bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung
berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri.
Sifat hakiki yang dimaksud di sini adalah suatu sifat “tidak kekal” yang
selalu menyertai kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya. Sifat
tidak kekal termaksud, selalu meliputi dan menyertai manusia, baik ia
sebagai pribadi, maupun ia dalam kelompok atau dalam bagian kelompok
masyarakat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.1
Dewasa ini, sarana transportasi sebagai suatu kebutuhan yang sangat
penting bagi masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan telah berkembang
dengan pesat. Setiap hari bisa kita lihat jumlah kendaraan semakin banyak.
Data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat
volume penjualan motor di Indonesia mencapai 4.073.813 unit sepanjang
semester satu 2011. Peningkatan penjualan motor di Indonesia selama semester
satu 2011 juga dipengaruhi penurunan suku bunga kredit motor. Berdasarkan
data Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), 90% penjualan motor
di Indonesia dibiayaai oleh kredit melalui perusahaan pembiayaan.2
Perkembangan di bidang transportasi tentunya tidak hanya
memberikan manfaat dan pengaruh positif terhadap masyarakat tetapi juga
membawa pengaruh negatif. Dampak negatif dari perkembangan di bidang
transportasi diantaranya adalah sering timbulnya kecelakaan lalu lintas dan
pencurian kendaraan bermotor. Baik pemilik kendaraan bermotor maupun
orang lain yang menjadi korban kecelakaan tentunya sangat membutuhkan
1 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), hal. 2 2 Adm. 2011. Pasar Motor Indonesia Rp 40, 73 Triliun di Semester 2011, (Online),
(www.antaranews.com, diakses 10 Agustus 2011)
2
biaya untuk keperluan pengobatan ataupun biaya perbaikan kendaraan
bermotor yang rusak akibat kecelakaan ataupun perbuatan jahat.
Laurentinus Iwan Pranoto Sutanto yang merupakan Head Marketing
Communications & Public Relation PT. Asuransi Astra Buana
mengatakan bahwa masih banyak pemilik kendaraan bermotor yang
belum melindungi roda dua maupun mobilnya dengan asuransi untuk
perawatan dan perlindungan terhadap kecelakaan. Menurut beliau alasan
orang tidak mengasuransikan kendaraannya terbilang sepele seperti
pengendara sudah merasa aman atau yakin tidak akan terjadi apa-apa.
Padahal, masih menurut beliau, data kepolisian menunjukkan bahwa
setiap empat menit sekali terdapat kecelakaan.3
Ditinjau dari segi hukum asuransi, kecelakaan atau perbuatan jahat
inilah yang merupakan keadaan yang tidak dapat diramalkan terlebih dahulu
secara pasti. Keadaan yang tidak pasti inilah akhirnya menimbulkan suatu
kerugian yang jumlahnya tidak pasti pula.
Keadaan tidak pasti terhadap setiap kemungkinan yang dapat terjadi
baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tertentu menimbulkan rasa tidak
aman lazim disebut sebagai risiko.4
Risiko adalah kewajiban menanggung atau memikul kerugian sebagai
akibat suatu peristiwa di luar kesalahannya, yang menimpa benda yang
menjadi miliknya. Risiko itu ada yang sudah pasti adanya, misalnya
keusangan (“slijtage”), yaitu susutnya benda karena dipakai dan ada yang
belum tentu adanya, misalnya kebakaran, kecurian, perampokan,
karamnya kapal, tubrukan kapal dan lain-lain. Risiko tersebut terakhir ini
disebabkan oleh peristiwa yang tidak dapat dipastikan lebih dulu tentang
kapan terjadinya atau disebut peristiwa tak tentu (“onzekervoorval”).5
Upaya untuk mengatasi sifat alamiah yang berwujud sebagai suatu
keadaan yang tidak pasti, antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara
3 Adm. 2011. Pentingnya Asuransi Kendaraan Bermotor, (Online),
(www.antaranews.com, diakses 10 Agustus 2011) 4Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 2. 5 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum
Pertanggungan (Jakarta: PT. Djambatan, 1990), hal. 24.
3
menghindari, atau melimpahkannya kepada pihak-pihak lain di luar dirinya
sendiri.6
Secara umum, manusia lebih suka menghindari atau mengurangi atau
kalau dapat meniadakan risiko yang mengancam jiwa atau kesejahteraan.
Hal ini berlaku baik pada orang perorangan, maupun pada masyarakat,
cara yang ditempuh antara lain dengan meningkatkan metode-metode
penanganan risiko atau menyebarkan risiko.7
Salah satu metode yang paling baik untuk penanganan risiko tidak lain
adalah dengan cara mentrasfernya/mengalihkannya kepada pihak lain dengan
jalan mengadakan perjanjian asuransi.8
Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
memberikan pengertian mengenai asuransi atau pertanggungan, yaitu:
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung,
dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa
yang tak tertentu.
Selain dalam KUHD, pengertian asuransi juga dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian, yaitu:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang
timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.
6 Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 3. 7Ibid. hal. 68.
8Ibid. hal. 70.
4
Lembaga atau institusi yang mempunyai kemampuan untuk
mengambil alih risiko pihak lain ialah lembaga asuransi, dalam hal ini
adalah perusahaan-perusahaan asuransi. Dalam masyarakat modern
seperti sekarang ini, perusahaan asuransi mempunyai peranan dan
jangkauan yang sangat luas, karena perusahaan asuransi tersebut
mempunyai jangkauan yang menyangkut kepentingan-kepentingan
ekonomi maupun kepentingan-kepentingan sosial. Di samping itu ia juga
dapat menjangkau baik kepentingan-kepentingan individu maupun
kepentingan-kepentingan masyarakat luas, baik risiko individu maupun
risiko-risiko kolektif.9
Pada dasarnya perusahaan asuransi dalam kegiatannya, secara terbuka
mengadakan penawaran/menawarkan suatu perlindungan/proteksi serta
harapan pada masa yang akan datang kepada individu atau kelompok-
kelompok dalam masyarakat atau institusi-institusi lain, atas
kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut karena terjadinya suatu
peristiwa yang tidak tertentu atau belum pasti.10
Perjanjian pertanggungan di dalam pengertian yang murni
mengandung suatu tujuan bahwa kerugian yang sungguh-sungguh
diderita oleh pihak tertanggung akan diganti oleh pihak penanggung.
Oleh karena di dalamnya terdapat suatu penggantian kerugian, maka
pertanggungan ini disebut “Pertanggungan Kerugian”.11
Usaha asuransi kerugian meliputi beberapa jenis kegiatan usaha.
Menurut Pasal 3 huruf a angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian, jenis usaha yang dapat dilakukan oleh usaha asuransi
kerugian yaitu memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian,
kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Salah satu hal penting dalam perjanjian asuransi adalah mengenai
pemberian ganti rugi pada saat terjadinya peristiwa tidak tentu yang telah
diperjanjikan dan menimbulkan kerugian bagi tertanggung. Dalam menentukan
9Ibid. hal. 5-6.
10Ibid. hal. 6.
11Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-Pokok
Pertanggungan Kerugian, Kebakaran dan Jiwa) (Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, 1990), hal. 8
5
besarnya jumlah ganti rugi bukanlah hal yang mudah. Terkadang tertanggung
masih merasa tidak puas atas besarnya jumlah ganti rugi yang diberikan oleh
penanggung. Hal ini bisa jadi dikarenakan ketidaktahuan tertanggung
mengenai mekanisme pembayaran ganti rugi.
Terdapat salah satu asas dalam asuransi yang harus dipegang dalam
memberikan ganti kerugian. Asas yang dimaksud adalah asas
“indemnitas”. Asas “indemnitas” adalah salah satu asas dalam asuransi
yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari
perjanjian asuransi itu sendiri (khusus untuk asuransi kerugian).
Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik ialah untuk
memberi suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak
penanggung. Pengertian kerugian itu tidak boleh menyebabkan posisi
keuangan pihak tertanggung menjadi lebih diuntungkan dari posisi
sebelum menderita kerugian. Jadi terbatas sampai pada keadaan/posisi
awal, artinya hanya mengembalikannya pada posisi semula.12
Perjanjian asuransi jumlah tidak mempunyai tujuan untuk mengganti
suatu kerugian, sehingga asas “indemnitas” tidak berlaku bagi asuransi
ini. Hal yang ingin dicapai oleh asas “indemnitas” adalah keseimbangan
antara risiko yang dialihkan kepada penanggung dengan kerugian yang
diderita oleh tertanggung sebagai akibat dari terjadinya peristiwa yang
secara wajar tidak diharapkan terjadinya.13
Pengaturan mengenai asas
“indemnitas” atau asas keseimbangan oleh undang-undang tidak
diberikan dengan jelas, namun demikian asas ini tersiratdalam beberapa
pasal yaitu Pasal 250, 252, 253 KUHD.
Perjanjian pertanggungan mempunyai arti yang sangat penting bagi
penanggung sejak saat perjanjian itu diadakan, yaitu untuk mengetahui
berapakah jumlah maksimum dari prestasinya. Jumlah ini disebutuang
pertanggungan. Di dalam suatu pertanggungan kerugian mengenai
berapakah maksimum dari penggantian kerugian yang harus diberikan
oleh penanggung, sangat perlu diketahui sebelumnya. Uang
pertanggungan berfungsi sebagai jumlah maksimum terhadap mana
penanggung terikat untuk menggantikannya apabila kerugian telah terjadi
(Pasal 253 ayat (1) KUHD).14
12Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 98. 13
Ibid. hal. 99. 14
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 43.
6
Pasal 253 ayat (1) KUHD menyebutkan bahwa:
Suatu pertanggungan yang melebihi jumlah harga atau kepentingan
yang sesungguhnya, hanyalah sah sampai jumlah tersebut.
Selanjutnya, disamping berfungsi sebagai jumlah maksimum dari
ganti kerugian, jumlah yang dipertanggungkan ini pun dapat berfungsi
sebagai dasar perhitungan dalam hal ada kerugian sebagian dalam
pertanggungan di bawah nilai benda sesungguhnya. Apabila tertanggung
hendak mempertanggungkan kepentingannya itu secara penuh, maka
haruslah jumlah yang dipertanggungkan kepentingannya itu sama
nilainya dengan nilai benda yang dipertanggungkan sejauh itu dapat
dipertanggungkan. Tetapi sering pula bahwa yang dipertanggungkan itu
tidaklah nilai penuh, akan tetapi hanya sebagian saja, sehingga si pemilik
memikul risiko sendiri untuk bagian lain yang tidak dipertanggungkan
itu, dan tentunya akibatnya bahwa jumlah yang dipertanggungkan itu
akan menjadi lebih kecil dari nilai benda sesungguhnya.15
Pertanggungan dengan nilai sebagian diatur dalam Pasal 253 ayat (2)
KUHD, yaitu:
Apabila harga penuh sesuatu barang tidak dipertanggungkan, maka
apabila timbul kerugian, si penanggung hanyalah diwajibkan
menggantinya menurut imbangan daripada bagian yang
dipertanggungkan terhadap bagian yang tidak dipertanggungkan.
Terkait dengan risiko dan besarnya kerugian yang mungkin dialami
oleh pemilik kendaraan bermotor, PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967
Cabang Purwokerto, sebagai salah satu perusahaan asuransi yang bergerak
dalam asuransi kerugian, telah menawarkan solusi melalui asuransi kendaraan
bermotor yang dapat meringankan pemilik dalam menghadapi risiko kerugian
akibat peristiwa yang tidak tentu seperti pencurian, tabrakan, terbalik,
kebakaran dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menulis skripsi
15
Ibid. 43.
7
yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN GANTI
KERUGIAN PADA ASURANSI PAKET MOTORKOEDI PT. ASURANSI
UMUM BUMIPUTERA MUDA 1967 CABANG PURWOKERTO”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
permasalahan “Bagaimana pemberian ganti kerugian pada asuransi paket
Motorkoe di PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto?”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian ganti
kerugian pada asuransi paket Motorkoe di PT. Asuransi Bumiputera Muda
1967 Cabang Purwokerto.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan
wacana, referensi dan acuan penelitian yang sejenis dari permasalahan yang
berbeda dan diharapkan juga dapat memajukan perkembangan ilmu hukum
pada umumnya dan bidang hukum asuransi khususnya.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memacu perkembangan
informasi dan pengetahuan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada
8
khususnya terkait dengan mekanisme pembayaran ganti kerugian pada
asuransi paket Motorkoe di PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang
Purwokerto.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ASURANSI
1. Pengertian dan Pengaturan Asuransi
Secara umum terdapat dua istilah yang sering digunakan dalam
asuransi. Kedua istilah tersebut yaitu pertanggungan dan asuransi.
Istilah pertanggungan dalam bahasa Belanda adalah “verzekering”
dan “assuranntie” sementara dalam bahasa Inggris dipakai istilah
“insurance”. Prof. Soekardono menerjemahkan “verzekering” itu
dengan pertanggungan. Dalam hukum pertanggungan, orang yang
mempertanggungkan disebut tertanggung sebagai terjemahan dari
bahasa aslinya bahasa Belanda “verzekerde” dan dalam bahasa Inggris
dipakai istilah “the insured”. Orang yang menanggung disebut
penanggung sebagai terjemahan dari bahasa aslinya bahasa Belanda
“verzekeraar” dan dalam bahasa Inggris dipakai istilah “the insurer”.16
Istilah pertanggungan dipakai dalam literatur ilmu pengetahuan
hukum, misalnya pertanggungan kerugian, pertanggungan jiwa, benda
pertanggungan dan jumlah pertanggungan. Prof. Subekti umumnya
juga menggunakan istilah pertanggungan dalam terjemahannya Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang.17
Istilah “assurantie” dalam bahasa Indonesia menjadi asuransi.
Istilah asuransi lebih banyak dikenal dan dipakai dalam praktek
perusahaan pertanggungan sehari-hari. Orang yang mengasuransikan
dalam bahasa Belanda disebut “geassureerde” sementara dalam
bahasa Inggris disebut “the assured”. Penerima asuransi dalam bahasa
Belanda disebut “assuradeur” dan bahasa Inggris “the assurer”. Istilah
asuransi dipakai terbatas pada nama jenis usaha dan nama perusahaan,
misalnya asuransi kebakaran, asuransi jiwa dan PT. Asuransi
Bumiputera. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dipakai
istilah perasuransian.18
16
Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Asuransi (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1994), hal. 5-6. 17
Ibid. hal. 6. 18
Ibid. hal. 6.
10
Prof. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah asuransi untuk
penanggung dan terjamin untuk tertanggung. Walaupun istilah yang
dimaksud itu ada persamaan pengertiannya, istilah penjamin dan
terjamin lebih tepat dipakai dalam hukum perdata yang membicarakan
tentang perjanjian penjaminan “garantie”, “borgtocht”dan
“hoofdelijkheid”. J.E. Kaihatu menjelaskan penggunaan istilah bahasa
Inggris “insurance” dan “assurance” dalam praktik pertanggungan di
Inggris. Menurut beliau, istilah “insurance” dipakai untuk
pertanggungan kerugian, sedangkan istilah “assurance” dipakai untuk
pertanggungan jumlah “sommenverzekering”.19
Untuk selanjutnya, apabila penulis menggunakan istilah asuransi
atau pertanggungan, maksudnya adalah sama. Dalam penelitian ini yang
digunakan adalah istilah tertanggung untuk orang yang mempertanggungkan
dan penanggung untuk orang yang menanggung.
Asuransi dilihat dari segi ekonomi merupakan suatu lembaga
keuangan, sebab melalui asuransi dapat dihimpun dana yang besar,
yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan, disamping
bermanfaat bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam bisnis asuransi
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan “proteks” atas
kerugian keuangan “finansiil loss”, yang ditimbulkan oleh peristiwa
yang tidak dapat diduga sebelumnya “fortuitius event”.20
Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa asuransi merupakan
suatu perjanjian yang berdasarkan pada motif ekonomi, artinya
tertanggung menyadari bahwa ancaman bahaya terhadap harta benda
miliknya dan jiwa raganya. Apabila bahaya itu menimpa dirinya,
maka ia akan mengalami kerugian. Secara ekonomi menderita
kerugian atau menderita materiil dan menderita korban jiwa, akan
mempengaruhi jalan hidupnya ataupun ahli warisnya. Tertanggung
sebagai pihak yang diancam bahaya merasa berat memikul beban
tersebut, tertanggung berusaha mencari jalan bila ada pihak lain yang
ingin mengambil oper beban ancaman bahaya itu dan ia sanggup
membayar kontra prestasi yang disebut dengan premi.21
Dari usaha pertanggungan itu dapat dijelmakan bahwa usaha
asuransi itu berarti memasukkan premi yang kemudian merupakan
19
Ibid. hal. 7. 20
Eti Purwiyantiningsih, Tesis: Kajian Yuridis Tentang Prinsip Itikad Baik
Berdasarkan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Dalam Asuransi
Kerugian (Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2008), hal. 56. 21
Ibid.
11
dana.dana yang tersimpan dalam perusahaan dapat digunakan oleh
perusahaan tersebut untuk membiayai suatu usaha yang mendatangkan
suatu keuntungan baginya disamping membantu masyarakat. Usaha
ini semuanya sudah jelas membantu pembangunan ekonomi negara
kita, yang kemudian dapat dinikmati oleh anggota masyarakat. Jadi
semua premi yang kemudian terkumpul itu dapat dipakai sebagai
usaha investasi dalam proyek-proyek ekonomi.22
Pengertian asuransi dari segi hukum dapat dilihat dari beberapa
ketentuan undang-undang yang mengaturnya. Secara umum, peraturan
mengenai asuransi di Indonesia diatur dalam dua peraturan umum yang
sudah ada sejak lama yaitu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD). KUH Perdata merupakan peraturan yang bersifat umum di bidang
keperdataan. Sementara itu, KUHD merupakan peraturan yang mengatur
lebih khusus daripada KUH Perdata. Apabila dalam KUHD tidak mengatur,
maka KUH Perdata sebagai peraturan yang bersifat umum akan mengisi
kekosongan hukum atas apa yang tidak diatur dalam KUHD. Adanya
peraturan khusus yang mengatur, maka peraturan yang khusus tersebutlah
yang digunakan “lex specialis derogat legi generaly”. Dengan kata lain,
terkait asuransi maka yang digunakan adalah aturan yang ada di KUHD,
karena KUHD telah mengatur secara khusus mengenai asuransi.
Di dalam KUH Perdata, asuransi diklasifikasikan sebagai
perjanjian untung-untungan sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1774.
Pasal 1774 KUH Perdata
Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang
hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun
22
Ibid.
12
bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum
tentu.
Demikian adalah:
perjanjian pertanggungan;
bunga cagak hidup;
perjudian dan pertaruhan.
Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang.
Meskipun perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan secara
umum oleh KUH Perdata disebutkan sebagai salah satu bentuk
perjanjian untung-untungan, sebenarnya merupakan satu penerapan
yang sama sekali tidak tepat. Perjanjian untung-untungan mempunyai
kecenderungan yang besar menuju pada pertaruhan atau perjudian.
Tujuan perjanjian untung-untungan tersebut, selalu berkaitan dengan
kepentingan keuangan yang berkaitan dengan terjadi atau tidak
terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti, dan keberadaan dari
peristiwa tersebut baru dimulai setelah ditutupnya perjanjian
termaksud.23
Karakteristik dari perjanjian untung-untungan ini adalah
berdasarkan pada kemungkinan yang sangat bersifat spekulatif. Oleh
karena itu pada perjanjian untung-untungan tujuan utama hanya
kepentingan keuangan yang sangat spekulatif. Lain halnya dengan
perjanjian asuransi atau pertanggungan yang pada dasarnya sudah
mempunyai tujuan yang lebih pasti ialah memperalihkan risiko yang
sudah ada yang berkaitan pada kemanfaatan ekonomi tertentu
sehingga tetap berada pada posisi yang sama. Posisi atau keadaan
ekonomi yang sama tersebut dipertahankan dengan memperjanjikan
pemberian ganti rugi karena terjadinya suatu peristiwa yang belum
pasti. Jadi peristiwa yang belum pasti terjadi itu merupakan syarat
baik dalam perjanjian untung-untungan maupun dalam perjanjian
asuransi atau pertanggungan.24
Meskipun demikian peristiwa yang belum pasti terjadi pada
perjanjian untung-untungan yang bersifat pertaruhan atau perjudian
tidak sama tepat dengan yang terjadi pada perjanjian asuransi. Pada
perjanjian pertaruhan dan perjudian, risiko itu justru diciptakan oleh
perjanjian itu sendiri. Lain halnya pada perjanjian pertanggungan,
risiko itu sudah ada sebelum perjanjian dibuat dan justru perjanjian
pertanggungan ditutup dengan tujuan memperalihkan risiko yang
sudah ada.25
23 Sri Rejeki Hartono. 2001 Op. Cit. hal. 81. 24
Ibid. 25
Ibid. hal. 82.
