ii. tinjauan pustaka a. jagung 1. deskripasi dan jenis ... · jagung jenis pop memiliki selaput...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG
1. Deskripasi dan Jenis - Jenis Tanaman Jagung
Tanaman jagung (Zea mays. L.) merupakan salah satu tanaman
sumber karbohidrat. Jagung masuk dalam divisi Angiospermae, kelas
Monocotyledae, Orde Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Jagung
merupakan tanaman semusim (annual). Umumnya tanaman jagung
memiliki ketinggian antara satu sampai tiga meter. Akar jagung tergolong
akar serabut yang dapat mencapai kedalaman delapan meter meskipun
sebagian besar berada pada kisaran dua meter. (Wikipedia Indonesia,
2008).
Gambar 1. Jagung di ladang (Wikipedia, 2008)
Jagung dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain
: tinggi tempat penanamannya, umur varietas, perbenihan, serta warna dan
tipe biji. Akan tetapi, secara umum jagung dapat diklasifikasikan
berdasarkan bentuk kernelnya.
Ada enam tipe jenis jagung jika dibedakan berdasarkan bentuk
kernel, yaitu : dent, flint, flour, sweet, pop, dan pop corns. Jagung jenis
dent, dapat dicirikan dengan adanya selaput corneous, horny endosperm,
pada bagian sisi dan belakang kernel, pada bagian tengah inti jagung
lunak dan bertepung. Endosperm yang lunak akan menjulur hingga
mahkota membentuk tipe tertentu yang merupakan ciri khas jagung jenis
dent (Johnson, 1991).
Menurut Johnson (1991), jagung jenis flint memiliki bentuk agak
tebal, keras dan lapisan endospermnya seperti kaca, kecil, lunak, dengan
granula tengah. Jagung jenis pop memiliki selaput endosperm yang sangat
keras dan memiliki kernel kecil dan termasuk jenis jagung yang primitif.
Jagung jenis flour memiliki endosperm yang lunak dan menembus kernel,
sangat mudah dihancurkan dan mudah ditumbuhi kapang jika ditanam di
lahan basah. Jagung flour termasuk jenis jagung yang sudah tua.
Jagung sweet merupakan jagung hasil mutasi. Jagung ini biasanya
dicampur dalam sayuran dan memiliki kadar sakarida terlarut sebesar
12% berat kering yang nilainya lebih besar dari jagung jenis lainnya yang
hanya 2-3 %. Sedangkan jagung pop corn merupakan jagung yang
memiliki kernel yang tertutup.
Tabel 1. Jenis jagung dan sifat-sifatnya Jenis jagung Sifat-sifat
Jagung gigi kuda (Zea mays identata)
Biji berbentuk gigi, pati yang keras menyelubungi pati yang lunak sepanjang tepi biji tetapi tidak sampai ujung
Jagung mutiara (Zea mays indurata)
Biji sangat keras, pati yang lunak sepenuhnya diselubungi pati yang keras, tahan terhadap serangan hama gudang.
Jagung bertepung (Zea mays amylacea)
Biji mudah dibuat tepung karena semua endosperm berisi pati yang lunak, biji mudah kering tetapi permukaannya berkerut.
Jagung berondong (Zea mays evertia)
Butir biji kecil, keras seperti jagung mutiara, pati lunak lebih sedikit
Jagung manis (Zea mays saccharata)
Kandungan pati sedikit, kulit biji tipis, endosperm bening dan dimasak biji berkerut.
Sumber : Suprapto (1998)
2. Morfologi dan Anatomi Tanaman Jagung
Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), jagung tongkol terdiri atas
kelobot, tongkol jagung, biji jagung dan rambut. Kelobot merupakan daun
buah yang berfungsi sebagai pembungkus biji jagung. Dalam satu
tanaman jagung umumnya terdapat 12-15 lembar kelobot dan jika
tanaman jagung semakin tua maka kelobotnya akan semakin kering.
Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk
pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Umumnya tongkol
jagung memiliki panjang antara 8-12 cm dengan 300-1000 biji jagung.
Biji jagung merupakan biji-bijian serelia terbesar dengan berat antara 250-
300 mg. Biji-biji tumbuh pada tongkol jagung dan membentuk flat. Biji
jagung berbentuk bulat dan tersusun membentuk spiral pada tongkol
jagung dengan jumlah yang selalu genap baik dari jumlah baris ataupun
5
6
deret. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu
sampai hitam. Rambut merupakan tangkai putik yang panjang yang keluar
ke ujung kelobot (Suprapto, 1998).
