kajian ilmiah tentang hizbiyyah

46
Kajian Tentang Hizbiyyah dan Tandzim dalam Da’wah Islamiyyah KAJIAN ILMIAH TENTANG HIZBIYYAH, DAN BAGAIMANAKAH HIZBIYYAH YANG DILARANG OLEH SYARIAT [1]? Salah satu sifat yang dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad ShallaLLAHu ‘alaihi wa Sallam terjadi pada ummatnya adalah sifat ghuluw (ekstrem) dan tatharruf (menjauh dari kebenaran), yang merupakan sifat yang sangat dilarang oleh syari’ah, sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad ShallaLLAHu ‘alaihi wa Sallam berikut ini: “Takutlah kalian terhadap sikap ekstrem dalam beragama, karena sesungguhnya yang telah mencelakakan ummat sebelum kalian adalah sikap ekstrem dalam beragama. [2]” Salah satu bentuk dari sikap ghuluw tersebut adalah vonis baru (baca : bid’ah) yang tidak dikenal dalam referensi utama kaum muslimin, laa fil Qur’aan wa laa fis Sunnah, yaitu vonis hizbiyyah. Herannya lagi, bahwa vonis ini dilontarkan oleh sebagian orang yang mengaku- mengaku sebagai pemegang panji-panji Ahlus Sunnah dan pengikut Salafus Shalih, inna liLLAHi wa inna ilayhi raji’un.. Di berbagai forum dan tulisan - sebagian mereka — dengan getolnya melemparkan vonis tersebut kepada sesama saudara mereka muslim, para pejuang As-Sunnah dan penegak kalimat Tauhid, hanya karena mereka yang disebut terakhir ini membuat kelompok, atau partai ataupun jama’ah, yang tujuannya demi memudahkan kerja dakwah mereka. Kemudian mereka sematkanlah berbagai label seperti hizbiyyun, ahlul-hawa’ (para pengikut hawa nafsu), ahlul bid’ah, Sufi yang Sesat, dsb. Mereka kemudian mencari-mencari dalil untuk membenarkan klaim mereka tersebut, dan memvonis berbagai kelompok kaum muslimin sesama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, lalu mereka menemukan ayat yang “kelihatannya” bisa dipakai untuk mendukung klaim mereka itu dan dengan itu mereka berusaha membodohi orang-orang yang bodoh, membingungkan orang yang bingung dan menakut-nakuti orang yang

Upload: sunu-wibirama

Post on 26-Nov-2015

79 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Kajian Ilmiah Tentang Hizbiyyah

TRANSCRIPT

KAJIAN ILMIAH TENTANG HIZBIYYAH, DAN BAGAIMANAKAH HIZBIYYAH YANG DILARANG OLEH SYARIAT [1]

Kajian Tentang Hizbiyyah dan Tandzim dalam Dawah Islamiyyah

KAJIAN ILMIAH TENTANG HIZBIYYAH, DAN BAGAIMANAKAH HIZBIYYAH YANG DILARANG OLEH SYARIAT [1]?Salah satu sifat yang dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad ShallaLLAHu alaihi wa Sallam terjadi pada ummatnya adalah sifat ghuluw (ekstrem) dan tatharruf (menjauh dari kebenaran), yang merupakan sifat yang sangat dilarang oleh syariah, sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad ShallaLLAHu alaihi wa Sallam berikut ini:

Takutlah kalian terhadap sikap ekstrem dalam beragama, karena sesungguhnya yang telah mencelakakan ummat sebelum kalian adalah sikap ekstrem dalam beragama. [2]

Salah satu bentuk dari sikap ghuluw tersebut adalah vonis baru (baca : bidah) yang tidak dikenal dalam referensi utama kaum muslimin, laa fil Quraan wa laa fis Sunnah, yaitu vonis hizbiyyah. Herannya lagi, bahwa vonis ini dilontarkan oleh sebagian orang yang mengaku-mengaku sebagai pemegang panji-panji Ahlus Sunnah dan pengikut Salafus Shalih, inna liLLAHi wa inna ilayhi rajiun..

Di berbagai forum dan tulisan - sebagian mereka dengan getolnya melemparkan vonis tersebut kepada sesama saudara mereka muslim, para pejuang As-Sunnah dan penegak kalimat Tauhid, hanya karena mereka yang disebut terakhir ini membuat kelompok, atau partai ataupun jamaah, yang tujuannya demi memudahkan kerja dakwah mereka. Kemudian mereka sematkanlah berbagai label seperti hizbiyyun, ahlul-hawa (para pengikut hawa nafsu), ahlul bidah, Sufi yang Sesat, dsb.

Mereka kemudian mencari-mencari dalil untuk membenarkan klaim mereka tersebut, dan memvonis berbagai kelompok kaum muslimin sesama Ahlus Sunnah wal Jamaah, lalu mereka menemukan ayat yang kelihatannya bisa dipakai untuk mendukung klaim mereka itu dan dengan itu mereka berusaha membodohi orang-orang yang bodoh, membingungkan orang yang bingung dan menakut-nakuti orang yang penakut.

Potongan ayat yang mereka dengung-dengungkan dan mereka anggap melarang membuat kelompok, jamaah atau partai itu menurut mereka yaitu ayat: Kullu hizbin bima ladayhim farihun.. (Setiap partai/kelompok/jamaah merasa bangga/bergembira dengan apa yang ada pada kelompok masing-masing). Kemudian ayat: Innalladzina farraqu dinahum wa kanu syiyaan lasta minhum fi syaiin.. (Sesungguhnya orang yang memecah-belah agama mereka sehingga mereka menjadi berkelompok-kelompok lepas tanggung jawabmu atas mereka wahai Muhammad..)

Ikhwan wa akhwat fiLLAH, marilah saya ajak antum semua untuk membuka berbagai rujukan kitab-kitab tafsir karangan Imam Salafus Shalih secara inshaf (obyektif) dan wasith (adil), jauh dari sifat ghuluw wa tatharruf dan jauh dari kepentingan apapun, kecuali ikhlas mencari keridhaan ALLAH SWT semata. Hanya kepada ALLAH-lah kita bertawakkal dan hanya kepada-NYA lah kita akan dikembalikan.

Potongan ayat tersebut terdapat di 3 tempat, potongan yang pertama yaitu di QS Al-Muminun, 23/53 dan di QS Ar-Rum, 30/32; lengkapnya adalah sbb:

Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). (QS. 23/53)

Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (30/32)

Sementara potongan yang kedua pada QS Al-Anam, 6/159. Lengkapnya adalah sbb:

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat. (QS. 6/159)

Makna ayat dalam QS Al-Muminun, 23/53 menurut kitab-kitab tafsir adalah sbb:

Berkata Imam At-Thabari [3] dalam tafsirnya [4], bahwa maknanya: Maka berpecah-belahlah kaum yang diperintahkan oleh ALLAH SWT dari ummat Nabi Isa alayhis salam untuk bersatu atas agama yang satu Dan setiap firqah tersebut beragama dengan kitab yang berbeda satu dengan yang lain, sebagaimana orang Yahudi memegang kitab Taurat dan mendustakan hukum-hukum dalam kitab Injil dan Al-Quran, demikian pula orang-orang Nasrani yang berpegang menurut sangkaan mereka pada kitab Injil dan mendustakan kitab Al-Quran. Dan ini diperkuat oleh makna ummatan-wahidah pada ayat sebelumnya, yaitu maknanya menurut Imam At-Thabari: Innal ummah alladzi fi hadzal maudhu: Ad-Din wal Millah (makna ummat dalam konteks ayat ini adalah ummat dalam masalah agama) [5]. Jelas bahwa makna HIZB dalam ayat tersebut menurut Imam At-Thabari adalah HIZB dalam Ad-Din wal Millah (perbedaan & kelompok-kelompok yang berbeda dalam aqidah), lalu dimanakah letak larangannya jika HIZB tersebut tidak berbeda dalam Ad-Din wal Millah?

Imam Ibnul Jauzy dalam tafsirnya [6] menyatakan bahwa ada 2 pendapat tentang tafsir ayat ini, yaitu pendapat pertama: Mereka adalah Ahli Kitab (Yahudi & Nasrani) dari Mujahid; dan pendapat kedua: Mereka adalah Ahli Kitab & kaum Musyrikin Arab dari Ibnu Saib. Demikian pula pendapat Imam Al-Mawardi [7] dalam tafsirnya [8], nampak bagi kita semua bahwa larangan tersebut amat jelas yaitu larangan berbeda-berbeda dalam aqidah, atau berbeda dalam kitab suci persis sebagaimana perbedaan Yahudi dan Nasrani atau musyrikin, sama sekali tidak ada larangan yang berkaitan dengan larangan membentuk organisasi, atau jamaah atau partai.

Berkata Imam Al-Baghawi [9] dalam tafsirnya [10], bahwa makna kullu hizbin bima ladayhim farihun = bima indahum minad din (dari apa-apa yang ada disisi mereka dari agama), dalam hal ini beliau mengkaitkan dengan tafsir ayat sebelumnya bahwa makna fataqaththau amrahum = dinahum, lalu makna baynahum = berpecah-belah, maka mereka berpecah-belah menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi. Demikianlah pendapat para Imam Salafus Shalih mengenai masalah ini, yaitu bahwa HIZB yang dilarang adalah HIZB yang berbeda dalam aqidah dan agama (Ad-Din wal Millah) dan SAMA SEKALI BUKAN HIZB DALAM DAKWAH DAN PERJUANGAN.

Berkata Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya [11]: Bahwa mereka ada yang mengikuti firqah Taurat, firqah Zabur, firqah Injil lalu mereka masing-masing mengubah kitab-kitab tersebut dan menyimpangkan maknanya. Hal ini juga pendapat Imam Al-Biqaiy [12] dalam tafsirnya [13], Imam An-Nasafiy [14] dalam tafsirnya[15], Abu Saud[16] dalam tafsirnya[17], Imam As-Suyuthi[18] dalam tafsirnya[19], Imam Al-Khazin [20] dalam tafsirnya [21], Imam Ats-Tsaalabiy[22] dalam tafsirnya[23], dll. Lalu apakah hizb, jamaah dan partai Islam yang mereka tuduh tersebut mengubah Al-Quran? Menyimpangkan makna Al-Quran? Seperti firqah Taurat, firqah Zabur dan firqah Injil? Inna liLLAHi wa inna ilayhi rajiun.. Ana yakin mereka tidak akan berani menuduh sejauh itu! Qul haatuu burhanakum in kuntum shadiqiin..

HUJJAH KEDUAIkhwan wal akhawat rahimakumuLLAH, setelah kita mengetahui tafsir yang dikemukakan oleh para Imam Salafus Shalih atas QS Al-Muminun, 23/53 (yang juga sama dengan Ar-Rum, 30/32) tersebut pada kajian yang lalu, maka demikianlah pula tafsir atas QS Al-Anam, 6/159. Lengkapnya ayatnya adalah sbb:

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat. (QS. 6/159)

Makna ayat dalam QS Al-Anam, 6/159 menurut kitab-kitab tafsir adalah sbb:

Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya [24] bahwa makna farraqu-dinahum dalam ayat tersebut adalah bahwa agama ALLAH SWT ini adalah satu yaitu agama Ibrahim semoga salam ALLAH baginya-, lalu berpecah-belahlah Yahudi & Nasrani sehingga mereka menjadi agama yang berbeda-berbeda, adapula yang menjadi Majusi sehingga mereka menjauh dari agama yang haq [25].