13
Pada perjanjian untung-untungan peristiwa yang belum pasti itu
andaikata tak terjadi sama sekali tidak menyebabkan kerugian
ekonomi pada salah satu atau para pihak. Sedangkan pada perjanjian
asuransi apabila peristiwa yang belum pasti itu benar terjadi pasti
menimbulkan kerugian ekonomi pada salah satu pihak ialah pihak
tertanggung.26
Purwosutjipto mengemukakan adanya perbedaan antara perjanjian
asuransi dengan perjanjian perjudian atau pertaruhan sebagai berikut27
:
1. Pada pertanggungan, hubungan antara kemungkinan untung-rugi dengan
peristiwa tak tentu itu masih bisa diperhitungkan atau diperkirakan,
artinya bila kemungkinan terjadinya peristiwa tak tentu itu dekat atau
kemungkinan timbulnya kerugian atau kerusakan itu tidak jauh, maka
penanggung dapat menolak pertanggungan atau menaikan preminya.
2. Pada perjudian atau pertaruhan, hubungan antara kemungkinan untung-
rugi dengan peristiwa tak tentu itu tidak dapat diperhitungkan atau
diperkirakan sebelumnya. Adanya untung-rugi itu sama sekali tergantung
pada nasib orang yang melakukan perjudian atau pertaruhan.
Pengertian asuransi atau pertanggungan dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 246 KUHD yang menyebutkan bahwa:
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung,
dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tertentu.
Menurut H.M.N Purwosutjipto ada tiga unsur mutlak dalam Pasal
246 KUHD, yaitu28
:
1. Adanya kepentingan sebagai yang dimaksud dalam undang-undang
(Pasal 250 dan 268 KUHD);
2. Adanya peristiwa tak tentu;
3. Adanya kerugian.
26
Ibid. 27
H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 6. 28
Ibid.
14
H.M.N Purwosutjipto juga berpendapat, bahwa ketentuan Pasal 246
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang sebagai definisi
pertanggungan umum. Beliau berpendapat bahwa ketentuan Pasal 246
KUHD mengandung unsur-unsur bagi pertanggungan kerugian, tetapi tidak
mengandung unsur-unsur pertanggungan jiwa. Dengan demikian,
menurutnya Pasal 246 KUHD hanya tepat sebagai definisi pertanggungan
kerugian.29
Abdulkadir Muhammad memberikan unsur-unsur asuransi atau
pertanggungan berdasarkan definisi Pasal 246 KUHD sebagai berikut30
:
a. Pihak-Pihak
Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu
penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi.
Penanggung dan tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak.
Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak
memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib membayar
premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas
harta miliknya yang diasuransikan.
b. Status Pihak-Pihak
Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum,
dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan
(Persero) atau Koperasi. Sedangkan tertanggung dapat berstatus sebagai
perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik sebagai perusahaan
29
Ibid. hal. 9. 30
Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 8-10.
15
ataupun bukan perusahaan. Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau
pihak berkepentingan atas harta yang diasuransikan.
c. Objek Asuransi
Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang
melekat pada benda dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti
kerugian. Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai
oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan memperoleh pembayaran
sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko. Sedangkan
tertanggung bertujuan bebas dari risiko dan memperoleh penggantian jika
timbul kerugian atas harta miliknya.
d. Peristiwa Asuransi
Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum (“legal act”)berupa
persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung
mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti (“evenemen”) yang
mengancam benda asuransi dan syarat-syarat yang berlaku dalam
asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam
bentuk tertulis berupa akta yang disebut polis. Polis ini merupakan satu-
satunya alat bukti yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi.
e. Hubungan Asuransi
Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan
tertanggung adalah keterikatan (“legally bound”) yang timbul karena
persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut berupa
kesediaan secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk
16
memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain
(secara timbal balik). Artinya sejak tercapai kesepakatan asuransi,
tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi kepada
penanggung, dan sejak itu pula penanggung menerima pengalihan risiko.
Jika terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi,
penanggung wajib membayar ganti kerugian sesuai dengan ketentuan
polis asuransi. Jika tidak terjadi evenemen, premi yang sudah dibayar
oleh tertanggung tetap menjadi milik penanggung.
Selain dalam KUHD, pengertian asuransi atau pertanggungan juga
bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (UU No. 2 Tahun 1992), yang
menyebutkan bahwa:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang
timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.
Rumusan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 1992 ternyata lebih luas
jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 246 KUHD karena tidak
hanya melingkupi asuransi kerugian, tetapi juga asuransi jiwa. Hal ini
dapat diketahui dari kata-kata akhir rumusan, yaitu “ untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”. Dengan demikian, objek
asuransi tidak hanya meliputi harta kekayaan, tetapi juga jiwa/raga
manusia.31
31
Ibid. hal. 11.
17
Molengraaf memberikan definisi mengenai asuransi yaitu asuransi
kerugian ialah persetujuan dengan mana satu pihak, penanggung
mengikatkan diri terhadap yang lain, tertanggung untuk mengganti kerugian
yang dapat diderita oleh tertanggung, karena terjadinya suatu peristiwa yang
telah ditunjuk, dan yang belum tentu serta kebetulan, dengan mana pula
tertanggung berjanji untuk membayar premi.32
Hukum asuransi atau pertanggungan di Indonesia diatur dalam
KUHD dan di luar KUHD.
Peraturan pertanggungan dalam KUHD ialah33
:
1. Buku I, Bab IX tentang asuransi atau pertanggungan pada umumnya
(Pasal 246 sampai dengan 286).
2. Buku I, Bab X tentang pertanggungan terhadap bahaya kebakaran,
terhadap bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum
dipaneni dan tentang pertanggungan jiwa (Pasal 287 sampai dengan 308).
3. Buku II, Bab IX tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut
(Pasal 592 sampai dengan 685).
4. Buku II, Bab X tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam
pengangkutan di daratan dan di sungai dan di perairan darat (Pasal 686
sampai dengan 695).
Walaupun dalam Pasal 248 KUHD dinyatakan bahwa ketentuan-
ketentuan yang bersifat umum diberlakukan terhadap pertanggungan
yang telah diatur dalam Buku I dan Buku II KUHD, pasal tersebut
hendaknya ditafsirkan juga berlaku bagi pertanggungan khusus di luar
KUHD. Ketentuan-ketentuan yang bersifat umum dalam Buku I Bab
32 H. Mashudi dan Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi (Bandung: PT. Mandar Maju,
1998). hal. 3. 33
H.M.N. Purwosujtipto. 1990. Op. Cit. hal. 11.
18
IX KUHD adalah ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan karena
memuat syarat-syarat umum yang berlaku bagi setiap
pertanggungan.34
Timbulnya bermacam jenis pertanggungan khusus dalam praktek
menunjukkan bahwa masyarakat makin berkembang, sehingga makin
menyadari pula adanya bermacam bahaya yang mengancam
keselamatan harta kekayaan atau jiwa dan raga, terhadap bahaya-
bahaya tersebut lalu diadakan pertanggungan. Pada waktu KUHD
dirancang lebih dari satu abad yang lalu, bahaya-bahaya semacam itu
belum diatur, misalnya bahaya yang disebabkan oleh kesibukan lalu
lintas, bahaya kemungkinan tidak membayar hutang, dan bahaya
kecelakaan kerja.35
Peraturan pertanggungan di luar KUHD antara lain36
:
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.
2. Undang-undang Asuransi Sosial. Perundang-undangan yang mengatur
asuransi sosial sebagai berikut:
a. Asuransi Sosial Kecelakaan Penumpang (Jasa Raharja):
1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Peraturan
pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
1965.
2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan
Lalu Lintas Jalan. Peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965.
b. Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek):
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Jamsostek).
34 Abdulkadir Muhammad.2002. Op. Cit. hal. 19. 35
Ibid. hal. 19. 36
Ibid. hal. 19-21.
19
2. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1990 tentang
Penyelenggaraan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991 tentang Asuransi
Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi
Sosial Pegawai Negeri Sipil (ASPNS).
c. Asuransi Sosial Pemeliharaan Kesehatan (Askes)
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan
Kesehatan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Penerima Pensiun, Veteran,
Perintis Kemerdekaan Beserta Keluarganya.
2. Tujuan Asuransi
Tujuan perjanjian pertanggungan adalah untuk mengalihkan risiko
si tertanggung kepada si penanggung, yang berarti bahwa penanggung
berkewajiban untuk mengganti kerugian tertanggung bila terjadi
evenemen. Sebagai kontra prestasinya tertanggung harus membayar
uang premi kepada penanggung. Berapa jumlah uang premi yang
harus dibayar oleh tertanggung, penanggung harus memperhitungkan
berdasarkan statistik dan pengalaman yang cermat. Dengan
perhitungan jumlah uang premi yang tepat, maka perusahaan
pertanggungan tidak akan merugi dan dapat memelihara
perusahaannya dengan baik.37
Menurut Emmy Pangaribuan, pertanggungan itu mempunyai tujuan
mengalihkan segala risiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak
dapat diharapkan terjadinya itu kepada orang lain yang mengambil risiko
untuk mengganti kerugian.38
37
H.M.N. Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 25. 38
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 5.
20
Menurut Abdulkadir Muhammad ada beberapa tujuan asuransi,
yaitu39
:
1. Teori Pengalihan Risiko
Menurut teori pengalihan risiko “risk transfer theory”tujuan
perjanjian pertanggungan adalah untuk mengalihkan risiko si tertanggung
kepada si penanggung, yang berarti bahwa penanggung berkewajiban
untuk mengganti kerugian tertanggung bila terjadi evenemen. Sebagai
kontra prestasinya tertanggung harus membayar uang premi kepada
penanggung.
2. Pembayaran Ganti Rugi
Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian,
maka tidak ada masalah terhadap risiko yang ditanggung oleh
penanggung. Dalam praktiknya tidak senantiasa bahaya yang
mengancam itu sungguh-sungguh terjadi. Ini merupakan kesempatan
baik bagi penanggung mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa
tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya. Jika suatu ketika
sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko
berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan
akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransinya.
Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi yang bertujuan
untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh
dideritanya.
39
Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 12-15.
21
3. Pembayaran Santunan
Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan
perjanjian bebas (sukarela) antara penanggung dan tertanggung
“voluntary insurance”. Akan tetapi, undang-undang mengatur asuransi
yang bersifat wajib “compulsory insurance”, artinya tertanggung terikat
dengan penanggung karena perintah undang-undang, bukan karena
perjanjian. Asuransi jenis ini disebut asuransi sosial “social security
insurance”. Tujuan mengadakan asuransi sosial menurut pembentuk
undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan
mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang.
4. Kesejahteraan Anggota
Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan
dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka
perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung, sedangkan anggota
perkumpulan berkedudukan sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa
yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung),
perkumpulan akan membayar sejumlah uang kepada anggota
(tertanggung) yang bersangkutan. Prof. Wirjono Prodjodikoro menyebut
asuransi seperti ini mirip dengan “perkumpulan koperasi”. Asuransi ini
merupakan asuransi saling menanggung “onderlinge verzekering” atau
asuransi bersama “mutual insurance” yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan anggota.
22
3. Jenis-Jenis Asuransi
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di dalam Pasal 247 ayat (1)
menyebutkan bahwa:
Pertanggungan-pertanggungan itu antara lain dapat mengenai:
bahaya kebakaran;
bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum
dipaneni;
jiwa; satu atau beberapa orang;
bahaya laut dan pembudakan;
bahaya yang mengancam pengangkutan di daratan, di sungai-
sungai dan di perairan darat.
Jenis-jenis pertanggungan yang disebut dalam Pasal 247 ayat (1)
itu tidak tertutup, ternyata dari adanya kata “antara lain”. Ini berarti
bahwa pembentuk undang-undang masih membuka kesempatan bagi
jenis-jenis pertanggungan baru, yang timbul berdasar perkembangan
dunia perusahaan.40
Pembedaan asuransi atau pertanggungan berdasarkan ilmu
pengetahuan terdiri dari Pertanggungan Kerugian dan Pertanggungan
Sejumlah Uang. Cara untuk mengetahui apakah suatu pertanggungan itu
tergolong pertanggungan kerugian atau pertanggungan jumlah adalah dilihat
dari “prestasi penanggung”.
Dikatakan Pertanggungan Sejumlah Uang apabila penanggung
mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi memberikan sejumlah uang
yang telah ditentukan sebelumnya. Pada Pertanggungan Sejumlah Uang,
pemberian sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya itu bergantung
pada peristiwa yang pada umumnya tidak pasti akan terjadi, yang ada
hubungannya dengan hidup atau jiwa atau bahkan kesehatan seseorang.
Dengan demikian, tujuan dari Pertanggungan Sejumlah Uang ialah
40
H.M.N. Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 14.
23
membayar sejumlah uang tertentu, tidak tergantung pada persoalan pada
apakah “evenemen” menimbulkan kerugian atau tidak. Santunan diberikan
kepada penikmat meskipun dia dengan matinya si badan tertanggung tidak
menderita kerugian suatu apapun. Prestasi penanggung di sini sama sekali
tidak bisa disebut memberi penggantian kerugian, sebagai yang disebut
dalam Pasal 246 KUHD.41
Dikatakan Pertanggungan Kerugian apabila penanggung
mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi dalam bentuk mengganti
rugi sepanjang ada kerugian. Dengan demikian, tujuan dari Pertanggungan
Kerugian ialah mengganti kerugian yang mungkin timbul pada harta
kekayaan tertanggung. Dalam hal ini, tertanggung ingin mengamankan
kepentingan harta kekayaannya.42
Pertanggungan dapat juga dibedakan menurut kriteria “ada
tidaknya persesuaian kehendak” dari kedua belah pihak dalam
menutup pertanggungan itu. Apabila pertanggungan itu ditutup atas
dasar kehendak yang bebas dari kedua belah pihak maka kita
menghadapi pertanggungan sukarela atau “voluntary insurance”.
Biasanya “voluntary insurance” ini ditutup atas keinginan perorangan
sehingga disebut juga sebagai “voluntary private insurance”.
Sebaliknya bilamana pertanggungan itu ditutup oleh pihak
tertanggung karena diwajibkan oleh suatu peraturan (pihak
penanggung) maka pertanggungan demikian adalah termasuk
pertanggungan wajib atau “compulsary insurance”. Oleh karena
biasanya pertanggungan yang demikian ini adalah diwajibkan oleh
pemerintah kepada seluruh atau sebagian tertentu dari anggota
masyarakat untuk suatu tujuan memberikan perlindungan “sosial
security” maka pertanggungan ini dinamakan juga sebagai “social
insurance” atau “social goverment insurance”.43
41
Ibid. hal. 16. 42
Ibid. hal. 15 43
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya
(Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1990), hal. 40-41.
24
Pertanggungan sukarela sebagian besar dikenal orang dalam dunia
pertanggungan sebagai usaha pertanggungan yang mengandung unsur
bisnis, karena pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
pertanggungan dalam masyarakat. Hal itulah juga yang menyebabkan
bahwa biasanya pertanggungan itu disebut dengan nama “commercial
insurance”. Perusahaan-perusahaan pertanggungan yang
melaksanakan usahanya dengan tujuan memperoleh keuntungan dari
penutupan-penutupan pertanggungan melaksanakan usahanya itu
dengan pemasaran jasa dalam masyarakat, mencari langganan-
langganan yang rela menjadi tertanggung. Jadi kelihatan sifat
“commercial” atau sifat perdagangannya itu. Namun demikian,
“voluntary insurance” dalam menjalankan kegiatannya tidak semata-
mata hanya dalam usaha-usaha yang mencari keuntungan. “Voluntary
insurance” mungkin saja dilaksanakan oleh suatu perusahaan
pertanggungan dengan tujuan sekedar memberi perlindungan kepada
anggota-anggota masyarakat tertentu sebagai suatu kumpulan. Oleh
penulis David L. Bicklehaupt, voluntary insurance yang demikian ini
disebut dengan nama “cooperative insurance”.44
“Voluntary” atau “Commercial Insurance” dapat dibedakan atas
dua bagian besar menurut sifat obyek yang dipertanggungkan yaitu45
:
a. “Personal Insurance”
Pada umumnya memang yang dimaksud sebagai “personal
insurance” adalah yang menyangkut pemberian perlindungan kepada
seseorang atau keluarga berhubung timbulnya suatu kerugian, sehingga
mengakibatkan seseorang kehilangan kemampuan mencari nafkah atau
kehilangan sumber nafkah karena suatu peristiwa mati, cacat, sakit, usia
tua atau kehilangan pekerjaan. Oleh karena itulah bahwa pada pokoknya
personal insurance ini ditujukan pada pemberian perlindungan atas hidup
seseorang atau atas sakitnya seseorang sehingga terdapat “life
insurance” dan “health insurance”.
44
Ibid. hal. 41. 45
Ibid. hal. 42.
25
b. “Property Insurance”
“Property Insurance”adalah pertanggungan yang ditutup atas
harta benda yang menjadi milik seseorang atau yang dipertanggungkan
adalah kerugian yang menimpa harta milik seseorang. Sehubungan
dengan kerugian yang menimpa harta benda mungkin saja seseorang itu
tidak hanya rugi karena miliknya ditimpa suatu peristiwa, melainkan juga
karena harta orang lain yang ditimpa kerugian sedangkan dia menurut
hukum bertanggung jawab atas keselamatan dari barang itu. Kerugian
seperti ini dapat dipertanggungkan dan masih tetap tergolong pada
“property insurance” dan disebut dengan “liability insurance”.
4. Syarat Sah Perjanjian Asuransi
Secara tegas dikatakan dalam Pasal 246 KUHD, bahwa asuransi
didasarkan atas suatu perjanjian dan perjanjian yang dimaksud adalah
perjanjian antara tertanggung dengan penanggung. Sehubungan dengan
asuransi sebagai perjanjian, maka perjanjian asuransi, sebagaimana
perjanjian pada umumnya, harus memenuhi syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian asuransi sebagai bentuk perjanjian khusus, mempunyai
syarat-syarat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
26
seperti yang tersebut dalam Pasal 251 KUHD mengenai kewajiban
pemberitahuan yang benar.46
Syarat perjanjian asuransi yang dikemukakan oleh Abdulkadir
Muhammad adalah47
:
1. Kesepakatan “Consensus”
Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
a. Benda yang menjadi objek asuransi;
b. Pengalihan risiko dan pembayaran premi;
c. Evenemen dan ganti kerugian;
d. Syarat-syarat khusus asuransi;
e. Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat
dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara
langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi
tanpa perantara. Dilakukan secara tidak langsung artinya kedua belah
pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Perantara
dalam KUHD disebut makelar sementara dalam Undang-Undang No. 2
Tahun 1992 disebut pialang.
2. Kewenangan “Authority”
Kedua pihak, tertanggung dan penanggung wenang melakukan
perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat
ada yang bersifat sebjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan
46
Abdulkadir Muhammad. Op. Cit. hal. 49. 47
Ibid. hal. 49-54.
27
subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada
di bawah perwalian “trusteeship”, atau pemegang kuasa yang sah.
Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang
sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan
miliknya sendiri.
3. Objek Tertentu “Fixed Object”
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang
diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang
melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa atau raga manusia.
Karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia
harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek
asuransi itu.
4. Kausa yang Halal “Legal Cause”
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian itu tidak
dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum
dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
5. Pemberitahuan “Notification”
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung
mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat
mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya
asuransi batal. Pasal 251 KUHD menyebutkan bahwa:
Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap
tidak memberitahukan hal-hal yang tidak diketahui oleh si
tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian
sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui
28
keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutp atau tidak
ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya
pertanggungan.
Kewajiaban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah
diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.
5. Prinsip-Prinsip Asuransi
Terkait dengan prinsip-prinsip asuransi terdapat asas-asas dan
ketentuan-ketentuan umum perjanjian asuransi. Untuk itu, penulis akan
mengklasifikasikan menjadi dua bagian, bagian pertama ialah asas dan
syarat yang berkaitan dengan terjadi dan sahnya perjanjian asuransi
sedangkan bagian kedua ialah syarat yang berkaitan dengan pelaksanaan
perjanjian asuransi.
a. Asas dan syarat yang berkaitan dengan terjadinya dan sahnya perjanjian
asuransi
Secara umum, sahnya suatu perjanjian diatur dan harus
memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Pasal 1320 KUH
Perdata beserta pasal-pasal yang lain yaitu Pasal 1321-1329 KUH
Perdata.
Setiap perjanjian, termasuk perjanjian asuransi harus memenuhi
syarat-syarat umum sebagai berikut48
:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
48
Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 97.
29
Keempat hal tersebut di atas tidak boleh dilakukan karena
adanya kekhilafan, paksaan ataupun karena tipuan49
.
Sedangkan untuk syarat khusus bagi perjanjian asuransi harus
memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Buku I Bab IX KUHD ialah50
:
a. Asas indemnitas“principle of indemnity”.
b. Asas kepentingan “principle of insurable interest”.
c. Asas kejujuran yang sempurna “utmost good faith”.
d. Asas subrogasi pada penanggung.
Ad. a. Asas Indemnitas“Principle of Indemnity"
Perjanjian pertanggungan mempunyai tujuan untuk
mencegah tertanggung dari menderita kerugian atau supaya
risiko yang dihadapinya diperalihkan kepada si penanggung.
