ferrini (jerman melawan italia, mahkamah internasional, 2012)

17
Masalah Pengecualian Pelanggaran Berat HAM dalam Imunitas Negara: Studi Kasus Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012) Nama Penulis: Marganda Hasudungan Hutagalung Nama Pembimbing: Adijaya Yusuf Hadi Rahmat Purnama Abstrak dan Kata Kunci: Skripsi ini membahas tentang keberadaan pengecualian pelanggaran berat HAM dalam hukum internasional mengenai imunitas negara. Pertanyaan dasar yang menjadi pusat penulisan skripsi ini adalah dapat tidaknya imunitas negara di hadapan pengadilan negara lain dikesampingkan bilamana negara yang pertama tersebut telah melakukan pelanggaran berat HAM. Dengan demikian skripsi ini membahas pertemuan/persinggungan antara dua norma dalam hukum internasional. Dalam satu sisi, kedaulatan setiap negara dalam hubungan internasional pada umumnya dianggap sama dengan demikian satu negara tidak berhak mengadili negara lain karena mereka sejajar. Di sisi lain, pertumbuhan rezim perlindungan terhadap pelanggaran berat HAM telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadisalah satu rezim norma tertinggi dalam hukum internasional keberadaan tersebut menimbulkan kebutuhan akan penegakan norma dengan lebih pasti. Kepastian penegakkan norma tersebut terkadang terhalang oleh alasan-alasan prosedural jika para korban pelanggaran HAM berat menggantungkan nasibnya pada mahkamah internasional, forum internasional lainnya, dan/atau sistem peradilan negara pelanggar berat HAM itu sendiri. Kata Kunci: imunitas negara, pelanggaran berat HAM, kesetaraan antar kedaulatan Pendahuluan: Salah satu halangan yang kerap kali dirasakan pada saat menegakkan hukum dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) adalah imunitas negara. Imunitas negara seringkali dijadikan perisai bagi negara-negara untuk melindungi dirinya dari tanggung jawab. Polemik tersebut tergambar dengan jelas pada rangkaian kejadian dalam kasus Ferrini . Luigi Ferrini adalah seorang warga negara Italia yang mengaku telah dijadikan pekerja paksa (forced labour) oleh Jerman pada saat terjadinya perang dunia kedua. Ia kemudian melancarkan beberapa upaya hukum terhadap pemerintah Jerman untuk meminta kompensasi finansial atas Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

Masalah Pengecualian Pelanggaran Berat HAM dalam Imunitas Negara: Studi Kasus

Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

Nama Penulis:

Marganda Hasudungan Hutagalung

Nama Pembimbing:

Adijaya Yusuf

Hadi Rahmat Purnama

Abstrak dan Kata Kunci:

Skripsi ini membahas tentang keberadaan pengecualian pelanggaran berat HAM dalam hukum

internasional mengenai imunitas negara. Pertanyaan dasar yang menjadi pusat penulisan skripsi ini adalah dapat tidaknya imunitas negara di hadapan pengadilan negara lain dikesampingkan bilamana negara yang pertama tersebut telah melakukan pelanggaran berat

HAM. Dengan demikian skripsi ini membahas pertemuan/persinggungan antara dua norma dalam hukum internasional. Dalam satu sisi, kedaulatan setiap negara dalam hubungan

internasional pada umumnya dianggap sama — dengan demikian satu negara tidak berhak mengadili negara lain karena mereka sejajar. Di sisi lain, pertumbuhan rezim perlindungan terhadap pelanggaran berat HAM telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadisalah

satu rezim norma tertinggi dalam hukum internasional — keberadaan tersebut menimbulkan kebutuhan akan penegakan norma dengan lebih pasti. Kepastian penegakkan norma tersebut terkadang terhalang oleh alasan-alasan prosedural jika para korban pelanggaran HAM berat

menggantungkan nasibnya pada mahkamah internasional, forum internasional lainnya, dan/atau sistem peradilan negara pelanggar berat HAM itu sendiri.

Kata Kunci:

imunitas negara, pelanggaran berat HAM, kesetaraan antar kedaulatan

Pendahuluan:

Salah satu halangan yang kerap kali dirasakan pada saat menegakkan hukum dalam

pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) adalah imunitas negara. Imunitas negara seringkali

dijadikan perisai bagi negara-negara untuk melindungi dirinya dari tanggung jawab.

Polemik tersebut tergambar dengan jelas pada rangkaian kejadian dalam kasus Ferrini.

Luigi Ferrini adalah seorang warga negara Italia yang mengaku telah dijadikan pekerja paksa

(forced labour) oleh Jerman pada saat terjadinya perang dunia kedua. Ia kemudian melancarkan

beberapa upaya hukum terhadap pemerintah Jerman untuk meminta kompensasi finansial atas

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 2: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

penderitaan yang dirasakannya akibat perlakuan Jerman. Upaya tersebut kemudian berujung

kepada peristiwa diadilinya Jerman di hadapan pengadilan Italia.1

Segala upaya yang dilakukan Ferrini berdasar kepada satu isu hukum penting, yaitu

dapat atau tidaknya imunitas negara diberlakukan jika negara tersebut telah melakukan

pelanggaran berat HAM. Dalam kasus ini kita dapat melihat interaksi dua norma penting, yaitu

penghormatan terhadap hak asasi manusia dan imunitas negara. Rangkaian kasus ini memberikan

sumbangan yang sangat signifikan bagi perkembangan hukum internasional, terutama berkaitan

dengan hukum HAM dan imunitas negara.