Demikianlah tafsir yang benar mengenai masalah ini.

HUJJAH KETIGADemikian pula berbagai ayat yang ada dan bertaburan di dalam Al-Quran seperti PERINTAH UNTUK MEMBENTUK KELOMPOK KECIL (dari sebuah kelompok besar) sepanjang kelompok kecil tersebut bertujuan untuk berdakwah, berjihad & melakukan amar maruf nahi munkar, salah satunya adalah ayat di bawah ini:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar [217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Aali Imraan, 3/104)

Berkata Imam Abu Jafar At-Thabari ketika mengawali tafsirnya atas ayat ini [26]: Berkata ALLAH Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji: WALTAKUN MINKUM wahai orang-orang beriman; UMMATUN yaitu Jamaah [27]; YADUNA yaitu pada manusia; ILAL KHAYRI yaitu pada Islam & syariatnya yang telah ditetapkan-NYA bagi hamba-hamba-NYA; WA YAMURUNA BIL MARUFI, yaitu memerintahkan manusia untuk mengikuti Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- dan agama yang dibawanya; WA YANHAUNA ANIL MUNKARI, yaitu mencegah mereka dari kekafiran pada ALLAH -Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi- dan penentangan pada Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- dan dari agama yang dibawanya, yaitu melalui Jihad di jalan-NYA baik dengan tangan maupun anggota badan, sehingga mereka mengikuti dengan ketaatan (Perhatikanlah bahwa Imam At-Thabari menyebutkan agar ada & terbentuknya suatu jamaah diantara ummat ini)..

Imam Jalaluddin As-Suyuthi bahkan lebih maju lagi, beliau dalam tafsirnya [28] setelah menjelaskan berbagai hadits shahih berkaitan ayat ini, menyebutkan atsar dari Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin Hayyan: Bahwa hendaklah ada suatu kaum, baik 1 atau 2 atau 3 kelompok atau lebih dari itu dan itulah baru disebut sebagai ummat. Kemudian ia berkata lagi: Lalu (hendaklah) ada imamnya yang memimpin untuk amar maruf & nahi munkar. Lebih jauh beliau menyitir hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Dzarr -semoga ALLAH Yang Maha Gagah lagi maha Tinggi- meridhoinya- : Dua orang lebih baik dari 1 orang, 3 orang lebih baik dari 2 orang, dan 4 orang lebih baik dari 3 orang, maka hendaklah kalian bersama Al-Jamaah, karena ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku kecuali atas petunjuk [29].

Imam -Muhyis Sunnah- Abu Muhammad Al-Baghawi menyebutkan dalam tafsirnya [30] bahwa huruf lam pada kata waltakun bermakna kewajiban.. sementara min dalam kata minkum ummah bermakna shilah dan bukan lit-tabidh (menunjukkan sebagian) [31] sebagaimana dalam ayat: FAJTANIBUR RIJSA MINAL AWTSANI [32].. Yang maknanya: Hendaklah mereka menjauhi semua berhala & bukan hanya sebagian berhala saja.. Kemudian Imam Al- Baghawi menyebutkan beberapa hadits, diantaranya dari Umar -semoga ALLAH Yang Maha Suci laga Maha Tinggi meridhoinya- Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- bersabda: Barangsiapa yang menginginkan puncaknya Jannah maka wajib atasnya menetapi Al-Jamaah, karena sesungguhnya Syaithan itu bersama orang yang sendirian, dan terhadap 2 orang ia lebih menjauh [33].

Imam Ibnu Asyur dalam tafsirnya [34] bahwa makna ummah adalah jamaah, kelompok, sebagaimana dalam ayat yang lain disebutkan: KULLAMAA DAKHALAT UMMATUN LAANAT UKHTAHA [35].. Karena asal kata ummat dalam bahasa Arab adalah sekelompok orang yang memiliki 1 tujuan yang sama, bisa berupa keturunan, atau agama, atau lainnya, dan kejelasannya diketahui melalui keterkaitannya (idhafah) dengan kata setelahnya, semisal: Ummatul-Arab atau Ummatun-Nashara, dll.

Imam Abi AbduLLAH Syamsuddin Al-Qurthubi Al-Anshari Al-Khazraji dalam kitabnya [36] berpendapat bahwa min dalam kata minkum ummah bermakna lit-tabidh (menunjukkan sebagian)[37], karena orang-orang yang memerintahkan yang maruf itu haruslah berilmu, sementara tidak semua orang berilmu, maka kewajiban ini bersifat fardhu kifayah, jika sebagian kaum muslimin sudah melakukannya maka yang lain tidak berdosa [38].

Sayyid Quthb -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- menyatakan dalam tafsirnya [39]: Tidak bisa tidak ayat ini memerintahkan agar terwujudnya sebuah Jamaah Islamiyyah yang selalu berdakwah kepada kebaikan, memerintahkan yang maruf & mencegah yang munkar. Dan hendaklah ada sebuah pemerintahan yang tegak berdiri di atas bumi ini melakukan hal tersebut, sehingga ayat ini tidak hanya berbunyi yaduuna (berdakwah saja) melainkan juga yamuruuna (memerintah) dan yanhauna (melarang) yang keduanya itu tidak akan tegak kecuali adanya sebuah pemerintahan yang Islami.. Sampai kata beliau -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- pada akhir penjelasannya atas ayat tersebut: Untuk demi tercapainya hal tersebut di atas, maka tidak dapat tidak haruslah ada sebuah kelompok/jamaah yang memiliki 2 kekuatan di atas [40] yaitu Iimaanu biLLLAAH (QS Aali-Imraan, 3/102) dan Ukhuwwatu-fiLLAAH (QS Aali-Imraan, 3/103) baru bisa mewujudkan ayat ini (QS Aali-Imraan, 3/104)

Demikianlah maka berdasarkan dalil2 di atas bahwa tegaknya Al-Jamaah merupakan dharurah-syariyyah, yang kesemuanya tidak akan dapat tegak dengan kerja infiradiyyah (sendiri-sendiri) dan hanya mengharapkan dari tarbiyyah & tashfiyyah saja, melainkan memerlukan suatu tanzhim yang kuat & rapi untuk menggapainya.. Jika dikatakan bahwa As-Salafus Shalih pasca generasi sahabat -semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- tidak membuat tanzhim, maka saya jawab bahwa dimasa mereka sudah ada Al-Jamaah & Al-Khilafah, maka haram hukumnya membuat kelompok baru yang berbeda dari Jamaah kaum muslimin. Adapun sekarang, maka tidak ada Khilafah, tidak ada Al-Jamaah & tidak ada Al-Hukumah, maka tiada jalan lain kecuali membentuk & mendirikannya.. Dan persoalan ini jauh lebih mendesak & lebih penting dari mendalami & bertele-tele dalam masalah ibadah-mahdhah, cukuplah sunnah para sahabat -semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- yang sampai meninggalkan pengurusan & pemakaman jenazah Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- untuk memilih Khalifah menjadi dalil atas hal tersebut.

HUJJAH KEEMPATOleh sebab itu maka seorang yang alim hendaklah berhati-hati dalam berucap dan berfatwa, karena tidak semua orang bisa dibodohi oleh berbagai fatwa yang kelihatan seolah-olah benar dan memvonis tetapi sesungguhnya rapuh dan sangat menyesatkan. Sebagai contoh istilah madzhabiyyah adalah buruk & tercela, tapi bermadzhab tidaklah buruk, tidak bidah & tidak pula dilarang. Maka demikian pula hizbiyyah adalah tercela & buruk, namun demikian membuat hizb seperti beberapa hizb (partai Islam) yang ada di Indonesia, hal tersebut sama sekali tidak ada larangannya, bahkan jika umat sangat membutuhkannya maka ia bisa menjadi berkedudukan mustahabbah bahkan wajib berdasarkan kaidah ushul: Maa laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib.

HUJJAH KELIMAMaka mencap orang yang berpartai & berorganisasi sebagai hizbiyyun berdasarkan paparan di atas oleh karenanya adalah sesat & menyesatkan, dan perbuatan ini dalam istilah para Ahli Ilmu dinamakan sebagai tingkat kejahilan ketiga yaitu Al-Jahlu Al-Murakkab (diantara 6 tingkat kejahilan seseorang Tholabul Ilmi). Dan orang-orang seperti ini perlu membaca & mempelajari secara mendalam tentang siyasatus-syariyyah, karena serampangan memfatwakan masalah ini akan sangat berbahaya bagi masyarakat, karena semua hal yang berkaitan dengan realitas di masa sekarang akan menjadi bidah semua, seperti Presiden juga bidah, negara Indonesia ini adalah bidah, parlemennya, menterinya, departemennya, dsb semuanya menjadi bidah. Dan semua ini dibuktikan dengan fatwa mereka tentang haramnya PEMILU, beberapa waktu yang lalu. Dan jika mereka konsisten, maka kedudukan Raja secara turun-temurun juga adalah bidah, karena tidak ditemukan dalam khairal qurun, diamnya sebagian shahabat tidak bisa dijadikan hujah untuk masalah ini, karena mereka diam bukan berarti ridha tetapi berdasarkan fiqh muwazanah pada saat itu. Maka sebagian mereka yang membrontak dan membuat tanzhim pun tidak dihukumi ahli bidah, maka siapakah yang berani menyatakan para sahabat sekualitas Al-Husein bin Ali, Muawiyah bin Abi Sufyan, AbduLLAH Ibnu Zubair, dll sebagai ahli bidah karena mereka membuat tanzhim, membuat hizb, membuat pasukan perang & kemudian memberontak? Qul haatuu burhaanakum in kuntum shaadiqiin!

KESIMPULANOleh sebab itu, kesimpulannya hizbiyyah adalah semangat fanatisme mazhab, golongan, syaikh, ustaz, ulama, dsb. Dan hizbiyyah bukanlah pada sikap bermazhab pada 1 mazhab, bergolongan atau meminta fatwa pada seorang ulama, syaikh, dsb. Seorang yang membatasi hanya mau menerima fatwa dari Syaikh Fulan dari negara Fulan, misalnya, dan tidak mau menerima fatwa dari selainnya itu adalah sikap hizbiyyah dan orang-orangnya dinamakan hizbiyyun. Demikian pula sikap orang yang memfatwakan bahwa ulama-mujtahid di dunia ini hanya ada 3 orang saja, itu adalah sikap para hizbiyyun. Sikap mencaci para ulama besar yang diakui dunia, kemudian menyebar-nyebarkan isu baik dalam ceramah-ceramah maupun tulisan-tulisan & buku-buku (yang belum dikonfirmasikan dan ditegakkan hujjah kepada sang ulama yang dicurigai tsb), adalah sikap para hizbiyyun. Semoga ALLAH SWT melindungi kita dari sikap hizbiyyah yang amat tercela (qabihah) ini, aaamiin ya RABB

Catatan Kaki:[1] Sebenarnya tulisan ini sudah pernah ana muat di millist (Al-Ikhwan) ini beberapa waktu yang lalu, namun ana melihat tulisan tsb mendapat respon yang luar biasa di sebuah website milik saudara-saudara kita fiLLAAH yang ana kritik tsb, maka ana kemudian mempelajari bantahannya dan kemudian menjawabnya pada setengah bagian dari tulisan ini, Liyahlika man Halaka an Bayyinah wa Yahya man Hayya an Bayyinah, faliLLAAHil hamdu wal minah.

