ijma’: antara sumber, dalil dan manhaj dalam …

22
Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh {1 IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM SISTEMATIKA KAJIAN USHUL FIQH MUSFIRA Dosen Tetap Fakultas Syari’ah Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh ABSTRAK Sebagaimana dianut oleh pakar hukum Islam klasik, bahwa ijma‘ merupakan sumber dalam hukum Islam setelah al-Qur'an dan Sunnah. Sejalan dengan akselerasi perubahan, konsep hukum Islam telah mengalami pergeseran terutama istinbath hukum melalui ijma‘. Atas dasar itulah, tulisan ini ingin menghadirkan “kreasi baru” untuk melihat kembali posisi dan fungsi ijma‘ dalam sistematika kajian ushul fiqh, apakah ijma‘ masih sebagai sumber sekaligus dalil setelah al-Qur'an dan sunnah, atau ijma‘ berpartisipasi otonom sebagai manhaj (metode). Dengan mencermatinya secara intens diperoleh konsep baru tentang fungsi ijma‘ di dalam hukum Islam, bahwa rumusan konsep dan pemikiran ulama tentang ijma‘ menunjukkan pada aplikasi teori adabtabilitas hukum Islam terhadap realitas sosial masyarakat, sehingga ijma‘ tidak lagi sebagai produk hukum yang stagnan sebagaimana warisan dari ulama klasik. Selanjutnya pemahaman tentang ijma‘ yang telah mapan (sumber atau dalil), dapat disesuaikan kembali dengan kehendak ijma‘ (sebagai manhaj), yang merupakan hasil metode berpikir alternatif, sebagai jawaban atas kebutuhan umat saat ini. Kata Kunci: Ijma’, Sumber, Dalil,Manhaj, Ushul Fiqh.

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{1

IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM SISTEMATIKA KAJIAN USHUL FIQH

MUSFIRA

Dosen Tetap Fakultas Syari’ah Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh

ABSTRAK

Sebagaimana dianut oleh pakar hukum Islam klasik, bahwa ijma‘ merupakan sumber dalam hukum Islam setelah al-Qur'an dan Sunnah. Sejalan dengan akselerasi perubahan, konsep hukum Islam telah mengalami pergeseran terutama istinbath hukum melalui ijma‘. Atas dasar itulah, tulisan ini ingin menghadirkan “kreasi baru” untuk melihat kembali posisi dan fungsi ijma‘ dalam sistematika kajian ushul fiqh, apakah ijma‘ masih sebagai sumber sekaligus dalil setelah al-Qur'an dan sunnah, atau ijma‘ berpartisipasi otonom sebagai manhaj (metode). Dengan mencermatinya secara intens diperoleh konsep baru tentang fungsi ijma‘ di dalam hukum Islam, bahwa rumusan konsep dan pemikiran ulama tentang ijma‘ menunjukkan pada aplikasi teori adabtabilitas hukum Islam terhadap realitas sosial masyarakat, sehingga ijma‘ tidak lagi sebagai produk hukum yang stagnan sebagaimana warisan dari ulama klasik. Selanjutnya pemahaman tentang ijma‘ yang telah mapan (sumber atau dalil), dapat disesuaikan kembali dengan kehendak ijma‘ (sebagai manhaj), yang merupakan hasil metode berpikir alternatif, sebagai jawaban atas kebutuhan umat saat ini. Kata Kunci: Ijma’, Sumber, Dalil,Manhaj, Ushul Fiqh.

Page 2: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

2}

A. Pendahuluan

Dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh sebagaimana

terlihat dalam pemikiran ushul fiqh kontemporer, bahwa istilah

sumber hukum, dalil hukum dan manhaj dalam istinbath hukum

dibedakan. Sebab, baik istilah sumber hukum, dalil hukum atau

manhaj merupakan istilah-istilah teknis yang dipakai oleh para ulama

ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau

dasar dalam istinbath hukum di mana dalam penerapannya mencakup

al-Qur’an, al-Sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber selain

keduanya.

Dari beberapa kajian, baik dalam kitab-kitab klasik yang

dihasilkan oleh para ulama salaf, ulama fiqh maupun ulama ushul

fiqh, dalam pembahasan mereka sebahagian kecil saja yang

memberikan batasan antara sumber dan dalil secara jelas, karena pada

umumnya mereka hanya memberikan batasan dengan menggunakan

istilah dalil-dalil syara’ terhadap sumber maupun dalil.1

Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma‘ merupakan hujah yang

bersifat qath’i (pasti). Artinya, ijma‘ merupakan dasar penetapan

hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi serta diamalkan.