Norma imunitas negara berdasar kepada kesetaraan antar kedaulatan negara. Prinsip

kesetaraan tersebut adalah elemen penting dalam mekanisme hukum internasional. Prinsip

tersebut mengatakan bahwa setiap negara memegang otoritas terhadap wilayahnya masing-

masing; dan negara-negara lain harus menghormati kekuasaan tersebut.2 Dari segi penegakkan

hukum internasional, hal ini baru dapat dikecualikan jika negara berdaulat tersebut bersedia

untuk memberi ruang bagi keterlibatan negara lain.3 Hal tersebut lumrah terjadi dalam hubungan

internasional.4

Implikasi dari kesetaraan kedaulatan adalah tidak diperbolehkannya suatu negara

mengadili negara lain.5 Jika sampai terjadi, peristiwa tersebut akan sama saja dengan menaruh

kedaulatan satu negara di bawah kedaulatan negara lain. Hal tersebut tentunya menyalahi logika

kesetaraan kedaulatan.6 Pengertian ini seringkali dirujuk dengan adagium latin yang berbunyi,

1 Jerman v. Italia, Mahkamah Internasional (2012), ¶21-36.

2 Lihat misalnya dalam kasus The Schooner Exchange v. McFadden and others (1812), 11 U.S. 7 Cranch 116 116. Lihat pula doktrin Oppenheim dalam Mark W. Janis, An Introduction to International Law (New York: Aspen Publishers, 2008), hlm. 339, “States are by their nature certainly not equal as regards power, territory and the like. But as members of the community of nations they are, in principle, equal whatever differences between them may otherwise exist.”

3 Ibid.

4 Ibid.

5 Ernest K. Bankas, The State Immunity Controversy in International Law: Private Suits against Sovereign

States in Domestic Courts (New York: Springer Berlin Heidelberg, 2005), hlm. 49.

6 Justice Marshall dalam The Schooner Exchange, Op.Cit., menyatakan, “This perfect equality and absolute independence of sovereigns, and this common interest impelling them to mutual intercourse, and

an exchange of good offices with each other, have given rise to a class of cases in which every sovereign is understood to waive the exercise of a part of that complete exclusive territorial jurisdiction, which has been stated to be the attribute of every nation.”

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 3: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

“par in parem non habet imperium (dua subjek yang setara tidak saling menguasai satu terhadap

yang lainnya).”7

Dasar pemikiran itu kemudian berkembang menjadi norma hukum internasional

tersendiri yang mengatur tentang imunitas negara dan organ-organnya ― yang merupakan

perpanjangan tangan dari negara.8 Di satu sisi, perkembangan hukum yang mengatur tentang

imunitas organ-organ negara seperti diplomat, presiden, dan sebagainya kemudian berkembang

pesat dikarenakan hubungan konstan antar negara-negara yang melibatkan hubungan antara

organ-organnya. Akibat perkembangan frekuensi hubungan organ-organ negara tersebut,

pengecualian-pengecualian terhadap imunitas organ-organ negara tersebut mulai bermunculan

dalam konvensi-konvensi internasional.9

Namun di sisi lain, perkembangan hukum imunitas negara cenderung kaku. Hal ini

terlihat dari sedikitnya perubahan terhadap norma-norma hukum terkait dalam lima puluh tahun

terakhir. Sampai saat ini, mungkin satu-satunya pengecualian imunitas negara yang telah

diterima secara luas adalah yang terjadi saat suatu negara bertindak sebagai aktor komersil dalam

hubungan perdagangan (acta jure gestionis).10

Dilihat dari segi ketertiban umum dalam komunitas internasional, mungkin sedikitnya

perkembangan dalam imunitas negara adalah sesuatu yang baik. Alasannya adalah karena hal

tersebut dapat mencegah terbukanya kotak pandora di mana negara-negara saling mengadili satu

sama lain sebagai upaya politis, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kebencian negara-

negara antara satu dengan yang lainnya dalam hubungan internasional dan merusak ketertiban

umum.

Pendukung dari dasar pemikiran tersebut mungkin akan menambahkan bahwa

penegakan hukum internasional terhadap negara-negara pelanggar juga sudah dapat dilakukan

melalui pengadilan-pengadilan di tingkat internasional, misalnya Mahkamah Internasional dan

pengadilan-pengadilan hak asasi manusia regional. Lembaga-lembaga tersebut berperan sebagai

7 Ernest K. Bankas, Op.Cit., hlm. 17.

8 Lihat misalnya pada kasus Djibouti v. France, Mahkamah Internasional (2008), ¶174.

9 Contohnya adalah Konvensi Vienna tentang Hubungan Diplomatik , 1961, Pasal 31.

10 Sucharitkul, State Immunities and Trading Activities (1959), hlm. 252.

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 4: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

lembaga di atas kedaulatan-kedaulatan negara-negara; dan dengan demikian memiliki otoritas

untuk mengadili negara-negara tersebut.11

Namun demikian, pemikiran tersebut melupakan satu hal. Upaya-upaya penegakan

hukum internasional seperti yang disebutkan di atas tidak bisa menjamin selalu tersedianya

upaya hukum bagi pihak yang kepentingannnya dilanggar. Hal ini karena lembaga-lembaga di

atas tidak bisa berfungsi tanpa kesediaan dari negara-negara yang diduga telah melanggar

hukum, untuk diadili. Sebagai contoh, mahkamah internasional hanya bisa mengadili dua negara

yang telah setuju untuk diadili.12 Dalam Mahkamah Pidana Internasional, alternatif penerapan

jurisdiksi lain memang ada, misalnya atas dasar rujukan dari dewan keamanan perserikatan

bangsa-bangsa, negara anggota, ataupun inisiasi jaksa.13 Namun alternatif-alternatif tersebut pun

pada kenyataannya akan sulit dilepaskan dari pertimbangan politis.

