempuh suatu benda pada suatu garis lurus, maka kecepatan saat t

dinyatakan dengan

v ( t )=s '( t )= limΔt →0

ΔsΔt

= limΔx→0

s( t +Δt )−s ( t )Δt

Sedangkan pada percepatan dapat dinyatakan dengan

a ( t )=v '( t )=s ''( t )= limΔt→ 0

ΔvΔt

= limΔx→0

v ( t+Δt )−v ( t )Δt

Contoh:

56

Page 58: Kalkulus Dasar 1.0

1. Gerak sebuah benda yang jatuh dari langit memenuhi persamaan

s=10t2+8t +3 , dengan s dan t masing-masing dinyatakan dalam meter dan

detik Tentukanlah persamaan kecepatan benda, kecepatan benda pada saat

t=5 detik dan percepatannya!

Jawab:

Persamaan kecepatan benda adalah

v ( t )=s '( t )= limΔt →0

ΔsΔt

= limΔx→0

s( t +Δt )−s ( t )Δt

= limΔx→ 0

(10( t+ Δt )2+8( t+ Δt )+3 )−(10 ( t )2+8 t+3)Δt

=10 t +8

Kecepatan benda saat t=5 detik adalah:

v (5 )=10 (5 )+8=58 m/s

Percepatan benda adalah:

a ( t )=v '( t )= limΔx→0

v ( t +Δt )−v ( t )Δt

= limΔx→ 0

(10( t+ Δt )+8 )−(10( t )+8 )Δt

=10 m/s2

2. Misalkan sebuah fungsi f ( x )=4 x+16 , carilah f ' (4 ) !

Jawab:

f ' (3)= limΔx →0

f ( 4+ Δx)−f ( 4 )Δx

= limΔx→ 0

(4 (4+Δx )+16)−( 4( 4 )+16 )Δx

= limΔx→0

4 ΔxΔx

=4

3. Suatu fungsi g( x )=3 x2+6 x+8 , carilah turunan pertama dan nilai turunan

pertama untuk x=2

Jawab:

f ' (c )= limΔx →0

f (c+Δx )−f (c )Δx

57

Page 59: Kalkulus Dasar 1.0

= limΔx→ 0

(3 (c+Δx )2+6 (c+Δx )+8)−(3c2+6 c+8)Δx

= limΔx→ 0

(3 c2+6cΔx+3 ( Δx )2+6 c+6 Δx+8 )−(3 c2+6c+8)Δx

= limΔx→ 0

6 cΔx+3 ( Δx)2+6 ΔxΔx

= limΔx→ 0

6 c+3 Δx+6

=6 c+6

f ' (2)=6(2)+6=18

4. Misalkan sebuah fungsi f ( x )=3 x2+5 , carilah f ' (2)dan f ' (c ) !

Jawab:

a)f ' (3)= lim

Δx →0

f (3+ Δx)−f (3 )Δx

= limΔx→ 0

(3 (2+Δx )2+5 )−(3 (2 )2+5)Δx

= limΔx→0

12 Δx+3 Δx2

Δx=12

b)f ' (c )= lim

Δx →0

f (c+Δx )−f (c )Δx

f ' (c )= limΔx →0

(3(c+Δx )2+5 )−(3c2+5)Δx

f ' (c )= limΔx →0

(3c2+6cΔx+3( Δx )2+5 )−(3c2+5)Δx

f ' (c )= limΔx →0

6 c+3 Δx

f ' (c )=6 c

f ' (2)=6(2)=12 , sama dengan hasil sebelumnya.

5. Carilah turunan fungsi f ( x )=(2 x+1)2!

Jawab:

f '( x)= lim∆ x →0

(2 [ x+∆ x ]+1 )2−(2 x+1)2

∆ x

58

Page 60: Kalkulus Dasar 1.0

f '( x)= lim∆ x →0

( [ 2 x+2 ∆ x ]+1 )2−(2 x+1)2

∆ x

f '( x)= lim∆ x →0

( [2 x+2∆ x ]2+2 [ 2x+2∆ x ]+1)−(2 x+1)2

∆ x

f '( x)= lim∆ x →0

( [4 x2+8 x ∆ x+4(∆ x)2 ]+[ 4 x+4 ∆ x ]+1)−(4 x2+4 x+1)∆ x

f ' ( x )= lim∆ x →0

8 x ∆ x+4 ∆ x+4 (∆ x )2

∆ x= lim

∆ x→ 08 x+4+4 ∆ x

f ' ( x )=8 x+4

Hasil yang sama diperoleh dengan mengubah bentuk f (x) menjadi 4 x2+4 x+1

f '( x)= lim∆ x →0

(4 [ x+∆ x ]2+4 [x+∆ x ]+1)−(4 x2+4 x+1)∆ x

f '( x)= lim∆ x →0

(4 x2+8 x ∆ x+4(∆ x)2+4 x+4 ∆ x+1)−(4 x2+4 x+1)∆ x

f '( x)= lim∆ x →0

8 x ∆ x+4 ∆ x+4(∆ x)2

∆ x

f ' ( x )=8 x+4

2. TURUNAN FUNGSI ALJABAR

2.1. Turunan Fungsi Berbentuk a xn

Fungsi-fungsi aljabar pada dasarnya berbentuk f(x) = axn, dengan a

dan n suatu konstanta. Jika n = 0, maka fungsi itu akan tereduksi menjadi

f(x) = a, yang disebut sebagai fungsi konstan. Jika dan n = 1, fungsi f(x) akan

tereduksi menjadi f(x) = ax, yang disebut fungsi linear, dan fungsi linear

dengan a = 1 akan menjadi fungsi identitas, f(x) = x. (Keterangan: untuk

fungsi polinom, nilai n yang paling tinggi pada fungsi disebut orde suatu

fungsi, misalkan f ( x )=3 x3+8 x−6 memiliki orde 3. Semua fungsi berorde

satu disebut fungsi linear, termasuk fungsi konstan).

59

Page 61: Kalkulus Dasar 1.0

A. Turunan Fungsi Konstan

Diberikan fungsi f(x) = a. Turunan fungsi f(x) ialah

f ' ( x )= limΔ x →0

f ( x+Δ x )−f ( x)Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

x+Δ x−xΔ x

= limΔ x →0

Δ xΔ x

f ' ( x )=1 (3.2)

B. Turunan Fungsi Linear

Turunan dari fungsi yang berbentuk f(x) = ax ialah:

f ' ( x )= limΔ x →0

f ( x+Δ x )−f ( x)Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

a ( x+Δ x )−axΔ x

f ' ( x )= limΔ x →0

ax+a Δ x−axΔ x

= limΔ x →0

a Δ xΔ x

f ' ( x )=a (3.3)

Perhatikan fungsi f(x) = ax dapat kita urai menjadi f ( x )=a × g ( x ), di

manag ( x )=x, yaitu fungsi konstan yang turunannya telah kita ketahui

dari pembahasan sebelumnya. Jadi didapatkan turunan dari perkalian

suatu skalar dengan suatu fungsi sama dengan perkalian suatu skalar

dengan turunan suatu fungsi: ddx

a . g ( x )=a .ddx

g (x). (3.4)

C. Turunan Fungsi axn

Turunan dari fungsi yang berbentuk f(x) = axn ialah:

f ' ( x )= limΔ x →0

f ( x+Δ x )−f ( x)Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

a ( x+Δ x )n−axn

Δ x

Menggunakan deret binomial Newton

(a+b )n=¿

an+an−1 b+n(n−1)

2!an−2 b2+

n (n−1 )(n−2)3 !

an−2b2+…+nabn−1+bn

60

Page 62: Kalkulus Dasar 1.0

Diperoleh:

f ' ( x )= limΔ x →0

a {xn+nxn−1 Δ x+n(n−1)

2 !x

n−2

( Δ x)2+…+( Δ x)n}−axn

Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

a Δ x {nxn−1+n (n−1)

2 !x

n−2

Δ x+…+nx (Δ x)n−2+( Δ x)n−1}Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

a {nxn−1+n(n−1)

2 !x

n−2

Δ x+…+nx ( Δ x)n−2+(Δ x)n−1}f ' ( x )=anxn−1 (3.5)

2.2. Turunan dari Penjumlahan, Pengurangan, Perkalian, dan Pembagian

Fungsi

Suatu fungsi dapat berupa penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan

pembagian dari dua atau lebih fungsi satu suku. Turunan dari fungsi-fungsi

itu akan kita temukan dalam penjabaran di bawah ini.

A. Turunan Jumlah dan Selisih Fungsi-Fungsi

Misalkan fungsi f ( x )=u ( x )+v (x)

f ' ( x )= limΔ x →0

f ( x+Δ x )−f ( x)Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

{u ( x+Δ x )+v ( x+Δ x ) }−{u ( x )+v (x )}Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

u ( x+ Δ x )−u ( x )Δ x

+ limΔ x → 0

v (x+Δ x )−v (x )Δ x

f ' ( x )=u' ( x )+v ' (x)

Dengan cara yang sama diperoleh turunan dari selisih fungsi

f ( x )=u ( x )−v (x ) ialah f ' ( x )=u' ( x )−v ' (x ). Jadi dapat dituliskan

(u+v )'=u'+v ' dan (u−v )'=u'−v ' . (3.6)

B. Turunan Perkalian Fungsi

Misalkan fungsi f ( x )=u ( x ) ∙ v (x)

61

Page 63: Kalkulus Dasar 1.0

f ' ( x )= limΔ x →0

f ( x+Δ x )−f ( x)Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

u ( x+ Δ x ) ∙ v ( x+Δ x )−u ( x ) ∙ v (x)Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

u ( x+ Δ x ) ∙ v ( x+Δ x )−u ( x+Δ x ) ∙ v (x )+u ( x+Δ x ) ∙ v (x)−u ( x ) ∙ v (x )Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

{v ( x ) u ( x+Δ x )−u ( x )Δ x

+u (x+Δ x ) v ( x+ Δ x )−v (x)Δ x }

f ' ( x )= limΔ x →0

v ( x )lim

Δ x→ 0u ( x+ Δ x )−u ( x )

Δ x

+ limΔ x →0

u ( x+Δ x )lim

Δ x → 0v ( x+ Δ x )−v (x)

Δ x

f ' ( x )=u' ( x ) ∙ v (x )+u(x) ∙ v ' (x)

Atau biasa dituliskan (uv )'=u' v+uv ' . (3.7)

C. Turunan Pembagian Fungsi

Turunan suatu pembagian fungsi dapat kita cari dari hasil yang telah

kita dapatkan dalam turunan perkalian fungsi, mangingat pembagian

adalah invers dari perkalian. Misalkan suatu fungsi f ( x )=u ( x )v ( x )

maka

u ( x )=f ( x ) ∙ v (x), sehingga diperoleh:

u' (x )=f ' ( x )× v (x )+ f (x )× v ' (x)

f ' ( x )× v ( x )=u' (x )−f ( x)× v ' (x )

Dengan mensubstitusi nilai f(x) pada ruas kanan

f ' ( x )× v ( x )=u' (x )−u (x)v (x)

× v ' (x )

f ' ( x )× v ( x )=u' ( x ) ∙ v ( x )−u (x) ∙ v ' (x)v (x )

f ' ( x )=u' ( x ) ∙ v ( x )−u (x) ∙ v ' (x)

{v (x )}2

Atau biasa dituliskan ( uv )

'

=(u ’v – uv ’)

v2 . (3.8)

62

Page 64: Kalkulus Dasar 1.0

Berikut diberikan rangkuman rumus-rumus sederhana untuk menghitung

turunan fungsi yang mudah dihafal dan digunakan sebagaimana yang telah

didapatkan sebelumnya.

1. Turunan fungsi konstan.

Jika f ( x )=c , c suatu konstanta, maka f ' ( x )=0 ; ∀ x∈ℜ

2. Turunan fungsi identitas.

Jika f ( x )=x , maka f ' ( x )=1 ; ∀ x∈ℜ

3. Turunan fungsi pangkat.

Jika f ( x )=xn, maka f ' ( x )=n . xn−1 ; n∈Z+ ; x≠0

4. Aturan jumlah.

Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan, maka

( f +g ) '( x )= f '( x )+g ' (x )

5. Aturan selisih.

Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan, maka

( f −g )' (x )= f ' ( x )−g '( x )

6. Aturan hasil kali

Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan, maka

( f⋅g) '( x )=f ' (x ) g (x )+ f ( x ) g '( x )

Atau biasa dinyatakan u⋅v

dydx

=u ' v+uv '

7. Aturan hasil bagi.

Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan dengan g( x )≠0 , maka

( fg )

'

( x )=f ' ( x ) g( x )−f ( x ) g '( x )

( g( x ))2

Atau biasa dinyatakan

uv

dydx

=u ' v−uv '

v2

8. Rumus turunan untuk fungsi trigonometri

Jika f ( x )=sin x , maka f ' ( x )=cos x

63

Page 65: Kalkulus Dasar 1.0

Jika f ( x )=cos x , maka f ' ( x )=−sin x

Jika f ( x )=tan x , maka f ' ( x )=sec2 x

3. TURUNAN FUNGSI TRIGONOMETRI

3.1. Turunan Fungsi Sinus

Misalkan diketahui fungsi f ( x )=sin x , turunan fungsi f (x) terhadap x

ialah:

f ' ( x )= limΔ x →0

f ( x+Δ x )−f ( x)Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

sin ( x+Δ x )−sin xΔ x

Dengan mengingat kembali perubahan bentuk trigonometri,

sin(a+b)=sin acosb+cosa sin b, dapat kita lakukan substitusi:

f ' ( x )= limΔ x →0

sin x cos Δ x+cos x sin Δ x−sin xΔ x

f ' ( x )= limΔ x →0 {sin x (cos Δ x−1 )

Δ x+cos x

sin Δ xΔ x }

f ' ( x )=sin x ∙ limΔ x →0

(cos Δ x−1 )Δ x

+cos x ∙ limΔ x→ 0

sin Δ xΔ x

Dari teori limit yang telah diberikan pada bab 2, khususnya pada

bagian limit fungsi trigonometri telah dibuktikan

limΔ x →0

(cos Δ x−1 )Δ x

=0 dan limΔ x →0

sin Δ xΔ x

=1

Dengan mensubstitusikan nilai di atas, terakhir diperoleh

f ' ( x )=sin x ∙0+cos x ∙1

Jadi, dapat disimpulkan:

ddx

sin x=cos x (3.9)

3.2. Turunan Fungsi Cosinus

64

Page 66: Kalkulus Dasar 1.0

Misalkan diketahui fungsi f ( x )=cos x, turunan fungsi f (x) terhadap x

ialah:

f ' ( x )= limΔ x →0

f ( x+Δ x )−f ( x)Δ x

f ' ( x )= limΔ x →0

cos (x+Δ x )−cos xΔ x

Dengan mengingat kembali perubahan bentuk trigonometri,

cos (a+b)=cos acosb−sin a sin b, dapat kita lakukan substitusi:

f ' ( x )= limΔ x →0

cos x cos Δ x−sin x sin Δ x−cos xΔ x

f ' ( x )= limΔ x →0 {cos x (cos Δ x−1 )

Δ x−sin x

sin Δ xΔ x }

f ' ( x )=cos x ∙ limΔ x → 0

(cos Δ x−1 )Δ x

+sin x ∙ limΔ x→ 0

sin Δ xΔ x

f ' ( x )=cos x ∙ 0−sin x ∙1

Jadi, dapat disimpulkan:

ddx

cos x=−sin x (3.10)

3.3. Turunan Fungsi Tangen

Misalkan diketahui fungsi f ( x )=tan x, turunan fungsi f (x) terhadap x

ialah dengan mudah dicari berdasarkan aturan turunan fungsi pembagi,

mengingat tan x= sin xcos x

.

f ' ( x )=u' ( x ) v (x )−u ( x ) v '( x)v ( x)2

f ' ( x )= (cos x ) (cos x )−(sin x ) (−sin x )cos2 x

f ' ( x )= cos2 x+sin2 xcos2 x

f ' ( x )= 1

cos2 x=sec2 x

Jadi, dapat disimpulkan:

65

Page 67: Kalkulus Dasar 1.0

ddx

tan x=sec2 x (3.11)

4. TURUNAN FUNGSI KOMPOSIT DAN ATURAN RANTAI

Misalkan fungsi f terturunkan di x dan fungsi g terturunkan di f ( x )

maka fungsi komposisi ( g∘ f ) dapat diturunkan di x, sehingga

Jika y ( x )=( g∘ f )(x ), maka

y '( x )=( g∘ f )' ( x )=( g( f ( x ))) '=g '( f ( x ))( f '( x ))

Rumus di atas disebut aturan rantai yang dapat dituliskan dengan singkat

sebagai:

dydx

=dydu

dudx

(3.12.a)

Pembuktian sederhana untuk teorema ini ialah misalkan fungsi y

merupakan fungsi dari u, y=f (u), sedangkan u sendiri merupakan fungsi dari x,

u=g (x) yang keduanya terdefinisi dalam interval I demikian sehingga

∆ u=g ( x+∆ x )−g(x )

∆ y=f (u+∆ u )−f (u )=f ( g ( x+∆ x ) )−f (g ( x ))

Jadi dalam bentuk diferensial

dydx

= lim∆ x→ 0

∆ y∆ x

= lim∆ x→ 0

∆ y∆ u

∙∆ u∆ x

Mengingat u=g (x), maka dengan ∆ x →0 otomatis ∆ u→ 0 sehingga

dydx

= lim∆u → 0

∆ y∆ u

∙ lim∆x → 0

∆ u∆ x

=dydu

dudx

Atau untuk fungsi komposit yang terdiri dari beberapa sub fungsi, aturan

rantai dapat diperpanjang lagi.

dydx

=dydu

×dudv

×…×dzdx

(3.12.b)

66

Page 68: Kalkulus Dasar 1.0

Contoh:

1. Tentukan turunan fungsi y=(8 x3−4 x)8

Jawab:

Misalkan 8 x3−4 x=u, sehingga y=u8 dan dudx

=2 x−4

ddx

(8 x3−4 x )8=(2 x−4 ) ddu

u8=8 (2 x−4 ) u7=8(2 x−4)(8 x3−4 x )7

dydx

=dydu

dudx

ddx

(8 x3−4 x )8=8(8 x3−4 x )7 (2 x−4)

2. Tentukan turunan fungsi berikut ini!

a. y=6 x2+9 x−3

b.y=2 x+1

3 x+2

c. y=2 cos x−x3

d. y=6 cos (5−2 x )

Jawab:

a. y=6 x2+9 x−3 , maka y '=12 x+9

67

Tips:

Untuk fungsi berbentuk f ( x )= {u(x) }n maka turunan fungsi f ( x ) terhadap x ialah

f ' ( x )=n {u (x ) }n−1u' (x).

Page 69: Kalkulus Dasar 1.0

b. Misalkan u=2 x+1 dan v=3 x+2

y '=u ' v−uv '

v2

y '=2(3 x+2)−(2 x+1 )3

(3 x+2)2

y '= 1

(3 x+2 )2

c. y=2cos x−x3

sehingga y '=2(−sin x )−(3 )x2

=−2sin x−3 x2

d. y=6 cos(5−2 x)

Anggap w=5−2x , sehingga dwdx

=−2

y '=dydx

= dydw

dwdx

=(−6 sin w ) (−2 )=12sin w

y '=12 sin(5−2 x )

3. Tentukanlah turunan dari fungsi lingkaran, y=√a2−x2 terhadap x!

Jawab:

ddx

(a2−x2 )12= d

dxu

12=2 x

ddu

u12

ddx

(a2−x2 )12=2 x (−1

2u

−12 )= −x

√a2−x2

Dengan kata lain dydx

=−xy

Jika diambil bagian positifnya saja dan a = 5, grafiknya menggunakan Matlab

ialah sebagai berikut:

68

Page 70: Kalkulus Dasar 1.0

5. TURUNAN TINGKAT TINGGI (ORDE TINGGI)

Turunan suatu fungsi, yang juga merupakan suatu fungsi masih dapat

diturunkan lagi asalkan memenuhi syarat-syarat turunan, yaitu masih memiliki

faktor yang akan diturunkan. Turunan kedua fungsi f didefinisikan sebagai

turunan dari fungsi turunan pertama, dan seterusnya.

Turunan kedua fungsi f dinotasikan dengan y '' ;

d2 ydx2

; f ''( x ) atau D

2x y .

Atau turunan ke-n fungsi f dinotasikan dengan y(n ) ;

dn ydxn

; f (n)( x ) atau D

nx y ..

Secara umum turunan ke-n didefinisikan sebagai:

f (n)( x )=limh→0

f (n−1 )( x+h)−f (n−1)( x )h

Misalkan untuk fungsi f ( x )=2 x4, maka

f ' ( x )=8 x3

f ''( x )=24 x2

f '''( x )=48 x

f iv( x )=48

69

Page 71: Kalkulus Dasar 1.0

Pada bagian terdahulu telah dibahas mengenai turunan fungsi komposisi,

antara lain yang berbentuk perkalian fungsi f ( x )=u ( x ) ∙ v (x). Bila fungsi seperti

ini diturunkan sekali, menghasilkan bentuk

f ' ( x )=(uv) '=u' v+uv '

Jika f '( x) diturunkan sekali lagi terhadap x, menghasilkan turunan ke-dua

yang berbentuk

f ' ' (x )=(u' v+u v ' )'=u' ' v+u' v '+u ' v '+u v' '

f ' ' (x )=u' ' v+2u' v '+uv ' ' (3.13)

Jika diteruskan ke turunan ke-tiga, pola yang sama memberikan

f ' ' ' (x)= (u' ' v+2 u' v '+uv ' ' ) ' dan diperoleh

f ' ' ' ( x )=u ' ' ' v+3u ' ' v+3 u' v ' '+uv ' ' ' (3.14)

Apakah pola ini mengingatkan Anda pada sesuatu?

....

Bukan, Anda tidak melupakan cucian Anda, yang saya maksud adalah, ya!

Deret binomial Newton! Jika telah lupa, di sini diingatkan sekali lagi deret

binomial Newton adalah deret ekspansi dari bentuk (a+b)n.

(a+b)n=an+nan−1 b+n (n−1 )

2 !an−2 b2+

n (n−1 )(n−2)3 !

an−3 b3+… (3.15)

Jika n bilangan bulat positif, kita dapat mengingat koefisien tiap suku

menggunakan segitiga Pascal yang telah diajarkan saat SMP.

11 1

1 2 11 3 3 1

1 4 6 4 1

... dan seterusnya.

Tentu saja karena orde dari turunan selalu bilangan bulat, maka dengan

mudah kita dapat mengingat koefisien-koefisiennya dari segitiga Pascal. Metode

turunan tingkat tinggi ini disebut aturan Leibniz.

dn

dxn {u ( x ) ∙ v ( x ) }=dn udxn v+n

dn−1 udxn−1

dvdx

+n (n−1)

2 !dn−2udxn−2

d2vdx2 +… (3.16)

70

Page 72: Kalkulus Dasar 1.0

Misalkan kita disuruh pak guru mencari turunan ke-lima dari fungsi

f ( x )=x2 sin x. Jika kita terapkan aturan Leibniz dengan menamakan u=sin x dan,

v=x2 diperoleh

d9

dx9 f ( x )=uv ∙ v+5 uiv ∙ v'+10 u' ' ' ∙ v ' '+10 u' ' ∙ v ' ' '+5 u' ∙ v iv +u ∙ vv

Ingatlah turunan ke-tiga, ke-empat, dan seterusnya dari u=x2 adalah nol,

dan turunan fungsi sinus dan cosinus akan berulang setiap empat orde (dengan

kata lain turunan ke-empat, ke-delapan, dst dari sin x ialah sin x), maka

didapatkan

d5

dx5 f (x)=(cos x )( x2 )+5(sin x ) (2 x )+10 (−cos x )(2)+0+0+0

d5

dx5 (x2 sin x)=x2 cos x+10 x sin x−20 cos x

71

Catatan:

f ( x ) → f ' ( x ) → f ' ' ( x )→ f ' ' ' (x)→ f iv (x)

sin x→ cos x →−sin x→−cos x→ sin x

Page 73: Kalkulus Dasar 1.0

Contoh:

1. Gerak rotasi suatu roda memenuhi persamaan θ=5 t2+4 t +3 , dengan θ dan

t masing-masing dinyatakan dalam radian dan detik. Tentukanlah persamaan

kecepatan sudut roda dan percepatan sudutnya!