Dengan demikian jumhur ulama menempatkan ijma‘ sebagai dalil

hukum yang ketiga setelah al-Qur’an dan al-Sunnah, alasannya ijma‘

merupakan dalil yang pasti.2 Disebut dalil karena ijma‘ bukanlah

wadah yang dapat ditimba norma hukum, karena ijma‘ tidak dapat

1 Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),

hal. 81

2 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 148

Page 3: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{3

berdiri sendiri, melainkan harus bersumber pada al-Qur’an dan al-

Sunnah.3

Dalam kaitan pembahasan di atas, manhaj setidaknya harus

mendapat perhatian khusus. Oleh sebab itu, dalam konteks

menemukan hukum, posisi ijma‘ sangat penting dibahas untuk

mengetahui sisi pergeserannya dalam istinbath hukum. Inilah yang

mendasari penelitian ini untuk memberikan tempat perhatian utama,

dan dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat urgen agar tidak

menjadi suatu yang ambigu ketika berhadapan dengan persoalan-

persoalan yang akan ditetapkan hukumnya antara mana yang

dikatakan sumber, dalil dan mana yang disebut manhaj (metode).

Sehingga dengan memperjelas posisi dari tiga istilah tersebut yang

telah memiliki proporsi masing-masing maka pembauran antara

ketiga istilah tersebut dapat terhindarkan.

Pembahasan tentang ijma‘ ini relatif luas cakupannya dan

memiliki banyak segi yang diperselisihkan para ulama. Untuk itu

penulis merasa perlu untuk membatasi penelitian ini dan lebih fokus

untuk mengetahui bagaimana konsepsi ushul fiqh terhadap sumber,

dalil dan manhaj, serta Bagaimana posisi ijma‘ dalam konsep ushul

fiqh.

Agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka

penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan bibliographic

3 Adapun sumber hukum yang disepakati jumhur ulama adalah alquran, sunah, ijma‘

dan qiyas. sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama

selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan,maslahah murslah, istishab, ‘urf,

madzhab shahabi, syar’u man qablana. Dengan demikian jumlah sumber hukum Islam itu ada

sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.

Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait: Dār al-Qalam, 1978), hal. 14-17

Page 4: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

4}

research4 dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber datanya

diambil dari karya-karya ulama klasik maupun kontemporer tentang

konsep ijma‘. Selanjutnya data dianalisis dari fakta-fakta yang khusus,

dan peristiwa-peristiwa yang konkrit dari berbagai pendapat jumhur

ulama tentang ijma’, selanjutnya ditarik generalisasi-generalisasi yang

bersifat umum.

B. Pengertian Sumber, Dalil dan Manhaj

Kata “sumber” dalam bahasa Arab, adalah pemahaman dari

kata “mashdar”, jamaknya “mashādir”, artinya asal dari segala sesuatu,

atau tempat merujuk segala sesuatu. Jadi jika dikatakan mashdar al-

hukmi, atau mashdar al-ahkām, artinya asal atau rujukan hukum.

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, sumber adalah asal

sesuatu.5 Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan)

hukum Islam yang dipergunakan sebagai pedoman. Dalam

kepustakaan hukum Islam di Indonesia, sumber hukum Islam

terkadang disebut dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau

dasar hukum Islam.6

4 Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi

penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang

ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Lihat M. Nazir, Metode Penelitian, cet. 5,

(Jakarta, Ghalia Indonesia,2003), hal. 27, sedangkan Bibliographic Research adalah penelitian

yang termasuk mengkaji sejarah kehidupan, biografi klasik dan penafsiran, dimana peneliti

mengeksplorasi individu tunggal begitu juga dengan pengalamannya. Temuan ini sebagian

besar bercerita lisan oleh orang yang sedang dipelajari atau Dāri dokumen dan bahan-bahan

arsip yang berhubungan dengan kehidupan seseorang. Tujuannya adalah untuk menemukan dan

menyajikan tema-tema yang menunjukkan poin penting dalam kehidupan seseorang yang

benar-benar mengungkapkan individu. Jadi Kajian Bibliographic Research ini berperan

memberikan sumber data sesuai dengan klasisfikasinya.

5 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),

hal. 974, lihat juga Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 463

6 Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh al-Islami, Jilid I, (Jakarta:

Pustaka Alhusna, 1979), hal. 21.

Page 5: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{5

Dalam kepustakaan ilmu hukum, pembicaraan tentang

terminologi “sumber hukum” sering digunakan dalam pembahasan

kaedah hukum.7 Sehingga “sumber hukum” dibedakan kepada

sumber hukum materil (Welbron) dan sumber hukum formil (Kenborn).