3. Komposisi Kimia Jagung
Komposisi kimia jagung sangat bervariasi tergantung dari varietas,
cara menanam, iklim dan tingkat kematangan sehingga perlu dilakukan
seleksi untuk mendapatkan varietas jagung yang memiliki komposisi
kimia yang tepat untuk dibuat mie (Jugengheimer, 1976). Menurut
Warisno (1998) komponen terbesar dalam jagung adalah pati terutama
terletak pada bagian endosperm. Pati jagung terdiri dari amilosa dan
amilopektin, dengan jenis gula berupa sukrosa.
Lemak jagung terutama terdapat pada lembaga yaitu sekitar 85%
dari total lemak jagung (Belitz, 1999). Asam lemak penyusunnya terdiri
atas lemak jenuh palmitat dan stearat serta asam lemak tidak jenuh berupa
oleat dan linoleat. Dalam pembuatan mie jagung, bagian lembaga
dipisahkan karena lemak dapat menyebabkan ketengikan sehingga
memperpendek umur simpan mie.
Menurut Lorenz dan Karel (1991), protein utama dalam jagung
adalah glutelin atau glutenin. Protein lain dalam jagung adalah zein. Zein
merupakan protein yang tidak larut dalam air. Zein diekstrak dari gluten
jagung. Ketidaklarutan zein dalam air disebabkan karena adanya asam
amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin, dan juga karena kadar
rantai hidrokarbon dan gugus amida yang tinggi dibandingkan kadar
gugus asam karboksilat bebas (Johnson, 1991).
Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya Jumlah (%) Komponen
Pati Protein Lemak Serat Lain-lain Endosperm 86.4 8.0 0.8 3.2 0.4 Lembaga 8.0 18.4 33.2 14.0 26.4 Kulit 7.3 3.7 1.0 83.6 4.4 Tip cap 5.3 9.1 3.8 77.7 4.1
Sumber : Johnson (1991)
4. Jagung Varietas Unggul Nasional
Menurut Syuryawati et al. (2005), Indonesia memiliki enam varietas jagung unggul, yaitu Arjuna, Bisma, Lamuru,
Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih. Penelitian ini menggunakan lima varietas jagung unggul Indonesia tersebut,
kecuali Srikandi Putih. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasional tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasional
7
Varietas Ciri-Ciri Arjuna Bisma Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning
Tahun dilepas 1980 4 September 1995 25 Februari 2000 14 Februari 2003 4 Juni 2004 Asal TC1 Early DMR (S)
C2, introduksi dari Thailand
Persilangan Pool 4 dengan bahan introduks disertai seleksi massa selama 5 tahun
Dibentuk dari 3 galur GK, 5 galur SW1, GM4, GM12, GM15, GM11, dan galur SW3.
Bahan introduksi AMATL (Asian Mildew Acid Tolerance Late), asal CIMMYT Thailand
Materi introduksi asal CIMMYT Meksiko
Biji Umumnya mutiara (flint)
Setengah mutiara (semi flint)
Mutiara (flint) Semi mutiara (semiflint) Semi mutiara, modified hard endosperm
Warna Biji Kuning, kadang-kadang terdapat 2-3 biji berwarna putih pada satu tongkol
Kuning Kuning Kuning tua Kuning
Barus Biji Lurus dan rapat Lurus dan rapat Lurus Lurus dan rapat Lurus dan rapat Bobot 1000 biji ± 272 g ± 307 g ± 275 g ± 270 g ± 275 g Rata-rata hasil 4.3 t/ha pipilan
kering 5.7 t/ha pipilan kering
5.6 t/ha pipilan kering 6.0 t/ha pipilan kering 5.4 t/ha pipilan kering
Sumber : Syuryawati et al. (2005)
B. TEPUNG JAGUNG
Tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara
menggiling tepung jagung (Zea mays LINN) yang bersih dan baik (SNI 01-
3727-1995). Penggilingan jagung adalah proses penggecilan ukuran dari
endosperm dan memisahkan endosperm dari bagian kulit, lembaga dan tip
cap. Endosperma merupakan bagian keras biji jagung yang digiling
menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit
merupakan bagian biji yang harus dibuang karena memiliki kandungan
serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar.
Lembaga memiliki kandungan lemak yang tinggi sehingga harus
dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat
membuat tepung tengik. Tip cap harus dihilangkan karena dapat membuat
tepung menjadi kasar.