[2] HR An-Nasai, X/83; Ibnu Majah, IX/134; Al-Baihaqi, V/127; Al-Hakim, IV/256; At-Thabrani, X/301; Ibnu Habban, XVI/243.

[3] Beliau adalah Abu Jafar Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Amali At-Thabari, digelari Imam Abu Jafar At-Thabari atau juga Imam Ibnu Jarir At-Thabari, beliau wafat th 310-H.

[4] Jamiul Bayan fi Tafsiril Quran, XIX/41.

[5] Ibid. Imam Thabari menyandarkan tafsirnya ini dari atsar yang shahih sbb : Telah menceritakan pada kami Al-Qasim, telah menceritakan pada kami Al-Husain, telah menceritakan pada saya Hajjaj dari Ibnu Juraij makna ayat tersebut seperti di atas.

[6] Zadul Masir, IV/415

[7] Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib Al-Bashri Al-Baghdadi yang lebih dikenal dengan Imam Al-Mawardi, beliau wafat th 450-H.

[8] An-Naktu wal Uyun, III/141

[9] Beliau adalah Imam Abu Muhammad Al-Husein bin Masud Al-Baghawi, digelari oleh para ulama sebagai Muhyis Sunnah (Yang Menghidupkan As-Sunnah), beliau wafat pada th 516-H.

[10] Maalimut Tanzil, V/420

[11] Fathul Qadir, V/161.

[12] Beliau adalah Imam Ibrahim bin Umar bin Hasan Ar-Ribath bin Ali bin Abi Bakr Al-Biqaiy, beliau wafat th 885-H.

[13] Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati was Suwar, V/416.

[14] Beliau adalah AbduLLAH bin Ahmad bin Mahmud Hafizhuddin Abul Barakat An-Nasafiy, beliau wafat th 710-H.

[15] Madrak At-Tanzil wa Haqaiqut Tawil, II/385.

[16] Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Musthafa Al-Amadiy, Mufti dan Mufassir, beliau wafat th 982-H.

[17] Irsyad Al-Aqlis Salim Ila Mazaya Al-Kitab Al-Karim, V/5.

[18] Beliau adalah AbduRRAHMAN bin Abi Bakr, diberi gelar Jalaluddin, beliau wafat th 911-H.

[19] Ad-Durr Al-Mantsur, VII/210.

[20] Beliau adalah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar Asy-Syihi, beliau wafat th 741-H.

[21] Lubab At-Tawil fil Maani At-Tanzil, IV/469

[22] Beliau adalah Abu Zaid AbduRRAHMAN bin Muhammad bin Makhluf Ats-Tsaalabiy, beliau wafat th 876-H.

[23] Al-Jawahirul Hasan fi Tafsiril Quran, III/54.

[24] Jamiul Bayan, XX/100

[25] Ibid, XII/268

[26] Jaamiul Bayaan fi Tawiilil Quraan, VII/91

[27] Ini juga pendapat Imam Al-Biqaiy, lih. Tafsirnya Nuzhmud Durar fii Tanaasubil Aayaati was Suwar, II/94

[28] Ad-Durrul Mantsur fit Tawili bil Matsur, II/405

[29] Saya berusaha men-takhrij hadits ini, dan saya menemukannya bukan hanya dalam Musnad Ahmad (43/297); melainkan jg oleh Ibnu Asakir (38/206); berkata Al-Albani dalam Fii Zhilalil Jannah (80-84) bahwa hadits ini maudhu namun akhir kalimat dalam hadits ini terdapat syawahid dari hadits shahih.

[30] Maalimut Tanzil, II/84

[31] Ini juga pendapat Imam Ibnul Jauzy, lih. Zaadul Masiir, I/391. Tapi beliau juga menerima pendapat yang menyatakan kewajiban membentuk jamaah ini fardhu kifayah, dan beliau menyamakan kedudukannya seperti jihad fi sabiliLLAAH.

[32] Al-Hajj, 22/30

[33] HR Tirmidzi, VI/383-386; Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah, I/42 (dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam taliq-nya atas kitab tersebut); Al-Lalikai dalam Syarah Ushul Itiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah, I/106-107; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I/114; Ahmad dalam Al-Musnad, I/18.

[34] At-Tahriru wat Tanwiru, III/178

[35] QS Al-Araaf, 7/38

[36] Al-Jami li-Ahkamil Quran, I/1081

[37] Ini juga pendapat Imam An-Nasafiy, lih. Madrak at-Tanzil wa Haqaiqu at-Tawil, I/174; demikian juga Al-Khazin, lih. Lubab at-Tawil fil Maani at-Tanzil, I/434.

[38] Ini juga pendapat Imam Asy-Syaukani, lih. Fathul Qadir, II/8. Ada baiknya bagi yang berminat untuk merujuknya, ada ulasan beliau yang amat berharga tentang masyruiyyah-nya ikhtilaf dalam masalah2 furu dikalangan para ulama salafus-shalih, dan mereka menamakan ikhtilaf tersebut sebagai bentuk ijtihad (demikian pula paparan Imam Abu Saud dalam kitabnya Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Quranil Kariem, I/432).

[39] Fii Zhilaalil Quran, I/413

[40] Maksud beliau -rahimahuLLAAH- adalah penjelasan beliau atas tafsir ayat sebelumnya (QS Aali-Imraan, III/102-103)

MASYRUIYYATU AT-TANZHIM FI AD-DAWAH AL-ISLAMIYYAH AL-MUASHIRAHDan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar [217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Aali Imraan, 3/104)

[217] Maruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

MUQADDIMMAHSalah satu dakwaan aneh dari para tokoh kaum Zhahiriyyah dari ummat ini, di antaranya adalah bahwa Islam tidak membenarkan tanzhim (struktur organisasi) dalam berdakwah, membuat tanzhim menurut mereka adalah adalah bidah yang tidak dikenal oleh generasi As-Salafus Shalih, maka oleh karena ia tidak ada dimasa As-Salafus Shalih, maka menurut mereka ia harus ditolak sejauh-jauhnya & para pelakunya yang menggunakan tanzhim dalam dakwah mereka dianggap Ahli Bidah sehingga harus di-tahdzir. Inna liLLAAHi wa inna ilaihi raajiuun..

Tentunya dakwaan ini keluar tiada lain karena telah menyimpangnya mereka dari Al-Haqq dan karena sikap ekstrem (ghuluww) yang telah berurat berakar di antara mereka. Padahal Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- telah mengingatkan kita semua dari sikap ekstremitas ini dalam sabdanya: Wahai sekalian manusia berhati-hatilah kalian pada sikap ekstrem dalam beragama, karena sesungguhnya yang telah mencelakakan ummat sebelum kalian adalah sikap ekstrem dalam beragama [1].

Tanzhim dalam aktifitas dakwah adalah merupakan sebuah hal yang bersifat dharuriy (tidak bisa tidak) dalam fiqh, berdasarkan kaidah ushul-fiqh: Maa laa yatimmul waajib illa bihi fahuwa waajib (suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka yang lain itu menjadi wajib pula hukumnya), jangankan untuk berdakwah, sedangkan untuk memasukkan sesuap nasi ke dalam mulut kita saja, tidak mungkin tercapai tanpa adanya tanzhim, coba anda bayangkan jika tidak ada pabrik pupuk, perusahaan cangkul, perusahaan pestisida, pasar, dsb. Apakah mungkin nasi itu bisa mencukupi untuk seluruh bangsa Indonesia ini?! Jika sekedar untuk urusan perut saja membutuhkan sebuah tanzhim, maka apatah lagi dalam urusan iqamatuddin dan ustadziyyatul-alam!

Kebodohan macam apa lagi yang menimpa ummat ini, sehingga mereka bisa melahirkan orang-orang yang berfikir sepicik mereka itu?! Tetapi kita memang tidak perlu heran, karena mereka memang telah memunculkan banyak fatwa yang menggelikan & sekaligus membingungkan ummat, di antaranya bahwa kata mereka di dunia sekarang ini tidak ada ulama mujtahid kecuali hanya 3 orang saja, yaitu Ibni Baaz, Al-Albani & Ibnu Utsaimin. Terlepas dari pengakuan kita pada kapasitas keulamaan ketiga ulama tersebut, tapi adakah seorang yang berilmu membatasi ulama mujtahid hanya 3 orang saja? Lalu coba antum tanyakan kepada mereka: Lalu siapa yang bisa membatasi ulama cuma 3 orang itu saja?! Antum?! Fa man antum?!

Ikhwah wa akhwat rahimakumuLLAAH, membuat tanzhim dalam gerakan dakwah merupakan sebuah kemestian (hatmiyyah) yang tidak bisa ditawar-tawar & ditunda-tunda lagi, baik berdasarkan dharuriyyah-fiqhiyyah di atas, juga berdasarkan sunnah-kauniyyah (yaitu bahwa alam semesta ini merupakan sebuah nizham-alamiyy, yang semuanya menempati posisi & fungsi yang berbeda-beda dan telah tetap & ditentukan), juga berdasarkan ihtiyajaat-basyariyyah (kebutuhan kemanusiaan, dalam segala hal dalam kemanusiaan kita memerlukan pengorganisasian yang rapi & terstruktur) serta dharuriyyah-harakiyyah (kebutuhan mendesak kebangkitan Islam kontemporer).

Sebenarnya logika sehat sederhana di atas sudah cukup bagi orang yang berakal untuk menunjukkan urgensi organisasi (ahamiyyah-tanzhim) dalam dakwah di era modern ini. Namun sebagaimana biasanya, maka kelompok zhahiriyyun-ghullat (tekstualis-ekstrem) itu tidak akan mau menerima kecuali bil-lughati qawmihim (hanya dengan bahasa kaumnya), maka supaya tidak dituduh aqlaniyyin (kelompok yang menuhankan akal), maka ana akan menunjukkan dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih tentang Masyruiyyatu Tanzhim fid-Dakwah Al-Islamiyyah Al-Muashirah (Dalil-Dalil disyariatkannya tanzhim dalam Dakwah di Era Modern), supaya liyahlika man halaka an bayyinah wa yahya man hayya an bayyinah..