Sumber hukum materil merupakan sumber dari mana hukum itu

berasal (sumber isi), sedangkan sumber hukum formil merupakan

sumber tempat hukum itu didapat, ditemukan atau dikenal (sumber

kenal).8

Sumber hukum materil atau sumber isi hukum, ialah sumber

yang menentukan corak isi hukum, atau sesuatu yang tercermin

dalam isi hukum. Sumber hukum materil, menentukan dari mana asal

hukum, menentukan ukuran, isi apakah yang harus dipenuhi agar

sesuatu bisa disebut hukum, sehingga mempunyai kekuatan yang

mengikat, yaitu sebagai norma yang harus ditaati sebagai hukum.

Dalam perspektif ilmu hukum, sumber hukum materil merupakan

salah satu bidang kajian filsafat hukum.9

Sumber hukum formil adalah pembicaraan ilmu hukum, bukan

pembicaraan filsafat hukum. Sumber hukum formil atau bentuk-

bentuk di mana dapat ditemukan atau dikenal hukum yang berlaku

sebagai hukum positif di suatu negara. Sumber hukum formil dalam

ilmu hukum adalah: 1) Perundang-undangan; 2) Kebiasaan/kebiasaan

(Common Law); 3) Keputusan hakim/Yurisprudensi (Judge Made Law);

7 George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Second Edition, (London:

Oxford University Press), hal. 141

8 L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradinya Paramita, 1978),

hal. 87

9 Ahmad Rustandi, Ibrahim Bachtiar, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Multi

Karya Ilmu, 1983), hal. 32-34

Page 6: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

6}

4) Perjanjian/Traktat (Pacta Servanda Sunt); 5) Ilmu Pengetahuan

Hukum (Doctrine).10

Dalam Islam, penggunaan istilah “sumber hukum” (mashādir

al-ahkām) dan “dalil hukum” (adillah al-ahkām), oleh sebagian ulama,

terkadang diartikan untuk makna yang sama. Jadi biasanya digunakan

istilah adillah al-ahkām untuk menunjuk mashādir al-ahkām dan begitu

pula sebaliknya. Meskipun demikian, sebagian ulama yang lainnya

membedakan kedua istilah tersebut. Menurut pendapat yang terakhir

ini, bahwa “sumber hukum” (mashādir al-ahkām) adalah asal hukum

atau rujukan hukum, sedangkan “dalil hukum” (adillah al-ahkām)

adalah tempat ditemukan atau sesuatu yang menunjuk kepada adanya

hukum.11

Dengan demikian apabila merujuk kembali pada kajian

“sumber hukum Islam”, maka pengertian istilah “sumber hukum”

(mashādir al-ahkām) adalah sama dengan kandungan pemahaman

“sumber hukum materil” (sumber isi) dalam ilmu hukum. Sedangkan

pengertian “dalil hukum” (adillah al-ahkām), adalah sama dengan

kandungan pemahaman pengertian “sumber hukum formil” (sumber

kenal) dalam ilmu hukum.

Berdasarkan pengertian di atas, bila ditinjau dari sisi

metodologis, maka hukum Islam dapat dipahami sebagai hukum yang

bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi melalui proses penalaran

atau ijtihād. Sehingga hukum Islam diyakini sebagai hukum yang

mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal.

Ruang gerak metodologi antara wahyu sebagai sumber hukum yang

10 Ahamd Rustandi, Ibrahim Bachtiar, Pengantar..., hal. 32

11Suparman Usman, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum

Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 32

Page 7: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{7

memuat petunjuk-petunjuk global dan kedudukan ijtihād sebagai

fungsi pengembangannya, memungkinkan hukum Islam memiliki

sifat elastis dan akomodatif. Karakteristik hukum Islam yang

bersendikan wahyu dan bersandarkan akal, menurut Anderson,

merupakan ciri khas yang membedakan hukum Islam dari sistem

hukum lainnya. 12

Sedangkan kata dalil menurut bahasa Arab berarti sesuatu yang

menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap secara indrawi atau ditangkap

secara ma’nawi, atau petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat hissi

(indrawi) maupun maknawi (non indrawi). Secara etimologi juga, dalil

bermakna petunjuk, menunjukkan, atau memberi tahu jalan, dan buku

petunjuk. Menurut syara’, dalil ialah sesuatu yang bila diteliti dan dikaji

dengan sesama akan dapat menyampaikan peneliti kepada pengetahuan dan

ilmu yang meyakinkan, seperti ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

Saw.13

Para ulama ushul mengartikan kata dalil dengan “sesuatu yang

dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Abu Ishak Ibrahim

Ali Ibn Yusuf dalam kitab Al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan dalil ialah: al-mursyad ila al-mathlub

(petunjuk kepada yang diminta). 14 Sementara itu Abdul Wahab

Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan

dalil ialah:

12 Anderson, Islamic Law in the Muslim World, (New York: New York University

Press, 1956), hal. 2-4. Keterangan yang mencakup tentang hal ini juga dapat dibaca pada

