fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/skripsi... · web viewwasiat wajibah...

170
i WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON MUSLIM (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 51.K/AG/1999). SKRIPSI Oleh : FAKIHTA RAKHMAN IHAS EIA006084 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO

Upload: doanduong

Post on 01-Aug-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON MUSLIM

(TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR :

51.K/AG/1999).

SKRIPSI

Oleh :

FAKIHTA RAKHMAN IHAS

EIA006084

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2011

ii

LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI

SKRIPSI

WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON MUSLIM

(TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 51.K/AG/1999).

Oleh:

FAKIHTA RAKHMAN IHAS

EIA006084

Diterima dan disahkan

Pada Tanggal, Agustus 2011

Menyetujui,

Penguji I/ Pembimbing I Penguji II/ Pembimbing II Penguji III

Mukhsinun,S.H.,M.H. Haedah Faradz, S.H., M.H Ujiati, S.H.,M.H.

NIP 19590212 198702 1 001 NIP 19590725 198601 2 001 NIP 19490915 198003 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Hj. Rochani Urip Salami,S.H.,M.S.

iii

NIP. 19520603 198003 2 001

SURAT PERNYATAAN

Bertanda tangan dibawah ini :

Nama : FAKIHTA RAKHMAN IHAS

NIM : EIA006084

SKS : 2006

Judul skripsi : WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON

MUSLIM (TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 51.K/AG/1999).

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya

sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui

sebagai tulisan atau pikiran saya.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa saya melanggar

ketentuan tersebut, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

Purwokerto, Agustus, 2011

Yang Membuat Pernyataan,

FAKIHTA RAKHMAN IHAS

NIM.E1A006084

iv

MOTO

“Hidup Adalah pIlihAN

Jalani hiDup ini Penuh Dengan Pilihan...jaNgan MenjadIkan

satu Hal sEbagai AcuAn...TaPi gUnakan bErbagaI HaL untuk

Setiap lanGkah qt keDepAn..

paDa Intinya orang Hidup Itu KuDu SABAR!!!!!

KagAk ada yang didApet dengan muDah untuk mempeRoleh

Sesuatu.kuDu SaBar Dan IkhtyaR teNTunya..

Keep spirit !!!”

ABSTRAK

v

Manusia merupakan mahluk hidup yang paling sempurna diantara mahluk lain

ciptaan Allah S.W.T, karena itu manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam

dan saling melakukan interaksi dalam hubunganya dengan manusia lainya, baik antara

muslim dengan non muslim.Salah satunya dalam hal mewaris yang terdapat dalam

putuan Mahkamah Agung Nomor 51.K/AG/1999 yang memberikan wasiat wajibah

kepada ahli waris non muslimyang kehilangan hak mewarisnya karena perbedaan agama.

Wasiat wajibah yang diberikan mahkamah agung dengan nomor 51.K/AG/1999

adalah untuk saudara kandung non muslim, padahal dalam Kompilasi Hukum Islam

dianalogikan kepada anak angkat dan orang tua angkat. Sedangkan perbedaan agam tetap

merupakan penghalang untuk dapat saling mewarisi. Sebagaimana diriwayatkan oleh

Bukhori dan Muslim bahwa Rasulullah S.A.W pernah bersabda “ Orang-orang yang

beragama Islam tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang-orang non muslim dan

begitu juga sebaliknya orang-orang non muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan

orang Islam”

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan

hakim Mahkamah Agung terhadap pewarisan kepada ahli waris non muslim dalam

putusan nomor 51.K/AG/1999

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative, dengan

spesifikasi penelitian deskriptif analisis, sumber data yang digunakan adalah data

sekunder berupa putusan Mahkamah Agung Nomor 51.K/AG/1999, Undang-undang dan

buku-buku literature yangh berkaitan dengan masalah penelitian.Data yang diperoleh

disajikan secara sistematis, dan analisis data dilakukan secara kualitative.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung memberikan bagian

dari harta warisan kepada ahli waris non muslim, melalui wasiat wajibah.Putusan ini

bertentangan dengan hadist nabi Muhammad S.A.W yang diriwayatkan oleh Bukhori dan

Muslim” Orang-orang yang beragama Islam tidak berhak mewarisi harta peninggalan

vi

orang-orang non muslim dan begitu juga sebaliknya orang-orang non muslim tidak dapat

mewarisi harta peninggalan orang Islam”

Putusan Mahkamah Agung Nomor 51.K/AG/1999 juga tidk sesuai dengan pasal 171

huruf C Kompilasi Hukum Islam, dan pertimbangan hakim Mahkamah Agung yang

memposisikan Ahli waris non muslim seperti anak angkat dengan memberikan putusan

berdasarkan wasiat wajibah tidak tepat, karena tidak seseuai dengan Pasal 209 ayat (1),

dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

Kata Kunci : Wasiat Wajibah , Ahli Waris Non Muslim

ABSTRACT

vii

Human being is a creature that the most perfect among the other creatures of

Allah SWT, because of that human being has the diversity of need and doing the

interacton in relationship with the other human being whether between the Moslem

and non Moslem. One of this relationship is related to the legacy that is explained in the

decision of Supreme Court Number 51.K/AG/1999 that gives the testament of wajibah

to the non Moslem heirs hat lost their legacy because the different of their religion.

Testament of wajibah that has been given by supreme court number

51.K/AG/1999 is to full sibling of non Moslem, in fact in the Islam Law Compilation it

is analogized to the adopted child and parent of adopted child. And the different in

religion still become the barrier to get the legacy each other. As explained by

Bukhori and Muslim that Rasulullah S.A.W said that “The people that has Islam

religion did not have the right to get the legacy from the non Moslem wealth and

conversely for the non Moslem its self did not get the legacy from the Moslem

wealth”

The purpose of this research is to find out the law consideration that is used

by the judge of Supreme Court to the legacy for the wealth to the heirs of non

Moslem in the decision number 51.K/AG/1999.

This research uses the method of normative juridical approach by using

analysis descriptive research, data source uses the secondary data as decision of

Supreme Court Number 51.K/AG/1999, Ordinance and book literatures that connected

with the research problem. Data that has been obtained them presented systematically,

and data analysis is conducted qualitatively.

From the research result it can be found out that Supreme Court gives the part

of the legacy to the heirs of non Moslem, through the testament of wajibah. This

decision is contradiction wit h the prophet’s Hadist of Muhammad S.A.W that was

explained by Bukhory and Muslim “The people that has Islam religion did not have

viii

the right to get the legacy from the non Moslem wealth and conversely for the non

Moslem its self did not get the legacy from the Moslem wealth”

The decision of Supreme Court Number 51.K/AG/1999 also does not being

appropriate with the article 171 letters C in Islam Law Compilation, and the judge

consideration of Supreme Court that put their self as heirs of non Moslem as adopted

child by giving the decision based on the testament of wajibah is not being appropriate,

because it does not being appropriate with the Article 209 (1), and (2) in Islam Law

Compilation.

Keywords: Testament of Wajibah, Heirs of Non Moslem

KATA PENGANTAR

ix

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat

serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

“WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON MUSLIM (TINJAUAN

YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR :51.K/AG/1999)”.

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu

pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

2. Ibu H. Mukhsinun , S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah

memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya skripsi ini.

3. Bapak Haedah Faradz, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah

memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya skripsi ini.

4. Ibu Ujiati, S.H.,M.H., selaku Penguji yang telah memberikan saran-saran untuk

perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Saryono Hanadi S.H, M.H, selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan arahan dan bimbingan akademik selama mengikuti kuliah di

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah

memberikan ilmunya kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

7. Orang Tua dan Keluarga tercinta serta kawan-kawan seperjuangan yang telah

memberikan dukungan baik materiil maupun spiritual kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

x

Penulis dalam penulisan skripsi ini telah berusaha dengan sebaik-baiknya, namun

mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis, maka penulis menyadari bahwa

skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun

sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulils dan semua pihak yang membutuhkan.

Purwokerto, Agustus 2011

Penulis

xi

PERSEMBAHANKU

this creation’s dedicated to:

1. Allah SWT, Maha Pengasih dan Penyayang yang telah melimpahkan nikmat

dan karunia Nya, sehingga menjadi penerang hidupku.

2. Kedua orang tua ku ( ir.Ali ranchman.M.SI / Parwati) yang telah merawat dan

mendidik dengan penuh kasih sayang dan pelajaran hidup yang begitu berarti,

yang selalu memberikan semangat dan motivasi hingga pada akhirnya q

mampu untuk terus bangkit dari sekian keterpurukan yang q hadapi.Maaf q

belum bias membuat kalian bangga,paling tidak baru ini yang mapu q berikan

sebagai tanda bakti q kepada kalian.terima kasih atas segala yang telah

diberikan selama ini,baik secara materiil maupun immaterial…semoga esok

setelah sat ini q mampu mebuat kalian lebih bangga lagi

3. My brother , Saghuna Ramadhan.yuh koe ws mulai kul September besok.q

keluar kamu masuk,,nek bias jangan tiru masa lalu q di kampus hokum ini

yang ndleker ini.km kudu lebih rajin n semangat y.kalau bisa selesai dalam

wktu 3,5 tahun dikampus peternkan mu,,

4. Ayankuww n cintakuww, Ambar Astianingrum yang selalu mengisi hari-

harikuw dengan cinta dan kasih syankmu, makasih y atas segala waktu dan

harimu yang ade berikan,kesabaran mendengarkann keluh kesal q,hingga

mungkin telingamu memerah dan matamu pun menyipit….hehehe.makasih

juga atas segala pengorbanan yang ade berikan..

5. Special thanks to:

- Didit Yudanto bin Arino…hem…..q bingung dit arepo nulis apa go

koe,,heheh diomong apik y ora, ora juga y Mandan apik hehehe.tz y dit atas

segala bantuane selama ini,meh 5 tahun dewek brg,akeh crita akeh

duka,,tapi nek karo koe akeh dukane apa y hehehe.ayuh dit, q ws metu

xii

kiye,q sing lewih neng ngisormu jg ws rampung,koe juga kudu gagian

rampung y…salam go pak arino n keluarga y .kapan2 tak mampir ming

umahmu y..

- Bachtiar S.Ajez…hehehehe kanca all in,kanca bolos,,kanca poker,,yuh jez

gagian rampung.nek bisa desember y desember,nek emang bisa ne maret y

maret.aja kesuwen gole nyekeli buku..melas imah kae mbok disikat wong

hehehe.

- Jamal faruki bin mughni,,,hehehe sur gagian rampung sur…melas Yolanda

kae wis ngenteni sur….tx y sur atas bantuane selama ini sur….

- Fajar..kang mayuh digelis kang…aja mikirna si kae bae..masih banyak

wanita didepan sana hehehehe.

- Zain, hehehe ternyat ngene to rasane seminar n pendadarna.hem pantesan

rambutmu ngasi butak ngono.heh q nyusul ki olyh gelar S.H.wkwkwk.yuh

berjuan bareng maning kang 0 go golet kerja…

- Ari kucing bin sumarnNO…ehehehehe cing q ws rampung kiye..tx y ws

ngrewangi q slama kiye…yuh golet kerja bareng cing.,..sukses bareng ya….

- bwat temen-temen seperjuanganku, suci…hehehehen satu babeh beda ibu….

smoga sukses slalu buat km ci….akhirnya qt bisa selesai bareng nh cy…..

- bwat anak-anak FH UNSOED ‘06, Anggie, Febri, Gita, Maradona, Diah K

Dewi, Leny, Puji Pandu Dinilah, Widya, Eva, Argha, Fakihta, Zain,

gossblack,NurNaeny, Suci, Jamal, Didit, Aziz, Febri P., Fajar, Okta, Caca,

Dito, M.ari, Iqbal, Radix, Uzi, Diniel, Miko, Mila, Septian, Satya,

Somien,Guspa,marcel,arif,nanda,indra,Kodok,hafidz, Dan semua

MahaSiswa Fakultas Hukum lainnya yang tidak bias dibutkan satu-persatu,

Sukses buat kalian semua dan jangan lupakan pertemanan kita……!!!!!!!

6. Last but not least, semua pihak yang telah hadir dan mengisi hari- hari penulis.

Saat-saat indah bersama kalian akan selalu terekam di memory penulis, keep

smile in every single in your day…

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL…………………………………………………… . i

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….. ii

SURAT PERNYATAAN ........................……………………………….. iii

MOTTO …………………………………………………………...…...... iv

ABSTRAK .................................................................................................. v

ABSTRACT…………………………………………………………….... vi

KATA PENGANTAR ............................................................................... vii

PERSEMBAHAN ...................................................................................... xi

DAFTAR ISI……………………………………………………………... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………… 1

B. Perumusan Masalah………………………………………… 13

C. Tujuan Penelitian…………………………………………… 13

D. Kegunaan Penelitian………………………………………... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Waris Islam………………………………………… 15

1. Pengertian Hukum Waris Islam………………………… 10

2. Sumber-sumber Hukum Waris Islam….......……………. 15

3. Asas-Asas Hukum Waris Islam…………………………..21

B. Wasiat………………………….............................................. 18

xiv

1. Pengertian Wasiat………………………………………..36

2. Syarat-Syarat Wasiat…………………………………….37

3 Rukun Wasiat……………………………………………38

4 Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam………………….44

C. Wasiat Wajibah..............................................…………….... 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Pendekatan…………………………………...…. 60

B. Spesifikasi Penelitian……………………………………. 60

C. Lokasi Penelitian……………………………………….... 60

D. Sumber Data………………………………………..……. 61

E. Metode Pengumpulan Data…………………....……........ 61

F. Metode Penyajian Data…………………………….....….. 61

G. Metode Analisis Data……………………………..……... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian………………………………………....... 63

B. Pembahasan.……………………………………….....…...81

BAB V PENUTUP

Simpulan ................................................................................... 90

Saran……………………………………………………………93

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan mahluk hidup yang paling sempurna di antara mahluk

ciptaan Allah S.W.T, oleh karena itu mempunyai hawa nafsu, pemikiran,

kecerdasan, yang tidak dimiliki oleh mahluk lainya. Sebagai mahluk hidup

manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, dan untuk memenuhi

kebutuhan hidup tersebut manusia saling mengadakan hubungan antara satu

dengan yang lain.Salah satunya yaitu dengan melalui perkawinan yang diatur

dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974.

Sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku maka segala

pengaturan mengenai perkawinan, telah diatur secara jelas dalam Undang-

Undang No 1 tahun 1974. Undang-Undang ini mulai berlaku secara efektif

sejak 1 Oktober 1975 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya. Khususnya bagi orang yang

beragama Islam berlaku juga ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam

melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.

Perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah :

Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.1

1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty : Yogyakarta, 2000, hal :138.

2

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 tersebut di atas, dapat dilihat adanya unsur-

unsur : ikatan lahir batin, antara seorang pria dan seorang wanita, dan sebagai

suami isteri. Adapun yang dimaksud ikatan lahir ialah ikatan yang dapat

dilihat, dimana mengungkapkan adanya suatu hubungan antara seorang pria

dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri, atau disebut juga

hubungan formal dan hubungan ini sifatnya nyata. Ikatan batin merupakan

hubungan tidak formil atau merupakan ikatan yang tidak kelihatan dan hanya

dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi walaupun tidak

nyata ikatan itu harus ada. Hal ini disebabkan tanpa adanya ikatan batin,

ikatan lahir akan menjadi rapuh.2

Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan

sebagai berikut:

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama ialah KeTuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, akan tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.3

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tersebut dapat diketahui, tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga

2 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang. Ghalia Indonesia, 1976, hal: 14-153 Soemiyati, op.cit,.hal : 9.