TAFSIR AYATBerkata Imam Abu Jafar At-Thabari ketika mengawali tafsirnya atas ayat ini [2]: Berkata ALLAH Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji: WALTAKUN MINKUM wahai orang-orang beriman; UMMATUN yaitu Jamaah [3]; YADUNA yaitu pada manusia; ILAL KHAYRI yaitu pada Islam & syariatnya yang telah ditetapkan-NYA bagi hamba-hamba-Nya; WA YAMURUNA BIL MARUFI, yaitu memerintahkan manusia untuk mengikuti Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- dan agama yang dibawanya; WA YANHAUNA ANIL MUNKARI, yaitu mencegah mereka dari kekafiran pada ALLAH -Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi- dan penentangan pada Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- dan dari agama yang dibawanya, yaitu melalui Jihad di jalan-NYA baik dengan tangan maupun anggota badan, sehingga mereka mengikuti dengan ketaatan (Perhatikanlah bahwa Imam At-Thabari menyebutkan agar ada & terbentuknya suatu jamaah di antara ummat ini)..

Imam Jalaluddin As-Suyuthi bahkan lebih maju lagi, beliau dalam tafsirnya [4] setelah menjelaskan berbagai hadits shahih berkaitan ayat ini, menyebutkan atsar dari Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bin Hayyan: Bahwa hendaklah ada suatu kaum, baik 1 atau 2 atau 3 kelompok atau lebih dari itu dan itulah baru disebut sebagai ummat. Kemudian ia berkata lagi: Lalu (hendaklah) ada imamnya yang memimpin untuk amar maruf & nahi munkar. Lebih jauh beliau menyitir hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Dzarr -semoga ALLAH Yang Maha Gagah lagi maha Tinggi meridhoinya-: Dua orang lebih baik dari 1 orang, 3 orang lebih baik dari 2 orang, dan 4 orang lebih baik dari 3 orang, maka hendaklah kalian bersama Al-Jamaah, karena ALLAH tidak akan mengumpulkan ummatku kecuali atas petunjuk [5].

Imam -Muhyis Sunnah- Abu Muhammad Al-Baghawi menyebutkan dalam tafsirnya [6] bahwa huruf lam pada kata waltakun bermakna kewajiban.. sementara min dalam kata minkum ummah bermakna shilah dan bukan lit-tabidh (menunjukkan sebagian) [7] sebagaimana dalam ayat: FAJTANIBUR RIJSA MINAL AWTSANI [8].. yang maknanya: Hendaklah mereka menjauhi semua berhala & bukan hanya sebagian berhala saja. Kemudian Imam Al-Baghawi menyebutkan beberapa hadits, di antaranya dari Umar -semoga ALLAH Yang Maha Suci laga Maha Tinggi meridhoinya- Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- bersabda: Barangsiapa yang menginginkan puncaknya Jannah maka wajib atasnya menetapi Al-Jamaah, karena sesungguhnya Syaithan itu bersama orang yang sendirian, dan terhadap 2 orang ia lebih menjauh [9].

Imam Ibnu Asyur dalam tafsirnya [10] bahwa makna ummah adalah jamaah, kelompok, sebagaimana dalam ayat yang lain disebutkan: KULLAMAA DAKHALAT UMMATUN LAANAT UKHTAHA [11].. Karena asal kata ummat dalam bahasa Arab adalah sekelompok orang yang memiliki 1 tujuan yang sama, bisa berupa keturunan, atau agama, atau lainnya, dan kejelasannya diketahui melalui keterkaitannya (idhafah) dengan kata setelahnya, semisal: Ummatul-Arab atau Ummatun-Nashara, dll.

Imam Abi AbduLLAH Syamsuddin Al-Qurthubi Al-Anshari Al-Khazraji dalam kitabnya [12] berpendapat bahwa min dalam kata minkum ummah bermakna lit-tabidh (menunjukkan sebagian) [13], karena orang-orang yang memerintahkan yang maruf itu haruslah berilmu, sementara tidak semua orang berilmu, maka kewajiban ini bersifat fardhu kifayah, jika sebagian kaum muslimin sudah melakukannya maka yang lain tidak berdosa [14].

Sayyid Quthb -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- menyatakan dalam tafsirnya [15]: Tidak bisa tidak ayat ini memerintahkan agar terwujudnya sebuah Jamaah Islamiyyah yang selalu berdakwah kepada kebaikan, memerintahkan yang maruf & mencegah yang munkar. Dan hendaklah ada sebuah pemerintahan yang tegak berdiri di atas bumi ini melakukan hal tersebut, sehingga ayat ini tidak hanya berbunyi yaduuna (berdakwah saja) melainkan juga yamuruuna (memerintah) dan yanhauna (melarang) yang keduanya itu tidak akan tegak kecuali adanya sebuah pemerintahan yang Islami.. Sampai kata beliau -semoga ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi menjadikan beliau Syahid- pada akhir penjelasannya atas ayat tersebut: Untuk demi tercapainya hal tersebut di atas, maka tidak dapat tidak haruslah ada sebuah kelompok/jamaah yang memiliki 2 kekuatan di atas [16] yaitu Iimaanu biLLLAAH (QS Aali-Imraan, 3/102) dan Ukhuwwatu-fiLLAAH (QS Aali-Imraan, 3/103) baru bisa mewujudkan ayat ini (QS Aali-Imraan, 3/104)

Demikianlah maka berdasarkan dalil-dalil di atas bahwa tegaknya Al-Jamaah merupakan dharurah-syariyyah, yang kesemuanya tidak akan dapat tegak dengan kerja infiradiyyah (sendiri-sendiri) dan hanya mengharapkan dari tarbiyyah & tashfiyyah saja, melainkan memerlukan suatu tanzhim yang kuat & rapi untuk menggapainya.. Jika dikatakan bahwa As-Salafus Shalih pasca generasi sahabat -semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- tidak membuat tanzhim, maka saya jawab bahwa dimasa mereka sudah ada Al-Jamaah & Al-Khilafah, maka haram hukumnya membuat kelompok baru yang berbeda dari Jamaah kaum muslimin. Adapun sekarang, maka tidak ada Khilafah, tidak ada Al-Jamaah & tidak ada Al-Hukumah, maka tiada jalan lain kecuali membentuk & mendirikannya.. Dan persoalan ini jauh lebih mendesak & lebih penting dari mendalami & bertele-tele dalam masalah ibadah-mahdhah, cukuplah sunnah para sahabat -semoga ALLAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi mereka semua- yang sampai meninggalkan pengurusan & pemakaman jenazah Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- untuk memilih Khalifah menjadi dalil atas hal tersebut.

Saya akhiri penjelasan ini dengan sebuah hadits Nabi Muhammad -semoga shalawat dan salam ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi senantiasa tercurah pada diri beliau- berikut: Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar yang disampaikan di depan penguasa yang zhalim [17]. ALLAAHu alamu bish Shawaab

Catatan Kaki:[1] Hadits ini di-takhrij oleh Imam An-Nasai, X/83; Ibnu Majah, IX/134; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra, V/85; Al-Hakim, IV/256; At-Thabrani dalam Al-Kubra, X/301 dan dalam Al-Awsath, V/234; Abu Yala, V/481; Shahih Ibnu Habban, XVI/243; Shahih Ibnu Khuzaimah, X/284. Dan hadits ini shahih. Jangan anda tertipu dengan orang yang menyatakan hadits ini telah di-dhaif-kan oleh Al-Albani dalam kitab Silsilah Ahaadits Adh-Dhaifah; orang tersebut telah berdusta atas nama Al-Albani, bahkan hadits ini shahih & di-shahih-kan oleh Albani dalam berbagai kitabnya, diantaranya Silsilatu Ahaadits Ash-Shahihah, III/278 dan V/177; juga dalam kitabnya Shahih wa Dhaif Sunan An-Nasai, VII/129; juga dalam kitabnya Shahih wa Dhaif Sunan Ibnu Majah, VII/29; juga dalam kitabnya Shahih wa Dhaif Jami Shaghir, X/392.

[2] Jaamiul Bayaan fi Tawiilil Quraan, VII/91

[3] Ini juga pendapat Imam Al-Biqaiy, lih. Tafsirnya Nuzhmud Durar fii Tanaasubil Aayaati was Suwar, II/94

[4] Ad-Durrul Mantsur fit Tawili bil Matsur, II/405

[5] Saya berusaha men-takhrij hadits ini, dan saya menemukannya bukan hanya dalam Musnad Ahmad (43/297); melainkan jg oleh Ibnu Asakir (38/206); berkata Al-Albani dalam Fii Zhilalil Jannah (80-84) bahwa hadits ini maudhu namun akhir kalimat dalam hadits ini terdapat syawahid dari hadits shahih.

[6] Maalimut Tanzil, II/84

[7] Ini juga pendapat Imam Ibnul Jauzy, lih. Zaadul Masiir, I/391. Tapi beliau juga menerima pendapat yang menyatakan kewajiban membentuk jamaah ini fardhu kifayah, dan beliau menyamakan kedudukannya seperti jihad fi sabiliLLAAH.

[8] Al-Hajj, 22/30

[9] HR Tirmidzi, VI/383-386; Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah, I/42 (dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam taliq-nya atas kitab tersebut); Al-Lalikai dalam Syarah Ushul Itiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah, I/106-107; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, I/114; Ahmad dalam Al-Musnad, I/18.

[10] At-Tahriru wat Tanwiru, III/178

[11] QS Al-Araaf, 7/38

[12] Al-Jami li-Ahkamil Quran, I/1081

[13] Ini juga pendapat Imam An-Nasafiy, lih. Madrak at-Tanzil wa Haqaiqu at-Tawil, I/174; demikian juga Al-Khazin, lih. Lubab at-Tawil fil Maani at-Tanzil, I/434.

[14] Ini juga pendapat Imam Asy-Syaukani, lih. Fathul Qadir, II/8. Ada baiknya bagi yang berminat untuk merujuknya, ada ulasan beliau yang amat berharga tentang masyruiyyah-nya ikhtilaf dalam masalah2 furu dikalangan para ulama salafus-shalih, dan mereka menamakan ikhtilaf tersebut sbg bentuk ijtihad (demikian pula paparan Imam Abu Saud dalam kitabnya Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Quranil Kariem, I/432).

[15] Fii Zhilaalil Quran, I/413

[16] Maksud beliau -rahimahuLLAAH- adalah penjelasan beliau atas tafsir ayat sebelumnya (QS Aali-Imraan, III/102-103)

[17] HR Abu Daud, XI/419; Ibnu Majah, XII/15; Ahmad, XXII/261; Hakim, XIX/443; Thabrani dalam Al-Kabir, VII/327; Al-Baihaqi, dalam Syuabul Iman, XVI/120; Abu Yala, III/107; Bahkan Imam Tirmidzi menulis 1 bab khusus tentang tema ini, yaitu : Maa Jaaa Afdhalul Jihaad Kalimatu Adlin Inda Sulthanin Jaair, VIII/82; Al-Albani men-shahih-kan hadits ini dalam Ash-Shaahihah, I/490 juga dalam Misykaatul Mashaabiih, II/343.

