ijtihad

16

Click here to load reader

Upload: ili-nurizzati-abdul-rahman

Post on 23-Jun-2015

487 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: ijtihad

- 1 -

SEKAPUR SIRIH

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Sang pemberi karunia ilmu yang

tidak satu ilmupun yang kita miliki melainkan yang telah Ia berikan kepada kita, Ialah

Allohu Samiun 'alim. Sholawat serta salam semoga tercurah dan terlimpah kepada sang

pemimpin ilmu, pembawa cahaya ilmu, pengangkat derajat para penuntut ilmu ialah Nabi

Besar Muhammad SAW juga beserta keluarga, sahabatnya, dan moga kita juga

mendapatkan cucuran rahmat dari ilmu beliau. Amien.

Dalam makalah ini kami menyajikan berbagai permasalahan dalam ruang lingkup

pembahasan ijtihad yakni mencakup pengetian, kedudukan, fungsi, dan sejarah serta

perkembangan serta relevansinya dengan tuntutan dunia modern. Dn kami sangat

berharap makalah yang kami buat ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi

pembaca sekalian dan menjadi konstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan

Islam itu sendiri.

Kami mengucapkan mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam pengeditan atau

salah dalam penggunaan bahasa, semua tidak lepas dari kodrat kami sebagai manusia

yang selalu belajar dari kesalahan-kesalahan untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik.

Demi kesempurnaan makalah yang kami buat, kami mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca sekalian.

Jakarta, 19 November 2008

Tim Penulis

Page 2: ijtihad

- 2 -

BAB I

PENDAHULUAN

Secara sosiologis diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan.

Perubahan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada pada

masyarakat itu. Semakin maju cara berpikir suatu masyarakat, maka akan semakin

terbuka untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagi umat

beragama, dalam hal ini umat islam, kenyataan ini dapat menimbulkan masalah, terutama

apabila kegiatan itu di hubungkan dengan norma.-norma agama. Akibatnya, pemecahan

atas masalah tersebut diperlukan, sehingga syari'at islam dapat dibuktikan tidak

bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih dari itu dapat

diyakini bahwa syari'at islam sesuai untuk setiap masyarakat di mana dan kapanpun

mereka berada.

Gambaran tentang kemampuan syari'at islam menjawab segala persoalan modern

dapat dilakukan dengan mengemukakan beberapa prinsip syari'at islam mengenai tatanan

hidup secara vertikal antara manusia dengan Tuhannya dan secara horizontal antara

sesama manusia.

Sedangkan pembaruan tergantung kepada ijtihad sebagai salah satu sumber

jurisprudensi islam (mashâdiru-t tasyrî` al-islâmî). Kita semua tahu sumber otoritas

ijtihad ini dari hadits yang begitu popular, ketika rasul mengutus mu`adz bin jabal ke

yaman. Maka dalil di atas menunjukkan bahwa ijtihad merupakan dasar dari sumber

hukum dalam islam�

Page 3: ijtihad

- 3 -

BAB II

PEMBAHASAN

Definisi ijtihad

• Kita mengatakan: Si Fulan bersungguh-sungguh (Ijtihad) dalam pekerjaannya.

Atau Mahasiswa bersungguh-sungguh dalam belajarnya manakala ia sungguh

mencurahkan seluruh kemampuannya untuk melaksanakan pekerjaan itu, atau

mendapatkan ilmu sesuai dengan beban/program studi yang ditetapkan

kepadanya.

• Kita mengatakan: Ini dokter yang tekun (Mujtahidun) ini insinyur yang tekun atau

ini ekonom yang tekun, apbila ia dapat menyempurnakan spesialisasinya dan

pekerjannya sejauh mungkin berdasarkan pengetahuan, pengalaman, kemahiran,

dan seterusnya.

Pengertian Ijtihad

• Menurut bahasa:

o Ijtihad adalah penyerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan segala

sesuatu yang sulit.

o Menyerahkan kesungguhan dan mengoptimalkan kemampuan dalam

mengerjakan sesuatu pekerjaan.