Jawab:

Persamaan kecepatan benda adalah

ω ( t )=s '( t )= limΔt →0

ΔθΔt

= limΔx→0

θ( t +Δt )−θ( t )Δt

= limΔx→ 0

(5( t+ Δt )2+4 ( t+Δt )+3)−(5( t )2+4 t +3 )Δt

=5 t +4 rad s-1

Percepatan sudut roda adalah:

α ( t )=ω' ( t )= limΔx→ 0

ω ( t+ Δt )−ω( t )Δt

= limΔx→ 0

(5( t+ Δt )+4 )−(5( t )+4 )Δt

=5 rad s-2

2. Tentukan turunan pertama, kedua dan ketiga dari fungsi

f ( x )=6 x4+3 x3+x+8 !

Jawab:

f ( x )=6 x4+3 x3+x+8

f ' ( x )=24 x3+9 x2+1

f ''( x )=72 x2+18 x

f '''( x )=144 x+18

3. Tentukan turunan ke-dua, ke-tiga dan ke-empat dari f ( x )=sin xdan

f ( x )=cos x!

Jawab:

72

Page 74: Kalkulus Dasar 1.0

a) f(x) = sin x b) f(x) = cos x

f’(x) = cos x f’(x) = -sin x

f’’(x) = -sin x f’’(x) = -cos x

f’’’(x) = -cos x f’’’(x) = sin x

fiv(x) = sin x fiv(x) = cos x

Dibuktikan bahwa tiap empat orde turunan, fungsi sin x dan cos x akan

kembali ke bentuk awalnya.

4. Carilah turunan ke-sembilan dari f ( x )=3 x cos x!

Jawab:

Namakan u=cos x dan, v=3 x. Turunan orde yang lebih tinggi dari satu dari v

pastilah nol, sehingga menyisakan:

d9

dx9(3 xcos x )=(sin x ) (3 x )+9 (cos x )(3)

d9

dx9(3 xcos x )=3x sin x+27 cos x

73

Tips:

Agar tidak bingung, pilih v(x) yang habis jika terus diturunkan, misal 3x sudah

menjadi nol pada turunan ke-dua. Berbeda dengan cos x yang tak bisa habis

berapa kali pun diturunkan.

Page 75: Kalkulus Dasar 1.0

6. TURUNAN FUNGSI IMPLISIT

Suatu fungsi yang dinyatakan dalam bentuk y=f ( x ) , maka fungsi ini

selalu dapat dinyatakan dalam bentuk F ( x , y ) yakni f ( x )− y=0 . Sebaliknya

tidak semua fungsi yang dinyatakan dalam bentuk F ( x , y ) dapat diubah ke

dalam bentuk y=f ( x ) , misal √4 x2−x− y=0 .

Fungsi yang dinyatakan dalam bentuk y=f ( x ) disebut fungsi eksplisit,

sedangkan fungsi yang dinyatakan dalam bentuk F ( x , y ) disebut fungsi implisit.

Fungsi eksplisit merupakan bagian dari grafik fungsi implisitnya.

Dalam mendiferensialkan fungsi implisit, setiap suku diturunkan

terhadap x. Contoh pada persamaan x2+ y2=9 , turunan pertamanya adalah:

ddx

( x2 )+ ddx

( y2 )= ddx

(9)

2 x+2 ydydx

=0

dydx

=− xy

; y≠0

7. TURUNAN FUNGSI PANGKAT RASIONAL

Sudah dibuktikan sebelumnya pada uraian yang lalu bahwa untuk n

bilangan bulat sembarang berlaku:

Jika y=xn, maka y '=n. xn−1

, dengan n bilangan bulat.

Sekarang akan diperluas untuk n berupa bilangan rasional sembarang.

Karena n rasional, maka n dapat dituliskan sebagai p

q , dengan p dan q

bilangan bulat dan q>0. Jika y=xn=xp

q, maka y

q=x p , dan dengan turunan

implisit diperoleh:

74

Page 76: Kalkulus Dasar 1.0

qyq−1 dydx

=px p−1

dydx

= pq

x p−1

yq−1= p

qx p−1

( x p/q )q−1= p

qx p−1

x p−p/q

dydx

= pq

x p−1−p+ p/q= pq

x p/q−1=n. xn−1

Dari penurunan rumus diatas didapatkan bahwa

Jika y=xn , maka y '=n. xn−1

, dengan n bilangan real.

Contoh:

1. Suatu fungsi dirumuskan f ( x )=6 x3 /2+x1 /2−3, tentukanlah turunan pertama

fungsi f !

Jawab:

Berdasarkan teorema tadi maka dapat digunakan rumus ddx

( xn )=n . xn−1 .

f ' ( x )=( 23 )6x

32−1

+( 12 ) x

12−1

−(0)3

f ' ( x )=4 x12+ 1

2x

−12 =4√ x+ 1

2√x

8. Analisis Gradien dan Nilai Ekstrim

Telah dibahas pada subbab 1 bahwa turunan pertama suatu fungsi adalah

interpretasi langsung dari gradien fungsi itu. Jika Anda sudah lupa dengan

definisi gradien, di sini diingatkan kembali bahwa gradien adalah kemiringan

garis dalam suatu selang atau titik tertentu. Pada fungsi konstan dan fungsi linier

gradien garisnya konstan di sepanjang garis, sedangkan pada kurva dengan

persamaan orde dua atau lebih memiliki gradien yang berubah-ubah pada setiap

titik. Jadi jika perubahan gradien terjadi di setiap titik, maka gradien suatu titik

sama saja dengan gradien garis singgung garis pada titik tadi. Pada subbab ini

75

Page 77: Kalkulus Dasar 1.0

akan dijelaskan bagaimana mengetahui sifat-sifat (properties) dari grafik

menggunakan turunan.

8.1. Nilai Ekstrim dan Titik Belok

Analisis langsung dari gradien adalah mengetahui kecenderungan

kurva naik atau turun. Jika kurva (atau suatu selang pada kurva) naik, maka

jelaslah gradien pada daerah itu positif, sedangkan jika kurva turun maka

gradiennya pastilah negatif.

Gambar 3.1.

Perhatikan gambar di atas (jika tidak keberatan). Mengingat m=∆ y∆ x

,

maka bila ∆ y>0 (naik) maka m>0. Sebaliknya bila ∆ y<0 (turun) maka m<0

. Pada selang ab diperoleh ∆ y yang menurun (m < 0), pada titik 0 ∆ y=0 (m

= 0), dan pada selang cd diperoleh ∆ y yang menanjak (m > 0). Jadi dengan

mengetahui turunan pertama suatu fungsi (yang tidak lain gradien garis)

dapat diketahui kemonotonan selang kurva itu naik, turun, atau tidak naik

maupun turun (datar).

a. Jika f ' ( x )>0 maka m>0 (monoton naik)

b. Jika f ' ( x )=0 maka m=0 (tetap/stasioner)

c. Jika f ' ( x )<0 maka m<0 (monoton turun)

76

Page 78: Kalkulus Dasar 1.0

Titik di mana gradien garis singgungnya sama dengan nol disebut titik

titik stasioner. Jika titik stasioner ini mempunyai nilai maksimal (dalam

daerah lokal), maka titik itu disebut juga titik maksimum. Sebaliknya jika

titik stasionernya mempunyai nilai minimal (dalam daerah lokal), maka

titik itu disebut juga titik minimum. Jika titik stasioner itu bukan nilai

maksimal atau minimal pada daerah lokal, maka titik stasioner itu disebut

titik belok. Bagaimana cara membedakan titik maksimum, titik minimum

dan titik belok? Caranya adalah dengan mengamati gradien lokal di sebelah

kiri dan kanan titik stasioner. Mudahnya adalah dengan memperhatikan

gambar berikut:

Gambar 3.2. Titik minimum, titik masimum, dan titik belok.

Jelas bukan? Pada gambar titik stasionernya berada pada x = 0, tapi

definisi ini berlaku di mana pun letak titik stasioner. Jika dikalimatkan

definisinya kira-kira seperti ini:

a. Jika daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton turun dan di

sebelah kanannya monoton naik, maka titik stasioner itu adalah titik

minimum.

b. Jika daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton naik dan di

sebelah kanannya monoton turun, maka titik stasioner itu adalah titik

maksimum.

c. Jika daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton naik dan di

sebelah kanannya monoton naik, atau daerah lokal di sebelah kiri titik

77

Page 79: Kalkulus Dasar 1.0

monoton naik

Kiri naik kanan turuntitik maksimum

Turunan pertama di suatu titik. monoton turun

stasioner Kiri turun kanan naik

titik minimum

Kiri turun kanan turun atau kiri naik kanan naiktitik belok

ekstremum

stasioner monoton turun dan di sebelah kanannya monoton turun maka

titik stasioner itu adalah titik belok.

Titik maksimum dan titik minimum disebut juga ekstremum atau

titik balik karena merupakan titik dengan nilai tertinggi atau terendah pada

daerah/selang lokal. Mungkin cukup pusing untuk mengingat istilah istilah

di atas, oleh karena itu sebaiknya mengamati definisi-definisi di atas dalam

bentuk bagan (chart).

8.2. Interval Naik, Interval Turun, dan Kecekungan

Pada bagian 8.1. selalu disebutkan “selang lokal” atau “daerah lokal”,

apa sih maksudnya? Mengapa harus secara lokal, tidak secara keseluruhan?

Pertanyaan di atas akan dijawab pada bagian ini. Pada dasarnya tidak ada

kewajiban bagi semua kurva untuk hanya memiliki satu titik stasioner.

Lebih detail, fungsi orde dua (pangkat tertinggi dari variabelnya adalah

dua) memiliki satu titik stasioner, fungsi orde tiga memiliki dua titik

stasioner, fungsi orde empat memiliki tiga titik stasioner, dan seterusnya.

Ya, tentu saja fungsi linear (orde nol dan satu) tidak memiliki titik stasioner.

78

Page 80: Kalkulus Dasar 1.0

Nah, oleh karena suatu kurva bisa saja memiliki lebih dari satu titik

stasioner, makanya dalam penjelasan sebelumnya diberikan embel-embel

selang lokal atau daerah lokal.

Gambar 3.3. Grafik fungsi f ( x )=x3−4 x.

Misalkan fungsi f ( x )=x3−4 x memiliki persamaan gradien

m=f ' ( x )=3 x2−4. Ingat pada titik stasioner gradiennya adalah nol, dengan

demikian dengan mudah kita peroleh absis dari titik stasionernya ialah:

3 x2−4=0

x2=43

→ x=±√ 43

Jadi titik stasionernya ada dua (karena fungsinya orde tiga), yakni

pada x1=−√ 43

dan x2=√ 43

. Untuk mencari koordinat lengkapnya, masukkan

saja nilai-nilai x itu ke dalam f ( x ), diperoleh:

y1=(−√ 43 )

3

−4 (−√ 43 )=−√ 64

27+√ 64

3=√64 √9−√64

√27=√576−√64

√27= 16

√27

79

Page 81: Kalkulus Dasar 1.0

Dengan cara yang serupa diperoleh y2=−16

√27 . Dengan demikian

koordinat titik stasioner dari fungsi f ( x )=x3−4 x adalah (−√ 43

,16√27 ) dan

(√ 43

,− 16√27 ). Jadi terdapat tiga interval pada kurva fungsi f ( x ) yakni:

a. Selang x←√ 43

atau (∞ ,−√4/3) , f ( x ) monoton naik.

b. Selang −√ 43<x<√ 4

3 atau (−√4 /3 ,√4 /3), f ( x ) monoton turun.

c. Selang x>√ 43

atau (√4 /3 , ∞), f ( x ) monoton naik.

Dengan demikian, jika kita mempertanyakan status titik stasioner di

(−√ 43

,16√27 ), maka titik stasioner itu adalah titik balik maksimum,

meskipun di sebelah kanan titik x=−√ 43

tidak monoton turun, melainkan

naik lagi di titik x=√ 43

, tetapi turunnya gradien pada daerah lokal

(−√4 /3 ,√4 /3) sudah cukup untuk menjadikan titik (−√ 43

,16√27 ) sebagai

titik balik maksimum dalam selang (−∞,√4 /3). Hal yang serupa berlaku

pada titik (√ 43

,− 16√27 ) yang merupakan titik balik minimum dalam selang

(−√4 /3 , ∞).

Nah, sekarang kita akan membahas kecekungan kurva. Kurva yang

berbentuk parabola dan sejenisnya tentunya memiliki bentuk cekung.

Berikut definisi kecekungan kurva secara formal.

a. Jika m=f ' (x) naik dalam selang I, maka grafik fungsi f (x) dikatakan

cekung ke atas dalam selang I.

b. Jika m=f ' (x) turun dalam selang I, maka grafik fungsi f (x) dikatakan

cekung ke bawah dalam selang I.

80

Page 82: Kalkulus Dasar 1.0

Oke, sebenarnya pemahamannya cukup sederhana, jika grafik f (x)

melengkung ke atas pada selang tertentu, maka ia cekung ke atas.

Sebaliknya jika f (x) melengkung ke bawah, maka ia cekung ke bawah.

Perhatikan lagi gambar 3.2, pada gambar (a) kurva monoton (dari selang

x=(−∞ , ∞)) cekung ke atas, sedangkan pada gambar (b) cekung ke bawah.

Terlihat jelas untuk kurva yang monoton cekung ke atas parabolanya

menghadap ke atas, sedangkan kurva yang monoton cekung ke bawah

parabolanya menghadap ke bawah. Untuk kurva yang memiliki lebih dari

satu titik stasioner tentu saja memungkinkan memiliki kecekungan yang

berubah-ubah pada selang tertentu. Misalkan untuk fungsi f ( x )=x3−4 x

(lihat gambar 3.3), kurvanya cekung ke bawah dalam selang (−∞,0) dan

cekung ke atas dalam selang (0 , ∞).

Nah, jika dikaitkan dengan diferensial mengingat kecekungan adalah

perubahan kemiringan, maka kecekungan dapat dinyatakan dalam

kecekungan=∆ m∆ x

=dmdx

(3.17.a)

Padahal kemiringan/gradien, m, adalah perubahan ketinggian

m=dydx

Berarti kecekungan adalah turunan ke-dua dari fungsi y=f (x ).

kecekungan=d2 ydx2 =f ' ' (x) (3.17.b)

Jadi jika f ' ' (x ) bernilai positif, maka f (x) cekung ke atas, jika f ' ' (x ) bernilai

negatif, maka f (x) cekung ke bawah, sedangkan jika f ' ' ( x )=0, maka f (x)

linear.

Satu hal lagi yang melibatkan kecekungan suatu grafik fungsi, yaitu

untuk menganalisis titik stasioner yang merupakan titik balik (ekstremum)

dan yang merupakan titik belok. Misalkan titik stasioner suatu fungsi f (x)

berada pada x=a. Ternyata diperoleh hubungan sebagai berikut.

81

Page 83: Kalkulus Dasar 1.0

a. Jika kecekungan fungsi f (x) di x<a tidak berubah di x>a (tetap cekung

ke atas, [+]), maka titik stasioner a adalah titik balik minimum.

b. Jika kecekungan fungsi f (x) di x<a tidak berubah di x>a (tetap cekung

ke bawah, [-]), maka titik stasioner a adalah titik balik maksimum.

c. Jika kecekungan fungsi f (x) di x<a mengalami perubahan (dari cekung

ke atas menjadi cekung ke bawah atau sebaliknya) di x>a, maka titik

stasioner a adalah titik belok.

Cobalah Anda selidiki bahwa bila f (x) memiliki titik stasioner di x=a,

maka f ' ' (a )=0.

82

Page 84: Kalkulus Dasar 1.0

83

Analisis

Analisis Grafik Fungsi f dan Grafik Fungsi Turunannya

Berikut ini adalah contoh grafik intensitas spesifik dari radiasi benda hitam pada suhu tertentu berdasarkan model Planck yakni

f ( x )=I (λ)=2 πh c2

λ5

1exp (hc / λkT )−1

Sumbu X merupakan panjang gelombang dan sumbu Y menyatakan intensitas spesifik tiap-tiap panjang gelombang.

Sedangkan di bawah ini merupakan grafik dari fungsi f ' (x).

Analisislah hubungan antara grafik suatu fungsi dan grafik turunannya serta turunkanlah persamaan gradiennya.

Page 85: Kalkulus Dasar 1.0

Bab 4 Integral

1. INTEGRAL SEBAGAI ANTI-TURUNAN

Jika f ' (x) merupakan turunan dari dari f (x), maka f (x) merupakan

integral dari f ' (x). Misalkan fungsi f ( x )=4 x3+3 x2−8 x−10, turunan dari f (x)

ialah

f ' ( x )=12 x2+6 x−8

Jika kita gunakan algoritma untuk mencari turunan dari suatu fungsi

polinom (xn):

a. Untuk setiap suku, pangkat dari variabel yang diturunkan dikalikan dengan

konstantanya.

b. Untuk setiap suku, pangkat dari variabel dikurangi satu.

Jadi, untuk mengintegralkan suatu fungsi polinom, kita harus membalik

algoritmanya menjadi:

a. Untuk setiap suku, pangkat dari variabel yang diintegralkan ditambah satu.

b. Untuk setiap suku, pangkat dari variabel (yang telah ditambah satu) menjadi

pembagi dari konstantanya.

Ingatlah untuk suatu proses balik (invers), urutan algoritma juga dibalik.

Dengan menerapkan algoritma ke-2 pada f '( x) semestinya diperoleh f (x). Kita

coba:

Integral f’(x) terhadap x = 12

2+1x2+1+ 6

1+1x1+1− 8

0+1x0+1=4 x3+3 x2−8 x.

Ternyata diperoleh hasil yang sedikit berbeda, suku terakhir f (x), yakni -

10, tidak muncul pada integral dari f '( x). Mengapa? Perhatikan lagi saat f (x)

diturunkan terhadap x, suku ke-empat yang merupakan konstanta (tidak

memiliki variabel x) terturunkan menjadi nol, dengan demikian, saat f '( x)

84

Page 86: Kalkulus Dasar 1.0

diintegralkan suku ke-empat tidak muncul kembali. Coba perhatikan beberapa

fungsi polinom di bawah ini!

g ( x )=4 x3+3 x2−8 x

h ( x )=4 x3+3x2−8 x−14

u ( x )=4 x3+3 x2−8 x+53

Jika ketiga fungsi di atas diturunkan, hasilnya akan sama dengan turunan

dari fungsi f ( x )=4 x3+3 x2−8 x−10, yakni f ' ( x )=4 x3+3x2−8 x . Untuk mengetahui

fungsi mana yang dimaksud sebagai fungsi yang terturun sebagai f ' (x) perlu

diketahui suatu nilai dan hasil pemetaan nilai itu dari fungsi f (x). Jika tidak, maka

kita tak dapat mengetahui fungsi yang menurunkan f ' (x) karena kita tak dapat

mengetahui konstanta apa yang terturunkan menjadi nol. Jadi kita tulis saja

integral dari 4 x3+3 x2−8 x−10 terhadap x ialah 4 x3+3 x2−8 x+C , di mana C

merupakan suatu konstanta riil. Integral seperti ini disebut integral tak tentu.

Jadi, bentuk seperti ∫1du=∫ du sekalipun hasilnya belum tentu sama

dengan u, jadi kita tuliskan ∫ du=u+C .

2. NOTASI INTEGRAL

Integral merupakan lawan (invers) dari turunan, sehingga notasinya pun

dibuat sedemikian sehingga menjadi lawan dari notasi integral. Jika pada turunan

diberikan notasi berbentuk pembagi, semisal d/dx, maka notasi integral

berbentuk pengali, semisal dx.

Notasi turunan fungsi x:ddx

f (x) atau dydx

Notasi integral fungsi x: ∫ f (x )dx atau ∫ y dx

Ya, Anda akan melihat notasi khusus pada operasi integral berupa simbol

S (dari kata sum, penjumlahan) yang digayakan seperti halnya penambahan

simbol “d” pada operasi turunan. Itu adalah notasi baku dari integral, meskipun

85

Page 87: Kalkulus Dasar 1.0

hanya dengan menuliskan f ( x ) dx sudah cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa

yang dimaksud ialah integral dari f ( x ) terhadap x.

Keuntungan matematis dari penulisan notasi turunan dan integral

seperti itu dapat Anda saksikan pada contoh dibawah ini:

“Integral terhadap x dari turunan terhadap x dari fungsi f ( x ) ialah fungsi

f ( x )itu sendiri”.

∫( ddx

f ( x ))dx=∫ d ( f (x))=f ( x )

Lihat? Anda cukup mengalikan notasi dx dengan notasi 1/dx sehingga

menjadi 1. Perhatikan lagi contoh yang kedua.

u=32

x2 ;dudx

=3 x

du=3 xdx

∫ du=∫3 x dx ;u=32

x2+C

Jadi notasi turunan dan integral seperti itu memudahkan pemahaman

dan penulisan persamaan. Untuk keperluan praktis, integral dari fungsi f ( x ) juga

lazim dituliskan F ( x ), namun penulisan ini sebaiknya dihindari kecuali memang

diberikan keterangan untuk itu.

Tidak hanya untuk fungsi polinom, untuk semua fungsi matematis juga

berlaku hal yang sama, sesuai dengan teorema fundamental kalkulus.

Jika suatu fungsi f ( x ) terintegralkan di suatu titik menjadi F ( x ), maka

turunan dari F ( x )ialah f ( x ).

Misalkan turunan dari fungsi sin x ialah cos x , dengan demikian

∫cos xdx=sin x+C

Turunan dari fungsi cos x ialah – sin(x), dengan demikian

∫sin x dx=−cos x+C

Contoh:

86

Page 88: Kalkulus Dasar 1.0

1. Carilah ∫ 4 x2+12 x+9 dx!

Jawab:

Dengan menggunakan algoritma pada bab 4 bagian 1, diperoleh:

∫ 4 x2+12 x+9 dx=4( 13

x3)+12( 12

x2)+9 x+C

∫ 4 x2+12 x+9 dx=43

x3+6 x2+9 x+C

2. Carilah ∫ 4 x2+12 x+9 d (2 x+3)!

Jawab:

Perhatikan bahwa nilai pengintegrasi(integran)-nya ialah 2 x+3, jadi kita harus

mengintegralkan fungsi f ( x )=4 x2+12 x+9 terhadap 2 x+3, bukan terhadap x

atau yang lain.

∫ 4 x2+12 x+9 d (2 x+3 )=∫ (2 x+3 )2 d (2 x+3 )=13

(2 x+3 )3+C

3. Carilah ∫ x2+ax+a2da!

Jawab:

Perhatikan integrannya ialah a, karena x saling bebas dengan a (x bukan fungsi

dari a dan sebaliknya a bukan fungsi dari x) maka x dapat dianggap sebagai

konstanta.

∫ x2+ax+a2da=a x2+12

a2 x+ 13

a3+C

3. INTEGRAL SEBAGAI LUAS DAERAH DI BAWAH KURVA

Masih ingat tentang operator sumasi sigma ( )? Ya, sumasi sigmaΣ

dipergunakan untuk menghitung jumlah diskret dari hasil suatu fungsi. Misalkan

∑n=1

5

2 x, merupakan jumlah dari hasil pemetaan fungsi f ( x )=2 x untuk daerah asal

87

Page 89: Kalkulus Dasar 1.0

dari n = 0 hingga n = 5. Penting untuk diingat daerah asal dari sumasi sigma

hanyalah bilangan bulat.

∑n=0

5

2 x=2 (1 )+2 (2 )++2 (3 )++2 ( 4 )++2 (5 )=30

Perhatikan lagi bahwa sumasi sigma dari fungsi f ( x ) merupakan jumlah

dari segmen-segmen segi empat dengan lebar satu satuan dan panjang sama

dengan hasil fungsi dari nilai tengah segmen segi empat itu. Perhatikan gambar di

bawah ini untuk lebih jelasnya.