Keterbatasan tersebut tidak akan menjadi masalah dalam kasus-kasus di mana

keduabelah pihak ingin menyelesaikan masalah dengan itikad baik. Dalam kasus-kasus tersebut,

keduabelah pihak akan dengan rela membawa permasalahan ke pengadilan-pengadilan

internasional. Masalah timbul saat pelanggaran yang dituduhkan adalah pelanggaran-pelanggaran

yang berpotensi merusak nama baik negara yang bersangkutan, misalnya pelanggaran berat

HAM. Dalam kasus tersebut, negara pelanggar seolah memiliki hak veto politis untuk lari dari

penegakan hukum.

Sementara perkembangan norma imunitas tersebut berlangsung, penting pula untuk

memperhatikan perkembangan rezim hukum HAM dalam hubungan internasional.

Perkembangan rezim tersebut terbilang pesat. Kurang lebih dalam beberapa dekade terakhir kita

telah menyaksikan bagaimana komunitas internasional terus menerus meningkatkan apresiasi dan

komitmennya terhadap HAM. Terlahirnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1945

merefleksikan hal ini. Pasal 1 ayat (3) dari Piagam PBB mengatakan bahwa salah satu tujuan

PBB adalah:

“To achieve international co-operation in solving international problems of an

economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging

11 Hal ini tentunya didukung juga oleh fakta bahwa negara-negara menerima jurisdiksi lembaga-lembaga tersebut secara kolektif melalui perjanjian-perjanjian internasional.

12 Statuta Mahkamah Internasional, 1945, Pasal 36 ayat (1).

13 Statuta Mahkamah Pidana Internasional, 1998, Pasal 13.

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 5: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex,

language, or religion”14

Indikasi di atas menggambarkan bahwa sejak tahun 1945 maka penghormatan terhadap

hak asasi manusia dalam komunitas internasional tidak dapat dipandang sebelah mata. Dukungan

tersebut kemudian didukung lebih jauh lagi oleh The Universal Declaration of Human Rights

(UDHR) pada tahun 1948, sebuah deklarasi yang mengelaborasi hak-hak manusia yang

selayaknya dihormati oleh setiap negara.15 Sejak saat itu negara-negara mengadopsi semangat

dan isi dari UDHR ke dalam hukum nasionalnya masing-masing. Hal itu kemudian terbukti dari

fakta bahwa, 20 tahun sejak kelahirannya, UDHR diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan

internasional pada resolusi hasil the Assembly for Human Rights di Montreal dan the Teheran

International Conference on Human Rights.16 Bukan hanya itu saja, pada masa itu muncul juga 2

konvensi tentang HAM yang lebih jauh lagi menguraikan hak dan kewajiban negara-negara

mengenai HAM, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International

Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Fenomena ini kemudian membuka jalan

untuk instrumen-instrumen HAM lainnya bermunculan di ranah internasional.17 Sejak masa itu,

HAM bukanlah lagi sekedar prinsip moral, namun sudah merupakan norma hukum.

Perkembangan tersebut terus menerus menunjukan betapa komunitas internasional

memprioritaskan HAM dan terus belajar dalam memperbaharui penegakkannya. Pertumbuhan ini

terutama dipacu secara konsisten oleh praktek-praktek pelanggaran HAM yang terjadi di negara-

negara di dunia. Pelanggaran tersebut juga terjadi dalam bentuk-bentuk yang sangat amat keji

seperti praktek perbudakan, genosida, dan pemerkosaan sistematis. Tindakan-tindakan tersebut

terjadi dalam konflik-konflik brutal di Rwanda, Yugoslavia, dan lain-lain. Hal tersebut

14 Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, 1945, Pasal 1 ayat (3).

15 Lihat Deklarasi Universal Hak -hak Asasi Manusia, 1948, preambul paragraf terakhir, “THE GENERAL ASSEMBLY proclaims THIS UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS as a common

standard of achievement for all peoples and all nations, to the end that every individual and every organ of society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect for these rights and freedoms and by progressive measures, national and international, to secure

their universal and effective recognition and observance, both among the peoples of Member States themselves and among the peoples of territories under their jurisdiction. ”

16 Vojin Dimitrijevic, Customary Law As an Instrument for the Protection of Human Rights , online di: <http://www.ispionline.it/it/documents/wp_7_2006.pdf>, 2006, hlm. 8.

17 Contohnya adalah Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, 1979, dan Konvensi melawan Penyiksaan dan Perlakuan Keji, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Lainnya, 1984.

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 6: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

menunjukan bahwa mekanisme penegakkan hukum dalam pelanggaran berat HAM di ranah

internasional belum memadai dan masih memiliki berbagai macam halangan.

Semua hal di atas itulah yang mendorong penulis untuk menelaah kasus Ferrini dan

pembahasan hukum yang ada di dalamnya. Di kemudian hari, penulis memutuskan untuk

mengangkat isu tersebut menjadi topik skripsi, yang berjudul: Masalah Pengecualian

Pelanggaran Berat HAM dalam Imunitas Negara: Studi Kasus Ferrini (antara Italia dan

Jerman).

