hubungan pusat dan daerah.pdf

118
LAPORAN AKHIR PEMAHAMAN & SOSIALISASI PENYUSUNAN RUU TATA HUBUNGAN KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT & DAERAH Penyusun: Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D, Prof. Eko Prasojo, Mag.rer.publ, Dr.rer.publ, Prof. Irfan Ridwan Maksum, Drs, M.Si Harsanto, SH, M.Si Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc Bani Pamungkas, SH KERJASAMA ANTARA KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA FISIP UNIVERSITAS INDONESIA

Upload: aqu-pradana-djafar

Post on 23-Jan-2016

43 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAPORAN AKHIR PEMAHAMAN & SOSIALISASI PENYUSUNAN RUU TATA HUBUNGAN

KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT & DAERAH

Penyusun:

Safri Nugraha, SH, LLM, Ph.D, Prof. Eko Prasojo, Mag.rer.publ, Dr.rer.publ, Prof.

Irfan Ridwan Maksum, Drs, M.Si Harsanto, SH, M.Si

Teguh Kurniawan, S.Sos, M.Sc Bani Pamungkas, SH

KERJASAMA ANTARA

KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN

PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAERAH DAN KOTA FISIP UNIVERSITAS INDONESIA

Page 2: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif

iii

Bab I

Pendahuluan

1

Bab II

Hubungan Wewenang Antara Pemerintah dan Daerah serta Antar Daerah

8

Bab III

Tata Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

25

Bab IV

Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia

32

Bab V

Kesimpulan dan Saran

56

Daftar Pustaka

58

Lampiran : Draft 3 RUU – 1 Desember 2006

Page 3: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

1

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAHULUAN Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat. Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen secara eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat Undang-undang (UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: ”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.” Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU. Sandaran legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun sebuah UU. Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari terjadinya tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selanjutnya pada frasa “tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak hanya melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan. Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam UU yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas, kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari. Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi. Fokus penyusunan RUU tersebut diarahkan pada penentuan materi dan susunan yang akan termuat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan

Page 4: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

2

Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan Naskah Akademik yang sudah ada. Untuk itu, kajian dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara metode desk riset, focus group dicussion, konsinyasi, seminar/lokakarya, serta sosialisasi. Berdasarkan telaah filosofi yang ada dari hasil desk riset, materi yang akan diatur dalam RUU berlandaskan kepada sejumlah analisis berikut ini. HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA ANTAR DAERAH

Kedudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah bersifat subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus oleh Pemerintah (local government is creature of central government). Namun dilihat dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi maupun antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang bersifat resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward) dan sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan antara Provinsi dan Kabuapten/Kota. Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok besar hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang terpecah menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni hubungan antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi lainnya. Ketiga adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada hubungan antara Provinsi dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi, serta hubungan antar Kabupaten/kota pada Provinsi yang bertetangga. Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi. Banyaknya Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada menambah kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali hubungan yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya beberapa motif sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam. Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks terjadi. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur memiliki hubungan wewenang yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya. Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No.

Page 5: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

3

32 Tahun 2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut. Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang antar Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati perlunya pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND sendiri di tingkat pusat.

Hubungan wewenang antara Pemerintah dan Daerah, dan antar Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14 ayat (3) akan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas bertentangan dengan UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas menyatakan bahwa hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU. Dalam konteks desentralisasi, pembagian kewenangan Pemerintahan merupakan pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah-Daerah otonom. Kewenangan Pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah hanyalah kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan kewenangan yudikatif (peradilan). Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100% desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan pemerintah yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi dengan desentralisasi. Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur sentralisasi. Oleh karena itu, penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah sistem pemerintahan, membawa pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan (2) wewenang yang dapat didesentralisasikan. Wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah wewenang pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal urusan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter), yustisisi dan agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni sentralisasi, (2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu wewenang yang dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang concurrent dapat dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena adanya urusan-urusan yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2) dekonsentrasi juga dapat dilakukan apabila diperlukan pelembagaan apparatus pusat di daerah, (3) desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan. Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.

Page 6: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

4

Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas; dan (3) efisiensi. Namun masih dapat dikembangkan pula melalui kriteria “catchment area” yang tidak diatur dalam UU tersebut. Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih terarah. Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan. Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah. Undang-undang tersebut harus menata proses hubungan yang dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut. Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/ Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Dengan demikian RUU Tata hubungan ini pun harus diarahkan kepada kemungkinan penataan badan semacam ini bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi. Badan semacam ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di negara lain diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional. TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh Frank P. Sherwood pun diungkap hal yang senada. Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat. Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in unity”.

Page 7: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

5

Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut. Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada 1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni pengairan (irigasi) berupa ‘waterschappen’ yang di negeri Belanda sendiri hidup dan berkembang pesat. Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada dalam desentralisasi teritorial. Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial) Dalam berbagai pendapat pakar, diketahui bahwa penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah. Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah, persoalan-persoalan persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah dari setiap

Page 8: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

6

jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang yang diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya posisi gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur itu adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah otonom itu adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus mengintegrasikan kembali (how to reintegrated). Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah. Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru merebak “dispute” yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah. Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci. Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas (Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis? Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan. Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk menghindari polemik. Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan sub-sistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c) tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal, pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.

Page 9: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

7

Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan Wilayah. Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang baik. Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal, horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam antar ketiga area tersebut. HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

Ada dua alasan utama mengapa “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia” merupakan hal yang penting untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah, adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar (sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik, gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami

Page 10: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

8

semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru. Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2). Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95). Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun negara yang berstruktur unitaris (kesatuan). Dinamika Hubungan Pusat - Daerah Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negara-negara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan Swiss. Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal, tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang berkembang. Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya (Laufer dan Ursula, 1998: 14). Dalam problem setiap negara bangsa, tugas terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi

Page 11: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

9

sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut. Problematika Hubungan Pusat – Daerah di Indonesia Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia, marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek hubungan tersebut pada masa kekinian dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18 UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Efek domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54). Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina, Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik, faktor ekonomi dan faktor demografi. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan Soeharto. UU No. 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan

Page 12: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

10

pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi. Konstruksi hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun 1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259). Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah. Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah. Konstruksi Hubungan Pusat – Daerah Pasca Orde Baru Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk konsep ini Smith, 1985:24). Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia. Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga politik afiliasi dan politik akomodasi. Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah

Page 13: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

11

keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran. Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya. Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Pada sisi lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon dan ditindaklanjuti. Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Pemilihan langsung kepala daerah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif. Meskipun demikian, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun sangat bangga dengan program-program yang telah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo

Page 14: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

12

dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi keberlanjutan program-program inovasi tersebut. Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22 No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka. Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah. Konstruksi Ulang Hubungan Pusat – Daerah untuk Indonesia Dalam hal konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan tersebut. Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

Page 15: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

13

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini, penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945 perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan praktek di negara federal. Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi (fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah. Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur. Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan, pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal, seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batas-batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-masalah yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah terbentuk. Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini, karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi, pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya. Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah. Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan

Page 16: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

14

Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004 dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat. Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya, ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein, 2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12). Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi, sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999 menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal pembagian wewenang. Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya, untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,

Page 17: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

15

propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan. Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah, inkonsistensi ini membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan. Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat dan daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama, dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki. Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1) kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi, (3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan, dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan tersebut dapat dikurangi. Diusulkan agar pembagian kewenangan berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan secara tuntas di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung menguntungkan pusat dan melemahkan daerah. Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD 1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan

Page 18: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

16

dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga, kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien. Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane, 1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumber-sumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara, meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga terjadi. Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, ditawarkan pengungkit yang dapat dijadikan sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan antara pusat dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan pajak dan bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar daerah, dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua, keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil pajak. Kelima, perlunya mempertegas dan memperjelas ketentuan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin kedudukan hukum pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.

Page 19: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

17

Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi juga Undang-undang yang lainnya.

Page 20: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

1

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Kebijakan nasional yang menjadi produk hukum untuk mengatur sistem

kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus memiliki legitimasi yang kuat.

Legitimasi dari setiap produk hukum terutama dapat dihubungkan dengan

sandaran legalitas dari produk hukum tersebut. Dalam hal tata hubungan

kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah, UUD 1945 hasil amandemen secara

eksplisit menyatakan perlunya sebuah produk hukum setingkat Undang-undang

(UU). Pada Ayat (1) Pasal 18 A UUD 1945 menyatakan sebagai berikut:

”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”

Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata

hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk

hukum lain, tetapi secara khusus harus disusun pada sebuah UU. Sandaran

legalitas dari Pasal tersebut sangatlah kuat untuk menyusun sebuah UU.

Persoalan muncul, apakah UU yang akan mengatur hubungan kewenangan

tersebut akan bersamaan dengan UU yang mengatur perihal pemerintahan

daerah? Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab guna menghindari terjadinya

tumpang-tindih materi pengaturan yang berkaitan dengan materi tata hubungan

kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Selanjutnya pada frasa “tata hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat

dan Daerah”, dengan menilik sistematika asas pemerintahan yang tidak hanya

melalui desentralisasi dan tugas pembantuan semata, maka materi tata

Page 21: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

2

hubungan kewenangan juga mengatur asas dekonsentrasi sebagai sebuah

sistem pemerintahan.

Materi tata hubungan kewenangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah ini

mengatur asas dekonsentrasi yang tidak menjadi materi pengaturan dalam UU

yang mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut di atas,

kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih sesungguhnya dapat dihindari.

Oleh sebab itu diperlukan suatu kegiatan yang komprehensif guna menyusun

rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dalam tata hubungan kewenangan

antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting dan perlu

untuk mengurangi persoalan-persoalan yang selama ini menyertai hubungan

pemerintah pusat dan daerah terlebih dalam era otonomi.

Pokok Permasalahan

Dari uraian di atas, kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang ini

berfokus pada pokok masalah berikut:

1. Berdasarkan naskah akademik yang ada, materi apa saja yang termuat

dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara

Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah?

2. Bagaimana susunan Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut?

3. Bagaimana melakukan sosialisasi RUU Tata Hubungan wewenang hubungan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka

umpan balik bagi perbaikan RUU tersebut?

Page 22: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

3

Tujuan

Dari fokus tersebut di atas, maka kegiatan ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi materi-materi yang termuat dalam Rancangan Undang-

undang (RUU) Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan

Daerah serta antar Daerah berdasarkan naskah akademik yang sudah

disusun sebelumnya.

2. Menyusun RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan

Daerah serta antar Daerah.

3. Mengembangkan kegiatan sosialisasi dalam rangka feed-back bagi perbaikan

susunan RUU tersebut.

Manfaat Sebuah RUU memberikan kepastian dalam menyusun UU yang sesungguhnya,

sehingga materi yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan

bernegara semakin tinggi kualitasnya karena terjamin kepastian hukum sesuai

dengan cakupannya. Oleh karena itu, RUU Tata Hubungan Wewenang antara

Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah ini memberikan landasan yang

kuat bagi Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menjalankan berbagai

kewenangan dalam rangka penyempurnaan kerangka hukum desentralisasi.

Metodologi Penyusunan

Berdasarkan naskah akademik Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah

Pusat dan Daerah serta antar Daerah, maka penyusunan RUU Tata Hubungan

Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dilakukan

melalui serangkaian metoda:

Page 23: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

4

1. Desk Riset dengan menelaah informasi-informasi yang telah ada sebelumnya

yang berkaitan dengan topik kegiatan.

2. Focus Group Discussion, merupakan Diskusi Kelompok Terarah yang

dilaksanakan dengan mengumpulkan nara sumber yang bisa dikatakan

homogen dalam suatu ruangan. FGD ini diharapkan bisa dilaksanakan di

semua daerah di Indonesia yang dianggap representatif

3. Konsinyasi untuk menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Tata

Hubungan.

4. Seminar/Lokakarya hasil penelitian berupa naskah akademik untuk

mendapatkan masukan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang

5. Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Kewenangan

Pemerintah, Provinsi Dan Kabupaten/Kota

Ruang Lingkup

Kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tata Hubungan Dan

Pembagian Kewenangan ini mencakup tata hubungan dan pembagian

kewenangan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota atau antara

Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan jadwal pelaksanaan berikut:

Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Aktivitas 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Desk Riset Focus Group Discussion Konsinyasi Seminar/Lokakarya Sosialisasi

Page 24: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

5

Rincian Langkah Kegiatan

Adapun rincian langkah pelaksanaan kegiatan berdasarkan metode

pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

Kegiatan yang dilakukan

Durasi Pelaksanaan

Bentuk Keluaran

Desk Riset Penelaahan informasi dari naskah akademik dan informasi lainnya dari berbagai sumber yang relevan dengan topik kegiatan

Dalam kurun waktu 2 (dua) bulan selama

kegiatan dilaksanakan

Informasi mengenai urgensi penyusunan RUU berdasarkan peraturan yang ada serta kebutuhan materi yang harus diatur dalam RUU

Focus Group Discussion

Pelaksanaan Diskusi Kelompok Terarah dengan mengumpulkan nara sumber yang homogen dalam suatu ruangan.

4 (empat) kali pelaksanaan @ 2

jam

Masukan nara sumber mengenai materi pengaturan RUU

Konsinyasi Penyusunan naskah RUU Tata Hubungan

2 (dua) kali @ 2 hari pelaksanaan

Draft RUU

Seminar / Lokakarya

Pemaparan hasil penelitian berupa naskah akademik dan draft sementara RUU untuk mendapatkan masukan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang

4 (empat) kali @ 2 jam pelaksanaan

Masukan penyempurnaan Naskah Akademik dan Draft Sementara

Sosialisasi Mensosialisasikan Daraft RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah, Provinsi Dan Kabupaten/Kota

3 (dua) kali @ 2 jam pelaksanaan

Masukan terhadap Draft Akhir RUU

Page 25: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

6

Sistematika Laporan

Laporan ini terdiri dari 5 (lima) Bab sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang, pokok masalah, tujuan

dan manfaat dari dilaksanakannya pemahaman dan sosialisasi penyusunan

RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta metode

yang digunakan dan ruang lingkup pekerjaan yang dilakukan dalam kegiatan

pemahaman dan sosialisasi penyusunan RUU tersebut. Selain itu, bab ini juga

berisikan jadwal pelaksanaan kegiatan, rincian langkah kegiatan dan sistematika

penyusunan laporan.

Bab II: Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah.

Bab ini berisikan urgensi penyusunan hubungan wewenang antara Pemerintah

dan Daerah serta antar Daerah berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen dan

UU 32/2004, pembagian urusan-urusan kepemerintahan yang dapat dilakukan

serta kedudukan dari badan khusus yang mungkin saja dibentuk akibat

pembagian urusan-urusan kepemerintahan tersebut.

Desk Riset

Focus Group Discussion

Konsinyasi Seminar/Lokakarya

Sosialisasi

Page 26: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

7

Bab III: Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Bab ini berisikan

esensi dari penyelenggaraan desentralisasi dan kebutuhan akan pengaturan

hubungan kewenangan dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut, serta

kemungkinan pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Daerah

yang dapat dilakukan.

