kajian pembiayaan dalam rangka pengembangan klaster (1)

104
LAPORAN AKHIR KAJIAN PEMBIAYAAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KLASTER BIRO KREDIT BANK INDONESIA DESEMBER 2006

Upload: sidiknugroho

Post on 19-Jan-2016

40 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

LAPORAN AKHIR

KAJIAN PEMBIAYAAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KLASTER

BIRO KREDIT BANK INDONESIA DESEMBER 2006

Page 2: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita, sehingga penelitian “Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster” dapat diselesaikan dengan baik.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kantor Bank Indonesia Semarang, dengan 6 contoh klaster unggulan yaitu klaster batik Lasem di Kabupaten Rembang, klaster handycraft kayu di Kabupaten Blora, klaster pertanian organik di Kabupaten Semarang, klaster hortikultura – Jambu air di Kabupaten Demak, klaster tenun torso di kabupaten Jepara dan klaster pertanian terpadu di Kabupaten Klaten. Klaster-klaster tersebut tumbuh dan berkembang difasilitasi oleh Forum Pengembangan Ekonomi Sumber Daya (FPESD) Jawa Tengah.

Kegiatan penelitian ini merupakan wujud nyata keberpihakan Bank Indonesia terhadap sektor riil. Tim Peneliti menyadari bahwa penelitian lapangan dan laporan “Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster” ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dan kerjasama dari semua pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini perkenankanlah Tim Peneliti menyampaikan terimakasih yang setinggi-tingginya untuk seluruh pihak baik langsung maupun tidak langsung yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian kami.

Akhirnya besar harapan kami, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan salah satu bahan rujukan dalam pengembangan UMKM di Indonesia.

Jakarta, Desember 2006

Tim Penelitian dan Pengembangan

Biro Kredit – Bank Indonesia

Page 3: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

ii

DAFTAR ISI

Judul................ ......................................... i

Daftar Isi .............................................................. ii

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………...................1

1.1. Latar Belakang …………………………………………...............1

1.2. Tujuan Penelitian.. ..........................5

1.3. Ruang Lingkup …………………………………………................5

1.4. Metode Penelitian.. ..........................6

BAB II. TINJAUAN TEORI.. .....................................7

2.1. Definisi Klaster ………………………………………….............7

2.2. Kondisi Klaster.. ...........................10

2.3. Manfaat Klaster.. ...........................12

BAB III. GAMBARAN UMUM KONDISI KLASTER DI INDONESIA….........14

3.1. Kondisi Umum Klaster.. .....................14

3.2. Kebijakan Pemerintah Tentang Pengembangan

Klaster.. ..................................15

3.2.1. Kebijakan Pemerintah Pusat.........15

3.2.2. Pembelajaran Pengembangan Klaster di

Indonesia.. .......................17

3.3. Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Tengah ………… 24

BAB IV. PENGEMBANGAN KLASTER DI JAWA TENGAH .................26

4.1. Strategi Pengembangan Klaster di Jawa Tengah 26

4.2. Klaster Di Jawa Tengah......................26

4.3. Profil Klaster Sampel.......................28

4.3.1. Klaster handicraft dan mebel di

Kabupaten Blora ...................28

Page 4: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

iii

4.3.2. Klaster batik lasem di Kabupaten Rembang31

4.3.3. Klaster tenun troso di Kabupaten Jepara 34

4.3.4. Klaster pertanian hortikultura di

Kabupaten Demak........................37

4.3.5. Klaster pertanian organik di Kabupaten

Semarang ..............................39

4.3.6. Klaster pertanian terpadu di Kabupaten

Klaten ................................41

BAB V. ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENGEMBANGAN KLASTER............44

5.1. Faktor-faktor yang dipersyaratkan/input (factor

conditions) ................................44

5.2. Faktor Permintaan (Demand Conditions) ......46

5.3. Faktor Strategi, Struktur Perusahaan dan

Pesaing (Firm Strategy,

Structure and Rivalry) .....................47

5.4. Faktor Industri terkait dan Pendukung

Related and Supporting Industries)..........50

5.5. Faktor Modal Sosial (Social Capital)........52

BAB VI. KAJIAN PEMBIAYAAN UNTUK PENGEMBANGAN KLASTER..........55

6.1. Sumber-Sumber Dana dan Pola Pembiayaan......55

6.1.1. Sumber dana...........................55

6.1.2. Pola penyaluran dana ..................56

6.2. Kebutuhan Pembiayaan untuk UMKM.............59

6.2.1. Masukan dari pelaku UMKM ..............59

6.2.2. Masukan dari Institusi dan Departemen

Terkait ..............................60

6.3. Usulan Pembiayaan untuk Klaster.............62

6.3.1. Dasar pertimbangan....................62

6.3.2. Terms and Conditions pembiayaan

klaster ..............................65

6.4. Kajian Pola Pembiayaan untuk Pengembangan

Page 5: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

iv

Klaster ....................................67

6.4.1. Potensi pembiayaan pada klaster .......67

6.4.2. Usulan pola pembiayaan untuk klaster ..68

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................73

7.1. Kesimpulan .................................73

7.2. Saran ......................................74

DAFTAR PUSTAKA ...............................................48

Page 6: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

EXECUTIVE SUMMARY

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peranan

yang signifikan dalam perekonomian nasional. Peran yang besar

tersebut mendorong Pemerintah dan pihak-pihak yang concern

terhadap UMKM untuk terus berupaya memberdayakan UMKM agar mampu

bersaing dalam era globalisasi. Salah satu upaya yang saat ini

giat dilakukan adalah pengembangan UMKM melalui pendekatan

klaster.

Pendekatan klaster menjadi strategis mengingat klaster

bermanfaat baik bagi klaster itu sendiri maupun bagi ekonomi

wilayah. Pengembangan klaster juga menjadi salah satu alternatif

untuk percepatan pengembangan UMKM karena klaster merupakan

aglomerasi ekonomi yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir,

sehingga memungkinkan penggabungan skala usaha antar pelaku

UMKM, dan karenanya dapat mengeliminasi beberapa kelemahan UMKM,

terutama di bidang produksi dan pemasaran. Disamping itu,

pengembangan klaster berbasiskan masyarakat mendorong terwujudnya

kemakmuran dan kestabilan ekonomi suatu wilayah (daerah) karena

dalam klaster tidak ada dominasi pelaku, setiap bagian dalam

klaster merupakan kesatuan unit usaha dinamis. Sehingga ketika

klaster berkembang, tidak terjadi ada pelaku yang menang dan

kalah yang dapat menimbulkan gap atau kesenjangan sosial yang

memicu ketidakstabilan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka untuk

menumbuhkembangkan klaster dibutuhkan pemahaman business nature

dari usaha yang bersangkutan dan konteks hulu-hilir berikut

pelaku-pelaku yang terkait dalam usahanya, baik internal maupun

eksternal.

Penelitian yang dilakukan Bank Indonesia (BI) bertujuan

untuk mengkaji pola pembiayaan terhadap klaster yang ada (best

practices). Pada penelitian ini, klaster yang dipilih adalah

klaster yang berkembang di Jawa Tengah. Propinsi Jawa Tengah

menjadi lokasi peneltian karena pemerintah daerahnya sudah

Page 7: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

merintis pengembangan klaster di 23 wilayah. Sedangkan jenis

klaster yang menjadi lokasi penelitian adalah klaster

handycraft-mebel kayu di Kabupaten Blora, klaster batik lasem di

Kabupaten Rembang, Klaster tenun troso di Kabupaten Jepara,

Klaster pertanian organik di Kabupaten Semarang, Klaster

hortikultura (jambu air) di Kabupaten Demak dan Klaster

Pertanian Terpadu di Kabupaten Klaten.

Dari hasil kunjungan lapangan secara umum dapat dikemukakan

bahwa pengembangan klaster di Jawa Tengah masih pada tahap awal

pengembangan. Hal ini dapat diindikasikan dari baru dimulainya

proses penumbuhan kebersamaan dalam klaster. Pada proses tersebut

terdapat beberapa kendala yang dihadapi antara lain belum seluruh

pelaku dalam klaster mau melakukan tindakan bersama, teknik

produksi yang masih sederhana, keterbatasan akses memperoleh

bahan baku, pemasarannya masih tergantung pada pedagang

perantara, persaingan dalam hal harga sehingga memicu persaingan

tidak sehat dan masalah dalam permodalan.

Berdasarkan kondisi di atas, pengembangan klaster

memerlukan pendampingan yang intensif dan komprehensif, dalam

arti pengembangan klaster mensyaratkan komitmen yang kuat dan

jelas dari semua stakeholder yang berkepentingan. Di sinilah

peran Pemerintah Daerah sebagai inisiator dibutuhkan. Untuk itu,

Pemerintah Daerah (propinsi) membentuk Forum Pengembangan

Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) Jawa Tengah. Forum ini sebagai

wadah berkumpulnya seluruh instansi terkait dan melibatkan

lembaga penelitian (universitas), Business Development Service

(BDS), lembaga donor dalam mengembangan klaster untuk merumuskan

kebijakan pengembangan yang terpadu dan holistik bagi klaster.

Fungsi FPESD di tingkat Propinsi adalah memfasilitasi kegiatan

yang diperlukan oleh klaster berdasarkan hasil diskusi forum

rembuk dan sebagai koordinator keterpaduan program pengembangan

UMKM dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi monitoring. Agar

kebijakan tersebut dapat terealisasi sesuai kebutuhan klaster

(bottom up planning) di lapangan, maka pada tingkat kabupaten

Page 8: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

dibentuk Forum for Economic Development Employment Promotion

(FEDEP).

Berkaitan dengan permodalan (dari perbankan), umumnya

penyaluran pinjaman bersifat individual artinya pelaku individu

UMKM sendiri yang mengajukan pinjaman melalui prosedur kelayakan

dan menyerahkan jaminan aset hak milik dan atau usahanya. Pola

pembiayaan yang diharapkan klaster adalah yang sesuai dengan

karakterisitik masing-masing sektor ekonomi, sehingga pola

pembiayaan klaster di sektor industri tentunya berbeda dengan

pola pembiayaan klaster di sektor pertanian. Khusus untuk klaster

di sektor pertanian, pola pembiayaan harus mempunyai mekanisme

yang transparan dengan sistem bagi hasil, mengingat

karakterisitik usaha pertanian, serta ada keseimbangan pembiayaan

dari huku ke hilir. Penyaluran pembiayaan tersebut, akan sangat

bermanfaat dengan adanya pendampingan/fasilitator yang menjadi

syarat mutlak bagi pengembangan klaster, namun bentuk

pendampingan yang diberikan hendaknya bersifat spesifik

tergantung kebutuhan masing-masing klaster. Oleh sebab itu, pola

pembiayaan yang diharapkan yaitu pola pembiayaan yang

menyesuaikan dengan siklus produksinya (disesuaikan dengan sektor

ekonominya) dan dalam bentuk rekening yang fleksibel, sehingga

penarikan pinjaman dapat dilakukan dengan cepat serta sesuai

dengan kebutuhannya.

Sehubungan dengan pembiayaan pada klaster, untuk menentukan

pola pembiayaan pada klaster perlu dilakukan analisa value chain

dan kompetensi inti, sehingga pembiayaan akan lebih efektif dan

tepat sasaran. Pola pembiayaan klaster hendaknya juga

memperhatikan inti pengembangan klaster, yakni kebersamaan,

sehingga pembiayaan dilakukan dengan pendekatan kelompok

(misalnya pendekatan PHBK) dan pembiayaan untuk klaster

difokuskan pada kegiatan bersama (misalnya pembelian baku dan

pemasaran bersama), serta memanfaatkan skala usaha klaster dalam

penyediaan agunan. Pola pembiayaan untuk klaster perlu pula

dibedakan untuk klaster yang belum berkembang dan klaster yang

sudah berkembang. Untuk klaster yang belum berkembang, perlu

Page 9: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

didukung oleh dana dari Pemerintah atau negara donor yang bersuku

bunga rendah sehingga kapasitas klaster meningkat dari yang belum

bankable dan feasible menjadi bankable dan feasible. Sedangkan

untuk klaster yang sudah berkembang dapat dibiayai dengan dana

komersial (perbankan) karena sumber dana tersebut dapat

mengakomodasi kebutuhan klaster yang besar dan lebih terjamin

keberlanjutannya.

Pengembangan klaster juga perlu adanya grand strategy

(rencana induk) yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir,

berdasarkan analisa value chain dari klaster yang dikembangkan.

Penyusunan grand strategy ini hendaknya dilakukan secara

partisipatif (bottom up) yang melibatkan seluruh komponen klaster

sehingga rencana tersebut menjadi rencana bersama (merasa

memiliki) dari para stakeholders. Adanya grand strategy juga akan

membantu seluruh stakeholders untuk melakukan koordinasi dengan

pihak-pihak terkait sehingga dapat menfokuskan dan mengeksplor

kemampuan serta mengintergrasikan sumber dayanya secara optimal

untuk kepentingan pengembangan klaster.

Page 10: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)
Page 11: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam perekonomian nasional, Usaha Mikro Kecil dan Menengah

(UMKM) mempunyai peranan yang signifikan. Peran yang besar

tersebut mendorong Pemerintah dan pihak-pihak yang concern

terhadap UMKM untuk terus berupaya memberdayakan UMKM agar mampu

bersaing dalam era globalisasi. Upaya mengembangkan UMKM tidak

lepas dari persoalan dasar yaitu kelemahan internal usahanya

sendiri (pelaku dan usahanya) dan kelemahan eksternal berupa

hubungan dengan pelaku-pelaku lain yang terkait dalam usaha

tersebut.

Kelemahan internal UMKM antara lain adalah kapasitas

manajemen dan wirausaha yang lemah, teknis produksi dan kurangnya

infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud meliputi akses

terhadap sumber modal, pasar, informasi, teknologi, sarana dan

prasarana.

Salah satu infrastuktur yang dibutuhkan adalah permodalan.

Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia (2005)1, sebagian

besar UMKM (64,6%) memerlukan kredit. Namun demikian, sumber

pembiayaan usaha mikro dan kecil sebagian besar masih berasal

dari modal pribadi dan modal keluarga. Sejalan dengan hal

tersebut, survei BPS (1998) menyatakan bahwa keterbatasan akses

modal sebagai kendala utama bagi usaha mikro (40,5%) dan kecil

(36,6%) untuk berkembang2. Hal ini didukung oleh kenyataan di

lapangan, meskipun banyak sumber dana yang tersedia, tetapi

1 Biro Kredit Bank Indonesia, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia, Bank Indonesia,2005 2 Bambang Ismawan dkk, Keuangan Mikro sebuah Revolusi Tersembunyi dari Bawah, Gema PKM Indonesia, 2005

Page 12: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

2

sumber tersebut belum banyak dimanfaatkan karena belum ada titik

temu UMKM sebagai debitur dan pihak kreditur. Dari sisi UMKM,

beberapa kendala dalam mengakses permodalan dari bank adalah suku

bunga yang tinggi dan kesulitan memenuhi persyaratan agunan.

Sedangkan dari sisi perbankan, permasalahan UMKM terletak pada

kelayakan usaha, baik aspek keuangan maupun aspek pemasaran dan

tenaga kerja.

Sedangkan kelemahan eksternal yang dimaksud adalah terkait

dengan pelaku – pelaku dalam lingkup usaha, sering disebut

sebagai hubungan usaha hulu – hilir. Hubungan-hubungan usaha yang

dimaksud adalah hubungan antara pelaku usaha dengan pelaku-pelaku

lain yang ada dalam jalur produksi (misalnya bahan baku) dan

pemasaran.

Menurut Nurul W, dkk (AKATIGA, 2003)3 bahwa di dalam

hubungannya dengan pelaku lain tersebut tercipta pola-pola

relasi, diantara pola-pola relasi tersebut tidak jarang bersifat

mengeksploitasi usaha mikro kecil. Hubungan yang eksploitatif

dalam rantai hulu-hilir kemudian diartikan sebagai perilaku

sekelompok aktor yang memupuk dan mengakumulasi keuntungan dengan

mengalihkan resiko atas akumulasi modal tersebut kepada pihak-

pihak yang lebih lemah. Kelompok pelaku ini menciptakan aturan

main yang menguntungkan bagi dirinya sendiri serta menciptakan

bentuk-bentuk pertukaran yang tidak seimbang. Kemampuan tersebut

mengindikasikan perbedaan kekuatan yang dimiliki antar pelaku.

Kekuatan-kekuatan yang dimiliki seorang pelaku yang

membuatnya dapat menentukan bentuk hubungan yang terbangun

bersumber dari posisinya di dalam masyarakat. Pelaku-pelaku yang

mendominasi suatu hubungan merupakan pelaku yang memiliki

kekuatan ekonomi, sosial atau politik yang kuat.

Pada kenyataannya, ketiga sumber kekuatan tersebut

seringkali tumpang tindih atau dimiliki oleh seseorang/kelompok

3 Nurul Widyaningrum, dkk;, Pola-Pola Eksploitasi, Akatiga, 2003

Page 13: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

3

pada saat yang bersamaan. Akumulasi kekuatan yang dimiliki oleh

seseorang/kelompok ini, menyebabkan yang bersangkutan dapat

menguasai, mengatur, menekan atau mengeksploitasi pihak lain. Di

dalam hubungan-hubungan yang bersifat ekonomi, kekuatan tersebut

menyebabkan pelaku yang bersangkutan dapat menciptakan distorsi

pasar melalui berbagai bentuk monopoli, barrier to entry,

pendiktean harga serta berbagai bentuk pengalihan resiko kepada

pihak yang lebih lemah. Pola tersebut terjadi terus menerus

bahkan sampai ke generasi berikutnya. Dampaknya, mengisolasi

usaha mikro-kecil, menyuburkan ketidakpercayaan antar pelaku dan

menjadikannya pasif. Inilah yang kemudian menyebabkan sebagian

dari modal sosial masyarakat ikut mati.

Sementara itu, klaster, mengutip Michael Porter, 1998,

didefinisikan sebagai kelompok usaha atau perusahaan yang saling

terhubung dan berdekatan secara geografis dengan entitas-entitas

yang terkait dalam suatu bidang khusus yang menjadi tujuan

klasterisasi4. Dengan definisi tersebut, maka suatu klaster

industri dapat meliputi pemasok bahan baku dan input lainnya dari

hulu hingga hilirnya berupa pemasarannya ke pasar-pasar

potensial. Pada klaster juga termasuk lembaga pemerintah,

asosiasi bisnis, penyedia jasa pelatihan/penelitian dan lembaga-

lembaga lainnya yang menciptakan value chain (rantai nilai) dari

bidang/usaha khusus yang diklaster.

Berdasarkan definisi tersebut, mengindikasikan bahwa

pendekatan klaster menjadi strategis mengingat promosi klaster

lebih menguntungkan dibandingkan dengan program-program

pengembangan usaha individual. Hal ini tidak hanya karena

efisiensi biaya tetapi juga ekonomi eksternal yang memberikan

suatu rentang keuntungan bagi klaster. Sebagai contoh, pemusatan

geografis usaha-usaha mikro kecil dalam klaster memudahkan

klaster untuk melakukan efisiensi dalam pembelian bahan baku

4 Michael E. Porter, Clusters and The new economics of competition. Harvard Business Review. Boston. Nov/Dec 1998

Page 14: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

4

melalui tindakan kolektif. Usaha mikro-kecil di dalam klaster

juga berada dalam posisi yang menguntungkan untuk mendapatkan

pesanan.

Lebih jauh pendekatan klaster mensyaratkan keterlibatan

seluruh stakeholder dalam posisi tawar yang berimbang dan tidak

saling mengeksploitasi. Dengan demikian hubungan hulu - hilir

yang terbentuk menjadi hubungan yang saling menguntungkan dan

saling ketergantungan yang positif dalam hubungan usaha dan

sosial. Pada akhirnya akan mampu membangkitkan kembali modal

sosial yang telah mati.

Pengembangan klaster berbasiskan masyarakat mendorong

terwujudnya kemakmuran dan kestabilan ekonomi suatu wilayah

(daerah) karena dalam klaster tidak ada dominasi pelaku, setiap

bagian dalam klaster merupakan kesatuan unit dinamis. Sehingga

ketika klaster berkembang, tidak terjadi ada pelaku yang menang

dan kalah yang dapat menimbulkan gap atau kesenjangan sosial yang

memicu ketidakstabilan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka untuk

menumbuhkembangkan klaster dibutuhkan pemahaman nature business

dari usaha yang bersangkutan dan konteks hulu-hilir berikut

pelaku-pelaku yang terkait dalam usahanya, baik internal maupun

eksternal. Melalui pemahaman ini, akan membantu membangkitkan

klaster tidak aktif menjadi aktif. Klaster yang aktif akan mampu

bertahan dan terus tumbuh-berkembang mengikuti perubahan pasar

dan lingkungannya.

Berdasarkan hal tersebut, pendekatan klaster telah menjadi

strategi dalam pemberdayaan Usaha Mikro-Kecil (UMK) dari berbagai

departemen maupun institusi pemerintah seperti Kementerian

Koperasi dan UKM, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,

Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertanian, Bappenas, BPPT,

Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah. Pada

Page 15: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

5

pelaksanaannya, mendapat dukungan pula baik dari industri terkait

yang relevan dengan klaster, lembaga-lembaga penelitian, BDS dan

berbagai pihak yang mempunyai komitmen untuk mensejahterakan

masyarakat. Disamping itu dukungan dari lembaga-lembaga donor

seperti JICA, ADB, WB, GTZ, Asia Foundation, Swiss Contact, USAID

dan lainnya dalam bentuk bantuan teknis maupun pendanaan.