Muhammad Azhari, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 42

13 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta: Erlangga, 1991), hal. 5-6

14 Abu Ishak Ibrahim Ali Ibn Yusuf, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, (Surabaya: Syirkah

Bangkul Indah, tt), hal. 3

Page 8: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

8}

“sesuatu yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”. 15

Adapun menurut istilah ushul, para ulama ushul secara

redaksional berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul

Wahab Khallaf menyebutkan, bahwa menurut istilah yang dimaksud

dengan dalil hukum ialah:

“Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun secara zhani”. 16

Terhadap dalil hukum, memang di kalangan ulama ushul

terdapat beberapa sebutan yang berbeda satu sama lainnya. Abdul

Wahab Khallaf menggunakan beberapa istilah: al-adilah al-syar’iyyah

(dalil-dalil syari’ah), al-adilah al-ahkām (dalil-dalil hukum), ushul al-

ahkām (pokok-pokok hukum), dan mashādir al-tasyri’iyyah li al-ahkām

(sumber-sumber tasyri’ untuk hukum).17 Begitu juga Wahbah Zuhaili

berpendapat bahwa: al-mashādir al-ahkām (sumber-sumber hukum)

adalah dalil-dalil yang dikeluarkan dari hukum syara’.18 Sedangkan al-

Mawardi menyebutnya ushul al-ahkām fi al-syar’ (sumber-sumber

hukum dalam syara’), yang terdiri atas: Kitabullah, Sunnah Rasul, ijma‘,

dan Qiyas.19

15 Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, (Kairo: al-Maktabah al-

Da’wah al-Islāmiyah, 1984). hal. 20

16 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh,...hal. 20

17 Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li

al-Da’wah al-Islāmiyah, 1972). hal. 20

18 Wahbah Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh, (Damsyiq: Dār al-Kitab, 1977), hal.

35.

19 Al-Mawardi, Abi al-Hasan ‘Ali, al-Ahkām al-Sulthaniyah, (Bayrut: Dār al-Fikr, tt),

hal. 66

Page 9: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{9

Sedangkan manhaj, dari bahasa Arab asal katanya nahaja,

yanhaju, nahjan yang semuanya mempunyai satu makna. Dari segi

bahasa manhaj ialah: “al-thārīq al-bayyinu al-wādhih, wa yuthlaq ‘ala al-

thārīq al-mustaqīm aw al-sunnah”, artinya “Jalan yang jelas, terang dan

dikatakan juga (mengikut) jalan yang lurus atau mengikut sunnah”.20

Sedang menurut istilah, manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-

ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiyah, seperti

kaidah-kaidah bahasa Arab, ushul 'aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir

dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam beserta

pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar.

Menurut Abu Ja’far, manhaj ialah: “Jalan yang terang atau

jelas”.21 Apabila dikatakan tharīq, nahaja memiliki arti “jalan yang

terang” atau bayyan “jelas”. Sedangkan menurut Ibn Kathir

rahmatullah manhaj ialah: “jalan yang terang dan mudah”.22

Manhaj juga dapat difahami menurut sebagaimana yang

dikatakan oleh Ibn Abbas ra. yang diriwayatkan dari Mujahid,

Ekrimah, Hasan al-Basri dan selain mereka: “Berkata Ibnu Abbas

Radiallahu‘anhu bahwa manhaj ialah: Jalan atau sunnah”.23 “Manhaj ialah:

Sunnah Nabi. Atau yang terang dan yang jelas”.24

Manhaj atau minhaj dimaksudkan juga sebagai madzhab (aliran

atau jalan). Walaupun madzhab sering digunakan untuk aliran fiqih

tetapi ia sering juga digunakan atau dimaksudkan dengan maksud

20 Fairus Abadi, Kamus al-Muhit. hal. 209.

21Lihat: Al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Jilid 4, (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, tt), hal. 609.

22Lihat: Tafsir Ibn Kathir 2/26,

23Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, (Riyadh :

Maktabah Darussalam, 1907), hal. 66,

24 Lihat: Al-Tabari..., jilid 6, hal. 609.

Page 10: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

10}

yang sama dengan manhaj. Seperti disebut: “manhaj al-salaf al-soleh atau

madhhab al-salaf al-soleh”.

Dalam bahasa Indonesia, manhaj adalah metode yang berasal

dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Di dalam

bahasa Inggris kata ini ditulis method dan dalam bahasa Arab

diterjemahkan dengan thariqat dan manhaj. Di dalam pemakaian

bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur

dan berpikir baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan

dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan

pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

Pengertian metode adalah salah satu sarana yang amat penting

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini maka

studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode , yakni suatu cara yang

teratur dan berpikir baik untuk mencapai pemahaman yang benar

tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an

yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad.