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, ada tiga pokok permasalahan yang

akan dibahas dalam skripsi ini yaitu:

1. Bagaimanakah hukum internasional mengatur imunitas negara?

2. Bagaimanakah perkembangan dasar pemikiran pengecualian pelanggaran berat

HAM terhadap imunitas negara?

3. Bagaimanakah pengecualian di atas dibahas dalam kasus Luigi Ferrini, baik

dari sisi Pengadilan Kasasi Italia (tahun 2004) dan Mahkamah internasional

(tahun 2012)?

Pembahasan:

A. Norma Imunitas Negara dalam Hukum Internasional

Norma imunitas negara adalah sebuah norma yang mengatur bahwa negara tidak dapat

ditempatkan di bawah jurisdiksi negara yang lainnya. Norma ini ada atas dasar kesetaraan

kedaulatan antar negara, di mana negara yang satu tidak dibenarkan jika mengadili negara

lainnya karena mereka setara. Norma ini telah secara luas diakui keberadaannya dalam hukum

internasional, baik dari traktat-traktat yang ada maupun hukum kebiasaan internasional.

Pada awalnya, norma ini tumbuh dari filosofi bahwa manusia, secara individual,

memiliki kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi dari pihak luar. Kemudian

manusia-manusia mulai merasakan adanya kebutuhan akan sebuah organisasi kepemimpinan

yang dapat menumbuhkan keteraturan dalam kehidupan mereka satu dengan yang lain dalam

sebuah komunitas. Berangkat dari keinginan tersebut pada akhirnya manusia-manusia tersebut

membentuk sebuah organisasi komunitas yang dikenal dengan nama negara dan pemerintahan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa negara itu secara praktis negara merupakan

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 7: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

perwujudan dari manusia-manusia yang menjalankan kedaulatannya secara kolektif untuk

membentuk negara. Kedaulatan individual yang dijalankan secara kolektif tersebut menjadi dasar

bagi kedaulatan negara dalam hubungannya dengan negara lain.

Pada perkembangannya, hukum internasional kemudian bertumbuh di atas premis

bahwa kedaulatan-kedaulatan negara tersebut setara satu dengan yang lainnya. Tidak ada

kedaulatan suatu negara yang dianggap lebih tinggi dibanding kedaulatan negara lainnya.

Kesamaan kedaulatan tersebutlah yang menjadi dasar logika dan filosofis bagi munculnya norma

imunitas negara — bahwasannya para kedaulatan yang seimbang tidak dapat saling mengadili

satu dengan yang lainnya.

Jika dilihat bersama-sama dengan norma-norma hukum internasional lainnya, norma

imunitas negara dapat dianggap sebagai salah satu norma dalam hukum internasional yang

tumbuh secara lamban. Dapat dikatakan lamban karena ia membutuhkan waktu bertahun-tahun

dan bahkan sampai beberapa dekade lamanya sampai perubahan dapat terjadi.

Tidak hanya lamban, norma ini juga merupakan norma yang pertumbuhannya sulit

untuk dideteksi. Hal ini dikarenakan tidak ada instrumen apapun dalam hukum internasional di

masa lalu sampai jaman modern; ataupun bukti-bukti lain dalam hukum internasional yang dapat

dijadikan panduan definitif mengenai norma imunitas negara. Ini berbeda dengan, misalnya,

hukum humaniter internasional yang kerangka hukumnya dapat dengan relatif lebih mudah

disarikan dari Konvensi Jenewa berserta protokol-protokol tambahannya; ataupun hukum HAM

internasional yang kerangka hukumnya dapat dipahami dengan membaca konstruksi Konvensi

Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi-konsvensi HAM lainnya. Norma

imunitas negara tidak memiliki panduan definitif yang dapat menjelaskan kerangka hukum

norma tersebut — para peneliti harus menyarikan kerangka hukumnya dari bukti-bukti yang

tersebar dalam dokumen-dokumen yang mengindikasikan tingkah laku negara-negara dalam

komunitas internasional. Kesulitan tersebut memang sedikit terobati dengan kehadiran Konvensi

Imunitas Negara dan Propertinya tahun 2005. Namun demikian, Konvensi tersebut tidak dapat

dengan jelas menggambarkan kerangka normatif imunitas negara sejak jaman dahulu.

Walaupun pengakuannya sudah luas dan sudah dipraktekan di kesempatan-kesempatan

yang tidak terhitung banyaknya, namun norma ini belumlah memiliki status sebagai norma

absolut yang tidak bisa dikesampingkan. Sejauh ini telah terdapat beberapa pengecualian yang

telah diakui, misalnya pengecualian dalam halnya negara bertindak sebagai aktor privat dalam

hukum perdagangan; dan pengecualian dalam halnya terjadi perbuatan melawan hukum

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 8: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

dilakukan sebuah negara di wilayah negara lain — seperti yang tercantum dalam Konvensi

Imunitas Negara dan Propertinya tahun 2005. Sifat tidak absolutnya norma imunitas negara ini

membuka peluang untuk munculnya pengecualian-pengecualian atau justifikasi-justifikasi bagi

pengesampingan. Sejauh itu para sarjana dan negara-negara telah setuju — yang menjadi

perdebatan adalah pengecualian-pengecualian apa saja yang dapat diterima.