Mendasari uraian tersebut di atas, proses pengembangan

klaster yang ada dititik beratkan pada proses penumbuhan kembali

(revitalization) modal sosial, meningkatkan kapasitas internal

UMK baik pada sisi teknis produksi maupun manajemen dan

penggalangan tindakan bersama untuk berhubungan dengan pihak luar

seperti pembelian bahan baku bersama dan atau pemasaran bersama.

Sementara itu, tantangan selanjutnya bagi klaster yang

dikembangkan adalah berkaitan dengan keberlanjutan klaster di

masa datang. Kenyataan bahwa lingkungan usaha yang terus berubah,

maka klaster yang telah berkembang dan aktif tersebut harus mampu

mengikuti perkembangan dan mampu menjawab kebutuhan pasar yang

senantiasa berubah sesuai dengan perubahan permintaan dan

referensi konsumennya. Untuk itulah klaster aktif harus selalu

melakukan inovasi secara berkesinambungan.

Mengingat peran penting klaster sebagai salah satu

alternatif pengembangan UMKM dan mengingat kelemahan di bidang

permodalan yang dihadapi UMKM, maka dipandang perlu adanya kajian

mengenai pola pembiayaan untuk klaster (best practise). Sejalan

dengan peran Bank Indonesia dalam bantuan teknis untuk mendorong

pengembangan UMKM, hasil kajian tersebut akan merupakan informasi

bagi perbankan untuk melakukan pembiayaan kepada klaster UMKM.

1.2 TUJUAN PENELITIAN

Page 16: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

6

Tujuan Penelitian adalah sebagai berikut:

1. Memetakan potensi, persoalan-persoalan pembiayaan UMKM

klaster dengan mengacu pada kemampuan dan kapasitas klaster

serta sumber dana yang tersedia.

2. Mengidentifikasikan pola-pola pembiayaan bagi klaster UMKM

yang ada.

3. Merekomendasikan pola pembiayaan bagi UMKM klaster

1.3 RUANG LINGKUP

Penelitian akan difokuskan pada klaster yang berkembang di

wilayah Jawa Tengah. Kriteria penentuan klaster yang berkembang

mengacu dari informasi departemen/instansi pembina, lembaga

penelitian dan lembaga donor yang terlibat dalam pembinaan dan

pendampingan pengembangan klaster tersebut.

Kriteria pemilihan klaster yang berkembang adalah:

a. Klaster tersebut telah memperoleh pembinaan dan

pendampingan selama satu tahun atau lebih.

b. Pelaku UMKM dalam klaster tersebut belum/hanya sebagian

kecil yang memperoleh pembiayaan dari sumber dana komersial

(perbankan).

Responden survei adalah pelaku usaha dan pelaku terkait

dalam klaster, perbankan, instansi atau institusi pemerintah,

asosiasi yang terkait dan lembaga-lembaga penelitian

1.4 METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif

yang bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah

berlangsung pada saat penelitian dilakukan.

Pengumpulan Data menggunakan dua sumber data yaitu:

1. Pengumpulan data primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam

(indepth interview) dan diskusi terfokus. Wawancara dilakukan

Page 17: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

7

pada pelaku usaha dan pelaku terkait dalam hubungan hulu

hilir, pejabat bank dan non bank, serta dinas/instansi

pemerintah juga lembaga pendamping. Adapun diskusi terfokus

dilakukan dengan lembaga penelitian, instansi pemerintah dan

lembaga pendamping.

2. Pengumpulan data sekunder

Pengambilan data sekunder diperlukan untuk memperkuat dan

mendukung informasi yang diperoleh dari data primer, yaitu

berupa:

? Hasil-hasil penelitian

? Data lainnya dari instansi terkait

Page 18: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

8

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI KLASTER

Menurut Porter (1998) Klaster merupakan konsentrasi

geografis perusahaan dan institusi yang saling berhubungan pada

sektor tertentu. Klaster mendorong industri untuk bersaing satu

sama lain. Selain industri, klaster termasuk juga pemerintah dan

industri yang memberikan dukungan pelayanan seperti pelatihan,

pendidikan, informasi, penelitian dan dukungan teknologi.

Sedangkan menurut Schmitz (1997) klaster didefinisikan sebagai

grup perusahaan yang berkumpul pada satu lokasi dan bekerja pada

sektor yang sama. Sementara Enright, M,J, 1992 mendefinisikan

klaster sebagai perusahaan-perusahaan yang sejenis/sama atau yang

saling berkaitan,berkumpul dalam suatu batasan geografis

tertentu.

Pengertian klaster (JICA, 2004)5 juga dapat didefinisikan

sebagai pemusatan geografis industri-industri terkait dan

kelembagaan-kelembagaannya. Perkembangan sarana transportasi dan

telekomunikasi telah mengurangi pentingnya kedekatan secara

5 JICA, Final Reports of the Study on Strengthening Capacity of SME Clusters in Indonesia, Japan International Cooperation Agency, 2004

Page 19: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

9

geografis, oleh karena itu batasan geografi menjadi fleksibel

tergantung dari kepentingannya, yaitu:

1. Merujuk dari segi usaha (business), klaster

diidentifikasikan atas daerah yang luas di sepanjang

pertalian-pertalian industri. Ini artinya bisa mencakup

satu desa, kapupaten, propinsi bahkan lintas provinsi yang

berkaitan

2. Sedangkan dipandang dari kepentingan pembangunan daerah,

batasan geografis dipergunakan dalam konteks kontribusinya

terhadap ekonomi daerah dan kesejahteraan penduduknya.

Penumbuhkembangan klaster, sebagaimana dirumuskan oleh

Michael Porter (1998), mengandung empat faktor penentu atau

dikenal dengan nama diamond model yang mengarah kepada daya saing

industri6, yaitu: (1) faktor input (factor/input condition), (2)

kondisi permintaan (demand condition), (3) industri pendukung dan

terkait (related and supporting industries), serta (4) strategi

perusahaan dan pesaing (context for firm and strategy).

Berikut adalah penjelasan tentang diamond model dari Porter:

1. Faktor Input

Faktor input dalam analisis Porter adalah variable-variable

yang sudah ada dan dimiliki oleh suatu cluster industri seperti

sumber daya manusia (human resource), modal (capital resource),

infrastruktur fisik (physical infrastructure), infrastruktur

informasi (information infrastructure), infrastruktur ilmu

pengetahuan dan teknologi (scientific and technological

infrastructure), infrastruktur administrasi (administrative

infrastructure), serta sumber daya alam. Semakin tinggi kualitas

faktor input ini, maka semakin besar peluang industri untuk

meningkatkan daya saing dan produktivitas.

6 Ibid, Michael E. Porter, 1998

Page 20: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

10

2. Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan menurut diamond model dikaitkan dengan

sophisticated and demanding local customer. Semakin maju suatu

masyarakat dan semakin demanding pelanggan dalam negeri, maka

industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk

atau melakukan innovasi guna memenuhi keinginan pelanggan lokal

yang tinggi. Namun dengan adanya globalisasi , kondisi permintaan

tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga bersumber dari luar

negeri.

3. Industri Pendukung dan Terkait

Adanya industri pendukung dan terkait akan meningkatkan

efisiensi dan sinergi dalam Clusters. Sinergi dan efisiensi dapat

tercipta terutama dalam transaction cost, sharing teknologi,

informasi maupun skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh

industri atau perusahaan lainnya. Manfaat lain industri pendukung

dan terkait adalah akan terciptanya daya saing dan produtivitas

yang meningkat.

4. Strategi Perusahaan dan pesaing

Strategi perusahaan dan pesaing dalam diamond model juga

penting karena kondisi ini akan memotivasi perusahaan atau

industri untuk selalu meningkatkan kualitas produk yang

dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Dengan adanya

persaingan yang sehat, perusahaan akan selalu mencari strategi

baru yang cocok dan berupaya untuk selalu meningkatkan efisiensi.

Best (1999)7 kemudian mengembangkan lebih lanjut argumen

Porter dan mengajukan model klaster dinamis sebagaimana

digambarkan di bawah ini. Model Best bisa menjelaskan proses

7 Ibid. JICA, 2004

Page 21: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

11

secara evolusi dari suatu klaster yang tidak aktif

bertransformasi menjadi dinamis.

Prosesnya adalah:

1. Berbagai perusahaan menghasilkan komoditas serupa di dalam

klaster

2. Munculnya perusahaan dinamis yang mengakibatkan terjadinya

inovasi dan difusi teknologi

3. Saat berbagai perusahaan saling bersaing untuk

mengembangkan kemampuan produksi, variasi teknis tumbuh di

dalam klaster

4. Sementara perusahaan berupaya meningkatkan kemampuan

produksi melalui spesialisasi, mereka membutuhkan rekanan

yang bisa mendukung kegiatan, sehingga timbullah peluang

bisnis baru

5. Masing-masing perusahaan berspesialisasi dalam suatu proses

produksi tertentu sambil terus meningkatkan kemampuan

teknologi

Karakteristik kunci klaster yang dinamis dapat disimpulkan dalam

tiga hal:

1. Klaster memproduksi barang-barang berkualitas tinggi

2. Masing-masing perusahaan mempunyai spesialisasi dalam

teknik produk tertentu atau proses produksi tertentu

Klaster Spesialisasi Perusahaan

Perusahaan entrepreneurial

Spin-off

Variasi teknologi

Spesialisasi

Intergrasi horizontal

/Re-intergrasi Sistem terbuka

Page 22: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

12

3. Klaster mempunyai atmotfir terbuka, sehingga mengundang

UMKM baru untuk bergabung ke dalam klaster

2.2 KONDISI KLASTER

Berdasarkan kondisi klaster (merujuk diamond model) dengan

menilai dari kualitas produksi, teknologi, pasarnya, kapasitas

sumber daya manusia dan hubungannya dengan pihak-pihak terkait

bagi pengembangan klaster baik dari pemerintah, swasta maupun

industri terkait, maka klaster dapat digolongkan menjadi 3 yaitu

klaster tidak aktif (dormant), klaster aktif (berkembang) dan

klaster dinamis (advantage). Beberapa ciri yang dimiliki

(disarikan dari Laporan JICA, 2004) adalah sebagai berikut:

1. Klaster tidak aktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Produk tidak berkembang (cenderung mempertahankan produk

yang sudah ada)

b. Teknologi tidak berkembang (memakai teknologi yang ada,

biasanya tradisional, tidak ada investasi untuk peralatan

dan mesin)

c. Pasar lokal (memperebutkan pasar yang sudah ada, tidak

termotivasi untuk memperluas pasar, ini mendorong

terjadinya persaingan pada tingkat harga bukan kualitas)

dan tergantung pada perantara/pedagang antara

d. Tingkat keterampilan pelakunya statis (keterampilan turun-

temurun)

e. Tingkat kepercayaan pelaku dan antar pelaku rendah (modal

sosialnya rendah, mendorong saling menyembunyikan informasi

pasar, teknis produksi dsb)

f. Informasi pasar sangat terbatas (hanya perorangan atau

kelompok tertentu yang mempunyai akses terhadap pembeli

langsung)

2. Klaster Aktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Produk berkembang sesuai dengan permintaan pasar (kualitas)

Page 23: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

13

b. Teknologi berkembang untuk memenuhi kualitas produk di

pasar

c. Pamasaran lebih aktif mencari pembeli

d. Terbentuknya informasi pasar

e. Berkembangnya kegiatan bersama untuk produksi dan pasar

(misalnya pembelian bahan baku bersama, kantor pemasaran

bersama dst)

3. Klaster Dinamis memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Terbentuknya spesialisasi antar perusahaan dari klaster

(misalnya: untuk industri logam ada spesialisasi

pengecoran, pembuatan bentuk, pemotongan dsb)

b. Klaster mampu menciptakan produk baru yang dibutuhkan

pasar/konsumen

c. Teknologi berkembang sesuai dengan inovasi produk yang

dihasilkan

d. Berkembangnya kemitraan dengan industri terkait baik dalam

pengembangan produk, pengembangan teknologi maupun menjadi

bagian industri terkait

e. Berkembangnya kelembagaan klaster

f. Berkembangnya informasi pasar

Hasil penelitian dari proyek percontohan pengembangan

klaster di Indonesia yang dilakukan oleh JICA (2004)8

mengungkapkan bahwa Klaster di Indonesia dibatasi oleh bentuknya

yang mudah tercerai berai dari modal sosial. Modal sosial yang

dimaksud merupakan aset tak wujud seperti “kepercayaan yang

terbentuk”, “ikatan internal” atau “jejaring sosial”.

Pembentukan dan konsolidasi modal sosial menjadi unsur inti dalam

penguatan klaster. Modal sosial klaster ini sebagai ikatan

internal akan menjembatani dalam hubungan dengan pihak ekternal.

Secara skematis klaster aktif yang direkomendasikan untuk

kondisi Indonesia adalah:

8 Ibid, JICA, 2004

Page 24: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

14

Pada klaster aktif – dinamis, keterkaitan kelima faktor

dari diamond model Porter akan membentuk rantai nilai (value

chain) yang kuat. Sebagai ilustrasi suatu mekanisme rantai nilai

dalam konteks suatu klaster industri, misalnya terbentuknya suatu

hubungan dengan suatu pasar baru akan memicu terbentuknya suatu

kelompok produsen-produsen (UMKM baru) yang mempunyai

spesialisasi dalam kegiatan logistik dan penjualan.

3.3. MANFAAT KLASTER

Menurut Scorsone (2002) klaster UMKM yang berbasis pada

komunitas publik memiliki manfaat baik bagi UMKM itu sendiri

maupun bagi perekonomian di wilayahnya. Bagi UMKM, klaster

membawa keuntungan sebagai berikut :

a. Lokalisasi ekonomi. Melalui klaster, dengan memanfaatkan

kedekatan lokasi, UMKM yang menggunakan input (informasi,

teknologi atau layanan jasa) yang sama dapat menekan biaya

perolehan dalam penggunaan jasa tersebut. Misalnya

A

C

B

D

E

A = Demand Conditions B = Factor conditions C = Firm strategy, structure and Rivalry D = Related and supporting Industries

Page 25: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

15

pendirian pusat pelatihan di klaster akan memudahkan akses

UMKM pelaku klaster tersebut.

b. Pemusatan tenaga kerja. Klaster akan menarik tenaga kerja

dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan klaster tersebut,

sehingga memudahkan UMKM pelaku klaster untuk memenuhi

kebutuhan tenaga kerjanya dan mengurangi biaya pencarian

tenaga kerja.

c. Akses pada pertukaran informasi dan patokan kinerja. UMKM

yang tergabung dalam klaster dapat dengan mudah memonitor

dan bertukar informasi mengenai kinerja supplier dan

nasabah potensial. Dorongan untuk inovasi dan teknologi

akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan perbaikan

produk.

d. Produk komplemen. Karena kedekatan lokasi, produk dari

satu pelaku klaster dapat memiliki dampak penting bagi

aktivitas usaha UMKM yang lain. Disamping itu kegiatan

usaha yang saling melengkapi ini dapat bergabung dalam

pemasaran bersama.

Adapun manfaat klaster UMKM bagi perekonomian wilayah

diantaranya adalah :

a. Klaster UMKM yang saling terhubung cenderung untuk memiliki

produktivitas yang lebih tinggi dan kemampuan untuk

membayar upah lebih tinggi.

b. Dampak penyerapan tenaga kerja dan pendapatan wilayah dari

klaster umumnya lebih besar dibanding bentuk ekonomi

lainnya.

Sedangkan keberhasilan klaster dapat dilihat dari beberapa

faktor penentu kekuatan klaster yaitu : (1) spesialisasi, (2)

kapasitas penelitian dan pengembangan,(3) pengetahuan dan

keterampilan, (4) pengembangan sumber daya manusia, (5) jaringan

kerjasama dan modal sosial, (6) kedekatan dengan pemasok, (7)

Page 26: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

16

ketersediaan modal, (8) jiwa kwirausahaan, serta (9) kepemimpinan

dan visi bersama (Rosenfeld,1997).

BAB III GAMBARAN UMUM KONDISI KLASTER DI INDONESIA

3.1. KONDISI UMUM KLASTER

Page 27: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

17

Secara umum 9 klaster di Indonesia masih berupa sentra-

sentra UMKM. Sentra UMKM terdiri dari sekumpulan industri skala

kecil dan menengah yang terkonsentrasi pada suatu lokasi yang

sama serta telah berkembang cukup lama. Sentra UMKM mencerminkan

suatu tipe klaster yang paling sederhana dan berkembang secara

alamiah tanpa intervensi dari pemerintah. Klaster-klaster ini

pada umumnya berkembang di wilayah pedesaan, merupakan kegiatan

tradisional masyarakat yang telah dilakukan secara turun-temurun,

serta memiliki komoditi yang spesifik. Jenis klaster yang ada

sangat beragam, antara lain klaster kerajinan, makanan dan

minuman, tekstil dan produk tekstil, kulit dan produk kulit,

kimia dan produk kimia, bahan bangunan, peralatan, dan

sebagainya. Selain klaster UMKM yang terbentuk secara alamiah,

terdapat pula sejumlah kecil klaster yang tumbuh dan berkembang

akibat dukungan pemerintah, misalnya Perkampungan Industri Kecil

(PIK) dan Lingkungan Industri Kecil (LIK).

Sejauh ini sentra-sentra tersebut merupakan calon klaster

yang tidak aktif atau sedang tidur (dormant). Di dalam sentra,

pelaku usaha tidak banyak melakukan perubahan terhadap produk,

proses produksi maupun pasarnya. Kondisinya tidak banyak berubah

dari tahun ke tahun bahkan sampai generasi berikutnya. Secara

lebih rinci dari studi yang dilakukan oleh JICA (2004)

menyebutkan secara garis besar kondisi klaster di Indonesia

adalah sebagai berikut:

a. Kebanyakan UMKM-UMKM dalam klaster merupakan usaha-usaha mikro

yang memiliki ketergantungan kuat kepada para pengumpul lokal

sehingga seringkali menghilangkan jiwa kewirausahaan.

b. Produk-produknya ditujukan untuk pasar-pasar yang tidak

terlalu menuntut teknologi dan kualitasnya.

9 Bappenas, Laporan tentang Kajian Startegi Pengembangan Kawasan Dalam Rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Daya Saing Daerah, 2006.

Page 28: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

18

c. Sebagian besar UMKM dalam klaster tidak memiliki keterikatan

internal satu sama lain sehingga upaya “membangun kepercayaan”

(trust building) sulit dilakukan.

d. Rendahnya keterkaitan dengan industri dan insitusi terkait

merupakan kendala yang lumrah ditemui sehingga penguatan

klaster sulit dilakukan.

e. Sebagian besar klaster memiliki struktur sosial yang mudah

bercerai berai dan masih berkutat pada strategi untuk

mempertahankan hidup.

3.2. KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PENGEMBANGAN KLASTER

Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 10 menjadikan agenda

percepatan pemulihan ekonomi sebagai salah satu prioritas

pembangunan nasional yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan

mempercepat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan

yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Pendekatan klaster

menjadi sangat relevan untuk merealisasikan agenda tersebut. Hal

ini mengingat klaster melibatkan kelompok sebagai pelaku, dengan

demikian dampak kemajuan dapat dirasakan secara kolektif dan

biaya pengembangan lebih ekonomis daripada pelibatan pelaku

secara individual.

3.2.1. Kebijakan Pemerintah Pusat

Konsep klaster sebagai salah satu pendekatan pengembangan

ekonomi telah banyak digunakan oleh pemerintah dalam menyusun

kebijakan dan program ekonomi. Sejak Pelita III, pemerintah telah

berupaya mengembangkan klaster UKM, diantaranya pengembangan

sentra di seluruh provinsi, pengembangan kawasan industri kecil

(PIK, LIK, SUIK), program kemitraan, serta pemberian kredit.

Pengembangan sentra industri kecil (SIK) di berbagai daerah turut

10 Ibid, Bappenas 2006

Page 29: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

19

didukung pula oleh pendirian Unit Pelayanan Teknis (UPT) sesuai

dengan potensi dan kebutuhan utamanya di bidang teknologi.

Program pemerintah yang dominan dan populer bagi pengembangan

usaha kecil adalah penyediaan berbagai skema kredit.

Berikut adalah beberapa kebijakan yang diambil oleh

pemerintah dengan mengadopsi konsep klaster sebagai strategi

pengembangan ekonomi daerah.

a. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

Bappenas bekerjasama dengan UNDP dan UNCHS berinisiasi

terhadap proyek Poverty Alleviation through Rural-Urban

Lingkages (PARUL) sebagai upaya untuk meningkatkan keterkaitan

desa dengan kota di dalam suatu propinsi ataupun kabupaten

yang dipilih. Proyek ini kemudian berkembang menjadi Kemitraan

Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) yang mengembangkan ekonomi

daerah berdasarkan sumber daya lokal melalui pendekatan

partisipatif masyarakat.

Pada tahun 2000, program KPEL dilaksanakan di 19

kabupaten/kota di 6 provinsi sebagai pilot project.