APAKAH BERBAIAT KEPADA JAMAAH MINAL MUSLIMIN MERUPAKAN BIDAH?

(Hal Al-Bayah Lil Jamaah Minal Muslimin Hiyal Bidah?)

Baiah Menurut Arti LughahBerasal dari kata ba-ya-a yang artinya menjual atau juga membeli. Dikatakan bitu-syaiin artinya syaraytuhu (aku telah menjualnya); ia juga bisa berarti isytaraytuhu (aku telah membelinya), sehingga ia memiliki arti ganda [1].

Juga dapat bermakna ketaatan, al-bayah (Indonesia: baiah atau baiat) artinya al-mutabaah (mengikuti) wa ath-thaah (mentaati) [2]. Disebut Al-Bayah karena kesiapan sang penerima bayah tersebut untuk mengikuti & taat [3].

Juga berarti akad atau janji, al-aqdu / al-ahdu, sebagaimana dalam hadits disebutkan: Dosa yang paling besar dari dosa-dosa besar adalah kalian memerangi kaum yang ada perjanjian dengan kalian [4].

Ia juga dapat berarti gereja, al-biiah, sebagaimana dalam kitab Shahih Al-Bukhari, dalam bab Ash-Shalatu fil Biah (Hukum Shalat di dalam Gereja) [5]

Baiah Dalam Al-QuranKedua makna baiah di atas dapat kita temukan dalam Al-Quran Al-Karim, sementara makna yang ketiga kita dapatkan dalam Al-Hadits.

Dalam makna pertama (jual-beli), seperti dalam QS Al-Baqarah 2/282 berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu) jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya, janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya, yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan, jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Dalam makna kedua (ketaatan & mengikuti perintah) terbagi menjadi 2, yaitu bayah-nisa (hanya mendengar & taat) sebagaimana dalam QS Al-Mumtahanah 60/12 sbb:

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam QS Al-Fath 48/10 dan ayat 18-nya sbb:

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia [6] kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka [7], maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) [8].

Baiah Dalam As-SunnahBaiah yang disebutkan dalam As-Sunnah adalah sangat banyak, di antaranya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih & hasan berikut ini:

1. Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh ALLAH SWT pada Hari Kiamat dan orang yang telah mem-baiat seorang Imam lalu jika Imam itu memberi kepadanya maka iapun setia dan jika Imam itu tidak memberinya maka iapun tidak setia kepadanya. [9]

2. Barangsiapa mem-baiat seorang Imam lalu Imam tersebut memberikan buah hatinya dan mengulurkan tangannya, maka hendaklah ia mentaatinya sedapat mungkin dan apabila ada Imam lain yang menyainginya maka hendaklah mereka memukul leher Imam yang datang belakangan itu. [10]

3. Adalah Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, tiap kali sang nabi wafat, maka digantikan oleh Nabi berikutnya. Dan sesungguhnya tidak ada lagi Nabi setelahku, tetapi akan ada para Khalifah, mereka banyak jumlahnya. Para sahabat bertanya: Apa yang Anda perintahkan kepada kami? Nabi SAW bersabda: Patuhilah baiah pertama, berikanlah hak mereka, karena ALLAH akan menanyakan kepada mereka apa yang menjadi tanggungjawab mereka. [11]

4. Lalu apa yang anda perintahkan kepadaku wahai RasuluLLAH? Maka Nabi SAW bersabda: Penuhilah baiah yang pertama karena itulah yang utama dan berikanlah pada mereka hak mereka, karena sesungguhnya ALLAH SWT akan menanyakan pada mereka tentang tanggungjawab mereka. [12]

5. Barangsiapa mem-baiat seorang Amir tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin, maka tidak ada baiat baginya dan tidak ada baiat bagi yang mem-baiat-nya. [13]

6. Apabila di-baiat 2 orang Khalifah, maka bunuhlah Khalifah yang terakhir dari keduanya. [14]

7. Barangsiapa yang meninggal dan di lehernya tidak ada baiah maka ia mati dalam keadaan Jahiliyyah. [15]

Baiah Boleh Dilakukan Kepada Selain Imamah-Uzhma Pada Masa As-Salafus-Shalih1. Sebagian kaum muslimin mem-baiah Muawiyah semoga ALLAH meridhoinya - saat Ali bin Abi Thalib semoga ALLAH meridhoinya - masih menjabat sebagai khalifah yang sah [16], dan hal ini tidak diingkari oleh Nabi semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau -, beliau hanya menyebut Ali semoga ALLAH meridhoinya - lebih dekat pada kebenaran [17].

2. Bahkan sebagian Ulama yang tajam bashirahnya, menyatakan bahwa terdapat hikmah besar dari peristiwa peperangan di masa Ali semoga ALLAH meridhoinya - karena dengan keluhuran & keluasan ilmunya sebagai sahabat generasi pertama kita dapat meletakkan dasar-dasar & kaidah-kaidah syariat yang amat berharga tentang jika terjadi perselisihan antara 2 kelompok kaum muslimin serta hukum-hukum fiqh di sekitar peperangan antara sesama Ahli Kiblat [18].

3. Sebagian kaum muslimin ber-baiah pada Ummul Muminin Aisyah semoga ALLAH meridhoinya - dan berperang bersamanya melawan Khalifah Ali semoga ALLAH meridhoinya - dan Nabi semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau - tidak mencaci Aisyah semoga ALLAH meridhoinya - bahkan meminta Ali semoga ALLAH meridhoinya - agar memperlakukannya dengan halus [19].

4. Sebagian kaum muslimin juga mem-baiah Al-Hasan bin Ali semoga ALLAH meridhoinya - di masa pemerintahan Muawiyyah semoga ALLAH meridhoinya - masih berkuasa, dan tidak diingkari oleh para shahabat yang lainnya semoga ALLAH meridhoinya [20]. Dan Nabi semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau - menamakan kedua kelompok tersebut keduanya muslim, sebagaimana dalam sabdanya: Cucuku ini adalah pemimpin pemuda Ahli Syurga, semoga ALLAH mendamaikan 2 kelompok kaum muslimin yang berselisih melalui dirinya. [21]

5. Sebagian kaum muslimin juga mem-baiah Yazid bin Muawiyah, sementara sebagiannya mem-baiah Al-Husein bin Ali semoga ALLAH meridhoinya [22].

6. Kaum muslimin mem-baiah para tokoh selain Khalifah, seperti yang dilakukan oleh qabilah Nakhai terhadap Al-Asytar, menjelang perang Shiffin [23].

Menolak Ber-Baiah Pada Penguasa Yang Sah Karena Sesuatu Hal Juga Tidak Diingkari Oleh As-Salafus-Shalih1. Ali semoga ALLAH meridhoinya - berkata pada Saad bin Abi Waqqash semoga ALLAH meridhoinya: Ber-baiatlah Engkau! Saad menjawab: Aku tidak akan ber-baiat sebelum orang-orang semua ber-baiat. Tapi demi ALLAH tidak ada persoalan apa-apa bagiku. Mendengar itu Ali semoga ALLAH meridhoinya - berkata: Biarkanlah dia. Lalu Ali semoga ALLAH meridhoinya - menemui Ibnu Umar semoga ALLAH meridhoinya - dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar semoga ALLAH meridhoinya: Aku tidak akan ber-baiat sebelum orang-orang semua ber-baiat. Jawab Ali semoga ALLAH meridhoinya: Berilah aku jaminan. Jawab Ibnu Umar semoga ALLAH meridhoinya: Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan. Lalu Al-Asytar berkata: Biar kupenggal lehernya! Jawab Ali semoga ALLAH meridhoinya: Akulah jaminannya, biarkan dia. [24]

2. Imam Al-Waqidi mencatat ada 7 orang shahabat besar semoga ALLAH meridhoinya - yang tidak memberikan baiat pada Khalifah Ali semoga ALLAH meridhoinya - yaitu: Sad bin Abi Waqqash, AbduLLAH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa dan Usamah bin Zaid semoga ALLAH meridhoinya [25].

Keluar dari Ketaatan dan Memberontak Kepada Imamah Uzhma Juga Dibenarkan Oleh As-Salafus-Shalih Sepanjang Bisa Menghasilkan Mashlahat Dawah yang Lebih Besar1. Said bin Jubair, Syurahbil bin Amir Asy-Syabiy, dan Al-Asyats bin Qays memerangi Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafiy, di antaranya pada peperangan yang terkenal sebagai peristiwa Dairul Jamahim [26].

2. Bahkan di dalam kitab-kitab Ash-Shahih selain hadits-hadits tentang perintah agar kaum muslimin bersabar kepada penguasa yang zhalim, dibolehkan juga memberontak kepada Khalifah jika telah ditemui tanda-tanda kekufuran yang terang-terangan [27].

Batasan Sahnya Jumlah Orang yang Mem-Baiat Menurut Para Ulama Ushul1. Sebagian Ahli Ushul berpendapat bahwa baiah shah dilakukan oleh minimal 5 orang, baik kelimanya yang mengusulkan maupun salah satu mengusulkan dan disepakati oleh yang lainnya, hal ini berdasarkan dalil pengangkatan Abubakar semoga ALLAH meridhoinya - dilakukan oleh 5 orang shahabat. Bahkan para fuqaha Kufah berpendapat 3 orang sudah sah, karena didasarkan pada sahnya akad nikah [28].

2. Imam Al-Mawardi berkata bahwa pengangkatan Imam ini hukumnya fardhu kifayah, dan kewajiban ini sejajar dengan kewajiban jihad & menuntut ilmu. Sehingga jika seseorang telah melakukannya dan ia memang mememnuhi syarat sesuai syariah, maka lepas kewajiban masyarakat pada umumnya [29].

Bahayanya Berpegang Kepada Zhahir Hadits Saja dan Mengabaikan Fiqh Maqashid-Syariah dalam Masalah IniDisebutkan dalam hadits-hadits shahih bahwa jika kaum muslimin saling berperang maka kedua kelompok yang berperang tersebut masuk neraka, sbb:

1. Apabila 2 orang muslim berhadapan dengan pedangnya masing-masing maka yang membunuh & terbunuh di neraka. [30]

2. Dunia ini tidak akan Kiamat sebelum datang pada manusia suatu zaman saat pembunuh tidak tahu kenapa ia membunuh & yang dibunuh pun tidak tahu kenapa ia dibunuh. Tanya para sahabat semoga ALLAH meridhoinya: Bagaimana nasib mereka wahai RasuluLLAH? Jawab Nabi semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau: Binasa! Pembunuh & yang dibunuh akan masuk neraka. [31]

Jelaslah jika kita hanya berpegang kepada zhahir hadits saja, tanpa mendalami ilmu fiqh, maka berdasarkan zhahir hadits di atas kedua kelompok para sahabat semoga ALLAH meridhoinya - yang berperang sebagaimana disebutkan di atas, keduanya akan masuk neraka, kita berlindung kepada ALLAH Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi - dari pemahaman seperti ini..