Gambar 4.1. Grafik f ( x )=2 x

Jadi operator sumasi sigma dapat digunakan untuk menghitung luas di

bawah kurva f ( x )dengan batas-batas yang ditentukan. Tentu saja untuk fungsi

non-linear, hasil luasan yang diperoleh hanyalah pendekatan. Bagaimana agar

luasan yang diperoleh bisa sedekat mungkin dengan aslinya? Jawabannya ialah

dengan memperkecil lebar segmen-segmen yang dibuat (kita sebut Δ x). Misalkan

luas daerah di bawah kurva f ( x )=x2+1 dari x = 1 hingga x = 3. Kita akan ambil

Δ x=0,5, sehingga diperoleh empat segmen-segmen segi empat sebagai berikut:

88

Page 90: Kalkulus Dasar 1.0

Derah x Nilai tengah x (xi)Hasil fungsi nilai

tengah x (yi)

Luas segmen ke-I

(Δ x × y i)

0,75 – 1,25 1,00 2,00 1,00

1,25 – 1,75 1,50 3,25 1,625

1,75 – 2,25 2,00 5,00 2,50

2,25 – 2,75 2,50 7,25 3,625

2,75 – 3,25 3,00 10,0 5,00

Jumlah 13,75

Jadi diperoleh luas daerah di bawah kurva f ( x )=x2+1 dengan Δ x=0,5

ialah 13,75 satuan luas. Metode penghitungan luas dengan segmen-segmen segi

empat seperti ini disebut penjumlahan Riemann. Bandingkan jika diambil

Δ x=1, diperoleh

∑n=1

3

x2+1=( 12+1 )+ (22+1 )+(32+1)=17

Ternyata hasilnya berbeda cukup jauh, tentulah hasil yang diperoleh

dengan Δ x=0,5 lebih akurat, tapi itupun masih berupa pendekatan. Bagaimana

cara untuk memperoleh hasil yang eksak? Untuk memperoleh hasil yang eksak

Δ x sekecil mungkin hingga mendekati nol. Ternyata hal ini bersesuaian dengan

definisi integral tentu.

∫a

b

f (x )dx=[F (x )]ab=F( x)|x=b−F (x )|x=a=F (b )−F(a)

Dengan F ( x )=∫ f ( x )dx .

Jadi integral tentu f ( x ) terhadap x dari a hingga b merupakan jumlah dari

luas segmen-segmen segi empat dengan lebar segmen Δ x → 0 dan tinggi hasil

fungsi dari xnilai tengah lebarnya dari x=a hingga x=b.

Dengan bahasa komputasi, dapat dibuat algoritma integral tentu seperti

di bawah ini:

a. Deklarasikan rentang x dan inkremen (Δ x )

Misal: x=(1: 0,0001:3)

89

Page 91: Kalkulus Dasar 1.0

Maksudnya x ialah matriks baris (barisan bilangan) dengan batas bawah = 1,

inkremen = 0,0001, dan batas atas = 3.

b. Deklarasikan fungsi y=f (x )

y=x .2+1

Maksudnya y adalah matriks baris (barisan bilangan) yang nilainya yi = xi2 + 1.

c. Hitung luas segmen dengan rumus Li=Δ x× y i

L=0,0001.∗y

d. Jumlahkan semua Li.

Luas = sum(L)

Hmmm… kira-kira seperti itu. Inkremen dapat diperkecil hingga menuju

nol.

Nah, sekarang kita coba menghitung luas daerah dibawah kurva dengan

metode analitik yakni dengan menggunakan rumus yang telah diperoleh.

Luas=∫1

3

x2+1dx=[ x3

3+x+C]

1

3

=( 33

3+3+C)−( 1

2+1+C)=12−

32=10

12

Perhatikan bahwa konstanta C menjadi lenyap, itulah yang menyebabkan

integral ini disebut integral tentu. Diperoleh juga luas daerah dibawah kurva

f ( x )=x2+1 dari x = 1 hingga x = 3. Ini adalah hasil yang eksak, bukan sekedar

pendekatan.

Hal penting lainnya dari kemiripan konsep antara sumasi sigma dan

integral (sebagai luas daerah di bawah kurva) ialah kita dapat persamaan diskret

(operasi sumasi) ke persamaan kontinyu (operasi integral) dan sebaliknya. Tentu

saja pengubahan ini hanya menghasilkan suatu pendekatan, namun biasanya

sangat baik untuk sekedar perkiraan.

90

Penting!

Jangan melanjutkan mengerjakan soal-soal integral sebelum memahami definisi

dan makna matematis dari konsep integral dengan baik..

Page 92: Kalkulus Dasar 1.0

Coba perhatikan lagi gambar 4.1 yang menggambarkan grafik dan

diagram/histogram dari fungsi f ( x )=2 x . Nilai ∫1

n

2 x dx merupakan luas daerah di

bawah kurva dari x=0 hingga x=5, sedangkan jika kita jumlah menggunakan

sumasi sigma, maka batasnya adalah dari x=−0,5 hingga x=5,5, ada tambahan

setengah segi empat paling kiri dan setengah segi empat paling kanan. Jadi, agar

dapat menyetarakannya dengan integral, kita harus membuang bagian-bagian itu

yang besarnya (0,5×1) dikali dengan ketinggian segi empat, yakni f (0) dan f (5)

sehingga bersisa

∑x=0

5

f (x )−f (0 )

2−

f (5 )2

Dengan demikian kita dapat menyetarakan operasi integral dan sumasi

sigma dalam pendekatan

∫a

b

f (x )dx ≅∑x=a

b

f ( x)−f (a )

2−

f (b )2

(4.1.a)

atau

∑x=a

b

f (x )≅∫a

b

f ( x)dx+f (a )

2+

f (b )2

(4.1.b)

Patut untuk diingat relasi ini hanyalah suatu pendekatan (aproksimasi)

saja, namun untuk persamaan linear, nilainya memang benar-benar sama. Silakan

pembaca membuktikan bahwa relasi di atas benar-benar sama hanya untuk

persamaan yang linear.

4. BEBERAPA BENTUK INTEGRAL

Berikut ini beberapa bentuk integral yang lazim disertai penjabarannya,

silakan disimak.

4.1. Integral Fungsi Polinom

Seperti yang sudah disinggung pada bagian sebelumya, integral fungsi

polinom dapat didefinisikan sebagai berikut:

91

Page 93: Kalkulus Dasar 1.0

∫ a xn dx= an+1

xn+1+C (4.2)

Operasi integral juga memenuhi sifat-sifat sebagai berikut

1. Sifat komutatif

∫ f ( x )+g (x)dx=∫ f (x)dx+∫ g(x )dx

2. Sifat asosiatif terhadap perkalian skalar

∫ kf (x ) dx=k∫ f (x )dx ; dengan k suatu skalar

Sedangkan yang perlu diperhatikan,

∫ 1f ( x )

dx ≠1

∫ f (x ) dx

4.2. Integral Bentuk ex dan 1/x

Dari definisi bilangan natural,

e=limn→ ∞ (1+ 1

n )n

(4.3)

Dapat kita ekspansikan dengan deret binomial Newton

( x+a )n=xn+ n1 !

xn−1 a+n (n−1 )

2 !xn−2 a2+

n (n−1 )(n−2)3 !

xn−3 a3+…=∑k=0

n

(nk )xk an−k

(4.4)

diperoleh

ex= limn→ ∞ (1+ 1

n )nx

=1+ nx1!n

+nx (nx−1 )

2 !n2 +nx (nx−1 )(nx−2)

3! n3 +… (4.5)

dengan menjamin n>> (menuju tak hingga),

(1+ 1n )

n

=1+ nx1 !n

+(nx )2−nx

2 !n2 +(nx)3−3 (nx)2+2nx

3 !n3 +… (4.6)

Karena n>>, maka (nx)2 – nx dapat dianggap sama dengan (nx)2, begitu

pula (nx)3 – 3(nx)2 + 2nx ≈ (nx)3. Akhirnya didapatkan bentuk

ex= limn→ ∞ (1+ 1

n )nx

=1+ x1!

+ x2

2!+ x3

3 !+ x4

4 !+… (4.7)

Dengan bentuk deret di atas, dengan mudah dapat kita tentukan

turunan dari ex yakni:

92

Page 94: Kalkulus Dasar 1.0

ex ddx

=0+1+ x1 !

+ x2

2!+ x3

3 !+… (4.8)

Whoiila, ternyata diperoleh turunan dari ex adalah ex juga. Dengan

demikian diperoleh

∫ ex dx=ex+C (4.9)

Misalkan kita pilih persamaan awal y = ex, sehingga dy/dx = ex. Jadi

diperoleh persamaan diferensial

dydx

= y (4.10)

∫ 1y

dy=∫ dx (4.11.a)

∫ 1y

dy=x (4.11.b)

Lihat kembali persamaan awal kita y = ex, dengan demikian x = ln y.

Substitusi nilai x ini ke dalam persamaan (4.11.b) menghasilkan

∫ 1y

dy=ln y (4.12)

4.3. Bentuk-bentuk Integral Baku

Dalam berbagai problem matematis, biasanya terdapat berbagai

bentuk integral fungsi. Berikut beberapa di antaranya.

∫ k du=ku+C (4.13)

∫undu= 1n+1

un+1+C ;n≠−1 (4.14)

∫ 1u

du=ln|u|+C ;n ≠−1 (4.15)

∫ eu du=en+C (4.16)

∫ au du= an

ln a+C (4.17)

∫sin u du=cosu+C (4.18)

∫cos udu=−sinu+C (4.19)

∫ sec2u du= tan u+C (4.20)

93

Page 95: Kalkulus Dasar 1.0

∫ sec u tan udu=sec u+C (4.21)

∫ csc2u du=−cot u+C (4.22)

∫ cscu cot u du=−csc u+C (4.23)

∫ tan u du=−ln∨cosu∨¿+C ¿ (4.24)

∫cot u du=ln∨sin u∨¿+C ¿ (4.25)

∫ sec u du=ln ¿ sec u+ tanu∨¿+C ¿ (4.26)

∫ cscu du=−ln¿csc u+cotu∨¿+C ¿ (4.27)

∫ 1

√a2−u2du=sin−1( u

a )+C (4.28)

∫ 1

u√u2−a2du=1

asec

−1

¿¿ (4.29)

∫ 1

a2+u2du=1

atan−1( u

a )+C (4.30)

Beberapa pembuktian dan/atau pembahasan tentang bentuk-bentuk

di atas akan diberikan pada bagian-bagian selanjutnya.

5. METODE SUBSTITUSI

Untuk memudahkan pekerjaan integral-mengintegralkan, kita dapat

melakukan metode substitusi. Tercermin dari namanya, metode substitusi ialah

metode dengan menukar suatu suku/bagian dengan suku lain dan setelah itu

dilakukan substitusi balik. Berikut beberapa metode substitusi yang dikenal.

5.1. Substitusi Suku yang Diintegralkan

Misalkan suatu fungsi f ( x )=g (h ( x )), maka integral dari fungsi f (x)

∫ f (x )dx=∫ g (h )h '(x )

dh (4.31)

Contohnya ∫ x (x2+5)10dx dapat kita substitusi nilai x2+5=u sehingga

integral tadi menjadi berbentuk ∫ xu10dx . Ingat u=x2+5 sehingga dudx

=2 x

94

Page 96: Kalkulus Dasar 1.0

atau du=2 xdx atau dx= 12 x

du. Substitusikan nilai dx dalam integral

sehingga fungsi u dapat diintegralkan.

∫ xu10dx=∫ xu10( 12 x

du)=12∫u10 du

¿ 12

111

u11+C

Substitusi balik nilai u=x2+5 menjadi

∫ x (x2+5)10dx= 122

( x2+5 )11+C

Jika kita hanya melihat susunan seperti pada aturan 4.31 di atas,

tentukan terlebih dahulu

f ( x )=x (x2+5)10

h ( x )=x2+5

g (h )=xh10

Diperoleh h' ( x )=2x sehingga:

∫ f (x )dx=∫ g (h )h ' ( x )

dh+C=∫ xh10

2xdh=1

21

11h11+C

Dengan substitusi balik fungsi h(x), didapatkan

∫ x (x2+5)10dx= 122

( x2+5 )11+C

Contoh

1. Carilah ∫ 17 x+9

dx

Jawab:

Misalkan u=7 x+9, du=7d x atau dx=du7

∫ 17 x+9

dx=∫ 1u

du7

=17

ln|u|+C

Substitusi kembali nilai u,

95

Tips:

Untuk semua bentuk f ( x )=1u

dengan

u=ax+b, hasil integralnya pastilah

berbentuk f ( x )= 1

u'ln¿u∨¿+C ¿.

Nilai u’ ini biasa disebut turunan

dalam.

Page 97: Kalkulus Dasar 1.0

∫ 17 x+9

dx=17

ln ¿7 x+9∨¿+C ¿

2. Carilah ∫(4 x−11)ndx

Jawab:

Misalkan u=4 x−11, du=4 dx atau dx=du4

∫(4 x−11)ndx=∫ un du4

= un+1

4(n+1)+C

3. Carilah ∫ x

cos2 x2dx!

Jawab:

Perhatikan bahwa 1

cos2 x2=sec2 x2

. Ingat bentuk baku∫ sec2u du=tan u+C.

Misalkan u = x2, du = 2x dx, sehingga

∫ x sec2 x2dx=∫ 12 x

x sec2u du=12

tan u+C=12

tan x2+C

4. Carilah ∫ x (4 x2−11)n dx

Jawab:

Misalkan u=4 x−11, du=8 x dx atau dx= du8 x

∫ x (4 x2−11)n dx=∫ xun du8 x

= un+1

8(n+1)+C=

(4 x−11)n+1

8 (n+1)+C

Bagaimana jika ∫ x (4 x3−11)n dx? Bisakah diselesaikan dengan substitusi?

96

Tips:

Untuk fungsi berbentuk seperti di atas dengan polinom dalam kurung berderajat satu,

integralnya dapat dilakukan dengan cara biasa (pangkat di tambah satu lalu koefisien

dibagi dengan pangkat di tambah satu) kemudian menmambahkan turunan dalamnya

sebagai pembagi.

Page 98: Kalkulus Dasar 1.0

5. Carilah ∫ 2 x−4

x2−4 x+8dx!

Jawab:

Misalkan u=x2−4 x+8, du=2 x−4 dx atau dx= du2 x−4

∫ 2 x−4u

dx=∫ 2 x−4u

du2 x−4

=∫ duu

= ln ¿u∨¿+C= ln ¿ x2−4 x+8∨¿+C ¿¿

6. Buktikanlah bahwa ∫ ax dx= ax

ln a+C!

Jawab:

Pilih suatu nilai k sehingga a = ek, dimana e bilangan natural sehingga bentuk

integral menjadi:

∫ ekx dx

Substitusi u = kx, du = k dx atau dx = du/k.

∫ eu duk

= eu

k+C

Ingatlah kembali a = ek, dengan demikian k = ln a. Substitusikan nilai k dan

substitusi balik nilai u sehingga diperoleh hasil akhir

∫ ekx dx= ekx

ln a+C= ax

ln a+C

5.2. Substitusi Integran

Substitusi variabel pengintegrasi (integran) dapat digunakan untuk

mempermudah mencari hasil integral dari suatu fungsi. Agar lebih jelas,

baiknya kita memulai dengan contoh, misalnya ∫sin3 x dx.

∫sin3 x dx=∫sin2 x ∙ sin xdx

Mengingat sin2 x+cos2 x=1,

∫sin3 x dx=∫ (1−cos2 x )∙ sin x dx

97

Page 99: Kalkulus Dasar 1.0

∫sin3 x dx=∫sin x dx+∫ cos2 x ∙ sin xdx

Di sini kita substitusi variabel pengintegrasinya, yakni sin x dx menjadi

−d (cos x ), mengingat∫sin x dx=−cos x+C . Atau secara lebih detail

ddx

cos x=−sin x⟹−d (cos x )=sin xdx

Oke? Mari kita lanjutkan!

∫sin3 x dx=∫sin x dx−∫cos2 x d (cos x )

∫sin3 x dx=cos x−13

cos3 x+C

Jadi lebih mudah kan?

Penting untuk dicatat metode ini sebaiknya tidak digunakan jika hasil

pemecahan menghasilkan suku dengan pangkat yang sama (misal

∫sin2 x dx=−∫sin x d (cos x )). Jelasnya akan dibahas pada bagian contoh.

5.3. Substitusi dengan Bantuan Trigonometri

Terkadang, suatu fungsi teramat sulit bahkan mustahil dikerjakan

dengan cara-cara substitusi yang telah diberikan sebelumnya. Eits… jangan

menyerah dulu, kemungkinan fungsi itu dapat diintegralkan dengan

bantuan trigonometri. Fungsi yang dapat diintegralkan dengan substitusi

trigonometri biasanya ialah fungsi-fungsi yang mengandung persamaan

lingkaran, contohnya ∫ ( x2+ y2 )−32 dy .

Pertama-tama, ingatlah relasi antara x dan y dalam dalil Pythagoras

dan trigonometri yakni y=x tan θ dan r=√x2+ y2. Nah, sekarang mulailah

substitusi, y=x tan θ sehingga dy=x sec2θ dθ.

∫ ( x2+ y2 )−32 dy=∫ x sec2θ dθ

( x2+x2 tan2θ )32

98

Catatan:

Anggap cos x=u, maka

∫cos2 x d (cos x )=∫u2 du=13

u3+C

Page 100: Kalkulus Dasar 1.0

Ingatlah bahwa sin2 α+cos2 α=1. Jika kedua ruas dibagi dengan cos2 α

menghasilkan tan2 α+1=sec2 α (Ingat lagi bahwa 1

cosα=sec α). Dengan

demikian x2 tan2θ+x2=x2 sec2θ sehingga:

x∫ sec2θ dθ

( x2 sec2θ )32

=x∫ sec2 θ dθx3 sec3 θ

= 1x2∫ cosθ dθ

Selanjutnya diperoleh

∫ ( x2+ y2 )−32 dy= 1

x2sin θ+C

Lakukan substitusi balik sin θ= yr= y

√ x2+ y2 , akhirnya diperoleh:

∫ ( x2+ y2 )−32 dy= 1

x2

y

√x2+ y2+C

Bagaimana? Cukup mudah kan?

Yang penting di sini ialah jika kita melakukan substitusi dengan

menggunakan trigonometri dan dalil Pythagoras, maka kita harus

melakukan substitusi balik dengan perangkat dan ketentuan yang sama.

Bagaimana jika yang ditanya ialah ∫ ( x2+ y2 )−32 dx? Melihat kesesuaian

dengan hasil sebelumnya, dapat dipastikan hasilnya ialah 1

y2

x

√x2+ y2+C .

Cobalah Anda mencari langkah-langkah matematisnya sebagai latihan.

Beberapa bentuk integral dengan substitusi trigonometri yang sudah

baku antara lain sebagai berikut.

A. Bentuk arcus sinus dan arcus cosinus

Bentuk integral yang memuat arcus sinus dan arcus cosinus adalah

yang berbentuk sebagai berikut:

∫ 1

√a2−u2du=sin−1( u

a )+C (4.32)

∫ 1

√a2−u2du=−cos−1( u

a )+C (4.33)

99

Page 101: Kalkulus Dasar 1.0

Oke, kita akan membuktikannya di sini. Untuk memudahkan

pemahaman, ganti nama variabelnya menjadi

∫ 1

√a2−x2dx=∫ (a2−x2 )

−12 dx

Ingatlah hubungan trigonometri pada segitiga siku-siku, untuk bentuk

arcus cosinus, lakukan substitusi x=a cosθ, sehingga dx=−a sin θ dθ.

∫ ( a2−a2cos2θ )−1

2 (−a sin θ ) dθ=∫ (a2 [1−cos2θ ] )−1

2 (−a sin θ ) dθ

Mengingat relasi trigonometri sin2 θ+cos2θ=1, maka

−∫ (a2sin2θ )−12 (a sin θ )d θ=−∫ a sin θ

a sin θdθ=−θ+C

Substitusi balik x=a cosθ sehingga diperoleh

∫ 1

√a2−x2dx=−cos−1( x

a )+C

Untuk pembuktian arcus sinus, untuk memudahkan pemahaman ganti

variabelnya menjadi ∫ 1

√a2− y2dy dan lakukan substitusi y=a sin θ.

Langkah selanjutnya ditinggalkan sebagai latihan.

B. Bentuk arcus tangen

Bentuk integral yang memuat arcus tangen adalah yang berbentuk

sebagai berikut:

∫ 1

a2+u2du=1

atan−1( u

a )+C (4.34)

Untuk membuktikannya, lakukan substitusi u=a tan θ, sehingga

du=a sec2θ dθ.

∫ 1a2+u2 du=∫ a sec2θ

a2+a2 tan2 θdθ=∫ a sec2θ

a2 (1+tan 2θ )dθ

Mengingat relasi trigonometri tan2θ+1¿ sec2θ

∫ 1a2+u2 du=∫ asec2 θ

a2 sec2θdθ=1

a∫dθ=θ

a+C

100

Page 102: Kalkulus Dasar 1.0

Lakukan substitusi balik θ=tan−1(ua ).

∫ 1

a2+u2du=1

atan−1( u

a )+C

Contoh

1. Carilah ∫ a2sin θ

√a2+b2−2ab cosθdθ!

Jawab:

Bentuk integral di atas terlihat rumit, namun jika kita merubah integrannya akan

menjadi sangat mudah. Seperti penjelasan sebelumnya sin θ dθ dapat kita ubah

menjadi −d (cosθ). Karena a dan b independen (saling bebas) terhadap variabel

integran, a dan b dapat kita keluarkan dari operasi integral.

−a2∫ (a2+b2−2 ab cos θ )−1

2 d (cosθ)

Substitusi u=a2+b2−2 ab cosθ, sehingga du=−2 ab d (cos θ) atau d (cosθ )=−du2 ab

.

a2∫u−12 1

2abdu= a2

2ab2 u

12+C

Jadi, ∫ a2sin θ

√a2+b2−2ab cosθdθ=a

b√a2+b2−2 ab cosθ+C

2. Carilah ∫ 1

√9−x2dx dalam bentuk arcus sinus dan arcus cosinus!

Jawab:

Perhatikan bentuk integralnya, diperoleh a=√9=3 , sehingga

∫ 1

√92−x2dx=sin−1( x

3 )+C

∫ 1

√92−x2dx=−cos−1( x

3 )+C

3. Carilah ∫ 1

25+9 x2dx!

Jawab:

Suku x2 memiliki koefisien 9, sehingga kita ubah bentuk fungsinya terlebih

dahulu.

101

Page 103: Kalkulus Dasar 1.0

∫ 1

25+9 x2dx=1

9∫1

25 /9+x2dx

akhirnya diperoleh a=√ 259

=53

sehingga:

∫ 1

25+9 x2dx= 3

45tan( 3x

5 )+C

6. INTEGRAL PARSIAL

Beberapa bentuk integral tak dapat diselesaikan dengan metode

substitusi biasa. Untuk itu dapat digunakan metode substitusi ganda atau yang

lebih dikenal sebagai pengintegralan parsial.

Ingat kembali bentuk turunan dari perkalian fungsi:

ddx

(uv )=vdudx

+udvdx

Lakukan pengintegralan terhadap x di kedua ruas.

uv=∫ vdudx

dx+∫ udvdx

dx

uv=∫ v du+∫ u dv

Akhirnya diperoleh

∫u dv=uv−∫ vdu (4.35)

Dan untuk integral tentu

∫a

b

u dv=[ uv ]ab−∫

a

b

v du (4.36)

Jadi pengintegralan parsial membolehkan kita menukar masalah ∫u dv

menjadi ∫ v du. Keberhasilan metode ini tergantung pada pemilihan u dan dv

yang tepat. Jadi jika dengan satu pemilihan tidak berhasil, cobalah menukar nilai

u dan dv, atau mencoba kombinasi lainnya.

102

Page 104: Kalkulus Dasar 1.0

Contoh:

1. Carilah integral dari sin2 x terhadap x!

Jawab:

∫sin2 x dx=∫sin x sin x dx dapat kita pecah dalam bentuk u dv dimana u = sin x

dan dv = sin x dx. Dengan demikian diperoleh du = cos x dx dan v = -cos x.

∫sin2 x dx=sin x (−cos x )−∫−cos x cos x dx

∫sin2 x dx=−sin x cos x+∫ cos2 xdx

Tambahkan kedua ruas dengan ∫sin2 x dx sehingga menjadi:

∫sin2 x dx+∫ sin2 x dx=−sin x cos x+∫ cos2 x dx+∫ sin2 x dx

Mengingat sifat integral yang distributif terhadap penjumlahan,

∫ ( f (x )+g (x)) dx=∫ f (x )dx+∫ g(x )dx dan sifat trigonometri sin2 x + cos2 x = 1,

diperoleh

2∫ sin2 x dx=−sin x cos x+∫sin2 x+cos2 xdx

∫sin2 x dx=12

(−sin x cos x+∫1 dx )

∫sin2 x dx=12

( x−sin x cos x )+C

Sekarang coba kita gunakan substitusi integran.

∫sin2 x dx=−∫sin x d (cos x )=−sin xcos x+C

Wah, ternyata hasilnya berbeda. Jadi sebaiknya kita tidak menggunakan

substitusi integran jika dihasilkan bentuk trigonometri dengan pangkat yang

sama.