Penepungan jagung dapat dilakukan melalui dua proses yaitu proses
penggilingan basah dan proses penggilingan kering. Pati merupakan produk
yang dihasilkan dari penggilingan biji jagung secara basah. Sedangkan
grits, meal dan flour (tepung) merupakan produk yang dihasilkan dari
penggilinggan kering biji jagung (Inglett, 1970). Penelitian yang dilakukan
oleh Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung menggunakan metode
penggilingan kering. Penggilingan dilakukan sebanyak dua kali.
Proses penggilingan pertama merupakan penggilingan kasar dengan
menggunakan multi mill. Hasil penggilingan kasar berupa grits, kulit,
lembaga dan tip cap. Kemudian kulit, lembaga dan tip cap dipisahkan
melalui pengayakan dan perendaman. Selanjutnya, grits jagung yang
diperoleh dari penggilingan kasar dicuci dan direndam dalam air selama 3
jam. Tujuan dilakukannya perendaman adalah untuk membuat grits jagung
tidak terlalu keras sehingga memudahkan proses penggilingan grits jagung.
Penggilingan kedua yang merupakan penggilingan grits jagung
menggunakan disc mill (penggiling halus) menghasilkan tepung jagung.
Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan pengayak
berukuran 100 mesh.
8
Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan proses penepungan
jagung dengan metode penggilingan kering menggunakan disc mill sebagai
penggiling halus dan kasar dengan ukuran mesh yang berbeda. Tepung
jagung yang akan digunakan adalah tepung jagung hasil ayakan 100 mesh.
Hal ini didukung oleh Merdiyanti (2008) yang menyatakan bahwa ukuran
partikel dengan ukuran kecil lebih bagus dibandingkan dengan ukuran yang
lebih besar. Dengan ukuran tepung jagung yang makin halus tekstur mie
jagung yang akan dihasilkan juga akan semakin halus (Pratama, 2008).
C. PATI JAGUNG
1. Karakteristik Pati
Pati merupakan suatu polisakarida yang berfungsi sebagai
cadangan energi. Pati tersusun dari unit-unit glukosa dan dihasilkan
sebagai granula di dalam sebagian besar sel tanaman. Granula pati
memiliki struktur dan komposisi yang berbeda dengan dua komponen
utama yaitu amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-80%) (Cheng,
2006).
Menurut Hoseney (1998), amilosa adalah polimer linear dari
alpha-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan alpha(1,4)-D-
glukosa, sedangkan amilopektin terdiri dari alpha-D-glukosa yang
dihubungkan dengan ikatan alpha(1,4)-D-glukosa dengan cabang ikatan
alpha(1,6)-D-glukosa pada setiap 20-25 unit amilosa.
Menurut Winarno dan Rahayu (1984), pati mempunyai sifat
dapat merefleksikan cahaya terpolaisasi sehingga dibawah mikroskop
akan terlihat hitam putih (birefringence). Pada saat granula pati pecah
sifat ini akan hilang.
2. Hubungan Amilosa dan Amilopektin Dengan Reologi Mie
Pati jagung normal memiliki kandungan amilosa sekitar 28%
merupakan pati yang baik untuk digunakan dalam produksi bihun
(Astawan, 2005). Menurut Mita (1992), pasta pati dibentuk dengan cara
pemanasan dispersi aquous di atas suhu gelatinisasi. Pasta dianggap
9
bahan komposit yang terdiri dari granula yang mengembang yang
terdispersi dalam matriks polimer (Morris, 1990; Noel, Ring, dan
Whatman, 1993 dalam Chang, et al., 2003). Oleh karena itu
karakteristik dari fase terdispersi, fase kontinu dan interaksi antara
komponen sangat penting untuk mengetahui karakteristik pasta pati
(Rao,1999 dalam Chang, et al., 2003). Gelasi pasta pati selama
pendinginan dan penuaan (aging) melibatkan perubahan dalam amilosa
dan amilopektinnya (Miles, Morris, Orford dan Ring, 1987).
Selama penyimpanan dalam jangka waktu yang cukup panjang,
proses pembentukan struktur (rekristaliasi) amilopektin berperan dalam
perubahan tekstural yang diinginkan pada pangan berbasis pati (Kulp
dan Ponte, 1981 dalam Chang, et al., 2003). Laju rekristalisasi
(retrogradasi) tergantung dari beberapa variabel yaitu rasio amilosa dan
amilopektin, suhu, konsentrasi pati, dan keberadaan dan konsentrasi
dari bahan organik dan inorganik (Whistler dan Daniel, 1996 dalam
Fennema, 1996). Menurut Lie dan Kokini (1990), mempelajari sifat-
sifat reologi pati jagung amilosa tinggi (70%) dan amilopektin tinggi
(98%) dan menunjukkan pengaruh yang kuat dari pengolahan terhadap
hasil pengukuran viskositas produk.