• Menurut istilah: Adalah mengorbankan sejauh kemampuan manusia, baik raga

maupun jiwa dalam pekerjaan yang dilaksanakannya, karena tujuan yang

dicarinya, baik berbentuk materi ataupun pikiran.

• Sebagian ulama mendefinisikannya dalam pengertian umum, bahwa Ijtihad itu

adalah. "menghabiskan (memaksimalkan) kesungguhannya dalam mencari

sesuatu yang ingin dicapai, sehingga dapat diharapkan tercapainya atau diyakini

sampai kepada tujuannya.

• Menurut praktek para sahabat: Ijtihad ialah penelitian dan pemikiran untuk

mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah SWT dan sunah

Page 4: ijtihad

- 4 -

Rasullullah SAW. Baik melalui suatu nash,yang disebut 'qiyas' (ma'qul nash)

maupun melalui suatu maksud dan tujuan umum hikmah syari'at, yang disebut

'maslahat'.

• Menurut mayoritas ulama ushul: Ijtihad ialah pengerahan segenap kesanggupan

oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhann

(penduga kuat) mengenai suatu hukum Syara'.

Dari definisi Ijtihad menurut istilah mengandung pengertian:

1. Mujtahid menyerahkan kemampuannya, artinya mencurahkan kemampuan

seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak sanggup lagi

melebihi dari tingkat itu.

2. Ijtihad hanya dapat diterima apabila bersumber dari orang yang ahli (berwenang)

untuk berijtihad.

3. Kesungguhan itu untuk tujuan mengetahui hukum-hukum syar'iyah amaliyah

(praktik) bukan yang lain, maka kesungguhan yang dikerahkan itu bukan untuk

mengetahui hukum-hukum kebahasan (lughawiyah) /logika (agliyah) atau

inderawi (hissiyah) dari bagian ijtihad menurut istilah ahli ushul.

4. Diisyaratkan dalam mengetahui hokum syar'iyah, yang dilakukan melalui

istinbath, artinya mendapatkannya dan mengambil faedahnya dari dalil-dalilnya

melalui penalaran dan penelitian dalam hukum-hukum itu. Maka tidak

dimasukkan dalam kategori pengertian ijtihad ini dengan menghafal masalah-

masalah (yang telah ada), atau mengetahuinya melalui mufti, atau

mendapatkannya melalui buku-buku ilmu pengetahuan, maka yang demikian itu

tidak dapat dimasukkan dalam (kelompok) ijtihad menurut istilah.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan

bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum.

Dalamhubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally)�menegaskan,

“yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum

fiqih/hukum furu". (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379)

Sementara ada pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang

aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh

Page 5: ijtihad

- 5 -

mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad�juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini

bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi

juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal.

Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanyaberlaku di bidang

hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Dalam melaksanakan ijtihad,

para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut���

a. Qiyas

Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan

oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah

diterangkan hukumnya oleh al-Qur’an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh

: Menurut al-Qur’an surat al-Jum’ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar

adzan Jum’at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang

dilakukan pada saat mendengar adzan Jum’at ? Dalam al-Qur’an maupun al-Hadits tidak

dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli

karena dapat mengganggu shalat Jum’at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-

perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum’at, juga dilarang. Contoh lain :

Menurut surat al-Isra’ 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka

hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar

analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman

Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas

tersebut. Yaitu ketika ‘ Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya

telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam

keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang

berpuasa ? Jawab ‘Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah

puasamu�

b. Ijma�

Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah

ijtihadiyah. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang

kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-

Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : ” Kumpulkan orang-orang yang berilmu

kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah “. Yang menjadi persoalan

Page 6: ijtihad

- 6 -

untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma

tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi

termasuk para ulamanya�

c. Istihsan

Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas

dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain.

Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau

disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas

pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih

salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang

lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18�

d. Al-Mashlahah Al-Mursalah

yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas

pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan

antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar

kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur’an / al-Hadits yang umum,

sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan

tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur’an / al-Hadits�

Kedudukan Ijtihad

Ijtihad dikalangan ulama Islam merupakan salah satu metode istinbath atau

penggalian sumber hukum syara melalui pengarahn seluruh kemampuan dan kekuatan

nalarnya dalam memahami nash- nash syar’I atas suatu peritiwa yang dihadapi dan belum

tercantum atau belum ditentukan hukumnya�

Adapun hukum melakukan ijtihad antara lain��

1.Orang tersebut dihukumi pardlu a’in untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang

menimpa dirinya�

�� juga dihukumi fardlu a’in jika ditanykan tentang suatu permasalahan yang belum ada

hukumnya�

Page 7: ijtihad

- 7 -

�.�Dihukumi fardlu kifayah ,jika permasalahan yang dijukan kepadanya tidak

dikhawatirkan akan habis waktunya�

�.�Dihukumi Sunnah apabila ber-Ijtihd terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya

maupun tidak�

�.�Dihukum haram,apabila ber-Ijtihad terhdap permasalhan yang sudah ditetapkan secara

qat’I ,sehingga hasil ijtihad itu bertentangan engan dalil syara�

Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hokum

Islam.Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali,baik melalui

pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,diantaranya adalah Firman Allah SWT

yang berbunyi��

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa

kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah

wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak

bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.(QS.Surat An-Nisa,105)�

Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian

yang dilakukan Thu’mah dan ia Menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang

Yahudi. Thu’mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri

barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada Nabi

s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu’mah dan menghukum orang-orang

Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu’mah, Nabi

sendiri Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya itu terhadap

orang Yahudi

Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi Wafat .Mereka selalu

berijtihad jika menemukan suatau masalah baru yang tidak terdapat dalam AL-Qur’an

dan Sunnah Rasul�

Fungsi Ijtihad Di Masa Sekarang

Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu , yang tidak ditemukan dalil

hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan hadits��

Begitu pula dewasa ini, kehidupan dimulai dari realita. Kita tidak mulai

pembaruan dari teks, tidak dari agama, akidah ataupun dari syari`at. Ini adalah metode

Islam ketika kita mencermati metode asbâb al-nuzûl (konteks sosial atau sebab-sebab

Page 8: ijtihad

- 8 -

turunnya wahyu), dan nâsikh wa al-mansûkh (ayat yang menghapus dan ayat yang

dihapus). Asbâb al-nuzûl berarti memperhatikan dan memprioritaskan realita atas teks,

memperhatikan pertanyaan daripada jawaban. Seperti ayat-ayat wa yas`alûnaka `ani-l

khamr (mereka bertanya kepadamu mengenai khamer/minuman keras), wa yas`alûnaka

`ani-l mahîdl (menstruasi), wa yas`alûnaka `ani-l anfâl.. dst. Saat ini apa pertanyaaan-

pertanyaan yang dihadapai kaum muslimin? wa yas`alûnaka `ani-l awlamah (globalisasi),

wa yas`alûnaka `an nihâyah at-târîkh (akhir sejarah), wa yas`alûnaka `ani-l ihtilâl

(kolonialisme), wa yas`alûnaka `ani-l faqr (kemiskinan), wa yas`alûnaka `ani-l bathâlah fi

indûnisiâ (pengangguran di Indonesia), wa yas`alûnaka `ani-l fasâd (kerusakan)...dst.

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah permulaan, dari permasalahan dan musibah yang

menggejala di seluruh masyarakat muslim. Jadi kita memulai dari realita yang general�

Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya fungsi ijtihad dewasa ini ialah

sebagai salah satu cara untuk menentukan hukum islam yang tidak tercntum secara jelas

dalm Al-Quran dan Al-Hadist�

Sketsa Historis Tentang Ijtihad

Ijtihad telah dipraktekkan sejak jaman Rasul. Rasulullah memberi pemecahan

terhadap berbagai masalah yang dihadapi komunitas Islam berdasarkan al-Qur’an. Tetapi,

tidak semua masalah mendapat penegasan eksplisit dari wahyu. Menurut pendapat

mayoritas ulama, Rasul sering berijtihad, yang pernah sesekali tidak tepat. Nabi segera

mendapat teguran dari wahyu jika terjadi kesalahan dalam berijtihad. Sebagai contoh,

keputusannya mengenai pembebasan dengan tebusan tawanan perang Badr. Oleh wahyu,

keputusan ini dinyatakan salah, dan Nabi mendapat teguran dengan firman Allah; “Tidak

patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan perang sebelum ia dapat melumpuhkan

musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda dunia sedang Allah

menghendaki pahala akhirat.” (Q.S., 8 : 67).