2. Hitunglah nilai ∫ ln x dx!

103

Petunjuk:

Ingatlah jika u=a x2+bx+c, maka dudx

=2 a+b atau d u=2a+b dx.

Jika d u=2a+b dx, maka ∫ du=∫2 a+b dx atau u=a x2+bx+C .

Anda perlu berlatih melakukannya dengan cepat.

Page 105: Kalkulus Dasar 1.0

Jawab:

Pilih u=ln x dan dv=dx, sehingga du=1x

dx dan v=x.

∫udv=uv−∫ vdu

∫ ln x dx=x ln x−∫ x1x

dx=x ln x−x+C

3. Carilah ∫ csc x dx

Jawab:

Untuk mengintegralkan bentuk ini, diperlukan sedikit manipulasi aljabar sebagai

berikut:

∫ csc x d x=∫ csc xcsc x+ tan xcsc x+ tan x

dx

∫ csc x dx=∫ csc2 x+csc x tan xcsc x+ tan x

dx

Pilih u=csc x+ tan x sehingga du=−(csc x cot x+csc2 x ) dx, lalu lakukan substitusi

∫ csc x dx=−∫ duu

=−ln|u|+C

Substitusi balik nilai u,

∫ csc x dx=− ln|csc x+ tan x|+C

4. Selesaikanlah ∫ sec3 x dx!

Jawab:

∫ sec3 x dx=∫ sec x sec2 x dx

Pilih u=sec x sehingga du=sec x tan x dx dan dv=sec x x dx sehingga

v=∫ sec x x dx=tan x. Diperoleh

∫ sec3 x dx ¿ sec x tan x−∫ tan2 x sec x dx

¿ sec x tan x−∫ ( sec2 x−1 ) sec xdx

¿ sec x tan x−∫ sec3 x dx+∫ sec x dx

¿ sec x tan x−∫ sec3 x dx+∫ sec x dxsec x+tan xsec x+tan x

104

Page 106: Kalkulus Dasar 1.0

¿ sec x tan x−∫ sec3 x dx+∫ sec x dxsec x+tan xsec x+tan x

¿ sec x tan x−∫ sec3 x dx+∫ sec x tan x+sec2 xsec x+ tan x

dx

Gunakan substitusi integran, diperoleh sec x tan x+sec 2 x dx=d (sec x+ tan x),

sehingga:

∫ sec3 x dx ¿ sec x tan x−∫ sec3 x dx+ln|sec x+ tan x|+C

2∫ sec3 x dx ¿ sec x tan x+ln|sec x+ tan x|+C

∫ sec3 x dx ¿ 12

sec x tan x+ 12

ln|sec x+tan x|+C

5. Hitunglah nilai ∫ ex sin x dx!

Jawab:

Pilih u=sin x dan dv=ex dx, sehingga du=cos x dx dan v=ex.

∫udv=uv−∫ vdu

∫ ex sin x dx=ex sin x−∫ ex cos xdx (i)

Eh, ternyata masih tidak bisa diselesaikan. Coba parsialkan lagi suku kedua ruas

kanan. Pilih u=cos x dan dv=ex dx, sehingga du=−sin x dx dan v=ex.

∫ ex cos x dx=ex cos x+∫ex sin xdx (ii)

substitusi (ii) ke (i)

∫ ex sin x dx=ex sin x−ex cos x−∫ex sin xdx

∫ ex sin x dx=12

ex

(sin x−cos x )+C

6. Sudah dari dulu Acok ingin menyatakan cintanya kepada Rina. Suatu ketika ia

membulatkan tekadnya menembak Rina, Rina malah memberikan soal dan

mengatakan jika Acok berhasil menjawabnya dengan benar maka ia akan

menerima Acok sebagai kekasihnya. Berikut soal yang diberikan Rina kepada

Acok:

105

Page 107: Kalkulus Dasar 1.0

∫ dx

x2√4−x2

Cobalah untuk memecahkan soal di atas dan beritahukanlah jawabannya pada

Acok agar dia bisa diterima.

Jawab:

Substitusi x=2 sin θ sehingga dx=2cos θ dθ

∫ dx

x2√4−x2¿∫ 2cosθ dθ

4 sin2θ√4−4sin2 θ

¿∫ 2 cosθ dθ

4 sin2θ√4 (1−sin2θ)

¿∫ 2 cosθ dθ

4 sin2θ ∙2cosθ

¿∫ dθ

4 sin2θ=1

4∫csc2 θ dθ

¿−14

cot θ+C

mengingat sin θ= x2

, maka cosθ=√1−sin2θ sehingga cot θ= cosθsinθ

=√1−x2/ 4x /2

.

Lakukan substitusi balik diperoleh

∫ dx

x2√4−x2=−√1−x2 /4

2 x+C

Jadi kita telah menyelesaikan soalnya. Satu-satunya permasalahan yang tersisa

adalah bagaimana cara memberitahukan jawabannya kepada Acok.

7. Dalam pemrograman, pemodelan populasi, dan fisika statistik sering muncul

persamaan yang memuat bentuk faktorial. Permasalahannya faktorial dari suatu

bilangan (n) sangatlah besar, lebih besar daripada nn/2. Oleh karenanya, biasanya

nilai-nilai itu dinyatakan dalam logaritmanya. Dengan menggunakan bantuan

relasi sumasi sigma dan integral pada bagian sebelumnya, carilah pendekatan

nilai ln n! yang tidak memuat operasi faktorial.

Jawab:

106

Page 108: Kalkulus Dasar 1.0

Berdasarkan aturan logaritma, ln (a× b ×c ×… )=ln a × ln b × ln c× … . Mengingat

definisi faktorial x !=x × ( x−1 ) × ( x−2 ) × …× 1, maka diperoleh

ln n!=ln n × ln(n−1)× ln(n−2)× …× ln 1=∑i=1

n

ln i

Jika digambarkan dalam grafik, diperoleh hasil sebagai berikut:

Kita gunakan relasi sumasi dan integral, diperoleh

∑x=1

n

ln x≈∫1

n

ln x dx+ln (1 )

2+

ln (n )2

Dengan menggunakan integral parsial, diperoleh ∫ ln x dx=x ln x−x+C, sehingga:

∑x=1

n

ln x≈ (n ln n−n )− ( ln 1−1 )+ ln (1 )2

+ln (n )

2

∑x=1

n

ln x≈ (n ln n−n )+1+ln (n )

2=(n+ 1

2 ) ln n−n+1

Akhirnya diperoleh

ln n !≈ (n+ 12 ) ln n−n+1

Contoh soal nomor 4 dan 5 menunjukkan beberapa bentuk fungsi tidak

selesai diintegralkan jika diparsialkan sekali. Dalam kasus ∫ ex sin x dx, butuh dua

tahap. Nah, bagaimana jika fungsi tadi memerlukan lebih dari dua tahap? Apakah

ada cara yang lebih mudah daripada mengintegralkannya secara parsial?

Sepengetahuan saya ada beberapa cara lain, seperti ekspansi deret, namun kita

belum akan membahas integral dengan ekspansi deret. Jadi untuk sementara,

107

Page 109: Kalkulus Dasar 1.0

kita tetap akan mengerjakan integral dari fungsi-fungsi yang "bandel" itu dengan

metode parsial. Meskipun demikian, ada model penyelesaian yang lebih praktis

untuk fungsi yang membutuhkan tahap pengintegralan parsial lebih dari sekali.

∫u v dx=u v1−u ' v1+u ' ' v2−… (4.37)Di mana u dan v merupakan fungsi dari x dengan u' turunan pertama dari

u, u'' turunan kedua dari u, dan seterusnya serta v1=∫ v dx, v2=∫ v1 dx dan

seterusnya. Misalkan ∫2 x2cos 2 x dx, ambil u=2 x2 dan v=cos2 x, diperoleh.

u=2 x2 → v1=12

sin 2 x

u '=4 x → v2=−14

cos2 x

u ' '=4 → v3=−18

sin 2 x

u' ' '=0 → v4=1

16cos2 x

Jadi, ∫2 x2cos 2 x dx=x2 sin2 x−(−x cos2 x )+(−12

sin 2 x)+C

Bagaimana? Meskipun sebenarnya tidak mempermudah operasi

matematisnya, tetapi proses pengintegralan menjadi singkat, praktis, dan tidak

membuat kita menjadi bingung.

7. INTEGRAL FUNGSI RASIONAL

Fungsi rasional ialah fungsi yang merupakan hasil bagi dua fungsi

polinom. Adapun fungsi rasional sejati ialah fungsi rasional yang derajat

pembilangnya lebih kecil daripada derajat penyebutnya. Semua fungsi rasional

sejati dapat diintegralkan, dan untuk fungsi rasional yang lebih kompleks akan

lebih mudah jika dipecah menjadi sejumlah pecahan-pecahan yang lebih

sederhana. Pemecahan ini biasa disebut dekomposisi.

108

Page 110: Kalkulus Dasar 1.0

7.1. Kasus untuk Faktor Linear yang Berlainan

Contoh, menentukan ∫ 3 x−1

x2−x−6dx. Mula-mula kita faktorkan

terlebih dahulu fungsinya menjadi:

3 x−1

x2−x−6= 3 x−1

( x+2 )(x−3)

Perhatikan penyebutnya merupakan dua faktor yang berbeda. Untuk

faktor linear yang berlainan kita dekomposisikan dalam bentuk

3 x−1( x+2 )(x−3)

= Ax+2

+ Bx−3

Nah, permasalahannya ialah mencari nilai A dan B yang sesuai.

Dengan mengalikan kedua ruas dengan ( x+2 )(x−3) diperoleh

3 x−1=A ( x−3 )+B (x+2)

3 x−1=Ax−3 A+Bx+2 B

3 x−1=( A+B ) x+(2 B−3 A)

Perhatikan ruas kiri dan kanan yang mengandung variabel x dan

yang tidak, lalu persamakan. Diperoleh

( A+B ) x=3 x ; A+B=3 ; A=3−B

2 B−3 A=−1

Cari nilai A dan B

2 B−3 (3−B )=−1; B=85

A=3−B ; A=75

Akhirnya diperoleh bentuk lengkap dekomposisi

3 x−1( x+2 )(x−3)

= 7 /5x+2

+ 8/5x−3

Dengan mudah dapat kita integralkan

∫ 3 x−1( x+2 )(x−3)

dx=75∫

1x+2

dx+ 85∫

1x−3

dx

∫ 3 x−1( x+2 )(x−3)

dx=75

ln ¿ x+2∨¿+ 85

ln ¿x−3∨¿+C ¿¿

109

Page 111: Kalkulus Dasar 1.0

7.2. Kasus untuk Faktor Linear yang Berulang

Kasus untuk faktor linear yang berulang, misalnya f ( x )= x

x2−6 x+9,

jika difaktorkan akan menjadi f ( x )= x( x−3 )(x−3) yang memiliki faktor

berulang. Dekomposisi dari fungsi rasional seperti itu berbentuk

x

(x−3)2= A

(x−3)+ B

(x−3)2

Setelah kedua ruas dikalikan (x−3)2 diperoleh

x=A ( x−3 )+B

Misalkan kita mensubstitusi nilai x = 3, diperoleh B = 3. Dan jika

mensubstitusi x = 0 diperoleh 0 = -3A + B atau A = 1. Dengan demikian

fungsi f ( x ) berubah bentuk menjadi

f (x)= 1(x−3)

+ 3

(x−3)2

Sehingga

∫ x

(x−3)2dx=∫ 1

(x−3)dx+∫ 3

(x−3)2dx

∫ x

(x−3)2dx=ln ¿ x−3∨¿− 3

x−3+C ¿

Contoh:

Carilah ∫ 3 x2−8 x+13( x+3 )(x−1)2 dx!

Jawab:

110

Page 112: Kalkulus Dasar 1.0

Bentuk fungsi di atas mengandung tiga faktor penyebut, satu berbeda sedangkan

yang kedua dan yang ketiga identik (faktor berulang). Dengan demikian, bentuk

dekomposisinya dapat kita gabungkan antara bentuk faktor linear tunggal dan

faktor linear berulang yaitu:

3 x2−8 x+13( x+3 )(x−1)2=

A( x+3 )

+ B( x−1)

+ C(x−1)2

Setelah bentuk pecahannya dihilangkan diperoleh

3 x2−8 x+13=A( x−1)2+B ( x+3 )(x−1)+C ( x+3 )

Jika kita substitusikan nilai x = 1, x = -3, dan x = 0 didapatkan

8 = 4C, sehingga C = 2.

64 = 16A, sehingga A = 4

13 = A – 3B + 3C, sehingga B = -1

∫ 3 x2−8 x+13( x+3 )(x−1)2 dx=∫ 4

( x+3 )dx−∫ 1

( x−1)dx+∫ 2

(x−1)2 dx

∫ 3 x2−8 x+13( x+3 )(x−1)2 dx=4 ln ¿ x+3∨¿− ln¿∨n sehingga B=−1 kannilai x=1 , x=3 ,dan x=0 didapatkan da sedangkan yang keduadan yangketiga identik ¿¿¿

7.3. Kasus untuk Faktor Kuadrat Tunggal

Kasus untuk faktor kuadrat tunggal, misalnya f ( x )= 6 x2−3x+1( 4 x+1 )(x2+1)

.

Perhatikan faktor kuadrat x2+1. Dekomposisi fungsi ini berbentuk

6 x2−3 x+1(4 x+1 )(x2+1)

= A4 x+1

+ Bx+Cx2+1

Setelah pecahannya dihilangkan akan berbentuk

6 x2−3 x+1=A(x2+1)+(Bx+C )(4 x+1)

Jika kita substitusikan nilai x = -¼, x = 0, dan x = 1 menghasilkan

616

+ 34+1=17

16A, sehingga A = 2

1=2+C , sehingga C = -1

111

Page 113: Kalkulus Dasar 1.0

4=4+ (B−1 )5, sehingga B = 1

Akhirnya dapat kita peroleh integralnya

∫ 6 x2−3 x+1(4 x+1 )(x2+1)

dx=∫ 24 x+1

dx+∫ x−1x2+1

dx

¿∫ 24 x+1

dx+∫ x

x2+1dx−∫ 1

x2+1dx

¿ 12

ln|4 x+1|+12

ln ¿ x2+1∨¿−tan−1 x+C ¿

7.4. Kasus untuk Faktor Kuadrat yang Berulang

Kasus untuk faktor kuadrat berulang, misalnya f ( x )=6 x2−15 x+22( x+3 )(x2+2)2 .

Perhatikan ada faktor kuadrat yang berulang di situ, yakni

(x¿¿2+2)(x¿¿2+2)¿¿. Dekomposisi yang cocok ialah

6 x2−15 x+22( x+3 )(x2+2)2 = A

x+3+ Bx+C

x2+2+ Dx+E(x2+2)2

Jika dicari dengan benar, akan didapatkan nilai A = 1, B = -1, C = 3, D

= -5 dan E = 0. Integralnya ialah:

∫ 6 x2−15 x+22( x+3 )(x2+2)2 dx=∫ 1

x+3dx+∫−x+3

x2+2dx+∫ −5 x

(x2+2)2 dx

¿∫ 1x+3

dx−∫ x

x2+2dx+3∫ 1

x2+2dx−5∫ x

(x2+2)2dx

¿ ln ¿ x+3∨¿−12

ln ¿ x2+2∨¿+ 3

√2tan−1 x

√2+ 5

21

(x2+2)2+C ¿¿

8. INTEGRAL TENTU

Sebelumnya, kita telah membahas mengenai integrasi fungsi matematis

yang hasilnya memberikan suatu konstanta tidak diketahui. Telah disinggung

juga konstanta itu hanya dapat diketahui, atau dieliminir jika daerah asal fungsi

112

Page 114: Kalkulus Dasar 1.0

diketahui, semisal [ a , b ]. Beberapa definisi dan teorema dalam integral tentu ialah

sebagai berikut.

1. Jika suatu fungsi f terdefinisi pada [ a , b ] maka lim|P|→0

∑i=1

n

f (wi)Δ x i=L jika dan

hanya jika untuk setiap bilangan positif ε terdapat bilangan positif δ sehingga

untuk setiap partisi P= {x0 , x1 , x2 , …, xn } pada [ a , b ] dengan ‖P‖<δ , berlaku

|∑i=1

n

f (wi)Δ x i−L|<ε.

2. Jika f fungsi yang terdefinisi pada [ a , b ] dan lim|P|→0

∑i=1

n

f (wi)Δ x i ada, maka limit

tersebut dinamakan integral tentu (integral Riemann) fungsi f pada [ a , b ].

Selanjutnya f dikatakan integrable pada [ a , b ] dan integralnya ditulis ∫a

b

f (x )dx

. Jadi ∫a

b

f (x )dx= lim‖P‖→0

∑i=1

n

f (wi) Δ xi.

3. Jika f integrable pada [ a , b ], maka dipenuhi hubungan ∫a

b

f (x )dx=−∫b

a

f (x )dx.

Dan jika a=b maka ∫a

b

f (x )dx=∫a

a

f (x )dx=0.

Perlu diketahui juga teorema fundamental kalkulus yaitu:

Jika f integrable pada [ a , b ] dan F suatu anti-turunan dari f pada [ a , b ] (

F ' ( x )=f (x) untuk setiap x∈ [ a , b ]), maka

∫a

b

f (x )dx=F (b )−F(a) (4.38)

Beberapa aplikasi integral tentu antara lain untuk menghitung panjang

kuva, luas daerah di bawah kurva, dan volum benda putar.

8.1. Luas Daerah yang dibatasi Kurva

Pada definisi integral sebelumnya telah disinggung integral tentu

∫a

b

f (x )dx sebagai luas daerah yang dibatasi oleh kurva f ( x ), sumbu X, garis

113

Page 115: Kalkulus Dasar 1.0

x=a dan x=b. Oleh karena itu pada subbab 8.1. ini hanya akan diperinci

untuk daerah yang dibatasi dua kurva dan luas daerah untuk fungsi

x=f ( y ). Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini.

Gambar 4.2. Luas daerah yang dibatasi dua kurva (yang diraster) dapat ditentukan dengan integral.

Luas daerah yang dibatasi kurva f (x), g(x ), garis x=a, dan x=b

(daerah yang diraster) jelas adalah luas daerah dibawah kurva f (x) pada

selang [ a , b ] dikurangi luas daerah dibawah kurva g(x ) pada selang [ a , b ],

sehingga:

Luas=A=∫a

b

f (x )dx−∫a

b

g (x)dx=∫a

b

[ f ( x )−g(x) ]dx (4.39)

Bagaimana dengan luas daerah yang dibatasi kurva x=f ( y ) dan

x=g( y) dalam selang [ c , d ]? Prinsipnya sama saja, bedanya Cuma

mempertukarkan variabel bebas dan variabel terikat pada fungsi dan

integrannya sehingga

Luas=A=∫c

d

f ( y )dy−∫c

d

g( y )dy=∫c

d

[ f ( y )−g( y )] dy (4.40)

Mudah bukan?

Contoh

1. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva f ( x )=3 x2+10 x dan g(x )=x2−8!

Jawab:

Mula-mula tentukan dulu titik potong antara f (x)=3 x2+10 x dan g(x )=x2−8,

yaitu titik yang termuat dalam f ( x ) maupun g(x ).

114

Page 116: Kalkulus Dasar 1.0

f ( x )=g ( x ) →3 x2+10 x=x2−8

Diperoleh persamaan 2 x2+10 x+8=0 atau bila disederhanakan menjadi

x2+5 x+4=0, yang akar-akarnya x=1 dan x=4. Dengan demikian, batas

integrasinya ialah x=1 dan x=4.

A=∫1

4

[ f ( x )−g(x )] dx=∫1

4

[ (3 x2+10 x )−( x2−8 ) ]dx

A=∫1

4

x2+5 x+4 dx=[ x3

3+

5 x2

2+4 x ]

1

4

=4646

−416

=1412

satuan

2. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva y2=4 x dan 4 x−3 y=4!

Jawab:

Gambar dari kurvanya ialah sebagai berikut:

Perhatikan bentuk daerahnya, ada yang di atas garis x = 0 dan ada yang di bawah

garis x = 0. Dengan demikian, kita tidak bisa menghitung luas dengan

mengintegralkannya terhadap x, tetapi harus diintegralkan terhadap y. Kita ubah

fungsi-fungsi di atas menjadi fungsi x terhadap y, x=f ( y ) menghasilkan

x1=3 y+4 dan x2=y2

4.

Cari titik potong:

3 y+44

= y2

4→ y2−3 y−4=0

Akar-akar persamaan di atas ialah y=−1 dan y=4.

Luas daerahnya ialah

A=∫−1

4

( 3 y+44

−y2

4 )dy=14 [ 3 y2

2+4 y−

y3

3 ]−1

4

=12524

satuan

3. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva y=sin x dan sumbu-X dalam selang

[0,2 π ]!

Jawab:

Luas daerah yang dibatasi kurva:

115

Page 117: Kalkulus Dasar 1.0

A=∫0

2 π

sin xdx= [−cos x ]02 π

Jika kita langsung mensubstitusikan batas-batasnya diperoleh:

A=(−cos2 π )−(−cos 0 )=−1+1=0

Lho, masa sih luasnya nol? Nah, ini dia perkara dalam menghitung hasil integral

fungsi trigonometri (carilah penjelasannya!). Untuk itu perlu diakali dengan

mengingat sifat linear dari integral

∫0

2 π

sin xdx=∫0

π /2

sin xdx+∫π /2

π

sin x dx+ ∫π

3 π /2

sin xdx+ ∫3 π /2

2 π

sin x dx

Diperoleh hasil

[−cos x ]0π /2+ [−cos x ]π /2

π + [−cos x ]π3 π /2+ [−cos x ]3 π /2

2 π =1+1+1+1=4

Jadi, luas area yang dibatasi kurva y=sin x dan sumbu-X dalam selang [0,2 π ] = 4.

8.2. Volume Benda Putar

Integral dapat juga digunakan untuk menghitung volum dari benda

putar seperti kerucut, tabung, dan bangun lain yang lebih rumit, selama

masih berupakan benda putar. Prinsipnya ialah dengan membagi benda

putar tadi menjadi segmen-segmen kecil lalu dijumlahkan. Berdasarkan

bentuk segmennya, terdapat dua metode untuk menghitung volume benda

putar yaitu metode irisan tabung (pembelahan secara melintang, sering

juga disebut metode cincin) dan metode kulit tabung (pembelahan secara

radial).

Pertama kita akan membahas metode cincin, untuk itu perhatikan

gambar berikut.

116

Page 118: Kalkulus Dasar 1.0

Gambar 4.3. Menentukan volume benta putar dengan metode cincin.

Jika kurva y=f (x ) diputar terhadap sumbu X akan menghasilkan

suatu bangun ruang menyerupai tabung. Dengan membagi selang [ a , b ]

menjadi n segmen yang berjarak sama, yakni ∆ x , diperoleh irisan-irisan

tabung dengan ketebalan ∆ x dan jejari lingkaran alas f ( wi ), dengan

w i=xi−1+x i

2. Makin banyak jumlah irisan (n>>) makin kecil pula nilai ∆ x

sehingga bentuk segmen akan semakin mendekati tabung (jejari alas dan

tutupnya sama).

Menggunakan definisi volum tabung ialah luas lingkaran dikali

dengan tingginya diperoleh elemen volum tiap segmen

∆ V i=π {f (w i )}2∆ x

Jumlahan Riemann untuk volum seluruh bangun ialah

∑i=1

n

∆ V i=∑i=1

n

π {f ( wi ) }2∆ x

Jika ∆ x →0, maka volum bangun itu ialah

V=π lim∆ x→ 0

∑i=1

n

{f ( wi )}2∆ x

117

Page 119: Kalkulus Dasar 1.0

V=π∫a

b

{ f (x ) }2 dx (4.41)

Dengan cara yang sama, jika kurva diputar terhadap sumbu Y, maka

volum benda putar yang terbentuk ialah

V=π∫a

b

{ f ( y ) }2dy (4.42)

Berikutnya ialah metode kulit tabung. Prinsipnya ialah bangun

dibelah secara radial sehingga terbentuk pipa-pipa dengan ketebalan ∆ x ,

jejari x, dan tinggi h=f (x). Perhatikan gambar pipa di bawah ini.

Gambar 4.4. Menentukan volume benta putar dengan metode kulit tabung.

Volum pipa ialah

V=( π r22−π r1

2) h=π (r22−r1

2 )hV=π (r2+r1 ) (r 2−r1 ) h

V=2 π ( r2+r1

2 ) (r2−r1 )h

Rumusan ini dapat ditulis menjadi

V=2 π r h∆ r (4.43)

118

Page 120: Kalkulus Dasar 1.0

dengan r= jejari rata−rata=( r2+r1

2 ) dan ∆ r=(r2−r1 ).

