ferrini (jerman melawan italia, mahkamah internasional, 2012)
TRANSCRIPT
Masalah Pengecualian Pelanggaran Berat HAM dalam Imunitas Negara: Studi Kasus
Ferrini (Jerman melawan Italia, Mahkamah Internasional, 2012)
Nama Penulis:
Marganda Hasudungan Hutagalung
Nama Pembimbing:
Adijaya Yusuf
Hadi Rahmat Purnama
Abstrak dan Kata Kunci:
Skripsi ini membahas tentang keberadaan pengecualian pelanggaran berat HAM dalam hukum
internasional mengenai imunitas negara. Pertanyaan dasar yang menjadi pusat penulisan skripsi ini adalah dapat tidaknya imunitas negara di hadapan pengadilan negara lain dikesampingkan bilamana negara yang pertama tersebut telah melakukan pelanggaran berat
HAM. Dengan demikian skripsi ini membahas pertemuan/persinggungan antara dua norma dalam hukum internasional. Dalam satu sisi, kedaulatan setiap negara dalam hubungan
internasional pada umumnya dianggap sama — dengan demikian satu negara tidak berhak mengadili negara lain karena mereka sejajar. Di sisi lain, pertumbuhan rezim perlindungan terhadap pelanggaran berat HAM telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadisalah
satu rezim norma tertinggi dalam hukum internasional — keberadaan tersebut menimbulkan kebutuhan akan penegakan norma dengan lebih pasti. Kepastian penegakkan norma tersebut terkadang terhalang oleh alasan-alasan prosedural jika para korban pelanggaran HAM berat
menggantungkan nasibnya pada mahkamah internasional, forum internasional lainnya, dan/atau sistem peradilan negara pelanggar berat HAM itu sendiri.
Kata Kunci:
imunitas negara, pelanggaran berat HAM, kesetaraan antar kedaulatan
Pendahuluan:
Salah satu halangan yang kerap kali dirasakan pada saat menegakkan hukum dalam
pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) adalah imunitas negara. Imunitas negara seringkali
dijadikan perisai bagi negara-negara untuk melindungi dirinya dari tanggung jawab.
Polemik tersebut tergambar dengan jelas pada rangkaian kejadian dalam kasus Ferrini.
Luigi Ferrini adalah seorang warga negara Italia yang mengaku telah dijadikan pekerja paksa
(forced labour) oleh Jerman pada saat terjadinya perang dunia kedua. Ia kemudian melancarkan
beberapa upaya hukum terhadap pemerintah Jerman untuk meminta kompensasi finansial atas
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
penderitaan yang dirasakannya akibat perlakuan Jerman. Upaya tersebut kemudian berujung
kepada peristiwa diadilinya Jerman di hadapan pengadilan Italia.1
Segala upaya yang dilakukan Ferrini berdasar kepada satu isu hukum penting, yaitu
dapat atau tidaknya imunitas negara diberlakukan jika negara tersebut telah melakukan
pelanggaran berat HAM. Dalam kasus ini kita dapat melihat interaksi dua norma penting, yaitu
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan imunitas negara. Rangkaian kasus ini memberikan
sumbangan yang sangat signifikan bagi perkembangan hukum internasional, terutama berkaitan
dengan hukum HAM dan imunitas negara.
Norma imunitas negara berdasar kepada kesetaraan antar kedaulatan negara. Prinsip
kesetaraan tersebut adalah elemen penting dalam mekanisme hukum internasional. Prinsip
tersebut mengatakan bahwa setiap negara memegang otoritas terhadap wilayahnya masing-
masing; dan negara-negara lain harus menghormati kekuasaan tersebut.2 Dari segi penegakkan
hukum internasional, hal ini baru dapat dikecualikan jika negara berdaulat tersebut bersedia
untuk memberi ruang bagi keterlibatan negara lain.3 Hal tersebut lumrah terjadi dalam hubungan
internasional.4
Implikasi dari kesetaraan kedaulatan adalah tidak diperbolehkannya suatu negara
mengadili negara lain.5 Jika sampai terjadi, peristiwa tersebut akan sama saja dengan menaruh
kedaulatan satu negara di bawah kedaulatan negara lain. Hal tersebut tentunya menyalahi logika
kesetaraan kedaulatan.6 Pengertian ini seringkali dirujuk dengan adagium latin yang berbunyi,
1 Jerman v. Italia, Mahkamah Internasional (2012), ¶21-36.
2 Lihat misalnya dalam kasus The Schooner Exchange v. McFadden and others (1812), 11 U.S. 7 Cranch 116 116. Lihat pula doktrin Oppenheim dalam Mark W. Janis, An Introduction to International Law (New York: Aspen Publishers, 2008), hlm. 339, “States are by their nature certainly not equal as regards power, territory and the like. But as members of the community of nations they are, in principle, equal whatever differences between them may otherwise exist.”
3 Ibid.
4 Ibid.
5 Ernest K. Bankas, The State Immunity Controversy in International Law: Private Suits against Sovereign
States in Domestic Courts (New York: Springer Berlin Heidelberg, 2005), hlm. 49.
