isi

Download Isi

If you can't read please download the document

Upload: iqbalulloh

Post on 11-Nov-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Isi

TRANSCRIPT

3 | Page

BAB IPENDAHULUANLATAR BELAKANGSeluruh kehendak Allah tentang perbuatan manusia itu pada dasarnya terdapat dalam Al Quran dan penjelasannya dalam sunnah Nabi. Tidak ada yang luput satupun dari Al Quran. Namun Al Quran bukanlah kitab hukum dalam pengertian ahli fiqh karena di dalamnya terkandung titah dalam bentuk suruhan dan larangan , dengan ungkapan lain, Al Quran itu mengandung norma hukum.

Untuk memformulasikan titah Allah ke dalam hukum syara ( menurut istilah ahli fiqh ) diperlukan suatu usaha pemahaman dan penelusuran atau disebut dengan ijtihad. Ijtihad dalam ruang pengembangan hukum Islam perlu dilaksanakan secara terus menerus guna mengisi kekosongan hukum, sebab tidak mungkin ijtihad ulama terdahulu dapat mencakup semua hal secara mendetail pada ketentuan hukum masa sekarang. Apalagi saat ini frekuensi perubahan tingkah laku manusia sangat tinggi jika dibandingkan dengan masa masa sebelumnya. Ijtihad yang dilaksanakan tidak boleh menyimpang dari prinsip prinsip kemashlahatan dan harus sesuai dengan tujuan syariat.Oleh karena itu, diperlukan adanya syarat syarat orang yang beritihad, macam macam ijtihad yang sesuai dengan syariat, peringkat atau tingkatan ijtihad, lapangan ijtihad, dan urgensi ijtihad pada setiap masa. Yang akan dibahas secara detail dalam makalah ini.

RUMUSAN MASALAHApakah Definisi ijtihad ?Apakah dasar hukum ijtihad ?Apakah syarat syarat Mujtahid ?Apa saja Macam-macam IjtihadApa saja peringkat Mujtahid ?Apa saja lapangan Ijtihad ?Apakah Urgensi Ijtihad Pada Setiap Masa ?

TUJUAN Untuk mengetahui Definisi ijtihad Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad Untuk mengetahui syarat syarat Mujtahid Untuk mengetahui macam-macam IjtihadUntuk mengetahui peringkat MujtahidUntuk mengetahui apa lapangan Ijtihad Untuk mengetahui urgensi Ijtihad Pada Setiap Masa

BAB IIPEMBAHASAN

Pengertian IjtihadKata Ijtihad dalam lisanul Arab diambil dari kata al-Jahd dan al-Juhd, secara umum berarti al-Thaqah, yaitu tenaga, kuasa dan daya. Menurut arti harfiyah, ijtihad berarti mencurahkan tenaga, menguras pikiran, berusaha dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan semaksimal mungkin untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Menurut istilah, ijtihad adalah upaya maksimal dari seorang fiqih (mujtahid) dalam memperoleh ketentuan hukum yang bersifat dhanny. Menurut Al-Ghazali, melaksanakan ijtihad merupakan perbuatan yang bersifat dhanny yang sangat berat dan sulit, hasil dari ijtihad itu harus diyakini baik oleh mujtahid itu sendiri maupun oleh pengikutnya.

Disamping pengertian di atas, para pakar hukum Islam memberikan batasan pengertian ijtihad dalam arti sempit dan luas. Menurut pengertian yang sempit, ijtihad sama artinya dengan pengertian qiyas, dengan kata lain ijtihad itu hanya menjalankan qiyas atau membandingkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Sedangkan dalam arti luas, Ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara dari kittabullah dan hadis atau usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang serius.Dasar Hukum IjtihadIjtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad itu banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun bedasarkan isyarat, di antaranya :