Keberhasilan pendekatan ini, kemudian di tahun 2001, Bappenas

dengan pemerintah daerah melakukan replikasi di 18

kabupaten/kota di 6 provinsi lain dan juga 14 kabupaten/kota

di tahun 2003.

b. Departemen Perindustrian dan Perdagangan

Pendekatan klaster tertuang dalam Kebijakan Pembangunan

Industri dan Perdagangan Tahun 2001, yaitu kebijakan

pembangunan industri jangka panjang diarahkan untuk

pembentukan industri klaster dengan memperkuat industri -

industri yang terdapat dalam rantai nilai (value chain) yang

Page 30: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

20

mendorong keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif.

Sehubungan dengan itu, kebijakan dasar yang menjadi perhatian

adalah membentuk hubungan antara industri pendukung dan

terkait di bagian hulu maupun di hilir. Selain itu, Deperindag

juga memprakarsai proyek pembentukan klaster industri tertentu

di beberapa daerah.

c. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KUKM)

Kementerian KUKM menggunakan pendekatan klaster sebagai

kebijakan pemberdayaan UKM yang meliputi program pengembangan

sentra/klaster UMKM, fasilitasi penguatan lembaga bantuan

pengembangan bisnis (BDS), dan pemberian modal awal dan

padanan (MAP). Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan

kinerja UMKM, peningkatan lapangan kerja, serta peningkatan

pendapatan masyarakat. Dana yang disediakan sebesar Rp200 juta

yang disalurkan melalui koperasi atau unit simpan pinjam.

Tahun 2001 disalurkan ke 99 lokasi dan 332 lokasi di tahun

2003.

d. Kementerian Riset dan Teknologi

Pendekatan klaster akan menjadi landasan kebijakan di bidang

riset dan teknologi, khususnya terkait dengan pengembangan

techno-industrial dan aliansi strategis.

e. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

BPPT memprakarsasi percontohan klaster industri daerah dalam

rangka pengembangan unggulan daerah. Guna mendukung hal

tersebut, BPPT juga melakukan kegiatan eksplorasi sinkronisasi

dan sinergi program antar stakeholder, terutama Kementerian

KUKM, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen

Pertanian, Kementerian Riset dan Teknologi, dan pemerintah

daerah setempat yang menjadi lokasi studi.

Page 31: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

21

3.2.2. Pembelajaran Pengembangan Klaster di Indonesia

Program pengembangan klaster telah banyak dilakukan oleh

pemerintah melalui departemen-departemen terkait sebagaimana

tersebut di atas. Berikut disampaikan beberapa pengalaman

pengembangan klaster yang dilakukan oleh departemen-departemen

teknis.

a. Departemen Perindustrian

i. Program pengembangan klaster Industri Kecil Menengah (IKM)

dari Departemen dilakukan dengan berbasis pada komoditi

unggulan.

ii. Pengembangan klaster IKM difasilitasi melalui

pendekatan hulu-hilir. IKM yang dikembangkan berawal dari

adanya sentra industri. Sentra tersebut kemudian akan

difasilitasi untuk menjadi klaster. Pendekatan hulu –

hilir ini penting karena akan mendukung kelanjutan klaster,

sebab pengembangan klaster membutuhkan keterlibatan semua

pelaku (stakeholders).

iii. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan klaster

antara lain adalah:

a). Sistem yang ada belum berjalan dengan baik, yaitu

sulitnya melakukan koordinasi dengan instansi terkait

untuk menyatukan tindakan bersama dalam mengembangkan

klaster.

b). Pengertian tentang klaster yang masih beragam diantara

stake holders/instansi. Departemen Perindustrian

mendefinisikan klaster mengacu pada definisi menurut

Michael Porter yaitu kelompok usaha yang sejenis yang

berdekatan dan melibatkan pelaku hulu-hilir yang

terkait.

Page 32: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

22

iv. Dalam pengembangan klaster, sebaiknya klaster tersebut

sudah tumbuh di wilayah yang bersangkutan baik sebagai

kumpulan UMKM ataupun sebagai sentra industri, sehingga

pengembangannya tidak dimulai dari awal (nol), tetapi

mengembangkan yang sudah ada.

v. Inti dari pengembangan klaster adalah adanya komitmen

bersama untuk menghasilkan produk bersama yang berkualitas.

Pengalaman yang ada selama ini adalah persaingan yang

sangat tinggi diantara pelaku UMKM sendiri yang menyebabkan

lemahnya posisi tawar UMKM.

vi. Dari pengalaman pembinaan IKM/UMKM, untuk pengembangan

klaster dibutuhkan suatu holding usaha bersama. Holding ini

bertugas untuk memenuhi kebutuhan klaster, misalnya

kebutuhan ahli desain produk, ahli pemasaran dst. Holding

ini harus bekerja profesional sesuai dengan keahlian yang

diperlukan klaster untuk berkembang.

b. BAPPENAS – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Direktorat Pemberdayaan Koperasi dan UKM

i. Pengembangan klaster dilakukan melalui pendekatan

berdasarkan ketersediaan lapangan usaha. Lapangan usaha

yang berperan dalam pengembangan ekonomi masyarakat

difasilitasi untuk berkembang menjadi klaster. Untuk

memilih lapangan usaha yang dimaksud dilakukan analisa

backward and forward linkage dan pelaku-pelaku lain yang

berperan di dalam klaster tersebut.

ii. BAPPENAS telah melakukan penelitian untuk lapangan

usaha tekstil dan umbi-umbian. Lapangan usaha yang dikaji

sejauh ini masih dalam bentuk sentra-sentra produksi. Pada

industri tekstil, selain menganalisa backward dan forward

linkage juga dilakukan analisa terhadap pelaku-pelaku lain,

misalnya pedagang makanan yang berperan melayani pekerja

Page 33: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

23

pabrik tekstil. Keberadaan industri tekstil menjadi penting

karena mempengaruhi kelangsungan lapangan usaha pedagang

makanan. Analisa ini untuk mengetahui apakah sektor ekonomi

yang akan dikembangkan menjadi klaster benar-benar

merupakan lapangan usaha yang utama (yang mempengaruhi

keberadaan lapangan usaha lainnya) dalam pengembangan

ekonomi masyarakat di lingkungan klaster tersebut.

iii. Karakteristik sentra produksi hasil kerjasama dengan

Kementerian Koperasi adalah :

a). Pada sektor pertanian, di antara pelaku UMKM mempunyai

trust yang tinggi sehingga terdapat rasa kebersamaan yang

tinggi.

b). Pada sektor non pertanian, antar pelaku UMKM/IKM

mempunyai tingkat persaingan yang tinggi sehingga sulit

untuk disatukan.

Gambaran untuk sektor pertanian

? Bentuk ideal untuk mengembangkan sentra menjadi klaster

yang aktif adalah dalam bentuk kelompok. Bentuk kelompok

yang ideal yang ada sampai saat ini adalah koperasi.

Koperasi di wilayah pertanian dapat menjadi fasilitator

pengembangan klaster. Contoh yang bisa dilihat adalah

budidaya rumput laut di Sulawesi. Diantara pelaku –

pelaku terdapat ikatan yang cukup kuat. Mereka melakukan

budidaya secara bersama yang disatukan dalam wadah

koperasi sehingga kegiatan produksi dari hulu – hilir

dapat dilakukan. Pada tingkat hulu, koperasi menyediakan

kebutuhan bahan baku /modal untuk budidaya rumput laut.

Pada tingkat hilir, koperasi melakukan kegiatan

pengolahan pasca panen bersama (pengeringan rumput laut)

dan pemasaran bersama.

Page 34: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

24

? Demikian juga pada sektor peternakan. Pada umumnya di

Pulau Jawa peternakan sapi dilakukan secara individual.

Tetapi pada peternakan sapi di Kalimantan Selatan

dilakukan secara kelompok (koloni). Mereka membuat

kandang bersama. Satu kandang dimiliki oleh 3 orang

petani. Kandang ini dikelola bersama baik pakannya,

pemeliharaan dsb. Kegiatan produksi ini sangat

menguntungkan, karena dapat menghemat tenaga pemeliharaan

dan tempat untuk kandang.

? Untuk menyatukan pelaku – pelaku dalam kegiatan bersama

perlu adanya leader (pemimpin) baik berasal individu atau

instansi/pemerintah yang memiliki jiwa entrepreneur.

Komitmen dan kemauan dari pemimpin tersebut merupakan

langkah yang strategis untuk memacu pengembangan klaster.

Pada contoh diatas, dinas terkait menjadi penggerak dalam

pengembangan klaster rumput laut dan peternakan sapi.

Gambaran untuk sektor non pertanian

? Pada contoh kasus yang disampaikan, lapangan usaha yang

dikembangkan adalah industri sasirangan (tekstil) di

Kalimantan Selatan. Dari pengamatan terlihat bahwa

persaingan diantara pelaku UMKM cukup tinggi, antara lain

dalam hal penetapan harga jual, informasi pembeli,

pengembangan motif dll. Untuk membangun kebersamaan,

maka pelaku UMKM didampingi oleh fasilitator klaster

(BDS, LSM ataupun universitas) yang berfungsi sebagai

fasilitator klaster.

? Kendala yang dihadapi adalah fasilitator klaster (dalam

contoh dari Perguruan Tinggi) yang ada masih tergantung

pada program Pemerintah. BDS tersebut memperoleh bantuan

dari Kementerian Koperasi dalam bentuk dana pendampingan

Page 35: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

25

dan dana bergulir. Sehingga ketika program selesai,

keberlanjutan BDS masih dipertanyakan

c. BAPPENAS – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Direktorat Kewilayahan II

i. BAPPENAS dalam hal ini Direktorat Kewilayahan II, berperan

sebagai lembaga yang melakukan pengkajian pengembangan

wilayah termasuk satu diantaranya dengan cara pengembangan

klaster.

ii. Hasil dari kajian yang telah dilakukan bahwa kegagalan

dalam mengembangkan klaster dikarenakan :

a). Pengembangan klaster tidak berdasarkan pada potensi

yang ada di masyarakat. Program klaster lebih dikarenakan

adanya kepentingan pemerintah untuk membentuk klaster.

b). Kurangnya komitmen dan kemauan (willingness)

pemerintah dan stakeholders yang terkait. Akibatnya

kebijakan pengembangan UMKM justru bersifat

kontraproduktif.

c). Tidak adanya grand strategy (rencana induk) yang

melibatkan pelaku hulu-hilir pada klaster yang

dikembangkan. Misalnya: peternakan sapi potong, yang

diperhatikan hanya sapi potong, tetapi peluang usaha yang

lain kurang diperhatikan misalnya pengolahan kotoran sapi

penjadi pupuk organik.

d). Pengembangan klaster mengecil menjadi sentra usaha.

Seharusnya pengembangan klaster diarahkan untuk dapat

menjadi penunjang pengembangan ekonomi lokal dan ekonomi

regional. Agar pengembangan klaster tidak terjebak

menjadi sentra, maka rencana induk harus dibuat secara

bottom up.

d. BPPT – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Page 36: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

26

Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing

i. Konsep pengembangan klaster adalah adanya linkage antar

pelaku-pelaku klaster dan terciptanya nilai tambah (value

chain)

ii. Agar linkage dan nilai tambah dapat diperoleh, maka

pengembangan klaster dilakukan melalui pendekatan

partisipatory. Langkah-langkah yang dilakukan sebagai

berikut (mengacu pada contoh proses pembentukan klaster di

Tegal-Jawa Tengah) :

a). Proses partisipasi

? Proses ini diawali dengan melakukan identifikasi

usaha-usaha yang mempunyai prospek untuk berkembang.

? Kemudian dilakukan pemetaan kondisi lingkungan klaster

(meta plan). Faktor yang dipetakan mengacu pada

diamond model yang disampaikan Michael Porter. Peta

tersebut akan menggali hal-hal yang menjadi kendala

dan hal-hal yang menjadi pendukung.

? Dilakukan penguatan lingkungan usaha, melalui

perumusan tujuan bersama, strategi bersama hingga

membuat matrik rencana kerja untuk melakukan aksi

bersama. Untuk melangkah ke aksi bersama diperlukan

manajemen dari klaster tersebut.

b). Proses analisa (tahun 2006).

Analisa yang digunakan adalah:

? Analisa rantai nilai, untuk mengetahui nilai tambah

dari masing-masing pelaku.

? Analisa kompetensi inti, meliputi peta pelaku industri

pemasok, pembeli (buyer), industri terkait, industri

pendukung dan institusi pendukung.

Page 37: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

27

? Hasil analisa rantai nilai dan kompetensi inti ini

untuk menentukan kepada siapa/kemana pembiayaan perlu

diberikan.

iii. Faktor penting yang juga terkait dalam mengembangkan

UMKM/IKM dengan pendekatan klaster adalah :

a). Peningkatan kapasitas (capacity building), pelaku-

pelaku yang terlibat dalam klaster.

b). Adanya tokoh panutan/pemimpin yang berpengaruh (Local

Champion)

? Contoh pendekatan klaster yang cukup berhasil adalah

yang dilakukan di Tegal. Melalui peran pemerintah

daerah dalam hal ini Kepala Bappeda yang berkomitmen

mengembangkan UMKM, maka terbentuk 5 klaster yang

berkembang yaitu: klaster engine dan aplikasinya,

komponen kapal, pariwisata, sapi potong dan jagung

hibrida.

? Keberhasilan yang diperoleh dapat dilihat dan diukur

dari tingkat pendapatan yang meningkat dari pelaku-

pelaku yang ada pada klaster. Sebagai gambaran

pendapatan petani jagung hibrida yang bertambah. Harga

hasil pertanian seperti pada umumnya sangat

berfluktuasi. Petani pada posisi tawar yang tidak

seimbang terhadap pembeli (umumnya tengkulak yang

berfungsi sebagai penebas hasil panen). Ketika proses

mengembangkan klaster, petani difasilitasi agar

memperoleh harga yang wajar dan penebas pun memperoleh

keuntungan yang diharapkan. Caranya dengan mengajak

petani untuk mengatur waktu tanam serta memperluas

areal dan mengajak penebas untuk melakukan tebasan

secara periodik dalam kondisi jagung sudah mencapai

umur produksi siap tebas.

Page 38: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

28

e. BPPT – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Business Technology Center/BTC

i. BPPT-BTC dalam hal ini berperan menyediakan aplikasi

teknologi untuk UMKM/IKM

ii. Untuk mendukung peran tersebut, BPPT memperoleh

bantuan dari Uni Eropa dalam bentuk dana hibah (grant).

Dana hibah ini digunakan untuk program teknologi informasi

kepada Koperasi. Pertimbangannya adalah dari pengalaman

banyak negara yang telah menggunakan teknologi informasi

khususnya internet untuk memasarkan produk-produk UMKM/IKM.

Pemasaran melalui cara ini terbukti sangat efektif untuk

meningkatkan penjualan.

iii. Kondisi koperasi di Indonesia masih lemah, sehingga

perlu dilakukan peningkatan kapasitas agar dapat melayani

UMKM lebih baik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah

melalui penyediaan teknologi informasi. Pada saat ini akan

dilakukan pilot project teknologi informasi dengan

pemerintah daerah Jawa Tengah.

f. Departemen Pertanian

i. Untuk mengembangkan klaster pada komoditi pertanian

tidaklah mudah, mengingat karakteristik dari sektor

pertanian sendiri, sehingga tidak semua komoditi pertanian

dapat diklasterisasi.

ii. Faktor keberhasilan dalam kredit tanaman perkebunan

adalah adanya industri inti yang menampung produk mereka.

Sistem yang dikembangkan dalam hubungan industri inti dan

petani adalah sistem bagi hasil.

iii. Sedangkan untuk tanaman pangan (termasuk

hortikultura), kapasitas petani masih sangat rendah. Untuk

itu pada level petani masih sangat diperlukan usaha

Page 39: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

29

penguatan kapasitas. Pada sektor pertanian, pembiayaan bank

dirasakan belum mampu menggantikan peran tengkulak (dalam

ketepatan waktu pemberian dan jumlah pinjaman yang

dibutuhkan).

Kebijakan di tingkat pusat ini, lebih jauh juga menjadi

inspirasi bagi pemerintah-pemerintah di daerah dalam

mengembangkan ekonomi masyarakatnya. Salah satu pemerintah daerah

yang melakukan program pengembangan klaster adalah Pemerintah

Daerah (Pemda) Propinsi Jawa Tengah. Program di tingkat propinsi

tersebut diakomodasikan dan dikoordinasikan dengan pemda-pemda di

tingkat kabupaten.

3.3. KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH JAWA TENGAH

Data sektor ekonomi11 menyatakan bahwa industri dan

perdagangan merupakan kelompok terbesar dari aktivitas ekonomi

masyarakat, karenanya menjadi aset potensial guna mendorong

ekonomi kerakyatan. Sektor tersebut didominasi 99% oleh Usaha

Mikro Kecil dan Menegah (UMKM) dimana kurang lebih 30% populasi

UMKM di Indonesia berada di Jawa Tengah.

Prosentasi yang besar dari UMKM ini belum secara optimal

dikembangkan, padahal sektor UMKM memiliki kemampuan daya ungkit

tinggi terhadap pembangunan dan kesempatan kerja kepada

masyarakat. UMKM dengan karakternya yang fleksibel dengan

teknologi perpaduan antara padat modal dan padat karya dalam

memanfaatkan sumber daya lokal telah terbukti lebih mampu

bertahan terhadap krisis ekonomi dan perubahan-perubahan yang

terjadi sebagai konsekuensi globalisasi. Ukurannya yang relatif

mikro - kecil – menengah, menjadikan kelompok usaha ini lebih

mudah untuk melakukan penyesuaian terhadap perkembangan teknologi

dan tuntutan pasar yang dinamis. 11 Ibid, FPESD Jawa Tengah, 2006

Page 40: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

30

Berdasarkan hal tersebut di atas dengan diberlakukannya

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,

memberikan kesempatan yang sangat luas kepada masyarakat untuk

mengelola dan memajukan wilayahnya masing-masing. Pemerintah

Dearah (Pemda) Propinsi Jawa Tengah telah menetapkan untuk

pencapaian pemantapan kemandiriaan wilayah tahun 2008 dengan 3

(tiga) sektor prioritas pembangunan yaitu; pertanian dalam arti

luas (agrobisnis), UMKM berorientasi ekspor dan pariwisata. Untuk

merealisasikan kemandirian wilayah, maka langkah yang tepat

adalah dengan memadukan kebijakan top down dan bottom – up

planning melalui pendekatan partisipatif dan kewilayahan,

diantaranya melalui pendekatan klaster. Sehubungan dengan maksud

tersebut, diperlukan suatu wadah yang mampu membawa aspirasi dari

bawah agar dapat disampaikan ke unsur terkait, maka dibentuklah

suatu forum, yaitu:

a. Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) Jawa

Tengah. Forum ini berkedudukan di tingkat Propinsi. Forum

ini berfungsi sebagai wadah (think tank) bagi Pemda untuk

memformulasikan kebijakan ekonomi Jawa Tengah dan khususnya

pengembangan UMKM. Secara legal pembentukan wadah ini

diformalkan dalam SK Gubenur Jawa Tengah no. 500/36/2001

yang kemudian diperbaharui dengan SK Gubenur No.

500.5/30/2003

b. Forum of Economic Development and Employment Promotion

(FEDEP). FEDEP ini berkedudukan di tingkat kabupaten /

kota. Forum tersebut berfungsi sebagai fasilitator dan

mengoptimalkan peran serta pelaku usaha, masyarakat dan

pemerintah mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,

monitoring dan evaluasi.

c. Resource Development Centre (RDC). RDC ini sebagai Badan

Pelaksana FPESD yang akan menangani pelaksanaan program,

peningkatan kapasitas dan pendampingan.

Page 41: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

31

Secara garis besar, fokus yang dituju dari forum-forum

tersebut adalah pada penciptaan iklim usaha yang kondusif,

peningkatan kapasitas kelompok usaha dan pengembangan potensi

klaster.

Menyadari bahwa pengembangan klaster membutuhkan kerjasama

yang komprehensif dan berkelanjutan, maka sejak awal, penyamaan

persepsi dan penggalangan komitmen dari pihak-pihak terkait harus

ditumbuhkembangkan. Umumnya proses ini berlangsung pada sebuah

forum bersama. Forum ini kemudian menjadi inisiator dan

penggerak untuk melakukan upaya-upaya nyata dalam proses

pengembangan klaster.

Sejauh ini proses pengembangan klaster masih berlangsung di

beberapa wilayah di Indonesia. Hasil positif yang telah dicapai

pada proses tersebut antara lain12:

1. Tumbuhnya kembali modal sosial di masyarakat

2. Meningkatnya keterampilan teknis produksi

3. Meningkatnya pengetahuan tentang manajemen usaha

4. Tumbuhkembangnya organisasi klaster

5. Berkembangnya proses perencanaan yang partisipatif dan

bottom up

6. Beberapa klaster telah menunjukkan peningkatan pendapatan

7. Beberapa klaster mulai memperoleh kepercayaan dari industri

terkait

12 Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya Jawa Tengah (FPESD), Best Practice Pengembangan Klaster di Jawa Tengah, 2006

Page 42: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

32

BAB IV

PENGEMBANGAN KLASTER DI JAWA TENGAH

4.1. STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER DI JAWA TENGAH

Pengembangan klaster (FPESD, 2004)13 dipilih sebagai

strategi pendekatan untuk mengoptimalkan peran dan fungsi UMKM

terhadap kemandirian ekonomi wilayah karena pendekatan klaster

dikembangkan secara kelompok sehingga lebih mempermudah dalam

merumuskan kebijakan dan pengalokasian sumber daya yang

dibutuhkan untuk mengembangkan UMKM klaster.