Di dalam penggantian kerugian itu dipakai suatu asas yaitu
asas perseimbangan, yaitu perseimbangan antara risiko yang
akan diperalihkan kepada penanggung dengan kerugian yang
di derita oleh tertanggung sebagai akibat suatu peristiwa yang
tidak dapat diharapkan akan terjadinya.51
Asas indemnitas ini merupakan ketentuan lebih lanjut
dari adanya kepentingan. Jadi harus ada hubungan
kesinambungan antara kepentingan dan asas indemnitas,
bahwa tertanggung benar-benar mempunyai kepentingan
terhadap kemungkinan menderita kerugian karena terjadinya
peristiwa yang tidak diharapkan.52
Masih terkait dengan asas indemnitas atau prinsip
keseimbangan, Pasal 252 KUHD menentukan bahwa:
Kecuali dal hal-hal yang disebutkan dalam ketentuan-
ketentuan undang-undang, maka tak bolehlah diadakan
suatu pertanggungan kedua, untuk jangka waktu yang sudah
49
Ibid. 50
Ibid. 51
Emmy Pangaribuan. 1990. Op. Cit. hal. 64. 52
Sri Rejeki Hartono.2001. Op. Cit. hal. 99.
30
dipertanggungkan untuk harganya penuh, dan demikian itu
atas ancaman batalnya pertanggungan yang kedua tersebut.
Berdasarkan ketentuan di atas bahwa adalah batal
pertanggungan kedua atas suatu kepentingan yang telah
dipertanggungkan untuk nilai penuh pada saat di mana
pertanggungan kedua itu diadakan. Dengan tegas ketentuan
ini bertujuan untuk mencegah adanya penggantian kerugian
yang menjadi melebihi daripada kerugian yang diderita dan
mengharuskan adanya perseimbangan antara penggantian
kerugian dan nilai benda itu. Tetapi, di dalam Pasal 252
KUHD disebutkan pula tentang adanya perkecualian menurut
undang-undang yang terhadapnya dibolehkan adanya
pertanggungan yang rangkap itu.53
Menurut Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak,
pengecualian yang dimaksud oleh Pasal 252 KUHD adalah Pasal
277 KUHD. Pasal 277 KUHD menyebutkan:
Pasal 277 ayat (1) KUHD
Apabila berbagai penanggungan, dengan itikad baik,
telah diadakan mengenai satu-satunya barang, sedangkan
dalam pertanggungan yang pertama harga sepenuhnya telah
dipertanggungkan, maka hanya pertanggungan pertama itu
sajalah mengikat, sedangkan para penanggung yang
berikutnya dibebaskan.
Pasal 277 ayat (2) KUHD
Apabila dalam pertanggungan yang pertama itu tidak
dipertanggungkan harga sepenuhnya, maka para
penanggung yang berikut bertanggung jawab untuk harga
yang selebihnya, menurut tertib waktu ditutupnya
pertanggungan-pertanggungan yang berikut itu.
Ketentuan Pasal 277 KUHD ini adalah tepat sebagai
pengecualian Pasal 252 KUHD, karena beberapa
pertanggungan atas benda yang sama dengan kepentingan
yang sama dan untuk waktu yang sama dengan nilai penuh
daripada benda. Bagaimanapun juga larangan yang
disebutkan di dalam Pasal 252 KUHD itu harus pertama-tama
53
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 66.
31
diartikan bahwa undang-undang melarang tertanggung untuk
memperoleh penggantian kerugian berlipat ganda “double”
atau yang lebih daripada yang diderita. Kemungkinan
tertanggung menerima ganti rugi berlipat ganda inilah yang
sebenarnya ingin dicegah oleh pembentuk undang-undang
dengan ketentuan Pasal 252 KUHD itu.54
Ad. b. Asas Kepentingan“Principle of Insurable Interest”
Batasan atau pengertian kepentingan di dalam perjanjian
asuransi atau pertanggungan dapat dimulai dari pengertian
yang tidak langsung sebagai berikut yaitu seseorang dapat
dianggap mempunyai kepentingan di dalam perjanjian
asuransi ialah apabila orang tersebut dapat atau mungkin
menderita kerugian yang bersifat kerugian ekonomi, sehingga
dengan demikian kepentingan dapat pula diartikan sebagai
keterlibatan kerugian keuangan karena suatu peristiwa yang
belum pasti.55
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, mengenai
kepentingan, mengaturnya dalam dua pasal yaitu Pasal 250 dan
Pasal 268 KUHD.
Pasal 250 KUHD
Apabila seorang yang telah mengadakan suatu
pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang
untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat
diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai suatu
kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu,
maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti
rugi.
Pasal 268 KUHD
Suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan
yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh
54
Ibid. hal. 65-67. 55
Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 101.
32
sesuatu bahaya, dan tidak dikecualikan oleh undang-
undang.
Jadi pada hakikatnya, setiap kepentingan itu dapat
diasuransikan/dipertanggungkan, baik kepentingan yang
bersifat kebendaan atau kepentingan yang bersifat hak,
sepanjang memenuhi syarat yang diminta oleh Pasal 268
KUHD tersebut di atas, yaitu bahwa kepentingan itu dapat
dinilai dengan uang, dapat diancam bahaya dan tidak
dikecualikan oleh undang-undang.56
Ketentuan lain yang masih berkaitan dengan asas
kepentingan antara lain:
1) Pertanggungan mengikuti kepentingan
Pada dasarnya tiap-tiap pertanggungan terdapat
adanya unsur kepentingan, jika kepentingan tidak ada,
maka penanggung tidak berkewajiban untuk mengganti
kerugian (Pasal 250 KUHD). Dari ketentuan ini maka
timbul asas pertanggungan mengikuti kepentingan, yang
berarti bila kepentingan yang dipertanggungkan itu pindah
kepada orang lain, maka mulai saat itu pertanggungan
berjalan untuk keuntungan orang yang berkepentingan
baru itu (Pasal 263 KUHD).57
2) Pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga
Pasal 264 KUHD berbunyi:
Suatu pertanggungan tidak saja dapat ditutup atas
tanggungan sendiri, tetapi juga dapat ditutup atas
tanggungan seorang ketiga, baik berdasarkan suatu kuasa
umum atau khusus, maupun di luar pengetahuan si yang
berkepentingan sekalipun, dan demikian itu
mengindahkan ketentuan-ketentuan yang berikut.
Ketentuan pasal di atas menunjukkan bahwa
perjanjian pertanggungan juga dapat dilakukan untuk
56
Ibid. hal. 101. 57
H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 74.
33
kepentingan pihak ketiga berdasarkan pemberian kuasa
ataupun di luar pengetahuan si yang berkepentingan.
Pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga ini tentunya
harus tunduk pada ketentuan yang lainnya, dalam hal ini harus
melihat ketentuan Pasal 265, 266 dan 267 KUHD. Pasal 265
KUHD pada intinya menekankan bahwa pertanggungan untuk
kepentingan pihak ketiga harus tegas dinyatakan dalam polis
apakah berdasarkan pemberian kuasa atau tanpa sepengetahuan
si yang berkepentingan. Pasal 266 KUHD berisi batalnya
pertanggungan pihak ketiga, yaitu apabila si yang
berkepentingan juga mempertanggungkan sebelum ia
mengetahui tentang pertanggungan yang ditutup di luar
pengetahuannya itu. Sementara itu, Pasal 267 KUHD
menjelaskan bahwa jika dalam polis tidak disebutkan atas
tanggungan pihak ketiga, maka dianggap bahwa si tertanggung
telah membuat pertanggungan untuk dirinya sendiri.
Ad. c. Asas Kejujuran yang Sempurna“Utmost Good Faith”
Untuk istilah kejujuran yang sempurna dalam perjanjian
asuransi, lazim juga dipakai istilah-istilah lain yaitu itikad baik
yang sebaik-baiknya, “principle of utmost good faith atau
uberrimae fidei”.58
Asas kejujuran ini sebenarnya merupakan asas bagi
setiap perjanjian, sehingga harus dipenuhi oleh para pihak
58
Sri Rejeki Hartono. 2001 Op. Cit. hal. 103.
34
yang mengadakan perjanjian. Tidak dipenuhinya asas ini
pada saat akan menutup suatu perjanjian akan menyebabkan
adanya cacat kehendak, sebagaimana makna dari keseluruhan
ketentuan-ketentuan dasar yang diatur oleh Pasal-Pasal 1320-
1329 KUH Perdata. Bagaimanapun juga itikad baik
merupakan satu dasar utama dan kepercayaan yang melandasi
setiap perjanjian dan hukum pada dasarnya juga tidak
melindungi pihak yang beritikad buruk.59
Meskipun secara umum itikad baik sudah diatur
sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata, khusus
untuk perjanjian asuransi, masih dibutuhkan penekanan atas itikad
baik sebagaimana diminta oleh Pasal 251 KUHD.60
Pasal 251 KUHD
Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun
setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si
tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang
demikian sifatnya, sehingga seandainya si penanggung telah
mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak
akan ditutup dengan syarat-syarat yang sama,
mengakibatkan batalnya pertanggungan.
Secara umum, itikad baik yang sempurna dapat diartikan
bahwa masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang
akan disepakati, menurut hukum mempunyai kewajiban
untuk memberikan keterangan atau informasi yang
selengkap-lengkapnya, yang akan dapat mempengaruhi
keputusan pihak yang lain untuk memasuki perjanjian atau
tidak, baik keterangan yang demikian itu diminta atau tidak.
Jadi sebenarnya, secara adil kewajiban memberikan
keterangan dan informasi sebagai pencerminan itikad baik
yang sempurna itu harus dipenuhi kedua belah pihak, baik
pihak I/Penanggung/Perusahaan Asuransi maupun Pihak
II/Tertanggung/Pengambil Asuransi mempunyai beban
kewajiban sama dan seimbang.61
Pasal 251 KUHD secara sepihak hanya memberikan
kewajiban untuk memberikan keterangan dan informasi yang
59
Ibid. hal. 103. 60
Ibid. hal. 103. 61
Ibid. hal. 104.
35
benar kepada pihak II yaitu tertanggung atau pengambil
asuransi saja. Sedangkan pihak I/Penanggung sebaliknya
mendapat perlindungan terhadap pelanggaran asas itikad baik
yang sempurna dari tertanggung.62
Ad. d. Asas Subrogasi pada Penanggung
Asas subrogasi diatur secara tegas dalam Pasal 284
KUHD, yaitu:
Seorang penanggung yang telah membayar kerugian
sesuatu barang yang dipertanggungkan, menggantikan si
tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap
orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian
tersebut; dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab
untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si
penanggung terhadap orang-orang ketiga itu.
Asas subrogasi bagi penanggung, seperti diatur pada
Pasal 284 KUHD tersebut di atas adalah suatu asas yang
merupakan konsekuensi logis dari asas indemnitas.63
Mengingat tujuan perjanjian asuransi itu adalah untuk
memberi ganti kerugian, maka tidak adil apabila tertanggung,
karena dengan terjadinya suatu peristiwa yang tidak
diharapkan menjadi diuntungkan. Artinya tertanggung di
samping sudah mendapat ganti kerugian dari penanggung
masih memperoleh pembayaran lagi dari pihak ketiga
(meskipun ada alasan untuk itu).64
Subrogasi dalam asuransi adalah subrogasi berdasarkan
undang-undang.65
Dengan subrogasi ini penanggung yang telah
membayar ganti kerugian kepada tertanggung berdasarkan
perjanjian pertanggungan, dapat menuntut ganti kerugian itu
kepada orang yang oleh tertanggung dapat dituntut bertanggung
62
Ibid. hal. 104. 63
Ibid. hal. 107. 64
Ibid. hal. 107. 65
Ibid. hal. 107.
36
jawab atas kerugian yang diderita dan yang tuntutannya ini sudah
dilepaskannya karena ia telah menuntut dari penanggung.66
Oleh
karena itu, asas subrogasi hanya dapat ditegakkan apabila
memenuhi dua syarat berikut67
:
1. Apabila tertanggung disamping mempunyai hak terhadap
penanggung masih mempunyai hak-hak terhadap pihak ketiga.
2. Hak tersebut timbul, karena terjadinya suatu kerugian.
Permasalahan lain terkait dengan asas subrogasi adalah
apabila perjanjian pertanggungan tersebut ditutup dengan
pertanggungan dengan nilai sebagian. Artinya tertanggung hanya
mempertanggungkan sebagian saja dari kepentingannya dan
kerugian yang diderita oleh tertanggung tersebut tidak semuanya
diganti oleh penanggung.
Apabila ketentuan di atas mutlak diterapkan pada
keadaan bahwa semua hak-hak dari tertanggung terhadap
orang lain itu, diperalihkan kepada penanggung walaupun
penanggung hanya membayar kerugian sebagian saja, maka
secara logis tidak dapat diterima. Dengan demikian,
penanggung menjadi dapat menuntut lebih dari orang yang
bersalah itu daripada apa yang telah dibayarkannya kepada
tertanggung. Maka setelah melihat adanya kemungkinan yang
tidak baik di atas, tidaklah ada jalan lain yang lebih adil lagi
untuk menerapkan subrogasi itu terbatas, yang berarti kalau
penggantian kerugian itu hanya untuk sebagian saja dibayar
oleh penanggung, maka hanyalah dapat disubrogasikan untuk
sejumlah kerugian yang telah dibayarnya itu dan hak-hak
selebihnya tertanggung terhadap orang-orang yang bersalah
itu masih tetap dipegang tertanggung sendiri.68
66 Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 75. 67
Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 107. 68
Emmy Pangaribuan Simanjuntak.1990. Op. Cit. hal. 76.
37
Subrogasi tidak hanya dikenal dalam hukum
pertanggungan. Di dalam hukum perdata juga terdapat ketentuan-
ketentuan mengenai subrogasi yaitu dalam Pasal-Pasal 1400,
1401 dan 1403 KUH Perdata.
Pasal 1400 KUH Perdata
Subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang oleh
seorang pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang
itu, terjadi baik dengan persetujuan maupun demi undang-
undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 284 KUHD dan 1400 KUH
Perdata yang sama-sama mengatur mengenai subrogasi, dapat
dilihat bahwa terdapat perbedaan diantara kedua ketentuan
tersebut. Pada Pasal 1400 KUH Perdata bahwa hak subrogasi
berada pada pihak ketiga (setelah ia membayar), sedang
dalam pertanggungan subrogasi itu ada pada tangan
penanggung yang menjadi pihak lawan dari tertanggung di
dalam perjanjian pertanggungan itu, jadi bukan pada pihak
ketiga. Tehadap pihak ketigalah penanggung dapat
melaksanakan hak subrogasinya.69
b. Syarat yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian asuransi
Syarat-syarat agar penanggung bersedia memenuhi tanggung
jawabnya dengan melaksanakan prestasinya adalah sebagai berikut70
:
1. Adanya peristiwa yang tidak tertentu.
2. Hubungan sebab akibat.
3. Apakah ada yang memberatkan risiko.
4. Apakah ada cacat atau kebusukan atau sifat kodrat dari barang.
69
Ibid. hal.77. 70
Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 108.
38
5. Kesalahan tertanggung.
6. Nilai yang diasuransikan.
Ad. 1. Adanya Peristiwa yang Tidak Tentu
Peristiwa tidak tentu merupakan suatu peristiwa yang
menurut pengalaman manusia normaliter tidak dapat
diharapkan akan terjadinya. Di samping itu, peristiwa
tersebut secara subjektif sama sekali tidak dapat dipastikan
apakah terjadi atau tidak.71
Kerugian yang timbul di dalam pertanggungan itu
haruslah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa
yang tidak tertentu (peristiwa yang tidak pasti terjadi).
Apabila seorang tertanggung menuntut dari penanggung
penggantian kerugian, maka supaya ia dapat menerima ganti
kerugian itu, haruslah kerugian yang ditimbulkan suatu
peristiwa tidak tertentu itu.72
Beberapa pasal dalam KUHD menyebutkan sejumlah
bahaya-bahaya. Pasal 290 KUHD misalnya, menyebutkan
mengenai pertanggungan kebakaran dan Pasal 637 KUHD
untuk bahaya pertanggungan laut. Penyebutan peristiwa tidak
tentu yang disebutkan di dalam beberapa pasal di dalam
KUHD pada asasnya adalah bukan limitatif melainkan
numerik. Artinya di luar peristiwa yang disebutkan itu masih
dimungkinkan mengadakan pertanggungan atas peristiwa-
peristiwa lainnya.73
Ad. 2. Hubungan Sebab Akibat
Hubungan sebab akibat dalam asuransi adalah
penanggung hanya wajib membayar ganti rugi, apabila
kerugian atau kerusakan itu disebabkan oleh peristiwa yang
telah diperjanjikan. Jadi kerugian itu adalah sebagai akibat
dari suatu peristiwa yang tidak tertentu yang telah
diperjanjikan.74
Dalam hukum asuransi, dikenal beberapa teori yang
terkait dengan hubungan sebab akibat, yaitu:
71
Ibid. hal.109. 72 Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 51. 73
Ibid. hal. 52. 74
Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 112.
39
1) Teori Causa Proxima (penyebab yang terdekat)
Teori ini berpijak pada adagium “causa proxima non
remota spectatur”, yang berarti bahwa penyebab yang
paling dekat, paling akhir dengan kerugian yang dipakai
sebagai faktor penentu untuk dipertimbangkan dan bukan
penyebab terjauh.75
Menurut P.L Wery, teori ini mengandung kelemahan
karena di dalam beberapa kasus dapat menghilangkan
fakta yang terjadi dan dapat meniadakan tanggung jawab.
Misalnya fakta yang berkaitan dengan kesalahan sendiri
atau kekurang hati-hatian dari tertanggung sendiri.76
2) Teori Conditio Sine Qua Non (syarat yang tidak dapat
dihindari)
Menurut teori ini bahwa setiap fakta atau peristiwa
merupakan suatu hal yang tidak dapat ditiadakan, tanpa
meniadakan kerugian itu sendiri, sehingga dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tanpa kenyataan/fakta
termaksud, kerugian tidak akan terjadi. Jadi bahwa setiap
kenyataan yang terjadi merupakan penyebab dalam arti
yuridis.77
Teori ini mengandung kelemahan, karena melibatkan
setiap fakta/kenyataan yang terjauh sekalipun sebagai
penyebab. Secara yuridis, penentuan fakta sebagai faktor
penyebab haruslah sesuatu yang bersifat normatif, yang
ternyata sangat sulit andaikata sampai mundur pada suatu
sebab yang terjauh.78
3) Teori Adequat
Menurut teori ini suatu peristiwa adalah penyebab
kerugian apabila terdapat hubungan yang wajar/pantas
dengan kerugian, yaitu merupakan suatu akibat yang
pantas dan patut diduga berdasarkan peraturan atau
pengalaman yang ada atau berdasarkan kepantasan.
Pendapat ini juga menimbulkan berbagai kesulitan untuk
menentukan suatu peralihan di antara rentetan fakta yang
75
Ibid. hal. 113. 76
Ibid. hal. 113. 77
Ibid. hal. 114. 78
Ibid. hal. 114.
40
terjadi. Apabila rentetan fakta yang pantas adalah yang
paling jauh maka dapat berkembang sebagai teori sebab
yang terjauh atau “causa remota”.79
4) Teori Pembebasan
Teori ini menekankan sifat yang normatif dari
hubungan sebab akibat yang bersifat yuridis, artinya di
antara peristiwa-peristiwa dan kerugian harus ada/terdapat
suatu hubungan yang sedemikian rupa, sehingga sesuatu
kerugian menurut keadilan adalah sebagai akibat dari
suatu peristiwa yang dapat dibebankan kepada seseorang
yang bertanggung jawab. 80
Ad. 3. Apakah Ada yang Memberatkan Risiko
Pada hakikatnya, setiap perjanjian harus dilaksanakan
atas adanya itikad baik, demikian pula dengan perjanjian
asuransi. Kelalaian dari pihak tertanggung, dapat
mengakibatkan penanggung merasa tidak bertanggung jawab
untuk membayar ganti kerugian dengan alasan karena
kesalahan sendiri dari pihak tertanggung. Jadi sesuai dengan
ketentuan Pasal 251 KUHD, tertanggung tetap dalam
kewajiban sebagai “bapak yang baik” bagi benda/obyek
pertanggungan, supaya obyek tetap dalam konsidi yang
aman. Pengertian ini mencakup hal-hal bahwa ia tidak
diperkenankan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
memberatkan risiko yang sudah dialihkan kepada
penanggung berdasarkan perjanjian asuransi.81
Akibat lebih lanjut dari terdapatnya keadaan yang
memberatkan risiko adalah tidak dibayarnya ganti kerugian
sama sekali oleh penanggung, meskipun tertanggung benar-
benar secara nyata memang menderita kerugian. Oleh karena
itu, tertanggung mempunyai kewajiban sedemikian rupa,
bahwa agar dengan sungguh-sungguh telah berusaha
mencegah atau paling tidak mengurangi risiko yang mungkin
terjadi.82
79
Ibid. hal. 114. 80
Ibid. hal. 115. 81
Ibid. hal. 115. 82
Ibid. hal. 116.
41
Ad. 4. Apakah Ada Cacat atau Kebusukan atau Sifat Kodrat dari Barang
Terkait cacat atau kebusukan dari obyek pertanggungan
dapat kita lihat dalam Pasal 249 KUHD, yaitu:
Terhadap kerugian atau kehilangan yang langsung timbul
karena suatu cacat, kebusukan sendiri, atau karena sifat dan
kodrat dari barang-barang yang dipertanggungkan sendiri,
penanggung tidak pernah berkewajiban mengganti kecuali
bilamana dengan tegas dipertanggungkan terhadap itu.
Pasal ini bermaksud memberikan perlindungan kepada
penanggung terhadap bahaya-bahaya yang tidak datang dari
luar, tetapi berasal dari sifat-sifat yang secara alamiah
terkandung pada benda obyek asuransi/pertanggungan.