3

dapat diartikan pula bahwa sebenarnya perkawinan ini diharapkan untuk

berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

Membentuk keluarga dalam perkawinan yang dimaksud adalah terdiri dari

bapak, ibu dan idealnya anak. Jadi mempunyai anak/keturunan adalah salah

satu tujuan dari perkawinan. Tujuan Perkawinan dalam Islam selain untuk

memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, sekaligus untuk

membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam

menjalani hidupnya di dunia ini, serta mencegah perzinahan, agar tercipta

ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman

keluarga dan masyarakat.4 Sebelum suami-isteri menikah, mereka mempunyai

hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya, hak dan kewajiban

akan harta miliknya dan sebagainya, kemudian setelah mereka mengikatkan

diri dalam lembaga perkawinan, maka mulai saat itulah hak kewajiban mereka

menjadi satu. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan

kewajiban atas harta masing-masing pihak akan meleburkan diri, melainkan

hak dan kewajiban atas harta mereka tetap utuh walaupun mereka telah

bersatu dalam kehidupannya.5

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juga telah mengatur secara rinci

tentang harta perkawinan, antara lain dalam Pasal 35 yang menyebutkan :

1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

4 Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara : Jakarta, 1996, hal :26.5 Soemiyati, Op. Cit. hal : 138.

4

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.6

Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas

mengenai pembagian harta bersama yaitu dalam ketentuan Pasal 36 :

1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.7

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta

bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu

pihak tidak dapat meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan

hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka

seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu, seperti yang

disebutkan dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 :

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama

diatur menurut hukumnya masing-masing.8

Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah semua harta yang

dimiliki oleh seseorang secara pribadi atau secara bersama-sama pada waktu

orang tersebut masih hidup. Pembahasan mengenai harta kekayaan menjadi

sesuatu yang penting ketika perkawinan tersebut berahir, atau salah satu antara

paangan suami istri meninggal, dimana harta kekayaan tersebut akan dibagi

6 Ibid,.7 Ibid,.8 Ibid,..

5

menjadi harta peninggalan dan harta warisan. Harta peninggalan adalah harta

kekayaan yang telah ditinggalkan pewaris, dimana jenis bendanya adalah harta

benda ( baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak ), dan hak-hak yang

mempunyai nilai kebendaan atau hak yang mengikuti bendanya. Harta warisan

adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi

hak ahli waris, dimana dari harta tersebut sisa setelah diambil untuk

kepentingan si mayit, yaitu untuk kepentingan pengurusan jenazah, hutang-

hutang dan penunaian wasiat.9

Dalam Hukum waris Islam menjelaskan bahwa pewarisan merupakan salah

satu bahasan yang sering menimbulkan perselisihan antara ahli waris dari

pewaris. Al-Qur'an dan Hadis telah mengatur bagian-bagian ahli waris secara

tegas, sehingga dikenal dengan sebutan al-furud al-muqaddarah (bagian pasti),

selain yang mendapat bagian sisa ('asabah). Oleh karena itu, ayat tentang bagian

ahli waris tergolong ayat yang petunjuknnya pasti atau tegas (dalalah

qat'iyyah).10

Dasar pemikiran waris karena adanya suatu akibat hukum dari suatu

peristiwa meninggalnya seseorang manusia, yang kemudian menyangkut

mengenai harta peninggalan. Berdasarkan batasan tersebut dapat diperoleh

ketentuan bahwa menurut hukum Islam kewarisan baru dapat terjadi setelah

pewaris meninggal dunia, dan meninggalkan harta warisan.11 Permasalahan

mengenai harta warisan sangat mudah menimbulkan sebuah masalah, maka

9 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta : Ekonisia, 2002, hal : 22.10 Ibid,.

11 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, UII Press Yogyakarta, 2001, hal : 132

6

diperlukan sebuah aturan hukum yang mengatur untuk menyelesaikan berbagai

hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap harta peninggalan seseorang pada

saat orang tersebut meninggal, yang kemudian akan beralih kepada ahli

warisnya. Hukum kewarisan Islam adalah hukum kewarisan yang diatur dalam

Al-Quran, Sunah Rasul, Fiqih serta hasil Ijtihad para fuqaha dalam memahami

ketentuan Al-Quran, dan Sunah Rasul.12

Hukum waris Islam dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf a

menjelaskan bahwa :

Hukum kewarisan islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah ) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya masing-masing.13

Dasar dari hukum waris islam berasal dari ayat-ayat yang terkandung dalam

Al –Quran, dimana ayat-ayat Al –Quran telah mengatur hukum waris

dengan jelas dan terperinci, seperti yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah

(2): 180. Sajuti Thalib dalam bukunya Hukum Kewarisan Islam Indonesia

menjelaskan beberapa sebab-sebab yang mengakibatkan timbulnya

hubungan waris-mewarisi adalah :

a. Hubungan nasab atau kerabat atau keturunan seperti ayah, ibu,

cucu, saudara kandung dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa

sebab-sebab terjadinya waris-mewarisi adalah kekeluargaan atau

nasab, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 7 :

12 Ibid,. hal : 130.13 Ibid,.

7

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ke-dua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak nagian ( pula ) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.14

Kekerabatan terjadi karena adanya hubungan keturunan antara dua

orang, baik keduanya berada dalam satu titik hubungan ( satu jalur )

seperti ayah ke atas atau anak kebawah, maupun pada jalur yang

memunculkan orang ketiga, yaitu saudara – saudara paman dari

ayah ibu.

b. Hubungan perkawinan yaitu suami atau istri, meskipun belum per-

nah berkumpul, atau telah bercerai, tapi masih dalam masa ‘iddah

talak raj’i. Perkawinan tersebut terjadi melalui adanya akad sah an-

tara seprang laki-laki dengan seorang perempuan, sekalipun belum

terjadi hubungan intim ( bersenggama ) antar keduanya.15 Adapun

perkawinan yang batal atau rusak tidak bias menjadi sebab untuk

mendapatkan hak waris.

c. Hubungan wala’ yaitu hubungan antara dua orang yang menjadikan

keduanya seakan sudah sedarang sedaging laksana hubungan nasab,

oleh karena itu, apabila ada seseorang yang memerdekakan ham-

banya dia menjadi maula dari orang yang dimerdekakanya, dan

berhak mewarisinya manakala bekas hambanya tersebut tidak mem-

punyai seorang pewaris pun.16

14 Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Bandung : Pustaka Setia Bandung, 2009, hal : 111.15 Ibid,.16 Ibid,.

8

Rukun dan syarat warisan menurut hukum waris Islam :

a. Rukun Warisan

a) Muwarrits atau pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia, dan ahli

warisnya berhak untuk mewarisi harta waris.

b) Warrits atau ahli waris, yakni mereka yang berhak menerima harta

peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan atau

ikatan pernikahan.

c) Mautus atau harta waris, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan

yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan seba-

gainya.17

b. Syarat Warisan

a) Meninggal dunianya pewaris, baik secara hakikat maupun secara

hukum, yang dimaksud secara hakiki maupun hukum adalah seseo-

rang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli waris atau seba-

gian dari mereka, atau vonis yang dijatuhkan hakim terhadap seseo-

rang yang tidak diketahui keberadaannya. Hal ini harus diketahui se-

cara pasti, karena bagaimanapun keadaanya manusia yang masih

hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta mi-

liknya. Matinya pewaris mutlak harus diketahui, agar tidak terjadi

permasalahan dikemudian hari.

b) Hidupnya orang-orang yang berhak mendapat harta warisan harus je-

las di saat meninggalnya pewaris. Maksudnya, hak kepemilikan dari

17 Muhammad Ali As-Shabuni , Hukum Waris Dalam Syariat Islam, Diponegoro : Bandung, 1998, hal :47.

9

pewaris harus dipindahkan kepada ahli waris yang secara syariat be-

nar-benar masih hidup.

c) Mengetahui status warisan secara pasti, termasuk jumlah bagiannya

masing-masing, dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah dike-

tahui secara pasti. Sebab dalam hukum waris jauh dekatnya hubun-

gan kekerabatan akan membedakan jumlah bagian yang diterima,

karena tidak cukup seseorang dikatakan sebagai saudara sang pe-

waris. Harus dinyatakan terlebih dahulu apakah ia sebagai saudara

kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing

mempunyai bagian yang tersendiri.18

Penghalang mewaris adalah keberadaan penghalang yang menyebabkan

gugurnya hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan.19 Ahli waris yang

dilarang mendapatkan warisan adalah seseorang ahli waris yang sebenarnya

mempunyai hak mewaris, tetapi karena suatu tindakanya telah meng-

gugurkan sebagian atau seluruh hak mewarisnya yaitu :

a. Faktor pembunuhan, yaitu apabila seseorang ahli waris membunuh

pewaris, ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda

Rasulullah S.A.W. :

“ Pembunuh tidak berhak mewarisi harta orang yang

dibunuhnya”

Sangat masuk akal jika seseorang pembunuh tidak berhak atas harta

warisan yang yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah dibunuhnya.

18 Ibid.19 Abdul Ghofur Anshori, op.cit, hal : 31

10

Oleh karena itu, orang yang membunuh terhalang oleh perbuatannya

untuk mendapatkan warisan dari orang yang dibunuhnya. Kompilasi

Hukum Islam pasal 173 disebutkan:

Bahwa seseorang yang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena :

a) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris ;

b) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.20

b. Faktor beda agama, dimana orang muslim memberikan warisan kepada

sesama muslim, dan jika ahli warisnya bukan muslim maka ia tidak

berhak mendapatkan warisan. Rasulullah S.A.W bersabda :

"la yarith al muslim al kafir wa la al kafir al-muslim", orang yang

beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari orang yang

beragama lain (kafir), termasuk juga sebaliknya.21

c. Faktor perbudakan, yaitu seseorang yang berstatus sebagai budak tidak

mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudarannya. Sebab,

segala sesuatu yang dimiliki budak, secara tidak langsung menjadi milik

tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun ( budak murni ), mudabbar

( budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal ), atau

mukatab ( budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan

tuannya, dengan persyaratan yang disepakati oleh kedua belah pihak ).

20 Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal : 209.21 Imam Malik Ibn Anas, Al-Muwata’ Imam Malik Ibn Anas, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999. Hal: 276.

11

Berdasarkan hal tersebut semua jenis budak merupakan penggugur hak

untuk mewarisi dak hak untuk diwarisi, disebabkan mereka tidak

mempunyai hak milik.22 Budak dapat mendapatkan hak waris, apabila ia

telah dimerdekakan oleh tuannya.

Dasar hukum ditetapkanya orang berbeda agama tidak mendapatkan hak

waris seperti yang disebutkan dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhari

muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah bahwa seorang muslim tidak

menerima warisan dari yang bukan muslim, dan sebaliknya seorang bukan

muslim tidak mewarisi dari seorang muslim, dimaksud dengan bukan agama

Islam adalah agama-agama kepercayaan dan aliran keaagamaan yang

bersumber selain dari agama Islam, hal ini menurut pendapat Jumhur ulama

seperti Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Imam Abu Daud.23 Berdasarkan hadits

tersebut maka dengan jelas bahwa bahwa orang yang berbeda agama atau

non muslim tidak dapat menerima hak mewaris dari orang muslim, begitu

juga sebaliknya. sesuai dengan hadist Rasulullah S.A.W :

"la yarith al muslim al kafir wa la al kafir al-muslim", orang

yang beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari orang

yang beragama lain (kafir), termasuk juga sebaliknya.24

Hadis ini sebagai tambahan dari firman Allah S.W.T :

"layatawarath ahl millatain shatta", dua orang yang berbeda

agama tidak saling mendapatkan warisan sama sekali.25

22 Beni Ahmad Saebani, Syamsul falah, Hukum Perdata Islam Indonesia Di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2011, hal : 207.

23 Ibid,.24 Imam Malik Ibn Anas, op.cit, hal: 276.25 Ibid,.

12

Dua hadis inilah yang menjadi standar kewarisan di kalangan umat Islam

yang dianut oleh para ulama, sejak sahabat, ulama salaf dan khalaf. Namun

demikian, tidak menjadi ijma, karena ada beberapa sahabat tidak

menyepakatinya kafir di dalam hadis itu masih umum dan memerlukan khas

(pengkhususnya).

Menarik untuk dikaji, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor register

perkara 51.K/AG/1999, yang memberikan bagian harta warisan melalui

“Wasiat Wajibah” kepada ahli waris non muslim, wasiat wajibah dalam

Kompilasi Hukum Islam dianalogikan kepada anak angkat dan orang tua

angkat. Sedangkan perbedaan agama tetap merupakan salah satu penghalang

untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Pasal 209 ayat 2 yang

menyebutkan bahwa :

Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat

wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua

angkatnya.26

Hal ini yang menjadi alasan bagi penulis untuk melakukan penelitian

guna penyusunan skripsi dengan judul : ” WASIAT WAJIBAH BAGI

AHLI WARIS NON MUSLIM“ (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah

Agung Nomor.51.K/AG/1999)”

26 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam. 2007,Sinar Grafika: Jakarta. Hal : 204.

13

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu

permasalahan yaitu : Bagaimana pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah

Agung tentang hak mewaris anak non muslim di dalam Putusan Mahkamah

Agung dalam putusan Nomor Register perkara 51. K /AG /1999?

C. Tujuan Penelitian

Ingin mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim

Mahkamah Agung terhadap masalah pewarisan kepada anak non muslim

dalam putusan Nomor Register perkara 51. K /AG /1999?

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu

hukum perdata  pada khususnya di Hukum Waris Islam

b. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat menjelaskan dan

memberi sedikit pencerahan bagi segenap civitas akademik Fakultas

Hukum UNSOED .

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan infor-

masi bagi Mahasiswa, Hakim, Pengacara dan Masyarakat yang tertarik

dengan Hukum Waris Islam.

14

b. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan

bagi penelilti yang akan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan

Hukum Waris Islam

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Waris Islam

1. Pengertian Hukum Waris Islam

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan hak

milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.27 Selain

hal tersebut hukum waris mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan

harta kekayaan seseorang setelah meninggal dunia. Hukum kewarisan Islam

adalah hukum yang mengatur tentang segala aspek yang berkaitan dengan

waris yang berlaku untuk setiap manusia yang beragama islam dimana saja,

termasuk di Indonesia yang diatur berdasarkan pada Al-Quran, Sunah Rasul,

Fiqih sebagai hasil Ijtihad para fuqaha dalam memahami ketentuan Al-

Quran, dan Sunah Rasul.28 Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a

disebutkan bahwa :

Hukum kewarisan islam mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya masing-masing.29

Hukum waris Islam disebut juga dengan istilah dengan Fara’idh, yang

artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua

yang berhak menerimanya.30 Fara’idh adalah bentuk jamak dari faridhah,

27 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Waris Islam di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 2000, hal :13.28 Ibid.29 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit, hal : 194.30 Muhamad Rifa’I, Kifayahul Akhyar, Semarang :Toha Putra, 1998, hal : 242.

16

sedangkan makna yang dimaksud adalah mafrudhah, yaitu pembagian yang

telah dipastikan. Al Fara’idh menurut istilah adalah kepastian, sedangkan

menurut istilah syara artinya bagian-bagian yang telah dipastikan untuk ahli

waris.31 Arti kata mirats , menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari

seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Sesuatu itu lebih umum dari pada sekedar harta, yang meliputi ilmu,

kemuliaan, dan sebagainya, sebagaimana Rasulullah S.A.W bersabda :

Ulama adalah ahli waris para Nabi, mereka ( para nabi ) tidak mewariskan dirham dan dinar, mereka hanya mewariskan ilmu pengetahuan. Barang siapa mengambilnya maka orang itu mendapatkan keuntungan yang besar.32

Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang

dimaksud hukum waris Islam adalah segala hal yang membahas mekanisme

pembagian harta peninggalan mayat kepada ahli warisnya sesuai dengan

petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah.

2. Sumber-Sumber Hukum Waris Islam.

Sumber hukum Islam merupakan persoalan polemik antara ahli ilmu

tasawuf dan ahli fiqih, Sumber hukum Islam secara hakiki adalah Allah.