Realiasasi dari strategi tersebut di tingkat pelaku klaster

dilakukan melalui kegiatan:

a. Meningkatkan kemandirian pelaku klaster melalui Forum Rembuk

Klaster. Forum ini merupakan wadah bagi pelaku klaster untuk

berinteraksi dan sebagai wadah dialog antara pelaku dengan

semua stakeholder terkait dalam klaster tersebut. Forum Rembuk

Klaster sekaligus berfungsi sebagai wahana untuk menumbuhkan-

mengembangkan dan memperkuat modal sosial (social capital).

Nilai-nilai modal sosial yang diintegrasikan adalah rasa

memiliki (ownership), kebersamaan, saling percaya (trust) dan

meningkatkan keterlibatan aktif setiap anggota klaster.

b. Pendampingan oleh fasilitator klaster (BDS, LSM atau

universitas)

c. Pengembangan jejaring kerja (net working), yang dibantu baik

oleh FEDEP dan FPESD

d. Pengembangan ekonomi lokal yang partisipatif

e. Kerjasama antara kabupaten/kota secara alami yang terhubung

dari kebutuhan klaster-klaster yang berkembang

4.2. KLASTER DI JAWA TENGAH 13 Ibid. FPESD Jawa Tengah, 2004

Page 43: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

33

Melalui fasilitasi dari FPESD, Propinsi Jawa Tengah sudah

menyeleksi sentra produksi yang akan dikembangkan menjadi klaster

sebanyak 23 klaster. Klaster-klaster tersebut adalah:

1. Klaster kuningan di Kabupaten Pati

2. Klaster knalpot di Kabupaten Purbalingga

3. Klaster kayu bulakan di Kabupaten Sukoharjo

4. Klaster handicraft dan mebel di Kabupaten Blora

5. Klaster keramik di Kabupaten Banjarnegara

6. Klaster tenun troso di Kabupaten Jepara

7. Klaster pariwisata Karimunjawa di Kabupaten Jepara

8. Klaster batik ATBM di Kota Pekalongan

9. Klaster sabut kelapa di Kabupaten Kebumen

10. Klaster batik dan bordir di Rembang

11. Klaster desa wisata Borobudur di Kabupaten Magelang

12. Klaster batik masaran di Kabupaten Sragen

13. Klaster pariwisata Cepogo,Selo dan Sawangan di Kabupaten

Boyolali

14. Klaster pertanian terpadu (hortikultura) di Kabupaten

Klaten

15. Klaster gula kelapa di Kabupaten Banyumas

16. Klaster perikanan di Cilacap

17. Klaster pertanian organik (padi) di Kabupaten Semarang

18. Klaster nilam di Kabupaten Wonosobo

19. Klaster genteng di Kabupaten Grobogan

20. Klaster pertanian hortikutura di Kabupaten Demak

21. Klaster batik lasem di Kabupaten Rembang

22. Klaster pariwisata dieng di Kabupaten Wonosobo

23. Klaster pariwisata dieng di Kabupaten Banjarnegara

Pada masing-masing klaster tersebut sudah terbentuk Forum

Rembuk Klaster (FRK), beberapa diantaranya bahkan telah berbadan

hukum yaitu koperasi. FRK merupakan forum yang melibatkan seluruh

Page 44: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

34

pelaku UMKM klaster yang berkeinginan untuk berkembang. Setiap

FRK didampingi oleh fasilitator klaster. Fasilitator klaster

tersebut dapat berupa lembaga swadaya masyarakat (misalnya BDS)

maupun dari universitas terdekat. Tugas dan fungsi fasilitator

klaster antara lain menfasilitasi FRK untuk menumbuhkan dan

mengembangkan modal sosial, membuat perencanaan partisipatif

klaster (jangka pendek, jangka menengah ataupun sampai jangka

panjang) serta membantu FRK untuk berhubungan dengan pemda/dinas,

swasta, lembaga penelitian, industri terkait dan pihak-pihak yang

terkait dalam pengembangan klaster yang besangkutan.

FRK ini juga memfasilitasi klaster untuk melakukan

perencanaan pengembangan klaster. Perencanaan tersebut dituangkan

dalam proposal rencana pengembangan. Rencana pengembangan klaster

meliputi bidang: permodalan, bahan baku, pengembangan SDM,

pengembangan teknologi, kelembagaan, iklim usaha, pemasaran, HAKI

(hak atas kekayaan intelektual) dan penataan kawasan klaster.

Keragaman bidang pengembangan tergantung dari kebutuhan dan

kemampuan dari masing-masing klaster tersebut.

4.3. PROFIL KLASTER SAMPEL

Dari 23 klaster yang sudah dipilih dan sedang dalam proses

pengembangan tersebut, klaster yang dijadikan sebagai sampel

penelitian adalah 6 klaster, yaitu:

1. Klaster handicraft dan Mebel di Kabupaten Blora

2. Klaster batik lasem di Kabupaten Rembang

3. Klaster tenun troso di Kabupaten Jepara

4. Klaster pertanian hortikultura (jambu air) di Kabupaten

Demak

5. Klaster pertanian organik di Kabapaten Semarang

6. Klaster pertanian terpadu di Kabupaten Klaten

Page 45: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

35

Berikut adalah profil dari masing-masing klaster yang sudah

dikunjungi, adalah:

4.3.1. Klaster handicraft dan Mebel di Kabupaten Blora

a. Gambaran umum

Lokasi klaster handicraft dan mebel Kabupaten Blora

meliputi hampir seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Blora. Ada

beberapa wilayah kecamatan yang pengrajinnya telah mengelompok

dalam sentra industri handicraft dan mebel. Sentra-sentra

tersebut diintegrasikan dalam beberapa klaster yaitu:

i. Klaster handicraft Jepon,

ii. Klaster mebel Jiken

iii. Klaster handicraft Cepu

iv. Klaster mebel Ngawen

v. Klaster mebel Tunjungan

Diantara kelima klaster tersebut penelitian dilakukan di

klaster mebel Jiken. Berdasarkan informasi dari fasilitator

klaster (BDS), disampaikan bahwa secara teknik produksi yang

paling berkembang adalah klaster Jepon. Sedangkan dari sisi modal

sosial yang paling berkembang adalah klaster di Jiken.

Klaster handicraft dan mebel di kabupaten Blora memproduksi

beberapa produk antara lain produk mebel untuk rumah tangga dan

ekspor, produk ukir gembol akar jati, produk handicraft suvenir,

produk handicraft suvenir variasi bubut, produk ukir kaligrafi.

Bahan baku yang digunakan adalah kayu jati khususnya akar

jati. Keunggulan akar jati dibandingkan kayu jati adalah warna

yang relatif sama yaitu warna coklat yang merata. Bahan baku

diperoleh melalui kerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan

(LMDH) yang merupakan pendampingan dari Perhutani. Jenis akar

kayu jati yang digunakan adalah akar jati yang sudah ditebang dan

telah melampaui masa tunggu selama 2 (dua) tahun setelah tebang.

Komposisi bahan baku (merujuk dari produk di Jiken) yaitu:

Page 46: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

36

i. Untuk kualitas ekspor = 30%

ii. Untuk kualitas II = 25%

iii. Untuk kualitas III = 25%

iv. Untuk limbah = 20% digunakan untuk kayu bakar

Pelaku usaha dalam klaster meliputi UMKM pengrajin anggota

klaster, penyedia bahan baku, penyedia jasa angkutan, penyedia

alat produksi dan pemilik toko/showroom. Pelaku UMKM yang sudah

mampu biasanya juga sebagai pemilik toko/showroom.

Menurut informasi dari pengrajin mebel kayu di wilayah

Jiken bahwa kapasitas produksi setiap pengrajin (pekerja) yang

terampil dapat membuat satu buah kursi per hari. Kemampuan

pengrajin ini sangat dipengaruhi jenis produk yang dibuat,

semakin kompleks jenis produknya maka waktu yang dibutuhkan

semakin lama.

Produksi UMKM dalam klaster antara mebel dan handicraft

jumlahnya berimbang sesuai dengan pesanan maupun kebutuhan dalam

satuan unit/stel. Produksi klaster ini lebih banyak dipasarkan

dalam bentuk sudah jadi (finishing), untuk produksi setengah jadi

atau mentahan hanya ditujukan untuk pasar-pasar regional dan

ekspor sesuai dengan pesanan.

Umumnya proses produksi yang dilakukan masih sederhana dan

bersifat individual. Total kapasitas produksi klaster adalah

21.319 unit per tahun (2005). Masing-masing klaster mampu

memproduksi sejumlah 6.686 unit untuk klaster di Jepon, sebanyak

4.710 unit untuk klaster di Jiken, sebanyak 7.382 unit untuk

klaster di Cepu, sebanyak 1.396 unit untuk klaster di Tunjungan

dan 1.145 unit untuk klaster di Ngawen.

b. Potensi Klaster

Klaster handicraft dan mebel ini mempunyai potensi untuk

dikembangkan, ditinjau dari aspek:

i. Ketersediaan bahan baku. Penggunaan bahan baku akar jati

mempunyai keunggulan karena akar jati termasuk limbah

Page 47: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

37

sehingga pemanfaatannya tidak bertentangan dengan program

pelestarian hutan. Selain itu, di wilayah Blora masih

tersedia lahan hutan jati yang cukup luas. Meskipun

demikian, untuk menjamin keberlanjutan klaster ini maka

perlu dicari alternatif bahan baku yang murah dan

berkualitas setara dengan akar jati.

ii. Pemasaran produk handicraft dan mebel dari kabupaten

Blora sebesar 60% adalah untuk pasar lokal yang didisplay

pada toko/show room. Sedangkan 40% lebihnya untuk memenuhi

kebutuhan pasar regional dan ekspor.

Sebagai gambaran, pasar produk yang telah dimasuki oleh

pengusaha mebel di Jiken yaitu:

a). Pasar ekspor

Dilakukan melalui kerjasama PT Stone Wood yang berlokasi

di Jepara. Perusahaan ini memberi pesanan kepada klaster.

Model mebel baik dalam bentuk gambar ataupun barang

contoh diberikan kepada klaster sesuai dengan kapasitas

produksi klaster. Penentuan harga dilakukan oleh klaster.

Setiap bulan seorang pengusaha dapat mengirimkan sebenyak

100 – 180 kursi. Setelah disortir, hanya sekitar 3 buah

yang kembali. Kursi yang ditolak akan diperbaiki oleh

pengusaha dan dikirim kembali ke perusahaan tersebut

dengan harga sama. Ini menunjukkan bahwa pemilihan bahan

baku sudah baik sehingga walaupun ditolak namun dengan

sedikit perbaikan dapat diterima kembali oleh eksportir.

Produk yang diekspor mempunyai kualitas B+ dan sudah

mempunyai sertifikat eco labelling.

b). Pasar lokal

Penjualan kepada konsumen dilakukan melalui pedagang

perantara, dengan kualitas barang kelas II dan III.

Pedagang akan mengambil barang ke pengusaha dan dalam

jangka waktu tertentu akan membayar sesuai dengan barang

Page 48: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

38

yang laku. Pedagang biasanya memberi uang muka kepada

pengusaha.

c. Kebutuhan Pengembangan

i. Teknologi

Industri mebel sangat tergantung pada alat yang

berkualitas. Oleh karena itu investasi pada peralatan

sangat berpengaruh terhadap kualitas produk yang

dihasilkan. Sejauh ini kelompok di wilayah Jiken

menggunakan sebagian besar pinjamannya untuk investasi di

peralatan.

ii. Sumber Daya Manusia

Secara umum keterampilan diperoleh dengan cara magang

kepada pengusaha mebel. Oleh sebab itu keterampilan yang

diperoleh sangat tergantung dari ”guru” tempat di mana

tenaga kerja tersebut magang.

iii. Perluasan pasar

Keunikan dan keseragaman warna bahan baku, menjadi daya

tarik tersendiri untuk pasar ekspor. Oleh karena itu perlu

dilakukan promosi yang intensif ke pasar-pasar ekspor.

iv. Permodalan

Keterbatasan modal menyebabkan UMKM handicraft dan mebel

memasarkan produknya, terutama untuk pasar regional dan

ekspor, melalui pihak ketiga. Akibatnya UMKM tidak

mempunyai akses untuk berhubungan langsung dengan pasar

sehingga perkembangan usahanya pun tidak optimal

(memproduksi hanya berdasarkan pesanan).

4.3.2. Klaster Batik Lasem di Kabupaten Rembang

a. Gambaran umum

Industri batik ini sudah memasuki generasi ke tiga sampai

ke empat. Keterampilan membatik, jalur distribusi maupun jalur

Page 49: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

39

bahan baku merupakan warisan dari pendahulunya yang kemudian

mereka perluas. Pengusaha tersebut biasanya mempunyai rumah

produksi sendiri. Rumah produksi tersebut merupakan tempat

melakukan semua kegiatan pembuatan batik dari hulu ke hilir yaitu

mulai dari membatik, pewarnaan, hingga penjemuran, hingga

pembatikan dikerjakan.

Lokasi klaster batik lasem meliputi 10 desa yang terletak

di dua kecamatan yaitu kecamatan Pancur dan kecamatan Lasem di

Kabupaten Rembang.

Klaster Batik Lasem melibatkan 21 pengusaha batik dengan

memperkerjakan sekitar 1.876 tenaga kerja. Tenaga kerja yang

terlibat sebagian besar adalah wanita. Pembuatan batik tulis ini

disamping dikerjakan di tempat pengusaha, juga dilakukan dengan

cara mengambil pesanan untuk dikerjakan di rumah masing-masing.

Kekuatan daya tarik dari batik tulis Lasem adalah pada

warna yaitu warna merah dan soga. Warna merah yang menjadi ciri

khas batik tersebut berasal dari kandungan air di lokasi, yang

menghasilkan warna yang unik yang tidak bisa direplikasikan di

wilayah lain. Warna merah tersebut akan makin bagus dengan

semakin seringnya batik tersebut dicuci, inilah yang menjadi

keunggulan pewarnaan batik Lasem.

Produk batik lasem yang banyak diproduksi adalah jenis kain

panjang, sarung, selendang dihan. Produk-produk itu kemudian

berkembang penggunaannya untuk bahan kemeja, busana wanita dan

busana muslim. Sedangkan motif batik yang diproduksi adalah jenis

gringsing/gunung, ringgit/sisik, sekar jagad, latohan, parang

(menag, rusak), sido mukti, abang biru, tiga negeri, empat

negeri, kawong, pasiran, es teh, tumpal (main, lerang) latar

(lereng, ireng) dan kricak/watu pecak

Kapasitas produksi setiap rumah produksi sangat beragam

yaitu antara 50 – 200 kain per bulan. Jika pembatikan dilakukan

dalam rumah produksi maka seorang pembatik dapat menyelesaikan

satu kain batik dengan kualitas bagus dalam jangka waktu 1 bulan.

Page 50: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

40

Sedangkan jika pengerjaannya dilakukan di luar rumah produksi

(sub kontrak) seorang pembatik dapat menyelesaikan satu kain

batik dengan kualitas bagus dalam jangka waktu 1,5 bulan.

b. Potensi Klaster

Klaster batik lasem ini mempunyai potensi untuk dikembangkan,

ditinjau dari aspek:

i. Pewarnaan batik dengan merah yang khas, menjadi daya tarik

tersendiri karena tidak dijumpai pada batik di wilayah

lain. Hal ini menjadi nilai tambah bagi produk tersebut.

ii. Pemasaran produk, sudah memiliki jalur pemasaran yang

dirintis sejak lama sehingga secara pasarnya sudah pasti.

Yang menjadi tantangan adalah untuk meningkatkan daya serap

pasar terhadap produk tersebut .

iii. Batik lasem mempunyai nilai historis, beberapa

konsumen tertentu lebih tertarik terhadap nilai historisnya

dari pada harga. Kelompok kunsumen ini akan sangat membantu

untuk meningkatkan nilai batik tersebut.

c. Kebutuhan Pengembangan

i. Sumber daya manusia

Minat generasi muda terhadap batik sangat berkurang,

karena:

a). Banyak lapangan pekerjaan lain yang lebih mudah dengan

upah yang hampir sama

b). Batik membutuhkan keterampilan dan ketelitian dalam

pengerjaannya yang relatif sulit (pengusaha harus memberi

contohnya, baru tenaga kerja bisa melakukannya)

c). Tidak ada gengsi/kebanggaan terhadap pekerjaan

membatik

d). Pada saat masa tanam dan panen, pembatik memilih untuk

bekerja di pertanian karena pekerjaan di bidang pertanian

memang merupakan mata pencarian pokok masyarakat Lasem.

Page 51: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

41

ii. Teknologi

Teknologi yang berkembang dalam klaster batik Lasem relatif

tertinggal jauh dari klaster batik seperti Solo,

Yogyakarta, Pekalongan. Hal ini dapat diketahui dari

pengakuan pengusaha yang mengeluhkan tentang:

a). Teknik pewarnaan yang masih sulit untuk dilakukan,

tidak jarang terjadi gagal pembentukan warna

b). Teknik disain batik yang cenderung tidak berkembang,

motif mengikuti yang telah ada sejak leluhur mereka

iii. Perluasan pasar

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa umumnya pengusaha

batik lasem masih menggunakan jalur pemasaran yang

diwariskan oleh pendahulunya. Jenis jalur pemasaran yang

ada adalah:

a). Galeri sederhana di tempat usahanya (sistem pembayaran

secara tunai), menunggu pembeli hadir

b). Pedagang perantara dengan sistem pembayarannya setelah

barang laku (tempo waktunya sekitar 1 bulan)

c). Pesanan dari beberapa kota (pembayaran sebagian

diawal, dan kemudian dilunasi sesuai barang yang laku,

biasanya jangka waktu 1-2 bulan)

d). Mengikuti pameran

Untuk mendorong peningkatan produktivitas, perluasan pasar

perlu dilakukan baik melalui perluasan wilayah maupun

kreativitas produk yang dipasarkan.

iv. Permodalan

Kebutuhan permodalan yang mendesak adalah untuk pengadaan

bahan baku. Ini diperlukan pada saat UMKM memperoleh

pesanan dalam jumlah besar, maka dibutuhkan dana dalam

jumlah besar dan dalam waktu cepat untuk pengadaan bahan

baku. Pada kondisi tersebut, UMKM tidak mempunyai kapasitas

untuk mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan formal

(perbankan) baik karena kendala jaminan, prosedur yang

Page 52: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

42

relatif lama maupun karena suku bunga/margin yang cukup

tinggi.

4.3.3. Klaster Tenun Troso di Kabupaten Jepara

a. Gambaran umum

Kabupaten Jepara dikenal sebagai daerah yang memiliki

beragam sentra industri, satu diantaranya adalah tenun troso.

Sentra tersebut merupakan usaha mikro, kecil menengah yang

menjadi pilar ekonomi rakyat. Oleh karena itu, sentra memiliki

nilai dan dampak potensial yang strategis untuk dikembangkan

dalam rangka memperkuat perekonomian nasional. Ini disebabkan

karena sentra memiliki akar yang kuat di masyarakat setempat.

Sentra-sentra itulah yang kemudian difasilitasi oleh FPESD untuk

berkembang menjadi klaster. Lokasi klaster adalah di Desa Troso

termasuk yang dalam wilayah Kecamatan Pecangaan Kabupaten Jepara

Sepanjang perjalanannya tenun troso mengalami pasang surut,

demikian juga secara kuantitas perusahaan dan pengrajin tenun

ikat mengalami kenaikan dan penurunan jumlah usaha dan unit

industri. Saat ini jumlah pengrajin tenun troso tercatat 191 unit

usaha.

Kerajinan tenun troso, mampu menghasilkan volume produksi

(tahun 2005) sebanyak 3.108.780 m/tahun dengan nilai produksi

Rp. 54.403.650.000,- dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak

1.816 orang. Skala usaha pengrajin sangat bervariasi dari yang

mempunyai 10 mesin s.d 100 mesin.

Bahan baku tenun troso adalah benang (sutra, katun) dan zat

pewarna yang didapat dari tengkulak. Untuk benang sutra diimpor

dari Cina karena sutra Cina memiliki kualitas yang lebih bagus

dibanding sutra lokal. Untuk benang katun diperoleh dari India.

Produk yang dikembangkan antara lain, taplak meja, sprei/selimut,

gordin akar wangi, kemeja pria, baju wanita dan kain sutra.

Page 53: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

43

Produk tenun troso selain dipasarkan ke Bali dan Jakarta,

juga di ekspor ke Australia dan Spanyol. Permintaan dari pembeli

luar negeri tidak kontinu namun biasanya tergantung musim (pada

musim panas permintaan sarung pantai sangat tinggi) dengan volume

yang cukup besar.