Ketentuan umum semacam ini, berlaku bagi semua jenis
asuransi, kecuali asuransi yang tidak mempunyai obyek
bahaya, misalnya asuransi kebakaran tidak menanggung
kerugian atas kerusakan pada barang-barang yang disebabkan
sifat kodrat dari barang-barang itu sendiri.83
Pada dasarnya kepada para pihak masih mempunyai
kebebasan untuk mengatur sendiri sesuai dengan
kebutuhannya. Dalam hal ini dengan tegas dapat
diperjanjikan bahwa kerugian yang disebabkan atau
ditimbulkan karena adanya cacat atau kebusukan sendiri atau
karena sifat dan kodrat dari barang yang bersangkutan, masih
tetap dapat dipertanggungkan atau diasuransikan. Oleh
penanggung ketentuan tersebut lazim dicantumkan sebagai
pengecualian tertentu atas tanggung jawab penanggung.84
Ad. 5. Kesalahan Tertanggung
Pada dasarnya batasan kesalahan tertanggung meliputi
cakupan yang relatif luas, karena dapat meliputi
kemungkinan kekurangan sendiri dan atau kesalahan sendiri.
Apabila terdapat kekurangan sendiri yang disebabkan karena
kelalaian (karena kurang hati-hati atau lengah atau tidak
seksama), dan atau kesalahan sendiri dari pihak tertanggung,
maka penanggung dapat dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti kerugian tetapi tetap masih berhak atas
premi yang telah ia terima.85
83
Ibid. hal. 117. 84
Ibid. hal. 117. 85
Ibid. hal. 118.
42
Pasal 276 KUHD menyebutkan bahwa:
Tiada kerugian atau kerusakan yang disebabkan karena
kesalahan si tertanggung sendiri harus ditanggung oleh si
penanggung. Bahkan berhaklah si penanggung itu memiliki
premi ataupun menuntutnya, apabila ia sudah mulai
memikul sesuatu bahaya.
Ad. 6. Nilai yang Diasuransikan
Sehubungan dengan adanya asas indemnitas atau
perseimbangan dalam asuransi, maka penanggung pada
hakikatnya hanya dapat mengikat dirinya tidak lebih dari
nilai riil yang dapat diasuransikan atau dipertanggungkan,
atau dengan perkataan lain, bahwa penanggung tidak dapat
mengikat dirinya lebih besar dari nilai kepentingan yang
sudah dinyatakan dengan uang. Disamping itu, penanggung
tidak boleh memberikan ganti rugi lebih dari nilai yang dapat
diasuransikan, apalagi tertangggung menjadi memperoleh
posisi ekonomi yang jelas lebih menguntungkan.86
Sehubungan dengan nilai yang dapat diasuransikan,
maka dapat dibedakan empat kemungkinan keadaan sebagai
berikut87
:
1) asuransi dengan nilai penuh
2) asuransi di atas harga/asuransi lebih
3) asuransi di bawah harga
4) asuransi ganda.
6. Polis
Undang-undang menentukan bahwa perjanjian asuransi harus
ditutup dengan suatu akta. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 255
KUHD yang menyebutkan bahwa:
86
Ibid. hal. 119. 87
Ibid. hal. 119-120.
43
Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta
yang dinamakan polis.
Namun demikian, ketentuan Pasal 257 ayat (1) KUHD
menyebutkan bahwa:
Perjanjian pertangggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup;
hak-hak dan kewajiaban-kewajiban bertimbal balik dari si
penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu,
bahkan sebelum polisnya ditandatangani.
Berdasarkan dua ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
polis bukan merupakan syarat adanya perjanjian pertanggungan, tetapi
hanya sebagai alat bukti adanya perjanjian pertanggungan, karena perjanjian
pertanggungan bersifat konsensuil dan sudah terjadi pada saat perjanjian
ditutup sebelum polis ditandatangani.
Pasal 258 KUHD menyebutkan bahwa:
Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan
pembuktian dengan tulisan; namun demikian bolehlah lain-lain alat
pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada suatu permulaan
pembuktian dengan tulisan.
Namun demikian bolehlah ketetapan-ketetapan dan syarat-syarat
khusus, apabila tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka
waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan polisnya,
dibuktikan dengan segala alat bukti; tetapi dengan pengertian bahwa
segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh
ketentuan-ketentuan undang-undang, atas ancaman-ancaman batal,
diharuskan penyebutannya dengan tegas dalam polis, harus dibuktikan
dengan tulisan.
Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam
undang-undang, mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian
asuransi, baik pada tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam
44
masa pelaksanaan perjanjian. Jadi polis tetap mempunyai arti yang
sangat penting di dalam perjanjian asuransi.88
Undang-undang menentukan bahwa polis dibuat dan
ditandatangani oleh penanggung sebagaimana diatur pada Pasal 256 ayat (2)
KUHD yaitu polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.
Polis yang telah ditandantangani penanggung harus diserahkan
kepada tertangggung sesuai dengan ketentuan Pasal 259 dan 260 KUHD.
Tenggang waktu penyerahan polis dari penanggung kepada tertanggung
adalah 24 jam. Apabila dengan perantara makelar harus diserahkan paling
lambat dalam waktu 8 hari.
Pasal 259 KUHD
Apabila suatu pertanggungan ditutup langsung antara si
tertanggung, atau seorang yang telah diperintahnya untuk itu atau
mempunyai kekuasaan untuk itu dan si penanggung maka haruslah
polisnya dalam waktu 24 jam setelah dimintanya ditandatangani oleh
pihak yang terakhir ini, kecuali apabila dalam ketentuan-ketentuan
undang-undang dalam suatu hal tertentu, ditetapkan suatu jangka
waktu yang lebih lama.
Pasal 260 KUHD
Apabila pertanggungan ditutup dengan perantaraan seorang
makelar, maka polis yang telah ditandatangani harus diserahkan di
dalam waktu delapan hari setelah ditutupnya perjanjian.
Undang-undang menentukan bahwa untuk setiap polis harus
memenuhi syarat-syarat minimal sebagaimana diatur oleh Pasal 256
KUHD sebagai syarat-syarat umum. Disamping syarat-syarat umum
setiap jenis polis sesuai dengan jenis asuransi masih harus ditambah
dengan syarat-syarat khusus pula.89
88
Ibid. hal. 124. 89
Ibid. hal. 125.
45
Pasal 256 ayat (1) KUHD menyebutkan:
Setiap polis, kecuali yang mengenai suatu pertanggungan jiwa,
harus menyatakan:
1. Hari ditutupnya pertanggungan;
2. Nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan sendiri
atau atas tanggungan seorang ketiga;
3. Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang
dipertanggungkan;
4. Jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan;
5. Bahaya-bahaya yang ditanggungkan oleh si penanggung;
6. Saat pada mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si
penanggung dan saat berakhirnya itu;
7. Premi pertanggungan tersebut, dan
8. Pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi si
penanggung untuk diketahuinya, dan segala syarat-syarat yang
diperjanjikan antara para pihak.
7. Premi
Pada definisi asuransi/pertanggungan disebutkan tentang “premi”
sebagai suatu prestasi dari pihak tertanggung kepada penanggung.
Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu persentase dari jumlah
yang dipertanggungkan, di mana tercermin penilaian risiko dari
penanggung. Perusahaan pertanggungan akan menentukan besarnya
premi itu dengan pertimbangan-pertimbangan yang dihubungkan
dengan jumlah yang dipertanggungkan. Biasanya premi ini dipenuhi
oleh tertanggung lebih dulu. Kalau pertanggungan ini adalah untuk
jangka waktu lama, maka diadakanlah pembayaran premi yang
periodik.90
Apabila premi tidak dibayar pada waktunya maka penanggung
dapat meminta pemecahan dari perjanjian pertanggungan itu seperti
yang ditentukan oleh Pasal 1266 KUH Perdata. Akan tetapi, di dalam
praktik selalu diusahakan jangan sampai pemecahan perjanjian itu
dilakukan berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata, karena jika
mendasarkan pada Pasal 1266 KUH Perdata, setiap kali ada kelalaian
pembayaran premi dari pihak-pihak tertanggung yang mungkin saja
sering terjadi, setiap kali itu pulalah penanggung harus menghadap di
muka hakim. Untuk mencegah itu, maka dalam praktik dipakailah
suatu klausula yang disebut “polis klausula” yang berisikan bahwa
pertanggungan itu tidak akan berjalan apabila premi tidak dibayar
pada waktunya.91
90
Emmy Pangaribuan Simanjuntak.1990. Op. Cit. hal. 41. 91
Ibid. hal. 41.
46
Fungsi dari premi itu merupakan harga pembelian dari tanggunagn
yang wajib diberikan oleh penanggung atau sebagai imbalan dari risiko
yang diperalihkan kepada penanggung, yang termasuk di dalamnya ialah92
:
1. Banyaknya kerugian yang mungkin akan diderita itu, yang kebanyakan
dipastikan di dalam suatu persentase dari jumlah pertanggungan.
2. Sejumlah uang sebagai penggantian dari ongkos-ongkos perusahaan dari
penanggung.
3. Provisie untuk orang perantara misalnya makelar dan juga untung bagi
penanggung serta suatu jumlah cadangan.
Premi yang telah dibayar oleh tertanggung kepada penanggung
dapat dituntut pengembaliannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk
sebagian jika asuransi gugur atau batal, sedangkan tertanggung telah
bertindak dengan itikad baik “in good faith”. Premi yang harus dibayar
kembali oleh penanggung itu disebut “premi restorno”.
Istilah “restorno” atau “ristorno” berasal dari bahasa Italia yang
artinya kembali. Jadi premi restorno artinya pengembalian uang
premi. Premi restorno adalah pembayaran kembali uang premi,
karena batalnya atau gugurnya perjanjian pertanggungan. Menurut
Pasal 1359 KUH Perdata, bila suatu perjanjian pertanggungan batal,
maka uang premi tidak perlu dibayar atau kalau sudah terlanjur
dibayar, dapat diminta kembali. Peraturan dalam hukum perdata
umum tersebut akan menyulitkan penanggung, karena tertanggung
dengan itikad jahatnya dapat menipu penanggung untuk
merugikannya. Kalau hal tersebut ketahuan, maka perjanjian
pertanggungan menjadi batal dan kalau batal maka segala hal harus
dipulihkan sebagai semula, sedangkan apabila itikad jahat itu tidak
ketahuan maka penanggung dapat dirugikan.93
92
Ibid. hal. 41-42. 93
H.M.N. Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 100.
47
Pengaturan dalam hukum perdata, apabila dihubungkan dengan
pertanggungan, ternyata bahwa aturan yang demikian itu tidak dapat
diterima dalam hukum pertanggungan, sebab akan menghadapkan
penanggung dalam risiko yang sangat besar. Hal tersebut akan
memungkinkan seorang tertanggung dengan daya upayanya
sedemikian rupa tanpa akan dihukum untuk memperoleh suatu
kesempatan membawa penanggung itu dalam suatu keadaan yang
menyebabkan tidak sahnya perjanjian pertanggungan itu. Penanggung
mungkin tidak akan dapat mengajukan pembuktian.94
Undang-undang mengatur tentang premi restoro yakni dalam Pasal
281 KUHD, yang menyebutkan bahwa:
Dalam segala hal dimana perjanjian pertanggungan itu untuk
seluruhnya atau sebagian gugur atau menjadi batal, sedangkan si
tertanggung telah beritikad baik, maka si penanggung diwajibkan
mengembalikan preminya untuk seluruhnya, ataupun untuk sebagian
yang sedemikian untuk mana ia tidak telah menghadapi bahaya.
B. ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR
1. Pengertian dan Pengaturan Asuransi Kendaraan Bermotor
Menurut Bab I Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 Tentang Lalu Llintas dan Angkutan Jalan, yang dimaksud dengan
kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan
mekanik berupa bensin selain yang berjalan di atas rel.
Pengertian dari pertanggungan kendaraan bermotor menurut Emmy
Pangaribuan Simanjuntak adalah pertanggungan yang menutup semua
bahaya-bahaya yang dapat menimbulkan kerugian bagi seseorang
sebagai pemilik mobil, pemeliharaan mobil dan kerugian-kerugian
yang timbul karena pemakaian mobil itu sendiri. Biasanya kerugian-
kerugian yang timbul karena bahaya-bahaya atas mobil itu dapat
ditutup masing-masing dalam satu pertanggungan atas satu polis, atau
beberapa polis menanggung tiap-tiap peristiwa dalam satu perjanjian
dengan suatu polis umum atau yang luas “comprehensive”yang
menggabungkan beberapa pertanggungan.95
94
Emmy Pangaribuan Simanjuntak.1990. Op. Cit. hal. 78. 95
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 93.
48
Dalam pertanggungan kendaraan bermotor ini kerugian yang dapat
dipertanggungkan dapat dibedakan atas96
:
a. Kerugian yang diderita oleh orang lain, misalnya:
- Kerugian karena luka-luka badan pada orang lain dan ini menjadi
tanggung jawab pemilik mobil.
- Kerugian membayar semua biaya pengobatan dari orang yang luka.
- Kerugian atas harta kekayaan orang lain dan ini menjadi tanggung
jawab pemilik mobil/kendaraan.
b. Kerugian atau kerusakan mobil/kendaraan sendiri:
- Kerugian karena tabrakan.
- Kerugian karena kebakaran, kilat atau halilintar dan pengangkutan.
- Karena pencurian
- Karena banjir dan gempa bumi.
Tidak seperti asuransi kebakaran yang mendapat pengaturan
khusus dalam KUHD, asuransi kendaraan bermotor adalah asuransi
kerugian yang tidak mendapat pengaturan khusus dalam KUHD. Karena
tidak mendapat pengaturan khusus, maka semua ketentuan umum asuransi
kerugian dalam KUHD berlaku terhadap asuransi kendaraan bermotor.
Disamping ketentuan umum mengenai asuransi kerugian, kesepakatan bebas
yang dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis, menjadi
dasar hubungan asuransi kendaraan bermotor antara tertanggung dan
penanggung. Polis ditandatangani oleh penanggung dan menjadi alat bukti
96
Ibid. hal. 94.
49
tertulis bagi kedua pihak untuk memenuhi kewajiban dan memperoleh hak
secara timbal balik.
2. Tujuan Asuransi Kendaraan Bermotor
Sejalan dengan tingginya mobilitas masyarakat dalam melakukan
kegiatannya, maka masyarakat dituntut untuk bergerak serba cepat. Dalam
rangka memenuhi kebutuhan mobilitasnya, masyarakat sangat
membutuhkan alat transportasi. Kebutuhan masayarakat akan alat
transportasi terutama kendaraan bermotor menjadi semakin tinggi.
Permintaan yang tinggi akan kendaraan bermotor mengakibatkan tingginya
jumlah kendaraan bermotor yang beredar di masyarakat. Jalanan menjadi
dipenuhi kendaraan bermotor sehingga menyebabkan kemacetan,
kecelakaan dan maraknya tindak kriminalitas.
Pemilik kendaraan bermotor tidak menginginkan sesuatu hal yang
buruk menimpa kendaraannya, seperti kerusakan ataupun hilang. Pemilik
kendaraan berusaha untuk menghindari kerugian dari peristiwa-peristiwa
yang tidak tentu. Cara yang dapat ditempuh untuk menghindari risko
tersebut adalah mengadakan perjanjian asuransi dengan perusahaan
asuransi.
Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian yang
bermotif ekonomis, artinya tertanggung menyadari betul bahwa
ancaman bahaya terhadap jiwa raganya. Apabila bahaya itu menimpa
harta benda miliknya atau jiwa raganya, maka tertanggung akan
menderita rugi atau menderita jiwa raganya. Untuk mengurangi atau
menghilangkan beban tersebut, tertanggung berusaha mencari jalan
apabila ada pihak lain yang ingin mengambil oper beban ancaman
bahaya itu dan ia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut
premi. Adanya perjanjian pertanggungan yang didasarkan pada motif
ekonomis tersebut, bertujuan untuk memperalihkan risiko dari
50
tertanggung kepada penanggung dengan imbalan bahwa penanggung
menerima sejumlah uang sebagai premi dari tertanggung.97
Sebagaimana tujuan asuransi pada umumnya, yaitu mengalihkan
risiko yang mungkin diderita oleh tertanggung kepada penanggung, maka
hal tersebut pun terjadi pada asuransi kendaraan bermotor. Pada asuransi
kendaraan bermotor, tertanggung mengalihkan risikonya kepada pihak
penanggung. Manakala terjadi evenemen atas mana dilakukan
pertanggungan, maka tertanggung berhak meminta ganti kerugian kepada
pihak penanggung. Dengan demikian, asuransi kendaraan bermotor
bertujuan untuk menjamin kerugian atau kerusakan pada harta benda dan
atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung disebabkan
oleh peristiwa yang tidak pasti atas mana dilakukan pertanggungan, yang
biasanya berupa tabrakan, benturan, terperosok, pencurian dan kebakaran.
Tujuan pertanggungan kendaraan bermotor menurut Emmy
Pangaribuan adalah untuk menutup semua bahaya-bahaya yang dapat
menimbulkan kerugian bagi seseorang sebagai pemilik mobil,
pemeliharaan mobil dan kerugian-kerugian yang timbul karena
pemakaian mobil itu sendiri.98
3. Polis Asuransi Kendaraan Bermotor
Polis asuransi kendaraan bermotor selain harus memenuhi syarat-
syarat umum Pasal 256 KUHD, juga harus memuat syarat-syarat khusus
yang hanya berlaku bagi asuransi kendaraan bermotor. Dengan demikian
syarat umum dan syarat khusus yang harus ada dalam polis asuransi
kendaraan bermotor yaitu99
:
97 Abdulkadir Muhammad. 1994. Op. Cit. hal. 23. 98
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1990. Op. Cit. hal. 93. 99
Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 181.
51
1. Hari dan tanggal kapan serta tempat dimana asuransi kendaraan bermotor
diadakan.
2. Nama tertanggung yang mengasuransikan kendaraan bermotor untuk diri
sendiri atau untuk kepentingan pihak ketiga.
3. Keterangan yang cukup jelas mengenai kendaraan bermotor yang
diasuransikan terhadap bahaya (risiko) yang ditanggung.
4. Jumlah yang diasuransikan terhadap bahaya (risiko) yang ditanggung.
5. Waktu asuransi kendaraan bermotor mulai berjalan dan berakhir yang
menjadi tanggungan penanggung.
6. Premi asuransi kendaraan bermotor yang dibayar oleh tertanggung.
7. Janji-janji khusus yang diadakan antara tertanggung dan penanggung.
Dalam polis standar asuransi kendaraan bermotor selain ketentuan
mengenai risiko yang ditanggung dan risiko yang tidak ditanggung, dimuat
juga syarat-syarat khusus tersebut adalah sebagai berikut100
:
1. Wilayah negara berlakunya asuransi kendaraan bermotor.
2. Pembayaran premi.
3. Pemberitahuan kecelakaan, tindakan pencegahan, tuntutan dari pihak
ketiga, tuntutan pidana terhadap tertanggung.
4. Kerugian, ganti kerugian, asuransi rangkap, laporan tidak benar,
subrogasi Pasal 284 KUHD dan hilangnya hak ganti kerugian.
5. Perselisihan dan arbitrase.
6. Berakhirnya asuransi kendaraan bermotor.
100
Ibid. hal. 181-182.
52
C. PT. ASURANSI UMUM BUMIPUTERA MUDA 1967
PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 (selanjutnya disebut
BUMIDA) didirikan atas ide pengurus AJB Bumiputera 1912 sebagai induk
perusahaan yang diwakili oleh Drs. H.I.K Suprakto dan Mohammad S.
Hasyim, MA sesuai dengan akte No. 7 tanggal 8 Desember 1967 dari Notaris
Raden Soerjono Wongsowidjojo, SH yang berkedudukan di Jakarta dan
diumumkan dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 15 tanggal
20 Februari 1970.101
Bumida memperoleh ijin operasional dari Direktorat Lembaga
Keuangan, Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri, Departemen Keuangan
Republik Indonesia No. KEP. 350/DJM/111.3/7/1973 tanggal 24 Juli 1973102
.
Sebagai suatu perusahaan asuransi yang besar, Bumida mempunyai
visi dan misi dalam menjalankan kegiatan usahanya. Visi Bumida yaitu
Menjadi Asuransi Umum yang memberikan nilai lebih bagi “stakeholder”.
Sementara Misinya yaitu menghasilkan bisnis dengan kualitas: menciptakan
SDM yang unggul; mengintegrasikan sistem dan teknologi informasi;
melakukan inovasi terus-menerus; mengembangkan jaringan layanan yang
luas; mengoptimalkan BUMIPUTERA group103
.
Produk-produk asuransi yang dikeluarkan oleh PT. Asuransi Umum
Bumiputera Muda bermacam-macam, yaitu104
:
101
NN. 2011. Sejarah (Online), (www.bumida.co.id, diakses 10 Agustus 2011) 102
Ibid. 103
NN. 2011. Visi Misi Budaya (Online), (www.bumida.co.id, diakses 10 Agustus
2011) 104
NN. 2011. Produk (Online), (www.bumida.co.id, diakses 10 Agustus 2011)
53
1. Produk Perorangan
a. Romahkoe
b. Mobilkoe
c. Motorkoe
d. Sehatkoe
2. Produk Korporasi
a. Siswakoe
b. Karyawankoe
c. Asuransi Kebakaran
d. Asuransi Kecelakaan Diri
e. Asuransi Kendaraan Bermotor
f. Asuransi Pengangkutan
g. Asuransi Kesehatan
h. Asuransi Mesin
i. Asuransi Aneka
j. Bonding (“Surety Bond & Customs Bond”)
3. Produk Khusus
a. Asuransi Kecelakaan Di Luar Hubungan Kerja
b. Asuransi Tanggung Gugat Dokter
c. Wargakoe.