6 Justice Marshall dalam The Schooner Exchange, Op.Cit., menyatakan, “This perfect equality and absolute independence of sovereigns, and this common interest impelling them to mutual intercourse, and
an exchange of good offices with each other, have given rise to a class of cases in which every sovereign is understood to waive the exercise of a part of that complete exclusive territorial jurisdiction, which has been stated to be the attribute of every nation.”
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
“par in parem non habet imperium (dua subjek yang setara tidak saling menguasai satu terhadap
yang lainnya).”7
Dasar pemikiran itu kemudian berkembang menjadi norma hukum internasional
tersendiri yang mengatur tentang imunitas negara dan organ-organnya ― yang merupakan
perpanjangan tangan dari negara.8 Di satu sisi, perkembangan hukum yang mengatur tentang
imunitas organ-organ negara seperti diplomat, presiden, dan sebagainya kemudian berkembang
pesat dikarenakan hubungan konstan antar negara-negara yang melibatkan hubungan antara
organ-organnya. Akibat perkembangan frekuensi hubungan organ-organ negara tersebut,
pengecualian-pengecualian terhadap imunitas organ-organ negara tersebut mulai bermunculan
dalam konvensi-konvensi internasional.9
Namun di sisi lain, perkembangan hukum imunitas negara cenderung kaku. Hal ini
terlihat dari sedikitnya perubahan terhadap norma-norma hukum terkait dalam lima puluh tahun
terakhir. Sampai saat ini, mungkin satu-satunya pengecualian imunitas negara yang telah
diterima secara luas adalah yang terjadi saat suatu negara bertindak sebagai aktor komersil dalam
hubungan perdagangan (acta jure gestionis).10
Dilihat dari segi ketertiban umum dalam komunitas internasional, mungkin sedikitnya
perkembangan dalam imunitas negara adalah sesuatu yang baik. Alasannya adalah karena hal
tersebut dapat mencegah terbukanya kotak pandora di mana negara-negara saling mengadili satu
sama lain sebagai upaya politis, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kebencian negara-
negara antara satu dengan yang lainnya dalam hubungan internasional dan merusak ketertiban
umum.
Pendukung dari dasar pemikiran tersebut mungkin akan menambahkan bahwa
penegakan hukum internasional terhadap negara-negara pelanggar juga sudah dapat dilakukan
melalui pengadilan-pengadilan di tingkat internasional, misalnya Mahkamah Internasional dan
pengadilan-pengadilan hak asasi manusia regional. Lembaga-lembaga tersebut berperan sebagai
7 Ernest K. Bankas, Op.Cit., hlm. 17.
8 Lihat misalnya pada kasus Djibouti v. France, Mahkamah Internasional (2008), ¶174.
9 Contohnya adalah Konvensi Vienna tentang Hubungan Diplomatik , 1961, Pasal 31.
10 Sucharitkul, State Immunities and Trading Activities (1959), hlm. 252.
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
lembaga di atas kedaulatan-kedaulatan negara-negara; dan dengan demikian memiliki otoritas
untuk mengadili negara-negara tersebut.11
Namun demikian, pemikiran tersebut melupakan satu hal. Upaya-upaya penegakan
hukum internasional seperti yang disebutkan di atas tidak bisa menjamin selalu tersedianya
upaya hukum bagi pihak yang kepentingannnya dilanggar. Hal ini karena lembaga-lembaga di
atas tidak bisa berfungsi tanpa kesediaan dari negara-negara yang diduga telah melanggar
hukum, untuk diadili. Sebagai contoh, mahkamah internasional hanya bisa mengadili dua negara
yang telah setuju untuk diadili.12 Dalam Mahkamah Pidana Internasional, alternatif penerapan
jurisdiksi lain memang ada, misalnya atas dasar rujukan dari dewan keamanan perserikatan
bangsa-bangsa, negara anggota, ataupun inisiasi jaksa.13 Namun alternatif-alternatif tersebut pun
pada kenyataannya akan sulit dilepaskan dari pertimbangan politis.
Keterbatasan tersebut tidak akan menjadi masalah dalam kasus-kasus di mana
keduabelah pihak ingin menyelesaikan masalah dengan itikad baik. Dalam kasus-kasus tersebut,
keduabelah pihak akan dengan rela membawa permasalahan ke pengadilan-pengadilan
internasional. Masalah timbul saat pelanggaran yang dituduhkan adalah pelanggaran-pelanggaran
yang berpotensi merusak nama baik negara yang bersangkutan, misalnya pelanggaran berat
HAM. Dalam kasus tersebut, negara pelanggar seolah memiliki hak veto politis untuk lari dari
penegakan hukum.
Sementara perkembangan norma imunitas tersebut berlangsung, penting pula untuk
memperhatikan perkembangan rezim hukum HAM dalam hubungan internasional.
Perkembangan rezim tersebut terbilang pesat. Kurang lebih dalam beberapa dekade terakhir kita
telah menyaksikan bagaimana komunitas internasional terus menerus meningkatkan apresiasi dan
komitmennya terhadap HAM. Terlahirnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1945
merefleksikan hal ini. Pasal 1 ayat (3) dari Piagam PBB mengatakan bahwa salah satu tujuan
PBB adalah:
“To achieve international co-operation in solving international problems of an
economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging
11 Hal ini tentunya didukung juga oleh fakta bahwa negara-negara menerima jurisdiksi lembaga-lembaga tersebut secara kolektif melalui perjanjian-perjanjian internasional.