Bab IV: Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia. Bab

ini berisikan dinamika hubungan antara Pusat dan Daerah selama ini serta

problematika yang dihadapinya, konstruksi hubungan di masa orde baru, serta

bagaimana mengkontruksi ulang hubungan tersebut guna mencapai titik

keseimbangan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Bab V: Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan

yang dilakukan terhadap hubungan antara Pemerintah dan Daerah serta saran

yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti kegiatan pemahaman dan

sosialisasi penyusunan RUU ini di masa datang.

Page 27: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

8

BAB II HUBUNGAN WEWENANG ANTARA PEMERINTAH DAN DAERAH SERTA

ANTAR DAERAH

Pendahuluan

Undang-Undang Dasar 1945 telah diubah beberapa kali. Dalam beberapa kali

perubahan selain tetap mempertahankan beberapa pasal-pasal asli, terdapat

juga beberapa pasal-pasal yang diubah. Salah satu Pasal yang diubah adalah

Pasal 18.

Perubahan Pasal 18 ini tergolong rumit. Judul bab yang membawahi Pasal 18,

baik pada Pasal yang asli maupun Pasal-Pasal hasil amandemen tetap sama

yaitu dengan judul Pemerintah Daerah. Pasal 18 baru hasil amandemen terakhir

terdiri dari 7 (tujuh) ayat. Ayat (1) Pasal 18 hasil amandemen ini mendapat

inspirasi dari Penjelasan Pasal 18 asli dan Tap MPR No. IV/MPR/2000 yang

merekomendasikan agar otonomi disusun secara bertingkat.

Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen yang lain yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B,

masing-masing dijabarkan dalam 2 (dua) ayat. Sekalipun Pasal-pasal tersebut,

khususnya pasal 18A (1) secara eksplisit hanya mengatur desentralisasi dan

tugas pembantuan, namun pengaturan oleh produk hukum yang lebih rendah

dan penyelenggaraan dekonsentrasi tidak dapat dicegah. Pengaturan dan

penyelenggaraan dekonsentrasi sebenarnya merupakan bagian dari pengaturan

dan penyelenggaraan sentralisasi. Oleh karena itu tidak perlu diatur dalam UUD.

Kedudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah bersifat

subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan Pemerintah dan dapat dihapus oleh

Pemerintah (local government is creature of central government). Namun dilihat

dari konsep hubungan wewenang baik antara Pemerintah dan Provinsi maupun

Page 28: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

9

antara Pemerintah dan Kabupaten/Kota merupakan hubungan yang bersifat

resiprokal (tidak bersifat satu arah) dari atas kebawah (downward) dan

sebaliknya (upward). Hubungan tersebut berlaku pula bagi hubungan antara

Provinsi dan Kabuapten/Kota. Hubungan demikian merupaka hubungan yang

dirumuskan dalam butir kedua dan keempat seperti yang tercantum dalam

sasaran kebijaka otonomi daerah dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 sebagai

berikut :

1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah.

2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar-pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan.

3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah

Dilihat dari aspek penyelenggaraan desentralisasi, tampak tiga kelompok besar

hubungan yang terjalin, yaitu: pertama, hubungan vertikal yang terpecah

menjadi hubungan antara Pemerintah dan Provinsi dan hubungan antara

Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kedua, hubungan diagonal yakni hubungan

antara Provinsi tertentu dan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi lainnya. Ketiga

adalah hubungan horizontal yang dapat terjadi pada hubungan antara Provinsi

dan hubungan antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi, serta hubungan antar

Kabupaten/kota pada Provinsi yang bertetangga. Jika disederhanakan dalam

bagan, terdapat pola-pola hubungan yang dapat terjadi sebagai berikut :

Page 29: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

10

Hubungan-hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari

bekerjanya sisitem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakekat

desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi. Banyaknya

Daerah otonom baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang ada menambah

kompleksitas bekerjanya hubungan-hubungan tersebut. Seringkali hubungan

yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya beberapa motif

sosial-ekonomi dengan lingkup yang beragam.

Penyelenggaraan dekonsentrasi menambah hubungan yang sudah kompleks

terjadi seperti tergambar dalam bagan. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur

memiliki hubungan wewenang yang dapat dirinci atas : (1) hubungan antara

Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan Kepala Lembaga

Pemerintah Non Departemen; (2) hubungan antara Gubernur sebagai wakil

Pemerintah dan Daerah Provinsi di wilayahnya; dan (3) hubungan antara

Gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Kabupaten/Kota di wilayahnya.

Hubungan yang terjadi baik dalam kerangka asas desentralisasi maupun dalam

kerangka asas dekonsentrasi bersifat resiprokal. Undang-undang No. 32 Tahun

2004 nampaknya lebih mengarah kepada peraturan hubungan yang bersifat

Pemerintah

Provinsi

Kabupaten Kota

Provinsi

Kabupaten Kota

Page 30: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

11

searah dan hirarkis semata (downward). Disamping itu, hubungan yang bersifat

diagonal pun tidak banyak terakomodasi dalam UU tersebut.

Yang dimaksud Pemerintah dalam UU 32 tahun 2004 adalah semata-mata

Presiden. Oleh karena itu perlu dirinci kemungkinan hubungan wewenang antar

Para Menteri/kepala LPND dengan Daerah, dengan mencermati perlunya

pengaturan hubungan wewenang antar Para Menteri/Kepala LPND sendiri di

tingkat pusat. Berbagai Pasal dalam UU No. 32 tahun 2004 yang memuat secara

langsung materi hubungan wewenang antara pemerintah dan Daerah dan antar

Daerah dipaparkan dalam tabel berikut :

No Pasal Pernyataan interpretasi 1 Pasal 2 ayat (4) Pemerintahan Daerah

dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan Pemerintahan Daerah

Frasa ’Pemerintahan Daerah’ tidak lazim secara normatif digunakan sebagai frasa yang menunjukkan organ. Lazimnya adalah ’Pemerintah Daerah’ atau ’Daerah otonom’.

2 Pasal 2 ayat (5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya

Hubungan yang terselenggara antar Pemerintah dan Daerah dan antar Daerah meliputi empat aspek

3 Pasal 2 ayat (6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras

Terdapat prinsip keadilan dan keselarasan

4 Pasal 2 ayat (7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan

Ayat 7 ini cukup membingungkan karena di dalam ayat sebelumnya telah disinggung hubungan antar susunan Pemerintahan dalam empat aspek, tetapi kemudian

Page 31: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

12

kewilayahan antar susunan Pemerintahan

dinyatakan lebih spesifik dalam hal administrasi dan kewilayahan.

5 Pasal 10, 11, 12, 13, dan 14

(Lih. dalam UU) Dasar material bagi pembagian urusan yang merupakan koridor bagi hubungan wewenang. Pada pasal 14 ayat (3) dinyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut bagi pasal 10, 11, 12, 13, dan 14 dengan Peraturan Pemerintah

6 Pasal 15, 16, 17, 18

(Lih. dalam UU) Dasar aturan bagi hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Masing-masing pasal memuat pernyataan bahwa aturan pelaksanaan hubungan di tiap aspek tersebut dengan peraturan perundang-undangan.

Seperti tergambar pada tabel di atas, hubungan wewenang antara Pemerintah

dan Daerah, dan antar Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pada pasal 14

ayat (3) akan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas

bertentangan dengan UUD Pasal 18 amandemen terakhir yang secara tegas

menyatakan bahwa hubungan wewenang tersebut diatur dengan UU.

Disamping materi yang secara langsung terkait dengan perihal hubungan antar

Pemerintah dan Daerah serta hubungan antar Daerah, UU No.32 tahun 2004

juga memuat berbagai pasal yang tidak secara langsung berkaitan. Berikut ini

adalah tabel yang memuat pasal-pasal yang dimaksud :

No Pasal Pernyataan interpretasi 1 Pasal 5 ayat (3) Syarat administratif

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk

Hubungan wewenang ini dalam rangka asas desentralisasi.

Page 32: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

13

Kabupaten/ Kota meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupaten/ Kota dan Bupati/ WaliKota yang bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri dalam negeri

Menandakan adanya hubungan hirarkis dan dari bawah. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

2 Pasal 6 ayat (2) Penghapusan dan penggabungan Daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Hubungan wewenang yang dilakukan dalam rangka asas desentralisasi bersifat vertikal dari Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

3 Pasal 7 ayat (3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul dan persetujuan Daerah yang bersangkutan

Hubungan wewenang dalam rangka asas desentralisasi bersifat vertikal kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

4 Pasal 9 ayat (4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan Daerah yang bersangkutan

Hubungan wewenang dalam ayat ini tidak jelas dalam rangka asas apa? Secara vertikal dari Pemerintah. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

5 Pasal 9 ayat (5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepeada Pemerintah

Dalam rangka asas desentralisasi secara vertikal dari bawah (Daerah) kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

6 Pasal 27 ayat (2)

Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala Daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan

Hubungan wewenang dalam rangka asas desentralisasi secara Vertikal kepada Pemerintah dan internal kepada DPRD dan masyarakat. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

Page 33: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

14

keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat.

7 Pasal 27 ayat (3)

Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri dalam negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati WaliKota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Hubungan wewenang Hirarkis, vertikal, dari atas dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi kepada Gubernur. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

8 Pasal 29 ayat (4) huruf a.

Pemberhentian kepala Daerah dan wakil kepala Daerah diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala Daerah dan/ atau wakil kepala Daerah tidak lagi memenuhi syarat, melanggar sumpah/ janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban dan/ atau melanggar larangan.

Hubungan wewenang dalam rangka asas Desentralisasi vertikal kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

9 Pasal 29 ayat (4) huruf e.

Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala Daerah dan/ atau wakil kepala Daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.

Hubungan wewenang dalam rangka asas sentralisasi dan desentralisasi vertikal dari atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

10 Pasal 30 dan 31 (Lihat dalam UU) s.d.a perihal penghentian langsung oleh Presiden

Page 34: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

15

terhadap jabatan Kepala Daerah dan wakilnya. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

11 Pasal 37 ayat (2)

Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden

Dalam rangka Dekonsentrasi, dan sifat hubungannya vertikal kepada Pemerintah (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

12 Pasal 42 ayat 1 huruf d.

Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala Daerah/ wakil kepala Daerah kepada presiden melalui Menteri dalam negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada menteri dalam negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/ Kota

Dalam rangka Desentralisasi dan dekonsentrasi kepada Gubernur, hubungannya bersifat vertikal ke atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

13 Pasal 53 ayat (1)

Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRD Provinsi dan dari Gubernur atas nama menteri dalam negeri bagi anggota DPRD Kabupaten/ Kota

Dalam rangka Desentralisasi, hubungan bersifat vertikal ke atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

14 Pasal 66 ayat 2 Dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur KPUD Kabupaten/ Kota adalah bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan yang ditetapkan oleh KPUD Provinsi

Vertikal dalam kerangka asas desentralisasi (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

15 Pasal 111 ayat (1)

Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh Menteri dalam negeri atas nama Presiden

Sentralisasi, dekonsentrasi, dan desnetralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari atas (HUBUNGAN

Page 35: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

16

ADMINISTRATIF) 16 Pasal 111 ayat

(2) Bupati dan wakil bupati atau waliKota dan wakil waliKota dilantik oleh gubernur atas nama presiden

Dekonsentrasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

17 Pasal 130 ayat (1)

Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Daerah Provinsi ditetapkan oleh gubernur

Dekonsentrasi dan desentralisasi vertikal dari bawah ke atas. (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

18 Pasal 130 ayat (2)

Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota ditetapkan oleh Bupati/ waliKota setelah berkonsultasi kepada gubernur

Dekonsentrasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari bawah ke atas (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

19 Pasal 131 ayat (1)

Perpindahan pegawai negeri sipil antar Kabupaten/ Kota dalam satu Provinsi ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan Kepala badan Kepegawaian Negara

Sentralisasi, Dekonsentrasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal dari bawah ke atas (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

20 Pasal 131 ayat (2)

Perpindahan pegawai negeri sipil antar Kabupaten/ Kota antar Provinsi dan antar Provinsi ditetapkan oleh menteri dalam negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala badan Kepegawaian Negara

• Sentralisasi dan sifat hubunagnnya vertikal dan diagonal dari bawah

• Hubungan SDM (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

21 Pasal 131 ayat (3)

Perpindahan pegawai negeri sipil Provinsi/ Kabupaten/ Kota ke

• Sentralisasi • Hubungan SDM (HUBUNGAN

Page 36: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

17

departemen/ lembaga Pemerintah non departemen atau sebaliknya, ditetapkan oleh menteri dalam negerisetelah memperoleh pertimbangan Kepala badan Kepegawaian Negara

ADMINISTRATIF)

22 Pasal 132 Penetapan formasi pegawai negeri sipil Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota setiap tahun anggaran dilaksanakan oleh menteri pendayagunaan aparatur negara

• Sentralisasi • Hubungan SDM (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

23 Pasal 135 ayat 1

Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil Daerah dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri dan pada tingkat Daerah oleh Gubernur

• Sentralisasi dan dekonsentrasi

• Hubungan SDM (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

24 Pasal 160 ayat (4)

Daerah penghasil sumberdaya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh menteri dalam negeri berdasarkan pertimbangan dari menteri teknis terkait

• Sentralisasi • Hubungan SDA (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

25 Pasal 160 ayat (5)

Dasar penghitungan bagian daerah dari Daerah penghasil sumberdaya alam ditetapkan oleh menteri teknis terkait setelah memperoleh pertimbangan menteri dalam negeri

• Sentralisasi • Hubungan Keuangan

dan SDA (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

26 Pasal 165 ayat (2)

Besarnya alokasi dana darurat ditetapkan oleh menteri keuangan dengan memperhatikan pertimbangan Menteri

• Sentralisasi • Hubungan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

Page 37: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

18

dalam negeri dan menteri teknis terkait

27 Pasal 170 ayat (1)

Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari menteri keuangan atas nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan dari menteri dalam negeri

• Desentralisasi dan sentralisasi. Sifat hubungannya vertikal ke atas

• Hubungan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

28 Pasal 175 ayat (1)

Menteri dalam negeri melakukan pengendalian defisit anggaran setiap Daerah

• Sentralisasi • Hubungan wewenang

dan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

29 Pasal 175 ayat (2)

Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi surplus/ defisit APBD kepada menteri dalam negeri dan menteri keuangan setiap semester dalam tahun anggaran berjalan

• Dalam rangka asas Desentralisasi dan hubungan yang tercipta bersifat vertikal ke atas

• Hubungan wewenang dan keuangan

(HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

30 Pasal 185 ayat (1)

Rancangan perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri dalam negeri untuk dievaluasi

Desentralisasi, dan sentralisasi. Sifat hubungannya vertikal ke atas Hubungan wewenang dan keuangan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

31 Pasal 186 ayat (1)

Rancangan perda Kabupaten/ Kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan Bupati/ waliKota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan Bupati/ WaliKota paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada

• Desentralisasi, dekonsentrasi dan sentralisasi. Sifat hubungannya vertikal ke atas

• Hubungan wewenang dan keuangan

(HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

Page 38: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

19

gubernur untuk dievaluasi 32 Pasal 195 ayat

(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, Daerah dapat mengadakan kerjasama dengan Daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan

• Desentralisasi, dan sifat hubungannya horizontal

• Hubungan pelayanan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)

33 Pasal 196 ayat (1)

Pelaksanaan urusan Pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas Daerah dikelola bersama oleh Daerah terkait

• Desentralisasi dan hubungannya bersifat horizontal

• Hubungan pelayanan (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)

34 Pasal 198 ayat (1)

Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan funsgi Pemerintahan antar Kabupaten/ Kota dalam satu Provinsi, gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud

• Desentralisasi, dan dekonsentrasi. Sifat hubungannya vertikal

• Hubungan wewenang (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)

35 Pasal 198 ayat (2)

Apabila terjadi perselisihan antar Provinsi, antara Provinsi dan Kabupaten/ Kota di wilayahnya, serta antara Provinsi dan Kabupaten/ Kota di luar wilayahnya, menteri dalam negeri menyelesaikan perselisihan yang dimaskud

• Sentralisasi dan desentralisasi. Sifat hubungannya vertikal, horizontal dan diagonal

• Hubungan wewenang (HUBUNGAN ADMINISTRATIF DAN KEWILAYAHAN)

36 Pasal 222 ayat (1), (2), (3) dan (4)

(Lih. dalam UU) • Adanya hirarki vertikal dalam sistem pembinaan dan pengawasan bahkan sampai camat.