Firman Allah SWT QS. An Nisa : 105 : Al Quran Terjemah, QS. An Nisa ayat 105, hlm. 95 Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman : Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda tanda ( kebesaran Allah ) bagi kaum yang memikirkan. ( QS. Ar Radu : 3 ) Al Quran Terjemah, QS. Ar Radu : 3, hlm. 249 Hadits Nabi Muhammad yang membolehkan berijtihad. Di antaranya hadits yan diriwayatkan oleh Umar. Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapat dua pahala, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.Demikian juga hadits Nabi yang menerangkan diutusnya seorang sahabat Muadz Bin Jabal ke Yaman untuk menjadi hakim: : . : : . : : : . . ( ) : Bahwasannya Rasulullah SAW ketika hendak mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman bertanya : Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan suatu perkara : Muadz menjawab : Saya menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah . Nabi bertanya lagi : Bila engkau tidak menemukan hukumnya di kitab Allah ? Jawab Muadz Dengan sunnah Rasulullah SAW . Nabi bertanya lagi, kalau dalam sunnah Rasul tidak ditemukan dan tidak pul dalam kitab Allah ? Muadz menjawab, saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar saya. Nabi bersabda : Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah yang diridhoi Rasul Allah Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 3592 dan 3593Hal itu diikuti oleh para sahabat setelah Nabi Muhammad wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al Quran dan Sunnah Rasul.Demikian juga dalam hal ijma, umat Islam dan berbagai madzhabnya telah sepakat atas dianjurkannnya ijtihad, dan ijtihad ini telah dipraktikkan dengan benar. Yusuf Qardhawi, Al Ijtihad Asy Syariah Al Islamiyah maa Nazharat Tahliyyyah fi Al Ijtihad Al muashir , penj Ahmad Syathori ( Jakarta : PT. Bulan Bintang , 1987 ) , hal. 100 Akal kita pun mewajibkan ijtihad, karena sebagian besar dalil dalil hukum syara praktis adalah bersifat zhanni yang menerima beberapa interpretasi pendapat, sehingga memerlukan adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang kuat atau yang terkuat. Demikian juga perkara perkara yang tidak ada nashnya menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum syaranya. Oleh karena itu, syariat Islam harus menetapkan semua hukum perbuatan hamba hamba Allah SWT maka tidak ada jalan selain dengan ijtihad.Syarat-syarat MujtahidSeorang mujtahid harus memiliki beberapa kriteria kemampuan yang telah ditetapkan, antara lain:

Harus mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terkandung dalam al-Quran dan hadis. Ia tidak harus hafal ayat dan hadis tersebut, minimal mengetahui dan dapat mencari secara cepat bila diperlukan.Mengetahui bahasa Arab. Karena dengan mengetahui bahasa Arab ia dapat dengan mudah menafsirkan segala sesuatu yang tersebut dalam al-Quran dan Hadis.Mengetahui metodologi qiyas dengan baik.Mengetahui Nasikh dan mansukh, sehingga ia dapat berpegang pada dalil yang secara hukum sudah tidak dipakai lagi.Harus mengetahui kaidah-kaidah ushul dengan baik dan juga harus mengetahui dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut, sehingga jika perlu ia menciptakan kaidah sendiri.Mengetahui maqashid al-ahkam. Rachmat Syafii, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999

Syarat-syarat ijtihad sebagaimana tersebut diatas merupakan syarat ijtihad yang ditetapkan oleh ahli hukum Islam di kalangan para Ushuliyah, bukan secara eksplisit ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.Disamping syarat - syarat tersebut, mujtahid harus memiliki integritas teologis yang merefleksikan sikap keberagamaan yang jujur dan dan dapat dipercaya. Terakhir seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang zamanya, masyarakatnya, permasalahan umat, aliran ideology, politik, agama dan mengetahui hubungan masyarakat dengan masyarakat lain serta sejauh mana interaksi saling memengaruhi antarmasyarakat tersebut. Manan Abdul, Reformasi hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta: 2006, halm. 159.

Menurut pendapat Syakhrasthani, bahwa hukum ijtihad termasuk fardhu kifayah, bukan fardhu ain. Artinya, apabila sudah ada satu orang yang telah melakukan ijtihad, maka gugurlah kewajiban orang lain. Sebaliknya apabila seluruh penduduk pada suatu masa tidak melakukan ijtihad, maka mereka telah berbuat tidak baik terhadap agamanya, dan apabila ini terus berlanjut, maka ia akan dekat dengan bahaya dalam melaksanakan kehidutupan bersama. Alasannya adalah hukum syara yang ijtihadi ( sebagai musabab ) sangat tergantung pada ijtihad ( sebagai sebab ) . Apabila sebabnya itu tidak dilaksanakan, hukum tersebut menjadi kosongndan seluruh tindakan dan pendapat menjadi salah. Agar hal ini tidak terjadi, maka ijtihad terhadap suatu masalah hukum harus dilaksanakan dan hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan pada sosok mujtahid sangat diperlukan. Menutup diri dari ijtihad akan mengakibatkan kemunduran dan keterbelakangan bagi umat Islam sendiri.Seberapa jauh peranan ijtihad dapat dilaksanakan oleh para mujtahid, hal ini sangat tergantung pada kriteria dari seorang mujathid itu sendiri. Para mujtahid yang melaksanakan ijtihad dalam hukum Islam, menurut para ahli hukum Islam ada beberapa kriteria, yaitu : Kutbuddin Aibak, Metodolgi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008Mujtahid mutsaqil, adalah mujtahid yang sangat mandiri dalam melakukan kajian ijtihadnya .