12 Statuta Mahkamah Internasional, 1945, Pasal 36 ayat (1).
13 Statuta Mahkamah Pidana Internasional, 1998, Pasal 13.
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex,
language, or religion”14
Indikasi di atas menggambarkan bahwa sejak tahun 1945 maka penghormatan terhadap
hak asasi manusia dalam komunitas internasional tidak dapat dipandang sebelah mata. Dukungan
tersebut kemudian didukung lebih jauh lagi oleh The Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) pada tahun 1948, sebuah deklarasi yang mengelaborasi hak-hak manusia yang
selayaknya dihormati oleh setiap negara.15 Sejak saat itu negara-negara mengadopsi semangat
dan isi dari UDHR ke dalam hukum nasionalnya masing-masing. Hal itu kemudian terbukti dari
fakta bahwa, 20 tahun sejak kelahirannya, UDHR diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan
internasional pada resolusi hasil the Assembly for Human Rights di Montreal dan the Teheran
International Conference on Human Rights.16 Bukan hanya itu saja, pada masa itu muncul juga 2
konvensi tentang HAM yang lebih jauh lagi menguraikan hak dan kewajiban negara-negara
mengenai HAM, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Fenomena ini kemudian membuka jalan
untuk instrumen-instrumen HAM lainnya bermunculan di ranah internasional.17 Sejak masa itu,
HAM bukanlah lagi sekedar prinsip moral, namun sudah merupakan norma hukum.
Perkembangan tersebut terus menerus menunjukan betapa komunitas internasional
memprioritaskan HAM dan terus belajar dalam memperbaharui penegakkannya. Pertumbuhan ini
terutama dipacu secara konsisten oleh praktek-praktek pelanggaran HAM yang terjadi di negara-
negara di dunia. Pelanggaran tersebut juga terjadi dalam bentuk-bentuk yang sangat amat keji
seperti praktek perbudakan, genosida, dan pemerkosaan sistematis. Tindakan-tindakan tersebut
terjadi dalam konflik-konflik brutal di Rwanda, Yugoslavia, dan lain-lain. Hal tersebut
14 Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, 1945, Pasal 1 ayat (3).
15 Lihat Deklarasi Universal Hak -hak Asasi Manusia, 1948, preambul paragraf terakhir, “THE GENERAL ASSEMBLY proclaims THIS UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS as a common
standard of achievement for all peoples and all nations, to the end that every individual and every organ of society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect for these rights and freedoms and by progressive measures, national and international, to secure
their universal and effective recognition and observance, both among the peoples of Member States themselves and among the peoples of territories under their jurisdiction. ”
16 Vojin Dimitrijevic, Customary Law As an Instrument for the Protection of Human Rights , online di: <http://www.ispionline.it/it/documents/wp_7_2006.pdf>, 2006, hlm. 8.
17 Contohnya adalah Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, 1979, dan Konvensi melawan Penyiksaan dan Perlakuan Keji, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Lainnya, 1984.
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
menunjukan bahwa mekanisme penegakkan hukum dalam pelanggaran berat HAM di ranah
internasional belum memadai dan masih memiliki berbagai macam halangan.
Semua hal di atas itulah yang mendorong penulis untuk menelaah kasus Ferrini dan
pembahasan hukum yang ada di dalamnya. Di kemudian hari, penulis memutuskan untuk
mengangkat isu tersebut menjadi topik skripsi, yang berjudul: Masalah Pengecualian
Pelanggaran Berat HAM dalam Imunitas Negara: Studi Kasus Ferrini (antara Italia dan
Jerman).
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, ada tiga pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam skripsi ini yaitu:
1. Bagaimanakah hukum internasional mengatur imunitas negara?
2. Bagaimanakah perkembangan dasar pemikiran pengecualian pelanggaran berat
HAM terhadap imunitas negara?
3. Bagaimanakah pengecualian di atas dibahas dalam kasus Luigi Ferrini, baik
dari sisi Pengadilan Kasasi Italia (tahun 2004) dan Mahkamah internasional
(tahun 2012)?
Pembahasan:
A. Norma Imunitas Negara dalam Hukum Internasional
Norma imunitas negara adalah sebuah norma yang mengatur bahwa negara tidak dapat
ditempatkan di bawah jurisdiksi negara yang lainnya. Norma ini ada atas dasar kesetaraan
kedaulatan antar negara, di mana negara yang satu tidak dibenarkan jika mengadili negara
lainnya karena mereka setara. Norma ini telah secara luas diakui keberadaannya dalam hukum
internasional, baik dari traktat-traktat yang ada maupun hukum kebiasaan internasional.