Dengan membagi selang [ a , b ] menjadi n segmen yang berjarak sama,

yakni ∆ x , diperoleh pipa-pipa dengan ketebalan ∆ x dan jejari rata-rata

f ( wi ), dengan w i=xi−1+x i

2. Makin banyak jumlah irisan (n>>) makin kecil

pula nilai ∆ x sehingga bentuk segmen akan semakin mendekati pipa

(ketinggian pada bagian dalam dan luarnya sama).

Menggunakan definisi volum pipa seperti pada persamaan 4.43

diperoleh volum tiap segmen

∆ V i=2π w i f ( wi ) ∆ x

Jumlahan Riemann untuk volum seluruh bangun ialah

∑i=1

n

∆ V i=∑i=1

n

2 π wi f ( wi ) ∆ x

Jika ∆ x →0, maka volum bangun itu ialah

V=2 π lim∆ x→ 0

∑i=1

n

w i f (w i) ∆ x

V=2 π∫a

b

x f (x)dx (4.44)

Untuk pemutaran terhadap sumbu Y juga serupa, akhirnya akan

diperoleh

V=2 π∫a

b

y f ( y )dy (4.45)

8.3. Panjang Kurva

Bagaimana cara menghitung panjang kurva? Caranya didasari

dengan teorema yang sangat klasik, teorema Pythagoras. Dalam “ruang”

dua dimensi, rumus Pythagoras mendefinisikan panjang garis lurus yang

menghubungkan dua titik.

r2=x2+ y2 (5.46)

119

Page 121: Kalkulus Dasar 1.0

Δx

Δy

Δx

Δr

Δs

di mana r ialah panjang garis lurus, x panjang selisih komponen sumbu X,

dan y panjang selisih komponen sumbu Y. Jika garisnya garis lurus, tentu

saja nilai yang diperoleh dengan persamaan 5.46 merupakan nilai yang

eksak, tapi bagaimana jika kurvanya tidak lurus, melainkan melengkung

kesana-kemari? Seperti biasa, kita akan memotong kurva dalam segmen-

segmen kecil sehingga teorema Pythagoras bisa diterapkan pada segmen-

segmen tadi karena dalam selang yang sangat kecil, segmen kurva dapat

dipandang sebagai garis lurus.

Gambar 4.5. Panjang kurva dihitung menggunakan dalil Pythagoras.

Panjang setiap segmen ialah

( ∆ si )2≅ ( ∆ ri )

2=( ∆ x i )2+ (∆ y i )

2 (4.47)

Makin kecil segmen, maka ∆ si akan makin mendekati ∆ r i. Jika

diambil y=f (x ) dan ∆ x seragam, maka ∆ y i= y i+1− y i=f ( x+∆ x )−f (x). Bila

disubstitusikan dalam persamaan 4.47 menghasilkan

( ∆ ri )2=(∆ x )2+( f (x+∆ x )−f (x ))2

(∆ ri )2

(∆ x )2=

(∆ x )2

(∆ x )2+( f ( x+∆ x )−f (x)

∆ x )2

Jika dilakukan pembelahan hingga ∆ x →0, akan menghasilkan limit

yang menjadikan suku ke-dua ruas kanan sebagai turunan f ( x ) terhadap

x .

lim∆ x→ 0

(∆ r i)2

(∆ x )2= lim

∆x →0

( ∆ x )2

( ∆ x )2+ lim

∆ x→ 0( f (x+∆ x )−f (x )

∆ x )2

120

Page 122: Kalkulus Dasar 1.0

Akibat dari limit ini, nilai ∆ r∆ x

menjadi sama dengan ∆ s∆ x

sehingga

( dsdx )

2

=1+( ddx

f ( x ))2

Akhirnya diperoleh panjang kurva y=f (x ) dengan batas [ a , b ] ialah

s=∫a

b

√1+( dydx )

2

dx

Dari persamaan 4,47 dapat diturunkan bentuk diferensialnya yakni:

ds2=dx2+dy2 (4.48)

Persamaan 4.48 disebut juga kuadrat elemen garis. Dalam bentuk

lain persamaan 4.48 dapat ditulis sebagai

( dsdt )

2

=( dxdt )

2

+( dydt )

2

s=∫a

b

√( dxdt )

2

+( dydt )

2

dt (4.49)

Jika persamaan kurvanya adalah y=f (x ) dengan batas [ a , b ], suku di

ruas kanan persamaan 4.49 dikalikan dengan dtdx

dxdt

, diperoleh

s=∫a

b √( dtdx )

2[( dxdt )

2

+( dydt )

2]dtdxdt

s=∫a

b

√1+( dydx )

2

dx (4.50)

Diperoleh hasil yang sama dengan sebelumnya. Sebaliknya, jika

persamaan kurvanya adalah x=f ( y ) dengan batas [ c , d ], suku di ruas

kanan persamaan 4.49 dikalikan dengan dtdy

dydt

, diperoleh

s=∫c

d

√1+( dxdy )

2

dy (4.51)

8.4. Luas Selimut Benda Putar

121

Page 123: Kalkulus Dasar 1.0

Kita telah mengenal benda putar dan juga mengetahui cara

menghitung panjang kurva. Berbekal rumus-rumus yang telah diperoleh,

dapat dihitung luas selimut dari benda putar.

Pertama-tama bayangkanlah Anda mengiris-iris benda putar tegak

lurus sumbu putar (Misalkan benda putar berdasarkan sumbu X) dengan

ketebalan yang seragam, yakni ∆ x . Dengan demikian, diperoleh tabung-

tabung pipih dengan tinggi ∆ x , lebar ∆ r i dan jejari sekitar y i=f (x i).

Tentunya untuk kurva yang meliuk-liuk jejari tabungnya tidak seragam,

tetapi dengan memilih ∆ x yang sangat kecil maka kesalahan juga dapat

dibuat sangat kecil. Dengan menggunakan analogi luas selimut tabung,

diperoleh:

luas segmen=2π × ( jari− jari )×(lebar segmen)

luas segmen=2π × ∆ ri× y i

Dimana ∆ r i=√∆ x2+∆ y i2 (ingat ∆ xseragam). Dengan mengingat

pembahasan pada bagian 8.3 mengenai panjang kurva, maka diperoleh

luas selimut tiap segmen adalah

2 π ×√∆ xi2+∆ y i

2 × y i=2π × y i √1+∆ y i

2

∆ x2 ∆ x

Dengan demikian sehingga luas total selimut benda putar untuk x=a

hingga x=b adalah

A=2 π∫a

b

y √1+( dydx )

2

dx (4.52)

122

Page 124: Kalkulus Dasar 1.0

123

Problem:

Menghitung Luas Permukaan dan Volume Kerucut Terpancung

Carilah luas permukaan dan volume dari kerucut terpancung seperti gambar di bawah ini.

Tinggi benda t=8 cm, jari-jari lingkaran alas R1=10cm dan jari jari lingkaran tutup R2=6cm.

Page 125: Kalkulus Dasar 1.0

124

Problem:

Toricelli’s Trumpet dan Painter’s Paradox

Toricelli’s Trumpet atau Gabriel’s Horn adalah bentuk geometri yang dibentuk dengan memutar kurva y = 1/x dengan batas x = 1 hingga x menuju tak hingga.

y=1x

; x=¿

Hasil pemutaran itu akan membentuk permukaan dua dimensi dalam dimensi tiga. Dengan menggunakan kalkulus, dapat diperoleh volume dan luas permukaan dari terompet Toricelli.

V=π∫a

b

y2 dx

V=π∫1

b1x2 dx=π [−1

x ]1

b

=π (1−1b )

A=2 π∫a

b

y √1+( dydx )

2

dx

A=2 π∫1

b √1+ 1x4

xdx>2π∫

1

b √1x

dx=2π ln b

Nah, jika diambil nilai b ∞, diperoleh volume dan luas permukaan dari Terompet Toricelli

V= limb →∞

π (1−1b )=π (1−0 )=π

A> limb→ ∞

2 π ln b=∞

Ternyata diperoleh volume dari Terompet Toricelli berhingga, yakni π, tetapi luas permukaannya tak hingga. Lho, kok bisa?

Painter’s ParadoxSeandainya Terompet Toricelli itu eksis, maka terompet itu hanya bisa

menampung cat sebanyak π satuan volume, padahal panjang(dalam)-nya tak hingga! Kira-kira jika tetes-tetes cat dituang ke dalam terompet dengan kelajuan v, kapan ia sampai ke dasar? Kapan terompet akan penuh — mengingat kedalaman Terompet Toricelli tak hingga? Tapi bagaimanapun kita bisa pastikan terompet akan penuh mengingat volumenya berhingga.

Berikutnya lagi adalah, Terompet Toricelli hanya mampu menampung cat sebanyak π satuan volume, tetapi karana luasnya tak hingga, apakah kita perlu tak hingga banyaknya cat untuk mengecat permukaannya?

Cobalah menjelaskannya!

Page 126: Kalkulus Dasar 1.0

Bab 5Turunan Parsial dan Turunan

Berarah

1. Fungsi n Variabel

Sebelumnya kita telah mempelajari turunan dan integral dari fungsi satu

variabel, yakni y=f (x ), x=f ( y ), dan sebagainya. Nyatanya, dalam kehidupan

banyak pula permasalahan tidak hanya melibatkan satu variabel, melainkan

lebih. Fungsi yang melibatkan dua variabel disebut fungsi dua variabel, fungsi

yang melibatkan tiga variabel disebut fungsi tiga variabel, dan seterusnya.

Biasanya fungsi yang memuat lebih dari dua variabel sudah dapat dikatakan

fungsi banyak variabel.

Seperti halnya fungsi satu variabel, penulisan fungsi dapat diperjelas

dengan menuliskan variabel-variabelnya dalam kurung, misal V merupakan

fungsi dari x, y, dan z, dapat dituliskan V=f (x , y , z ) atau V (x , y , z ). Secara

umum dapat dituliskan fungsi n variabel sebagai

u=f (x1 , x2 …, xn) (5.1)

Contoh fungsi banyak variabel misalnya fungsi gelombang yakni

y ( x , t )=A sin(kx−ωt )

Atau misalkan tabung yang direbahkan di bidang datar lalu diisi air, maka

fungsi volum terhadap jejari tabung (r), panjang tabung (l), dan ketinggian air (t)

ialah

V (r , l ,t )=l×2 π−2(cos−1 t−r

r )2π

π r2+(t−r)r sin(cos−1 t−rr )

Dan beragam fungsi lainnya lagi. Jika digambarkan dalam grafik, fungsi

satu variabel dapat digambarkan dalam dua dimensi, yakni satu sumbu untuk

variabel dan satu sumbu untuk hasil fungsi. Untuk fungsi dua variabel butuh

ruang tiga dimensi untuk menggambarkannya, yakni dua sumbu untuk variabel

125

Page 127: Kalkulus Dasar 1.0

2

2 Y2

X

dan satu sumbu untuk hasil fungsi. Demikian seterusnya fungsi n variabel hanya

dapat digambarkan dalam n + 1 dimensi. Namun demikian gambar grafik tiga

dimensi dapat diproyeksikan agar dapat digambarkan di atas kertas.

Contoh:

1. Gambarkan grafik fungsi z=f (x , y )=x−2 y+3!

Jawab:

Jika x = 0 dan z = 0, y=1,5

Jika y = 0 dan z = 0, x=−3

Jika x = 0 dan y = 0, z=3

Grafiknya dalam proyeksi

2. Gambarkanlah grafik dari fungsi z=√4−x2− y2

Jawab:

Fungsi z=√4−x2− y2 tidak lain adalah persamaan [permukaan] bola berjejari 2,

x2+ y2+z2=4, sehingga grafiknya seperti berikut ini.

126

Page 128: Kalkulus Dasar 1.0

2. Turunan Parsial

2.1. Definisi Turunan Parsial

Dari pembahasan pada subbab 1, diketahui fungsi dua variabel,

misalkan f (x , y ) memiliki dua variabel. Lalu apa makna dari turunannya?

bagaimana cara kita menurunkannya? Tentunya karena memiliki dua

variabel, ada dua kemungkinan turunannya yakni terhadap x dan terhadap

y. Turunan parsial fungsi f terhadap x di setiap titik (x,y) dinotasikan dengan

D x didefinisikan sebagai:

D x f ( x , y )= lim∆ x→ 0

f ( x+∆ x , y )−f (x , y )∆ x

(5.2)

Apabila limitnya ada. Dengan cara yang sama turunan parsial fungsi f

terhadap y di setiap titik (x,y) dinotasikan dengan D y didefinisikan sebagai:

D y f ( x , y )= lim∆ y → 0

f ( x , y+∆ y )−f (x , y)∆ y

(5.3)

Apabila limitnya ada. Selain notasi di atas, beberapa notasi yang sering

digunakan untuk menyatakan turunan parsial misal untuk z=f (x , y ) antara

lain

D x f ( x , y )=∂x f (x , y )= f , x ( x , y )=∂ f∂ x

=∂ z∂ x

D y f ( x , y )=∂y f ( x , y )=f , y (x , y )= ∂ f∂ y

= ∂ z∂ y

Dalam ilmu matematika biasanya lebih banyak digunakan notasi

D x f ( x , y ) dan f , x ( x , y ) yang lebih ringkas, sedangkan dalam fisika dan ilmu

terapan lain lebih banyak digunakan notasi Leibniz ∂ f∂ x

atau ∂ z∂ x

yang

penulisannya lebih ribet (sebaiknya tidak digunakan jika tinta pulpen

hampir habis) tetapi maknanya lebih kentara apalagi jika sudah berkaitan

dengan persamaan diferensial yang rumitnya bikin pusing.

2.2. Turunan Parsial n Variabel

Telah diberikan penjelasan pada bagian 2.1. mengenai turunan parsial

pada fungsi dua variabel. Tentunya untuk fungsi lebih dari dua variabel (n

127

Page 129: Kalkulus Dasar 1.0

variabel) dapat dikenakan hal yang sama. Andaikan diberikan fungsi n

variabel dari x1, x2, x3, …, xn dengan persamaan

u=f (x1 , x2 , x3 , …, xn)

Bila turunan-turunan parsialnya ada, turunan-turunan parsialnya

diberikan oleh

∂u∂ x1

=f , x1 ,∂ u∂ x2

=f , x2 ,∂ u∂ x3

=f ,x 3 ,…,∂ u∂ xn

=f , xn (5.4)

Jadi, untuk fungsi tiga variabel dari x, y, z, yang persamaan fungsinya

diberikan oleh

u=f (x , y , z )

Maka turunan-turunan parsialnya adalah

∂ u∂ x

= f , x ,∂ u∂ y

=f , y ,∂ u∂ z

= f , z

Untuk menghitung fungsi turunan parsialnya dapat digunakan metode

yang telah dibahas pada bagian 2.1. Misalkan turunan parsial terhadap x

yakni f , x, maka variabel y dan z dianggap sebagai konstanta. Demikian pula

f , y dan f , z dapat diperoleh dengan cara serupa.

2.3. Turunan Parsial Orde Tinggi

Seperti halnya turunan fungsi satu variabel, turunan parsial fungsi n

variabel juga dapat diturunkan beberapa kali (turunan orde tinggi).

Misalkan fungsi u=f (x , y , z ) dapat diturunkan parsial terhadap x, y, dan z,

maka f , x , f , y dan f , z merupakan turunan parsial orde pertama. Bila f , x , f , y

dan f , z masih dapat diturunkan lagi (terhadap variabel yang sama atau

berbeda), semisal f , xx atau f , yz, maka f , xx dan f , yz disebut turunan parsial

orde dua.

u, xx=f , xx=∂

∂ x ( ∂u∂ x )=∂2u

∂ x2

u, yz=f , yz=∂∂ z ( ∂u

∂ y )= ∂2 u∂ y ∂ z

128

Page 130: Kalkulus Dasar 1.0

u, xyz=f , xyz=∂

∂ z { ∂∂ z ( ∂ u

∂ y )}= ∂3 u∂ x∂ y ∂ z

dan seterusnya…

Proses demikian tidak lain merupakan proses menurunkan fungsi

secara parsial berturut-turut terhadap variabel-variabel yang dimaksud.

3. Aturan Rantai Fungsi Implisit

3.1. Aturan Rantai I

Kita telah membahas aturan rantai pada bab 3, yakni pada bagian

turunan fungsi komposisi satu variabel. Jika fungsi z merupakan fungsi dua

variabel, z=f (x , y ) yang mempunyai turunan parsial ∂ z∂ x

dan ∂ z∂ x

, di mana x

dan y sendiri dapat dinyatakan sebagai fungsi satu variabel x=x (t) dan

y= y (t) maka z=F (t) dapat didiferensialkan terhadap t, yang diberikan

oleh

dzdt

=∂ z∂ x

dxdt

+ ∂ z∂ y

dydt

(5.5)

Mengingat x dan y sama-sama merupakan fungsi dari t, maka biasanya

aturan rantai ini dapat dituliskan menjadi

dz= ∂ z∂ x

dx+ ∂ z∂ y

dy (5.6)

Aturan rantai jenis pertama ini berlaku pula untuk z fungsi lebih dari

dua variabel.

3.2. Aturan Rantai II

Pada bagian 3.1. telah dielaskan aturan rantai bila sub-fungsi dari

fungsi n-variabel (dalam kasus sebelumnya ialah fungsi x(t) dan y(t))

merupakan fungsi satu variabel. Bagaimana bila sub-fungsinya juga

memiliki lebih dari satu variabel? Andaikan fungsi fungsi z merupakan

fungsi dua variabel, z=f (x , y ) mempunyai turunan parsial ∂ z∂ x

dan ∂ z∂ x

, di

129

Page 131: Kalkulus Dasar 1.0

mana x dan y sendiri merupakan fungsi dua variabel x=x (r , t) dan

y= y (r ,t ) yang juga memiliki turunan parsial pertama di (r,t), maka

z=F (r , t) dapat didiferensialkan secara parsial terhadap r dan t yang

diberikan oleh

∂ z∂ r

= ∂ z∂ x

∂ x∂ r

+ ∂ z∂ y

∂ y∂ r

(5.7)

∂ z∂ t

= ∂ z∂ x

∂ x∂ t

+ ∂ z∂ y

∂ y∂t

(5.8)

Rumus aturan rantai ke-dua di atas juga dapat dikembangkan untuk

fungsi n variabel, di mana masing-masing variabel bebasnya (sub-fungsi)

juga merupakan fungsi m variabel.

3.3. Aturan Rantai pada Fungsi Implisit

Telah dibahas pada bab 3, fungsi implisit merupakan fungsi yang tidak

dapat dinyatakan dalam bentuk y=f (x ) dan di sini akan diperjelas. Dari

bentuknya, fungsi implisit satu variabel (misal y fungsi dari x) dapat

dipandang sebagai fungsi dua variabel dalam bentuk F ( x , y )=0. Ambillah

fungsi implisit x y3+x2=4 y , dapat kita bentuk F ( x , y )=0 sebagai

x y3+x2−4 y=0. Dengan demikian dapat digunakan aturan rantai jenis

pertama

∂ F∂ x

dxdx

+ ∂ F∂ y

dydx

=d (0 )dx

(5.9)

Mengingat dxdx

=1, maka dihasilkan rumus:

dydx

=−∂ F /∂ x∂ F /∂ y

(5.10)

Atau bila dianggap x fungsi dari y dihasilkan rumus:

dxdy

=−∂ F /∂ y∂ F /∂ x

(5.11)

Contoh:

130

Page 132: Kalkulus Dasar 1.0

1. Diketahui u=x2 y+ y2 z−z2 x, dengan x=t , y=t2, dan z=t 3. Tentukanlah dudt

sebagai fungsi t!

Jawab:

Setelah dicari, diperoleh:

∂ u∂ r

=2 xy−z2,

∂u∂ y

=x2+2 yz, ∂ u∂ z

= y2+2 xz

dxdt

=1, dydt

=2 t, dzdt

=3 t2

Dengan menerapkan aturan rantai pertama dihasilkan

dudt

¿ ∂ u∂ x

dxdt

+ ∂ u∂ y

dydt

+ ∂u∂ z

dzdt

¿ {2 (t ) ( t2 )−(t3 )2} (1 )+ {t 2+2 (t 2 ) ( t3 )} (2 t )+ {(t2)2+2 ( t ) ( t3 )} (3 t )2

¿ (2 t3−t6 )+ (2t 3+4 t6 )+( 3 t6−6 t6 )

¿4 t3

2. Jarak antara dua titik di bidang datar 2 dimensi (R2) diberikan oleh rumus

Pythagoras, r2=x2+ y2, sehingga elemen garis dalam koordinat kartesian

mengambil bentuk ds2=dx2+dy2. Carilah persamaan elemen garis dalam

koordinat polar!

Jawab:

Jika dilakukan transformasi koordinat kartesian (x,y) ke dalam koordinat polar

(r,θ), diperoleh kaitan:

x=r cosθ

y=rsin θ

Dengan menggunakan aturan rantai I

ds2=dx2+dy2={( ∂ x∂ r )

2

dr2+( ∂ x∂θ )

2

dθ2}+{( ∂ y∂ r )

2

dr2+( ∂ y∂θ )

2

dθ2}ds2={( ∂ x

∂ r )2

+( ∂ y∂r )

2}dr2+{( ∂ x∂ θ )

2

+( ∂ y∂θ )

2}dθ2

131

Page 133: Kalkulus Dasar 1.0

Dengan mudah didapatkan nilai ∂ x∂r

=cos θ, ∂ x∂ θ

=−rsin θ, ∂ y∂ r

=sin θ, ∂ x∂ θ

=r cosθ .

Bila disubstitusi pada persamaan di atas diperoleh

ds2={cos2θ+sin2 θ }dr2+{r2 sin2 θ+r2 cos2 θ }dθ2

Mengingat relasi trigonometri cos2θ+sin2θ=1, maka elemen garis dalam

koordinat polar dua dimensi ialah

ds2=dr 2+r 2dθ2

3. Diketahui u=ln √x2+ y2, dengan x=r e t dan y=r e−t . Tentukanlah ∂ u∂ r

dan ∂ u∂ t

!

Jawab:

Diperoleh ∂ u∂ x

= x

x2+ y2 dan ∂u∂ y

= y

x2+ y2 , serta

∂ x∂r

=et,

∂ x∂ t

=r e t,

∂ y∂ r

=e−t, dan

∂ x∂ t

=−r e−t

Mengingat aturan rantai II

∂ u∂ r

=∂u∂ x

∂ x∂ r

+ ∂ u∂ y

∂ y∂ r

∂ u∂ t

=∂u∂ x

∂ x∂t

+ ∂ u∂ y

∂ y∂ t

diperoleh:

∂ u∂ r

= xx2+ y2 e t+ y

x2+ y2 e−t= x et+ y e−t

x2+ y2 e t

∂ u∂ t

= xx2+ y2 r e t+ y

x2+ y2 (−ℜ¿¿−t)=r ( xe t− y e−t )

x2+ y2 et ¿

4. Misalkan fungsi f ( x , y , z )=x2 e y+z− y cos(x−z)=0 mendefinisikan z secara

implisit sebagai fungsi x dan y. Tentukanlah ∂ z∂ x

dan ∂ z∂ y

!

Jawab:

Pandang f ( x , y , z ) sebagai F (x , y ).

∂ z∂ x

=−∂ F /∂ x∂ F /∂ z

=2x e y+ z+ y sin(x−z )x2e y+ z− y sin (x−z)

132

Page 134: Kalkulus Dasar 1.0

∂ z∂ y

=−∂ F /∂ y∂ F /∂ z

=x2e y+ z−cos(x−z)

x2 e y+z− y sin(x−z )

4. Diferensial Total dan Hampiran

Andaikan u=f (x , y) adalah fungsi yang dapat dideferensialkan di (x , y ),

dan andaikan pula dx dan dy adalah variabel yang menyatakan perubahan nilai

variabel bebas x dan y. Diferensial total dari variabel terikat u ditulis du

didefinisikan sebagai

du=∂ u∂ x

dx+ ∂ u∂ y

dy (5.12)

Sekarang kita akan berbicara tentang perubahan nilai fungsi (misal untuk

fungsi dua peubah) bila variabel x dan y mengalami perubahan masing-masing

sebesar ∆ x dan ∆ y . Dengan demikian, perubahan nilai u yang bersesuaian

dengan perubahan nilai ∆ x dan ∆ y tadi ialah

∆ u=∆ f (x0 , y0)=f ( x0+∆ x , y0+∆ y )−f ( x0, y0 ) (5.13)

133

Kasus:

Mencari Lokasi Harta KarunPada suatu hari, Ambo menemukan amplop berisi kertas tua di lemari peninggalan kakeknya. Ternyata kertas itu berisikan petunjuk mengenai harta karun! Tetapi pada kertas itu hanya tertera deretan angka sebagai berikut.

