serial manhaj haraki syari'at beramal jama'i
DESCRIPTION
”Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan yang mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung “TRANSCRIPT
al-ikhwan.net
Serial Manhaj Haraki
SYARI’ATSYARI’ATSYARI’ATSYARI’AT BERAMAL JAMA’IBERAMAL JAMA’IBERAMAL JAMA’IBERAMAL JAMA’I
DR. ISHAM BASYIR
ABU ZAKI AL KALIMANTANY
al-ikhwan.net
DAFTAR ISI
Syari’at Beramal Jama’i
o Dalil Al-Qur’an
o Dalil Sunnah
o Atsar Salaf
o Perkataan Ulama
o Kaidah-Kaidah Syari’ah
o Konsekwensi Realitas Kehidupan
o Sunnah Pergulatan
o Sunnah Kehidupan Sosial
Makna dan Kandungan Al-Jama’ah Islamiyah atau Jama’atul
Muslimin
Catatan kaki
””””Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan yang Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan yang Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan yang Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan yang mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan yang makruf mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan yang makruf mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan yang makruf mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan yang makruf
dan mencegah yang mungkar, dan mereka itdan mencegah yang mungkar, dan mereka itdan mencegah yang mungkar, dan mereka itdan mencegah yang mungkar, dan mereka itulah orangulah orangulah orangulah orang----orang yang beruntung orang yang beruntung orang yang beruntung orang yang beruntung ““““
Maraji’: Adhwa ‘Alal Ushul Isyriin (Dr. Isham Basyir), penterjemah: Abu Zaki Al
Kalimantany
al-ikhwan.net
SYARI’AT BERAMAL JAMA’I
DALIL AL-QUR’AN
Beramal jama’i merupakan jihad yang telah disyari’atkan dan konsekuensi logis
kebutuhan operasional. Landasan pensyariatannya telah ditetapkan berdasarkan nas-nas
wahyu, kaidah-kaidah fikih, Atsar para ulama salaf, konsekuensi realitas kehidupan,
sunnah pergulatan, dan sunnah kehidupan sosial.
Cukup banyak landasan wahyu yang menyerukan amal jama’i baik dalam Alquran
maupun As sunnah dengan menggunakan Dhamir Jama’ (kata ganti plular) yang disertai
dengan tekanan melakukan amal kebajikan dan membela kebenaran. diantara bentuk
ungkapan seruan itu adalah:
1. Seruan yang menunjukan kewajiban
Firman Allah SWT: ” Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan yang mengajak
kepada kebaikan dan memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung“[1]. Yakni segolongan yang melakukan amar
makruf dan nahi mungkar, dan bukan segolongan ummat yang terpisah-pisah dan tercerai
berai. Ibnu Jarir Atthabari berkata:
(Kata ummat berarti segolongan yang berhimpun dalam satu agama, kemudian mengalami
penyempitan makna, kata ummat berarti agama itu sendiri, sebagaimana firman Allah swt:
” Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kalian ummat yang satu“[2].
Yakni pemeluk agama satu[3]. Jadi ummat adalah sekelompok orang yang berhimpun
dalam sebuah karakter, tujuan, dasar dan kaidah yang membatasinya. Rasyid Ridho
berkata dalam tafsirnya Al Manar: ” Kata Ummat lebih khusus dari kata jamaah, ummat
berarti golongan yang menghimpun individu-individu yang memiliki ikatan dan kesatuan,
mereka tak ubahnya seperti anggota tubuh dalam tubuh yang satu“.
Huruf “Min” dalam kata ” Minkum” berfungsi menjelaskan jenis, maka amar makruf nahi
munkar merupakan kewajiban setiap individu ummat tanpa kecuali.
2. Berjamaah mengundang rahmat Allah.
Firman Allah: Dan jika Tuhanmu menghendaki niscaya Dia menjadikan menusia ummat
yang satu akan tetapi mereka selalu berselisih. Kecuali orang yang dirahmati Tuhanmu,
dan demikianlah Dia menciptakan mereka…”[4]. Qatadah berkata: “Rahmat Allah akan
tercurah kepada mereka yang berjamaah, walaupun tubuh dan daerah mereka
berpencar“[5]. Thawus dan Ibnu Abbas memberikan komentar tentang firman Allah: ”
Dan karena itulah Dia (Allah) menciptakan mereka“. Yakni karena rahmat dan kasih
sayang, Dia menciptakan mereka dan menjadikan berjamaah, demikian pula yang
dikatakan Mujahid Ad Dhahaq dan Qatadah[6] dengan berargumentasi firman Allah: ”
al-ikhwan.net
Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan agar mereka menyembah-
Ku“[7]. Imam Ali bin Abil ‘Iz Al Hanafi, pensyarah At Thahawiyah 5berkata: ”
Demikianlah Allah mengecualikan para ahli rahmat dan kasih sayang Allah dari
perpecahan“[8].
3. Berjamaah akan menjaga dari kesesatan
Firman Allah: ” Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah
kalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian tatkala kalian bermusuh-
musuhan maka Dia satukan hati-hati diantara kalian hingga jadilah kalian bersaudara
dengan nikmat-Nya dan kalian berada ditepi jurang api neraka lalu Dia menyelamatkan
kalian darinya, demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayat-Nya agar kalian
mendapatkan petunjuk“[9].
Ibnu Katsir berkata dalam firman-Nya: ” Dan Janganlah kalian berpecah belah”, Dia
memerintahkan berjamaah dan melarang berpecah belah… kemudian berkata: ayat ini
mengandung jaminan pemeliharaan dari kesalahan saat mereka bersepakat dari
kesalahan sebagaimana yang digambarkan dalam beberapa hadits yang beragam“[10].
Seperti yang dituturkan Al Hafidz Ibnu Abil ‘Ashim dalam kitabnya as Sunnah
diantaranya hadist: ” Sesungguhnya Allah menjamin Ummatku bersepakat dalam
kesesatan“[11]. Dalam riwayat Ibnu Mas’ud: ” Tetaplah kalian berjamaah, karena
sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun ummat Muhammad saw dalam
kesesatan“[12] dan ini meruapakan karakteristik khusus ummat ini sebagai sebuah
kehormatan, kemulyaan dan ketinggian derajatnya. Imam Syafi’i telah mengambil sebuah
argumentasi dari firman Allah: ” Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah
jelasnya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman maka kami akan
lemparkan apa yang dipalingkan dan Kami akan masukkannya ke dalam Jahannam dan
seburuk-buruk tempat kembali“[13]. Bahwasanya Ijma’ adalah hujjah yang haram
mengingkarinya dan menjadi nyata berpegang teguh dengannya. Dan tidak diragukan lagi,
baik Ijma, Ijtima (berkumpul) dan jamaah memiliki sebuah keterikatan satu sama yang
lain.
4. Berjamaah adalah warisan para rasul dan Nabi serta manhaj mereka dalam
menyampaikan.
Firman Allah: ” Dan tidaklah setiap nabi berjuang kecuali bersama segolongan yang
banyak, maka tidaklah mereka gelisah terhadap apa yang menimpa mereka…” Ibnul
Qoyyim berkata: ” Arribbiyun yakni Golongan dan kelompok dengan kesepakatan para
mufassir. Dikatakan ia berasal dari kata Ar Ribah dengan dibaca kasrah yakni Jamaah. Al
Jauhari berkata: ” Ar Ribbiyyu bentuk tunggal dari Ar Ribbiyyun mereka adalah beribu-
ribu manusia“[14].
Firman Allah: ” Katakanlah inilah jalanku yang aku menyeru kepada Allah diatas bshirah
aku dan orang-orang yang mengkutiku…” Ibnul Qoyyim berkata: ” al Farra’ berkata: ”
al-ikhwan.net
Aku dan orang-orang yang mengikutiku yang menyeru kepada Allah sebagaimana yang
aku seru“. Sebagaimana pula yang dikatakan Al Kalbi.
Dan demikianlah manhaj dan metode Rasulullah saw dalam membangun pondasi awal
pemerintahan Islam, beliau menfokuskan pada pembinaan kelompok generasi yang akan
memperkuat, membntu dan membela perjuangannya, berliau selalu menawarkan kepada
khalayak menusia pada musim-musim haji seraya berkata: ” Adakah seseorang yang
hendak membawaku kepada kaumnya untuk menyampaikan tugas Tuhanku, sebab kaum
Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan tugas Tuhanku…”. Beliau tidak henti-
hentinya menawarkannya hingga Allah mempertemukannya dengan sekelompok orang
dari suku Aus dan Khazraj yang membawanya ke kota Madinah, memperjuangkan dengan
segenap tenaga dan kemampuan demi membela dakwahnya. Mengikuti dan menteladani
manhaj dakwah rasul hukumnya wajib sebagaimana dalam kewajiban syar’I yang lain: ”
dan ikutilah dia agar kalian mendapatkan petunjuk“[15]. Diantara gambaran yang indah
yang pernah tergores dalam manhaj para nabi keteladanan argumentasi nabi Harun kepada
saudaranya nabi Musa: ” Aku khawatir engkau mengatakan engkau telah memecah belah
bani Israel dan tidak mengindahkan perkataanku“[16].