Wahai ikhwan wa akhwat fiLLAH, takutlah kepada ALLAH dari sikap suuzhan kepada sesama kaum muslimin yang berijtihad, dan hendaklah kita berperasangka baik kepada saudara-saudara kita dari kelompok muslimin yang lain, karena ilmu itu bukan monopoli seseorang atau sekelompok orang saja, wa fawqa kulla dzii ilmin aliim..

WaLLAHu alam bish ShawabCatatan Kaki:[1] Ash-Shihhah fil Lughah, Al-Jauhary, I/60; Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, VIII/23; Tajul Arus, Az-Zubaidi, I/5119

[2] Al-Mukhashshish, Ibnu Sayyidihi, I/276

[3] Tahdzibu Al-Lughah, Al-Azhariy, I/392

[4] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/213

[5] Al-Jamius-Shahih, Al-Bukhari, II/213

[6] Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. Mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang Karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman Telah dibunuh. Karena itu nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan baiah (janji setia) kepada beliau. Merekapun mengadakan janji setia kepada nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama nabi sampai kemenangan tercapai. perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, Karena itu disebut Baiatur Ridwan. Baiatur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.

[7] Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan, caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu, hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.

[8] Yang dimaksud dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar.

[9] HR Al-Bukhari, V/9; lih. juga dalam Al-Fath, XIII/35

[10] HR Muslim III/1472-1473; Nasai, VII/152-153; Abu Daud, IV/97; Ibnu Majah, II/1306

[11] HR Bukhari, V/401; Muslim, III/1471; Ibnu Majah, II/958; Ahmad, II/297

[12] HR Muslim, III/1472 ini adalah lafazh-nya; Bukhari, V/403; Al-Fath, VI/495; Ibnu Majah, II/958-959; Ahmad, II/297

[13] HR Ahmad dalam Al-Musnad, dan ini adalah lafzh-nya; Al-Fath, XII/145

[14] HR Muslim, III/1480; Ahmad, III/95

[15] HR Muslim, III/1478

[16] Usud Al-Ghabah, Ibnul Atsir, I/113

[17] HR Muslim, VII/168

[18] At-Tamhid fi Ar-Radd alal Mulhidah, Al-Baqillani, hal. 229

[19] HR Al-Hakim, Al-Mustadrak ala Shahihain, III/119

[20] Ibid, I/265

[21] HR Al-Bukhari, VIII/94

[22] Ibid, II/193

[23] HR Ibnu Abi Syaibah & Al-Hakim, dari Umar bin Said An-Nakhai

[24] Al-Milal wa An-Nihal, Ibnu Hazm, IV/103 dari riwayat Imam At-Thabari

[25] Tarikh Ar-Rusul, Al-Waqidi, IV/429

[26] Tarikh Ar-Rusul wal Mulk, At-Thabary, VI/346

[27] HR Al-Bukhari, VIII/88

[28] Tarikh Ar-Rusul wal Mulk, At-Thabary, IV/497-498

[29] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 4

[30] Fathul Bari, Ibnu Hajar, XIII/34

[31] Fathul Bari, XIII/34

SAMPAI SEJAUH MANAKAH PERBEDAAN DITOLERIR DALAM ISLAM?

Assalamu alaykum, Innal hamda liLLAHi, alladzi allafa bayna qulubina fa ashbahna binimatiHI Ikhwana, Ash Shalatu was Salamu ala Sayyidil Mursalin wa Imamil Mujahidin Muhammad wa ala alihi, Amma Badu.

Ikhwa wa akhwat fiLLAH rahimakumuLLAH,

Dalam materi Bahtsul-Kutub (Bedah Buku) kali ini, kami ingin mengajak antum semua untuk melihat salah satu fenomena dalam kehidupan keseharian kita para aktifis dakwah, dimana kita melihat berbagai perbedaan di kalangan kaum muslimin/ah saudara-saudara kita, terdapatnya beragam pemikiran, mazhab dan kelompok, pertanyaan yang mengemuka adalah: Apakah perbedaan seperti ini dibenarkan dan ditolerir oleh Islam? Kalau jawabannya ya, maka sampai sejauh mana hal itu dibolehkan?

Dalam mensikapi fenomena ini maka terdapat dua kelompok ekstrem di masyarakat kita:

Pertama, kelompok yang membenarkan semuanya, mereka ini berpendapat bahwa Islam adalah bagaikan Pelangi, kita tidak bisa memvonis semua kelompok yang ada tersebut, karena jika kita memberikan justifikasi, maka siapa yang memberikan kewenangan untuk itu? Karena semuanya menurut kelompok ini sangat tergantung sudut pandang masing-masing. Oleh karenanya menurut pemahaman kelompok ini, kebenaran adalah relatif, karena sangat dipengaruhi oleh cara pandang seseorang/sekelompok orang terhadap hal tersebut.

Kedua, adalah kelompok yang memvonis semua kelompok di luar kelompoknya sebagai salah, sesat dan oleh karenanya pastilah masuk neraka. Yang benar adalah kelompoknya sendiri, kemudian kelompok yang kedua ini memperkuat pandangannya dengan beberapa ayat dan hadits yang nampak bersesuaian dengan pandangannya, maka jadilah vonis mubtadi, sempalan atau bahkan kafir dan musyrik menjadi pembenaran atas hal ini.

Lalu bagaimanakah kita mensikapi fenomena ini? Apakah pada pemahaman kelompok pertama yang cenderung filosofis? Atau pada pemahaman kelompok kedua yang cenderung simplistis? Salah seorang tokoh pemikir Islam, DR Muhammad Immarah, membuat tulisannya untuk membahas masalah ini secara detil dan rinci, lengkap dengan argumentasi yang ilmiah, baik dari sisi literaturnya yang berbobot maupun dari sisi logika akal sehatnya yang juga tajam dan argumentatif.

Inti dari tulisan ini adalah, DR Immarah mencoba membatasi permasalahan keanekaragaman pemikiran dan mazhab dalam Islam tersebut pada dua titik-tolak, yaitu pada masalah-masalah prinsip Islam (ushul) dan masalah-masalah cabang islam (furu). Menurut DR Immarah perbedaan pemahaman pada masalah-masalah dasar syariah adalah terlarang dan berbahaya, dan hendaklah semua kelompok menyatukan pemahamannya pada kesepakatan kaum muslimin sejak dulu sampai sekarang, karena barangsiapa yang menyimpang darinya maka ia telah keluar dari The Basic Islamic Mindframe dan oleh karenanya tidak dapat ditoleransi. Hal-hal ini seperti menyangkut masalah-masalah aqidah, dasar-dasar Ibadah & dasar-dasar Muamalah.

Adapun perbedaan pendapat, pemikiran dan aliran pada aspek-aspek cabang-cabang syariah maka hal tersebut dibolehkan dan ditolerir oleh Islam, sepanjang masih didasarkan pada dalil-dalil yang kuat dan benar, serta metode pengambilan hukumnya (istinbath ad-dalil) juga telah dilakukan secara benar. Hal-hal ini biasanya berkaitan dengan masalah wasilah (sarana), uslub (metode) dan style/gaya berbagai aliran dalam memahami dalil-dalil yang multi-interpretatif (masalah-masalah ijtihadiyyah), sehingga ada yang menggunakan qiyas (reasoning by analogy), istihsan (preference), mashalih-mursalah (utility), dll.

Pada akhir tulisannya, Ustaz Immarah melengkapinya dengan ilustrasi tadabbur dan tafakkur kita terhadap fenomena penciptaan di alam semesta ini, yaitu senantiasa saling berkelindannya antara berbagai ciptaan dan hukum ALLAH SWT antara hal-hal yang mesti satu (unvariat) yang pada saat yang sama selalu berjalan seiring dengan hal-hal yang bersifat variatif.

Untuk lebih jelasnya kami persilakan akhi dan ukhti fiLLAH mendalami makalah DR Immarah, yang insya ALLAH akan sangat berguna sebagai dasar dalam memahami kaidah-kaidah dalam Fiqh Ikhtilaf (salah satu cabang fiqh yang membahas tentang mengapa terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama Islam beserta dalil-dalilnya). Nafaani wa iyyakum

AlhamduliLLAHi was Shalatu was Salamu ala ibadiHI alladzinasthafa, Assalamu alaykum,

Abu AbduLLAH

BAHTSUL-KUTUB: PLURALITAS DALAM PANDANGAN ISLAM: MENSIKAPI PERBEDAAN DAN KEMAJEMUKAN DALAM BINGKAI PERSATUANDiterjemahkan dan Diringkas dari Kitab AL-ISLAM WA AT-TAADDUDIYYAH: AL-IKHTILAF WA AT-TANAWWU FI ITHARI WIHDAH

Karangan DR Muhammad Immarah

MUQADDIMMAHIslam mengakui bahwa sifat ketunggalan (yang tidak memiliki arti plural) adalah bagi bagi ALLAH SWT, dan tidak bagi makhluk-NYA. Sedangkan semua makhluqnya, baik malaikat, manusia, hewan, tumbuhan dan materil semuanya berdiri di atas kemajemukan dan perbedaan. Dan bahkan pluralitas ini disebut oleh ALLAH SWT sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-NYA yang hanya bisa difahami oleh orang-orang yang mengetahui saja. Firman-NYA:

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah menciptakan langit dan bumi dan berbeda-bedanya bahasa kalian dan warna kulit kalian, sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui. (QS. Ar Rum, 30/22)

Ini adalah undang-undang Ilahiah, sehingga ALLAH SWT mengajak ummat Islam agar menjadi ummat yang moderat, yang berusaha menjadi saksi yang menengahi dan menyeimbangkan dari berbagai kemajemukan yang ada dan bukan dengan membiarkannya apa adanya tapi bukan pula menghilangkan sama sekali perbedaan tersebut. Firman-NYA:

Dan demikianlah KAMI telah menjadikan kamu ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian.. (QS. Al Baqarah, 2/143)

Banyak orang yang salah mengartikan berbagai ayat, sehingga menganggapnya sebagai ayat yang mencela perbedaan dan mewajibkan untuk menghilangkan perbedaan tersebut, seperti contohnya ayat:

Jikalau RABB-mu menghendaki niscaya DIA menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang dirahmati ALLAH, dan untuk itulah ALLAH menciptakan mereka (QS. Hud, 11/118-119).