Sementara menurut ahli fiqih, Jaih Mubarok berpendapat bahwa sumber

hukum Islam adalah Al-Quran sebagai dalil hukum.33 Islam mengakui adanya

hak milik pribadi yang dapat berpindah kepada ahli waris, karena pemiliknya

meninggal dunia, dan meninggalkan harta yang cukup banyak, serta adanya

31 Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fani , Fathul mu’in jilid 2, Bandung :Sinar Baru Algensindo, 1999, hal :1112.

32 Ibid,. 33 Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Setia, 2007, hal: 137.

17

ahli waris keturunannya yang masih hidup, maka Islam mewajibkan kepada

keluarga atau ahli waris sebelum harta peningagalan menjadi hak ahli waris,

lebih dulu harus diperhatikan berbagai hak yang menyangkut harta peninggalan

itu, sebab mungkin pada waktu hidupnya mempunyai hutang yang belum

terbayar atau meninggalkan suatu pesan atau wasiat yang menyangkut harta

peninggalan, dan sebagainya, yang bersumber pada :

2.1. Al –Quran.

Al-Quran berasal dari kata qura’a yang berarti telah membaca.34 Al-Quran

adalah kumpulan wahyu ( kata-kata ) Allah yang disampaikan kepada

Muhammad S.A.W. dengan perantaraan Malaikat Jibril.35 Beberapa ayat dalam

Al-Quran yang mengatur pembagian harta waris antara lain terdapat dalam :

a) QS. An-Nisaa’ (4), dan dapat ditambahkan satu ayat dalam QS. Al-

Anfal (8).

b) QS.An-Nisaa’ (4):1, menegaskan tentang kuatnya hubungan kerabat

karena pertalian darah.

c) QS.Al-Anfal (8):75, menegaskan bahwa hak kerabat karena pertalian

darah, sebagian lebih diutamakan dari sebagian lain

d) QS.An-Nisaa’ (4):7, memberi ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan

sama-sama berhak atas harta warisan orang tua dan kerabatnya.

e) QS.An-Nisaa’ (4):8, memerintahkan agar sanak kerabat, anak yatim,

dan orang miskin yang hadir menyaksikan pembagian harta warisan

diberi sejumlah harta sekedar untuk dapat ikut menikmati harta yang

34 Mohd. Idirs Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika,2004, hal :45.35 Ibid,. hal : 46.

18

baru saja dibagi.

f) QS.An-Nisaa’ (4):9, memperingatkan agar orang senantiasa

memperhatikan anak cucu yang akan ditinggalkan agar jangan sampai

mereka mengalami kesempitan hidup sebagai akibat kesalahan orang

tua membelanjakan hartanya.

g) QS.An-Nisaa’ (4):11 menentukan bagian anak laki-laki sama dengan

dua anak perempuan; dua atau lebih anak perempuan (apabila tidak

ada anak laki-laki) menerima 2/3 harta warisan, dan apabila hanya

seorang (tidak ada anak laki-laki) menerima ½ harta warisan; apabila

ada anak, ayah, ibu masing-masing menerima 1/6 harta warisan;

apabila tidak ada anak, bagian ibu adalah 1/3 harta warisan (ayah

mendapatkan sisanya);apabila ada saudara lebih dari seseorang,

bagian ibu adalah 1/6 harta warisan.

h) QS.An-Nisaa’ (4):12, menentukan bagian suami adalah ½ harta

warisan apabila pewaris tidak meninggalkan anak;apabila bagian

suami adalah ¼ harta warisan setelah hutang dan wasiat dibayarkan;

ditentukan pula harta bagian istri adalah ¼ harta warisan apabila tidak

ada anak, dan 1/8 harta warisan apabila ada anak.

i) Apabila seseorang meninggal tanpa meninggalkan ayah atau anak,

padahal ia meninggalkan saudara laki-laki atau perempuan (seibu),

bagian saudara apabila hanya satu orang adalah 1/6 harta warisan, dan

apabila lebih dari satu orang, mereka bersama-sama mendapatkan 1/3

harta warisan. 36

36 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : UII Press,2001, hal : 5.

19

2.2. Sunah Rasul.

Kata As-Sunnah sering diidentikan dengan Al-hadist, Al-Hadist ini sering

digunakan oleh para ahli hadist dengan maksud yang sama dengan kata

“sunnah”, menurut pengertian yang digunakan oleh kalangan ulama ushul.37

As-Sunnah menurut istilah syara’, yaitu segala sesuatu yang datang dari

Rasulullah S.A.W., baik ucapan, perbuatan ataupun pengakuan.38 As-Sunnah

tersebut harus disampaikan secara sanad yang benar dengan hukum yang

bersumber dari Rasulullah S.A.W, kedudukannya sama dengan hukum yang

bersumber dari Al-Quran sebagai peraturan perundang-undangan yang harus

diikuti oleh umat Islam dalam melaksanakan syariat Illahi.39

Sunnah rasul menyebutkan pula hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-

Quran, antara lain sebagai berikut :

a) Hadits riwayat Bukhari dan muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-

laki yang lebih dekat kepada mayit lebih berhak atas sisa harta warisan,

setelah diambil bagian dari ahli waris yang mempunyai bagian-bagian

tertentu.

b) Hadits riwayat Bukhari dan muslim mengajarkan bahwa wala’( harta

warisan bekas budak yang tidak meninggalkan waris kerabat ) adalah

menjadi hak orang yang memerdekakanya.

c) Hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud mengajarkan bahwa harta

warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi

milik baitul mal.

37 Ibid,.38 Muhammad Ajjaj Al-khatib, Ushul Al-Hadist Ulumu Wafat Hauruhu, 1995,Cairo : Dar al-fiqri, hal : 19.39 Abdul Manan, op.cit, hal : 71.

20

d) Hadits riwayat Al-Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasai mengajarkan

bahwa orang muslim tidak berhak mewaris atas harta orang kafir, dan

orang orang kafir tidak berhak mewaris atas harta orang ,muslim.

e) Hadits riwayat Ahmad, Malik dan Ibnu Majah, mengajarkan bahwa

pembunuh tidak berhak mewaris atas harta orang yang dibunuhnya.

f) Hadits riwayat Bukhari menyebutkan bahwa dalam suatu kasus warisan

yang ahli warisnya terdiri dari satu anak perempuan, satu cucu

perempuan (dari anak laki-laki), dan satu saudara perempuan, Nabi

memberikan bagian warisan kepada anak perempuan 1/2 , kepada cucu

perempuan 1/6 dan untuk saudara perempuan sisanya.

g) Hadits riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan bagian

warisa kepada dua nenek perempuan 1/6 harta waris dibagi dua.

h) Hadits riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan

berhak mewaris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai

tangisan kelahirannya.40

2.3 Ijtihad

Ijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan daya

kemampuan intelektual serta menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya

yang resmi, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, kemudian menarik garis hukum

daripadanya dalam suatu masalah tertentu. Pembagian harta warisan dalam

beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad. Ijtihad adalah pemikiran sahabat

atau ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus pembagian warisan, terhadap

hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul terhadap hal

40 Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal : 8.

21

yang tidak ditentukan dalam Al-Quran dan Sunnah rasul. Sebagai contoh

adalah status saudara-saudara yang mewaris bersama-sama dengan kakek,

didalam Al-Quran hal ini tidak dijelaskan.41 Al-Quran hanya menjelaskan status

saudara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak

laki-laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-apa

lantaran terhijab.

3. Asas-Asas Hukum Waris Islam.

Hukum Islam mempunyai asas-asas hukum yang diambil dari al-Qur’an

dan As-Sunnah, dan hal tersebut juga diikuti oleh para Ulama Indonesia dalam

menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Asas-asas tersebut adalah :

3.1. Asas ijbari

Asas ijbari secara harfiah berarti memaksa. Asas ini merupakan kelanjutan

dari prinsip tauhid yang mengandung arti bahwa prealihan harta dari seseorang

yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya

menurut ketetapan allah tanpa digantungkan kepada kehendak sipewaris atau

ahli warisnya.42 Unsur memaksa dalam Hukum waris ini karena kaum

muslimin terikat untuk taat kepada Hukum allah sebagai konsekuensi logis dari

pengakuannya kepada Allah dan kerasulan Muhammad seperti dinyatakan

melalui dua kalimah sahadat. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang

meninggal dunia sesuai dengan firman allah dalam al-quran surat an-nisa ayat

7 berikut ini :

Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita

41 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit., hal 9.42 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hal : 24.

22

ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.43

Asas ijbari Hukum kewarisan islam dapat dilihat dari unsur-unsur memaksa

atau kepastian dalam asas termaksud, yang mengandung arti bahwa peralihan

harta tersebut terjadi dengan sendirinya menurut ketentuan Allah S.W.T, tanpa

tergantung kepada kehendak dari pewaris ataupun permintaan ahli warisnya.44

3.2. Bilateral

Asas bilateral artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah

pihak, yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat

keturunan perempuan.45 Asas ini dapat dijumpai dasar hukuknya dalam al-

qur’an surat an-nisa ayat 7, 11, 176 yang penjelasannya sebagai berikut :

a. ayat 7 surat an-nisaAyat ini menjelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga perempuan ia berhak mendapat warisan dari kedua orangtuanya.b. ayat 11 surat an-nisa• Anak perempuan berhak menrima warisan dari orang tuanya sebagaimana halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan bagian seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua oang anak perempuan.• Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam. Demikian juga ayah berhak menerima warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar seperenam, bila pewaris meninggalkan anak.

c. ayat 12 surat an-nisa• Bila seorang laki-laki mati punah, maka saudaranya yang laki-lakilah yang berhak atas harta peninggalannya, juga saudaranya yang perempuan berhak mendapat harta

43 Balai Penelitian P3M, Jurnal Penelitian Agama, IAIN Sunan Kalijaga, 1998, hal ; 1844 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, op.cit, hal : 24.45 Ibid,.

23

warisannya itu,• Bila pewaris yang mati punah itu seorang perempuan, maka saudaranya baik laki-laki maupun perempuan berhak menerima harta warisannya.d. ayat 176 surat an-nisa• Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, maka saudaranya yang perempuan itulah yang berhak menerima harta warisannya.• Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki itulah yang berhak menerima harta warisan.46

3.3. Individual

Asas individual artinya harta warisan dapat dibagi bagi kepada masing-

masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan, dalam melaksanakan asas

ini seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian

dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar

masing-masing.47 Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang

didapatna tanpa terikat kepada ahli waris yang lain,karena bagian masing-

masing telah ditentukan. Dasar Hukum asas ini pun merujuk kepada surat an-

nisa ayat 7, 12, dan 176 :

a. an-nisa ayat 7

yang artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.

b. an-nisa ayat 12

yang artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak

46 Balai Penelitian P3M, op.cit, hal ; 1847 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, op.cit, hal :28.

24

mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

c. an-nisa 176

yang artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.48

3.4. Keadilan yang berimbang

Keadilan yang berimbang artinya harus senantiasa terdapat keseimbangan

48 Balai Penelitian P3M, op.cit, hal ; 19.

25

antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan

kewajiban yang harus ditunaikannya. Misalnya laki-laki dan perempuan

mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-

masing kelak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Asas keadilan atau

keseimbangan disini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat

keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang

dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.49 Dalam Hukum kewarisam

islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada

hakikatnya merupakan kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap

keluarganya. Oleh karena itu, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli

waris harus berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing

terhadap keluarganya.50 Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab

kehidupan keluarga, yakni mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya

menurut kemampuannya, sebagaimana firman allah dalam surat al-baqarah

ayat 233 yang berbunyi :

Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat

49 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, op.cit, hal :29.50 Ibid,.

26

apa yang kamu kerjakan. Dan dalam surat al-tahalaq ayat 7 dinyatakan :

Artinya : Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.51

Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakan,

terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak; anaknya memerlukan

bantuan atau tidak, terhadap kerabat lain tanggung jawab seorang laki-laki juga

ada, sebagaimana firman allah dalam surat al-baqarah ayat 177 yang berbunyi :

yang artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.52

Tanggung jawab perempuan dan laki-laki sangat berbeda, tanggung jawab

perempuan tidak seberat tanggung jawab laki-laki terhadap keluarganya.

Perempuan justru harus menerima infaq, tempat tinggal, dan nafkah lainnya

dari suaminya. Dengan demikian, sesungguhnya manfaat yang dirasakan oleh

laki-laki dan perempuan dari harta peninggalan yang mereka peroleh adalah

sama. Dapatkah dipahami rasa kadilan Hukum islam dalam kewarisan dimana

51 Balai Penelitian P3M, op.cit, hal ; 19.52 Ibid,.

27

bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan itu didasarkan atas

perbedaan tanggung jawab yang hakikatnya masing-masing sama dari

perbedaan pembagian tersebut.

3.5. Asas Waratsa

Waratsa dalam Al-Qur’an mengandung pengertian makna peralihan harta

setelah kematian. Asas waratsa ini menyatakan bahwa kewarisan itu hanya ada

kalau ada yang meninggal dunia. Ini Ini berarti bahwa kewarisan dalam

Hukum islam itu semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang.53

Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang merupakan kewarisan itu

hanya terjadi bila orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Harta

seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan sebutan sebagai harta

warisan selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Asas ini

sekaligus menolak asas kewarisan testament yang dianut dalam asas kewarisan

Hukum perdata barat. Ketentuan kewarisan dalam kompilasi Hukum islam

hanya akan terjadi kalau pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan ahli

waris benar-benar telah meninggal dunia dan ahli waris benar-benar hidup pada

saat meninggalnya pewaris tersebut dalamhal ini ada dua macam yaitu :

1. Meninggal secara hakiki yaitu hakikat dapat dipersaksikan bahwa pewaris

benar-benar telah meninggal dunia.

2. Meninggal secara hukmi : yaitu sebenarnya pewaris yang dinyatakan

meninggal itu tidak dapat disaksikan kematiannya tetapi karena dengan

kuat tentang hal itu telah terjadi maka supaya ahli waris tidak ternanti-nanti

dalam ketidak pastian Hukum kewarisan dan pemilikan harta mereka dapat

53 Moh, Muhibbin, Abdul wahid, op.cit, hal :30.

28

meminta kepengadilan agama untuk menetapkan matinya pewaris secara

hukmi.54

Hal ini bisa terjadi karena lamanya pewaris tidak pulang, untuk mencapai

kepastian Hukum seperti ini maka pengadilan dapat memberikan

keputusannya. Hal ini sejalan dengan maksud pasal 171 KHI. Dengan

demikian persoalan kematian dalam islam adalah menjadi suatu hal yang

sangat menentukan dan akan menciptakan Hukum baru, bahkan menjadi kajian

yang strategis, dalam kaitannya dengan penetapan rentetan Hukum waris.

4. Rukun dan Syarat Warisan.

4.1. Rukun Warisan

Rukun Warisan adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu warisan dan

merupakan hakekat dari warisan itu sendiri. Pewarisan harus memenuhi tiga

rukun waris, bila salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak

terjadi pewarisan.55 Ketiga rukun itu adalah :

a. Al-Muwarits

Al-Muwarrits sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris. Harta yang dibagi waris haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.

b. Al-Warits

Al-Warits sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.

c. Harta Warisan

Harta warits adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya. Sedangkan

54 Balai Penelitian P3M, op.cit, hal ; 21.55 Tim Pengfajar Hukum Waris Islam,Hukum Waris Islam,Purwokerto:Unsoed,2006,hal :24.