B. Perkembangan Dasar Pemikiran Pengecualian Pelanggaran Berat HAM

terhadap Imunitas Negara menurut Hukum Internasional

Perkembangan dasar pemikiran pengecualian pelanggaran berat HAM terhadap norma

imunitas negara berawal dari perkembangan norma-norma perlindungan HAM itu sendiri.

Norma-norma HAM dikodifikasikan oleh komunitas internasional sebagai respon terhadap

kekejian-kekejian yang dialami umat manusia selama peperangan. Kekejian-kekejian tersebut

membuktikan bahwa hukum nasional sebuah negara, yang pembentukan dan penegakannya

dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah negara itu sendiri, tidak dapat dipercaya untuk menjaga

HAM dari orang-orang yang berada di bawah kontrolnya.

Selanjutnya popularitas rezim perlindungan HAM dalam hukum internasional

berkembang pesat sampai beberapa norma HAM diakui oleh komunitas internasional sebagai

norma-norma tertinggi di mana pengesampingan tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun.

Pengakuan atas pentingnya norma HAM ternyata tidak serta merta berpengaruh kepada norma-

norma penegakkannya. Para ahli dan hakim masih memperdebatkan sampai batas manakah

karakteristik pentingnya norma HAM tersebut mempengaruhi norma-norma terkait, seperti

misalnya aplikasi jurisdiksi negara.

Di satu sisi, Pasal 53 dari Konvensi Vienna 1969 tentang Traktat menyatakan bahwa

jika suatu norma telah menempati posisi hirarki tertinggi dalam hukum internasional (jus

cogens), maka norma tersebut dapat mengesampingkan norma-norma lainnya. Bahwa larangan

terhadap pelanggaran berat HAM itu sendiri telah menduduki posisi tertinggi dalam norma

hukum internasional itu telah disetujui oleh para sarjana. Kesimpulannya adalah, jika dapat

dikatakan bahwa imunitas negara telah bersinggungan dengan norma pelarangan terhadap

pelanggaran HAM berat, maka imunitas tersebut seyogyanya dapat dikesampingkan. Hal ini

dikarenakan imunitas negara bukanlah jus cogens sementara pelarangan terhadap pelanggaran

berat HAM merupakan jus cogens. Penarikan kesimpulan tersebut masih menjadi suatu hal yang

kontroversial dari segi teoritis, karena imunitas negara seperti yang dikatakan para sarjana,

misalnya Lady Fox, merupakan norma yang berada dalam ranah prosedural — bukan substantif

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 9: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

seperti layaknya pelanggaran berat HAM. Dalam hal tersebut, nampaknya imunitas negara

bukanlah sebuah penghalang penegakan HAM, namun hanya merupakan norma pemindah

jurisdiksi.

Namun kesimpulannya akan lain jika efek dari sebuah norma menjadi norma jus cogens

dikaji lebih dalam. Implikasi dari norma jus cogens, secara teoritis, harulah besar terhadap

norma-norma di sekitarnya. Karena jika tidak, maka norma tersebut akan kehilangan esensinya

sebagai norma tertinggi. Norma tertinggi seyogyanya juga mendapat prioritas dalam

penegakkannya. Hal ini dikarenakan, sesuai yang diargumentasikan oleh beberapa sarjana,

penegakan norma dan tingkatan norma tersebut dalam hirarki norma haruslah berbanding lurus.

Dengan cara berpikir ini, posisi sebuah norma sebagai jus cogens mempengaruhi norma-norma

disekitarnya, termasuk norma prosedural dalam penegakkannya.

Pertimbangan yang terakhir akan menghasilkan kesimpulan bahwa setidak-tidaknya ada

persinggungan antara karakteristik jus cogens sebuah norma dengan imunitas negara. Hal ini

karena imunitas negara dalam ranah norma-norma prosedural memang dapat menghalangi

pemberlakuan jurisdiksi dan dengan demikian menghambat dihukumnya pelanggar berat HAM.

Kedua dasar pemikiran tersebut memang telah menjadi topik pembicaraan normatif para

sarjana. Namun demikian, untuk menyatakan bahwa pengecualian pelanggaran berat HAM

dalam imunitas negara telah menjadi norma dalam hukum internasional, diperlukan pengakuan

dari dasar-dasar pemikiran tersebut dalam kasus-kasus yang aktual.

Hal ini pada akhirnya disinggung pada kasus Furundzija, di mana hakim mengelaborasi

implikasi dari norma jus cogens. Kasus ini membicarakan tentang salah satu pelanggaran hukum

humaniter internasional, yaitu larangan penyiksaan (torture). Norma tersebut dapat dikatakan

sebagai pelanggaran berat HAM juga, selain merupakan pelanggaran hukum humaniter

internasional. Hakim dalam kasus tersebut mengakui pelanggaran larangan penyiksaan sebagai

pelanggaran norma jus cogens. Dalam pertimbangan orbiter dicta-nya hakim menjelaskan

implikasi-implikasi umum dari dilanggarnya norma jus cogens. Salah satu dari implikasi dari

pelanggaran tersebut adalah bagaimana negara yang memiliki jurisdiksi diwajibkan untuk

menerapkan jurisdiksinya atas kasus pelanggaran jus cogens. Hal ini dapat dikatakan sebagai

ungkapan definitif pertama dari institusi peradilan tentang keberadaan pengecualian pelanggaran

berat HAM dalam norma imunitas negara. Namun demikian, kata-kata hakim tersebut masih

belum diaplikasikan di manapun, termasuk dalam kasus tersebut sendiri, karena pengadilan yang

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 10: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

mengadili kasus tersebut sudah mengantongi resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai dasar

jurisdiksinya.

