persatuan pelajar dan mahasiswa indonesia ppmi...
TRANSCRIPT
PERSATUAN PELAJAR DAN MAHASISWA INDONESIA
PPMI RIYADH – ARAB SAUDI
اتحاد الطلبة اإلندونيسيين بالمملكة العربية السعودية
KUMPULAN MAKALAH
IJTIHAD, FIKIH IKHTILAF DAN KETAATAN KEPADA PEMIMPIN
02 RAJAB 1438 H / 30 MARET 2017 M
1
DAFTAR ISI
Daftar Isi 1
Kata Pengantar 5
Ijtihad Kolektif Untuk Problematika Kontemporer ( الجماعي للنوازل االجتهاد
( وتحقيق وحدة األمة إندونيسيا
Oleh Ustadz Ahmad Qodhi, Lc., M.A. 6
- Pendahuluan 7
- Bab Satu : Definisi dan Jangkauan Judul Makalah 10
- Pasal Pertama : Pengertian Ijtihad 10
- Pasal kedua : Syarat-Syarat Mujtahid 10
- Pasal Ketiga : Pengertian Ijtihad Kolektif 15
- Pasal Keempat : Masalah-Masalah Yang Menjadi Obyek Dalam Ijtihad
Kolektif 15
- Bab Dua : Legalitas Ijtihad Kolektif dalam Islam dan Beberapa Contoh
Ijtihad Kolektif 17
- Pasal pertama : Legalitas ijtihad kolektif dalam islam 17
- Pasal kedua : Beberapa contoh ijtihad kolektif 18
- Bab Tiga : Kewajiban Bersatu dan Berpegang Teguh dengan Tali Allah dan
Larangan Berpecah Belah 20
- Pasal pertama : Kewajiban bersatu dan berpegang teguh dengan tali Allah
20
- Pasal kedua : Larangan berpecah belah 21
- Bab Empat : Kontribusi Ijtihad Kolektif terhadap Persatuan Umat di
Indonesia 22
- Pasal pertama : Hal-hal yang menjadikan ijtihad kolektif bisa menyatukan
umat 23
- Pasal kedua : Contoh permasalahan di indonesia sebagai kontribusi
2
ijtihad kolektif dalam menyatukan umat 23
Oleh Ustadz Eko Misbahuddin, Lc., M.A. 25
- Muqaddimah 26
- Hakikat Ijtihad Kolektif 27
- Definisi 27
- Kriteria 27
- Istilah-Istilah terkait 28
- Hukum Ijtihad Kolektif 31
- Urgensi Ijtihad Kolektif 35
- Lembaga-Lembaga Ijtihad Kolektif 37
- Lembaga-Lembaga Ijtihad Kolektif Di Dunia 37
- Lembaga-Lembaga Ijtihad Kolektif Di Indonesia 39
- Rekomendasi 44
- Penutup 46
- Referensi Utama 47
Makna Ketaatan Kepada Ulil Amri Dalam Konteks Demokrasi Di
Indonesia ( مفهوم طاعة أولي األمر في ظل النظام الديمقراطي بإندونيسيا )
Oleh Ustadz Abdullah Roy, Lc, M.A. 48
- Kata Pengantar 49
- Bab Satu : Kewajiban Mendengar Dan Taat Kepada Penguasa 51
- Pasal Pertama : Dalil-Dalil Kewajiban Mendengar Dan Taat Kepada
Pemerintah 51
- Pasal Kedua : Makna Mendengar Dan Taat Kepada Penguasa 53
- Pasal Ketiga : Ulul Amri (Penguasa) Yang Harus Ditaati 55
- Bab Dua : Berhukum Dengan Hukum Allah 59
- Pasal Pertama : Kewajiban Berhukum Dengan Hukum Allah 59
- Pasal Kedua : Hukum Demokrasi 60
- Pasal Ketiga : Pemungutan Suara 61
- Bab Tiga : Hukum Taat Kepada Penguasa Dalam Negara Demokrasi 63
3
- Penutup 66
- Referensi 67
Oleh Ustadz Berian Muntaqa Fatkhuri, Lc. 68
- Prolog 69
- Sejarah Singkat Ketaatan Politik Di Indonesia 71
- Makna Ketaatan Kepada Ulil Amri Dan Penerapannya Dalam Konteks
Demokrasi Di Indonesia 75
- Dalil Dan Istidlal 75
- Pertama : Makna “Taatilah” 77
- Kedua : Makna Ulul Amri 81
- Ketiga : Makna “Minkum” Dalam Ayat 83
- Penerapan Ketaatan Politik Dalam Konteks Demokrasi 84
- Jenis Pemimpin Ditinjau Dari Ketaatan Politik 88
- Epilog 95
Fiqih Iktilaf Dan I’tilaf Dalam Tinjauan Maqashid Syariah ( فقه االختالف
( واالئتالف في ميزان مقاصد الشريعة
Oleh Ustadz Eko Haryanto, Lc., M.A. 96
- Muqaddimah 97
- Hakikat Perbedaan (Khilaf) 98
- Pendapat Ulama Bukan Dalil 101
- Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf 103
- Hikmah Adanya Ikhtilaf Dan Implikasinya Dalam Kehidupan Masyarakat
110
- Etika Dalam Perbedaan Pendapat 111
- Makna I’tilaf 112
- Langkah-Langkah Untuk Mewujudkan Persatuan 116
Oleh Ustadz Ahmad Hanafi, Lc., M.A. 119
- Muqaddimah 120
- Siapa Yang Bertanggung Jawab Untuk Mewujudkannya? 121
4
- Wujudnya Perbedaan Sebenarnya Bukan Masalah 122
- Ibadah Jamaiyyah Syiar Persatuan Yang Terlupakan 123
- Menghidupkan Sikap Tathaawu’ Dan Gerakan Islah (Rekonsialiasi)
Merupakan Langkah Prioritas Yang Tidak Bisa Lagi Ditunda 127
- Kesimpulan Dan Penutup 131
5
KATA PENGANTAR
Segala puji hanyalah milik Allah Subehanahu wata'ala, Rabb semesta alam yang dengan
limpahan karunia dan rahmatNya sehingga buku ini dapat dirampungkan. Shalawat serta salam
kepada Nabi Muhammad Shallallahu a’laihi wasallam, kepada para keluarga, sahabatnya yang
telah mengajarkan kepada umat ini arti sebuah kehidupan.
Menjadi sebuah kebutuhan ilmiyah bagi para mahasiswa bahkan masyarakat secara umum
untuk mengetahui lebih detail pembahasan yang berkaitan dengan kondisi kontemporer
terutama dalam kaitannya dengan Fatwa dan ketaatan kepada Pemimpin yang sah. Pembahasan
ini sudah sejak lama dinantikan, olehnya itu Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI)
Riyadh berinisiatif untuk menyelenggarakan forum Pacasarjana Se-Arab Saudi membahas
secara lebih mendalam yang berkaitan dengan hal tersebut diatas.
Alhamdulillah, pada tanggal 2 Rajab 1438 H bertepatan dengan 30 Maret 2017 Forum
Pascasarjana pun digelar dengan menghadirkan sekitar 60 peserta dari Mahasiswa pascasarjana
Se-Arab Saudi dari 7 Kampus Besar diantaranya; King Saud University Riyadh, Imam
Muhammad bin Saud Islamic University Riyadh, Umm Al Qura University Mekkah, Islamic
University of Madinah, Qassim University, King Abdul Aziz University Jeddah, dan King
Fahd University Dammam.
Makalah yang dipaparkan dalam forum tersebut sangat penting dan menarik untuk dipelajari
dan menjadi bahan pertimbangan keilmuan yang sangat baik, sehingga PPMI Riyadh sebagai
pelaksana kegiatan tersebut menerbitkan kumpulan Makalah tersebut dengan Judul "Ijtihad,
Fikih Ikhtilaf, dan Ketaatan kepada Pemimpin" . semoga bermanfaat dan menjadi amal sholeh
bagi kita semua.
Riyadh, 03 Rajab 1438 H
Ketua PPMI Riyadh
Ardian Kamal Bakhtiar
6
PERSATUAN PELAJAR DAN MAHASISWA INDONESIA
PPMI RIYADH – ARAB SAUDI العربية السعودية اتحاد الطلبة اإلندونيسيين بالمملكة
FORUM MAHASISWA PASCASARJANA INDONESIA SE-ARAB SAUDI
ملتقى طالب الدراسات العليا اإلندونيسيين بجامعات المملكة العربية السعودية
IJTIHAD KOLEKTIF UNTUK PROBLEMATIKA
KONTEMPORER
إندونيسيااالجتهاد الجماعي للنوازل وتحقيق وحدة األمة
AHMAD QODHI, LC., M.A.
KANDIDAT DOKTOR AQIDAH
ISLAMIC UNIVERSITY OF MADINAH
RIYADH, 02 RAJAB 1438 H / 30 MARET 2017 M
7
بسم هللا الرحمن الرحيم
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitabnya sebagai petunjuk
bagi orang-orang yang bertaqwa dan beriman kepada yang ghoib dan mendirikan
sholat dan menginfakkan sebagian dari rizki yang diberikan oleh Allah
kepadanya.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas sebaik-baik nabi dan
utusan yaitu kekasih dan nabi kita Muhammad, demikian juga keluarganya yang
suci-suci dan para sahabatnya yang terpilih serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik sampai hari pembalasan.
Adalah suatu yang maklum bahwa bersatunya kaum muslimin adalah
perintah Allah dan Rasul-Nya dan juga merupakan dambaan dan harapan bagi
setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi Islam dan pemeluknya,
Allah ta'ala berfirman:
قوا جميعا وال تفره واعتصموا بحبل للاه
Artinya: "Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah kalian
bercerai berai"1.
Rasulullah shollallah alaihi wasallam bersabda:
عليكم بالجماعة
Artinya: "Tetaplah kalian bersama jamaah (muslimin)".
حبل هللا جميعا آمركم بثالث، وأنهاكم عن ثالث: آمركم أن تعبدوا هللا وال تشركوا به شيئا، وتعتصموا ب
.ضاعة المالوال تفرقوا، وتطيعوا لمن واله هللا عليكم أمركم. وأنهاكم عن قيل وقال، وكثرة السؤال، وإ
Artinya: "Aku perintahkan kalian dengan tiga hal dan aku melarang kalian dari
tiga hal: aku perintahkan kalian untuk beribadah kepada Allah dan tidak
menyekutukan dengan-Nya suatupun, dan berpegang teguhlah dengan tali Allah
1 QS. Al Imron: 103.
8
kalian semua dan jangan bercerai-berai, dan taatlah kepada orang yang Allah
telah memilih dia sebagai pemimpin kalian, dan aku melarang kalian dari banyak
bicara, dan dari meminta-minta, serta menyia-nyiakan harta".
Dikarekan bersatunya umat islam merupakan kawajiban bagi setiap
muslim untuk mewujudkannya dengan segala kemampuan yang dimiliki dan
segala cara yang diperbolehkan untuk meraih dan mewujudkannya baik dalam
skala nasional, regional maupun internasional, dengan melalui kajian ilmiah dan
ceramah agama, khutbah jum'ah, karya tulis, bedah buku, seminar-seminar dan
pertemuan-pertemuan elemen masyarakat dan para pelajar dan mahasiswa.
Diantara hal positif yang digagas dan diprakasai oleh PPMI Arab Saudi
untuk mendukung dan mewujudkan cita-cita tersebut yaitu berupa seminar
dengan tema “Umat yang Satu” dengan salah satu judulnya adalah “Ijtihad
Kolektif untuk Masalah Kontemporer dan Kontribusinya Terhadap Persatuan
Umat di Indonesia”, dan dikarenakan panitia pelaksana menunjuk saya sebagai
salah satu pembicara dalam acara tersebut maka saya mencoba menulis beberapa
poin penting yang berkenaan dengan judul tersebut dengan bernaung dengan
dalil-dalil dari Al-qur'an dan As-sunnah serta kaedah-kaedah islam yang tetap,
dengan pendapat para ulama islam khususnya salaf kita yang sholeh.
Dan dalam tulisan ini saya akan membagi kedalam beberapa bagian yaitu:
pendahuluan dan empat bagian penting dan disetiap bagian ada beberapa cabang
masalah dan penutup kemudian diakhiri dengan referensi, seperti yang tertulis
dibawah ini:
BAB SATU : Definisi dan Jangkauan Judul Makalah
Pasal pertama : Pengertian ijtihad
Pasal kedua : Syarat-syarat mujtahid
Pasal ketiga : Pengertian ijtihad kolektif
Pasal keempat : Masalah kontemporer (النازلة)
BAB DUA : Legalitas Ijtihad Kolektif dalam Islam dan Beberapa Contoh Ijtihad
Kolektif
9
Pasal pertama : Legalitas ijtihad kolektif dalam islam
Pasal kedua : Beberapa contoh ijtihad kolektif
BAB TIGA : Kewajiban Bersatu dan Berpegang Teguh dengan Tali Allah dan
Larangan Berpecah Belah.
Pasal pertama : Kewajiban bersatu dan berpegang teguh dengan tali Allah.
Pasal kedua : Larangan berpecah belah
BAB EMPAT : Kontribusi Ijtihad Kolektif terhadap Persatuan Umat di Indonesia
Pasal pertama : Hal-hal yang menjadikan ijtihad kolektif bisa menyatukan
umat.
Pasal kedua : Contoh permasalahan di indonesia sebagai kontribusi ijtihad
kolektif dalam menyatukan umat.
10
BAB SATU
DEFINISI DAN JANGKAUAN JUDUL MAKALAH
PASAL PERTAMA: PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad merupakan kata serapan dalam bahasa indonesia yang berasal dari
bahasa arab – اجتهد يجتهد اجتهادا – artinya secara bahasa adalah mengerahkan
segenap kekuatan, maka bisa difahami bahwa ijtihad tidak hanya sekedar
berusaha tapi harus disertai dengan menggunakan dan mengeluarkan segenap
kekuatan dan kesempatan untuk mengerjakan dan menyelesaikan sesuatu.
Sedangkan dalam istilah para fuqoha', ijtihad didefinisikan dengan
menghabiskan segala kekuatan dan kemampuan yang dilakukan oleh seorang
faqih untuk mendapatkan perkiraan terhadap suatu hukum syari'.
Penjelasan Definisi
Menghabiskan segala kemampuan artinya menggunakan segala
kemampuan dan kekuatan sehingga batas dimana dia tidak memiliki kemampuan
dan kekuatan lagi.
Dari seorang faqih artinya bahwa yang melakukan ijtihad adalah ahli fiqih
atau alim yang memenuhi syarat untuk berijtihad, maka selain faqih tidak masuk
dalam pengertian ijtihad.
Untuk mendapatkan perkiraan artinya bahwa ijtihad hanya dalam hal-hal
dzonniyah saja atau suatu perkiraan yang belum diketahui bukan terhadap suatu
jelas dan tetap.
Terhadap hukum syari' artinya bahwa permasalahan ijtihad hanya
mencakup hukum syari' saja, tidak masuk didalamnya masalah-masalah logika
dan yang lainnya.
PASAL KEDUA: SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Ijtihad merupakan usaha yang dilakukan oleh mujtahid dalam menetapkan
suatu hukum syari seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan definisi
11
ijtihad diatas, pertanyaannya disini apakah setiap manusia boleh berijtihad dalam
menentukan hukum syar'i? atau adakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seseorang sehingga ijtihadnya diakui (mu'tabar) secara syar'i?
Dari sini bisa kita renungkan firman Allah ta'ala:
كر إن كنتم ال تعلمون فاسألوا أهل الذ
Artinya: "Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui"2.
Dalam ayat ini, Allah ta'ala menjelaskan bahwa tidak semua manusia itu
ahli ilmu, kemudian Allah ta'ala mengkhususkan ahli ilmu sebagai tujuan untuk
bertanya, hal ini menunjukkan siapa ahli ilmu, kriteria apa yang menjadikan
seseorang termasuk ahli ilmu sehingga menjadi tujuan bertanya dan meminta
fatwa, oleh sebab para ahli fikih menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh sesorang sehingga dia dikatakan sebagai mujtahid atau ahli ilmu yang
menjadi rujukan untuk bertanya.
Diantara syarat-syarat mujtahid yang telah dijelaskan para ulama ada dua
jenis syarat yaitu syarat diterimanya ijtihad (qobul) dan syarat sah ijtihad.
Syarat Diterima Ijtihad
Syarat diterima ijtihad ada tiga macam, yaitu (1) islam; (2) taklif; dan (3) al-
'adalah.
a. Islam
Dikarenakan ijtihad merupakan ibadah yang dianjurkan dan dipuji oleh
Rasulullah shollallah alaihi wasallam seperti dalam hadits beliau:
جتهد ثمه أخطأ، فله أجر إذا حكم الحاكم فاجتهد ثمه أصاب؛ فله أجران، وإذا حكم فا
Artinya: "jika seorang hakim menghukumi sesuatu lalu berijtihad kemudian
benar maka baginya dua pahala, dan jika menghukumi lalu berijtihad kemudian
salah maka baginya satu pahala".
Dan ibadah tidak diterima kecuali dari seorang muslim yang beriman
2 QS. An Nahl: 43.
12
kepada Allah dan beriman kepada rasulNya, maka islam merupakan syarat sah
dan diterimanya ijtihad.
b. Taklif
Mujtahid disyaratkan orang yang baligh dan berakal, supaya bisa
mamahami teks-teks dalil dan mengambil hukum darinya dengan benar, karena
memahami tujuan-tujuan dari syariat islam tidak bisa dilakukan oleh orang gila,
demikian juga oleh anak-anak yang belum baligh dikarenakan akal anak-anak
yang belum cukup dalam memahami dan membedakan antara mashlahat dan
mafsadat dalam hukum syar'i.
Jika dalam beberapa kewajiban amaliyah saja disyaratkan adanya sifat
taklif maka dalam masalah ijtihad yang merupakan ilmiyah sekaligus amaliyah
penekanan terhadap adanya sifat taklif tentu lebih besar dan dijadikan sebagai
syarat.
c. 'adalah
Al-'adalah merupakan suatu sifat yang dimiliki seseorang untuk menjauhi
dosa besar dan meninggalkan terus-menerus dalam dosa kecil serta jauh dari
perbuatan-perbuatan yang menjatuhkan kehormatan dia.
Sehingga orang yang fasik atau selalu melakukan perbuatan terlarang tidak
diterima fatwanya dan tidak dianggap perkataannya. Karena mujtahid
menjelaskan hukum Allah jika hal itu dilakukan oleh orang yang memenuhi sifat
tersebut akan lebih tenang dalam hati.
Demikian juga jika seorang rowi hadits yang hanya menyampaikan hadist
atau saksi yang hanya sebagai saksi suatu permasalahan harus memenuhi sifat al-
'adalah, maka seorang mujtahid sebagai penyambung dan penyampai hukum
Allah dan sebagai saksi atas ucapan dan fatwa yang dia sampaikan lebih
disyaratkan memenuhi hal ini.
Syarat-Syarat Sah Ijtihad
Dikarenakan ijtihad adalah upaya mujtahid untuk menjelaskan hukum-
13
hukum syar'I yang dia fahami dari sumbernya, maka dia harus memenuhi syarat-
syarat ini untuk bisa sampai kepada kesimpulan hukum syar'I yang benar.
a. Mengetahui al Qur'an
Dikarenakan al-Qur'an adalah sumber utama dalam syariat Islam, maka
seorang mujtahid haruslah memahami makna al-Qur'an dan tafsirnya dari mulai
sebab turun ayat, naskh dan mansukh, lafadz-lafadz umum dan khusus, mujmal
dan mubayyan, dan yang lain-lainnya.
Apakah harus mengetahui dan menghafal semua isi al-Qur'an? Ada
perbedaan pendapat dalam hal ini, dan kebanyakan me-rojih-kan hal tersebut
bukanlah suatu keharusan, tapi minimal syarat ini yang harus terpenuhi adalah
mujtahid mengetahui ayat-ayat hukum yang berkenaan dengan permasalahan
yang sedang dia teliti sehingga tidak ada ayat yang tertinggal untuk dijadikan
sumber dalil dalam masalah tersebut.
b. Mengetahui Sunnah Rasulullah shollallah 'alaihi wasallam.
Dikarenakan sunnah adalah salah satu sumber utama dalam fikih islam
selain al-qur'an, maka mengetahui sunnah merupakan syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang mujtahid.
Seperti halnya syarat pertama tidak diharuskan hafal semua sunnah atau
hadits Rasulullah shollallah 'alaihi wasallam, tapi ada batas minimal yang harus
dipenuhi bagi seorang mujtahid yaitu mengetahui hadits-hadits yang berkenaan
dengan hukum masalah yang sedang dia teliti dari mulai keshohihannya dan
makna yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang dibutuhkan dari ilmu
hadits untuk memahaminya.
c. Mengetahui Bahasa Arab
Dikarenakan Allah ta'ala menurunkan kitabNya dalam bahasa arab
demikian juga Rasulullah berbicara hanya dengan bahasa arab, maka mengetahui
bahasa arab murupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, dari
mulai makna kata dan susunanya yang dimaksudkan dalam al-qur'an dan hadits,
kaidah-kaidah bahasa arab dan hal-hal lain yang berkenaan dengan ilmu bahasa
14
arab, karena orang yang tidak tahu bahasa arab tidak mungkin bisa memahami al-
Qur'an dan hadits.
d. Mengetahui Ilmu Ushul Fikih
Ilmu ushul fikih adalah ilmu pondasi dalam berijtihad, karena dengannya
diketahui dan disimpulkan atau ditetapkan hukum dari suatu lafadz atau kata-kata
yang ada dalam dalil, apakah itu bermakna perintah atau larangan, umum atau
khusus, dan yang lainnya, sehingga tanpa ilmu ini seseorang tidak bisa
mengetahui bagaimana mengeluarkan suatu hukum dari teks dalil.
e. Mengetahui Maqoshid (Tujuan-Tujuan) Syari'ah
Syari'ah Islam semuanya adalah maslahat bagi hamba, baik di dunia
maupun di akhirat, oleh karena itulah syariat Islam senantiasa berusaha
mewujudkan maslahat dan menghilangkan semua kerugian (madhorot) dari
hamba di dunia maupun di akhirat. Maka mengetahui maqashid dan maslahat
disyaratkan dalam diri mujtahid agar tujuan ijtihad dia selaras dengan tujuan
syariat islam dan tidak saling bertentangan.
f. Mengetahui Masalah Ijma'
Dikarenakan umat ini tidak akan sepakat dalam suatu kesesatan
sebagaimana sabda nabi shollallah 'alaihi wasallah:
إن هللا قد أجار أمتي من أن تجتمع على ضاللة
Artinya: "sungguh Allah telah melindungi umatku dari bersepakat dalam
kesesatan".
Hal ini menunjukkan bahwa jika mereka sepakat dalam satu masalah, maka
masalah tersebut adalah haq dan benar tidak boleh diselisihi. Oleh karena itulah,
maka mengetahui ijma' merupakan syarat ijtihad, sehingga tidak berijtihad dan
menetapkan suatu hukum syar'I yang menyelisihi ijma' umat ini.
g. Mengetahui Kondisi dan Keadaan Masanya
Maksud dari syarat ini adalah seorang mujtahid harus mengetahui kondisi
dan keadaan lingkungan sosial masyarakat yang ada di sekelilingnya serta
beberapa hal lain, sehingga mempunyai gambaran dan bisa mendudukkan
15
permasalahan sesuai dengan realitas yang ada dan menetapkan hukum syari'
sesuai dengan kaidah dan tujuan syariat islam. Karena keadaan dan kondisi bisa
menjadi sebab atau pantangan dalam menetapkan hukum syari' yang belum pasti
ketetapannya dalam Islam.
PASAL KETIGA: PENGERTIAN IJTIHAD KOLEKTIF
Dari definisi ijtihad di atas kita bisa memahami bahwa ijtihad dilakukan
oleh seorang faqih (ijtihad perorangan), adapun ijtihad kolektif maka mempunyai
beberapa karakteristik yang berbeda dengan ijtihad perorangan. Definisi yang
mungkin bisa digunakan untuk ijtihad kolektif adalah "menghabiskan segala
kekuatan dan kemampuan yang dilakukan oleh sekolompok ahli fikih untuk
mendapatkan perkiraan terhadap suatu hukum syari', dengan adanya kesepakatan
semua atau jumlah mayoritas mereka terhadap suatu hukum setelah mereka
bermusyawarah".
Dari sini bisa dibedakan antara ijtihad perorangan dan ijtihad kolektif
(jama'i) bahwa ijtihad perorangan hanya dilakukan oleh seorang faqih saja, dan
secara otomatis tidak ada tukar pendapat dan pandangan, karena dia hanya
seorang diri.
Adapun ijtihad kolektif (jama'i) dilakukan oleh sekelompok ahli fikih,
masing-masing mengeluarkan seluruh tenaga yang ada untuk meneliti dan
menetapkan hukum-hukum dalam masalah ijtihadiyah, kemudian mereka
berkumpul untuk bermusyawarah dan tukar pandangan hingga dicapai
kesepakatan semua atau mayoritas dalam memilih satu hukum tertentu.
PASAL KEEMPAT: MASALAH-MASALAH YANG MENJADI OBYEK
DALAM IJTIHAD KOLEKTIF
Jika agama Islam tela sempurna sebagaiman firman Allah:
سالم دينا اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإل
Artinya: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan
16
kucukupkan nikmatKu atasmu, dan Aku ridhoi Islam bagimu sebagai agama"3.
Dan Allah ta’ala telah munurunkan segala yang dibutuhkan manusia yang
berkenaan dengan agama mereka. Lalu bagaimaina menetukan hukum persoalan-
persoalan baru yang dialami oleh manusia?
Di sini para ulama menjelaskan bahwa selain masalah tertentu yang telah
dijelaskan secara mendetail oleh Islam, terdapat pula kaidah-kaidah umum yang
menjadi patokan dalam menentukan hukum hal-hal yang belum pernah ada
sebelumnya, atau yang disebut sebagai nazilah (masalah kontemporer), dan di
sinilah fungsi ijtihad yaitu menentukan hukum masalah kontemporer sesuai
dengan kaidah fikih islam (ushul fiqih).
Ada tiga permasalahan utama yang menjadi obyek ijtihad:
1. Masalah kontemporer atau nazilah.
2. Men-tarjih pendapat-pendapat ulama terdahulu untuk difatwakan kepada
umat
3. Menyelaraskan hukum yang sudah tetap, dengan kondisi dan keadaan
umat, tempat dan waktu dengan melihat sebab dan pantangan dalam menerapkan
hukum tersebut sesuai dengan kaidah fikih yang ada.
3 QS. Al Maidah: 3.
17
BAB DUA
LEGALITAS IJTIHAD KOLEKTIF DALAM ISLAM DAN
BEBERAPA CONTOH KOLEKTIF
PASAL PERTAMA: LEGALITAS IJTIHAD KOLEKTIF DALAM ISLAM
Dalil-dalil yang menujukkan masyru'nya ijtihad kolektis adalah:
1. Al Qur'an
Firman Allah ta'ala:
وأمرهم شورى بينهم
Artinya: "Dan urusan mereka diputuskan dalam musyawarah di antara mereka"4.
وشاورهم في األمر
Artinya: "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam menyelesaikan urusan"5.
Dalam ayat pertama, Allah memuji kaum mukminin yang menyelesaikan
urusan mereka dengan musyawarah, dan dalam ayat kedua perintah
bermusyawarah, hal ini tidak hanya berlaku dalam masalah-masalah dunia saja
akan tetapi juga dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
2. Al-Hadits
إن هللا تعالى ال يجمع أمتي على ضاللة ويد هللا على الجماعة
Artinya: "Sungguh Allah tidak mengumpulkan ummatku dalam kesesatan, dan
tangan Allah diatas jamaah".
3. Perbuatan Sahabat
Diriwayatkan oleh ad Darimi6 bahwa Abu Bakar radhiyallah 'anhu jika
datang masalah kepadanya dan tidak ketentuan hukum dalam al-Qur'an atau al-
hadits, beliau mengumpulkan para sahabat pilihan untuk bermusyawarah dalam
menetapkan hukum. Jika mereka sepakat, maka Abu Bakar mengambil
kesepakatan mereka, demikian pula Umar bin Khottob radhiyallah 'anhu
4 QS. Asy Syuro: 38. 5 QS. Al Imron:159. 6 Sunan ad-darimi no: 163
18
melakukan hal yang sama7.
4. Dalil Aqli
Bahwa ijtihad kolektif adalah cara untuk mencapai kesepakatan kaum
muslimin atau ijma' mereka –meskipun sulit dengan artian ijma' yang
sebenarnya-, yang mana ijma' tersebut adalah hujjah yang harus diikuti, dalam
kaedah fiqih dikatakan jika sesuatu tidak bisa didapatkan seluruhnya maka tidak
ditinggalkan semuanya.