Para sahabat Nabi pun berijtihad di kala beliau masih hayat. Nabi sendiri

memerintahkan Amir Ibn al-Ash untuk memutuskan suatu perkara. Lalu, ia merasa

canggung dan bertanya kepada Nabi, “Apakah saya pantas berijtihad padahal Engkau

ada?” lalu jawab Nabi, “Ya, jika kamu benar dapat dua pahala dan jika salah dapat satu

pahala”.8 Dalam Hadis disebutkan bahwa ada dua orang dalam perjalanan, lalu mereka

kehabisan air, sementara mereka harus shalat. Mereka bertayamum dan shalat. Tak lama

Page 9: ijtihad

- 9 -

kemudian mereka menemukan air, sementara waktu shalat masih ada. Masing–masing di

antara mereka berijtihad. Ijtihad salah satu di antara mereka berdua adalah mengulangi

shalat dan yang lain tidak. Kasus ini diketahui Rasulullah, dan dia mengakui (kebenaran)

hasil ijtihad kedua sahabat itu.1

Pada masa Rasulullah tidak ada problem metodologis pemahaman al-Qur’an karena

para sahabat berada langsung di bawah bimbingannya, dan bila perlu mereka dapat

bertanya secara langsung mengenai masalah-masalah yang tidak jelas bagi mereka karena

waktu itu belum muncul kaidah-kaidah yang pada masa kemudian dibakukan dalam teori

yurisprudensi. Satu–satunya yang ideal bagi mereka adalah perilaku Nabi. Mereka belajar

wudlu, shalat dan haji dengan cara mengamati langsung tindakan Rasulullah. Demikian

juga, bila ada kasus-kasus tertentu, mereka mengajukan dan minta keputusan Nabi.

Tetapi, lain halnya setelah Nabi wafat, wahyu sudah tidak turun lagi, Rasul tempat

bertanya telah tiada, sementara persoalan–persoalan kemasyarakatan dan agama justru

berkembang sebagai akibat luasnya wilayah yang didiami umat. Banyak masalah baru

timbul dan belum pernah ada petunjuk pemecahannya baik dalam al-Qur’an maupun

hadis Nabi. Para sahabat dengan demikian harus berijtihad dengan menafsirkan ulang dan

memperluas pengertian–pengertian hukum yang telah tersedia dalam al-Qur’an dan Hadis

Nabi SAW.

Pada periode awal, ra’yu (pertimbangan pemikiran yang sehat) banyak digunakan

dan merupakan alat ijtihad yang utama. Istilah ini merupakan istilah generik yang

mendahului pertumbuhan hukum serta prinsip–prinsip qiyas dan istihsan yang lebih

sistematis.

Para sahabat tidak memahami al-Qur’an dan Sunah Rasul secara harfiah. Mereka

menggali semangat dan prinsip yang terkandung di dalamnya untuk kemudian diterapkan

pada keadaan konkrit yang mereka hadapi. Sebagai contoh, Umar ibn Khattab tidak

membagi-bagikan tanah-tanah di Irak (yang disebut tanah Sawad) kepada para prajurit

yang menaklukkannya seperti yang berlaku dalam tradisi Rasulullah dan Abu Bakar.

Alasan Umar tidak membagikan tanah tersebut ditemukan dalam al-Qur’an (Q.S.,59:6-

10) yang pada intinya melarang penumpukan harta pada orang orang yang telah kaya.