29

harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh diwariskan. Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan. 56

4.2. Syarat Waris

Syarat warisan adalah sesuatu yang harus ada dalam dalam warisan, tetapi

buykan termasuk dalam hakekat warisan itu sendiri, kalau salah satu syarat dari

warisan itu tidak terpenuhi maka wartisan itu tidak sah.Bilamana salah satu

dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan. Syarat

pewarisan ada tiga:

a. Meninggalnya Muwarrits

Ada dua macam meninggal yang dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal secara hukum.

a). Meninggal secara hakiki

Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.

b). Meninggal secara hukum

Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan. Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.

b. Hidupnya Ahli Waris

Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia. Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak

56 Ahmad Sarwat,Fiqih Mawarist, Bandung : DU Center, 2001, hal : 43.

30

mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek.

c. Ahli Waris Diketahui

Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.57

5. Sebab-sebab Adanya Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

5.1. Kerabat hakiki

Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya.Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia. Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek lainnya.

5.2. Pernikahan

Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia. Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik

57 Ibid,. hal : 44.

31

iparnya, meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.

5.3. Al-Wala

Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.58

6. Hal-hal Yang Menggugurkan Warisan

Hal-hal yang bisa menggugur hak waris seseorang ada tiga:

6.1. Pembunuhan Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. " Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: Agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya. Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. :• Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. • Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.

58 Ibid,.

32

• Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. • Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.59

6.2. Budak Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.60

6.3. Perbedaan Agama Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam, dan siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:“Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim) Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbali, namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Al-islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad

59 Ibid, hal : 51.60 Ibid,.

33

termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam. Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal.61

7. Macam-Macam Ahli Waris

Secara garis besar, dilihat dari jenis kelamin ahli waris ada empat macam

golongan ahli waris, yaitu :

1. Ahli waris laki-laki ada sepuluh orang yaitu :

a. Anak laki-laki.

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki.

c. Ayah.

d. Kakek ( nenek laki-laki ).

e. Saudara laki-laki.

f. Keponakan Laki-laki.

g. Anak laki-laki paman.

h. Suami.

i. Maula ( orang yang memerdekaan budak ).62

61 Ibid, hal :53.62 Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal : 121.

34

2. Ahli waris perempuan ada tujuh orang, yaitu

a. Anak perempuan

b. Cucu perempuan

c. Ibu

d. Nenek perempuan

e. Saudara perempuan

f. Isteri

g. Permpuan yang telah memerdekakan si mayat.63

3. Ahli waris dalam keadaan bercampur ( laki-laki dan perempuan ) ada

kalanya tidak bercampur. Waris yang tidak bercampur, dari laki-laki ada

dua jalan, yaitu waris jalan pendek dan waris jalan panjang.

Waris jalan panjang, ahli waris laki-laki adalah :

a. Anak laki-laki.

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki.

c. Ayah.

d. Kakek.

e. Saudra laki-laki sekandung.

f. Saudara laki-laki seayah.

g. Saudara laki-laki ibu.

h. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.

i. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan paman.

j. Paman.

k. Anak laki-laki paman.

63 Ibid,.

35

l. Suami.

m. Laki-laki yang telah memerdekakan si mayat.64

Ahli waris menurut jalan panjang adalah :

a. Anak perempuan.

b. Cucu perempuan.

c. Ibu.

d. Nenek dari ibu.

e. Nenek dari Ayah.

f. Saudara perempuan seayah.

g. Saudara Perempuan seibu.

h. Isteri.

i. Perempuan yang telah memerdekakan Si mayat.65

Apabila semuanya ada, yang mendapat warisan hanya 5 ( lima ) orang yaitu

:

a. Isteri

b. Anak perempuan

c. Cucu perempuan

d. Ibu

e. Saudara perempuan sekandung.66

Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan semuanya ada, yang mendapat

bagian adalah :

a. Orang tua.

64 Ibid,. hal ; 122.65 Ibid.. 66 Ibid..

36

b. Anak laki-laki.

c. Anak perempuan.

d. Suami/isteri.67

4. Ahli waris yang tidak putus karena keadaan, ada 5 ( lima )

a. Suami.

b. Isteri.

c. Ayah.

d. Ibu.

e. Anak.68

B. WASIAT

1. Pengertian Wasiat

Wasiat berasal dari bahasa arab yaitu kata washshaitu asy-syaia ,ushi

artinya aushalyuhu yang dalam bahasa Indonesianya berarti “aku menyam-

paikan sesuatu”, yang berarti memberikan suatu penjelasan wasiat adalah

pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, piutang,

ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah orang

yang berwasiat meninggal dunia.69 Wasiat adalah pemberian hak milik se-

cara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal. Berbeda

dengan hibah yang kepemilikannya terjadi saat itu juga, sedangkan wasiat

kepemilikannya setelah orang yang berwasiat itu meninggal. Islam, telah

mengatur bahwa bagi seseorang yang merasa bahwa ajalnya telah dekat, dan

67 Ibid.. hal : 12368 Ibid..

69 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit. hal : 44.

37

dia meninggalkan harta yang banyak maka diwajibkan kepadanya untuk

membuat wasiat terutama bagi kedua orang tuanya ( demikian juga kepada

kerabatnya yang lainya ), terutama apabila dia telah dapat memperkirakan

bahwa harta mereka ( kedua orang tua dan kerabat lainya ) tidak cukup un-

tuk keperluan mereka.70

Wasiat mempunyai syarat dan rukun. Pengaturan rukun dan syarat

terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang syarat dan

rukun dalam wasiat.

a. Syarat Pewasiatan.

Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Buku II

Bab V Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan persyaratan-

persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pewasiatan

tersebut adalah sebagai berikut :

a) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

b) Harta benda yang diwasiatkan pun harus hak milik pewasiat.

c) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat 1 pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.71

Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :

a) Wasiat dilakukan secara lisan, dihadapan 2 ( dua ) orang saksi atau dilakukan dihadapan notaris.

b) Wasiat hanya boleh sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali ada persetujuan semua ahli waris

c) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh

70 Ibid.71 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 200.

38

semua ahli waris.d) Persyaratan persetujuan pada poin 2 dan 3 pasal ini dibuat

secara lisan dihadapan dihadapan 2 (dua) orang saksi, atau dibuat dihadapan notaris.72

b. Rukun wasiat

Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wasiat hanya ada satu,

yaitu ijab ( pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan

wafat ), Menurut mereka , wasiat adalah akad yang hanya mengikat

pihak yan berwasiat, sedangkan bagi pihak penerima wasiat, akad itu

tidak bersifat mengikat.73 Ulama Mazhab Hanafi menyamakan antara

hak yang akan diterima melalui warisan dan wasiat, yang hanya berlaku

setelah pemilik harta meninggal dunia, oleh karena itu qabul tidak

diperlukan sebagaimana yang berlaku dalam hak waris.74 Berbeda

dengan apa yang dikatakan Ibnu Abidin ( W. 1252 H/ 1836M; tokoh

fiqih Mazhab Hanafi ) qabul tetap menjadi menjadi salah satu syarat

dalam wasiat.75

Kadar harta yang boleh diwasiatkan dalam hadits Rasulullah S.A.W

yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibn Abbas, tidak melebihi

sepertiga dari harta peninggalannya dan wasiat diberikan kepada selain

pewaris. Jika wasiat melebihi sepertiga dan penerima wasiat salah satu

ahli waris, maka wasiat itu bisa dilaksanakan jika ada persetujuan dari

semua ahli waris dengan membuat pernyataan persetujuan secara lisan

72 Ibid.73 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan,, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, P.T Raja Grafindo Persada: Jakarta,2008, hal : 132.74 Ibid.75 Ibid.

39

dengan dua orang saksi.76 Ditegaskan pada pada Pasal 196 Kompilasi

Hukum Islam, bahwa baik wasiat berupa tulisan atau pun lisan harus

dengan tegas dan jelas orang atau lembaga yang akan menerima wasiat

tersebut.77

Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang kematian,

atau ketika pemberi wasiat dalam keadaan sehat. Wasiat dapat dipandang se-

bagai pemberian yang dengan sukarela serta iklas didasari rasa kemanusiaan

memberikan hartanya kepada seseorang dengan keyakinan bahwa kelak

akan mendapatkan pahala dan pembalasan di akherat kelak. Pemberian

wasiat ditujukan kepada selain ahli waris, dengan kata lain penerima wasiat

bukanlah berasal dari golongan ahli waris.

Dasar hukum wasiat ini terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat

180:

Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseo-rang diantara kamu, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua, karib kerabat dengan cara yang baik, ( sebagai ) kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.78

Hal tersebut diperkuat dengan Surat Al-Baqarah ( 2 ): 240 :

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaknya berwasiat untuk istri-istrinya, ( yaitu ) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah ( dari rumahnya ). Akan tetapi, jika mereka pindah ( sendiri ), maka tidak ada dosa bagimu ( wali atau waris dari yang meninggal ) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.79

76 H. Zainudin Ali, op. cit. Hal :78.77 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. cit hal : 200.

78 Beni Ahmad Saebani, Syamsul falah, op.cit,. hal : 250.79 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak , op.cit, hal :45.

40

Jaman jahiliyah banyak bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya,

mewasiatkan supaya memberikan harta bendanya kepada orang-orang yang

jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu-

bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut-sebut

dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada

waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang

menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.80 Untuk menertibkan sikap yang

pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah surat Al-

Baqarah, ayat 180, yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta

benda yang ditinggalkan itu untuk ibu-bapak sendiri dan keluarga yang

dekat-dekat. Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang

terkenal dengan sebutan ayatul-mawarist yaitu, surat An-Nisa', yang

mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung

nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.81

Turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli-ahli tafsir

berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180)

menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi.82 Akan tetapi sebagian

ulama-ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai

soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum.83 Motif dan hikmah

melakukan wasiat itu bagi orang yang banyak mempunyai harta kekayaan

80 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 2002,Jakarta : UI Press, hal 134.

81 Ibid.82 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 2003,Jakarta : Logos, Cet. III, hal : 45.

83 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. III, 2003, hal : 23.

41

ialah sebagai tambahan amal yang masih dapat dilakukan seseorang ketika

ajalnya sudah hampir dan dekat. Wasiat itu barulah berlaku apabila orang

yang bersangkutan sudah meninggal. Pada hakekatnya, wasiat itu adalah

semacam hibah. Perbedaan antara hibah dengan wasiat ialah, bahwa hibah

itu dilakukan (diberikan) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia

masih hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu

meninggal dunia.84 Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau

akan meninggal dunia, sebab memang beliau tidak meninggalkan harta yang

banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat-sahabat banyak yang

melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddik yang

mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya; Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4

dari kekayaannya. 85

Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama

wasiat itu masih dalam batas-batas ketentuan ajaran dan hukum Islam.

Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti

yang diperingatkan dalam Al-Quran:

"Barangsiapa yang mengubah wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah

ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-

orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah 2: 181).86

Wasiat dilihat dari segi hukum, wasiat merupakan perbuatan hukum sepi-

hak ( merupakan pernyataan sepihak ), jadi dapat saja wasiat dilakukan

tanpa dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam

84 Ibid,.85 Ibid,.86 Ibid.

42

bentuk tertulis.87 Ahli hukum Islam telah sepakat bahwa batas pemberian

wasiat adalah sepertiga harta peninggalan pewaris. Dasar pembatasan pem-

berian wasiat ini adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqash, seorang sahabat nabi

yang menceritakan ketika Sa’ad bin Abi Waqash yang ssedang sakit, kemu-

dia Rasulullah menjenguknya, dalam dialog antara Sa’ad bin Abi Waqah

dengan rasulullah adalah sebagai berikut:

“Sa’ad bin Abi Waqash bertanya kepada Rasulullah : Saya mempunyai yang banyak sedangkan saya hanya mempunyai seorang anak perempuan yang akan mewarisi saya. Saya sedekahkankah saja dua pertiga dari harta saya ini?”. Jawab Rasulullah : “ Jangan!”. Maka bertanya lagi Sa’ad : “Bagaimana jika seperdua?”. Rasulullah menjawab lagi : “Jangan”!. Sudah itu bertanyalah lagi Sa”ad : “Bagaimanakah jika sepertiga”?. Maka berkatalah Rasulul-lah : “Atstsulutsu kabirun, innaka in tarakta waladaka agh-niyaa’a khairun…..”(Besar jumlah sepertiga itu sesungguh-nya jika engkau tinggalkan anakmu dalam keadaan berke-cukupan adalah lebih baik).88

Walaupun demikian kalau ada wasiat pewaris yang lebih dari sepertiga

harta peninggalan, maka diselesaikan dengan salah satu cara berikut :

a) Dikurangi sampai batas sepertiga harta peninggalan. Atau

b) Diminta kesediaan semua ahli waris yang ada pada saat itu berhak menerima waris, apakah mereka mengik-laskan memberikan kelebihan wasiat atas sepertiga harta itu, kalau mereka mengiklaskanya maka halal dan ibadah hukumnya pemberian wasiat lebih dari sepertiga harta peninggalan itu.

Mengenai kedudukan hukum wasiat, ada yang berpendapat bahwa wasiat

itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak

maupun sedikit. Pendapat ini menurut Az-Zuhri dan Abu Mijlaz yang berpa-

87 Ibid., hal :4788 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta : Universitas Indonesia, 2007, hal : 110.

43

tokan pada Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 180 yang mewajibkan wasiat

ketika seseorang menghadapi kematian.89 Pendapat kedua menyatakan

bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi

dari si mayit itu wajib hukumnya, pendapat ini dipegang teguh oleh mazhab

Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-Zuhri.90 Pendapat yang ketiga

adalah pendapat empat imam mazhab dan aliran Zaidiyah yang menyatakan

bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan

harta ( pendapat pertama ), dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang

tua dan karib kerabat yang tidak mewaris ( pendapat kedua ), tetapi wasiat

itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan. Wasiat itu terkadang wajib,

terkadang sunat, terkadang haram, terkadang makruh, dan terkadang jaiz

( boleh ).91

Wasiat itu wajib dalam keadaan manusia mempunyai kewajiban syara

yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti

adanya titipan hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya,

dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau mempunyai

amanat yang harus disampaikan, atau mempunyai hutang yan hanya dike-

tahui oleh dirinya sendiri saja.92

Wasiat itu disunatkan jika diperuntukan bagi kebajikan, karib kerabat,

orang-orang fakir, dan orang-orang saleh. Wasiat itu diharamkan apabila

merugikan ahli waris, misalnya wasiat yang melebihi 1/3 harta waris ter-

89 Beni Ahmad Saebani, Syamsul falah, op.cit, hal : 251.90 Ibid,,

91 Ibid,.92 Ibid,.

44

lebih sampai menghabiskan harta waris. Wasiat itu makruh, bila orang yang

berwasiat itu memiliki sedikit hartanya, sedangkan ia mempunyai seseorang

atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Sedangka wasiat itu

diperbolehkan jika ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang di-

wasiati itu kerabat maupun orang yang jauh ( bukan kerabat ).93

2. Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam

Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian suatu benda

kepada orang lain atau lembaga, yang akan berlaku setelah pewaris

meninggal dunia.94 Dengan demikian wasiat adalah merupakan penyerahan

harta atau suatu hak secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang

berlaku setelah orang tersebut meninggal dunia. Disinilah perbedaan antara

perpindahan kepemilikan harta dengan jalan wasiat dan perpindahan

kepemilikan harta secara jual beli, hibah dan sebagainya.95

Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tata cara dan akad cara perpindahan

harta tersebut. Meskipun akad wasiat dibuat ketika pemberi wasiat masih

hidup, namun pelaksanaanya baru dapat dijalankan ketika pemberi wasiat

tersebut meninggal. Artinya selama pemberi wasiat masih hidup, wasiat

tidak dapat dilaksanakan dan akad wasiat tersebut tidak mempunyai efek

apapun bagi perpindahan hak milik kepada orang yang diberi wasiat,

sedangkan dalam jual beli, hibah maupun sewa menyewa akadnya serta

93 Ibid,.94 Zainal abiding abu bakar, kumpulan peraturan- perundang-undangan dalam Peradilan Agama, Jakarta : Al hikmah,1999,hal : 348.95 Ibid,.