54
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode merupakan cara kerja yang bersistem yang dimaksudkan
untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang telah ditentukan.105
Metode pendekatan yang dipakai
dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum
kepustakaan.106
Dalam penelitian ini peneliti mengkonsepsikan hukum sebagai
suatu sistem normatif yang bersifat otonom dan tertutup serta terlepas dari
kehidupan hukum masyarakat.107
Metode pendekatan di atas digunakan dengan
mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan
perundangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lainnya serta
kaitannya dengan penerapannya dalam praktik.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
deskriptif108
yaitu penelitian yang hanya menggambarkan objek atau
105
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), hal. 652. 106
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), hal. 14. 107 Ronny Hanitijo Soemitro, Metododologi Penelitian Hukum dan Jurumetri (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990), hal. 13-14. 108
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2007), hal. 7.
55
masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.
Penelitian ini berusaha menggambarkan peristiwa “in concreto” yang
dikonsultasikan pada seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan
kaitannya dengan masalah yang menjadi objek penelitian.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jenderal
Soedirman, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas HukumUniversitas Jenderal
Soedirman dan PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto.
D. Jenis Data
Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan data sekunder saja
untuk membangun penelitian dan untuk mendapatkan hasil yang obyektif dari
penelitian. Data sekunder dibagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer adalah semua aturan hukum yang dibentuk
dan/atau dibuat secara resmi lemabaga negara, dan/atau badan-badan
pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa
yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara. Dalam penulisan ini,
bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai asuransi atau pertanggungan. Peraturan
perundang-undangan yang digunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
56
Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Perasuransian.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder adalah seluruh informasi tentang hukum
yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negara. Bahan hukum ini
terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum yang
berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana dan kasus-kasus
hukum.109
Dalam penulisan ini, bahan hukum sekunder yang digunakan
berupa buku-buku teks yang berkaitan dengan pertanggungan atau asuransi
dan artikel-artikel yang berasal dari situs-situs internet serta materi kuliah
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Di sini
penulis menggunakan kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia untuk
mempermudah dalam memahami penelitian.
E. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder diperoleh dengan menggunakan studi kepustakaan.
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari peraturan-peraturan,
dokumen resmi, buku-buku literatur, jurnal, makalah ilmiah dan karya tulis
ilmiah yang telah diinventarisasi. Pengumpulan bahan hukum tersebut akan
109
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Kencana, 2005), hal.
142.
57
penulis klasifikasikan atau kategorisasikan bentuk-bentuk atau format bahan
hukum agar lebih mudah dipahami dalam penelitian.
F. Metode Penyajian Data
Data dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara teks naratif.
Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan antara satu dengan yang
lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang menjadi objek
penelitian, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan metode
analisis normatif kualitatif, yaitu analisis atau pembahasan yang dilakukan
dengan cara menjabarkan dan memberikan interpretasi terhadap bahan-bahan
hukum yang diperoleh dengan mendasarkan pada norma-norma yang berlaku
atau pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku untuk dihubungkan dengan
pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor,
kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan “legal facts” yang
dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh
kesimpulan terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian.
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis pada asuransi
kendaraan bermotor “Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda
1967 Cabang Purwokerto, diperoleh data-data sebagai berikut:
1. Para Pihak
Berdasarkan Polis Motorkoe Umum Ikhtisar Pertanggungan, maka
dapat diketahui bahwa para pihak dalam asuransi kendaraan bermotor
“Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang
Purwokerto, yaitu:
1.1 Pihak Tertanggung
Pihak Tertanggung adalah pemilik yang mempunyai
kepentingan terhadap kendaraan bermotor yang dipertanggungkan.
Pada asuransi “Motorkoe” ini yang berhak menjadi tertanggung adalah
hanya orang perorangan atau pribadi.
1.2 Pihak Penanggung
Pihak Penanggung adalah PT. Asuransi Umum Bumiputera
Muda 1967 Cabang Purwokerto.
59
2. Objek Pertanggungan
Objek pertanggungan atau benda pertanggungan dalam asuransi
kendaraan bermotor “Motorkoe” adalah kendaraan bermotor beroda dua.
Berdasarkan Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA), kendaraan yang
tidak dijamin dalam asuransi ini adalah kendaraan beroda dua yang
digunakan untuk pemakaian untuk disewakan atau komeril dan motor gede.
3. Tujuan Pertanggungan
Tujuan Pertanggungan adalah untuk memperalihkan risiko
kendaraan bermotor beroda dua milik tertanggung kepada penanggung yaitu
PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto terhadap
peristiwa tidak tentu yang telah disepakati kedua belah pihak.
4. Besarnya Pertanggungan
Besarnya harga pertanggungan ini adalah sesuai dengan harga
pasar kendaraan pada saat dipertanggungkan. Penentuan harga kendaraan
sesaat sebelum dilakukan perjanjian pertanggungan dilakukan oleh
penanggung.
5. Jangka Waktu Pertanggungan
Lamanya jangka waktu pertanggungan pada asuransi kendaraan
bermotor “Motorkoe” adalah 366 (tiga ratus enam puluh enam) hari.
6. Ketentuan Asuransi Kendaraan Bermotor Motorkoe
Manfaat atau jaminan pada asuransi kendaraan bermotor
“Motorkoe” adalah kerugian total atau “total loss only”(TLO). Selain itu,
manfaat atau jaminan lain yang dijamin dalam asuransi “Motorkoe” terdiri
60
dari tanggung jawab hukum pihak ketiga, santunan meninggal dunia akibat
kecelakaan bagi pengemudi, santunan meninggal dunia akibat kecelakaan
bagi penumpang, santunan biaya pengobatan akibat kecelakaan bagi
pengemudi, santunan biaya pengobatan akibat kecelakaan bagi penumpang,
santunan cacat tetap bagi pengemudi dan santunan pengurusan dokumen.
6.1 Jaminan
Berdasarkan Pasal 1 tentang Jaminan Terhadap Kendaraan
Bermotor pada Polis Standar Kendaraan Bermotor Indonesia,
Pertanggungan atau asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” ini
menjamin:
Ayat 1: Kerugian dan atau kerusakan pada kendaraan bermotor dan
atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara
langsung disebabkan oleh:
1.1 tabrakan, benturan, terbalik, tergelincir atau terperosok;
1.2 perbuatan jahat;
1.3 pencurian, termasuk pencurian yang didahului atau
disertai atau diikuti dengan kekerasan ataupun ancaman
kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362, 363
ayat (3), (4), (5) dan Pasal 365 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana;
1.4 kebakaran, termasuk:
61
1.4.1 kebakaran akibat kebakaran benda lain yang
berdekatan atau tempat penyimpanan Kendaraan
Bermotor;
1.4.2 kebakaran akibat sambaran petir;
1.4.3 kerusakan karena air dan atau alat-alat lain yang
dipergunakan untuk mencegah atau memadamkan
kebakaran;
1.4.4 dimusnahkannya seluruh atau sebagian Kendaraan
Bermotor atas perintah pihak yang berwenang
dalam upaya pencegahan menjalarnya kebakaran
itu.
Ayat 2: Kerugian dan atau kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa
yang tersebut dalam ayat (1) Pasal ini selama Kendaraan
Bermotor yang bersangkutan berada di atas kapal untuk
penyeberangan yang berada di bawah pengawasan Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat, termasuk kerugian dan atau
kerusakan yang diakibatkan kapal bersangkutan mengalami
kecelakaan.
Pasal 2 tentang Jaminan Tanggung Jawab Hukum Terhadap
Pihak Ketiga pada Polis standar Asuransi Kendaraan Bermotor
Indonesia, menyebutkan:
Penanggung memberikan ganti rugi atas:
62
Ayat 1: Tanggung jawab hukum Tertanggung terhadap kerugian yang
diderita pihak ketiga yang secara langsung disebabkan oleh
Kendaraan Bermotor sebagai akibat risiko yang dijamin Pasal
1 ayat (1) butir 1.1 dan 1.4, baik penyelesaiannya melalui
proses musyawarah, mediasi, arbitrase atau pengadilan,
dengan syarat telah mendapat persetujuan tertulis terlebih
dahulu dari Penanggung, yaitu:
1.1 kerusakan atas harta benda;
1.2 biaya pengobatan, cidera badan dan atau kematian;
maksimum sebesar harga pertanggungan untuk jaminan
Tanggung Jawab Hukum terhadap Pihak Ketiga
sebagaimana yang dicantumkan dalam polis.
Ayat 2: Biaya perkara atau biaya bantuan para ahli yang berkaitan
dengan tanggung jawab hukum Tertanggung dengan syarat
mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
Penanggung. Tanggung Jawab Penanggung atas biaya
tersebut, setinggi-tingginya 10% (sepuluh persen) dari limit
pertanggungan Tanggung Jawab Hukum terhadap Pihak
Ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini.
6.2 Pengecualian
Berdasarkan BAB II tentang Pengecualian pada Polis Standar
Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, Pasal 3 menyebutkan
bahwa:
63
Ayat 1: Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian, kerusakan, biaya
atas Kendaraan Bermotor dan atau tanggung jawab hukum
terhadap pihak ketiga, yang disebabkan oleh:
1.1 kendaraan digunakan untuk:
1.1.1 menarik atau mendorong kendaraan atau benda
lain, memberi pelajaran mengemudi;
1.1.2 turut serta dalam perlombaan, latihan, penyaluran
hobi kecakapan atau kecepatan, karnaval, pawai,
kampanye, unjuk rasa;
1.1.3 melakukan tindak kejahatan;
1.1.4 penggunaan selain yang dicantumkan dalam polis:
1.2 penggelapan, penipuan, hipnotis dan sejenisnya;
1.3 perbuatan jahat yang dilakukan oleh:
1.3.1 suami atau istri, anak, orang tua atau saudara
sekandung Tertanggung;
1.3.2 orang yang disuruh Tertanggung bekerja pada
Tertanggung, orang yang sepengetahuan atau
seizin Tertanggung;
1.3.3 orang yang tinggal bersama Tertanggung;
1.4 kelebihan muatan dari kapasitas kendaraan yang telah
ditetapkan pabrikan.
Ayat 3: Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian, kerusakan dan
atau biaya atas Kendaraan Bermotor dan atau tanggung jawab
64
hukum terhadap pihak ketiga yang langsung maupun tidak
langsung disebabkan oleh, akibat dari, ditimbulkan oleh:
3.1 kerusuhan, pemogokan, penghalangan bekerja, tawuran,
huru-hara, pembangkitan rakyat, pengambilalihan
kekuasaan, revolusi, pemberontakan, kekuatan militer,
invansi, perang saudara, makar, terorisme, sabotase,
penjarahan;
3.2 gempa bumi, letusan gunung berapi, angin topan, badai
tsunami, hujan es, banjir, genangan air, tanah longsor
atau gejala geologi atau meteorologi lainnya;
3.3 reaksi nuklir, termasuk tetapi tidak terbatas pada radiasi
nuklir atau pencemaran radio aktif, tanpa memandang
apakah itu terjadi di dalam atau di luar Kendaraan
Bermotor dan atau kepentingan yang dipertanggungkan.
Ayat 4: Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian, kerusakan dan
atau biaya atas Kendaraan Bermotor dan atau tanggung jawab
hukum terhadap pihak ketiga jika:
4.1 disebabkan oleh tindakan sengaja Tertanggung dan atau
pengemudi;
4.2 pada saat terjadinya kerugian atau kerusakan, Kendaraan
Bermotor dikemudikan oleh seseorang yang tidak
memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
65
4.3 dikemudikan oleh seorang yang berada di bawah
pengaruh minuman keras, obat terlarang atau sesuatu
bahan lain yang membahayakan;
4.4 dikemudikan secara paksa walaupun secara teknis
kondisi kendaraan dalam keadaan rusak atau tidak layak
jalan;
4.5 memasuki atau melewati jalan tertutup, terlarang, tidak
diperuntukkan untuk Kendaraan Bermotor atau
melanggar rambu-rambu lalu-lintas.
Ayat 5: Pertanggungan ini tidak menjamin kerugian dan atau
kerusakan atas:
5.1 perlengkapan tambahan yang tidak disebutkan pada
Polis;
5.2 ban, velg, dop yang tidak disertai kerusakan pada bagian
lain Kendaraan Bermotor kecuali yang disebabkan oleh
risiko yang dijamin pada Pasal 1 ayat (1) butir 1.2, 1.3
dan 1.4;
5.3 kunci dan bagian lainnya dari Kendaraan Bermotor pada
saat tidak melekat atau berada di dalam kendaraan
tersebut;
5.4 bagian atau material Kendaraan Bermotor yang aus
karena pemakaian, sifat kekurangan material sendiri atau
salah dalam pemakaiannya;
66
5.5 Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor (BPKB) dan surat-surat lain
Kendaraan Bermotor.
6.3 Penentuan Nilai Ganti Rugi
Berdasarkan Pasal 15 tentang Penentuan Nilai Ganti Rugi
pada Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, pada
ayat (2) menyebutkan:
Ayat 2: Kerugian total adalah berdarakan harga sebenarnya.
2.1 Kerugian Total terjadi jika:
2.1.1 kerusakan dan atau kerugian karena suatu peristiwa
yang dijamin oleh Polis dimana biaya perbaikan,
penggantian atau pemulihan ke keadaan semula
sesaat sebelum terjadinya kerugian dan atau
kerusakan sama dengan atau lebih tinggi dari 75%
(tujuh puluh lima persen) dari harga sebenarnya,
atau
2.1.2 hilang karena pencurian sebagaimana dimaksud
pada Pasal 1 ayat (1) butir 1.3 dan tidak
diketemukan dalam waktu 60 (enam puluh) hari
sejak terjadinya pencurian;
2.2 Jika terjadi Pertanggungan di bawah harga sebagaimana
dimaksud Pasal 17 dan Tertanggung telah menerima
pembayaran ganti rugi dari Penanggung sebesar Harga
67
Pertanggungan, Tertanggung berhak atas sebagian nilai
jual sisa barang yang dihitung secara proporsional antara
selisih harga sebenarnya dengan Harga Pertanggungan
terhadap harga sebenarnya.
2.3 Jika suatu kerugian tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir 2.1 pasal ini,
kerugian tersebut dianggap sebagai kerugian sebagian.
6.4 Cara Penyelesaian dan Penetapan Ganti Rugi
Berdasarkan Pasal 16 tentang Cara Penyelesaian dan
Penetapan Ganti Rugi pada Polis Strandar Asuransi Kendaraan
Bermotor Indonesia, menyebutkan bahwa:
Ayat 1: Dalam hal terjadi kerugian dan atau kerusakan atas
Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang
dipertanggungkan, Penanggung berhak menentukan
pilihannya atas cara melakukan ganti rugi sebagai berikut:
1.1 perbaikan di bengkel yang ditunjuk atau disetujui oleh
Penanggung;
1.2 pembayaran uang tunai;
1.3 penggantian suku cadang atau kendaraan sesuai dengan
merk, tipe, model dan tahun yang sama sebagaimana
tercantum pada polis.
Ayat 2: Tanggung jawab Penanggung atas kerugian dan atau
kerusakan terhadap kendaraan dan atau kepentingan yang
68
dipertanggungkan setinggi-tingginya adalah sebesar Harga
Pertanggungan.
Ayat 3: Perhitungan besarnya kerugian setinggi-tingginya sebesar
selisih antara harga sebenarnya sesaat sebelum dengan harga
sebenarnya sesaat setelah terjadinya kerugian dan atau
kerusakan.
Ayat 4: Dalam hal terjadi kerugian, Tertanggung wajib melunasi
premi yang masih terhutang untuk masa pertanggungan yang
masih berjalan.
6.5 Kewajiban dan Hak Para Pihak
6.6.1 Kewajiban Tertanggung
a. Berdasarkan Pasal 6 tentang Kewajiban Untuk
Mengungkapkan Fakta pada Polis Standar Asuransi
Kendaraan Bermotor Indonesia, menyebutkan bahwa:
Ayat 1: Tertanggung wajib:
1.1 Menggunakan fakta material yaitu informasi,
keterangan, keadaan dan fakta yang
mempengaruhi pertimbangan Penanggung
dalam menerima atau menolak suatu
permohonan penutupan asuransi dan dalam
menerapkan suku premi apabila permohonan
dimaksud diterima;
69
b. Berdasarkan Pasal 7 tentang Pembayaran Premi pada Polis
Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia,
menyebutkan bahwa:
Ayat 1: Merupakan syarat dari tanggung jawab Penanggung
atas jaminan asuransi berdasarkan polis ini, setiap
premi terhutang harus sudah dibayar lunas secara
nyata telah diterima seluruhnya oleh Penanggung,
dalam hal:
1.1 jangka waktu pertanggungan 30 (tiga puluh)
hari atau lebih, maka pelunasan pembayaran
premi harus dilakukan dalam tenggang waktu
14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak
tanggal mulai berlakunya polis.
Ayat 2: Pembayaran premi dapat dilakukan dengan cara
tunai, cek, bilyet giro, transfer atau dengan cara lain
yang disepakati antara Penanggung dan
Tertanggung.
Penanggung dianggap telah menerima pembayaran
premi, pada saat:
2.1 diterimanya pembayaran tunai, atau
2.2 Premi bersangkutan sudah masuk ke rekening
bank Penanggung, atau
70
2.3 Penanggung telah menyepakati pelunasan premi
bersangkutan secara tertulis.
c. Berdasarkan Pasal 11 tentang Kewajiban Tertanggung Dalam
Hal Terjadi Kerugian Dan Atau Kerusakan pada Polis
Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia,
menyebutkan bahwa:
Ayat 1: Tertanggung setelah mengetahui atau seharusnya
mengetahui adanya kerugian dan atau kerusakan atas
Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang
dipertanggungkan, wajib:
1.1 memberitahu Penanggung secara tertulis atau
secara lisan yang diikuti dengan tertulis kepada
Penanggung selambat-lambatnya 5 (lima) hari
kalender sejak terjadinya kerugian dan atau
kerusakan;
1.2 melaporkan kepada dan mendapat surat
keterangan dari serendah-rendahnya Kepolisian
Sektor (Polsek) di tempat kejadian, jika terjadi
kerugian dan atau kerusakan sebagian yang
disebabkan oleh pencurian atau melibatkan
pihak ketiga;
1.3 melaporkan kepada dan mendapat surat
keterangan dari Kepolisian Daerah (Polda) di
71
tempat kejadian dalam hal kerugian total akibat
pencurian.
Ayat 2: Jika Tertanggung dituntut oleh pihak ketiga
sehubungan dengan kerugian dan atau kerusakan
yang disebabkan oleh Kendaraan Bermotor, maka
Tertanggung wajib:
2.1 memberitahu Penanggung tentang adanya
tuntutan tersebut selambat-lambatnya 5 (lima)
hari kalender sejak tuntutan tersebut diterima;
2.2 menyerahkan dokumen tuntutan pihak ketiga
dan menyerahkan surat laporan Kepolisian
Sektor (Polsek) di tempat kejadian;
2.3 memberikan surat kuasa kepada Penanggung
untuk mengurus tuntutan ganti rugi dari pihak
ketiga, jika Penanggung menghendaki;
2.4 Tidak memberikan janji, keterangan atau
melakukan tindakan yang menimbulkan kesan
bahwa Tertanggung mengakui suatu tanggung
jawab.
Ayat 3: Pada waktu terjadi kerugian dan atau kerusakan,
Tertanggung wajib:
3.1 melakukan segala usaha yang patut guna
menjaga, memelihara, menyelamatkan
72
Kendaraan Bermotor dan atau kepentingan yang
dipertanggungkan serta mengizinkan pihak lain
untuk menyelamatkan Kendaraan Bermotor dan
atau kepentingan tersebut;
3.2 memberikan bantuan dan kesempatan
sepenuhnya kepada Penanggung atau Kuasa
Penanggung atau pihak lain yang ditunjuk oleh
Penanggung untuk melakukan penelitian atas
kerugian dan atau atas kerusakan yang terjadi
atas Kendaraan Bermotor sebelum dilakukan
perbaikan atau penggantian;
3.3 mengamankan Kendaraan Bermotor dan atau
kepentingan yang dipertanggungkan yang dapat
diselamatkan.
6.6.2 Hak Penanggung
a. Berdasarkan Pasal 6 tentang Kewajiban Untuk
Mengungkapkan Fakta pada Polis Standar Asuransi
Kendaraan Bermotor Indonesia, menyebutkan bahwa:
Ayat 2: Jika Tertanggungtidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana diatur dalam ayat (1), Penanggung
tidak wajib membayar kerugian yang terjadi dan
berhak menghentikan pertanggungan serta tidak
wajib mengembalikan premi.
73
b. Berdasarkan Pasal 7 tentang Pembayaran Premi pada Polis
Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia,
menyebutkan bahwa:
Ayat 3: Jika Tertanggung tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud ayat (1), polis ini berakhir
dengan sendirinya sejak berakhirnya tenggang waktu
tersebut tanpa kewajiban bagi Penanggung untuk
menerbitkan endosemen dan Penanggung
dibebaskan dari semua tanggung jawab berdasarkan
polis.
Namun demikian Tertanggung tetap berkewajiban
membayar premi sebesar 20% (dua puluh persen)
dari premi satu tahun.
c. Berdasarkan Pasal 9 tentang Pemeriksaan pada Polis Standar
Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, menyebutkan
bahwa Penanggung berhak melakukan pemeriksaan atas
Kendaraan Bermotor setiap saat selama jangka waktu
pertanggungan.
6.7 Manfaat atau Jaminan Plus Asuransi Kendaraan Motorkoe
Berdasarkan Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA),
selain Kerugian Total yang dijamin dalam Asuransi Kendaraan
Bermotor Motorkoe, manfaat atau jaminan lain yang dijamin dalam
polis Asuransi Motorkoe yaitu:
74
Tabel 1. Manfaat atau Jaminan Plus Asuransi Kendaraan
Motorkoe
No. Manfaat atau Jaminan Plus Nominal
1. Tanggung jawab hukum Pihak Ketiga. Rp 1.000.000,-
2. Santunan meninggal dunia akibat
kecelakaan bagi Pengemudi.
Rp 2.000.000,-
3. Santunan meninggal dunia akibat
kecelakaan bagi Penumpang
Rp 1.000.000,-
4. Santunan biaya pengobatan akibat
kecelakaan bagi Pengemudi
Rp 150.000/thn
5. Santunan biaya pengobatan akibat
kecelakaan bagi Penumpang
Rp 150.000/thn
6. Santunan cacat tetap bagi Pengemudi Rp 1.000.000,-
7. Santunan pengurusan dokumen Rp 350.000,-
Sumber : PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang
Purwokerto.
Risiko yang harus ditanggung sendiri dalam Asuransi
Motorkoe, yaitu:
1. Risiko sendiri akibat kecelakaan Nol
2. Risiko sendiri akibat kecurian Rp 100.000,-
Penjelasan manfaat atau jaminan plus yaitu:
1. Tanggung jawab hukum yang timbul dari tuntutan Pihak Ketiga
yang dirugikan dan dapat dibuktikan secara tertulis akibat
75
kecelakaan dari kendaraan yang dijamin dalam polis maksimum Rp
1.000.000,-/tahun dan sebatas kerugian harta benda dan kerugian
cedera badan.
2. Santunan meninggal dunia bagi pengendara dan penumpang (satu
orang) akibat kecelakaan dalam mengendarai kendaraan yang
dijamin dalam polis untuk mengemudi sebesar Rp 2.000.000,- dan
penumpang Rp 1.000.000,- maksimal satu kali dalam satu tahun.
3. Santunan biaya pengobatan bagi pengemudi dan penumpang yang
diakibatkan kecelakaan masing-masing sebesar Rp 150.000,-
maksimal satu kali dalam satu tahun.
4. Santunan pengurusan dokumen/surat untuk kehilangan kendaraan
yang dijamin dalam polis Rp 350.000,- (dibayarkan bersama
pembayaran klaim).
6.8 Premi
Tabel 2. Premi Asuransi Motorkoe
No.
Harga Kendaraan
(pembulatan ke atas)
Premi Umum Premi Khusus
1. 5.000.000 170.000 155.000
2. 6.000.000 200.000 182.000
3. 7.000.000 230.000 209.000
4. 8.000.000 260.000 236.000
5. 9.000.000 290.000 263.000
6. 10.000.000 320.000 290.000
76
Lanjutan
7. 11.000.000 350.000 317.000
8. 12.000.000 380.000 344.000
9. 13.000.000 410.000 371.000
10. 14.000.000 440.000 398.000
11. 15.000.000 470.000 425.000
12. 16.000.000 500.000 452.000
13. 17.000.000 530.000 479.000
14. 18.000.000 560.000 506.000
15. 19.000.000 590.000 533.000
16. 20.000.000 620.000 560.000
17. 21.000.000 650.000 587.000
18. 22.000.000 680.000 614.000
19. 23.000.000 710.000 641.000
20. 24.000.000 740.000 668.000
21. 25.000.000 770.000 695.000
22. 26.000.000 800.000 722.000
23. 27.000.000 830.000 749.000
24. 28.000.000 860.000 776.000
25. 29.000.000 890.000 803.000
26. 30.000.000 920.000 830.000
27. 31.000.000 950.000 857.000
77
Lanjutan
28. 32.000.000 980.000 884.000
29. 33.000.000 1.010.000 911.000
30. 34.000.000 1.040.000 938.000
31. 35.000.000 1.070.000 965.000
32. 36.000.000 1.100.000 992.000
33. 37.000.000 1.130.000 1.019.000
34. 38.000.000 1.160.000 1.046.000
Sumber : PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang
Purwokerto.
6.9 Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA)
Penutupan asuransi kendaraan bermotor Motorkoe di PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto
dilakukan dengan cara pemohon atau calon tertanggung mengisi
formulir SPPA. Adapun isi SPPA adalah sebagai berikut:
1. Nomor polis Bumiputera/Bumida.
2. Nomor rekening Bank Bumiputera.
3. Data calon pemegang polis/peserta:
a. Nama lengkap.
b. Alamat.
c. Tanggal lahir.
d. Email.
e. Nomor telepon/handphone.
78
f. Pekerjaan.
g. Penghasilan per tahun.
h. Sumber penghasilan.
i. Kewarganegaraan.
j. Nama dan nomor rekening bank.
4. Data Kendaraan
a. Merk.
b. Jenis.
c. Tahun.
d. Nomor polisi.
e. Nomor rangka.
f. Nomor mesin.
g. Harga kendaraan.
5. Pilihan Paket
a. Jenis paket.
b. Jangka waktu.
6. Tempat dan tanggal dibuat SPPA.
7. Nama dan tanda tangan pemohon.
6.10 Dokumen Pendukung Klaim Asuransi
1. Dalam Hal Total Loss Karena Pencurian
a. Klaim form yang ditandatangani tertanggung (form dari
Bumida).
b. Polis asli dan kwitansi polis asli.
79
c. Copy SIM dan KTP pengendara pada saat terjadi kecelakaan.
d. STNK asli dan kunci kontak.
e. BPKB asli.
f. Faktur pembelian.
g. Laporan polisi setempat (tempat lokasi kejadian).
h. Berita Acara Pemeriksaan dari kepolisian setempat.
i. Laporan kejadian dari Polres.
j. Laporan Kemajuan (LAPJU) dari Polwil.
k. Surat blokir STNK.
l. Tiga lembar kwitansi kosong yang sudah ditandatangani oleh
tertanggung (satu lembar bermaterai cukup).
m. Letter of Subrogation (surat penyerahan subrogasi).
2. Dalam Hal Total Loss Karena Kecelakaan
a. Klaim form yang ditandatangani tertanggung atau ahli waris
keluarga (form dari Bumida).
b. Polis asli, kwitansi polis asli
c. Copy SIM dan atau KTP pengendara pada saat terjadi
kecelakaan.
d. STNK asli dan kunci kontak.
e. BPKB asli.
f. Faktur pembelian.
g. Surat keterangan kejadian dari polisi setempat.
h. Denah tempat terjadinya kejadian.
80
i. Foto fisik kendaraan yang rusak.
j. Estimasi perbaikan bengkel.
k. Tiga lembar kwitansi kosong yang sudah ditandatangani oleh
tertanggung (satu lembar bermaterai cukup).
l. Letter of Subrogation (surat penyerahan subrogasi).
3. Dalam Hal Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga
a. Klaim form yang ditandatangani tertanggung (form dari
Bumida).
b. Copy polis dan copy kwitansi polis.
c. Copy SIM pengendara saat terjadi kejadian.
d. Copy SIM atau KTP dan STNK pihak ketiga.
e.Laporan polisi setempat yang juga menegaskan mengenai pihak
yang bersalah.
f. Surat tuntutan pihak ketiga bermaterai cukup dan tercantum
besar nilai tuntutan.
4. Meninggal Dunia Akibat Kecelakaan
a. Klaim form yang ditandatangani tertanggung atau ahli waris
yang mempunyai hubungan keluarga (form dari Bumida).
b. Surat keterangan kecelakaan dari yang berwenang (polisi). Baik
asli atau copy legalisir.
c. Surat keterangan rumah sakit (asli atau copy legalisir).
d. Foto copy SIM pengendara saat terjadi kejadian.
e. Copy polis dan copy kwitansi polis
81
5. Klaim Cacad Tetap Akibat Kecelakaan
a. Klaim yang ditandatangani tertanggung (form dari Bumida).
b. Surat keterangan rumah sakit atau dokter yang menyatakan
tertanggung mengalami cacad selama-lamanya dan tidak
mungkin disembuhkan lagi, serta dijelaskan mengenai kondisi
cacadnya.
c. Foto untuk yang menderita cacadnya.
d. Foto copy SIM tertanggung.
6.11 Polis
Bentuk perjanjian pertanggungan yang dibuat oleh PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto secara
tertulis tercantum dalam polis pertanggungan Motorkoe yang berisi
perihal:
a. Nama perusahaan pertanggungan yang tercantum adalah PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto.
b. Judul polis yaitu Polis Motorkoe Umum Ikhtisar Pertanggungan.
c. Nama para pihak yaitu nama penanggung dan nama tertanggung
yang mengadakan perjanjian pertanggungan.
d. Uraian singkat mengenai barang yang dipertanggungkan yaitu
terdiri dari merk atau tipe kendaraan, nomor polisi kendaraan,
penggunaan kendaraan, tahun pembuatan kendaraan, nomor rangka
kendaraan dan nomor mesin kendaraan.
82
e. Jangka waktu pertanggungan yaitu selama 366 (tiga ratus enam
puluh enam) hari.
f. Besarnya nilai pertanggungan
g. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung.
h. Besarnya premi yang harus dibayar tertanggung.
i. Hari ditutupnya pertanggungan yang disertai dengan materai, cap
dan tanda tangan.
B. Pembahasan
Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan bahwa:
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung,
dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa
tak tertentu.
Abdulkadir Muhammad memberikan unsur-unsur asuransi atau
pertanggungan berdasarkan definisi Pasal 246 KUHD sebagai berikut110
:
a. Pihak-Pihak
Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu
penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi.
Penanggung dan tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak.
Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak
memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib membayar
premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta
miliknya yang diasuransikan.
110
Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 8-10.
83
b. Status Pihak-Pihak
Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum,
dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero)
atau Koperasi. Sedangkan tertanggung dapat berstatus sebagai
perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik sebagai perusahaan
ataupun bukan perusahaan. Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau
pihak berkepentingan atas harta yang diasuransikan.
c. Objek Asuransi
Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang
melekat pada benda dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti
kerugian. Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh
pihak-pihak. Penanggung bertujuan memperoleh pembayaran sejumlah
premi sebagai imbalan pengalihan risiko. Sedangkan tertanggung bertujuan
bebas dari risiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas
harta miliknya.
d. Peristiwa Asuransi
Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum “legal act”berupa
persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung
mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti “evenemen”yang mengancam
benda asuransi dan syarat-syarat yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan
atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta
yang disebut polis. Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti yang dipakai
untuk membuktikan telah terjadi asuransi.
84
e. Hubungan Asuransi
Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan
tertanggung adalah keterikatan “legally bound” yang timbul karena
persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut berupa kesediaan
secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk memenuhi
kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain (secara timbal
balik). Artinya sejak tercapai kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan
wajib membayar premi asuransi kepada penanggung, dan sejak itu pula
penanggung menerima pengalihan risiko. Jika terjadi evenemen yang
menimbulkan kerugian atas benda asuransi, penanggung wajib membayar
ganti kerugian sesuai dengan ketentuan polis asuransi. Tetapi jika tidak
terjadi evenemen, premi yang sudah dibayar oleh tertanggung tetap menjadi
milik penanggung.
Pengertian asuransi menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (UU No. 2 Tahun 1992) adalah:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang
timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.
85
Purwosutjipto mengemukakan pengertian pertanggungan yaitu suatu
perjanjian (timbal balik) dalam mana kedua belah pihak masing-masing
mempunyai kewajiban yang senilai.111
Menurut Emmy Pangaribuan, pertanggungan merupakan suatu
perjanjian dimana penanggung dengan menikmati premi mengikatkan
dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian
karena kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan
yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak
pasti112
.
Molengraaf memberikan definisi mengenai asuransi yaitu asuransi
kerugian ialah persetujuan dengan mana satu pihak, penanggung
mengikatkan diri terhadap yang lain, tertanggung untuk mengganti
kerugian yang dapat diderita oleh tertanggung, karena terjadinya suatu
peristiwa yang telah ditunjuk, dan yang belum tentu serta kebetulan,
dengan mana pula tertanggung berjanji untuk membayar premi.113
Berdasarkan data nomor 1 tentang para pihak dalam asuransi
Motorkoe, data nomor 2 tentang objek pertanggungan, data nomor 6 tentang
ketentuan asuransi kendaraan bermotor Motorkoe dan data nomor 6.6 tentang
kewajiban dan hak para pihak, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal
246 KUHD, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian serta pendapat Purwosutjipto, Emmy Pangaribuan dan
Molengraaf tentang pengertian asuransi atau pertanggungan serta pendapat
Abdulkadir Muhammad tentang unsur-unsur asuransi atau pertanggungan,
maka dapat dideskripsikan bahwa dalam asuransi kendaraan Motorkoe di PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto telah memenuhi
unsur-unsur pertanggungan, yaitu:
111
Purwosutjipto. 1990.Op. Cit. hal. 1. 112Emmy Pangaribuan. 1999. Op. Cit. hal. 7. 113
H. Mashudi dan Moch. Chidir Ali, Hukum Asuransi (Bandung: PT. Mandar
Maju,1998), hal. 3.
86
1. Pihak-Pihak
Para pihak dalam asuransi adalah tertanggung dan penanggung.
Tertanggung adalah pihak yang mempunyai kepentingan dengan obyek
yang dipertanggungkan, dalam hal ini obyek yang dipertanggungkan adalah
kendaraan bermotor beroda dua. Tertanggung mempunyai kewajiban untuk
membayar sejumlah premi yang telah disepakati kepada penanggung dan
tertanggung berhak menerima ganti rugi atas obyek yang dipertanggungkan
apabila menderita kerugian akibat peristiwa tidak tentu yang telah
diperjanjikan sebelumnya. Pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe”,
yang dapat menjadi tertanggung adalah orang atau individu perorangan.
Sementara itu, penanggung dalam asuransi kendaraan bermotor
“Motorkoe” adalah PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang
Purwokerto. Penanggung mempunyai kewajiban untuk memberikan ganti
rugi kepada tertanggung sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan
apabila peristiwa tidak tentu terjadi dan menimbulkan kerugian pada
tertanggung. Hak penanggung adalah menerima premi dari tertanggung
sebagai imbalan atas risiko yang ditanggungnya. Dalam hal ini, penanggung
berstatus sebagai perusahaan badan hukum.
2. Objek Asuransi
Obyek asuransi atau benda pertanggungan pada asuransi kendaraan
bermotor “Motorkoe” adalah kendaraan beroda dua. Adapun yang
dipertanggungkan atas benda pertanggungan tersebut adalah kerugian dan
87
atau kerusakan pada kendaraan bermotor dan atau kepentingan daripada
kendaraan bermotor beroda dua.
3. Peristiwa Tidak Tentu
Peristiwa tidak tentu yang diperjanjikan dalam asuransi kendaraan
bermotor “Motorkoe” diantaranya adalah tabrakan, benturan, tergelincir,
terperosok, pencurian, kebakaran, tanggung jawab hukum terhadap pihak
ketiga, meninggal dunia akibat kecelakaan dan biaya pengobatan akibat
kecelakaan.
4. Adanya kerugian
PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto
selaku penanggung, baru akan memberikan ganti rugi apabila akibat
terjadinya peristiwa tidak tentu yang telah disepakati, menimbulkan
kerugian bagi tertanggung dimana antara peristiwa tidak tentu tersebut ada
hubungan sebab akibat dengan kerugian yang ditimbulkan.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa Pasal 246 KUHD
secara jelas mengatakan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu
perjanjian, dengan demikian perjanjian asuransi sebagaimana perjanjian pada
umumnya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Syarat sahnya perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata
yang merumuskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
88
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama yaitu sepakat dan cakap, dinamakan syarat
subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian, sedangkan
kedua syarat terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan
syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian. Apabila syarat subjektif
tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya perjanjian
tersebut tetap sah sepanjang tidak ada pembatalan. Jika syarat objektif tidak
terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah tidak sah, artinya
sejak semula dianggap tidak pernah ada. Untuk mengetahui lebih jauh dari
keempat persyaratan tersebut, maka syarat-syarat tersebut diuraikan sebagai
berikut:
1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat mengandung petunjuk bahwa setifak-tidaknya ada
dua pihak yang saling memberikan persetujuan. Dikatakan saling
memberikan persetujuannya kalau mereka memang menghendaki apa
yang disepakatinya secara timbal balik. Sepakat merupakan pertemuan
antara dua kehendak yang saling mengisi.114
Supaya sepakat tersebut bisa saling bertemu, maka kehendak tersebut harus
dinyatakan.
Meskipun undang-undang tidak menentukan secara tegas tetapi
dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain Pasal 1320 jo Pasal
1338 KUH Perdata, orang menyimpulkan bahwa pada asasnya,
kecuali ditentukan lain, undang-undang tidak menetapkan secara baku
bagaimana atau dengan cara apa orang harus menyatakan
kehendaknya. Oleh karena itu, asasnya orang boleh dengan ragam
cara dalam menyatakan/menyampaikan kehendaknya dalam mencapai
114
Nur Wakhid, Syarat Sah Perjanjian(Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, 2008), hal. 8.
89
sepakat asal ragam cara tersebut sampai dan dimengerti oleh kedua
belah pihak.115
2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan
Menurut Pasal 1329 KUH Perdata, pada asasnya semua orang itu
dianggap cakap membuat perjanjian kecuali oleh undang-undang dinyatakan
tak cakap. Berangkat dari prinsip seperti itu maka yang harus diketahui
bukannya siapa saja yang cakap akan tetapi siapa saja yang oleh undang-
undang dinyatakan tidak sah bila mereka membuat perjanjian.
Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa mereka yang tak
cakap (sehingga tidak sah) membuat perjanjian yaitu: orang-orang yang
belum dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; orang-orang
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3. Suatu Hal Tertentu
Salah satu syarat sahnya perjanjian yang apabila tidak terpenuhi
akan berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum adalah syarat “hal
tertentu” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 sub 3 KUH Perdata.
Untuk memahami syarat tersebut harus diketahui mengenai apa yang
dimaksud dengan kata “hal” dan “tertentu”.
Kata “hal” maksudnya adalah pokok suatu perjanjian maka dalam
kenyataannya tidak semua perjanjian mempunyai pokok perjanjiannya
berupa barang. Ada pula yang menafsirkan bahwa kata “hal” dalam
Pasal 1320 KUH Perdata artinya tidak lain adalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang diperjanjikan oleh para pihak. Hak dan
115
Ibid. hal. 8.
90
kewajiban yang diperjanjikan dan karenanya menjadi isi perjanjian
oleh para pihak. Hak dan kewajiban yang diperjanjikan dan karenanya
menjadi isi perjanjian tersebut tidak lain adalah apa yang dinamakan
perikatan menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, yang kesemua itu
dalam hukum perikatan dinamakan prestasi.116
Suatu perjanjian yang menimbulkan hak bagi kreditur dan
kewajiban bagi debitur akan menjadi tidak dapat dilaksanakan apabila
objek perjanjiannya atau isi prestasinya tidak tertentu. Bagi debitur, ia
sudah merasa memenuhi kewajiban prestasinya sebaliknya bagi si
kreditur dapat saja merasa belum mendapatkan haknya sebagaimana
mestinya. Dengan demikian, kata “tertentu” memiliki makna sebagai
tertentu secara individual dalam arti tertuju pada isi prestasi tertentu
yang tidak dapat lagi ditafsirkan lain selain sebagaimana dimaksud.117
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa maksud
dari hal tertentu adalah tidak lain dari objek perjanjian dimana objek
perjanjian itu adalah suatu prestasi yang dapat berupa memberikan sesuatu,
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Terkait dengan prestasi
itu bisa menyangkut barang seperti yang dimaksud dalam Pasal 1333 KUH
Perdata ataupun tidak menyangkut barang misalnya perjanjian untuk
melantunkan lagu tertentu.
4. Suatu Sebab yang Halal
Sekalipun dari bunyi Pasal 1320 sub 4 beserta pasal-pasal
penjabarannya tidak didapatkan gambaran yang jelas mengenai apa itu
“sebab yang halal”, akan tetapi para sarjana sepakat bahwa kata
“sebab” dalam pasal tersebut bukanlah berkaitan dengan pengertian
sebab-akibat. Kata “sebab” halal atau “justa causa” juga bukan berarti
motif, karena yang namanya motif adalah daya pengaruh yang paling
jauh mengapa seseorang itu menutup perjanjian dan dalam hal ini,
motif itu tidak dipedulikan oleh hukum perjanjian.118
Hogge Raad dalam Arrestnya tanggal 17 November 1922
menyatakan bahwa kausa suatu perjanjian adalah apa yang menjadi
116
Ibid. hal. 50. 117
Ibid. hal. 50. 118
Ibid. hal. 55.
91
tujuan para pihak yaitu apa yang dituju oleh para pihak yang menutup
perjanjian tersebut. Dalam hal ini H.R mencari satu kausa yang
menjadi tujuan bersama para pihak.119
Menurut Subekti, yang dinamakan sebab atau “oorzak” atau
“causa” tidak lain selain isi perjanjian itu sendiri. Dengan penafsiran seperti
itu, maka dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian itu harus mempunyai hal
tertentu yaitu isi prestasinya (objek perjanjian) maka isi prestasi tersebut
juga harus halal.120
Berdasarkan uraian di atas, adapun yang harus diperhatikan adalah
bahwa tujuan perjanjian tidak sama dengan isi perjanjian. Jika tujuan
perjanjian adalah sama dengan isi perjanjian, maka semua perjanjian
bernama yang diatur dalam KUH Perdata, tidak mungkin mempunyai
tujuan yang terlarang dan karenanya tidak mungkin batal atas dasar
kausanya bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau
ketertiban umum, sebab undang-undang sendiri yang mengaturnya
dan karenanya membolehkan adanya perjanjian seperti itu, tetapi
dalam kenyataanya tidaklah demikian. Ada perjanjian yang termasuk
dalam perjanjian bernama dan karenanya isinya sesuai dengan
ketentuan perjanjian khusus, tetapi mempunyai tujuan yang terlarang,
misalnya orang yang menyewakan tangga kepada seorang maling
untuk melakukan pencurian. Isi perjanjian yang demikian tidak
melahirkan perikatan bagi para pihak, dalam arti para pihak tidak
terikat untuk memenuhi kewajiban yang telah dijanjikannya karena
tujuannya terlarang.121
Syarat perjanjian asuransi yang dikemukakan oleh Abdulkadir
Muhammad adalah122
:
1. Kesepakatan “Consensus”
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian
asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
119
Ibid. hal. 57. 120
Ibid. hal. 58. 121 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari PerjanjianBuku II (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 74-75. 122
Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 49-54.
92
a. Benda yang menjadi objek asuransi;
b. Pengalihan risiko dan pembayaran premi;
c. Evenemen dan ganti kerugian;
d. Syarat-syarat khusus asuransi;
e. Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat
dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara
langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa
perantara. Dilakukan secara tidak langsung artinya kedua belah pihak
mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Perantara dalam
KUHD disebut makelar sementara dalam Undang-Undang No. 2 Tahun
1992 disebut pialang.
2. Kewenangan “Authority”
Kedua pihak, tertanggung dan penanggung wenang melakukan
perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat
ada yang bersifat sebjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan
subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di
bawah perwalian “trusteeship”, atau pemegang kuasa yang sah.
Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah
dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan
miliknya sendiri.
3. Objek Tertentu “Fixed Object”
93
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek yang
diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat
pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Karena
yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus
mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi
itu.
4. Kausa yang Halal “Legal Cause”
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian itu tidak dilarang
undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan.
5. Pemberitahuan “Notification”
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung
mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat
mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya
asuransi batal.
Berdasarkan data nomor 1 tentang para pihak dalam asuransi
Motorkoe, data nomor 2 tentang objek pertanggungan, data nomor 3 tentang
tujuan pertanggungan, data nomor 4 besarnya pertanggungan, data nomor 6.6
tentang kewajiban dan hak para pihak serta data nomor 6.9 tentang Surat
Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA), apabila dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 246 KUHD, Pasal 1320, 1329 dan 1330 KUH Perdata dan
pendapatnya Nur Wakhid, J. Satrio dan Abdulkasir Muhammad tentang syarat
perjanjian asuransi, maka dapat dideskripsikan bahwa asuransi kendaraan
94
bermotor “Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang
Purwokerto telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu:
1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Para pihak dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” di PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto, yaitu pihak
tertanggung dan penanggung telah sepakat untuk mengadakan perjanjian
asuransi. Kesepakatan kedua belah pihak dapat dilihat dari diisinya SPPA
oleh pihak calon tertanggung yang kemudian disetujui oleh pihak
penanggung yang tidak lain adalah PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda
1967 Cabang Purwokerto. Selain disetujuinya SPPA oleh kedua belah
pihak, kesepakatan untuk mengadakan perjanjian asuransi tersebut juga
dapat dilihat dari disetujuinya ketentuan-ketentuan yang ada dalam polis
oleh pihak calon tertanggung dan pihak penanggung. Dengan disepakatinya
SPPA dan polis maka kedua belah pihak telah sepakat untuk menutup
perjanjian pertanggungan
2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan
Para pihak baik tertanggung maupun penanggung adalah pihak
yang cakap untuk melakukan perjanjian pertanggungan tersebut. Kecakapan
kedua belah pihak dapat dilihat pada identitas mereka masing-masing. Pihak
penanggung adalah perusahaan asuransi yang berstatus badan hukum
Perseroan Terbatas, dengan demikian perusahaan asuransi tersebut, yaitu
PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto, adalah
pihak yang cakap untuk melakukan perjanjian pertanggungan. Sementara
95
itu, kecakapan dan kewenangan pihak tertanggung dapat dilihat pada
identitas yang harus ia beritahukan untuk menutup perjanjian
pertanggungan, misalnya dari kartu tanda penduduk (KTP), “passport”,
SIM. Pihak penanggung tidak akan pernah menyetujui apabila tertanggung
adalah pihak yang tidak cakap untuk menutup perjanjian serta apabila
tertanggung juga tidak bisa membuktikan bahwa ia adalah pihak yang
mempertanggungkan kendaraan bermotornya, artinya ia tidak memiliki
kepentingan terhadap kendaraan beroda dua yang akan dipertanggungkan.
3. Suatu Hal Tertentu
Objek perjanjian pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe”
adalah mempertanggungkan kendaraan beroda dua non komersil dan
kepentingan yang melekat pada kendaraan bermotor yang
dipertanggungkan. Pada perjanjian pertanggungan tersebut, tertanggung
dengan membayar sejumlah premi kepada penanggung, maka apabila
peristiwa yang tidak tentu terhadap mana benda itu dipertanggungkan
terjadi, penanggung akan membayar sejumlah ganti rugi. Segala ketentuan
dan kewajiban serta hak masing-masing pihak yang merupakan prestasi dari
perjanjian pertanggungan telah disetujui oleh para pihak. Hal tersebut telah
diuraikan pada data nomor 6 tentang ketentuan asuransi bermotor Motorkoe.
4. Suatu Sebab yang Halal
Tujuan para pihak dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe”
adalah untuk mempertanggungkan kendaraan beroda dua milik tertanggung
terhadap peristiwa tidak tentu yang telah disepakati. Peristiwa yang tidak
96
tentu tersebut antara lain tabrakan, benturan, terbalik, tergelincir, pencurian
dan kebakaran.
Berdasarkan tujuan dari para pihak dalam membuat perjanjian
pertanggungan tersebut dapat disimpulkan bahwa, suatu sebab yang halal
sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian adalah telah dipenuhi. Tujuan
para pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian yang diatur
secara khusus dalam KUHD, oleh karena itu selain syarat sah perjanjian harus
dipenuhi, dalam perjanjian asuransi juga harus dipenuhi pripsip-prinsip yang
harus ada dalam suatu perjanjian asuransi. Prinsip-prinsip asuransi yang
dimaksud yaitu:
1. Asas Kepentingan “Principle of Insurable Interest”
Pasal 250 KUHD menyebutkan bahwa apabila seorang yang telah
mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang,
yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya
pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang
yang dipertanggungakan itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan
memberikan ganti rugi.
Pasal 268 KUHD menyebutkan bahwa suatu pertanggungan dapat
mengenai segala kepentingan yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat
diancam oleh sesuatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang-undang.
97
Sri Rejeki Hartono mengemukakan pendapat bahwa batasan atau
pengertian kepentingan di dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan
dapat dimulai dari pengertian yang tidak langsung sebagai berikut yaitu
seseorang dapat dianggap mempunyai kepentingan di dalam perjanjian
asuransi ialah apabila orang tersebut dapat atau mungkin menderita kerugian
yang bersifat kerugian ekonomi, sehingga dengan demikian kepentingan
dapat pula diartikan sebagai keterlibatan kerugian keuangan karena suatu
peristiwa yang belum pasti.123
Molengraaf berpendapat bahwa ynag dimaksud dengan
kepentingan ialah harta kekayaan atau sebagian dari harta kekayaan
tertanggung yang dipertanggungkan yang mungkin diserang bahaya.124
Menurut Puwosutjipto, kepentingan adalah hak atau kewajiban
yang dipertanggungkan.125
Artinya, kepentingan merupakan hak subjketif
yang mungkin akan lenyap atau berkurang karena terjadinya suatu peristiwa
tidak tentu.
Berdasarkan data nomor 6.1 tentang jaminan, data nomor 6.9
tentang SPPA dan data nomor 6.10 tentang dokumen pendukung klaim,
apabila dihubungkan dengan Pasal 250, Pasal 268 KUHD serta pendapat
dari Sri Rejeki Hartono, Molengraaf dan Purwosutjipto tentang pengertian
dari kepentingan, maka dapat dideskripsikan bahwa kepentingan yang
dipertanggungkan dalam asuransi Motorkoe adalah berupa hak tertanggung
terhadap kendaraan bermotor roda dua miliknya dan kewajiban tertanggung
123 Sri Rejeki Hartono. 2001. Op. Cit. hal. 101. 124
H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 36. 125
Ibid. hal. 36.
98
mengganti kerugian kepada pihak ketiga yang menderita kerugian karena
perbuatannya atau yang jadi tanggung jawabnya. Tertanggung adalah pihak
yang memang benar memiliki kepentingan terhadap benda yang
dipertanggungkan, hal ini dapat dilihat kebenarannya pada dokumen yang
menyatakan bahwa tertanggung adalah benar pemilik kendaraan yang
dipertanggungkan. Dokumen tersebut dapat berupa SIM, STNK asli, BPKB
asli dan faktur pembelian. Dengan demikian, asas kepentingan pada asuransi
kendaraan bermotor “Motorkoe” telah dipenuhi.
2. Asas Indemnitas “Principle of Indemnity”
Kata indemnitas berasal dari bahasa latin yang artinya ganti
kerugian. Jadi, prinsip indemnitas artinya prinsip ganti kerugian. Inti
prinsip indemnitas adalah seimbang, yakni seimbang antara kerugian
yang betul-betul diderita oleh tertanggung dengan jumlah ganti
kerugiannya.126
Perjanjian pertanggungan mempunyai tujuan untuk mencegah
tertanggung dari menderita kerugian atau supaya risiko yang
dihadapinya diperalihkan kepada si penanggung. Di dalam
penggantian kerugian itu dipakai suatu asas yaitu asas perseimbangan,
yaitu perseimbangan antara risiko yang akan diperalihkan kepada
penanggung dengan kerugian yang di derita oleh tertanggung sebagai
akibat suatu peristiwa yang tidak dapat diharapkan akan terjadinya.127
Berdasarkan data nomor 6.3 tentang penentuan nilai ganti rugi dan
data 6.4 tentang cara penyelesaian dan penetapan ganti rugi, apabila
dihubungkan dengan prinsip indemnitas sebagaimana telah diuraikan di atas
maka dapat dideskripsikan bahwa asuransi kendaraan bermotor Motorkoe
telah menerapkan asas indemnitas dimana batas maksimal tanggung jawab
penanggung adalah setinggi-tingginya sebesar harga pertanggungan.
126
Ibid. hal. 58. 127
Emmy Pangaribuan. 1990. Op. Cit. hal. 64.
99
Dengan demikian, antara ganti rugi yang menjadi tanggung jawab
penanggung dengan kerugian yang benar-benar di derita tertanggung telah
disesuaikan menurut prinsip keseimbangan.
3. Asas Kejujuran yang Sempurna “Utmost Good Faith”
Penanggung selaku pihak yang menerima peralihan risiko dari
tertanggung harus mengetahui berat ringannya risiko yang telah
diambil alih. Penanggung perlu mengetahui secara jelas tentang benda
pertanggungan. Kewajiban pemberitahuan ini dibebankan kepada
tertanggung, sebab benda tanggungan itu adalah milik tertanggung
dan dikuasai oleh sepenuhnya oleh tertanggung.128
Biasanya, hal-hal yang harus diketahui oleh penanggung atas benda
pertanggungan telah ditulis dalam formulir atau daftar isian yang telah
disediakan oleh penanggung untuk diisi oleh tertanggung. Namun demikian,
daftar isiian tersebut tidak menjadikan apa yang tidak dicantumkan dalam
daftar isiian tersebut atau tidak ditanyakan, tidak perlu diberitahukan kepada
penanggung. Tertanggung tetap wajib memberitahukan hal-hal lain yang
dapat mempengaruhi besarnya risiko kepada penanggung.
Pasal 251 KUHD menyebutkan bahwa setiap keterangan yang
keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang
diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang
demikian sifatnya, sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui
keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup dengan syarat-
syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.
128
H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 52.
100
Tujuan Pasal 251 KUHD ialah untuk melindungi penanggung atau
membebaskan risiko yang tidak tepat diperalihkan kepadanya, sehingga
dalam Pasal 251 KUHD tidak menjadi pertimbangan apakah tertanggung itu
ada itikad baik atau buruk.
Berdasarkan data nomor 6.6 tentang kewajiban dan hak para pihak,
pada Pasal 6 Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia bahwa
tertanggung wajib mengungkapkan fakta material mengenai obyek
pertanggungan, yaitu berupa segala bentuk informasi, keterangan keadaan
maupun hal-hal yang benar yang mempengaruhi pertimbangan penanggung
dalam penutupan asuransi, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 251
KUHD maka dapat dideskripsikan bahwa perjanjian asuransi kendaraan
bermotor Motorkoe telah menerapkan asas kejujuran yang sempurna
“utmost good faith”.
4. Asas Subrogasi pada Penanggung “Principle of Subrogation”
Apabila peristiwa tidak tentu yang telah disepakati para pihak
terjadi dan hal itu disebabkan oleh pihak ketiga, maka tertanggung akan
mengalami kerugian. Dalam hal yang demikian, maka tertanggung akan
mendapat kemungkinan untuk menuntut kepada pihak penanggung dan
pihak ketiga yang bersalah yang telah menimbulkan kerugian pada
tertanggung. Jika tertanggung mendapat ganti rugi baik dari penanggung
dan pihak ketiga yang bersalah, maka hal ini tidak sesuai dengan asas
pertanggungan yaitu asas indemnitas. Di satu sisi, apabila tertanggung sudah
mendapat ganti rugi dari penanggung, sementara tertanggung tidak boleh
101
mendapat penggantian kerugian dua kali, maka sangatlah tidak adil apabila
pihak ketiga yang bersalah dibebaskan dari tanggung jawabnya. Oleh karena
itu, dalam hal ini berlakulah asas subrogasi pada penanggung.
Asas subrogasi secara umum diatur dalam KUH Perdata yaitu Pasal
1400. Pasal 1400 KUH Perdata menyebutkan bahwa:
Subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang oleh pihak
ketiga, yang membayar kepada si berpiutang itu, terjadi dengan
persetujuan maupun demi undang-undang.
Berdasarkan isi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
apabila seorang pihak ketiga melunaskan utang seorang debitur
kepada kreditur yang asli, maka lenyaplah hubungan hukum antara
debitur dengan kreditur asli. Akan tetapi, pada saat yang sama
hubungan hukum tadi beralih kepada pihak ketiga yang melakukan
pembayaran kepada kreditur asli. Dengan pembayaran tersebut maka
perikatan itu sendiri tidak lenyap, tetapi yang terjadi ialah pergeseran
kedudukan kreditur kepada orang lain.129
Subrogasi dalam asuransi adalah penggantian hak atau kedudukan
tertanggung oleh penanggung terhadap pihak ketiga yang menimbulkan
kerugian. Asas subrogari di atur dalam Pasal 284 KUHD yang menyebutkan
bahwa:
Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu
barang yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung dalam
segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung
dengan penerbitan kerugian tersebut; dan si tertanggung itu adalah
bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak
si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu.
Berdasarkan asas subrogasi tersebut, maka jika tertanggung berhak
meminta ganti kerugian kepada penanggung, sebaliknya penanggung berhak
129
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2001), hal. 126-127.
102
meminta ganti kerugian kepada pihak ketiga yang bersalah. Tujuan dari
subrogasi adalah untuk mencegah tertanggung mendapat ganti kerugian dua
kali dan mencegah pihak ketiga membebaskan diri dari kewajibannya
membayar ganti kerugian.
Berdasarkan data nomor 6.10 tentang dokumen pendukung klaim
asuransi dimana salah satu dokumen yang harus dilampirkan pada saat
mengajukan klaim adalah “letter of subrogation” atau surat penyerahan
subrogasi, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 284 KUHD tentang
asas subrogasi, maka dapat dideskripsikan bahwa perjanjian asuransi
kendaraan bermotor Motorkoe, telah menerapkan ketentuan asas subrogasi.
Menurut ketentuan Pasal 255 KUHD, suatu pertanggungan harus
dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Dalam ketentuan
lebih lanjut yaitu dalam Pasal 257 KUHD, bahwa perjanjian pertanggungan
diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban
bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak
saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Artinya, perjanjian
pertanggungan adalah perjanjian yang bersifat konsensuil, perjanian sudah
terjadi secara sah bila sudah memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam
Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian, polis adalah sebagai salah satu
bukti adanya perjanjian pertanggungan.
Pasal 256 KUHD menyebutkan bahwa:
Setiap polis, kecuali yang mengenai suatu pertanggungan jiwa, harus
menyatakan:
1. hari ditutupnya pertanggungan;
103
2. nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan sendiri
atau atas tanggungan seorang ketiga;
3. suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang
dipertanggungkan;
4. jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan;
5. bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung;
6. saat pada mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si
penanggung dan saat berakhirnya itu;
7. premi pertanggungan tersebut, dan
8. pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi si
penanggung untuk diketahuinya, dan segala syarat yang diperjanjikan
para pihak.
Polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.
Berdasarkan data nomor 6.9 tentang Surat Permintaan Penutupan
Asuransi (SPPA) dan data nomor 6.11 tentang polis, apabila dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 255 KUHD, 256 KUHD dan 257 KUHD, maka dapat
dideskripsikan bahwa polis pada asuransi kendaraan bermotor Motorkoe di PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto telah
menerapkan syarat-syarat isi polis.
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung,
dengan menerima suatu premi ....”, demikian pengertian asuransi
menurut Pasal 246 KUHD. Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian,
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima suatu premi...”. Berdasarkan kedua aturan
diatas mengenai pengertian asuransi atau pertanggungan, maka salah satu
hal yang penting dalam perjanjian pertanggungan adalah premi. Premi
merupakan kewajiban tertanggung, sebagai imbalan dari kewajiban
penanggung untuk mengganti kerugian tertanggung.130
Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung
adalah keterikatan “legally bound” yang timbul karena perestujuan atau
kesepakatan bebas. Keterikatan tersebut berupa kesediaan secara sukarela
dari penanggung dan tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak
masing-masing terhadap satu sama lain (secara timbal balik). Artinya,
130
H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 51.
104
sejak tercapai kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib
membayar premi asuransi kepada penanggung dan sejak itu pula
penanggung menerima pengalihan risiko. Jika terjadi “evenemen” yang
menimbulkan kerugian atas benda asuransi, penanggung wajib
membayar ganti kerugian sesuai dengan ketentuan polis asuransi. Akan
tetapi, jika tidak terjadi “evenemen”, premi yang sudah dibayar oleh
tertanggung tetap menjadi milik penanggung.131
Premi ini biasanya dinyatakan dengan persentase dari jumlah
pertanggungan, yang menggambarkan penilaian penanggung terhadap
risiko yang ditanggungnya. Biasanya premi di bayar di muka secara
tunai, tetapi apabila pertanggungan itu akan berlaku lama, maka
pembayaran premi itu dapat diperjanjikan secara angsuran.132
Berdasarkan data nomor 6.6 tentang kewajiban dan hak para pihak,
pada Pasal 7 Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia bahwa
tertanggung wajib membayar premi, apabila dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 246 KUHD, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
Tentang Usaha Perasuransian, pendapat Abdulkadir Muhammad dan
Pursowutjipto tentang premi, maka dapat dideskripsikan bahwa pembayaran
premi pada asuransi kendaraan bermotor Motoekoe di PT. Asuransi Umum
Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto telah sesuai. Pembayaran premi
dalam asuransi kendaraan bermotor Motorkoe di PT. Asuransi Umum
Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto dapat dilaksanakan dengan dua
cara yaitu:
1. Premi dibayar tunai
Pembayaran premi dapat dilakukan secara tunai baik pada saat
pengisian SPPA atau pada saat polis diterbitkan. Khusus untuk
131
Abdulkadir Muhammad. 2002. Op. Cit. hal. 9. 132
H.M.N Purwosutjipto. 1990. Op. Cit. hal. 51.
105
pertanggungan yang jangka pertanggungannya satu tahun, maka premi harus
dibayar tunai pada saat polis diterbitkan.