Kesempatan untuk menyaksikan pertama kalinya perkataan hakim dalam Furundzija

tersebut akhirnya ada dalam kasus Al-Adsani. Kasus tersebut bercerita tentang Al-Adsani,

seseorang yang mempunyai kewarganegaraan Inggris dan Kuwait secara bersamaan. Al-Adsani

tinggal di Kuwait selama beberapa waktu untuk mempertahankan Kuwait dari serangan Saddam

Hussein. Pengalaman tersebut berakhir dengan siksaan yang diterima Al-Adsani oleh pemerintah

Kuwait sendiri. Ia lalu kembali ke Inggris untuk menggugat Kuwait di hadapan pengadilan

Inggris. Gugatan tersebut ditolak karena undang-undang Inggris mengatur tentang imunitas

Kuwait di hadapan institusi peradilan Inggris. Pengadilan Inggris seakan terhalang untuk

mengadili Kuwait karena imunitas Kuwait, padahal pelanggaran jus cogens sudah terjadi secara

jelas.

Dengan tidak menyerah, kemudian Al-Adsani menggugat pemerintah Inggris di

hadapan Mahkamah HAM Eropa (ECHR). Gugatannya berdasar kepada anggapannya bahwa

pemerintah Inggris, dengan menepis gugatannya terhadap pemerintah Kuwait, telah

menghalanginya untuk mencari keadilan. Dalam memeriksa dan mempertimbangkan kasus

tersebut, tentunya ECHR akan dihadapkan pada pertanyaan ada tidaknya pengecualian

pelanggaran berat HAM dalam norma imunitas negara. Majelis hakim mayoritas dalam perkara

Al-Adsani tersebut kembali menolak gugatan Al-Adsani, walaupun mereka mengakui

keberadaan jus cogens dan implikasinya. Penolakan tersebut didasarkan pada anggapan hakim

bahwa belum ditemukan bukti-bukti yang cukup mengenai keberadaan pengecualian tersebut

dalam ranah hukum perdata — pemikiran yang secara normatif dapat dikatakan kurang persuasif.

Walaupun gugatan Al-Adsani ditolak, namun pertumbuhan dasar pemikiran pengecualian HAM

berat dalam imunitas negara tertandai dengan jumlah dissenting opinions yang banyak sekali,

yaitu sembilan hakim mayoritas dan delapan hakim yang tidak setuju terhadap putusan. Hakim

dalam kelompok terakhir ini mengakui adanya pengecualian pelanggaran berat HAM dalam

imunitas negara. Fakta bahwa jumlah hakim yang mengkonfirmasi adanya pengecualian tersebut

hanya terpaut satu hakim dari mayoritas hakim yang menolak keberadaan pengecualian itu.

Indikasi sangat positif dari keberadaan pengecualian HAM berat dalam norma imunitas

negara dapat kita lihat dalam kasus Ferrini yang diadili oleh Mahkamah Kasasi Italia (“MKI”).

Ferrini adalah seorang buruh paksa yang dipindah-tempatkan oleh Jerman secara paksa selama

perang dunia kedua. Fakta bahwa Jerman setelah perang dunia kedua telah menetapkan undang-

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 11: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

undang dan sebuah lembaga untuk mengalokasikan kompensasi dana terhadap korban-korban

tindakan-tindakannya selama perang dunia kedua tidak memberikan kompensasi apapun terhadap

Ferrini. Hal ini dikarenakan undang-undang dan lembaga kompensasi tersebut menerapkan

syarat-syarat prosedural yang Ferrini tidak mampu penuhi. Ferrini kemudian menggugat negara

Jerman di hadapan pengadilan Italia. Gugatan tersebut sampai kepada tahap kasasi di hadapan

Mahkamah Kasasi Italia (MKI).

Dalam kasus ini MKI mengadili Jerman bersalah telah melakukan pelanggaran berat

HAM terhadap Ferrini dan berdasarkan putusannya kemudian menyita aset-aset Jerman yang

berada di Italia. Dalam putusannya, terlihat bahwa MKI beranggapan bahwa jus cogens dan

penegakkannya adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, di mana adalah dibenarkan untuk

Italia mengesampingkan imunitas Jerman sebagai negara jika Jerman telah melakukan

pelanggaran berat HAM. Dinamika perdebatan tersebut tidak selesai di MKI. Berikutnya Jerman

membawa putusan tersebut ke hadapan Mahkamah Internasional dan menggugat Italia karena

dianggap telah melanggar imunitas Jerman.

C. Keputusan Mahkamah Internasional tentang Pengecualian Pelanggaran Berat

HAM terhadap Imunitas Negara menurut Hukum Internasional

Mahkamah Internasional ternyata menolak untuk mengakui keberadaan pengecualian

pelanggaran berat HAM terhadap imunitas negara. Konstruksi dasar pemikiran Mahkamah

Internasional dalam hal ini dapat disarikan sebagai berikut:

- Tidak ada pertemuan antara norma larangan pelanggaran berat HAM dengan

imunitas negara—yang pertama adalah norma substantif, sementara yang kedua

adalah norma prosedural; dan

- Hanya karena norma prosedural tersebut terhambat karena negosiasi tata cara

pemberian kompensasi atas pelanggaran berat HAM yang tidak dapat

terselesaikan dengan mudah, bukan berarti norma jus cogens sudah terlanggar.