PASAL KEDUA: CONTOH IJTIHAD KOLEKTIF DIMASA KINI
1. Skala Internasional
a- Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islami
Lembaga ini dibentuk oleh Robithoh Alam Islami dan berkantor di Makkah
al-Mukarromah, didirikan pada tahun 1393 H. Beranggotakan ulama-ulama yang
mumpuni dan bertaqwa dari seluruh dunia islam. Tujuannya adalah mewujudkan
ijtihad kolektif dalam pembahasan masalah-masalah kontemporer dan
menetapkan hukum syari' di dalamnya yang dihadapi oleh umat islam.
b- Majma' Al-Fiqh Al-Islami di Jedah
Lembaga ini dibentuk oleh organisasi Mu'tamar Islam yang mana
anggotanya adalah negara-negara Islam. Dibentuk pada tahun 1401 H dan
anggotanya adalah ulama-ulama yang menonjol yang ditentukan oleh negara-
negara anggota. Dan tujuannya sama dengan lembaga yang dibentuk oleh Robitoh
Alam Islami.
2. Skala Nasional
a- Haiah Kibar Ulama di Kerajaan Arab Saudi
Haiah Kibar Ulama di kerajaan Arab Saudi adalah lembaga resmi yang
dibentuk oleh keputusan raja pada tahun 1391 H dan beranggotakan ulama-ulama
besar pilihan yang mempunyai pengetahuan khusus dalam syariat islam dan
7 Ibnul Qayyim Jauziyah, I'lam al Muwaqi'in, hal. 49 juz 1.
19
dipilih langsung oleh keputusan raja.
Tugas lembaga ini adalah:
Memberikan pendapat dalam masalah-masalah yang diembankan kepada
mereka dari pemerintah untuk diteliti dan menentukan pandangan yang
berdasarkan dalil-dalil syari'.
Memberikan masukan tentang keputusan-keputusan keagamaan untuk
dijadikan acuan dan landasan oleh pemerintah dalam menentukan aturan-aturan
umum.
Dibawah lembaga ini ada al-Lajnah ad-Daimah Lil Ifta’ yang
beranggotakan ulama-ulama yang dipilih dari Haiah Kibar Ulama guna
menjawab pertanyaan dan mengeluarkan fatwa yang diajukan kepada mereka.
b- Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun
para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak
dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah
para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah
air, antara lain meliputi 26 orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia,
10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat
yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani
Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang
merupakan tokoh perorangan.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima
fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
20
BAB TIGA
KEWAJIBAN BERSATU DAN BERPEGAN TEGUH
DENGAN TALI ALLAH DAN LARANGAN BERPECAH BELAH
PASAL PERTAMA: KEWAJIBAN BERSATU DAN BERPEGANG
TEGUH DENGAN TALI ALLAH
Allah ta'ala berfiman:
قوا جميعا وال تفره واعتصموا بحبل للاه
Artinya: "Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah kalian
bercerai berai"8.
Rasulullah shollallah 'alaihi wasallam bersabda:
حبل هللا جميعا تشركوا به شيئا، وتعتصموا ب آمركم بثالث، وأنهاكم عن ثالث: آمركم أن تعبدوا هللا وال
وال تفرقوا، وتطيعوا لمن واله هللا عليكم أمركم
Artinya: "Aku memerintahkan kalian tiga hal dan melarang kalian dari tiga hal:
aku perintahkan kalian supaya kalian hanya beribadah kepada Allah dan tidak
menyekutukannya, dan berpegang teguh dengan tali Allah semua dan tidak
berpecah-belah, dan mentaati pemimpin yang Allah pilih untuk mengurusi urusan
kalian"9.
Tidak diragukan lagi bahwa persatuan umat islam adalah perintah Allah
ta'ala dan RasulNya, hal ini seperti dalam ayat al Qur'an diatas dan hadits Nabi
shollallah 'alaihi wasallam, dan masih banyak lagi dalil-dalil dan perkataan
ulama salaf yang menjelaskan kewajiban bersatu di atas tali Allah dan hal ini
merupakan bagian dari pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah, mereka
dikatakan al-jamaah karena berkumpulnya mereka dalam satu kalimat dan diatas
tali Allah dan tidak berkelompok-kelompok.
Selain itu dengan adanya persatuan akan manjadikan umat Islam kuat
8 QS. Al Imron: 103. 9 HR. Ibnu Hibban no. 4560.
21
dalam menghapi musuh-musuhnya, kuat dalam membangun bangsa dan negara
mereka, kuat dalam menjaga keamaanan dan ketertiban jauh dari perpecahan dan
kekacaun, dan ini sudah terbukti.
Sedangkan perpecahan adalah senjata musuh Islam dalam menghancurkan
kaum muslimin dimanapun mereka berada.
PASAL KEDUA: LARANGAN BERPECAH BELAH.
Jika dalam masalah pertama adalah perintah untuk bersatu dan berpegang
teguh dengan tali Allah, maka dalam masalah yang kedua adalah larangan untuk
berpecah belah.
Allah ta'ala berfirman:
جميعا وال قوا واعتصموا بحبل للاه تفره
Artinya: "Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah kalian
bercerai berai"10.
Dan Dia berfiman dalam ayat yang lain:
وال تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم
Artinya: "dan janganlah kalian berbantah-bantahan yang mengakibatkan gentar
dan hilang kekuatan kalian"11.
Rasulullah sallallah alaih wa salam bersabda:
ال تختلفوا، فإنه من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا
Artinya: "Janganlah kalian berselisih, maka sesungguhnya orang sebelum kalian
pernah saling berselisih dan merekapun binasa"12.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa saling berselisih dan berpecah belah
adalah larangan bahkan sangat keras larangan dan keharamannya, bagaiman tidak
demikian dalam berbagai pernyataan Allah dan rasul-Nya menyatakan hal itu,
sekali dengan larangan, sekali dengan perintah bersatu dan berpegang teguh
dengan tali Allah, sekali dengan ancaman karena akibat berpecah belah, sekali
dengan kisah umat terduhulu yang saling berselisih sehingga mereka binasa.
10 QS. Al Imron: 103. 11 QS. Al Anfal: 46. 12 HR. Bukhori no. 2410.
22
BAB EMPAT
KOTRIBUSI IJTIHAD KOLEKTIF
TERHADAP PERSATUAN UMAT DI INDONESIA
PASAL PERTAMA: HAL-HAL YANG MENJADIKAN IJTIHAD
KOLEKTIF BISA MENYATUKAN UMAT.
Ijtihad kolektif merupakan suatu amalan masyru' (legal) dalam Islam
sebagaimana dalam penjelasan pada bagian kedua dari makalah ini, dan juga telah
dilakukan umat ini khususnya pada generasi pertama pada masa kekhilafahan
Abu bakar as-Siddiq dan masa Umar bin Khottob rodhiyallah 'anhuma.
Akan tetapi ijtihad kolektif tidak akan berfungsi menyatukan umat jika
tidak terpenuhi beberapa hal:
1. Keanggotaan ijtihad kolektif memenuhi syarat minimal seorang mujtahid
dalam menentukan hukum syari' dan adanya profesional khusus dalam bidangya
untuk mendudukkan dan menggambarkan masalah.
2. Tidak ada tekanan dari manapun terhadap anggota dalam menentukan
keputusan pendapat yang berlandaskan dalil-dalil syari'. Karena jika ada tekanan
dari luar, maka tujuan ijtihad kolektif akan keluar dari asalnya dan keputusannya
tidak berdasrkan dalil-dalil syari tapi berdasarkan kepentingan tertentu.
3. Keputusan ijtidah kolektif menjadi ketetapan hukum yang kuat dan
menjadi landasan pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkenaan
dengan umat islam. Karena jika tidak, keputusan ijtihad kolektif hanya akan
menjadi daftar pustaka diperpustakaan.
4. Hanya ada satu lembaga resmi yang menaungi ijtihad kolektif tersebut, jika
ada beberapa ijtihad kolektif dalam satu umat atau negara karena hal itu tidak
akan bisa menyatukan umat bahkan justru akan menkotak-kotak umat sehingga
berpecah belah yang dilarang dalam islam.
5. Memperkecil adanya ijtihad fardi (perorangan) dengan memasukkan orang
yang memenuhi syarat minimal ijtihad dalam anggota ijtihad kolektif. Karena
23
kalau dibiarkan tidak akan menyatukan umat bahkan menjadikan umat bingung
dan berselisih.
6. Melarang orang yang tidak memenuhi syarat ijtihad untuk mengeluarkan
fatwa kepada umat dari luar lembaga ijtihad kolektif, hal ini bukanlah untuk
manghalangi atau menutup ijtihad dari orang lain, tapi untuk menutup celah dari
orang yang bukan ahlinya untuk mengeluarkan fatwa keagamaan karena hal itu
bisa menyesatkan umat.
Hal-hal tersebut diatas bukanlah suatu yang baku dan tetap, akan tetapi bisa
ditambah atau disesuaikan agar ijtihad kolektif mempunyai kontribusi dan bisa
berpengaruh dalam menyatukan umat.
PASAL KEDUA: CONTOH PERMASALAHAN DI INDONESIA
SEBAGAI KONTRIBUSI IJTIHAD KOLEKTIF DALAM
MENYATUKAN UMAT.
Disini tidak akan diberikan semua contoh kontribusi ijtihad kolektif dalam
menyatukan umat, tapi hanya akan mengambil dua contoh saja, yaitu:
1. Penentuan Awal dan Akhir Bulan Romadhon
Karena permasalahan ini adalah masalah umat yang selalu berulang setiap
tahun yang dan menjadi perdebatan dan perselisihan diantara umat islam di negeri
kita Indonesia maka saya ambil sebagai contoh.
Dalam menentukan awal bulan dan akhir bulan Romadhon Rasulullah
shollallah 'alaihi wasallam telah menjelaskan dalam hadits beliau:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثالثين
Artinya: "Bepuasalah karena melihat (hilal) dan berbukalah kerena melihat
(hilal), dan jika tertutup atas kalian maka sempurnakanlah Sya'ban tiga puluh
hari"13.
Dengan dibentuknya panitia khusus sesuai dengan ahlinya oleh pemerintah
13HR. Bukhori no. 1909.
24
untuk menentukan awal atau akhir bulan, dengan metode yang mu’tabar dalam
fikih islam dan menyatukan metode tersebut, sehingga keputusan apapun yang
disepakati oleh panitia menjadi landasan pemerintah dalam menentukan awal
atau awal bulan yang harus dilaksanakan oleh umat islam, sehingga kaum
muslimin bisa bersatu dalam ibadah mereka berdasarkan dalil-dalil syari'.
Hanya disayangkan keputusan pemerintah tidak melazimkan seluruh kaum
muslimin bahkan cenderung memberikan keluasaan untuk menyelisihi keputusan
mereka dalam hal ini, ditambah lagi jahilnya sebagian kaum muslimin pentingnya
menyatukan kalimat dan wajibnya mentaati waliyul amr bagi setiap muslim.
2. Masalah Penista al-Qur'an.
Masalah ini sedang hangat di dalam negeri dan merupakan masalah
keimanan bagi setiap muslim. Ketika masalah ini bergulir ke publik Indonesia,
banyak pernyataan pro dan kontra apakah itu penghinaan atau tidak, bahkan sikap
pro kontra tersebut terjadi di kalangan kaum muslimin sendiri, sehingga perlu
lembaga ijtihad kolektif untuk memutuskan pandangan agama yang bisa
menyatukan umat, maka dimintalah MUI yang merupakan lembaga ijtihad
kolektif terbesar yang ada di Indonesia yang di dalamnya berbagai ahli agama
dari berbagai latar belakang.
Kemudian MUI mengeluarkan fatwa dan pandangan sikap keagamaan
bahwa ucapan pelaku adalah termasuk penistaan al Qur'an dan ulama'14 sehingga
bisa menyatukan pandangan sikap kaum muslimin terhadap pelaku, meskipun
kaum muslimin belum bersatu dalam merealisasikan sikap bahkan sebagian
dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan manhaj ahlusunnah, tapi minimal bisa
menyatukan pandangan sikap bahwa ujaran pelaku adalah bentuk penistaan yang
harus ditindak.
Hanya saja dalam masalah tersebut masih ada beberapa orang yang bukan
ahlinya berbicara dan mengeluarkan fatwa menyelisihi pandangan MUI sehingga
masih ada celah untuk merusak kontribusi ijtihad kolektif dalam menyatukan
umat. Allah Musta'an.
14 Lihat http://mui.or.id/index.php/2016/11/13/pendapat-dan-sikap-keagamaan-mui-terkait-
pernyataan-basuki-tjahaja-purnama/.
25
PERSATUAN PELAJAR DAN MAHASISWA INDONESIA
PPMI RIYADH – ARAB SAUDI اتحاد الطلبة اإلندونيسيين بالمملكة العربية السعودية
FORUM MAHASISWA PASCASARJANA INDONESIA SE-ARAB SAUDI
ملتقى طالب الدراسات العليا اإلندونيسيين بجامعات المملكة العربية السعودية
IJTIHAD KOLEKTIF UNTUK PROBLEMATIKA
KONTEMPORER
االجتهاد الجماعي للنوازل وتحقيق وحدة األمة إندونيسيا
EKO MISBAHUDDIN, LC., M.A.
KANDIDAT DOKTOR FIQIH DAN USHUL FIQIH
KING SAUD UNIVERSITY
RIYADH, 02 RAJAB 1438 H / 30 MARET 2017 M
26
بسم هللا الرحمن الرحيم
Muqaddimah
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ة واحدة وأنا ربكم فاعبدون تكم أم ذه أم (92)األنبياء: إن ه
"Dan sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu dan Aku adalah
Tuhanmu, maka mengabdilah kepada-Ku" (QS. al-Anbiya: 92)
Ikhtilaf/perbedaan adalah sunnatullah bagi seluruh manusia termasuk umat
Islam. Kendati demikian, banyak sekali unsur pemersatu yang tertuang dalam
segala sisi ajaran Islam, baik rukun iman, rukun Islam, dll. Yang dengan
sendirinya menunjukkan bahwa pada esensinya umat Islam adalah umat yang
harus tetap bersatu.
Di antara unsur pemersatu yang sangat penting adalah musyawarah. Segala
perbedaan dan perselisihan dapat diatasi dengan baik secara musyawarah disertai
semangat persaudaraan yang tinggi. Apalagi jika masalah yang diperselisihkan
adalah masalah agama yang berhubungan dengan khlayak ramai.
Berbagai problematika kontemporer yang bersentuhan langsung dengan
maslahat umum umat Islam dapat didiskusikan secara bersama oleh ulama dan
para intelektual muslim, melalui sistem yang dikenal dengan istilah ijtihad
kolektif. Makalah singkat ini berusaha menyingkap tabir tentang ijtihad kolektif
dari sudut teori maupun implementasi.
27
HAKIKAT IJTIHAD KOLEKTIF
a. Definisi:
Istilah Ijtihad kolektif berasal dari bahasa Arab yakni (االجتهاد الجماعي)
Ijtihad Jama’i. Istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu ijtihad dan jama’i.
Secara terminologi, telah banyak definisi ijtihad yang dicetuskan ulama
pakar ushul fikih, namun semua definisi tersebut intinya hampir sama, bahwa
ijtihad adalah: “Pengerahan usaha semaksimal mungkin oleh ulama mumpuni
untuk menyimpulkan hukum syar’i bagi kasus tertentu.” Dalam KBBI ijtihad
didefinisikan: “Usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk
mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yang
penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah.”
Sedangkan jama’i/kolektif berarti: “Secara bersama atau secara
gabungan.”
Dengan demikian ijtihad kolektif dapat didefiniskan dengan: “Usaha
maksimal yang dikerahkan oleh sekelompok ulama mumpuni secara
bersama untuk menyimpulkan hukum syar’i kasus tertentu.” 15
b. Kriteria:
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan beberapa kriteria utama ijtihad
kolektif, di antaranya:
1. Ijtihad kolektif dilaksanakan secara berjama’ah dengan sistem
musyawarah. Lebih banyak ulama yang berpartisipasi tentu hasilnya lebih
baik dan meyakinkan.
2. Semua peserta berkumpul dan bermusyawarah pada tempat dan waktu
yang sama. Jika berkumpul di satu tempat tidak memungkinkan, maka
sebagian peserta bisa mengikuti diskusi via perangkat komunikasi modern.
3. Tujuan ijtihad kolektif adalah mencapai keputusan hukum bersama dari
15 Silahkan rujuk: Dr. Khalid Husain Khalid, al-Ijtihad al-Jama’ Fii al-Fiqh al-Islami, h. 100, DR. Sholeh bin
Abdillah bin Humaid, al-Ijtihad al-Jama’i Wa Ahammiyatuhu Fii Nawazil al-Ashr, h. 16.
28
setiap masalah kontemporer, baik bersifat parsial maupun universal, dan
hukum yang ingin dicapai tidak terbatas pada hukum fikih.
4. Peserta ijtihad kolektif haruslah seorang alim yang memiliki kapasitas dan
memenuhi syarat untuk berijtihad dalam masalah yang sedang dibahas.
5. Tidak dipersyaratkan adanya mandat resmi dari pemerintah, bahkan
independensi para peserta dalam berijtihad lebih diutamakan.
Dalam proses ijtihad kolektif sangat dibutuhkan bantuan para ahli di
bidangnya masing-masing, seperti kedokteran, ekonomi, militer, dll. Untuk
memberikan paparan jelas tentang masalah kontemporer yang akan dibahas.
Kecuali jika ada di antara ulama peserta aktif yang memiliki keahlian khusus di
bidang tersebut.
c. Istilah-istilah Terkait
Ada beberapa istilah yang memiliki korelasi erat dengan ijtihad kolektif,
yakni fatwa, syura, dan ijma’.
1. Fatwa.
Fatwa adalah: jawaban berupa keputusan atau pendapat yang disampaikan
(mufti) tentang suatu masalah. Fatwa dan ijtihad kolektif memiliki banyak
persamaan, seperti:
- Inti pebahasan adalah hukum-hukum syariat baik bersifat parsial
maupun universal.
- Tidak diharuskan adanya izin resmi pemerintah, dan tidak bersifat
ilzam/mengikat, kecuali ada unsur eksternal yang mewajibkannya,
seperti legalitas pemerintah.
Keduanya juga memiliki perbedaan signifikan, di antaranya:
- Fatwa bisa dilakukan secara personal.
- Ijtihad kolektif adalah salah satu sarana mencapai fatwa, dan fatwa adalah
hasil yang dicapai dari proses ijtihad kolektif.
- Dalam ijtihad kolektif diharuskan adanya pengerahan usaha maksimal
untuk mencapai suatu hukum, sedangkan fatwa tidak harus demikian.
29
- Fatwa tidak terealisasi kecuali dengan penyampaian hukum kepada
penanya, sedangkan ijtihad kolektif sudah terlaksana dengan tercapainya
kesepakatan bersama atas suatu hukum.
2. Syura.
Syura atau musyawarah berarti: pembahasan bersama dengan maksud
mencapai keputusan atas penyelesaian masalah.
Ijtihad kolektif dan musyawarah adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Karenanya, musyawarah menjadi salah satu kriteria utama ijtihad
kolektif. Kajian historis juga membuktikan bahwa ijtihad kolektif yang terjadi di
masa salaf adalah permusyawaratan bersama dalam mendiskusikan hukum suatu
kasus.
Hanya saja, bila diteliti secara lebih spesifik, dapat dipastikan bahwa
musyawarah bersifat lebih umum dan luas. Musyawarah bisa terealisasi dengan
atau tanpa mujtahid. Pembahasan musyawarah juga mencakup berbagai masalah
duniawi, adapun ijtihad kolektif hanya terbatas pada masalah-masalah syar’i.
3. Ijma’.
Ijma’ adalah: kesepakatan para mujtahid di kalangan ummat Islam pada
suatu masa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat terhadap suatu
hukum syar’i.
Ijma’/konsensus yang memenuhi kriteria yang ditetapkan para ulama
secara sempurna(tamm) mempunyai beberapa keistimewaan, yakni ia bersifat
qath’i/pasti, tashrihi/eksplisit, menjadi hujjah mulzimah/hukum yang wajib
ditaati dan tidak boleh diingkari, serta semua pendapat yang bertentangan
dengannya dianggap syaz/janggal dan ditinggalkan, serta berlaku untuk semua
tempat dan zaman. Semua kriteria ini memberikan perbedaan jelas antara ijma’
qath’i dengan ijtihad kolektif.
Perbedaan lebih mendasar antara keduanya adalah bahwa ijma’ umumnya
meliputi hukum-hukum dasar syari’at yang bersifat qath’I berdasarkan nas-nas
yang jelas dan tegas. Sedangkan ijtihad baik personal maupun kolektif tidak boleh
30
dilakukan pada masalah-masalah yang memiliki hukum dan nas yang qath’i,
pasti, jelas dan tegas.
Jika tidak memenuhi kriteria ijma’ tamm atau qath’i, maka ijma’ tersebut
disebut naqish/tidak sempurna, atau biasa disebut ijma’ sukuti, dan zhanni.
Dimana hukum sautu kasus disepakati oleh sebagian besar ulama, sedangkan
ulama lain tidak mengeluarkan pernyataan, atau tidak diketahui ada yang kontra.
Hukum ijma’ jenis kedua ini menjadi perbedaan antara ulama dulu dan
kini. Karenanya, sebagian ulama kontemporer seperti DR. Wahbah al-Zuhaili,
DR. Yusuf al-Qardhawi, DR. Khalid al-Khalid, dll. menganggap bahwa ijtihad
kolektif bisa disejajarkan dengan ijma’ sukuti atau ijma’ naqish. Meskipun dari
tinjauan ilmu ushul fikih hasil ijtihad kolektif tidak dapat disebut ijma’. Wallahu
A’lam
31
HUKUM IJTIHAD KOLEKTIF
Ijtihad kolektif adalah proses pengambilan hukum yang dibolehkan bahkan
dianjurkan dalam syari’at Islam. Banyak dalil dari Al-Qur’an dan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bisa dijadikan landasan hukum,
baik dalil yang bersifat umum maupun khusus. Dalil-dalil tersebut juga
menunjukkan bahwa hukum yang disepakati oleh ulama via ijtihad kolektif
menjadi hujjah zhanniyah, dan lebih kuat daripada ijtihad individual.
a. Dalil dari Al-Qur’an.
1. Firman Allah Azza wa Jalla dalam beberapa ayat Al-Qur’an tentang
menyerukan sekelompok ulama agar melakukan ijtihad kolektif, di
antaranya:
ة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون )آل عمران: ولتكن منكم أمه
104.)
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104).
و واليوم الخر ذلك خير وأحسن تأويال فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى للاه سول إن كنتم تؤمنون بالله الره
(59)النساء:
Artinya: Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’:59).
سول وإلى أولي األمر منهم لعلمه الهذين وإذا جاءهم أمر من األمن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الره
(83يستنبطونه منهم )النساء:
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
32
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri). (QS. an-Nisa’: 83).
Dalam ketiga ayat ini, Allah Azza wa Jalla memerintahkan hendaklah
sekelompok kaum muslimin bangkit untuk berdakwah kepada kebaikan,
menegakkan syiar amar ma’ruf dan nahi munkar. Allah juga menyerukan kaum
muslimin untuk menyerahkan penyelesaian perkara-perkara yang menjadi
perdebatan kepada ulil amri (ulama&umara’), yang kemudian secara bersama
bermusyawarah dan berdiskusi mencari solusi atas perekara tersebut. Pertemuan
sekelompok ulama dan atau disertai umara’ ini dapat kita sebut dengan ijtihad
kolektif.
2. Firman Allah Azza wa Jalla tentang musyawarah:
(159فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في األمر )آل عمران:
Artinya: Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran: 159).
ا رزقناهم ينفقون )الشورى:والهذين الة وأمرهم شورى بينهم وممه (38استجابوا لرب هم وأقاموا الصه
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka. (QS. al-Syura: 38).
Perintah Allah kepada Rasulullah untuk bermusyawarah dengan para
sahabatnya, serta pujian yang Allah sematkan kepada kaum mukminin yang
senantiasa menyelesaikan urusan dengan musyawarah, mengindikasikan urgensi
musyawarah dalam segala urusan, apalagi urusan yang berkaitan dengan hukum
syariat. Sebelumnya telah disebutkan, bahwa ijtihad kolektif dan musyawarah
adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
b. Dalil dari hadits Rasulullah dan atsar sahabat:
1. Musyawarah yang diterapkan Rasulullah bersama para sahabat tentang
hukum atau solusi suatu perkara. Seperti musyawarah Rasulullah tentang
sanksi yang sebaiknya dijatuhkan atas musyrikin tawanan perang Badar
33
yang berjumlah 70 orang. Abu Bakar berpendapat bahwa mereka
dibebaskan setelah membayar fidyah. Sedangkan Umar berpendapat
mereka harus dieksekusi mati, dan Rasulullah memilih pendapat Abu
Bakar. Peristiwa ini menjadi sabab nuzul surat at-Taubah: 67. 16
2. Ijtihad dua kelompok sahabat setelah perang Ahzab, ketika Rasulullah
memerintahkan mereka bergerak menuju Bani Quraizhah, beliau bersabda:
«ال يصلين أحد العصر إال في بني قريظة»
“Janganlah sekali-kali kalian shalat ashar kecuali telah tiba di (kampung) Bani
Qurizhah.”17
Waktu shalat ashar masuk saat mereka masih di perjalanan, sekelompok
sahabat berijtihad dan melaksanakan shalat di perjalanan, sementara sekelompok
yang lain berijtihad untuk tidak shalat kecuali telah tiba di Bani Quraizhah.
Ketika peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah, beliau tidak
mengingkari ijtihad kolektif yang dilakukan oleh masing-masing kelompok, tidak
pula menyalahkan keputusan yang mereka ambil.
3. Hadits yang diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengenai urusan yang menimpa kaum muslimin, akan tetapi
tidak ada keterangan hukumnya dalam Al-Qur`an dan Sunnah, Rasulullah
kemudian menjawab:
«رأي واحدببينكم وال تقضوا فيه العابدين من المؤمنين فاجعلوه شورى »أو قال: « اجمعوا له العالمين»
“Kumpulkanlah ulama -atau ahli ibadah- dari kaum mukminin,
bermusyawarahlah, dan janganlah putuskan berdasarkan pendapat satu
orang.”18
16 Lihat: Shahih Muslim, cet. Dar Ihya’ Turats al-Arabi, jilid III, h. 1383, no. 1763. 17 HR. Bukhari, jilid II, h. 15, no. 946. 18 Hadits lemah riwayat Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 12042, Dhiya’ al-Maqdisi dalam al-Ahadits al-
Mukhtarah, no. 153, keduanya dari riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan juga oleh Ibn
Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi, no. 1612, dari riwayat Ali bin Abi Thalib dari jalur Imam
Malik. Ibn Abdil Barr berkata: sanad hadits ini tidak dikenal dalam riwayat Imam Malik, dan tidak ada
sumbernya dalam riwayat beliau tidak pula riwayat yang lain, sedang diua perawinya lemah dan tidak menjadi
34
4. Ijtihad jama’i dalam bentuk musyawarah juga dilakukan oleh Khulafa’ al-
Rasyidin dalam berbagai kasus. Seperti ijtihad kolektif yang dilakukan
Khalifah Abu Bakar ketika hendak memerangi kaum murtad, dan jadi
tidaknya misi jihad yang diembankan kepada Usamah. Juga ijtihad kolektif
yang sering kali diterapkan Khalifah Umar bin Khattab, seperti
musyawarah tentang tanah luas perolehan perang di Irak.
Sunnah ini diikuti oleh Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, begitu
ditunjuk menjadi Gubernur Madinah, beliau langsung mengumpulkan 10 fuqaha
Madinah, dan berkata kepada mereka: “Sesungguhnya aku mengundang kalian
untuk urusan yang akan berbuah pahala, dimana kalian menjadi penolong dalam
kebenaran, aku tidak akan memutuskan satu perkara, tanpa mendengar pendapat
seluruh atau sebagian kalian.”19
5. Al-Musayyab bin Rafi’ berkata:
ا رأوا، فالحق أثر، اجتمعوا لها وأجمعوا، فالحق فيم كانوا إذا نزلت بهم قضية ليس فيها من رسول هللا »
«فيما رأوا
“Jika satu kasus terjadi dan tidak ada atsar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, maka mereka (para sahabat) berkumpul dan mengumpulkan yang
lainnya, maka kebenaran ada pada keputusan mereka, maka kebenaran ada pada
keputusan mereka.”20
Dalil-dalil ini secara kolektif menunjukkan bahwa ijtihad kolektif atau
musyawarah dalam urusan agama merupakan sunnah yang biasa dilakukan oleh
Rasulullah, sahabat, tabi’in dan ulama di setiap masa. Keputusan yang dihasilkan
dari ijtihad kolektif menajdi hujjah yang kuat dan lebih dekat pada kebenaran
daripada ijtihad personal.
hujjah, yakni Ibrahim al-Barqi dan Sulaiman bin Bazi’ (Jami’ Bayan al-Ilmi, jiid II, h. 853).