Dari sejarah kita ketahui bahwa tentara pada jaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak

1Ali Hasabullah, Ushul Tasyri’ al-Islamy (Mesir: Dar-Ma’arif, 1964), hal. 76. ���

Page 10: ijtihad

- 10 -

digaji karena itu mereka mendapat bagian dari rampasan perang. Tetapi, pada jaman

Umar diadakan tentara reguler dan diberi tunjangan tetap. Karena itu, Umar tidak

memberi rampasan perang kepada mereka. Hasil tanah Sawad tersebut digunakan oleh

Umar untuk kepen-tingan umum seperti tunjangan bagi mereka yang kurang mampu dan

biaya pemeliharaan perbatasan, dan lain-lain.2

Pada masa tabi’in dan sesudahnya kegiatan ijtihad kian berkembang berikut dengan

berbagai kecenderungan masing-masing. Perbedaan-perbedaan kian berkembang dan

corak ijtihad sangat dipengaruhi oleh sifat kedaerahan. Orang–orang Irak dianggap lebih

cenderung pada penggunaan rasio, sementara orang–orang Madinah lebih menyukai

tradisi atau Hadis. Namun, kedua kecenderungan ini tidaklah merupakan kutub-kutub

yang bertentangan satu sama lain secara frontal. Kecenderungan-kecenderungan itu

hanya merupakan perbedaan porsi saja dalam pemakaian rasio atau Hadis. Pada dasarnya

keduanya sama-sama memakai ra’yu dan Hadis, namun orang-orang Madinah lebih

banyak menggunakan referensi Hadis, sedang orang Irak terpaksa berhati-hati menerima

Hadis karena mereka memang agak jauh dari sumber tradisi Rasulullah di Madinah.

Pada periode imam-imam mujtahidin yang berlangsung di abad II H sampai

pertengahan abad IV H, terjadi perkembangan ijtihad yang pesat, mazhab–mazhab

hukum mengalami kristalisasi, dan metode-metode pemahaman al-Qur’an dan Hadis

dibakukan. Peranan yang sangat menonjol dalam bidang ini dimainkan oleh Asy-Syafi’i

(W. 204 H.) yang menyusun kitab al-Risalah yang menjadi buku pertama dalam

metodologi pemahaman hukum dan dalam metodologi Hadis. Bahkan, dalam disiplin

ilmu-ilmu syari’ah metodologi beliau masih tetap relevan dan dipertahankan sampai

sekarang.

Ijtihad Sesudah Periode Imam-Imam Mujtahidin

Periode sesudah imam mujtahidin secara relatif dinyatakan sebagai masa mulainya

kemunduran kehidupan intelektual kaum muslim sampai jatuhnya Kota Baghdad tahun

656 H./1258 M oleh tentara Mongol. Khusus dalam bidang fiqh, para fuqaha cenderung

taqlid kepada mazhab tertentu yang telah baku pada periode sebelumnya. Pada periode

ini pula dikatakan pintu ijtihad mulai tertutup. Pekerjaan para fuqaha pada periode ini

lebih terbatas memberikan alasan terhadap pendapat para imam, dan dengan demikian

2Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terj. Agah Gornad (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 108.

Page 11: ijtihad

- 11 -

hanya berkisar pada pendapat yang sudah ada dan tidak keluar dari padanya. Ini pada

akhirnya membawa kepada kecenderungan membela mazhab, betapapun pemikiran yang

ada di dalamnya lebih lemah dari pendapat lain.

Selanjutnya, setelah jatuhnya Baghdad keadaan intelektual kaum muslimin tidak

mengalami banyak perubahan. Pekerjaan para ulama hanya berkisar pada membuat

syarah (penjabaran) dan hasyiah (penjabaran atas syarah). Pada masa inilah tingkat

kreativitas dan orisinalitas intelektual disebut sebagai tingkat yang lebih rendah. Ciri

umum masyarakat muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan

perselisihan sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat ialah

ketenangan dan ketentraman. Agaknya dambaan mereka tercapai, tetapi dengan ongkos

mahal, yaitu stagnasi atau kemandegan sebab ketenangan dan ketentraman itu mereka

“beli” dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual dan penjelasan atas nama

doktrin taqlid dan tertutupnya ijtihad.3

Namun demikian, selama periode kemunduran ini masih tetap ada saja tokoh-tokoh

cemerlang yang menyerukan perlunya ijtihad semisal Ibn Taimiyah (1263-1328 M).