45

merta tanpa harus menunggu pihak penjual, penghibah meninggal lebih

dulu.96

Seperti lembaga hukum Islam yang lain, ketentuan hukum tentang

lembaga hukum wasiat terdapat juga diatur dalam Al-Quran surat Al-

Baqarah ayat 180 :

“ Diwjibkan atas kamu, apabila salah seorang dari kamu akan mati, jika ia meninggalkan harta, (bahwa ia membuat) wasiat bagi kedua orang tua dan kerabatnya dengan cara yang baik (ini adalah kewajiban bagi orang yang bertakwa (kepada Tuhan).”

Ayat tersebut member penegasan bahwa seseorang yang hendak

meninggal dunia ia harus meninggalkan wasiat, menyangkut harta yang ia

miliki, ayat ini juga dijadikan sebagai sumber dasar hukum wasiat wajibah.

Terutama kepada ahli waris yang terputus dengan pewaris, karena terhalang

oleh ahli waris yang lain, seperi cucu yang terhalang mendapatkan warisan

dari kakeknya karena pamannya masih hidup.

Wasiat juga mempunyai syarat dan rukun. Pengaturan rukun dan syarat

terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang syarat dan

rukun dalam wasiat.

a. Syarat Pewasiatan dalam Kompilasi Hukum Islam.

Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Buku II

Bab V Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan

persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan

pewasiatan tersebut adalah sebagai berikut :

d) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,

96 Ibid,.

46

berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

e) Harta benda yang diwasiatkan pun harus hak milik pewasiat.

f) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat 1 pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.97

Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :

e) Wasiat dilakukan secara lisan, dihadapan 2 ( dua ) orang saksi atau dilakukan dihadapan notaris.

f) Wasiat hanya boleh sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali ada persetujuan semua ahli waris

g) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

h) Persyaratan persetujuan pada poin 2 dan 3 pasal ini dibuat secara lisan dihadapan dihadapan 2 (dua) orang saksi, atau dibuat dihadapan notaris.98

b. Rukun wasiat

Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wasiat hanya ada satu,

yaitu ijab ( pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan

wafat ), Menurut mereka , wasiat adalah akad yang hanya mengikat

pihak yan berwasiat, sedangkan bagi pihak penerima wasiat, akad itu

tidak bersifat mengikat.99 Ulama Mazhab Hanafi menyamakan antara

hak yang akan diterima melalui warisan dan wasiat, yang hanya berlaku

setelah pemilik harta meninggal dunia, oleh karena itu qabul tidak

diperlukan sebagaimana yang berlaku dalam hak waris.100 Berbeda

dengan apa yang dikatakan Ibnu Abidin ( W. 1252 H/ 1836M; tokoh

97 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 200.98 Ibid.

99 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, op.cit. hal : 132.100 Ibid.

47

fiqih Mazhab Hanafi ) qabul tetap menjadi menjadi salah satu syarat

dalam wasiat.101

Kadar harta yang boleh diwasiatkan dalam hadits Rasulullah S.A.W

yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibn Abbas, tidak melebihi

sepertiga dari harta peninggalannya dan wasiat diberikan kepada selain

pewaris. Jika wasiat melebihi sepertiga dan penerima wasiat salah satu

ahli waris, maka wasiat itu bisa dilaksanakan jika ada persetujuan dari

semua ahli waris dengan membuat pernyataan persetujuan secara lisan

dengan dua orang saksi.102 Ditegaskan pada pada Pasal 196 Kompilasi

Hukum Islam, bahwa baik wasiat berupa tulisan atau pun lisan harus

dengan tegas dan jelas orang atau lembaga yang akan menerima wasiat

tersebut.103

c. Pembatalan Wasiat.

Pembatalan wasiat dijelaskan dalam kompilasi hukum islam Pasal

197 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, yang tercantum dalam tiga ayat.

Alasan pembatalan wasiat tersebut adalah:

1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena :a. Dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh

atau menganiaya berat pewasiat.b. Dipersalahkan secara memfitnah pengaduan bahwa

pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman minimal lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat, mencabut, atau

101 Ibid.102 H. Zainudin Ali, op. cit. Hal :78.103 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. cit hal : 200.

48

merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.

d. Dipersalahkan telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.104

2. Wasiat batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:a. Tidak mengetahui adanya wasiat sampai ia meninggal

dunia sebelum pewasiat meninggal.b. Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi ia menolak untuk

menerimanya.c. Mengetahui adanya wasiat tetapi tidak pernah

menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.

3. Wasiat batal dikarenakan barang yang diwasiatkan musnah.

4. Masa waktunya habis jika wasiat yang berupa hasil dari benda ataupun pemanfaatan suatu benda (dikarenakan wasiat tersebut harus dibatasi dalam jangka waktu tertentu).105

Pasal 207 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa wasiat tidak

diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi

seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia

menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan

jelas untuk membalas jasa. Selain itu, pada Pasal 208 KHI disebutkan juga

bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta

wasiat. Pelarangan wasiat kepada orang yang dimaksud Pasal 207-208

Kompilasi Hukum Islam karena mereka terlibat langsung dalam

pelaksanaan wasiat tersebut sehingga dikhawatirkan terjadi penyimpangan

dalam pembuatannya.106

d. Pencabutan Wasiat

104 Ibid.105 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 201.106 Ibid.

49

Selain ada alasan pembatalan wasiat, Kompilasi Hukum Islam juga

mengatur bagaimana wasiat itu bisa dicabut, pencabutan wasiat ini terdapat

pada Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam, adapun persyaratan pencabutan

tersebut:

1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menariknya kembali.

2. Pencabutan wasiatnya dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi berdasarkan akta notaries bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.

3. Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris. Tetapi kalau wasiat dibuat dengan akta notaris, maka hanya bisa dicabut dengan akta notaris.

4. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaries, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte Notaris.107

e. Persengketaan Wasiat

Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-

undang No. 3 tahun 2006 pasal 49 tentang Peradilan Agama ditetapkan

bahwa perselisihan tentang wasiat menjadi kewenangan perdilan agama

untuk menyelesaikannya.108

Wasiat dalam kewarisan hukum Islam merupakan suatu wadah untuk

menampung hubungan antar generasi serta kedudukan masing-masing kaum

krabat. Rasulullah S.A.W dalam sunnahnya yang diriwayatkan oelh Al-

Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Umar ra, telah bersabda Rasulullah S.A.W, :

107 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 205.108 Ibid. Hal : 14.

50

Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang

hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam

tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikanya.109

C. Wasiat Wajibah

Konsepsi wasiat wajibah mulanya hanya diperuntukan hanya kepada

ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari

orang yang meninggal, karena sebuah alasan tertentu. Hal tersebut lahir

sebagai kebijaksanaan penguasa ( ulil amri ) terhadap orang-orang yang

tidak meninggalkan wasiat, sedangkan ia meninggalkan harta warisan yang

banyak. Artinya, kebijakan dalam wasiat wajibah lebih bersifat qadhariyah,

dalam pengertian kewajiban untuk mengeluarkan sebagian dari harta

peninggalan sebagai wasiat. Tidak lagi disandarkan kepada ada atau

tidaknya seseorang meninggalkan wasiat pada masa hidupnya, tetapi kepada

hukum atau undang-undang yang berlaku, Sehingga meskipun seseorang

tidak berwasiat semasa hidupnya, dengan sendirinya telah dianggap

berwasiat.110 Pada dasarnya memberikan wasiat itu adalah sebuah tindakan

yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri, yang didasarkan pada

sebuah rasa keiklasan dan kemanusiaan. Sehingga penguasa maupun hakim

dapat memaksakan kehendak seseorang untuk memberikan wasiat. Berawal

dari pendapat tersebut maka lahir istilah wasiat wajibah,

Wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung

kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap

109 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 46.110 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, op.cit. hal : 145.

51

dilaksanakan, baik diucapkan, atau dikehendaki maupun tidak oleh orang

yang meninggal dunia. Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan

bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan, dituliskan atau dikehendaki, tetapi

pelaksanaanya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan

bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.111

Teoretisi hukum Islam klasik ( klasik dan kontemporer ) berbeda

pendapat dalam menetapkan hukum wasiat wajibah. Wasiat wajibah

menurut pandangan Ibnu Hazm sifatnya hanya dianjurkan, bukan wajib,

dengan tujuan untuk membantu meringankan yang bersangkutann dalam

menghadapi kesulitan hidup. Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-

Tabari ( 225 H/839 M-310 H/923 M: mufassir ), dan Abu Bakar bin Abdul

Aziz ( tokoh fiqih hambali ) berpendapat bahwa wasiat seperti ini hukumnya

wajib, dengan alasan surat Al-Baqaroh ( 2 ) ayat 180, menurut mereka

perintah untuk berwasiat dalam ayat tersebut adalah untuk para ahli waris

yang terhalang mendapatkan warisan.112

Sebagian fuqaha seperti Ibnu Hazm, at-Thabari dan Muhammad Rasyid

Ridha yang memperbolehkan ahli waris non-muslim mendapat harta

warisan pewaris muslim dengan melalui wasiat wajibah.113 Ibnu Hazim

mengemukakan bahwa diwajibkan atas setiap muslim agar berwasiat bagi

kerabatnya yang tidak mewarisi yang disebabkan adanya perbudakan,

adanya kefukuran ( berlainan agama ), karena terhijab bukan ahli waris,

111 Ibid.112 Ibid., hal : 147.113 Abdul Manan, op.cit, hal : 320.

52

maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya.114 Kewajiban untuk

melaksanakan wasiat wajibah tersebut bersigat Qadhai, artinya tidak hanya

sebagai tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan perintah agama,

tetapi juga dapat dipaksakan apabila ia lalai melaksanakannya karena sudah

menyangkut kepentingan umum.115 Sementara itu, para ulama Mazhab

berselisih pendapat tentang sahnya wasiat seorang muslim untuk seorang

kafir harbi. Mazhab Maliki, Hambali, dan mayoritas Syafi’I mengatakan

bahwa wasiat seperti itu sah, ( kafir dzimmi adalah seorang kafir yang

membayar jizyah kepada kaum muslimin, sedangkan kafir harbi adalah

kafir yang harus diperangi ). Menurut Mazhab Imamiyah, kafir harbi adalah

orang kafir yang tidak mebiyayai kaum muslim, meskipun tidak memerangi

kaum muslimin. Asy-Syahid Ats –Tsani dalam kitab at-Masalik bab wasiat

mengatakan bahwa wasiat adalah sah bagi setiap orang yang tidak

memerangi kita dalam soal agama, baik dia kafir dzimmi ataupun kafir

harbi. 116 Orang-orang yang berhak mendapat wasiat wajibah sebagaimana

dimengerti, berdasarkan pendapat jumhurul ‘fuqaha’, salah satunya

Hazahirin bersama murid-muridnya, mewasiatkan sebagian harta benda

kepada seseorang keluarga, dekat maupun jauh, tidak diwajibkan oleh

syariat, kecuali bagi orang yang mempunyai tanggungan hak dengan orang

yang tidak dapat diketahui selain oleh dirinya sendiri atau menpunyai

amanat-amanat yang tidak diketahui orang lain ( saksi ).

114 Ibid,.115 Ibid116 Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal : 352

53

Istilah wasiat wajibah tidak diketemukan dalam kitab fikih klasik, hanya

diketemukan pada kitab-kitab fikih kontemporer, terutama setelah

diundangkan wasiat wajibah diKompilasi Hukum Islam pada tahun 1991

melalui Instruksi Presiden. Artinya, wasiat wajibah tidak boleh diartikan

secara harfiyah bahwa wasiat itu hukumnya wajib sebagiamana dipahami

dari petunjuk kata "kutiba" pada QS. al-Baqarah (2): 180, walaupun

akhirnya ayat ini djadikan dasar berlakunya hukum tentang wasiat

wajibah.117 Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah mencantumkan wasiat

wajibah pada akhir kitabnya setelah membahas warisan dan takharruj,

dengan mengambil pasal 71 Kitab Undang-undang Hukum Wasiat Mesir

Tahun 1365 H/1946 M. Sementara itu, Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-

Islamy, memasukkan wasiat wajibah setelah membahas wasiat secara

komperatif dan Kompilasi Hukum Islam pada pasal 209 dan hanya

diperuntukkan anak dan orang tua angkat.118

Wasiat wajibah adalah wasiat yang dibebankan oleh hakim agar

seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan wasiat secara

sukarela, harta peninggalannyadapat diambil untuk diberikan kepada orang

tertentu dalam keadaan tertentu pula.119 Penguasa atau hakim sebagai aparat

negara tertinggi mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi

putusan wajib wasiat yang terkenal dengan sebutan wasiat wajibah kepada

orang tertentu dalam keadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah tindakan yang

dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau

117 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol. 3, Beirut : Dar al-Fikr, 1977. hal : 416118 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia , Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, hal ; 462.119 Ibid,.

54

memberi putusan wajib wasiat bagi orang telah meninggal dunia, yang

diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Sedangkan, wasiat

disebut wasiat wajibah, dikarenakan beberapa hal:

a. Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalaui perundang-umdangan atau surat keputusan tanpa terkantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.

b. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.120

Sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat untuk kedua orang tua atau

kerabat yang tidak menerima waris adalah wajib, apabila si mayit tidak

berwasiat untuk mereka maka para ahli waris wajib mengeluarkan sejumlah

harta tertentu dari harta si mayit dan memberikan wasiat wajibah kepada

mereka, pendapat ini dikemukakan. 121

Sehubungan dengan perbedaan agama, apa yang disepakati para ulama

tersebut hanya sebatas ahli waris non muslim, baik sejak awal tidak

beragama Islam atau keluar dari agama Islam (murtad), tidak dapat mewarisi

pewaris muslim. Kesepakatan para ulama tersebut didasarkan pada Hadits

Nabi, Saw, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Usamah bin

Zaid, yang artinya :

“orang yang beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari

orang yang beragama lain (kafir), begitu juga sebaliknya”.122

120 Umar Said, Hukum Islam di Indonesia tentang Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf ,Surabaya : Cempaka. 1997. hal : 146. 121 Erik Sumarna, Wasiat Wajibah terhadap saudara kandung, Program Pasca Sarjana IAIN Sumatra Utara, Medan, 2004, hal :456.

122 Imam Malik Ibn Anas,op.cit, hal : 276

55

Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islm menjelaskan bahwa dasar

yang dijadikan rujukan penetapan wasiat wajibah adalah QS. Al-Baqarah

ayat 182 :

“diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ru”123

Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang taqwa. Ulama berbeda

pendapat tentang keberadaan QS. al-Baqarah (2): 180, apakah ia tergolong

ayat yang mansukhah (dihapus atau tidak berlaku) atau muhkamah (tetap

berlaku), sebagai berikut:

a. Ayat tersebut muhkamah, yang secara lahir menunjukkan umum, tetapi

maknanya khusus untuk kedua orang tua yang tidak menerima warisan

seperti orang kafir dan budak, dan kerabat yang tidak tergolong ahli waris.

Ini merupaan pendapat ibn 'Abbas, Hasan al-Basry, Dahhak, Tawus,

Masruq, Muslim ibn Yasar dan al-'Ala’ ibn Ziyad. Pendapat ini yang dipilih

Ibn Jarir al-Tabary.124 Dalam versi lain dijelaskan bahwa wasiat kepada

kedua orang tua dan kerabat ahli waris telah dinasakah (dihapus dan tidak

berlaku), sedangkan kerabat yang bukan ahli waris tetap wajib dilaksanakan.

Hal ini, karena wasiat diwajibkan berdasarkan ayat tersebut, baik yang

mendapatkan warisan maupun yang tidak . Akan tetapi, kemudian wasiat

kepada ahli waris dinasakh dan kepada bukan ahli waris tetap berlaku.

123 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, op. cit,.124 Al-Qurtuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an, Vol. 2 Mesir: Dar alKatib al 'Arabiyyah wa al-Nashr, 1967, hal : 262.