• Hubungan wewenang (HUBUNGAN ADMINISTRATIF)

Page 39: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

20

Dari tabel tersebut tampak jelas sekali hubungan yang bersifat diagonal dan

horizontal masih sedikit diatur. Hubungan vertikal pun lebih banyak memuat

kewajiban-kewajiban yang diemban oleh Daerah, sedangkan hak-hak Daerah

dan apa yang harus dilakukan Pemerintah dan para menterinya memiliki porsi

yang lebih sedikit.

Pembagian Urusan-Urusan Kepemerintahan

Pembagian kewenangan Pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan

pesebaran kewenangan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah-

Daerah otonom. Kewenangan Pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah

hanyalah kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), tidak termasuk

kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan kewenangan yudikatif

(peradilan).

Pembagian kewenangan pemerintah, berangkat dari adanya diktum tidak

mungkin kewenangan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100%

desentralisasi dalam suatu Negara Bangsa. Terdapat kewenangan pemerintah

yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.

Hal ini terkait dengan sifat kontinumnya antara sentralisasi dengan desentralisasi.

Penyelenggara desentralisasi sendiri adalah unsur sentralisasi. Oleh karena itu,

penyelenggaraan desentralisasi dalam sebuah sistem pemerintahan, membawa

pemilihan adanya : (1) wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan; dan (2)

wewenang yang dapat didesentralisasikan

Page 40: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

21

BAGAN PEMBAGIAN URUSAN-URUSAN KEPEMERINTAHAN

Dinamis denganlandasan; Skala Ekonomi,Esternalitas,Catchment Area danLokalitas

Urusan SektoralPemerintah Nasional

DapatDidesentralisasikan

Tidak DapatDidesentralisasikan

Desentralisasi Medebewind SentralisasiMurni Dekonsentrasi

Diwajibkan PrakarsaSendiri

PROVINSI

Kabupaten/Kota

Medebewind SentralisasiMurni Dekonsentrasi

Local Needs

Page 41: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

22

Dari bagan, wewenang yang tidak dapat didesentralisasikan adalah

wewenang pemerintah pusat menyangkut wewenang pemerintah dalam hal

urusan luar negeri, pertahanan keamanan, keuangan (fiskal dan moneter),

yustisisi dan agama. Wewenang seperti ini dapat dilakukan secara (1) murni

sentralisasi, (2) dekonsentrasi dan (3) tugas pembantuan. Sementara itu

wewenang yang dapat didesentralisasikan yang menjadi sumber wewenang

concurrent dapat dilakukan dengan (1) sentralisasi (murni) pula karena

adanya urusan-urusan yang masih harus dilakukan oleh pemerintah, (2)

dekonsentrasi juga dapat dilakukan apabila diperlukan pelembagaan

apparatus pusat di daerah, (3) desentralisasi, dan (4) tugas pembantuan.

Terjadinya hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terutama

disebabkan oleh adanya kewenangan yang bersifat concurrent. Wewenang

konkuren terdapat pada kelompok wewenang yang dapat didesentralisasikan.

Pembagian wewenang dalam UU No. 32 tahun 2004 dikembangkan melalui

kriteria (1) ekternalitas; (2) akuntabilitas; dan (3) efisiensi. Namun masih

dapat dikembangkan pula melalui kriteria “catchment area” yang tidak diatur

dalam UU tersebut.

Kerapkali wewenang concurrent ini dapat menimbulkan konflik dan atau

terjadi kefakuman dalam proses pemerintahan. Namun, jika ditata secara

optimal dapat membawa sinergi dan menjaga kualitas pemerintahan lebih

terarah.

Ada kalanya sistem pembagian wewenang yang sudah diatur dalam UU tidak

sepenuhnya menjadi pendorong terjadinya hubungan wewenang tetapi

terdapat riil yang membutuhkan penanganan pemerintahan yang cepat. Oleh

karena itu tercipta hubungan alamiah yang muncul. Sumber penataan

hubungan dalam keadaan seperti ini dapat diambil dari etika pemerintahan

atau sumber nilai-nilai moral dalam organisasi pemerintahan.

Page 42: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

23

Secara singkat RUU Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan

Daerah dan hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan

yang bersifat resiprokal dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur

sebagai Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah.

Undang-undang tersebut harus menata proses hubungan yang

dikembangkan secara resiprokal di dalam cakupan tersebut.

Kedudukan Badan Khusus Pelaksana Kewenangan

Perlu menjadi catatan bahwa seringkali hubungan horizontal antar kabupaten/

Kota baik dalam Provinsi maupun antar Provinsi yang terlembaga dengan

fungsi tunggal, membawa proses diciptakannya lembaga khusus semacam

otorita seperti lazim terjadi di negara maju. Sekarang ini kita dihadapi oleh

diskursus yang menyita perhatian banyak kalangan pasca Tsunami Aceh-

Sumut, yakni adanya keinginan Pemerintah membentuk Badan Otorita

Khusus Aceh (BOKA). Dengan demikian RUU Tata hubungan ini pun harus

diarahkan kepada kemungkinan penataan badan semacam ini bersama

Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi. Badan semacam

BOKA ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang bersifat

vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah

Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini di negara lain

diciptakan melalui instrumen desentralisasi fungsional.

UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengakomodasi konsep Badan Otorita secara

eksplisit, walaupun terdapat pengaturan tentang kawasan khusus yang dapat

berdimensi milik Pusat atau milik Daerah. Nampaknya, pengaturan kawasan

khusus ini tidak mengacu pada konsep desntralisasi fungsional melainkan

mengacu kepada “penciptaan organisasi parastatal/semi otonom”. Oleh

karena itu, paradigma yang ada di belakang UU No. 32 tahun 2004 dalam

mengatur kawasan khusus ataupun badan-badan seperti BOKA masih

bersifat diametral antara menjadi milik Pusat dan menjadi milik Daerah.

Page 43: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

24

Penutup

Dapat disimpulkan bahwa: (1) sentralisasi merupakan sumber dari bangun

distribusi wewenang; (2) antara sentralisasi dan desentralisasi bersifat

kontinum; (3) hubungan wewenang antara pemerintah dan daerah terjadi

pada wewenang yang bersifat concurrent.

Beberapa hal dapat direkomendasikan : (1) Tata hubungan wewenang antara

Pemerintah dan Daerah dan antar daerah perlu diatur dengan undang-

undang; (2) Perlu mencermati UUD hasil amandemen dan UU lain yang

bersinggungan; (3) hubungan yang diatur adalah hubungan resiprokal dan

dalam cakupan baik penempatan Gubernur sebagai wakil pemerintah

maupun sebagai gubernur, dan (4) hubungan wewenang yang terkait dengan

lembaga khusus pun perlu diakomodasi pula mencermati perkembangan ke

depan.

Page 44: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

25

BAB III TATA HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Pendahuluan

Beranjak dari pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia

lazim disebut sebagai negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized

unitary state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). 1 Menurut Profesor

Bhenyamin Hoessein, Guru Besar FISIP-UI bidang Pemerintahan daerah,

menyatakan bahwa secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui

keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi,

melainkan sebagai kontinum. Dalam teori organisasi yang dinyatakan oleh

Frank P. Sherwood pun diungkap hal yang senada:2

“Such Theory has led to the idea of centralization-decentralization continuum, which is really an attempt to describe the power relationships among the various participants in the systems. First, however, it is important to examine some of the assumptions of the continuum and to consider the extent to which they limit its usefulness and applicability. The continuum assumes that there is a certain quantum of power within an organization that can be distributed in differing ways; and it does not account for the fact, now rather well documented, that power is highly variable. The addition of power at one level of hierarchy does not at all mean the automatic withdrawal of power at another.”

Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk

menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan

penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk

mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.

Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut

secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in

unity”.

1Bhenyamin Hoessein (2004). Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah. Seminar

MENPAN-FISIP-UI. 2Frank P. Sherwood, “Devolution as A Problem of Organization Strategy,” dalam

Robert T Daland, Comparative Urban Researc, Sage Publication, California: 1969, hal. 65

Page 45: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

26

Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya

dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara

teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti

pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada masayarakat lokal untuk

mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya dengan aspek

kewilayahan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penentuan batas

jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan

wewenang dari Pemerintah kepada segolongan masyarakat yang terkait

dalam fungsi pemerintahan tertentu untuk mengatur dan mengurusnya sesuai

batas yurisdiksi fungsi tersebut.

Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut baru menserap

desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi habis antara

Pemerintah Pusat dan elemen-elemenya serta pemerintah daerah dan

elemen-elemennya. Desentralisasi fungsional menciptakan kelembagaan

khusus pada bidang tertentu dan otonom. Pada masa Hindia Belanda, pada

1920, pernah diciptakan lembaga otonom khusus bidang tertentu yakni

pengairan (irigasi) berupa ‘waterschappen’ yang di negeri Belanda sendiri

hidup dan berkembang pesat.

Sejak kemerdekaan UUD 1945 tidak menganut kembali desentralisasi

fungsional yang telah diterapkan pada masa Hindia Belanda. Adanya otonomi

khusus dan istimewa bagi daerah-daerah tertentu bukan berarti adanya

desentralisasi fungsional. Keberadaan otonomi khusus dan istimewa berada

dalam desentralisasi teritorial.

Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial)

Dalam berbagai pendapat pakar, termasuk pendapat Profesor Bhenyamin

Hoessein, diketahui bahwa penyelenggaraan desentralisasi senantiasa

terdapat dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan

penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah

daerah untuk mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan

Page 46: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

27

pemerintahan tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi

dalam negara kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan

mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan

daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi

juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur

melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,

jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan adanya daerah

yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan desentralisasi tidak

pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya negara dalam negara. Yang

ada adalah pemerintah pusat menyerahkan atau melimpahkan kewenangan

pemerintahan dan atau wewenang tertentu kepada pemerintah daerah.

Dalam hal ini, Profesor Bhenyamin Hoessein sebagai tim Perumus UU No. 22

Tahun 1999 juga mengatakan bahwa sekalipun setiap perubahan UU

Pemerintah Daerah pada dasarnya merupakan reformasi pemerintahan

daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan besaran

substansi perubahan yang dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU

No. 25 tahun 1999.

Perubahan yang didorong oleh kedua UU tersebut tergolong perubahan yang

radikal (radical change) atau drastis (drastic change) dan bukan perubahan

yang gradual (gradual change). Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan

yang menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian

reformasi yang pernah terjadi sebelumnya. Undang-undang No. 32 Tahun

2004 sebagai penggantinya telah berusaha membenahi kekurangan-

kekurangan pada UU sebelumnya meskipun masih terdapat berbagai

kekurangan. Sebagai sebuah kebijakan pun tidak terlepas dari kritikan.

Pada dasarnya, terlepas dari polemik mengenai UU tersebut, desentralisasi

dalam konsep negara kesatuan merupakan instrumen atau alat dalam

mencapai tujuan negara sehingga keseimbangan antara kebutuhan

penyelenggaraan desentralisasi dengan kebutuhan kesatuan bangsa

Page 47: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

28

merupakan variabel yang harus tetap menjadi prioritas. Pembagian

kewenangan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan

persebaran kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada

daerah-daerah otonom. Kewenangan pemerintah yang didistribusikan kepada

Daerah hanyalah merupakan kewenangan pemerintahan saja (eksekutif), jadi

tidak termasuk kewenangan legislatif (pembuatan undang-undang) dan

kewenangan yudikatif (peradilan).

Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan

persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah

dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Sebagai contoh, wewenang

yang diberikan ke daerah Kabupaten/Kota berdampak kepada melemahnya

posisi gubernur. Walaupun ia memiliki fungsi dekonsentrasi karena gubernur

itu adalah juga sekaligus sebagai wakil Pemerintah dalam rangka

dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual function karena daerah

otonom itu adalah separateness (disintegrasi) sehingga harus

mengintegrasikan kembali (how to reintegrated). Pengintegrasiannnya

dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai daerah otonom dan

sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur juga memilki dual role

sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala daerah.

Konstruksi ideal teoritis tersebut memerlukan konkritisasi dalam satu implikasi

kebijakan tertentu. Hal tersebut disebabkan dalam realita empirik justru

merebak “dispute” yang berlarut-larut di seputar tata hubungan kewenangan

antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antar Daerah.

Perlunya Tata Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah

Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan

kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur

merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan

hubungannya dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci.

Sebagai wakil Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para

Page 48: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

29

Menteri bukan hanya dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara

gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala

Lembaga Pemerintah Non Departemen. Bagaimana pula hubungan Dinas

(Provinsi, dan Kabupaten/ Kota) dengan departemen-departemen teknis?

Bagaimana pula hubungan antara Gubernur dengan Para Bupati/ Walikota di

wilayahnya? Anggota DPRD dan pejabat Pemerintah di Pusat, Provinsi, dan

Kabupaten/ Kota. Hal itu semua tentu memerlukan kearifan pemerintahan.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara

lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang

didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk

menghindari polemik.

Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut

antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah

dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan

asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan sub-

sistem dari pemerintahan Nasional. (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik

menuntut adanya hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen

Pemerintahan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia; (c)

tuntutan globalisasi menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai

jenjang yang saling bersinergi; (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa

Indonesia yang memiliki karakter budaya yang tinggi dan majemuk

memerlukan pemeirntahan yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal,

pendorong berbagai perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang

bagi setiap lapisan masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.

Disamping itu, yang tidak dapat dielakkan adalah amanat UUD. Pasal 1, 18,

18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khususnya ayat (1) pasal

18 A menyatakan:

”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”

Page 49: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

30

Frasa “diatur dengan Undang-undang” menandakan bahwa materi tata

hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah

produk hukum lain tetapi justru secara khusus harus disusun sebuah UU akan

hal itu. Sandaran legalitas dari pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita

menyusun sebuah UU.

Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Daerah

Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah

mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan

berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan

yang ada mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat

kata, tata hubungan adalah mekanisme dan proses timbal balik antar

berbagai unsur dalam pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan

yang baik. Unsur dalam pemerintahan adalah elemen-elemen yang

membentuk sistem pemerintahan yang meliputi: wewenang, Jabatan, dan

Wilayah.

Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam

hal pembagian dan penyerahan wewenang atas dasar prinsip

kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah mekanisme dan

proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas dasar prinsip

kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah mekanisme dan

proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip kepemerintahan

yang baik.

Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat

dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik.

Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatan/ Kota

adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi

dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerintahan yang

baik.

Page 50: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

31

Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,

horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik

dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam

antar ketiga area tersebut.

Penutup

Penataan hubungan antar Pemerintahan ini dimaksudkan memenuhi

kebutuhan empirik yang seringkali terjadi dispute yang tidak diinginkan yang

menyangkut mekanisme dan proses timbal balik antara berbagai unsur

pemerintahan disamping amanat UUD. Tidak dapat dipungkiri komitmen

semua pihak dalam rangka mendukung terciptanya kepemerintahan yang

baik sehingga mendorong kamajuan bangsa sangat menentukan bagaimana

penataan hubungan ini dapat berjalan. Oleh karena itu, perlu juga diantisipasi

’remedy’ dalam penataan tersebut. Perselisihan dan Sanksi dalam penataan

tersebut juga dibutuhkan.

Page 51: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

32

BAB IV HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

Pendahuluan

Ada dua alasan utama mengapa “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia” merupakan hal yang penting

untuk dibahas. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah, selanjutnya dalam disingkat dengan hubungan pusat dan daerah,

adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu

pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar

(sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat

menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan

hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik,

gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud

gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk

dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan

negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami

semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan

keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru.

Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-

masalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan

mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2).

Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai

pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat

tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik

pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95).

Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan

kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan

penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa

Page 52: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

33

berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun

negara yang berstruktur unitaris (kesatuan).

Dinamika Hubungan Pusat - Daerah

Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja

terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negara-

negara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan

Swiss. Di Jerman misalnya, perubahan hubungan antara pusat (Bund/federal)

dengan negara bagian (Laender/state) berkaitan langsung dengan proses

penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur, juga dengan proses integrasi

Eropa. Defisit subtansi federalisme terjadi pada hampir semua kewenangan

yang ditunjukkan dengan meningkatnya konsentrasi kewenangan mengatur

dan mengurus pada pusat (Bund). Peningkatan konsentrasi kewenangan

pada pusat telah menyebabkan hilangnya substansi kemandirian politik dan

kualitas “negara” pada negara bagian. Pada sisi lainnya juga terjadi

ketergantungan negara bagian miskin pada bantuan keuangan pusat dan

negara bagian (Prasojo, 2003:32). Tendensi ini yang disebut di Jerman

sebagai cooperative federalism sampai kepada coercive federalism (Gunlick,

Berlin, 2000: 46). Hal yang sama terjadi juga pada sistem federalisme Swiss

yang dicerminkan dengan pengambilalihan kompetensi dasar negara bagian

(Kantone) oleh pusat (Bund). Demikian juga sentralisasi kewenangan yang

terjadi di federal USA melalui proper and necessary clause. Ketentuan ini

memberikan hak kepada pusat untuk mengatur dan menyelenggarakan

kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi tetapi melekat secara inheren

untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki.

Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan

bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan

refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat

dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan

ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong

keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara

vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal,

Page 53: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

34

tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor-

faktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang

berkembang.

Gambar 1: Kontinum Hubungan antara Pusat dan Daerah

Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi

pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak

mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya

sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak

bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke

kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya

(Laufer dan Ursula, 1998: 14). Titik temu keseimbangan antara gerakan

sentripetal dan sentrifugal dalam hubungan pusat dan daerah dapat dikaji

dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek tingkatan dan kedudukan

pemerintah daerah, pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap

daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, aspek pembagian

(perimbangan) sumberdaya keuangan, dan aspek penyelesaian konflik yang

terjadi antar level pemerintahan. Dalam problem setiap negara bangsa, tugas

terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah

menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan

gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar

akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada

Unitaris Federalis Federalis-Unitaris

Page 54: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

35

disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan

menciptakan pemerintahan yang berkarakter sentralistis, dimana diskresi dan

partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari

satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negara-negara yang berbentuk

federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi

sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari

pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.

Gambar 2: Gerakan Sentrifugal dan Sentripetal dalam hubungan Pusat dan

Daerah

Problematika Hubungan Pusat – Daerah di Indonesia

Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia,

marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek

hubungan tersebut pada masa kekinian dalam kontek penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah

sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia

(lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan

separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat

terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja

memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power.

Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang

berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang

surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan

yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18

Page 55: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

36

UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Dalam tulisan ini

tidak akan dibahas bagaimana pasang surut hubungan pusat dan daerah di

Indonesia sejak kita merdeka, sebagaimana terlihat dalam UU No. 1 tahun

1945, UU No. 22 tahun 1948, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun

1949, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, dan UU No. 5 tahun

1974. Berbagai konstruksi hubungan Pusat dan Pemerintah dalam

perundang-undangan tersebut telah banyak ditulis dan disampaikan oleh

Bhenyamin Hoessein (Hoessein, 1997, 1999, 2001, 2001). Hoessein di tahun

1995 menyebutkan bahwa roda desentralisasi di Indonesia telah mengalami

lima kali perputaran (Hoessein, 1995: 15). Seiring dengan perkembangan

yang terjadi di Indonesia, telah terjadi lagi satu kali perputaran roda

desentralisasi ke arah demokrasi pada tahun 1999.

Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki

ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai

tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula

dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus

1999 melalui referendum, berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga

terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan.

Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan

Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan

bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek

domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MOU

Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek

domino gerakan sentrifugal ini tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut

sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan

ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari

kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di

negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54).

Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada

kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan

Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang

direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan

Page 56: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

37

dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan

Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem

pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak

telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia.

Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU

No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di

Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang

serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina,

Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini

menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik,

faktor ekonomi dan faktor demografi.

Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil

meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan

Soeharto. UU No. 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas

dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya

dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan

pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan

kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas

pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam

pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah

daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan

mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan

kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara

pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi. Konstruksi

hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun

1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi

kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini

menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki

kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih

tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu

balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan

meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan

Page 57: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

38

antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia

secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).

Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa

Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah.

Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah

menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah. Kekayaan alam di Aceh

yang diekspor menghasilkan keuntungan US$ 2 Milyar pada tahun 1997

hanya memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh sebesar 0,05% melalui

APBN. Meskipun produksi minyak Caltex di Riau tahun 1999 mencapai 23

Trilyun, tetapi masyarakat Riau termasuk yang paling miskin di Indonesia.

Sedangkan PT Freeport yang mengeruk keuntungan tahun 1997 US$ 1,1

Milyar, tetapi masyarakat Papua tetap hidup seperti pada zaman batu.

Konstruksi Hubungan Pusat – Daerah Pasca Orde Baru Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto

boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan

daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan

Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi

yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,

yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan

sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Bahkan hasil

penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya

otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local

responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk

konsep ini Smith, 1985:24). Otonomi daerah yang sangat luas telah

menyebabkan tensi politik yang lebih tinggi daripada upaya-upaya

peningkatan pelayanan publik. Penyusunan organisasi perangkat daerah

kabupaten/kota –tidak terkecuali propinsi- lebih banyak ditentukan oleh

akomodasi kepentingan-kepentingan tertentu. Setelah Pilkada langsung,

afiliasi ini menjadi lebih besar, karena politik akomodasi mewarnai proses

pemilihan langsung kepala daerah. Bahkan pengisian jabatan-jabatan dalam

struktur organisasi perangkat daerah sangat ditentukan oleh afilisasi

Page 58: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

39

seseorang dengan bupati/walikota. Disamping itu, alasan Dana Alokasi

Umum dari pusat juga menjadi justifikasi perlunya pembengkakkan organisasi

perangkat (budget maximizing). Di beberapa daerah nepotisme berdasarkan

kebangsawanan, sukuisme dan afiliasi politik masih mewarnai proses

rekrutmen, penempatan, promosi dan mutasi jabatan tertentu. Bahkan “gelar

kebangsawanan” secara sengaja diciptakan oleh bupati/walikota untuk

memperkuat posisi jabatan, sekaligus membedakan masyarakat biasa

dengan masyarakat yang memiliki status kebangsawanan tertentu. Hal ini

muncul dengan istilah misalnya “laskar” dan “putera asli”. Istilah “anak

daerah” sejatinya telah muncul pada tahun 1950-an sebagai antagonis dari

orang pusat yang di drop daerah (Mackie, 1980:672).

Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata

tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia.

Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah

utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan

pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang,

karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme

Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur

pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga

politik afiliasi dan politik akomodasi.

Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik

maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah

keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran.

Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses

penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh

perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul

menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon

kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur

sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak

dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya.

Page 59: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

40

Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan

akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks

dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat

dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi

pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran

misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus

dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Proses

Musrenbang menjadi formalitas belaka, karena banyak usulan pembangunan

yang akhirnya hilang karena peran pemerintah yang sangat besar (Muluk,

2006:139). Bahkan dokumen anggaran yang seharusnya menjadi dokumen

publik hanya mungkin diakses dengan cara-cara ‘pintu belakang’. Pada sisi

lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja

pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang

terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan

mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja

pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat

tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon

dan ditindaklanjuti.

Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya

Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat

atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan

pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan

pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada

daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak

memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA

oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan

Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik. Proses AMDAL dalam

pemberian izin pemanfaatan SDA faktanya hanyalah bersifat formalitas dan

tidak dijadikan sebagai dasar yang objektive dalam pengambilan keputusan.

Pemberian izin pemanfaatan SDA seringkali lebih menguntungkan

pengusaha daripada masyarakat. Pemilihan langsung kepala daerah yang

diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya

tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif

Page 60: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

41

partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya

melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam

prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi

adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan

kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang

telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.

Meskipun demikian, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah

berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004

tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil

daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program

inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi

ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun

sangat bangga dengan program-program yang telah memberikan

kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo

dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten

Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran

kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi

keberlanjutan program-program inovasi tersebut.

Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan

pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan

besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu

sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22

No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata

belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang

mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang

diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11

tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU

No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua

berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar

tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap

gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan

Page 61: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

42

memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi

otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan

bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan

daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan

aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan

Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan

Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta

berbagai problem lainnya sebagaimana telah disinggung dimuka.

Kedua pokok permasalahan di atas menghendaki satu perubahan mendasar

hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan

konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan

tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan

pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau

urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan

antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan

keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah.

Konstruksi Ulang Hubungan Pusat – Daerah untuk Indonesia

Pembahasan berbagai muatan dalam konstruksi ulang hubungan antara

Pusat dan Pemerintah tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk

negara dan upaya untuk menselaraskan kekuatan sentripetal dan kekuatan

sentrifugal yang senantiasa dinamis bergerak dalam sebuah negara bangsa.

Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi untuk mengadopsi bentuk negara

federal dan mengubah bentuk negara kesatuan yang telah menjadi

konsensus para pendiri negara. Persoalannya bukan terletak pada perubahan

bentuk negara, tetapi lebih besar pada upaya mencari format hubungan

vertikal antara pusat dan daerah. Dalam praktek hubungan antara pusat dan

daerah di berbagai negara, pendulum unitarisme dan federalisme saling

bergerak ke arah yang berlawanan. Bahkan sejak tahun 1947 seorang

sarjana hukum Jerman Bodo Denewitz mengatakan bahwa federalisme dan

unitarisme adalah dua konsep kembar yang tidak mungkin membicarakan

satu tanpa membicarakan yang lainnya. “... so haben auch die bisherigen

Page 62: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

43

Untersuchungen über das Wesen des Föderalismus diesen fast

ausschließlich und zumindest regelmäßig nur im Zusammenhang mit dem

Begriff Unitarisme behandelt” (Denewitz, 1947: 81). Kombinasi berbagai

instrumen unitarisme dan federalisme tersebut bahkan membentuk kharakter

khusus konstruk hubungan antara pusat dan daerah.

Memang dapat dipahami adanya kekhawatiran dari sejumlah kalangan

terhadap ide dan keinginan perubahan bentuk negara kesatuan ke negara

federal. Karena perubahan yang sangat radikal dalam tatanan negara

seringkali dapat menyebabkan situasi anomali dan chaos. Perubahan yang

evolutif, dilakukan secara komprehensif dengan agenda setting yang

bertahap merupakan pilihan yang mungkin dilakukan. Fakta bahwa berbagai

instrumen yang digunakan dalam negara kesatuan dan negara federal dapat

saling bertukar tidaklah dapat dipungkiri. Jika pembahasan lebih lanjut

diarahkan pada perbandingan berbagai bentuk negara federal, maka niscaya

akan kita dapatkan berbagai perbedaan yang signifikan antara federal Jerman,

federal Austria, federal USA, federal Australia, federal Kanada, federal India,

dan mungkin juga federal Malaysia. Berbagai instrumen yang dipergunakan di

masing-masing negara memiliki keunikan dari kontinum yang bersifat sangat

federalis-liberal sampai pada federalis unitaris. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa pemikiran untuk mengadopsi instrumen yang lazimnya

dipergunakan di negara federal, tanpa merubah bentuk negara kesatuan

menjadi federal, adalah sesuatu yang mungkin.

Sayangnya, ide dan pemikiran dasar federalisme dan negara federal di

Indonesia sudah terlanjur layu sebelum berkembang. Padahal melalui

penjelasan terhadap beberapa kharakter negara federal kita dapat secara

cermat memahami esensi ikatan Pusat dan Daerah yang bercorak federalis.

Hal ini akan membantu kita mengkonstruksi ulang hubungan antara pusat dan

daerah di Indonesia dengan kacamata yang lain, yaitu bentuk negara federal.

Seperti telah menjadi pemahaman umum, bahwa pusat dalam negara federal

adalah struktur bentukan negara-negara bagian. Kewenangan yang dimiliki

oleh pusat lazimnnya merupakan kewenangan yang diserahkan dalam

Page 63: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

44

konstitusi federal (Prasojo, 2005:105). Dalam hal ini terdapat dua kelaziman

cara untuk memberikan kewenangan kepada struktur federal yang terbentuk.