D. GELATINISASI
1. Konsep Gelatinisasi
Molekul pati mempunyai gugus hidrofilik yang dapat menyerap
air. Bagian yang amorf dapat menyerap air dingin sampai dengan 30%,
dan dengan pemanasan daya serap air pada pati meningkat menjadi
60% (Winarno, 1980). Penyerapan air yang besar disebabkan karena
pecahnya ikatan hidrogen pada bagian yang amorf. Pada awalnya
perubahan volume dan penyerapan air masih bersifat reversible. Namun
pada suhu tertentu, pecahnya bagian amorf akan diikuti oleh pecahnya
granula. Suhu pada saat granula pecah disebut suhu gelatinisasi. Pada
saat suhu gelatinisasi tercapai maka perubahan-perubahan yang terjadi
sudah bersifat irreversible (Hoseney, 1998).
10
Menurut Greenwood dan Munro (1979), granula pati tidak larut
dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau air
hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat reversible jika
tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi irreversible jika
telah mencapai suhu gelatinisasi.
Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisai dapat diamati.
Mula-mula suspensi pati yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu
tertentu. Terjadinya translusi larutan pati biasanya diikuti dengan
pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air
menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antar molekul pati di
dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah
yang menyebabkan bengkaknya granula pati. Indeks refraksi butir-butir
pati yang membengkak itu mendekati indeks reflaksi air dan hal inilah
yang menyebabkan sifat transluen. Karena jumlah gugus hidroksil
dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air
sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang
awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi
dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat
bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997).
Menurut Collison (1968), perubahan-perubahan yang terjadi
selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat
birefringence, granula pati akan mengalami hidrasi dan mengambang,
molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan
berkurang yang di ikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula,
kekentalan semakin meningkat dan kejernihan pasta juga akan
meningkat. Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat
merefleksikan cahaya terpolarisasi, apabila granula pati dilihat dibawah
mikroskop sehingga terlihat kristal gelap terang.
2. Mekanisme Gelatinisasi
Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap,
yaitu : (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan
11
mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan
bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan
ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan
granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai
kehilangan sifat birefringence dan (3) granula pecah jika cukup air dan
suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula
(Swinkels, 1985).
Mekanisme gelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
3. Suhu Gelatinisasi
Suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence
pati mulai menghilang (BeMiller dan Whistler, 1999 dalam Fennema,
1996). Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati (Tabel 4).
Tabel 4. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (°C)
Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64
Sumber : BeMiller dan Whistler (1999) dalam Fennema (1996)
12
Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan irreversible
granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah
kehilangan sifat kristalnya. Menurut Wirakartakusumah (1981),
keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi
adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen
lain dalam media pemanasnya.
E. MIE BASAH
Mie basah merupakan produk makanan yang terbuat dari terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
makan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Badan
Standarisasi Nasional, 1992). Mie basah memiliki kadar air maksimal 35%
(b/b). Dalam upaya diversifikasi pangan, mie dapat dikategorikan sebagai
salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan
pangan pokok.
Menurut Piyachomkwan et. al. (2001), mie dapat dibedakan
berdasarkan berbagai kriteria dan karakteristiknya. Kriteria dan karakteristik
mie tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Dalam pembuatan mie, tepung terigu berfungsi sebagai bahan
pembentuk struktur dan sumber karbohidrat serta protein. Air berfungsi
sebagai media reaksi antara karbohidrat dengan gluten, melarutkan garam,
dan membentuk sifat kekenyalan gluten. Hal tersebut dikarenakan gluten
menyerap air sebagai sehingga serat-serat gluten mengembang. Garam
dapur berguna untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air,
meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie dengan membantu reaksi
gluten dengan karbohidrat. Garam dapur juga berfungsi untuk mengikat air,
menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak
bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.
Air abu biasa digunakan dalam pembuatan mie. Air abu berfungsi
untuk memberi warna, rasa, memperkuat struktur mie, mempercepat
pembentukan gluten, meningkatkan elastisitas dan ekstensibilitas serta
menghaluskan tekstur.