Pada awalnya, norma ini tumbuh dari filosofi bahwa manusia, secara individual,
memiliki kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi dari pihak luar. Kemudian
manusia-manusia mulai merasakan adanya kebutuhan akan sebuah organisasi kepemimpinan
yang dapat menumbuhkan keteraturan dalam kehidupan mereka satu dengan yang lain dalam
sebuah komunitas. Berangkat dari keinginan tersebut pada akhirnya manusia-manusia tersebut
membentuk sebuah organisasi komunitas yang dikenal dengan nama negara dan pemerintahan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa negara itu secara praktis negara merupakan
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
perwujudan dari manusia-manusia yang menjalankan kedaulatannya secara kolektif untuk
membentuk negara. Kedaulatan individual yang dijalankan secara kolektif tersebut menjadi dasar
bagi kedaulatan negara dalam hubungannya dengan negara lain.
Pada perkembangannya, hukum internasional kemudian bertumbuh di atas premis
bahwa kedaulatan-kedaulatan negara tersebut setara satu dengan yang lainnya. Tidak ada
kedaulatan suatu negara yang dianggap lebih tinggi dibanding kedaulatan negara lainnya.
Kesamaan kedaulatan tersebutlah yang menjadi dasar logika dan filosofis bagi munculnya norma
imunitas negara — bahwasannya para kedaulatan yang seimbang tidak dapat saling mengadili
satu dengan yang lainnya.
Jika dilihat bersama-sama dengan norma-norma hukum internasional lainnya, norma
imunitas negara dapat dianggap sebagai salah satu norma dalam hukum internasional yang
tumbuh secara lamban. Dapat dikatakan lamban karena ia membutuhkan waktu bertahun-tahun
dan bahkan sampai beberapa dekade lamanya sampai perubahan dapat terjadi.
Tidak hanya lamban, norma ini juga merupakan norma yang pertumbuhannya sulit
untuk dideteksi. Hal ini dikarenakan tidak ada instrumen apapun dalam hukum internasional di
masa lalu sampai jaman modern; ataupun bukti-bukti lain dalam hukum internasional yang dapat
dijadikan panduan definitif mengenai norma imunitas negara. Ini berbeda dengan, misalnya,
hukum humaniter internasional yang kerangka hukumnya dapat dengan relatif lebih mudah
disarikan dari Konvensi Jenewa berserta protokol-protokol tambahannya; ataupun hukum HAM
internasional yang kerangka hukumnya dapat dipahami dengan membaca konstruksi Konvensi
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi-konsvensi HAM lainnya. Norma
imunitas negara tidak memiliki panduan definitif yang dapat menjelaskan kerangka hukum
norma tersebut — para peneliti harus menyarikan kerangka hukumnya dari bukti-bukti yang
tersebar dalam dokumen-dokumen yang mengindikasikan tingkah laku negara-negara dalam
komunitas internasional. Kesulitan tersebut memang sedikit terobati dengan kehadiran Konvensi
Imunitas Negara dan Propertinya tahun 2005. Namun demikian, Konvensi tersebut tidak dapat
dengan jelas menggambarkan kerangka normatif imunitas negara sejak jaman dahulu.
Walaupun pengakuannya sudah luas dan sudah dipraktekan di kesempatan-kesempatan
yang tidak terhitung banyaknya, namun norma ini belumlah memiliki status sebagai norma
absolut yang tidak bisa dikesampingkan. Sejauh ini telah terdapat beberapa pengecualian yang
telah diakui, misalnya pengecualian dalam halnya negara bertindak sebagai aktor privat dalam
hukum perdagangan; dan pengecualian dalam halnya terjadi perbuatan melawan hukum
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
dilakukan sebuah negara di wilayah negara lain — seperti yang tercantum dalam Konvensi
Imunitas Negara dan Propertinya tahun 2005. Sifat tidak absolutnya norma imunitas negara ini
membuka peluang untuk munculnya pengecualian-pengecualian atau justifikasi-justifikasi bagi
pengesampingan. Sejauh itu para sarjana dan negara-negara telah setuju — yang menjadi
perdebatan adalah pengecualian-pengecualian apa saja yang dapat diterima.
B. Perkembangan Dasar Pemikiran Pengecualian Pelanggaran Berat HAM
terhadap Imunitas Negara menurut Hukum Internasional
Perkembangan dasar pemikiran pengecualian pelanggaran berat HAM terhadap norma
imunitas negara berawal dari perkembangan norma-norma perlindungan HAM itu sendiri.
Norma-norma HAM dikodifikasikan oleh komunitas internasional sebagai respon terhadap
kekejian-kekejian yang dialami umat manusia selama peperangan. Kekejian-kekejian tersebut
membuktikan bahwa hukum nasional sebuah negara, yang pembentukan dan penegakannya
dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah negara itu sendiri, tidak dapat dipercaya untuk menjaga
HAM dari orang-orang yang berada di bawah kontrolnya.
Selanjutnya popularitas rezim perlindungan HAM dalam hukum internasional
berkembang pesat sampai beberapa norma HAM diakui oleh komunitas internasional sebagai
norma-norma tertinggi di mana pengesampingan tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun.