Mujtahid mutlak yang tidak tsaqil, mereka memilki kriteria yang ideal, tetapi tidak melahirkan kaidah kaidah sendiri, ia hanya mengikuti kaidah kaidah imamnya.

Mujtahid takhriy, yaitu mereka yang sangat terikat dengan kaidah imamnya

Mujtahid tarjih, yaitu mereka yang tidak dapat memenuhi kriteria kriteria tertentu, tetapi mereka menguasai ilmu fiqh dengan baik, mngetahui madzhab imamnya, dan memenuhi dasar ijtihad serta mampu mengaplikasikannya

Mujatahid fatwa, adalah mereka yang cukup menguasai fatwa fatwa imam madzhabnya, tetapi kurang menguasai kaidah kaida ushul nya, sehingga ia tidak mempunyai kecakapan dalam menentukan kaidah kaidah tersebut. Hukum Islam. Pembaruan hukum Islam tidak mungkin dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dengan baik dan benar, maka hukum hukum yang dilaksanakan dari proses ijtihad itu akan benar pula.

Macam-macam IjtihadDalam menetapkan macam-macam ijtihad para ahli membagi ijtihad dengan melihat kepada beberapa titik pandang yang berbeda: Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih, Kencana, Jakarta: 2008, Jilid 2

Karya ijtihad yang dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, ada tiga macam:

Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung di dalam nash, namun sifatnya dhanny, baik dari segi ketetapanya maupun dari segi penunjukanya. Contohnya menetapkan keharusan beriddah tiga kali suci terhadap istri yang dicerai dalam keadaan tidak hamil, tetapi telah dicampuri, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah : 228, yang artinya:

Istri-istri yang tertalaq hendaklah beriddah tiga kali quru.Dalam ayat tersebut, lafadz quru yang memiliki dua pengertian yang berbeda: bisa berarti bersuci, juga bisa berarti haid. Ijtihad untuk menetapkan pengertian quru dengan memahami beberapa petunjuk (qarinah) yang ada di sebut ijtihad bayani.Ijtihad Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash, baik secara qathI maupun secara dhanny, juga tidak ada ijma yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian (peristiwa) dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa tersebut terdapat kesamaan dalam illat hukumnya. Ijtihad seperti ini adalah melalui metode qiyas dan istihsan.

Ijtihad Istilahi, yaitu karya ijtihad untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syari dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat di nash, baik qathi maupun dhanny, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma. Dasar pegangan dalam ijtihad bentuk ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara yang bertujuan untuk menentukan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat maupun menhindari mudarat.

Selanjutnya macam ijtihad dilihat dari segi pelaksanaanya atau dari segi siapa yang terlibat langsung dalam melakukan penggalian dan penemuan hukum untuk kasus tertentu. dilihat dari segi ini ijtihad dibagi menjadi dua macam, yaitu:

Ijtihad Fardi, atau ijtihad perseorangan, yaitu ijtihad yang pelakunya hanya satu orang. Jenis ijtihad ini memungkinkan untuk dilakukan jika masalah atau kasus yang dijadikan objek ijtihad bersifat sederhana dan terjadi di tengah masyarakat yang sederhana, sehingga tidak memerlukan penelitian dan kajian dari berbagai disiplin ilmu. Mungkin juga mujtahidnya menguasai berbagai disiplin ilmu yang diperlukan untuk mengkaji masalah tersebut. contohnya ijtihad dalam menetapkan berlakunya tayamum: apakah berlaku untuk satu kali shalat atau lebih dari satu kali. Yang mungkin melakukan ijtihad individu ini hanya mujtahid al-Kamil yang ilmunya dapat melingkupi seluruh bidang ilmu. Ijtihad Jamai atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif (bersama). Ijtihad dalam bentuk ini terjadi karena masalah yang diselesaikan sangat kompleks (rumit) meliputi bidang yang luas, sehingga perlu melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang spesialis pada satu bidang tertentu. Contohnya mencari dan menentukan hukum bayi tabung. Untuk menentukan hukumnya tidak dapat dilakukan oleh soeorang ahli hukum (faqih), tetapi setidaknya melibatkan ahli biologi dan dokter ahli kandungan. Hasil yang dicapai dalam bentuk ijtihad kolektif ini tidak sama dengan ijma karena ulama yang berperan dalam ijtihad ini tidak meliputi seluruh ulama yang menjadi persyaratan bagi suatu ijma. Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih, Kencana, Jakarta: 2008, Jilid 2, halm: 286-293.

Peringkat MujtahidAda beberapa tingkatan mujtahid menurut Abu Zahrah, yaitu :Mujtahid dalam hukum syara Penempatan mujtahid ini pada peringkat pertama karena melihat hasil temuan yang dicapai dan ditetapkannya. Mujtahid ini menggali, menemukan, dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia menelaah hukum dari Al Quran dan mengistinbathkan hukum dari hadits Nabi. Ia menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum atas sesuatu yang dilihatnya ada kesamaan illat ( sebab ) antara hukum yang sudah ada nashnya dengan yang tidak ada nashnya, atau menggunakan istihan karena dilihatnya qiyas tidak mneyelasaikan masalah, dan menetapkan hukum atas dasar ,mashlahah mursalah, istishab , dan dalil lain bila tidak menemukan nash yang memberi petunjuk.Mujtahid Muntasib

Mujtahid ini dalam berijtihad memilih dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah ditetapkan oleh mujathid terdahulu, namun ia tidak mesti terkait pada mujtahid tersebut dalam menetapkan hukum furu ( fiqh ) meskipun temuan yang ditetapkannya ada kebetulan yang sama dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid yang dirujuknya. Keterikatan mujtahid ini dengan mujtahid sebelumnya karena ia berguru pada mujathid tersebut dan mengambil cara cara yang dipergunakan oleh gurunya dalam berijtihad. Dalam beberapa hal ia pun berbeda pendapat dengan gurunya itu.Mujatahid Madzhab

Mujtahid madzhab ialah ,mujtahid yang mengikuti imam madzhab tempat ia bernaung, baik dalam ilmu ushul maupun dalam furu ( cabang ). Ia mengikuti temuan yang dicapai imam madzhab dan tidak menyalahi apa yang ditetapkan oleh imamnya.Mujtahid ini dalam beberapa literatur disebut juga dengan mujtahid mukharrij, karena posisinya dalam ijtihad adalah mentakhrijkan ( mengeluarkan ) pendapat imam mujtahid dalam menjawab persoalan hukum pada kasus lain yang serupa. Kutbuddin Aibak, Metodolgi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 44Mujtahid Murajjih

Mujtahid murajjih adalah mujtahid yang berusaha menggali dan mengenal hukum furu, namun ia tidak sampai mengistinbathkan sendiri hukum dari dalil syari maupun dari nash imamnya. Pengerahan kemempuannya hanya menemukan pendapat pendapat yang pernah diriwayatkan dalam madzhab dan mentarjihkan di antara pendapat pendapat tersebut bagi pengamalannya.Ibnu Subki menamakan mujtahid dalam peringkat ini dengan mujtahid fatwa, yaitu orang yang mempunyai pengetahuan luas dalam madzhab imamnya yang memungkinkannya untuk melakukan tarjih dari beberapa pendapat tentang masalah dalam lingkup madzhab.Dihubungkannya kata tarjih dengan fatwa di sini, tampaknya karena yang akan difatwakan oleh mujtahid murajjih ini bukan hasil ijtihadnya, tetapi hasil tarjih yang dilakukannya dari beberapa pendapat yang relah berkembang dalam madzhab.Mujtahid Muwazin