Sistem pembayaran penjualan produk antara lain dilakukan

dengan cara tunai, sistem jatuh tempo (pengrajin dibayar dengan

Bilyet Giro yang dapat dicairkan 2-3 bulan kemudian) dan sistem

konsinyasi. Untuk ekspor, sistem pembayarannya dengan tunai,

bahkan kadang diberikan uang muka sebagai modal awal. Profit

marjin yang diperoleh pengrajin berkisar 10-20%. Untuk motif baru

biasanya dapat diperoleh marjin yang lebih tinggi.

b. Potensi Klaster

Klaster tenun troso ini mempunyai potensi untuk dikembangkan,

ditinjau dari aspek:

i. Klaster tenun troso berorientasi pada konsumen, oleh karena

itu motif dan jenis bahan mengikuti selera pasar. Kemauan

dan kemampuan untuk mengikuti perubahan selera pasar

menjadi modal untuk mampu berkembang dan potensi untuk

berkelanjutan.

ii. Pemasaran produk, sudah memiliki jalur pemasaran yang

dirintis sejak lama sehingga pasarnya sudah pasti. Bahkan

walaupun tidak kontinu, klaster ini mempunyai pasar baik di

dalam maupun di luar negeri. Dalam perkembangnya, pasar

ekspor masih terbuka.

iii. Teknologi penenunan relatif lebih maju dibanding

daerah lain yang memproduksi tenun, yang dapat

diidentifikasi dari kehalusan hasil tenun troso tersebut.

c. Kebutuhan Pengembangan

i. Ketersediaan bahan baku

Page 54: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

44

Bahan baku utama tenun troso adalah benang. Benang ini

sebagian besar diimpor dari Cina. Sedangkan untuk bahan baku

lokal diperoleh dari tengkulak, akibatnya UMKM pada klaster

ini tidak memperoleh kepastian persedian bahan baku. Dengan

demikian harga bahan baku pun relatif tinggi sehingga

mempertinggi biaya produksi. Bahan baku tersebut diperoleh

dari luar Jepara, yaitu dari Bandung, Surakarta dan Surabaya.

ii. Permodalan

Modal usaha UMKM relatif terbatas, hanya mampu membuat proses

produksi dalam waktu singkat. Sedangkan perolehan kembali

(penjualan) membutuhkan waktu lebih lama, sehingga biaya usaha

pun menjadi besar. Akibatnya jika memperoleh pesanan yang

besar dalam waktu singkat, UMKM tidak mampu memenuhi. Ini

berarti kesempatan memperoleh keuntungan dan kesempatan

memperluas pasar pun menjadi terbatas.

iii. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)

Oleh karena tenun troso selalu mengikuti selera konsumen, maka

memerlukan tingkat kreativitas tinggi untuk mendisain motif

maupun produk akhir. Sejauh ini penghargaan terhadap hak cipta

motif dan produk belum dilakukan. Hal ini mengakibatkan

peniruan (penjiplakan) dan persaingan harga yang tidak sehat.

Sebagai contoh: UMKM yang melakukan peniruan menjual dengan

harga yang lebih rendah dari UMKM yang telah menciptakan motif

dan produk baru tersebut. Jika ini dibiarkan, akhirnya UMKM

tidak terdorong untuk berkreasi dan berinovasi, bahkan

cendurung hanya bersaing harga saja. Kondisi tersebut akan

menghantarkan klaster ini menjadi klaster yang statis/tidak

berkembang.

iv. Lingkungan

Disadari bahwa industri tenun menggunakan bahan-bahan kimia

yang dapat mencemari lingkungan, terutama pada penggunaan zat

warna. Saat ini limbah zat warna tersebut sudah dirasakan

menggangu baik oleh masyarakat maupun lingkungan sekitarnya.

Page 55: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

45

Dengan demikian, menjadi kebutuhan yang mendesak untuk

mengelola limbah agar lebih ramah terhadap lingkungan.

4.3.4. Klaster Pertanian Hortikultura (Jambu Air) di Kabupaten

Demak

a. Gambaran umum

Di Kabupaten Demak terdapat beberapa klaster hortikultura yaitu :

i. Jambu Air Merah Delima

ii. Jambu Air Citra

iii. Belimbing

iv. Kelengkeng Dataran rendah

Dari beberapa klaster tersebut yang menjadi prioritas

pengembangan saat ini adalah klaster jambu air merah delima.

Tanaman ini telah dibudidayakan oleh masyarakat sejak kurang

lebih 15 – 20 tahun silam. Lokasi pengembangan jambu air merah

delima tersebar di desa-desa Betokan, Cabean, Tempuran dan

beberapa desa lain di wilayah Kecamatan Demak Kota (ada sekitar 8

desa). Jumlah petani yang mengusahakan jambu air jenis ini kurang

lebih 5.656 orang.

Disamping petani jambu air, terdapat pelaku UMKM lain yaitu

yang menyediakan bibit, pemasaran buah, pengadaan buah/pengepul,

pemasaran buah besar, penyedia Saprotan, dan penyedia pupuk

kandang.

Sebagian besar tanaman jambu air dibudidayakan oleh petani

dengan skala rumah tangga (3-5 batang). Secara keseluruhan, saat

ini terdapat 70.000 tanaman Jambu Air Merah dengan kondisi 60%

siap berbuah dan sisanya tanaman remaja.

Hasil panen buah jambu air dipasarkan ke kota-kota besar,

antara lain ke Jakarta, Surabaya, Semarang, Jepara. Sejauh ini

pemasaran hasil produksi budidaya jambu air dilakukan oleh

pedagang pengumpul. Akibatnya petani tidak mempunyai kesempatan

Page 56: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

46

untuk memperoleh harga yang pantas. Dalam hal ini petani lebih

banyak menerima apa adanya penawaran dari pedagang pengumpul di

daerahnya.

Sistem penjualan hasil dengan pedagang pengumpul dilakukan

dengan cara jual putus. Harga jual per buah jambu air merah

delima adalah antara Rp100,00 –Rp 400,00.

Produktivitas tanaman yang terdapat di lokasi klaster

adalah ± 40%. Tingkat produkvitas tersebut memberi kontribusi

pendapatan setiap musim panen sebesar ± Rp.600.000,00 -

1.000.000,00/pohon.

b. Potensi Klaster

Klaster pertanian hortikultura jambu air merah delima ini

mempunyai potensi untuk dikembangkan, ditinjau dari aspek:

i. Kesesuaian lahan di wilayah klaster mendukung pengembangan

budidaya pertanian jambu air merah delima

ii. Harga jual produk hortikultura relatif baik

dibandingkan produk tanaman pangan lainnya.

iii. Kualitas hasil produksi jambu air ini realtif lebih

baik dibanding dengan daerah lain.

iv. Pertumbuhan permintaan (demand) jambu air menunjukkan

peningkatan, hal ini menjadi indikator minat masyarakat

terhadap hasil jambu air merah delima cukup tinggi.

v. Teknologi yang digunakan untuk melakukan budidaya jambu air

di wilayah klaster relatif sederhana. Ini mendorong hampir

sebagian besar masyarakatnya mempunyai pohon jambu dengan

skala rumah tangga (3-5 batang) ataupun skala pekarangan

(10 – 15 batang). Oleh karena itu, kenaikan harga jual

jambu air akan memberi kontribusi positif terhadap

pendapatan masyarakat/UMKM

c. Kebutuhan Pengembangan

i. Sumber daya manusia

Page 57: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

47

Pengetahuan ataupun keterampilan penanganan buah pasca

panen belum dikuasai dengan baik dan menjadi perhatian

pelaku pembudidaya (UMKM), antara lain dalam hal :

a). cara sortasi buah yang tepat dan baik,

b). tepat dalam memelihara dan menyeleksi buah sebelum

dibungkus,

c). teknologi pasca panen : pengepakan buah dengan kemasan

yang baik sehingga tidak mudah rusak dalam perjalanan dan

tahan lama

Penangan paska panen yang tidak optimal menyebabkan

kualitas buah menurun dan lebih lanjut menyebabkan harga

jual yang diperoleh pun relatif rendah

ii. Pemasaran

Pedagang pengumpul menjadi ujung tombak pemasaran hasil

budidaya. Petani tidak mempunyai akses untuk mengetahui

perkembangan harga jambu air merah delima. Karenanya agar

nilai tambah petani meningkat, maka perlu dibukakan akses

ke pasar. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan

sistem pemasaran bersama. Hal ini selain menaikan posisi

tawar petani, sekaligus untuk menjaga agar harga buah pada

saat panen tidak turun.

iii. Permodalan

Kebutuhan modal untuk budidaya jambu air merah delima

umumnya berasal dari petani sendiri. Untuk meningkatkan

produktivitas pohon jambu air maka perlu dilakukan

pemeliharaan yang intensif. Modal untuk melakukan

pemeliharaan inilah yang perlu memperoleh layanan pinjaman.

Selain itu, kebutuhan dana pinjaman diperlukan untuk

membeli hasil panen jambu air di tingkat petani. Pembelian

hasil panen akan membantu petani memperoleh nilai tambah

dari harga penjualan yang lebih baik (dibandingkan dari

tengkulak)

Page 58: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

48

4.3.5. Klaster Pertanian Organik di Kabupaten Semarang

a. Gambaran umum

Pertanian organik diusahakan di Desa Ketapang, Desa Timpik

dan Desa Sidoharjo, Kabupaten Semarang. Jenis pertanian organik

yang dibudidayakan adalah padi organik.

Untuk mendukung pertanian organik, dikembangkan pula pembuatan

pupuk organik, pestisida organik/agensia hayati, penanaman sayur

organik dan pembuatan jamur tiram. Usaha pendukung ini tersebar

di Desa Ketapang dan Desa Sumowono.

Petani-petani yang tergabung dalam klaster ini telah

membentuk kelompok tani yang diberi nama Al – Barokah. Jumlah

petani yang tergabung dalam kelompok adalah 247 orang dengan luas

areal 45,6 ha. Luas areal tersebut dibagi menjadi 3 wilayah

pertanian yaitu 9 ha untuk pertanian anorganik, 22,6 ha semi

organik dan 14 ha organik. Perbedaan tersebut dilakukan selain

untuk memenuhi permintaan juga belum semua petani bersedia untuk

mengkonversikan ke pertanian organik. Hal ini karena pada

pertanian organik kapasitas produksi akan turun 30% meskipun

harga produk lebih tinggi. Kapasitas untuk produksi padi organik

sebanyak 3 – 5 ton/bulan.

Pemasaran produk cukup lancar yang dilakukan melalui :

a). Penjualan langsung kepada pengecer untuk komoditi padi

dan jamur

b). Kerjasama pihak ketiga kepada pembeli yang berada di

Semarang, Yogyakarta, Jakarta, Bogor dan Bekasi, melalui

Indorice di Bogor, PT. Facet Natra Indonesia, Koperasi

pemerintah dan supermaket. Juga saat ini sudah dilakukan

kerjasama dengan Singapura yaitu pengiriman rutin sebanyak

2 ton per bulan padi organik.

Keuntungan di tingkat petani dengan menjual beras organik

bersekitar ± Rp 150,- per kgnya. Ini lebih baik mengingat untuk

Page 59: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

49

padi anorganik sangat sulit untuk memperoleh keuntungan Rp 50,-

per kg.

Diinformasikan juga bahwa forum rembuk klaster telah

mempunyai Koperasi Primer Serba Usaha dengan nama Gardu Tani Al-

Barokah.

b. Potensi Klaster

Klaster pertanian organik ini mempunyai potensi untuk

dikembangkan, ditinjau dari aspek:

i. Harga produk organik yang relatif lebih tinggi dari produk

sejenis yang anorganik dapat menjadi daya tarik bagi petani

untuk beralih menjadi petani organik.

ii. Makin meningkatnya konsumen yang menggunakan produk

organik. Hal ini didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat

yang meningkat terhadap kesehatan dengan gaya hidup ”back

to nature”.

iii. Produk beras organik sudah memperoleh sektifikat dari

dinas terkait dan pemerintah daerah. Setifikat ini dapat

menjadi pendorong harga jual dari produk organik yang

dihasilkan oleh klaster tersebut.

iv. Pertanian organik yang dilakukan sudah mulai

diintegrasikan dengan sarana produksi pertanian organik

(pupuk, pestisida, bibit dll), yang akan menjamin mutu

produk organik. Dengan demikian budidaya padi dari hulu

sampai hilir dilakukan secara organik

c. Kebutuhan Pengembangan

i. Keterbatasan lahan dan tingkat kesadaran petani

Meskipun wilayah di lokasi bersangkutan mempunyai potensi

untuk melakukan intensifikasi pertanian organik tetapi

tidak mudah mengajak petani untuk beralih cara budidaya

dari anorganik. Oleh karena itu agar petani tertarik, maka

dikembangkan pertanian semi organik.

Page 60: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

50

ii. Bahan baku dan Teknologi

Bahan baku untuk pembuatan pupuk organik masih terbatas

(jumlah ternak terbatas) dan teknologi yang digunakan masih

tradisional. Demikian juga bahan baku dan teknologi yang

digunakan untuk pembuatan pestisida organik atau disebut

sebagai agensia hayati masih terbatas. Meskipun sudah mulai

dirintis laboratorium sederhana untuk pembuatan pupuk dan

pestisida organik, tetapi secara ekonomis masih belum

mencukupi.

iii. Pemasaran

Promosi penggunaan produk organik akan sangat mendorong

pengembangan dan perluasan usaha pertanian organik.

iv. Permodalan

Kebutuhan modal yang mendesak untuk para petani organik

adalah dana sewa lahan agar dapat mencapai skala ekonomis

usaha tani (padi) dan dana pengadaan sarana produksi

pertanian. Saat ini koperasi hanya bisa melayani kebutuhan

pinjaman sebesar Rp. 100.000,-/petani, jumlah tersebut jauh

dari kebutuhan modal sesungguhnya untuk usaha taninya. Oleh

karena itu untuk meningkatkan produktivitas usaha tani

perlu diupayakan peningkatan kapasitas koperasi dalam

memberikan pinjaman.

4.3.6. Klaster Pertanian Terpadu di Kabupaten Klaten

a. Gambaran umum

Klaster di Kabupaten Klaten ini merupakan klaster pertanian

terpadu, yang meliputi kegiatan pertanian, perikanan dan

peternakan. Klaster ini terletak di daerah lereng Gunung Merapi

bagian timur yang memiliki ketinggian 450 – 1000 dpl, dengan

curah hujan rata-rata 195,8 mm/th. Penggunaan lahan yang

dimanfaatkan adalah lahan tegalan/ladang, pekarangan dan hutan.

Page 61: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

51

Lokasi untuk kegiatan pengembangan pertanian terpadu

sebanyak 8 kelompok di 4 kecamatan yaitu Kec. Manis Renggo, Kec.

Kemalang, Kec. Tulung, Kec. Wedi, Kec. Klaten Utara. Pelaku yang

terlibat dalam klaster kurang lebih 300 KK.

Produk tanaman pertanian yang dipilih adalah hortikultura

(cabe, bunga kol, daun bawang). Adapun pertimbangannya adalah

memiliki keuntungan yang tinggi dibandingkan padi, dapat menarik

generasi muda untuk melakukan budidaya hortikultura. Omset cabe

merah di Klaten per tahun mencapai Rp225 miliar. Sedangkan untuk

peternakan dipilih sapi agar dapat menghasilkan pupuk kandang.

Sistem tanam petani saat ini dengan tumpangsari (cabe, bunga kol,

kopi).

Pemasaran produk masih bersifat tidak langsung dengan

melalui perantara (tengkulak, pengepul, pedagang). Penjualan

produk ke tengkulak sangat merugikan petani karena harga selalu

lebih rendah dibandingkan perantara lainnya. Oleh pedagang

perantara produk sayuran dibawa ke Pasar Kramat Jati, Jakarta.

b. Potensi Klaster

Klaster ini mempunyai potensi untuk dikembangkan, ditinjau dari

aspek:

i. Harga jual produk pertanian untuk jenis hortikultura

relatif cukup tinggi, terlebih jika melakukan pengaturan

masa tanam sehingga kelebihan produksi bisa di antisipasi

ii. Kesesuaian lahan untuk pertanian jenis hortikultur

memberi kesempatan untuk meningkatkan produktivitas

penggunaan lahan.

iii. Pasar untuk produk hortikultura masih terbuka,

sehingga memberi kesempatan untuk memperluas areal

budidaya.

iv. Pengelompokan petani merupakan pendekatan yang

strategis untuk mencapai skala ekonomi bagi usaha pertanian

agar dapat mencapai keuntungan yang maksimal. Dengan

Page 62: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

52

demikian, petani akan dapat merasakan nilai tambah dari

hasil usahanya, lebih lanjut akan dapat meningkatkan

kesejahteraannya.

c. Kebutuhan Pengembangan

i. Sumber daya manusia

Minat generasi muda terhadap pertanian sangat berkurang, hal

ini karena:

a). Banyak lapangan pekerjaan lain yang lebih mudah dengan

upah yang lebih baik

b). Resiko usaha di pertanian sangat tinggi

c). Pertanian hanya akan menguntungkan jika mempunyai luas

lahan lebih dari 1 ha, kenyataannya rata-rata kepemilikan

lahan tidak lebih dari 0,25 ha per rumah tangga petani.

d). Tidak ada gengsi/kebanggaan terhadap pekerjaan bertani

ii. Teknologi

Teknologi yang dimaksud adalah:

a). Pengembangan teknologi pengolahan pasca panen

mengingat produk pertanian bersifat mudah rusak/busuk

sehingga perlu segera dilakukan pengolahan agar nilai

tambah yang diperoleh pun meningkat.

b). Teknologi pengendalian hama dan penyakit terpadu, saat

ini kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih rendah

akibat adanya serangan hama dan penyakit.

iii. Pemasaran produk

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pemasaran hasil produk

pertanian mengandalkan keberadaan pedagang pengumpul. Petani

tidak mempunyai akses langsung ke konsumen, tidak mengetahui

perkembangan harga. Akibatnya, saat panen raya harga komoditas

pertanian cenderung menurun. Oleh sebab itu perlu dilakukan

upaya untuk membuka akses petani terhadap informasi pasar agar

diperoleh nilai tambah dan posisi tawar petani juga meningkat.

iv. Kelembagaan petani

Page 63: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

53

Meskipun petani sudah mempunyai forum rembuk klaster, tetapi

sifatnya masih baru sehingga masih membutuhkan upaya penguatan

kapasitas baik forumnya maupun pengelolanya.

v. Permodalan

Sampai saat ini belum ada petani yang mendapat pembiayaan dari

bank. Hal ini dikarenakan perbankan lokal belum bersedia untuk

masuk ke sektor pertanian mengingat resikonya yang tinggi.

Oleh sebab itu, untuk mengembangkan sektor pertanian maka

perlu skim pembiayaan yang dapat mengakomodir resiko di sektor

ini.

Page 64: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

54

BAB V

ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENGEMBANGAN KLASTER

Klaster yang terdapat di Jawa Tengah lebih cenderung

disebut sebagai lokus (tempat) ekonomi, namun demikian lokus –

lokus tersebut berpotensi untuk berkembang menjadi klaster yang

aktif. Untuk mengembangkannya menjadi klaster yang aktif, maka

faktor-faktor penentu klaster aktif - dinamis perlu dikaji lebih

lanjut. Dalam hal ini, faktor-faktor penentu merujuk dari

definisi yang telah diuraikan oleh Michael Porter berupa diamond

model (model berlian) yang oleh JICA dilengkapi dengan faktor

social capital (modal sosial). Berikut ini disampaikan gambaran

tentang faktor penentu yang membentuk klaster, di enam sampel

klaster di Jawa Tengah.

5.1. Faktor-faktor yang dipersyaratkan/input (factor conditions)

Faktor-faktor yang dipersyaratkan antara lain meliputi

ketersediaan bahan baku, teknologi (termasuk mesin dan

peralatan), sumber daya alam, sumber daya manusia dan keuangan

(modal).

Secara garis besar faktor-faktor yang dipersyaratkan pada

klaster yang dikunjungi di Jawa Tengah adalah:

Faktor – faktor yang Dipersyaratkan Jenis Klaster Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif

Batik Lasem – Rembang

a. Bahan baku tergantung pada industri tekstil.

b. Sumber daya alam terutama air merupakan faktor yang mendukung, karena batik Lasem sangat terkenal akan warna merahnya yang tidak bisa dibentuk dengan teknik pewarnaan. Warna tersebut terjadi karena pengaruh air setempat.

a. Masing-masing pengusaha membeli bahan baku ke pemasok sendiri-sendiri. Akan lebih ekonomis jika dilakukan bersama-sama. Hal ini juga akan membantu untuk mengamankan ketersediaan bahan baku (lebih dari satu alternatif sumber bahan baku baik pemasok/pabrik tekstil).

b. Motif tradisional untuk kebutuhan koleksi dan seni

Page 65: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

55

c. Desain masih tradisional.

d. Tenaga kerja terampil terbatas.

e. Modal pinjaman dibutuhkan pada saat-saat pesanan memuncak seperti menjelang hari besar.

memang bagus, tetapi untuk masuk pada pasar komersial haruslah mengakomodir taste dari konsumen luas.

c. Diarahkan untuk mengakses sumber modal formal, karena sumber inilah yang berpeluang untuk membiayai usaha secara berkelanjutan.

Mebel akar jati Jiken – Blora

a. Bahan baku (BB) akar jati banyak tersebar di hutan sekitar lokasi klaster.

b. Teknologi sudah menggunakan mesin.

c. Keterampilan tenaga kerja sebatas dari desain gambar atau contoh produk.

d. Modal pinjaman dibutuhkan untuk membeli alat dan bahan baku.

a. Ketersediaan BB dalam jangka pendek memang berlimpah. Yang perlu diantisipasi adalah ketersediaan BB untuk jangka panjang yang diwujudkan dengan kerjasama formal baik dengan LMDH/perhutani.

b. Meningkatkan keterampilan untuk mendisain produk melalui keterampilan gambar sehingga akan dapat melakukan inovasi maupun kreativitas terhadap produknya.

c. Diarahkan untuk mengakses sumber modal formal, karena sumber inilah yang berpeluang untuk membiayai usaha secara berkelanjutan.