19 Ibn Katsir, Musnad al-Faruq, cet. Dar al-Wafa’, jilid II, h. 697. Di antara 10 fuqaha’ tersebut adalah; Urwah
bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Salim bin Abdullah, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Amir bin
Rabi’ah, Qasim bin Muhammad, dan Abu Bakar bin Sulaiman bin Khaitsamah. 20 Sunan ad-Darimi, jilid I, h. 238, no. 116, Husain ad-Darani (muhaqqiq) menyatakan: sanadnya dha’if.
35
URGENSI IJTIHAD KOLEKTIF
Ijtihad yang dilakukan secara kolektif oleh ulama dapat merealisasikan
manfaat yang besar bagi umat Islam. Berikut beberapa manfaat dan sisi positif
dari ijtihad kolektif:
1. Sarana perekat persatuan dan kesatuan umat Islam. Dengan adanya
ijtihad kolektif, kedekatan antara sesama ulama dan cendikiawan
muslim akan semakin erat. Keputusan bersama yang disepakati
kemudian juga sangat berperan penting dalam menciptakan persatuan
dan mempererat persaudaraan kaum muslimin. Sebab, solusi bagi isu-
isu krusial kontemporer telah diputuskan secara bersama dan diamalkan
secara bersama pula. Dimana biasanya kaum muslimin saling berselisih
akibat kontradiksi fatwa antara satu alim atau lembaga dengan alim atau
lembaga lain, bahkan dalam perkara yang sangat sensitif sekalipun.
2. Solusi terbaik bagi kasus-kasus kontemporer. Perkembangan
zaman, kemajuan teknologi, dan adopsi produk dan budaya Barat,
menimbulkan masalah-masalah baru yang tiada pernah berhenti,
seyogyanya kaum kaum muslimin sangat membutuhkan hukum syar’i
yang jelas dari perkara-perkara tersebut. Ijtihad kolektif menjadi solusi
terbaik bagi problem ini, dengan memberikan hukum yang lebih dekat
kepada kebenaran.
3. Ijtihad kolektif memiliki berbagai keistimewaan yang tidak
ditemukan pada ijtihad individual. Di antaranya, kekuatan hukum yang
lebih tinggi, keputusan hukum yang diambil bebas dari fanatisme
mazhab, maslahat pribadi atau golongan, dan tekanan politik atau
ormas, serta terciptanya sistem musyawarah mencapai mufakat yang
dianjurkan syariat.
4. Menjaga stabilitas ijtihad. Ijtihad kolektif dengan spesifikasi mutu
yang tinggi menjadi kontrol social-spiritual bagi para praktisi ijtihad.
36
Sehingga ijtihad tidak berubah menjadi objek mainan yang dapat
dilakoni dengan seenaknya oleh siapapun.
5. Menciptakan rasa tenang dan yakin bagi kaum muslimin akan
keshahihan hasil ijtihad. Sebab, ijtihad secara kolektif melibatkan
para pakar di bidangnya masing-masing, ditambah lagi standar proses
penetapan hukum yang tinggi.
Meski demikian ada beberapa sisi negatif atau tantangan yang menjadi
bahan pertimbangan, di antaranya:
1. Intimidasi politik pemerintah.
Mayoritas lembaga ijtihad kolektif baik yang dibentuk pemerintah maupun
independen tidak bisa 100% lepas dari tekanan politik penguasa. Sehingga
tidak sedikit kasus penting yang berhubungan dengan maslahat publik
diabaikan atau ditunda.
2. Minimnya legalisasi dan sosialisasi.
Lembaga-lembaga fatwa yang ada dinilai kurang aktif dalam
memperjuangkan legalisasi fatwa yang telah disepakati, padahal dengan
adanya legalisasi, fatwa tersebut akan memiliki kekuatan hukum sama
seperti undang-undang positif sebuah Negara. Begitu pula sosialisasi dan
publikasi yang belum massif, sehingga banyak fatwa yang telah
dikeluarkan melalui proses ijtihad kolektif, namun hasilnya tidak sampai
kepada khlayak ramai.
3. Koordinasi dan Konsolidasi yang lemah.
Lembaga ijtihad dan fatwa kolektif kini sangat banyak dan tersebar di
seluruh dunia, namun konsolidasi antar lembaga tersebut masih sangat
lemah, padahal dengan adanya koordinasi dan konsolidasi maksimal,
persatuan sikap dan aksi menghadapi isu bersama umat Islam dunia sangat
mungkin terwujudkan.
Masih banyak problem kaum muslimin dunia yang masih perlu perhatian
lebih besar dengan kesatuan sikap dan aksi bersama. Seperti penjajahan Zionis
atas Palestina, Intimidasi rezim penguasa atas minoritas kaum muslimin di
seluruh pelosok dunia, tuduhan terorisme yang dilekatkan kepada umat Islam,
dilema ISIS, dll.
37
LEMBAGA-LEMBAGA IJTIHAD KOLEKTIF
Pada abad ke-14 Hijriah, ide ijtihad kolektif dalam bentuk majma’ fiqhi (Fiqh
Council/Academy), mulai dicetuskan oleh beberapa ulama, seperti:
Sa’id Badi’uzzaman al-Nursi (1294-1379H) dalam Risalat al-Ijtihad.
Imam Muhammad Thahir bin ‘Asyur (1296-1393H) dalam Maqashid
as-Syari’ah al-Islamiah.
Syekh Abdul Wahhab Khallaf (1305-1375H) dalam Mashadir at-
Tasyri’ al-Islami Fima La Nassha Fihi, dan
Syekh Ahmad Muhammad Syakir (1309-1377H) dalam Asy-Syar’u wa
al-Lughah.
Ide ini kemudian mendapat sambutan hangat dari para ilmuan dan
cendikiawan muslim di seantero dunia. Masing-masing mengusulkan ide dan
strategi realisasi terbaik. Di antaranya adalah dengan mendirikan lembaga ijtihad
kolektif bertaraf lokal, nasional, regional, dan internasional, sesuai dengan tingkat
kasus yang ditangani, kawasan dan strategi masing-masing.
a. Lembaga-Lembaga Ijtihad Kolektif Di Dunia.
Lembaga ijtihad kolektif yang tersebar di Dunia ada yang bersifat global dan
membahas semua kasus yang berhubungan dengan dunia Islam. Ada pula yang
yang didirikan secara spesifik untuk bidang tertentu.
1. Azhar Islamic Research Academy ( مجمع البحوث اإلسالمية باألزهر ).
Lembaga yang didirikan berasaskan Undang-undang Mesir no.103 tahun
1961M/1381H tentang pengembangan al-Azhar ini memiliki beberapa divisi, di
antaranya adalah divisi fatwa. Fatwa yang dikeluarkan melalui proses ijtihad
kolektif meliputi semua pertanyaan yang sampai baik dari dalam maupun luar
Mesir, tanpa terikat dengan mazhab fikih tertentu.
Anggotanya terdiri dari 50 orang, 20 orang mewakili Negara-negara Islam
selain Mesir. Porsi ijtihad kolektif sangat kecil dibanding kegiatan lainnya dan
38
rata-rata anggotanya tidak konsentrasi penuh.
2. Islamic Fiqh Council (المجمع الفقهي اإلسالمي ).
Lembaga ini berada di bawah Muslim Word League (رابطة العالم اإلسالمي) yang
bertempat di Makkah al-Mukarramah. Resmi dibentuk pada 01/12/1397 H-
12/11/1977 M dengan ketua umum Syekh Abdul Aziz Alu Syekh.
Strukturnya terdiri dari ketua, dua sekjen, dan 30 anggota dari ulama.
Pertemuan umum diadakan sekali dua tahun, dan anggotanya tidak konsentrasi
penuh dalam aktifitas ijtihad kolektif.
3. International Islamic Fiqh Academy ( مي الدوليمجمع الفقهي اإلسال ).
Didirikan berdasarkan rekomendasi muktamar ke-3 Organisation of Islamic
Cooperation/OKI (منظمة التعاون اإلسالمي) yang berlangsung pada 19-22 Rabiul
Awal 1401 H/25-28 Januari 1981 M, di Makkah al-Mukarranah. Berpusat di
Jeddah, KSA. Ada 43 negara yang tergabung dalam lembaga ini, anggotanya
terdiri dari ulama dan para ahli di berbagai disiplin ilmu dari seluruh dunia.
Komparasi Tiga Dewan Ijtihad Kolektif
1. Dari ketiga lembaga ini, hanya Islamic Fiqh Academy-Jeddah, yang secara
eksplisit memuat visi dan misi persatuan bertaraf internasional, seperti:
Realisasi konvergensi intelektual segenap kaum muslimin dunia di bawah
syariat Islam, di tengah keragaman mazhab fikih yang saling membangun.
Koordinasi antara berbagai otoritas fatwa yang tersebar di dunia Islam.
2. Dari sisi keanggotaan syarat yang ditetapkan hampir sama baik dari segi
kwantitas maupun kwalitas. Di antaranya harus berakidah yang lurus dan
berakhlak mulia, memiliki pengetahuan dan wawasan keislaman yang luas,
serta kapabilitas ilmiah di bidangnya. Syarat penguasaan Bahasa Arab juga
menjadi syarat dua lembaga terakhir.
3. Mayoritas anggota ketiga lembaga ini tidak berkonsentrasi penuh dalam
aktifitas lembaga, hanya aktif ketika ijtihad kolektif dibutuhkan.
Selain tiga lembaga ini masih ada lembaga ijtihad kolektif yang bersifat
nasional di masing-masing Negara, atau regional bagi beberapa Negara seperti:
39
Lajnah Da’imah Lilbuhuts wa al-Ifta’-KSA ( اللجنة الدائمة للبحوث واإلفتاء).
Islamic Fiqh Academy-India (مجمع الفقه اإلسالمي بالهند ).
European Council for Fatwa and Research (المجلس األوربي لإلفتاء والبحوث).
Assembly of Muslims Jurists of America (مجمع فقهاء الشريعة بأمريكا).
Islamic Organization for Medical Sceinces-Kuwait ( المنظمة اإلسالمية للعلوم
.(الطبية
International Zakat Organization-Kuwait (الشرعية العالمية للزكاة الهيئة).
b. Lembaga-Lembaga Ijtihad Kolektif Di Indonesia.
Di Indonesia sudah ada beberapa lembaga fatwa yang menerapkan sistem
ijtihad kolektif bertaraf nasional dan telah eksis sejak lama, seperti Majelis Tarjih
Muhammadiah, Lembaga Bahtsul Masail NU, dan Komisi Fatwa MUI. Selain
itu, umumnya organisasi dan lembaga dakwah memiliki dewan syariah tersendiri.
1. Majelis Tarjih Muhammadiah.
Majelis Tarjih atau komite pencari pendapat terkuat didirikan atas dasar
keputusan kongres Muhammdiah XVI tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas
Mansur, dan disahkan setahun berikutnya pada kongres XVII di Yokyakarta.
Dilihat dari sisi usia, Majelis tarjih dianggap sebagai salah satu pionir ijtihad
kolektif abad modern untuk seluruh dunia Islam.
Fungsi dari majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum,
khususnya bagi warga muhammadiah, tentang masalah-masalah tertentu yang
didasarkan atas syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits. Keputusan diambil secara
kolektif dengan menggunakan metode ilmu ushul fiqh tanpa terikat dengan
mazhab fikih tertentu.
Tugas utama lembaga ini ada dua: pertama, meneliti hukum Islam demi
menemukan kemurnian untuk diajdikan rekomendasi kebijaksanaan pimpinan
dan pedoman bagi anggota. Kedua, membina mutu ulama Muhammadiah untuk
dapat meningkatkan kadar keilmuannya.
40
2. Lembaga Bahtsul Masail NU.
Lembaga Bahtsul Masail secara resmi disahkan dengan SK no.
30/A.I.05/5.1990. Meski demikian kegiatan-kegiatan kajian ilmiah sudah
berjalan sejak lama. Otoritas Lembaga Bahtsul Masail hanya setingkat
merumuskan dan menampung berbagai macam pendapat tentang hukum agama,
pemutusan hukum agama adalah otoritas Syuriah secara kolektif berdasarkan
musyawarah bersama. Solsialisasi keputusan akhir Syuriah kolektif adalah
otoritas Rais ‘Am atau juru bicaranya.
3. Komisi Fatwa MUI.
Komisi Fatwa MUI berdiri bersamaan dengan berdirinya MUI Pusat, yakni
pada 26 Juli 1975 M/ 17 Rajab 1375 H, dengan Ketum Pertama Prof. DR.
HAMKA. Pembentukan ini tidak terlepas dari arahan Presiden Soeharto.
Sebelumnya Mendagri Amin Machmut mengarahkan agar daerah memulai
terlebih dahulu, sehingga pada Mei 1975 M, sebanyak 26 provinsi telah
membentuk Majelis Ulama Daerah.
Piagam pembentukan MUI dihadiri ulama dan cendikiawan muslim, meliputi
26 orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia, 10 orang ulama dari
unsur ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat
Islam, Perti, Al-Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al-
Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI,
serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
MUI berkomitmen menjalankan berbagai peran, di antaranya: Sebagai
qudwah hasanah, ahli waris tugas para Nabi ‘alaihimussalam, mufti,
pembimbing dan pelayan umat, penegak amar makruf nahi munkar, pelopor
gerakan pembaharuan dan ishlah. Juga berusaha mengembangkan ukhuwwah al-
Islamiyyah dan bekersamaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat
Islam dalam wadah NKRI.
MUI tidak boleh terlibat dalam program praktis seperti menyelenggarakan
madrasah, masjid, rumah sakit dan lainnya, karena ada organisasi Islam lain yang
41
telah mengelolanya, disamping itu MUI juga dilarang berpolitik praktis, karena
itu adalah peran partai-partai politik.
Komparasi Tiga Lembaga Ijtihad Kolektif Indonesia
Di bawah naungan tema ijtihad kolektif dan proyek persatuan kaum
muslimin Indonesia, diperlukan komparasi objektif terhadap ketiga lembaga
ijtihad kolektif terbesar yang ada di Indonesia, yang tertuang dalam beberpa poin
berikut:
1. Keputusan fatwa MUI bersifat umum dan bertaraf nasional, sedangkan
hasil fatwa Majelis Tarjih Muhammadiah dan Lembaga Bahtsul Masail
NU bertaraf nasional namun bersifat internal, yang pada dasarnya terbatas
bagi anggota ormas masing-masing.
2. Dalam penetapan hukum, Komisi Fatwa MUI dan MT Muhammadiah
tidak terikat pada mazhab fikih tertentu, namun tetap menjadikan pendapat
fikih empat mazhab sebagai bahan pertimbangan. Sedangkan LBM NU
lebih terikat dengan mazhab Syafi’i.
3. Secara umum metode ijtihad ketiga lembaga dalam masalah sejalan dengan
sistem yang diterapkan mazhab yang empat. Namun ada perbedaan
prioritas:
- Muhammadiah lebih mengutamakan istinbath hukum langsung dari nas
Al-Qur’an dan hadits. Dalam menyikapi ta’arudh al-adillah, diterapkan
sistem berikut: al-jam’u wa at-taufiq, al-tarjih, an-naskh, al-tawaqquf.
- NU mendahulukan pendapat ulama mu’tabar dari kitab-kitab mu’tabarah,
dimulai dengan pemilihan qaul/wajh, ilhaq masa’il binazha’iriha, dan
istinbath hukum dengan pertimbangan qawa’id ushuliah dan fiqhiyah.
- MUI lebih konsisten dengan metodologi ushul fiqh klasik yang di bangun
oleh ulama-ulama terdahulu dalam istinbath hukum, dengan tetap meminta
bantuan para ahli di bidang masing-masing.
4. Dalam ijtihad kolektif, KF-MUI dan MT-Muhammadiah sama-sama
menerapkan metode pendekatan bayani(pendekatan bahasa meliputi
42
konteks dan kaidah bahasa), ta’lili (pendekatan penalaran dengan qias,
istihsan, dan ilhaq), dan istishlahi (pendekatan maslahatdan maqashid),
sedangkan LBM NU menerapkan metode manhaji bermazhab.
5. Hasil fatwa MT-Muhammadiah dan LBM NU memiliki kekuatan hukum
yang kuat karena mengikat para pengikutnya yang tersebar di seluruh
pelosok Indonesia, sedangkan kekuatan hukum Fatwa MUI tidak
demikian.
6. NU dan Muhammadiah merupakan dua organisai masyarakat yang sejak
berdiri sengaja atau tidak telah terkesan saling berbeda. Sedangkan MUI
merupakan ikon persatuan umat muslim Indonesia.
7. NU dan Muhammadiah adalah wadah afiliasi bagi banyak kaum muslimin
Indonesia dan masing-masing telah membentuk partai politik. Meski
lembaga fatwa kedua ormas ini tetap memperjuangkan independensi dan
profesionalitas, namun hegemoni atau ego ormas dikhawatirkan sedikit
banyak mempengaruhi fatwa atau keputusan hukum yang dicapai. Adapun
MUI bersifat independen, bukan ormas dan tidak memiliki partai, sehingga
fatwa yang dikeluarkan -insyaAllah- lebih objektif, adil, dan maslahat bagi
semua golongan.
8. Anggota lembaga fatwa NU dan Muhammadiah terbatas dari ulama dan
intelektual internal ormas, sedangkan anggota komisi fatwa MUI
merupakan kolaborasi dari berbagai organisasi dan lembaga dakwah
Indonesia. Fatwa yang dikeluarkan MUI seyogyanya telah mewakili
berbagai metode ijtihad dan mengakomodasi semua pendapat.
Intinya, lembaga ijtihad kolektif yang bisa diandalkan untuk memperjuangkan
persatuan umat muslim Indonesia saat ini adalah MUI, karena mempunyai faktor
pendukung yang memadai. Meski demikian, ada beberapa titik lemah yang perlu
menjadi perhatian, di antaranya:
1. Ditinjau dari jenis dan hierarki perundang-undangan di Indonesia,
kedudukan Fatwa MUI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
43
tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh umat Islam.
Ia hanya mengikat komunitas umat Islam yang merasa mempunyai
keterikatan terhadap MUI itu sendiri.
2. Rekrutmen anggota dan pengurus terkesan kurang ketat, sehingga tak
jarang ada anggota MUI yang mengeluarkan sikap atau perbuatan yang
kontradiksi dengan tujuan lembaga, atau berusaha menghalang-halangi
keluarnya fatwa tertentu.
3. Beberapa kasus besar yang berpotensi atau terbukti menjadi pemicu
perpecahan belum dapat diakomodir oleh MUI. Di antaranya:
- Hukum demonstrasi damai di Indonesia.
- Penyatuan sikap dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan.
- Kesesatan Syi’ah Imamiah 12, dll.
Selain itu, MUI juga diharapkan mampu berperan aktif dalam memberikan
nasehat dan solusi atas berbagai problematika nasional yang dihadapi Negara,
seperti masalah utang luar negeri dengan mengusulkan sistem hiwalah ad-dain
(transfer utang) ke Negara Islam yang tidak mengambil bunga/riba, atau cara
lainnya. Juga rekomendasi jitu untuk menanggulangi perusakan akidah umat,
dekadensi moral generasi muda, dll.
44
REKOMENDASI
Untuk saat ini lembaga ijtihad kolektif yang ada dan diharapan bisa
menjadi sarana perekat persatuan kaum muslimin Indonesia adalah Majelis
Ulama Indonesia. Apalagi secara eksplisit MUI menyebutkan salah satu
fungsinya: Sebagai wadah silaturrahmi para ulama, zu’ama dan cendekiawan
muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang
ukhuwah Islamiyah. Maka, di penghujung tulisan ini, ada beberepa rekomendasi
yang kami coba ajukan berkaitan dengan kontribusi lembaga ijtihad kolektif
untuk persatuan umat Islam Indonesia, yaitu:
1. Revitalisasi fungsi fatwa MUI bagi umat Islam Indonesia dengan usaha
legalisasi fatwa MUI sebagai hukum positif bagi kaum muslimin
khususnya dan warga Indonesia umumnya.
2. Maksimalisasi kontribusi & partisipasi intelektual alumni Universitas-
universitas Timur Tengah yang memiliki kapabilitas di jurusan masing-
masing. Dengan demikian, diharapkan kualitas fatwa MUI semakin
kuat dan dapat diterima oleh semua elemen umat Islam.
3. Ormas dan lembaga Islam lainnya hendaknya mengadopsi fatwa-fatwa
MUI dan mensosialisasikannya kepada anggota. Dewan syariah ormas
dan lembaga Islam tidak perlu berijtihad sendiri dalam perkara yang
sama, kecuali untuk maslahat tanzil/implementasi.
4. Sosialisasi fatwa-fatwa MUI secara massif via media masa dan
elektronik yang tersedia.
5. Membangun komunikasi dan koordinasi antara MUI dengan lembaga
ijtihad kolektif internasional yang telah eksis, seperti International
Islamic Fiqh Academy (مجمع الفقهي اإلسالمي الدولي ) Jeddah, dan Islamic
Fiqh Council ( ع الفقهي اإلسالميالمجم ) Makkah al-Mukarramah.
6. Membentuk lembaga ijtihad kolektif untuk Negara-negara ASEAN,
lembaga ini bisa dibentuk di bawah Ikatan Ulama dan Dai Asia
45
Tenggara.
7. MIUMI termasuk lembaga ijtihad kolektif yang berpotensi besar
menjadi sarana persatuan, selain baru MIUMI juga beranggotakan
intelektual muda muslim dari berbagai elemen dan ormas umat Islam
Indonesia. Visi dan misinya juga sangat mendukung proyek ini. Salah
satu visinya menyebutkan: Menjadi wadah pemersatu para intelektual
dan ulama Indonesia dalam membangun peta perjuangan menuju
kejayaan Islam. Di antara misinya adalah: Menyatukan potensi para
intelektual dan ulama dalam membentuk peta perjuangan dakwah yang
mendatangkan pertolongan Allah dalam memenangkan Islam dan
menjayakan umat Islam.
46
PENUTUP
Dari Wahsyi bin Harb Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya para Sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
makan tapi tidak kenyang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya:
“Mungkin kalian makan berpisah?” Mereka berkata: “Ya.” Beliau bersabda:
“Berkumpullah kalian ketika makan dan bacalah bismillah, maka makanan
kalian akan diberkahi.”21
Jika dalam masalah yang kelihatan sepele seperti urusan perut saja,
jama’ah dan kebersamaan sangat penting, apatah lagi dengan masalah agama
yang menjadi maslahat umum umat Islam.
Jika MUI dan MIUMI belum bisa menjadi wadah pemersatu para
intelektual dan umat muslim Indonesia, maka membentuk lembaga ijtihad
kolektif alternatif dengan spirit persatuan, menjadi kewajiban kita semua, dan itu
bukan tugas yang mudah.
21 HR. Ibnu Majah, jilid II, h. 1093, no. 3286, Abu Dawud, jilid III, h. 346, no. 3766. Syekh al-Albani menyatakan
hadits ini hasan lighairihi, lihat Silsilah al-Ahadits ash-Sahihah, jilid II, h. 269, no. 664.
47
REFERENSI UTAMA
Al-Khalid, Khalid Husain. 2008. al-Ijtihad al-Jama’i Fi al-fiqhi al-Islami. Dubai:
Markaz Jum’at al-Majed.
Alkronz, Nashr Mahmud. 2008. al-Ijtihad al-Jama’i wa Tathbiqatuhu al-
Mu’ashirah. Ghaza: The Islamic University.
Al-Syarafi, Abdul Majid. 1418 H. al-Ijtihad al-Jama’i Fi al-Tasyri’ al-Islami.
Qatar: Kementrian Waqaf dan Urusan Islam.
Arake, H. Lukman. 2013. Ijtihad Kolektif: Sebagai Wacana Pembumian Teks Al-
Qur’an dan Hadits. Vol. 1. No. 1 (2013) Bone: STAIN Watampone. Diambil dari:
http://e-jurnal.stainwatampone.ac.id/index.php/index/search/search.
Humaid, Sholeh bin Abdillah. 2009. al-Ijtihad al-Jama’i wa Ahammaiyatuhu Fi
Nawazil al-‘Ashr. Makkah al-Mukarramah: Islamic Fiqh Council.
Isma’il, Sya’ban Muhammad. 1998. al-Ijtihad al-Jama’i wa Daur al-Majami’ al-
Fiqhiyyah Fi Tathbiqih. Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiah.
Mujahidin, Sultan. Penerapan Ijtihad Kolektif Di Kalangan Muhammadiyah,
NU, dan MUI (Studi Komparatif Pada Masalah-Masalah Kontemporer). 2016.
Banjarmasin:IAIN Antasari.
48
PERSATUAN PELAJAR DAN MAHASISWA INDONESIA
PPMI RIYADH – ARAB SAUDI اتحاد الطلبة اإلندونيسيين بالمملكة العربية السعودية
FORUM MAHASISWA PASCASARJANA INDONESIA SE-ARAB SAUDI
ملتقى طالب الدراسات العليا اإلندونيسيين بجامعات المملكة العربية السعودية
MAKNA KETAATAN KEPADA ULIL AMRI DALAM
KONTEKS DEMOKRASI DI INDONESIA
مفهوم طاعة أولي األمر في ظل النظام الديمقراطي بإندونيسيا
ABDULLAH ROY, LC., M.A.
KANDIDAT DOKTOR AQIDAH
ISLAMIC UNIVERSITY OF MADINAH
RIYADH, 02 RAJAB 1438 H / 30 MARET 2017 M
49
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
الحمد هلل والصالة والسالم على رسول هللا وعلى آله وصحبه أجمعين.
Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan agama ini, sehingga
tidak ada perkara yang kita butuhkan dalam agama kecuali sudah diterangkan
oleh Allah ta’ala, Allah berfirman:
سالم ديناضيت لك اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ور م اإل
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku
sempurnakan kenikmatanKu atas kalian, dan Aku ridhai Islam sebagai agama
bagi kalian”22.
Rasulullah shallallah ‘alaih wa sallam bersabda:
يقرب من الجنة ويباعد من النار إال وقد بين لكم ما بقي من شيء
“Tidak ada sesuatu yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka
kecuali sudah diterangkan kepada kalian”23.
Ayat dan hadits di atas menunjukkan kepada kita tentang kesempurnaan
agama Islam. Islam telah mengatur seluruh perkara yang kita butuhkan.
Termasuk diantaranya masalah imamah (kepemimpinan) dan masalah siyasah
(politik).
Oleh karena itu kewajiban kita adalah kembali kepada Al Quran dan As
Sunnah dalam masalah ini, tentunya dengan berpegang dengan pemahaman para
salaf shalih, generasi yang dipuji oleh Allah dan RasulNya.
Dan pada kesempatan acara Multaqa Thullab Dirasat Ulya pada tahun 1438
H/ 2017 M yang diadakan di Riyadh ini, penulis mendapat amanat untuk
menyampaikan materi yang berjudul:
22 QS. Al Maidah: 3. 23 Ath Thabrani, al Mu’jamul Kabiir, hal. 155, juz 2, disahihkan Syeikh Al Albani, Silsilah Al Ahaadiits Ash Shahiihah, hal. 416, juz 4.
50
مفهوم الطاعة ألولي األمر في ظل ديمقراطية في إندونيسيا
Tinjauan Makna Keta’atan Kepada Ulil Amri dan Penerapannya Dalam Konteks
Demokrasi di Indonesia
Materi ini adalah materi yang cukup menarik dan penting dipahami oleh
seorang muslim, karena sebagian memahami salah tentang ulul amri yang harus
ditaati dan apa batas-batas ketaatannya. Padahal kalau mau kembali kepada dalil
niscaya dia akan menemukan di sana cahaya dan petunjuk.
Untuk memahami makna ketaatan kepada ulul amri dan penerapannya dalam
konteks demokrasi di Indonesia, maka penulis menjadikan tulisan ini menjadi tiga
bab:
BAB SATU : Kewajiban Mendengar Dan Taat Kepada Penguasa
Pasal Pertama : Dalil-Dalil Kewajiban Mendengar Dan Taat Kepada
Pemerintah
Pasal Kedua : Makna Mendengar Dan Taat Kepada Penguasa
Pasal Ketiga : Ulul Amri (Penguasa) Yang Harus Ditaati
BAB DUA : Berhukum Dengan Hukum Allah
Pasal Pertama : Kewajiban Berhukum Dengan Hukum Allah
Pasal Kedua : Hukum Demokrasi
Pasal Ketiga : Pemungutan Suara
BAB TIGA : Hukum Taat Kepada Penguasa Dalam Negara Demokrasi
51
BAB SATU
KEWAJIBAN MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PENGUASA
Pasal Pertama: Dalil-Dalil Kewajiban Mendengar Dan Taat Kepada
Pemerintah
Cukup banyak dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mendengar dan
taat kepada pemerintah, diantaranya adalah:
1. Firman Allah ta’ala:
سول وأ وأطيعوا الره يا أيها الهذين آمنوا أطيعوا للاه مر منكم ولي األ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan
para penguasa kalian”24.