Padahal para mufassir menafsirkan ayat ini sebagai: Perbedaan, kemajemukan dan pluralitas dalam syariat merupakan keadaan yang tidak bisa tidak dalam penciptaan makhluk, sehingga makna: Dan untuk itulah ALLAH menciptakan mereka, maka pluralitas merupakan illat (alasan) keberadaan wujud makhluk ini. [1]

Pluralitas, sepanjang pada hal-hal yang dibenarkan, adalah motivator untuk menghadapi ujian serta untuk berkompetisi dan berkarya diantara masing-masing pihak yang berbeda tersebut, karena jika hanya satu ummat saja maka tidak akan ada lagi motivasi untuk berlomba tersebut yang merupakan tujuan dari penciptaan manusia. Hal ini sesuai dengan firman ALLAH SWT yang lainnya sebagai berikut:

Untuk tiap-tiap ummat diantara kalian KAMI berikan aturan dan jalan yang terang, sekiranya ALLAH menghendaki niscaya kalian dijadikan-NYA satu ummat saja, tetapi ALLAH hendak menguji kalian terhadap pemberian-NYA kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS. Al Maidah, 5/48)

Bahkan dikalangan non muslimpun ALLAH SWT tidak menyamaratakan mereka semua sebagai jahat semua atau memusuhi kaum muslimin semua, ALLAH SWT Sang Maha Adil menyatakan dengan keadilan-NYA bahwa diantara mereka (non muslim) terjadi juga pluralitas dan ada yang masih memiliki nilai-nilai kebaikan, sebagaimana firman-NYA:

Mereka itu tidak sama, diantara ahli-kitab itu ada golongan yang berlaku lurus (QS. Ali Imran, 3/113-115).

Dalam firman-NYA yang lain:

dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kalian lihat mata-mata mereka mencucurkan airmata disebabkan kebenaran al-Quran (QS. Al Maidah, 5/82-83)

(Bersambung Insya ALLAH)

REFERENSI:[1] Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran, Darul Kutub al-Mishriyyah, juz-9, hal 114-115.

SAMPAI SEJAUH MANAKAH PERBEDAAN DITOLERIR DALAM ISLAM? (BAGIAN KE-2)

Assalamualaykum, AlhamduliLLAH wash Shalatu was Salamu ala rasuliLLAH wa ala alihi, Wa Badu. Pada bagian kedua Bedah Buku kita kali ini (melanjutkan tulisan bagian-1 yang lalu), al-ustaz DR Muhammad Immarah menjelaskan berbagai fatwa dan pendapat ulama salafus-shalih tentang hujjiyyatu at-tanawwu (kehujjahan pluralitas) dalam syariat Islam.

Dimana dalam tulisan ini beliau menunjukkan bagaimana sikap salafus-shalih yang alim dan faqih membenarkan dan bahkan menjustifikasi perbedaan pendapat, sepanjang dalam masalah-masalah furuiyyah dan ijtihadiyyah dan bahwa merekapun dalam kehidupan mereka membiarkan perbedaan tersebut terjadi, mereka baru bereaksi dan melarang jika perbedaan yang terjadi adalah dalam masalah-masalah dasar agama. Mari kita simak fatwa-fatwa ulama salafush-shalih tersebut sebagai berikut:

SIKAP PARA ULAMA SALAFUS-SHALIH TERHADAP PLURALITAS DALAM MAZHAB DAN FATWA1. Imam al-Qurthubi: Karena berbeda-bedalah maka ALLAH SWT menciptakan mereka manusia. [1]

2. Imam Ghazali: Bagaimana mungkin ummat akan bersatu mendengarkan satu pendapat saja, padahal mereka telah ditetapkan sejak di alam azali bahwa mereka akan terus berbeda pendapat kecuali orang-orang yang dirahmati ALLAH (para Rasul as), dan karena hikmah perbedaan itulah mereka diciptakan. [2]

3. Abu Hayyan at-Tauhidi: Tidak mungkin manusia berbeda pada bentuk lahir mereka lalu tidak berbeda dalam hal batin mereka, dan tidak sesuai pula dengan hikmah penciptaan mereka, jika sesuatu yang terus menerus membanyak sementara tidak berbeda2. [3]

4. Sayyid Quthb: Adalah tabiat manusia untuk berbeda, karena perbedaan adalah dasar diciptakannya manusia yang mengakibatkan hikmah yang sangat tinggi, seperti perbedaan mereka dalam berbagai potensi dan tugas yang diemban, sehingga akan membawa perbedaan dalam kerangka berfikir, kecendrungan metodologi dan tehnik yang ditempuh. Kehidupan dunia ini akan membusuk jika ALLAH SWT tidak mendorong manusia melalui manusia lainnya, agar energi berpendar, saling bersaing dan saling mengungguli, sehingga mereka akan menggali potensi terpendam mereka untuk terus berupaya memakmurkan bumi ini yang akhirnya akan membawa pada kebaikan, kemajuan dan pertumbuhan. Itulah kaidah umum yang tidak akan berubah selama manusia masih tetap disebut sebagai manusia. [4]

5. Imam Syihabuddin al-Qarafi: Telah ditetapkan dalam ushul-fiqh bahwa hukum-hukum syariat seluruhnya dapat diketahui disebabkan oleh adanya ijma bahwa seluruh mujtahid, jika zhan (kecendrungan terkuat menurutnya) mencapai suatu hukum tertentu maka itulah hukum ALLAH SWT bagi dirinya dan bagi para pengikutnya. [5]

6. Imam Malik (pemimpin mazhab Maliki) pernah diminta oleh khalifah abu Jafar al-Manshur untuk menyatukan semua ummat di dalam mazhab fiqh-nya, maka jawab Imam Malik: Wahai amirul muminin jangan lakukan itu, karena manusia telah banyak menerima pendapat ulama lainnya, mereka pun telah mendengar dan meriwayatkan banyak hadits, dan setiap kaum telah berhukum sesuai dengan riwayat yang telah lebih dulu sampai pada mereka, maka biarkanlah mereka mengambil hukum sesuai dengan pilihan mereka sendiri. [6]

7. Lebih lanjut dimasa Harun ar-Rasyid, Imam Malik kembali diminta untuk menyatukan manusia dalam mazhab-nya, maka kembali ditolak oleh Imam Malik, katanya: Jangan lakukan itu karena sahabat-sahabat rasuluLLAH SAW telah berbeda pendapat dalam masalah furu hukum dan mereka telah berpencar di banyak wilayah, dan setiap sunnah telah didengar dan dijalankan orang. Mendengar itu khalifah ar-Rasyid merasa puas dan memuji Imam Maliki seraya berkata: Semoga ALLAH SWT memberikan taufiq kepada anda wahai abu AbdiLLAH. [7]

(Bersambung insya ALLAH )

REFERENSI:[1] Al-Jami li Ahkam al-Quran, juz 9, hal 114-115.

[2] Al-Qisthas al-Mustaqim, hal.61. Bagian dari kumpulan kitab al-Qushur al-Alawi min Rasail al-Imam al-Ghazali. Maktabah al-Jundi, Kairo.

[3] Al-Imtina wa al-Muassanah, juz 3, hal 99, Kairo (tahqiq Ahmad Amin dan Ahmad az-Zain).

[4] Fi Zhilalil Quran, juz 1, hal 171, 215 dan juz 4, hal 2425.

[5] Al-Umniyyah fi Idrak Anniyyah, hal 515, dalam kumpulan kitab Al-Qarafi wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami (tahqiq AbduLLAH Ibrahim Shalah)

[6] Risalah ash Shahabah dalam Jamharah Rasail al-Arab, Ahmad Zaki Shafwat, no.26 dikutip dari An Nazhariyyah Ammah lisy Syariah Islamiyyah, hal 200.

[7] HujjatuLLAH al-Balighah, Syah WaliuLLAH ad-Dahlawi, juz 1, hal 145.

SAMPAI SEJAUH MANAKAH PERBEDAAN DITOLERIR DALAM ISLAM? (BAGIAN KE-3)

Assalamu alaykum, AlhamduliLLAHi wash Shalatu was Salamu ala RasuliLLAH wa ala alihi, Wa Badu. Ikhwah wa akhwat fiLLAH pada bagian ketiga Bahtsul-Kutub (Bedah-Buku) kita dari tulisannya DR Muhammad Immarah beliau menjelaskan point penting dari Perbedaan Pendapat dalam Islam, yaitu dimana kita boleh berbeda pendapat dan dimana yang tidak boleh berbeda pendapat. Nafaani waiyyakum AlhamduliLLAH wash Shalatu was Salamu ala RasuliLLAH wa ala alihi.

PLURALITAS ANTARA YANG DIBENARKAN DAN YANG DILARANGPluralitas dalam ijtihad furu bukan berarti perbedaan dalam pokok agama, dan pluralitas dalam masalah ini tidak termasuk perpecahan ummat dan perbedaan yang dilarang. Berkata Imam Syafii: Aku mendapati ahli ilmu pada masa lalu dan kini berbeda pendapat dalam sebagian masalah, apakah itu dibolehkan? Lalu ia menjawabnya sendiri: Perbedaan pendapat ada 2 macam: Ada yang diharamkan dan ada yang tidak, yang diharamkan adalah segala hal telah ALLAH SWT berikan hujjah-NYA baik dalam kitab-NYA atau melalui lisan nabi-NYA secara jelas dan tegas maka hal ini tidak boleh berbeda pendapat bagi yang mengetahuinya. Maka ALLAH melarang perbedaan pendapat pada masalah yang telah dijelaskan secara tegas dalam nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. [1]

Imam asy Syatibi menjelaskan lebih rinci, sebagai berikut: Perpecahan yang dilarang adalah perpecahan dalam agama (QS 6/159 dan QS 3/7) dan bukan perbedaan dalam hukum agama. Perbedaan yang kedua ini kita dapatkan para sahabat ra setelah wafatnya nabi SAW berbeda pendapat dalam berbagai hukum agama. Pendapat mereka berbeda-beda tetapi mereka menjadi terpuji karena mereka telah berijtihad dalam masalah yang memang diperintahkan untuk itu. Bersamaan dengan itu mereka adalah orang-orang yang saling mencintai satu sama lain serta saling menasihati dalam persaudaraan Islam. [2]

Hikmah yang tinggi ini hanya dapat difahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya tentang syariat, lihatlah bagaimana jawaban khalifah Ali ra ketika ditanyakan padanya: Bagaimana hukum orang-orang yang memerangi beliau apakah mereka kafir? Maka jawab Imam Ali ra: Justru mereka itu adalah orang-orang yang lari dari kekafiran! Lalu ditanya lagi: Apakah mereka itu orang-orang munafiq? Maka jawab Imam yang mendalam ilmunya ini: Orang munafiq adalah orang yang tidak menyebut nama ALLAH kecuali sedikit, tidak mendirikan shalat kecuali merasa malas dan tidak berinfaq kecuali merasa berat. Lalu ditanya lagi: Lalu apa hukum mereka itu? Maka jawab khalifah: Mereka adalah saudara-saudara kita yang sedang memberontak terhadap kita, maka sebab itulah kita memeranginya.

Lalu khalifah yang adil ini berkhutbah: Wahai sekalian manusia! Kita telah berhadapan dengan mereka, Tuhan kita satu, nabi kita satu, dan dakwah kita satu. Kita tidak pernah menganggap keimanan kita kepada ALLAH lebih baik dari mereka, serta pembenaran kita kepada rasuluLLAH SAW lebih baik dari mereka, dan mereka pun tidak beranggapan lebih baik dari kita. Yang menjadi masalah kita adalah satu, yaitu perbedan pendapat kita tentang darah Utsman, sedang kita bebas dari hal tersebut. [3]

Demikianlah bahwa perselisihan dan perbedaan pendapat tidak selalu berarti perpecahan dalam agama yang diharamkan, selama hal tersebut dalam masalah-masalah cabang syariat (furu) dan bukan pada masalah-masalah pokok (ushul), serta masih berada dalam koridor Islam dan dilakukan demi terwujudnya hukum-hukum syariat, demi hikmah penciptaan yang sudah difitrahkan bagi manusia.