Dengan demikian, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Italia telah melanggar imunitas

Jerman dengan mengadili negara tersebut.

Tentunya putusan tersebut mengundang banyak kontroversi. Hal tersebut terbukti dari

beberapa dissenting opinions yang diutarakan beberapa hakim; dan pendapat-pendapat bernada

tidak setuju dari para sarjana. Salah satu dari ketidaksetujuan tersebut diutarakan oleh hakim

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 12: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

Cancado Trindade yang mengutarakan dissenting opinion yang jumlah halamannya dua kali lebih

banyak dari putusan hakim mayoritas Mahkamah Internasional. Hakim Cancado menunjukan

dalam opininya bahwa norma imunitas negara adalah norma yang memiliki banyak kebolongan-

kebolongan dalam konstruksi normatifnya. Hal tersebut membuka peluang bagi diterimanya

pengecualian-pengecualian terhadap norma tersebut. Hakim Cancado juga menyesalkan tidak

adanya judicial activism di kalangan para Hakim Mahkamah Internasional. Hal tersebut

disayangkan, ditengah dorongan moral dan normatif yang besar.

Keputusan Mahkamah Internasional tersebut tidak sepenuhnya tepat, bahkan jika dilihat

dari segi normatif. Hal tersebut dikarenakan tata norma dalam hukum internasional adalah tata

norma yang saling kait-mengait—satu norma tidaklah terlepas dari norma lainnya. Keberadaan

sebuah norma sebagai jus cogens tentunya menimbulkan efek samping bagi norma

penegakkannya. Berpijak pada definisinya, jus cogens tentunya tidak pantas diperlakukan sama

dengan norma-norma lainnya—di mana korban-korban pelanggaran norma tersebut dihadapkan

dengan prosedur yang berbelit-belit dan tidak pasti hasilnya. Jika norma jus cogens layak

mendapat tempat tertinggi secara absolut, maka korban-korban pelanggaran norma tersebut juga

layak mendapatkan pelayanan dan ganti rugi yang absolut.

Penutup:

1. Norma imunitas negara adalah norma yang memiliki pengecualian-pengecualian.

2. Dasar pemikiran pengecualian pelanggaran berat HAM dalam norma imunitas negara

didukung oleh Hirarki Norma dalam Hukum Internasional.

3. Mahkamah Internasional menolak perkembangan pengecualian pelanggaran berat HAM

tersebut karena menganggap norma tersebut tidak bersinggungan dengan Imunitas

Negara, yang merupakan norma prosedural.

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Lauterpacht, Hersch. The Problem of Jurisdictional Immunities of Foreign States. 1951.

Alebeek, Rosanne Van. The Immunity of States and Their Officials in International Criminal

Law and International Human Rights Law. New York: Oxford University Press,

2008.

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 13: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

Bankas, Ernest K. The State Immunity Controversy in International Law: Private Suits

against Sovereign States in Domestic Courts. New York: Springer Berlin Heidelberg,

2005.

Brownlie, Ian. Principles of Public International Law. New York: Oxford University Press,

2008.

Janis, Mark W. An Introduction to International Law. New York: Aspen Publisher, 2008.

Lauterpacht, Hersch. International Law and Human Rights. 1950.

Mamudji, Soerjono Soekanto dan Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Paulsson, Jan. Denial of Justice in International Law. Cambridge: Cambridge University

Press, 2005.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2006.

II. Artikel Jurnal

Allen, E.W. The Position of Foreign States before National Courts. 1933.

Arnull, Anthony. Judicial Activism and the Court of Justice: How Should Academics

Respond? 2012.

Brazeal, Gregory. Bureaucracy and the U.S. Response to Mass Atrocity. National Security &

Armed Conflict Law Review, 2011.

Caplan, Lee M. State Immunity, Human Rights, and Jus Cogens: A Critique of the Normative

Hierarchy Theory. 2003.

Esposito, Carlos. Jus Cogens and Jurisdictional Immunities of States at the International

Court of Justice: A Conflict Does Exist. 2012.

Janowitz, Morris. German Reactions to Nazi Atrocities. 1946.

Knuchel, Sevrine. State Immunity and the Promise of Jus Cogens. 2010.

Potesta, Michele. State Immunity and Jus Cogens Violations: The Alien Tort Statute Against

the Backdrop of the Latest Developments in the ‘Law of Nations’. 2010.

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 14: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

Spinedi, Marina. State Responsibility v. Individual Responsibility for International Crimes:

Tertium non Datur? 2002.

Sucharitkul. State Immunities and Trading Activities. 1959.

Sztucki, Cf. J. Jus Cogens and the Vienna Convention on the Law of Treaties: A Critical

Appraisal. 1974.

Yee, Sienho. Foreign Sovereign Immunities, Acta Jure Imperii and Acta Jure Gestionis: A

Recent Exposition from the Canadian Supreme Court. 2003.

III. Peraturan Perundang-undangan

Hague Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex:

Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. 1907.

International Covenant on Civil and Political Rights. 1966.

International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. 1966.

Konvensi Brussel untuk Unifikasi Peraturan-peraturan Tertentu tentang Imunitas Kapal-

kapal Milik Negara. 1926.

Konvensi Eropa tentang Imunitas Negara. 1972.