Pengakuan atas pentingnya norma HAM ternyata tidak serta merta berpengaruh kepada norma-
norma penegakkannya. Para ahli dan hakim masih memperdebatkan sampai batas manakah
karakteristik pentingnya norma HAM tersebut mempengaruhi norma-norma terkait, seperti
misalnya aplikasi jurisdiksi negara.
Di satu sisi, Pasal 53 dari Konvensi Vienna 1969 tentang Traktat menyatakan bahwa
jika suatu norma telah menempati posisi hirarki tertinggi dalam hukum internasional (jus
cogens), maka norma tersebut dapat mengesampingkan norma-norma lainnya. Bahwa larangan
terhadap pelanggaran berat HAM itu sendiri telah menduduki posisi tertinggi dalam norma
hukum internasional itu telah disetujui oleh para sarjana. Kesimpulannya adalah, jika dapat
dikatakan bahwa imunitas negara telah bersinggungan dengan norma pelarangan terhadap
pelanggaran HAM berat, maka imunitas tersebut seyogyanya dapat dikesampingkan. Hal ini
dikarenakan imunitas negara bukanlah jus cogens sementara pelarangan terhadap pelanggaran
berat HAM merupakan jus cogens. Penarikan kesimpulan tersebut masih menjadi suatu hal yang
kontroversial dari segi teoritis, karena imunitas negara seperti yang dikatakan para sarjana,
misalnya Lady Fox, merupakan norma yang berada dalam ranah prosedural — bukan substantif
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
seperti layaknya pelanggaran berat HAM. Dalam hal tersebut, nampaknya imunitas negara
bukanlah sebuah penghalang penegakan HAM, namun hanya merupakan norma pemindah
jurisdiksi.
Namun kesimpulannya akan lain jika efek dari sebuah norma menjadi norma jus cogens
dikaji lebih dalam. Implikasi dari norma jus cogens, secara teoritis, harulah besar terhadap
norma-norma di sekitarnya. Karena jika tidak, maka norma tersebut akan kehilangan esensinya
sebagai norma tertinggi. Norma tertinggi seyogyanya juga mendapat prioritas dalam
penegakkannya. Hal ini dikarenakan, sesuai yang diargumentasikan oleh beberapa sarjana,
penegakan norma dan tingkatan norma tersebut dalam hirarki norma haruslah berbanding lurus.
Dengan cara berpikir ini, posisi sebuah norma sebagai jus cogens mempengaruhi norma-norma
disekitarnya, termasuk norma prosedural dalam penegakkannya.
Pertimbangan yang terakhir akan menghasilkan kesimpulan bahwa setidak-tidaknya ada
persinggungan antara karakteristik jus cogens sebuah norma dengan imunitas negara. Hal ini
karena imunitas negara dalam ranah norma-norma prosedural memang dapat menghalangi
pemberlakuan jurisdiksi dan dengan demikian menghambat dihukumnya pelanggar berat HAM.
Kedua dasar pemikiran tersebut memang telah menjadi topik pembicaraan normatif para
sarjana. Namun demikian, untuk menyatakan bahwa pengecualian pelanggaran berat HAM
dalam imunitas negara telah menjadi norma dalam hukum internasional, diperlukan pengakuan
dari dasar-dasar pemikiran tersebut dalam kasus-kasus yang aktual.
Hal ini pada akhirnya disinggung pada kasus Furundzija, di mana hakim mengelaborasi
implikasi dari norma jus cogens. Kasus ini membicarakan tentang salah satu pelanggaran hukum
humaniter internasional, yaitu larangan penyiksaan (torture). Norma tersebut dapat dikatakan
sebagai pelanggaran berat HAM juga, selain merupakan pelanggaran hukum humaniter
internasional. Hakim dalam kasus tersebut mengakui pelanggaran larangan penyiksaan sebagai
pelanggaran norma jus cogens. Dalam pertimbangan orbiter dicta-nya hakim menjelaskan
implikasi-implikasi umum dari dilanggarnya norma jus cogens. Salah satu dari implikasi dari
pelanggaran tersebut adalah bagaimana negara yang memiliki jurisdiksi diwajibkan untuk
menerapkan jurisdiksinya atas kasus pelanggaran jus cogens. Hal ini dapat dikatakan sebagai
ungkapan definitif pertama dari institusi peradilan tentang keberadaan pengecualian pelanggaran
berat HAM dalam norma imunitas negara. Namun demikian, kata-kata hakim tersebut masih
belum diaplikasikan di manapun, termasuk dalam kasus tersebut sendiri, karena pengadilan yang
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
mengadili kasus tersebut sudah mengantongi resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai dasar
jurisdiksinya.
Kesempatan untuk menyaksikan pertama kalinya perkataan hakim dalam Furundzija
tersebut akhirnya ada dalam kasus Al-Adsani. Kasus tersebut bercerita tentang Al-Adsani,
seseorang yang mempunyai kewarganegaraan Inggris dan Kuwait secara bersamaan. Al-Adsani
tinggal di Kuwait selama beberapa waktu untuk mempertahankan Kuwait dari serangan Saddam
Hussein. Pengalaman tersebut berakhir dengan siksaan yang diterima Al-Adsani oleh pemerintah
Kuwait sendiri. Ia lalu kembali ke Inggris untuk menggugat Kuwait di hadapan pengadilan
Inggris. Gugatan tersebut ditolak karena undang-undang Inggris mengatur tentang imunitas
Kuwait di hadapan institusi peradilan Inggris. Pengadilan Inggris seakan terhalang untuk
mengadili Kuwait karena imunitas Kuwait, padahal pelanggaran jus cogens sudah terjadi secara
jelas.