56

Namun demikian, al Tabari menyebutnya bukan dengan istilah nasakh,

tetapi takhsis, sebagaimana pendapat ulama mutaakhkhir.

b. Ibn 'Umar, Abu Musa al-Ash'ary, dan Sa'ad ibn Musayyab berpendapat

bahwa QS. al-Baqarah (2): 180 telah di-nasakh oleh ayat mawarits dalam

QS. al-Nisa' (4): 11, baik kepada orang yang menerima warisan atau tidak.

Hal ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan dari al-Shafi'iy dari ’Imran ibn

Husain bahwa Rasulullah saw telah menetapkan hukum terhadap anak

budak yang dimiliki seorang lelaki yang tidak mempunyai harta benda,

selain budak yang dia merdekakan dan telah meninggal dunia. Kemudian,

beliau membaginya mejadi tiga bagian, yang dua dimerdekakan dan yang

empat tetap menjadi budak. Dalam hal ini, jika wasiat itu kepada kerabat

dan batal untuk lainnya, maka beliau tidak akan membolehkan wasiat

tentang dua hamba, karena merdekanya kedua budak tersebut berdasarkan

wasiat, padahal keduanya tidak tergolong kerabat.

c. Al-Razy dalam kitab tafsirnya al-Tafsir al-Kabir- menceritakan dari

Abu Muslim al-Asfahany, bahwa ayat ini muhkamah dan tidak di-nasakh. Ia

ditafsirkan dengan ayat mawarith, sehingga maknanya bahwa Allah

mewajibkan apa yang diwasiatkan Allah (mendapatkan warisan bagi kedua

orang tua dan kerabat sebagaimana dalam QS. al-Nisa' (4): 11).

d. Al-Razy dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghaib-menukilkan pendapat

Abu Muslim al-Asfahany, bahwa QS. al-Baqarah (2): 180 adalah

muhkamah. Artinya tidak dihapus, dengan alasan sebagai berikut:

57

1) Ayat ini tidak berlawanan dengat ayat mawarits, namun ia

menetapkan,bahkan memperkuatnya .

2) Sesungguhnya tidak ada saling meniadakan antara berlakunya wasiat

kepada kerabat dan pewarisan. Dalam hal ini, wasiat merupakan

pemberian dari orang yang akan meninggal, sedangkan pewarisan

merupakan pemberian dari Allah. Dengan demikian, ahli waris dapat

memperoleh wasiat dan pewarisan melalui hukum yang terdapat

dalam kedua ayat tersebut.

3) Jika saja diperkirakan terjadi saling meniadakan antara ayat wasiat dan

warisan, maka sebenarnya dapat dipahami bahwa ayat mawarith

berfungsi sebagai takhsis terhadap ayat wasiat. Hal ini dapat dipahami

bahwa QS. al-Baqarah (2): ayat 180 secara umum menunjukkan bahwa

wasiat itu wajib untuk seiap kerabat. Sementara itu, ayat mawarits

mengeluarkan kerabat yang ahli waris. Oleh karena itu, ayat tentang

wasiat ini mengarah pada kerabat yang tidak sebagai ahli waris, karena

ada penghalang mendapatkan warisan seperti kafir (beda agama),

budak; terhalang ahli waris yang lebih dekat (mahjub), dan tergolong

dhawi al-arham (keturunan anak perempuan).125

Surat Al-Baqarah (2): 180 diarahkan petunjuknya pada kewajiban wasiat

kepada kedua orang tua dan kerabat yang tidak mendapatkan warisan karena

sesuatu hal (mani', mahjub, dan dhawi al arham). Sedangkan, petunjuk hadis

diarahkan pada larangan wasiat kepada ahli waris yang mendapatkan

125 Aly al Sais, Tafsir Ayat al Ahkam, vol. 1, Beirut: Dar al-Fikr, tt.,1999, hal : 56-57.

58

warisan. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami

bahwa ahli waris non muslim tidak dapat mewarisi dari orang tuanya atau

kerabatnya yang beragama Islam, tetapi dia mendapatkan bagian melalui

jalan wasiat wajibah dengan bagian tidak boleh lebih dari sepertiga harta

tinggalan mayyit. Penerapan wasiat wajibah melalui penafsiran al-Baqarah:

180 sebagaimana dalam kitab tafsir, secara umum lebih luas daripada

penerapan wasiat wajibah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang

mengkhususkan pada anak dan orang tua angkat.126

Yurisprudensi tetap di Lingkungan Peradilan Agama telah berulang kali

diterapkan oleh para praktisi hukum yang memberikan hak wasiat kepada

anak angkat melalui lembaga wasiat wajibah. Kasus yang terjadi di

Peradilan Agama, masalah wasiat wajibah termasuk sengketa waris.

Misalnya orang tua angkat yang memberikan bagian warisan kepada anak

angkat, dengan menyerahkan dan mengatasnamakan sebagian atau seluruh

harta kekayaanya kepada anak angkatnya.127

Penerapan lembaga hukum wasiat wajibah dalam kasus sengketa anak

angkat dan ahli waris beda agama di Indonesia merupakan perkembangan

hukum baru. Khusus mengenai ahli waris beda agama yang diberikan harta

warisan melalui lembaga wasiat wajibah harus melalui pertimbangan hukum

yang mendalam, sehingga antara kasus yang satu dengan yang lainya tidak

selalu memiliki hukum terapan yang sama.

126 Ibid,.127 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, op. cit, hal : 144.

59

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat

dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat. Dalam Pasal 209

ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.128

Menurut Pasal tersebut di atas, bahwa harta warisan seorang anak angkat

atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan aturannya yaitu dibagikan

kepada orang-orang yang mempunyai pertalian darah (kaum kerabat) yang

menjadi ahli warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak

angkat tidak akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris.

Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat secara serta marta

dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat

wajibah) maksimal sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk anak

angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya, dimana

harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan

pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus

ditunaikan terlebih dahulu.

BAB III

METODE PENELITIAN

128 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, op.cit.. hal : 205.

60

1. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis

normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam

kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah

dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga

memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis, deskriptif

maksudnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan

atau gejala dari objek penelitian tanpa bermaksud untuk mengambil

kesimpulan secara umum, untuk kemudian akan dilakukan analisa terhadap

berbagai aspek yang diteliti dengan teori-teori, kaedah hukum serta berbagai

pengertian yang terkait dengan penelitian ini.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jenderal

Soedirman, dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto.

4. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yang berupa bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang dibentuk

dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-

61

badan pemerintahan, yang berupa peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai wasiat wajibah, dan Putusan Mahkamah Agung No:

51.K/AG/1999.

b. Bahan hukum sekunder yaitu seluruh informasi tentang hukum yang

berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. Bahan hukum yang terdiri

atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh,

jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, yang berkaitan dengan wasiat

wajibah.

5. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan terhadap data

primer dan sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian, kemudian

dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh.

6. Metode Penyajian Data

Data dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara pemilihan data yang

sesuai dengan obyek penelitian, kemudian merangkum dan

memfokuskannya pada hal-hal yang pokok, untuk kemudian dikaji sebagai

satu kesatuan yang utuh. Dan selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian

yang disusun secara sistematis.

7. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis normatif

kualitatif, yaitu suatu cara menginterpretasikan hasil penelitian dengan

mendasarkan pada norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin-doktrin

62

yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan

sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang

relevan (legal facts) yang ada dalam Putusan Mahkamah Agung No:

51.K/AG/1999 ditempatkan sebagai premis minor dan melalui proses

silogisme akan diperoleh kesimpulan terhadap permasalahan yang menjadi

obyek penelitian..

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

63

Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

51.K/AG/1999 yang merupakan kelanjutan dari putusan perkara di

Prngadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Penulis akan

menguraikan isi dari putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51.K/AG/1999

sebagai berikut :

1. Putusan Mahkamah Agung nomor 51.K/AG/1999 tanggal 29

September 1999.

1.1. Para Pihak yang Berpekara

Pihak-pihak yang Berperkara dalam Putusan Mahkamah Agung

Nomor 51.K/AG/1999, antara lain sebagai berikut :

1. Ny. Subandiyah Ammar Asof, SH binti Setyono Hindro ,umur 55 tahun,

Agama Islam. Pekerjaan Notaris, bertempat tinggal di Komplek BNI

1946/PLN nomor : 5, pesing, Jakarta Barat.

2. Ny. Cicilia sri draswasir binti setjono hendro, umur 45 tahun, agama

Katolik, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Selomas

I/344, Semarang.

3. Ny. Sri Haryanti binti Setjono Hindro, Umur 48 tahun, Agama Islam,

pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Perum Poleko Blok c/13

Trembun, Bekasi, .

64

4. Bambang Hendriatmo bin Setjono Hindro, Umur 43 tahun, Agama Islam,

pekerjaan Pegawai PLN, bertempat tinggal di Perum Cipondah Makmur,

Blok D.X/ nomor 3, Tanggerang.

5. Putut Bayendra bin Setjono Hindro, Umur 37 tahun, agama Islam,

pekerjaan swasta, bertempat tinggal di jalan weru II.D.793,Perumahan

Margahayu Jaya Bekasi.

6. Sri Hendrayati binti Setjono Hindro, umur 35 tahun, Agama Islam,

pekerjaan Karyawati, bertempat tinggal di bumi Lestari H.45/31.

7. Indar Astuti Pranowo binti Hindro Merdoyo, umur 50 tahun, Agama

Katolik, bertempat tinggal di Jalan Prawirotaman nomor 4, Kecamatan

Nergangsan, Kotamadya Yogyakarta.

8. Ny. HJ. Danusubroto binti Mas Ngavehi Dodjosoewirjo. Umur 71 tahun,

Agama Islam, pekerjaaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di jalan

Langenarjan Nomor 24, Kecamatan Kraton, Kotamadya Yogyakarta.

9. Ny. Hendrowinoto binti Mas Ngabehi DjojoSoewirjo, umur 68tahun,

agama Islam, Pekerjaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di

Prawirotaman Ng.III/595, Kecamatan Mergangsan, Kotamadya

Yogyakarta.

10.Ny. Dewi Lakssmi Sugiarto binti Hindrotriwirjo, umur 42 tahun, Agama

Katolik, pekerjaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Mantrijeron

Nj,III/804, Kecamatan Mantrijeron, Kotamadya Yogyakarta.

65

11. Bambang Wahyu Hurti.s. bin Hindrotriwirjo, umur 39 tahun, agama

islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Internal Audit F.T Itchi

Fc Bok 132 jalan Jenderal Sudirman nomor 24 Balikpapan.

12. Bernadeta Hartini Tri Prasasti binti Hindrotriwirjo, umur 37 tahun,

agama Katolik, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di jalan Cimandiri

50 Rt.$ Rw. V, Cipayang, ciputat Tanggerang.

13. Herlina Widyasari binti Pantoro, umur 35 tahun, agama Islam,

pekerjaan Ibu rumah tangga, bertempat tinggal di jalan Parangtritis

67K/83.

14. Yulia Yudantari binti Pantoro, umur 22 tahun, agama Islam, pekerjaan

mahasiswa, bertempat tinggal di jalan parangtritis 67 K/83.

15. Lucas Indriya bin Mas ngabehi Djojosowiryo, umur 57 tahun, agama

Katolik, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di jalan parangtritis nomor

95, Para pemohon kasasi dahulu para tergugat/pembanding

Melawan

Ny. Jazilah martadi hendrolesono binti cokrolesono, umur 64 tahun, agama

Islam,pekerjaan swasta,bertempat tinggal di Jalan Tirtodipuren nomor : 73,

Rt.64 Rw.XVII, Kelurahan Mentrijeron, Kecamatan Mentrijeron,

Kotamadya Yogyakarta Para termohon kasasi dahulu para

tergugat/pembanding

1.2. Duduk Perkara

66

1.2.1 Perkara warisan itu bermula dari tanah pusaka seluas 1319 m2 terletak

di Jalan Prawirotaman Mg III / 593, Yogyakarta. Sejak awal, pusaka

itu dimiliki Alm. Ng. Djojo Soewirjo. Tapi, setelah Soewirjo

meninggal, tanah pusaka dengan sertifikat Hak Milik Nomor. 924 /

tahun 1990 diwariskan kepada Martadi Hendrolesono, anak kandung

Soewirjo.

1.2.2 Bahwa Martadi meninggal setelah menunaikan Ibadah Haji pada

tanggal 17 November 1995 tanpa meninggalkan seorang anakpun,

namun meninggalkan seorang isteri yang kemudian dikenal dengan

nama Ny. Jazilah Martadi Hendrolesono.

1.2.3 Bahwa Martadi bukan merupakan anak kandung satu - satunya dari

Alm. Soewirjo. Martadi masih mempunyai 7 saudara kandung yang

sedarah. Ketujuh saudara kandung Martadi tersebut, adalah sebagai

berikut :

1. Setjono Hindiro bin Mas Ngabehi Djojo Soewirjo (almarhum)

meninggalkan 6 orang anak, yaitu:

Ny. Subandiyah Ammar Asof ,SH - agama Islam

Ny. Sri haryanti - agama Islam

Ny, Cicilia Sri Draswasih - agama Katolik

Bambang Hendriyanto - agama Islam

Putut Bayendra - agama Islam

67

Sri Hendriyati - agama Islam

2. Hindrowerdoyo bin Mas Ngabehi Djojo Soewirjo ( almarhum )

meninggalkan seorang anak yaitu :

Indar Astuti Pranowo - agama Katolik

3. Ny. Danu Subroto binti Mas Ngabehi Djojo Soewirjo - Agama Islam

4. Ny.Hindro winoto binti Mas Ngabehi Djojo Soewirjo - Agama Islam

5. Ny. Hindro Triwirjo Binti Mas Ngabehi Djojo Soewirjo (almarhum)

meninggalkan 3 orang anak yaitu :

Fidewi Laksmi Sugiyanto - Agama Katolik

Bambang Wahyu Murti S - Agama Islam

Bernadeta Harini Tri Prasasti - Agama Katolik

6. Drg. Pantoro (almarhum) meninggalkan 2 orang anak yaitu :

Ferlina Widyasari - Agama Islam

Yulia Yudantari - Agama Islam

7. Lucas Indriya - Agama Katolik

1.2.4. Bahwa semasa hidupnya Alm. Martadi Hendrolesono adalah seorang

muslim yang taat kepada agama yang dianutnya, sehingga

ketaqwaannya terhadap Allah S.W.T sempat diwujudkan dengan

68

menunaikan Ibdaha Haji yang merupakan kewajiban bagi pemeluk

agama Islam yang mampu.

1.2.5 Bahwa dalam hal kewarisan, maka terluangnya harta warisan adalah

dengan meninggalnya pewaris, sehingga karena harta peninggalan

tersebut ditinggalkan oleh seseorang yang beragama Islam, maka

sudah semestinya jika terhadap harta tersebut tunduk kepada hukum

yang dianut pewaris.

1.2.6. Bahwa karena itu pembagian harta warisan Alm. Martadi

Hendrolesono sudah semestinya menggunakan hukum yang dianut

oleh pewaris yaitu hukum kewarisan Islam bukan mengikuti

kemauan ahli waris.Dengan demikian karena pewaris adalah

seseorang yang beragama Islam maka harta warisan tersebut tidak

dapat dibagi selain dengan menggunakan hukum Islam.

1.2.7. Bahwa Penggugat beritikad baik untuk membagikan harta warisan

dilakukan sesuai dengan hukum waris Islam yang diatur dalam Al -

Qur’an Surat Al - Baqoroh / 2 : 195 tidak pernah ditanggapi oleh

para tergugat.

1.2.8. Bahwa menurut pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, penggugat adalah

ahli waris yang berhak atas harta peninggalan Alm. Martadi

Hendrolesono, karena masuk dalam kelompok ahli waris menurut

hubungan perkawinan, sedangkan menurut Q.IV:12 penggugat

69

termasuk dalam ahli waris golongan dzawul faraaid dan termasuk

dalam golongan keutamaan.