“Program” Ibn Taimiyah ialah menghimbau kaum muslimin untuk mencari kembali

ajaran Islam yang sejati, dan untuk melakukan ijtihad dalam menafsirkan doktrin–doktrin

agama. Bagi Ibn Taimiyah pintu ijtihad tidak pernah tertutup, bahkan beliau menyatakan

dirinya sebagai seorang mujtahid mutlak.4

Sebenarnya penutupan pintu ijtihad itu tidak pernah dinyatakan secara resmi, dan

memang tidak ada suatu otoritas pun dalam Islam yang berhak menutup pintu ijtihad.

Akan tetapi, penilaian terhadap kehidupan intelektual kaum muslimin pada masa sesudah

periode imam mujtahidin itu memperlihatkan keadaan yang lambat laun aktivitas berpikir

kreatif telah begitu mundur. Di samping itu, landasan-landasan yang mendorong proses

kreatif itu hancur sehingga pada akhirnya mengakibatkan terhentinya kegiatan intelektual

yang mampu membuat sintesis besar dalam kebudayaan Islam. Terhentinya aktivitas

inilah sebenarnya yang diartikan sebagai “tertutupnya pintu” ijtihad.

3Nurcholish Madjid, “Syarah”, hal. 313.���

Page 12: ijtihad

- 12 -

2. Ittiba dan Taqlid

Pengertian

Ittiba menurut bahasa berarti mengikuti atau menuruti. Sedang secara istilah ialah

mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan oleh

Rasulullah saw.

Dengan kata lain ittiba adalah mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui dari

mana hukum yang ditetapkan oleh mujtahid tersebut diambil.

Dari pengertian ittiba diatas dapat diketahui bahwa ittiba itu ada 2 bentuk, yaitu ittiba

kepada Allah dan Rasulnya dan ittiba kepada selain Allah dan Rasulnya atau kepada

orang lain, sedangkan Taqlid menurut bahasa berarti meniru.

an TaqlidPersamaan dan perbedaan antara Ittiba d

Dari pengertian ittiba dan Taqlid seperti dikemukakan diatas, dapat diambil pemahaman

bahwa antara ittiba dan Taqlid itu terdapat persamaan dan perbedaannnya.

Persamaannya

“ Keduanya termasuk perbuatan mengikuti”

Perbedaanya

Dalam ittiba bahwa orang yang mengikuti mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh

orang yang diikuti dalam mengemukakan pendapatnya. Seperti seseorang mengikuti

pendapat Abu dawud tentang hukum aqiqah buat anak, yaitu wajib. Dia mengetahui

bahwa Abu Dawud mendasarkan pendapatnya itu kepda hadist Nabi.

Sedang dalam taqlid, orang yang mengikuti tidak mengetahui sumber yang dijadikan

dasar oleh orang yang di ikuti dalam mengemukakan pendapatnya. Seperti seseorang

mengikuti Umar bin Khattab dalam melaksanakan shalat Tarawih 2 0 Rakaat, tetapi dia

tidak mengetahui alas an yang dijadikan dasar oleh Umar.

��

4Syafi’i Ma’arif, Metode, hal. xii.��

Page 13: ijtihad

- 13 -

Hukum ittiba

Para ulama membedakan ittiba kepada 2 bentuk, yaitu ittiba kepada Allah dan Rasulnya,

dan ittiba selain Allah dan Rasulnya.