Mujtahid muwazin oleh Abu Zahrah disebut juga dengan mustadillin, yaitu ulama yang tidak mempunyai kemampuan untuk mentarjih di antara beberapa pendapat madzhab kemudian berdalil dengan apa yang diangapnya lebih tepat untuk diamalkan.Golongan Huffaz

Golongan ini tidak melakukan ijtihad dalam pengertian istilah ( yang berlaku pada umumnya ), tetapi mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hukum hukum yang telah ditemukan oleh imam mujtahid terdahulu secara langsung dari nash atau apa yang ditemukan oleh mujtahid madzhab dengan mentakhrijkannya dari pendapat imam madzhab. Di samping ia menghafal hukum yang telah ditetapkan, juga mengahafal periwayatannya.Golongan Muqallid

Golongan ini adalah golongan umat yang tidak mempunyai kemampuan dalam melakukan ijtihad dalm pengertian istilah, juga tidak mempunyai kemampuan untuk mentakhrijkan pendapat imam, dan ia juga tidak memahami dalil dalil. Dalam beramal ia hanya mengikuti apa yang dikatakan imam madzhab, baik secara langsung atau menurut apa yang telah dikembangkan oleh pengikut madzhab.Dalam menetapkan siapa saja yang berhak menyandang peringkat mujtahid dan yang tidak berhak pada peringkat di atas, terdapat perbedaan di kalangan ahli ushul : Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih, Kencana, Jakarta: 2008, Jilid 2, halm. 297Salam Madzkur menempatkan peringkat pertama, kedua, dan ketiga pada jajaran mujtahid, karena jelas mereka memliki karya ijtihad. Sedangkan pada peringkat murajjih, muwazzin, dan peringkat yang di bawahnya ditempatkan pada golongan muqallid.Abu Zahrah menempatkan lima peringkat pertama sebagai mujtahid sedangkan yang di bawah termasuk muqallid, karena ulama yang hanya memiliki kemampuan untuk mentarjih, apalagi hanya mampu untuk membanding bandingkan di antara penadapat yang berkembang tidak menampakkan kegiatan ijtihad dalam pengertian yang umum digunakan.

Lapangan Ijtihad Secara umum, lapangan atau objek ijtihad adalah pencapaian atau penggalian hukum hukum syara ( al ahkam asy syariah ) yang tidak ditegaskan oleh nash baik Al Quran maupun hadits. Hal ini sejalan dengan apa yang ditangkap dari dialog antara Nabi dengan Muadz Bin Jabal yang menyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan dari Al Quran dan Hadits.

Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam Al Quran dan hadits itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu :Al Quran dan hadits secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan, dan tidak pula sebagiannnya. Seperti hukum menghimpun dan membukukan Al Quran dalam satu mushaf. Dalam hal ini, Al Quran dan hadits tidak menyuruh dan tidak pula melarang. Untuk menetapkan hukumnya diperlukan ijtihad.Secara jelas, langsung, dan menyeluruh memang tidak ada ketentun hukumnya dalam Al Quran dan Hadits, namun secara tidak langsug ada bagiannya ada penjelasannya. Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih, Kencana, Jakarta: 2008, Jilid 2, halm. 307 Penjelasan tidak langsung itu seperti hukum memukul orang tua, tetapi ada penjelasan mengenai larangan mengucapkan kata kata kasar ( uf ) terhadap orang tua. Meskipun secara tidak langsung kewajiban zakat padi tidak tersebut dalam hadits ( karena padi tidak populer sebagai makanan pokok di zaman Nabi ), namun secara tidak langsung telah dijelaskan dalam kewajiban mengeluarkan zakat gandum.

Penjelasan mengenai memindahkan organ orang orang mati kepada orang hidup ( transplantasi ) memang tidak ada penjelasannya dalam Al Quran maupun hadits secara jelas, namun ada larangan merusak jasad orang mati dalam hadits Nabi. Karena tidak jelas dan tidak langsung penjelsan Al Quran dan Hadits, maka diperlukan ijtihad.Ketidakpastian tersebut dapat dilihat dari segi penunjukannya terhadap hukum, yang disebut dilalahnya. Ketidakpastian dilalah itu berarti mangandung kemungkinan arti yang lain dari itu. Dengan demikian, ketidakpastian itu dapat dirinci menjadi tiga macam , yaitu :Tidak pasti keberadaannya sebagai nash, namun pasti penunjukannya terhadap hukum. Seperti hadits Nabi dari Syurhabil menurut kelompok perawi hadits selain Muslim tentang ucapan Ibnu Masud dalam hal kewarisan, Syara menetapkan atas dasar apa yang ditetapkan oleh Nabi, yaitu untuk seorang anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam untuk melengkapi dua pertiga dan selebihnya untuk saudara perempuan.