Dengan tidak menyerah, kemudian Al-Adsani menggugat pemerintah Inggris di
hadapan Mahkamah HAM Eropa (ECHR). Gugatannya berdasar kepada anggapannya bahwa
pemerintah Inggris, dengan menepis gugatannya terhadap pemerintah Kuwait, telah
menghalanginya untuk mencari keadilan. Dalam memeriksa dan mempertimbangkan kasus
tersebut, tentunya ECHR akan dihadapkan pada pertanyaan ada tidaknya pengecualian
pelanggaran berat HAM dalam norma imunitas negara. Majelis hakim mayoritas dalam perkara
Al-Adsani tersebut kembali menolak gugatan Al-Adsani, walaupun mereka mengakui
keberadaan jus cogens dan implikasinya. Penolakan tersebut didasarkan pada anggapan hakim
bahwa belum ditemukan bukti-bukti yang cukup mengenai keberadaan pengecualian tersebut
dalam ranah hukum perdata — pemikiran yang secara normatif dapat dikatakan kurang persuasif.
Walaupun gugatan Al-Adsani ditolak, namun pertumbuhan dasar pemikiran pengecualian HAM
berat dalam imunitas negara tertandai dengan jumlah dissenting opinions yang banyak sekali,
yaitu sembilan hakim mayoritas dan delapan hakim yang tidak setuju terhadap putusan. Hakim
dalam kelompok terakhir ini mengakui adanya pengecualian pelanggaran berat HAM dalam
imunitas negara. Fakta bahwa jumlah hakim yang mengkonfirmasi adanya pengecualian tersebut
hanya terpaut satu hakim dari mayoritas hakim yang menolak keberadaan pengecualian itu.
Indikasi sangat positif dari keberadaan pengecualian HAM berat dalam norma imunitas
negara dapat kita lihat dalam kasus Ferrini yang diadili oleh Mahkamah Kasasi Italia (“MKI”).
Ferrini adalah seorang buruh paksa yang dipindah-tempatkan oleh Jerman secara paksa selama
perang dunia kedua. Fakta bahwa Jerman setelah perang dunia kedua telah menetapkan undang-
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
undang dan sebuah lembaga untuk mengalokasikan kompensasi dana terhadap korban-korban
tindakan-tindakannya selama perang dunia kedua tidak memberikan kompensasi apapun terhadap
Ferrini. Hal ini dikarenakan undang-undang dan lembaga kompensasi tersebut menerapkan
syarat-syarat prosedural yang Ferrini tidak mampu penuhi. Ferrini kemudian menggugat negara
Jerman di hadapan pengadilan Italia. Gugatan tersebut sampai kepada tahap kasasi di hadapan
Mahkamah Kasasi Italia (MKI).
Dalam kasus ini MKI mengadili Jerman bersalah telah melakukan pelanggaran berat
HAM terhadap Ferrini dan berdasarkan putusannya kemudian menyita aset-aset Jerman yang
berada di Italia. Dalam putusannya, terlihat bahwa MKI beranggapan bahwa jus cogens dan
penegakkannya adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, di mana adalah dibenarkan untuk
Italia mengesampingkan imunitas Jerman sebagai negara jika Jerman telah melakukan
pelanggaran berat HAM. Dinamika perdebatan tersebut tidak selesai di MKI. Berikutnya Jerman
membawa putusan tersebut ke hadapan Mahkamah Internasional dan menggugat Italia karena
dianggap telah melanggar imunitas Jerman.
C. Keputusan Mahkamah Internasional tentang Pengecualian Pelanggaran Berat
HAM terhadap Imunitas Negara menurut Hukum Internasional
Mahkamah Internasional ternyata menolak untuk mengakui keberadaan pengecualian
pelanggaran berat HAM terhadap imunitas negara. Konstruksi dasar pemikiran Mahkamah
Internasional dalam hal ini dapat disarikan sebagai berikut:
- Tidak ada pertemuan antara norma larangan pelanggaran berat HAM dengan
imunitas negara—yang pertama adalah norma substantif, sementara yang kedua
adalah norma prosedural; dan
- Hanya karena norma prosedural tersebut terhambat karena negosiasi tata cara
pemberian kompensasi atas pelanggaran berat HAM yang tidak dapat
terselesaikan dengan mudah, bukan berarti norma jus cogens sudah terlanggar.
Dengan demikian, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Italia telah melanggar imunitas
Jerman dengan mengadili negara tersebut.