Sebagian salaf seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallah ‘anh menafsirkan Ulul
Amri dengan ulama, dan sebagian yang lain seperti Abu Hurairah radhiyallah
‘anh menafsirkan dengan umara (penguasa)25.
Dan kedua makna ini benar, karena dalil lain menunjukkan bahwa kita
diperintah untuk menaati ulama dan umara, Allah berfirman:
كر إن كنتم ال تعلمون فاسألوا أ هل الذ
Artinya: “Maka hendaklah kalian bertanya kepada ahludzdzikr (ulama) apabila
kalian tidak mengetahui”26.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Dan zhahirnya-wallahu a’lam- bahwa
ayat ini berkaitan dengan seluruh ulul amri, baik para umara maupun para
ulama”27.
2. Hadits ‘Ubaadah bin Ash Shaamit radhiyallah ‘anh, beliau berkata:
صلى هللا عليه وسلم فبايعناه فكان فيما أخذ عل طنا منش يينا أن بايعنا على السهمع والطهاعة ف دعانا رسول للاه
إاله أن تروا كفرا بواحا ع :مر أهله قال ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن ال ننازع األ ندكم من للاه
. فيه برهان
24 QS. An Nisa: 59. 25 Lihat Ibn Jarir, Jami’ Bayan fi Ta’wil al Quran, hal. 496-501, juz 8. 26 QS. Al Anbiya: 7. 27 Ibn Katsir, Tafsir al Quran al Adzim, hal. 345, juz 2.
52
Artinya: “Rasulullah memanggil kami, maka kamipun membaiat beliau, maka
diantara apa yang beliau ambil janjinya dari kami adalah supaya kami membaiat
untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan kami semangat dan terpaksa, baik
dalam keadaan susah maupun mudah, dan meski penguasa tersebut mengambil
hak kami, dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari penguasa, beliau
berkata: “Kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata, kalian memiliki
bukti jelas atas kekufuran tersebut dari Allah”28.
3. Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallah ‘anhuma beliau berkata: Rasulullah
bersabda:
مع وال س يؤمر بمعصية، فإذا أمر بمعصية فال السهمع والطهاعة على المرء المسلم فيما أحبه وكره، ما لم
طاعة
Artinya: “Mendengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim, di dalam apa
yang dia senangi dan apa yang dia benci, selama tidak diperintah untuk berbuat
maksiat, apabila diperintah untuk berbuat maksiat maka tidak boleh menaati dan
tidak boleh mendengarnya”29.
4. Hadits Al ‘Irbaadh bin Saariyah radhiyallah ‘anh, Rasulullah bersabda:
والسهمع والطهاعة وإن عبدا حبشيا أوصيكم بتقوى للاه
Artinya: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar
dan taat, meskipun (penguasa) tersebut adalah seorang budak Ethiopia”30.
5. Hadits Abu Hurairah radhiyallah ‘anh
ومن يمن أطاعن ومن يعصني فقد عصى للاه فقد طع األمير فقد أطاعني ومن يعص األمير ي فقد أطاع للاه
عصاني
Artinya: “Barangsiapa menaati aku maka sungguh dia telah menaati Allah, dan
barangsiapa yang bermaksiat padaku maka sungguh dia telah bermaksiat kepada
Allah. Dan barangsiapa yang menaati amir (penguasa) maka sungguh dia telah
menaati aku, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amir maka sungguh dia
28 HR. Al Bukhari no. 6647 dan Muslim. 29 HR. Al Bukhari no. 6725 dan Muslim. 30 HR. Abu Daawud no. 4607, dan At Tirmidzi no. 2676.
53
telah bermaksiat kepadaku”31.
Ini semua menunjukkan bahwa mendengar dan taat kepada pemerintah
adalah perintah agama.
Pasal Kedua: Makna Mendengar Dan Taat Kepada Penguasa
Ketaatan seorang muslim kepada Allah dan RasulNya adalah ketaatan
yang sifatnya mutlak, Allah ta’ala berfirman:
ورسوله وال تولهوا عنه وأنتم تسمعون يا أيها الهذين آمنوا أطيعوا للاه
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan RasulNya
dan janganlah kalian berpaling dariNya sedangkan kalian mendengar”32.
Allah juga berfirman:
ورسوله يدخله جنهات تجري من تحتها األن هار خالدين فيها وذلك الفوز العظيم ومن يطع للاه
Artinya: “Dan barangsiapa yang menaati Allah dan RasulNya maka Allah akan
memasukkan dia ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Dan yang demikian adalah keberuntungan yang
besar”33.
Adapun ketaatan seorang muslim kepada penguasa maka dia adalah ketaatan
terikat (muqayyadah) dan terbatas, maksudnya terikat dengan syariat; apabila
perintahnya bukan di dalam kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya maka
ditaati, dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah berlalu34.
Dan sabda Nabi shallallah ‘alaih wa sallam dalam hadits Ali bin Abi Thaalib
radhiyallah ‘anh:
إنهما الطهاعة ف المعروف يال طاعة في معصية للاه
Artinya: “Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sesungguhnya ketaatan itu di
dalam kebaikan” 35.
31 HR. Al Bukhari no. 2718 dan Muslim. 32 QS. Al Anfal: 20. 33 QS. An Nisa: 13. 34 Lihat hal. 5. 35 HR. Al Bukhari no. 6830 dan Muslim no. 1840.
54
Hal ini umum mencakup setiap mahluk selain Nabi Muhammad seperti
ketaatan rakyat kepada penguasa, ketaatan seorang anak kepada orang tua,
ketaatan seorang istri kepada suami, ketaatan seorang kepada ulamanya, maka
dia adalah ketaatan yang terikat.
Oleh karena itu, orangtua yang haknya begitu besar atas kita, apabila
memerintahkan kita berbuat dosa, maka tidak boleh kita menaatinya dengan tetap
menjaga penghormatan kita kepada beliau, Allah berfirman:
اما وصاحبهما في الدنيا معروف وإن جاهداك على أن تشرك بي ما ليس لك به علم فال تطعه
Artinya: “Dan apabila keduanya memaksamu supaya kamu menyekutukanKu
dengan apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya maka janganlah engkau
manaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik“36.
Ini semua menunjukkan bahwa ketaatan seseorang kepada penguasa adalah
ketaatan yang terikat dan terbatas, yaitu selama bukan dalam kemaksiatan dan
dosa. Sedangkan redaksi “bukan maksiat” mencakup tiga hal, yaitu:
1. Perkara yang wajib, seperti memerintah untuk shalat lima waktu,
membayar zakat dan lainnya.
2. Perkara yang mandub, seperti memerintah untuk membaca Al Quran,
melaksanakan shalat rawatib dan sebagainya.
3. Perkara yang mubah, seperti peraturan-peraturan lalu lintas (yang
hukumnya boleh), peraturan-peraturan imigrasi (yang hukumnya boleh)37.
Abul ‘Abbas Al Qurthubi rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan Al
Ma’ruf disini adalah sesuatu yang bukan mungkar dan maksiat, masuk di
dalamnya ketaatan-ketaatan yang wajib, yang disunnahkan, dan perkara-perkara
yang boleh secara syari’at. Seandainya beliau menyuruh dengan perkara yang
mubah, jadilah ketaatan kepada beliau dalam masalah ini wajib, dan tidak boleh
36 QS. Luqman: 15. 37 Guru kami, Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili memiliki kutaib yang berjudul “Al Ihkaam fii Sabri Ahwaalil Hukkaam wa Maa Yusyra’u li ar Ra’iyyati fiihaa min al Ahkaam”, beliau membahas secara tuntas dan ringkas tentang sikap seorang rakyat terhadap perintah dan larangan penguasa.
55
menyelisihi beliau”38.
Dan Sulaiman bin Muhammad Al Bujairami Asy Syafi’i rahimahullahu
berkata: “Dan kesimpulannya: apabila penguasa memerintah untuk melakukan
kewajiban maka semakin kuat kewajibannya, dan apabila memerintah untuk
melakukan yang mandub (sunnah) maka wajib untuk dilaksanakan”39.
Pasal Ketiga: Ulul Amri (Penguasa) Yang Harus Ditaati
Ulul Amri secara bahasa adalah yang memegang dan mengatur urusan kita.
Ulul Amri adalah seorang penguasa muslim, baik dia orang yang shalih atau orang
yang fasik, yang adil ataupun yang zhalim, baik dia mendapatkan kepemimpinan
dengan cara yang dibenarkan secara syari’at atau tidak dibenarkan secara
syari’at.
Semuanya adalah termasuk ulul amri yang kita diperintahkan untuk
mendengar dan taat kepada beliau dalam kebaikan.
1. Dalil bahwa penguasa muslim yang fasik adalah ulul amri yang kita
diperintahkan untuk mendengar taat kepadanya adalah sabda Nabi
shallallah ‘alaih wa sallam dalam hadits Ummu Salamah:
ضى وتابع قد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من ر ف إنهه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن كره
أال نقاتلهم؟ :قالوا ال: ال ما صلهواق ،يا رسول للاه
Artinya: “Akan datang para penguasa, maka ada diantara amalan mereka yang
ma’ruf (tidak mungkar), dan ada diantara amalan mereka yang kalian ingkari;
barangsiapa yang membenci (kemungkaran tersebut) maka dia telah berlepas diri,
dan barangsiapa yang mengingkari maka sungguh dia telah selamat, akan tetapi
orang yang ridha dan mengikuti”, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah
boleh kita memerangi mereka?”, beliau menjawab: “Tidak, selama masih
shalat”40.
38 Abul Abbas al Qurthubi, Al Mufhim limaa Usykila min Talkhish Kitab Muslim, hal 41, juz 4. 39 Al Bujairami, Tuhfatul Habiib ‘alaa Syarhil Khathiib, hal. 474, juz 2. 40 HR. Muslim no. 1854.
56
2. Dalil bahwa penguasa muslim yang zhalim adalah ulul amri yang kita
diperintahkan untuk mendengar taat kepadanya adalah hadits Hudzaifah
bin Al Yamaan radhiyallah ‘anh ketika Nabi bersabda:
ة ال يهتدون بهداي وال يستنون بسنهتي وس في جثمان فيهم رجال قلوبهم قلوب الشهياطين يقوم يكون بعدي أئمه
إن أدركت ذلك :إنس، قال ك ال: تسمع وتطيع لألمير وإن ضرب ظهر ، ق ؟قلت: كيف أصنع يا رسول للاه
وأخذ مالك فاسمع وأطع.
Artinya: “Setelahku akan ada para penguasa yang tidak mengambil petunjukku,
dan tidak menjalankan sunnahku, dan akan ada orang-orang yang hati-hati
mereka adalah hati-hati syetan di dalam jasad manusia”, Hudzaifah berkata: Aku
bertanya: “Apa yang aku lakukan wahai Rasulullah, apabila aku menemui
keadaan tersebut?”, Beliau menjawab: “Engkau mendengar dan taat kepada
penguasa, meskipun dipukul punggungmu dan diambil hartamu, maka dengarkan
dan taatilah”41.
Dan dalam hadits yang lain:
أ يف سأل سلمة بن يزيد الجع فقال: يا نبي للاه هم ويمنعونا رأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقه رسول للاه
األشعث بن قيس الثهالثة فجذبه يسأله في الثهانية أو ف فأعرض عنه ثمه سأله فأعرض عنه ثمه ؟حقهنا فما تأمرنا
لوا وعليكم ما وقال: لتم.ح اسمعوا وأطيعوا فإنهما عليهم ما حم م
Artinya: “Salamah bin Yazid Al Ju’fi pernah bertanya kepada Rasulullah seraya
berkata: “Wahai nabi Allah, apa pendapatmu seandainya kami memiliki
penguasa, yang mereka meminta kami untuk menunaikan hak mereka, dan
mereka tidak memberikan hak kami, apa yang engkau perintahkan?”. Maka
beliau berpaling, kemudian Salamah bertanya lagi, maka beliau berpaling lagi,
kemudian Salamah bertanya lagi yang kedua atau ketiga, maka Al Asy’ats bin
Qais menariknya. Kemudian Rasulullah bersabda: “Dengarkanlah dan taatilah,
karena sesungguhnya atas mereka kewajiban mereka, dan atas kalian kewajiban
kalian” (42)
Dan beliau juga bersabda:
41 HR. Muslim no. 1847. 42 HR. Muslim no. 1849.
57
من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه
Artinya: “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dia benci dari penguasanya,
maka hendaklah dia bersabar”43.
Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Adapun memberontak dan
memerangi penguasa, maka hukumnya haram dengan ijma’ (konsensus) kaum
muslimin, meskipun mereka adalah orang-orang fasik lagi zhalim, dan telah
banyak hadits-hadits dengan makna yang aku sebutkan, dan ahlussunnah
berkonsensus bahwa penguasa tidak dilengserkan hanya karena kefasikan”44.
3. Dalil bahwa penguasa muslim yang mendapatkan kepemimpinan dengan
cara yang tidak disyari’atkan adalah ulul amri yang kita diperintahkan
untuk mendengar taat kepadanya, di antaranya adalah hadits Al ‘Irbaadh
bin Saariyah, Rasulullah shallallah ‘alaih wa sallam bersabda:
والسهمع والطهاعة وإن عبدا حبشيا أوصيكم بتقوى للاه
Artinya: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar
dan taat, meskipun (penguasa) tersebut adalah seorang budak Ethiopia”45.
Segi pendalilan hadits ini: Ijma’ kaum muslimin bahwa seorang amir atau
imam atau penguasa apabila dipilih oleh Ahlul Halli wal Aqdi (para pemuka, para
ulama, tokoh masyarakat yang diakui keilmuan dan keadilannya) maka
disyaratkan seorang yang merdeka bukan hamba sahaya, dan seorang dari suku
Quraisy46. Namun seandainya ada seorang budak memberontak dan berhasil
mendapatkan kekuasaan maka kita tetap diperintahkan untuk mendengar dan taat
kepadanya, meskipun tidak terpenuhi sebagian syarat penguasa pada dirinya.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Setiap yang menguasai dengan pedang
sehingga dinamakan khalifah, dan manusia bersepakat, maka dia dinamakan
khalifah”47.
43 HR. Al Bukhari no. 6646. 44 An Nawawi, Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, hal. 229, juz 12. 45 HR. Abu Daawud dan At Tirmidzi. 46 Lihat al Mawardi, Al Ahkaam As Sulthaaniyyah, dan Abu Ya’la, Al Ahkaam As Sulthaaniyyah. 47 Al Baihaqi, Manaaqib Asy Syaafi’i, hal 448.
58
Dan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Dan barangsiapa yang
mengalahkan penguasa dengan pedang sehingga menjadi khalifah, dan
dinamakan amirul mukminin, maka tidak halal bagi seseorang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, bermalam dan tidak mengakui keimaman beliau,
baik dia orang yang shalih atau fajir”48.
Imam Nawawi rahimahullahu berkata: “Syarat-syarat ini dan yang lain,
sesungguhnya disyaratkan bagi orang yang menjadi penguasa dengan dipilih oleh
ahlul halli wal ‘aqd. Adapun yang menguasai manusia dengan kekuatannya dan
para tentaranya dan berkuasa dan jadi pemimpin maka hukum-hukumnya
terlaksana, wajib ditaati, dan diharamkan menyelisihi beliau, di dalam perkara
selain maksiat, baik dia seorang budak atau merdeka, atau seorang yang fasik,
dengan syarat dia adalah seorang muslim”49.
Dengan demikian kita mengetahui bahwa penguasa jika mendapatkan
kekuasaan dengan cara yang tidak dibenarkan secara syariat dan keadaan stabil
maka kita diharuskan mendengar dan taat.
Ulul Amri yang tidak syar’i dan tidak wajib didengar dan ditaati adalah bila
dia kafir. Dalilnya adalah firman Allah:
للكافرين على المؤمنين سبيال ولن يجعل للاه
Artinya: “Dan Allah tidak menjadikan bagi orang-orang yang kafir jalan untuk
mengalahkan orang-orang yang beriman jalan”50.
Dan Allah berfirman:
هخذوا الكافرين أولياء من دون عليك يا أيها الهذين آمنوا ال تت م سلطانا مبينا المؤمنين أتريدون أن تجعلوا لله
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir
sebagai wali selain orang-orang yang beriman, apakah kalian ingin menjadikan bagi Allah atas
kalian alasan yang jelas (untuk menghukummu)?“51.
48 Abu Ya’laa, Al Ahkaam As Sulthaaniyyah, hal. 23. 49 An Nawawi, Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, hal. 149, juz 5. 50 QS. An Nisa: 141. 51 QS. An Nisa: 144.
59
BAB DUA
BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH
Pasal Pertama: Kewajiban Berhukum Dengan Hukum Allah
Kewajiban kita sebagai seorang muslim adalah berhukum dengan hukum-
hukum dan syari’at yang sudah Allah turunkan dan tidak mengikuti hawa nafsu
manusia dan akal manusia. Allah berfirman:
هبع أهو ثمه جعلناك على شريعة من األمر فاتهبعها وال اء الهذين ال يعلمون تت
Artinya: “Kemudian Kami jadikan kamu (Muhammad) mengikuti syariat dari
agama itu, maka janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui”52.
Dan Allah juga berfirman:
هبعوا من دونه أو لياء قليال ما تذكهرون اتهبعوا ما أنزل إليكم من رب كم وال تت
Artinya: “Hendaklah kalian mengikuti apa yang telah diturunkan kepada kalian
dari Rabb kalian, dan janganlah mengikuti wali-wali selain Allah, sedikit sekali
kali ingat”53.
وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى للاه
Artinya: “Dan apa yang kalian perselisihkan maka hukumnya kepada Allah”54.
حكما لقوم ي وقنون أفحكم الجاهليهة يبغون ومن أحسن من للاه
Artinya: “Apakah mereka mencari hukum jahiliyyah, dan hukum siapa yang lebih
baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin”55.
Hukum-hukum syari’at tidaklah hanya terbatas hukum-hukum kenegaraan
dan qishash, tapi mencukup mencakup aqidah, ibadah, akhlaq dan lain-lain.
Keadilan dan kebaikan hanya didapatkan di dalam penegakan hukum Allah
dan syariatNya di permukaan bumi, Allah berfirman:
ل لكلماته وهو السه ت كلمة رب ك صدقا وعدال ال مبد ميع العليم وتمه
52 QS. Al Jatsiyah: 18. 53 QS. Al A’raf: 3. 54 QS. Asy Syuara: 10. 55 QS. Al Maidah: 50.
60
Artinya: “Dan telah sempurna kalimat Rabbmu, sempurna kebenarannya dan
keadilannya, tidak ada yang mengubah kalimat-kalimatNya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Menegetahui”56.
Dialah yang mencipta, Dialah yang Maha Penyayang, dan Maha
Mengetahui kemashlahatan dan keburukan bagi mahlukNya, Maha Bijaksana,
Allah berfirman:
أال يعلم من خلق وهو اللهطيف الخبير
Artinya: “Ketahuilah, Bukankah Dzat Yang Mencipta Dialah yang mengetahui,
dan Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui”57. (QS. Al Mulk: 14)
يعلم وأنتم ال تعلمون وللاه
Artinya: “Dan Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui”58.
Pasal Kedua: Hukum Demokrasi
Demokrasi bukan dari ajaran Islam, demokrasi dibuat oleh manusia yang
penuh dengan kekurangan dan keterbatasan. Demokrasi menjadikan rakyat
sebagai penguasa, dan menjadikan hukum di tangan mereka, di dalamnya ada
kebebasan yang tidak terbatas, persamaan antara laki-laki dan wanita tanpa
melihat fitrah dan agama. Allah berfirman:
إن الحكم إاله لله
Artinya: “Tidaklah hukum kecuali untuk Allah”59.
Sehingga tidak boleh menjadikan demokrasi sebagai dasar negara, Allah
berfirman:
فأولئك هم الكافرون ومن لم يحكم بما أنزل للاه
Artinya: “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
maka mereka adalah orang-orang kafir”60.
56 QS. Al An’am: 115. 57 QS. Al Mulk: 14. 58 QS. Al Baqarah: 216. 59 QS. Al An’am: 57. 60 QS. Al Maidah: 44.
61
فأولئك هم ا لظهالمون ومن لم يحكم بما أنزل للاه
Artinya: “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
maka mereka adalah orang-orang yang zhalim”61.
فأولئك هم الفاسقون ومن لم يحكم بما أنزل للاه
Artinya: “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
maka merekalah orang-orang yang fasiq”62.
Musyawarah di dalam agama Islam berbeda dengan demokrasi.
Musyawarah di dalam agama Islam adalah di dalam perkara yang tidak ada nash
di dalam Al Quran maupun Sunnah. Dan orang-orang yang bermusyarah adalah
orang-orang yang dipilih orang penguasa, seperti para ulama, para pemuka dan
lain-lain. Adapun demokrasi maka yang bermusyawarah adalah para wakil yang
dipilih oleh rakyat.
Pasal Ketiga: Pemungutan Suara
Memilih pemimpin yang syar’i di dalam Islam adalah dengan dua cara,
yaitu:
1. Dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, seperti ketika Abu Bakr, Utsman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah.
2. Ditunjuk oleh penguasa sebelumnya, seperti ketika Umar bin Al
Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakr sebagai khalifah setelahnya63.
Adapun memilih penguasa dengan pemungutan suara maka ini bukan cara
Islami, bertentangan dengan syari’at dari beberapa segi:
1. Memecah belah ummat Islam dengan banyaknya partai, padahal Islam
menyuruh ummatnya untuk bersatu dan mencela perpecahan, Allah
berfirman:
قوا جميعا وال تفره واعتصموا بحبل للاه
61 QS. Al Maidah: 45. 62 QS. Al Maidah: 47. 63 Lihat an Nawawi, Raudhah ath Thaalibiin, hal. 46, juz 10, dan al Mawardi, Al Ahkaam As Sulthaaniyyah, hal. 21.
62
Artinya: “Dan berpegangteguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah kalian
berpecah belah”64.
2. Yang terpilih adalah yang paling banyak suaranya, tanpa melihat siapakah
yang memilih. Dalam sistem demokrasi, memilih seorang penguasa
dilakukan dengan cara pemungutan suara dan menjadikan suara terbanyak
sebagai ukuran terpilihnya seorang pemimpin, tanpa melihat siapa yang
memilih apakah dia kafir atau muslim, shalih atau fajir, padahal hal
tersebut bertentangan dengan apa yang telah dilakukan oleh para
pendahulu kita. Di dalam Islam yang memilih adalah ahli ilmu dan orang
yang memiliki akal yang dalam.
Dalam banyak ayat Allah menyebutkan sebagian besar manusia bukan di atas
jalan yang lurus, Allah berfirman:
ه إن يت بعون إاله الظهنه وإن هم إاله يخرصون وإن تطع أكثر من في األرض يضلوك عن سبيل للاه
Artinya: “Dan apabila engkau mengikuti sebagian besar penduduk bumi, niscaya
mereka menyesatkanmu dari jalan Allah, tidaklah mereka mengikuti kecuali
persangkaan belaka, dan tidaklah mereka kecuali berdusta”65.
ولكنه أكثر النهاس ال يشكرون
Artinya: “Akan tetapi sebagian besar manusia tidak bersyukur”66.
Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya orang bukan menjadi ukuran kebenaran
dan kebaikan. Apalagi pada kenyataan banyak orang memilih bukan karena ilmu
tapi karena hawa nafsu dan dunia.
3. Di dalamnya ada keinginan untuk mendapat kekuasaan bahkan berlomba,
dan ini dilarang di dalam agama. Dari Abdurrahman bin Samurah, beliau
berkata: Rasulullah bersabda kepadaku: “Wahai Abdurrahman janganlah
engkau meminta kekuasaan, karena sesungguhnya engkau jika diberi
kekuasaan karena meminta maka engkau akan dijadikan bertawakkal
kepadanya, tapi kalau engkau diberi tanpa meminta maka engkau akan
ditolong”67.
4. Banyak mudharat, seperti kerugian materi bagi yang kalah dan depresi dan
stres, penggunaan politik uang dan lain-lain68.
64 QS. Al Imran: 103. 65 QS. Al An’am: 116. 66 QS. Al Baqarah: 243. 67 HR. Al Bukhari no. 6727 dan Muslim no. 1652 68 Guru kami, Syeikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Badr memiliki sebuah kutaib berjudul “Al ‘Adl fii Syarii’atil Islaam laa fii ad Dimuuqaraathiyyah al Maz’uumah”, berisi tentang keadilan Islam dan kerusakan-kerusakan demokrasi serta kewajiban berhukum dengan hukum Allah.
63
BAB TIGA
HUKUM TAAT KEPADA PENGUASA DALAM NEGARA
DEMOKRASI
Menggunakan demokrasi termasuk berhukum dengan selain hukum Allah.
Dan berhukum dengan selain hukum Allah terdapat perincian di dalamnya:
Pertama: Barangsiapa yang menganggap selain hukum Allah lebih baik daripada
hukum Allah maka dia telah keluar dari agama Islam.
Kedua: Barangsiapa yang menganggap selain hukum Allah sama baiknya
dengan hukum Allah maka dia telah keluar dari agama Islam.
Ketiga: Barangsiapa yang menggunakan selain hukum Allah karena keinginan
dunia, dan dalam hatinya dia mengakui hukum Allah lebih baik maka berdosa,
dan tidak keluar dari agama Islam.
Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkomentar mengenai masalah
ini: “Ini ada perincian, yaitu barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum
Allah dan dia mengetahui bahwa dia wajib berhukum dengan hukum Allah, dan
dia menyelisihi syariat, akan tetapi membolehkan hal ini dan menganggap tidak
berdosa, dan boleh baginya berhukum dengan selain syariat Allah, maka dia telah
kafir dengan kekufuran yang besar menurut seluruh ulama, seperti berhukum
dengan undang-undang buatan manusia yang dibuat oleh orang-orang Nasrani,
Yahudi, dan lain-lain yang menganggap boleh berhukum dengannya, atau
menyangka bahwa hukum tersebut lebih baik daripada hukum Allah, atau
menyangka bahwa hukum tersebut sejajar dengan hukum Allah, dan bahwa
manusia diberi pilihan, boleh berhukum dengan Al Quran dan Sunnah dan boleh
berhukum dengan undang-undang buatan, barangsiapa yang meyakini ini maka
dia kafir dengan kesepakatan para ulama, sebagaimana telah berlalu. Adapun
berhukum dengan selain yang Allah turunkan, karena hawa nafsu atau karena
dunia yang segera, dan dia tahu bahwa dia bermaksiat kepada Allah dan
RasulNya, dan tahu bahwa dia melakukan kemungkaran yang besar, dan bahwa
64
wajib atasnya berhukum dengan hukum Allah, maka dia tidak kafir dengan
kekufuran yang besar, tetapi dia telah melanggar kemungkaran yang besar,
kemaksiatan yang besar, dan kekufuran kecil”69.
Dan Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata:
“Penguasa yang tidak berhukum dengan kitabullah dan sunnah rasulNya wajib
ditaati di dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan RasulNya, tidak
wajib memerangi hanya karena itu, bahkan tidak boleh kecuali jika dosanya
sampai derajat kekufuran, dalam keadaan demikian maka wajib untuk
melawannya, tidak ada kewajiban bagi kaum muslimin untuk mentaatinya. Dan
berhukum dengan selain apa yang ada di dalam kitabullah dan sunnah RasulNya
sampai kepada derajat kufur dengan dua syarat (1) Dia mengetahui tentang
hukum Allah dan RasulNya, kalau dia jahil maka tidak dikafirkan; dan (2) Yang
menjadikan dia berhukum dengan selain yang Allah turunkan adalah keyakinan
bahwa hukum Allah tidak sesuai di zaman sekarang, atau hukum selainnya lebih
baik dan lebih bermanfaat bagi hambaNya. Dengan dua syarat ini jadilah
berhukum dengan selain hukum Allah sebuah kekufuran yang mengeluarkan
seseorang dari Islam, sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan hukum Allah maka merekalah orang-orang yang kafir”. Dan
batallah kekuasaan seorang penguasa, dan manusia tidak berkewajiban untuk taat
kepadanya, dan wajib memeranginya dan menjauhkannya dari kekuasaan.