Hadits ini adalah hadits ahad yang dari segi wurudnya zhanni, namun dari segi dilalahnya adalah qathi, sehingga bila dapat diterima kebenaran hadits ini ( datang dari Nabi ), maka kemungkinan bagi ahli waris tersebut ada kemungkinan lain selain yang ditetapkan hadits tersebut. Namun karena wurudnya bersifat zhanni maka timbul perbedaan pendapat dalam menetapkan hukumnya.Tidak pasti penunjukan terhadap hukum ( zhanni dilalah ) tetapi pasti keberdaannya sebagai nash ( qathi al wurud ).

Seperti firman Allah QS; Al Baqarah : 228 : Al Quran Terjemah, QS. Al Baqarah ayat 228, hlm. 36 Istri istri yang tertalak hendaklah beriddah selama tiga kali quruDalil tersebut dari segi wurudnya adalah qathi karena ia adalah firman Allah yang tidak diragukan keberadaannya. Namun penunjukannya terhadap hukum yang ditimbukkannya tidak pasti . Karena kata quru dalam ayat itu terdapat dapat berarti suci dan dapat pula haidh, sehingga hukum yang ditimbulkan dari kedua arti itu menjadi berlawanan.Tidak pasti keberadaannnya sebagai dalil atau nash dan tidak pasti pula penunjukannya terhadap hukum.

Seperti Hadits Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan empat perawi hadits selain An Nasai bahwa Nabi berasabda : Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal.Hadits tersebut bersifat zhanni al wurud, dalam arti tidak diyakini keberadaannya dari Nabi, karena ia adalah hadits ahad, juga penunjukannya terhadap hukum pun tidak meyakinkan. Karena dari hadits itu ada dua kemungkinan pemahaman, yaitu : tidak sahnya pernikahan perempuan yang tidak diakadkan oleh walinya, dan dapat pula dipahami bahwa sahnya pernikahan perempuan itu apabila pernikahan itu telah mendapat izin walinya meskipun tidak diakadkan oleh walinya sendiri secara langsung. Adanya beberapa kemungkinan pemahaman itu menyebabkan hukum yang ditimbulkannya tidak pasti ( zhanni ).Setiap hukum yang telah ditetapkan melalui dalil yang qathi dari segi wurud dan dilalahnya bukan merupakan lapangan ijtihad yang akan mengahsilkan hukum yang berbeda dari ketentuan nash yang sudah pasti tersebut. Dalam hal ini para fuqaha menetapkan sebuah kaidah : Tidak ada lapangan untuk berijtihad dalam hal yang sudah ditetapkan dengan nash yang jelasDalam hal ini para ulama telah menetapkan syarat syarat tertentu yang padanya tidak boleh dilakukan ijtihad, yaitu :Tidak boleh dilakukan terhadap keberadaan Allah.Tidak diperkenankan terhadap keabsahan para Nabi Allah yang diutusNya langsung, dan setiap usaha yang dilakukan untuk memikirkan tentang kenabian.Tidak boleh dilakukan untuk menguji keabsahan kesucian Al Quran.

Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Asy Syaukani, menurutnya ijtihad memiliki lapangan yang sangat luas yaitu segala sesuatu yang tidak ditemukan hukumnya didalam nash secara langsung dan sesuatu yang ditemukan hukumnya di dalam nash secara langsung, tetapi bukan dalam nash yang qathi. Nasrun Rusli, KonsepIjtihad Asy Syaukani, Jakarta : Logos. 1998, hlm. 101 Secara lebih jelas yang menjadi lapangan ijtihad itu adalah :Masalah masalah yang telah ada nashnya yang zhanni ( diduga ) adanya dan petunjuknya, yakni nashnya berupa hadits ahad. Dalam hal ini, mujtahid dapat melakukan pengkajian mengenai sanad dan matan haditsnya untuk mengetahui dan menentukan shahih atau tidaknya.Masalah masalah yang telah ada nash yang qathi adanya ayat Al Quran atau hadits mutawatir, tetapi zhanni petunjuknya terhadap hukum yang dicari.Masalah masalah yang telah ada nashnya yang zhanni adanya dan yang qathi petunjuknya. Dan hal ini tidak terdapat dalam Al Quran, tetapi hanya terdapat dalam hadits. Dalam hal ini mujtahid mangkaji tentang sanad dan matannya untuk menentukan shahih atau tidaknya.Masalah masalah yang tidak ada nashnya dan belum tercapai ijma mengenai hukumnya. Da inilah yang dikatakan ijtihad dengan rayu. Tugas mujtahid adalah mencari dan menggali hukumnya melalui metode qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, urf, dan sebagainya. Kutbuddin Aibak, Metodogi Pembaruan Hukum Islam, 40 - 42