Tentunya putusan tersebut mengundang banyak kontroversi. Hal tersebut terbukti dari
beberapa dissenting opinions yang diutarakan beberapa hakim; dan pendapat-pendapat bernada
tidak setuju dari para sarjana. Salah satu dari ketidaksetujuan tersebut diutarakan oleh hakim
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
Cancado Trindade yang mengutarakan dissenting opinion yang jumlah halamannya dua kali lebih
banyak dari putusan hakim mayoritas Mahkamah Internasional. Hakim Cancado menunjukan
dalam opininya bahwa norma imunitas negara adalah norma yang memiliki banyak kebolongan-
kebolongan dalam konstruksi normatifnya. Hal tersebut membuka peluang bagi diterimanya
pengecualian-pengecualian terhadap norma tersebut. Hakim Cancado juga menyesalkan tidak
adanya judicial activism di kalangan para Hakim Mahkamah Internasional. Hal tersebut
disayangkan, ditengah dorongan moral dan normatif yang besar.
Keputusan Mahkamah Internasional tersebut tidak sepenuhnya tepat, bahkan jika dilihat
dari segi normatif. Hal tersebut dikarenakan tata norma dalam hukum internasional adalah tata
norma yang saling kait-mengait—satu norma tidaklah terlepas dari norma lainnya. Keberadaan
sebuah norma sebagai jus cogens tentunya menimbulkan efek samping bagi norma
penegakkannya. Berpijak pada definisinya, jus cogens tentunya tidak pantas diperlakukan sama
dengan norma-norma lainnya—di mana korban-korban pelanggaran norma tersebut dihadapkan
dengan prosedur yang berbelit-belit dan tidak pasti hasilnya. Jika norma jus cogens layak
mendapat tempat tertinggi secara absolut, maka korban-korban pelanggaran norma tersebut juga
layak mendapatkan pelayanan dan ganti rugi yang absolut.
Penutup:
1. Norma imunitas negara adalah norma yang memiliki pengecualian-pengecualian.
2. Dasar pemikiran pengecualian pelanggaran berat HAM dalam norma imunitas negara
didukung oleh Hirarki Norma dalam Hukum Internasional.
3. Mahkamah Internasional menolak perkembangan pengecualian pelanggaran berat HAM
tersebut karena menganggap norma tersebut tidak bersinggungan dengan Imunitas
Negara, yang merupakan norma prosedural.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Lauterpacht, Hersch. The Problem of Jurisdictional Immunities of Foreign States. 1951.
Alebeek, Rosanne Van. The Immunity of States and Their Officials in International Criminal
Law and International Human Rights Law. New York: Oxford University Press,
2008.
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
Bankas, Ernest K. The State Immunity Controversy in International Law: Private Suits
against Sovereign States in Domestic Courts. New York: Springer Berlin Heidelberg,
2005.
Brownlie, Ian. Principles of Public International Law. New York: Oxford University Press,
2008.
Janis, Mark W. An Introduction to International Law. New York: Aspen Publisher, 2008.
Lauterpacht, Hersch. International Law and Human Rights. 1950.
Mamudji, Soerjono Soekanto dan Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Paulsson, Jan. Denial of Justice in International Law. Cambridge: Cambridge University
Press, 2005.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2006.
II. Artikel Jurnal
Allen, E.W. The Position of Foreign States before National Courts. 1933.
Arnull, Anthony. Judicial Activism and the Court of Justice: How Should Academics
Respond? 2012.
Brazeal, Gregory. Bureaucracy and the U.S. Response to Mass Atrocity. National Security &
Armed Conflict Law Review, 2011.
Caplan, Lee M. State Immunity, Human Rights, and Jus Cogens: A Critique of the Normative
Hierarchy Theory. 2003.
Esposito, Carlos. Jus Cogens and Jurisdictional Immunities of States at the International
Court of Justice: A Conflict Does Exist. 2012.
Janowitz, Morris. German Reactions to Nazi Atrocities. 1946.
Knuchel, Sevrine. State Immunity and the Promise of Jus Cogens. 2010.
Potesta, Michele. State Immunity and Jus Cogens Violations: The Alien Tort Statute Against
the Backdrop of the Latest Developments in the ‘Law of Nations’. 2010.
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
Spinedi, Marina. State Responsibility v. Individual Responsibility for International Crimes:
Tertium non Datur? 2002.
Sucharitkul. State Immunities and Trading Activities. 1959.
Sztucki, Cf. J. Jus Cogens and the Vienna Convention on the Law of Treaties: A Critical
Appraisal. 1974.
Yee, Sienho. Foreign Sovereign Immunities, Acta Jure Imperii and Acta Jure Gestionis: A
Recent Exposition from the Canadian Supreme Court. 2003.
III. Peraturan Perundang-undangan
Hague Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex:
Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. 1907.
International Covenant on Civil and Political Rights. 1966.
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. 1966.
Konvensi Brussel untuk Unifikasi Peraturan-peraturan Tertentu tentang Imunitas Kapal-
kapal Milik Negara. 1926.
Konvensi Eropa tentang Imunitas Negara. 1972.
Konvensi melawan Penyiksaan dan Perlakuan Keji, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan
Lainnya. 1984.
Konvensi Organisasi Buruh Internasional No. 30 tentang Buruh Paksa. 1930.
Konvensi PBB tentang Imunitas Jurisdiksi Negara dan Propertinya. 2004.
Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. 1979.