Pertama, konstitusi mengatur secara detail kewenangan yang dimiliki oleh

pusat (federal). Kewenangan tersebut dapat berupa kewenangan mengatur

dan kewenangan mengurus. Kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi

sebagai kewenangan pusat, dengan sendirinya merupakan kewenangan

negara bagian. Prinsip inilah yang dikenal dengan kewenangan sisa untuk

negara bagian (residu of powers to state). Diantara negara-negara federal

yang menganut prinsip residu of powers to state adalah USA, Jerman, Swiss

dan Austria. Cara kedua dengan menetapkan di dalam konstitusi federal

kewenangan yang dimiliki oleh negara bagian, sedangkan sisanya dimiliki

oleh pusat. Penetapan kewenangan sisa semacam ini disebut dengan residu

of powers to federal. Negara yang menganut cara kedua ini adalah Kanada

dan India.

Dalam teori dan praktek hubungan pusat dan daerah di kebanyakan negara

federal, kekuasaan dan kewenangan pusat tidak hanya berasal dari konstitusi,

melainkan juga dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi yang

diberikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekedar menyebut contoh

kewenangan pusat yang lahir dari interpretasi dan komentar terhadap

konstitusi adalah “implied powers” dan “necessary and proper clause” di

Amerika Serikat, dan “stillschweigende Kompetenzen kraft Natur der Sache”

dan “kraft Zusammenhang” di Jerman. Kekuasaan inilah yang menyebabkan

terjadinya kecenderungan sentralisasi di negara-negara federal (Prasojo,

2003:403).

Selanjutnya, termasuk elemen penting dalam negara federal adalah

pengawasan federal (federal control), intervensi federal (federal intervention),

dan eksekusi federal (federal execution). Di area kekuasaan dan kewenangan

murni negara bagian, pengawasan federal bertujuan menjamin kesesuaian

norma hukum negara bagian (baik konstitusi maupun undang-undang)

dengan norma hukum konstitusi dan Undang-Undang federal. Dalam

kewenangan yang secara konstitutional ditetapkan sebagai kewenangan

Page 64: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

45

pusat, tetapi penyelenggaraannya dilimpahkan kepada negara bagian, maka

pengawasan pusat tidak saja bertujuan menjamin kesesuaian norma hukum

negara bagian terhadap konstitusi federal, tetapi juga menjamin kesesuaian

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan federal. Pengawasan pusat dapat

berujung kepada eksekusi federal, jika menurut pusat, negara bagian melukai

dan melanggar konstitusi federal. Namun demikian, untuk menjamin

eksistensi soverenitas dan karakter “state” pada negara bagian, maka

eksekusi pusat hanya dapat dilakukan jika tahapan berikut ini dilalui; Pertama,

negara bagian jelas-jelas melukai dan melanggar norma hukum konstitusi;

Kedua, pusat (federal) telah memberi peringatan dan ancaman terhadap

pelanggaran tersebut; dan Ketiga, negara bagian tetap tidak melakukan

koreksi terhadap pelanggaran norma hukum. Konstruksi hubungan struktur

pusat dan negara bagian dalam sebuah negara federal dengan demikian

mengizinkan eksekusi oleh pusat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh

negara bagian, sekalipun dalam bentuk ekstrim melalui tindakan militer.

Pengaturan tindakan militer dalam eksekusi pusat terhadap negara bagian

semacam ini terdapat antara lain di dalam Konstitusi Federal Swiss Artikel

173, meskipun dalam prakteknya belum pernah diterapkan. Dengan ulasan ini

dapat dipertegas, bahwa prinsip homogenitas (kesesuaian norma hukum

yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi) dalam hubungan

antara pusat dan daerah dilakukan oleh pusat, dan bukan sebaliknya oleh

negara bagian (atau oleh pemerintah daerah). Sehingga persetujuan

terhadap sebuah produk perundang-undangan di tingkat pusat yang terkait

dengan daerah, di negara federal sekalipun –apalagi di negara kesatuan–

tidaklah melalui konsultasi dan persetujuan dengan Lembaga Perwakilan

Lokal (Parlemen Lokal), sebagaimana kesepakatan dalam MOU Helsinki butir

1.1.2..”Decisions with regard to Aceh by Legislature of the Republic of

Indonesia will be taken in consultation with and with consent of the legislature

of Aceh”. Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan kebijakan dan

perundang-undangan di tingkat pusat dilakukan melalui lembaga Kamar

Kedua Parlemen.

Page 65: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

46

Berbeda dengan eksekusi federal, intervensi federal tidaklah bersifat sanksi,

karena intervensi federal tidak berkaitan dengan pelanggaran norma hukum.

Tetapi sebaliknya, intervensi federal merupakan instrumen federal yang

bertujuan menjamin kemampuan negara bagian untuk melaksanakan

kewenangannya. Intervensi federal adalah bagian dari pengawasan federal

yang bersifat bantuan. Intervensi federal hanya dapat dilaksanakan, jika

negara bagian tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan yang

dimilikinya dan atau terjadinya kondisi yang menyebabkan negara bagian

tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Contoh

konkret intervensi federal adalah dalam kasus bencana alam yang melanda

satu negara bagian, dimana negara bagian tersebut tidak dapat mengatasi

bencana tersebut dan atau tidak dapat melaksanakan kewenangannya

karena gangguan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tersebut.

Intervensi federal dapat dilakukan atas inisiatif federal dan dapat juga

dilakukan atas permintaan negara bagian. Konteks substansi hubungan pusat

dan negara bagian dalam hal intervensi adalah jaminan bantuan yang

diberikan oleh pusat kepada negara bagian terhadap pelaksanaan

kewenangan atau urusan yang dimiliki oleh negara bagian. Tidak saja dalam

keadaan darurat bencana, tetapi juga keadaan normal dimana negara bagian

tidak mampu melaksanakan kewenangan yang dimiliki.

Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang dan

kebijakan nasional (federal) juga menjadi elemen penting dalam negara

federal. Secara mendasar hal ini bertujuan memberikan jaminan perlindungan

kepada negara bagian dari eksekusi dan intervensi federal yang dapat

menyebabkan defisit soverenitas dan otonomi negara bagian. Dalam praktek

penyelenggaraannya, bentuk dan cara keterlibatan negara bagian dalam

proses pembuatan undang-undang di tingkat pusat ini sangat beragam.

Tetapi demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa semua negara federal

menganut sistem dua kamar dalam proses artikulasi politik nasional, yaitu

sistem parlemen dua kamar; satu kamar terdiri dari wakil rakyat yang dipilih

dalam pemilihan umum, dan kamar yang lain terdiri dari wakil-wakil negara

bagian. Metode pemilihan dan keterikatan politik antara wakil-wakil negara

Page 66: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

47

bagian dan negara bagian yang bersangkutan juga sangat variatif. Para

senator di Amerika Serikat dipilih secara langsung oleh rakyat negara bagian

dan tidak memiliki keterikatan politik secara formal dengan eksekutif dan

legislatif di negara bagian dalam keputusan politiknya di Senat. Di Jerman

sebaliknya, anggota Bundesrat terdiri dari kepala dan anggota-anggota

pemerintahan negara bagian (Länder) dan keputusan politik setiap anggota

adalah terikat dengan keputusan pemerintah negara bagian. Dalam kasus

federal Swiss, disamping melalui sistem dua kamar, negara bagian juga dapat

mempengaruhi keputusan politik dan undang-undang nasional lainnya melalui

institusi demokrasi langsung (Ständemehr dan referendum). Juga dalam hal

pemberian suara, terdapat variasi antara Senat di USA dan Bundesrat di

Jerman. Setiap senator memiliki satu suara dan dapat berbeda dengan

senator lainnya dari negara bagian yang sama. Sedangkan anggota

Bundesrat tidak memiliki hak suara individu karena setiap negara bagian

hanya dihitung satu suara dan harus diberikan secara sama. Terlepas dari

sistem pemilihan dan keterikatan politik anggotanya, sistem dua kamar

merupakan elemen sentral keterlibatan negara bagian dalam proses

pembuatan undang-undang nasional (Bothe, Berlin, 1977:84). Sistem

parlemen dua kamar telah diadopsi di Indonesia dengan kewenangan yang

bersifat konsultatif.

Pembicaraan hubungan pusat dan daerah di negara berstruktur federal tidak

pula terlepas dengan perimbangan keuangan baik secara vertikal antara

negara bagian dan negara pusat maupun antara negara bagian dengan

negara bagian. Pembagian sumber-sumber keuangan dan pembiayaan

kewenangan antara pusat (federal) dan negara bagian diatur secara detail

dalam konstitusi federal. Menurut kelaziman, konstitusi menetapkan jenis-

jenis pajak yang dimiliki secara terpisah oleh Pusat dan Negara Bagian.

Disamping itu, karena sifat otonomi yang dimiliki oleh “state” yang bukan

merupakan bentukan pusat, maka sumber-sumber penerimaan terbesar dari

sektor pajak maupun non pajak dapat dimiliki secara paralel oleh pusat

maupun negara bagian, sehingga dimungkinkan terjadinya double taxation

bagi warga negara.

Page 67: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

48

Dalam negara berstruktur federal yang lain, beberapa pajak potensial seperti

pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan pajak penjualan dipungut

oleh negara pusat dan hasilnya dibagi secara bersama antara pusat, negara

bagian dan municipal. Konstitusi atau Undang-Undang menetapkan besarnya

bagi hasil pajak-pajak tersebut. Jika karena alasan-alasan tertentu parlemen

telah bersepakat, maka besarnya prosentase bagi hasil dapat direvisi. Di

Jerman misalnya, prosentasi bagi hasil Pajak Penghasilan adalah 42,5%

Pusat, 42,5% Negara Bagian dan 15% Kommune. Sedangkan pajak

pertambahan nilai dibagi 50,5% pusat dan 49,5% negara bagian. Disamping

pembagian secara terpisah dan bagi hasil, sistem federal Jerman juga

menganut perimbangan keuangan horizontal antara negara bagian kaya

kepada negara bagian miskin.

Uraian terkait dengan problem kekikinian yang dihadapi Indonesia dalam

konteks hubungan antara pusat dan daerah, juga uraian tentang teori dan

praktek penyelenggaraan hubungan pusat dan daerah di beberapa negara

federal dimaksudkan untuk membentangkan pemahaman dalam upaya

mencari format konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia

pada masa yang akan datang. Seperti yang telah disinggung dimuka, gerakan

dinamis sentripetal dan sentrifugal selalu terjadi dalam semua negara dari

satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, baik di negara kesatuan maupun

negara federal. Sehingga semakin jelaslah bagi kita bahwa instrumen yang

lazim dipergunakan di negara federal dapat saja diadopsi di negara kesatuan,

jika dilakukan secara cermat dan berhati-hati.

Akan halnya konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa

yang akan datang, diusulkanlah pemikiran-pemikiran berikut agar dapat

dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan

tersebut.

Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya

Page 68: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

49

Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan

pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu

kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999,

tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan

Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu dicatat disini,

penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945

perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan

polemik. Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa

Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan

praktek di negara federal. Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh

Bhenyamin Hoessein. Pandangan tersebut demikian adanya. Meskipun

demikian, tulisan ini tidak akan melanjutkan polemik tersebut melainkan akan

menekankan pada konstruksi tingkatan pemerintahan daerah, peran dan

kedudukannya.

Perjalanan panjang penelitian di beberapa daerah mengarahkan pada

kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun

1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi

(fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi

ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah.

Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak

adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam

prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai

Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan,

pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah

kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur.

Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan,

pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal,

seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah

berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batas-

Page 69: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

50

batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas

administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan.

UU No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-

masalah yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata

belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah

terbentuk.

Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga

konstruksi teoritis yang ada, maka konsensus untuk menghilangkan status

daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap

mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti

dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk

melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota

tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini,

karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat

kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat

instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai

WPP. Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk

mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi,

pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya.

Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat

katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur

dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang dimaksudkan sebagai upaya

untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan

sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah.

Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan

Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah

berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004

dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip

Page 70: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

51

kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar

tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua

kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar

negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta

kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat.

Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada

kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif

oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999

disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada

daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak

perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material

ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut

oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya,

ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan

sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein,

2001:18). Kewenangan yang secara enumeratif diserahkan kepada pusat

dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas

sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang

pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh

pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).

Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah

Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim

dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan

Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi,

sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal

secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999

menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal

pembagian wewenang.

Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang

berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah

Page 71: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

52

ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.

Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua

prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu

berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi

kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya,

untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan

dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika

prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi

mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan

pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat

fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan

pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan

ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-

sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat,

propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat

pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan.

Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada

inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan

Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang

sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah, inkonsistensi ini

membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari

inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam

kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah

tentang pembagian kewenangan, dapat dirasakan ketegangan antara sektor

dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh

pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan kewenangan.

Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat

dan daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama,

dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan

yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang

bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan

Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki.

Page 72: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

53

Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus

dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang

dimiliki. Beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah (1)

kewenangan mengatur oleh pusat, (2) kewenangan mengatur oleh provinsi,

(3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota, (4) kewenangan mengurus

dalam rangka desentralisasi, (5) kewenangan mengurus dalam rangka

dekonsentrasi, (6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan,

dan (7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi. Dalam praktek di

negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara

bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan

tersebut dapat dikurangi. Dalam tulisan ini diusulkan agar pembagian

kewenangan berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan

secara tuntas di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan

Pemerintah sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung

menguntungkan pusat dan melemahkan daerah.

Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk

menumbuhkembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan

pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan

tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh

kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu

adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber

penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka

hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun

waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi

sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan

terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah

persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan

dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD

1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan

dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga,

kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan

pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien.

Faktor-faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar

Page 73: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

54

terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane,

1995:140, juga De Mello, 1999:8). Reformasi perimbangan keuangan melalui

UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata

belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumber-

sumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara,

meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada

sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga

terjadi.

Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah bersumber

dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga

disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam

UUD 1945. Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi

persoalan-persoalan tersebut, tulisan ini menawarkan pengungkit yang dapat

dijadikan sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan

antara pusat dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan

pajak dan bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi

hasil penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar

daerah, dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua,

keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana

setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan

keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi

perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki

kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal

antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan

money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh

menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap

daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil

pajak. Kelima, perlunya mempertegas dan memperjelas ketentuan

perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin

kedudukan hukum pemerintah daerah.

Penutup

Page 74: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

55

Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk

terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan

Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan

DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk

memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD

diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan

anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan

pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang

mewakili Daerah. Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama

untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah-daerah

dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak.

Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada

produk Undang-undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan

kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan

perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang-undang

yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan

yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada

produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi

juga Undang-undang yang lainnya.

Page 75: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas yang menjadi arahan dalam

penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan

Daerah ini, dapat disimpulkan sejumlah hal sebagai berikut:

Penyusunan UU mengenai Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota atau antara

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dan Kota merupakan amanat UUD 1945

hasil amandemen khususnya Pasal 18 A ayat (1).

Pengaturan Tata Hubungan Wewenang antara Pemerintah dan Daerah dan

hubungan wewenang antar Daerah harus mengatur hubungan yang bersifat

resiprokal (tidak bersifat satu arah baik dari atas kebawah/downward dan

sebaliknya/upward) dalam cakupan baik berkaitan dengan Gubernur sebagai

Wakil Pemerintah maupun dalam kerangka sebagai Kepala Daerah. RUU

harus menata proses hubungan yang dikembangkan secara resiprokal di

dalam cakupan tersebut.