1.2.9 Bahwa berdasarkan pasal 180 Kompilasi Hukum Islam disebutkan

bahwa janda akan memperoleh ¼ bagian bila pewaris tidak

mempunyai anak.

1.2.1.0 Bahwa selanjutnya dalam pasal 181 Kompilasi Hukum Islam secara

tegas dan jelas kedudukan tergugat telah diatur oleh pasal tersebut

yang isinya antara lain : …….bila mereka itu dua orang atau lebih

maka bersama-sama mendapatkan 1/3 bagian.

1.2.1.1. Bahwa dengan demikian sesuai dengan hukum yang dianut oleh

pewaris, maka hak dari penggugat adalah 1/4 bagian harta

peninggalan Alm. Martadi dan para tergugat seluruhnya adalah 1/3

bagian.

1.2.1.2. Bahwa tehadap tergugat II, VII, X, XII, dan XV menurut aturan

hukum Islam adalah bukan merupakan ahli waris dan tidak berhak

untuk mewarisi atas warisan dari pewaris yang telah meninggal, hal

ini disebabkan bahwa para tergugat II, VII, X, XII, dan XV adalah

orang yang berlainan agama dengan pewaris sebagaimana

disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad S.A.W yang

diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim yang ditafsirkan dari Q.S II:

221 yang berbunyi sebagai berikut :

70

“Bahwa orang-orang Islam tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang

non muslim dan orang non muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan

orang Islam”

1.2.1.3. Bahwa Penggugat beritikad untuk membagikan harta warisan

sebidang tanah SHM Nomor 924 atas nama Martadi - Jazilah

berkeinginan agar pembagian harta warisan itu dilakukan sesuai

dengan hukum waris Islam yang diatur dalam Al - Qur’an Surat Al

- Baqoroh / 2 : 195. Itikad baik Jazilah ditentang oleh saudara

kandung Martadi, hingga terjadi silang pendapat tentang

pembagian ahli warisnya. Ada yang berpendapat, agar saudara

kandung yang beragama Islam saja yang berhak atas harta warisan

tersebut. Ada pula yang berpendapat, agar harta warisan itu

dibagikan secara adil. Hingga terjadi tarik menarik dari dua

pendapat itu. Karena tidak ada titik temu, akhirnya sengketa

warisan tersebut bergulir ke Pengadilan.

1.3. Tuntutan

Primair :

71

1.31. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;

1.3.2 Menyatakan secara hukum, bahwa Alm Martadi Hendrolesono

meninggal

dunia dalam keadaan Islam;

1.3.3. Menyatakan secara hukum bahwa penggugat adalah ahli waris Janda

yang berhak atas harta peninggalan Alm. Martadi Hendrolesono;

1.3.4. Menyatakan secara hukum bahwa tanah dengan bangunannya

Sertifikat Hak Milik Nomor 924 atas nama Martadi Hendrolesono

gambar situasi No.3572 tanggal 5 September 1990 luas 1.319 M2 adalah

merupakan harta peninggalan alm.Martadi Hendrolesono dengan batas-

batas sebagai berikut :

Utara : Tanah No.125 SU.2544/1986 ;

Selatan : Jalan Kampung ;

Timur ; Tanah Pers . 170 SU.1287/1938 ;

Barat ; Tanah Pers . 1256 H.M 922/923 GS. 3571/1990 ;

1.3.5. Menyatakan secara hukum penggugat berhak ¼ (seper empat) bagian

dari seluruh harta peninggalan dari alm.Martadi Hendrolesono ;.

1.3.6. Menyatakan secara hukum bahwa para tergugat berhak 1/3 (seper

tiga) bagian dari harta peninggalan ;

72

1.3.7. Memerintahkan kepada para tegugat dan penggugat untuk tunduk

pada Kompilasi Hukum Islam guna melakukan pembagian harta

peninggalan dari alm. Martadi hendrolesono.

1.3.8. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul secara

tanggung renteng ;

Subsidair :

Mohon putusan lain yang seadil - adilnya.

1.4 Tentang Keberatan Pokok

Meninmbang, bahwa keberatan pokok yang diajukan oleh pemohon

Kasasi dalam memori Kasasinya tersebut pada pokoknya adalah :

1.4.1. Bahwa termohon kasasi/tergugat asal sebelum mengajukan

gugatan di Pengadilan Agama Yogyakarta , pemohon

kasasi/tergugat asal telah mengajukan gugatan di Pengadilan

Negeri Yogyakarta No: 35/Pdt.G/1997. Dengan demikian yang

pertama merasa terusik kepentingan hukumnya adalah pemohon

kasasi/tergugat asal dan telah melakukan pemilihan hukum

dalam menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan staatblad 1917

No.12 pasal 29 tentang penundukan diri secara diam-diam,

sehingga pengajuan gugatan di pengadilan hanyalah gugatan

tandingan sehingga tidak boleh ditolerir dan harus batal demi

73

hukum atau nebis in idem atau gugatan dinyatakan tidak dapat

diterima ;

1.4.2. Bahwa Judex facti telah salah menerapkan hukum, karena

mendasarkan Sema No. 2/1990 dan juga Kompilasi Hukum

Islam, dimana sebenarnya surat edaran tersebut bersifat tidak

mengikat dan hanya sebagai salah satu acuan saja, Demikian

juga Kompilasi Hukum Islam hanya merupakan pedoman tetapi

secara hirarkhis yang menjadi pedoman utama adalah UU No.

7/1989 yang dalam penjelasannya jelas dimungkinkan memilih

hukum, adapun tentang penjabarannya yang terlebih penting

hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami hukum yang

mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat ( pasal 27 ayat 1

UU No.14/1970 ).Sedangkan putusan Judex facti dalam

penerapannya sangat kasuistis, tidak boleh gebyak uyah karena

dalam perkara ini yang sangat mempunyai kepentingan hukum

adalah para pihak dan bukan para pewaris, lebih-lebih UU No.

7/1989 adalah belum lama dan ternyata diantara pemohon

kasasi/tergugat asal yang Non Islam sudah sejak sebelum UU

No. 7/1989 berlaku, sehingga semestinya hukum yang ditetapkan

adalah yang dapat mencerminkan keadilan para pihak mengingat

kehidupan beragama di Indonesia sangat pluralistis, sehingga

untuk perkara yang sangat melibatkan person yang berlainan

agama harus dapat diambil jalan tengah, sehingga akan menjadi

74

suatu hukum yang satu dapat diterima oleh semua pihak yaitu

pengadilan umum ;

1.4.3. Bahwa Judex facti telah keliru dalam menafsirkan sedapat

mungkin ( vide putusan No. 007/Pdt.G/1998.PTA.YK. hal.12 )

dengan mendasarkan Surat Keputusan Menteri Agama no.

154/1991. Karena sebenarnya hakim bersifat mandiri dan tidak

boleh terpengaruh Instansi manapun dalam memutus perkara,

sehingga putusan tersebut batal demi hukum ( Yurisprudensi

Mahkamah Agung RI tanggal 17-9-1975 No:149 K/Sip/1973 ) ;

1.4.4. Bahwa Judex facti tidak member pertimbangan hukum yang

cukup karena member pertimbangan hukumnya secara utuh atau

hanya sepotong-sepotong serta tidak mempertimbangkan dalil-

dalil pemohon kasasi/tergugat asal yaitu tentang pembagian

harta, bahwa termohon kasasi/penggugat asal mendapatkan ¼

dan ahli waris lainnya ¾ bahwa diantara pemohon kasasi ada

yang beragama katholik sehingga tidak tunduk pada putusan

pengadilan agama, karena pengadilan ini hanya untuk orang

Islam, maka jelas gugatan termohon kasasi/penggugat asal

kelebihan subjek yang semestinya untuk pihak Non

Islam/Muslim harus gugatan tersendiri di pengadilan negeri ;

1.4.5. Bahwa Judex facti telah salah menerapkan hukum. Karena hanya

mengambil alih dari pertimbangan hakim pertama, kemudian

75

juga member putusan yang berlebihan yaitu dengan memberika

bagian Ny.Jazilah ( termohon kasasi/penggugat asal ) mendapat

¼ bagian dan ahli waris lain mendapat ¾ bagian tanpa didukung

dengan alasan hukum yang jelas, bukti-bukti yang kongkret

sehingga putusan tersebut harus dibatalkan demi hukum ;

1.4.6. Bahwa Judex facti telah salah menerapkan hukum, karena telah

lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan peraturan-

peraturan yang berlaku dan bertentangan dengan Yurisprudensi

Mahkamah Agung RI pada tanggal 22-7-1972 No. 638

K/SIP/1969 dan tanggal 19-10-1972 No:87672 K/SIP/1972.

Dengan demikian putusan Judex facti harus dibatalkan dengan

mengadili sendiri ;

1.5. Tentang Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut mahkamah

Agung berpendapat :

1.5.1. Mengenai alasan keberatan ad.1.4.1 :

Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena keberatan ini

tidak mengenai yang menjadi pokok persoalan dalam sengketa ini

( irrelevant )

1.5.2. Mengenai alasan keberatan ad.1.4.2, 1.4.3, 1.4.4, 1.4.6 :

76

bahwa keberatan-keberatan inipun tidak dapat dibenarkan karena

hal ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat

penghargaan tentang suatu keyakinan, hal mana tidak dapat

dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena

pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak

dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan yang dimaksud

dalam pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia

( Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 )

1.5.3. Mengenai keberatan ad. 1.4.5

bahwa keberatan ini juga tidak dapat dibenarkan karena Judex

facti tidak salah dalam menereapkan hukum ;

1.6 Diktum Amar Putusan Hakim Mahkamah Agung

1.6.1. Atas pertimbangan di atas maka Mahkamah Agung memberi

putusan yang amarnya sebagai berikut :

Menolak permohonan kasasi dan Pemohon kasasi dengan

perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Agama

Yogyakarta Nomor 007 / Pdt.G / 1998 / PTA.Yk. sehingga

berbunyi sebagai berikut :

Menyatakan bahwa permohonan banding Pembagian dapat

diterima ;

Dalam Eksepsi :

77

1.6.2 Menolak Eksepsi Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III,

Tergugat IV, Tergugat V, Tergugat VI, Tergugat VII,

Tergugat VIII, Tergugat IX, Tergugat X, Tergugat XI,

Tergugat XII, Tergugat XIII, Tergugat XIV, Tergugat XV,

seluruhnya ;

Dalam pokok perkara :

1.6.3. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;

1.6.4. Menyatakan secara hukum bahwa H. Martadi Hendrolesono bin

Mas Ngabehi Djojosoewirjo telah meninggal dunia tanggal 17

Nopember 1995 dalam keadaan tetap sebagai pemeluk agama

Islam ;

1.6.5. Menetapkan secara hukum bahwa penggugat ( Ny .Jazilah Martadi

Hendrolesono binti Cokrolesono) adalah ahli warus ( janda) dari

H.Martadi Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo ;

1.6.6. Menyatakan secara hukum bahwa sebidang tanah dengan bangunan

sertifikat Hak Milik Nomor M.924 / Btk dengan gambar situasi

Nomor 3572 tanggal 3 september 1990 yang dikeluarkan oleh

kantor pertanahan Kotamadya Yogyakarta seluas 1.319 M2 atas

nama Martadi Hendrolesono yang terletak dijalan Prawirotaman Mg

III / 593, Kel. Brotokusuman, Kec. Mergangsan Kotamadya

Yogyakarta, dengan batas - batas sebagai berikut :

78

Sebelah Utara : Tanah Nomor: 125.SU 2544 / 1986 Sebelah

Selatan: Jalan Kampung. Sebelah Timur : Tanah Pers 170 SU.1387

/ 1938; Sebelah Barat : Tanah Pers 1256HM92/ 923 GS3571 /

19190; adalah merupakan harta warisan dari H. Martadi

Hendrolesono bin Mas Nabehi Djojosoewirjo ;

1.6.7. Menyatakan bahwa penggugat berhak memperoleh ¼ (seperempat )

bagian dari harta warisan H. Martadi Hendrolesono bin Mas

Ngabehi Djojosoewirjo ;

1.6.8. Menyatakan secara hukum bahwa disamping penggugat ada ahli

waris Martadi Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo

adalah :

1. Subandiyah Amar Asof, SH binti Setjono Hindro (Tergugat I) sebagai

ahli waris pengganti dari saudara kandung laki - laki.

2. Sri haryanti binti Setjono Hindro (Tergugat II) sebagai ahli waris

pengganti dari saudara kandung laki - laki.

3. Bambang Hendriyanto bin Setjono Hindro (Tergugat IV) sebagai ahli

waris pengganti dari saudara kandung laki - laki.

4. Putut Bayendra bin Setjono Hindro (Tergugat V) ahli waris pengganti

saudara kandung laki - laki.

5. Sri Hendriyanti binti Setjono Hindro (Tergugat VI) sebagai ahli waris

pengganti dari saudara kandung laki - laki.

79

6. Ny. Dusubroto binti M. Ng. Djojosoewirjo (Tergugat VIII) sebagai ahli

waris saudara kandung perempuan.

7. Ny. Hendrowinoto binti M. Ng. Djojosoewirjo (Tergugat IX) ahli waris

saudara kandung perempuan.

8. Bambang Wahyu Murti bin Hindrotriwirjo (Tergugat XI) ahli waris

pengganti dari saudara kandung perempuan.

9. Ferlina Widyasari binti Pantoro (Tergugat XIII) ahli waris pengganti dari

saudara kandung laki - laki.

10. Yulia Yudantari binti Pantoro (Tergugat XIV) ahli waris pengganti dari

saudara kandung laki - laki.

11. Ny. Cicilia Sri Draswasih binti Setjono Hindro (Tergugat III).

12. Indar Astuti Pranowo binti Hindro Werdoyo (Tergugat IV);

13. Fi Dewi Laksmi Sugianto bin Ny. Hendro Triwirjo (Tergugat X);

14. Bernadeta Harini Tri Prasasti bin Ny. Hendro Triwirjo (Tergugat XII);

15. Lucas Indriya bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo (Tergugat XV);

Kesemua berhak memperoleh 3/4 (tiga perempat) bagian dari harta waris H.

Martadi Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo ;

1.6.9. Memerintahkan kepada penggugat dan para Tergugat tersebut

sebagai ahli waris untuk mentaati dan melaksanakan pembagian

80

atas harta warisan H. Martadi Hindrolesono bin Mas Ngabehi

Djojosoewirjo sebagaimana tersebut;

1.6.1.0. Menolak gugatan Penggugat selebihnya;

1.6.1.1. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp.473.600,- (Empat ratus tujuh puluh tiga ribu enam

ratus rupiah);

1.6.1.2. Menghukum para Pembanding untuk membayar biaya perkara di

tingkat banding sebesar Rp. 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah);

1.6.1.3. Menghukum Pemohon Kasasi akan membayar biaya perkara

dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 100.000,-

(Seratus ribu rupiah)

B. Pembahasan

81

Di Indonesia hingga saat ini belum terdapat suatu kesatuan hukum

tentang hukum kewarisan yang dapat di terapkan untuk seluruh warga

negara Indonesia. Hukum waris yang di terapkan kepada seluruh warga

negara Indonesia masih berbeda-beda ada yang memakai KUH perdata,

hukum adat dan khususnya untuk umat Islam memakai hukum Islam yang

telah di tetapkan oleh Al-Quran dan Al-Hadist dan yang di rumuskan dalam

Kompilasi Hukum Islam.

Hukum Islam telah menetapkan aturan waris dengan bentuk yang

sangat teratur dan adil, yang di dalamnya di tetapkan hak kepemilikan harta

bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang

sah. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilkan seseorang

sesudah, meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan

nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan besar atau

kecil. Di dalam Kompilasi Hukum Islam di rumuskan pengertian hukum

kewarisan pada Pasal 171 huruf (a) sebagai berikut:

"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing"129

Salah satu syarat dari pewarisan adalah adanya ahli waris. Dilihat dari

bagian yang di terima, atau berhak atau tidaknya mereka menerima warisan,

ahli waris di bedakan menjadi tiga :

1. Ahli waris Dzawul Furudz adalah golongan keluarga tertentu yang ditetapkan menerima bagian tertentu dalam keadaan

129 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. Cit, . hal : 194.