(Bersambung insya ALLAH)

REFERENSI:[1] Ar-Risalah lisy Syafii, hal 560, Maktabah Ilmiyyah, Kairo (tahqiq Ahmad Muhammad Syakir).

[2] Al-Muwafaqaat lisy Syatibi, juz 4, hal 121, 124.

[3] Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, juz 17, hal 141.

SAMPAI SEJAUH MANAKAH PERBEDAAN DITOLERIR DALAM ISLAM? (BAGIAN KE-4, TAMAT)

Assalamu alaykum, AlhamduliLLAHi wash Shalatu was Salamu ala rasuliLLAH wa ala alihi, Amma Badu. Pada bagian terakhir bahtsul-kutub (bedah-buku) kita kali ini, saya sampaikan bagian terakhir dan paling menarik dari tulisan ustadz DR Immarah, yaitu tentang SENANTIASA BERPADUNYA ANTARA KESATUAN DAN KEANEKARAGAMAN, seolah-olah RABB dan ILAH kita yang Maha Mengetahui, Maha Teliti dan Maha Meliputi segala sesuatu ingin menekankan kepada kita bahwa SELALU ADA BAGIAN-BAGIAN POKOK (USHUL) YANG TIDAK BOLEH BERBEDA, harus 1 pemahaman, 1 penafsiran dan 1 sikap diantara kaum muslimin; yang pada sisi yang sama bagian-bagian itu SELALU MENGANDUNG BAGIAN-BAGIAN LAINNYA YANG MERUPAKAN CABANG-CABANGNYA (FURU) yang boleh bahkan kadangkala harus berbeda, bervariasi, memungkinkan multi-penafsiran dan multi pemikiran

Bagian terakhir ini juga menepis pemahaman sebagian saudara kita kaum muslimin (sebagaimana yang telah saya jelaskan pada bagian pertama dari bedah buku ini), yaitu sikap ekstremitas diantara 2 kelompok kaum muslimin, antara; Pertama, kelompok yang membenarkan semua perbedaan, yaitu yang berpendapat bahwa Islam adalah bagaikan Pelangi, kebenaran adalah relatif, karena sangat dipengaruhi oleh cara pandang seseorang/sekelompok orang terhadap hal tersebut. Kedua, adalah kelompok yang berpendapat Islam semuanya tidak boleh ada perbedaan dan harus 1 kelompok saja, lalu memvonis semua kelompok di luar kelompoknya sebagai salah, sesat dan oleh karenanya pastilah masuk neraka. Yang benar adalah kelompoknya sendiri.

Pemahaman kedua kelompok ekstrem di atas oleh karenanya kurang tepat, yang benar adalah Islam mengharuskan adanya kesatuan pemahaman dalam masalah-masalah dasar aqidah, dasar ibadah dan dasar muamalah; sementara Islam mentolerir multi pemikiran dalam masalah-masalah cabang aqidah, cabang ibadah dan cabang muamalah. Kedua sisi ini bagaikan 2 sisi dari 1 mata uang yang tidak terpisahkan satu sama lain, tidaklah orang yang berusaha membebaskan semuanya ataupun menyatukan semuanya kecuali ia akan menyimpang dan terlepas dari jalan yang benar

Ikhwah wa akhwat fiLLAH, demikian akhir dari Bedah Buku kita atas kitab karangan ustadz DR Muhammad Immarah: AL-ISLAM WA AT-TAADDUDIYYAH: AL-IKHTILAF WA AT-TANAWWU FI ITHARI WIHDAH, nafaani waiyyakum

Subahana RABBika RABBil Izzati amma yashifun wa Salamun alal mursalin walhamduliLLAHi RABBil alamin

Abu AbduLLAH

SENANTIASA BERKELINDANNYA PENCIPTAAN ALLAH SWT ANTARA SINGULARITAS DAN PLURALITAS1. Tuhan yang Satu tapi Pluralitas dalam Sifat dan Asma-NYA: Salah satu konsekuansi dari syahadah kita adalah menyatakan dan meyakini bahwa RABB kita dan ILAH kita adalah Satu, tiada sekutu bagi-NYA dan DIA adalah Pemilik kita dan kepada-NYA kita akan kembali. Tetapi Tuhan yang Maha Satu itu ternyata memiliki pluralitas dalam Sifat dan Asma-NYA (diantaranya termasuk 99 asma ALLAH SWT) yang barangsiapa menghafal dan mengaplikasikannya akan masuk Jannah.

2. Awal Penciptaan Makhluq yang Satu tapi Pluralitas dalam Jenis-jenisnya: Firman-NYA: Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya ALLAH menurunkan air dari langit maka diatur-NYA menjadi sumber-sumber air di bumi, lalu ditumbuhkan-NYA dengan air itu tanaman yang bermacam-macam warnanya (QS 39/21). ALLAH SWT menciptakan angin, lalu DIA membeda-bedakan angin tersebut menjadi angin yang sangat dingin (QS 3/117), angin yang baik (QS 10/22), angin topan (16/69), angin yang membinasakan (QS 51/41), angin yang mengawinkan (QS 15/22), angin yang membawa berita gembira (QS 30/46).

3. Agama yang Satu dan Pluralitas dalam Syariat, Metode dan Politik. Agama yang diridhoi disisi ALLAH SWT hanya satu yaitu Islam (QS 3/19-20, 52, 67, 85). Ibnul Qayyim mengatakan: Ada politik yang fariyyah karena disesuaikan dengan maslahat yang berbeda karena perbedaan zaman, dan ada pula syariat-syariat yang umum yang harus terus menjadi aturan ummat sampai hari Kiamat. Adapun politik yang fariyyah yang mengikuti maslahat-maslahat tertentu ia terbatas dalam lingkup zaman dan tempat tertentu, dan tentang hal ini para fuqaha telah bersepakat.[1]

4. Syariat yang Satu tapi Pluralitas dalam Fatwa dan Hukum. Syariat adalah satu tetapi penerapan hukumnya bisa beragam dan berbeda-beda, renungkanlah jawaban khalifah Ali ra ketika kaum Khawarij meneriakkan yel-yel: Tidak ada keputusan hukum kecuali hanya bagi ALLAH! Maka jawab Ali ra: Itu adalah kalimat yang benar, tapi digunakan secara salah[2] Masalah syariat menjadi tidak boleh berbeda jika dalilnya berkekuatan qathi tsubut dan qathi dilalah, dan sebaliknya masalah tersebut menjadi boleh beragam penafsiran jika dalilnya zhanni tsubut atau zhanni dilalah. Berkata Imam Ibnu Hazm: Diantara bagian dari syariat ALLAH adalah memberikan hak perumusan hukum tertentu bagi selain ALLAH SWT.[3] Berkata Imam Ghazali: Masalah Imamah tidak termasuk masalah pokok (ushul), tapi ia adalah masalah fiqh furu Kesalahan dalam imamah, penentuan dan syarat-syaratnya serta yang berhubungan dengan negara dan politik tidak sedikitpun berimplikasi pada pengkafiran.[4] Berkata pula Imam al-Haramain: Sesungguhnya pembicaraan dalam masalah Imamah bukan termasuk ushul aqidah.[5] Berkata Imam aj-Jurjani: Sesungguhnya imamah bukan termasuk ushul agama dan akidah, tapi ia adalah bagian furu yang juzi yang berkaitan dengan orang-orang yang mukallaf.[6] Ditambahkan oleh Asy Syahrastani: Benar bahwa imamah bukan termasuk bagian ushul dari aqidah.[7] Ibnu Khaldun seorang pakar politik Islam berkata: Imamah bukan termasuk rukun agama, karena ia adalah bagian dari maslahat yang diserahkan pada hasil pemikiran manusia.[8]

5. Satu Kemanusiaan tapi Pluralitas dalam Ummat, Suku, Bangsa dan Ras. Firman-NYA: Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada RABB-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu dan darinya ALLAH menciptakan istrinya dan dari keduanya ALLAH memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.. (QS 4/1) Dan bahkan hal ini dimasukkan sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan-NYA (QS 30/22). Bahkan golongan Jin pun disebutkan memiliki pluralitas pula: Dan diantara kami (Jin) ada orang-orang yang shalih dan ada pula yang tidak demikian, adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (QS 72/11)

6. Ummat yang Satu tapi Pluralitas dalam Partai Politik. Lihatlah fatwa pemimpin Salafi paling terkemuka syaikh Abdulaziz bin Baaz (mufti Saudi) yang sangat berbeda dengan para bawahannya, ketika beliau ditanya tentang perbedaan berbagai jamaah Islamiyyah yang ada di negara-negara kaum muslimin, jawab beliau: Keberadaan jamaah-jamaah ini adalah baik bagi kaum muslimin dan agar setiap jamah Islam seperti Jamaah Tabligh, Ittihad Thalabil Muslimin, Al-Ikhwanul Muslimin, Asy Syubbanul Muslimin, Anshar as Sunnah al Muhammadiyyah, al Jamiah asy Syariyyah dll bekerjasama satu dengan lainnya dalam kebenaran yang mereka sepakati dan agar saling memaklumi akan sisi-sisi perbedaan diantara mereka.[9]

7. Peradaban yang Satu tapi Pluralitas dalam Budaya. Terminologi al-Quran menyebutkannya dengan umran dan bukan hadharah (lih QS 11/61 dan 30/9), peradaban Islam memiliki ciri-ciri yang bersendikan tauhid, rabbaniyyah (tidak materialistik), wasathiyyah (moderat), insaniyyah (kemanusiaan), naqliyyah wa aqliyyah (bersumber pada dalil dan akal). Tetapi Islam juga menghormati perbedaan budaya (urf), seni, bahasa, dst, semua hal ini dibolehkan dan dikembangkan dalam Islam sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah pokok syariat.

(Selesai)

REFERENSI:[1] Ath Thuruq al Hakimah fis Siyasatis Syariyyah, hal 25-27 (tahqiq DR Jamal Ghazy).

[2] Nahjul Balaghah, hal 65.

[3] Al Mufadhalah baina as Shahabah, hal 66 dalam Nizhamul Khilafah fil Fikr al-Islami, DR Musthafa Hilmy, hal 171, Darud Dawah, Iskandariah.

[4] Fayshalah at Tafriqah bainal Islam wa az Zanadiqah, hal 15.

[5] Al-Irsyad, hal 410, Kairo, 1950.

[6] Syarh al-Mawaqif, juz 3, hal 261, Kairo.

[7] Nihayah al Iqdam, hal 478.

[8] Al-Muqaddimmah, hal 168, Kairo.

[9] Ar Raddul Wajiz ala syaikh Rabi bin Hadi al Madkhali, hal 60-61, DR AbduRRAHMAN abdul Khaliq.