RUU harus diarahkan pula kepada kemungkinan penataan badan badan

khusus bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi.

Badan khusus ini dapat dikategorikan mampu menciptakan hubungan yang

bersifat vertikal, sedangkan hubungan wewenang dengan pemerintah daerah

Kabupaten/Kota bersifat diagonal. Badan semacam ini dapat diciptakan

melalui instrumen desentralisasi fungsional.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara

lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang

didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk

menghindari polemik. Tata hubungan wewenang adalah mekanisme dan

Page 76: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

57

proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan wewenang atas

dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan wilayah adalah

mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas

dasar prinsip kepemerintahan yang Baik. Tata Hubungan jabatan adalah

mekanisme dan proses timbal balik dalam hal jabatan berdasarkan prinsip

kepemerintahan yang baik.

Penyusunan RUU yang telah dilakukan dirasakan belum memadai khususnya

dalam mengakomodir pandangan dan pendapat dari segenap stakeholder

yang ada mengenai materi yang harus diatur dalam UU Tata Hubungan

Kewenangan

Saran

Berdasarkan pemaparan dan kesimpulan di atas disarankan agar dilakukan

pendalaman kajian penyusunan RUU ini di tahun mendatang sehingga dapat

mematangkan materi pengaturan dalam Draft RUU Tata Hubungan

Kewenangan yang telah dihasilkan dalam kegiatan ini. Melalui kegiatan

pendalaman dan pematangan ini diharapkan Draft RUU tersebut dapat

memperoleh masukan-masukan materi yang lebih memadai dan

komprehensif dari segenap stakeholder lain yang belum berkesempatan

memberi saran dan masukan dalam pelaksanaan kajian kali ini.

Dalam pendalaman dan pematangan tersebut, perlu juga memperhatikan UU

dan RUU lain yang bersinggungan dengan Draft RUU Tata Hubungan

Kewenangan ini.

Page 77: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

58

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arthur B. Gunlicks. 2000. “Föderative Systeme im Vergleich: Die USA und Deutschland “, in: Von Arnim, Hans Herbert/Färber, Gisela/Fisch, Stefan (Eds). Föderalismus – Hält er noch, was er verspricht?, Berlin: h. 41-62

Bothe, Michael. 1977. Die Kompetenzverteilung des modernen Bundesstaates in rechtsvergleichender Sicht. Berlin.

Bell, Daniel. 1988: “The World in 2013“, Journal Dialogue. Clarke, Michael and Stewart, John. The Choices for Local Government; for

The 1990’s and Beyond, Longmann UK,. 1991 ____________. General Management in Local Government: Getting the

Balance Right. Longmann. UK. 1990 Cochrane, Allan. Whatever happened to Local Government. Open University

Press, Buckingham. 1993 Conyers, Diana. Regional Administration and Regional Planning: A Plea for

Integration. University of Nottingham, The Hague. 1983 Couch, Chrish. Urban Renewal; Theory and Practice. Mac Millan, London.

1990 Crane, Randal. 1995. “The Practice of Regional Development in Indonesia:

Resolving Central-local Coordination Issues in Planning and Finance”. Public Administration and Development. Vol. 15. hal. 140.

Daft, Richard, L,. Organization Theory and Design. West Publishing Co,. Singapore. 1992.

Daldjoeni, N,. Seluk-beluk Masyarakat Kota. Alumni. Bandung. 1992 Davey, K.J.. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek internasional

dan relevansinya bagi dunia ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988

De Mello, Luiz R. JR. 1999. “Intergovernmental Fiscal Relation: Coordination Failures and Fiscal Outcomes”. Public Budgeting and Finance. Vol. 19/1. Hal. 8.

Denewitz, Bodo. 1947. Der Föderalismus. Sein Wesen und Seine Geschichte. Hamburg.

Deuerlein, Ernst. 1972. Föderalismus. Die historischen und philosophischen Grundlagen des föderativen Prinzips. Bonn.

Devas, Nick. et.al.. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1989.

Elcock, Howard. Local Government; Policy and Management in Local Authorities. Routledge, London, 1994 Ed.III.

Page 78: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

59

Esterbauer, Fried und Thöni, Erich. 1981. Föderalismus und Regionalismus in Theorie und Praxis. Wien.

Fesler, James W,. Area and Administration. Univ. Alabama Press. Alabama:1949

Frenkel, Max. 1984. Föderalismus und Bundesstaat, 1st Ed.. Bern. Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in

the Twenty-First Century. London. Hoessein, Bhenyamin. 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efisiensi ke Demokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia. Depok.

Hoessein, Bhenyamin. 2001. “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan Tantangan Globalisasi”. Usahawan 04/April, Jakarta.

Hoessein, Bhenyamin. 2001 “Pembagian Kewenangan antara Pusat dan daerah, Paper seminar „Konstruksi Hukum dan Politik kemandirian dan demokrasi Otonomi Daerah“, paper dipresentasikan di Malang.

Kuttenkeuler, Benedikt. 1998. Die Verankerung des Subsidiaritätsprinzips im Grundgesetz. Ein Beitrag zur Bedeutung des Subsidiaritätsprinzips für die Kompetenzabgrenzung im Bundesstaat. Frankfurt.

Laufer, Heinz dan Münch, Ursula.1988. Das Foedarative System der Bundesrepublik Deutschland, Opladen.

Leach, Steve,. Davis, Howard and Associates,. Enabling or Disabling Local Government. Open Univ. Press. Bristol:1996

Leach, Steve., Stewart, John., and Walsh, Kieron,. The Changing Organization and Management of Local Government. London. Mac Millan:1994

Leemans, A.F., Changing Patterns of Local Government , The Hague, IULA, 1970.

Mackie, J.A.C. (editor). 1980. “Integrating and Centrifugal Factors in Indonesian Politic since 1945“. The Making of Nation. ANU. Canberra.

Maryanov, Gerald S,. Decentralization in Indonesia as a Political Problems. Cornell University Press. Itahca, New York: 1958

Massam, Bryan. Location and Space in Social Administration. John Wiley & Sons. New York: 1975

Muluk, M.R. Khairul. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Daerah dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Studi Administrasi Publik di Kota Malang). Disertasi tidak diterbitkan. FISIP UI. Jakarta.

Newell, Charldean (ed). The Effective Local Government Manager. ICMA. Washington. 1993

Norton, Alan,. International Handbook of Local and Regional Government. Edward Elgar:1994, UK

Page 79: hubungan pusat dan daerah.pdf

Laporan Akhir: ”Pemahaman dan Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah PKPADK FISIP UI

60

Pitschas, Rainer. 2001. “Dezentralisierung und Good Governance - Zivilgesellschaftliche Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat” di dalam: Thomi, Walter/Steinich, Markus/Polte, Winfried (editor), Dezentralisierung in Entwicklungslandem. Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven staatlicher Reformpolitik, Baden-Baden, h..125-149.

Prasojo, Eko. 2003. Politische Dezentralisierung in Indonesien. Die Föderalismusdebatte in Politik und Rechtsvergleich. Frankfurt.

Prasojo, Eko. 2005. “Problem dan Prospek NAD Pasca MOU Helsinki”. Jurnal Intelijen dan Kontraintelijen. Vol. II No. 9 Desember-Januari. Centre for Study of Intelligence and Counterintelligence BIN. Jakarta. Hal. 22-31.

Prasojo, Eko. 2005. “Pilkada, Demokratisasi dan Good Governance: Rekonseptualisasi Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan”. Jurnal Bisnis dan Birokrasi No. 2/Vol. XIII/Mei. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta. Hal 101-109.

Prasojo, Eko. 2005. Federalisme dan Negara Federal. Sebuah Pengantar. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.

Prasojo, Eko; Kurniawan, Teguh; Hasan, Azwar. 2004. Reformasi Birokrasi dalam Praktek. Kasus di Kabupaten Jembrana. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.

Rohdewohld, Rainer. 2003. “Decentralization and The Indonesian Bureaucracy: Major Changes, Minor Impact?”, di dalam Aspinal, Edward dan Fealy, Greg. Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. Smith, Brian C.. 1985. Decentralization. The Teritorial Dimension of the State. London.

Schneider, Hartmut and Libercier, Marie Helene. Concept, Issues and Experiences for Building up Participatory in “Participatory Development”. DCS. USA. 1995

Smith, BC., Decentralization: The Territorial Dimension of The State. George Allen & Unwin Publiher. London: 1985.

White, Roland dan Smoke, Paul. 2005. East Asia Decentralizes: Making Local Government Work. The World Bank. Washington DC.

Wunsch, James S dan Olowu, Dele. 1995. “Centralization and Development in Post-Independence Africa”. di dalam Wunsch dan Olowu. The Failure of the Centralized State. Institutions and Self Governance in Africa. San Francisco, California.

Yappika. 2006. “Studi Pelaksanaan Desentralisasi yang Membukan Ruang Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata Pemerintahan, dan Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat”, hasil penelitian tidak dipublikasikan. Jakarta.

Page 80: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG TATA HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH

URAIAN PENJELASAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR TAHUN

TENTANG HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN

PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ......TAHUN.....

TENTANG HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN

PEMERINTAHAN DAERAH SERTA ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH

Menimbang:

a. Bahwa Pemerintahan Daerah secara keseluruhan merupakan sub

I. PENJELASAN UMUM 1. Dasar Pemikiran

Page 81: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

2

sistem dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

pelaksanaannya harus memperhatikan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

b. Bahwa keberagaman dan kekhususan yang dimiliki oleh daerah

harus berjalan seiring dengan tujuan pemberian otonomi daerah

dan tercapainya tujuan-tujuan negara;

c. Bahwa Hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan

Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah perlu diatur dengan

undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman

daerah;

d. Bahwa untuk melaksanakan hal tersebut perlu ditetapkan Undang-

Undang tentang Hubungan Kewenangan Pemerintah dan

Pemerintahan Daerah serta Antar Pemerintahan Daerah.

Menurut pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary state; gedecentraliseerde eenheidsstaat). Secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui keberadaan sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan sebagai kontinum. Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi dimaksudkan untuk

menjamin terwujudnya aspirasi dan kepentingan nasional, sedangkan

penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan untuk

mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.

Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut

secara bersamaan akan terwujud “unity within diversity” dan “diversity in

unity”.

Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya

dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah

secara teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau

kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada

masayarakat lokal untuk mengatur dan mengurus kepentingan-

kepentingannya dengan aspek kewilayahan sebagai dasar pertimbangan

utama dalam penentuan batas jurisdiksi kelembagaannya. Desentralisasi

fungsional berarti pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada

Page 82: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

3

segolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu

untuk mengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut.

Dalam penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua elemen

pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan

secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk

mengatur dan mengurus dan/atau bagian dari kewenangan pemerintahan

tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara

kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan mengurus

kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Pembentukan daerah

otonom tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan politik, tetapi juga

harus berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, yang dapat diukur

melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,

jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan otonomi

daerah. Dengan demikian, dalam negara kesatuan tidak dimungkinkan

adanya daerah yang bersifat negara. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan

desentralisasi tidak pernah dimaksudkan untuk mendorong lahirnya

negara dalam negara. Yang ada adalah pemerintah pusat menyerahkan

atau melimpahkan kewenangan pemerintahan dan atau wewenang tertentu

kepada pemerintah daerah.

Page 83: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

4

Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, persoalan-persoalan

persebaran wewenang dan bagaimana tata hubungan di antara pemerintah

dari setiap jenjang menjadi suatu hal yang pelik. Gubernur sebagai kepala

daerah juga memiliki fungsi dekonsentrasi yaitu sebagai wakil Pemerintah

dalam rangka dekonsentrasi. Dalam kasus ini terdapat adanya dual

function karena daerah otonom itu adalah separateness (disintegrasi)

sehingga harus mengintegrasikan kembali (how to reintegrated).

Pengintegrasiannnya dengan jalan provinsi memiliki dual status sebagai

daerah otonom dan sebagai daerah administrasi, konsekuensinya gubernur

juga memilki dual role sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai kepala

daerah.

Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di antara

lembaga-lembaga pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal yang

didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk

menghindari polemik. Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya

tata hubungan tersebut antara lain: (a) Bahwa Filosofis dasar keberadaan

pemerintahan daerah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia

berkenaan dengan pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan

tugas pembantuan, merupakan sub-sistem dari pemerintahan Nasional. (b)

pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya hubungan saling

Page 84: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

5

ketergantungan antar berbagai elemen Pemerintahan dalam bingkai

Negara kesatuan Republik Indonesia; (c) tuntutan globalisasi

menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling

bersinergi; (d) bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki

karakter budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemeirintahan

yang mampu menjadi pendorong inistiatif lokal, pendorong berbagai

perubahan ke arah kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan

masyarakat dengan kompleksitas sistem yang ada.

Disamping itu, hal pengaturan hubungan kewenangan antara Pemerintah

dan Pemerintahan Daerah serta antar Pemerintahan Daerah adalah

amanat UUD. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD

1945; khususnya ayat (1) pasal 18 A menyatakan:”Hubungan wewenang

antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,

dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan

undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman

daerah.” Frasa “diatur dengan Undang-undang” secara eksplisit

mengindikasikan bahwa materi tata hubungan kewenangan yang dimaksud

bukan berada di dalam sebuah produk hukum lain tetapi justru secara

khusus harus disusun sebuah UU akan hal itu. Sandaran legalitas dari

pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita menyusun sebuah UU.

Page 85: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

6

Dengan demikian, tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat

dan unsur Pemerintah daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang

baik. Tata Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupatan/ Kota adalah mekanisme dan proses timbal balik antara unsur

Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah Kabupaten/ Kota berdasarkan

kepemerintahan yang baik.

Pola hubungan yang tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal,

horizontal dan diagonal. Hubungan-hubungan tersebut dapat terjadi baik

dalam area dekonsentral, desentralisasi, dan medebewind maupun dalam

antar ketiga area tersebut. Disamping hubungan kewilayahan, maka

hubungan kewenangan juga meliputi hubungan jabatan, hubungan organ,

keuangan, kepegawaian, intervensi pemerintah terhadap pemerintahan

daerah, dan pelaporan serta pertanggungjawaban pemerintahan daerah.

Mengingat:

1. Pasal 1, 18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;

Page 86: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

7

2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

3. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ANTAR PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama

Pengertian

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama

Pengertian

Pasal 1 Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

Page 87: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

8

1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau

kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada

daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada

kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah

kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

4. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut, Pemerintah adalah

Presiden Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar 1945

5. Pemerintahan Daerah adalah Gubernur atau Bupati/Walikota

bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau

Kabupaten/Kota dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah

6. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

Page 88: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

9

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang

bersifat lokal dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

7. Instansi Vertikal adalah perangkat Pemerintah yang ditempatkan

di Daerah untuk melaksanakan dan mengurus urusan pemerintahan

tertentu berdasarkan asas dekonsentrasi.