13
Tabel 5. Klasifikasi mie berdasarkan kriteria dan karakteristik Kriteria Tipe Karakteristik
Bahan baku 1. Tepung gandum rendah - Mi Jepang (udon)
2. Tepung gandum tinggi - Mi Cina (ra-men)
3. Buckwheat (campuran) - Mi buckwheat (soba)
4. Tepung beras - Bihun
5. Pati kacang hijau - Mi transparan
6. Pati Ubi jalar
Berwarna putih dan putih krem, tekstur lunak. Kuning mengkilap, tekstur sedikit keras. Berwarna caklat atau abu-abu, cita rasa unik. Putih hingga kuning dan tidak transparan. Transparan, tekstur kompak dan solid
7. Pati lain (Kentang, Canna) Elastis dan transparan
Ukuran Mi 1. Sangat tipis (So-men) 2. Tipis (Hiya-mugi) 3. Standar (Udon)
1.0-1.2 mm 1.3-1.7 mm 2.0-3.8 mm
4. Pipih (Hira-men) 5.0-7.5 mm Pemprosesan 1. Tipe pengikat
- Protein : mi gandum - Pati pregelatinisasi : mi pati
2. Pembuatan untaian - Sheeting : So-men - Ekstrusi : Mi beras
3. Peralatan - Tangan : Tenobe so-men - Mesin : Udon
Produk 1. Mi segar tanpa dimasak 2. Mi matang (Kukus, rebus) 3. Mi rebus yang dibekukan 4. Mi kering
Sumber : Piyachomkwan et al. (2001). 5. Mi instan
Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan
adonan dan mencegah penyerapan minyak selama penggorengan mie.
Fungsi dari zat warna adalah memberi warna khas mie sedangkan bumbu-
bumbu digunakan untuk memberi flavor tertentu.
Pembuatan mie basah terigu terdiri atas beberapa tahapan proses,
yaitu pencampuran bahan, pengadukan, pembentukan lembaran,
pemotongan, pematangan, dan pelumuran dengan minyak sawit. Proses
pencampuran bahan bertujuan untuk menghasilkan campuran yang
homogen, mencampurkan tepung dengan air dan membentuk adonan dari
jaringan gluten sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Setelah
pencampuran, dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang
perlu diperhatikan dalam proses pengadukan adalah jumlah air yang
14
ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Tahap selanjutnya
dalah pembentukan lembaran dengan tujuan menghaluskan serat gluten dan
membuat adonan menjadi lembaran (Badrudin, 1994).
Kemudian dilakukan proses pembentukan lembaran terhadap adonan
mie. Lembaran mie yang dihasilkan kemudian dipotong dengan ukuran 1-3
mm. Untaian mie yang dihasilkan kemudian dikukus agar diperoleh mie
basah matang. Proses pematangan ini bertujuan agar terjadi gelatinisasi dan
koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994).
Gelatinisasi menyebabkan pecahnya pati dan melepaskan amilosa. Amilosa
membentuk lapisan tipis pada permukaan mie sehingga memberikan
kelembutan pada mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi
daya rehidrasi mie.
Terakhir, untaian mie basah matang diberi minyak sawit. Proses ini
bertujuan mencegah lengketnya untaian mie dan memperbaiki penampakan
mie agar mengkilap (Mugiarti, 2001). Beberapa syarat mutu mie basah
dapat dilihat pada Tabel 6.
Menurut Hou dan Krouk (1998), warna dan tekstur merupakan
karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie
basah dan menyatakan persyaratan warna untuk mie basah matang adalah
warna kuning cerah dan tidak pudar dalam 24 jam. Sedangkan untuk
persyaratan tekstur, Hou dan Krouk (1998), mie basah matang harus
memiliki tekstur yang kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit dan
memiliki tekstur yang stabil dalam air panas. Sedangkan menurut Astawan
(2005) secara fisik, diameter mie basah berkisar antara 1.5–2 mm.
15
Tabel 6. Syarat mutu mie basah menurut SII 2046-90 No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan :
1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna
- - -
Normal Normal Normal
2. Kadar air % b/b 20-35 3. Kadar abu (bk) % b/b Maksimal 3 4. Kadar protein (bk) % b/b Minimal 3
5. Bahan tambahan pangan : 5.1. Boraks dan asam borat 5.2. Pewarna 5.3. Formalin
- - -
Tidak boleh ada sesuai SNI-02220 M dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88
6. Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimal 1.0
Maksimal. 10.0 Maksimal 40.0 Maksimal 0.05
7. Arsen mg/kg Maksimal 0.05 8. Cemaran mikroba
8.1. Angka Lempeng Total 8.2. E. coli 8.3. Kapang
Koloni/gram APM/gram
Koloni/gram
Maksimal 1.0 x 106
Maksimal 10 Maksimal 1.0 x 104
Sumber : Departemen Perindustrian (1990)
F. MIE BASAH JAGUNG
Mie basah jagung merupakan mie basah yang dibuat dengan
menggunakan bahan baku utama tepung jagung. Pembuatan mie basah
jagung (mie non terigu) memanfaatkan prinsip gelatinisasi pati
menggantikan fungsi protein pada mie terigu yang berguna untuk
membentuk struktur mie
Pembuatan mie basah jagung secara umum menurut Subarna et al
(1999) dalam Fahmi (2007) dapat dilihat pada Gambar 3.
Pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi
berbahan baku tepung jagung pertama kali dilakukan oleh Fahmi (2007).
Proses pembuatan mie basah jagung ini terdiri dari tahap pencampuran
bahan dan pemasakan yang terjadi selama di dalam ekstruder, pencetakan
menjadi untaian mie dan perendaman untaian mie dalam air dingin. Proses
pembuatan mie basah jagung metode ekstrusi yang dilakukan oleh Fahmi
(2007) berbeda dengan proses pembuatan mie terigu, terutama pada proses
pencampuran, pemasakan dan pencetakan adonan menjadi untaian mie.
Penelitian Fahmi (2007) menggunakan alat ekstruder pemasak (forming
16
extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-
30/C dari Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand), sedangkan pada
penelitian ini digunakan jenis ekstruder pencetak mie yang berbeda yaitu
pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle modality machine,
Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China.
Jagung kuning dipipil, direndam air biasa selama 12 jam
Disaring 60 mesh dan pati kasarnya diendapkan dan ditiriskan 10 menit
Digiling dengan Buhr Mill (gilingan batu)
Cake (pasta) pati digiling dan dibentuk pelet
Digiling dan dicetak menggunakan ekstruder piston
Mie basah
Dikukus 15 menit
Mie dikukus 15 menit
Gambar 3. Proses pembuatan mie jagung metode ekstrusi piston (Subarna et al, 1999 dalam Fahmi, 2007)
Metode calendering dilakukan pada proses pembuatan mie basah
jagung sebelum Fahmi (2007). Metode ini membutuhkan pembuatan
lembaran dengan cara melewatkan bahan baku (adonan) secara berulang-
ulang diantara dua rol logam. Setelah lembaran terbentuk, adonan dipotong
menjadi untaian mie menggunakan slitter.
Menurut Budiyah (2004) proses pembuatan mie menggunakan
metode calendering memiliki beberapa kelemahan, yaitu perlunya proses
pengendalian suhu dan kelembaban selama proses, waktu pengolahan yang
cukup lama karena tahapan proses yang panjang, yaitu proses pencampuran
bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran,
pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran mie
dengan minyak.
17
Untuk itu perlu dilakukan modifikasi teknik dalam pembuatan mie
basah non terigu, salah satunya menggunakan ekstruder. Teknik
pembuatan mie jagung dengan ekstrusi piston memiliki kelebihan yaitu
proses yang lebih sederhana karena tidak memerlukan tahapan proses
sheeting dan slitting, pengulian, dan pembentukan lembaran sehingga
membutuhkan waktu produksi yang lebih singkat (Subarna et al, 1999
dalam Fahmi 2007).
G. REOLOGI MIE BASAH
Menurut Szczesniak dalam Peleg dan Bagley, 1983 Reologi adalah
ilmu tentang deformasi dan aliran bahan. Reologi pada bahan padat
merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan
reologi pada bahan cair merupakan hubungan antara gaya dengan aliran.
Menurut Fahmi (2007), pada produk mie beberapa sifat reologi yang
penting di antaranya adalah kekerasan, kekenyalan dan kekuatan tarik
(tensile strength).
Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya
tekan yang diberikan. Sifat keras untuk menyatakan sifat benda atau produk
pangan padat yang tidak bersifat deformasi. Kekenyalan merupakan sifat
bahan elastis yang bersifat deformasi (perubahan bentuk). Kekenyalan
(elasticity) merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat
penting pada produk mie. Kekenyalan diukur menggunakan Texture
Analyzer. Alat ini akan mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai
bahan padat (mie) mengalami deformasi (Fahmi, 2007).
Tensile strength merupakan gaya yang diperlukan untuk menarik
bahan (untaian mie) hingga putus. Tensile strength menunjukkan kekuatan
elastisitas suatu bahan. Rheoner merupakan alat yang digunakan untuk
mengukur tensile strength dengan cara mengukur gaya yang diperlukan
sampai bahan (mie) putus (Szczesniak dalam Peleg dan Bagley, 1983)
18
H. EKSTRUSI
1. Ekstruder
Menurut Harper (1981), ekstruder adalah alat untuk mencetak
bahan melalui proses ekstrusi. Ekstruder terdiri atas berbagai bentuk.