Pertanian padi organik-Semarang

a. Bahan baku seperti bibit dan pupuk organik masih terbatas.

b. Luas tanam untuk intensifikasi pertanian terbatas.

c. Sumber air irigasi sejauh ini mencukupi.

d. Teknologi bercocok tanam dibatasi oleh areal tanam sehingga penggunaan mekanisasi kurang efesien.

e. Modal pinjaman dibutuhkan untuk intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian.

a. Meskipun produk organik mulai dikenal di masyarakat tetapi masih sedikit masyarakat yang berminat untuk menggunakannya sehingga dibutuhkan promosi dan advokasi lebih intensif.

b. Sepanjang petani belum merasakan keuntungan secara signifikan dari pertanian organik, maka penambahan luas tanam dan kemauan untuk bercocok tanam organik pun akan terbatas.

c. Mengingat komoditi padi merupakan kebutuhan dasar masyarakat, dan mengingat

Page 66: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

56

pula lebih banyak petani buruh dan petani lahan sempit maka perlu skim pembiayaan yang khusus untuk mendorong sektor pertanian. Tetapi tetap diarahkan untuk mengakses sumber modal formal, karena sumber inilah yang berpeluang untuk membiayai usaha secara berkelanjutan.

Tenun troso – Jepara

a. Bahan baku utama (benang) masih tergantung pada impor yang sering mengalami kelangkaan.

b. Modal untuk pembelian bahan baku masih kurang.

c. Teknologi yang digunakan masih sederhana berupa alat tenun bukan mesin.

a. Masing-masing pengusaha membeli bahan baku ke pemasok sendiri-sendiri. Akan lebih ekonomis jika dilakukan bersama-sama.

b. Membutuhkan modal pinjaman yang cukup besar untuk membeli bahan baku. Hal ini hanya dapat dipenuhi dari lembaga keuangan bank.

Hortikultura –Demak

a. Budidaya masih dilakukan pada skala rumah tangga.

b. Kondisi iklim dan tanah cocok untuk pengembangan jambu air.

c. Teknologi produksi dan paska panen masih sederhana.

d. Modal yang cukup besar dibutuhkan untuk modal kerja (perawatan tanaman) dan pemasaran bersama.

a. Perlu diberikan pengetahuan produksi (pengaturan waktu tanam) dan paska panen (sortasi,pengemasan produk) untuk meningkatkan pendapatan petani dan peningkatan kualitas.

b. Diarahkan untuk mengakses sumber modal formal.

Hortikultura –Klaten

a. Kondisi lahan dan iklim sesuai untuk pengembangan hortikultura.

b. Luas lahan yang dimiliki oleh petani untuk intensifikasi masih terbatas (kurang dari 1ha).

c. Perlu pengembangan teknologi paska panen dan teknologi pengendalian hama.

a. Diperlukan kerjasama dengan universitas atau dinas pertanian untuk memberikan pengetahuan teknologi paska panen dan pengendalian hama kepada petani.

b. Keterbatasan luas lahan dapat diatasi dengan peningkatan produktivitas tanaman.

Page 67: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

57

5.2. Faktor Permintaan (Demand Conditions)

Faktor permintaan yang dimaksud melibatkan pembeli

(konsumen) dan kualitas pasar. Konsumen dalam hal ini meliputi

konsumen akhir (pengguna langsung), perusahaan pembeli (sub

kontrak), pedagang seperti agen dan grosir. Sedangkan kualitas

pasar yang diharapkan adalah pasar yang menuntut kualitas produk.

Secara garis besar faktor permintaan pada klaster yang

dikunjungi di Jawa Tengah adalah:

Faktor Permintaan Jenis

Klaster Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif Batik Lasem – Rembang

a. Pasar yang meminati Batik Lasem masih terbatas pada konsumen akhir yang memang menyukai batik.

b. Peluang pasar yang lebih luas belum bisa dijajagi mengingat keterbatasan dalam hal faktor-faktor yang dipersyaratkan.

Produk masal untuk pasar yang lebih luas akan menjadi alternatif untuk mengembangkan klaster batik seperti klaster Pekalongan, Solo maupun Yogyakarta.

Mebel akar jati Jiken – Blora

a. Pasar ekspor yang dimasuki merupakan perusahaan pembeli, pengusaha belum mempunyai informasi tentang pasar ekspor.

b. Pasar lokal juga masih tergantung dengan pedagang perantara.

Informasi yang lengkap tentang pasar yang dituju akan membantu untuk mendorong pelaku klaster berinovasi misalnya membuat disain sendiri yang mempunyai peluang diminati konsumen.

Pertanian padi organik-Semarang

Pasar produk organik masih sangat terbuka, mengingat trend hidup sehat back to nature makin disadari terutama oleh masyarakat perkotaan yang memang daya belinya menjangkau harga premium produk tersebut.

Terus meningkatkan teknis produksi agar penurunan produksi untuk produk organik dapat diatasi sehingga akan menarik minat petani untuk beralih kepada budidaya organik.

Tenun troso - Jepara

Pasar tenun troso masih terbuka baik pasar dalam

Informasi yang lengkap tentang pasar yang dituju

Page 68: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

58

negeri maupun pasar ekspor.

akan membantu untuk mendorong pelaku klaster berinovasi mengikuti trend/selera konsumen.

Hortikultura -Demak

a. Pasar jambu air masih terbuka namun belum dapat menjangkau ke daerah yang lebih jauh karena sifat produk yang mudah busuk.

b. Permintaan menunjukkan peningkatan.

Diperlukan akses ke pasar yang lebih luas dan promosi lebih sering untuk mengenalkan jambu air merah delima karena selama ini produk hortikultura yang terkenal dari Demak adalah belimbing.

Pertanian Terpadu- Klaten

a. Pemasaran masih terbuka luas.

b. Pemasaran produk masih tergantung pada pedagang pengepul, sehingga petani tidak mengetahui perkembangan harga.

Diperlukan informasi lengkap tentang pasar (membuka akses informasi pasar kepada petani), sehingga petani mempunyai bargaining position terhadap pedagang perantara.

5.3. Faktor strategi, Struktur perusahaan dan Pesaing (Firm Startegy, structure and rivalry)

Faktor strategi, struktur perusahaan dan pesaing meliputi

jaringan internal antar pelaku UMK maupun dengan pelaku hulu –

hilirnya, tindakan bersama yang dapat mengefisiensikan biaya

produksi maupun untuk memenuhi kelayakan ekonomis, serta derajat

spesialisasi dalam proses produksi usaha yang bersangkutan.

Secara garis besar faktor strategi, struktur perusahaan dan

pesaing pada klaster yang dikunjungi di Jawa Tengah adalah:

Faktor strategi, Struktur perusahaan dan

Pesaing Jenis Klaster

Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif Batik Lasem - Rembang

a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.

b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir belum

a. Jaringan internal klaster perlu diperkuat sehingga dapat menghadapi pasar yang lebih luas.

b. Pelaku hulu-hilir perlu diidentifikasi terutama untuk bahan baku dan jalur

Page 69: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

59

teridentifikasi c. Belum ada tindakan

bersama yang dapat meningkatkan daya saingnya.

d. Persaingan terjadi dalam hal harga sehingga yang berkembang persaingan tidak sehat antar pelaku.

e. Semua proses produksi dilakukan oleh setiap pelaku.

distribusinya. c. Tindakan bersama untuk

bahan baku dan pemasaran perlu dikembangkan agar dapat menurunkan biaya produksi dan pemarasan sehingga meningkatkan daya saing produknya.

d. Diarahkan untuk bersaing dalam hal kualitas dalam pasar bebas (bukan persaingan antar pelaku UMKM dalam klaster).

e. Spesialisasi pada proses produksi akan meningkatkan kapasitas produksi. Ini dapat dilihat di klaster Batik yang sudah maju ada bagian pewarnaan, pemotongan, penjahitan dst.

Mebel akar jati Jiken - Blora

a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.

b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir belum teridentifikasi.

c. Belum ada tindakan bersama yang dapat meningkatkan daya saingnya.

d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.

e. Semua proses produksi dilakukan oleh setiap pelaku.

a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah cukup kuat karena jumlahnya relatif masih sedikit. Perlu diantisipasi ketika klaster ini pelakunya berkembang.

b. Jaringan internal antar pelaku antar klaster yang sejenis belum ada, setiap wilayah berkembang sendiri-sendiri meskipun dalam cakupan pendampingan satu Business Development Service (BDS).

c. Pelaku hulu-hilir perlu diidentifikasi terutama untuk bahan baku dan jalur pemasaran sehingga terbuka peluang yang lebih besar.

d. Tindakan bersama untuk bahan baku dan pemasaran perlu dikembangkan agar dapat menurunkan biaya produksi dan pemarasan sehingga meningkatkan daya saing produknya.

e. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.

Page 70: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

60

f. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan spesialisasi dalam proses produksi untuk efesiensi biaya dan waktu dengan mengembangkan standar kualitas tiap prosesnya.

Pertanian padi organik-Semarang

a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.

b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir belum teridentifikasi.

c. Tindakan bersama sudah dirintis melalui penyediaan bibit, pupuk dan pestisida organis serta penjualan produk dalam bentuk koperasi.

d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.

e. Budidaya padi dilakukan oleh petani, penjualan dilakukan oleh koperasi, sedangkan untuk bibit, pupuk, pestisida masih bersifat bantuan teknis dari pengurus (belum dalam bentuk badan usaha sendiri).

a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah cukup kuat karena jumlahnya relatif masih sedikit. Perlu diantisipasi ketika klaster ini pelakunya berkembang.

b. Jaringan internal antar pelaku antar klaster yang sejenis sudah ada, karena pertanian ini diperluas tidak saja di desa setempat

c. Pelaku hulu-hilir perlu diidentifikasi terutama untuk jalur pemasaran. Bila jumlah pelaku yang sedikit masih bisa diatasi, tetapi dalam jumlah besar perlu diantisipasi mengingat jalur pemasaran beras telah dikuasai oleh pihak tertentu.

d. Tindakan bersama pemasaran harus terus diperkuat untuk mengatisipasi produksi yang meningkat.

e. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.

f. Dikembangkan diversifikasi produk yang berkelanjutan dengan memperhatikan pola tanam (bukan musiman).

Tenun troso - Jepara

a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.

b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir belum

a. Jaringan internal klaster perlu diperkuat sehingga dapat meningkatkan efisensi produksi.

b. Pelaku hulu-hilir perlu diidentifikasi terutama untuk bahan baku dan jalur

Page 71: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

61

teridentifikasi. c. Belum ada tindakan

bersama yang dapat meningkatkan efisensi produksi.

d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.

e. Semua proses produksi dilakukan oleh masing-masing pelaku.

distribusinya. c. Tindakan bersama untuk

pembelian bahan baku perlu dikembangkan agar dapat menurunkan biaya produksi.

d. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.

Hortikultura –Demak

a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.

b. Jaringan internal dengan pelaku hulu-hilir sudah ada namun masih bekerja secara individual.

c. Belum ada tindakan bersama yang dapat meningkatkan daya saing.

d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.

e. Budidaya jambu air dilakukan oleh petani.

a. Jaringan internal klaster perlu diperkuat sehingga dapat meningkatkan daya saing.

b. Perlu kerjasama diantara pelaku hulu-hilir.

c. Tindakan bersama untuk pemasaran perlu dikembangkan agar dapat meningkatkan daya saing.

d. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.

Pertanian Terpadu- Klaten

a. Jaringan internal antar pelaku UMKM sudah ada dalam bentuk Forum rembuk klaster.

b. Jaringan internal dengan hulu (penyedia saprodi) sudah ada.

c. Belum ada tindakan bersama yang dapat meningkatkan daya saing.

d. Persaingan terjadi dalam hal kualitas sehingga produk cukup kompetitif.

e. Budidaya padi dilakukan oleh petani, penjualan dilakukan oleh koperasi, sedangkan untuk bibit, pupuk,

a. Jaringan internal klaster perlu diperkuat sehingga dapat meningkatkan daya saing.

b. Kerjasama dengan pelaku hulu (penyedia saprodi) perlu ditingkatkan.

c. Tindakan bersama untuk pemasaran perlu dikembangkan agar dapat meningkatkan daya saing.

d. Persaingan atas dasar kualitas harus terus dipertahankan agar produk dapat masuk pasar yang lebih luas.

Page 72: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

62

pestisida masih bersifat bantuan teknis dari pengurus (belum dalam bentuk badan usaha sendiri).

5.4. Faktor Industri-industri terkait dan pendukung

(Related and Supporting Industries)

Faktor Industri-industri terkait dan pendukung yang

dimaksud melibatkan pemerintah dan instansi-instansi terkait baik

pusat maupun daerah dan lembaga pendukung. Lembaga pendukung ini

meliputi lembaga penelitian seperti universitas atau institusi

terkait, BDS dan asosiasi.

Secara garis besar faktor Industri-industri terkait dan

pendukung pada klaster yang dikunjungi di Jawa Tengah adalah:

Faktor Industri-industri terkait dan pendukung Jenis Klaster Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif

Batik Lasem - Rembang

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) di tingkat provinsi dan Forum for Economic Development and Employment Promotion (FDEP) di tingkat kabupaten.

b. Keterlibatan BDS untuk setiap klaster juga sudah tersedia, terutama untuk BDS pendamping dalam pemberdayaan masyarakat

c. Sudah dijajagi dengan institusi penelitian seperti Universitas maupun instutusi swasta seperti Institute

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan sekaligus menjadi pendorong untuk melakukan/membentuk forum rembuk klaster. Umumnya pengusaha sulit disatukan terutama jika pengusaha tersebut sudah besar dan kuat, peran pemerintah dapat ”memaksa” pengusaha tersebut untuk bergabung sehingga transfer pengalaman dapat diciptakan.

b. Perlu dikembangkan BDS pembeli yaitu BDS yang dapat berfungsi sebagai buyer, agar arah pengembangan klaster lebih jelas.

Page 73: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

63

Pluralism Indonesia (IPI.)

d. Belum terlihat keterlibatan dengan asosiasi usaha.

c. Mengembangkan lembaga penelitian yang berorientasi pasar (bukan hanya akademis) sehingga dapat menunjang perkembangan klaster.

d. Menghadirkan asosiasi sehingga dapat memperoleh informasi pasar yang lebih luas, fasilitas promosi dsb.

Mebel akar jati Jiken - Blora

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten.

b. Keterlibatan BDS untuk setiap klaster juga sudah tersedia, terutama untuk BDS pendamping dalam pemberdayaan masyarakat.

c. Belum terlihat keterlibatan dengan asosiasi usaha.

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif.

b. Perlu dikembangkan BDS pembeli yaitu BDS yang dapat berfungsi sebagai buyer, agar arah pengembangan klaster lebih jelas.

c. Menghadirkan asosiasi sehingga dapat memperoleh informasi pasar yang lebih luas, fasilitas promosi dsb.

Pertanian padi organik-Klaten

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten

b. Keterlibatan BDS untuk setiap klaster juga sudah tersedia, terutama untuk BDS pendamping dalam pemberdayaan masyarakat.

c. Sudah dijajagi dengan institusi penelitian seperti Universitas.

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif

b. Perlu dikembangkan BDS pembeli yaitu BDS yang dapat berfungsi sebagai buyer, agar arah pengembangan klaster lebih jelas.

c. Mengembangkan lembaga penelitian yang berorientasi pasar (bukan hanya akademis) sehingga dapat menunjang perkembangan klaster.

Tenun troso - Jepara

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait

Page 74: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

64

terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten.

b. Keterlibatan BDS untuk setiap klaster juga sudah tersedia, terutama untuk BDS pendamping dalam pemberdayaan masyarakat.

c. Sudah dijajagi dengan asosiasi Mode Indonesia untuk membina mengenai disain.

sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif.

b. Keterlibatan pemerintah daerah agar tenun troso mendapatkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

c. Meningkatkan kerjsama dengan perguruan tinggi atau dinas terkait untuk mengatasi permasalahan limbah.

d. Kerjasama dengan asosiasi perlu ditingkatkan.

Hortikultura -Demak

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten.

b. Keterlibatan BDS pada klaster sudah ada dan sangat aktif mendorong pemberdayaan masyarakat.

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif.

b. Perlu kerjasama dengan perguruan tinggi untuk mengembangkan teknologi paska panen.

Pertanian Terpadu- Klaten

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi-instansi terkait serta stakeholder telah terwujud dalam bentuk FPESD di tingkat provinsi dan FDEP di tingkat kabupaten.

b. Keterlibatan BDS pada klaster sudah tersedia dan sangat aktif mendorong pemberdayaan masyarakat.

a. Keterlibatan pemerintah dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif.

b. Perlu kerjasama dengan perguruan tinggi untuk mengembangkan teknologi paska panen dan pengendalian hama.

5.5. Faktor modal sosial (Social capital)

Yang dimaksud dengan modal sosial adalah nilai-nilai

kemanusian dan kemasyarakatan seperti saling percaya, jujur,

Page 75: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

65

ikatan internal dan sejenisnya. Modal sosial ini dapat

ditumbuhkan melalui tindakan kolektif/bersama untuk kepentingan

bersama.

Di Indonesia modal sosial sangat strategis untuk membangun

klaster yang utuh. Ini mengingat klaster yang banyak tumbuh masih

terpisah, ditandai dengan persaingan tidak sehat diantara pelaku

usaha, hubungan hulu - hilir yang eksploitatif dan tingkat

kepercayaan yang rendah diantara mereka. Agar klaster dapat

bergerak aktif maka modal sosial perlu dilakukan revitalisasi.

Hal ini dapat dilakukan lebih cepat jika dalam klaster terdapat

pemimpin yang dapat diterima dan dipercaya oleh setiap pihak yang

berkepentingan.

Secara garis besar faktor modal sosial pada klaster yang

dikunjungi di Jawa Tengah adalah:

Faktor Modal Sosial Jenis Klaster Kondisi saat ini Menuju Klaster Aktif

Batik Lasem - Rembang

Ada keunikan dalam klaster Batik Lasem yaitu keterlibatan etnis cina dalam rembuk klaster. Pada satu sisi ini dapat menjadi pendorong jiwa entrepreneur bagi pengusaha lokal dengan menimba pengalamam dari pengusaha etnis cina yang terkenal sangat ulet dalam berusaha. Pada sisi lain, tingkat kepercayaan diantara pengusaha masih belum tumbuh. Ini dapat diketahui, pertemuan rembuk klaster akan ramai dihadiri oleh pengusaha jika pemerintah hadir pada acara tersebut, demikian juga masih subur perasaan curiga disainnya akan ditiru, persaingan harga juga terjadi diantara mereka.

Kemauan untuk tergabung dalam forum rembuk klaster dan koperasi harus terus diperkuat dengan menumbuhkembang- kan rasa saling percaya dan memiliki diantara pelaku. Mengingat peran pemerintah mampu mengkondisikan bergabungnya semua pengusaha, maka untuk tahap awal perannya perlu terus ditingkatkan sebagai fasilitator sampai rasa percaya tersebut dapat ditumbuhkan dan menemukan pemimpin yang dapat diterima oleh semua pihak.

Mebel akar jati Jiken – Blora

Modal sosial sudah tumbuh cukup kuat karena awalnya memang difasilitasi

a. Kepemimpinan Pak Kasio diakui oleh kelompoknya sehingga dapat menjadi

Page 76: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

66

berdasarkan kelompok. Peran pemimpin yang kuat sangat berpengaruh. Pada wilayah ini Bapak Kasio sebagai pelopor dalam industri mebel menjadi tokoh yang dihormati. Kelompok yang terbentuk awalnya adalah pekerja di tempat pak Kasio kemudian mandiri sebagai pengusaha. Pak kasio menetapkan aturan kelompok untuk menghadapi persaingan yang tidak sehat antara lain: ? Harga tidak boleh

lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkannya.

? Setiap pesanan yang datang akan dibagi kepada kelompoknya sesuai dengan kapasitas produksi per kelompok.

? Bahan baku harus memenuhi criteria pemesan (30% bahan baku dari total merupakan kualitas ekspor).

? Pengiriman pesanan dilakukan secara kolektif untuk menghemat biaya transportasi.

agen penyatu dalam klaster yang menumbuhkan kembali modal sosial.

b. Untuk jangka panjang

perlu untuk mempersiapkan regenerasi pimpinan agar modal sosial pun makin menguat.

Pertanian padi organik-Klaten

Modal sosial juga sudah ada, hal ini karena gerakan padi organik dilakukan dengan pendekatan kelompok dan menempatkan Bapak Basiron sebagai tokoh masyarakat untuk memulai perubahan dengan beralih ke pertanian organik.

Masyarakat agraris mempunyai modal sosial yang lebih tinggi dari pada masyarakat industri. Ini karena sifat pekerjaan agraris yang membutuhkan kerjasama antar petani dan sangat tergantung dengan alam membuat ikatan internal lebih terasa. Misalnya mereka harus bersatu dalam melakukan penanggulangan hama dan penyakit kalau tidak maka hama dan penyakit justru akan menghancurkan area

Page 77: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

67

tanam semua petani.

Tenun troso – Jepara

Modal sosial dalam klaster belum kuat, karena klaster masih relatif baru dari yang sebelumnya berupa sentra.

Pelaku usaha dalam klaster harus bersatu menumbuhkembangkan rasa kebersamaan untuk meningkatkan efisiensi produksi, terutama dalam pembelian bahan baku bersama. Untuk itu peran fasilitator dalam hal ini sangat penting untuk menyatukan para pengusaha.