Adapun apabila berhukum dengan selain hukum Allah, sedangkan dia
yakin bahwa berhukum dengan hukum Allah adalah wajib, dan bahwa hukum
Allah lebih baik bagi para hamba, akan tetapi dia menyelisihi karena hawa nafsu
di dalam dirinya atau ingin melakukan kezhaliman kepada yang dihukumi, maka
ini tidak kafir. Tetapi dikatakan dia adalah orang fasiq atau zhalim, dan kekuasaan
beliau tetap, dan ketaatan kita kepada beliau di dalam perkara yang bukan maksiat
adalah wajib. Tidak boleh memerangi beliau, melengserkan beliau dengan
69 Abdul Aziz Abdullah bin Baz, Majmu Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah, hal. 355, juz 5.
65
kekuatan, dan memberontak kepada beliau, karena Nabi melarang dari
memberontak kepada pemerintah kecuali apabila kita melihat kekufuran yang
jelas, kita memiliki bukti yang jelas dari Allah”70.
Apabila demikian, selama penguasa muslim di dalam negara demokrasi
masih mengakui bahwa hukum Allah yang lebih baik daripada hukum manusia
di setiap zaman dan tempat, maka dia adalah penguasa yang harus kita dengar
dan taati. Menaati mereka adalah bagian dari ketaatan kita kepada Allah dan
RasulNya.
70 Muhammad Shalih al Utsaimin, Majmu' Fatawa Wa Rasail, hal. 147-148, juz 2.
66
PENUTUP
Alhamdulillah yang denganNya terlaksana semua kebaikan. Penulis akan
sebutkan pada penutup makalah ini beberapa kesimpulan penting:
1. Wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa yang sah.
2. Ketaatan kepada penguasa adalah ketaatan yang terikat dengan syari’at,
yaitu ketaatan dalam kebaikan bukan kemaksiatan dan kemungkaran.
3. Penguasa yang wajib didengar dan ditaati adalah penguasa muslim,
dengan tanpa melihat keshalihan dia atau bagaimana cara dia
mendapatkan kekuasaan tersebut.
4. Wajibnya berhukum dengan hukum Allah.
5. Demokrasi bukan dari ajaran Islam.
6. Penguasa di negara demokrasi adalah penguasa kita yang wajib
didengar dan ditaati dalam kebaikan, selama dia seorang muslim yang
mengakui bahwa hukum Allah yang lebih baik di setiap zaman dan
tempat.
Akhirnya, penulis berdoa semoga Allah memberikan taufiq kepada
penguasa kita dan para penguasa kaum muslimin di seluruh dunia untuk
berhukum dengan hukum Allah, dan menjadikan tulisan yang penuh kekurangan
ini ikhlash karena Allah, dan semoga bermanfaat bagi penulis dan orang-orang
yang Allah kehendaki.
وصلى هللا على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Al Madinah An Nabawiyyah
Ahad, 27 Jumadil Akhir 1438 H/ 26 Maret 2017 M
Abdullah Roy, Lc, M.A
67
REFERENSI
1. Al ‘Adl fii Syarii’atil Islaam laa fii Ad Dimuuqaraathiyyah Al
Maz’uumah, Syeikh Abdul Muhsin Al Abbad
2. Al Ahkaam As Sulthaaniyyah, Abu Ya’laa
3. Al Ahkaam As Sulthaaniyyah, Al Maawardi
4. Al Ihkaam fii Sabri Ahwaalil Hukkaam, wa maa Yusyra’u li ar
Ra’iyyati fiihaa minal Ahkaam, Syeikh Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili
5. Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam An Nawawi
6. Al Mu’jamul Kabiir, Ath Thabrani
7. Al Mufhim limaa Usykila min Talkhish Kitab Muslim, Al Qurthubi
8. Majmu Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syeikh Abdul Aziz bin
Baz
9. Majmu' Fatawa Wa Rasail Fadhilah Asy Syeikh Muhammad bin Shalih
Al ‘Utsaimin
10. Manaaqib Asy Syaafi’i, Al Baihaqi
11. Raudhatuththaalibiin, Imam An Nawawi
12. Shahih Al Bukhari
13. Shahih Muslim
14. Silsilah Al Ahaadiits Ash Shahiihah, Syeikh Al Albani
15. Sunan Abi Daawud
16. Sunan At Tirmidzi
17. Tafsir Ath Thabari
18. Tafsir Ibnu Katsir
19. Tuhfatul Habiib ‘alaa Syarhil Khathiib, Al Bujairami.
68
PERSATUAN PELAJAR DAN MAHASISWA INDONESIA
PPMI RIYADH – ARAB SAUDI اتحاد الطلبة اإلندونيسيين بالمملكة العربية السعودية
FORUM MAHASISWA PASCASARJANA INDONESIA SE-ARAB SAUDI
ملتقى طالب الدراسات العليا اإلندونيسيين بجامعات المملكة العربية السعودية
MAKNA KETAATAN KEPADA ULIL AMRI DALAM
KONTEKS DEMOKRASI DI INDONESIA
مفهوم طاعة أولي األمر في ظل النظام الديمقراطي بإندونيسيا
BERIAN MUNTAQA FATKHURI, LC.
MAGISTER AQIDAH
QASSIM UNIVERSITY
RIYADH, 02 RAJAB 1438 H / 30 MARET 2017 M
69
بسم هللا الرحمن الرحيم
PROLOG
Masyarakat yang tidak memiliki pemimpin ibarat ikan kecil yang hidup di
samudera, tidak ada perlindungan sehingga mudah menjadi santapan ikan besar.
Tujuan inti dari dibentuknya pemerintahan dalam Islam adalah merealisasikan
cita-cita untuk menjamin keamanan beragama dan terpenuhinya kesejahteraan
sosial, sehingga Al Mawardi menyebutkan: ”Al Imamah (pemerintahan) dibentuk
untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengatur kehidupan
dunia, dan hukum menegakkannya adalah wajib secara ijma’ (konsensus)”71.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Ibnu Khaldun yang berbunyi: ”Al Khilafah
(pemerintahan) adalah suatu sistem yang mampu memobilisasi seluruh rakyat,
agar memiliki orientasi syar’i dalam menggapai kepentingan akhirat dan dunia
yang akan kembali manfaatnya kepada mereka. Karena menurut syariat
kemaslahatan dunia harus ditimbang dengan kemaslahatan akhirat, dan pada
dasarnya pemerintahan adalah meneruskan tongkat estafet perjalanan pemilik
syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan syariat tersebut”72.
Maka ditetapkanlah dua aturan negara sebagaimana disampaikan oleh Abu Bakar
Ath Tharthusyi: ”Ketika aku pelajari kisah umat terdahulu, bagaimana raja
terdahulu merancang aturan negara dan undang-undang yang mereka pegang
untuk menjaga agama, maka aku dapati aturan Negara itu dua jenis, yaitu (1)
ahkam (yang berkaitan dengan halal dan haram); dan (2) siyasat (aturan negara
secara umum)”73.
71 Al Mawardi, Al Ahkam as Sulthaniyah, hal. 15. 72 Ibn Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, hal. 239. 73 Abu Bakar Muhammad ath Tharthusyi, Sirajul Muluk, hal. 3.
70
Pembangunan nasional sangat bergantung pada kestabilan politik elit
pemerintahan tingkat atas, sebagaimana bergantung pula pada tingkat ketaatan
rakyat terhadap agama (ketaatan religi) juga terhadap perundang-undangan dan
hukum yang berlaku (ketaatan politik). Kedua poros ini saling berkolaborasi dan
bersinergi untuk selalu menjaga suasana harmonis demi tercapainya cita-cita.
Perjalanan kehidupan masyarakat seperti ini pernah dianalogikan oleh Nabi
shallallahu alaihi wasallam dengan sekelompok manusia yang berlayar diatas
kapal laut: “Permisalan orang yang menegakkan hukum Allah dan yang terjatuh
ke dalam pelanggaran hukum Allah adalah seperti kaum yang berundi di atas
kapal, maka sebagian dari mereka mendapat bagian atas, dan sebagian yang lain
mendapat bagian bawah. Orang yang tinggal di bagian bawah jika mau
mengambil air, mereka melewati orang yang di atas mereka. maka mereka
berkata: “Seandainya kita melobangi bagian kita sehingga tidak mengganggu
orang yang di atas”. Maka jika orang yang di atas membiarkan mereka (yang di
bawah) melakukan apa yang mereka inginkan pastilah mereka semua akan
binasa, dan jika orang yang di atas mencegah tangan mereka maka mereka dan
semua orang akan selamat”74.
Ada beberapa Isu yang biasanya diangkat ketika membahas ketaatan kepada ulil
amri dalam kontek ke-Indonesia-an, diantaranya adalah (1) azaz tunggal
Pancasila; (2) penetapan awal dan akhir puasa dan penetapan idul adha; (3) makar
atau kudeta (coup d’eta); (4) penegakkan syariat Islam; dan (5) demonstrasi.
74 HR. Bukhari, no. 2493.
71
SEJARAH RINGKAS KETAATAN POLITIK DI INDONESIA
Indonesia telah melalui beberapa zaman dalam interaksi “ketataan politik” antara
pemimpin dan rakyatnya, sedangkan Islam secara empirik telah tampil mendarah
daging menjadi bagian dasar filosofis, yuridis, sosiologis dan politis bangsa
Indonesia :
1. Zaman sebelum kedatangan agama Islam, yaitu zaman kerajaan Hindu
dan Budha.
2. Zaman setelah kedatangan agama Islam, dalam hal ini sebagian ahli
sejarah menyebutkan sejak abad pertama hijriah atau pada sekitar abad
ketujuh atau kedelapan masehi dengan munculnya pengaruh Islam baik
kepada para raja maupun rakyat, diikuti dengan berdirinya kerajaan Islam
pertama di tanah air pada abad ketiga belas yaitu kerajaan Samudera
Pasai yang terletak di Aceh Utara, dan kemudian disusul oleh beberapa
kerajaan Islam yang lain seperti Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa
berdiri Kesultanan Banten, Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di
Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate
serta Tidore. Kerajaan-kerajaan tersebut tentu saja kemudian menetapkan
hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku, dan kondisi terus
berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
3. Zaman penjajahan Belanda, tercatat telah terjadi upaya kompromi antara
masyarakat yang sudah berhukum dengan syariat dengan penjajah dan
upaya pembatasan penerapan hukum Islam hanya pada aspek-aspek
batiniah (spiritual) saja. Kemudian diberlakukan KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) yang bersumber dari hukum kolonial Belanda,
yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahan
undang-undang ini dilakukan melalui staatsblad (sosialisasi) Tahun 1915
nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah
kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan disertai penyelarasan kondisi
72
berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Hal ini
berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang
menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada
langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini".
4. Zaman pendudukan Jepang, diwarnai dengan janji Panglima Militer
Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas
penduduk pulau Jawa, mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama
Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri, menyetujui
berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan
oktober 1943, menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan
yang mendampingi berdirinya PETA, walaupun begitu perkembangan
penerapan hukum Islam pada zaman ini tidak terlalu signifikan.
5. Zaman Kemerdekaan (1945), diwarnai dengan berjalannya kontrol negara
oleh para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai) sebagai komite yang bertugas untuk menyusun Undang-
Undang Dasar bagi negara Indonesia yang merdeka hanya memiliki 11
orang yang mewakili kelompok Islam dari total 62 anggota. Perdebatan
panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan
lahirnya Piagam Jakarta (22 juni 1945), kompromi paling penting ada
pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, hingga kalimat ini
berakhir dengan tragis. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini
menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan
pula negara Islam. Meski demikian tampak nafas Islam dengan jelas pada
Undang-Undang Dasar 1945, di antaranya adalah:
a. Preambule Undang-Undang Dasar 1945 pada redaksi ”Atas berkat
rakhmat Allah Yang Maha Kuasa”, “Dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
73
b. BAB XI, AGAMA, Pasal 29, yang berbunyi (1) Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Beberapa hal di atas seakan menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-
urusan keagamaan, sehingga “kelebihan” ini membuka peluang untuk
merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang yang
sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan
undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954, namun upaya
ini gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan
undang-undang Perkawinan Nasional.
6. Zaman Orde Lama dan Orde Baru, diwarnai dengan:
a. Lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai
salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung.
Dengan UU ini, dengan sendirinya hukum Islam telah berlaku secara
langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
b. Pada 26 juli 1975 lahir MUI (Majlis Ulama Indonesia).
c. Tap MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4, kemudian ditegaskan dengan
UU No. 3 tahun 1985 pancasila sebagai asa tunggal untuk organisasi
kemasyarakatan.
d. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no.
14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.
7. Zaman Reformasi diwarnai dengan:
a. Tap MPR RI No. XVIIV/MPR/1998 tentang pencabutan Tap MPR
tentang P4.
b. Amandemen UUD 1945 Ke 2 18/7/2000, tentang hak asasi manusia
dalam kebebasan beragama dan menyampaikan pendapat, pasal 28E (1)
Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
74
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali; (2) Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya; (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun kebebasan ini dibatasi
oleh pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
c. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang semakin membuka
peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam.
d. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe
Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun
2002.
75
MAKNA KETAATAN KEPADA ULIL AMRI DAN PENERAPANNYA
DALAM KONTEKS DEMOKRASI DI INDONESIA
DALIL DAN ISTIDLAL
Islam dalam pengertian luas sebagai agama para Nabi sejak Nabi Adam hingga
Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam secara tekstual mewajibkan
ketaatan kepada para pemimpin75. Sangat banyak dalil dalam Al Qur’an, As
Sunnah dan ijma’ yang menyatakan kewajiban taat kepada pemimpin dan keluar
dari ketaatan mereka adalah baghy (pemberontakan) dan wajib diperangi, Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman: ”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau
yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia
telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil”76.
Ketika membahas ketaatan kepada pemimpin dan implementasinya dalam
pandangan Islam, maka akan langsung terbersit di benak kita ayat yang sangat
familiar dari surat An Nisa yang berbunyi:
﴿ياأيها الهذين آمنوا أطيعوا للاه سول وأولي األ مر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه وأطيعوا الره إلى للاه
واليوم الخر ذلك خير سول إن كنتم تؤمنون بالله أحسن تأويال﴾و والره
75 Di dalam perjanjian lama Ecclesiastes 8:2: “Patuhilah perintah raja demi sumpahmu kepada Allah”.
Larangan melaknat penguasa beriringan dengan larangan menghina Allah, dalam Keluaran 22:28: ”Janganlah
engkau mencela Allah dan janganlah engkau mengutuk pemimpin ditengah bangsamu”, bahkan larangan
mengutuk pemimpin tetap berlaku meskipun hanya dalam fikiran, Ecclesiastes 10:20 mengatakan: ”Dalam
pikiranpun janganlah engkau mengutuki raja”.
Adapun pada perjanjian baru, Al Masih memerintahkan ketaatan kepada Kaisar. Hal ini termaktub dalam Matius
22:17-21: ”Katakanlah kepada kami pendapatmu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada kaisar atau
tidak?; Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: ”Mengapa kamu mencobai aku, hai
orang-orang munafik?”; Tunjukkanlah kepadaku mata uang untuk pajak itu”, mereka membawa suatu dinar
kepadanya; Maka ia bertanya kepada mereka :”Gambar dan tulisan siapakah ini?”; Jawab mereka: ”Gambar dan
tulisan kaisar”, lalu kata Yesus kepada mereka: ”Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada
kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. 76 QS. Al Hujurat: 9.
76
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulul amri
di antara kalian. Kemudian jika kalian bersilang pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Hal itu lebih utama dan lebih baik akibatnya (bagi
kalian)”77.
Imam Ibnu Jarir ath Thabari menyebutkan sebuah riwayat dari dari As Suddi
berkaitan dengan asbab nuzul ayat ini yang menyatakan: ”Bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam mengutus satu kompi pasukan yang dikomandani
oleh Khalid bin Walid, dan diantara pasukannya ada Ammar bin Yasir, mereka
menuju kaum yang dimaksud, setelah tiba dekat dengan kaum tersebut mereka
bermalam, mata-mata mengabarkan bahwa kaum tersebut telah melarikan diri
kecuali satu orang, dia perintahkan keluarganya untuk mengumpulkan barang dan
berjalan di kegelapan malam hingga sampai di tenda Khalid, dia cari Ammar bin
Yasir dan mendatanginya kemudian berkata: ”Wahai Abul Yaqdzan, aku telah
masuk Islam dan telah mengucapkan syahadatain, dan kaumku ketika mendengar
kedatangan kalian mereka melarikan diri, adapun aku akan tetap tinggal, apakah
keislamanku bermanfaat besok? jika tidak, maka aku akan lari juga”. Ammar
berkata: ”Bahkan bermanfaat bagimu, tinggallah!”, kemudian diapun tetap
tinggal. Keesokan harinya, ketika Khalid menyerbu, dia tidak menemukan
kecuali satu orang, kemudian dia tawan dan rampas hartanya, maka sampailah
info ini kepada Ammar, kemudian dia datangi Khalid, dan berkata:” Bebaskan
laki-laki itu karena dia sudah masuk Islam dan dalam suakaku”, Khalid menjawab
: ”Atas dasar apa engkau memberinya suaka?”, keduanya saling cela dan
mengangkat kasus ini kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, kemudian Nabi
melegalkan suaka Ammar namun melarang dia untuk memberi suaka tanpa izin
komandan… Kemudian Allah menurunkan ayat di atas”78.
77 QS. An Nisa’: 59. 78 Ibnu Jarir ath Thabari, Jami’ al Bayan fi Tafsir Ay al Quran, hal. 499, juz 4.
77
Ayat di atas adalah dalil yang memerintahkan orang beriman untuk wajib taat
kepada perintah Allah dan perintah Rasul-Nya secara mutlak dan wajib taat
kepada ulul amri setelah mereka diperintah oleh Allah untuk berbuat adil pada
ayat sebelumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”79.
Adapun fokus pembahasan pada halaman-halaman berikut akan berkutat pada
segi istidlal dari 3 kata (taat, ulul amri dan diantara kalian) dari ayat an Nisa ayat
59 sebagai pintu masuk dalam penerapan ketaatan pada para pemimpin dalam
konteks demokrasi di Indonesia.
PERTAMA: MAKNA “TAATILAH”
Dalam Bahasa arab (الطاعة) adalah bentuk masdar dari kata ( طوع), dan thaa’, waw
dan ‘ain menunjukkan makna ishaab (ikut) dan inqiyaad (tunduk). Dalam kalimat
tha’ahu–yathuu’uhu bermakna jika tunduk dengannya dan mengikuti
perintahnya80. Dalam KBBI taat adalah senantiasa tunduk (kepada Tuhan,
pemerintah, dsb.
Makna ketaatan secara terminologi politik adalah موافقة األمر (menuruti kesesuaian
objek perintah), bukan موافقة اإلرادة (menuruti kesesuaian keinginan), ataupun
karena orang yang memerintah ,(menuruti orang yang memerintah) موافقة المر
suatu saat bisa terjatuh dalam kesalahan atau maksiat. Oleh karenanya dapat
dilihat, jika perintah tersebut sesuai syariat dan kemaslahatan maka perintah
tersebut dapat dilaksanakan, dan bila tidak maka perintah tersebut menjadi tidak
wajib dilaksanakan. Hal ini berbeda dengan ketaatan menurut terminologi agama,
karena berkait langsung dengan menuruti sumber perintah dalam hal ini Allah
dan RasulNya81.
79 QS. An Nisa: 58. 80 Ahmad ar Razi, Mu’jam Maqayis Lughoh, hal. 341, juz 13. 81 Hani al Mughallis, ath Tho’ah as Siyasiyah fil Fikr al Islami, hal. 163.
78
Berangkat dari hal tersebut, muncul sebuah pertanyaan susulan yaitu apakah
ketaatan ulul amri dalam Islam ini bersifat mutlak? Ketaatan kepada ulil amri
secara ijma’ hukumnya fardlu ‘ain atas setiap warga, namun ketaatan ini berlaku
selama dalam perintahnya ulul amri memenuhi ketaatan kepada Allah dan Rasul-
Nya, dengan kalimat lain ketaatan kepada mereka selama masih dalam kategori
ma’ruf (baik menurut syariat). Ibnu Hajar al Asqalani berkata: “Ath Thiby
berkata: “Allah mengulangi kata kerja pada firmanNya –dalam surat an Nisa ayat
59-”Taatilah Allah dan taatilah rasul” sebagai petunjuk bahwa ketaatan kepada
Rasul berdiri sendiri, dan Allah tidak mengulanginya kepada ulul amri sebagai
isyarat bahwa ada di antara pemegang kekuasaan yang tidak wajib ditaati.
Kemudian dijelaskan dalam firmanNya ”Kemudian jika kalian bersilang
pendapat tentang sesuatu”, seakan-akan menyatakan bahwa jika mereka tidak
menegakkan kebenaran maka janganlah taati mereka dan kembalikan
permasalahan tersebut kepada hukum Allah dan Rasul-Nya”82.
Sebuah contoh konkret yang memperjelas makna ketaatan ini kita dapati dalam
sirah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya. Imam Bukhari
meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mengutus
pasukan, dan diangkatlah seseorang untuk memimpin mereka, kemudian dia
menyalakan api seraya berkata: “Masuklah kalian ke dalam api itu”, beberapa
orang hendak masuk ke dalamnya dan sebagian lain berkata: “Kita telah
melarikan diri dari api (neraka)”. Kemudian sampailah berita ini kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata kepada orang yang akan
memasuki api: ”Jika kalian memasukinya kalian akan tetap tinggal di dalamnya
hingga hari kiamat”, sedangkan kepada yang lain beliau memuji dan berkata:
”Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah, ketaatan hanya dalam
kebaikan”83.
82 Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bari, hal. 112, juz 13. 83 HR. Bukhari no. 6716.
79
Hadits ini mengajarkan kepada kita sikap ideal manakala menghadapi pemimpin
yang berbuat dzalim dengan memberi perintah kemaksiatan, para sahabat tidak
memakzulkan komandannya, mencela atau sampai mengkafirkannya, namun
yang mereka lakukan adalah memberi nasihat (kritik) lembut dan tidak mentaati
perintah tersebut, dan Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan bahwa jika
seseorang mentaati pemimpin dalam kemaksiatan maka dia akan masuk kedalam
golongan pelaku maksiat, Allah berfirman: “Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan
kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”84.
Abu ja’far AthThabari berkata: ”Hadits yang berkaitan dengan ketaatan kepada
pemimpin jika tidak menyelisihi perintah Allah dan perintah Rasul-Nya, jika
terjadi penyelisihan terhadapnya maka tidak diperkenankan mentaati seseorang
dalam kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya, demikian mayoritas pendapat
salaf”85.
Sedangkan Ibnu Abdil Bar berkata: ”Ulama telah ijma’ bahwa tidak wajib
mentaati orang yang memerintahkan untuk berbuat mungkar, Allah Azza Wajalla
berfirman :”Dan saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan
ketakwaan, dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”86.
KARAKTER KETAATAN POLITIK
Ketaatan politik yang ideal harus tumbuh secara alamiah bukan dengan paksaan
dan didasari atas 4 karakter, yaitu (1) harapan yang membangkitkan optimisme;
(2) takut yang mendorong untuk tidak menyelisihi; (3) cinta yang memotivasi
untuk memberi sumbangsih; dan (4) agama yang menuntut untuk taat87.
84 QS. Al An’am: 121. 85 Ibn Bathal, Fathul Bari Syarh Shohih al Bukhari, hal. 214, juz 8. 86 Yusuf Abdullah al Qurthuby, at Tamhid, hal. 277, juz 23. 87 Abu Bakar Muhammad ath Tharthusyi, Sirajul Muluk, hal. 59.
80
DAMPAK KETAATAN POLITIK
Abu Bakar Ath Thurthusyi telah mempelajari faidah ketaatan politik dan berhasil
mengumpulkan sebanyak 30 faidah yang terangkum dalam perkataanya:
“Ketaatan kepada pemimpin menumbuhkan pengagungan kepada Allah,
menyatukan agama, membuat urusan kaum muslimin menjadi teratur, (menjadi)
tanda kesempurnaan agama, (dan) benteng keselamatan, (mengantarkan pada)
puncak kebahagiaan, jalan paling ideal, tali pegangan yang paling kuat, tegaknya
stabilitas umat, tegaknya As sunnah, tameng dari segala fitnah (cobaan),
keselamatan dari segala syubuhat (kerancuan), benteng perlindungan dan penjaga
dari musuh, tegaknya hukum hudud, terlaksananya kewajiban, terjaganya
pertumpahan darah, aman sentosa negeri, tempat bernaung warga, kemakmuran
negeri, petunjuk jalan, tempat kembali. Ketaatan adalah tali Allah yang kuat, dan
agama-Nya yang lurus, benteng-Nya yang aman, kecukupan-Nya yang
sempurna, orang yang keluar dari ketaatan maka dia terputus dari perlindungan,
tidak ada yang menanggung, (karena dia telah) mengganti kenikmatan dengan
kekufuran, menghancurkan tiang agama, keluar dari kehangatan taat menuju
rimba maksiat”88.
Dan sejarah mencatat banyak kegagalan dalam usaha makar, tindakan subversif
atau coup d’eta, baik di tanah air maupun di belahan dunia lain, yang ada hanya
munculnya konflik berkepanjangan dan pertumpahan darah. Berikut ini adalah
beberapa bukti bahwa masyarakat Indonesia belum siap untuk perubahan menuju
perbaikan dengan jalan kekerasan dan dalam tempo singkat:
1. Peristiwa 3 Juli 1946.
2. Pemberontakaan PKI di Madiun 1948.
3. Peristiwa17 Oktober 1952.
88 Ibid.
81
4. Pemberontakan DI/TII 7 Agustus 1949, di Aceh 20 September 1953, di
Kalimantan Selatan pada Oktober 1950, di Sulawesi Selatan 7 Agustus
1953, dan Jawa Tengah 1950-1959.
5. Pemberontakan PRRI 15 Februari 1958.
6. Pemberontakan rakyak PERMESTA 17 Februari 1958.
7. G30S PKI/GESTAPU.
8. Pemberontakan GAM.
9. Pemberontakan APRA, RMS, OPM dan beberapa usaha lainnya.
KEDUA: MAKNA ULUL AMRI
Para mufassirun berbeda pandangan tentang makna ulul amri, namun perbedaan
ini masih mungkin untuk disatukan:
1. Ibnu Abbas dan Jabir radhiyallah ‘anhuma serta tabi’in Al Hasan, Adl
Dlahhak dan Mujahid berpendapat bahwa ulul amri adalah para
fuqaha dan ulama yang mengajarkan manusia jalan agama mereka,
dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya: “Dan apabila datang
kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri)”89.
2. Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu berkata bahwa ulul amri adalah
umara dan pemimpin90. Ketika Ibnu Hajar menguatkan (tarjih)
pendapat Al Bukhari dan Ath Thabari yang berpendapat bahwa makna
ulul amri adalah para pemimpin dan bukan para ulama, beliau berkata:
”Berkata Ibnu Uyainah: ”Aku bertanya kepada Zaid bin Aslam
tentang ayat itu, dan tidak ada di Madinah seorangpun yang
89 QS. An Nisa: 83. 90 Al Baghawi, Ma’lumat Tanzil fi Tafsir al Qur’an, hal. 650, juz 1.
82
mentafsirkan Al Qur’an setelah Muhammad bin Ka’ab seperti dia”,
beliau berkata: ”Bacalah ayat sebelumnya, kamu akan mengetahui”,
kemudian aku membaca: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil"91, beliau berkata ayat ini
ditujukan kepada para pemimpin”92.
Dalam Lisanul Arab, Ibn Mandzur berkata setelah menyebut perbedaan pendapat
dalam menentukan makna ulul amri: “Dan makna ulul amri dari kaum muslimin
secara umum adalah siapa saja yang mengatur urusan mereka dalam perkara
agama dan segala yang menunjang kesejahteraan mereka”93.
Dalam kaitannya dengan tafsir ulil amri pada ayat di atas, maka para mufassir
memberi kesimpulan yang terangkum sebagai berikut:
1. Ibnu Katsir menyatakan bahwa ulul amri pada ayat ini bersifat umum
pada semua yang memegang otoritas dari para pemimpin ataupun
ulama94.
2. Asy-Syaukani berkata bahwa ulul amri adalah para imam, sultan dan
hakim dan setiap yang memiliki kepemimpinan yang syar’i bukan
kepemimpinan thaghut95.
3. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa ulul amri
adalah mereka yang memiliki hak untuk memerintah manusia, baik yang
memegang perintah dan memiliki otoritas (ahlul yad wal qudrah)
maupun para ulama dan cendekia (ahlul ilmi wal kalam), oleh karenanya
91 QS. An Nisa: 58. 92 Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bari, hal. 111, juz 13. 93 Ibn Mandzur, Lisanul Arab, hal. 27, juz 11. 94 Ibn Katsir, Tafsir al Quran al Adzim, hal. 245, juz 2. 95 Muhammad Ali asy Syaukani, Fathul Qadir, hal. 556, juz 1. Thaghut adalah setiap yang disembah, diikuti, dan
ditaati secara melampaui batas oleh hamba. Thaghut ada banyak dan pentolannya ada lima, yaitu (1) Iblis
la’natullah; (2) seseorang yang ridha disembah; (3) seseorang yang mengajak manusia agar menyembahnya; (4)
seseorang yang mengaku mengetahui ilmu ghaib; dan (5) seseorang yang berhukum dengan selain hukum yang
Allah turunkan [Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in, hal. 50, juz 1.
83
maka ulul amri adalah dua kelompok yaitu ulama dan umara’ yang
apabila mereka baik maka akan baik keadaan manusia, dan jika keadaan
mereka rusak maka rusak pula keadaan manusia96. Maka tidak
mengherankan jika para pemimpin di zaman sahabat adalah para ulama
dari kalangan mereka.
4. Muhammad Rasyid Ridla berpendapat bahwa ketaatan kepada ulul amri
adalah melaksanakan point yang telah disepakati oleh para ahlil hall wal
aqd dan pemegang perintah dari kalangan ulama dan pemimpin (ruasa’)
kita setelah musyawarah diantara mereka dalam permasalahan yang
bersifat ijtihad, untuk menentukan yang paling baik sehingga dapat
memperbaiki keadaan kita, namun jika terjadi silang pendapat dan
perselisihan maka wajib dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya dan
memutuskan hukum sesuai Al Kitab dan As Sunnah, dan dengan dalih
apapun kaum muslimin dilarang berlama-lamaan dalam perpecahan dan
perselisihan97.
5. Muhammad bin Umar Nawawi Al Jawi Al Bantani menyatakan bahwa
maksud dari ulul amri adalah semua ulama yang tergabung dalam ahlul
hall wal aqd serta para pemimpin yang haq adil, adapun pemimpin yang
dzalim maka mereka tidak berhak mendapat kewajiban taat98.
KETIGA: MAKNA “MINKUM” DALAM AYAT
Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata: “Pemegang kekuasaan adalah para umara’
dan ulama dari kaum muslimin”99.
Dalam hal ini mereka adalah yang disebut di permulaan khithab ayat ini yaitu
orang-orang yang beriman dan bukan yang lainnya.
96 Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa, hal. 170, juz 18. 97 Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al Manar, hal.9, juz 3. 98 Nawawi al Bantani, Murah Labid li Kasyf Ma’nal Quran, hal. 99 Jabir Musa Abdul Qadir, Aysar at Tafasir li Kalam al ‘Aly al Qadir, hal. 496, juz 4.
84
PENERAPAN KETAATAN POLITIK DALAM KONTEKS
DEMOKRASI
Pembahasan problematika penerapan ketaatan kepada ulul amri dalam konteks
demokrasi di Indonesia seringkali mandeg karena tersandung beberapa narasi
syariah (nushush syar’iyah) yang berkaitan dengan prinsip-prinsip agama,
seperti:
1. Al kufr al bawah (kekafiran yang jelas) yang mengeluarkan
seseorang dari Islam dan menjadikan ketaatan pemimpin jatuh,
untuk kemudian dapat dimakzulkan.
2. Kefasikan atau terjerumus dalam dosa besar yang menjadi
ideologi dasar al khawarij untuk mementahkan otoritas
penguasa.
Agar tidak terjadi blunder ketika mengambil sebuah hukum, maka masalah ini
hendaknya dipecahkan terlebih dahulu; apakah pemerintah otoritas Indonesia
layak disebut ulul amri dalam kontek syariat yang kemudian berimplikasi pada
keharusan untuk taat pada hal yang ma’ruf?
Sebagai catatan, jelas bahwa pemerintah Indonesia menyatakan dalam UUD
amandemen 1945 yang berbunyi: “BAB I, BENTUK DAN KEDAULATAN,
Pasal 1 (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik
(pemerintahan oleh rakyat); (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar; (3) Negara Indonesia adalah
negara hukum”.
Selain itu, Indonesia juga menganut sistem demokrasi dengan tiga pilar utama
(trias politica) yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif dan ekseminatif/inspektif. Hal
ini dijelaskan dalam UUD 1945 BAB II (MPR), III (kewenangan presiden dan
wakil presiden), VII (DPR, DPD), XI (KEKUASAAN KEHAKIMAN), DAN
VIIIA (BPK) yang secara tekstualis bertentangan dengan ayat-ayat tuntutan
85
kewajiban menjadikan Allah sebagai sumber dari segala hukum, di antaranya
adalah:
1. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya100.
2. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir... Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim101.
3. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik102.
4. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?103.
5. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik104.
6. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar
kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui105.
7. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah
aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang
bertawakkal berserah diri106.
100 QS. An Nisa: 65. 101 QS. Al Maidah: 44-45. 102 QS. Al Maidah: 47. 103 QS. Al Maidah: 50. 104 QS. Al An’am: 57. 105 QS. Yusuf: 40. 106 QS. Yusuf: 67.
86
Berdasar ayat-ayat di atas dan bermodal dengan kebobrokan sistem demokrasi
yang sangat banyak, maka lahirlah ideologi yang bukan saja menihilkan ketaatan
kepada pemerintah Indonesia, bahkan menjalar kepada takfirul hukkam
walmahkumin107.
Diceritakan dari Ubaidullah bin Abi Rafi’ maula Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bahwa Haruriyah ketika keluar, sedangkan dia bersama Ali bin Abi
thalib radhiyalla ‘anh mereka berkata: ”Tidak ada hukum kecuali kepunyaan
Allah”, Ali menjawab: “PERKATAAN YANG HAQ NAMUN MAKSUDNYA
BATIL”108.
Untuk menjawab polemik ini kita serahkan kepada para ulama yang rasikhin
untuk menjawab109, dan dengan berdasar pada beberapa nushush di atas maka
diambil kesimpulan berikut:
1. Kewajiban berhukum dengan hukum Allah dalam hal kecil maupun
besar.
2. Perbuatan orang kafir kufur akbar, fasiq fisq akbar (keluar dari
ketaatan) dan dzalim dzulm akbar yang mencakup keyakinan hati (Al
kufur Al I’tiqadi) menyebabkan keluar dari millah, semisal:
a. Membuat undang-undang dan mengajak manusia untuk berhukum
dengan selain hukum Allah atau berhukum dengan selain hukum
Allah tanpa batasan “berapa kali” dengan meyakini kehalalannya
(istihlal).
b. Meyakini bahwa hukum positif lebih baik atau lebih utama dari
hukum Allah (afdlaliyah).
c. Meyakini bahwa hukum positif sama kedudukannya dengan hukum
Allah (taswiyah).
107 Muhtasib asy Syam, Manhaj at Takfir, sumber http://islamsyria.com/portal/article/show/4721. 108 HR. Muslim no. 1066. 109 Fayid Auni al Rasyidi, Aqwal Ulama fi Hukm man Hakkam al Qawanin, sumber http://www.al-
sunan.org/vb/showthread.php?t=7005, di dalam tulisan tersebut terdapat fatwa yang berasal dari 21 ulama dan
juga cuplikan diskusi Ibnu Baz (Ad Dam’ah Al Baziyah) dengan beberapa murid beliau, lihat pula Hilm, Aqwal
Ulama Mu’tabarin fi Tahkim al Qawanin, sumber http://www.dd-sunnah.net/forum/showthread.php?t=91750.
87
d. Meyakini bolehnya berhukum dengan hukum positif (takhyir).
e. Meyakini hukum Allah tidak relevan dengan zaman atau tempat
tertentu.
Namun jika seseorang meletakkan undang-undang atau berhukum dengan selain
hukum Allah dengan keyakinan bahwa hukum Allah mulia tiada banding, tapi
karena dorongan hawa nafsu, memenangkan teman, mengalahkan musuhnya,
terima suap, tekanan dari pihak luar dan semisalnya, maka dia terjatuh dalam
“dosa besar” karena berhukum dengan selain hukum Allah, dan terjatuh pada
kekafiran kufur asghar dan tidak mengeluarkannya dari millah hingga jelas
keluar dari isyarat yang menunjukkan salah satu dari 5 point di atas.
Terkait dengan pemerintah Indonesia maka kita tidak bisa gebyah uyah dengan
mengkafirkan seluruh elemen pemerintah tanpa pandang bulu, tanpa
memperhatikan tawaffur asy syurut wa imtina’ mawani’ takfir (terpenuhi syarat
dan hilangnya penghalang) apalagi dengan tanpa solusi, ibarat memancing di air
keruh atau yazidu fith thini ballah (menambah pelik masalah).
88
JENIS PEMIMPIN DITINJAU DARI KETAATAN POLITIK
Ditinjau dari akibat dan implikasi yang akan timbul, maka pemegang
pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Pemimpin muslim yang adil, pemimpin model ini wajib ditaati pada
hal-hal yang ma’ruf, berhak mendapat dukungan, nasihat dan doa
kaum muslimin. Al Mawardi memberi tujuh syarat kepemimpinan,
yaitu: (1) kredibelitas; (2) Ilmu untuk berijtihad; (3) Sehat panca
indra; (4) sehat jasmani; (5) memiliki ide; (6) memiliki keberanian; (7)
Nasab quraisy. Adapun kementerian maka memenuhi semua syarat ini
kecuali nasab quraisy dan ditambah satu yaitu kecakapan dalam
bidangnya110.
2. Pemimpin muslim yang dzalim dan fasik, menghadapi model
pemimpin seperti ini kaum muslimin diwajibkan untuk sabar
terhadapnya dan taat kepada perintahnya yang ma’ruf dan secara ijma’
ulama haram mengadakan coup d’eta.
Al Nawawi ketika menjelaskan hadits shahih Muslim kitab Al Imarah, bab
kewajiban ketaatan pada umara, berkata: ”Adapun khuruj atas mereka dan
memerangi mereka maka haram dengan ijma’ kaum muslimin, meskipun mereka
fasik dan dzalim, sangat banyak hadits menunjukkan apa yang aku sampaikan,
dan ahlus sunnah telah ijma’ bahwa kepemimpinan tidak dimakzulkan dengan
sebab kefasikan”111.
Ibnu Hajar berkata: ”Ibnu Bathal berkata: “Dan hadits ini adalah hujjah untuk
tidak khuruj atas pemimpin walau dia dzalim, dan para fuqaha telah ijma’ tentang
kewajiban taat kepada pemimpin yang “berkuasa” dan jihad bersamanya,
ketaatan kepadanya lebih baik dibanding kudeta, karena dapat menekan
110 Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, hal. 19 dan 50. Imam An Nawawi berkata: ”Al Qadli berkata: “Ulama
telah ijma’ (konsesus) bahwa kepemimpinan tidak sah bagi orang kafir, dan jika terjatuh pada kekafiran juga
terlengserkan dengan sendirinya” (an Nawawi, Syarah Muslim, hal 229, juz 12). 111 An Nawawi, Syarah Muslim, hal. 229, juz 12.
89
pertumpahan darah dan meredakan kekacauan, dalilnya adalah hadits ini dan
hadits lain yang semakna, tanpa ada alasan apapun kecuali jika pemimpin tersebut
terjatuh dalam kekafiran yang nyata”112.
Ketika Al Qur’an, Al Hadits dan perkataan ulama mengkabarkan kewajiban taat
kepada pemimpin dan berpegang teguh dengan jamaah tidak berarti ridla dengan
kesalahan pemerintah, tapi untuk menghindari kekacauan politik, di sinilah
diterapkan beberapa hadits tentang nasehat kepada para pemimpin, Rasulullah
bersabda: “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”.
Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya,
pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”113.
”Sebaik-baik jihad adalah menyatakan yang hak di depan pemimpin dzalim”114.
3. Pemimpin kafir, jika terpenuhi dua syarat maka wajib keluar dari
ketaatan kepada mereka, sedangkan syarat tersebut adalah:
a. Jika kekafirannya adalah kekafiran yang jelas menurut para ulama
yang terpercaya.
b. Adanya kemampuan atau kekuatan yang cukup untuk
menggulingkannya dan mengangkat pemimpin baru yang shalih
tanpa mendatangkan mafsadah yang lebih besar atau keburukan
yang lebih jelek.
Dalil sebagai pegangan dalam pembagian adalah hadits Nabi shallallahu
alaihiwasallam yang berbunyi: Dari Ubadah bin Ash Shamith berkata: ”Kita
baiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk mendengar dan taat di saat
semangat maupun benci, sulit ataupun lapang, meskipun kami terpaksa, dan kami
tidak akan mengusik kepemimpinan dari yang memegangnya, Beliau bersabda:
”Melainkan jika kalian melihat kekafiran yang jelas (kufr bawah), sedang kalian
memiliki bukti dihadapan Allah”115.
112 Ibn Hajar al Asqalani, Fathul Bari, hal. 9, juz 13. 113 HR. Muslim, no. 55 dan 95. 114 HR. Abu Daud, at Tirmidzi dan Ibn Majah, shahih li ghairih. 115 HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709.
90
BENTUK KETAATAN KAUM MUSLIMIN KEPADA PEMERINTAH
INDONESIA
Secara umum penerapan ketaatan kepada pemerintah Indonesia direalisasikan
dalam kewajiban ketaatan kepada hukum116, menjalankan kewajiban sebagai
warga negara117 yang diberi kebebasan HAM dengan batasan tertentu118, dan di
antara tuntutan agama dalam hal ini adalah:
Pertama : Ketaatan dalam perkara ma’ruf sebagai tanda memenuhi perjanjian
yang diperintahkan Allah dalam ayat:
”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”119.
Kedua : Mendukung dan berpartisipasi dalam menggawangi program-
program positif pemerintah, sejalan dengan ayat:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”120.
Ketiga : Ikhlas dalam al hisbah (amar ma’ruf nahi munkar) memberi
masukan program-program positif dan ketika ada perkara mungkar yang
bersumber dari pemimpin maka wajib diingkari dengan at ta’rif (memberi
pemahaman) dan an nush (nasehat yang lembut)121.
116 Pasal 28 ayat 1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. 117 Pasal 27 ayat 3: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”, Pasal 30
ayat 1: ”Tiaptiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”,
Pasal 28J ayat 1: ”Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. 118 Pasal 28 ayat 2: ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. 119 QS. Al Maidah: 1. 120 QS. Al Maidah: 2. 121 Al Ghazali, Ihya ulumuddin, hal. 318, juz 2. Amar ma’ruf nahi munkar memiliki lima tingkat, yaitu (1) at-
ta’rif (memberi pemahaman); (2) al wa’dz (nasehat dengan lembut); (3) Dengan bahasa keras; (4) larangan
dengan tindakan keras; dan (5) ancaman dan tindakan langsung ditempat. Sedangkan syarat bagi orang yang
akan melakukan al hisbah adalah (1) Mukallaf (sudah mencapai umur kewajiban beribadah); (2) Muslim; (3)
Memiliki kredibilitas; dan (4) Kemampuan (sumber
https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=126193).
91
Kesalahan yang timbul dari penguasa adalah suatu keniscayaan bagi seorang
yang tidak ma’shum dari cela dan cacat, serta efek kecerobohannya menimbulkan
dampak luas, Rasulullah pun menghawatirkannya:
“Sungguh hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah tergelincirnya seorang
ulama, debatnya orang munafik dengan Al Qur’an dan para pemimpin yang
sesat”122.
Adapun beberapa atsar tentang nasehat kepada pemimpin terangkum dalam tiga
metode sebagai berikut:
1. Riwayat tentang memberi nasehat secara langsung, seperti ketika Ubadah
bin Shamit mengingkari Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang diabadikan
oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya no. 1587, dan sikap Abu Said
Al Khudri terhadap Marwan bin Al Hakam sebagaimana diceritakan oleh
Imam Bukhari dan dalam kitab shahihnya no. 956, pengingkaran Abu
Syuraih Khuwailid bin Amru Al Khuza’i terhadap Amru bin Said yang
merupakan gubernur Madinah untuk Yazid seperti diriwayatkan oleh
Imam Bukhari no. 104 dan Muslim no. 1354, dan nasehat Urwah bin
Zubair kepada Umar bin Abdul Aziz dan juga Abu Mas’ud Al Anshari
kepada Mughirah bin Syu’bah sebagaimana dikabarkan oleh Imam
Bukhari no. 522 dan Muslim no. 611, dan juga Aidz bin Amru kepada
Ubaidullah bin Ziyad dalam shahih Muslim no. 1830.
Dan jika diperhatikan, maka semua kasus ini berlaku ketika kemungkaran terjadi
secara langsung di depan mata, dan dengan nasehat lembut. Ibnu hajar
memberikan komentar: “Dalam hadits tersebut terdapat bukti pengingkaran para
ulama terhadap para umara jika melakukan perbuatan yang menyelisihi As
Sunnah”123.
122 HR. Thabrani no. 16701 dan Ad Darimi no. 674, maqthu’ shahih lighairih. 123 Ibn Hajar al Asqalani, Fathul Bari, hal. 450, juz 2.
92
Beliau juga berkata: ”Dalam hadits juga dalil pengingkaran seorang alim terhadap
penguasa jika dia merubah aturan agama dan nasehat dalam kelembutan dan
bertingkat”124.
Di tempat lain, beliau berkata: ”Dalam hadits dalil agar berlemah lembut dalam
mengingkari perbuatan para umara yang dzlim, agar dapat lebih diterima”125.
2. Riwayat tentang memberi nasehat dengan cara empat mata, diantara
dalilnya adalah: “Dari Iyadl bin Ghanam berkata: “Rasulullah bersabda:
”Siapa yang hendak menasehati pemilik kekuasaan dalam satu kasus
maka hendaknya tidak menampakkannya di depan khalayak, tapi
hendaknya mengambil tangannya dan berbicara empat mata dengannya,
jika diterima maka itulah yang diharapkan dan jika tidak dia telah
menunaikan kewajibannya”126.
Dari Usamah bin Zaid berkata: ”Dikatakan kepada beliau: “Tidakkah engkau
menemui Utsman dan menasehatinya?”, beliau menjawab: “Apa kalian kira
setiap aku menasehatinya maka harus aku beritahu kalian?! Demi Allah aku telah
menasehatinya hanya diantara aku dan dengannya dan aku tidak suka membuka
permasalahan dan aku menjadi orang pertama yang mengadakannya”127.
Imam Nawawi menjelaskan: ”Yakni mengumumkan inkarul munkar terhadap
para pemimpin di depan khalayak sebagaimana yang dilakukan oleh pembunuh
Utsman”128.
Iyadl berkata: ”Maksud Usamah agar dia tidak membuka pintu mengumumkan
kritik di depan pemimpin, karena dikhawatirkan akibat buruk darinya, bahkan
bersikap lembut dan menasehatinya secara rahasia agar lebih bisa diterima”129.
3. Riwayat yang bersifat mutlak, seperti hadits “Afdlalul jihad” dan “Ad
Dinu An Nashihah”.
124 Ibid, hal. 45, juz 4. 125 Ibid, hal. 198, juz 1. 126 HR. Ahmad, shahih. 127 HR. Bukhari dan Muslim, dan lafadznya milik Muslim. 128 An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, hal. 118, juz 18. 129 Ibn Hajar al Asqalany, Fathul Bari, hal 52, juz 13.
93
Keempat : Sabar terhadap tindak-tanduk pemerintah dalam artian menahan
lisan tanpa ghibah muharramah, juga menahan diri dari mencela, mengkritik
dengan cara tidak patut, menyebarkan aib, atau mendoakan keburukan baginya.
Kelima : Memanfaatkan peluang kemerdekaan berekspresi yang ada di
Indonesia guna memperkuat ke-Islam-an kaum muslimin, Allah berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yg dikatakan kepada mereka: "Tahanlah
tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!".
Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka
(golongan munafik) takut kepada manusia (musuh) seperti takutnya kepada
Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami,
mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau
tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu
lagi?". Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yg bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”130.
Keenam : Doa yang mustajab teruntuk para pemimpin. Diantara faedahnya
adalah:
1. Ketika seorang muslim berdoa untuk kebaikan pemimpinnya, pada
dasarnya dia sedang beribadah kepada Allah melalui doa tersebut, juga
merupakan bukti ketaatan kepada Allah, Rasul dan pemimpin. Nasiruddin
bin Al Munir berkata: ”Doa untuk pemimpin adalah kewajiban bentuk
ketaatan, disyariatkan bagaimanapun keadaannya”.
2. Sebagai bukti terlepasnya beban dan tanggung jawab, karena pada
dasarnya seorang muslim memiliki tanggung jawab untuk menasehati
pemimpin, Ahmad bin Hanbal berkata: ”Aku berdoa untuknya
(pemimpin) agar dilimpahi taufik, kelurusan dan kemenangan siang dan
malam, dan aku berpandangan bahwa hal tersebut wajib atasku”.
130 QS. An Nisa: 77.
94
3. Termasuk tanda ahlus sunnah wal jamaah, Al Barbahari berkata: ”Jika
engkau lihat seseorang mendoakan kejelekan bagi pemimpin ketahuilah
bahwa dia pengikut hawa nafsu, dan jika engkau melihat seseorang
mendoakan kebaikan bagi pemimpin ketahilah bahwa dia adalah
pemegang as sunnah insya Allah”.
4. Manfaat doa akan kembali kepada masyarakat, Abu Bakar radhiyallah
‘anh berkata: ”Kemakmuran kalian akan langgeng selama para pemimpin
kalian istiqamah”.
Umar bin Al Khattab radhiyallah ‘anh juga berkata: ”Ketahuilah bahwa manusia
senantiasa dalam kebaikan, selama para pemimpin dan penunjuk jalan mereka
istiqamah”.
5. Para pemimpin akan senang jika mendengar bahwa rakyatnya
mendoakannya, sehingga dia akan berusaha semaksimal mungkin guna
kebaikan mereka dan mungkin dia juga akan mendoakan kebaikan untuk
rakyatnya.
95
EPILOG
Akhirnya, rakyat harus sadar bahwa pemerintah sekarang bukanlah seperti
pemerintahan dahulu, sebagaimana pemimpin pun harus sadar bahwa rakyat
sekarang pun tidak sama dengan kualitas rakyat terdahulu. Ibarat sebuah kendi,
bagian bibir kendi tentu lebih bersih dari pada bagian bawah.
“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi
teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”131.
Diriwayatkan dalam atsar: ”Sebagaimana keadaan kalian, demikian pula kualitas
pemimpin kalian”.
Wallahu a’lam bish showab, wa shallallah ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alih wa ashhabih ajma’in.
131 QS. Al An’am: 129.
96
PERSATUAN PELAJAR DAN MAHASISWA INDONESIA
PPMI RIYADH – ARAB SAUDI اتحاد الطلبة اإلندونيسيين بالمملكة العربية السعودية
FORUM MAHASISWA PASCASARJANA INDONESIA SE-ARAB SAUDI
ملتقى طالب الدراسات العليا اإلندونيسيين بجامعات المملكة العربية السعودية
FIQIH IKHTILAF DAN I’TILAF DALAM TINJAUAN
MAQASHID SYARIAH
فقه االختالف واالئتالف في ميزان مقاصد الشريعة
EKO HARYANTO, LC., M.A.
KANDIDAT DOKTOR FIQIH
IMAM MUHAMMAD IBN SAUD ISLAMIC UNIVERSITY
RIYADH, 02 RAJAB 1438 H / 30 MARET 2017 M
97
بسم هللا الرحمن الرحيم
MUQADDIMAH
ا ألهفت ألهف الحمد هلل أن ألف بين قلوب المؤمنين، ﴿لو أنفقت ما في األرض جميعا مه كنه للاه بين قلوبهم ول
سول 132بينهم﴾ ن األمن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الره وإلى . الحمد هلل القائل ﴿وإذا جاءهم أمر م
عليكم ورحمته التهبعتم الشهيطان إاله قليال﴾ أولي األمر منهم لعلمه الهذين يستنبطونه .133منهم ولوال فضل للاه
حم ر ة واحدة وال يزالون مختلفين * إاله من ره لك خ وقال تعالى ﴿ولو شاء ربك لجعل النهاس أمه لقهم بك ولذ
ت كلمة رب ك ألمألنه جهنهم من الجنهة والنهاس أجمعين﴾ 134وتمه
Seringkali kita dapatkan ketika ada seseorang yang mengoreksi sebuah
kesalahan dalam sebuah hukum syar’i atau memberikan nasehat untuk
meninggalkan sesuatu yang salah, mereka akan mengatakan “Sudahlah biarkan
saja, ini kan khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini kan
khilafiyah”. Pernyataan-pernyataan tersebut biasanya diungkapkan oleh orang-
orang yang enggan menerima nasehat karena tidak bisa membantah karena tidak
cukup ilmu atau memang tidak mau menerima yang haq berdasarkan dalil yang
shahih dan rajih (kuat) serta ta’ashub (fanatik) terhadap pendapatnya atau
pendapat kelompoknya.
132 QS. Al Anfal: 63. 133 QS. An Nisa: 83. 134 QS. Hud: 118-119.
98
HAKIKAT PERBEDAAN (KHILAF)
Khilaf dan Ikhtilaf secara bahasa berarti perbedaan, perselisihan,
kontroversi, dan kontradiksi serta tidak sepakat dalam suatu masalah atau yang
lainnya. Fairuz Abadi mengatakan: “Ihktilaf maksudnya adalah masing-masing
mengambil jalan selain jalan temannya baik dalam kondisi maupun perbuatan”135.
Secara umum, khilaf berarti perbedaan pendapat di antara para ulama
dalam berbagai permasalahan, baik permasalahan agama maupun permasalahan
lainnya.
Dalam fiqih Islam, khilaf (disebut juga ikhtilaf) adalah perbedaan pendapat
ulama mengenai masalah-masalah fiqih yang tidak tidak disepakati oleh para
ulama yang mu’tabar136. Perbedaan itu melahirkan mazhab-mazhab fiqih, seperti
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan azh-Zhahiri. Perbedaan pendapat
itu pun bahkan terjadi juga dalam satu mazhab.
Dalam studi hukum Islam, khilaf atau ikhtilaf telah berkembang menjadi
ilmu tersendiri yaitu ilmu al-khilaf (ilmu perbedaan pendapat fiqih). Ilmu al-
khilaf adalah ilmu tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan ijtihad.
Ilmu khilaf ini disebut juga al-fiqh al-muqaran (fiqih perbandingan)137.
Para ulama bersepakat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ijtihad itu
diperbolehkan, sejauh tidak menyebabkan terjadinya perpecahan dan rusaknya
persaudaraan Islam. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alihi
wasallam:
كم فاجتهد ثم قال : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: إذا حكم الحاعن عمرو بن العاص رضي هللا عنه
.أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
135 Fairuz Abadi, Bashair Dzawi at Tamyiz, hal. 562, juz 2. 136 Mu’jam Lughotul Fuqaha, hal. 198. 137 Lihat pembahasan yang bagus tentang kaidah ini dalam Kitab Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam
karya Ibnu Hazm pada juz 5, dan juga Kitab Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi karya Ibnu
Abdil Barr pada Bab Dzikri Ad-Dalil fi Aqwal As-Salaf ‘ala Anna Al-Ikhtilaf Khatha’ wa
Shawab.
99
“Dari ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shalallahu ‘alihi wasallam
bersabda: “Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu perkara
dan hasil ijtihadnya itu benar, maka dia mendapat dua pahala, dan apabila hasil
ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu pahala”138.
Hadits ini menjelaskan bahwa dalam berijtihad seseorang bisa benar bisa
salah, tetapi orang yang salah pun tetap mendapat pahala atas ijtihad yang
dilakukannya.
Sebenarnya, perbedaan seperti ini ditemukan pula di kalangan para sahabat
ketika Rasulullah shalallahu ‘alihi wasallam masih hidup, di kalangan tabi`in
dan juga pada masa generasi-generasi selanjutnya.
Khilaf dalam hukum Allah bisa dilihat dari dua sisi, yaitu hukum syar’i dan
hukum qadari (takdir), artinya bisa dibedakan antara kehendak Allah dalam
agama dan syariatnya dan takdir akan terjadinya perselisihan pada umat ini. Dan
dari kedua hal diatas bisa kita simpulkan bahwa khilaf dalam islam ada tiga
macam:
1. Bahwa khilaf adalah sesuatu yang telah ditakdirkan Allah dan dikehendaki
dan pasti itu akan terjadi.
2. Khilaf dan perselisihan adalah sesuatu yang buruk yang dibenci Allah
maka kita harus berusaha menjauhi dan meminimalisirnya.
3. Khilaf yang terjadi di kalangan sahabat dan para imam adalah datang
dengan tidak disengaja namun terjadi karena perbedaan pandangan dan
ijtihad dalam mengambil kesimpulan hukum dari al qur’an maupun
sunnah.