Sedangkan “metodologi”25 itu sendiri memiliki keterkaitan

istilah dengan “metode”. Di dalam kajian Muhadjir,26 metodologi

diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis sebagai metode yang

terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang

sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan dengan

metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep-konsep dasar

25 Secara bahasa, “metodologi” yang telah diterima menjadi bahasa Indonesia,

diartikan sebagai “uraian tentang metode”. Sedang “metode” diartikan sebagai “cara kerja yang

bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kerja suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang

telah ditentukan”. Baca, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 581.

26 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,

1989), hal. 9-10.

Page 11: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{11

hukum Islam – baik al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma‘– , serta bagaimana

format hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan.

Dari pengertian di atas, maka metode (manhaj) dapat

digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan

pembahasan suatu masalah, pemikiran, maupun penalaran akal, atau

bahkan pekerjaan fisik pun tidak pernah terlepas dari suatu metode.

Dengan demikian sumber (asal), atau isi (materi) hukum

(welbron), atau rujukan dalam menetapkan hukum, menurut

pandangan Islam adalah kehendak atau aturan dari Allah SWT, yang

dijelaskan melalui utusan atau Rasul-Nya (Sunnah). Maka dapat

dipahami bahwa sumber hukum Islam (mashādir al-ahkām) atau

“sumber-sumber materil” sebagaimana dipahami dalam ilmu hukum,

adalah al-Qur’an dan Al-Sunnah saja.27

C. Ijma’ Dalam Hukum Islam

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma'

menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam

meletakkan kaedah dan syarat Ijma'. Namun definisi Ijma' yang paling

mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari

kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau pada masa

tertentu atas suatu perkara agama.

Dengan demikian dari rumusan definisi ijma’ baik secara

etimologi maupun terminologi dari seluruh kalangan ulama, maka

jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan, di mana yang sepakat di

sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa

tertentu sesudah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Di sini ditekankan

27 Suparman Usman, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam..., hal. 34

Page 12: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

12}

“sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, al-Qur’an lah

yang akan menjawab persoalan hukum karena ayat al-Qur'an

kemungkinan masih turun dan Nabi sendiri masih sebagai tempat

bertanya tentang hukum syara', sehingga tidak diperlukan ijma’. Ijma'

itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada

masa itu, hal ini bukan berarti kesepakatan mujtahid semua masa

sampai hari kiamat.

D. Konsep Fungsi Ijma‘ Baru

Seperti yang telah diketahui, bahwa para cendekiawan Islam

(ulama) banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi

konsensus (Ijma‘). Perbedaan pendapat mereka, menurut Umar

Sulaiman al-Asyqar,28 dilandaskan oleh dua hal: Pertama, Penentuan

para personal yang mempunyai validitas untuk ber konsensus

(diterima konsensusnya). Kedua, Penentuan corak permasalahan-

permasalahan yang diterima dalam konsensus. Lebih rinci dapat

dinyatakan, bahwa perselisihan tentang ijma‘ bermuara kepada empat

sikap, satu pendapat mengatakan, bahwa yang dimaksud ijma‘ adalah

kesepakatan para Sahabat Nabi Muhammad Saw. Pendapat lain

menyatakan, bahwa ijma‘ adalah kesepakatan segenap penduduk

Madinah pada masa khulafaurrasyidin. Pendapat ke tiga menyatakan

bahwa ijma‘ adalah kesepakatan para ulama dalam dunia Islam secara

keseluruhan. dan pendapat terakhir memandang bahwa ijma‘ pada

pola ketiga belum pernah terjadi dan mustahil dapat diwujudkan.29

Terlepas dari perdebatan soal terminologinya, ijma‘ disepakati (al-

28 Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun fi Ushul al-Fiqhi, (Yordania:

Dār un-Nafais, tt), hal. 12

29 Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, terj, (Yogyakarta: LKIS

Yogyakarta, 2004), hal. 42

Page 13: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{13

Muttafaq Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan

Hadits.

Pada periode modern, pemikir-pemikir muslim

mengembangkan konsep ijma‘ dengan berbagai kemungkinan baru

yang selaras dengan kondisi modern. Fazlur Rahman misalnya, ia

mengakui otoritas ijma‘ sebagai hujah (dasar) hukum Islam (Seperti

halnya mayoritas ahli ushul fiqh), namun menurut Rahman otoritas

tersebut bersumber dari kesepakatan atau konsensus bersama itu

sendiri, sehingga bilamana konsensus tersebut sudah tidak diakui lagi

oleh mereka, hilanglah otoritas hujahnya. Selain itu konsep otoritas

ijma‘ Rahman membuka kesempatan timbulnya ijma‘-ijma‘ yang telah

ada lebih dulu.30 Sementara mayoritas ahli ushul fiqh berpendapat

bahwa hujah ijma‘ sebagai dasar hukum bersumber dari dalil syar’i

sehingga ia harus diikuti dan haram berselisih dengannya.31

Pandangan singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma‘ bisa

memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan

mayoritas (majority rule). Oleh sebab itu dari konsep ijma‘ yang

disajikan oleh beberapa ulama klasik maupun kontemporer, di

antaranya terdapat keterkaitan yang saling mendukung terhadap

fungsi ijma‘ itu sendiri.