8. Wewenang adalah hak, kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah

dan/atau Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan.

9. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan sejenis

yang terkait dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat,

negara dan bangsa

Bagian Kedua

Tujuan

Pasal 2

Undang-Undang ini bertujuan memperjelas dan mempertegas distrubsi

kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah,

pemerintah daerah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota serta antar

daerah.

Page 89: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

10

Bagian Ketiga

Azas-azas

Pasal 3

Undang-undang ini disusun berdasarkan azas kepercayaan, penghormatan,

pengakuan, dan tata kepemerintahan yang baik, serta keserasian dan

keharmonisan hubungan antar lembaga pemerintahan.

Bagian Keempat

Ruang Lingkup

Pasal 4

Undang-Undang ini mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah dan

pemerintahan daerah yang meliputi distribusi kewenangan, hubungan

organisasi, hubungan wilayah, dan hubungan jabatan, hubungan

kepegawaian, hubungan keuangan, hubungan pelaporan dan

pertanggungjawaban, dan hubungan intervenasi.

BAB II

TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN

PENYELENGGARAAN URUSAN

BAB II

TATA HUBUNGAN PEMBAGIAN DAN

PENYELENGGARAAN URUSAN Pasal 5 Pasal 5

Page 90: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

11

(1) Pembagian, penyerahan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan

dari pemerintah kepada pemerintahan daerah didasarkan dengan

mempertimbangkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, efesiensi,

koneksitas dan subsidaritas

(1) Eksternalitas dalam ketentuan ini adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Yang dimaksud akuntabilitas adalah pertanggungjawaban penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Yang dimaksud efisiensi adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan bedasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Yang dimaksud koneksitas adalah keselarasan antara kewenangan yang dimiliki dan unsur-unsur pembiayaan. Sedangkan yang dimaksud dengan subsidiaritas adalah bahwa kewenangan yang paling dekat dengan masyarakat diselenggarakan oleh level pemerintahan yang paling dekat.

(2) Urusan Pemerintah Pusat bersifat mutlak yang meliputi politik

luar negeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter dan fiskal

nasional, mempunyai daya laku berskala nasional dan mengikat

bangsa secara keseluruhan sebagaimana diatur oleh Undang-

Undang.

(2) Cukup Jelas

(3) Urusan Pemerintah Provinsi meliputi urusan perencanaan, (3) Urusan perencanaan, kordinasi, pembinaan dan pengawasan merupakan urusan di luar urusan yang diatur ayat (2) yang didesentralisasikan

Page 91: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

12

koordinasi, pembinaan dan pengawasan dalam lingkup propinsi serta

urusan yang didekonsentrasikan kepada Gubernur.

oleh Pemerintah dan bersifat lintas kabupaten/ kota berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Urusan yang didekonsentrasikan kepada Gubernur adalah urusan Pemerintah yang penyelenggaraanya dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah. Yang dimaksud dengan pembinaan dan pengawasan adalah urusan pemerintahan yang bertujuan menjamin terlaksananya urusan yang diserahkan kepada daerah otonom.

(4) Urusan Pemerintah Kabupaten/ Kota menyangkut urusan pelayanan

dan pemberdayaan masyarakat setempat.

Cukup Jelas

Pasal 6 Pasal 6

Penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada Pemerintahan Daerah dilakukan dengan peraturan perundang-undangan.

Cukup Jelas

Pasal 7 Pasal 7

(1) Pemerintahan Daerah dapat mengembalikan urusan pemerintahan

yang telah menjadi wewenangnya kepada Pemerintah jika tidak

dapat melaksanakan urusan tersebut.

(1) Meskipun secara normatif sebuah urusan telah diserahkan kepada pemerintahan daerah, tetapi dalam prakteknya urusan tersebut dapat diserahkan kembali kepada pemerintah jika suatu pemerintahan daerah tidak mampu melaksanakannya.

(2) Kriteria dan tata cara pengembalian urusan pada ayat (1) diatur

oleh Peraturan Pemerintah

(2) Cukup Jelas

Page 92: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

13

(3) Pemerintah dapat menarik kembali urusan pemerintahan yang telah

diserahkan kepada daerah jika:

(a) terdapat kepentingan yang bersifat nasional; atau

(b) daerah tidak dapat melaksanakannya

(3) Kepentingan nasional dalam hal ini adalah kepentingan yang menyangkut keutuhan negara dan bangsa, memiliki keterkaitan dengan standarisasi hukum pada tingkat nasional, dan kesatuan standarisasi ekonomi nasional.

(4) Kriteria dan tata cara penarikan urusan pada ayat (3) diatur oleh Peraturan Pemerintah

(4) Cukup Jelas

Pasal 8 Pasal 8

Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan 7 meliputi

kewenangan untuk mengatur dan kewenangan untuk mengurus atau

melaksanakan.

Dalam Undang-Undang ini titik berat mengatur standar, norma, dan kebijakan di tingkat nasional diletakkan pada level pemerintah pusat, sedangkan kewenangan mengatur dan mengurus pada tingkat regional dan lokal dilakukan oleh level pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 9 Pasal 9

Kewenangan mengatur sebagai dimaksud dalam pasal 8 terdiri atas:

(1) Kewenangan mengatur yang mutlak menjadi kewenangan

Pemerintah;

(2) Kewenangan mengatur bersifat yang konkuren;

(3) Kewenangan mengatur bersifat kerangka;

Cukup Jelas

Page 93: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

14

(4) Kewenangan mengatur bersifat paralel

Pasal 10 Pasal 10

(1) Dalam kewenangan mengatur yang menjadi kewenangan mutlak

pemerintah, pemerintahan daerah hanya memiliki kewenangan

untuk mengatur jika dan selama kewenangan tersebut secara

eksplisit ditetapkan oleh suatu Undang-undang.

(1) Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dalam Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah jika suatu Undang-Undang tertentu memberikan mandat secara eksplisit untuk mengaturnya. Jika tidak, maka Pemerintahan Daerah harus melaksanakan norma hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah.

(2) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat konkuren pemerintahan

daerah memiliki kewenangan mengatur jika dan selama pemerintah

belum menggunakan kewenangan tersebut baik melalui Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan

Presiden maupun melalui peraturan lainnya.

(2) Jika suatu urusan belum diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan apapun, maka pemerintahan daerah memiliki kewenangan mengatur dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah.

(3) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat kerangka Pemerintah

menetapkan secara umum pengaturan urusan pemerintahan dan

pemerintah daerah mengaturnya lebih lanjut dalam Peraturan

Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah.

(3) Cukup Jelas

(4) Dalam kewenangan mengatur yang bersifat paralel Pemerintah dan

Pemerintah Daerah berwenang mengatur urusan-urusan

pemerintahan tertentu secara bersamaan.

(4) Kewenangan mengatur ini dapat dimiliki oleh pemerintahan daerah jika suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara eksplisit menyerahkan kewenangan tersebut.

Page 94: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

15

Pasal 11 Pasal 11

Kewenangan yang bersifat mengurus sebagaimana dimaksud dalam pasal 8

terdiri atas:

(1) Kewenangan mengurus oleh Pemerintah dalam rangka sentralisasi;

(2) Kewenangan mengurus oleh Pemerintahan Daerah berdasarkan asas

desentralisasi;

(3) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas

dekonsentrasi;

(4) Kewenangan mengurus oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas

tugas pembantuan;

(5) Kewenangan mengurus oleh instansi pemerintah berdasarkan asas

dekonsentrasi.

Cukup Jelas

Pasal 12 Pasal 12

(1) Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kewenangan mengatur dan mengurus yang menjadi wewenang Pemerintah dan/atau Pemerintahan Daerah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran.

(1) Cukup Jelas

(2) Setiap sektor wajib menyesuaikan ketentuan-ketentuan peraturan (2) Cukup Jelas

Page 95: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

16

perundang-undangan yang mengaturnya sesuai dengan pembagian urusan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)

Pasal 13 Pasal 13

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan

berdasarkan Undang-Undang sebagai urusannya sendiri, jika dan

selama Undang-Undang tidak menetapkan lain.

(1) Cukup Jelas

(2) Dalam kewenangan mengurus berdasarkan azas desentralisasi

pemerintahan daerah menetapkan sendiri tata cara, organisasi

dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam peraturan

daerah dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

(2) Cukup Jelas

(3) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap tujuan dan

kesesuaian hukum dalam pelaksanaan urusan pemerintahan

daerah berdasarkan azas desentralisasi.

(3) Pengawasan terhadap tujuan adalah menyangkut apakah tujuan yang diamanatkan dalam penyerahan urusan tersebut tercapai atau tidak tercapai. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator keberhasilan pelaksanaan urusan. Sedangkan kesesuaian hukum menyangkut apakah peraturan daerah yang dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(4) Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap kesesuaian hukum

penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas

(4) Cukup Jelas

Page 96: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

17

desentralisasi pemerintah dapat membatalkan peraturan

daerah/peraturan kepala daerah.

(5) Dalam hal tidak tercapainya tujuan penyelenggaran satu urusan

pemerintahan pemerintah dapat mengambil tindakan pembinaan

dan atau sanksi terhadap suatu pemerintahan daerah.

(5) Cukup Jelas

(6) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5)

terhadap propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

(6) Cukup Jelas

(7) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5)

terhadap kabupaten/kota dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri

yang dalam pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Gubernur.

(7) Cukup Jelas

Pasal 14 Pasal 14

(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas

pembantuan, pemerintahan daerah menetapkan perangkat

pelaksana urusan tersebut jika tidak ditetapkan secara khusus

oleh Peraturan Perundang-undangan.

(1) Cukup Jelas

Page 97: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

18

(2) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan

teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan

dan perencanaan untuk pelaksanaan tugas pembantuan.

(2) Cukup Jelas

(3) Dalam pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas pembantuan

perangkat pemerintah daerah melaksanakan petunjuk yang

ditetapkan oleh pemerintah.

(3) Cukup Jelas

(4) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas tugas

pembantuan meliputi kesesuaian hukum dan pencapaian tujuan

urusan yang diserahkan.

(4) Cukup Jelas

(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh

perangkat pemerintah yang bersangkutan.

(5) Perangkat pemerintah yang bersangkutan adalah Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan.

(6) Pelaksanaan urusan pemerintahan oleh pemerintahan

kabupaten/kota berdasarkan tugas pembantuan yang berasal dari

pemerintahan propinsi dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang

sama pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) pada level propinsi.

(6) Cukup Jelas

(7) Dalam hal urusan pemerintahan berdasarkan azas tugas (7) Cukup Jelas

Page 98: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

19

pembantuan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka level pemerintahan yang memberikan tugas pembantuan dapat menarik kembali tugas pembantuan tersebut.

Pasal 15 Pasal 15

(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas

dekonsentrasi, Departemen/Lembaga Pemerintah Non

Departemen menyerahkan urusan pemerintahan kepada instansi

vertikal yang ada di daerah atau kepada perangkat pemerintahan

propinsi atau perangkat pemerintahan kabupaten/kota jika tidak

terdapat instansi vertikal di daerah.

(1) Cukup Jelas

(2) Instansi vertikal di daerah yang melaksanakan urusan

pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi wajib melakukan

koordinasi dengan perangkat pemerintahan daerah yang

bersangkutan.

(2) Koordinasi pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi dilakukan oleh Gubernur. Dalam hal ini Gubernur mengadakan rapat rutin dengan instansi vertikal, kepala daerah dan perangkat pemerintahan daerah terkait. (3) C k J l

Page 99: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

20

(4) Dalam hal Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen

tidak memiliki instansi vertikal maka urusan pemerintahan

berdasarkan azas dekonsentrasi diselenggarakan oleh perangkat

pemerintahan daerah berdasarkan tugas pembantuan.

(5) Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan

teknis lainnya yang menyangkut pembiayaan, personel, peralatan

dan perencanaan untuk pelaksanaan urusan berdasarkan azas

dekonsentrasi.

(4) Cukup Jelas

(6) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan azas

dekonsentrasi, instansi vertikal atau organ pemerintahan daerah

wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(4)

(5) Cukup Jelas

(7) Gubernur melakukan koordinasi terhadap pelaksanaan urusan

pemerintahan berdasarkan azas dekonsentrasi.

(6) Cukup Jelas

(8) Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan berdasarkan azas

dekonsentrasi meliputi kesesuaian hukum dan tujuan

(7) Cukup Jelas

Page 100: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

21

penyelenggaraan urusan.

(9) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan oleh

instansi pemerintah yang menyerahkan urusan pemerintahan bersama-sama dengan Gubernur.

(8) Cukup Jelas

Pasal 16 Pasal 16

(1) Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan oleh instansi pemerintah

berdasarkan azas sentralisasi, pemerintahan daerah memberikan

bantuan bagi terlaksananya urusan tersebut sejauh tidak dilarang

oleh peraturan perundang-undangan.

(1) Cukup Jelas

(2) Bila diperlukan, instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Cukup Jelas

BAB III

TATA HUBUNGAN ORGANISASI

H BAB III

TATA HUBUNGAN ORGANISASI

Pasal 17

Pasal 17

(1) Dalam Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah setiap (1). Perangkat pemerintah adalah Departemen dan Lembaga Pemerintah

Page 101: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

22

perangkat pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota memiliki

hubungan satu dengan lainnya.

non Departemen yang meliputi Badan, Dewan, Komisi dan badan-badan pemerintahan lainnya. Perangkat Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota adalah perangkat organisasi daerah yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas, Badan, kantor dan lembaga teknis lainnya.

(2) Hubungan perangkat antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah

dan antar Pemerintahan Daerah meliputi penyelenggaraan urusan

daerah menurut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas

pembantuan.

(2). Cukup jelas

(3) Perangkat Pemerintah dalam rangka pelaksanaan azas

dekonsentrasi wajib melakukan koordinasi dengan perangkat

pemerintah daerah.

(3) Kewajiban melakukan koordinasi dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih dan mengoptimalisasi pelaksanaan dan hasil-hasil urusan yang diselenggarakan secara dekonsentrasi.

(4) Dalam penyelenggaraan urusan menurut azas desentralisasi

perangkat pemerintah propinsi dan perangkat pemerintah

kabupaten/kota wajib melakukan koordinasi.

(4) Karena wilayah kerja perangkat Propinsi meliputi semua wilayah kerja kabupaten/kota di Propinsi yang bersangkutan, maka setiap penyelenggaraan urusan oleh perangkat propinsi harus dengan koordinasi dan sepengetahuan perangkat pemerintah Kabupaten/Kota.

(5) Dalam penyelenggaraan urusan tugas pembantuan perangkat

pemerintah yang memberikan tugas tersebut wajib melakukan

koordinasi dan pembinaan terhadap perangkat pemerintah daerah

yang menerima tugas pembantuan.

(5) Cukup Jelas

(6) Dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas wilayah suatu (6) Cukup Jelas

Page 102: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

23

daerah otonom perangkat pemerintah daerah yang bersangkutan

wajib melakukan koordinasi dan kerjasama.

(7) Perangkat pemerintah propinsi melakukan koordinasi, pembinaan

dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan yang bersifat lintas

kabupaten/kota di wilayah propinsi yang bersangkutan.