Lalu, apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi masalah khilafiyah?
Banyak sekali firman Allah ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah
ketika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:
138 HR. Bukhari dan Muslim.
100
سول إن كنتم والره واليوم الخر ذلك خير و ت فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى للاه أحسن تأويال.ؤمنون بالله
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”139.
) الشورى وما اختلفتم فيه من شيء ( 10الية : -فحكمه إلى للاه
“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada
Allah”140.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
اش فعليكم فإنهه من يعش منكم بعدي فسيرى اختالفا كثيرا، دين، تمسهكوا بسنهتي وسنهة الخلفاء المهدي ين الره
.بها وعضوا عليها بالنهواجذ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan, maka hendaklah
kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia
erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian”141.
Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami
dengan pemahaman para salaf. Selain itu, Rasulullah bersabda:
لنار إال ملة أمتي على ثالث وسبعين ملة كلهم في اإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة، وتفترق
.واحدة، قال من هي يا رسول هللا؟ قال: ما أنا عليه وأصحابي
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah
menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat
bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab:
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”142.
Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali
kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat
Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian
orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua
pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua dan semuanya halal, hanya
dengan dalih ‘ini kan khilafiyyah‘.
139 QS. An Nisa: 59. 140 QS. Asy Syuara: 10. 141 HR. Abu Daud no. 4607 dan Ibn Majah 42, shahih menurut al Albani. 142 HR. Tirmidzi no. 2641, al Iraqi dalam takhrij al Ihya’ mengatakan bahwa semua sanad
hadits ini jayyid.
101
PENDAPAT ULAMA BUKAN DALIL
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak halal bagi siapapun mengambil
pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)”143.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Jangan taqlid kepada pendapatku, juga
pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambilah darimana
mereka mengambil (dalil)”144.
Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah
terjatuh dalam kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat
dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang
tergelincir dalam kesalahan.
Imam Malik berkata: “Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan
kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan
Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah,
tinggalkanlah”145.
Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan
aneh dari para ulama demi mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.
Sulaiman At Taimi berkata: “Andai engkau mengambil pendapat yang
mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari
pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan”146.
Kapan Khilafiyyah Ditoleransi? Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah
berkata:
143 Lihat Ibnu ‘Abdil Barr, Al Intiqa, hal. 145, dan Hasyiah Ibnu ‘Abidin, hal. 293, juz 6, dinukil
dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, hal. 24. 144 Ibnul Qayyim, Al I’lam, hal. 302, juz 2, dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, hal. 32. 145 Lihat Ibnu ‘Abdil Barr, Al Jami, hal. 32, juz 2, dan Ibnu Hazm, Ushul Al Ahkam, hal. 149,
juz 6, dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, hal. 27. 146 Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya, no. 3172.
102
“Ada banyak permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyikapi
perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama di sana. Setiap
pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau
kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita
menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak
boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat
dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi setiap pendapat selama
bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita
pegang itu lebih tepat”147.
Sedangkan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang
bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dan
pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam
pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang
telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk
diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung
pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan
bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk
pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut
menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.
“Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh
ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan
telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi
Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai
dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika dalam suatu permasalahan
tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada ruang bagi ulama
untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang mengamalkannya tidak
boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid”148.
147 Mushthafa al Adawi, Mafatih al Fiqh, hal. 100. 148 Ibn Qayyim al Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, hal. 224, juz 3.
103
SEBAB-SEBAB TERJADINYA IKHTILAF
Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai
penetapan hukum beberapa masalah hukum, telah terjadi di kalangan para sahabat
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau masih hidup. Tetapi perbedaan
pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbedaan
pendapat dalam menetapkan hukum terhadap masalah (kasus) tertentu, misalnya
Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, karena
kakek dia jadikan seperti ayah, dimana nash menyatakan, bahwa ayah meng-
hijab (menghalagi) kewarisan para saudara. Sedangkan Umar bin Khathtab
memberikan warisan dari si mayat kepada para saudara tersebut, karena kakek
termasuk dalam kata-kata ayah yang dinyatakan dalam nash.
Perbedaan pendapat dikalangan Shahabat Nabi itu, tidak banyak
jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang
timbul pada generasi berikutnya. Disamping itu, perbedaan pendapat yang terjadi
dikalangan sahabat dan tabi’in (setelah masa sahabat) serta para ulama
mujtahidin tidak menyentuh masalah yang tergolong sebagai dasar-dasar agama
yang termasuk ما علم من الدين باالضرورة (yang telah diketahui dalam agama tanpa
perlu dalil) dan hal-hal yang telah dikonsensus (ijma’) serta ditunjukan oleh nash-
nash yang qath’i.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di
samping disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor
lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor
penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada
generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjag sejarah hukum
Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di
kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan
104
teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu dipersoalkan lagi, apabila
ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi karena perbedaan dalam
berijtihad.
Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk
menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang
memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber
pengambilan mereka yang pokok adalah sama, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Akan
tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing
beramal sesuai denga hasil ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar
dan tepat.
Syekh Muhammad al-Madany dalam bukunya Asbab ikhtilaf al-Fuqaha
membagi sebab-sebab ikhtilaf itu kepada empat macam yaitu:
1. Pemahaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Seperti dimaklumi, sumber utama Syari’at Islam adalah al-Qur’an dan sunnah
Rasul dan keduanya berbahasa Arab. Di antara kata-kata yang terdapat di
dalamnya ada yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu dalam
ungkapannya terdapat kata ‘am (umum) tetapi yang dimaksudkanya “khusus”,
ada juga perbedaan tinjauan dari segi lughawi (bahasa), ‘urfi, serta dari segi
mantuq dan mafhum-nya.
Berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai kata musytarak dalam nash al-
Qur’an yang menimbulkan ikhtilaf tersebut. Allah berfirman:
يضة فنصف ما فرضتم إاله أن يعفون أو يعفوا ٱلهذى وإن طلهقتموهنه من قبل أن تمسوهنه وقد فرضتم لهنه فر
بما تعملون بصير بيدهۦ عقدة ٱلن كاح وأن تعفوا أقرب للتهقوى وال تنسوا ٱلفضل بينكم إنه ٱلله
"Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-
isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu
105
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala
apa yang kamu kerjakan"149.
Kata الذي بيده عقدة النكاح dapat diartikan wali nikah dan dapat pula diartikan
suami. Kalau kata يعفو diartikan يسقطه, lebih sesuai kalau yang dimaksud dengan
itu adalah wali, yaitu sebagai wali yang membebaskan kepada الذي بيده عقدة النكاح
suami dari keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan
hak anaknya, artinya dibebaskan. Tetapi kalau kata يعفو diartikan dengan يهب
maka sesuailah kalau yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah suami,
karena suami dalam kasus perceraian seperti itu hanya diwajibkan membayar
separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan ia membayar
mahar penuh. Dan jika suami itu membayar mahar penuh, berarti ia (suami)
menghibahkan haknya yang separuhnya lagi kepada istrinya.
2. Sebab-sebab Khusus Mengenai Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam.
Sebab khusus mengenai sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang
menonjol antara lain:
a. Perbedaan dalam Penerimaan Hadits.
Seperti dimaklumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan
(meriwayatkan) hadits, kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri
majlis rasul, tentunya mereka inilah yang banya menerima hadits sekaligus
meriwayatkannya. Tetapi banyak pula diantara mereka yang sibuk dengan
urusan-urusan pribadinya, sehingga jarang menghadiri majlis rasul, padahal
biasanya dalam majlis itulah rasul menjelaskan masalah-masalah yang
ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu.
b. Perbedaan dalam Menilai Periwayatan Hadits.
Adakalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadits shahih
sedangkan menurut ulama yang lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi
149 QS. Al Baqarah: 237.
106
semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad,
maupun matan-nya.
Contoh dari segi sanad, adalah seperti hadits yang dijadikan dasar oleh Imam
Syafi’i tentang wajibnya membaca al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat:
ا انصرف عن عبادة بن صامت قال: صلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم الصبح فثقلت عليه القراءة فلم
بأم القرآن فإنه ال صالة قال: إني أراكم تقرؤون وراء إمامكم. قال: قلنا يا رسول هللا، وهللا، قال: ال تفعلوا إال
يقرأ بها.لمن لم
“Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam sholat subuh yang agak panjang bacaannya, maka setelah selesai shalat
Rasulullah berkata: ’’Aku memperhatikan kalian membaca dibelakang imam’’,
kami menjawab: ‘’Ya rasul, demi Allah memang kami baca”, Rasulullah berkata:
‘’Janganlah kamu membaca, kecuali ummul Qur’an (al-fatihah) karena
sesungguhnya tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca”150
Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam kitabnya al-Mughni
menyatakan bahwa hadits Ubadah ini tidak ada yang meriwayatkan kecuali Ibnu
Ishaq dan Naf’i bin Mahmud bin al-Rabi. Sedangkan Ibnu Ishaq adalah mudallis,
dan Naf’i lebih rendah lagi (lebih buruk lagi) keadaanya dari Ibnu Ishaq.
c. Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul di
antaranya adalah mengenai istitsna’ (pengecualian); yakni apakah istitsna yang
terdapat setelah beberapa kata atau kalimat yang di athaf-kan satu sama lainnya
dikembalikan kepada semuanya ataukah kepada kata dan kalimat yang terakhir
saja.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa istitsna itu kembali kepada
keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, istitsna itu hanya kembali
kepada jumlah terakhirnya saja.
150 HR. Abu Daud.
107
Perbedaan kaidah ini jelas sekali pengaruhnya dalam menafsirkan firman
Allah SWT, di antaranya yaitu:
ت ثمه لم يأتوا بأربعة شهداء فٱج نين جلدة وال تقبلوا لهم شه وٱلهذين يرمون ٱلمحصن أبدا وأولدوهم ثم ئك دة ل
سقون هم ٱلف
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”151.
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa hukuman bagi orang yang
menuduh zina tanpa membuktikan dengan empat orang saksi adalah sebagai
berikut:
a. Di dera delapan puluh kali.
b. Dicabut haknya untuk menjadi saksi apapun.
c. Orang itu dinyatakan fasik.
Kemudian datang istitsna (pengecualian) bagi orang-orang yang bertaubat,
yaitu pada ayat berikutnya:
غفور ره لك وأصلحوا فإنه ٱلله حيم إاله ٱلهذين تابوا من بعد ذ
“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”152.
Bagi kalangan yang berpendapat bahwa istitsna (pengecualian) itu kembali
kepada jumlah yang terakhir saja, maka mereka berpendapat bila orang yang
menuduh zina itu telah bertaubat, maka dia tidak lagi dinyatakan fasik namun
tetap harus dikenakan dera serta belum bisa dijadikan saksi. Adapun pendapat
kedua, yang menyatakan bahwa istitsna kembali kepada semuanya, maka orang
yang sedang bertaubat itu tidak lagi dinyatakan fasik dan juga dikembalikan
151 QS. An Nur: 4. 152 QS. An Nur: 5.
108
haknya untuk menjadi saksi, namun masih tetap dihukum dera, karena hukuman
dera ini menyangkut hak manusia yang tidak bisa digugurkan dengan taubat.
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan
kaidah-kaidah fiqhiyyah contohnya antara lain sebagai berikut:
Mazhab Syafi’i menggunakan kaidah:
األصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil
yang mengharamkannya”.
Sedangkan menurut kaidah dalam mazhab Hanafi adalah:
األصل في األشياء التحريم حتى يدل الدليل على اإلباحة
“Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang
menunjukan kebolehannya”.
Jadi menurut mazhab Syafi’i, asal hukum sesuatu adalah boleh
mengerjakannya
sampai ada dalil yang mengharamkannya. Hal ini berdasarkan firman
Allah SWT:
ا في األرض جميعا هو الهذي خلق لكم مه
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu”153.
Dan Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
هو حرام وما فعن أبي الدرداء قال: قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم: ما أحل هللا فهو حالل وما حرم
سكت عنه فهو عفو فاقبوا من هللا عافيته فإن هللا لم يكن ينسى شيئا
“Apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang telah
diharamkan Allah adalah haram serta apa yang didiamkan oleh Allah adalah
dimaafka maka terimalah kemaafan dari Allah itu, sesungguhya Allah tidak akan
lupa pada sesuatu”154.
153 QS. Al Baqarah: 29. 154 HR. At Thabrani dan al Bazzar.
109
Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa asal hukum sesuatu adalah
haram sampai ada dalil yang membolehkanya. Hal seperti ini dapat menimbulkan
perbedaan dalam menetapkan hukum.
d. Perbedaan Penggunaan Dalil di luar al-Qur’an.
Ulama terkadang berbeda pendapat pula mengenai fiqh disebabkan perbedaan
penggunan dalil di luar al-Qur’an dan sunnah, seperti amal Ahli Madinah
dijadikan dasar fiqh oleh Imam Malik tidak dijdikan dasar oleh para imam yang
lainnya. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan Ijma, Qiyas, Mashlahah
Mursalah, Istihsan, Sad al—Dzari’ah, Istishab, Urf dan sebagainya, yang oleh
sebagian ulama dijadikan dasar, sedang sebagian ulama lain tidak menjadikan
dasar dalam mengistinbatkan hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan itu
hanyalah dalam tingkat penggunaan saja.
110
HIKMAH ADANYA IKHTILAF DAN IMPLIKASINYA DALAM
KEHIDUPAN MASYARAKAT
Khilafiyah dalam hukum Islam adalah merupakan khazanah. Bagi orang
yang kurang memahami watak kitab-kitab fiqh yang banyak memuat masalah-
masalah hukum yang diperselisihkan, sering beranggapan bahwa fiqh itu sebagai
pendapat pribadi yang ditrasfer ke dalam agama. Padahal jika mereka mau
mengkaji secara mendalam, pasti mereka menemukan bahwa ketentuan hukum
islam itu bersumber dari kitabullah dan Sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi
wasallam.
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat,
jika didasarkan pada beberapa hal berikut ini:
a. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan
salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
b. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala
berpikir.
c. Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang
berbeda pendapat dan bermuamalah dengan manusia lainnya yang menyangkut
kehidupan di seputar mereka.
Faedah dan manfaat dari ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berikhtilaf itu
berpijak pada ketentuan dan adab yang terkandung di dalamnya. Namun jika
ketentuan dan batasan itu dilanggar, maka sudah pasti akan menimbulkan
perpecahan. Hal ini akan melahirkan kesulitan dan kejahatan, sehingga dapat
mengganggu kehidupan ummat. Jika begitu keadaannya, maka ikhtilaf akan
berubah menjadi ajang kehancuran.
Perbedaan pendapat dalam menetapkan sebagian hukum masalah furu’
adalah suatu kemestian. Orang yang ingin menyatukan kaum muslimin dalam
satu pendapat tentang hukum ibadah, mua’malat dan cabang hukum lainnya,
sebenarnya dia menginginkan suatu yang mustahil. Upaya mereka untuk
menghapuskan perbedaan (khilafiah fiqhiyah) ini tidak akan menghasilkan apa-
apa, selain dari bertambah luas perbedaan dan perselisihan itu sendiri. Karena
perbedaan dalam memahami hukum-hukum syar’iat yang tidak prinsipil ini
adalah suatu kemestian (dharury) dan tidak dapat dihindari.
111
ETIKA DALAM PERBEDAAN PENDAPAT
Dalam sejarah Islam, persoalah khilafiyah terjadi terutama dalam masalah
fiqih. Persoalan ini sering menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Apabila
hal ini tetap terjadi, maka perbedaan pendapat menjadi tercela. Pedoman yang
harus dipegang dalam hal ini adalah firman Allah subhanahu wata’ala:
“Janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar
dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah”155.
Agar hal itu tidak terjadi, umat Islam harus memperhatikan beberapa etika
dalam menghadapi perbedaan pendapat, di antaranya adalah:
1. Kaum muslimin harus menghormati orang yang melakukan ijtihad, meskipun
hasil ijtihadnya itu tidak cocok dengan sikapnya atau salah. Sebab, dengan ijtihad
itu seorang mujtahid telah mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wata’ala.
2. Kaum muslimin dalam menghadapi perbedaan pendapat hendaknya dengan
lapang dada dan tidak menyalahkan orang lain.
3. Kaum muslimin harus bersikap ikhlas dan berniat bahwa yang dituju dari
semuanya ini adalah kebenaran.
4. Kaum muslimin hendaknya mengembangkan sikap toleran dalam masalah-
masalah khilafiyah terhadap golongan lain yang berbeda pendapat dengan
mereka.
5. Kaum muslimin tidaklah pantas menjadikan perbedaan pendapat dalam bidang
fiqih menjadi persoalan yang diperdebatkan terus-menerus sehingga menjadikan
perbedaan dalam hal-hal yang lainnya.
6. Kaum muslimin tidak boleh terlalu fanatik dengan pendapatnya karena
perbedaan dalam masalah fiqih. Sebab, fanatisme itu sendiri dapat menyebabkan
tertutupnya mata dari kebenaran.
7. Kaum muslimin apabila memberi komentar atau mengkritik pendapat orang
lain hendaklah berharap dan berprasangka baik serta berkata-kata dengan sopan
dan tidak melukai perasaaan orang lain156.
155 QS. Al Anfal: 46. 156 Ensiklopedi Hukum Islam, hal. 920, jilid 3, dan Prof. Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar
Perbandingan Mazhab.
112
MAKNA I’TILAF
I’tilaf artinya : sepakat, sesuai, saling membantu, dan bergabung satu
dengan yang lain . I’tilaf adalah antonim dari kata ikhtilaf (perselisihan).
Islam menganjurkan umatnya untuk bersatu dan saling membantu satu
dengan yang lain serta membenci perpecahan dan perselisihan.
Fiqh I’tilaf maksudnya: pemahaman tentang bagaimana cara
menyatukan kaum muslimin dalam syari’ah Islam serta menghindari perselisihan
dan perpecahan diantara mereka.
Persatuan Islam termasuk dari maqoshid syar’iyyah (tujuan syari’at) yang
paling penting yang terkandung dalam agama yang mulia ini 157.
اس إيمانا عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم : )) أكمل الن
]رواه الطبراني ((أحاسنهم أخالقا الموطئون أكنافا ، الذين يألفون ويؤلفون وال خير فيمن ال يألف وال يؤلف
حمه ( وصححه الشيخ األلباني ر7983( والبيهقي في "الشعب" )4422( و"األوسط" )605في "الصغير" )
(250/ 2السلسلة الصحيحة" )"هللا في
Dari Abu Sa’id al Khudriy radhiyallahu ‘anu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaqnya, yang rendah hati dan pundak-pundak mereka terbentang 158
yang bersahabat dan mudah dijadikan menjadi teman tidak ada kebaikan pada
seseorang yang tidak bisa bersahabat dan tidak bisa menjadi teman“ ( HR.
157 Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M, https://almanhaj.or.id/2651-persatuan-
dalam-islam.html
158 الموطهئون yaitu dengan sighoh isim maf’ul diambil dari kalimat التوطئة yang maknanya
membentangkan (merendahkan). Disebut فراش وطيء tempat tidur yang terbentang jika tidak
mengganggu lambung yang tidur di atasnya. Dan yang dimaksud dengan األكناف adalah sisi-sisi tubuh
seseorang dan maskud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang sisi-sisi mereka
terbentang yang memungkinkan dijadikan sahabat dengan tidak merasa terganggu, dan ini merupakan
balagoh yang sangat baik (Faidul Qodir 3/464-465)
113
Thabrani dan Baihaqi dan disahihkan oleh syekh al Bani dalam sisilah shahihah
(2/250)
Persatuan dalam masalah aqidah, ibadah, dan akhlak, semuanya
diperhatikan dan diserukan oleh Islam. Diharapkan akan terbentuk persatuan di
atas petunjuk dan kebenaran. Bukan persatuan semu, yang tidak ada kenyataan,
karena tidak ada faidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala satu, Nabi kita satu, kiblat dan aqidah kita juga
satu, ini semua termasuk dari salah satu sisi persatuan dalam berakidah. Begitu
juga persatuan dalam masalah ibadah. Kita dapat melihat, bagaimana kaum
Muslimin berkumpul setiap harinya sebanyak lima kali di masjid-masjid mereka;
ini adalan salah satu fonemena dari persatuan. Juga bagaimana mereka berkumpul
dengan jumlah yang lebih besar pada setiap hari Jum’at, berpuasa secara
serempak di seluruh penjuru dunia dalam waktu yang sama, atau mereka saling
memanggil ke suatu tempat bagi orang yang mampu untuk melaksanakan
kewajiban haji, dengan menggabungkan usaha harta dan badan di satu tempat dan
waktu yang sama; ini semua adalah bagian dari fonemena persatuan Islam di
dalam mewujudkan hakekat akidah yang terbangun atas dasar tauhid. Karena
sesungguhnya persatuan kalimat tidaklah akan menjadi benar, melainkan dengan
kalimat tauhid, dengan fenomena persatuan akidah dan ibadah seperti yang telah
ditunjukkan di atas 159.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
هم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل ا ه سائر تداعى ل لجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو )) مثل المؤمنين في تواد
ى (( الجسد بالسههر والحمه
“Perumpamaan kaum Muslimin dalam saling mengasihi, saling menyayangi, dan
saling menolong di antara mereka seperti perumpamaan satu tubuh. Tatkala
159 Fiqih I’tilaf dan pengaruhnya dalam merealisasikan keamanan berfikir, Dr. Abdurrahman
Ahmad Madkhaly, makalah disampaikan pada Muktamar Nasional pertama dalam merealisasikan
keamanan berfikir tgl 22-25 Jumada Ula 1430H di King Saud University.
114
salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya
akan merasakan pula dengan demam dan tidak bisa tidur” [ HR Imam Muslim
dalam Shahih-nya [
Perbedaan memang sudah kepastian yang akan terjadi pada umat. Tapi,
perbedaan yang mengarah kepada perselisihan yang terjadi sekarang ini sudah
melampaui batas sehingga memerlukan perenungan dan penyikapan secara arif,
sehingga tidak menimbulkan problem baru bagi umat Islam.
Timbulnya perselisihan bahkan perpecahan di kalangan umat Islam tentu
merupakan bentuk penyimpangan dari al-Qur’an dan sunnah. Sebab Al-Qur’an
mengisyaratkan agar umat Islam selalu menjaga persatuan.
Hal ini dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, di antaranya firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
قوا واذكروا نعمت هللا عليكم إذ كنتم أعدآء فألهف بين قلوبكم فأصبحتم )) واعتصموا بحبل هللا جميعا وال تفره
بنعمته إخوانا ((
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (QS Ali
Imran:103)
Ibnu Jarir Ath Thabari berkata tentang tafsir ayat ini:
Allah Ta’ala menghendaki dengan ayat ini, Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada agama Allah yang telah Dia perintahkan, dan (berpeganglah kamu
semuanya) kepada janjiNya yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian
atas kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas
kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. [Jami’ul
Bayan 4/30.]Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabda-sabdanya
juga merintahkan umatnya untuk menyatukan barisan dan melarang dari
perpecahan dan perselisihan. Di antara sabda beliau yang memerintahkan
persatuan adalah sabda beliau ;
115
والسهمع والطهاعة وإن عبدا حبشيا فإنهه من يعش منكم بعدي فس يرى اختالفا كثيرا فعليكم ] أوصيكم بتقوى للاه
اشدين تمسهكوا بها وعضوا عليها بالنهواجذ وإيهاكم ومحدثات األمور فإنه بسنهتي وسنهة الخلفاء الم كله هدي ين الره
محدثة بدعة وكله بدعة ضاللة [
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat
(kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena
sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang
banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para
khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan
gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua
perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.
(HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari
Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Perbedaan pendapat pun telah terjadi sejak zaman para shahabat. Tapi
mereka menghadapi perbedaan pendapat itu dengan hati dan jiwa mereka tetap
bersih sehingga tidak sampai menyebabkan perpecahan di antara mereka.
Di dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar pernah mengutip penjelasan Al-
Qurtubi, orang yang memperhatikan dan mengkaji perselisihan yang terjadi
antara Abu Bakar r.a. dan Ali r.a. dengan adil, maka dia akan mengetahui bahwa
mereka saling mengakui keutamaannya masing-masing, dan hati mereka tetap
terbangun untuk saling menghormati dan mencintai.
Dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya berkata, saya pernah mencela
Hasan radhiyallahu ‘anhu di depan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, maka dia
berkata, “Jangan kamu mencelanya, karena dia telah mendapatkan bau harum
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Bukhari).
Demikianlah apabila perbedaan pendapat disikapi dengan baik tidak akan
menimbulkan perpecahan. Bukan hanya di masa shahabat, perbedaan pendapat
yang terjadi pada masa lalu dan disikapi dengan hati yang jernih oleh para ulama’
yang ikhlas pun tidak menimbulkan perpecahan ummat. Imam Nawawi
mengomentari hadits berikut, “Dan janganlah kalian berpecah belah,” hadits
tersebut merupakan perintah untuk melazimi jama’ah kaum muslimin dan saling
lemah lembut antara satu dengan lainnya. Hal ini merupakan salah satu kaedah
dalam Islam. (Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi).
Perbedaan pendapat berakhir pada perpecahan apabila hawa nafsu masuk
ke dalam hati, dan menonjolkan kepentingan pribadinya.
116
LANGKAH UNTUK MEWUJUDKAN PERSATUAN
Persatuan bukanlah hasil sebuah permainan sulap, sim salabim lalu
terwujud. Untuk mewujudkan persatuan memerlukan perjuangan lahir batin.
Banyak hal yang harus disiapkan untuk itu, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pentingnya persatuan.
Orang yang tidak memahami pentingnya sesuatu tidak akan termotivasi untuk
mewujudkannya. Gampangnya, orang yang tak tahu pentingnya uang, dia tak
akan berpayah-payah mencari uang. Demikian juga yang tak faham pentingnya
persatuan, dia tak akan berusaha menjaga dan mewujudkan persatuan umat.
2. Menguatkan tali hubungan.
Di antara sarana yang dapat membantu terwujudnya penyatuan barisan adalah
dengan menguatkan hubungan antara para aktivis dan da’i serta kaum muslimin
secara umum. Hal ini bisa dilakukan di sela-sela hubungan pribadi, silaturrahmi,
berkumpul, menegakkan syari’at bersama, dan saling membantu dalam pekerjaan
ataupun yang lainnya.
Hubungan saudara sesama muslim yang disertai dengan rasa cinta akan
membuka pintu dialog ketika terjadi perselisihan. Kecintaan tersebut akan
menjembatani perselisihan yang terjadi di antara mereka. Berbeda halnya bila
mereka tidak pernah berhubungan. Kemungkinan besar akan sulit untuk
disatukan.
3. Menimbang perkataan yang benar.
Tidaklah seorang muslim merasa keberatan untuk menyatukan barisan,
kecuali di hatinya ada nifaq. Tidaklah seseorang cukup berhujah dengan
kebenaran, tapi dia juga harus memperhatikan beberapa hal berikut:
a. Hendaknya kebenarannya benar-benar jelas dan nyata.
b. Hendaknya kebenaran tersebut disertai dengan penjelasan dan ilmu.
c. Hendaknya menjelaskan kebenaran dengan metode yang sesuai.
d. Hendaknya dalam menjelaskan kebenaran dilakukan oleh orang yang pantas.
117
e. Setelah sempurnanya penjelasan kebenaran, hendaknya tidak terburu-buru
menjelaskan hal yang dapat menimbulkan perselisihan.
4. Adil dalam menghukumi kesalahan.
Tidak ada manusia yang bisa terlepas dari kesalahan, kecuali Nabi
Muhammad saw., sekalipun orang tersebut bertakwa, berilmu, dan wara’.
Sebagaimana telah diketahui, kesalahan merupakan perkara yang bertingkat-
tingkat. Salah dalam perkara yang sudah nyata kebenarannya tidak sama dengan
kesalahan pada perkara yang masih samar. Menyelisihi dalil yang sudah jelas-
jelas shahih tidak sama dengan menyelisihi dalil yang masih muhtamal atau fatwa
para ulama. Karena itulah dalam menyikapinya harus adil dan bijaksana.
5. Saling menghormati.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, manusia tidak ada yang ma’shum,
kecuali Nabi saw. Akan tetapi, kebanyakan para aktivis tidak menyadari hal ini.
Tatkala ada seorang ulama yang berbuat salah, mereka langsung mengkritik dan
menjatuhkannya tanpa memperhatikan aturan-aturannya. Hendaknya para ulama
dan aktivis saling bermuamalah dengan baik, saling menghormati, baik dengan
orang yang lebih tua atau yang lebih kecil.
6. Jangan sibuk mencari-cari kesalahan manusia.
Seorang muslim diperintahkan untuk menjaga lisannya dan menjaga
kehormatan kaum mukminin. Maka, hendaknya orang yang sering disibukkan
mencari-cari kesalahan orang lain mengintrospeksi diri, boleh jadi hal itu hanya
dilatarbelakangi oleh hawa nafsu.