5. Seruan bersatu dan tolong menolong dalam kebaikan.
Firman Allah: ” Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa“[17]. Dan
jamaah adalah bukti yang paling jelas berhimpunnya nilai-nilai kebaikan, tanda semburat
sinar keimanan serta ungkapan yang paling tepat akan keunggulan dan keistimewaan
ummat. Sebab, adakah sebuah kebaikan yang lebih harus kita saling tolong-menolong
dibanding melaksanakan perintah dan syariat-Nya, merealisasikan kepemimpinan agama-
Nya, agar hanya kalimat Allah yang berjaya.
6. Mendatangkan pertolongan, kemenangan dan bantuan Allah
Firman Allah: ” Dan janganlah kalian berselisih, maka kalian akan gagal dan akan
lenyap kekuatan kalian“[18].
Dalam firman Allah yang lain: ” Jika kalian menolong Allah, maka Dia akan menolong
kalian dan menetapkan telapak-telapak kaki kalian“[19]. Menolong Allah dengan
mentaati-Nya, membenarkan firman-firman-Nya serta menjauhi larangan-larangan Nya.
Dan diantara perintah-Nya adalah kewajiban bersatu dalam kalimat-Nya, berhimpun
dalam jamaah dan komitmen terhadapnya, sebab bersatu adalah rahmat sedang cerai berai
adalah azab, sebagaimana atsar marfu’ yang datang dari Ibnu Abbas, ia berkata: ” Tangan
Allah bersama jamaah“[20].
7. Dalam jamaah terdapat keselamatan dan indahnya akibat
Firman Allah: ” Maka Kami selamatkan orang-orang yang mencegah dari keburukan dan
Kami siksa orang-orang yang dhalim dengan siksaan yang hina karena kefasikan yang
mereka lakukan“[21].
al-ikhwan.net
Dalam sebuah atsar dikatakan: ” Barang siapa menghendaki taman-taman surga maka
hendaklah tetap berjamaah“[22].
8. Perintah komitmen berjamaah, ancaman berpecah belah dan akibat percerai
beraian
Firman Allah: ” Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya
serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukannya. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada pada golongan mereka“[23]. Dalam firman Allah yang lain: ” Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan
yang jelas“[24]. Ini adalah peringatan bagi ummat ini akan penyakit berpecah belah yang
telah menimpa ummat sebelum kita yang disebabkan hawa nafsu keserakahan dan
penyakit-penyakit syubhat yang menyesatkan setelah datangnya ilmu, petunjuk dan agama
kebenaran.
9. Predikat Keungggulan Ummat dan Saksi teladan atas sekalian manusia terkait
erat dengan adanya jamaah
Keunggulan ummat ini terkait dengan sebab-sebabnya.
Firman Allah: ” Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah“[25].
Menjadi saksi atas sekalian manusia merupakan kedudukan yang tinggi lagi mulia yang
tidak akan datang hanya dengan lamunan dan khayalan.
Imam Bukhari dalam kitab shahihnya[26] bab: ” Dan demikianlah kami jadikanlah kamu
(ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia“. Dan perintah Rasulullah saw: ” komitmen terhadap jamaah sebab merekalah
pemilik ilmu” yang disandarkan kepada Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah saw
bersabda: ” Kelak di hari kiamat Nabi Nuh dihadapkan lalu ditanya: Sudahkah engkau
menyampaikannya ? maka beliau menjawab: ” Ya, wahai Tuhanku. Lalu ummatnya
ditanya: ” Benarkah telah menyampaikan kepada kalian”, kemudian mereka menjawab: ”
Tak seorangpun pemberi peringatan datang kepada kami”. Allah lalu bertanya kembali
kepada Nabi Nuh: ” siapakah saksi-saksimu?”, Nabi Nuh menjawab: ” Muhammad dan
Ummatnya, lalu kalian didatangkan dan memberikan persaksian”, kemudian Rasulullah
membacakan ayat: ” Dan demikianlah kami jadikanlah kamu (ummat Islam), ummat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia“. Al Hafidz Ibnu
Hajar berkata: ” Para ulama Ushul menjadikan ayat diatas sebagai dasar kehujjahan
Ijma’, sebab mereka mendapat legitimasi “wasathan” yakni orang-orang yang adil yang
berarti jaminan pemeliharaan dari kesalahan terhadap apa yang telah mereka sepakati
baik dalam perkataan maupun perbuatan“[27].
al-ikhwan.net
10. Kewajiban loyalitas terhadap jamaah kaum mukminin
Firman Allah: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi
sebagian yang lain, jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan
yang besar“[28]. Yakni apabila sebagian diantara kalian tidak menjadi pelindung sebagian
yang lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir, maka pastilah akan terjadi fitnah
- yaitu kesyirikan- dan kehancuran karena mereka menang sedang kalian hina, mereka
bersatu sedang kalian berpecah belah. Dan disinilah rahasia seruan Allah dalam firman-
Nya: ” Dan bersabarlah kamu bersam-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya dipagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua
matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasaan kehidupan dunia
ini…”[29].
11. Sebagian Tanggung jawab dan amanah hanya akan terlaksana dengan jamaah
Seperti Ilmu, proses tarbiyah (pendidikan), jihad melawan musuh dan berjuang
menegakkan agama.
Firman Allah swt: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama
itu semata-mata untuk Allah“[30].
Firman Allah swt: ” Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun
merasa bera, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah“[31].
Hanya dengan berjamah kemuliaan ummat akan terjaga, syiar-syiar suci akan murni dan
kekuatan musuh akan tumbang. Dalil argumentasi diatas adalah isyarat kuat wajibnya
berjamaah dan dorongan berpegang teguh diatasnya, ia hanyalah setetes dari samudera
sumber argumentasi yang jauh lebih banyak jika dihitung dan bukti kuat yang jauh lebih
terang dibanding sinar mentari di siang hari, dan cukuplah ia sebagai bukti dan hujjah
keharusan kita berjamaah.
DALIL SUNNAH
Di antara beberapa dalil sunnah wajibnya komitmen berjamaah adalah:
1. Hadits Marfu’ diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Allah meridhai kalian
tiga perkara, engkau menyembah-Nya dan tidak mempersekutukannya dengan
sesuatupun, berpegang teguh dengan semua tali Allah dan tidak berpecah belah dan
engkau memberikan nasihat kepada orang yang Allah kuasakan memimpin urusan
kalian” [32] .
al-ikhwan.net
2. Hadits Marfu’ riwayat Zaid bin Tsabit: “Tiga perkara yang tidak akan membuat tumpul
hati seorang muslim: Ikhlas dalam beramal kepada Allah, memberikan nasehat kepada
para pemimpin, dan komiten dengan jamaah kaum muslimin sebab seruan mereka selalu
akan membentengi mereka” [33] .
3. Hadits Hudzaifah: “agar engkau komitmen terhadap jamaah kaum muslimin dan
pemimpin mereka” [34] .
4. Hadits Marfu’ riwayat Al Harits bin Al Harits Al ‘Asy’ary: “Dan aku memerintahkan
kalian lima perkara yang Allah perintahkan kepadaku: Selalu mendengar dan taat,
berjihad, hijrah dan berjamaah, sebab barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah
sejengkal tanah maka sungguh ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya” [35] .
5. Hadits Marfu’ riwayat Ibnu Abbas: “Tangan Allah selalu menyertai jamaah” [36] .
6. Hadits tentang perpecahan ummat: “Dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuan puluh dua golongan masuk ke dalam neraka
dan satu golongan masuk ke dalam surga yaitu Al Jamaah” [37] .
7. Hadits Mu’adz bin Jabal: “Sesungguhnya syaitan adalah serigalanya manusia
sebagaimana serigala bagi kambing yang akan selalu mengincar kambing yang terlepas.
Sebab itu, jauhilah oleh kalian berpecah belah dan tetaplah kalian dalam jamaah dan
golongan umum/mayoritas” [38] .
Dan banyak lagi nas-nas hadits yang tidak mungkin disebutkan dan dijelaskan, sebab
maksud dan tujuannya bukan memperinci akan tetapi memberikan isyarat untuk
mengembalikan berbagai persoalan kepada landasan syar’i berdasarkan manhaj para
salafus shaleh. Dan betapa indahnya sebuah ungkapan penyair:
“Cukuplah isyarat sandi bagi orang yang berakal.
Sedang selainnya diseru dengan panggilan yang keras”.
ATSAR-ATSAR SALAF
1. Ahmad bin Jabir bin Samurah mentakhrij (mengeluarkan) bahwasanya Umar bin
Khattab berkata dalam khutbahnya yang terkenal di Jabiyah: “Tetaplah kalian dalam
berjamaah, Dan jauhilah berpecah belah, sebab syaitan selalu menyertai orang yang
menyendiri dan terhadap dua orang ia akan lebih menjauh dan barang siapa yang
menghendaki pertamanan surga maka hendaklah tetap dalam jamaah” [39] .
2. Dari Ali bin Abi Thalib berkata: “Putuskanlah sebagaimana kalian memutuskan sebab
aku membenci perselisihan hingga sekalian manusia tetap berjamaah atau aku mati
sebagaimana para sahabatmu mati” [40] .
al-ikhwan.net
3. Diriwayatkan Muhammad bin sirin dari Abi Mas’ud Al Anshari bahwasanya ia
mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya saat terbunuhnya sahabat Utsman:
“Tetaplah kalian dalam jamaah, sebab Allah tidak akan menghimpun ummat Muhammad
dalam kesesatan” [41] . Qatadah berkata: “Pemilik rahmat Allah adalah orang yang
berjamaah walaupun tempat dan jasad mereka berpisah” [42].
4. Dalam fikih ‘amali (aplikasi) para salaf, sebagaimana yang disampaikan ibnu Al Jauzi
dari Abi Al Wafa’ bin ‘Aqil Al Hambali berkata: “aku melihat pada masaku Abu Bakar Al
Aqfali pada masa pemerintahan Al Qaim apabila ia bangkit untuk mencegah
kemungkaran menyertailah bersamanya para masyaikh (ulama-ulama senior)
bersamanya, mereka tidak makan kecuali dari hasil kerja mereka” [43] .
Demikian pula Hisyam bin Hakim menegakkan amar ma’ruf besarta orang-orang yang
bersamanya [44] .
Dan disebutkan dari Abdurrahman bin Muhammad Al baghdadi bahwa: “Ia memiliki
pengikut dan sahabat-sahabat dalam menegakkan yang makruf dan mencegah
kemungkaran” [45] .
PERKATAAN ULAMA
Di antara perkataan para Ulama:
Ungkapan Imam Syafi’i: “Barang siapa yang mengatakan dengan ungkapan jamaah
kaum muslimin, maka sungguh ia telah komitmen terhadap jamaah mereka. Dan barang
siapa yang menyalahi perkataan jamaah kaum muslimin maka sungguh ia telah
mengingkari jamaah yang diperintahkan komitmen terhadapnya. Dan sesungguhnya
kelalaian terdapat dalam perpecahan, adapun jamaah maka tidak akan mungkin lalai
secara keseluruhan tentang makna Kitab, Sunnah dan Qiyas insya Allah” [46] .
Terkait dengan landasan syar’i beramal jama’i Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun lafadz
Za’im (penjamin) sebagaimana kata kafil, qabiil dan Dhamiin, firman Allah: “Dan
siapayang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku akan menjamin terhadapnya”. Maka barang siapa yang menjamin perkara
sebuah kelompok maka ia dikatakan za’im (penjamin). Apabila ia menjamin perkara
kebaikan maka sungguh perbuatan terpuji, dan apabila perkara keburukan maka
perbuatan yang keji. Adapun kepala hizb (golongan) maka ia adalah pemimpin kelompok
yang berhimpun yakni yang telah menjadi golongan. Apabila mereka berhimpun untuk
menegakkan perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa ditambah atau dikurangi, maka mereka
adalah orang-orang yang beriman, kita harus loyal dan komitmen terhadap apa yang ada
di antara mereka dan membela apa yang akan menghancurkannya… sebab Allah telah
memerintahkan untuk bersatu dan melarang berselisih dan berpecah belah” [47] .
al-ikhwan.net
KAIDAH-KAIDAH SYARIAH
1. Media dan sarana yang menjadi prasyarat utama mencapai sebuah tujuan,
hukumnya adalah wajib sebagaimana kewajibannya tujuan itu, yakni: “Sesuatu yang
tidak akan sempurna sebuah kewajiban melainkan dengannya maka hukumnya adalah
wajib”. Dan seperti diketahui bangkit menegakkan tanggung jawab agama, melaksanakan
hukum dan merealisasikan batasan-batasannya adalah kewajiban pasti yang harus diemban
oleh ummat.
Firman Allah: “laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan dari
keduanya”. Firman Allah: “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, cambuklah
setiap keduanya dengan seratus kali cambukan”. Firman Allah: “Diwajibkan atas kalian
Qishash dalam pembunuhan”. “Dan dalam qishash terdapat kehidupan bagi kalian”.
Dan ayat-ayat yang lain yang memiliki karakter beban kewajiban yang tidak akan
mungkin dilakukan oleh individu, akan tetapi merupakan kewajiban pemerintah Islam,
hanyalah dengan upaya bersama, berhimpunnya beragam potensi serta solidnya barisan
kewajiban itu akan mampu direalisasikan.
2. Qiyaas Al Aula
Apabila penegasan berjamaah begitu kuat dalam sebagian nilai-nilai syariat yang sah
pelaksanaannya secara pribadi, maka nilai penegasannya semakin kuat dan bertambah
besar pada hal-hal yang tidak akan terlaksana melainkan dengan upaya bersama seperti
jihad, ilmu, tarbiyah dan menegakkan pemerintahan.
KONSEKWENSI REALITAS KEHIDUPAN
Kita melihat, seseorang amat lemah dalam kesendiriannya dan menjadi kuat bersama
sahabatnya, sedikit dengan sendiri dan banyak bersama rekannya. Maka dari itu,
dikatakan: “Keruhnya sebuah jamaah dan bukan bersihnya diri pribadi”, sebuah usaha
pribadi betapapun dibangun di atas dasar keikhlasan yang tinggi, semangat kesadaran dan
kejujuran dalam beramal, tidak akan mampu bangkit menegakkan beban dan kewajiban
agama untuk meraih tujuan yang diinginkannya, karena lemahnya media dan sarana,
pendeknya jangkauan pandangan, sedikitnya potensi dan daya tahan untuk mengemban
tugas yang agung dan begitu berat. Adapun upaya bersama, maka ia akan selalu
menghimpun berbagai potensi dan beragam kemampuan.
Beramal jama’i adalah media mengikis kerendahan diri dan menampakkan penyakit hati
sehingga dapat diobati dan diperbaiki:
Suatu hari aku melihat tanah liat di dalam kamar mandi, dengan segenggam cinta ia
menghiasi dan menebar aroma.
al-ikhwan.net
Aku berkata misikkah itu ataukah parfum, sungguh kecintaan telah menjadikanku
tertambat.
Tanah liat menjawab sungguh aku hanyalah seonggok pasir, aku berteman dengan mawar
lalu menjadikanku dimuliakan.
Aku bergaul orang-orang mulia dan bertambahlah ilmu, demikianlah siapa yang
bersahabat para ulama akan dimuliakan.
Adalah sebagian ulama salaf berkata: “Sesungguhnya salah seorang di antaranya kami
bertemu dengan saudaranya, maka dengan melihatnya menjadikan berakal beberapa
hari”.
Segolongan kaum salaf pergi ke hadapan seorang yang shaleh untuk melihat kemuliaan
dan petunjuknya, bukan mencari ilmunya. Sebab buah dari ilmu adalah kemuliaan dan
petunjuk, dengan itu hati kembali bersinar, ruh kembali hidup, jiwa kembali bangkit dan
semangat kembali membara, mengalir membentuk energi tekad dan kemauan.
Sebagaimana Nabighah bani Ja’dah berkata:
Kemuliaan dan keagungan kami telah menggapai langit, dan kami berharap akan meraih
yang lebih tinggi dari itu.
Amal jamai penuh dengan semburat nilai dan pelajaran serta bekal pengalaman berharga
guna meretas halangan dan menghalau rintangan. Amal jama’i adalah ladang ragam
keshalehan dan amal kebaikan, ia menyimpan segudang nikmat dan balasan pahala yang
tak terkira, menolong yang membutuhkan, mencari sesuatu yang hilang, menjenguk yang
sakit, melepaskan yang tertimpa kesulitan, memenuhi undangan, menunjukkan jalan yang
sedang kebingungan, mengingatkan yang lupa, mengajarkan kepada yang bodoh,
memberikan petunjuk yang tersesat, menghibur yang tertimpa bencana dan lain-lain
Aku akan berterima kasih kepada Umar, jika ajalku tertambat
Tangan-tangan yang belum terbalas betapapun ia selalu memberi
Seorang pemuda yang kekayaannya tidak menghalangi rekan dan sahabatnya
Tidak pula mengeluh tatkala kaki terpeleset
Ia melihat sarung pedangku pada tempat yang tak tampak
Hingga tampak karena keletihan kedua matanya.
Abu bakar As shiddiq mengungkapkan kepada saudaranya kaum Anshar yang telah
menawarkan segala yang mereka miliki dan berkata: Semoga Allah membalas kebaikan
kalian. Demi Allah, perumpamaan kami dan kalian sebagaimana yang diungkapkan
Thufail Al ghanawi:
Semoga Allah membalas Ja’far atas kami, yang telah menolong kaki-kaki terperosok
dalam kubangan.
Mereka enggan membosankan kami, bahkan ibu kami sendiri jika menjumpai apa yang
kami temui niscaya akan merasa bosan.
al-ikhwan.net
Pemilik harta begitu derma, dan yang lemah ditempatkan ke dalam kamar-kamar yang
dingin dan teduh.
Jamaah adalah media bagi seseorang, yang akan memelihara kehormatan, menjaga darah
dan membela kemuliaannya dari rongrongan musuh:
Jika kekuatan musuh mencengkeram pusat daerah kami, kami bangkit membela jatidiri
dan sebagian gugur dari mereka dan dari kami.
SUNNAH PERGULATAN
Realitas membuktikan bahwa kekuatan musuh berhimpun dalam satu tujuan - betapapun
perbedaan agama dan aliran mereka - yaitu upaya menghancurkan kekuatan Islam, satu
kenyataan yang menuntut kebersamaan para pembela kebenaran bahu membahu
menggalang persatuan untuk menghadang kekuatan dengan kekuatan yang lebih besar dari
padanya “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang dijalannya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
Abu Bakar pernah berpesan kepada Khalid: “Perangi mereka dengan apa yang mereka
memerangimu, pedang dengan pedang, tombak dengan tombak dan panah dengan
panah”, maka sulit akal akan menerima sebuah upaya bersama hanya dilawan dengan
upaya pribadi yang tercerai-berai (jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa
yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan
kerusakan yang besar).
SUNNAH KEHIDUPAN SOSIAL
Berkumpul adalah bentuk ketetapan dalam alam semesta dan dalam kehidupan manusia,
sebagai satu bentuk keragaman, keserasian dan keharmonisan. Setiap kelompok bertemu
dan berhimpun untuk mewujudkan sesuatu yang telah difitrahkan, dan demikian semua
tujuan hidup menjadi sempurna “Yang telah memberikan segala sesuatu ciptaannya lalu
memberinya petunjuk”.
Indah sekali sebuah ungkapan seorang penyair:
Semut membangun sarangnya dengan kokohnya dan lebah membuat rumahnya dalam
kebersamaan.
Burung-burung akan hidup dan berpindah ke habitatnya, binatang-binatang ternak dan
melata akan selalu berada dalam lingkungannya dan ikan hanya akan bertahan hidup
didalam air, dan demikianlah sekalian makhluk yang lain. Demikian halnya manusia, ia
al-ikhwan.net
adalah makhluk sosial yang sangat tergantung dengan kehadiran orang lain untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan kehiudpanya.
Manusia dengan manusia lain dari desa hingga kota, sebagian mereka dengan sebagian
yang lain adalah saling melayani.
“Hanya dengan kebersamaan, tolong-menolong dan bantu membantu kemaslahatan dunia
dan akhirat akan sempurna, demi memperoleh kemanfaatan dan mencegah
kemudharatan. Sebab itu, manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang akan selalu
berhimpun dan saling tergantung satu sama lain, demi mendatangkan manfaat dan
mencegah kemudharatan dan iapun akan mentaati Yang memerintahkan kepada tujuan itu
dan Yang melarang dari kerusakan-kerusakan itu” [48]. Jikalau keberadaan jamaah
adalah sebuah kemestian bagi kemaslahatan hidup dan kehidupan keturunan anak Adam di
dunia, maka tuntutannya jauh lebih besar dalam rangka meraih kesuksesan di Akhirat.
Dan kaum mukminin di hadapan hukum Islam bukanlah individu-individu yang terpisah-
pisah, akan tetapi sebuah komunitas yang satu, maka sudah sewajarnyalah perhimpunan
hati disertai dengan bersatunya gerak dan kontribusi dalam mengemban beban-beban
dakwah kepada Allah.
Karena itu, karakter dasar dalam perintah syariat selalu mengacu pada bentuk
kebersamaan, seperti shalat berjamaah, shalat dua hari raya, Istisqa’ (meminta hujan),
shalat khauf (dalam kondisi ketakutan), Shalat gerhana, shalat Jum’at tidak akan sempurna
kecuali dengan berjamaah, puasa adalah bentuk ibadah bersama-sama, zakat adalah adalah
bentuk solidaritas sosial dan haji merupakan pertemuan besar, jihad, memerintahkan yang
makruf dan mencegah yang mungkar serta menghalau para pelaku kebatilan.
Kesimpulannya bahwa dakwah secara umum tidak akan sempurna kecuali hanya dengan
berjamaah.
al-ikhwan.net
MAKNA DAN KANDUNGAN AL-JAMA’AH ISLAMIYAH ATAU
JAMA’ATUL MUSLIMIN
Betapapun jelasnya dalil naqli dan aqli yang terkait dengan pensyariatan amal jama’i -
bahkan kewajibannya - untuk membangun sebuah kehidupan Islam yang bersih, namun
demikian terjadi sikap ekstrimisme dalam pemahaman dan penerapan yang terlahir dari
dasar-dasar yang benar ini, di antara sikap ekstrimisme itu adalah:
1. Anggapan sebuah institusi dakwah atau jamaah Islamiyah manapun yang berkembang
saat ini, bahwa ialah “Jamaah Islamiyah” yang representatif sebagaimana yang pernah
disebutkan dalam beberapa hadits atau ialah Al Firqah An Najiyah (Kelompok yang
selamat) dan At Thaifah Al Manshurah (Kelompok yang akan dimenangkan) dan tetap
eksis hingga hari kiamat.
2. Siapapun yang memisahkan diri dari jamaah ini diancam mati dalam keadaan jahiliyah
sebab ia telah keluar dari jamaah umat Islam.
3. Analogi jamaah ini dengan jamaah kaum sahabat – semoga Allah meridlai mereka -
4. Pemberian kewenangan kepada pimpinan jamaah ini sebagaimana kewenangan yang
dimiliki amirul mukminin dalam sebuah negara Islam.
Inilah sebagian sikap ekstrimisme yang timbul dari pemahaman kata “Al Jamaah” yang
tercantum dalam beberapa nas hadits. Melihat demikian pentingnya permasalahan ini dan
dampak pengaruhnya yang cukup besar, maka saya ingin menjelaskan permasalahan ini
melalui perkataan para ahli ilmu dan pemahaman Imam Hasan Al Banna sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh para ulama ternama.
Makna Al Jamaah Al Muslimah
Cukup banyak kata “Aljamaah” yang tersebut dalam nash-nash hadits. Rasulullah SAW
telah menjelaskan bahwa Al Firqah An najiyah (Kelompok yang selamat) disaat
berkembangnya kelompok-kelompok yang sesat dan banyaknya perselisihan yang
didorong oleh hawa nafsu adalah Al Jamaah, dan siapapun yang memisahkan diri dari
jamaah ini diancam kematian dalam keadaan jahiliyah, dan ialah jamaah yang harus
mendapatkan loyalitas penuh sebagaimana yang tercantum dalam hadits Hudzaifah Ibnul
Yaman. Lalu siapakah Al Jamaah yang dimaksudkan oleh Pemberi Syari’at yang
bijaksana?
Alangkah baiknya saya sampaikan hadits Al Firqah An Najiyah serta menjelaskannya
dengan lebih rinci
Dari Mu’awiyah bin Abi sufyan: berkata: Pernah suatu ketika Rasulullah SAW berdiri di
tengah-tengah kami lalu bersabda: “Ingatlah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum
kalian dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan
al-ikhwan.net
sesungguhnya golongan ini – dalam satu riwayat “Ummat ini” - akan bepecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua akan masuk dalam neraka dan satu di
dalam surga yaitu Al Jamaah”, dalam satu riwayat: “Yaitu orang yang berada di atas apa
yang aku dan para sahabatku hari ini diatasnya” [49].
Hadits ini adalah di antara hadits kemukjizatan Rasulullah SAW, sebab ia telah
memberitakan tentang rahasia yang akan terjadi, hadits mengandung sejumlah perkara
yang saya jelaskan secara global:
Pertama
Perkataan “Ummatku akan berpecah belah”, yang dimaksudkan dengan ummat di sini
adalah ummatul Ijabah [50] (ummat yang menerima seruan) yaitu ummat ahli kiblat,
sebab kata ummat ketika disandarkan kepada Nabi SAW maka yang dimaksudkan adalah
ummat yang menerima seruan sebagaimana yang diisyaratkan dalam riwayat:
“sesungguhnya kelompok ini” yakni ummatnya Rasulullah SAW [51].
Kedua
Yang dimaksudkan dengan perpecahan ummat adalah perpecahan dalam pokok-pokok
agama dan I’tiqadiyah (keimanan), bukan dalam permasalahan cabang-cabang fikih atau
hukum-hukum terapan, sebab perpecahan dalam pokok-pokok agama inilah yang dicela
dalam agama [52]. Syaikh Abdul Qahir bin Thahir At Tamimi menjelaskan saat
mensyarahkan hadits ini: “Para ahli ilmu sungguh telah memahami bahwa Rasulullah
SAW tidak menghendaki kelompok-kelompok yang tercela ini mereka yang berselisih
dalam cabang-cabang fikih dalam permasalahan halal dan haram, akan tetapi yang
dimaksudkan adalah orang yang menyimpang dari ahlul haq dalam pokok-pokok tauhid,
dalam menilai kebaikan atau keburukan, dalam syarat-syarat kenabian dan kerasulan,
dalam loyalitas para sahabat dan yang terlahir dari bab-bab ini. Sebab orang-orang yang
telah berselisih dalam masalah ini, sebagian mereka terhadap sebagian yang lain saling
mengkafirkan. Hal ini berbeda dalam kelompok pertama, mereka berselisih dan berbeda
namun tidak saling mengkafirkan atau menfasikkan. Maka pentafsiran hadits tentang
perpecahan ummat dikembalikan kepada perpecahan dan perselisihan dalam masalah
pokok-pokok agama sebagaimana yang terjadi di akhir masa generasi sahabat yaitu
pemikiran Qadariyah dari Ma’bad al Juhani dan para pengikutnya” [53].
Ketiga
Sabda Rasul: “Semuanya masuk neraka” tidak berarti kafir, akan tetapi sebuah ungkapan
ancaman, sedang ancaman sendiri sangat terkait dengan syarat-syarat yang menyertainya
di antaranya berlakunya nas, timbulnya objek hukum dan tidak ada perkara-perkara yang
menghalangi adanya ancaman seperti taubat yang benar, istighfar, kebaikan-kebaikan
yang menghapus keburukan, musibah dan ujian yang menjadi kifarat, syafaat dan yang
lebih besar dari itu semua rahmat Dzat Sang Maha Pengasih.
al-ikhwan.net
Keempat
Rasulullah SAW tidak menjadikan simbol-simbol tertentu bagi golongan-golongan Islam,
tidak pula ciri-ciri khusus bagi ketujuh puluh dua kelompok yang lain, tidak pula tanda-
tanda tertentu yang membedakan sebagian dari sebagian yang lain, akan tetapi menjadikan
penyimpangan terhadap Al Kitab dan As Sunnah, kesepakatan para Khulafaur Rasyidin
dan sekalian sahabat yang lainnya sebagai tandanya karena memperturutkan prasangka
dan hawa nafsu belaka, mengatakan sesuatu tanpa dasar ilmu serta fanatis buta terhadap
pengikut selain Rasulullah SAW, mereka loyal dan antipati karenanya, sebagaimana
menjadikan ittiba’ (mengikuti) Al Kitab dan As sunnah menurut petunjuk para sahabat,
komitmen terhadap jamaah mereka serta memberikan loyalitas dan sikap antipati
karenanya.
Kelima
Sabda Rasul: “Kecuali satu yaitu Al Jamaah”, ungkapan ini datang dalam bentuk ma’rifah
(tertentu) dengan menggunakan “Al” yang berarti bahwa ia adalah jamaah tertentu yang
memiliki karakteristik, ciri dan syarat-syarat.
Imam Syathibi telah merangkum perkataan para ahli ilmu tentang makna jamaah dalam
lima pembagian, yaitu:
1. Jamaah adalah mayoritas umat Islam, berdasarkan pendapat ini yang tergolong dalam
makna jamaah adalah para mujtahid ummat, para ulama, mereka yang menerapkan syariat
Islam serta para pengikut mereka. Siapapun yang keluar dari golongan mereka, maka
dianggap telah menyimpang dan masuk ke dalam golongan syaitan, termasuk dalam
golongan mereka adalah semua ahli bid’ah sebab mereka telah menyimpang dan keluar
dari ummat dan tidak masuk dalam mayoritas mereka, di antara sahabat yang termasuk
golongan ini adalah Abu Mas’ud Al Anshari dan Ibnu Mas’ud.
2. Jamaah adalah kelompok para mujtahid ummat, sebab meraka adalah hujjah Allah bagi
para makhluk-Nya, merekalah yang dimaksudkan dalam sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun ummaku dalam kesesatan”. Ini adalah
perkataan Ibnul Mubarak dan Ibnu Rahawaih. Pernah dikatakan kepada Ibnu Mubarak:
“siapakah jamaah yang layak untuk kita ikuti?”, ia menjawab: “Abu Bakar, Umar - dan
tidak henti-hentinya ia menyebutkan hingga sampai kepada Muhammad bin Tsabit,
Husain bin Waqid - lalu dikatakan kepadanya: “Mereka semua telah tiada, siapakah di
antara mereka yang masih hidup?”, ia berkata: “Abu Hamzah As sukri”. Berdasarkan hal
ini, tidak termasuk golongan mereka semua orang yang tidak berilmu dan ahlul bid’ah.
3. Jamaah adalah golongan ummat Islam yang bersepakat terhadap sebuah perkara, maka
semua orang yang selain mereka wajib mengikutinya.
al-ikhwan.net
4. Jamaah adalah jamaah para sahabat secara khusus. Di antara yang berpandapat ini
adalah Umar bin abdul Aziz, sebagaimana isyarat hadits “Yaitu orang yang berada di atas
apa yang aku dan para sahabatku hari ini di atasnya”.
5. Sebagaimana pendapat Ath Thabari jamaah adalah jamaah kaum muslimin apabila
bersepakat pada seorang pimpinan sebagaimana yang diperintahkan Rasululllah SAW.
[54]
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani telah menukil dari At Thabari: “At Thabari berkata:
Telah terjadi perdapatan dalam perkara ini [55] (yakni kewajiban komitmen terhadap
jamaah muslimin dan pemimpin mereka) dan dalam arti jamaah, sebagian berkata: ia
adalah kewajiban dan jamaah adalah kelompok mayoritas… sampai pada perkataannya
[56]: “Pendapat yang benar tentang maksud komitmen berjamaah adalah komitmen
kepada pemimpin yang disepakati, barang siapa yang merusak baitnya maka ia telah
keluar dari jamaah” [57].
Asy syatibi bekata: “Semuanya sepakat bahwa para ahli ijtihad baik yang disertai khalayak
umum atau tidak adalah jamaah” [58].
Sebagaimana telah terjadi perbedaan dalam makna jamaah, demikian pula banyak
pendapat dalam menafsirkan makna At Thaifah Al Manshurah (kelompok yang
dimenangkan) yang akan selalu eksis hingga hari kiamat. Imam Nawawi berkata: “Adapun
kelompok ini imam Bukhari berkata bahwa mereka adalah para ahli ilmu. Imam Ahmad
bin Hambal berkata: “Jika bukan para ahli hadits maka aku tidak tahu siapa lagi mereka
itu?”. Qadhi ‘Iyadh berkata: “Sesungguhnya yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad adalah
Ahlus sunnah wal jamaah serta mereka yang mengikuti jalan ahli hadits. Aku berkata:
“Dan mungkin saja kelompok ini tercerai berai dalam ragam komunitas kaum mukminin,
ada di antara mereka para pemberani dan mujahid, di antara mereka para fuqaha’ (ahli
fikih), di antara mereka ahli hadits, di antara mereka ada orang-orang yang zuhud dan
penegak amar makruf dan mencegah yang dilarang, dan di antara mereka yang beprestasi
di berbagai medan kebaikan dan tidak disyaratkan bahwasanya mereka berkumpul dalam
sebuah kesepakatan, bahkan sangat mungkin sekali mereka tersebar dibelahan dunia” [59].
Ada dua kesimpulan tentang makna jamaah dari beberapa pendapat para ulama di atas:
SATU:
Jamaah sebagai implementasi asas sebuah manhaj dalam aqidah dan i’tiqad yang
bersumber dari pemahaman nash kitab dan sunnah serta menjadi pijakannya dalam
perkataan, perbuatan dan setiap sikapnya.
Makna ini tercermin dalam riwayat: “Yaitu mereka yang berada di atas apa yang aku dan
para sahabatku”. Pensyarah At Thahawiyah berkata: “Jamaah umat Islam adalah para
sahabat, para tabiin”. Ini berarti bahwa jamaah Islam atau jamaah kaum muslimin adalah
mereka yang berjalan sesuai dengan akidah, perkataan, perbuatan dan akhlak Nabi SAW
al-ikhwan.net
dan para sahabatnya, lalu berupaya untuk komitmen di atas jalannya, loyalitas dalam
setiap yang dilakukan maupun yang ditinggalkan tanpa menambahkan yang merubahnya.
Maka siapapun yang komitmen terhadap manhaj salafus shaleh dari kalangan para shabat
dan tabiin serta para pengikut mereka [60] dalam ketiga kurun pertama yang telah diakui
kebaikan, keimanan, keutamaannya, siapapun yang komitmen terhadap petunjuknya, ridho
dalam manhajnya, iltizam dalam ijmak mereka maka ia tergolong dalam jamaatul
muslimin, kelompok yang selamat dan golongan yang akan tetap eksis betapapun sedikit
orang yang berjalan di atasnya, tidak akan gentar oleh banyaknya kaum penentang sebab
hakekatnya adalah kesesuiannya dengan kebenaran walaupun hanya engkau seorang,
firman Allah: “Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (seorang imam)”.
Ibnul Qoyim berkata: Alangkah indahnya perkataan Abu Muhammad Abdurrahman bin
Islamil yang dikenal dengan Abu Syamah dalam kitabnya “Al Hawadit wal Bida’: Yang
dimaksudkan dengan perintah komitmen terhadap jamaah adalah komitmen terhadap
kebenaran dan para pendukungnya, walaupun sedikit para pengikutnya dan sangat banyak
para penentangnya, sebab kebenaran adalah apa yang generasi awal sejak masa Nabi SAW
dan para sahabatnya berada di atasnya betapapun banyaknya ahli bid’ah (orang-orang
yang membuat aturan baru) bermunculan setelah mereka. Kemudian Ibnul Qayyim
menceritakan kisah Amar bin Maiumun al Audi yang bersahabat dengan Mu’adz bin Jabal
di Yaman kemudian di negeri Syam hingga wafat, kemudian bersahabat dengan Ibnul
Mas’ud dan mendengar darinya berkata: “Tetaplah engkau dengan jamaah, sebab
sesungguhnya tangan Allah beserta jamaah”, pada kesempatan yang lain ia mendengar
Ibnu Mas’ud berkata: “Tetaplah kalian bersama para pemimpin yang mengakhirkan shalat
mereka dari waktunya, shalatlah kalian tepat pada waktunya sebab ia adalah kewajiban
dan shalatlah kalian bersama mereka sebagai perbuatan sunnah bagi kalian”. Hal inilah
yang membuat Al Audi bertanya-tanya: “Bagaimana mungkin ia menyerukan agar tetap
berjamaah, namun memerintahkan shalat dengan sendiri. Maka Ibnu Mas’ud berkata:
“Tahukah engkau siapa jamaah itu?”, aku berkata: “Tidak”, Ia Berkata: “Sesungguhnya
mayoritas manusia telah memisahkan diri dari jamaah, sebab jamaah adalah siapapun yang
sesuai dengan kebenaran betapapun engkau sendiri”.
Sebagian ahli ilmu pada masa Muhammad bin Aslam Ath Thausi ditanya perihal
perkataan: “apabila manusia telah berselisih maka tetaplah engkau bersama golongan
mayoritas, maka Muhammad bin Aslam berkata: “Ia adalah golongan mayoritas”.
Ibnul Qayyim berkata: “Benarlah demi Allah, bila di sebuah masa terdapat seorang yang
paham terhadap sunnah selalu menyeru kepadanya ia adalah hujjah (argumentasi), ia
adalah ijma’, dialah golongan mayoritas dan ialah jalan orang-orang yang beriman” [61].
Jamaah dalam kontek ini adalah manhaj yang harus diikuti yang terikat di atas simpul
ahlus sunnah wal jamaah”.
Al Munawi dalam penjelasan hadits al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) yakni
“Kecuali satu”, ia menyebutkan: “Dialah Ahlus Sunnah wal Jamaah” [62].
al-ikhwan.net
Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi mengomentari makna “Al Jamaah” berkata: “yakni
mereka yang sesuai dengan jamaah para sahabat, yang berpegang teguh pada akidah
mereka, serta komitmen terhadap pendapat mereka” [63]. Dalam wilayah pengertian
manhaji tentang makna jamaah inilah Qatadah berkata: “Ahli Rahmat Allah, merekalah
yang berjamaah walaupun wilayah dan badan mereka berpisah-pisah” [64].
Imam Syafii berkata: “Barang siapa yang bekata seperti perkataan jamaatul muslimin
maka sungguh ia telah komitmen terhadap jamaah mereka, dan barangsiapa yang
menyimpang dari perkataan jamaatul muslimin maka sungguh ia telah memisahkan dari
jamaah yang wajib diikutinya”.
Akan tetapi pemahaman jamaah Islam dan kelompok yang selamat dalam kontek wilayah
manhaj ini sangat bertingkat derajat dan kedudukan mereka dalam tubuh ummat, di antara
mereka ada yang demikian perhatian dalam menjalankan syariat, sangat menjaga dalam
mengimplementasikan manhaj ini, sangat jauh dari penambahan (bid’ah) dan
penyimpangan, serta begitu kuat komitmen mereka, mereka itulah orang-orang yang
tertinggi dalam peringkat kelompok yang selamat dan jamaah Islam seperti para ulama
yang telah diakui dalam mazhab fikih, tafsir, hadits, ushul, serta para da’i yang mulia yang
telah diakui kebaikan, keshalehan dan keistiqamahan mereka.
Di antara mereka ada yang layak berijtihad, namun kadangkala ia menta’wilkan sebagian
nash dengan salah, maka ia dimaafkan dalam wilayah ijtihad. Di antara mereka ada yang
mengingkari sebagian nash syariat disebabkan baru mengenal Islam, atau karena hidup
pada daerah terpencil sehingga tidak mendapatkan informasi terhdap apa yang
diingkarinya. Di antara mereka ada yang melakukan bid’ah amali, maka ia tetap mukmin,
taat kepada Allah menurut kadar ketaatannya, dan telah berbuat salah dalam perkara
maksiat yang ia lakukan atau bid’ah yang ia kerjakan, dan ia tergantung kehendak Allah,
firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”.
Firman Allah: “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka”.
Baik golongan yang ini maupun yang itu tidak menjadikan mereka kafir disebabkan
penta’wilan yang keliru, atau perkara yang mereka ingkari yang disebabkan kebodohan
mereka, mereka tetap termasuk dalam golongan kelompok yang selamat walaupun tidak
dalam kategori kelompok yang awal [65].
Maka di antara jamaah Islam ada yang pada garis terdepan dalam ketaatan, ada pula yang
sedang dan ada pula yang berbauat aniaya terhadap diri pribadi.
Yang perlu selalu diingat bahwasanya ahlus Sunnah Wal jamaah mempunyai dasar-dasar
yang baku untuk menjelaskan perkara-perkara cabang (furu’), serta sebagai patokan dan
rujukan dalam persoalan-persoalan juz’i (parsial) dan penerapan hukum-hukum itu sendiri.
al-ikhwan.net
PENJELASAN
Dari penjelasan yang telah lalu maka tidaklah tepat menjadikan makna Kelompok yang
akan tetap eksis (At thaifah Adh Dhahirah) terbatas pada ahli hadits, kecuali berdasarkan
penjelasan Qadhi ‘Iyadh: “Yaitu ahlus Sunnah wal Jamaah”, karena betapapun ummat
mengambil manfaat umum dari para ahli hadits, namun tidak menafikan ummat pun
mengambil manfaat terhadap selain mereka seperti para ahli fikih yang menjelaskan
sumber-sumber hukum syariat dan hukum halal dan haram, demikian pula terhadap para
ahli tafsir, qurra’ (ahli baca alquran), para pemberi nasehat, para du’at, para hakim dan
yang lainnya dalam strata tingkatan ummat, sebab: “Setiap kaum akan memberikan
manfaat dalam bidang yang tidak diberikan oleh yang lain” [66].
2. MAKNA KEDUA DARI JAMAAH
Makna yang kedua ini merupakan implementasi manhaj pada fase Tamkin (penguasaan)
yaitu jamaah para ulama – Ahlul Halli Wal aqdi (Badan Legislatif) - ketika bersepakat
memilih seorang pemimpin, maka ummat di belakang mereka mengikuti keputusan itu.
Sebagaimana yang terjadi tatkala pembai’atan Abu Bakar As shiddiq saat para pemuka
sahabat membai’at di Tsaqif lalu diikuti oleh khalayak ramai dalam sebuah forum
pembai’atan terbuka [67]. Dari sinilah Imam Ath Thabari mengatakan: “Maksud yang
benar dari hadits perintah untuk konsekwen dalam jamaah yaitu orang-orang yang
bersepakat dalam mentaati seorang pemimpin” [68]. Apabila tidak ditemukan
kepemimpinan syar’i dalam kehidupan ummat, maka kewajiban mereka untuk
merealisasikannya dan mereka menanggung dosa hingga kepemimpinan itu tegak.
KESIMPULAN
Dari keterangan nas-nas yang di atas, ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan dari
makna jamaah:
1. Sesungguhnya keberadaan sebuah jamaah dari beragam jamaah, sekaipun dengan fikrah
yang jelas dan jalan yang lurus tidak berarti bahwa jamaatul muslimin telah tegak. Dari
sini, maka semua jamaah yang bergerak dalam medan dakwah saat ini yang telah dikenal
dengan nama, pemimpin dan simbol-simbolnya tidaklah satu-satunya jamaah Islam atau
jamaah muslimin, akan tetapi kesemuanya itu terhimpun dalam jamaah Islam. Maka
Ikhwanul Muslimin, jamaah salafiah serta jamaah-jamaah yang lain adalah bagian dari
jamaah muslimin, dan tidak tepat menyebutkannya bahwa ialah jamaah yang repesentatif
sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits-hadits walaupun ia bergerak demi
merealisasikan jamaah kaum muslimin dalam sebuah kepemimpinan pemerintah Islam
dan khilafah Islamiyah.
2. Bahwasanya jamaah-jamaah ini, meski merupakan implementasi pemahaman manhaji
bagi sebuah jamaah Islam, namun ia sangat bertingkat dalam kontribusi dan potensi, di
antara mereka ada yang berusaha membatasi kebijaksanaan mereka dalam perbaikan sisi
aqidah, ada pula yang lebih memperhatikan sisi pendidikan ruhiyah, ada yang lebih
al-ikhwan.net
memfokuskan pada nasehat dan pengingatan, ada pula di antara mereka yang lebih
memeperhatikan sisi politik, dan ada pula di antara mereka yang berupaya menghimpun
semua sisi perbaikan dalam bingkaian universalitas dan komprehensif dengan menjaga
keseimbangan dan skala prioritas.
3. Tidaklah tepat menganalogikan jamaah-jamaah ini dengan jamaah Rasulullah SAW
sebab mereka adalah penghulu sekalian jamaah, yang mana ketaatan adalah sebuah
kewajiban sebab ia diback up langsung dengan wahyu dan tunduk terhadapnya merupakan
sesuatu yang mutlak yang menjadi syarat kesempurnaan Islam seseorang, baik dimasa
hidupnya maupun setelah meninggalnya. Kemudian pada realitasnya ia sangat bersesuaian
dengan perintah syariat, tidaklah setiap yang telah mengaku seorang muslim, menyatakan
dua kalimah syahadah serta mendirikan shalat kecuali terhimpun dalam anggota jamaah
Rasul. Namun kenyataan kita saat ini sangat berbeda, banyak manusia saat ini yang
menyatakan sebagi seorag muslim, menegakkan syariat-syariatnya, akan tetapi tidak
terikat dalam sebuah jamaah manapun, penetapan kafir atas mereka dengan pertimbangan
analogi terhadap jamaah pertama adalah sebuah tindakan kesewenangan. Demikian juga
klaim atas mereka yang memisahkan diri dari salah satu jamaah ini dengan kekufuran
adalah tindakan serampangan yang tidak mendasar.
4. Tidak sah pula menganalogikan syarat-syarat kepemimpinan dari jamaah-jamaah ini
dengan syarat dan kewajiban seorang Amirul Mukminin.
5. Memisahkan diri secara struktural jamaah tidak berarti identik dengan keluar dari
jamaah, sebab istilah keluar jamaah menurut sebagian besar ulama fikih berarti
perlawanan senjata bukan hanya sebatas memisahkan dan menjauhkan diri, makna ini
sangat begitu tampak pada pemberontak dan pembelot, bahkan keluar dalam masalah
inipun tidak semuanya dianggap tindak kekufuran, karena boleh jadi pelakunya
melakukan tindakan ini karena salah tafsir dan persepsi, firman Allah: “Jika dua kelompok
dari golongan kaum mukminin berperang…”, Allah dalam ayat ini tetap menyebut kaum
yang beriman walaupun terjadi pertumpahan darah di antara mereka.
Di antara landasan dasar yang lain tentang masalah ini bahwa Ali RA dan beberapa
sahabat yang lain tidak mengkafirkan kalangan khawarij, betapapun banyak riwayat hadits
yang menjelaskan akan kesesatan mereka, beliau hanya mengatakan: “Saudara kita telah
membelot atas kita, mereka sungguh telah lari menjauh dari kekufuran”. Dan Ia
bermu’amalah (berinteraksi) dengan mereka seperti interaksi kaum pemberontak, tidak
menjadikan harta mereka sebagai rampasan perang, tidak menjadikan budak wanita-
wanita mereka, tidak membunuh para tawanan perang mereka, tidak pula membunuh
sekalian orang-orang yang terluka atau mengejar orang-orang yang lari dari medan.
6. “Mati dalam keadaan Jahiliyah” tidak berarti mati dalam kekafiran, akan tetapi
kematian yang menyerupai keadaan orang jahiliyah, sebab mereka tidak membaiat
seorang pemimpin dan tidak pula tunduk kepada seorang penguasa. Imam Syaukani
berkata: “Mati jahiliyah adalah penyerupaan terhadap kematian orang-orang jahiliyah
al-ikhwan.net
yang tidak memiliki pemimpin, bukan berarti mati dalam keadaaan kafir, namun mati
dalam keadaan bermaksiat” [69].
7. Tidak melakasanakan amal jama’i demi menegakkan perintah, syariat dan
kepemimpinan agama Allah adalah perbuatan dosa, namun tidak menjadikannya keluar
dari agama kecuali bila ia mengingkari tuuan ini yakni berhukum dengan syariat Allah
maka ia dianggap kafir dan murtad [70].
Imam Hasan Al Banna memiliki sebuah manhaj yang jelas pijakan dan tahapannya, saya
akan menjelaskan jati diri jamaah Ikhwanul Muslimin (IM), sikapnya terhadap jamaah-
jamaah kaum muslimin, yang mencerminkan kemurnian nilai dan keseimbangan pijakan
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para imam dari generasi salaf, manhaj itu akan
saya jelaskan dalam beberapa hal berikut [71]:
1. Sikap IM terhadap Jamaah dan Institusi Da’wah
Imam Hasan Al Banna mengungkapkan: “IM mempunyai padangan tersendiri terhadap
ormas-ormas ini (dengan berbagai ladang garap mereka dalam berjuang untuk membela
Islam. mereka semua mendambakan kesuksesan. Ikhwan juga menginginkan terwujudnya
kedekatan jamaah-jamaah ini dan berusaha menyatukan serta menghimpun mereka dalam
satu fikrah secara umum” [72].
2. Perbedaan IM dan Jamaah-jamaah Islam yang lain.
Imam Al Banna berkata: “Banyak orang yang pikirannya dibingungkan oleh pertanyaan
ini: “Apa perbedaan antara jamaah IM dengan jamaah Asy-syubban? Kenapa keduanya
tidak bergabung dalam satu organisasi saja dan bergerak dalam manhaj yang satu pula”.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menegaskan kepada mereka yang
menginginkan kesatuan potensi dan kerjasama antar aktifis, bahwa jamaah IM dan jamaah
As-syubban - di Kairo - tidak pernah merasa bahwa keduanya berada di medan yang
berbeda, tetapi mereka selalu merasa ada dalam satu medan dengan menjalin kerjasama
yang kuat dan kokoh. Banyak masalah keislaman yang antara Ikhwan dan Sy-Syubban
bisa seiya sekata dalam menyikapinya. Hal ini karena tujuan umum dari keduanya adalah
sama, yakni bergerak dan beramal demi kejayaan Islam dan kebahagiaan kaum muslimin.
Hanya saja, ada perbedaan-perbedaan kecil dalam masalah uslub dakwah, langkah para
aktifis dan prioritas penyaluran potensi dari kedua jamaah tersebut, saya yakin akan tiba
masanya disaat semua jamaah Islamiyah berada di dalam front. Dan waktulah yang akan
menjamin realisasinya, Insya Allah” [73].
3. Bentuk sikap dan Muamalah terhadap penentang.
“Dan Kami memohon maaf kepada mereka yang berbeda dengan kami dalam masalah
furu’. Kami sama sekali tidak melihat bahwa perbedaan itu akan menghambat proses
menyatunya hati, saling mencintai dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan
al-ikhwan.net
kebaikan. Islam yang universal ini akan sanggup memayungi kami dengan mereka dalam
batasan-batasannya yang begitu luas. [74]”
4. Sikap kami terhadap seruan dan dakwah yang lain:
“Sikap kami terhadap seruan-seruan lain di negeri ini baik yang berorientasi agama, sosial,
ekonomi maupun politik - dengan berpijak pada karakter dasar dakwah kami - adalah
sebuah sikap yang satu menurut keyakinan kami yaitu: mengharapkan kebaikan padanya
serta mendoakannya dengan curahan taufik, dan sesungguhnya sebaik-baik jalan adalah
agar kita tidak sibuk mencari celah dan kesalahan orang lain dari meneliti kesalahan dan
kekurangan kita, sungguh kita membutuhkan perbekalan dan rasa tanggung jawab, sebab
ummat kita dan medan-medan perjuangan yang masih kosong sangat menanti uluran
tangan para pejuang dan kesungguhan sang mujahid dan tidak ada waktu yang cukup
untuk sibuk mencari-cari kekurangan orang lain, masing-masing bergerak dibidangnya
dan Allah selalu bersama orang-orang yang berbuat baik hingga Allah membukakan pintu
kebenaran antara kita dan kaum kita” [75].
5. Penegasan Al Khudhaibi tentang langkah amaliah Imam Hasan al Banna
Imam Khudhaibi berkata: “Telah disepakati bahwasanya jamaah Ikhwanul Muslimin
sejalan dengan kesempurnaan imannya tegak di atas nilai kebenaran dan dengan
keyakinannya yang tidak diliputi keraguan, ia adalah dakwah kebenaran yang murni
sebagaimana yang Allah perintahkan dengan sebuah kewajiban yang mengikat. Perlu
ditegaskan, bahwasanya pendirian organisasinya bukan legitimasi bahwasanya ialah
jamaah kaum muslimin, sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits-hadits akan tetapi
ia senantiasa menyeru dengan pertolongan Allah untuk merealisasikan jama’atul
Muslimin”.
Hal ini dipertegas bahwa pendiri jamaah - semoga Allah meridhainya - mengakui
sepanjang kepemimpinannya begitu pula para sahabatnya yang mendukungnya dan
berhimpun bersamanya akan keberadaan jamaah-jamaah yang lain sebagai jamaah Islam,
sebagaimana pengakuan jamaah ini terhadap mereka yang tidak bergabung dengan jamaah
ikhwan atau yang telah dikeluarkan sebagai seorang muslim.
Dan sungguh Imam Asy syahid telah menetapkan pengeluaran dua wakil terdahulu jamaah
serta puluhan yang lain, sebagian mereka adalah anggota dalam kantor pembinaan dan
dewan pendiri, dan tidak ada satupun di antara mereka yang dituduh telah melakukan
tindakan atau ucapan yang menjadikannya murtad dari Islam, dan tidak ada satupun yang
menganggap bahwa pengeluaran mereka dari jamaah berarti mereka telah keluar dari
Islam” [76].
MANHAJ JAMAAH SETELAH IMAM ASY SYAHID
Setelah kepemimpinan Imam Asy syahid manhaj jamaah tetap berada di atas jalan yang
telah digariskan Imam Asy syahid. Imam Al Khudhaibi berkata: “setelah kepemimpinan
al-ikhwan.net
Imam Asy syahid kantor pembinaan dan badan pendiri mengeluarkan sejumlah orang
yang tidak sedikit, di antara mereka ada yang menjadi anggota kantor pembinaan dan
badan pendiri lebih dari sekali, ada yang pernah memegang tampuk kepemimpinan dalam
struktur jamaah, dan secara tegas pada kesempatan ini para pemimpin jamaah mengatakan
mereka adalah muslim dan terjaga darah dan harta mereka, jamaah berharap agar mereka
berkhidmat kepada Islam dengan potensi pribadi dan cara khusus mereka, setelah mereka
mengahadapi kesulitan untuk memposisikan diri di atas aturan jamaah serta komitmen
terhadap pemahaman, program dan manhajnya” [77].
Dari penjelasan didepan, maka jelaslah bahwa manhaj Ikhwan tegak di atas prinsip bahwa
mereka adalah bagian dari jamaah kaum muslimin yang senantiasa berupaya
merealisasikan jamaatul Islam serta mengakui keberadaan jamaah yang lain yang
berkhidmah untuk Islam. Di antara hal-hal yang jelas dalam manhaj Ikhwan adalah
sebagai berikut:
1. Tidak ada analogi dalam persyaratan keanggoatan mereka dengan persyaratan dalam
Islam [78].
2. Pengeluaran dari jamaah tidak berarti keluar dari Islam [79]. Kalau tidak demikian,
mengapa kedua wakil jamaah yang lalu dan beberapa anggota kantor pembinaan dan
dewan pendiri tidak seorang di antara mereka yang dianggap telah melakukan tindakan
yang telah mengeluarkan dari agama.
3. Mungkin saja para anggota diwajibkan memberikan komitmen lebih di atas yang telah
diwajibkan oleh Islam secara lebih terperinci seperti dalam aturan-aturan internal, simbol
dan syiar misalnya [80].
4. Jamaah tidak menuntut kewajiban tegaknya khilafah (pemerintahan) secara keseluruhan
sebelum adanya khalifah (pemimpin), bahkan kewajiban kita adalah mewujudkan
pemimpin demi merealisasikan semua perkara itu [81].
5. Syarat dan kewajiban pemimpin jamaah tidak dianalogikan dengan syarat-syarat amirul
mukminin [82].
Inilah rangkuman beberapa hal yang telah diputuskan oleh para fuqaha (ahli fikih) jamaah
yang dilaksanakan dengan konsisten oleh pemimpin mereka dalam manhajnya serta
kepada para penentangnya menurut kaidah-kaidah ahlus sunnah dan manhaj salafusshaleh.
Apa yang diisyaratkan oleh syaikh Sa’id Hawwa tidak berbeda dengan makna-makna
yang telah tersebut bahwa jamaah Ikhwan adalah jamaah yang integral bagi kaum
muslimin, ia sangat memperhatikan sisi kesempurnaan dan keintegralan dalam memahami
Islam dan tidak bermaksud mengeluarkan selain mereka dari jamaah kaum muslimin.
al-ikhwan.net
CATATAN KAKI
[1] Surat Ali Imran: 104
[2] Surat Annahl: 96
[3] Tafsir Ath Thabari: 2/195
[4] Surat Hud: 118-119
[5] Tafsir Ibnu Katsir: 2/466
[6] Tafsir Ibnu Katsir: 2/466
[7] Adzariayat: 56
[8] Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah: 514
[9] Ali Imran: 103
[10] Tafsir Ibnu Katsir: 1/390
[11] Syaikh Al Albani berkata: Hadits ini hadits hasan, sedang sanadnya dhaif namun
dengan hadits setelahnya 1/41-42
[12] Syaikh Al Albani berkata: Sanadnya Jayyid (baik) namun mauquf, dan para
perawinya para perawi Bukhari Muslim 1/41-42
[13] Annisa’: 115
[14] Miftah Daris Sa’adah: 1/126
[15] Al A’raf: 158
[16] Thaha: 94
[17] Al Maidah: 2
[18] Al Anfal: 47
[19] Muhammad: 7
[20] Dikeluarkan oleh Attirmidzi: 4/466
al-ikhwan.net
[21] Al A’raf: 165
[22] Diriwayatkan Attirmidzi dari sahabat Umar, 4/465, Musnad Ahmad, 1/230-231,
Ahmad syakir berkata: sanadnya shahih.
[23] Arrum: 32
[24] Ali Imran: 105
[25] Ali Imran: 110
[26] Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah:13/316
[27] Fathul Bari: 13/417
[28] Al Anfal: 73
[29] Al Kahfi: 28
[30] Al Anfal: 39
[31] At Taubah: 41
[32] Dikeluarkan Imam Muslim:3/1340, Imam Malik dalam Muwaththa’: 2/990, Imam
Ahmad dalam Musnadnya: 2/367
[33] Riwayat At tirmidzi: 5/34, Ia berkata hadits Zaid bin Tsabit ini hasan, Musnad Imam
Ahmad: 5/183, Ad Darimi: 1/74-75
[34] Imam Bukhari: 13/35 dalam Fathul bari
[35] Musnad Imam Ahmad: 4/202
[36] At Tirmidzi: 4/466
[37] Hadits shahih masyhur yang diriwayatkan para pemilik kitab sunan dan musnad
dengan redaksi yang beragam, lihat Al Jami’ as Shahir:1/19
[38] Musnad Ahmad dan dishahihkan Al Al bani, ia berkata: Sanadnya shahih, lihat
syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah,578.
[39] Musnad Imam Ahmad yang ditahqiq Ahmad Syakir dan berkata: Sanadnya shahih
1/230-231, dan lihat Fathul Bari: 13/316
[40] Dikeluarkan Imam Bukhari 9/78, Imam Muslim 3/1467-1468.
al-ikhwan.net
[41] Fathul Bari 13/37
[42] Tafsir Ibnu Katsir: 2/466
[43] Talbis Iblis: 145
[44] Al Munthalaq: 150-151
[45] Al Munthalaq: 150-151
[46] Ar Risalah: 475-476
[47] Al Fatawa: 11/92, lihat Al Munthalaq: 150-151
[48] Al Fatawa dengan sedikit perubahan: 28/62
[49] Takhrijnya telah berlalu
[50] Lihat Hasyiyah Ibnu Majjah: 2/1322
[51] Lihat ‘Aunul Ma’bud: 12/342
[52] Lihat Faidlul Qadir: 1/179
[53] ‘Aunul Ma’bud: 12/340-341
[54] Lihat Al ‘Ithisham: 2/258-267
[55] Komitmen terhadap Jamaah kaum muslimin dan pemimpinnnya
[56] Imam Ath Thabari
[57] Fathul Bari: 13/37
[58] Lihat Al I’thisham: 2/258-267
[59] Syarah Imam Nawawi atas kitab shahih Muslim: 8/125-126 dalam Hasyiyah As Sari
[60] Tidak termasuk yang tertuduh dengan bid’ah atau kerancuan.
[61] Ighatsatul Lahfan: 84-85
[62] Faidlul Qadir : 1/179
[63] Lihat Hasyiyah Ibnu Majjah: 2/1322
al-ikhwan.net
[64] Ighatsatul Lahfan: 84-85
[65] Lihat fatwa lembaga para ulama besar no.830, tertanggal:13/8/1394 H
[66] Jami’ul Ushul karangan Ibnul Atsir: 1/320-321
[67] Lihat al bidayah Wan Nihayah karangan Ibnul Atsir: 5/245-247
[68] Fathul Bari 13/37, Al I’thisham: 2/258-267
[69] Nailul Authar: 7/194
[70] Lihat Kitab Du’at La Qudhat:183
[71] Majmu’atur Rasail: 313
[72] Majmu’atur Rasail: 314
[73] Ibid
[74] Majmu’atur Rasail: 34
[75] Majmu’atur Rasail: 128
[76] Kitab Du’at La Qudhat: 185
[77] Kitab Du’at La Qudhat: 185-186
[78] Kitab Du’at La Qudhat: 185-186, Ar Rasail: 2/62
[79] Kitab Du’at La Qudhat: 185-186
[80] Syalbi :206-320, Hasan al Banna dan madrasahnya
[81] Ar Rasail : juz 1-25
[82] Asy syaikh Hasan Al Banna dan madrasahnya: 270-272