wasiat wajibah dalam pandangan fuqahȂ’ (studi …
TRANSCRIPT
WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN
FUQAHȂ’ (Studi Analisis Pasal 209 Ayat (2) KHI Tentang
Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Agama (MA) Dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Oleh :
Rahmi Maulidiyah
NIM. 211610118
KONSENTRASI ILMU SYARIAH
PROGRAM PASCA SARJANA (S2)
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
1436 H/2015 M
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “Wasiat Wajibah dalam Pandangan Fuqahâ’ (Studi
Analisis Pasal 209 Ayat (2) KHI tentang Wasiat Wajibah Terhadap Anak
Angkat)” yang disusun oleh Rahmi Maulidiyah dengan Nomor Induk
Mahasiswa 211610118 telah melalui proses bimbingan dengan baik dan
dinilai telah memenuhi syarat ilmiah untuk diajukan di sidang munaqasyah.
Pembimbing I
(Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA)
Pembimbing II
(Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA)
iii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Tesis dengan judul “Wasiat Wajibah dalam Pandangan Fuqahâ (Studi
Analisis Pasal 209 Ayat (2) KHI tentang Wasiat Wajibah Terhadap Anak
Angkat)” yang disusun oleh Rahmi Maulidiyah dengan Nomor Induk
Mahasiswa 211610118 telah diujikan di sidang munaqasyah Program
Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta pada tanggal 26 Agustus
2015 M/11 Dzulqaidah 1436 H. Tesis tersebut telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (MA) dalam bidang Ilmu
Agama Islam.
Direktur Program
Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA
Panitia Sidang
Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA ( ............................. )
Ketua Sidang Desember 2015
Dr. KH. Ahmad Fudhaili, MA ( .............................)
Sekretaris Sidang Desember 2015
Prof. Dr. H. Abd. Wahab Muhaimin, Lc, MA ( .............................)
Anggota (Penguji I) Desember 2015
Dr. KH. Ahmad Fudhaili, MA ( .............................)
Anggota (Penguji II) Desember 2015
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA ( ............................. )
Pembimbing I Desember 2015
Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA ( ............................. )
Pembimbing II Desember 2015
iv
PERNYATAAN PENULIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 2 di Institut Ilmu Al-
Qur‟an (IIQ) Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di IIQ Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi dicabutnya gelar yang diperoleh karenanya, yang
berlaku di IIQ Jakarta
Jakarta, 20 Agustus 2015
Rahmi Maulidiyah
v
بسم الله الرحمن الرحيمKATA PENGANTAR
Puji dan syukur terhaturkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan karunia-Nya, petunjuk dan bimbingan-Nya serta
izin-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister
Agama (MA) dalam Bidang Ilmu Agama Islam Konsentrasi Ilmu Syariah
Program Pasca Sarjana (S2) Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta.
Tak terlepas shalawat beriring salam senantiasa terhaturkan kepada
junjungan kita, suri tauladan kita, Rasulullah SAW dan juga pada
keluarganya, para sahabatnya, para syuhada‟ dan para pengikutnya yang
selalu berusaha dan istiqamah mengikuti jejak langkahnya hingga yaumil
qiyamah. Semoga kita termasuk dalam golongan yang diberikan syafa‟at
olehnya di hari nanti. Amin.
Penyelesaian tesis ini, membutuhkan perjuangan yang tidak sedikit,
banyak kendala yang penulis hadapi, baik kendala teknis dari luar maupun
kendala dari diri penulis sendiri. Namun berkat bantuan, semangat dan
motivasi dari berbagai pihak, Alhamdulillah kendala-kendala tersebut bisa
teratasi dan tesis inipun dapat penulis selesaikan.
Melalui kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis
persembahkan untaian kata manis dan sederhana untuk mereka yang dicintai
Allah. Terimaksih tak terhingga kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., Rektor Institut Ilmu
Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta sekaligus pembimbing tesis, yang telah
memberikan kesempatan belajar dan menimba ilmu di perguruan tinggi
ini. Serta atas bimbingan dan motivasinya.
2. Bapak Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA., Direktur Program
Pasca Sarjana (S2) Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta sekaligus
pembimbing tesis, atas bimbingan, motivasi dan ilmu yang telah
diberikan.
3. Segenap staf pengajar konsentrasi Ilmu Syariah Program Pasca Sarjana
(S2) Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta atas bimbingan dan
pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan.
4. Seluruh staf dan pimpinan di sekretariat Program Pasca Sarjana (S2)
Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta yang telah banyak membantu di
bidang administrasi serta informasi dalam masa perkuliahan hingga
proses penyelesaian tesis ini.
vi
5. Pimpinan dan staf Perpustakaan Nasional, Perpustakaan IIQ Jakarta,
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Sekolah
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas
Indonesia, Perpustakaan IAIN Sunan Ampel Surabaya, Perpustakaan
Universitas Muhammadiyah Malang, Perpustakaan Umum Islam Iman
Jama, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mencari
literatur bacaan dan bahan yang diperlukan dalam penulisan tesis ini.
6. Suami tercinta Gaguks Supriyanto dan ananda terkasih Reyhan Syaddad
Ar-Rayyan, amanat yang Allah SWT karuniakan kepada kami, atas
dukungan moril maupun materil, atas do‟a, pengertian, dan semangat
yang diberikan kepada penulis.
7. Bapak H.Sutrisno dan Ibu Hj. Siti Anisah, Abah dan ibunda tersayang
atas do‟a dan kasih sayang yang selalu menyertai langkah perjalan hidup
penulis.
8. Mas Yayad dan Mbak Zia, Dik Rahma, Mas Asa, Mas Rajif, Kakak Una,
kakak, adik dan keponakan-keponakan tersayang atas do‟a dan pompaan
semangatnya.
9. Teman-teman seperjuangan di kelas konsentrasi Ilmu Syariah Program
Pasca Sarjana (S2) Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta yang telah
banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam
penyelesain tesis ini.
10. Serta semua pihak yang turut mendo‟akan
Akhirnya, besar harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi
para pembaca umumnya, dan khusunya bagi penulis pribadi. Jazakumullah
ahsanal jaza atas kesungguhan semua pihak yang telah tulus ikhlas membantu
penulis. Amin
Jakarta, 06 Dzulqaidah 1436 H
20 Agustus 2015 M
Penulis
vii
ABSTRAK
Dalam Hukum Islam Klasik, istilah wasiat wajibah sebelumnya tidak
pernah dikenal namun kemudian diberlakukan di beberapa negara Islam
untuk kepentingan para cucu pancar perempuan baik laki-laki atau
perempuan yang dalam hukum waris Islam tidak mempunyai hak waris.
Sedangkan di Indonesia, wasiat wajibah ditujukan untuk anak angkat
sebagaimana dijelaskan dalam pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Pasal ini terlahir karena didasarkan pada upaya pemberian hak harta kepada
anak angkat yang selama ini tidak memperoleh hak warisan dari orang tua
angkatnya, sementara anak angkat di Indonesia telah melembaga dalam
masyarakat bagaikan anak sendiri. Anak angkat tidak memiliki tempat dalam
hukum Islam untuk memperoleh hak warisan, dan dengan pemberlakuan
pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak angkat
berkemungkinan secara litigasi pengadilan agama memperoleh bagian
warisan.
Penelitian tentang wasiat wajibah sebelumnya sudah pernah dibahas
oleh beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi-pergurruan tinggi di
Indonesia, tetapi kebanyakan membahas tentang wasiat wajibah untuk ahli
waris non muslim, sedang dalam tesis ini fokus penelitian adalah mengenai
wasiat wajibah untuk anak angkat.
Penelitian ini bersifat deskriptif yang data-datanya diperoleh
berdasarkan studi kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan
penelaahan buku-buku berkenaan dengan masalah yang dibahas. Setiap data
yang terkumpul akan diklasifikasi berdasarkan masalah yang dibahas,
kemudian data diidentifikasi dan dianalisis secara kualitatif. Kemudian data
dibahas dengan pendekatan yuridis normatif dengan cara comparative yaitu
membandingkan data yang diperoleh dengan teori-teori dan ketentuan yang
ada kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedudukan
anak angkat tidak merubah status anak tersebut, anak angkat tidak bernasab
dan bukan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, namun ia memperoleh
wasiat wajibah dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 dari harta peninggalan
sebagaimana telah diatur dalam KHI pasal 209 ayat (2). Dan apabila anak
angkat telah menerima hibah dari orang tua angkatnya maka penghibahan
tersebut hendaknya diperhitungkan sebagai bagian dari wasiat wajibah. KHI
mewajibkan berwasiat kepada anak angkat atau orang tua angkat adalah
berdasarkan kemaslahatan atau untuk menghindari kemadharatan, meskipun
di dalam nash tidak dijelaskan tentang kewajiban berwasiat kepadanya.
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
B. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap
Fathah: a ا : â ي... : ai
Kasrah: i ي: î و... : au
Dhammah: u و : û
q ق z ز a ا
k ك s س b ب
l ل sy ش t ت
m م sh ص ts ث
n ن dh ض j ج
w و th ط h ح
h ه zh ظ kh خ
, ء „ ع d د
y ي gh غ dz ذ
f ف r ر
ix
C. Kata Sandang
1. Kata Sandang yang Diikuti al-Qamariyah
Kata sandang yang diikuti oleh al-qamariyah ditranliterasikan
sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf l (el) diganti dengan huruf yang
sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.
Contoh:
البقرة : al-Baqarah
المدينة : al-Madînah
2. Kata Sandang yang Diikuti al-Syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh al-syamsiyah ditransliterasikan
sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan
bunyinya.
Contoh:
الرجل : ar-rajul
السيدة : as-sayyidah
الشمس : asy-syamsu
الدارمي : ad-dârimî
x
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS.................................................................iii
PERNYATAAN PENULIS.............................................................................iv
KATA PENGANTAR......................................................................................v
ABSTRAK.....................................................................................................vii
PEDOMAN TRANSLITERASI...................................................................viii
DAFTAR ISI....................................................................................................x
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...........................................................1
B. Permasalahan..........................................................................12
1. Identifikasi Masalah.......................................................... 12
2. Pembatasan Masalah..........................................................13
3. Perumusan Masalah............................................................13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................13
D. Studi Pustaka...........................................................................14
E. Metodologi Penelitian.............................................................15
1. Jenis Penelitian...................................................................15
2. Pendekatan Penelitian........................................................15
3. Teknik Pengumpulan Data.................................................16
4. Teknik Analisa Data...........................................................16
5. Teknik Penulisan Penellitian..............................................16
F. Sistematika Penulisan.............................................................16
BAB II : PARADIGMA WASIAT WAJIBAH DALAM
HUKUM KEWARISAN...............................................................19
A. Tinjaun Umum tentang Hukum Kewarisan Islam.................19
1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam.................................19
2. Sumber Hukum Kewarisan Islam......................................21
a. Al-Qur’an......................................................................21
b. Hadits............................................................................31
c. Ijtihad............................................................................35
3. Unsur-Unsur Kewarisan.....................................................36
4. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam...................................39
B. Pembagian Harta Peninggalan melalui Wasiat wajibah.........42
1. Pengertian dan Dasar Hukum Wasiat.................................42
2. Rukun, Syarat dan Kadar Wasiat.......................................53
3. Pengertian Wasiat Wajibah................................................59
4. Wasiat Wajibah dalam Pandangan Fuqahâ’......................63
5. Penerima Wasiat Wajibah dan Besar Bagiannya...............66
xi
BAB III : ANAK ANGKAT DALAM HUKUM KEWARISAN..................69
A. Tinjauan Umum Pengangkatan Anak.....................................69
1. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak............69
2. Hak-Hak dan Kewajiban Anak Angkat..............................76
3. Perlindungan terhadap Anak-Anak Angkat.......................79
4. Alasan Pengangkatan Anak di Indonesia...........................83
5. Macam-Macam Pengangkatan Anak.................................89
B. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam...........................91
1. Ketentuan Hukum Islam tentang Pengangkatan Anak.......91
2. Dasar Hukum Pengangkatan Anak menurut Hukum
Islam...................................................................................99
a. Al-Qur’an......................................................................99
b. Hadits...........................................................................100
c. Ijtihad...........................................................................102
3. Penerapan Hukum Islam dalam Pegangkatan Anak
di Indonesia......................................................................103
C. Anak Angkat Menurut Hukum Adat dan Yurisprudensi......105
D. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak di indonesia...................108
E. Akibat Hukum Pengangkatan Anak terhadap Kedudukan
dan Hak-Hak Anak Angkat...................................................112
BAB IV : PENERAPAN HUKUM WASIAT WAJIBAH TERHADAP
ANAK ANGKAT YANG BERLAKU DALAM HUKUM
ISLAM DI INDONESIA...........................................................117
A. Legitimasi Hukum Islam terhadap Anak Angkat
di Indonesia...........................................................................117
B. Wasiat wajibah dalam Peraturan Perundang-Undangan
Di Negara-Negara Muslim....................................................123
1. Wasiat Wajibah Dalam Peraturan
Perundang-Undangan Mesir.............................................123
2. Wasiat Wajibah dalam Peraturan
Perundang-Undangan Syiria............................................125
3. Wasiat Wajibah dalam Peraturan
Perundang-Undangan Tunisia..........................................126
4. Wasiat Wajibah dalam Peraturan
Perundang-Undangan Maroko........................................ 127
C. Analisis Wasiat wajibah terhadap Anak Angkat dalam
Pasal 209 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia...128
1. Pengertian KHI.................................................................128
2. Latar Belakang Perumusan KHI......................................129
3. Proses Penyusunan KHI...................................................131
4. Tujuan Pembentukan KHI...............................................133
xii
5. Lahirnya Pasal 209 KHI tentang Wasiat Wajibah bagi
Anak Angkat atau Orang Tua Angkat..............................135
6. Dasar Ketetapan Pasal 209 KHI.......................................137
7. Ketentuan Pasal 209 ayat (2) KHI tentang
Wasiat Wajibah bagi Anak Angkat..................................140
D. Analisis Putusan tentang Wasiat Wajibah untuk
Anak Angkat.........................................................................147
1. Kasus Posisi......................................................................147
2. Penerapan Hukum............................................................148
3. Analisis Hukum................................................................153
BAB V : PENUTUP....................................................................................155
A. Kesimpulan...........................................................................155
B. Saran.....................................................................................157
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................159
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sangat sempurna untuk dijadikan pedoman
hidup, kesempurnaan Islam boleh diketahui dalam ajarannya yang termaktub
dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah di mana secara umum telah diatur perkara-
perkara tentang hubungan Allah SWT dengan manusia, hubungan manusia
dengan manusia, manusia dengan binatang dan juga manusia dengan tumbuh-
tumbuhan.
Perkara-perkara hubungan manusia dengan manusia ialah suatu yang
penting karena berhubungan langsung bagi kehidupan manusia sehari-hari
dalam menjalani kehidupan ini. Ketentuan-ketentuan atau hukum yang
mengatur perkara hubungan manusia dengan manusia (makhluk) disebut
dengan Ahkâm al-Mu‟âmalât di mana di dalamnya membahas beberapa
hukum, seperti hukum orang dan keluarga (Ahkâm al-Ahwâl asy-
Syahshiyyah), hukum pidana Islam (al-Ahkâm al-Jinâyah), hukum acara ( al-
Ahkâm al- Qadhâ wa al-Murâfa‟ât) dan hukum benda (Ahkâm al-
Madaniyyat) yaitu hukum-hukum yang mengatur masalah yang berkaitan
dengan benda, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam,
penyelesaian perkara waris, perkara wakaf dan hukum-hukum wasiat.
Islam adalah agama yang memuat aturan-aturan yang mengikat
pemeluknya untuk mencapai sebuah kemaslahatan yang dibenarkan. Hukum
Islam telah diterapkan di Indonesia jauh sebelum terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sudah ada sejak munculnya kerajaan-kerajaan
di bumi nusantara ini. Hal ini dapat dimengerti berhubungan dengan
penyelenggaraan kepentingan umum dan terjaminnya hak-hak perorangan.1
Di antara hak-hak perorangan adalah memiliki harta benda. Harta
adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu,
manusia dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta dapat
berwujud benda bergerak atau benda tidak bergerak. Cara memperoleh
hartapun beragam dan Islam telah menggambarkan jalan yang suci dan lurus
bagi umatnya guna memperoleh harta yang halal dan baik, di antaranya
adalah:2
1. Memiliki benda yang boleh dimiliki, Benda atau barang bukanlah benda
yang menjadi hak orang lain dan tidak ada larangan hukum agama untuk
diambil sebagai milik.
1 Afdol, Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan Permasalahan
Implementasi Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: Airlangga University Press, 2003), h. 19. 2 Nurul Huda & Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis
dan Praktis, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), h. 11.
2
2. Al-Uqûd, yaitu melalui transaksi (akad), seperti transaksi jual beli.
3. Harta yang didapat melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta
warisan maupun wasiat.
4. Tawallud min Mamluk (beranak pinak), harta yang berasal dari harta yang
dimiliki, seperti buah dari kebun yang dimiliki, hasil dari saham
perusahaan.
5. Harta pemberian negara kepada rakyatnya.
6. Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun,
seperti hubungan pribadi (hibah atau hadiah), pemilihan harta sebagai
ganti rugi, mahar, luqathah (barang temuan), dan santunan.
Agama mengatur penggunaan harta mulai dari cara memperolehnya
sampai dengan penggunaan harta tersebut. Umat Islam dilarang mencari dan
mentasharrufkan hartanya bertentangan dengan syari‟at. Setelah ia wafat pun
harta yang menjadi tinggalannya harus dibagikan kepada yang berhak sesuai
dengan aturan hukum Islam.
Kematian adalah suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan
akibat hukum berupa kewarisan yang melahirkan hak dan kewajiban antara
pewaris dan ahli waris. Pewaris yang meninggal dunia tidak secara langsung
menghapuskan seluruh kewajiban yang ditinggalkannya. Dalam sistem
kewarisan Islam, terdapat utang dan zakat yang wajib dilaksanakan oleh ahli
waris setelah meninggalnya pewaris. Setelah kewajiban semasa hidupnya,
pewaris juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu pembagian
dan/atau peralihan harta peninggalannya kepada ahli waris.3
Dalam literatur fiqh Islam, kewarisan (al-muwârits kata tunggalnya
al-mîrâts ) lazim juga disebut dengan farâ‟idh, yaitu jamak dari kata faridhah
diambil dari kata fardh yang bermakna ketentuan atau takdir. Al-fardh dalam
terminology syar‟i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.4
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu
yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.5
Dalam Hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli
warisnya. Unsur “memaksa” (ijbari) ini terlihat, terutama dari kewajiban ahli
waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya
sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh Allah di luar kehendaknya
3 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (tt.p.:PT. Bina Aksara, 1981),
h. 97 4 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, edisi revisi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 109. 5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), ed.1, cet.ke-2, h. 120.
3
sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal
dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya
setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara
otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang
sudah dipastikan.6
Hal yang berkaitan erat dengan kewarisan adalah wasiat. Wasiat juga
merupakan salah satu cara peralihan harta dari satu orang ke orang lain.
Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam saja
yang mengatur, tapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat.
Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam melaksanakannya.
Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sah-nya
pelaksanaan wasiat tersebut. Begitupula di Indonesia, sama mempunyai
aturan sendiri tentang wasiat ini. Di antaranya di atur dalam BW7 untuk non
muslim atau kaum adat, sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam.
Wasiat ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris
beserta hutang-hutang bagi orang yang meninggal. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur`an surat An-Nisa‟ ayat 11:
...
Artinya: “... (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya
...” (QS. An-Nisa‟ [04]: 11)
Dalam ayat tersebut Allah mewajibkan umat Islam untuk
mempusakakan harta peninggalannya kepada ahli warisnya dan mewajibkan
untuk mendahulukan pelaksanaan wasiat dan pembayaran hutang-hutang
daripada mempusakakan harta peninggalannya.8
Pada dasarnya memberikan wasiat itu adalah suatu tindakan
ikhtiyariyah, yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan
sendiri, dalam keadaan bagaimanapun juga penguasa maupun hakim tidak
dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat9
Hukum Melaksanakan Wasiat bisa wajib, sunnah, makruh, boleh
bahkan haram tergantung dari sesuatu yang menjadi objek wasiat yang akan
6 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 281-282.
7 Singkatan dari Burgerlijk Wetboek, yaitu kitab Undang-Undang Hukum perdata
yang aslinya berbahasa belanda. Sebagian materi BW sudah dicabut berlakunya dan sudah
diganti dengan Undang-Undang RI misalnya UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU
Kepailitan. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia. 8 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma‟rif Bandung, 1975), h. 52.
9 Fatchur Rahman, Fiqih Waris, (Bandung: PT. Alma‟rif Bandung, 1975), h. 62.
4
diwasiatkan dan melihat keadaan dari pemberi wasiat dan penerima wasiat
tersebut karena hal-hal tersebut dapat menentukan hukum yang akan timbul
dari melaksanakan wasiat tersebut. Beberapa macam hukum wasiat di
antaranya adalah:10
1. Wajib, yaitu dalam keadaan jika seseorang menanggung kewajiban syar‟i
yang dikhawatirkan akan tersia-siakan jika tidak diwasiatkan, seperti
adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia,
kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum
dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan.
2. Sunnah, apabila diperuntukkan bagi kepentingan ibadah dan kebajikan,
karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
3. Haram, Wasiat itu diharamkan jika merugikan ahli waris. Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عن معمر، عن أشعث بن عبد اللو، عن شهر بن حوشب، عن أب إن الرجل ل يعمل »: ا وا اللو ل اا عل و ل : ىر ير ا
بعمل الي بعين نة، فإذا أ ح ف ف تو في خت لو بسوء عملو في دخل الن ، إن الرجل ل يعمل بعمل الشر بعين نة في يعدا ف
11( اه عبدالرزاق) « تو في خت لو ي عملو في دخل اانة Artinya: “Sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar mengerjakan
amal ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun. Lalu ketika berwasiat,
dia berbuat dzalim dalam wasiatnya. Hidupnyapun ditutup dengan
amalnya yang paling buruk sehingga dia masuk neraka. Dan
sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar mengerjakan amal ahli
kejahatan selama tujuh puluh tahun. Lalu dia berlaku adil dalam
wasiatnya. Hidupnyapun ditutup dengan amalannya yang paling baik
sehingga dia masuk surga.”
Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil,
sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga
mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
4. Makruh, yaitu jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia
mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya.
Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang fasik jika orang
10
Sayyid Sâbiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid IV, terj. Mujahidin Muhayan, Lc., (Jakarta:
PT Pena Pundi Aksara, 2009), Cet.ke-1, h. 527-528. 11
Abdur Razzâq, Al-Mushannaf, Jilid IX, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt ), h.88
5
yang berwasiat mengetahui atau meyakini bahwa mereka akan
menggunakannya dalam kefasikan dan kemaksiatan.
5. Mubah, Wasiat diperbolehkan bila ditujukan kepada orang yang kaya,
baik orang yang diwasiati itu kerabat maupun orang jauh (bukan kerabat).
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum wasiat, akan
tetapi menurut mayoritas ulama, hukum wasiat adalah bukan fardhu „ain
(kewajiban individual). Berdeda dengan mayoritas ulama, Abu Daud, Ibn
Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu „ain.12
Menurut Jumhur Ulama pada dasarnya hukum wasiat adalah sunnah.
Namun kewajiban wasiat tetap ada terhadap kewajiban-kewajiban yang
belum ditunaikan seperti utang, zakat yang belum dikeluarkan atau kafarat
yang belum dibayar. Sedangkan Ibn Hazm berpendapat bahwa hukum wasiat
itu wajib „ain bagi setiap orang yang akan meninggal dunia dan
meninggalkan harta. Orang yang meninggal dan belum meninggalkan wasiat
maka fardhu hukumnya untuk menshadaqahkan sebagian hartanya karena
hukum daripada wasiat adalah wajib.13
Begitu pula Abu Dawud, Masruq,
Thawus, Iyas, Qatadah dan Ibnu Jarir juga menyatakan bahwa wasiat itu
hukumnya wajib bagi kedua orangtua dan kerabat yang karena suatu sebab
tidak mendapat bagian waris.14
Apabila pendapat Ibn Hazm ini dibandingkan dengan jumhur, maka
akan terlihat perbedaan sebagai berikut: Pertama, Kewajiban wasiat menurut
Ibn Hazm bersifat qadha‟i, dalam arti ahli waris yang ada akan bertindak
melakukan wasiat atas nama orang yang telah meninggal sekiranya dia tidak
berwasiat. Sedangkan menurut jumhur, kewajiban tersebut bersifat ta‟abbudi,
artinya, seseorang akan berdosa sekiranya tidak memberikan wasiat, namun
tidak ada keharusan bagi ahli waris untuk bertindak atas nama orang yang
telah meninggal itu. Kedua, Menurut Ibn Hazm, wasiat wajib tersebut
berkenaan dengan anggota kerabat yang tidak berhak mewarisi, baik karena
terhijab maupun karena terhalang. Sedang jumhur, wasiat wajib tersebut
berkenaan dengan kewajiban yang belum ditunaikan seperti utang, kafarat,
zakat, dan kewajiban keibadatan lainnya.15
Wahbah Al-Zuhaili juga menyatakan bahwa sebagian ulama, seperti
Ibn Hazm, Adh-Dhahir, Ath-Thabari, Abû Bakr ibn „Abdul „Azîz dari ulama
Hanabilah berpendapat bahwa wasiat itu wajib, baik dhanatan maupun
qadha‟an, bagi orang tua dan kerabat yang tidak menerima bagian warisan,
12
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1997), h. 447. 13
Abû Muhammad „Alî Ibn Hazm, Al-Muhalla bi Al-Asar, Jilid VIII, (Beirut: Dâr
Al-Kutub Al-„Alamiyah, 2003), h. 349. 14
Fathur Rahman, Ilmu Waris, Cet.ke-2, (Bandung: Al-Ma‟arif: 1998), h. 52-54. 15
El Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan
terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab, (Jakarta: INIS, 1998), h. 193.
6
baik karena terhijab sebagai ahli waris atau adanya penghalang yang
menghalangi pewarisan, misalnya karena perbedaan agama. Jika pewaris
semasa hidupnya tidak memberikan wasiat untuk kedua orang tua atau para
kerabat, maka wajiblah bagi para ahli warisnya untuk memberikan sebagian
dari harta peninggalan pewaris kepada orang tua atau kerabat yang tidak
menjadi ahli waris tersebut.
Kewajiban wasiat bagi seseorang sebagaimana menurut para ulama,
disebabkan ketelodaran seseorang dalam memenuhi hak-hak Allah SWT.
Seperti tidak menunaikan haji, enggan membayar zakat, melanggar larangan-
larangan berpuasa, dan sebagainya yang telah diwajibkan syariat sendiri,
bukan oleh penguasa atau hakim.16
Namun demikian, penguasa atau hakim sebagai aparat negara
tertinggi mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib
wasiat (yang mana hal ini terkenal dengan istilah Wasiat wajibah) kepada
orang tertentu dalam keadaan tertentu ketika orang yang meninggal lupa
dalam memberikan wasiat kepada orang yang seharusnya menerima harta
wasiat darinya.17
Oleh karena hukum wasiat itu wajib, sedangkan kewajiban itu
berhubungan dengan pihak lain, yaitu kedua orang tua dan para kerabat,
maka sekalipun wasiat itu dalam kenyataannya tidak ada atau tidak diberikan
oleh yang meninggal dunia, maka demi hukum harus dianggap ada dan harus
dilaksanakan dalam pembagian harta peninggalan yang bersangkutan.
Konstruksi wasiat yang demikian itulah yang disebut Wasiat wajibah . jadi
Wasiat wajibah itu ada semata-mata karena anggapan hukum.
Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi
atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal
dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak
diucapkan, baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang
meninggal dunia.18
Dikatakan wasiat wajib, disebabkan karena dua hal:19
1. Hilangnya unsur ikhtiyari bagi si pemberi wasiat dan muncul unsur
kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa
tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima
wasiat.
2. Ada kemiripan dengan ketentuan-ketentuan pembagian harta pusaka
dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.
16
Fatchur Rahman, Fiqih Waris, h. 62. 17
Fatchur Rahman, Fiqih Waris, h. 63. 18
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 163. 19
Fathur Rahman, Ilmu Waris, Cet.ke-2, h. 63.
7
Ketentuan Wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad para ulama dalam
menafsirkan QS: Al-Baqarah :180.
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah [02]: 180)
Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat al-Baqarah di atas,
berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya
wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan,
sehingga pemberian Wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang
mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan.
Sedang sebagian lain berpendapat karena ketetapan hukum mengenai wasiat
dalam ayat tersebut telah dinasakh, baik oleh Al-Qur‟an maupun al-Hadits.
Menurut beberapa ulama` madzhab seperti Imâm Mâlik, bahwa
wajibnya wasiat kepada ahli waris sebagaimana penjelasan ayat 180 QS. Al-
Baqarah di atas adalah sudah dihapus hukumnya dengan datangnya ayat
mawaris dan juga Hadis Nabi:20
, أ د بن مد الم رجس ي حد ين , بن إبيراى بن ع س حد ين عل ي إس ع ل بن مسل حد ين , ز ا بن عبد اللو حد ين , عمر بن ز ا حد ين
ا وا اللو ل اا عل و : ا , عن عمر بن خ جة , عن ااسن , 21( اه الدا طني)« ة لوا إ أن ي الو ة »: ل
Artinya: “Tidak ada hak menerima wasiat bagi ahli waris yang
menerima warisan kecuali apabila ahli waris lain membolehkan.”
(HR. Ad-Dâraquthnî)
20
Mâlik ibn Anas ibn Mâlik ibn „Ȃmir Al-Ashbahî Al-Madanî, Al-Muwaththa‟,
(Beirut: Dâr Ihya‟ At-Turas, 1985), h. 765. 21
Abû al-Hasan „Alî ibn „Umar ibn Mahdî, Sunan ad-Dâruqutnî, Jilid V, (Bairut,
Muassisah ar-Risâlah, 2004), h. 267.
8
Pendapat Imâm Mâlik ini sama dengan pendapat Hanafiyah, yang
menyatakan bahwa ayat 180 dari QS. Al-Baqarah tersebut di atas sudah
dihapus, tapi para ulama berbeda pendapat dalam cara penghapusannya.
Menurut sebagian ulama bahwa ayat tersebut dihapus dengan Hadis Nabi di
atas saja, karena menurutnya terkadang Al-Qur‟an bisa dihapus dengan Hadis
Mutawatir. Dan sebagian lainnya berpendapat penghapusan ayat tersebut
adalah dengan ayat mawaris dan Hadis Nabi SAW tersebut di atas.22
Imâm asy-Syâfi‟i menjelaskan bahwa dalam ayat 180 QS. Al-
Baqarah, menurut para ahli ilmu Qur‟an, kefardhuan wasiat kepada orang tua
atau kerabat dalam ayat tersebut adalah sudah dinasakh, sedangkan mereka
berbeda pendapat bagi kerabat yang tidak mendapatkan harta warisan. Dalam
hal ini Imâm asy-Syâfi‟i berpegang terhadap para ahli ilmu yang berpendapat
hukum wasiat pada ayat tersebut sudah dihapus dengan ayat mawaris dan
Hadis Nabi di atas. Penghapusan ayat tersebut menunjukkan bahwa wasiat
tidak diperbolehkan bagi ahli waris yang mendapatkan warisan tapi wasiat
diperbolehkan untuk selain kerabat. Wasiat kepada orang tua atau orang yang
bisa mewarisi dalam setiap keadaan adalah boleh dengan catatan mereka
tidak mendapat harta warisan karena suatu sebab.23
Menurut Ibn Hazm, bahwa kerabat yang tidak mendapatkan harta
waris sebab budak atau kafir atau mereka yang terhalang baginya
mendapatkan harta warisan maka wajib untuknya diberi wasiat. Oleh karena
itu diharuskan berwasiat untuk mereka dengan sesuatu yang bisa
menyenangkannya. Begitu juga bagi kedua orang tuanya atau salah satu dari
keduanya seorang kafir atau budak maka wajib memberinya wasiat. Dan
apabila sampai meninggal anaknya tidak berwasiat kepadanya maka tetap
wajib memberi mereka berdua atau salah satu dari mereka atas harta anaknya.
Setelah wasiat diberikan kepada mereka (orang tua atau kerabat yang tidak
mendapat harta waris) dilaksanakan, baru bagi si mayit bisa meninggalkan
wasiat kepada yang lain sekehendaknya.24
Ibn Hazm dalam menjelaskan ayat 180 QS. Al-Baqarah, wasiat wajib
dikecualikan bagi orang tua dan kerabat yang sudah menerima harta waris.
Bagi mereka (orang tua dan kerabat) yang tidak menerima harta waris maka
tetap wajib hukumnya memberi wasiat karena itu adalah hak mereka, jika
tidak memberinya wasiat (wajibah) maka ia telah mendhaliminya.25
22
Alaudin Abû Bakr, Badai‟ As-Sanai, Juz VII, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Aroby,
1974), h. 330-331. 23
Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Juz IV, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983),
h. 103-104. 24
Abû Muhammad Alî Ibn Hazm, Al-Muhalla bi Al-Asar, Jilid VIII, h. 353. 25
Abû Muhammad Alî Ibn Hazm, Al-Muhalla bi Al-Asar, Jilid VIII, h. 354.
9
Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari
pendapat ulama salaf dan khalaf, sebagaimana penjelasan Fatchur Rahman:26
1. Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak menerima
pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat Fuqahâ` dan ahli hadis, di
antaranya yaitu Said Ibn al Musayyah, Hasan al Basry, Tawus, Ahmad,
Ishaq Ibn Rahawaih dan Ibn Hazm.
2. Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabatnya
yang tidak menerima pusaka yang berfungsi sebagai Wasiat wajibah, bila
si mati tidak berwasiat adalah diambil dari pendapat Ibn Hazm yang
dinukilkan dari Fuqaha Tabi‟in dan pendapat Imâm Ahmad.
3. Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada
cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar sepertiga peninggalan
adalah didasarkan pendapat Ibn Hazm dan kaidah syari‟ah yang
mengatakan bahwa pemegang kekuasaan mempunyai wewenang
memerintahkan perkara yang diperbolehkan karena ia berpendapat bahwa
hal itu akan membawa kemashlahatan umum, bila penguasa menetapkan
demikian maka wajib ditaati.
Pada zaman sekarang, pendapat tentang wasiat wajib ini dijadikan
dasar perundang-undangan Mesir untuk memberikan hak kewarisan kepada
cucu yang ditinggal mati oleh ayahnya, yang terhijab oleh anak pewaris.
Wasiat ini secara resmi disebut dengan istilah al-washiyyah al-wâjibah..
Undang-undang Wasiat Mesir No. 7 Tahun 1946 Pasal 76-79 telah
memberlakukan Wasiat wajibah untuk memberi bagian kepada cucu-cucu
yang terhalangi oleh pamannya karena orang tuanya meninggal sebelum atau
bersama-sama dengan kakek atau neneknya. Ketentuan demikian juga diikuti
oleh Syiria, Tunisia dan Maroko.
Ketentuan tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk Wasiat
wajibah yang diintrodusir di beberapa negara muslim termasuk Indonesia,
meski yang terakhir ini mengalami perubahan makna dan nuansa, yaitu hanya
diberikan kepada anak atau orang tua angkat,27
hal ini merupakan suatu
ketentuan yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum Islam.
Wasiat merupakan salah satu kewenangan absolut pengadilan agama
menurut undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang
telah diubah dengan undang-undang No. 50 Tahun 2009.28
Namun dalam
kenyataannya, belum ada hukum materiil dalam bentuk Undang-Undang
26
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : Pustaka Al Ma‟arif, 1985), h. 64-65. 27
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 447. 28
Wasiat yang menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah wasiat yang
dibuat oleh orang yang beragama islam berdasarkan asas personalitas keislaman, kecuali
secara tegas pewasiat menyatakan wasiatnya dibuat berdasarkan hukum Eropa atau hukum
adat. Lihat M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 148.
10
yang mengaturnya. Satu-satunya peraturan yang mengatur wasiat adalah
Kompilasi Hukum Islam (KHI), termuat dalam instrumen hukum berupa
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam yang
mengatur wasiat dalam pasal 194-209 dipandang sebagai hukum materiil dan
diberlakukan di peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama.29
Selain mengatur wasiat biasa, KHI juga mengatur dan mengintrodusir
hal baru dalam hazanah Islam di Indonesia yaitu wasiat wajibah. Secara teori
Wasiat wajibah didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan penguasa atau
hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib
wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang
tertentu dalam keadaan tertentu.30
KHI mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wajibah dan
berbeda dalam pengaturannya dari negara-negara Muslim yang lain seperti
Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisia yang melembagakan wasiat wajibah
untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu
daripada kakek atau neneknya. Sementara konsep KHI adalah memberikan
Wasiat wajibah terbatas pada anak angkat dan orang tua angkat.31
Pengangkatan anak yang diperbolehkan hukum Islam tidak
berpengaruh dalam hukum kewarisan, karena prinsip dasar mewaris dan
prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah.32
Dengan demikian
Islam tidak menjadikan anak adopsi sebagai sebab terjadinya hak waris-
mewariskan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, namun dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan produk manusia dari
berbagai madzhab dan dijadikan sebagai salah satu sumber hukum di negara
kita telah memperluas penerapan wasiat wajibah dan memberikan ketentuan
bahwa anak angkat berhak menerima bagian warisan dengan jalan wasiat
wajibah, sebagaimana diatur dalam pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam (KHI), sebagai berikut:
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal
176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap
orang tua angkat yang tidak menerima waisat diberi Wasiat
29
Hartini dan Yulkarnain Harahap, “Pengaruh Kompilasi Hukum Islam dalam
Penyelesaian Perkara Kewarisan pada Pengadilan Agama di Daerah Istimewa Yogyakarta”,
dalam Mimbar Hukum, Nomor 35, V, 2000, h. 143. 30
Abdul Manan, “Beberapa Masalah Hukum tentang Wasiat dan Permasalahannya
dalam Konteks Kewenangan Peradilan Agama,” dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum
Islam, Nomor 38, IX, 1998, h. 23. 31
Roihan A Rasyid, “Pengganti Ahli Waris dan Wasiat wajibah”, dalam Cik Hasan
Bisri, (eds.), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 88-89. 32
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h.
42.
11
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak
angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi Wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.33
Dengan demikian terdapat perbedaan yang prinsip antara wasiat
wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam dengan wasiat wajibah yang dikenal
di kalangan para ulama selama ini. Dalam Kompilasi Hukum Islam, wasiat
wajibah dipergunakan untuk memberikan bagian dari harta peninggalan
orang tua angkat kepada anak angkatnya, atau sebaliknya, yang antara
keduanya oleh Islam dinyatakan tidak mempunyai hubungan kewarisan.
Sedang Wasiat wajibah di kalangan para ulama dipergunakan untuk
memberikan bagian kepada ahli waris atau kerabat yang terhalang atau
terhijab dalam menerima warisan.
Dalam banyak kasus, posisi anak angkat di luar jajaran ahli waris
dapat menimbulkan permasalahan keadilan.34
Status anak angkat di Indonesia
memiliki kriteria tersendiri sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 171
huruf (h) KHI yaitu anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainnya beralih tanggung jawab dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan pengadilan.35
Hubungan yang akrab antara anak angkat dengan orang tua angkat
yang diikat oleh rasa kasih sayang murni, pengabdian dan jasa anak angkat
terhadap orang tua angkat, asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam,
menjadi beberapa pertimbangan sehingga secara moral orang tua angkat
dituntut memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk kesejahteraan
anak angkatnya.36
Wasiat wajibah pada dasarnya berada di antara “wasiat” dan
“warisan”. Dikatakan demikian karena “pewaris” tidak pernah secara
eksplisit mewasiatkan kepada siapa sebagian dari harta warisnya harus
diserahkan akan tetapi ada pihak tertentu-sebut saja (dalam kasus ini anak
angkat) mendapat bagian dari harta peninggalan sekalipun ia bukan sebagai
ahli waris.
Pranata ini pada dasarnya tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab
fiqih klasik dan baru muncul dalam kitab-kitab fiqih kontemporer setelah
munculnya pengaturan mengenai hal ini dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdasata Mesir (Qânûn al-Madânî) yang menetapkan adanya Wasiat
33
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademi Presindo,
1995), h. 164. 34
Afdol, Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam, h. 91. 35
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h. 54. 36
Syukri Abubakar, “Aplikasi „Urf dalam Kompilasi hukum Islam”, istinbath
(Jurnal Hukum dan Ekonomi), No. 1 Vol. I (Juli-Desember, 2003), h. 90.
12
wajibah terhadap cucu dari anak perempuan yang tidak berhak mendapatkan
harta warisan melalui proses hukum waris.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia memasukkan adanya
wasiat wajibah tetapi bukan untuk cucu dari anak perempuan seperti yang
berlaku di Mesir karena hal itu sudah tercakup dalam pengaturan tentang
waris pengganti, melainkan ditujukan pada anak angkat sebagai persoalan
yang muncul dalam banyak kasus di dalam hukum keluarga di Indonesia.
Dari persoalan yang mendasar di atas penulis ingin mengkaji
persoalan dalam hal ini mengenai wasiat wajibah dan pengangkatatan anak
dalam Hukum Islam. Dalam rangka terciptanya suatu tuntunan Hukum yang
berlaku bagi Umat Islam khususnya yang ada di Indonesia dan sekaligus agar
pelaksanaan dari suatu wasiat tetap berpegang pada ajaran-ajaran yang telah
di informasikan dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits mengenai pembagian harta
yang dimilikinya. Maka penulis tertarik untuk membahas dalam tesis degan
judul “Wasiat Wajibah dalam Pandangan Fuqahâ`” (Studi Analisis Pasal
209 Ayat (2) KHI tentang Wasiat wajibah terhadap Anak Angkat)
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
a. Istilah Wasiat wajibah dalam hukum Islam klasik tidak pernah dikenal
kemudian diberlakukan di beberapa negara Islam untuk kepentingan
para cucu dari garis perempuan baik laki-laki maupun perempuan yang
dalam hukum waris Islam tidak memperoleh hak waris.
b. Wasiat wajibah di Indonesia seperti yang diberlakukan dalam pasal
2009 ayat (2) KHI adalah bukan terhadap para cucu dari garis
perempuan tetapi terhadap anak angkat dari orang tua angkatnya.
c. Wasiat wajibah merupakan produk ijtihad ulama di Indonesia yang
secara substansi menurut pendapat ulama di Timur Tengah yang
memberlakukan Wasiat wajibah. Di Indonesia ditujukan untuk anak
angkat sedangkan di dunia Islam ditujukan untuk para cucu dari garis
perempuan.
d. Anak angkat selama ini tidak memiliki tempat dalam hukum Islam
untuk memperoleh hak warisan, dan dengan pemberlakuan pasal 209
ayat (2) KHI, anak angkat menjadi berkemungkinan secara ligitasi
pengadilan agama memperoleh bagian warisan.
e. Pemberlakuan Wasiat wajibah mempengeruhi peralihan nilai hak
warisan dari ahli waris yang lain.
f. Konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap anak angkat atas
orang tua angkatnya menurut hukum Islam dan Kompilasi Hukum
Islam.
g. Kedudukan anak angkat dalam hukum Islam dan dalam sistem hukum
Indonesia khususnya hukum kewarisan.
13
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa identifikasi masalah di atas, maka penulisan tesis ini
akan dibatasi pada tiga hal saja yakni:
a. Konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap anak angkat dalam
hukum kewarisan Islam.
b. Kedudukan anak angkat menurut hukum Islam, hukum positif dan
hukum adat di Indonesia.
c. Wasiat wajibah terhadap anak angkat atas orang tua angkatnya menurut
Kompilasi Hukum Islam.
d. Kesesuaian pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tentang wasiat
wajibah terhadap anak angkat dengan hukum Islam.
3. Perumusan Masalah
Dari batasan masalah di atas, penulisan tesis ini akan difokuskan pada
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap anak
angkat dalam hukum kewarisan Islam?
b. Bagaimana kedudukan anak angkat menurut hukum Islam, hukum
positif dan hukum adat di Indonesia?
c. Bagaimana Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang Wasiat wajibah
anak angkat atas orang tua angkatnya?
d. Apakah pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tentang wasiat
wajibah terhadap anak angkat sudah sesuai dengan hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk menjelaskan konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap
anak angkat menurut hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an, Hadist
dan pendapat para ulama‟fiqih.
2. Untuk menjelaskan kedudukan anak angkat dalam hukum Islam, hukum
positif dan hukum adat di Indonesia.
3. Untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam
mengenai Wasiat wajibah atas anak angkat.
4. Untuk menjelaskan kesesuaian pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat dengan hukum Islam.
Sebagaimana tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi peneliti, civitas akademika, dan masyarakat luas.
Bagi penulis, dengan penelitian ini akan semakin memperkaya dan
memperdalam wawasan dan pengetahuan penulis tentang sistem kewarisan
dalam hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan Wasiat wajibah.
14
Bagi mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, khususnya
mahasiswa pascasarjana konsentrasi syariah untuk mengkaji lebih dalam
tentang hukum pengangkatan anak serta akibat-akibat hukumnya dalam
pembagian waris dan juga tentang penerapan Wasiat wajibah pada anak
angkat menurut hukum Islam.
Bagi pemerintah dan masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat
berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum Islam khususnya
pelaksanaan hukum Waris Islam dan hukum waris adat, juga diharapkan
dapat digunakan sebagai bahan kajian maupun bimbingan masyarakat, dan
pada tingkat akhir diharapkan dapat berguna bagi pembangunan Hukum
Nasional khususnya pengaturan masalah pewarisan.
D. Studi Pustaka
Berdasarkan telaah sementara yang telah dilakukan dari sumber
kepustakaan, penulis mendapatkan beberapa karya ilmiah baik dalam bentuk
skripsi, Tesis dan Disertasi ataupun buku-buku yang sedikit bersinggungan
dengan tema yang akan diteliti. Beberapa di antaranya adalah:
1. Tesis yang ditulis oleh Spa Ichtiyatun (NIM. 6502001326) mahasiswi
sekolah pasca sarjana Universitas Indonesia Fakultas Hukum dengan judul
Kajian Wasiat wajibah dalam Sistem Tata Hukum Kewarisan Islam. Tesis
ini membahas masalah Wasiat wajibah sebagaimana diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam dan juga hak waris bagi pewaris non muslim.
Disimpulkan juga bahwa Wasiat wajibah dapat diperuntukan bagi pewaris
non muslim dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan. Wasiat
wajibah dinilai sebagai terobosan yang cerdas dalam menciptakan harmoni
antara hukum Islam dengan hukum adat di Indonesia sehingga dapat
menciptakan kerukunan antar umat beragama.
2. Tesis dengan judul Wasiat wajibah sebagai Bentuk Penerobosan
Kewarisan Ahli Waris Non Muslim yang disusun oleh Dorry Elvana Sarie
(Nim. 002085), mahasiswi sekolah pasca sarjana magister kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang. Dalam tesis ini disimpulkan bahwa
keberadaan lembaga Wasiat wajibah adalah sejalan dengan pandangan
Islam sebagai agama yang bertujuan untuk merealisasikan suatu
perwujudan dari prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam
ajaran Islam itu sendiri. Perasaan kasih yang terjalin dalam suatu keluarga
dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui wasiat sebagai bentuk
kasih sayang antar manusia. Semua itu dimaksudkan untuk menghindari
konflik akibat perasaan ketidak adilan akibat dominasi penganut agama
lain.
15
3. Tesis yang disusun oleh mahasiswa sekolah pasca sarjana magister
kenotariatan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang bernama
Muhammad Hekki Mikhail (Nim. 107011107) dengan judul Analisis
Hukum Islam tentang Penetapan Hak Wasiat wajibah terhadap Ahli Waris
Non Muslim (Studi Putusan N0. 0141/PDT.P/2012/PA.SBY). kesimpulan
hasil dalam penelitian ini adalah bahwa dalam pandangan Islam, ahli waris
non muslim tidak dapat mewarisi dan juga tidak mendapatkan warisan dari
keluarganya yang muslim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Al-Qur‟an dan
Hadis yang menyatakan bahwa muslim tidak bisa saling mewarisi dengan
non muslim.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih banyak
menitikberatkan pada kajian Wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim.
Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan kepada kajian mengenai
konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah terhadap anak angkat.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka penulis menggunakan
penelitian Studi Kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan atau
Library Research ini digunakan untuk mencari data teraktual yang bersifat
teoritis dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari serta menelaah
buku-buku bacaan, artikel, brosur serta sumber-sumber pustaka lainnya yang
berkaitan dengan materi tesis ini baik yang berada di perpustakaan dan juga
media elektronik.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan tipe penelitian analisis yuridis normatif
yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji dan menganalisis mengenai
konsep dan dasar hukum Wasiat wajibah. Pendekatan dalam penelitian ini
adalah adalah menggunakan pendekatan penelitian comparative atau kajian
perbandingan, yaitu untuk menemukan persamaan dan perbedaan antara
berbagai konsep atau pendapat mengenai hukum kewarisan Islam. Dengan
metode case approach (pendekatan kasus) yang bertujuan untuk mempelajari
penerapan Wasiat wajibah terhadap angkat dalam pelaksanaanya menurut
hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia.
16
3. Tehnik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini akan diperoleh melalui
studi pustaka/dokumen (library research) dan melalui wawancara dengan
tokoh-tokoh ahli. Melalui studi pustaka dan wawancara ini diharapkan akan
diperoleh data-data yang terkait dengan kerangka teori penelitian dan
beberapa data lain yang berkaitan dengan hukum warisan dan wasiat.
4. Tehnik Analisa Data
Data yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif, yaitu akan
dideskripsikan dan ditafsirkan melalui tahapan-tahapan berikut ini:
a. Reduksi Data
Data yang diperoleh melalui studi pustaka (library research) dan
wawancara, akan dicek kelengkapannya dan kemudian dipilah-pilah
berdasarkan satuan konsep, kategori, atau tema tertentu. Dalam hal ini
data yang tidak diperlukan disisihkan sehingga hanya yang diperlukan saja
yang akan dipakai.
b. Display Data
Mengingat banyaknya data yang harus dianalisis dan untuk mengurangi
tingkat kesulitan dalam pemaparan dan penegasan kesimpulan, maka perlu
dibuat sketsa, matrik, atau grafik sehingga keseluruhan data dan bagian-
bagian rinciannya dapat dipetakan secara jelas.
c. Kesimpulan
Data yang telah dipolakan dan disusun secara sistematik, baik melalui
penentuan tema maupun yang telah dibuat sketsa dan matriknya akan
diambil kesimpulan sehingga makna data dapat ditemukan.
5. Teknik Penulisan Penelitian
Teknik penulisan dalam penelitian ini akan merujuk pada Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta
tahun 2011. Sebagaimana adanya yang kemudian dianalisis dan diambil
kesimpulan yang ditunjang oleh data-data lain yang terkait.
F. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari lima bab yang masing-masing berisi:
BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang
masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitan, serta sistematika
penulisan.
17
BAB II Paradigma Wasiat wajibah dalam Hukum Waris. Bab ini
membahas tentang hukum kewarisan Islam, tinjauan umum tentang Wasiat
dan Wasiat wajibah, Wasiat wajibah menurut Pendapat ulama‟ fiqih, serta
membahas tentang siapa saja orang-orang yang berhak mendapatkan wasiat
wajibah dan besar bagiannya.
BAB III Anak Angkat dalam Hukum Kewarisan. Dalam bab ini
disampaikan uraian mengenai pengertian anak angkat dan pengangkatan
anak, Alasan pengangkatan anak, kedudukan anak angkat dalam hukum
Islam, hukum positif dan hukum adat di Indonesia, serta akbiat hukum
pengangkatan anak.
BAB IV Analisis Penerapan Hukum Wasiat wajibah terhadap Anak
Angkat yang Berlaku dalam Hukum Islam di Indonesia. Bab ini membahas
tentang Legitimasi Hukum Islam terhadap anak angkat di Indonesia,
Perbedaan Wasiat wajibah di negara Timur Tengah dan Indonesia, dan
analisis Wasiat wajibah terhadap anak angkat dalam pasal 209 ayat (2) KHI
di Indonesia, serta membahas tentang Aplikasi Kompilasi Hukum Islam
dalam Putusan Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah
Agung RI.
BAB V Penutup. Yang terdiri dari kesimpulan pembahasan yang ada
pada bab-bab sebelumnya serta saran/rekomendasi.
155
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam hukum Islam, hal pokok dalam kewarisan adalah adanya hubungan
darah atau nasab. Karenanya anak angkat tidak bisa saling mewaris
dengan orang tua angkatnya, namun anak angkat mendapat hak dengan
jalan wasiat wajibah sesuai dengan ketentuan pasal 209 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh
penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa, atau memberi
putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Adapun disebut wasiat
wajibah karena hilangnya unsur ikhtiar bagi pemberi wasiat dan
munculnya kewajiban melalui peraturan perundang-undangan atau
putusan pengadilan tanpa bergantung pada kerelaan orang yang berwasiat
dan persetujuan penerima wasiat. KHI menentukan kewajiban orang tua
angkat untuk memberikan wasiat wajibah kepada anak angkatnya untuk
kemaslahatan anak angkat sebagaimana orang tua angkat telah dibebani
tanggungjawab untuk mengurus segala kebutuhannya.
2. Pengangkatan anak menurut hukum perdata mempunyai akibat hukum
anak angkat mempunyai kedudukan seperti anak kandung dari orang tua
ankatnya dan memperoleh bagian warisan dari orang tua angkatnya.
Dalam hukum adat adat, pengangkatan anak mempunyai akibat hukum
yang berbeda-beda baik mengenai kedudukan maupun kewarisannya, hal
ini tergantung pada kelembagaan pengangkatan anak (sistem hukum) yang
hidup dan berkembang di daerah masing-masing. Sedangkan dalam
hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal
hubungan darah, hubungan wali-mewali, dan waris-mewaris dengan orang
tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orag tua kandungnya dan anak
tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya, hubungan mereka
adalah seperti hubungan antara orang lain kecuali keterikatan oleh kasih
sayang dan bantuan sosial dari orang tua angkat terhadap anak angkatnya
untuk mendidik, mengasihi dan membiayai untuk berbagai keperluan.
3. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pengaturan mengenai wasiat
wajibah terhadap anak angkat dimuat dalam Pasal 209 ayat (2), Pasal ini
menjelaskan bahwa anak angkat yang orang tua angkatnya meninggal,
maka baginya wasiat wajibah dengan batasan harta yang diwasiatkan
156
adalah tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta peninggalan. KHI mewajibkan
berwasiat kepada anak angkat atau orang tua angkat adalah berdasarkan
kemaslahatan atau untuk menghindari kemadharatan, meskipun di dalam
nash tidak dijelaskan tentang kewajiban berwasiat kepadanya. Demi
menegakkan keadilan dan menjaga ketentraman masyarakat, Undang-
undang melalui keputusan ulil amri atau pemimpin mewajibkan wasiat
kepada anak angkat dengan batasan maksimal 1/3. Adapun orang yang
meninggal dan lupa memberikan wasiat kepada anak angkat atau orang tua
angkatnya, pemerintah dalam hal ini diwakili Pengadilan Agama dapat
melaksanakan wasiat wajibah tersebut. Ketetapan KHI mengenai aturan
tentang wasiat wajibah ini juga mengacu kepada pendapat Ibn Hazm,
sementara dalam kitab-kitab fiqih tradisional tidak dikenal adanya wasiat
wajibah namun berbeda mengenai penetapan siapa yang berhak
mendapatkan wasiat wajibah. Jika Ibn Hazm menetapkan bahwa yang
berhak menerima wasiat wajibah adalah karib kerabat yang mempunyai
hubungan darah dalam hubungan nasab, baik dari pihak ayah ataupun ibu.
Sedangkan dalam KHI yang berhak menerima wasiat wajibah adalah anak
angkat.
4. Ketentuan dalam pasal 209 ayat (2) KHI tentang wasiat wajibah untuk
anak angkat dengan batasan harta yang diwasiatkan adalah tidak boleh
lebih dari 1/3 dari harta peninggalan merupakan suatu gagasan baru yang
didasarkan kepada suatu kenyataan kondisi masyarakat Indonesia. Pasal
ini disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam
Indonesia dengan mengakomodasi ketentuan hukum adat dengan berbagai
koreksi sehingga tidak bertentangan dengan hukum Islam, hal ini pada
dasarnya merupakan upaya untuk mengaktualisasikan hukum Islam agar
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, serta memenuhi asas
kemanfaatan dan asas keadilan, yang dalam hukum islam disebut asas
maslahah dan asas ‘adalah. Kemaslahatan yang diperoleh ketika anak
angkat atau orang tua angkat diberi wasiat wajibah adalah menjaga
keadilan dan ketentraman dalam keluarga. Meskipun anak angkat bukan
anak kandung, kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkatnya
adalah seperti anak kandung. Dengan demikian, menurut penulis,
ketentuan dalam pasal 209 ayat (2) KHI sudah sesuai dengan hukum Islam
karena sesuai dengan asas maslahah dan asas ‘adalah yang merupakan
prinsip utama dalam hukum Islam.
157
B. Saran
1. Kepada para hakim agama di lingkungan peradilan agama agar dengan
tegas menerapkan adanya wasiat wajibah terhadap anak angkat dalam
pasal 209 dengan pemahaman bahwa jumlah 1/3 harta adalah jumlah
maksimal dan itupun hanya diberlakukan saat tidak ada anak-anak
langsung maupun ahli waris pengganti. Pada saat mereka masih ada, maka
diharapkan para hakim bisa memberikan putusan yang seadil-adilnya
dalam menentukan besarnya bagian masing-masing, baik yang berupa
wasiat wajibah maupun warisan.
2. Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam perlu ditafsirkan dengan
cermat dalam penerapannya sehingga harus dipandang bukan barang jadi
namun masih perlu penjelasan, kiranya hasil tesis ini dapat dijadikan
representasi terhadap bagaimana cara menerapkan hukum wasiat wajibah
dalam persoalan harta peninggalan.
159
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan terjemahannnya, Jakarta: Departeman Agama RI, 2005.
Abdul Aziz, Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar baru Van
Hoeve, 1997.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademi
Presindo, 2010.
Abu Bakar, Alaudin, Badai’ As-Sanai, Juz VII, Beirut: Dar Al-Kitab Al-
Aroby, 1974.
Abu Bakar, El Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan
terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab, Jakarta:
INIS, 1998.
Abu Bakar, Sayyid, I’anah Ath-Tholibin, Jilid III, Surabaya: al-Hidayah, tt.
Abu Bakar, Syukri, “Aplikasi „Urf dalam Kompilasi hukum Islam”, istinbath
(Jurnal Hukum dan Ekonomi), No. 1 Vol. I, 2003.
Abu Daud, Sunan Abi Dâud, Juz III, Beirut: Al-Maktabah Al-„Ishriyah, tt.
Afdol, Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan
Permasalahan Implementasi Hukum Kewarisan Islam, Surabaya:
Airlangga University prees, 2003.
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam, ed-1, Jakarta: Kencana, 2008.
Ali, Abu al-Hasan bin Umar bin Mahdy, Sunan ad-Daruqutny Jilid V, Bairut,
Muassisah ar-Risalah, 2004.
Ali, A. Yusuf, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, Myland:
Amana Corp B rentwood, 1983.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ed.1, cet.ke-2,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas
Pemikiran Fazlur Rahman, Cet.ke-IV, Bandung: Mizan, 1993.
Amin Suma, Muhammad, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan
Teks dan Konteks, Ed. 1, Cet.ke-1, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
160
Azhary, H.M. Thahir, Bunga Rampai Hukum Islam, Jakarta: Ind-Hild-Co,
1992.
Badran, Badrun Abu Al-Ainaini, Ahkam al-Washaya wa al-Auqaf,
Iskandariyah: Muassarah Syabab al-Jami‟ah, 1982.
Basyir, Ahmad Azhar, Kawin Campur Adopsi Wasiat menurut Hukum Islam,
Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1972.
Bisri, Cik Hasan, Kompilasi hukum Islam dan Peradilan Agama dalam
Sistem Hukum Nasional, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999.
Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Jakarta: Akademika
Presindo, 1985.
Budiono, Rahmad, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 2, Bairut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah,
1971.
Daud Ali, Mohammad, Asas-asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Echlas, Jhon M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1981.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid I, Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka, 1988.
Fatchurrahman, Wasiat Ikhtiyariyah dan Wasiat Wajibah, Yogyakarta:
UNISIA, 1979.
Al-Fatni, Abdul Malik, Khulashah al-Faraid, Mesir: Musthafa al-Baby al-
Halaby, 1949.
Hadikusumah, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, 1983.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Cet. VII, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003.
Al-Hâkim, Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahîhain, Jilid IV, Beirut: Dâr al-Kutub
al-„Ilmiyyah, 1990
Hamidi, Muhammad Kamal, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-Wasiyyat,
Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tt.
161
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam
Hukum Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Hartini dan Yulkarnain Harahap, “Pengaruh Kompilasi Hukum Islam dalam
Penyelesaian Perkara Kewarisan pada Pengadilan Agama di Daerah
Istimewa Yogyakarta”, Mimbar Hukum, Nomor 35, V, 2000.
Hasim, Moh. E., Kamus Istilah Islam, Bandung : Pustaka, 1987.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur`an dan Hadith, Jakarta:
Tintamas, 1990.
Huda, Nurul & Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan
Teoritis dan Praktis, cet. Ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media,
2010.
Husain, Ahmad Farraj, Nizham Al-Irtsi fi At-Tasyri’ Al-Islami, Beirut-
Lubnan: Al-Mu‟assasah Al-Jami‟ah, 1996.
Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al-Alaq, tt.
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, tt.
Ibn Manzur, Lisan Al-‘Arab, Mesir: Dar Al-Misriyah li At-Ta‟lif wa At-
Tarjamah, tt.
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid II, terj. Abu Usamah Fakhtur Rohman,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
I Doi, Abdurrahman, Shari`ah: The Islamic Law, London: Delux Press, 1984.
Idris, Ahmad, Fiqih Syafi’i, Jakarta: Widjaja Djakarta, 1969.
Al-Jazairy, Abdur Rahman, Fiqh ‘ala Madzahibi al-Arba’ah, Jilid III,
Libanon Bairut: Dar al-Kitab al-„Alamiyyah, 1990.
Jauhari, Iman, Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Bangsa,
2003.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan
Anak di Indonesia, cet.ke-2, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Khudary, Ahmad Kamil, Al-Mawaris al Islamiyah, Kairo: al-Majlis a`la
lissyu`uni Islamiyah, 1966
162
Makhluf, Husnain Muhammad, Al-Mawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah,
Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971.
Mahkamah Agung RI, Himpunan Kaedah Hukum Putusan Mahkamah Agung
RI Tahun 1969-1991, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1993.
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, Bombay:
Tripathi Ltd, 1972.
Malik, Imam bin Anas al-Ashbahi, Mudawanah, Juz IV, Bairut: ad-Dar al-
Kutub al-Alamiyah, 1994.
Malik bin Anas, Muwaththo’ Al-Imam Malik, Beirut: Dar Ihya‟ At-Turas,
1985.
Ma‟luf, Louis, Al-Munjid, Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986.
Martosedono, Amir, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya,
Semarang: Dahara Prize, 1990.
MD, Moh Mahfudz, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993.
Meliala, Djaja , Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Bandung:
Tarsito, 1982.
Mufiq Ad-Din, Abu Muhammad, Al-Mughni, Jilid VI, Beirut: Dar Al-Fikr,
1985.
Muhammad, Syamsuddin, Mughni al-Muhtaj, Jilid III, Bairut: Dar al-Fikr,
1997.
Muhibbin, Moh., dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Cet.I, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
Muhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Mujieb, M. Abdul, dkk, Kamus Istilah Fikih, Cet. I, Jakarta : Pustaka Firdaus,
1994.
Muslim, Shahih Muslim, Juz III, Beirut: Dâr Ihya at-Turâts al-„arabi, tt.
Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Ed. 1,
cet.ke-1, Jakarta: Kencana, 2008.
163
Muzdhar M. Atho‟ dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern
dan Kitab-Kitab Fikih, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nur ad-Din Muhammad, Abu al-Hasan, Shahih al-Bukhari, Jilid 2, Bairut:
Dar al-Kutub al-„Alamiyyah, 1971.
Pandika, Rusli, Hukum Pengangkatan Anak, Cet.ke-1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Perangin, Effendi, Hukum Waris, Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Powers, David Steven, The Formation of The Islamic Law of Inheritance,
America: International Microfilms University Press, 1986.
Al-Qalyubi, Syihabuddin Ahmad dan Syihabuddin Ahmad Al-Umairah,
Hasyiyatani Al-Qalyubi wa Ai-Umairah, Kairo: Al-MaktabahAt-
Taufiqiyah, 2008.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT. Alma‟rif Bandung, 1975.
Rasyid, Roihan, “Pengganti Ahli Waris dan Wasiat wajibah”, dalam Cik
Hasan Bisri, (eds.), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama
dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Razzâq, Abdur, Al-Mushannaf, Jilid IX, Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt.
Ritonga, A. Rahman, Ensiklopedi Hukum islam, Jakarta: tp, 1997.
Robert, The Social Laws of the Qoran, Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj,
1977.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1997.
Sabiq, Sayyid, Fiqih As-Sunnah, Jilid III, Kairo: Dar al-Fath li i‟lami al-
„Araby, 1989.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, terj. Mujahidin Muhayan, Lc., Jilid IV, Cet.ke-
1, Jakarta: PT Pena Pundi Aksara, 2009.
Sadjali, Munawir, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, di
dalam:Peradilan Agama dan Komplikasi Hukum Islamdalam tata
hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Prees, 1993.
164
Salabi, Muhammad Mustafa, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun,
Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978.
Sarmadi, Sukris, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti dalam
Kompilasi Hukum Islam, Cet. 2, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.
Ash-Shabuni, Ali, Al- Mawaris fi syariat al Islamiyyah `ala Dhau'i Kitabi wa
as-Sunah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Waris dalam Syariat Islam, terj. M.
Samhuji Yahya, Bandung: Diponegoro, tt.
Ash-Shiddiqy, Hasbi, Fiqh Mawaris, Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Sidik, Abdullah, HukumWaris Islam dan Perkembangannya di Seluruh
Dunia Islam, Jakarta: Wijaya, 1984.
Siraj, Muhammad, Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan, dalam Johannes
dan Hayer dab Syamsul Anwar (red), Islam, Negara dan Hukum,
Jakarta : Nis, 1993.
Sitompul, Anwar, Fara’id, Hukum Waris dalam Islam dan Masalah
Masalahnya, (Surabaya: Al ikhlas, 1984.
Soejati, Zarkowi, Sejrah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam, di
dalam:Peradilan Agama dan Komplikasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Prees, 1993.
Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Takeko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta:
Rajawali Perss, 1983.
Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1990.
Soimin, Soedaryo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika,
1992.
Sulaiman, Abu Dawud Ibn al-Asy`as as-Sajistan, Al-Sunan Abu Dawud, Jilid
2, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952.
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, edisi
revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Summa, Muhammad Amin, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan
Teks dan Konteks, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
165
Sya‟ban, Zaki al-Din, Ushûl Al-Fiqh Al-Islâm, Mesir: Dar At-Ta‟lif, 1965.
Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Juz IV, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983.
Syaltout, Mahmud , Al-Fatawa, Kairo: Dar Al-Kalam, tt.
Syarifuddin, Amir, Pelaksana Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Syukrie, Erna Sofwan, Penyempurnaan Pembina Kesejahteaan Anak Melalui
Pengangkatan Anak, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1995.
Tafal, B. Bastian, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-
Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, Jakarta: C.V. Rajawali Press,
1983.
Thanthawi, Ali, Fatwa-Fatwa Populer Ali Thanthawi, Solo: Era Intermedia,
1998.
Thaib, H. M. Hasballah, 21 Masalah Aktual dalam Perkembangan Fiqih
Islam, Medan: Fakultas Tarbiyah Universitas Medan, 1995.
Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1981.
At-Tirmidzî, Sunan Tirmidzî, Juz III, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islami, 1998.
Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi
Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1997.
Utomo, Setiawan Budi, Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Zahrah, M. Abû, Al Tirkah wa al-Mîrâts, Cairo: Dar Al- Fikr, 1975.
Zaeni, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Cet.ke-5,
Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Islâm Wa Adillatuhu, cet. III, Damaskus: Dâr Al-
Fikr, 1989.
166