Hortikultura –Demak

Modal sosial dalam klaster sudah cukup kuat, karena dukungan pemerintah daerah dan fasilitator klaster yang cukup kuat.

Pelaku usaha dalam klaster harus bersatu untuk meningkatkan daya saing, terutama dalam pemasaran bersama. Peran fasilitator perlu ditingkatkan untuk menyatukan petani.

Pertanian Terpadu- Klaten

Modal sosial dalam klaster belum kuat, karena klaster masih relatif baru.

Pelaku usaha dalam klaster harus bersatu untuk meningkatkan daya saing, terutama dalam pemasaran bersama. Untuk itu peran fasilitator dalam hal ini sangat penting untuk menyatukan para pengusaha.

Demikian dinamika faktor-faktor penentu klaster yang ada di

6 (enam) klaster Jawa Tengah yang dikunjungi. Perhatian

pemerintah dan instansi terkait sangat mendukung pertumbuhan dan

perkembangan klaster baik dalam hal kebijakan, program prioritas

maupun infrastruktur yang dibutuhkan. Hal ini akan menjadi daya

tarik bagi industri besar untuk bergabung dalam klaster dan

menggerakan klaster menjadi aktif-dinamis.

Page 78: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

68

BAB VI KAJIAN PEMBIAYAAN UNTUK PENGEMBANGAN KLASTER

Penyaluran pembiayaan kepada pelaku UMKM dilakukan secara

langsung maupun tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya

lembaga keuangan secara langsung memberikan layanan pembiayaan

kepada UMKM yang bersangkutan. Proses pembiayaan seperti

identifikasi, penilaian dan pemilihan calon nasabah dilakukan

oleh lembaga keuangan sendiri. Sedangkan cara tidak langsung

dilakukan melalui lembaga keuangan yang hanya berfungsi sebagai

sumber dana untuk disalurkan kepada pihak ketiga (lembaga

penyalur). Proses penilaian calon nasabah sampai pencairan dana

dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga ini dapat diwakili baik

oleh perbankan ataupun Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).

6.1. SUMBER-SUMBER DANA DAN POLA PENYALURANNYA

6.1.1 Sumber dana

Pelaku UMKM yang berada di klaster di Jawa Tengah umumnya

sudah memperoleh akses pembiayaan baik dari sumber lembaga

keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank (termasuk dana-

dana APBN/APBD atau donor). Beberapa sumber dana dari perbankan

ternyata merupakan penempatan dana dari sumber non perbankan

seperti dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau

anggaran dinas teknis terkait.

Perbankan yang terlibat dalam pembiayaan klaster antara

lain Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Pembangunan Daerah

(BPD) yang dananya berasal dari penempatan dana dari sumber

Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan

lembaga/institusi non perbankan yang membiayai UMKM klaster

adalah koperasi, supplier (pemasok) dan dinas koperasi. Terdapat

dua sumber dana koperasi yaitu non perbankan (anggota

Page 79: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

69

koperasi/dinas) dan dari perbankan (berupa pinjaman). Sumber dana

dinas koperasi berupa dana Modal Awal Padanan (MAP) yang

disalurkan baik melalui koperasi, atau bank maupun Lembaga

Keuangan Mikro (LKM).

6.1.2. Pola penyaluran dana

Penyaluran dana ke pelaku klaster yang sudah terjadi di

lapangan umumnya bersifat individual. Artinya pelaku individu

UMKM sendiri yang mengajukan kredit, melalui prosedur kelayakan

dan menyerahkan jaminan aset hak milik dan atau usahanya.

UMKM klaster yang telah mengakses sumber dana dari

perbankan adalah pelaku yang memiliki usaha sudah cukup lama

berkembang (bahkan beberapa di antaranya sudah melewati generasi

ke generasi) dan mampu memberikan jaminan aset.

Pola penyaluran dana kepada UMKM pada klaster-klaster di Jawa

Tengah secara garis besar dapat disampaikan 5 (lima) pola berikut

terms and conditionsnya yaitu:

a. Pola -1 Contoh klaster adalah klaster batik Lasem di Kabupaten Rembang.

Perbankan yang terlibat adalah Bank Rakyat Indonesia.

Terms and conditions kredit

1. Jenis Kredit Kredit modal kerja dan atau Investasi

2. Plafon kredit Tergantung nilai agunan (nilai 70%-80% dari nilai agunan) dalam bentuk rekening koran

BANK Pelaku UMKM

Kredit

Page 80: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

70

3. Suku bunga Pasar 4. Jangka waktu kredit 1 tahun 5. Waktu tenggang/GP - 6. Angsuran Sekaligus pada saat

jatuh tempo 7. Agunan Fisik 8. Kinerja Kredit Lancar

b. Pola -2

Contoh klaster adalah klaster mebel di Kabupaten Blora. Pada

pola- 2, dana dari APBD ditempatkan ke Bank Pembangunan Daerah

(BPD). Kemudian BPD menyalurkan ke Badan Kredit Kecamatan (BKK).

BKK langsung memberikan kreditnya langsung ke pelaku UMKM yang

sudah terseleksi. BKK ini berfungsi sebagai channeling bank.

Terms and conditions kredit

1. Jenis Kredit Kredit modal kerja dan atau investasi

2. Plafon kredit 2 juta – 20 juta

3. Suku bunga Di bawah bunga pasar

4. Jangka waktu kredit

Maksimal 3 tahun

5. Waktu tenggang/GP

Maksimal 3 bulan

6. Angsuran Bulanan 7. Agunan Tidak mutlak 8. Kinerja kredit Lancar

c. Pola-3

Contoh klaster adalah pertanian organik di Kabupaten Semarang.

Pada pola- 3, dana dari APBD ditempatkan ke Bank (misalnya:

BPD). Kemudian bank menyalurkan ke Koperasi Sekunder. Koperasi

sekunder ini selanjutnya menyalurkan pembiayaan ke koperasi

APBD II

Bank (BPD) Pelaku

UMKM

Penempatan dana

Kredit

BKK Channeling

Page 81: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

71

primer. Akhirnya koperasi primer inilah yang menyalurkan

pembiayaan langung ke pelaku UMKM yang dalam hal ini adalah

anggota koperasi.

Terms and conditions kredit

1. Jenis Kredit Kredit modal kerja (1)

Kredit modal kerja (2)

2. Plafon kredit

25 juta 200 ribu

3. Suku bunga Di bawah pasar Pasar 4. Jangka waktu

kredit 2 tahun Satu kali siklus

produksi 5. Waktu

tenggang/GP Sesuai dengan siklus produksi (pertanian)

Sesuai dengan siklus produksi (pertanian)

6. Angsuran Sekaligus setelah panen

Sekaligus setelah panen

7. Agunan - - 8. Kinerja Kredit

Lancar Lancar

d. Pola – 4

Contoh klaster adalah klaster tenun troso di Kabupaten Jepara.

Pada pola - 4, perbankan memberikan kreditnya ke pemasok

(supplier). Kemudian pemasok ini kemudian memberikan kredit dalam

bentuk natura (non capital) kepada UMKM yang membutuhkan

berdasarkan kapasitas pesanan produksinya. Dengan demikian,

pemasok mempunyai kepastian tentang pembayaran dari UMKMnya.

LKM LKM Anggota/UMKM

Supplier

UMKM

Kredit Kredit 2

Kredit

BANK

Channeling

Bank Kredi

Page 82: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

72

Terms and conditions kredit 1. Jenis Kredit Natura untuk modal kerja

(bahan baku) 2. Plafon kredit Sesuai jumlah pesanan 3. Fee 10% per bulan 4. Jangka waktu kredit

1 bulan

5. Waktu tenggang/GP

-

6. Angsuran Sekaligus 7. Agunan (belum ditentukan) 8. Kinerja kredit Lancar

e. Pola – 5 MAP (Modal Awal Padanan) Contoh klaster adalah klaster batik Lasem di Kabupaten

Rembang. Pada pola - 5, sumber dana MAP (modal awal padanan)

berasal dari Kementerian Koperasi dan UKM. Dana tersebut

disalurkan baik melalui koperasi (primer maupun sekunder)

ataupun lembaga keuangan (bank maupun non bank). Kondisi dan

persyaratan yang berlaku untuk MAP ini tergolong sebagai

sumber dana komersial.

LKM

UMKM MAP

Bank

Page 83: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

73

Terms and conditions kredit 1. Jenis Kredit Modal kerja dan atau

investasi 2. Plafon kredit - 3. Suku bunga Pasar 4. Jangka waktu kredit

-

5. Waktu tenggang/GP - 6. Angsuran Bulanan 7. Agunan Fisik

6.2. Kebutuhan Pembiayaan untuk UMKM

Hasil wawancana dan diskusi baik dengan pelaku UMKM pada

klaster di Jawa Tengah, dengan narasumber fasilitator klaster,

maupun dengan departemen-departemen yang terkait dalam

pengembangan klaster, maka diperoleh kebutuhan pembiayaan yang

diharapkan oleh pelaku UMKM. Kebutuhan pembiayaan tersebut

mengedepankan tentang terms and conditions (kondisi dan

persyaratan) yang dapat membantu pengembangan usaha yaitu:

6.2.1. Masukan dari pelaku UMKM

Beberapa usulan/saran untuk pembiayaan dalam klaster dari

pelaku UMKM klaster di Jawa Tengah, antara lain:

a. Pembiayaan yang dibutuhkan umumnya akan digunakan sebagai

modal kerja (pembelian bahan baku, bibit, perawatan tanaman

dll).

b. Pola pembiayaan sebaiknya disesuaikan dengan sektor

ekonominya (sektor pertanian, sektor industri dll) karena

ternyata masing-masing sektor mempunyai ciri khas.

c. Sedangkan pembiayaan yang dibutuhkan oleh kelompok/klaster

digunakan antara lain untuk :

i. membeli hasil panen dari petani untuk dijual bersama

sehingga dapat meningkatkan bargaining position petani

ii. untuk meningkatkan produksi.

Page 84: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

74

d. Sebagian besar klaster akan merintis Lembaga Keuangan Non

Bank yaitu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) antara lain BMT.

Dengan terbentuknya LKM tersebut diharapkan mempermudah

pelaku UMKM untuk mengakses permodalan karena dibandingkan

bank persyaratannya lebih mudah, prosesnya cepat, dan

jangka waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

e. Persyaratan pinjaman yang diinginkan antara lain :

i. Terdapat grace period

ii. Pinjaman berupa stand by loan/rekening koran

iii. Pinjaman hendaknya diberikan melalui kelompok

6.2.2. Masukan dari Institusi dan Departemen Terkait

Beberapa usulan/saran untuk pembiayaan bagi UMKM dalam

klaster dari departemen dan institusi pemerintah yang terlibat

dalam pengembangan klaster, antara lain:

a. Sebaiknya pola pembiayaan tidak sama untuk semua jenis

klaster. Untuk klaster spesifik perlu juga dipertimbangkan

keterkaitannya dengan kebijakan stakeholders yang lain

(instansi-instansi yang terkait dalam klaster).

b. Pada sektor industri (dalam hal ini pada kasus industri

rotan), kebutuhan pembiayaan yang dirasakan adalah untuk

pembelian bahan baku. Agar industri rotan dapat berkembang

maka kesinambungan penyedian bahan baku perlu dipenuhi.

Industri ini paling tidak membutuhkan bahan baku untuk proses

produksi selama 2 (dua) tahun. Kebutuhan bahan baku ini

memerlukan pembiayaan sebesar kurang lebih Rp2-3 milyar.

Sejauh ini telah diupayakan untuk mengakses pembiayaan dari

perbankan (Mandiri maupun BRI). Namun skim pembiayaan

komersial yang ada belum dapat mengakomodir jumlah pembiayaan

yang besar. Hal ini dikarenakan kredit komersial yang tersedia

per individu terbatas jumlahnya. Untuk mengatasi hal tersebut,

Page 85: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

75

Asosiasi mengajak anggota untuk mengakses bank secara bersama-

sama agar terpenuhi jumlah pembiayaan yang dimaksud.

c. Disarankan pola pembiayaan di sektor pertanian harus mempunyai

mekanisme yang jelas dan transparan dengan sistem bagi hasil

(mengingat usaha pertanian sangat tergantung dengan kondisi

cuaca dan faktor eksternal lainnya) serta ada keseimbangan

pembiayaan dari hulu ke hilir. Disamping itu perlu

diperhatikan pula ketepatan waktu pemberian kredit, jumlah

yang dibutuhkan serta pembayaran kredit dapat dilakukan

setelah panen.

d. Untuk menentukan pola pembiayaan pada klaster, maka perlu

dilakukan analisa rantai nilai dan kompetensi inti. Agar

klaster dapat berkembang maka pembiayaan pada industri inti

merupakan pilihan yang direkomendasikan. Dalam hal pemberian

pembiayaan melalui inti, maka fungsi bank hanya sebagai

channeling agent.

e. Namun demikian, pembiayaan melalui inti dikuatirkan akan

mengakibatkan distorsi. Oleh sebab itu, diusulkan pembiayaan

dilakukan melalui sebuah forum/holding yang terbentuk dalam

klaster yang memang diperuntukkan bagi kebutuhan

mengembangkan klaster yang bersangkutan. Dengan demikian tidak

terjadi tarik-menarik kepentingan antar pelaku-pelaku terkait.

f. Oleh karena inti pengembangan klaster adalah kebersamaan, maka

pembiayaan untuk klaster diusulkan dengan cara pembiayaan

bersama, misalnya untuk melakukan pembelian bahan baku

bersama, pemasaran produk bersama.

g. Sebenarnya pola pembiayaan untuk individu dan untuk klaster

tidaklah jauh berbeda, yang perlu ditingkatkan justru pada

aspek mekanisme penyalurannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan

adalah:

1. Kemudahan untuk mengakses pola pembiayaan tersebut, baik

prosedurnya, agunannya dan dengan cara yang informal.

Misalnya untuk kebutuhan dana yang relatif kecil (Rp1-3

Page 86: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

76

juta), apakah harus melalui perbankan atau cukup ke lembaga

keuangan lain yang mempunyai fungsi sebagai lembaga

pembiayaan UMKM.

2. Kesulitan penyediaan agunan berupa sertifikat tanah, dapat

difasilitasi dengan keterlibatan instansi terkait.

Misalnya: petani di pedesaan umumnya tanah garapannya tidak

memiliki sertifikat, maka BPN dapat dilibatkan untuk

menfasilitasi agar tanah garapan memperoleh sertifikat

sehingga dapat digunakan untuk jaminan.

3. Sebaiknya juga dipertimbangkan tentang pola jaminan kredit.

Jika kredit (pembiayaan) yang diberikan memang memiliki NPL

yang rendah (maksimal 5%) bisa dipertimbangkan untuk

memperoleh pembiayaan dengan bunga rendah.

h. Bentuk jaminan hendaknya diperluas tidak hanya jaminan fisik,

tetapi berlaku juga dalam bentuk avalis, inventori, purchasing

order dan lainya sehingga memberi ruang gerak bagi UMKM untuk

dapat memanfaatkan pola pembiayaan yang disediakan.

i. Perlu adanya kontrol dari pihak perbankan terhadap pembiayaan

yang telah disalurkan. Kontrol yang intensif mengurangi risiko

kemacetan kredit. Sebagai contoh pembiayaan yang dilakukan

oleh bank keliling atau BPR cenderung mempunyai tingkat

kemacetan yang rendah. Hal ini dikarenakan mereka melakukan

pengawasan secara periodik dan berkelanjutan.

j. Perlu adanya sosialisasi aktif tentang informasi perbankan

kepada UMKM mengingat tidak banyak UMKM yang tahu tentang bank

dan pola-pola pembiayaan yang tersedia.

k. Untuk mendukung pengembangan klaster, Departemen Perindustrian

juga mengembangkan pola pembiayaan yang melibatkan lembaga

bukan bank (terlampir). Dasar pertimbangannya adalah lembaga

bukan bank lebih mudah diakses oleh IKM/UMKM, karena

prosedurnya mudah dan lokasinya dekat dengan pelaku.

Page 87: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

77

6.3. Usulan Pembiayaan Untuk Klaster

6.3.1. Dasar Pertimbangan

a. Pada pembiayaan atau kredit untuk klaster yang harus

menjadi perhatian utama adalah bagaimana kredit yang

diberikan dapat memotivasi, meningkatkan

enterpreneurship, meningkatkan kualitas usaha (produknya)

sehingga pada akhirnya dapat berkembang dan menjadi

pendorong pertumbuhan ekonomi.

b. Sebagai gambaran adalah : Pada saat klaster

(individu/kelompok pengusaha) ini produknya di jual di

pasar kendala yang dihadapi adalah pada umumnya mereka

tidak berhubungan langsung dengan pasarnya, mereka hanya

sesekali kontak dengan pasar. Ketika produknya tidak laku

yang mereka lakukan adalah menurunkan harga tanpa mau

untuk melihat penyebab produknya tidak laku. Pada sisi

pembeli, mereka juga sulit untuk berhubungan dengan

pengusaha karena pada umumnya produk yang ditawarkan

kualitasnya sangat rendah sehingga tidak memenuhi

syarat/standar produknya. Sedangkan pada sisi supplier,

kompetensinya menjadi kendala karena dalam penyediaan

bahan baku sering kali tidak kontinu (dalam jumlah dan

jenis), tidak ada standar dan dengan harga yang

fluktuaktif. Di lain pihak, para pengusaha ini tidak

mempunyai pengetahuan dan pengalaman untuk menilai bahan

baku yang akan dibeli dari supplier. Hal ini

mengakibatkan pengusaha tidak bisa tawar-menawar (terjadi

perbedaan kemampuan untuk berbisnis) dengan supplier.

Oleh karena itu sangat dibutuhkan upaya untuk menumbuhkan

enterpreneur dan memberdayakan mereka (empowerment). Hal

ini dapat dimulai dengan kelompok kecil dulu, kelompok

ini perlu juga untuk mengikutsertakan supplier. Disadari

Page 88: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

78

bahwa untuk melakukan hal tersebut tidaklah mudah, tetapi

pendekatan ini perlu dilakukan.

Secara ringkas dapat digambarkan pada skema berikut ini:

i. Kesenjangan yang ada pada pihak UMKM

Dalam hubungannya dengan supplier, antara lain :

a). Tidak mengetahui kualitas bahan baku yang

diperoleh

b). Tidak mengetahui harga bahan baku terkait dengan

kualitas

Dalam hubungannya dengan buyer/pembeli, antara lain :

a). Tidak mengetahui kualitas yang disyaratkan oleh

pembeli

b). Tidak mengetahui bagaimana cara memenuhi kualitas

(dari mana sum-ber keterampilan akan diperoleh)

c). Tidak mengetahui standar harga terkait dengan

kualitas

d). Bargaining position (posisi tawar) umumnya rendah

ii. Kesenjangan ini menyebabkan UMKM terjebak untuk

melakukan persaingan dalam hal harga. Persaingan harga

tersebut mendorong UMKM tidak memperdulikan kualitas

barang/produk yang dihasilkan. Ini menyebabkan UMKM

menjadi tidak berkembang, mematikan enterpreneurship/

kewirausahaan dan tingkat kerjasama yang rendah antar

pelaku sehingga mudah tercerai berai.

iii. Kesenjangan tersebut juga disebabkan beberapa hal

berikut ini :

a). UMKM tidak mempunyai kesempatan untuk

akses/berkomunikasi dengan usaha besar (buyer)

sehingga tidak mengetahui kualitas yang dibutuhkan.

UMKM Buyer/

Pembe

Supplier/

pemaso

Page 89: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

79

b). Usaha besar/buyer/user mematok harga rendah untuk

produk UMKM sehingga UMKM tidak termotivasi untuk

membuat produk/barang yang berkualitas. Alasan mematok

harga rendah ini karena mereka masih memproses produk

UMKM (finishing) agar sesuai dengan standar produknya.

c). Tidak ada upaya pendampingan baik dalam hal

teknik produksi maupun pembiayaan secara

berkesinambungan.

c. Dalam gambaran tersebut, Perbankan atau instansi terkait

yang berkompeten dapat mengambil peran yang lebih nyata.

Misalnya dengan memfasilitasi UMKM untuk melakukan MOU

dengan supplier, atau perjanjian long term (jangka panjang)

pembelian dengan buyer atau bentuk joint financing scheme

(pembiayaan bersama) untuk kualitas produk yang

disyaratkan.

d. Skim pembiayaan untuk UMKM tidak harus berbeda (dapat

menggunakan skim yang sudah ada), tetapi bisa juga sama.

Permasalahannya bukan pada skim tapi pada realitas bahwa

skim pembiayaan tersebut dapat mengakomodir kondisi

pengusaha yang masih lemah dalam hal entrepreneurship,

kemampuan, pengetahuan dan sumberdayanya untuk berhubungan

dengan supplier maupun pembeli. Jadi yang perlu dipikirkan

dalam memberikan pembiayaan adalah bagaimana pembiayaan

tersebut dapat diakses oleh pengusaha dan dapat mendorong

pengusaha untuk mampu ber-dealing (berbisnis) dengan

supplier dan pembeli secara seimbang.

e. Kredit kepada klaster dapat digunakan untuk :

i. membiayai innovative action misalnya pembuatan produk

unggulan yang membutuhkan bahan baku berkualitas. Dapat

pula dikombinasikan dengan pelatihan sehingga akan lebih

menarik dan memenuhi kebutuhan klaster.

ii. meningkatkan mekanisme quality control (bahan baku)

bagi supplier. Sehingga UMKM hanya berhubungan dengan

Page 90: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

80

supplier yang menyediakan bahan baku yang berkualitas dan

kredit digunakan hanya untuk pengadaan bahan baku yang

berkualitas dari supplier yang dimaksud.

f. Di lain pihak, kredit yang diberikan harus memperhatikan

hubungan transaksi perdagangan yang menekankan tumbuh dan

berkembangnya UMKM. Hendaknya pemberian kredit

mempertimbangkan pula hubungan transaksi yang berkelanjutan

pada pembeli, suplier, dengan menekankan pada kualitas

barang, harga yang sesuai dengan kualitasnya, sehingga

secara keseluruhan akan dapat meningkatkan nilai tambah

dari pelakunya dan lebih jauh akan mampu membangkitkan

ekonomi bangsa Indonesia.