Setelah meneliti sejenak, Ambo menemukan di bagian dalam amplop tertulis simbol-simbol aneh bin nggak jelas seperti berikut:

u=∂x ( y3+2 x) ;∫u dx⟹2=7Tolong bantulah Ambo memecahkan misteri ini untuk menemukan lokasi harta karun. Ia mungkin akan membagi hartanya denganmu!

Page 135: Kalkulus Dasar 1.0

Nah, di sini akan ditunjukkan hubungan antara perubahan nilai fungsi

dengan diferensial total fungsi itu. Bila ∆ x dan ∆ y cukup kecil, maka dipenuhi

hubungan

u ( x+∆ x , y )+u ( x , y+∆ y )≅ u (x+∆ x , y+∆ y )+u ( x , y ) (5.14.a)

Hal ini dengan mudah dibuktikan kebenarannya bila kita menggunakan

fungsi polinomial, semisal u=a xm+b yn. Mengingat untuk α ≪ ,(α+β )m≈ αm+βm.

Persamaan 5.14.a di atas dapat kita ubah bentuknya menjadi

u ( x+∆ x , y+∆ y )−u ( x , y ) ≅ u ( x+∆ x , y )−u ( x , y )+u ( x , y+∆ y )−u ( x , y )

∆ u ≅u ( x+∆ x , y )−u ( x , y )

∆ x∆ x+

u (x , y+∆ y )−u ( x , y )∆ y

∆ y

∆ u ≅ ∂ u∂ x

∆ x+ ∂u∂ y

∆ y (5.14.b)

Dapat disaksikan bahwa perubahan nilai fungsi ∆ u bisa didekati

menggunakan diferensial total selama perubahan nilai variabel-variabel

bebasnya (dalam hal ini ∆ x dan ∆ y) cukup kecil, sehingga dapat didekati

dengan dx dan dy (Ingatlah kembali definisi turunan, yaitu perubahan nilai

fungsi dalam selang ∆ x ,∆ y →0).

du ≈ ∆ f (x0 , y0)≈∂ f (x0 , y0)

∂ x∆ x+

∂ f (x0, y0)∂ y

∆ y

Seandainya ∆ x dan ∆ y cukup kecil, maka nilai ini dapat menggantikan dx

dan dy dengan hasil yang cukup mendekati.

Untuk memahami diferensial total sebagai hampiran lebih jauh, mari

perhatikan contoh berikut. Misalkan z=f (x , y )=2 x3−x y2+3 y . Hitunglah ∆ z dan

dz bila ( x , y ) berubah dari (2,3) ke (2,01, 3,02).

∆ z ¿ f ( x0+∆ x , y0+∆ y )−f ( x0 , y0 )=f (2,01,3,02 )−f (2 ,3 )

¿ {2 (2,01 )3−(2,01 ) (3,02 )2+3(3,02)}− {2 (2 )3−(2 ) (3 )2+3(3)}¿−0,030802

Jika kita turunkan z secara parsial diperoleh ∂ z∂ x

=6 x2− y2 dan

∂ z∂ y

=−2 xy+3, sehingga

134

Page 136: Kalkulus Dasar 1.0

dz ≈∂ z∂ x

∆ x+ ∂ z∂ y

∆ y={6 (2 )2−(3 )2 }(0,01)+{−2 (2 ) (3 )+3 }(0,02)

≈−0,03

Diperoleh bahwa dz merupakan hampiran yang cukup baik untuk ∆ z.

Camkanlah sekali lagi perhitungan hampiran ini hanya berguna untuk

perubahan nilai yang kecil. Semakin besar perubahannya, semakin besar pula

galat yang diperoleh.

Contoh:

1. Seandainya Anda perlu mengetahui nilai √4,5 dan √26, tetapi Anda lupa

membawa kalkulator (atau mungkin tidak tahu cara menggunakan kalkulator

ilmiah). Bagaimanakah cara untuk mendapatkan hampiran nilai √4,5 dan √26?

Jawab:

Kita dapat menuliskan persamaannya sebagai y=√x=x12 . Bila dipandang x

berubah dari 4 ke 4,5 (dx = 0,5) maka y berubah dari √4 ke √4+dy (4 dan 25 kita

pilih sebagai x0 karena telah diketahui dengan pasti akarnya).

dydx

=12

x−12 atau dy= 1

2√ xdx.

dy= 12√4

(0,5 )=18

Jadi √4,5 ≈√4+dy=2,125

Dengan cara yang serupa diperoleh

√26 ≈√25+ 12√25

(1 )=5,1

Jika dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari kalkulator, √4,5=2,1213 …

dan √26=5,0990 … .

Perhatikan rumus hampiran √ x+ 1

2√ x(∆ x ) merupakan dua suku pertama dari

ekspansi binomial √ x+∆ x.

( x+∆ x )12=x

12+ 1

2x

−12 ∆ x+

( 12 )(−1

2 )2 !

x−3

2 (∆ x )2+…

Well, banyak jalan menuju Roma…

135

Page 137: Kalkulus Dasar 1.0

2. Acok ditugaskan oleh guru matematikanya membuat balok dari karton dengan

ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 10 cm. Jika penggaris yang

digunakan Acok untuk mengukur memiliki nilai skala terkecil 1 mm, hitunglah

volume balok yang dibuat Acok dan kesalahan terbesar yang mungkin. Jangan

lupa laporkan pada pak satpam penulisan ilmiah dari hasil pengukuran Anda.

Jawab:

Volume balok dapat dinyatakan dalam fungsi tiga variabel V=xyz . Dengan

demikian, volume balok (tanpa galat) adalah V= (20 ) (15 ) (10 )=3000cm3.

Kesalahan pengukuran volume terjadi karena kesalahan pengukuran panjang,

lebar, dan tinggi, yakni lebih kurang setengah dari nilai skala terkecil

|∆ x|,|∆ x|,|∆ x|≤ 0,5 mm. Kesalahan pengukuran maksimumnya ialah:

du ≈∂ V∂ x

∆ x+ ∂ V∂ y

∆ y+ ∂ V∂ z

∆ z= yz ∆ x+xz ∆ y+xy ∆ z

du≈ (15 ) (10 ) (0,05 )+(20 ) (10 ) (0,05 )+(20 ) (15 ) (0,05 )=32,5 cm3

Kesalahan relatifnya ialah ±32,53000

=±1,08 %. Dengan demikian, dapat kita

laporkan pada pak satpam volume balok tadi ialah V= (3000± 32,5 ) cm3.

5. Gradien dan Turunan Berarah

5.1. Gradien

136

Problem:

Ketidakpastian pengukuran

Hitung ketidakpastian maksimum hambatan total dari dua resistor yang disusun paralel, di mana R1=100 Ω dan R1=200 Ω, dengan toleransi kedua resistor masing-masing 5%.Petunjuk:Rumus hambatan total untuk rangkaian resistor yang disusun paralel adalah1R

= 1R1

+ 1R2

+…+ 1Rn

Page 138: Kalkulus Dasar 1.0

Misalkan f (x , y ) adalah fungsi dua variabel x dan y , dan mempunyai

turunan-turunan parsial f , x ( x , y ) dan f , y (x , y), maka gradien f yang

dinyatakan dengan ∇ f (x , y) = grad f (baca: del f ) didefinisikan sebagai

berikut

∇ f ( x , y )=f x ( x , y )i+f y ( x , y ) j

Dimana i = <1,0> dan j = <0,1> masing-masing menyatakan vektor

satuan yang searah sumbu x dan sumbu y .

Demikian pula dengan fungsi tiga variabel, misalkan f (x , y , z) adalah

fungsi tiga variabel dari x, y , dan z, dan mempunyai turunan-turunan

parsial f , x ( x , y , z ), f , y ( x , y , z ), dan f , z (x , y , z ), maka gradien f yang

dinyatakan dengan ∇ f (x , y , z ) = grad f didefinisikan sebagai berikut

∇ f ( x , y , z )=f x ( x , y , z ) i+ f y ( x , y , z ) j+ f z ( x , y , z ) k

Dimana i = <1,0,0>, j = <0,1,0>, dan k = <0,0,1> masing-masing

menyatakan vektor satuan yang searah sumbu x, sumbu y , dan sumbu z.

Dengan notasi diferensial

∇= ∂∂ x

i+ ∂∂ y

j+ ∂∂ z

k

Gradien f menjadi

∇ f ( x , y , z )=∇ • f ( x , y , z ) ∇ f ( x , y , z )=∂ f

∂ xi+ ∂ f

∂ yj+ ∂ f

∂ zk (5.15)

Contoh:

1. Jika f ( x , y )=3 x2 y+2 x y3, hitunglah gradien f di titik (-1,2)

Jawab:

Dari f ( x , y )=3 x2 y+2 x y3, diperoleh:

f , x ( x , y )=6 xy+6 y2 f , y ( x , y )=3x2+4 x y2

Menurut definisi gradien f di sembarang titik diberikan oleh

∇ f ( x , y )= (6 xy+6 y2 )i+(3 x2+4 x y2 ) j

Sehingga gradien f di titik (-1,2) diberikan oleh

137

Page 139: Kalkulus Dasar 1.0

∇ f (−1,2 )=[6 (−1 ) (2 )+6 (2)2 ] i+ [3(−1)2+4 (−1)(2)2 ] j=12 i−13 j

5.2. Turunan Berarah

Misalkan x dan y adalah fungsi dua variabel dari x dan y , dan

mempunyai turunan parsial f , x( x , y ) dan f , y (x , y). Misalkan pula P(x , y)

titik di R2, dan u=u1i+u2 j adalah sebuah vektor satuan. Maka turunan

berarah f di titik P(x , y) dalam arah vektor u ditulis Du f (x , y)

didefinisikan oleh

Du f ( x , y ) ¿u •∇ f ( x , y )

¿(u¿¿1i+u2 j)• ¿¿

¿u1 f , x ( x , y )+u2 f , y (x , y )

Misalkan x, y dan z adalah fungsi tiga variabel dari x, y dan z, dan

mempunyai turunan parsial f , x( x , y , z ), f , y (x , y , z ) danf , z(x , y , z). Misalkan

pula P(x , y , z) titik di R3, dan u=u1i+u2 j+u3 k adalah sebuah vektor satuan.

Maka turunan berarah f di titik P(x , y , z) dalam arah vektor u ditulis

Du f (x , y , z ) didefinisikan oleh

Du f ( x , y , z ) ¿u •∇ f ( x , y , z )

¿(u¿¿1i+u2 j+u3 k )•( f , x ( x , y , z ) i+ f , y ( x , y , z ) j+ f , z( x , y , z )k)¿

¿u1 f x ( x , y , z )+u2 f y ( x , y , z )+u3 f z( x , y , z )

138

Page 140: Kalkulus Dasar 1.0

Bab 6 Aplikasi Turunan dan Integral

1. Aplikasi Turunan

Beberapa contoh aplikasi turunan ialah untuk menghitung kecepatan dan

percepatan sesaat, limit fungsi yang menghasilkan bentuk tak tentu, masalah-

masalah ekstremum dan lain-lain.

1.1. Kecepatan dan Percepatan Sesaat

Misalkan bahwa benda P bergerak sepanjang lintasan yang

berbentuk garis lurus. Gerak benda demikian disebut sebagai gerak lurus.

Ketika t detik, benda P menempuh panjang lintasan (juga disebut jarak) s

meter terhadap titik asal O. Panjang lintasan s dapat dinyatakan dalam

fungsi waktu t sebagai s=f (t ), seperti diperlihatkan pada gambar di bawah

ini.

s=f (t )

O

139

Page 141: Kalkulus Dasar 1.0

Titik acuan t detik

t=0

Gambar 6.1.

Penting untuk diketahui bahwa meskipun benda bergerak sepanjang

lintasan garis lurus tetapi s=f (t ) tidaklah harus berbentuk linear.

Misalkan pada waktu t detik, benda P berada pada f (t). Setelah ∆ t

detik kemudian, yaitu pada (t +∆ t) detik, benda P berada pada f (t+∆ t).

Dengan adanya pertambahan waktu sebesar ∆ t akan mengakibatkan

pertambahan panjang lintasan sebesar ∆ s, dan pertambahan panjang

lintasan itu ditentukan oleh ∆ s=f (t +∆ t )−f (t). Masalah ini dapat

divisualisasikan melalui gambar berikut ini.

Pertambahan panjang lintasan

∆ s=f (t +∆ t )−f (t)

Pertambahan waktu

Gambar 6.2.

Kecepatan

Kecepatan rata-rata gerak benda P dalam interval waktu ∆ t detik

ditentukan oleh

Δ sΔt

=f (t+∆ t )−f (t)

∆ t

Kecepatan sesaat gerak benda P pada waktu t detik diperoleh dari

proses pelimitan kecepatan rata-rata ketika ∆ t mendekati nilai nol.

Dengan demikian, kecepatan sesaat itu ditentukan dengan proses

limit sebagai

140

t (t +∆ t)∆ t

Page 142: Kalkulus Dasar 1.0

lim∆t →0

Δ sΔt

= lim∆t → 0

f (t+∆ t )−f ( t)∆t

=dsdt

=dfdt

Kecepatan gerak dari suatu benda biasanya dilambangkan dengan

v (t) dalam satuan m/detik, sehingga hubungan antara panjang lintasan dan

kecepatan dapat dituliskan sebagai berikut.

v (t )=dsdt

(6.1)

Hubungan di atas menunjukkan bahwa kecepatan gerak dari sebuah

benda merupakan turunan pertama dari panjang lintasan s terhadap

waktu t . Dengan perkataan lain, kecepatan sesaat adalah laju perubahan

panjang lintasan s terhadap waktu t . Besar atau nilai skalar dari kecepatan

pada waktu t detik disebut laju dan laju dideefinisikan sebagai nilai mutlak

kecepatan. Jadi,

Laju pada waktu t=|v (t)|=|dsdt |

Berdasarkan teorema fungsi naik, fungsi turun, dan fungsi stasioner,

tingkah laku lintasan s (bertambah, berkurang, atau tetap) dapat diamati

dengan memeriksa tanda-tanda dari v (t) (positif, negatif, atau nol) dalam

suatu interval waktu tertentu. Hubungan tingkah laku s dengan v (t) dapat

diungkapkan sebagai berikut.

Misalkan panjang lintasan s sebagai fungsi waktu t ditentukan oleh

s=f (t ) dalam interval waktu t dan v (t )=dsdt

ada untuk setiap nilai t dalam

interval itu.

1. Jika v (t )=dsdt

>0 untuk t∈T , makas naik pada interval T

Arti fisis dari s naik adalah benda bergerak dengan bergerak dengan

nilai panjang lintasan s yang semakin bertambah.

2. Jika v (t )=dsdt

<0 untuk t∈T , maka s turun pada interval T

Arti fisis dari s turun adalah benda bergerak dengan bergerak dengan

nilai panjang lintasan s yang semakin berkurang.

141

Page 143: Kalkulus Dasar 1.0

3. Jika v (t )=dsdt

=0 untuk t∈T , maka s stasioner pada interval T

Arti fisis dari s stasioner adalah benda tidak bergerak atau diam

sesaat.

Percepatan

Misalkan bahwa kecepatan gerak dari sebuah benda juga merupakan

fungsi waktu atau v (t) berubah terhadap t . Laju perubahan kecepatan

terhadap waktu disebut percepatan dari gerak benda tersebut. Percepatan

pada waktu t detik biasanya dilambangkan dengan a (t) dengan satuan

m/detik2. Dengan demikian, hubungan antara percepatan dengan kecepatan

dan percepatan dengan panjang lintasan dapat ditentukan sebagai berikut.

a=dvdt

= ddt ( ds

dt )=d2 sdt 2 (6.2)

Hubungan di atas menunjukkan bahwa percepatan gerak benda

merupakan turunan pertama dari kecepatan v terhadap waktu t atau

turunan kedua dari panjang lintasan s terhadap waktu t.

Dengan menggunakan pemikiran yang sama seperti halnya dalam

hubungan tingkah laku s dengan v (t), hubungan tingkah laku kecepatan v

dengan percepatan a (t) dapat diungkapkan sebagai berikut.

Misalkan kecepatan v sebagai fungsi waktu tditentukan oleh v=v ( t)

dalam interval waktu T dan a (t )=dvdt

ada untuk setiap nilai tdalam interval

itu.

1. Jika a (t )=dvdt

>0 untuk t∈T , maka v naik dalam interval T

Arti fisis v naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan v yang

semakin bertambah atau benda bergerak dipercepat.

2. Jika a (t )=dvdt

<0 untuk t∈T , maka v turun dalam interval T

Arti fisis v naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan v yang

semakin berkurang atau benda bergerak diperlambat.

142

Page 144: Kalkulus Dasar 1.0

3. Jika a (t )=dvdt

−0 untuk t∈T , maka v stasioner dalam interval T

Arti fisis v naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan v yang

tetap atau benda bergerak tidak dipercepat maupun diperlambat.

Selanjutnya, tingkah laku laju benda |v| dapat ditentukan dengan

mengamati tanda-tanda dari v dan a secara bersamaan sebagai berikut.

1. Jika v dan a bertanda sama (v<0 dan a<0 atau v>0 dana>0), maka laju

benda |v| naik atau bertambah.

2. Jika v dan a berlainan tanda (v<0 dan a>0 atau v>0 dana<0), maka laju

benda |v| turun atau berkurang.

1.2. Aturan l’Hopital

Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari

suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain

sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami

karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal.

Di dalam kajian tentang limit, berlaku sebuah teorema yang

mengatakan sebagai berikut.

Jika limx →a

f ( x )=A dan limx →a

g ( x )=B, makalimx →a

f (x)g(x )

=limx →a

f (x )

limx → a

g(x )= A

B

Dengan catatan bahwa limx →a

g ( x )=B ≠ 0

Teorema tersebut menjadi tidak berlaku apabila limx →a

f ( x )=0 dan

limx →a

g ( x )=0 atau

limx →a

f ( x )=± ∞ dan limx →a

g ( x )=¿±∞ ¿

143

Page 145: Kalkulus Dasar 1.0

Jika limx →a

f ( x )=0 dan limx →a

g ( x )=0, maka bentuk limx → a

f (x)

limx → a

g(x ) disebut

bentuk tak-tentu 00

pada x=a. Sedangkan jika limx →a

f ( x )=± ∞ dan

limx →a

g ( x )=¿±∞ ¿, maka limx → a

f (x)

limx → a

g(x ) disebut bentuk tak-tentu

∞∞

pada x=a.

Dengan demikian, bentuk tak-tentu 00

dan ∞∞

dapat didefinisikan

sebagai berikut.

Misalkan f (x) dan g(x ) fungsi-fungsi yang mempunyai limit di seitar

x=a.

Jika limx →a

f ( x )=0 dan limx →a

g ( x )=0, maka bentuk limx →a

f (x)g(x ) dinamakan

bentuk tak-tentu 00

pada x=a.

Jika limx →a

f ( x )=± ∞ dan limx →a

g ( x )=¿±∞ ¿, maka bentuk limx →a

f (x)g(x ) dinamakan

bentuk tak-tentu ∞∞

pada x=a.

Cara menghitung bentuk tak-tentu dari limit fungsi, yaitu dengan

menggunakan teknik perhitungan manipulasi aljabar. Misalnya:

Limit fungsi aljabar yang berbentuk 00

, teknis perhitungannya dengan

menggunakan metode pemfaktoran.

Contoh:

limx →1

x2−1x−1

=limx →1

( x−1 )(x+1)( x−1)

=limx →1

(x+1 )=1+1=2

Limit fungsi trigonometri yang berbentuk 00

, teknis perhitungannya

dengan menggunakan manipulasi aljabar dan bantuan rumus.

Contoh:

144

Page 146: Kalkulus Dasar 1.0

limx →0

sin 3 xx

=limx→ 0

3sin 3 x

3 x=3 lim

x →0

sin 3 x3 x

=3 (1 )=3

Limit fungsi aljabar yang berbentuk ∞∞

, teknis perhitungannya dengan

menggunakan pembagian pangkat tertinggi dari penyebut.

Contoh:

limx→ ∞

3 x+12 x−4

=¿ limx →∞

3+ 1x

2−4x

=3+02−0

=32¿

Dalam subbab ini akan diperkenalkan teknik lain untuk menghitung

limit fungsi yang berbentuk tak tentu menggunakan bantuan turunan yang

dikenal sebagai Teorema L’Hôpital. Teorema ini pertama kali

diperkenalkan oleh seorang ahli matematika dari Perancis yang bernama

Guillaume Francois L’Hôpital (1661-1707).

145

Page 147: Kalkulus Dasar 1.0

Contoh:

Hitunglah limit-limit fungsi berikut ini.

a. limx →1

x2−1x−1

b. limx →0

sin 3 xx

c. limx→ ∞

3 x+12 x−4

Jawab:

a. Bentuk limx →1

x2−1x−1

merupakan bentuk tak-tentu 00

pada x=1

limx →1

x2−1x−1

= limx →1

2 x1

=2 (1 )=2

b. Bentuk limx →0

sin 3 xx

merupakan bentuk tak-tentu 00

pada x=0

limx →0

sin 3 xx

=limx→ 0

3 cos3 x1

=3 (1)

1=3

c. Bentuk limx→ ∞

3 x+12 x−4

merupakan bentuk tak-tentu ∞∞

pada x mendekati ∞

146

Teorema L’Hôpital:

Misalkan f (x) dan g(x ) adalah fungsi-fungsi yang diferensiabel pada setiap titik dalam interval terbuka I .

Jika g' (x)≠ 0 untuk setiap x≠ a pada I dan jika limx →a

f (x)g(x )

mempunyai bentuk tak-

tentu 00

atau ∞∞

pada x=a, maka

limx →a

f (x)g(x )

=limx→ a

f ' (x )g' (x)

Dengan catatan bahwa limx →a

f '(x )g' (x )

ada.

Dalam hal limx →a

f '(x )g' (x )

masih mempunyai bentuk tak-tentu, maka proses perhitungan

diteruskan dengan menggunakan turunan kedua limx →a

f (x)g(x )

=limx→ a

f ' ' (x)g' '( x)

, . . . ,

Page 148: Kalkulus Dasar 1.0

limx→ ∞

3 x+12 x−4

= limx →∞

32=3

2

1.3. Masalah Ekstremum Fungsi

Telah dibahas pada bab 3 mengenai ekstremum suatu fungsi. Titik

stasioner suatu fungsi y=f (x ) terdapat pada nilai x yang memenuhi

f ' ( x )=0Juga telah dibahas bahwa titik stasioner itu dapat berupa titik maksimum, titik minimum, atau sekadar titik belok. Menggunakan uji turunan ke-dua yang juga telah dibahas pada bab 3 diketahui1. Bila f ' ' ( x )>0, maka titik stasioner itu merupakan nilai minimum.2. Bila f ' ' ( x )<0, maka titik stasioner itu merupakan nilai maksimum.3. Bila f ' ' ( x )=0, maka titik stasioner itu bukan niai ekstrim.Berikutnya kita akan membahas nilai ekstrim suatu fungsi, yakni nilai maksimum atau nilai minimum suatu fungsi dalam selang lokal. Jika f ( x ) memiliki titik stasioner dalam suatu selang, maka pastilah titik stasioner itu merupakan nilai ekstrim (maksimum atau minimum). Adapun bila f ( x ) tidak memiliki titik stasioner, f ( x ) dapat saja memiliki nilai ekstrim dalam selang tertutup. Misalkan f ( x )=2 x+3 merupakan fungsi linear sehingga tidak punya titik stasioner. Tetapi bila kita memilih suatu selang tertutup [2,5], maka kita dapatkan nilai maksimum fungsi f ( x ) dalam selang [2,5] ialah f (5 )=13 dan titik minimumnya ialah f (2 )=7. Jadi dapat dikatakan 2 dan 5 ialah titik-titik kritis (minimum dan maksimum) dari fungsi f (x). Jadi bila f (a) merupakan nilai ekstrim dalam interval I, maka a 147

Page 149: Kalkulus Dasar 1.0

x

y

adalah titik kritisnya. Dengan demikian terdapat tiga kemungkinan titik-titik kritis itu yakni:1. Titik ujung dari selang I.2. Titik stasioner dari f (x), di mana f ' (a )=03. Titik singular dari f (x), di mana f ' (a) tidak ada.Dalam subbab ini akan ditunjukkan bagaimana menemukan nilai ekstrim (maksimum dan minimum) dan titik-titik kritis (titik yang memetakan nilai ektrim) suatu fungsi yang biasa (atau mungkin terkadang) muncul dalam kehidupan sehari-hari.Contoh, misalkan Pak Alejandro ingin memasang pagar kawat sepanjang 150 m berbentuk seperti pada gambar. Agar luas total daerah yang dipagari maksimum, tentukanlah panjang dan lebar kawat.