Sementara itu konsep ijma‘ di kalangan yang telah dinyatakan

jumhur ulama seperti telah disebutkan sebelumnya secara tegas

menyatakan bahwa ijma‘ harus dilakukan oleh seluruh mujtahid di

30 Rahman, Implementation of the Islamic Concep of State, hal. 501

31 Ia menjelaskan bahwa hukum ijma’ harus diikuti dan haram berselisih dengannya,

dan ia juga menegaskan bahwa mayoritas Muslim bersepakat bahwa ijma’ didasarkan pada

dalil-dalil sam’iyat (al-Qur'an dan al-Sunnah). lihat al-Ghazali, Al-Mustashfa fi‘Ilmi al-Ushul,

Jilid I, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), hal. 223; al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-

Ahkam, Jilid 4, (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hal. 50.

Page 14: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

14}

kalangan umat Muhammad Saw. Bila ijma‘ seperti konsep tersebut

tetap harus dijalankan, tampaknya sangat sulit fungsi ijma‘ menjadi

aplikatif untuk dilakukan, apalagi melihat kondisi dewasa ini umat

Islam telah bertebaran di seluruh dunia dan para mujtahid pun sudah

ada di mana-mana. Kesulitan ini bukan karena letak para mujtahid

yang berjauhan, namun dikarenakan faktor-faktor yang

mempengaruhi pemikiran mujtahid tersebut berbeda-beda, sehingga

akan kesulitan menyatukan pendapat.

Dengan demikian, Amir Syarifuddin menyatakan bahwa ijma‘

dengan definisi Syāfi‘īyah kemungkinan tidak dapat terjadi karena

melihat dari segi sulitnya mencapai kata sepakat di antara sekian

banyak ulama mujtahid.32 Sedangkan jika hanya mengumpulkan

mujtahid dari seluruh dunia dalam satu majelis, di era teknologi

informasi komunikasi, dan teknologi transportasi ini, sangat

dimungkinkan terjadi.33

Mengacu pada pendapat ini, dapat dipahami bahwa untuk

mencapai ijma‘ sangat sulit. Kesulitan ini terjadi bukan karena susah

mengumpulkan mujtahidnya, tetapi sulit untuk mencapai kata sepakat.

Dalam kasus di Indonesia saja, misalnya tentang status hukum rokok,

tidak mencapai kata sepakat di kalangan ulama, apalagi persoalan

yang bersifat mendunia dan melibatkan seluruh ulama mujtahid dari

berbagai penjuru dunia. Hal ini sangat logis, karena perspektif ulama

modern dalam menggali hukum sangat beragam. Dalam kasus rokok

tadi, antara ulama yang mengedepankan kesehatan (hifd an-nafs),

32 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta: Logos , 2005), hal. 128

33 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh..., hal. 128

Page 15: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{15

dengan ulama yang mengedepankan kebutuhan ekonomi (hifd al-mal)

mungkin berbeda pendapat.

Penulis melihat kondisi seperti yang dipaparkan di atas, ijma‘

di kalangan ahl al-hall wa al-aqd menjadi urgen. Karena itu posisi ahl al-

hall wa al-aqd menjadi sangat urgen dan diperlukan. Urgensi ahl al-hall

wa al-aqd, karena mereka berdiri di garda terdepan yang lebih

mengetahui secara praktis persoalan umat. Di samping mereka

berperan sebagai ulama, mereka sudah terbiasa mengurus umat.

Karena itu mereka lebih mengetahui persoalan umat secara mendetail.

Pengetahuan yang mendetail tentang suatu persoalan inilah yang

sangat dibutuhkan dalam proses penetapan hukum.

Dalam era modern ini spesifikasi keilmuan sangat dihargai.