6.3.2. Terms and Conditions Pembiayaan Klaster

a. Plafon kredit

Plafon kredit yang diberikan harus mempertimbangkan cash flow

usaha UMKM yang ada dalam klaster, sehingga besar kreditpun dapat

berbeda antara unit satu dan yang lainnya.

b. Bunga kredit

i. Bunga kredit harus dilihat dari pertumbuhan usahanya, perlu

dipertimbangkan untuk memberi bunga kredit yang berbeda

bagi UMKM yang baru tumbuh dan bagi UMKM yang sudah

berjalan (sudah berkembang).

ii. Bunga kredit sebaiknya mempertimbangkan tingkat

perkembangan industri yang bersangkutan diantara industri

sejenis yang ada. Misalnya UMKM batik lasem jika diberi

tingkat suku bunga kredit yang sama seperti UMKM batik

Pekalongan atau Solo, maka kredit tersebut akan

berat/sulit. Ini karena batik lasem pada kondisi bertahan

(tidak laku) sehingga untuk kualitas yang sama (atau bahkan

lebih rendah), harganya akan lebih mahal. Jika pembiayaan

Page 91: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

81

diberikan dengan bunga lebih rendah maka akan mendorong

mereka dapat berkompetisi sehingga tercipta momentum

marketing (pemasaran) yang selanjutnya dapat menciptakan

siklus pemasaran yang lebih pendek, akhirnya biaya-biaya

produksi akan terdorong turun sehingga mereka dapat

berkompetisi secara wajar dan bunga kredit pun dapat

ditingkatkan.

Bentuk rekening kredit dan cara pembayaran

a). Untuk usaha pemula ada baiknya bentuk kreditnya

tunai/langsung (fix loan), yang diikuti dengan cara

pembayaran secara angsuran. Pertimbangannya adalah UMKM

yang pemula belum memisahkan keuangan untuk usaha dan

keuangan diluar usaha (konsumsi, keluarga), administrasi

keuangan yang belum baik, dan belum mempunyai pengalaman

dalam mengelola kredit. Oleh karena itu pembiayaan/kredit

akan lebih membantu UMKM jika cara pembayaran dilakukan

secara angsuran, sekaligus sebagai pembelajaran bagi UMKM

untuk disiplin dalam pengembalian.

b). Untuk usaha yang sudah berkembang dan sektor

perdagangan pada umumnya, kredit dapat diberikan dalam

bentuk rekening koran. Rekening koran ini dapat cepat

dicairkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan UMKM terhadap

kenaikan jumlah produksi dalam waktu cepat.

c). Untuk meringankan beban UMKM, cara pembayaran rekening

koran dapat dimodifikasi dengan sistem angsuran minimum.

Sehingga ketika jatuh tempo, jumlah kredit yang

dibayarkan tidak terasa berat.

c. Agunan

i. Permasalahan UMKM yang terkait dengan agunan adalah aset

yang dimiliki berupa tanah/bangunan belum bersertifikat.

Page 92: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

82

Untuk itu hendaknya juga ada upaya-upaya untuk

membantu/memfasilitasi proses sertifikasi aset UMKM (tanah

dan atau bangunan).

ii. Pada dasarnya agunan dibutuhkan agar ada jaminan bahwa

kredit yang diberikan dapat dikembalikan. Untuk menganalisa

pengembalian kredit dapat dilakukan dengan pendekatan

analisa industri dari klaster tersebut dalam kaitannya

dalam hubungan hulu hilir.

d. Sumber dana kredit/pembiayaan

i. Keberadaan dana murah dari pemerintah (instansi terkait)

sebaiknya dipergunakan untuk klaster-klaster yang baru

tumbuh. Dana ini dapat dimanfaatkan untuk:

a). Membiayai suatu kegiatan yang dapat

dikerjasamakan.

b). Membiayai unit-unit bisnis yang baru tumbuh di

dalam klaster.

ii. Mekanisme pengelolaan dana dapat dilakukan dengan

mengumpulkan dana murah yang ada dan kemudian ditempatkan

ke perbankan (BPD). Selanjutnya BPD dapat menyalurkan

melalui BPR/BMT ke UMKM atau langsung ke UMKM sehingga dana

ini akan terus bergulir. Untuk tingkat suku bunga dapat

dikontrol dengan menerapkan suku bunga maksimal, misalnya

bahwa suku bunga kredit tidak boleh lebih dari 18% pa.

iii. Dana bank dapat diberikan oleh UMKM yang sudah

berjalan (berkembang) baik secara individu maupun kelompok.

iv. Pembiayaan untuk klaster yang baru tumbuh dapat

diberikan oleh BPR maupun BMT. Namun untuk klaster yang

sudah berkembang maka kebutuhan dananya belum tentu bisa

dipenuhi oleh BPR/BMT mengingat adanya keterbatasan dana

yang dapat dihimpun.

6.4. Kajian Pola pembiayaan Untuk Pengembangan Klaster

Page 93: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

83

6.4.1. Potensi Pembiayaan pada Klaster

Pembiayaan pada klaster sejauh ini telah dilakukan oleh

lembaga keuangan formal (bank/BPR) dan lembaga keuangan bukan

bank (koperasi/LKM dll). Layanan pembiayaan yang diberikan oleh

lembaga keuangan tersebut umumnya lebih menyukai memberi pinjaman

langsung kepada individu/UMKM. Hal ini didasari dari evaluasi

kinerja kredit yang menunjukkan bahwa penyaluran kredit secara

individu lebih lancar dari pada secara kelompok. Pada pembiayaan

secara individu, setiap nilai pinjaman dapat dipersyaratkan

dengan agunan. Sedangkan pada pembiayaan kelompok, jaminan

bersifat kolektif dan kekentalan anggota kelompok pun masih

dipertanyakan kesinambungannya. Tidak jarang terjadi, ketika ada

permasalahan dalam pengembalian pembiayaan, pemilik jaminan

kolektif mengundurkan diri dan anggota kelompok yang lain tidak

bersedia bertanggungjawab. Meskipun sudah diantisipasi melalui

sistem tanggung renteng (tanggungjawab bersama), namun acap kali

nilai yang dibebankan pada kelompok tidak sanggup dipenuhi oleh

anggotanya. Anggota pun memilih untuk keluar dari kelompok,

akibatnya pengembalian pembiayaan menjadi kredit macet. Dengan

pengalaman tersebut, maka lembaga keuangan cenderung untuk

menghindari pembiayaan kelompok.

Pengembangan klaster melibatkan analisa hubungan hulu-hilir

industri terkait agar memperoleh nilai tambah (value chain) yang

maksimal dari hubungan tersebut. Nilai tambah tersebut dapat

tercapai melalui kelompok. Demikian pula pada pendekatan klaster

akan lebih bermanfaat jika pembiayaan dilakukan dalam kelompok.

Pendekatan kelompok dapat dilakukan antara lain dengan pendekatan

Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat

(PHBK). Secara garis besar potensi pembiayaan yang dapat

digambarkan dalam skema berikut ini:

Pemasaran bersama Sarana/bahan pendukung

BDS/ Fasi- litator Klaster

Pembelian bersama

Page 94: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

84

Pembelian bersama dan pemasaran bersama merupakan potensi

pembiayaan baik bagi pelaku klaster maupun bagi lembaga keuangan.

Melalui tindakan bersama pelaku klaster mencapai skala ekonomis,

sedangkan bagi perbankan dapat menekan biaya transaksi.

Pembiayaan bersama ini dapat bermanfaat jika pelaku klaster

sudah mempunyai modal sosial dan kualitas entrepreneur pun

meningkat. Proses menumbuhkembangan modal sosial dan entrepreneur

inilah peran pendamping dibutuhkan. Pendamping ini berfungsi

sebagai fasilitator dalam pengembangan klaster.

6.4.2. Usulan Pola Pembiayaan untuk Klaster

a. Tingkat perkembangan klaster

Dari hasil penelitian dan diskusi dengan berbagai pihak

yang terlibat langsung dalam pengembangan klaster, maka

berdasarkan kondisinya klaster dapat dibagi menjadi dua yaitu

klaster yang sudah berkembang dan klaster yang belum berkembang.

Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan

penggolongan adalah sebagai berikut :

No Kriteria Indikator 1.

Kekentalan anggota klaster

a. Mempunyai badan hukum b. Mempunyai aturan main yang

jelas dan terukur c. Mempunyai simpanan/tabungan

kelompok 2. Analisa industri a. Ada kajian industri hulu

Page 95: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

85

Hulu-Hilir hilir dan kinerja rantai industri tersebut terutama tentang kinerja kreditnya

b. Ada rencana induk pengembangan klaster (difasilitasi oleh Pemda)

c. Ada kerjasama (alur pemasok dan atau pemasarannya)

3. Rencana kerja klaster a. Ada rencana kerja kelompok yang jelas, terukur dan dapat dilaksanakan

b. Tersedianya sumber daya untuk merealisasikan rencana kerja tersebut (material maupun non material)

4. Informasi Klaster a. Keberadaan klaster: lokasi, jumlah UMKM, jenis produknya, kapasitas usahanya, tingkat keterampilan pelakunya, dan modal sosial

b. Potensi klaster: skala usaha klaster, pasar produk klaster, prospek pengembangan produk dan pasar (trend)

c. Kinerja klaster: kontinuitas produksi, kontinuitas pasar, pengalaman pembiayaan (jika ada)

d. Aspek keuangan: omset, modal, profit margin

b. Pola Pembiayaan Klaster

Merujuk pada tingkat perkembangan klaster, maka pola pembiayaan

klaster juga dibedakan menjadi dua. Pola pembiayaan yang

dimaksud meliputi pola penyaluran, sumber dana dan terms and

conditionsnya. Berikut adalah kedua pola pembiayaan yang

diusulkan :

i. Klaster yang belum berkembang

a). Tujuan yang akan dicapai melalui pola pembiayaan ini

adalah untuk menjadikan klaster yang belum bankable

menjadi bankable.

Page 96: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

86

Contoh klaster yang belum berkembang adalah klaster batik

lasem di Kabupaten Rembang, klaster mebel kayu di

Kabupaten Blora dan klaster pertanian di Kabupaten Demak.

b). Pola pembiayaan

Skema pola pembiayaan untuk klaster belum berkembang

adalah berikut ini :

c). Terms and conditions

Terms and conditions dari pola pembiayaan untuk klaster

yang belum berkembang adalah sebagai berikut:

No Terms and

Conditions Uraian

1.

Nasabah

a. Kelompok klaster yang mempunyai

rencana kerja yang jelas dan terukur.

b. Kredit untuk kegiatan bersama dan atau individu.

c. Tidak semua anggota mendapat pembiayaan dalam jumlah dan waktu yang sama

2. Jenis Kredit Kredit modal kerja dan kredit Investasi 3.

Plafon Kredit

Dapat mengakomodir rencana kerja kelompok dan atau perkembangan usaha anggota kelompok

4. Suku bunga dan grace period

Suku bunga bersubsidi atau tidak mengenakan suku bunga, dengan mempertimbangkan siklus usaha yang akan dibiayai

5. Jangka waktu kredit

Mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan kelompok

6. Pengembalian kredit

Angsuran tetap

7. Agunan tambahan

Tidak menjadi persyaratan

Page 97: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

87

8. Legalitas Tidak dipersyaratkan. Membentuk kelompok menjadi ketentuan yang diprioritaskan

9. Pendamping a. Harus ada fasilitator klaster baik dalam bentuk lembaga maupun perorangan

b. Harus ada instansi pembina ii. Klaster yang sudah berkembang

a). Tujuan yang akan dicapai melalui pola pembiayaan ini

adalah untuk meningkatkan kapasitas klaster agar menjadi

klaster yang aktif - dinamis.

Contoh klaster yang sudah berkembang adalah klaster tenun

troso di Kabupaten Jepara, klaster pertanian

hortikultura (jambu air) di Kabupaten Demak dan klaster

pertanian terpadu di Kabupaten Klaten.

b). Pola pembiayaan

Skema pola pembiayaan untuk klaster sudah berkembang adalah

berikut ini:

c). Terms and conditions

Terms and conditions dari pola pembiayaan untuk klaster

yang sudah berkembang

adalah sebagai berikut:

No Terms and

Conditions Uraian

1. Nasabah a. Kelompok klaster yang mempunyai

Page 98: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

88

rencana kerja yang jelas dan terukur.

b. Kelompok yang dimaksud adalah yang anggotanya sudah mempunyai kesamaan pola pikir dalam mengembangkan usaha klaster

2. Jenis Kredit Kredit modal kerja dan kredit Investasi, termasuk untuk pengembangan produk maupun promosi

3. Plafon Kredit Dapat mengakomodir rencana kerja kelompok

4. Suku bunga dan grace period

Suku bunga pasar, dengan mempertimbangkan siklus usaha yang akan dibiayai

5. Jangka waktu kredit

Mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan kelompok

6. Pengembalian kredit

Angsuran tetap

7. Agunan tambahan Asuransi (LPKD), avalis dari Inti, kontrak pembelian, tabungan kelompok, inventaris produksi analisa industri (hulu-hilir) berikut kinerjanya, agunan fisik

8.

Legalitas

Mutlak dibutuhkan

9.

Pendamping

a. Harus ada fasilitator klaster baik dalam bentuk lembaga maupun perorangan

b. Ada komitmen Pemda dan atau instansi pembina

Page 99: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

89

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 KESIMPULAN 1. Pengembangan klaster merupakan salah satu alternatif untuk

percepatan pengembangan UMKM karena klaster merupakan

aglomerasi ekonomi yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir,

sehingga memungkinkan penggabungan skala usaha antar pelaku

UMKM, dan karenanya dapat mengeliminasi beberapa kelemahan

UMKM, terutama di bidang produksi dan pemasaran.

2. Pengembangan klaster yang ada saat ini masih lebih cenderung

ke arah individu UMKM, sehingga klaster lebih berfungsi

sebagai sentra usaha. Agar dapat lebih optimal, pengembangan

klaster hendaknya dilakukan dengan strategi kelompok dan

pendekatan partisipatory, pada semua aspek secara komprehensif

dan berkelanjutan.

Page 100: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

90

3. Klaster yang dapat tumbuh dan berkembang menuju klaster aktif

umumnya adalah klaster yang berdasarkan pada potensi yang ada

di masyarakat, dan tidak bersifat top down atau yang

berdasarkan program Pemerintah. Klaster yang lebih

dikarenakan adanya kepentingan Pemerintah tidak menumbuhkan

kemandirian industri.

4. Tantangan utama dalam pengembangan klaster di Indonesia adalah

penumbuhkembangan modal sosial/ kebersamaan antar pelaku dalam

klaster dan penyelesaian konflik yang timbul antar pelaku, dan

hal ini dapat diatasi dengan capacity building pelaku yang

terlibat dalam klaster dan adanya local champion yang

berpengaruh.

5. Pendampingan/fasilitator merupakan kegiatan yang mutlak bagi

pengembangan klaster, namun bentuk pendampingan yang diberikan

hendaknya bersifat spesifik tergantung kebutuhan masing-masing

klaster.

6. Pola pembiayaan yang diharapkan klaster adalah yang sesuai

dengan karakterisitik masing-masing sektor ekonomi, sehingga

pola pembiayaan klaster di sektor industri tentunya berbeda

dengan pola pembiayaan klaster di sektor pertanian.

7. Khusus untuk klaster di sektor pertanian, pola pembiayaan

harus mempunyai mekanisme yang transparan dengan sistem bagi

hasil, mengingat karakterisitik usaha pertanian, serta ada

keseimbangan pembiayaan dari huku ke hilir.

8. Untuk menentukan pola pembiayaan pada klaster perlu dilakukan

analisa value chain dan kompetensi inti, sehingga pembiayaan

akan lebih efektif dan tepat sasaran.

9. Pola pembiayaan klaster hendaknya memperhatikan inti

pengembangan klaster, yakni kebersamaan, sehingga pembiayaan

dilakukan dengan pendekatan kelompok (misalnya pendekatan

PHBK) dan pembiayaan untuk klaster difokuskan pada kegiatan

bersama (misalnya pembelian baku dan pemasaran bersama), serta

memanfaatkan skala usaha klaster dalam penyediaan agunan.

Page 101: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

91

10. Pola pembiayaan untuk klaster perlu dibedakan untuk

klaster yang belum berkembang dan klaster yang sudah

berkembang. Untuk klaster yang berkembang, perlu didukung oleh

dana dari Pemerintah atau negara donor yang bersuku bunga

rendah, dengan mempertimbangkan siklus usaha yang akan

dibiayai. Sedangkan untuk klaster yang sudah berkembang dapat

dibiayai dengan dana komersial perbankan, namun tetap

mempersyaratkan keberadaan kelompok UMKM sebagai klaster.

7.2. SARAN

1. Dalam pengembangan klaster perlu adanya grand strategy

(rencana induk) yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir,

berdasarkan analisa value chain dari klaster yang

dikembangkan. Dengan adanya grand strategy ini maka potensi

usaha masing-masing pelaku klaster akan dapat dieksplor secara

optimal.

2. Agar pengembangan klaster dapat diarahkan menjadi penunjang

ekonomi lokal dan ekonomi regional, maka rencana induk

pengembangan klaster ini harus dibuat secara bottom up, dengan

melibatkan seluruh pelaku kalster dan pihak Pemerintah daerah

terkait.

3. Pendamping atau fasilitator bagi klaster agar memiliki

kompetensi dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan teknis

masing-masing klaster. Untuk itu disarankan adanya pilot

project pengembangan klaster yang memberikan bantuan teknis

untuk meningkatkna kinerja klaster.

4. Mengingat banyaknya program pengembangan klaster yang

dilakukan oleh berbagai instansi Pemerintah dan negara donor,

disarankan adanya forum nasional yang mengkoordinasikan atau

setidaknya mengkomunikasikan program-program pengembangan

klaster di daerah agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan

Page 102: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

92

yang akan menjadi kontraproduktif terhadap upaya pengembangan

klaster.

Page 103: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

93

DAFTAR PUSTAKA

1. Asia – Pasific Economic Cooperation (APEC). 2005, Strategies to Promote the Development of Industrial Clusters for Innovative SMEs, Small and Medium Enterprises Ministerial Meeting, Daegu, Korea, Submitted by Chinese Taipe.

2. Bambang Ismawan dkk, Keuangan Mikro sebuah Revolusi Tersembunyi dari Bawah, Gema PKM Indonesia, 2005

3. Biro Kredit Bank Indonesia, Hasil Penelitian Profil Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia, Bank Indonesia,2005

4. Depatemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional.

5. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal - Badan Perencanaan

6. Pembangunan Nasional (Bappenas), Laporan tentang Kajian Strategi Pengembangan Kawasan Dalam Rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Daya Saing, Bappenas 2006

7. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Laporan tentang Mengenal Klaster, Bappenas 2006

8. Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya Jawa Tengah (FPESD), Best Practice Pengembangan Klaster di Jawa Tengah, 2006

9. Enright, M.J. 1992, Why Local Cluster are The Way To Win The Game, World Link, 5, July/August, 24- 25

10. JICA, Final Reports of the Study on Strengthening Capacity of SME Clusters in Indonesia, Japan International Cooperation Agency, 2004

11. Nurul Widyaningrum, dkk;, Pola-Pola Eksploitasi, Akatiga, 2003

12. Mahmudy, Mahdi, 2006. Strategi Pengembangan Industri Indonesia : Diamond Cluster Model (paper)

13. Porter, Michael E, Clusters and The new economics of competition. Harvard Business Review. Boston. Nov/Dec 1998

14. Porter, Michael E, 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, A Division of Macmillan, Inc, New York.

Page 104: Kajian Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster (1)

94

15. Ricardo Bisso, 2003, Clusters and Development Strategies: Reflections for a developing country’s SME policy, Bologna and Buenos Aires.

16. Schmitz, H. And K. Nadvi. Clustering and Industrialization: An Introduction. World Development 27, no.9 (1999): 1503 - 14

17. Supratikno, H. Et al. The Strategies of Cluster Upgrading in Central Java. A Preliminary Report to Deperindag, Salatiga. 2002.

18. Swiss Contact, 2006. Lending Scheme Model for Clusters Development. (Bahan Persentasi)

19. USAID Indonesia, 2006. Peran Pemerintah, Swasta, Perguruan Tinggi, LSM dan Media Dalam Pengembangan Klaster. (Bahan Persentasi)

20. The Asia Foundation, 2006. Pengembangan Iklim Usaha Melalui Perbaikan Proses Perijinan dan Kebijakan. (Bahan Persentasi)

21. Working paper, 2006. Profil Klaster di Jawa Tengah. FPESD Jawa Tengah.