Syarat yang diberikan dalam permasalahan ini adalah panjang total kawat, yakni 2 x+3 y=150 m atau y=50−2

3x. Yang

ingin dimaksimalkan di sini adalah luas daerah yang dipagari, sehingga kita harus mancari fungsi dari luas yang tidak lain adalah:A=xy=x (50−2

3x)=50 x−2

3x2

Untuk memaksimalkan luas, x haruslah memenuhi A'=dAdx

=0.50−4

3x=0; x=37,5

148

Page 150: Kalkulus Dasar 1.0

Dan diperoleh pula y=50−23

(37,5 )=25. Luas maksimumnya A=xy=937,5 m2.

Contoh:

1. Jumlah dua bilangan sama dengan 40. Tentukanlah hasil kali bilangan itu yang

terbesar.

Jawab:

Misalkan bilangan-bilangan itu x dan y, sehingga x+ y=40 atau y=40−x

Misalkan hasil kali kedua bilangan itu u, maka u ( x )=x (40−x )=40 x−x2 dengan

0 ≤ x≤ 40. Nilai x maksimal jika u ' ( x )=0

40−2 x=0 atau x=20

Karena u' ' (20 )=−2 (negatif), maka menurut uji turunan ke-dua nilai ekstrim ini

ialah nilai maksimum. Akhirnya diperoleh u=xy=40 (20 )−20=400.

2. Sehelai karton berbentuk persegi dengan

panjang rusuk 9 cm. Pada keempat sudutnya

akan digunting persegi yang berukuran sama

sehingga membentuk sebuah jaring-jaring.

Selanjutnya karton tersebut dilipat sedemikian

rupa sehingga menghasilkan balok tanpa tutup

seperti pada gambar. Tentukanlah volume

kotak yang paling besar yang dapat dibuat.

Jawab:

Jika jaring-jaring itu dilipat, akan menghasilkan persegi panjang dangan panjang

dan lebar 9−2 x dan tinggi x, sehingga volume kotak dapat diberikan dalam

persamaan

V (x )=(9−2 x ) (9−2 x ) x=4 x3−36 x2+81 x

Dengan nilai x yang memenuhi berada dalam selang [0 ,92 ]. Syarat untuk

memaksimalkan atau meminimalkan V ialah mencari nilai x yang memenuhi

V ' (x )=0.

149

x

x

9 cm

9 cm

Page 151: Kalkulus Dasar 1.0

12 x2−72 x+81=0

3 (4 x2−24 x+27 )=0

3 (2 x−4 )(2 x−9)=0

Jadi diperoleh nilai ekstrim x=32

dan x=92

yang keduanya terletak dalam selang

[0 ,92 ]. Untuk mengetahui mana yang memberikan nilai maksimum, kita dapat

langsung menyubstitusikan nilai-nilai ekstri tadi atau kita dapat melakukan uji

turunan ke-dua.

V ' ' ( x )=24 x−72

Diperoleh untuk x=32

, V ' ' ( x )=−36 dan untuk x=92

V ' ' (x )=36. Dari teorema

sebelumnya diketahui ekstrim maksimum memiliki nilai turunan ke-dua < 0 pada

titik itu dan ekstrim minimum memiliki nilai turunan ke-dua > 0 pada titik itu.

Dengan demikian diperoleh nilai x yang dimaksud adalah x=32

, dan volumenya

V ( 32 )=54 cm3

2. Aplikasi Integral

Integral memiliki banyak aplikasi di berbagai bidang. Selain untuk

menentukan panjang kurva, luas daerah, dan volum benda putar seperti yang

telah dibahas sebelumnya, integral juga digunakan untuk menentukan pusat

massa benda, menghitung momen inersia, pemodelan pertumbuhan populasi,

dan banyak lagi. Berikut beberapa masalah-masalah fisika yang memerlukan

operasi integral.

2.1. Menentukan Pusat Massa Benda

Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari

suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain

sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami

karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal.

150

Page 152: Kalkulus Dasar 1.0

Interaksi antar materi seringkali merupakan interaksi banyak titik

materi. Pada sistem banyak titik, selain terdapat gaya eksternal (Fe) juga

terdapat gaya internal (Fij) antar titik-titik dalam benda. Untuk itu

diperkenalkan pusat massa, di mana gaya aksi yang diberikan ke setiap titik

materi dipandang sama dengan gaya aksi yang diberikan pada pusat massa

suatu sistem materi tunggal. Contoh sederhananya saat kita melempar bola

ke atas, sebenarnya semua titik pada materi mendapatkan gaya aksi yang

besarnya kita sebut Fi. Namun akan lebih sederhana jika kita menganggap

bola itu sebagai satu titik materi saja, yakni pada pusat massanya.

Pusat massa suatu benda ialah titik di mana gaya internal pada

sistem massa sama dengan nol. Untuk benda simetris yang homogen, letak

pusat massa tentulah berada tepat di tengah-tengah benda. Lalu, bagaimana

untuk benda yang tidak simetris?

Ambillah persamaan gaya yang bekerja pada sistem banyak titik

∑i

F ie+∑

i∑j ≠i

F ij=d2

d t 2∑i

mir=F

Jika kita mengambil suatu titik di mana gaya internalnya nol,

diperoleh

d2

d t 2 ∑i

mi r i=∑i

F ie=Fe

Titik itu haruslah mewakili keseluruhan sistem secara makroskopis,

sehingga notasi sumasi di ruas kiri menjadi lenyap. Titik itulah yang kita

sebut sebagai pusat massa, yang berjarak R dari sembarang pemilihan

kerangka acuan.

∑i

mi r i=∑i

mi R

R=∑

i

mi r i

∑i

mi

= 1M

∑i

mi r i

Akhirnya diperoleh

Md2 Rd t2 =Fe

151

Page 153: Kalkulus Dasar 1.0

X

Y

Z

Di sini akan dibahas cara menentukan pusat massa benda homogen.

Pendekatannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu diskret dan kontinu.

Misal untuk gambar di bawah ini.

Jika kubus-kubus kecil penyusunnya memiliki rusuk 4 cm dan massa

m, di manakah letak pusat massa benda itu? Kita akan menghitungnya

bagian-demi bagian dan parameter demi parameter (x, y, z).

kubus pertama (paling kiri)

r1(x,y,z) = (2,2,2)

kubus ke-dua (tengah)

r2(x,y,z) = (2,6,2)

kubus ke-tiga (depan)

r3(x,y,z) = (6,6,2)

kubus ke-empat (atas)

r4(x,y,z) = (2,6,6)

Karena semua kubus kecil memiliki massa yang sama, m, maka pusat

massanya, R ialah:

R x=∑

i

mi r xi

∑i

mi

=2m+2 m+6 m+2mm+m+m+m

=3

R y=∑

i

mi r yi

∑i

mi

=2m+6m+6 m+6 mm+m+m+m

=5

152

Gambar 6.3. Bangun ruang yang tersusun dari empat kubus.

Page 154: Kalkulus Dasar 1.0

R z=∑

i

mir zi

∑i

mi

=2 m+2m+2 m+6 mm+m+m+m

=3

Akhirnya diperoleh R = (3,5,3).

Contoh tadi adalah untuk benda yang bisa didekati dengan metode

diskret. Bagaimana dengan pelat berbentuk segitiga siku-siku?

Gambar 6.4.

Untuk benda semacam ini kita dapat memecahnya menjadi segmen-

segmen kecil lalu dijumlahkan (jumlahan Riemann). Berbicara tentang

penjumlahan Riemann artinya kita akan bersinggungan dengan integral.

Dalam bentuk integral, persamaan pusat massa dapat dituliskan

R= 1M ∫r dm

Di mana dm ialah elemen massa, atau massa dari tiap-tiap segmen. Di

sini kita mendefinisikan massa jenis σ (massa per satuan luas), yakni σ=MA

. Karena luas segitiga di atas ialah ½ a.b, maka:

σ=2 Mab

→ M=σab2

Mengingat segitiga siku-siku dapat kita nyatakan dalam persamaan

garis y(x) = mx = bx/a, diperoleh luas tiap segmen yang berbentuk segi

empat (dA) tidak lain adalah dx × y(x) sehingga elemen massa

dm=σ dA=σ y ( x )dx

Sekarang kita sudah bisa memulai menghitung pusat massa segitiga.

153

Page 155: Kalkulus Dasar 1.0

R x=1M∫0

a

x dm

R x=1M∫0

a

x σ y ( x )dx

R x=1M∫0

a

x σba

x dx= σbaM

∫0

a

x2 dx

R x=σbaM [ x3

3 ]0

a

=σ a2 b3 M

Substitusi kembali M=σab2

, akhirnya diperoleh

R x=23

a

Akhirnya ketemu juga, tapi itu baru absisnya, belum ordinatnya. Cara

mencari Ry serupa, hanya saja Anda harus mengubah fungsinya menjadi x(y)

= ay/b. Perhatikan bahwa panjang segmen bukanlah x(y), melainkan

a−x ( y )=a(1− yb ), lalu integrasikan terhadap y, nanti akan diperoleh bentuk

R y=1M∫0

b

y d m

Ingatlah yang merupakan massa luasan segitiga bukanlah x ( y )

melainkan a−x ( y ), sehingga:

R y=1M

∫0

b

y σa(1− yb )dx=σa b2

6 M

Pada akhirnya pusat massanya ialah

R=( 23

a ,13

b)

2.2. Menentukan Momen Inersia Benda

Momen inersia atau momen kelembaman (I) merupakan besran fisis

yang menunjukkan kecenderungan benda untuk berputar. Momen inersia

analog dengan massa pada gerak translasi. Benda dengan momen inersia

kecil berarti benda itu mudah diputar, sebaliknya momen inersia besar

154

Page 156: Kalkulus Dasar 1.0

berarti benda itu sulit diputar (memerlukan gaya yang lebih besar untuk

mulai berputar). Mengingat ini buku matematika, maka penjelasan fisis

mengenai momen inersia tidak akan dibahas secara rinci di sini, dengan

demikian langsung saja dinyatakan momen inersia suatu partikel titik pada

suatu sumbu putar ialah:

I=m r2

Dengan m massa partikel dan r jarak partikel ke sumbu putar.

Jelaslah momen inersia benda bergantung terhadap massa dan jaraknya

terhadap sumbu putar. Tidak hanya itu, momen inersia merupakan tinjauan

setiap partikel dan jaraknya, sehingga untuk benda makroskopik (terdiri

dari banyak partikel), besarnya momen inersia dinyatakan dalam

I=∑i=1

n

mi ri2=∫

a

b

x2dm

Jadi momen inersia juga bergantung pada bentuk geometri benda.

Misalkan sebuah batang homogen dengan panjang L dan massa M akan

diputar dengan poros di ujung batang, berapakah momen inersianya?

Ingatlah bahwa tiap titik pada batang memiliki jarak yang berbeda

terhadap sumbu putar. Oleh karena itu kita iris-iris batang sejajar sumbu

putar setipis mungkin hingga tiap irisan memiliki ketebalan sebesar titik.

Dengan demikian diperoleh segmen-segmen dengan massa tiap segmen

sama, yakni dm (disebut juga elemen massa) dan jarak dari sumbu putar x i.

Gambar 6.5.

155

Page 157: Kalkulus Dasar 1.0

Mengingat jarak ke sumbu putar hanya bergantung terhadap sumbu

X, maka elemen sumbu Y dan Z dapat diabaikan sehingga dapat digunakan

definisi massa per satuan panjang, λ.

M=λ L dan dm=λ dx

I=∫0

L

x2dm

Substitusi nilai dm dengan λ dx agar dapat diintegralkan.

I=∫0

L

λ x2 dx=13

λ x3|x=0

x=L

=13

λ L3

Substitusi balik nilai M=λ L, sehingga diperoleh I=13

M L2.

Jadi telah kita dapatkan momen inersia batang homogen yang

diputar pada ujungnya. Bagaimana jika batang diputar dengan sumbu

melalui tengah batang? Caranya serupa, hanya bila pada kasus sumbu di

ujung batang kita integralkan dari x = 0 ke x = L, maka bila sumbu di tengah

batang kita integralkan dari x = -L/2 ke x = L/2.

I= ∫−L/2

L/2

λ x2 dx= 13

λ x3|−L/2

L/2

=13

λ {L3

8−(−L3

8 )}= 112

λ L3

Substitusikan lagi M=λ L, diperoleh I=112

M L2.

Gambar 6.6.

Contoh:

1. Carilah momen inersia cakram bermassa M dan jari-jari R yang diputar pada

sumbu tegak lurus penampangnya melalui pusat cakram.

156

Page 158: Kalkulus Dasar 1.0

Problem:

Momen Inersia Bola Pejal Homogen

Sebuah bola pejal (tidak berongga) homogen mempunyai massa M dan jari-jari R. Carilah momen inersia bola terhadap sumbu yang melalui pusat bola, misal sumbu Z.

Tips: Bola dapat dibelah-belah tegak lurus sumbu Z menjadi pelat-pelat dengan ketebalan menuju nol dan jejari .Momen inersia pelat homogen ialah sehingga momen inersia elemen pelat .

(Jawab: )

Teorema Sumbu Sejajar

Teorema sumbu sejajar menyatakan:“Momen inersia benda tegar terhadap sumbu yang sejajar dengan sumbu yang melalui pusat massa benda tegar adalah senilai dengan momen inersia terhadap sumbu yang melalui pusat massanya ditambah hasil kali antara massa benda dengan kuadrat jarak dari kedua sumbu sejajar itu (l)”.

Buktikanlah kebenaran teorema ini dan cari pula momen inersia bola pejal di atas bila sumbu putarnya digeser sejauh dari pusat bola.

Z

Y

y

z R

Jawab:

Bayangan cakram dibelah menjadi cincin-cincin konsentris (sepusat) dangan

ketebalan seragam dr dan jarak dari pusatnya ri. Anggap sumbu putar itu adalah

sumbu Z, massa cakram ialah

M=σA=σπ R2

Sekarang bayangkan cincin-cincin itu dibentangkan seperti pita, maka luas tiap

segmen ialah panjang kali lebarnya yakni dA=(2 πr )(dr ). Dengan demikian

elemen massanyadm=σ dA=σ 2 πr dr

I=∫0

R

r2 dm=∫0

R

r2 σ 2 πr dr= 24

σπ r 4|0

R

=12

σπ R4

Substitusi balik M=σπ R2, diperoleh I=12

M R2.

Catatan:

Mengapa elemen luas cincin bisa dimodelkan dengan pita persegi panjang ialah karena

lebar cincin yang sangat kecil, sehingga bisa diluruskan. Jika tetap digunakan rumus luas

segmen lingkaran diperoleh

d A i=π (ri+12−ri

2 )Mengingat ri+1=ri+dr , maka diperoleh ri+1

2−r i2=(ri+dr )2−ri

2=2 r i dr+dr 2. Karena dr

sangat kecil, maka 2 ri dr+dr2≅ 2 ri dr , sehingga elemen luasnya 2 π ri dr , hasil yang

sama dengan sebelumnya.

157

Page 159: Kalkulus Dasar 1.0

Bab 7 Deret Tak Hingga

1. Deret Tak Hingga

Sebelumnya perlu diberikan ulang definisi deret ialah jumlahan suku-

suku dengan pola(fungsi) tertentu. Jika suku ke-n dari deret dinyatakan dalam

un, maka jumlahan dari deret itu adalah:

158

Page 160: Kalkulus Dasar 1.0

Sn=∑n=0

m

un atau∑n=1

m+1

un (7.1)

Bentuk mana yang digunakan tergantung bagaimana suku dihitung,

apakah dimulai dari nol ataukah dari satu. Tidak ada ketentuan mana yang lebih

benar meskipun secara formal biasanya penghitungan dimulai dari suku

pertama. Tetapi Anda tidak boleh terlalu terobsesi dengan ketentuan seperti itu,

karena dalam beberapa bahasa pemrograman (seperti C++) melakukan

penghitungan mulai dari suku ke-0. Lagipula, keduanya tidak memiliki

perbedaan yang berarti.

Fungsi dari un dapat berbentuk apa saja. Yang paling sederhana ialah

fungsi un=a+bn (dengan a dan b konstanta) yang disebut deret aritmatika dan

fungsi un=a rn (dengan a dan r konstanta) yang disebut deret geometri.

Nah, sekarang saatnya kita beralih ke deret tak hingga. Misalkan suatu

bola ping-pong dijatuhkan dari ketinggian 1 meter dan terus memantul

setengah dari ketinggian sebelumnya. Panjang lintasan yang ditempuh oleh bola

ping-pong tadi dapat dituliskan dalam deret

x=1+ 12+ 1

4+ 1

8+ 1

16+…+ 1

2n

dengan n = 0, 1, 2, 3, .... Untuk meringkas penulisan, deret di atas dapat

dituliskan dalam bentuk notasi sumasi,

x=∑n=0

( 12 )

n

Yang penting untuk diketahui ialah apakah x memiliki limit nilai tertentu

(konvergen) ataukah nilainya menjadi tak hingga akibat penjumlahan suku yang

tak hingga jumlahnya (divergen). Untuk itu, dapat dilakukan beberapa uji antara

lain uji deret geometri, uji limit, uji jumlah terbatas, uji integral, uji deret orde p,

dan uji hasil bagi mutlak.

1.1. Uji Deret Geometri

Untuk deret di atas misalnya, merupakan deret geometri yang

berbentuk

159

Page 161: Kalkulus Dasar 1.0

Sm=a+ar+ar2+a r3+…+a rm−1=∑n=0

m−1

a rn (7.2)

dengan a suatu konstanta, r rasio, n pangkat dari rasio yang

berkaitan dengan suku dari deret tersebut, dan Sm ialah jumlah dari deret

sebanyak m suku atau hingga suku ke-m–1 (dikurangi satu karena

penghitungan suku dimulai dari satu, sedangkan penghitungan rasio

dumulai dari 0). Jumlahan dari deret Sm dapat dicari dengan langkah

sebagai berikut.

Sm−r Sm=( a+ar+ar2+ar3+…+ar m−1 )−( ar+ar2+ar3+a r 3+…+a rm )

Sm(1−r )=a−arm

Sehingga diperoleh jumlahan deret geometri ialah

Sm= a1−r

− a rm

1−r=

a (1−r m )1−r

(7.3)

Perhatikan bila |r|≥ 1 maka limn → ∞

rn=∞ sehingga Sm → ±∞ untuk m →∞

, dengan kata lain Sm divergen. Sebaliknya bila |r|<1 maka limn → ∞

rn=0

sehingga Sm= a1−r

untuk m →∞, dengan kata lain Sm konvergen.

Nah, sekarang kita coba uji kekonvergenan deret x menggunakan uji

deret geometri. Dengan mudah ditentukan nilai a = 1 dan r = 1/2, sehingga

untuk m=∞ diperoleh

x= 1

1−12

=2

Dari hasil ini dapat diperoleh ketentuan kekonvergenan dari deret

geometri ialah

Jika |r|<1, maka ∑n=1

un konvergen

Jika |r|≥ 1, maka ∑n=1

un divergen

1.2. Uji Limit

160

Page 162: Kalkulus Dasar 1.0

Uji limit dapat digunakan untuk deret tak hingga yang dapat

diselesaikan dengan metode limit yakni:

Jika ∑n=1

un konvergen, maka limn → ∞

un=0.

Jika limn → ∞

un ≠ 0, maka ∑n=1

un divergen.

Misalkan ∑n=1

∞n2−23 n2+n

. Dengan melakukan uji limit diperoleh

limn → ∞

un= limn→ ∞

n2−23n2+n

=limn→ ∞

1− 2

n2

3+ 1n

=13

Dengan demikian ∑n=1

∞n2−23 n2+n

merupakan deret divergen.

Penting untuk dicamkan bahwa "jika ∑n=1

un konvergen, maka

limn → ∞

un=0" tidak berarti "Jika limn → ∞

un=0, maka ∑n=1

un konvergen". Artinya

meskipun limn → ∞

un=0 bisa saja deret itu divergen, tetapi suatu deret hanya

mungkin konvergen jika limn → ∞

un=0. Dengan demikian uji limit hanya sah

untuk membuktikan suatu deret adalah divergen dan tak dapat digunakan

untuk menyatakan suatu deret adaah konvergen.

1.3. Uji Jumlah Terbatas

Uji deret geometri dan uji limit merupakan beberapa pengujian yang

dapat dilakukan untuk mengetahui kekonvergenan suatu deret yang tidak

begitu rumit (rumit dalam artian tertentu). Beberapa deret tidak dapat diuji

dengan dua metode sebelumnya, namun tetap dapat kita ketahui

kekonvergenannya dengan uji jumlah terbatas. Uji jumlah terbatas ialah

pembandingan jumlahan suatu deret yang ingin diuji dengan deret lain

yang lebih mudah diuji kekonvergenannya. Untuk itu membuktikan suatu

deret konvergen mesti dipilih deret konvergen pembanding yang memiliki

161

Page 163: Kalkulus Dasar 1.0

jumlahan yang lebih besar untuk membuktikan deret yang diuji konvergen.

Sebaliknya untuk membuktikan deret yang dijuji divergen mestilah dipilih

deret divergen pembanding yang jumlahannya lebih kecil. Jadi patut dicatat

uji jumlah terbatas digunakan hanya untuk membuktikan suatu deret ialah

konvergen atau divergen, tetapi suatu deret yang belum terbukti

konvergen/divergen belum tentu divergen/konvergen. Contoh yang paling

umum dalam pengujian model ini ialah deret harmonik.

S=1+ 12+1

3+ 1

4+…=∑

n=1

∞1n

Jelas bahwa deret harmonik bukanlah deret geometri (tidak

memiliki rasio yang tetap) sehingga tidak dapat diuji dengan uji deret

konvergen. Jika dilakukan uji limit, meskipun sekilas terlihat bahwa nilai

limn → ∞

un=0, tetapi jika diuji maka nilai ∑n=1

m

un tidak memiliki limit di sembarang

titik (lihat kembali ketentuan uji limit). Jadi sampai di sini masih ada

keraguan apakah deret harmonik konvergen atau divergen. Nah, sekarang

mari kita lakukan uji jumlah terbatas.

Dipilih deret pembanding Z=1+12+ 1

2+ 1

2+ 1

2+… yang jelas

merupakan deret divergen. Jika deret Z ini dikembangkan, dapat berbentuk

seperti Z=1+12+( 1

4+ 1

4 )+( 18+ 1

8+ 1

8+ 1

8 )+( 116

+…+ 116 )+…. Sekarang mari

kita persamakan

S=1+ 12+1

3+ 1

4+ 1

5+ 1

6+ 1

7+ 1

8+ 1

9…>1+ 1

2+ 1

4+ 1

4+ 1

8+ 1

8+ 1

8+ 1

8+ 1

16+…

Jelas bahwa deret harmonik (S) memiliki jumlahan yang lebih besar

daripada deret Z. Mengingat Z sendiri divergen, maka jelaslah S juga

divergen.

1.4. Uji Integral

162

Page 164: Kalkulus Dasar 1.0

Uji integral menggunakan kaitan antara sumasi sigma dan integral

pada dasarnya ialah serupa (meskipun tak persis sama). Berikut ialah

ketentuan uji integral.

∑n=2

m

un≤∫1

u ( x )dx ≤∑n=1

m−1

un

Misalkan f suatu fungsi kontinu, positif, dan tidak naik pada selang

[1, ∞ ] dan un=f (x ) untuk semua n bilangan bulat positif, maka deret tak

hingga ∑n=1

un konvergen jika dan hanya jika ∫1

f (x )dx konvergen. Dengan

kata lain bila luas daerah dibawah kurva un=f (x ) dalam selang ¿ berhingga,

maka deret itu konvergen. Sebaliknya bila luas daerah dibawah kurva tak

hingga, maka deret itu divergen.

Contoh dari deret ∑n=1

e−n dapat diperoleh ∫1

e−x dx=[−e− x+C ]1∞

.