Konvensi melawan Penyiksaan dan Perlakuan Keji, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan

Lainnya. 1984.

Konvensi Organisasi Buruh Internasional No. 30 tentang Buruh Paksa. 1930.

Konvensi PBB tentang Imunitas Jurisdiksi Negara dan Propertinya. 2004.

Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. 1979.

Konvensi Vienna tentang Hubungan Diplomatik . 1961.

Konvensi Vienna tentang Traktat. 1969.

Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. 1945.

Statuta Mahkamah Internasional. 1945.

Statuta Mahkamah Pidana Internasional. 1998.

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 15: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

Argentina. Immunidad Jurisdiccional de los Estados Extranjeros ante los Tibunalos

Argentinos. 1995.

Australia. Foreign Sovereign Immunities Act. 1985.

Inggris. State Immunity Act. 1978.

Kanada. State Immunity Act. 1982.

Pakistan. State Immunity Ordinance. 1981.

Selatan, Afrika. Foreign States Immunity Act. 1981.

Serikat, Amerika. Foreign Sovereign Immunities Act. 1976.

Singapura. State Immunity Act. 1979.

IV. Kasus-kasus

Advisory Opinion on the Reservations to the Convention on the Prevention and Punishment

of the Crime of Genocide. (Mahkamah International, 1951).

Al-Adsani v. England. (Mahkamah HAM Eropa, 2001).

Barker McCormac (Private) Ltd. v. Government of Kenya. (Mahkamah Agung Zimbabwe,

1983).

Case concerning Chorzow Factory. (Mahkamah Internasional Permanen, 1927).

Djibouti v. France. (Mahkamah Internasional, 2008).

Dralle v. Republic of Czechoslovakia. (Mahkamah Agung Austria, 1950).

Ferrini v. Republik Federal Jerman. (Mahkamah Kasasi Italia, 2004).

Gouvernement Espagnol v. Casaux Sirey. (Mahkamah Kasasi Perancis, 1849).

Government of Canada v. The Employment Appeals Tribunal and Burke. (Mahkamah Agung

Irlandia, 1992).

Governor of Pitcairn Islands v. Sutton. (Pengadilan Selandia Baru, 1994).

Irlandia v. Inggris. (Mahkamah HAM Eropa, 1978).

Jerman v. Italia. (Mahkamah Internasional, Februari 2012).

Minister of Defence of Government of the United Kingdom v. Joel Ndegwa. (Pengadilan

Kenya, 1983).

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 16: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

Prefektur Voiotia v. Republik Federal Jerman. (Mahkamah Agung Yunani, 1997).

Prosecutor v. Anto Furundzija (tingkat pertama). (Mahkamah Pidana Ad Hoc untuk

Yugoslavia, 1998).

Prosecutor v. Dragoljub Kunarac et al. (Mahkamah Pidana Ad Hoc untuk Yugoslavia,

2001).

Prosecutor v. Mucic et al. (tingkat pertama). (Mahkamah Pidana Ad Hoc untuk Yugoslavia,

2001).

Sampson v. Republik Federal Jerman. (Pengadilan Amerika Serikat, 2001).

Siderman de Blake v. Republic of Argentina. (Pengadilan Banding Amerika Serikat, 1992).

The Schooner Exchange v. McFadden and others. 11 (U.S. 7 Cranch, 1812).

V. Halaman Internet

Bassiouni, Cherif. International Crimes, Jus Cogens, and Obligatio Erga Omnes. www.sos-

attentats.org. n.d. http://www.sos-attentats.org/publications/bassiouni.jus.cogens.pdf.

Butte, Robert Beckman dan Dagmar. Introduction to International Law. ILSA Website. n.d.

http://www.ilsa.org/jessup/intlawintro.pdf.

Chemichenko, Stanislav. Paper to the UN Human Rights Commission. UNHRC Website. n.d.

http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/%28Symbol%29/E.CN.4.Sub.2.1993.1

0*.En?Opendocument.

Dimitrijevic, Vojin. Customary Law As an Instrument for the Protection of Human Rights.

ISPI Online. 2006. http://www.ispionline.it/it/documents/wp_7_2006.pdf.

VI. Sumber-sumber Lain

Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of

Gross Violations of International Human Rights Law adn Serious Violations of

International Humanitarian Law. n.d. 2005.

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. 1948.

Draft Declaration of International Law Principles on Reparation for Victims of Armed

Conflict. 2010.

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013

Page 17: Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)

Association, International Law. Draft Articles for a Convention on State Immunity Report of

the Sixtieth Conference. 1982.

Commission, International Law. Draft Articles on Jurisdictional Immunities of States and

Their Property. 1991.

Commission, International Law. Draft articles on Jurisdictional Immunities of States and

Their Property, with commentaries. 1991.

Commission, International Law. Draft Code of Crimes against the Peace and Security of

Mankind. 1966.

Commission, Secretariat of the International Law. Memorandum on the Immunity of State

Officials from Foreign Criminal Jurisdiction. 2008.

Committee, Inter-American Judicial. Draft Convention on Jurisdictional Immunity of States.

1983.

International, Institut de Droit. Resolution on Contemporary Problems Concerning the

Jurisdictional Immunity of States. 1992.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dewan Keamanan. "Resolusi No. 827." 1993.

Pictet, Jean. International Committee of Red Cross Commentaries to the Additional Protocol

I of Geneva Conventions of 1949. n.d.

Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013