7. Menjauhi perselisihan.
Perselisihan biasanya berawal dari kesalahan, hawa nafsu, dan sifat berlebih-
lebihan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata, “Dalam hal ini ada beberapa
hal yang harus dijaga, di antaranya orang yang diam sama sekali pada
permasalahan ini—apakah orang kafir melihat Tuhan mereka—… Oleh sebab
itu, tidak sepantasnya bagi orang berilmu menjadikan permasalahan ini sebagai
tameng untuk mengutamakan saudara-saudaranya yang ia sukai dan memojokkan
118
kaum muslimin lainnya yang tidak ia sukai. Karena, yang seperti inilah yang
dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan, hendaknya jangan membawa
permasalahan ini kepada kaum muslimin yang masih awam, dikhawatirkan akan
muncul fitnah di antara mereka. Kecuali, kalau ada seseorang yang bertanya,
maka jawablah sesuai dengan kadar ilmu yang kamu miliki.” (Majmu’ Fatawa,
Ibnu Taimiyah, VI/503-504). 160
160 Diadaptasi dari Wihdatush Shaffi Dharurah Syaikh Muhammad bin Abdullah Ad-Duwaisy
(Majalah Islamiyah Syahriyah Al-Bayan, [Juli, 2002], hal. 30-36). [muslimdaily]
119
PERSATUAN PELAJAR DAN MAHASISWA INDONESIA
PPMI RIYADH – ARAB SAUDI اتحاد الطلبة اإلندونيسيين بالمملكة العربية السعودية
FORUM MAHASISWA PASCASARJANA INDONESIA SE-ARAB SAUDI
السعوديةملتقى طالب الدراسات العليا اإلندونيسيين بجامعات المملكة العربية
FIQIH IKHTILAF DAN I’TILAF
DALAM TINJAUAN MAQASHID SYARIAH
فقه االختالف واالئتالف في ميزان مقاصد الشريعة
AHMAD HANAFI, LC, M.A.
KANDIDAT DOKTOR FIQIH DAN USHUL FIQIH
KING SAUD UNIVERSITY
RIYADH, 02 RAJAB 1438 H / 30 MARET 2017 M
120
بسم هللا الرحمن الرحيم
MUQADDIMAH
Tidak dapat dipungkiri bahwa persatuan umat adalah salah satu tujuan
agung syariat Islam. Bahkan tujuan diutusnya para nabi adalah untuk
menegakkan agama dan persatuan. Imam al-Baghawiy –Rahimahullah- berkata:
بعث هللا األنبياء كلهم بإقامة الدين واأللفة والجماعة وترك الفرقة والمخالفة
“Allah mengutus para Nabi untuk menegakkan agama dan persatuan serta
meninggalkan perpecahan dan perselisihan”. (Ma’aalim at-Tanziil 4/141).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –Rahimahullah- berkata:
من القواعد العظيمة التي هي من جماع الدين: تأليف القلوب واجتماع الكلمة وصالح ذات البين؛ فإن هللا
وأصلحوا ذات بينكم ﴾ ]األنفال: جميعا وال 1تعالى يقول: ﴿ فاتهقوا للاه [، ويقول: ﴿ واعتصموا بحبل للاه
قوا قوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البي نات وأولئك 103﴾ ]آل عمران: تفره [، ويقول: ﴿ وال تكونوا كالهذين تفره
[، وأمثال ذلك من النصوص التي تأمر بالجماعة واالئتالف، وتنهى 105لهم عذاب عظيم ﴾ ]آل عمران:
وأهل هذا األصل: هم أهل الجماعة، كما أنه الخارجين عنه هم أهل الفرقةعن الفرقة واالختالف،
“Di antara kaidah agung yang masuk dalam perkara pokok utama agama
adalah: persoalan mendekatkan hati, persatuan umat, dan harmonisnya
hubungan antar sesama, karena sesungguhnya Allah telah berfirman, (yang
artinya): “Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara
sesamamu” (QS. Al-Anfaal: 1), “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. Ali Imran: 103), “Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-
orang yang mendapatkan sisksa yang berat” (QS. Ali Imran: 106). Begitu juga
nash-nash yang semakna yang menyerukan untuk persatuan dan saling
merekatkan dan melarang untuk berpecah belah dan berselisih. Dan orang yang
masuk dalam ruang lingkup ini mereka itulah “ahlul jamaah” sebagaimana
orang yang keluar darinya mereka itulah “ahlul furqah”. (Majmu’ Fatawa
28/51).
121
SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB UNTUK
MEWUJUDUKANNYA?
Sesungguhnya semua komponen umat berkewajiban untuk mewujudkan
persatuan umat, baik dalam ruang lingkup yang terkecil hingga yang terbesar.
Nash-nash yang menyeru untuk bersatu dan meninggalkan perpecahan tentunya
diarahkan kepada seluruh umat tanpa terkecuali.
Tetapi, tentunya sosok ulama dan da’i mempunyai peran yang sangat
strategis dan signifikan dalam mewujudkan tujuan mulia ini. Umat (baca:
masyarakat awam) pasti akan melihat dan berkaca kepada mereka dalam
persoalan persatuan jika mereka bersatu dan tentunya ketika mereka berselisih
dan berpecah maka fenomena ini akan merambat ke akar rumput masyarakat
awam. Mengingat strategisnya peran dan tanggung jawab ini, Rasulullah –
Shallallahu’alai wasallam- ketika mengutus sahabat Abu Musa al-Asy’ari dan
Muadz Ibn Jabal –Radhiyallahu’anhuma- ke negeri Yaman, beliau berwasiat
kepada kedua sahabat ini:
يسرا وال تعسرا، وبشرا وال تنفرا، وتطاوعا وال تختلفا
“Berikan kemudahan dan jangan persulit, berikan berita gembira dan jangan
membuat mereka jauh, saling memahami dan bersepakatlah dan jangan kalian
justru berselisih”. (HR. Bukhari No. 3038 & Muslim No. 1733).
Perintah baginda Rasul –Shallallahu’alaihiwasallam- untuk memudahkan
dan memberikan berita gembira dan melarang lawan dari keduanya, kembali
kepada metode dan uslub penyampaian dakwah kepada objek dakwah. Tetapi
perintah saling memahami dan tidak berselisih adalah khitab langsung ditujukan
kepada kedua sahabat yang mulia ini selaku ulama dan juru dakwah yang
tentunya harus menjadi panutan dalam hal ini.
al-Hafidz Ibn Hajar –Rahimahullah- berkata:
وتطاوعا أي توافقا في الحكم وال تختلفا ألن ذلك يؤدي إلى اختالف أتباعكما فيفضي إلى العداوة ثم المحاربة
“Dan (makna) تطاوعا adalah saling bersepakatlah kalian berdua dalam sebuah
hukum dan janganlah kalian saling berselisih, karena hal itu akan menyebabkan
perselisihan para pengikut kalian yang dapat menjurus kepada permusuhan
bahkan peperangan”. (Fath al-Baary 13/162).
122
WUJUDNYA PERBEDAAN SEBENARNYA BUKAN MASALAH
Pada hakikatnya persoalan yang dialami oleh kaum muslimin saat ini
adalah bukannya pada wujudnya perbedaan (ikhtilaf) di kalangan para ulama
dahulu dan sekarang, karena hal itu adalah sebuah keniscayaan, bahkan di antara
para Nabi, para sahabat sejak dahulu telah berselisih dalam batasan yang
dibenarkan. Tetapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana persoalan ikhtilaf
ini tidak mencederai suasana i’tilaf dan persatuan umat yang merupakan tujuan
utama risalah Islam. Sering kita dapati, jika terjadi perbedaan maka perbedaan
tersebut justru meruncing hingga memunculkan perselisihan dan benih-benih
perpecahan di dalam tubuh kaum muslimin, hatta sesama pihak yang mengklaim
dirinya sebagai pengusung kebenaran.
Fenomena tafarruq ini tidak dapat dibiarkan terus-menerus membesar
hingga merusak suasana dan usaha merajut persatuan umat. Diperlukan sikap dan
langkah yang serius, mengingat tantangan masa depan dakwah Islam semakin
besar seiring dengan semakin nampaknya ghirah dan semangat kembali berislam
terutama di kalangan pemuda kaum muslimin dewasa ini. Di sisi lain, musuh
Islam dan kaum muslimin terus berupaya untuk melemahkan usaha persatuan ini.
Pembahasan tentang ikhtilaf apalagi dalam persoalan furu’iyyah dan
ijtihadiyah yang dibenarkan seharusnya selalu dibarengi dengan seruan untuk
beri’tilaf dan memelihara persaudaraan dan solidaritas umat. Olehnya itu dalam
makalah ini akan dipaparkan beberapa anasir yang penulis anggap penting untuk
dijadikan sebagai bahan renungan sekaligus mudah-mudahan menjadi acuan
dalam merajut persatuan umat meskipun dalam kenyataannya perbedaan tersebut
pasti ada.
123
IBADAH JAMAIYYAH SYIAR PERSATUAN YANG TERLUPAKAN
Dalam konteks ibadah jamaiyyah -yang merupakan sarana melatih diri
untuk bersatu dalam skala yang lebih besar- kita dapati beberapa anasir penting
dalam mewujudkan persatuan meskipun dalam nuansa adanya perbedaan.
Ibadah jamaiyyah yang dimaksudkan di sini adalah ibadah yang
disyariatkan dilakukan secara bersama-sama baik dari sisi cara pelaksanaan
(seperti: sholat berjamaah), tempat (seperti: haji) atau waktu (seperti: puasa
Ramadhan dan zakat fitri). Bahkan zakat hartapun dapat dikategorikan sebagai
ibadah jamaiyyah dari sisi bahwa peruntukannya tidak terlepas dari prinsip i’tilaf
dan persatuan umat.
Tujuan i’tilaf dan ijtima’ dalam ibadah jamaiyyah dapat kita saksikan
dalam beberapa bentuk:
Pertama: Dalam literatur ulama yang menjelaskan pokok–pokok aqidah
ahlussunnah waljamaah adalah menjaga sholat berjamaah, haji dan jihad bersama
imam kaum muslimin yang baik atau pelaku maksiat.
Imam at-Thahawiy -Rahimahullah- berkata:
على من مات منهمونرى الصالة خلف كل بر وفاجر من أهل القبلة و
“Dan kami berpandangan untuk ikut bermakmum kepada imam yang baik dan
pelaku maksiat dari ahlul qiblah, dan mensholatkan siapa saja yang meninggal
di antara ini dari mereka”. (Matan at-Thahawiy: 67)
Bahkan perintah sholat berjamaah ini tetap ditekankan menurut sebagian
pendapat para ulama walaupun imam memiliki penyimpangan dalam persoalan
aqidah, jika jamaah tersebut tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan mengikuti
imam yang menyimpang ini disebabkan posisinya sebagai “ulil amri” seperti
dalam sholat jum’at ataupun hari raya. Ibnu Qudamah -Rahimahullah- berkata:
فأما الجمع واألعياد فإنها تصلى خلف كل بر وفاجر. وقد كان أحمد يشهدها مع المعتزلة، وكذلك العلماء
فتركها خلفهم في عصره، ...؛ وألن هذه الصالة من شعائر اإلسالم الظاهرة؛ وتليها األئمة دون غيرهم،
يفضي إلى تركها بالكلية
124
“Adapun sholat Jumat dan hari raya maka sholat dilaksanakan bersama setiap
imam yang baik dan pelaku maksiat, dan Imam Ahmad dan para ulama di masa
beliau pernah melaksanakannya bersama Imam dari kalangan muktazilah,
…karena sholat (jumat dan hari raya) ini merupakan bagian dari syiar Islam
yang dzahir, yang dipimpin oleh pemimpin dan bukan selain mereka, maka
meninggalkan sholat di belakang mereka dapat menghilangkan (syiar ini) secara
keseluruhan”. (al-Mughni 3/22).
Kedua: Dalam ibadah jamaiyyah menampakkan perbedaan di saat jamaah
bersatu adalah hal yang tercela, meskipun ia mempunyai alasan yang kuat untuk
berbeda.
Salah satu nilai penting dari ibadah jamaiyyah adalah penghormatan
terhadap “imamah” atau otoritas yang diberi kuasa untuk memimpin
pelaksanaan ibadah tersebut.
Dalam hadits yang menjelaskan kewajiban makmum mengikuti imam,
Rasulullah –Shallallahu’alaihi wasallam- bersabda:
إنما جعل اإلمام ليؤتم به، فال تختلفوا عليه
“Ditunjuknya seorang imam untuk diikuti, maka janganlah kalian
menyelisihinya”. (HR. Bukhari No. 722 dan Muslim No. 414)
Imam Ibn abd al-Bar –Rahimahullah- berkata:
فقد أجمع العلماء على أن االئتمام واجب على كل إمام بإمامه في ظاهر أفعاله الجائزة وأنه ال يجوز خالفه
لغير عذر
“Para ulama telah berijma’ wajibnya mengikuti imam dalam posisinya sebagai
imam dalam gerakan-gerakan yang nampak dan dibolehkan, dan tidak boleh
menyelisihinya tanpa udzur”. (al-Istidzkaar 2/ 170).
Bahkan pada saat terjadinya kesalahan yang didasarkan pada ijtihad maka
jamaah tidak boleh melakukan hal yang dapat merusak suasana persatuan yang
telah terbangun. Imam al-Khattabiy –Rahimahullah- berkata:
معنى الحديث أن الخطأ موضوع عن الناس فيما كان سبيله االجتهاد فلو أن قوما اجتهدوا فلم يروا الهالل
ثين فلم يفطروا حتى استوفوا العدد ثم ثبت عندهم أن الشهر كان تسعا وعشرين فإن صومهم إال بعد الثال
125
وفطرهم ماض فال شيء عليهم من وزر أو عتب. وكذلك هذا في الحج إذا أخطؤوا يوم عرفة فإنه ليس
إذا أخطؤوا عليهم إعادته ويجزيهم أضحاهم كذلك؛ وإنما هذا تخفيف من هللا سبحانه ورفق بعباده ولو كلفوا
العدد أن يعيدوا أن يأمنوا أن يخطؤوا ثانيا وأن ال يسلموا من الخطأ ثالثا ورابعا فإن ما كان سبيله االجتهاد
كان الخطأ غير مأمون فيه
“Makna hadits tersebut adalah bahwasanya kesalahan yang ditimbulkan dari
sebuah ijtihad adalah perkara yang dimaklumi. Jika sekiranya satu kaum
berijtihad dan mereka tidak melihat hilal dan menggenapkan bulan 30 hari
sehingga mereka tidak berbuka kecuali setelah menggenapkan bilangan bulan,
kemudian ternyata terbukti setelah itu bahwa bulan (Ramadhan) hanya 29 hari,
maka puasa dan tidaknya mereka tetap sah dan tidak ada dosa dan celaan buat
mereka. Begitupun jika sekiranya kesalahan ini terjadi pada ibadah haji, yaitu
jika mereka salah dalam menentukan hari Arafah maka mereka tidak perlu
mengulanginya dan begitu juga kurban mereka dihukumi tetap sah. Semua ini
merupakan bagian keringanan dari Allah dan bentuk kelembutan-Nya untuk
para hamba-Nya. Karena jika sekiranya mereka diwajibkan untuk mengulang
jika terjadi kesalahan perhitungan, maka bukan tidak mungkin mereka akan
terjatuh dalam kesalahan yang kedua kali dan begitupula pada kali ketiga dan
keempat. Karena selama berdasarkan ijtihad maka kemungkinan salah bisa saja
terjadi”. (Ma’aalim as-Sunan 2/ 95-96).
Ketiga: Perbedaan dalam masalah furu’ tidak menghalagi seseorang untuk
melakukan ibadah secara berjamaah.
Contoh masalah ini terlalu banyak untuk dinukilkan, cukuplah sekiranya
apa yang dinukilkan oleh salah satu tokoh pemersatu umat di zamannya dapat
dijadikan landasan dalam pentingnya sebuah persatuan. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah -Rahimahullah- berkata:
وإذا فعل اإلمام ما يسوغ فيه االجتهاد يتبعه المأموم فيه وإن كان هو ال يراه، مثل: القنوت في الفجر، ووصل
الوتر، وإذا ائتم من يرى القنوت بمن ال يراه تبعه في تركه
“Apabila Imam melakukan sesuatu perkara dalam wilayah yang dibolehkan
untuk berijtihad sementara makmum tidak berpendapat demikian maka ia tetap
126
mengikuti imam, seperti: qunut dalam sholat shubuh, menyambung rakaat witir,
dan jika makmum berpendapat disyariatkannya qunut kemudian ia bermakmum
kepada imam yang tidak berpendapat seperti itu, maka makmum mengikutinya
untuk tidak melakukannya”. (al-Fatawa al-Kubra 5/348).
Di bagian lain beliau juga mengatakan :
قنت معه سواء قنت قبل الركوع أو بعده. وإن كان ال وكذلك إذا اقتدى المأموم بمن يقنت في الفجر أو الوتر
يقنت لم يقنت معه. ولو كان اإلمام يرى استحباب شيء والمأمومون ال يستحبونه فتركه ألجل االتفاق
واالئتالف: كان قد أحسن
“Begitu juga jika makmum mengikuti imam yang qunut pada sholat shubuh atau
witir, maka hendaklah ia ikut qunut bersamanya baik ia melakukannya sebelum
atau sesudah ruku’. Jika imam tidak berqunut maka makmum pun tidak
melakukannya. Jika imam berpendapat bahwa satu perkara disunnahkan
sementara makmum tidak memandangnya sebagai perkara sunnah, lalu (imam)
tidak melakukannya demi menjaga kesepakatan dan persatuan, maka ia telah
melakukan hal yang baik”. (Majmu’ Fatawa 22/268).
127
MENGHIDUPKAN SIKAP TATHAAWU’ DAN GERAKAN ISLAH
(REKONSIALIASI) MERUPAKAN LANGKAH PRIORITAS YANG
TIDAK BISA LAGI DITUNDA
Sebenarnya jika diteliti lebih dalam makna tathaawu’ bukan hanya terbatas
kepada kesepakatan dua orang atau lebih pada suatu perkara, tetapi hakikatnya
adalah adanya kesiapan dari pihak yang berselisih untuk tidak menampakkan dan
menajamkan perselisihan itu demi kemaslahatan bersama.
Sikap ini sangat dibutuhkan dalam menyikapi banyak persoalan khilafiyah
dan ijtihadiyah. Sikap ini tidak berarti kita harus mengorbankan idealisme dan
keyakinan kita. Tetapi adakalanya kemaslahatan bersama harus dan tetap
dikedepankan. Dalam tataran praktek, sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud –
Radhiyallahu’anhu- dapat dijadikan sebagai panutan dalam hal ini. Meskipun
beliau mengingkari perbuatan Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan –
Radhiyallahu’anhu- yang menyempurnakan sholat di Mina, beliau dengan
sepenuh hati tetap ikut bermakmum di belakang Utsman Ibn Affan –
Radhiyallahu’anhu-. Syeikh Ibn Utsaimin –Rahimahullahu- mengomentari
kisah ini:
لما كره إتمام عثمان بمنى كان يصلي خلفه أربعا، فقيل له: -رضي هلل عنه -وانظر إلى كالم ابن مسعود
وأنت تنكر على عثمان؟ فقال : -رضي هللا عنه -يا أبا عبد الرحمن ما هذا؟ يعني كيف يصلي أربعا
وهي أنه ينبغي لإلنسان أن ال يخالف إخوانه وال يشذ عنهم، ولقد كان ة مهمة."الخالف شر"، وهذه قاعد
الرسول عليه الصالة والسالم يرسل البعوث للدعوة إلى هللا أو للجهاد في سبيل هللا ويأمرهم أن يتطاوعوا؛
وا؛ ألن الخالف يعني يؤمر أميرين ويقول لهما: "تطاوعا وال تختلفا" ، يعني فليطع بعضكم بعضا، وال تختلف
ال شك أنه شر، وتفريق لألمة وتمزيق لشملها، وهذا الدين اإلسالم له عناية كبيرة باالجتماع وعدم التفرق
وعدم التباغض
“Lihatlah ke perkataan Ibn Mas’ud –Radhiyallahu’anhu- tatkala beliau tidak
senang dikarenakan sahabat Utsman menyempurnakan sholat di Mina, akan
tetapi beliau tetap ikut sholat di belakang Utsman empat rakat. Ketika dikatakan
kepada beliau: “Apa gerangan ini wahai Abu Abdirrahman? Maksudnya
128
bagaimana mungkin engkau tetap sholat empat rakaat sementara engkau
mengingkari Utsman?, maka beliau menjawab: “Berselisih itu jelek”. Dan ini
adalah kaidah penting. Yaitu bahwa seseorang tidak pantas untuk menyelisihi
apalagi menjadi berbeda sendiri dibandingkan yang lain. Dan Rasulullah –
‘alaihisholatuwassalaam- bila mengutus utusan untuk berdakwah atau berjihad
di jalan Allah memerintahkan para utusan tersebut untuk saling memahami dan
bersepakat, beliau berpesan kepada keduanya ”untuk saling memahami
bersepakat dan jangan saling berselisih”. Yaitu hendaknya sebagian patuh
kepada yang lain dan tidak saling berselisih, karena tidak diragukan lagi bahwa
perselisishan itu adalah kejelekan, penyebab perpecahan umat dan merusak
persatuan mereka. Dan agama Islam ini memberikan perhatian yang sangat
besar terhadap persatuan dan agar umatnya tidak saling berpecah dan saling
memusuhi”. (Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 14/ 179).
Dari kisah di atas juga dapat diambil satu sikap tathaawu’ dalam merajut
persatuan, yaitu terkadang dibolehkan mendahulukan perkara yang mafdhul
(tidak utama) dan tidak melakukan hal yang fadhil (yang utama) dengan maksud
menjaga suasana persatuan. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah –Rahimahullah-
mentaqrir hal dan mencontohkannya dengan persoalan menjaharkan basmalah,
beliau berkata:
ويسوغ أيضا أن يترك اإلنسان …ومع هذا فالصواب أن ما ال يجهر به قد يشرع الجهر به لمصلحة راجحة
األفضل لتأليف القلوب واجتماع الكلمة خوفا من التنفير عما يصلح كما ترك النبي صلى هللا عليه وسلم بناء
ورأى أن مصلحة تنفيرهم بذلكالبيت على قواعد إبراهيم؛ لكون قريش كانوا حديثي عهد بالجاهلية وخشي
لما أكمل الصالة -االجتماع واالئتالف مقدمة على مصلحة البناء على قواعد إبراهيم. وقال ابن مسعود
الخالف شر؛ ولهذا نص األئمة كأحمد وغيره على ذلك -خلف عثمان وأنكر عليه فقيل له في ذلك فقال
ل عن األفضل إلى الجائز المفضول مراعاة ائتالف بالبسملة وفي وصل الوتر وغير ذلك مما فيه العدو
المأمومين أو لتعريفهم السنة وأمثال ذلك وهللا أعلم
“Dengan demikian, maka yang tepat adalah apa yang tidak dijaharkan,
terkadang disyariatkan untuk dijaharkan demi kemaslahan yang rajih…
sebagaimana seseorang dibenarkan untuk meninggalkan perkara yang utama
129
dengan maksud menjaga keakraban dan persatuan dan dengan tidak menjauh
dari kemaslahatan yang diharapkan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi
-Shallallahu’alaihiwasallam- yang tidak membangun ka’bah sebagaimana
pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim, dengan sebab pada saat itu orang-
orang Quraisy yang baru saja keluar dari suasana jahiliyah dan beliau khawatir
(jika beliau merubah ka’bah) akan menyebabkan mereka menjadi jauh. Beliau
melihat bahwa maslahat persatuan harus didahulukan dari pada maslahat
membangun ka’bah sesuai dengan pondasi Ibrahim. Dan tatkala Ibn Mas’ud
menyempurnakan sholat bermakmum di belakang Utsman padahal beliau
mengingkarinya, lalu beliau ditanya tantang hal itu, beliau menjawab:
“Berselisih itu jelek”. Berdasarkan hal ini, para ulama seperti Imam Ahmad dan
yang lainnya menyatakan secara jelas masalah ini dalam persoalan basmalah,
menyambung witir dan yang lainnya, di mana dalam persoalan ini dibolehkan
untuk meninggalkan perkara yang afdhal dan melakukan perkara yang tidak
afdhal yang dibolehkan demi menjaga kesolidan makmum atau memperkenalkan
kepada mereka sebuah sunnah”. (Majmu’ Fatawa 22/436-437)
Jika perbedaan sudah semakin tajam dan dikhawatirkan efeknya akan
merusak suasana persatuan dan ukhuwah kaum muslimin, maka gerakan islah
menjadi sebuah solusi syar’i yang wajib untuk ditempuh. Gerakan Islah
seharusnya ditumbuh suburkan dalam tubuh kaum muslimin, baik itu dalam skala
individu bahkan antar kelompok (baca: yayasan, ormas dan selainnya) yang
berselisih. Analogi sederhananya seperti ini: Jika harmonisasi kehidupan suami
istri yang “bertikai’ disyariatkan lewat islah, padahal ia hanya menyangkut
beberapa individu yang terbatas, maka bagaimana mungkin hal itu tidak menjadi
penting bahkan wajib dalam skala yang lebih besar yang menyangkut urusan
umat dan melibatkan orang banyak.
Lagi-lagi acungan jempol kita patut untuk kita berikan kepada Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah –Rahimahullah- yang bisa dijadikan panutan dalam gerakan
islah ini, beliau berkata:
130
والناس يعلمون أنهه كان بين الحنبلية واألشعرية وحشة ومنافرة، وأنا كنت من أعظم الناس تأليفا لقلوب
المسلمين، وطلبا التفاق كلمتهم، وات باعا لما أمرنا به من االعتصام بحبل هللا، وأزلت عامة ما كان في
.النفوس من الوحشة
“Dan orang-orang mengetahui bahwa di antara pengikut mazhab Hambali dan
Asy’ariyah terdapat perseteruan (konflik) dan jarak yang renggang. Dan saya
termasuk di antara pihak yang paling berusaha untuk mendekatkan hati sesama
kaum muslimin, mengharapkan kesepakatan di antara mereka serta sebagai
bentuk ketataan terhadap perintah berpegang teguh kepada tali (agama) Allah.
dan saya berhasil menghilangkan sebagian besar bentuk perseteruan yang
mengganjal tersebut”. (Majmu’ Fatawa 3/227)
131
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Jalan menuju persatuan umat memerlukan nafas panjang dan usaha
maksimal. Setiap kita, apalagi dalam posisi sebagai insan yang dikaruniai
kelebihan ilmu dan bashirah, seharusnya tetap memiliki optimisme yang tinggi
akan terwujudnya persatuan ini. Minimal pada setiap komunitas yang kita
bergabung di dalamnya. Kesadaran akan pentingnya bersatu lewat pemahaman
yang matang akan sebuah konsep ibadah jamaiyyah yang salah satu tujuan
utamanya adalah persatuan, harus terus menjadi ruh dan nilai yang kita tebarkan
di tengah umat (baca: objek dakwah). Fikih ahkam ibadah jamaiyyah begitu
penting untuk kita ajarkan dan praktekkan, tetapi fikih maqashid dari ibadah
jamaiyyah itupun harus mendapatkan porsi yang pantas untuk selalu kita
dengungkan di setiap mimbar-mimbar dakwah dan majlis-majlis ilmu yang
diamahkan kepada kita.
Begitu juga dengan sikap tathaawu’ dan gerakan islah, tidak hanya dalam
tataran konsep, tetapi seharusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
setiap langkah nyata. Ribuan koleksi karya ulama sarat dengan konsep ini. Tetapi
sungguh sangat disayangkan jika mencari penerapan konsep ini dalam lapangan
nyata saat ini, masih terlalu sedikit contoh yang bisa kita jadikan sebagai bukti.
Ini seharusnya mencambuk kita agar lebih serius lagi untuk menerjemahkan
konsep ini terutama dalam membangun harmonisai sesama dai, meningkatkan
kerjasama antar lembaga dan organisasi dakwah dan keislaman. Bahkan dalam
konsep kerjasama dengan sesama ahlul qiblah pun dalam agenda dan
kepentingan yang menjadi kepedulian bersama harus lebih dimatangkan.
Semua yang disebutkan di atas bukan berarti menghilangkan sensitifitas
kita terhadap kemungkaran dan penyimpangan yang ada. Tradisi munasahah,
amar makruf nahi munkar tetap harus menjadi syarat yang mendampingi
semangat kita merajut ukhuwah dan persatuan.
Semoga Allah memberikan rahmat dengan kepedulian kita untuk bersatu.
Wallahuta’ala a’lam.