Karena itu setiap persoalan umat yang muncul dan membutuhkan

legalisasi hukum, diperlukan orang yang memiliki keahlian di

bidangnya. Setiap mujtahid di samping memenuhi persyaratan di

bidang kemampuan agama, perlu juga memiliki pengetahuan pada

bidang yang diijtihadkan. Implikasinya bagi mujtahid yang tidak

terbiasa mengurus persoalan umat dan tidak memiliki kompetensi

pada bidang yang diijtihadkan, tidak akan dapat memberikan

keputusan hukum yang tepat.34

Bila mengacu pada batasan ijma‘ yang diberikan ulama,

ditemukan bahwa ulama ushul fiqh sangat bervariasi dalam

memberikan batasan terhadap ijma‘.35 Dari pendapat-pendapat

34 Muhammad Hasan, Hukum Menurut..., hal. 77

35 Menurut al-Syaukani dalam Irsyādu al-Fuhul...,hal. 71. Ijma' adalah kesepakatan

(konsensus) para mujtahid (dari kalangan) umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat,

pada suatu masa atas hukum suatu masalahal. Menurut al-Ghazali ijma’ adalah kesepakatan

umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama (Habieb, tt, hal. Xxxiii). Muhammad

Abu Zahrahh menyatakan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku

Page 16: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

16}

tersebut dapat dipahami bahwa ulama berbeda-beda dalam

membatasi ijma‘. Pembatasan tersebut dapat dilihat dari segi pelaku

ijma‘, kuantitas pelaku ijma‘, dan keberlakuan ijma‘.

E. Elektabilitas Posisi Ijma‘ dalam Sistematika Ushul Fiqh

Dari perbedaan-perbedaan tersebut di atas, baik perbedaan

dari segi pelaku ijma‘, kuantitas pelaku ijma‘, dan perbedaan

keberlakuan ijma‘ memberikan pemahaman kepada penulis bahwa

ijma‘ terkadang merupakan manhaj ijtihad dan terkadang pula

merupakan mashādir al-ahkām (sumber hukum) atau al-adilatul al-ahkām

(dalil hukum). Ijma‘ sebagai mashādir al-ahkām tergambar dari batasan

ulama yang hanya memberikan peluang terjadinya ijma‘ pada masa

Sahabat dan menganggap tidak mungkin terjadi ijma‘ pasca Sahabat.

Jadi ijma‘ dalam konteks ini sebagai produk hukum yang dapat

dipedomani.

Ijma‘ sebagai mashādir al-ahkām, misalnya tergambar dari

pendapat M. Zein.36 Beliau mengemukakan contoh ijma‘ tentang

keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Ijma‘ yang

demikian menurut M. Zein disandarkan kepada firman Allah, yang

artinya:

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;37 saudara-saudaramu yang perempuan,

kesepakatan yang dapat dianggap sebagai ijma’ yang mengikat umat Islam. Menurut Mazhab

Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’ mesekipun hanya merupakan kesepakatan penduduk

Madinah yang dikenal dengan ijma’ ahlu al-Madinah. Menurut kalangan Syi’ah, ijma’ adalah

kesepakatan para imam di kalangan mereka. Sedangakan menurut Jumhur Ulama, ijma’ sudah

dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid, dan menurut Abdul

Karim Zaidan, ijma’ baru diaanggap terjadi bilamana merupakan kesepakatan seluruh ulama

mujtahid. Lihat Satria Efendi, M. Zein, Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,

2005) hal. 125

36 Satria Efendi, M. Zein, Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh..., hal. 127

37 Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud

dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah,

Page 17: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{17

saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa : 23).

Ijma‘ seperti di atas, merupakan produk hukum warisan ulama

klasik dan dipedomani sampai saat ini. Karena itu konsep ijma‘ seperti

ini relatif stagnant. Dengan konsep ijma‘ seperti ini, maka tidak akan

lahir hukum-hukum baru melalui ijma‘. Persoalan-persoalan baru

yang memerlukan jawaban hukum tidak akan dapat diselesaikan

melalui ijma‘, karena ijma‘ hanya terjadi di awal pertumbuhan Islam

saja. Lalu bagaimana dengan problem umat masa kini, apakah hanya

akan dibiarkan begitu saja, cukup dijawab secara fardiyah, atau

merujuk pada ulama klasik saja.

Ulama klasik, di samping meninggalkan warisan berupa

produk hukum, juga meninggalkan warisan berupa metodologi ijtihad.

Ini berarti, jika hukum yang dilahirkan oleh ulama klasik tidak

mampu menjawab persoalan yang baru muncul, maka perlu meminta

metode ijtihadnya untuk menjawab persoalan tersebut. Konsep seperti

ini telah dilakukan oleh ulama dari masa ke masa, sejak dari masa

Sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in sampai abad pertengahan. Tetapi kenapa

ijma‘ sebagai metode ijtihad seolah-olah stagnant, bukankah ijma‘ juga

demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang

dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam

pemeliharaannya. Lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya..., hal. 105

Page 18: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

18}

merupakan salah satu metode untuk melahirkan hukum yang

memiliki kekuatan yang qat’i.