Urgensi Ijtihad Pada Setiap MasaSudah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahwa ijtihad itu hukumnya fardhu kifayah. Pada setiap masa tidak boleh kosong dari keberadaan mujtahid. Apabila kosong di suatu masa dari mujtahid maka kaum muslim berdosa. Dengan adanya seorang mujtahid atau lebih dari suatu masa maka akan mengggugurkan dosa kaum Muslim pada masa itu. Hal ini bisa ditetapkan dalam dua aspek, yaitu :

Sesungguhnya nash nash syariat Islam mengharuskan adanya ijtihad dari kaum Muslim, karena nash nash tersebut tidak datang secara rinci.Berbagai kejadian di dalam kehidupan ini senantiasa baru dan terus berkembang. Jika tidak mengerahkan kesungguhan untuk menggali hukum yang berkaitan dengan peristiwa peristiwa itu, kita tidak mungkin bisa menerapkan hukum syara terhadapnya.

Oleh karena itu, ijtihad merupakan suatu kewajiban bagi orang yang mampu di setiap masa. Dengan kata lain, ijtihad adalah fardhu kifayah.Jadi, ijtihad termasuk ke dalam kaidah : Tidak sempurna ( pelaksanaan ) suatu kewajiban tanpa adanya sesuatu, maka ( hukum atas ) sesuatu itu wajib pula.Tidak akan sempurna menghukumi (sesuatu) dengan hukum yang diturunkan Allah pada setiap masalah, kecuali dengan adanya ijtihad. Begitulah , Islam telah mendorong kita untuk berijtihad dan telah memberikan dua pahala kepada orang yang berijtiad dan benar dalam ijtihadnya. Dan memberikan satu pahala saja kepada orang yang berijtihad tetapi salah dalam ijtihadnya.Ijtihad telah dilaksanakan oleh kaum Muslim pada permulaan Islam. Para sahabat mempunyai ijtihad yang banyak dan perbedaan pendapat di antara mereka dalam berbagai masalah yang sangat populer. Mereka senantiasa menggali hukum selama hal itu memungkinkan, karena mereka adalah ahli bahasa dan saksi hidup yang menyaksikan turunnya Al Quran serta mengambil langsung dari Rsulullah SAW. Apa yang dilakukan para sahabat itu, pada generasi sesudahnya dilakukan pula oleh sekelompok orang, dan dari mereka muncul banyak mujtahid, seperti imam imam madzhab dan murid murid mereka. Masa Islam sesudahnya juga banyak terpancar mujtahid, sampai tiba pada masa kemunduran dan lemahnya ijtihad, lalu sirna, dan taqlid pun menjadi marak. Hingga hukum hukum Allah tidak mampu lagi diistinbathkan dari masalah masalah baru yang bermunculan. Dengan demikian, ijtihad harus terus menerus berlangsung agar di dalam umat Islam terdapat para mujtahid yag mempunyai kemampuan, agar Islam bisa kembali menjadi pemimpin dunia, bisa menyelesaikan berbagai permasalahan, dan mampu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Atha Bin Khalil, Ushul Fiqh , hal 355 - 357AnalisisIjtihad merupakan hal yang urgen di dalam kehidupan manusia. Sejak zaman Rasulullah SAW, ijtihad sudah diterapkan hingga Rasulullah SAW wafat. Kemudian masalah masalah hukum semakin berkembang di dalam masyarakat pada masa itu. Sahabat dalam memutuskan perkara hukum yang tidak terdapat nashnya baik di Al Quran maupun Hadits, maka sahabat berijtihad dengan melakukan ijma dengan sahabat, sehingga terjadi hasil kesepakatan dari sahabat dan hukum pun ditemukan.

Ijtihad pun berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan kompleksnya permasalahan yang berkembang di masyarakat, khususnya pada zaman sekarang di mana manusia dimanjakan dengan teknologi yang canggih. Sehingga menimbulkan banyak permasalahan hukum. Seperti perkawinan yang yang ijab qabulnya dilakukan melaui pesawat telepon, wakaf dalam bentuk yang tunai, dsb.Menurut kami, ada beberapa langkah untuk menyelesaikan masalah hukum di zaman sekarang, yaitu :Mengadakan kajian secara komperehensif terhadap keadaan tradisi Islam ( tradisonal maupun modern ). Dalam hal ini sangat diperlukan ijtihad fardhi maupun jamai atau ijtihad kolektif.Menggunakan kajian ilmiah kontemporer, tapi tidak mengabaikan intelektual Islam klasik.Menginterpretasikan Al Quran dan Hadits sesuai dengan keadaan sekarangMembandingkan pendapat madzhab madzhab mengenai hukum

Dengan adanya beberapa langkah di atas, dapat menyatukan atau mengumpulkan para ulama dan orang yang ahli di bidangnya dalam menyelesaikan berbagai perkara hukum.

BAB IIIPENUTUPKESIMPULANIjtihad adalah hal yang urgen dalam kehidupan umat Islam di belahan dunia, karena sebagian besar dalil dalil hukum syara praktis adalah bersifat zhanni yang menerima beberapa interpretasi pendapat, sehingga memerlukan adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang kuat . Demikian juga perkara perkara yang tidak ada nashnya menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum syaranya. Oleh karena itu, syariat Islam harus menetapkan semua hukum perbuatan hamba hamba Allah SWT, maka tidak ada jalan selain dengan ijtihad.Adapun syarat syarat mujtahid , yaitu :

Harus mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terkandung dalam al-Quran dan hadis. Mengetahui bahasa Arab. Mengetahui metodologi qiyas dengan baik.Mengetahui Nasikh dan mansukh, sehingga ia dapat berpegang pada dalil yang secara hukum sudah tidak dipakai lagi.Harus mengetahui kaidah-kaidah ushul dengan baik dan juga harus mengetahui dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut, sehingga jika perlu ia menciptakan kaidah sendiri.Mengetahui maqashid al-ahkam.

Para ahli membagi ijtihad dengan melihat kepada beberapa titik pandang yang berbeda, yaitu dari segi dari segi dalil yang dijadikan pedoman dan dari segi pelaksanaanya atau dari segi siapa yang terlibat langsung dalam melakukan penggalian dan penemuan hukum untuk kasus tertentu.

Ada beberapa tingkatan mujtahid menurut Abu Zahrah, yaitu Mujtahid dalam hukum syara , Mujtahid muntasib,mujtahid madzhab, mujtahid murajjih,mujtahid muwazzin, golongan huffaz, golongan muqallid.Lapangan atau objek ijtihad adalah pencapaian atau penggalian hukum hukum syara ( al ahkam asy syariah ) yang tidak ditegaskan oleh nash baik Al Quran maupun hadits.Hukum ijtihad adalah fardhu kifayah. Pada setiap masa tidak boleh kosong dari keberadaan mujtahid. Apabila kosong di suatu masa dari mujtahid maka kaum muslim berdosa. Dengan adanya seorang mujtahid atau lebih dari suatu masa maka akan mengggugurkan dosa kaum Muslim pada masa itu.

DAFTAR PUSTAKAAibak, Kutbuddin, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta : Pranada Media Grup, 2008Ibnu Atha, Khalil,penerjemah Yasin As- Sibai, Ushul Fiqh ,Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2003 Yusuf Qardhawi, Al Ijtihad Asy Syariah Al Islamiyah maa Nazharat Tahliyyyah fi Al Ijtihad Al muashir , penj Ahmad Syathori ( Jakarta : PT. Bulan Bintang , 1987 )Syafii , Rachmat , Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999Rusli, Nasrun, KonsepIjtihad Asy Syaukani, Jakarta : Logos. 1998Al Quran dan Terjemahnya , Departemen Agma, 2005