A. Ittiba kepada Allah dan Rasul

Para ulama sepakat bahwa hukum ittiba kepada Allah dan Rasulnya adalah

wajib, Allah berfirman:

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan Mu, dan janganlah

kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin,sedikit sekali kamu mengambil

pelajaran (QS. AL-Araf :3)

“Katakanlah (Muhammad),” jika kamu mencintai ALLAH, ikutilah aku,

niscaya ALLAH mencintaimu dan mengampuni dosa dosamu”. ALLAH

Maha pengampun, Maha penyayang. Katakanlah (Muhammad), “ Taatilah

ALLAH Dan Rasulnya, jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa ALLAH

tidak menyukai orang orang kafir”. (QS. Ali imran : 31 – 32)

B. Ittiba kepada selain ALLAH dan Rasulnya

Mengenai ittiba jenis ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka

menyatakan bahwa ittiba kepada selain ALLAH dan Rasul nya itu hukumnnya

tidak boleh. Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa ittiba kepada ulama

diperbolehkan, sebab ulama sebagai pewaris Nabi.

Page 14: ijtihad

- 14 -

Hukum Taqlid

Haram, yaitu Taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al- Quran dan

Al- Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuaannnya, dan

taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu

salah.

a. Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan

selalu beruasaha menyelidiki kebenaran masalah yang di ikuti, denga kata lain

bahwa taqlid seperti itu sifatnya hanya semnetara.

b. Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan, dan ketetapannya

dijadikan Hujjah, yaiatu Rasullah saw.

Page 15: ijtihad

- 15 -

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pertama, ijtihad adalah intellectual exercise seorang muslim untuk menetapkan suatu

kasus hukum yang secara tegas belum ada ketentuan nash-nya dalam al-Qur’an dan

Hadis.

Kedua, kedudukan ijtihad dalam Islam amat penting, ijtihad merupakan sebagai ruh

dari dinamika hukum Islam, dengan kata lain, ijtihad adalah modal penting agar hukum

Islam senantiasa dapat menjawab persoalan kemanusiaan sesuai dengan perkembangan

jaman.

Ketiga, sejak dicanangkan gerakan pintu ijtihad telah tertutup pada awal abad 4 H/10

M, setelah wafat Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310/922), sampai dengan

dimulainya gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada penghujung abad 12/18 umat

Islam seakan berhenti berpikir. Ibn Taimiyah (w. 728/1327) pada awal abad 7/13 pernah

menggaungkan terbukanya pintu ijtihad. Namun, gaungan dan gugatan itu seakan

tenggelam dalam gemuruh ber-taqlid. Dalam bidang fiqh para fuqaha hanya membatasi

diri berijtihad dalam masing–masing mazhab yang dianutnya saja. Tidak ada lagi

mujtahid muthlaq yang berijtihad langsung dari sumber pokok hukum-hukum al-Qur’an

dan Hadis. Secara teoritis, kata Iqbal, kemungkinan berijtihad muthlaq masih tetap diakui

oleh Sunni, namun dalam prakteknya kemungkinan itu sangat sulit diwujudkan sebab

syarat-syarat yang ditetapkan untuk bolehnya seseorang berijtihad terlalu berat dan sukar

untuk dapat dipenuhi.

Keempat, dari uraian di atas tampaknya disintegritas umat dapat merongrong

landasan kultural dan intelektual dalam jangka panjang. Di samping itu, dogma-dogma

teologis yang mengecilkan arti kemampuan manusia dan kompetensi akalnya, kurang

berguna dalam mempertajam wawasan serta mendekati kebenaran secara progresif.

Page 16: ijtihad

- 16 -

DAFTAR PUSTAKA

• Alim, Muhammad, (2006), Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan

Pemikiran dan Kepribadian Muslim, Remaja Rosdakarya, Bandung

• Ali, A, Mukti, (1990), Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan,

Bandung

• Ar, Razi,Fakh Ar-Din ,al-mashul fi’ilm Ushul Al-Fikh ,Biert:Dar Al-Kutub

AL- Ilmiyah ,1988�

• Ali Hassablh Ushul At tasry ‘Al- Islami ,Kairo , l-Ma’arif ,1973

• Drs.HM. Suparta MA, PT.Karya toha putra semarang, Ilmu fiqih

• Drs. H. Moh Rifai, PT.Karya toha putra semarang, Ilmu fiqih islam lengkap

• Prof .Dr.Harun nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya

• http://hananismail.wordpress.com/2007/01/31/perintah-ittiba-dan-larangan-

taqlid/

• http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com/2007/12/032-kewajiban-mencontohi-

ittiba.html