Luasannya ialah (−e−∞ )−(−e−1 )=1e

, berhingga, sehingga deret ∑n=1

e−n

konvergen.

1.5. Uji Deret Orde-p

Uji deret orde-p (atau dikenal juga dengan deret zeta Riemann)

merupakan generalisasi dari deret harmonik. Deret zeta Riemann

berbentuk

ζ (p)=∑n=1

( 1n )

p

(7.4)

Jadi deret harmonik tidak lain ialah ζ (1) yang mana nilainya tak

hingga. Deret orde-p lainnya yang terkenal ialah deret Basel, tak lain ialah

ζ (2). Menurut teorema ini

Apabila p ≤1, maka deret-p adalah deret divergen.

Apabila p>1, maka deret-p adalah deret konvergen.

Seperti halnya uji deret geometri, uji deret-p juga dapat digunakan

dalam uji jumlah terbatas.

163

Page 165: Kalkulus Dasar 1.0

Contoh:

1. Periksalah apakah deret ∑n=1

∞2 n2+5

n3 konvergen atau divergen!

Jawab:

Deret di atas dapat kita pecah menjadi jumlahan dari dua deret yaitu

∑n=1

∞2n2+5

n3 =∑n=1

∞2n+∑

n=1

∞5n3

Perhatikan bahwa 2∑n=1

∞1n+5∑

n=1

∞1n3 >∑

n=1

∞1n

, padahal ∑n=1

∞1n

merupakan deret

harmonik yang divergen. Jadi dengan menggunakan uji jumlah terbatas dan uji

deret orde-p, jelas bahwa ∑n=1

∞2 n2+5

n3 juga divergen.

2. Periksalah apakah deret ∑x=1

x e− x konvergen atau divergen!

Jawab:

Menggunakan uji integral, gunakan metode substitusi dengan u=x dan

dv=e−x dx.

∫1

x e−x dx=[−e−x ( x+1 )+C ]1∞

Dengan menggunakan dalil l’Hopital diperoleh limx→ ∞

x+1

ex= lim

x →∞

1

e x=0.

Diperoleh luasan daerah di bawah kurva

0−(−e−1 (1+1 )+C )=2e

, berhingga, sehingga deret ∑x=1

x e− x konvergen.

3. Tentukanlah apakah deret ∑i=0

(−1)i konvergen atau divergen!

Jawab:

Sn=u0+u1+u2+u3+…+un=1−1+1−1+…+(−1 )n Jika diperhatikan, deret di atas merupakan deret berganti tanda, yang besar

mutlaknya sama (yakni 1). Deret yang berbentuk seperti ini biasa disebut deret

164

Page 166: Kalkulus Dasar 1.0

flip-flop. Jika suku-suku dalam deret tadi dijumlahkan, maka akan ada dua

kemungkinan yakni Sn=0 jika n = ganjil atau Sn=1 jika n = genap.

Tetapi semenjak n=∞, maka kita tak tahu n itu genap atau ganjil. Setidaknya dari

dua kemungkinan yang ada cukup untuk memastikan deret tersebut konvergen2.

1.6. Uji Hasil Bagi Mutlak

Uji hasil bagi mutlak serupa tapi tak sama dengan uji deret geometri,

keduanya sama-sama menguji rasio suatu deret, namun uji hasil bagi

mutlak ini lebih general. Menurut teorema ini, misalkan ∑n=0

un suatu deret

yang suku-sukunya tidak nol, dan misalkan

limn → ∞

|un+1||un|

= ρ (7.5)

Jika ρ<1, maka deret konvergen

Jika ρ>1, maka deret divergen

Jika ρ=1, maka pengujian tidak dapat memberikan kepastian

2. Deret Pangkat

Sebelumnya kita telah menyinggung tentang deret geometri yang

berbentuk ∑n=0

arn, jika deretnya tak hingga dengan r meupakan rasio dari deret.

Bila rasio itu tidak berbentuk bilangan, melainkan suatu variabel, maka deret

tadi dapat dinyatakan dalam

∑r=0

C r ( x−a )r+q (7.6.a)

Jika dipilih a = q = 0, dapat dituliskan

∑r=0

C r xr (7.6.b)

Deret seperti itu disebut juga deret pangkat (power series). Semua fungsi

dapat dinyatakan dalam deret pangkat, yakni2 Di sini digunakan fungsi satu variabel terhadap x, namun pemaknaan sesungguhnya berlaku untuk fungsi terhadap variabel apapun.

165

Page 167: Kalkulus Dasar 1.0

f ( x )=∑r=0

Cr ( x−a )r+q

Ekspansi ke dalam bentuk deret ini dapat menggunakan deret Taylor-

Mac Laurin, deret Fourier (untuk fungsi periodik), dan deret Laurent (untuk

fungsi kompleks). Selanjutnya kita hanya akan membahas deret Taylor dan Mac

Laurin secara lebih mendalam pada subbab 3.

3. Deret Taylor dan Mac Laurin

Deret Taylor ialah deret pangkat yang berbentuk

∑n=0

∞ f n ( a )n !

(x−a)n (7.7)

dengan f n ( a ) adalah turunan ke-n dari f . Atau jika dituliskan bentuk

panjangnya

S=f (a)+ f '(a)(x−a)+f ' '(a)

2!(x−a)2+

f ' ' ' (a)3 !

(x−a)3+… (7.8)

Deret Mac Laurin tidak lain ialah deret Taylor dengan a = 0. Dengan

demikian dapat dituliskan formulasi deret Mac Laurin.

S=f (0 )+ f ' (0 ) x+f ' ' (0 )

2 !x2+

f ' ' ' (0 )3 !

x3+… (7.9)

Berikut beberapa deret Mac Laurin fungsi-fungsi yang sering digunakan.

ex=∑n=0

∞xn

n !=1+ x+ x2

2 !+ x3

3 !+ x4

4 !+… (7.10)

sin x=∑n=0

∞ (−1)n x2n+1

(2n+1 ) !=x− x3

3 !+ x5

5!− x7

7 !+… (7.11)

cos x=∑n=0

∞ (−1)n x2n

(2n )!=1− x2

2!+ x4

4 !− x6

6!+… (7.12)

sinh x=∑n=0

∞x2n+1

(2n+1 ) !=x+ x3

3 !+ x5

5 !+ x7

7 !+… (7.13)

cosh x=∑n=0

∞x2 n

(2 n )!=1+ x2

2 !+ x 4

4 !+ x6

6 !+… (7.14)

166

Page 168: Kalkulus Dasar 1.0

Deret Taylor dan Mac Laurin merupakan alat yang sangat penting dalam

bidang komputasional, karena umumnya dalam problem-problem tertentu

tidaklah perlu mengetahui bagaimana bentuk fungsi akhirnya, melainkan

berapa nilai akhirnya. Tentunya dengan script/algoritma yang sama, beragam

nilai awal bisa dimasukkan untuk memperoleh nilai akhir yang ingin diketahui,

jadi jelas bentuk fungsi akhirnya (biasa disebut solusi khusus) menjadi tidak

penting.

Nah, lalu apa perbedaan penggunaan antara deret Taylor dan deret Mac

Laurin? Pada dasarnya deret Mac Laurin adalah bentuk reduksi dari deret

Taylor dan memang tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali deret Taylor

lebih teliti dibanding deret Mac Laurin (jika dilakukan pemotongan suku) dan

deret MacLaurin lebih sederhana sehingga lebih mudah dihitung. Perbedaan

ketelitian ini karena pada deret Taylor, nilai suatu fungsi di titik tertentu dapat

didekati dari sembarang titik, sedangkan pada deret MacLaurin nilai fungsi

pada satu titik selalu didekati dari nol.

Misalnya kita ingin menghitung nilai sin 0,26 π . Telah diketahui secara

pasti sin 0,25 π=12√2. Jadi kita dapat mencari nilai sin 0,26 π menggunakan deret

Taylor dengan titik awal pendekatan, a=0,25 π dan pemotongan hingga empat

suku misalnya, hasilnya akan lebih akurat dibanding menggunakan deret Mac

Laurin dengan pemotongan suku yang sama

4. Turunan dengan Bantuan Deret

Misalkan suatu fungsi f ( x )= sin xx

ingin dicari turunannya, maka kita

dapat mengembangkan sin x dalam bentuk deret sehingga:

f ( x )= sin xx

= xx− x3

3! x+ x5

5 ! x− x7

7 ! x+…

f ( x )=1− x2

3 !+ x4

5 !− x6

7 !+…

167

Page 169: Kalkulus Dasar 1.0

f '( x)=−2 x3!

+ 4 x3

5 !−6 x5

7 !+ 8 x7

9 !+…

f ' ( x )=−x3

+ x3

5 ×3 !− 6 x5

7 ×5 !+ x7

9× 7 !+…=∑

n=0

∞ (−1)n+1 x2n+1

(2 n+3)∙ (2 n+1 ) !

Cukup mudah kan?

Contoh:

1. Nyatakanlah fungsi f ( x )=1−xn

1−x dalam bentuk deret dan cari pula turunan fungsi

f ( x ) (juga dalam bentuk deret)!

Jawab:

1=( 1+x+x2+x3+…+xn−1 )−( x+x2+ x3+…+xn−1)

1= (1−x ) (1+x+x2+ x3+…+xn−1)+xn

1−xn

1−x=1+ x+x2+x3+…+xn−1

1−xn

1−x=∑

i=0

n−1

x i

Adapun turunannya dapat menggunakan turunan fungsi pembagi, namun di sini

akan dicari dalam bentuk deret.

f ( x )=1+x+x2+x3+…+xn−1

Dengan amat mudah diperoleh

f '( x)=1+2 x+3 x2+4 x3+…+(n−1)xn−2=∑i=0

n−2

(i+1) x i

168

Page 170: Kalkulus Dasar 1.0

Bab 8 Pengantar Persamaan Diferensial

1. Konsep Persamaan Diferensial

Saat kita ingin mempelajari persamaan diferensial (PD), pastinya kita

harus sudah memahami kalkulus diferensial. Di sini akan saya mulai dengan

fungsi y (x )=C ekx. Turunan fungsi y terhadap x ialah y '=Ck ekx. Dengan

demikian kita memperoleh hubungan

169

Problem:

Kejanggalan Deret Binomial Newton

Jika fungsi f ( x )= 11−x

diubah menjadi deret tak hingga menggunakan metode

binomial Newton diperoleh

(1−x )−1=1+ (−1 ) (1 ) (−x )+ (−1 ) (−2 )2!

(1 )(−x)2+…

(1−x )−1=1+ x+x2+x3+…Jika kita substitusi nilai x = 0,5, diperoleh hasil yang sesuai

(1−0,5 )−1=2=1+ 12+ 1

4+ 1

8+…

Tetapi bila disubstitusikan nilai x = 5, diperoleh hasil yang jauh berbeda, (1−5 )−1=−0,25, sedangkan 1+5+52+53+…=∞. Manakah yang benar? Mengapa hal ini bisa terjadi?

Page 171: Kalkulus Dasar 1.0

y '−ky=0

Whoiila!! Ini adalah contoh dari persamaan diferensial. Persamaan di

atas bernilai benar bila y=C ekx. Mengingat hanya fungsi berbentuk

eksponensiallah yang turunannya sama dengan fungsi awalnya, maka kita dapat

yakin y (x )=C ekx merupakan solusi tunggal dari PD

y '−ky=0.

Sekarang bila kita menggunakan fungsi y ( x )=C1 sin (kx ), maka turunan

pertamanya y '=C1 k cos (kx ) dan turunan keduanya, y ' '=−C1 k2 sin (kx ). Dari

fungsi awal dan turunan ke-duanya, dapat diperoleh hubungan

y ' '+k2 y=0

Ini juga contoh dari persamaan diferensial orde dua (orde menandakan

turunan tertinggi yang terdapat dalam PD). Jadi PD di atas benar jika

y=C1 sin (kx ), dengan demikian y=C1 sin (kx ) merupakan salah satu solusi dari

PD tadi. Kok salah satu? Ya karena terdapat solusi lain yang mungkin, yakni

y ( x )=C2cos ( kx ). Turunan ke-dua dari y=C2 cos (kx ) ialah y ' '=−C2k2 cos ( kx ) yang

bila di substitusikan juga memenuhi PD

y ' '+k2 y=0. Jadi PD itu memiliki dua solusi. Mengingat sifat linear operasi

diferensial terhadap penjumlahan dan pengurangan,

(u ( x )+v ( x )+w ( x )+…) '=u ' ( x )+v ' ( x )+w ' ( x )+…

Maka kedua solusi yang mungkin itu dapat kita gabungkan menjadi

y=C1 sin (kx )+C2 cos (kx ). Jika solusi sebenarnya dari suatu problem hanya

memuat suku sinus saja, maka C2 sama dengan nol, begitu pula sebaliknya. Jadi

solusi dari PD y ' '+k2 y=0 ialah fungsi yang berbentuk y=C1 sin (kx )+C2 cos (kx ).

Kemudian bila kita mengambil fungsi y=C1 sinh (kx ), yang turunan ke-

duanya ialah y ' '=C1 k2 sinh (kx ), maka diperoleh hubungan:

y ' '−k2 y=0

Seperti pada contoh sebelumnya, PD ini juga terpenuhi untuk y=C2 cosh ( kx ),

sehingga solusi dari PD y ' '−k2 y=0 ialah y=C1 sinh (kx )+C2 cosh (kx ).

170

Page 172: Kalkulus Dasar 1.0

Persamaan diferensial orde satu sebenarnya dapat dengan mudah

diperoleh solusinya, antara lain yang memiliki bentuk seperti ini:

dydx

−a=0

Di mana a suatu konstanta. Dengan mudah diperoleh ∫ dy=∫ a dx atau y =

ax. Dengan pembuktiaan terbalik (seperti metode sebelum-sebelumnya), ini

terjadi karena jika y = ax maka y’ = a, sehingga y’ – a = 0.

Sekarang yang agak lebih rumit, kita akan cari solusi dari PD

4 y '−sin x=2 x.

4dydx

=sin x+2 x

∫ 4 dy=∫ (sin x+2 x ) dx y= 1

4( x2−cos x )+C

Hore!!! Kita dapat deh solusinya. Solusi seperti itu dinamakan solusi

umum, karena menyisakan suatu konstanta (C) yang tidak kita ketahui nilainya.

Bila kita telah mengetahui syarat-syarat batas dari problemnya, misalkan

syarat awal y (0 )=0, maka dapat diketahui konstanta integrasinya,

0=14

(02−cos 0 )+C atau C=14

Dengan demikian diperoleh fungsi y=14

( x2−cos x+1 ) sebagai solusi

khususnya.

2. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu

Telah disebutkan sebelumnya bahwa orde suatu persamaan diferensial

merupakan turunan tertinggi yang dimuat dalam persamaan diferensial itu.

Secara umum, PD linier berbentuk

yn+a1 ( x ) yn−1+a2 ( x ) yn−2+…+an−1 ( x ) y'+an ( x ) y=k ( x ) (8.1)

Dengan demikian PD linear orde satu dapat kita tuliskan sebagai

dydx

+P ( x ) y=Q(x ) (8.2)

171

Page 173: Kalkulus Dasar 1.0

Jika kedua ruas dikalikan dengan e∫ P( x)dx, sehingga

e∫ P( x)dx ∙dydx

+e∫P (x)dx ∙ P ( x ) y=e∫ P (x)dx ∙Q(x)

Perhatikan bahwa ruas kiri merupakan turunan dari y e∫P (x)dx sehingga

ddx

( y e∫ P( x)dx)=e∫P (x)dx ∙ Q(x )

Akhirnya kita peroleh formulasi untuk solusi dari PD linier orde satu

y=e−∫P (x)dx {∫ (e∫P (x)dx

∙ Q(x )) dx } (8.3)

3. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua

Persamaan diferensial linear orde dua dapat kita golongkan menjadi PD

linear orde-2 homogen dan PD linear orde dua tak homogen. Disebut homogen

bila nilai k ( x )=0 dan disebut tidak homogen bila k (x)≠ 0.

y ' '+a1 y '+a2 y=0 (8.4)

y ' '+a1 y '+a2 y=k (x )≠ 0 (8.5)

Terlebih dahulu akan kita bahas mengenai PD homogen orde-2. Untuk

menyelesaikan PD homogen orde dua digunakan persamaan bantu. PD

homogen orde-2 dapat kita tuliskan kembali dalam bentuk

D2 y+a1 Dy+a2 y=0

Seperti halnya yang telah dijelaskan pada subbab 8.1, bila turunan suatu

fungsi dikurangkan dengan fungsinya sama dengan nol, maka fungsi itu pastilah

berbentuk eksponensial. Jadi, di sini kita berasumsi y berbentuk erx.

D2 y+a1 Dy+a2 y=D 2erx+a1 D erx+a2 erx=0

r2 erx+a1r erx+a2erx=0

(r2+a1 r+a2 )erx=0 (8.6)Agar ruas kiri menjadi nol, maka r2+a1r+a2 haruslah bernilai nol. Dengan

demikian perlu dicari akar-akar (pembuat nol) dari persamaan r2+a1r+a2.

Persamaan ini disebut juga persamaan bantu. Telah kita tahu bahwa persamaan

172

Page 174: Kalkulus Dasar 1.0

kuadrat dapat memiliki dua akar berbeda, dapat juga hanya memiliki satu akar

(akar-akarnya kembar), atau dua akar yang saling kompleks. Jika akar-akar dari

persamaan bantu tadi kita namakan r1 dan r2, maka solusi umum dari PD

homogen orde-2 memiliki tiga macam penyelesaian yakni:

1. Jika persamaan bantu memiliki dua akar rill berlainan, r1 ≠ r2 maka solusi

umumnya y=C1 er 1 x+C2 er2 x.

2. Jika persamaan bantu memiliki akar kembar, r1 maka solusi umumnya

y=C1 er 1 x+C1 xer1 x.

3. Jika persamaan bantu memiliki akar-akar kompleks yang saling konjugat,

r1,2=α ± βi maka solusi umumnya y=C1 eαx cos βx+C2eαx sin βx .

Sekarang bagaimana bila persamaan diferensialnya tidak homogen

(k ( x ) ≠ 0 )? Misalkan y ' '− y '−2 y=x2+3 x−2. Pertama-tama kita cari terlebih

dahulu solusi homogennya, yakni solusi dari y ' '− y '−2 y=0. Kita peroleh

persamaan bantu r2−r−2=0, sehingga r1=2 dan r2=−1. Dengan begitu

diperoleh solusi homogennya,

yh=C1 e2 x+C2 e−x

Untuk solusi non-homogennya, bentuknya bergantung pada k ( x ). Untuk

lebih jelasnya, perhatikan beberapa bentuk k ( x ) yang mungkin.

1. Jika k ( x )=bn xn+…+b1 x+b0, gunakan y p=Bn xn+…+B1 x+B0.

2. Jika k ( x )=b eax, gunakan y p=B eax.

3. Jika k ( x )=b cosax+c sin ax, gunakan y p=B cos ax+C sin ax.

4. Jika k ( x ) memuat bentuk yang merupakan solusi homogen dari PD, kalikan

penyelesaian yang digunakan dengan x atau suatu pangkat dari x.

Berdasarkan kriteria di atas, maka dapat kita pilih solusi non-

homgennya, y p=A x2+Bx+C , dengan demikian y p' =2 Ax+B dan y p

' '=2 A .

Substitusikan solusi non-homogen ini ke dalam persamaan homogen

menghasilkan

2 A−(2 Ax+B )−2 ( A x2+Bx+C )=x2+3 x−2

Kumpulkan suku-suku dengan variabel x yang berpangkat sama,

173

Page 175: Kalkulus Dasar 1.0

−2 A x2+(−2 A−2B ) x+ (2 A−2C−B )=x2+3 x−2

Dengan menyamakan koefisien dari x2 , x , dan1 diperoleh

−2 A=1 → A=−12

−2 A−2 B=3→ B=−1

2 A−2 C−B=−2→ C=1

Akhirnya diperoleh y p=−12

x2−x+1. Solusi akhir (masih berupa solusi

umum) dari PD y ' '− y '−2 y=x2+3 x−2 ialah:

y= yh+ y p=C1e2 x+C2 e− x−12

x2−x+1

Contoh:

1. Carilah solusi dari persamaan diferensial xdydx

= y+xy!

Jawab:

PD di atas dapat diselesaikan dengan mengintegralkan secara langsung

xdydx

= y (1+x )

∫ dyy

=∫ (1+ x )x

dx

ln y=ln x+x+C

y=e ln x . ex . eC

Mengingat sifat logaritma, a loga x=x dan eC sebagai suatu konstanta C, maka

solusi dari PD di atas ialah y=Cx ex.

2. Carilah solusi dari persamaan diferensial 2 ( y−4 x2 ) dx+x dy=0!

Jawab:

Dengan membagi kedua ruas dengan dx, PD di atas dapat kita ubah menjadi

xdydx

+2 y=8 x2 atau

dydx

+ 2x

y=8 x yang merupakan PD linear orde-1. Dengan

demikian dapat kita tentukan P ( x )=2x

dan Q ( x )=8 x.

174

Page 176: Kalkulus Dasar 1.0

e∫ P ( x )=e∫ 2

xdx=e2 ln x=e ln x2

=x2

Solusi PD linear orde-1, y=e−∫P (x)dx {∫ (e∫P (x)dx

∙ Q(x )) dx }y= 1

x2 {∫ ( x2 ∙8 x ) dx }= 1

x2 {∫8 x3dx }= 1

x2(2 x4+C )

Akhirnya diperoleh y=2 x2+C x−2.

3. Carilah solusi dari PD homogen y ' '−8 y '+16 y=0!

Jawab:

Persamaan bantunya ialah r2−8 r+16=0 atau (r−4 ) (r−4 )=0sehingga memiliki

dua akar kembar, yakni r1=r2=4. Solusinya ialah

y=C1 e4 x+C2 x e4 x

4. Carilah solusi dari PD non-homogen y ' '−7 y '+10 y=6 e5 x!

Jawab:

Persamaan bantunya ialah r2−7 r+10 yang akar-akarnya berbeda, yakni r1=2

dan r2=5. Solusi homogennya

yh=C1 e2 x+C2 e5 x

Perhatikan bahwa k (x) mengandung suku yang merupakan solusi homogen (e5 x )

, sehingga berdasarkan aturan yang ke-empat, kita modifikasi dengan

menggunakan pengali x.

y p=C3 xe5 x

Substitusikan ke dalam persamaan diferensial

(C ¿¿3x e5 x) ' '−7(C ¿¿3 xe5 x )' +10C3 xe5 x=6 e5 x¿¿

(25 C3 x e5 x+10 C3 e5 x)−8 (5C3 xe5 x+C3e5 x )+12C3 x e5x=6e5 x

Yang ekivalen dengan 3 C3 e5x=6 e6 x

Jadi diperoleh C3=2. Solusi akhir dari PD y ' '−7 y '+10 y=6 e5 x ialah

y= yh+ y p=C1e2 x+C2 e5 x+2 x e5 x

175

Page 177: Kalkulus Dasar 1.0

DAFTAR PUSTAKA

176

Page 178: Kalkulus Dasar 1.0

Bondan, Alit, Kalkulus Lanjut, penerbit Graha Media, Yogyakarta, 2007

Prayudi, Kalkulus Lanjut Fungsi Banyak Variabel & Penerapannya, penerbit

Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009

Purwanto, H., Indriani, G., dan Dayanti, E., Kalkulus, penerbit Ercontara Rajawali,

Jakarta, 2005

Redaksi Kawan Pustaka, Rangkuman Rumus Matematika, Fisika dan Kimia SMA,

penerbit PT Kawan Pustaka, Jakarta, 2005

Sukino, Matematika untuk SMA kelas XII jilid 3A, penerbit Erlangga, Jakarta, 2007

Team Dosen Matematika Unhas, Matematika Dasar I, penerbit Jurusan

Matematika FMIPA UNHAS, Makassar, 2009

______, Matematika Dasar II, penerbit Jurusan Matematika FMIPA UNHAS,

Makassar, 2009

Thobirin, Kalkulus Integral [online]

Wirodikromo, Sartono, Matematika untuk SMA kelas XI jilid 4, penerbit Erlangga,

Jakarta, 2007

Kredit Pengolah Gambar:

Graphsight Junior v.1.0

MATLAB r2009b

MS Paint version 6.1

177

Page 179: Kalkulus Dasar 1.0

178

Page 180: Kalkulus Dasar 1.0

179

Page 181: Kalkulus Dasar 1.0

180

Kalkulus DasarSunkar E. Gautama

Paradoks Softbook Publisher