82

tertentu. Para Fuqaha sependapat bahwa dzawil furudh secara mutlak telah jelas bagian-bagiannya.

2. Ahli waris Ashabah yaitu mereka merupakan satu golongan yang saling membantu dan saling melindungi di antara mereka. Adapun pengertian ashabah menurut istilah para fuqaha adalah ahli waris yang tidak disebutkan jumlah ketetapan bagiannya di dalam Al-quran dan As sunnah dengan tegas. Pengertian ashabah dikalangan ulama adalah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal, selain itu ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhab al-furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.

3. Ahli waris Dzawul Arham adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-quran dan As sunnah, dan bukan pula termasuk dari para ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabulfurudh dan bukan pula ashabah. Dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisi secara ashhabulfurudh, dan tidak pula secara ashabah130.

Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu

harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan si

mayit yang terdiri dari:

1. Zakat atas harta peninggalan.

Adapun yang dimaksud dengan zakat atas harta peninggalan, yaitu zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh si mayit, akan tetapi zakat tersebut belum dapat terlaksana dan lantas ia meninggal, Maka untuk zakat ini harus dibayarkan dari harta peninggalan tersebut.

2. Biaya pemeliharaan jenazah

Adapun yang dimaksud dengan pemeliharaan si mayit adalah biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan jenazah, seperti kain kafan, pemandian dan penguburan jenazah.

3. Biaya hutang-hutang yang masih ditagih oleh kreditor ( pemberi pinjaman )

130 Beni Ahmad Saebani, op.cit, hal : 135.

83

Hal ini sejalan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad yang artinya berbunyi sebagai berikut : Jiwa orang mukmin disangkutkan dengan hutangnya, sehingga hutangnya itu dilunasi.

4. Melaksanakan wasiat

Adapun yang dimaksud wasiat di sini adalah wasiat yang bukan untuk kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak boleh lebih dari 1/3 dari jumlah keseluruhan harta peninggalan.131Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. 132

Adapun yang di maksud dengan pewaris seperti yang di sebutkan dalam

pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam adalah :

"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang di nyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan".133

Hukum waris Islam waris mensyaratkan bahwa dari meninggalnya si

pewaris, ada harta peninggalan, ahli waris yang sah dan tidak adanya

penghalang untuk mewarisi. Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf c

menyebutkan bahwa :

“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris".134

Berdasarkan pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam tersebut, yang di

maksud ahli waris adalah, mereka yang jelas-jelas mempunyai hak waris

ketika pewarisnya meninggal dunia dan tidak ada penghalangan untuk

mewarisi, yang di maksud dengan penghalangan mewaris adalah sebab-

131 Ibid,.132 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. Cit, . hal : 51.

133 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. Cit . hal : 194.134 Ibid,.

84

sebab atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk

memperoleh hak mewaris. Macam-macam penghalang untuk mendapatkan

warisan ada 3 yaitu :

1. Karena seorang hamba sahaya atau budak.

2. Karena membunuh.

3. Perbedaan Agama.135

Salah satu penghalang untuk mendapatkan hak mewaris adalah

perbedaan agama, sebab seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun di

warisi oleh orang non muslim dalam hal ini termasuk di dalamnya orang

yang murtad atau orang yang menganut agama lain selain Islam. Orang

muslim hanya memberikan waris kepada sesama muslim, jika yang

meninggal dunia adalah seorang muslim sedangkan ahli warisnya bukan

muslim, maka ia tidak berhak mendapatkan harta waris, berdasarkan hadist

yang diriwayatkan oleh Mu’az bin Jabal r.a yang artinya :

“ Orang Islam tidak mendapat warisan dari orang kafir, dan orang kafir

tidak mendapat warisan dari orang Islam “.136

Begitu juga dalam surat An Nissa ayat 141 yaitu :

“dan Allah sekali-sekali tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir untuk

menguasi orang muslim”137

135 Beni Ahmad Saebani, Syamsul Falah, op.cit, hal : 206136 Ibid, hal : 210.137 Ibid,

85

Berdasarkan hasil penelitian data di atas ada beberapa ahli waris pengganti

adalah beragama non muslim yaitu beragama Katolik sehingga menjadi

penghalang bagi mereks untuk mendapat warisan karena berbeda agama

atau murtad dari agama Islam.

Berdasarkan data di atas, apabila di hubungkan dengan pertimbangan

hukum hakim Pengadilan Agama Menurut pasal 171 "Kompilasi Hukum

Islam", majelis Pengadilan Agama berpendapat bahwa : Cicilia Sri

Draswasih, Ny. Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi Sugianto, Bemadeta

Tri Prasasti, Lucas Indriya yang beragama katolik, menurut hukum Islam

bukanlah ahli waris H. Martadi Hendrolesono bin Mas Nabehi

Djojosoewirjo .

Menurut pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa

ahli waris haruslah yang beragama Islam pada saat meninggalnya si pewaris.

Oleh karena itu ahli waris yang berhak mendapatkan warisan adalah :

1. Yulia Yudantai binti Pantoro (Tergugat XIV)

2. Ferlina Widyasari binti Pantoro (Tergugat XIII)

3. Bambang Wahyu Murti bin Hindrotriwirjo ( Tergugat XI )

4. Ny. Hendrowinoto binti Mas Ngabehi Djojosoewirjo (Tergugat IX)

5. Ny Danusubroto binti Mas Ngabehi Djojosoewirjo (Tergugat VIII)

86

6. Sri Hendriyati bin Setjono Hindro ( Tergugat VI)

7. Putut Bayendra bin Setjono Hindro ( Tergugat V)

8. Bambang Hendriyanto bin Setjono Hindro ( Tergugat IV)

9. Subandiyah Ammar Asof, SH binti Setyono Hindro ( Tergugat 1)

10.Sri Haryanti binti Setjono Hindro ( Tergugat II )

Kata wasiat artinya pesan yang disampaikan oleh seseorang, dalam

istilah hukum Islam wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain,

baik berupa barang, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang lain

yang diberi wasiat setelah pemberi wasiat meninggal dunia.138

Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam di atur mengenai ketentuan wasiat, yaitu:

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain.

(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

(3) Pemilikan terhadap harta seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.139

Wasiat, adalah salah satu kewajiban dari ahli waris terhadap harta

peninggalan orang tuanya yang telah meninggal sebelum dibagikan kepada

ahli waris. Di katakan wasiat wajibah karena dua hal yaitu :

1.Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan

138 Ibid, hak : 249.139 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc. cit. hal : 200.

87

atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.

2.Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.140

Pelaksanaan dalam wasiat, ulama fiqih mensyaratkan bahwa orang yang

menerima wasiat bukan salah seorang yang berhak mendapatkan warisan

dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya

membolehkan.141 Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai wasiat wajibah

di atur di dalam Pasal 209 yang berbunyi:

1. Harta peninggalan anak angkat di bagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orangtua angkat yang tidak menerima wasiat di beri wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.

2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat di beri wasiat wajibah ssbanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya.142

Berdasarkan hasil penelitian data di atas, Hakim Mahkamah Agung dalam

perkara Reg. No. 51/K/AG/1999 memberi putusan dengan pertimbangan

berdasarkan "Wasiat Wajibah" dan memberikan hak waris Cicilia Sri

Draswasih, Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi Sugianto, Bemadeta Tri

Prasasti, Lucas Indriya yang beragama Katolik.

Menurut penulis pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Agung

berdasarkan wasiat wajibah adalah tidak tepat karena tidak sesuai dengan

apa yang di atur oleh Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam mengenai wasiat

140 Umar Said, loc.cit , hal : 146. 141 Ahmad Kamil, Fauzan, op.cit. hal : 139.

142 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, loc.cit. hal :204.

88

wajibah sebab Cicilia Sri Draswasih, Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi

Sugianto, Bemadeta Tri Prasasti, Lucas Indriya, tidak beragama Islam,

sehingga menjadi penghalang untuk mendapatkan warisan.

Berdasarkan kasus di atas, memang pada prinsipnya warisan harus jatuh

kepada ahli warisnya yang utama dalam hal ini adalah anak, namun dalam

kasus ini pewaris tidak memiliki seorang anak, maka ahli waris dari harta

peninggalan adalah janda, dan saudara kandung pewaris. Beberapa saudara

kandung pewaris tidak memeluk agama Islam, atau murtad atau sudah

pindah agama lain artinya hilanglah hak mewarisnya karena sudah menjadi

penghalang untuk mendapatkan warisan. Dan apabila hakim dalam melihat

kasus ini memberi putusan berdasarkan wasiat wajibah apakah hakim

melihat bahwa Sri, Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi Sugianto,

Bemadeta Tri Prasasti, Lucas Indriya berhak mendapatkan warisan padahal

dia sudah berpindah agama yaitu agama Katolik.

Seharusnya Hakim melihat bahwa kemurtadannya tersebut secara

otomatis telah menghilangkan hak mewarisnya terhadap harta peninggalan

orangtuanya dan tidak memberikan hak mewaris berdasarkan wasiat

wajibah karena wasiat wajibah di peruntukan kepada mereka yang tidak

memperoleh warisan bukan di sebabkan karena penghalang seperti yang

telah sebutkan diatas namun penghalang dalam pengertian terhijab oleh ahli

waris yang lain.

89

Wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam seperti yang disebutkan

dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2) adalah terhadap anak angkat dan orangtua

angkat dan kepada merekapun hanya diberikan sepertiga dari harta

peninggalan pewarisnya, sehingga Hakim disini telah salah dalam

menerapkan hukum dalam kasus hak mewaris anak non muslim sebab

Cicilia Sri Draswasih, Indar Astuti Pranowo, Fi Dewi Laksmi Sugianto,

Bemadeta Tri Prasasti, Lucas Indriya, seharusnya tidak bisa menjadi ahli

waris dan kehilangan hak mewarisnya dan tidak bisa memberikan hak waris

berdasarkan wasiat wajibah sebab bukan seseorang yang berhak

mendapatkan wasiat wajibah dan bukan yang di atur di dalam Pasal 209

Kompilasi Hukum Islam yang memberikan hak waris berdasarkan wasiat

wajibah hanya kepada anak angkat dan orangtua angkat sebanyak-

banyaknya 1/3 dari harta warisan, seharusnya yang dapat menggantikan

kedudukan dalam wasiat wajibah ialah hanya khusus cucu-cucu baik laki-

laki maupun perempuan yang orangtuanya meninggal dunia lebih dahulu

daripada yang mewariskan.

90

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Mahkamah Agung No.

51/K/AG/1999 dapat di simpulkan bahwa Putusan Mahkamah Agung No.

51/K/AG/1999 yang memberikan bagian dari harta warisan melalui wasiat

wajibah kepada ahli waris non muslim adalah tidak tepat, karena hal

tersebut tidak sesuai dengan surat An Nisa ayat 141 yaitu :

“dan Allah sekali-sekali tidak akan memberikan jalan bagi orang

kafir untuk menguasi orang muslim”,

Ditegaskan kembali melalui hadist Nabi Muhammad S.A.W yang

diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim yang ditafsirkan dari Q.S II: 221

yang berbunyi sebagai berikut :

“Bahwa orang-orang Islam tidak dapat mewarisi harta

peninggalan orang non muslim dan orang non muslim tidak dapat

mewarisi harta peninggalan orang Islam”,

Hadis ini sebagai tambahan dari firman Allah S.W.T :

“dua orang yang berbeda agama tidak saling mendapatkan

warisan sama sekali”.

91

Al-quran QS. Al-Baqarah (2) ayat 180 juga menjelaskan secara umum

menunjukkan bahwa wasiat itu wajib untuk seiap kerabat, ayat mawarits ini

mengeluarkan kerabat yang ahli waris dan mengarah pada kerabat yang

tidak sebagai ahli waris, karena terhalang ahli waris yang lebih dekat

(mahjub), dan tergolong dhawi al-arham (keturunan anak perempuan)

bukan karena ada penghalang mendapatkan warisan seperti kafir (beda

agama), pembunuhan, dan perbudakan.

Putusan hakim Mahkamah Agung dalam perkara No. 51/K/AG/1999

juga tidak sesuai dengan Pasal 171 huruf C dan pertimbangan hakim

Mahkamah Agung yang memposisikan ahli waris non muslim seperti anak

angkat dengan memberikan putusan berdasarkan wasiat wajibah tidak tepat,

karena tidak sesuai dengan Pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum

Islam.

92

B. SARAN

1. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislative, perlu membuat

suatu Undang-Undang sebagai pedoman bagi hakim Peradilan Agama

hingga Mahkamah Agung dalam membuat keputusan bagi saudara

kandung non muslim, untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam

sengketa hak mewaris bagi saudara kandung non muslim.

2. Mahkamah Agung sebagai Peradilan tertinggi di Indonesia seharusnya

dapat mempertimbangkan hukum yang konkrint dan jelas sebelum

memberi putusan, sehingga dapat diterima dan dimengerti bagi setiap

pihak yang berperkara. Khususnya perkara waris terhadap ahli waris

non muslim, hendaknya hakim Mahkamah Agung harus lebih

mempertimbangkan Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum

Islam.

93

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Saebeni, Beni. Fiqh Mawaris, Pustaka Setia : Bandung.2010.

Ali Muhammad, As-Shabuni. Hukum waris Dalam Syari’ah Islam. Diponegoro : Bandung.

1998

Azhar Ahmad, Basyir. Hukum Waris Islam. UII Press : Yogyakarta. 2001.

_________________, Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. 1989.

Ghofur .A, Anshori. Hukum Kewarisan Islam.Ekonisia: Yogyakarta. 2002.

Idris Mohd, Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara : Jakarta. 1996.

_________________,Asas-Asas Hukum Islam. Sinar Grafika : Jakarta. 2004.

Ibn anar, imam malik. Al Muwatta Imam malik ibn Anas. P.T Raja Grafindo Persada: Jakarta.

1999.

Kamil Ahmad, dan Fauzan, M. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia.

P.T Raja Grafindo Persada: Jakarta.2000.

Nasution Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI

Press, 2002.

Rachman Fatur. Ilmu Waris.Al-Ma’arif. Bandung. 1981.

Subekti Trusto. Hukum Keluarga dan Perkawinan. Universitas jenderal Soedirman.

Purwokerto. .2009.

94

Supriyadi Dedi, Sejarah Hukum Islam, Pustaka Setia : Bandung.2009.

Thalib Sajuti. Hukum Kewarisan Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2007.

Umar Said, Hukum Islam di Indonesia tentang Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf ,Surabaya :

Cempaka. 1997.

Soekanto Soerjono, & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat).

PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006.

Lubis K, Suharwati & Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam.Sinar Grafika: Jakarta .2007

Manan Abdul, Reformasi Hukum Islam, RajaGrafindo Persada : Jakarta.2006.

Soemitro Rony Hanitjo. Metodologi Penelitian dan Jurimetri.Ghalia Indonesia: Jakarta.

1990

Soemiyati S.G. Asas-asas Hukum Islam. Fakultas Hukum UGM: Yogyakarta. .1997

Sulaiman Rasyid. fiqih islam. Attahirujah: Jakarta. 2001.

Tohaputra Ahmad.Al-Quran dan Terjemahanya.Asy syiva: Semarang. .2001

Wahid Marzuki & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001

Yanggo Huzaemah, Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet. III,

2003.

Peraturan Perundang-undangan :

- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 49 tahun 1989

95

- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006, tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49

tahun 2006

-Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, tentang

Kompilasi Hukum Islam, Lembaran Negara Nomor 24 tahun 1991

Sumber lainnya :

http://majelis.mujahidin.or.id/new, Hak Anak Non Muslim Atas Harta Pewaris Muslim.

96

97