(7) Cukup Jelas

Pasal 18 Pasal 18

Perangkat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah Departemen dan

Lembaga Pemerintah Non Departemen; Dinas, Badan dan Kantor serta

Lembaga Teknis Lainnya pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Cukup Jelas

Pasal 19 Pasal 19

(1) Setiap perangkat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib melakukan kerjasama

antara satu dengan lainnya berdasarkan hak, kewajiban dan

wewenangannya masing-masing serta berlandaskan atas dasar

kepentingan dan kesatuan nasional secara keseluruhan.

(1) Cukup Jelas

(2) Kerjasama antara perangkat pemerintah pusat dan pemerintah (2) Cukup Jelas

Page 103: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

24

daerah Propinsi dilakukan melalui Departemen/Lembaga

Pemerintah Non Departemen dan dikoordinasikan oleh Menteri

Dalam Negeri.

(3) Kerjasama antara perangkat pemerintah propinsi dengan perangkat

pemerintah propinsi lainnya dapat dilakukan sendiri oleh propinsi

yang bersangkutan atau melalui koordinasi Menteri Dalam Negeri.

(3) Cukup Jelas

(4) Kerjasama antar perangkat pemerintah kabupaten/kota dalam satu

propinsi dapat dilakukan sendiri oleh masing-masing pemerintah

daerah tersebut atau dikoordinasikan oleh Gubernur propinsi yang

bersangkutan.

(4) Cukup Jelas

(5) Kerjasama antar perangkat kabupaten/kota di wilayah pemerintah

propinsi yang berbeda dilakukan sendiri oleh pemerintah

kabupaten/kota yang bersangkutan atau dikoordinasikan oleh

Gubernur Propinsi yang bersangkutan.

(5) Cukup Jelas

Pasal 20

Pasal 20

Page 104: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

25

(1) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah dan

perangkat pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan

pemerintahan daerah, maka Presiden melalui Menteri Dalam

Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara adil dan selara

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-

azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

(2) Perselisihan yang dimaksud menyangkut antara lain kejelasan terhadap satu kewenangan tertentu antar tingkat pemerintahan, batas-batas wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan, konflik pembiayaan dan penerimaan.

(2) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah

propinsi dan daerah kabupaten/kota, maka Presiden melalui

Menteri Dalam Negeri melakukan upaya-upaya penyelesaian secara

adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

(2) Upaya damai diutamakan dalam penyelesaian perselisihan antar tingkat pemerintahan. Adil dan selaras berarti sesuai dengan hak, kewajiban dan kewenangannya masing-masing.

(3) Jika terjadi perselisihan antara perangkat pemerintah daerah

kabupaten/kota dalam satu wilayah propinsi, maka Menteri Dalam

Negeri melalui Gubernur melakukan upaya-upaya penyelesaian

secara adil dan selaras menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang

baik.

(3) Cukup Jelas

(4) Perselisihan yang terjadi antara perangkat pemerintah daerah (4) Cukup Jelas

Page 105: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

26

kabupaten/kota dalam wilayah propinsi yang berbeda diselesaikan

melalui Gubernur propinsi yang terkait secara adil dan selaras

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan azas-

azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

(5) Keputusan yang diambil dalam perselisihan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) bersifat mengikat masing-

masing perangkat pemerintah dan pemerintahan daerah.

(5) Cukup Jelas

(6) Terhadap keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat

dilakukan upaya gugatan di Peradilan.

(6) Cukup Jelas

(1) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan

pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan

khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.

(1) Cukup Jelas

(2) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) jika pembentukan pemerintahan

khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan

nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau

menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik,

(2) Cukup Jelas

Page 106: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

27

sosial dan hukum.

BAB IV

TATA HUBUNGAN JABATAN

BAB IV

TATA HUBUNGAN JABATAN

Pasal 21 Pasal 21

(1) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan, setiap pejabat dalam

semua tingkat pemerintahan wajib memperhatikan kewenangan,

tugas pokok dan fungsi yang dimilikinya.

(1) Cukup Jelas

(2) Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat melakukan koordinasi dan

pembinaan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang

dilakukan oleh Bupati/Walikota di wilayahnya.

(2) Cukup jelas

(3) Gubernur melakukan koordinasi dengan pejabat instansi vertikal di

daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan

berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi.

(3) Cukup Jelas

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerah otonom

berdasarkan azas dekonsentrasi dan sentralisasi setiap Menteri,

(4) Cukup Jelas

Page 107: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

28

Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Ketua Komisi, Ketua

Dewan Pemerintah, ketuan Badan, pimpinanBadan Hukum Milik

Negara, Badan Usaha Milik Negara harus melakukan koordinasi

dengan Gubernur dan Bupati/Walikota yang bersangkutan.

(5) Bupati/Walikota dapat melakukan hubungan kerja secara langsung

dengan Gubernur di wilayah Propinsi yang berbeda melalui

Gubernur propinsi yang bersangkutan.

(5) Cukup Jelas

(6) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaporkan

kepada Gubernur propinsi dimana bupati/walikota tersebut berada.

(6) Cukup Jelas

(7) Bupati/Walikota yang melakukan perjalanan dinas ke Luar Negeri

harus memberitahukan dan melaporkan hasilnya kepada Gubernur

sebagai wakil pemerintah di daerah.

(7) Cukup Jelas

(8) Kepala Dinas dan lembaga teknis daerah propinsi melakukan koordinasi dengan Kepala Dinas dan lembaga teknis kabupaten/kota di propinsi yang bersangkutan.

(8) Cukup Jelas

BAB V

TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN

BAB V

TATA HUBUNGAN KEPEGAWAIAN

Page 108: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

29

Pasal 22 Pasal 22

(1) Kepegawaian negara dibagi menjadi Pegawai Pemerintah dan

Pegawai Pemerintah Daerah.

(1) Cukup Jelas

(2) Pemerintah menetapkan standar dan norma perekrutan,

penggajian, promosi dan mutasi dalam jabatan, perpindahan

pegawai antar daerah, insentif tambahan, pengembangan kapasitas,

pengawasan dan pensiun Pegawai Pemerintah Daerah.

(2) Cukup Jelas

(3) Tata hubungan kepegawaian antara Pemerintah dan Pemerintah

Daerah diatur oleh peraturan perundang-undangan.

(3) Cukup Jelas

BAB VI

TATA HUBUNGAN KEUANGAN

BAB VI

TATA HUBUNGAN KEUANGAN

Pasal 23 Pasal 23

(1) Hubungan keuangan antar pemerintah dan pemerintahan daerah

maupun antar pemerintahan daerah memperhatikan keserasian

antara kewenangan, penguasaan sumber penerimaan dan kewajiban

(1) Cukup Jelas

Page 109: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

30

pembiayaan yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan.

(2) Hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah

dapat meliputi:

A. pembagian sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak

secara terpisah;

B. bagi hasil sumber-sumber penerimaan pajak dan bukan pajak

antar tingkat pemerintahan;

C. perimbangan horizontal antara pemerintahan daerah kaya dan

pemerintahan daerah miskin;

D. subsidi dan bantuan dari pemerintah pusat kepada

pemerintahan daerah.

(2) Cukup Jelas

(3) Hubungan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap

dengan memperhitungkan kekuatan keuangan pemerintahan

daerah pada setiap tahapan.

(3) Cukup Jelas

(4) Pemerintah harus menjamin bahwa pada tahapan subsidi dan

bantuan dari pemerintah, kekuatan kekuangan pemerintahan

(4) Cukup Jelas

Page 110: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

31

daerah tidak boleh berada dalam kesenjangan yang terlalu tinggi.

BAB VII

PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN

BAB VII

PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN

Pasal 24

Pasal 24

(1) Bupati/Walikota berkewajiban memberikan laporan

pertanggungjawaban tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban

serta wewenangnya kepada Menteri Dalam Negeri melalui

Gubernur setiap tahun.

(1) Cukup Jelas

(2) Gubernur berkewajiban memberikan laporan pertanggungjawaban

tentang pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban serta wewenangnya

kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri setiap tahun

(2) Cukup Jelas

BAB VIII

HUBUNGAN INTERVENSI

BAB VIII

HUBUNGAN INTERVENSI

Page 111: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

32

Pasal 25 Pasal 25

(1) Dalam keadaan tertentu dan untuk kepentingan umum, Pemerintah

dapat melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas

Pemerintahan Daerah.

(1) Cukup Jelas

(2) Pemerintah dapat melakukan tindakan eksekusi terhadap

pemerintahan daerah yang tidak mengindahkan peringatan dan

sanksi yang diberikan oleh pemerintah.

(2) Cukup Jelas

(3) Eksekusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa

pengurangan Dana Alokasi Umum sampai pada tindakan represif

militer.

(3) Cukup Jelas

(4) Tindakan represif militer dapat dilakukan hanya dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Daerah.

(4) Cukup jelas

BAB IX

TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA

BAB IX

TATA HUBUNGAN WILAYAH KERJA

Page 112: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

33

Pasal 26 Pasal 26

(1) Di dalam wilayah sebuah daerah otonom terdapat pula wilayah

kerja pemerintahan umum dan wilayah kerja administrasi lapangan.

(1) Cukup Jelas

(2) Daerah Khusus/tertentu dapat dibentuk oleh pemerintah di

wilayah daerah otonom.

(2) Cukup Jelas

(3) Daerah Khusus/tertentu dapat pula dibentuk oleh pemerintahan

propinsi dan pemerintahan kabupaten/kota.

(3) Cukup Jelas

Pasal 27 Pasal 27

(1) Wilayah-wilayah kerja sebagaimana diatur dalam pasal 26 memiliki

hubungan kerja yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya

(1) Cukup Jelas

(2) Hubungan kerja sebagaimana diatur dalam ayat (1) meliputi hubungan wewenang, hubungan jabatan, hubungan organisasi dan hubungan pelayanan.

(2) Cukup Jelas

(3) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih

lanjut oleh Peraturan Pemerintah

(3) Cukup Jelas

Page 113: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

34

Pasal 28 Pasal 28

(1) Wilayah pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 26

adalah wilayah kerja Gubernur sebagai wakil pemerintah yang

luasnya sama dan atau berhimpit dengan daerah otonom propinsi.

(1) Cukup Jelas

(2) Wilayah administrasi lapangan adalah wilayah kerja instansi

vertikal yang ada di daerah otonom yang luasnya sama dengan

wilayah kerja satu atau beberapa daerah otonom dimana instansi

vertikal itu bekerja.

(2) Cukup Jelas

(3) Wilayah pemerintahan khusus/tertentu adalah wilayah kerja suatu

unit/entitas tertentu yang dibentuk oleh pemerintah untuk

menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu di daerah otonom yang

luasnya bisa sama atau lebih kecil dari satu daerah otonom, atau

meliputi beberapa daerah otonom.

(3) Cukup Jelas

(4) Wilayah daerah otonom adalah wilayah kerja seorang kepala

daerah yang luasnya sebagaimana ditetapkan dalam Undang-

Undang pembentukan daerah otonom tersebut.

(4) Cukup Jelas

Page 114: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

35

(5) Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil pemerintah, Gubernur

berwenang menyelaraskan dan mengkoordinasikan seluruh

penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan khusus dan

pemerintahan administrasi lapangan di tingkat Provinsi dan tingkat

Kabupaten/Kota.

(5) Cukup Jelas

(6) Jika terdapat perselisihan dalam penyelenggaraan pemerintahan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Gubernur melakukan upaya-

upaya penyelesaian dengan memperhatikan kewenangan dan fungsi

masing-masing urusan pemerintahan.

(6) Cukup Jelas

(7) Gubernur memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dalam hal upaya penyelesaian dan hasilnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).

(7) Cukup Jelas

Pasal 29 Pasal 29

(1) Pemerintah menetapkan pembagian urusan dan fungsi antara

pemerintahan daerah khusus/tertentu yang dibentuk di wilayah

daerah otonom dengan pemerintahan daerah yang bersangkutan.

(1) Cukup Jelas

(2) Pembagian urusan dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Cukup Jelas

Page 115: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

36

meliputi kewenangan mengatur dan mengurus, pembiayaan dan

bagi hasil, dan hak dan kewajiban pelayanan kepada masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian urusan dan fungsi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah.

(3) Cukup Jelas

Pasal 30 Pasal 30

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam rangka administrasi lapangan dan pemerintahan khusus/tertentu di wilayah daerah otonom harus memperhatikan pelaksanaan azas desentralisasi dan otonomi yang dimiliki oleh pemerintahan daerah, azas keadilan dan keselarasan pemerintahan secara menyeluruh.

Cukup Jelas

Pasal 31 Pasal 31

(3) Pemerintahan daerah secara sendiri atau bersama-sama dengan

pemerintahan daerah lainnya dapat membentuk pemerintahan

khusus/tertentu diwilayahnya melalui Peraturan Daerah.

(1) Cukup Jelas

(4) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) jika pembentukan pemerintahan

khusus/tertentu tersebut bertentangan dengan kepentingan

(2) Cukup Jelas

Page 116: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

37

nasional, tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah dan atau

menyebabkan disinsentif bagi pembangunan ekonomi, politik,

sosial dan hukum.

BAB X

PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN

BAB X

PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERSELISIHAN

Pasal 32

Pasal 32

(1) Penyelesaian konflik dan perselisihan wewenang antara Pemerintah

dan Pemerintahan Daerah dan antara Pemerintahan Daerah

dengan Pemerintahan Daerah lainnya dilaksanakan berdasarkan

ketentuan Undang-Undang ini.

(1) Cukup Jelas

(2) Penyelesaian konflik dan perselisihan diutamakan dengan melalui

upaya musyawarah untuk mencapai kesepakatan, dan apabila tidak

dapat diperoleh kesepakatan antara para pihak maka perselisihan

diselesaikan melalui upaya hukum

(2) Cukup Jelas

BAB XI

SANKSI

BAB XI

SANKSI

Page 117: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

38

Pasal 33 Pasal 33

(1) Pemerintah berwenang memberikan sanksi kepada Pemerintahan

Daerah yang tidak melaksanakan kewajibannya dan/atau tidak

mematuhi ketentuan Undang-Undang ini dan Peraturan Perundang-

Undangan lainnya.

(1) Cukup Jelas

(2) Kriteria dan tata cara pemberikan sanksi pada ayat (1) diatur lebih

lanjut oleh Peraturan Pemerintah

(2) Cukup Jelas

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34

Pasal 34

(1) Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan

antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan antara

Pemerintahan Daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini

dinyatakan tetap berlaku selama belum diatur dan/atau ditetapkan

lain oleh Undang-Undang ini.

(1) Cukup Jelas

(2) Peraturan perundang-undangan sektoral wajib menyesuaikan diri (1) Cukup Jelas

Page 118: hubungan pusat dan daerah.pdf

LAMPIRAN : DRAFT 3 RUU-TAHUB 1.12.06

39

dengan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang ini.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35 Pasal 35

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan agar setiap

orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-

undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia

Disahkan di Jakarta

Pada Tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAM