Download - Fertil steril
Corpus Luteum pada manusia: siklus hidup dan
fungsi dalam siklus alami Luigi Devoto,M.D.Ariel Fuentes, M.D., Paulina Kohen, B.S., Pablo Cespedes,M.D., Alberto
Palomino,M.D.,Ricardo Pommer,M.D., Alex Munoz, B.S., and Jerome F. Strauss,
III,M.D.,Ph.D.
Tujuan: Untuk menunjukkan penemuan terbaru dalam memahami jalur endokrin antara
hipotalamus, hipofise, dan korpus luteum; untuk mempelajari parakrin mayor dan mekanisme
autokrin dan peranan kunci gen dan protein dalam pembentukan corpus luteum, fungsi dan
regresi dalam siklus alami; untuk melihat endokrin dan respons molecular dari fase midluteal
corpus luteum untuk pengaturan secara in vivo human chorionic gonadotropin (HCG); dan
untuk mendeskripsikan evaluasi USG dan Doppler dari ovarium dan endometrium melalui
fase luteal.
Bentuk Penelitian: Berdasarkan dari data pada literatur, termasuk penelitian dasar dan klinis
dari peneliti.
Tempat: Universitas yang mempunyai Rumah Sakit dan tempat riset
Pasien: Tidak ada
Intervensi:Tidak ada
Penilaian Hasil Utama: Klinis dan analisis molecular dari fungsi Corpus Luteum manusia
Hasil: Fungsi endokrin dari subpopulasi sel luteum penting untuk menjaga fungsi corpus
luteum, termasuk neovaskularisasi dan produksi hormon steroid. Kami berpendapat gen dan
protein mempunyai peranan dalam perkembangan struktur luteum dan fungsi melalui siklus
haid dan model yang kami lakukan dari terapi HCG menyerupai awal kehamilan.
Kesimpulan: Dari data ini mengindikasikan bahwa fungsi jangka hidup dari corpus luteum
tergantung dari mekanisme parakrin dan autokrin. Oleh karena itu, secara signifikan kunci
gen dan protein yang kami analisa di sel lutein selama pembentukan corpus luteum, fungsi,
kematian dan diselamatkan oleh HCG sepertinya membawa aplikasi terapi baru dalam
penanganan defek fertilitas dan kontrol fertilitas.( Fertil steril 2009;92:1067-79. 2009 oleh
American Society for Reproductive Medicine)
Kata Kunci: Fungsi corpus luteum manusia, siklus alami, steroidogenesis
Corpus luteum manusia (CL), kelenjar endokrin sementara berasal dari folikel yang telah
ovulasi, adalah sumber utama dari hormon steroid, memproduksi hingga 40 mg progesteron
per hari. Secara signifikan sekresi jumlah androgen dan estradiol (E2) sebagai tambahan pada
progesteron unik pada corpus luteum kebanyakan primata, termasuk manusia. Pola dari
produksi progesteron melalui fase luteal menentukan siklus haid dan penerimaan
endometrium untuk keberhasilan implantasi dan penting untuk pemeliharaan pada awal
kehamilan. Walaupun yang mendasari endokrin, autokrin/parakrin dan mekanisme molekular
mengontrol produksi progesteron pada saat foliker sel mengalami luteinasi dan selama
pembentukan, fungsi, dan menyelamatkan corpus luteum merupakan yang terpenting untuk
memahami siklus subur. Sebagai tambahan, ikhtisar ini meliputi, penelitian, mengenai aksi
dari progesteron selama luteinisasi folikular, dan endokrin dan status fungsi morfologi dari
ovarium seperti yang dievaluasi oleh USG.
LUTEINISASI FOLIKULER
Proses luteinisasi granulosa-sel teka dipacu oleh hipofise, turunan Luteinizing hormone (LH),
dimana mengaktivasi jalur transduksi sinyal tergantung pada protein kinase A (PKA) dan
memungkinkan jalur dengan reseptor LH (LHr) digabungkan untuk mengubah Ca intraselular
dan diacylgliserol (IP3) diproduksi oleh aktivasi phospholipase C. Sintesis estradiol
meningkatkan secara progresif dari folikel dominan dan menginisiasi LH surge. Peningkatan
sedikit pada level progesteron dapat terlihat pada wanita normal sebelum LH surge, dimana
menggambarkan peningkatan amplitudo Luteinizing Hormone dan frekuensi yang menuju ke
lonjakan. Pada manusia, lonjakan LH dengan waktu 24 hingga 36 jam kurang menimbulkan
pembukaan meiosis oosit. Uncoupling gap junction antara sel granulosa dengan plasma
membran dari oosit, luteinisasi sel granulosa, ovulasi dan fase awal dari pembentukan corpus
luteum.
Fenotip dari preovulasi sel granulosa meliputi ekspresi dari beberapa faktor yang
menstimulasi untuk progresi siklus sel. Termasuk siklin B 1-2, reseptor FSH dan enzim
steroidogenik 3β –hidroksisteroid dehidrogenase (3β-HSD) dan aromatase sebelum lonjakan
LH. Sebagai tambahan, FSH mempengaruhi LHr pada granulose sel pada folikel yang sedang
berkembang. Sebaliknya lonjakan LH menghambat proliferasi sel, kemungkinan sebagai
hasil dari perubahan pada siklin dan gen lain (1-3). Tanda LH mulai melonjak ditandai
dengan meningkatnya biosintesis steroid dan mulai melanjutkan meiosis, ovulasi dan berikut
dengan luteinisasi teka dan sel granulosa. Jadi LH bertindak melalui LHr saat preovulasi sel
granulosa termasuk peranan FSH pada fase berikut dari pematangan folikel.
Setelah lonjakan LH, konsentrasi progesteron dan 17 α-hidroksiprogesteron pada
plasma meningkat mengindikasikan dimulainya luteinisasi granulosa dan teka sel. Level
progesteron meningkat tajam setelah lonjakan LH atau pemberian HCG (30 menit). Respon
yang cepat ini menunjukkan kebanyakan enzim dan protein dibutuhkan untuk sintesis
progesteron harus ada di dalam sel atau secara cepat mereka dibuat. Kurangnya
keseimbangan pada perlengkapan enzimatik pada sel granulosa manusia sebelum puncak
lonjakan LH menuju luteinisasi sel teka sebagai sumber yg memungkinkan untuk
peningkatan segera pada sintesis progesteron (4). Pada saat ini,beberapa perubahan morfologi
dan molekular menggantikan tempat di sel granulosa. Luteinisasi sel granulosa manusia
termasuk peningkatan pada ekspresi LHr dan reseptor progesteron (PR) sebagai pengikat
membantu gen protein steroidogenik acute regulatory (StAR) termasuk faktor steroidogenik 1
(SF-1), termasuk salah satu reseptor nucleus superfamily, GATA-4, CCAAT/ meningkatkan
ikatan protein β (C/EBPβ), P450 pembelahan rantai kolesterol( P450scc), siklooksigenase
2(COX-2), dan anggota dari matriks metalloproteinase yang penting dalam menentukan
sintesis progesteron, maturasi oosit, dan rupture folikel
FUNGSI KLASIK RESEPTOR PROGESTERON DAN OVARIUM
Efek fisiologis progesterone secara primer dimediasi oleh interaksi dengan PR. Ada 2
klasik isoform PR, PR-A dan PR-B. kedua isoform diekspresikan dari gen tunggal pada
manusia sebagai hasil transkripsi dari 2 alternatif pendukung dan inisiasi translasi pada 2
AUG yg beda kodon (5). Oleh karena, PR-A dibutuhkan ovarium normal dan fungsi uterus.
Sebagai kontras, PR-B penting untuk pembentukan kelenjar payudara. Untuk ditujukan ke
peranan PR pada fungsi reproduksi, percobaan tikus (PRKO) dibuat dalam bentuk kedua
isoform PR diablasi oleh gen PR target. Model ini menyediakan bukti definitif bahwa PR
penting dalam kordinator dari semua proses reproduksi yang menghasilkan pada persiapan
saluran reproduksi untuk pembentukan dan pemeliharaan kehamilan (6).
Bukti yang menunjukkan peranan langsung fungsi PR pada manusia dan ovarium
tikus telah didukung dalam beberapa tahun dengan demonstrasi pada antiprogestin RU 486
menghambat ovulasi pada manusia (7) dan (2) LH sebagai sinyal primer untuk rupturnya
folikel ovarium preovulasi dan membuat transisi ekspresi PR mRNA untuk isoform kedua
protein pada sel granulosa yang terisolasi dari folikel preovulasi tikus. (7-9)
Bukti definitif menunjukkan PR adalah mediator penting untuk ovulasi yang
disediakan oleh tikus PRKO. Selain untuk mengetahui level superovulasi dari gonadotropin,
tikus PRKO gagal untuk berovulasi. Analisa histologi ovarium untuk tikus ini menunjukkan
perkembangan normal dari folikel melalui stadium folikel tersier. Folikel-folikel ini
mengandung oosit matur yang berfungsi penuh ketika terisolasi dan difertilisasi secara in
vitro. Ruptur folikel diinhibisi namun, sel granulose preovulasi di dalam folikel ini dapat
tetap berdiferensiasi ke fenotip luteum dan menggambarkan penanda luteum P450scc (6)
Oleh karena itu,Conneely et al(10-11) menetapkan bahwa PR dibutuhkan terutama
untuk LH dependent rupture folikel mengarah ke ovulasi namun tidak untuk sel granulosa
mengalami luteinisasi. Kedua protein PR-A dan PR-B dibuat pada folikel tikus preovulatori
sebagai respons terhadap stimulasi LH. Terlebih, ablasi selektif dari protein PR-A in
knockout (PRAKO) tikus dengan hasil infertil dan kerusakan berat saat ovulasi,
mengindikasikan bahwa ekspresi protein A penting untuk fungsi ovarium tikus normal.
Penemuan ini mengindikasikan bahwa protein PR-A dan PR-B secara fungsional
tidak diperlukan pada ovarium tikus dan menyediakan validasi fisiologi pertama pada
protein-protein ini mempunyai tugas yang berbeda.
Kehadiran PR pada ovarium primata memungkinkan gangguan pada perkembangan
folikel dan fungsi setelah pemberian antiprogestin (mifepristone) (12,13) mungkin efek
langsung pada ovarium sebagai tambahan pada aksi di poros hipotalamus-hipofise.
RESEPTOR MEMBRAN PROGESTERON DAN FUNGSI OVARIUM
Progesterone juga mengatur mitosis dan apoptosis dari sel granulosa sel tikus
diisolasi sebelum lonjakan gonadotropin (14). Sel granulosa ini tidak menunjukkan nuclear
PR klasik, namun tidak seperti pada PR menentukan aksi progesteron pada sel-sel ini. Ikatan
progesteron ini pada membran plasma dari sel granulosa sapi menyarankan bahwa
progesteron dapat berfungsi secara non genom, mekanisme inisiasi membran (15). Baru baru
ini, cloning, ekspresi dan karakter membran PR dan bukti bahwa sebagai mediator pada
maturasi meiosis pada oosit ikan telah dilaporkan (16). Lebih lanjut, aktivitas steroid melalui
membran reseptor steroid terganggu pada maturasi oosit mamalia (17).
ENDOKRIN AUTOKRIN / PARAKRIN PENGATURAN CORPUS LUTEUM
Corpus luteum manusia tersusun dari steroidogenik (teka dan lutein granulosa) dan
nonsteroidogenik ( endotelial, imun dan fibroblast) sel. Keduanya penting untuk sintesis dan
sekresi steroid (18). Produksi hormon-hormon ini sebagian besar tergantung pada hipofise,
turunan LH yang bertindak melalui siklik adenosine monophosphatase (cAMP) second
messenger yang member sinyal system untuk meregulasi gen penting untuk sintesis hormone
dan pembentukan luteal. Selama siklus konsepsi, produksi trofoblastik dari hCG manusia
mencegah regresi dari corpus luteum. Pada monyet yang mengalami operasi dibuat lesi
hipotalamus, pemeliharaan level LH selama fase luteal melalui pengaturan GnRH pada
frekuensi denyut nadi mirip pada fase awal luteal tidak mencegah luteolysis (19). Bloking
pelepasan LH oleh pengaturan antagonis GnRH berakhir pada penurunan tiba-tiba
konsentrasi serum progesterone di dalam 24 jam. Ini menyarankan bahwa LH penting untuk
pembentukan dan pemeliharaan corpus luteum primata namun tidak pada regresi luteal,
berhubung perubahan pada frekuensi LH dan amplitude. Hal itu telah didemonstrasikan
bahwa regresi luteal pada siklus menstrual primata disebabkan oleh reduksi besar pada
responsifnya penuaan corpus luteum terhadap LH, dimana dapat mengatasi siklus fertil
dengan meningkatnya konsentrasi hCG (20). Secara pasti, efek in vitro LH/hCG pada sel
luteal steroidogenesis manusia dimodifikasi oleh suatu molekul pilihan seperti growth faktor
1 (IGF-1) dan IGF binding protein (21). Yang menarik, interleukin-1 (IL-1) dan tumor
necrosis faktor α (TNF-α) mempunya efek menghambat pada aksi perangsangan hCG pada
produksi steroid oleh sel lutein-granulosa seperti pada sel luteal di kultur. Hal tersebut
dikenal dengan sitokin proinflamasi yang diekspresikan secara jelas pada sel ektopik
endometrial (22). Konsentrasi sitokin ini meningkat pada cairan peritoneum pasien dengan
endometriosis (23). Oleh karena itu, sitokin telah dicampur adukkan pada patogenesis dan
patofisiologi dari disfungsi ovulasi dan defek fase luteal pasien dengan endometriosis
BIOSINTESIS STEROID OLEH SEL TEKA DAN LUTEIN GRANULOSE
Sel yang mengandung corpus luteum manusia mempunyai morfologi, endokrin, dan
fenotip biokemikal yang berbeda. Jumlah, morfologi, fungsi dan kemampuan sekresi dari sel
sel ini berubah melalui fase luteal (24). Kira-kira 30% sel ini steroidogenik. Sel luteal kecil
sepertinya berasal dari teka interna, dimana sebagian besar sel luteal disarankan berasal dari
turunan sel granulose. Produksi basal progesteron biasanya lebih besar untuk sel lutein
granulosa, dimana juga sebagai tempat produksi E2 sebab mereka mengekspresikan
aromatase. Sel teka lutein, namun menggambarkan peningkatan yang lebih besar pada
produksi steroid ketika terkena hCG dan mengekspresikan aktivitas 17α hidroksilase/17/20
liase (P450c17). Sel teka lutein memproduksi prekursor androgen yang diaromatisasi oleh sel
lutein granulosa dan juga sebagai tempat sintesis 17α OHP. Penemuan ini mengindikasikan
bahwa model 2 sel biosintesis estrogen disebut untuk menjelaskan produksi folikular estrogen
yang diawetkan pada manusia dan corpus luteum monyet (25,26) (Fig.1).
SEL LUTEAL NON STEROIDOGENIK
Selama perubahan folikel ovulasi hingga corpus luteum berfungsi penuh, pembuluh
darah sel endotel mengalami periode proliferasi yang terus menerus, diikuti dengan
ditegakannya jaringan pembuluh darah yang kaya. Kira-kira 30%-40% sel pada corpus
luteum yang matura dalah sel endothelial. Vaskulatur luteal sangat kritis untuk membawa
gonadotropin dan substrat seperti lipoprotein plasma, dimana menghasilkan kolesterol untuk
produksi progesteron dan memindahkan produk sekresi, secara garis besar hormon steroid
berasal dari sel luteal. Faktor yang mengatur vaskulatur luteal memegang peranan utama
dalam mengatur fungsi luteal. Vascular endothelial growth factor (VEGF) mRNA dan protein
telah dilokasikan pada sel lutein granulose dari corpus luteum. Inhibisi VEGF pada in vivo
selama fase luteal pada primata non manusia mencegah angiogenesis luteal dan menekan
sekresi progesterone (27).
Akhir-akhir ini, faktor angiogenik glandula endokrin endotelial growth factor (EG-
VEGF), dengan derajat spesifik ovarium, dapat dideteksi pada sel lutein granulosa manusia.
Secara kontras VEGF mRNA, EG-VEGF mRNA meningkat pada mid dan akhir corpus
luteum. Diperkirakan EG-VEGF membuat corpus luteum merespon hCG pada awal
kehamilan (28). Pentingnya vaskulatur terhadap fungsi corpus luteum menggambarkan
perubahan pengukuran aliran darah yang mengalir ke corpus luteum yang mengatur folikel
unruptur yang terluteinisasi (LUF) dan defek fase luteal (29).
Sel imun, makrofag, dan sel T limfosit hadir dalam jaringan luteal. Makrofag dan sel
endotel membuat kontak yang erat dengan sel luteal lain, dimana memfasilitasi regulasi sel
luteal oleh mekanisme parakrin. Kemampuan makrofag untuk mensekresi IL-1β dan TNF-α
secara signifikan sebab kedua sitokin dapat merubah steroidogenesis luteal. Studi secara in
vitro mengindikasikan bahwa sitokin ini mengurangi LH/hCG, merangsang produksi
progesterone dari sel lutein granulose manusia yang dikultur (30). Interleukin-1 dan TNF-α
sebagian besar disekresi oleh monosit luteal teraktivasi dan makrofag seperti juga pada sel T
dan sel B. Makrofag yang teraktivasi dikarakteristik dengan corpus luteal pada fase midluteal
dan late.(22,30). Di bawah kondisi fisiologis, dipercaya bahwa sitokin memegang peranan
dalam fungsional dan struktural luteolisis. Memungkinkan terjadinya permulaan siklus yang
baru. Namun, aktivasi yang tidak terjadwal dari mekanisme ini, dapat berakhir pada disfungsi
corpus luteum
TRANSPOR KOLESTEROL KE DAN DALAM SEL STEROIDOGENIK LUTEAL
Tantangan pertama untuk segala jenis yang memproduksi sel steroid, termasuk sel
luteal, untuk mendapat precursor kolesterol. Sel luteal steroidogenik dapat memproduksi
kolesterol secara de novo; namun jalur ini memegang peranan minor, seperti yang dibuktikan
pada level rendah dari 3 hidroxy 3 metil glutaril Co-A (HMG-CoA) reduktase, enzim yang
membatasi jalur kolesterol ini (31). Sel luteal steroidogenik manusia mengambil lipoprotein
pembawa kolesterol (Low density lipoprotein) pada endositosis dan juga mempertahankan
penyimpanan dari kolesterol yang diesterfikasi. High density Lipoprotein dapat juga
menambah precursor untuk steroidogenesis melalui reseptor SR-B1 dimana memediasi
uptake selektif dari ester lipoprotein kolesterol yang berdensitas tinggi. Selain stimulasi
gonadotropin, kolesterol dari pool yang bervariasi, termasuk kolesterol intraselular ester
dalam droplet lemak yang sudah dihidrolisa, yang disarankan ke membrane bagian dalam
dari mitokondria untuk melayani substrat untuk produksi pregnolone (P5). Diperkirakan
bahwa rata-rata pembatasan pada sintesis progesteron adalah pergerakan kolesterol dari
membran mitondria bagian luar dari membrane mitokondria hingga ke bagian dalam
membrane dimana tempat sitokrom P450scc kompleks berada. StAR penting untuk
translokasi sterol dalam merespon hormon tropik, termasuk LH dan hCG (32,33).
SINTESIS LUTEAL PROGESTERON
3 kejadian kritis endokrin yang membantu sekresi progesteron pada fisiologi ovarium
primata (34): (1) lonjakan LH adalah tanda untuk ruptur folikel dan untuk luteinisasi dari sel
teka dan granulosa.; (2) frekuensi LH selama fase luteal penting dalam pembentukan dan
fungsi dari corpus luteum; dan (3) sekresi hCG oleh trofoblas embrio yang mempertahankan
fungsi corpus luteum pada awal kehamilan.
Biosintesis progesteron memerlukan hanya 2 langkah enzimatik: konversi kolesterol
ke P5, dikatalisasi oleh P450ssc terletak pada membran mitokondria bagian dalam, dan
konversi berikutnya ke progesteron, dikatalisasi oleh kehadiran 3β-HSD pada retikulum otot
polos endoplasma. Sebelum lonjakan LH, StAR hampir tidak ada dari sel granulosa manusia,
dimana tidak dapat mensintesis progestron dari prekursor kolesterol (35). Sedangkan pada
sisi lain, StAR ditemukan dalam jumlah yang banyak pada sel teka manusia pada
periovulatori dimana mampu mensintesis androgen dari kolesterol (36). Walaupun ada
peningkatan yang pesat dari progesteron saat lonjakan LH menyarankan bahwa sel teka yang
terluteinisasi memungkinkan sebagai sumber progesteron. Sebagai tambahan, jaringan
vaskular yang terbatas pada sel granulosa periovulasi manusia yang dapat membatasi
kemampuan sel ini untuk mendapatkan kolesterol (Low density lipoprotein) melalui
vaskulatur. Pembentukan suplai vaskular yang tidak adekuat pada corpus luteum diduga
mempunyai hasil signifikan pada sekresi steroid berikutnya pada fase luteal.
Ekspresi dari transkrip StAR dan protein paling baik pada corpus luteum fase awal
luteal dan midluteal. Pada corpus luteum manusia, imunodeteksi dari StAR menunjukkan
level yang lebih besar pada teka lutein daripada sel lutein granulose, tidak berhubungan
dengan stadium dari fase luteal. Tingkat StAR imunostaining lebih bervariasi pada sel lutein
granulosa melalui siklus menstrual. Level imunistaining StAR cukup pada jaringan awal
luteal, meningkat pada fase midluteal corpus luteum dan menurun pada fase akhir luteal dari
corpus luteum (37).
Baru baru ini, grup kami menyimpulkan dengan mikroskop imunoelektron dengan
adanya StAR pada tingkat yang signifikan pada mitokondria dan sitoplasma dari sel
steroidogenik luteal manusia melalui fase luteal (38). Kami menemukan tingkat yang lebih
besar dari StAR imunolabeling pada sitoplasma dari sel steroidogenik yang berasal dari fase
awal luteal dan midluteal corpus luteum. Pada 30-kd protein StAR yang matur ada pada
kedua mitokondria dan sitosol. Penemuan ini mendukung hipotesis bahwa jika tidak
dipertimbangkan proses StAR 37 kd pre-protein terjadi diluar mitokondria atau protein StAR
yang matur secara selektif melepaskan ke sitoplasma setelah memproses mitokondria.
Pemeriksaan P450scc pada jaringan corpus luteum manusia mengindikasikan bahwa ekspresi
secara keseluruhan dari enzim ini tetap meningkat dan relatif konstan melalui fase luteal.
Tampaknya 3β-HSD dalam corpus luteum manusia sepertinya paling baik selama fase
awal luteal dan menurun pada fase midluteal; kemudian menetap secara konstan pada fase
akhir luteal corpus luteum (39). Beberapa penelitian menunjukkan sel luteal pada umur yang
berbeda dengan hasil P5 dramatik meningkatnya sekresi progesteron, menyarankan bahwa
3β-HSD rata-rata tidak membatasi pada produksi progesteron. Oleh karena itu, P450ssc dan
3β-HSD kelihatannya tidak membatasi rata-rata pada biosintesis luteal progesteron selama
siklus menstruasi. Dibutuhkan konsensus dari penelitian yang banyak pada manusia, dan
primata selain manusia bahwa ada langkah penting pada sekresi luteal progesteron adalah
langkah kolesterol dari luar ke dalam membran mitokondria, dimana proses ini tergantung
pada StAR. Walaupun tidak dipertimbangkan sebagai enzim yang rata-rata determinan pada
steroidogenesis, inhibitor poten 3β-HSD seperti epostan dapat ikut membantu dengan
produksi progesteron pada manusia dan primata dan berakhirnya pada terminasi kehamilan.
(40,41).
Sebagai tambahan pada sintesis hormon steroid reproduksi yang klasik, corpus luteum
manusia memproduksi allopregnanolone dan pregnanolone. Steroid ini berguna sebab
kemampuan mereka untuk memodulasi reseptor fungsi GABA dan mereka menggambarkan
kumpulan grup campuran, juga memproduksi jaringan saraf, dikenal neurosteroid. Hal ini
menggambarkan hubungan antara corpus luteum dan fungsi sistem saraf pusat dimana dapat
menkontribusi pada perubahan pada fungsi kognitif dan suasana mood selama fase luteal
(42). mRNA untuk 5α reduktase dan 5β reduktase yang ada di dalam corpus luteum.
Konsentrasi jaringan luteal dari neurosteroid ini menurun secara signifikan selama fase akhir
luteal. Adalah sangat menarik bahwa sel luteal manusia yang dikultur dengan adanya
peningkatan hCG secara signifikan dalam produksi baik neurosteroid, menyarankan bahwa
progestin ini juga LH/hCG dependent. (43-45).
BIOSINTESIS ESTRADIOL LUTEAL
Corpus luteum primata meretensi kemampuan untuk memproduksi estrogen, dimana
itu yang membedakan dengan corpus luteum dari binatang domestik dan binatang pengerat.
Sel luteal kecil diperkirakan menjadi sumber primer dari luteal androgen (46), sementara sel
luteal besar diperkirakan menjadi tempat primer sintesis luteal estrogen (47), hal ini
mengindikasikan bahwa model 2 sel biosintesis estrogen ditingkatkan untuk menjelaskan
sintesis folikular estrogen disimpan pada corpus luteum primata.
Sintesis enzim katalisasi androgen P450c17 dilokasikan pada sel dekat kelenjar
perifer sepanjang jalur vaskular (25). Sebaliknya, bekas P450arom diobservasi melalui
parenkim luteal. Tingkat P450arom luteal mRNA menghilang pada fase akhir luteal
berhubungan dengan turunnya tingkat plasma E2 (47,48). Hal ini dikenal bahwa sintesis E2
oleh sel granulosa dari folikel ovarium yang distimulasi oleh FSH (49). Namun, FSH tidak
menstimulasi sintesis E2 oleh sel luteal pada kultur atau menjaga steroidogenesis secara in
vivo (50). Walaupun sistem 2 sel untuk produksi estrogen diretensi setelah luteinisasi dari
folikel, peranan FSH pada stimulasi aromatisasi androgen tidak dijaga (51). Aksi FSH secara
terbukti diberikan oleh LH dan IGF-1, dimana dapat mempertahankan E2 oleh sel luteal
pada kultur (52). Model baru dari dinamika gelombang folikel pada ovarium monovular
mamalia telah ada, berdasarkan pada bagian Ultrasound yang didapat pada wanita dan kuda
(53,54). Penelitian ini menantang persepsi konvensional bahwa kohort tunggal daari folikel
antral berkembang selama fase folikular dari siklus haid manusia. USG resolusi tinggi
digunakan untuk mendapatkan gambar secara longitudinal dari perkembangan folikel. 2 tipe
gelombang folikular digambarkan. Gelobang utama terjadi ketika 1 folikel berkembang
hingga >10mm dan melebihi segala folikel yang berukuran >2mm. Gelombang ini muncul
selama interval mid interovulatory, memberikan derivat pada folikel ovulatori. Sebaliknya,
gelombang minor ditentukan oleh folikel yang berkembang hingga diameter <10mm dan
tidak ada manifestasi folikel dominan, yang berakhir pada gelombang anovulatori (55).
Penelitian ini mendemonstrasikan bahwa gelombang halus dari perkembangan folikel (4-
8mm) terjadi selama fase luteal dari siklus haid manusia meskipun supresi FSH oleh inhibin
luteal, progesteron dan sekresi E2. Sel granulosa manusia didapat dari folikel yang lebih kecil
dari 5mm mengekpresikan P450arom, meningkatkan kemungkinan bahwa tingkat serum E2
selama fase luteal dapat berasal dari bagian gelombang fase folikel-luteal daripada dari
jaringan luteal eksklusif. Yang sangat menarik adalah sekresi E2 oleh ovarium manusia
kelihatannya tidak penting untuk kehamilan seperti sulih progesterone tunggal
mempertahankan kehamilan. Peranan pasti untuk sekresi luteal E2 tidak diketahui. Namun
sebelumnya diduga berkaitan luteolisis pada primata, dimana proses luteolitik tidak
tergantung dari prostaglandin uterus. Sedangkan di sisi lain, penemuan terbaru kehadiran
kedua tipe dari reseptor estrogen pada corpus luteum manusia mendukung peranan local E2
pada fungsi luteal (56).
LUTEOLISIS
Pada siklus non fertil, corpus luteum primata mengalami proses regresi, dikenal
dengan luteolisis dimana meliputi hilangnya fungsional dan structural dari kelenjar (57).
Regresi fungsional dihubungkan dengan penurunan produksi progesteron; regresi struktural
terjadi setelah penurunan dari sintesis progesteron dan berhubungan dengan bentuk berbeda
dari kematian sel. Kejadian molekular yang terjadi pada regresi luteal dan bagaimana mereka
dicegah dengan berhubungan dengan hCG tetap belum jelas. Diperkirakan bahwa perubahan
pada frekuensi LH dan menurun pada reseptor LH mRNA dan protein tidak termasuk dalalm
regresi luteal pada primata. Penemuan ini menyarankan fungsi steroidogenik dan regresi
corpus luteum ditentukan oleh faktor dari reseptor LH (58).
Karakteristik utama dari regresi fungsional luteal adalah berkurangnya produksi dari
progesteron, dimana berhubungan dengan menurunnya gen StAR dan protein. Penurunan
StAR memulai penurunan dari enzim steroidogenik lain. Ini mengindikasikan peranan
penting StAR pada produksi luteal progesteron. Pengaturan hCG selama fase akhir luteal
manusia menyimpan tingkat StAR pada yang dapat ditemukan pada fase corpus luteum
midluteal seperti pada progesterone dan E2 plasma. Beberapa molekul, termasuk
prostaglandin F2-α, (PGF2-α), TNF-α, IL-1β, endotelin, monosit kemoatraktan (MCP-1),
estrogen dan spesies reaktif oksigen telah diimplikasikan pada proses luteolitik (59). Pada
manusia, peranan fisiologis PGF2-α dalam luteolisis tidak pasti, sebab produksi PGF2-α dari
ovarium terbatas. Sebaliknya, PGF2-α membuat 20α-hidroksisteroid dehidrogenase (20α-
HSD) yang terdapat pada sel luteal binatang pengerat dimana mereka kehilangan kemampuan
mensekresi progesteron (57). Yang sangat menarik adalah PGF2-α menekan StAR pada sel
luteal granulosa manusia yang telah dikultur (60). Estrogen menghambat aktivitas 3β-HSD
luteal pada sel luteal manusia secara in vitro (61). Peneliti lain mengklaim bahwa aksi
eksogenus luteolitik diatur oleh E2 mengurangi sekresi derivate LH dari hipofise pada wanita
(62). Reduksi perfusi luteal dan faktor lain yang diproduksi oleh makrofag atau lekosit seperti
spesies reaktif oksigen dapat mengkontribusi untuk fungsional dan structural luteolisis (48).
Walaupun fungsional sel endotelial corpus luteum dapat terkena, yang berakhir pada
berkurangnya VEGF dan molekul yang memelihara survival sel endotel (28).
Pengetahuan tentang molekular yang terjadi setelah regresi fungsional dari corpus
luteum manusia dan sebelum hancurnya selular masih terbatas. Diperkirakan bahwa matinya
sel dan peningkatan pada matriks metalloproteinase (MMP-2 dan MMP-9) adalah komponen
penting dalam regresi structural (63,64). Beberapa laboratorium mendokumentasikan
peningkatan jumlah sel apoptotic dengan mendeteksi fragmentasi nucleus DNA,pada akhir
dan regresi corpus luteum dibandingkan dengan mereka pada fase awal luteal dan midluteal
corpus luteum (65-67). Sebaliknya pola ekspresi dari gen yang mengontrol survival sel dan
apoptosis pada corpus luteum manusia masih didebatkan. Beberapa peneliti menemukan
tidak adanya perubahan pada Bcl-2 (68), faktor survival sel dalam corpus luteum pada usia
yang berbeda-beda. Namun, yang lain mendeskripsikan penurunan pada fase akhir luteal dan
peningkatan pada kehamilan ektopik corpus luteum (69). Terlebih protein proapoptotik Bax
dilaporkan tetap tidak berubah pada corpus luteum manusia melalui fase luteal (70), namun
yang lain dilaporkan meningkat pada regresi corpus luteum atau tidak terdeteksi pada corpus
luteum yang sedang hamil.
Sebagai tambahan, disarankan bahwa interaksi sel dapat meregulasi apoptosis.
Regresi corpus luteum dihubungkan dengan hilangnya tempat adhesi sel-sel. Walaupun itu
dapat dihipotesiskan bahwa molekul adhesi sel (CAM) diimplikasikan pada survival sel dan
matinya sel. Cadherin secara pesat meluas diantara calcium dependent CAMs. Sel luteal juga
positif untuk N-cadherins pada awal luteal dan fase midluteal, dimana hanya N-cadherin yang
lemah yang memberikan tanda pada akhir luteal corpus luteum. Ada korelasi langsung antara
kehadiran molekul N-cadherin dan absennya karakteristik dari apoptosis selular (71).
Jadi data yang ada mengindikasikan bahwa apoptosis adalah suatu bentuk regresi
luteal manusia. Namun, mekanisme yang mengatur regresi luteal tetap tidak jelas. Memang,
sel luteal dengan sinyal apoptotic positif dan jumlah iNOS- sel luteal positif dalam corpus
luteal manusia selama regresi luteal (48). Namun persentase sel luteal dengan sinyal
apoptotic rendah (5% hingga 7%) dimana membuat itu menjadi tidak pasti bahwa apoptosis
adalah satu-satunya mekanisme utama dalam kematian sel luteal. Tipe lain kematian sel,
seperti autofag dan nekrosis, nampaknya memegang peranan dalam regresi luteal, seperti
yang telah dilaporkan pada sama monyet dan corpus luteum manusia (64,72). Aktivasi yang
terjadwal dari mekanisme ini dapat mengkontribusi pada defek fase luteal.
PELEPASAN CORPUS LUTEUM PADA SIKLUS FERTIL
Selama siklus konsepsi, produksi trofoblastik dari hCG mencegah regresi dari corpus
luteum. Bukti yang kuat mengatakan pelepasan hCG corpus luteum Ikut dalam pengaturan
vaksin β-hCG pada wanita yang mempunyai hCG endogen yang tidak aktif, berakhir pada
turunnya progesteron dan haid (73). Karakteristik hormonal dari siklus konsepsi dan non
konsepsi adalah berbeda dari fase awal luteal. Baik LH dan E2 secara signifikan lebih tinggi
pada siklus konsepsi pada hari ke 4 dan ke 5 setelah puncak LH di urin. Sebaliknya, serum
FSH, progesteron dan relaksin secara signifikan tidak berbeda pada periode ini. Penemuan
ini, dapat menggambarkan perubahan pada pemberian sinyal di sistem poros hipotalamus-
hipofise-ovarium yang mulai saat siklus periode non konsepsi periovulasi (74). Serum hCG
terdeteksi saat sekitar waktu implantasi (hari ke 8 setelah ovulasi), kemudian meningkat
secara progresif hingga 12 minggu pertama kehamilan. Volume corpus luteum ditentukan
dengan transvaginal USG menunjukkan peningkatan pesat pada kehamilan awal manusia
tanpa peningkatan parallel di 17α-OHP, progesteron atau E2. Namun, tingkat serum 17α-
OHP selama 6 minggu pertama kehamilan dipertimbangkan sebagai marker yang paling baik
steroidogenesis luteal sebab steroid ini tidak disintesis oleh trofoblast, dimana tidak
menggambarkan P450c17. Sebaliknya korelasi positif keluar di antara volume corpus luteum
dan relaksin dan konsentrasi serum hCG. Penemuan ini menyarankan perkembangan corpus
luteum pada awal kehamilan sebagian besar berasal dari proliferasi sel sekresi non steroid
(75).
Ada keterbatasan data pada perubahan molecular yang mendasari perubahan
fungsional dan structural pada corpus luteum saat hamil. Kami dan peneliti lain telah
mempunyai protokol eksperimental termasuk pengaturan hCG selama fase midluteal dan
fasae mid-akhir luteal dengan tujuan menentukan dasar molecular dari pelepasan corpus
luteum. Pengaturan secara eksponen meningkatkan dosis LH atau hCG yang memperpanjang
durasi corpus luteum (20). Pengaturan hCG selama fase akhir luteal menyimpan mRNA
StAR dan tingkat protein pada mereka yang ditemukan pada fase midluteal corpus luteum
seperti pada tingkat progesteron plasma. Sebagai tambahan, pengaturan hCG menunjukkan
ekspansi dari jaringan vascular permukaan sel teka dan granulosa dengan perubahan warna
yang kuat terdeteksi pada sitoplasma dari sel steroidogenik (26).
Regresi struktural dari corpus luteum dibawa oleh apoptosis dan autofag dan hCG
mempunyai kemampuan untuk merubah program apoptotik dari fase akhir luteal corpus
luteum. Penurunan pada protein apoptotic, Bax, telah dilaporkan pada corpus luteum saat
hamil dan stimulasi hCG pada akhir corpus luteum (69).
Walaupun peranan pasti progesteron pada corpus luteum tidak jelas, beberapa efek
progesteron pada sel luteal telah dideskripsikan. Sebagai contoh, progesteron dapat secara
langsung mempromosikan survival sel granulosa yang terluteinisasi (76) dan mempengaruhi
penampilan LHr (77) dan enzim steroidogenik (35). Sebagai tambahan progesteron telah
digunakan pada kontrol penghambat jaringan dari metalloproteinase 1 yang ditampilkan pada
sel granulosa yang terluteinisasi. (78). Pada manusia, dikenal bahwa corpus luteum
menggambarkan PR-A dan PR-B mRNA, dan PR-A ditemukan lebih banyak daripada PR-B
(79,80). Kedua isoform reseptor menurun pada fase akhir luteal corpus luteal. Sebagai
tambahan, corpus luteum mempunyai membran yang berikatan dengan aktivitas progesteron.
Oleh karena memungkinkan bahwa widrawal progesteron mempunyai efek langsung pada
fungsi sel steroidogenik. Jaringan luteal konsentrasi progesteron turun pada fase akhir luteal
pada manusia dan monyet (81,82). Withdrawal progesterone secara potensial memfasilitasi
lebih jauh dengan berkurangnya manifestasi dari genom luteal PR pada fase akhir luteal.
Walaupun, progesteron memegang peranan spesifik pada pelepasan luteal.
Progesteron dapat berfungsi sebagai molekul parakrin pada corpus luteum. Dimana
juga mempunyai efek intra cranial dan disarankan bahwa progesteron sendiri ikut berperan di
dalam sintesisnya sendiri (83). Oleh karena itu, jika progesteron mempunyai peranan utama
dalam fungsi sel lutein granulosa pada saat luteolisis, down regulasi PR pada fase akhir luteal
dimana tidak terlihat selama pelepasan luteal. Namun, ini tidak muncul pada kasus. Penelitian
in vivo dan in vitro menentukan down regulasi dari PR tidak dicegah oleh hCG (84).
Penemuan ini tidak berarti bahwa progesteron tidak mempunyai peranan dalam fungsi
luteinisasi sel granulosa seperti umur corpus luteum namun, hal itu tidak mendukung peranan
utama dari progesteron pada luteolisis, transisi pelepasan luteolisis.
PENILAIAN KLINIS DAN LABORATORIUM DARI FASE LUTEAL
Perubahan histologi endometrium selama siklus haid alami dideskripsikan lebih dari
50 tahun lalu (85). Diperkirakan bahwa pervalensi defisiensi fase luteal (LPD) berkisar antara
5% dan 10% pada wanita infertil dan antara 10% dan 25% pada mereka dengan riwayat
keguguran pada awal kehamilan yang berulang (87,88).
Apakah pertemuan endometrial secara histologi mempunyai akurasi atau ketepatan
dibutuhkan menjadi metode yang valid untuk mendiagnosis LPD atau menurut panduan
manajemen klinik lain pada wanita dengan kegagalan reproduksi adalah masih
diperdebatkan. Coutifaris et al (89) membuat suatu penelitian untuk menilai kemampuan
bertemunya histologi untuk membedakan antara wanita yang fertil dan yang infertil.
Partisipan berasal dari sukarelawan berusia antara 20 hingga 39 tahun, yang mempunyai
siklus haid teratur, dan tidak pernah mendapat terapi hormonal atau kontrasepsi selama 1
bulan sebelum dilakukannya penelitian. Proporsi di luar fase biopsi pada wanita fertil dan
infertil dibandingkan, dan hasilnya menunjukkan bahwa fase di luar biopsi berakhir pada
buruknya pengkategorian antara wanita fertil dan infertil baik fase midluteal (fertil 49.4%;
infertil 43.2%) atau fase akhir luteal (fertil 35.3%; infertil 23.0%). Mereka menyimpulkan
bahwa pertemuan histologi endometrium tidak membedakan antara wanita fertil dan infertil
dan tidak digunakan pada evaluasi rutin infertil. Murray et al (90) membuat kesimpulan yang
mirip: secara tradisional pertemuan histologi endometrial kurang temporal memisahkan dan
membedakan daripada yang dideskripsikan sejak awal disebabkan pertimbangan antar subjek,
intra subjek dan variabilitas interobserver. Apakah secara tradisional kriteria pertemuan itu
tidak dengan segala kombinasi dari kemampuan terbaik karakteristik histologi yang
diidentifikasikan oleh objektifitas mereka dan analisis sistematik tidak mampu dipercaya
membedakan dengan spesifik siklus hari atau interval hari yang berdekatan.
Sebaliknya, suatu studi yang membandingkan siklus endometrium secara fertilisasi in
vitro (IVF) dengan control siklus alami menunjukkan perubahan prematur kelenjar sekret
pada post ovulasi dan fase awal luteal dari siklus IVF (91). Penentuan progesteron pada fase
midluteal digunakan secara luas sebagai pengganti untuk mengkonfirmasi ovulasi. Nilai batas
penegakkan bahwa ovulasi yang terjadi bervariasi dari 4 hingga 10 ng/ml pada situasi yang
berbeda. Amplitudo sekresi berpulsasi yang besar dari progesteron selama fase akhir luteal,
dipengaruhi amplitudo besar dari pulsasi LH, bersama melawan akurasi dari penentuan
tunggal dengan steroid ini. Sebagai alternatif, peningkatan eksresi harian pregnandiol,
tergantung pada awal siklus haid, adalah sering untuk diambil menjadi bukti bahwa wanita
telah mengalami ovulasi . Metcalf et al (92) mengambil urin, plasma dan contoh saliva
selama periode 24 jam dari 20 wanita selama fase folikular dan dari 20 wanita selama fase
luteal. Mereka membandingkan eksresi pregnandiol dalam 24 jam (1) dengan konsentrasi
progesteron dalam plasma(2) konsentrasi progesteron dalam saliva (3) konsentrasi
pregnandiol dalam sejumlah kecil sampel urin, (4) eksresi rata-rata pregnandiol dan (5) rasio
pregnandiol dengan kreatinin dalam jumlah kecil sampel urin. Hasil kesimpulan itu adalah
hasil alternatif yang paling memuaskan dengan pengukuran output pregnandiol 24 jam untuk
penilaian biokimia ovulasi berdasarkan produksi progesteron dulu diukur dari konsentrasi
dalam plasma; kepuasan alternatif yang paling rendah ditentukan dari penentuan konsentrasi
progesteron dalam saliva. Jika tidak tersedia darah, pengukuran rasio pregnandiol dengan
kreatinin dalam jumlah kecil sampel urin merupakan metode yang lebih disukai.
EVALUASI CORPUS LUTEUM DENGAN ULTRASOUNOGRAFI DAN DOPPLER
Ultrasounografi mendeteksi corpus luteum setelah ovulasi telah dilaporkan pertama
kali terjadi pada hanya 50%-80% siklus haid normal, ditentukan dengan ultrasound
transabdominal (93). Dengan kemajuan dalam teknologi imaging, ovulasi dan kehadiran
corpus luteum dapat terdeteksi pada hampir 100% wanita (93). Corpus luteum meningkat
dalam diameter selama 1 minggu pertama setelah ovulasi dan mulai berkurang pada siklus
non konsepsi. Perkembangan corpus luteum dihubungkan dengan peningkatan luteal dalam
aliran darah dan E2 dan produksi progesterone (94).
Dua tipe morfologi corpus luteum yang dapat diobservasi setelah ovulasi: pada
mereka dengan dan tanpa central fluid filled cavity (CFFC). Kebanyakan corpus luteum
berisi CFFC. Insiden corpus luteum berisi CFFC yang terbaik adalah segera setelah ovulasi
dan setelah penurunan secara bertahap. CFFC ini berhubungan dengan kebocoran darah ke
lumen folikuler setelah ruptur folikel. Deteksi CFFC dengan ultrasound harus
diintepretasikan sebagai kejadian fisiologis normal selama siklus haid (94).
Perubahan kuantitatif pada tekstur echo luteal yang menggambarkan perubahan pada
morfologi dan fisiologi corpus luteum, seperti yang sebelumnya didokumentasikan pada
spesies binatang domestik (95,96). Baerwald et al (94) dilaporkan menurun pada luteal,
ekogenik ultrasound terjadi selama perkembangan luteal sehubungan dengan peningkatan
progesteron dan konsentrasi serum E2. Penurunan ekogenik selama luteinisasi menyarankan
peningkatan vaskularisasi dari jaringan luteal dan berakibat penurunan densitas jaringan.
Sebaliknya, peningkatan ekogenik menggambarkan selama luteolisis mampu menyumbang
pada penurunan vaskularisasi dan penggantian jaringan luteal dengan jaringan konektif
fibrosus.
Glock dan brumsted (97) menggunakan ultrasound color flow pulsed Doppler untuk
mendemonstrasikan hubungan antara stadium yang berbeda dari fase luteal dan resistensi
indeks (RI) dari corpus luteum dari siklus alami. Nilai paling rendah RI dideteksi selama fase
midluteal, dimana berhubungan dengan puncak neovaskularisasi corpus luteum. Sebagai
tambahan peningkatan impedansi dalam aliran darah didemonstrasikan pada fase akhir luteal,
berhubungan dengan regresi corpus luteum. Kupecic et al (29) menemukan perbedaan
signifikan pada impedansi intra ovarium pada pasien dengan luteal LPD dengan peningkatan
signifikan pada RI selama fase midluteal pada pasien yang dibandingkan dengan kontrol yang
normal.
Color Doppler juga digunakan pada studi mengenai hubungan yang mungkin antara
sekresi hormonal dan velocimetri parameter dari kedua fase folikular dan luteal;
bagaimanapun juga hasilnya masih diperdebatkan. Dua penelitian menunjukkan korelasi yang
signifikan antara E2 folikular dan velosimetri ovarian Doppler (98,99) tetapi yang lainnya
tidak menemukannya (100). Hal yang menarik adalah beberapa peneliti telah melaporkan
bahwa sekresi luteal progesteron sangat erat hubungannya dengan velosimetri arteri luteal
dalam siklus yang spontan, tetapi peneliti yang lainnya gagal untuk menunjukkan hubungan
yang signifikan (101).
Dalam siklus ovulasi yang normal, sinyal vena intra ovum menggambarkan pola
undulasi yang berkesinambungan dan tipis, kecepatan aliran vena secara perlahan meningkat
melalui fase folikular. Selama fase midluteal, nilainya meningkat relatif secara signifikan dari
fase folikular.sangatlah menarik bahwa aliran arteri ovum pada wanita dengan LPD tidak
menunjukkan perbedaan pada parameter velosimetri arteri ketika dibandingkan dengan siklus
ovulasi normal. Miyazaki et al (95) telah mempelajari aliran darah luteal dengan power
Doppler pada sukarelawan wanita sehat. Dengan teknik ini, vaskularisasi arteri dan vena
dievaluasi secara simultan karena (the color map) tidak membedakan antara kedua aliran itu.
Para peneliti menentukkan bahwa produk antara rasio vaskularisasi luteal dengan volume
luteal berhubungan dengan konsentrasi progesteron secara statistik dan signifikan. Sebaliknya
Merce et al (102) menemukan secara statistik bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara
tingkat luteal progesteron dan parameter velosimetri arterial. Bagaimana pun, hubungan
korelasi signifikan secara statistik, diobservasi pada kecepatan aliran vena maksimum. Hasil
ini sukar digabungkan , walaupun dapat diargumentasikan bahwa siklus defisiensi luteal
(LPD dan luteinized unruptured follicle) diasosiasikan dengan sebuah jaringan aliran vena
luteal yang abnormal, yang memberikan kontribusi dalam pengurangan sekresi progesteron
ke dalam sirkulasi umum.
EVALUASI ULTRASONOGRAFI DAN DOPPLER PADA ENDOMETRIUM FASE
LUTEAL
Belum ada metode diagnostik yang dapat dipegang dalam evaluasi kemampuan
menerima dari endometrium, walaupun beberapa teknik telah dicoba, penilaian histologi pada
biopsi endometrium (85), ekspresi protein endometrium (103), penilaian ultrasound dari
endometrium (104). Beberapa parameter ultrasound yang berbeda telah disarankan untuk
menilai kemampuan menerima dari endometrium, termasuk ketebalan endometrium, pola
ekogenik endometrium, dan volume endometrium (105-107)
POLA DAN KETEBALAN ENDOMETRIUM
Endometrium terlihat secara ultrasonografi sebagai garis tunggal hiperekoik yang tipis
dan sederhana, sesaat segera setelah haid. Lapisan stratum fungsionalis dan basalis
menyediakan pandangan yang berbeda dibandingkan perkembangan endometrium selama
fase tengah-akhir folikuler.disebutkan pola tekstur 3 garis eko menunjukkan adanya
pemisahan antara stratum basalis dan lapisan fungsional yang terlihat pada periovulasi
dengan peningkatan E2. Pola 3 garis tidak tampak setelah ovulasi. Endometrium terlihat lebih
homogen, hiperekogenik saat kelenjar endometrial meluas di bawah produksi progesteron
luteal pada fase sekretorik.
ALIRAN DARAH ENDOMETRIUM
Masih terdapat kontroversi pada literatur tentang perubahan indeks aliran Doppler
uterus selama fase luteal pada siklus spontan. Beberapa studi melaporkan bahwa tahanan
aliran menurun dari fase awal folikular ke fase mid luteal, tetapi menjadi maksimal sekitar
masa ovulasi. Berbeda dengan studi lain yang menyebutkan tidak ada perbedaan indeks
Doppler uterin pada beberapa fase berbeda.
Studi Doppler arteri uterine menunjukkan aliran darah endometrium dan miometrium.
Aliran darah endometrium berasal dari A. radial, yang memisahkan diri setelah melewati
miometrial-endometrial junction menjadi arteri basalis yang memperdarahi bagian basal
endometrium dan arteri spiralis melanjutkan diri ke endometrium.
Aliran darah di pembuluh darah uterine dapat dilihat dengan menggunakan ultrasound
Doppler berwarna yang biasanya ditunjukkan dengan aliran ke arah bawah. Pengukuran
volume aliran darah di pembuluh darah uterine sukar karena diameter pembuluh dipengaruhi
oleh sudut probe dan arah pembuluh darah yang berbelok-belok (114). Steer et al (115)
melaporkan bahwa perubahan kehamilan maksimal ketika rata-rata indeks pulsasi uterin (PI)
2.00-2.99. Gannon et al menggunakan teknik Doppler laser uterine untuk mengukur aliran
darah mikrovaskular endometrial, yang bervariasi sesuai siklus haid, aliran darahnya
meningkat selama awal fase folikuler dan awal fase luteal.
Selain itu, aliran darah endometrial dan subendometrial dapat dilihat dengan
menggunakan USG 3 dimensi dengan kekuatan Doppler (117,118). Power Doppler member
gambaran lebih sensitive dibanding Doppler berwarna yang mendeteksi rendahnya kecepatan
aliran darah dan juga memperbaiki visualisasi pembuluh darah kecil (119). Sebagai
rangkuman, pengukuran aliran darah endometrial dan sub endometrial yang terdahulu sangat
banyak kekurangan karena sangat tergantung pada alat dan operator. Seleksi pembuluh darah
endometrial dan subendometrial dimungkinkan dengan menggunakan Doppler berwarna.
Teknologi baru dengan Doppler 3D lebih konsisten dan dipercaya untuk evaluasi aliran darah
endometrial.
KESIMPULAN
Fungsi corpus luteum yang adekuat adalah dasar untuk menegakkan dan mendukung
suatu kehamilan. Siklus hidup corpus luteum selama siklus haid dan masa konsepsi
menggambarkan hubungan yang terbentuk antara kelenjar hipofise dan gonadotropin
embrional seperti yang terlihat pada autokrin intra luteal dan parakrin sinyal yang mengatur
fungsi endokrin sel luteal serta kehidupan dan kematiannya.
Setelah ovulasi, oosit masuk ke duktus ovarium dan bergerak ke ampula, dimana akan
terjadi fertilisasi jika bertemu dengan spermatozoa yang kompeten. Oleh karena itu langkah
dasar dan penting dari reproduksi manusia termasuk transport gamet, karakteristik tuba,
fertilisasi dan transpor embrio adalah proses biologik yang teratur dan sebagian dipengaruhi
oleh sekresi hormone corpus luteum. Ini sangat menarik karena duktus ovarium manusia
tidak terpengaruh dengan kecepatan transport E2 yang meningkat, seperti yang terjadi pada
embrio, berbeda dengan steroid ovarium yang mengontrol perjalanannya menuju ke uterus.
Lain halnya dengan progestin yang dapat menghambat embrio di duktus ovarii,
meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan tuba. Jadi pola temporal dan jumlah
progesteron yang mengatur pada fase luteal memberi dukungan penting dalam hasil klinis.
Sama halnya peningkatan tingkat progesterone luteal selama fase mid sekretorik
menyebabkan perubahan morfologi di endometrium yang diikuti dengan transformasi luas
dari stroma yang terjadi pada siklus fertil. Jika terjadi implantasi, sel trofoblas embrio mulai
menghasilkan HCG, yang sangat penting dalam produksi corpus luteum dan progesteron.
Metode klinis dan laboratorium yang mempengaruhi fase luteal seperti monitoring suhu basal
tubuh, histologi endometrium dan pengukuran tingkat progesteron plasma tidak selalu pasti
dapat digunakan untuk diagnosa disfungsi fase luteal. Akhir-akhir ini, USG dan USG 3D
dengan Doppler berwarna merupakan teknologi terbaru yangmenunjang evaluasi corpus
luteum manusia secara invivo. Pendekatan non invasive memberi keuntungan yang simultan
pada endometrium dan corpus luteum melalui fase luteal. Kekurangan dari laboratorium
untuk mengevaluasi fungsi luteal menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan klinis dalam
menjelaskan siklus haid normal dan defek fase luteal seperti defek implantasi dan
endokrinologi pada keguguran awal kehamilan.
Jadi, penjelasan aspek molekuler dan seluler pada perkembangan corpus luteum,
fungsi dan kematian berlanjut pada penelitian besar selanjutnya. Pada primata, mekanisme
luteolisis tampak berbeda dari non primata, dasar penelitian ini menunjukkan area regulasi
corpus luteum, yang mendukung gerakan baru untuk terapi infertilitas dan perkembangan
kontrasepsi.
Komentar
Corpus luteum sangat berperan dalam siklus haid dan masa konsepsi dan sangat dipengaruhi
dari protein sel lutein.
Dengan menggunakan ultrasound dan doppler kita dapat mengevaluasi lebih lanjut dari
ovarium dan endometrium melalui fase luteal