Bentuk yang paling sederhana adalah ekstruder tipe ram atau piston.
Ekstrusi pemasakan merupakan proses dimana bahan pangan yang
mengandung pati dan protein dimasak dan diadon menjadi adonan yang
viskos dan plastis. Panas yang digunakan dalam proses pemasakan
dapat berasal dari injeksi uap (secara langsung), dari jaket pemanas
(secara tidak langsung), dan berasal dari energi mekanik yang timbul
dari gesekan adonan selama proses ekstrusi (Harper, 1981).
Menurut Muchtadi et al. (1987), ekstruder dapat
diklasifikasikan berdasarkan sifat termodinamika, kadar air, sifat
fungsional, dan jumlah ulir. Berdasarkan sifat fungsional, ekstruder
terdiri atas pasta extruder, high-pressure forming extruder, low–shear
cooking extruder, coolet extruder, dan high–shear cooking extruder.
Secara termodinamika, ekstruder terbagi atas tiga jenis yaitu :
autogenous yaitu ekstruder yang menghasilkan panas dengan
mengkonversi energi mekanik pada aliran proses; isotermal ekstruder;
dan polythropic yaitu ekstruder yang prinsip kerjanya menggabungkan
antara autogenous ekstruder dan isotermal ekstruder dimana panas
diperoleh dari konversi energi mekanik dan dari transfer panas (Harper,
1981 dan Muchtadi et al., 1987).
Berdasarkan kadar air, ekstruder terbagi atas low moisture
extruder dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediate moisture
extruder dengan kadar air bahan 20-28%, dan high moisture extruder
dengan kadar air bahan lebih dari 28%. Berdasarkan jumlah ulirnya,
ekstruder terbagi atas ekstruder berulir ganda dan ekstruder berulir
tunggal (Harper, 1981 dan Muchtadi et al., 1987).
Ekstruder ulir ganda dapat diklasifikasikan berdasarkan arah
perputaran ulirnya, terdiri dari co-rotating screw extruder (ekstruder
dengan arah perputaran ulir yang searah) dan counter rotating screw
19
extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang berlawanan).
Ekstruder dengan ulir yang co-rotating banyak diaplikasikan dalam
proses pengolahan pangan. Beberapa kelebihan ekstruder ulir ganda
yaitu : memiliki kontrol yang lebih baik terhadap tranfer panas
dibandingkan ekstruder ulir tunggal, dapat menangani bahan pangan
yang sangat basah, lengket, dan berminyak, serta dapat menggunakan
bahan pangan dengan ukuran partikel yang bervariasi (Fellows, 1990).
Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir yang berputar pada
barel silinder. Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi :
high shear ekxtruder (untuk produk–produk sereal sarapan pagi dan
makanan ringan), medium shear extruder (untuk produk–produk semi
basah), dan low shear extruder (untuk pasta dan produk–produk
daging). Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal
lebih rendah daripada biaya ekstruder berulir ganda, selain itu tidak
dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan ekstruder
berulir tungggal (Fellows, 1990).
Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga
kelompok yaitu Low Shear, Medium Shear, dan High Shear. Jenis-jenis
ekstruder tersebut dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal Kategori Low Shear Medium
Shear High Shear
Kadar Air Produk (%) 25 – 75 15 – 30 5 – 8 Densitas produk (g/ 100ml) 32 – 80 16 – 51 3.2 – 20 Suhu barrel maksimum (°C) 20 – 65 55 – 145 110 – 180 Tekanan barrel maksimum (kg /cm2) 6 – 63 21 – 42 42 – 84 Kecepatan ulir (rpm) 100 200 200
Snack, breakfast
cereal Produk khas
Produk pasta
daging
Roti, makanan
ternak Sumber : Smith, 1981
Ekstruder ulir tunggal paling cocok digunakan untuk
mengektrusi produk pasta. Hal dikarenakan ekstruder memiliki silinder
yang licin dan tidak mempunyai bagian yang dapat membawa padatan,
serta biasanya mempunyai bentuk geometris ulir yang konstan. Alat ini
mendekati paling mendekati ekstruder jenis isotermal karena hanya
20
mengakibatkan kenaikan suhu yang paling rendah. Pemotongan cepat,
continue, alat tidak lansung (proses) cocok diaplikasikan untuk produk
pasta dan produk sosis (Muchtadi et al., 1987)
2. Proses Ekstrusi
Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang
mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara
lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan
(Fellows, 1990). Menurut Harper (1981), dalam proses ekstrusi, adanya
aliran adonan disebabkan oleh pengaruh tekanan shear (σ), dimana
tekanan shear tergantung pada kecepatan ’shear’ dan viskositas bahan.