Konvensi Vienna tentang Hubungan Diplomatik . 1961.
Konvensi Vienna tentang Traktat. 1969.
Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. 1945.
Statuta Mahkamah Internasional. 1945.
Statuta Mahkamah Pidana Internasional. 1998.
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
Argentina. Immunidad Jurisdiccional de los Estados Extranjeros ante los Tibunalos
Argentinos. 1995.
Australia. Foreign Sovereign Immunities Act. 1985.
Inggris. State Immunity Act. 1978.
Kanada. State Immunity Act. 1982.
Pakistan. State Immunity Ordinance. 1981.
Selatan, Afrika. Foreign States Immunity Act. 1981.
Serikat, Amerika. Foreign Sovereign Immunities Act. 1976.
Singapura. State Immunity Act. 1979.
IV. Kasus-kasus
Advisory Opinion on the Reservations to the Convention on the Prevention and Punishment
of the Crime of Genocide. (Mahkamah International, 1951).
Al-Adsani v. England. (Mahkamah HAM Eropa, 2001).
Barker McCormac (Private) Ltd. v. Government of Kenya. (Mahkamah Agung Zimbabwe,
1983).
Case concerning Chorzow Factory. (Mahkamah Internasional Permanen, 1927).
Djibouti v. France. (Mahkamah Internasional, 2008).
Dralle v. Republic of Czechoslovakia. (Mahkamah Agung Austria, 1950).
Ferrini v. Republik Federal Jerman. (Mahkamah Kasasi Italia, 2004).
Gouvernement Espagnol v. Casaux Sirey. (Mahkamah Kasasi Perancis, 1849).
Government of Canada v. The Employment Appeals Tribunal and Burke. (Mahkamah Agung
Irlandia, 1992).
Governor of Pitcairn Islands v. Sutton. (Pengadilan Selandia Baru, 1994).
Irlandia v. Inggris. (Mahkamah HAM Eropa, 1978).
Jerman v. Italia. (Mahkamah Internasional, Februari 2012).
Minister of Defence of Government of the United Kingdom v. Joel Ndegwa. (Pengadilan
Kenya, 1983).
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
Prefektur Voiotia v. Republik Federal Jerman. (Mahkamah Agung Yunani, 1997).
Prosecutor v. Anto Furundzija (tingkat pertama). (Mahkamah Pidana Ad Hoc untuk
Yugoslavia, 1998).
Prosecutor v. Dragoljub Kunarac et al. (Mahkamah Pidana Ad Hoc untuk Yugoslavia,
2001).
Prosecutor v. Mucic et al. (tingkat pertama). (Mahkamah Pidana Ad Hoc untuk Yugoslavia,
2001).
Sampson v. Republik Federal Jerman. (Pengadilan Amerika Serikat, 2001).
Siderman de Blake v. Republic of Argentina. (Pengadilan Banding Amerika Serikat, 1992).
The Schooner Exchange v. McFadden and others. 11 (U.S. 7 Cranch, 1812).
V. Halaman Internet
Bassiouni, Cherif. International Crimes, Jus Cogens, and Obligatio Erga Omnes. www.sos-
attentats.org. n.d. http://www.sos-attentats.org/publications/bassiouni.jus.cogens.pdf.
Butte, Robert Beckman dan Dagmar. Introduction to International Law. ILSA Website. n.d.
http://www.ilsa.org/jessup/intlawintro.pdf.
Chemichenko, Stanislav. Paper to the UN Human Rights Commission. UNHRC Website. n.d.
http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/%28Symbol%29/E.CN.4.Sub.2.1993.1
0*.En?Opendocument.
Dimitrijevic, Vojin. Customary Law As an Instrument for the Protection of Human Rights.
ISPI Online. 2006. http://www.ispionline.it/it/documents/wp_7_2006.pdf.
VI. Sumber-sumber Lain
Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of
Gross Violations of International Human Rights Law adn Serious Violations of
International Humanitarian Law. n.d. 2005.
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. 1948.
Draft Declaration of International Law Principles on Reparation for Victims of Armed
Conflict. 2010.
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013
Association, International Law. Draft Articles for a Convention on State Immunity Report of
the Sixtieth Conference. 1982.
Commission, International Law. Draft Articles on Jurisdictional Immunities of States and
Their Property. 1991.
Commission, International Law. Draft articles on Jurisdictional Immunities of States and
Their Property, with commentaries. 1991.
Commission, International Law. Draft Code of Crimes against the Peace and Security of
Mankind. 1966.
Commission, Secretariat of the International Law. Memorandum on the Immunity of State
Officials from Foreign Criminal Jurisdiction. 2008.
Committee, Inter-American Judicial. Draft Convention on Jurisdictional Immunity of States.
1983.
International, Institut de Droit. Resolution on Contemporary Problems Concerning the
Jurisdictional Immunity of States. 1992.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dewan Keamanan. "Resolusi No. 827." 1993.
Pictet, Jean. International Committee of Red Cross Commentaries to the Additional Protocol
I of Geneva Conventions of 1949. n.d.
Masalah pengecualian...,Marganda Hasudungan Hutagalung, FH UI, 2013