F. Penutup

Pemahaman ijma‘ sebagai mashādir al-ahkām (sumber hukum)

atau al-adilatul al-ahkām (dalil hukum) yang selama ini dipahami

merupakan gambaran dari batasan ulama klasik yang hanya

memberikan peluang terjadinya ijma‘ pada masa Sahabat dan

menganggap tidak mungkin terjadi ijma‘ pasca Sahabat.

Ulama klasik, di samping meninggalkan warisan berupa

produk hukum, juga meninggalkan warisan berupa metodologi ijtihad.

Ini berarti, jika hukum yang dilahirkan oleh ulama klasik tidak

mampu menjawab persoalan yang baru muncul, maka perlu meminta

metode ijtihadnya untuk menjawab persoalan tersebut. Dengan

demikian konteks ijma‘ dalam kajian ini lebih dikategorikan ijma‘

sebagai manhaj (metode) dalam pengambilan (istinbath) sebuah

hukum.

Oleh karena itu ijma‘ sebagai manhaj dapat terjadi kapan saja

sesuai dengan problem dan kebutuhan hukum yang muncul. Ijma‘

sebagai manhaj merupakan langkah progresif sebagai mekanisme

pengambilan keputusan hukum. Ijma‘ sebagai manhaj juga menjadi

pintu masuk untuk menjawab pelbagai persoalan keumatan yang

semakin rumit, terutama masalah-masalah aktual yang belum

tersentuh oleh teks-teks keagamaan.

Saran

Penelitian tentang ijma‘ umumnya berangkat dari perspektif

yang oposisional antar madzhab, dan masih sedikit penelitian dengan

perspektif yang lebih dialektis sehingga mampu menangkap

Page 19: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{19

artikulasinya yang baru dan berubah terus menerus. Hasil penelitian

ini diharapkan menjadi rekomendasi bagi pengkaji hukum Islam,

ulama, pemikir Islam, generasi muda, mahasiswa, masyarakat, dan

lain sebagainya untuk memahami persoalan hukum Islam dengan

baik, dan meneliti dalam perspektif yang masih minor tersebut.

Page 20: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

20}

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010

Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. VIII, Kairo: al-Maktabah al-Da’wah al-Islāmiyah, 1984

Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li al-Da’wah al-Islāmiyah, 1972

Abu Ishak Ibrahim Ali Ibn Yusuf, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, Surabaya: Syirkah Bangkul Indah, tt

Ahmad Rustandi, Ibrahim Bachtiar, Pengantar Teori Hukum, Bandung: Multi Karya Ilmu, 1983

Al-Mawardi, Abi al-Hasan ‘Ali, al-Ahkām al-Sulthaniyah, Bayrut: Dār al-Fikr, tt

Al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Jilid 4, Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos , 2005

Anderson, Islamic Law in the Muslim World, New York: New York University Press, 1956.

Damanhuri, D. (2014). Penelusuran Akar Hadits. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 97-118.

Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Second Edition, London: Oxford University Press

Hermawan, S. (2014). Hukum Islam dan Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyyah. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 81-96.

Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Riyadh : Maktabah Darussalam, 1907

L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradinya Paramita, 1978

Madung, O. G. (2014). Paradigma Holisme Hegelian dan Kritik Atas Liberalisme. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 45-60.

Meriza, I. (2014). Peran Kerabat dalam Pendidikan Akhlak Anak. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(1), 106-116.

Page 21: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Ijma’: Antara Sumber, Dalil dan Manhaj dalam Sistematika Kajian Ushul Fiqh

{21

Merrikhi, P. (2014). The Effect of Knowing the Main Idea of a Text on Answering Multiple-Choice Questions Which Look for the Details of the Text. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 51-66.

Muhammad Azhari, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, terj, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2004

Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh al-Islami, Jilid I, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1979

Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Jakarta: Erlangga, 1991

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989

Nuruzzahri, N. (2014). Pengajaran Ideal dalam Pendidikan Islam. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(1), 47-60.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976

Rahman, Implementation of the Islamic Concep of State

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2009

Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun fi Ushul al-Fiqhi, Yordania: Dār un-Nafais, tt

Suparman Usman, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002

Tabrani ZA. (2013a). Modernisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan). Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84.

Tabrani ZA. (2014a). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Darussalam Publishing.

Tabrani ZA. (2014b). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Serambi Tarbawi, 2(1), 19–34.

Tabrani ZA. (2014c). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 211–234.

Page 22: IJMA’: ANTARA SUMBER, DALIL DAN MANHAJ DALAM …

Vol. 3, No. 1, Januari 2015

22}

Tsai, K. (2014). A Journey to the Qualitative Wonderland: Lessons Learned for Novice Researchers. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 39-50.

Wahbah Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh, Damsyiq: Dār al-Kitab, 1977