2. Setelah penutupan perjanjian pertanggungan
Tertanggung diberikan jangka waktu untuk pelunasan pembayaran
premi yaitu dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal mulai berlakunya polis. Penanggung tidak akan membayar ganti
kerugian manakala tertanggung belum melunasi kewajibannya yaitu
membayar premi. Dengan demikian, pertanggungan baru berjalan setelah
tertangggung melaksanakan kewajibannya membayar premi.
Kewajiban utama penanggung dalam perjanjian pertanggungan adalah
memberikan ganti kerugian, sedangkan kerugian yang akan ditanggung adalah
kerugian sebagai akibat dari “evenemen”yang ditanggung dalam polis.
Besarnya ganti kerugian yang menjadi tanggungan penanggung tersebut sangat
erat kaitannya dengan jumlah yang dipertanggungkan. Agar prinsip indemnitas
dapat dilaksanakan, maka antara kerugian dan jumlah ganti rugi haruslah ada
keseimbangan.
Pemberian ganti rugi penanggung kepada tertanggung ketika terjadi
peristiwa tidak tentu dan menimbulkan kerugian, adalah jumlah maksimum
ganti kerugian. Jumlah maksimum ini berguna agar penanggung tidak
dirugikan atas besarnya kerugian yang harus diganti.
Jumlah yang dipertanggungkan “verzekerde som atau the sum
insured” adalah jumlah yang dipakai sebagai ukuran untuk menentukan
jumlah maksimum ganti kerugian yang harus dibayar oleh penanggung
dalam suatu pertanggungan kerugian. Jumlah yang dipertanggungkan
erat sekali hubungannya dengan nilai benda pertanggungan. Dengan
ditentukan jumlah yang dipertanggungkan dan nilai benda
106
pertanggungan, dapat diketahui apakah pertanggungan itu di bawah nilai
benda bertanggungan “onder verzekering atau under insured”, sama
dengan nilai benda pertanggungan “volledig verzekering atau full
insurance” atau melebihi nilai benda pertanggungan “over verzekering”
atau “over insurance”. Dengan demikian, dapat ditentukan jumlah
maksimum ganti kerugian yang dapat dibayar jika timbul kerugian akibat
dari peristiwa yang menjadi tanggungan penanggung.133
Pasa 253 ayat (1) KUHD menyebutkan bahwa:
Suatu pertanggungan yang melebihi jumlah harga atau kepentingan
yang sesungguhnya, hanyalah sah sampai jumlah tersebut.
Apabila jumlah yang dipertanggungkan lebih besar daripada nilai
benda sesungguhnya, penanggung hanya bertanggung jawab membayar
ganti kerugian sampai jumlah nilai benda sesungguhnya dalam hal terjadi
peristiwa yang menimbulkan kerugian atas seluruh benda pertanggungan
“total loss”. Misalnya, sebuah rumah dipertanggungkan terhadap bahaya
kebakaran dengan jumlah pertanggungan Rp 15.000.000,00. Nilai penuh
rumah sesungguhnya Rp 10.000.000,00. Jika rumah tersebut terbakar
habis, penanggung berkewajiban membayar ganti kerugian hanya sampai
jumlah Rp 10.000.000,00.134
Pasal 253 ayat (2) KUHD menyebutkan bahwa:
Apabila harga penuh sesuatu barang tidak dipertanggungkan, maka
apabila timbul kerugian, si penanggung hanyalah diwajibkan
menggantinya menurut imbangan daripada bagian yang
dipertanggungkan terhadap bagian yang tidak dipertanggungkan.
Sebagai contoh, sebuah rumah dipertanggungkan terhadap bahaya
kebakaran sejumlah Rp 8.000.000,00. Nilai rumah sesungguhnya Rp
10.000.000,00. Kemudian, terjadi kebakaran yang menimbulkan kerugian
Rp 6.000.000,00. Perbandingan antara jumlah yang dipertanggungkan
dan jumlah yang tidak dipertanggungkan adalah 8 : 2, jumlah
perbandingan = 10. Ganti kerugian yang harus dibayar oleh penanggung
adalah 8/10 x Rp 6.000.000,00 = Rp 4.800.000,00.135
133 Abdulkadir Muhammad. 1994. Op. Cit. hal. 70-71. 134
Ibid. hal. 71. 135
Ibid. hal. 71-72.
107
Berdasarkan ketentuan Pasal 253 ayat (2) di atas, maka dapat
disimpulkan rumus yaitu:
Ganti Rugi = Uang Pertanggungan
X Kerugian Nilai Benda Pertanggungan
Ketetentuan Pasal 253 ayat (2) KUHD masih dapat disimpangi oleh
pihak-pihak, asalkan diperjanjikan dengan tegas di dalam polis bahwa
tanpa memperhatikan keseimbangan, kerugian yang menimpa benda
pertanggungan itu akan diganti sepenuhnya sampai jumlah yang
dipertanggungkan (Pasal 253 ayat (3) KUHD). Klausula yang demikian
ini disebut “premier risque” dan harus dinyatakan dengan tegas di dalam
polis.136
Klausula “premier risque” ini dimungkinkan karena sulit menentukan
batas-batas nilai penuh kepentingan dalam jenis pertanggungan itu.
Dengan demikian, sulit pula menentukan batas-batas risiko seluruhnya.
Klausula “premier risque” ini biasanya diadakan dalam pertanggungan
terhadap bahaya yang jarang menimbulkan kerugian total benda
pertanggungan, melainkan hanya sebagian saja.137
Berdasarkan kedua ketentuan Pasal 253 ayat (1) dan ayat (2) KUHD
tersebut, maka dapat dilihat bahwa pada pertanggungan yang melebihi nilai
benda “over verzekering”, seluruh risiko diperalihakn sementara pada
pertanggungan di bawah nilai benda pertanggungan “onder verzekering”, tidak
semua risiko diperalihkan. Oleh karena itu, pada pertanggungan “onder
verzekering” ganti kerugian adalah berdasarkan perseimbangan dan pada “over
verzekering”, ganti kerugian adalah sesuai kerugian. Pada pertanggungan sama
dengan nilai benda pertanggungan atau “volledig verzekering” atau “full
insurance”, semua risiko obyek pertanggungan juga diperalihkan dari
tertanggung kepada penanggung. Dengan demikian, ganti kerugian pada
136
Ibid. hal. 72. 137
Ibid. hal. 72.
108
“volledig verzekering” juga sama dengan ganti kerugian pada “over
verzekering” yaitu ganti kerugian sesuai dengan kerugian yang diderita.
Berdasarkan data nomor 4 tentang besar pertanggungan, data nomor
6.3 tentang penentuan nilai ganti rugi, dan data nomor 6.4 tentang cara
penyelesaian dan penetapan nilai ganti rugi, apabila dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 253 ayat (1) dan (2), serta pendapat Abdulkadir Muhammad,
maka dapat dideskripsikan bahwa jenis pertanggungan pada asuransi kendaraan
bermotor paket “Motorkoe” di PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967
Cabang Purwokerto adalah berupa pertanggungan nilai penuh atau “volledig
verzekering” dengan penggantian kerugian berupa kerugian total atau “total
loss only”. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data-data sekunder, yaitu:
1. Besarnya Nilai Pertanggungan
Berdasarkan nilai pertanggungan yang tercantum dalam Polis
Motorkoe Ikhtisar Pertanggungan dan harga kendaraan dalam SPPA atau
harga kendaraan yang tercantum dalam data 6.8 tentang premi asuransi
motorkoe, maka besarnya nilai pertanggungan adalah sesuai dengan harga
pasar kendaraan pada saat yang dipertanggungkan. Penentuan harga
kendaraan sesaat sebelum dilakukan perjanjian pertanggugngan dilakukan
oleh penanggung.
Sebagai contoh, jika harga pasar kendaraan yang akan
dipertanggungkan adalah sebesar Rp 11.000.000,00, maka nilai
pertanggungan adalah sebesar Rp 11.00.000,00. Pada asuransi kendaraan
bermotor “Motorkoe”, besarnya harga kendaraan untuk dipertanggungkan
109
sangat erat kaitannya dengan usia kendaraan. Penanggung akan
memperhitungkan pula nilai penyusutan kendaraan berdasarkan usia
kendaraan tersebut. Sebagai contoh, kendaraan yang dipertanggungkan
tahun pembuatannya adalah pada tahun 2010 sementara baru
dipertanggungkan pada PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda Cabang
Purwokerto pada tahun 2011. Dengan demikian, nilai dari kendaraan
tersebut ada penyusutan selama setahun yaitu dari tahun 2010 hingga tahun
2011. Harga pasar kendaraan yang akan dipertanggungkan pada saat akan
dipertanggungkan yaitu pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 15.000.000,00.
Berdasarkan nilai penyusutan maksimal yang dijadikan standar pada PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda Cabang Purwokerto sebesar 10% tiap
tahunnya, maka dapat diperhitungkan nilai kendaraan pada saat
dipertanggungkan adalah sebesar Rp 13.500.000,00. Nilai tersebut diperoleh
berdasarkan perhitungan 10% x Rp 15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00. Maka
Rp 15.000.000,00 – Rp 1.500.000,00 = Rp 13.500.000,00. Dengan
demikian, dapat dilihat bahwa PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda
Cabang Purwokerto selaku penanggung, sebelum mengadakan perjanjian
pertanggungan terlebih dahulu memeriksa dan mempertimbangkan besarnya
harga kendaraan yang akan dipertanggungkan serta selalu mengikuti harga
pasar kendaraan sebagai referensi untuk menilai harga kendaraan secara
layak. Oleh karena harga kendaraan pada saat akan dipertanggungkan
adalah sebesar Rp 13.500.000,00 maka nilai pertanggungan yang tercantum
dalam polis pun sebesar Rp 13.500.000,00.
110
2. Batas Maksimal Ganti Rugi
Pasal 16 tentang Cara Penyelesaian dan Penetapan Ganti Rugi,
tepatnya pada ayat (2) menyebutkan bahwa tanggung jawab penanggung
atas kerugian dan atau kerusakan terhadap kendaraan dan atau kepentingan
yang dipertanggungkan setinggi-tingginya adalah sebesar harga
pertanggungan. Berdasarkan pasal tersebut bahwa pertanggungan paket
Motorkoe adalah pertanggungan dengan nilai penuh atau “volledig
verzekering”, karena batas maksimal penggantian ganti rugi adalah sebesar
harga pertanggungan. Hal ini tidak berlaku pada pertanggungan dengan nilai
sebagian atau “onder verzekering”, karena besarnya ganti rugi adalah
menurut imbangan antara bagian yang dipertanggungkan dengan bagian
yang tidak dipertanggungkan.
3. Jaminan
Berdasarkan Pasal 15 tentang Penentuan Nilai Ganti Rugi pada
Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor Indonesia, tepatnya pada ayat
(2), bahwa asuransi kendaraan bermotor Motorkoe hanya menjamin atas
kerugian total atau “total loss only”. Kerugian total sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya adalah bahwa jika:
a. kerusakan dan atau kerugian karena suatu peristiwa yang dijamin oleh
polis dimana biaya perbaikan, penggantian atau pemulihan ke keadaan
semula sesaat sebelum terjadinya kerugian dan atau kerusakan sama
dengan atau lebih tinggi dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari harga
sebenarnya.
111
b. hilang karena pencurian dan tidak diketemukan dalam waktu 60 (enam
puluh) hari sejak terjadinya pencurian.
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa PT. Asuransi Umum
Bumiputera Cabang Purwokerto baru akan mengganti kerugian apabila
terjadi kerugian total atau “total loss only”. Besarnya kerugian yang
menentukan adalah dari pihak penanggung sendiri, bukan dari pihak
tertanggung. Apabila terjadi peristiwa tidak tentu yang menimbulkan
kerugian bagi tertanggung, maka kendaraan beroda dua yang
dipertanggungkan akan diperiksa atau dinilai kerusakannya di bengkel yang
biasanya telah ditunjuk sebagai bengkel rekanan penanggung. Berdasarkan
hasil pemeriksaan dari bengkel itulah dapat diketahui apakah kerugian yang
diderita tertanggung melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari harga
sebenarnya kendaraan tersebut. Jika tertanggung mengalami kerugian total,
barulah tertanggung akan mendapat ganti rugi. Besarnya ganti kerugian
maksimum adalah sebesar harga pertanggungan. Oleh karena yang dijamin
adalah hanya kerugian total, tidak termasuk kerugian sebagian, maka
seumpama kendaraan bermotor tertanggung setelah melakukan perbaikan di
bengkel dan kerusakannya tidak melebihi dari 75% dari harga sebenarnya,
maka tertanggung tidak akan mendapat ganti kerugian.
Pemberian ganti kerugian dengan syarat “total loss only” ini
sesungguhnya bertentangan dengan prinsip pemberian ganti kerugian pada
pertanggungan dengan nilai penuh atau “volledig verzekering”.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa, pada pertanggungan dengan
112
nilai penuh, semua risiko atas obyek pertanggungan telah dialihkan pada
penanggung dan oleh karena itu pemberian ganti kerugian sesuai dengan
kerugian yang senyatanya diderita oleh tertanggung, meskipun kerugian
tersebut hanya kerugian sebagian.
4. Premi
Pada Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA) terdapat
beberapa ketentuan premi yang disesuaikan dengan harga kendaraan.
Terdapat dua jenis premi dalam asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe”
yaitu premi umum dan premi khusus. Premi umum adalah premi dikenakan
terhadap calon tertanggung yang untuk pertama kalinya mengadakan
perjanjian pertanggungan dengan PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda
Cabang Purwokerto. Sementara itu, premi khusus adalah premi yang
dikenakan terhadap calon tertanggung yang telah pernah mengadakan
perjanjian pertanggungan dengan PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda
Cabang Purwokerto sebelumnya, biasanya tertanggung tersebut
mengadakan pertanggungan untuk kedua kalinya atau dengan kata lain
perjanjian pertanggungannya diperpanjang.
Penentuan premi baik premi umum maupun premi khusus tersebut
telah disesuaikan dengan harga kendaraan. Harga kendaraan yang dapat
dipertanggungan pada asuransi kendaraan bermotor “Motorkoe” di PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto adalah mulai
dari harga kendaraan sebesar Rp 5.000.000,00 hingga Rp 40.000.000,00.
Harga kendaraan tersebut adalah untuk kendaraan yang biasa digunakan
113
untuk keperluan pribadi bukan kendaraan bermotor roda dua seperti motor
gede atau “harley davidson” ataupun sepeda khusus balap.
Berdasarkan tabel 2 tentang premi asuransi Motorkoe, maka dapat
disimpulkan bahwa pihak penanggung telah merumuskan harga kendaraan
dan besarnya premi yang wajib dibayar. Dengan demikian, pada asuransi
kendaraan bermotor Motorkoe, pihak penanggung telah melakukan
penawaran perjanjian pertanggungan terutama dari segi besarnya premi
yang wajib dibayar. Oleh karena pihak penanggung telah merumuskan
penawaran maka tertanggung tidak dapat memberikan penawaran lain lagi
untuk menutup perjanjian pertanggungan. Maksudnya adalah jika
tertanggung memang sudah setuju dengan penawaran yang ditawarkan oleh
penanggung, maka perjanjian pertanggungan akan dilakukan. Tetapi, jika
tertanggung memang tidak setuju dengan penawaran yang ditawarkan oleh
penanggung maka tertanggung tersebut tidak perlu mengadakan perjanjian
pertanggungan.
Perhitungan harga kendaraan yang dipertanggungkan adalah sama
seperti perhitungan yang telah dikemukakan sebelumnya. Sebagai contoh,
kendaraan yang akan dipertanggungkan dibuat pada tahun 2010 sementara
perjanjian pertanggungan diadakan pada tahun 2011, maka nilai kendaraan
tersebut telah terjadi penyusutan. Harga pasar kendaraan tersebut pada saat
akan dipertanggungkan adalah sebesar Rp 15.000.000,00. Maka dengan
kisaran penyusutan sebesar 10% pertahun, dapat kita hitung nilai atau harga
kendaraan tersebut yaitu 10% x Rp 15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00.
114
Dengan demikian, nilai atau harga kendaraan pada saat akan
dipertanggungkan adalah Rp 13.500.000,00 dengan perhitungan harga pasar
kendaraan sebesar Rp 15.000.000,00 dikurangi nilai penyusutan sebesar Rp
1.500.000,00.
Setelah diperoleh harga kendaraan dengan pembulatan ke atas,
maka dapat kita sesuaikan jumlah premi yang harus dibayar oleh
tertanggung. Berdasarkan tabel harga kendaraan dan jumlah premi yang
harus dibayar sebagaimana tercantum dalam SPPA, yang juga dapat dilihat
pada data 6.8 tentang premi, maka harga kendaraan sebesar Rp
13.500.000,00 dengan pembulatan ke atas menjadi Rp 14.000.000,00 dan
premi yang harus dibayar adalah untuk premi umum sebesar Rp 440.000,00
dan untuk premi khusus sebesar Rp 398.000,00. Salah satu hal yang perlu
diingat adalah bahwa harga kendaraan tersebut adalah sama dengan nilai
pertanggungan yang tercantum di dalam polis.
5. Manfaat atau Jaminan Plus Asuransi Kendaraan Bermotor Motorkoe
Penawaran harga kendaraan dan jumlah premi yang harus dibayar
yang dibuat oleh penanggung, dan oleh karenanya tidak ada perhitungan
premi yang dilakukan secara bersama-sama dengan tertanggung karena
tertanggung tinggal menerima atau tidak atas penawaran penanggung
tersebut, membuat penanggung menawarkan kelebihan jaminan lain yang
sudah termasuk dalam premi yang harus dibayar oleh tertanggung.
Kelebihan jaminan tersebut yaitu sebagaimana yang tercantum pada data
tabel 1 yaitu jaminan terhadap tanggung jawab hukum pihak ketiga,
115
santunan meninggal dunia bagi pengendara dan penumpang,santunan biaya
pengobatan bagi pengemudi dan penumpang serta santunan pengurusan
dokumen atau surat untuk kehilangan kendaraan.
Jaminan plus ini adalah jaminan yang akan didapat tertanggung
diluar ganti rugi karena kerugian total atau “total loss only”. Artinya,
seumpama tertanggung menderita kecelakaan yang menimbulkan kerugian
total dan memerlukan biaya pengobatan, maka tertanggung akan mendapat
ganti kerugian dari kerugian total atau “total loss” yang memang dijamin
secara tegas di dalam polis juga tertanggung akan mendapat santunan biaya
pengobatan yang merupakan jaminan plus. Jaminan plus ini sudah termasuk
dalam perhitungan premi yang harus dibayar tertanggung, artinya dengan
membayar premi sesuai dengan kategori harga kendaraan, tertanggung juga
mendapat jaminan lebih tidak hanya terhadap kerugian total atau “total loss”
saja. Sistem penawaran yang seperti ini, menurut PT. Asuransi Umum
Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto lebih menguntungkan
tertanggung, karena jika menggunakan perhitungan premi seperti biasa
jaminan yang ditanggung hanyalah terhadap kerugian total atau “total loss”
saja. Jika tertanggung ingin mendapat jaminan lebih, maka tertanggung
diharuskan membayar tambahan premi yang biasanya sebesar 3% (tiga
persen).
116
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan pada
asuransi kendaraan bermotor Motorkoe di PT. Asuransi Umum Bumiputera
Muda 1967 Cabang Purwokerto, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwoketo memberi jaminan
kerugian total atau “total loss only” dan manfaat atau jaminan plus yaitu
jaminan terhadap tanggung jawab hukum pihak ketiga, santunan meninggal
dunia bagi pengendara dan penumpang, santunan biaya pengobatan bagi
pengemudi dan penumpang serta santunan pengurusan dokumen.
Berdasarkan jumlah yang dipertanggungkan dan nilai benda
pertanggungan, maka dapat disimpulkan bahwa asuransi paket Motorkoe
menerapkan pertanggungan nilai penuh (“volledig verzekering” atau “full
insurance”) dengan penggantian kerugian berupa kerugian total atau “total loss
only”. Manfaat atau jaminan yang ditanggung pada asuransi kendaraan
bermotor Motorkoe adalah kerugian total (“total loss only”) sebagaimana
diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor
Indonesia. Oleh karena jaminan yang ditanggung hanya kerugian total, maka
pihak penanggung hanya akan mengganti kerugian apabila terjadi kerugian dan
atau kerusakan pada obyek pertanggungan sama dengan atau lebih tinggi dari
75% (tujuh puluh lima persen) dari harga sebenarnya atau hilang karena
117
pencurian. Artinya, penanggung tidak memberikan penggantian kerugian
sesuai dengan kerugian yang diderita oleh tertanggung seandainya kerugian
yang sesungguhnya dialami tertanggung adalah berupa kerugian sebagian. Hal
ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip pemberian ganti rugi pada
pertanggungan nilai penuh (“volledig verzekering” atau “full insurance”) yaitu
seharusnya tertanggung menerima ganti rugi sesuai dengan kerugian yang
diderita karena seluruh risiko obyek pertanggungan telah dialihkan pada
penanggung.
B. SARAN
PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 Cabang Purwokerto
sebagai perusahaan asuransi, selaku penanggung hendaknya memberikan ganti
kerugian kepada tertanggung sesuai dengan kerugian yang senyatanya diderita
oleh tertanggung meskipun kerugian itu berupa kerugian sebagian karena
tertanggung telah mempertanggungkan benda yang menjadi objek
pertanggungan dengan nilai penuh.