Pada aliran newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan shear dan
kecepatan shear. Aliran seperti ini biasanya terdapat pada aliran gas.
Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer
seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaedah non-newtonian
Keuntungan proses pemasakan dengan metoda ekstrusi antara
lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas,
produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama,
pemakaian energi rendah serta mutu produk lebih tinggi karena
menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga
kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Fellows, 1990). Selain itu, produk
yang dihasilkan seragam, peralatannya mudah diotomatisasi, dan tidak
banyak limbah.
I. SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM)
SEM (Scanning Electron Microscope) merupakan alat untuk melihat
benda yang sangat kecil dalm bentuk stereo dengan skala perbesaran tinggi
(Noor, 2001). Prinsip dasar SEM ditemukan pada tahun 1930 di Jerman.
Sesudah perang dunia II, penelitian ini berlanjut di London. Kemajuan
teknologi SEM berhasil dilakukan oleh Jepang karena negara ini mampu
memproduksi SEM dengan melakukan banyak penelitian dan
perkembangan teknologi SEM. Penelitian ini menggunakan SEM keluaran
21
Jepang, JEOL (Jepang Electron Optical Laboratory) JSM 5200 Scanning
Microscope Multi Purpose SEMs. Untuk spesifikasi dari JEOL JSM 5200
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Spesifikasi JEOL 5200 SEMs Resolution HV Mode
LV Mode 5.0 nm 8.0 nm
Magnification HV Mode LV Mode
x 15 to 200.000 x 15 to 50.000
Accelerating 1.2 kV Voltage 5 to 25 kV
(5 kV steps)
SEM memiliki perbesaran yang bervariasi (sekitar 10x –
1.000.000x). Menurut Noor (2001), prinsip kerja SEM terbagi dua, yaitu (1)
informasi yang didapatkan dari irradiasi pancaran elektron dan (2) prinsip
perbesaran. Apabila suatu pancaran elektron diiradiasi pada permukaan
sampel, interaksi antara pancaran elektron dan atom-atom yang dikandung
oleh sampel akan memberikan bermacam-macam informasi (Gambar 4).
Gambar 4. Bermacam-macam informasi pancaran elektron (Noor, 2001)
Apabila dilakukan scanning pada permukaan suatu sampel dengan
fokus pancaran elektron yang tepat informasi akan diperoleh dari setiap titik
scanning. Informasi ini akan dirubah kedalam bentuk signal elektrik,
dikuatkan dan disalurkan ke Cathode Ray Tube (CRT). Pada CRT,
informasi digunakan untuk mengontrol tingkatan cahaya pada titik-titik
yang bersangkutan. Informasi yang didapatkan dari permukaan sampel
ditayangkan di CRT dalam bentuk gambar. Perbesaran sampel didefinisikan
sebagai ratio dari ukuran gambar di CRT dengan ukuran pancaran elektron
yang menscanning permukaan sampel (Gambar 5).
22
Gambar 5. Prinsip perbesaran gambar sampel (Noor, 2001)
SEM secara umum berfungsi untuk melihat bagian permukaan dari
sampel. Signal-signal SEM bisa membawa berbagai macam informasi dan
digunakan untuk tujuan yang berbeda. Kegunaan SEM berdasarkan signal-
signal dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kegunaan SEM berdasarkan signal-signal yang digunakan Signal Mode Operasi Tujuan SEM Secondary Electron SEI Pengamatan topografi suatu permukaan Backscattered Electron BEI Komposisi permukaan X-Ray X-Ray Analisa elemen spedimen Transmitted Electron TEI Pengamatan struktur internal Cathodoluminescence CL Pengamatan karakteristik internal Electromotive Force EBIC Pengamatan karakteristik internal Secondary Electron ECP Struktur cristaline Backscattered Electron MDI Pengamatan magnetic domain
Sumber : (Noor, 2001)
Pada penelitian ini dilakukan analisis topografi sampel sehingga
signal yang digunakan adalah Secondary Electron Immage (SEI). Jumlah
secondary electron yang dihasilkan dari suatu permukaan sampel
tergantung pada sudut pantulan pancaran elektron yang mengenai
permukaan sampel.
23