feminitas dalam tarekat naqsabandiyah

41
ASPEK FEMINITAS DALAM TAREKAT NAQSYABANDIYAH MUZHARIYAH DI MADURA Achmad Mulyadi, M.Ag Dosen STAIN Pamekasan Abstrak Wanita sering diidentifikasi sebagai seks kedua. Klaim historis seperti ini diperkuat oleh kultur sosial dari masyarakat yang menempatkan wanita di “belakang”. Wanita ditempatkan sebagai sub-ordinat dari pelbagai kepentingan termasuk penafsiran agama untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Wanita sepertinya tidak memiliki wilayah personal untuk mengekspresikan kebutuhan spiritualnya. Pertanyaannya adalah bagainama wanita mengekspresikan spiritualitasnya? Bagi wanita Madura kebutuhan spiritual merupakan bagian dari penguatan individual dan komunal yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh penafsiran keagamaan. Ekspresi spiritual ini dapat dilihat dalam Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Karena tarekat ini memiliki mursyid wanita yang memiliki pengaruh luas bagi pengikutnya, baik pria maupun wanita, tentunya berlawanan dengan pemahaman umum masyarakat Madura yang menempatkan kyai lebih tinggi derajatnya dari santri. Kyai senantiasa diasosiasikan dengan pria, sementara santri adalah wanita. Untuk itu, kemunculan mursyid wanita dalam tarekat di masyarakat Madura merupakan fenomena baru yang memiliki dampak signifikan terhadap jalan bagaimana ekspresi keagamaan dipahami khususnya yang berkenaan dengan posisi wanita di masyarakat Madura. Kata Kunci: Aspek Feminitas, Puncak Spiritualitas, Silsilah dan Tarekat Naqsyabandiyah. A. PENDAHULUAN PEREMPUAN seringkali diidentikkan sebagai makhluk kedua. 1 Dosa sejarah Adam dan Hawa selalu menjadi klaim bahwa perempuan merupakan penggoda bagi keterjerumusan kaduanya dalam dosa. Klaim sejarah tersebut 1 Penafsiran yang menyatakan bahwa Hawa dicipta dari tulang rusuk Adam memperkuat pemikiran tentang perempuan sebagai mahluk kedua (the second sex). Penafsiran tersebut berasal dari surat an-Nisa' ayat 1 yang dipahami bahwa nafs adalah Adam dan zaujaha adalah Hawa, sehingga muncul pandangan bahwa perempuan merupakan bagian dari laki- laki. Lihat,. Mufidah, Paradigma Gender, (Malang; Bayumedia, 2004), hlm. 29

Upload: falasifahirarkis

Post on 05-Aug-2015

136 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

ASPEK FEMINITAS DALAM TAREKAT NAQSYABANDIYAH MUZHARIYAH DI MADURA

Achmad Mulyadi, M.Ag Dosen STAIN Pamekasan

Abstrak

Wanita sering diidentifikasi sebagai seks kedua. Klaim historis seperti ini diperkuat oleh kultur sosial dari masyarakat yang menempatkan wanita di “belakang”. Wanita ditempatkan sebagai sub-ordinat dari pelbagai kepentingan termasuk penafsiran agama untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Wanita sepertinya tidak memiliki wilayah personal untuk mengekspresikan kebutuhan spiritualnya. Pertanyaannya adalah bagainama wanita mengekspresikan spiritualitasnya? Bagi wanita Madura kebutuhan spiritual merupakan bagian dari penguatan individual dan komunal yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh penafsiran keagamaan. Ekspresi spiritual ini dapat dilihat dalam Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Karena tarekat ini memiliki mursyid wanita yang memiliki pengaruh luas bagi pengikutnya, baik pria maupun wanita, tentunya berlawanan dengan pemahaman umum masyarakat Madura yang menempatkan kyai lebih tinggi derajatnya dari santri. Kyai senantiasa diasosiasikan dengan pria, sementara santri adalah wanita. Untuk itu, kemunculan mursyid wanita dalam tarekat di masyarakat Madura merupakan fenomena baru yang memiliki dampak signifikan terhadap jalan bagaimana ekspresi keagamaan dipahami khususnya yang berkenaan dengan posisi wanita di masyarakat Madura.

Kata Kunci: Aspek Feminitas, Puncak Spiritualitas, Silsilah dan Tarekat Naqsyabandiyah. A. PENDAHULUAN

PEREMPUAN seringkali diidentikkan sebagai makhluk kedua.1 Dosa

sejarah Adam dan Hawa selalu menjadi klaim bahwa perempuan merupakan

penggoda bagi keterjerumusan kaduanya dalam dosa. Klaim sejarah tersebut

1 Penafsiran yang menyatakan bahwa Hawa dicipta dari tulang rusuk Adam

memperkuat pemikiran tentang perempuan sebagai mahluk kedua (the second sex). Penafsiran tersebut berasal dari surat an-Nisa' ayat 1 yang dipahami bahwa nafs adalah Adam dan zaujaha adalah Hawa, sehingga muncul pandangan bahwa perempuan merupakan bagian dari laki-laki. Lihat,. Mufidah, Paradigma Gender, (Malang; Bayumedia, 2004), hlm. 29

Page 2: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

2

diperkuat dengan struktur sosial dalam masyarakat yang menempatkan

perempuan sebagai konco-wingking, teman belakang.2

Dalam konteks tersebut, perempuan selalu hidup diantara ruang-ruang

di belakang rumah, di dapur dengan berbagai aktifitas seperti memasak,

mencuci dan menyetrika, bahkan “melayani suami“. Pelayanan terhadap suami

merupakan “jihad yang paling mulia“. Bahkan dalam berbagai konteks

perempuan kemudian menjadi “senang“ di bawah kuasa laki-laki. Hal ini

diperkuat oleh pesan agama yang disampaikan oleh kaum patriarkhal bahwa

jihad terbesar perempuan adalah melayani laki-laki. Justifikasi agama yang

bersumber dari pemaknaan yang keliru terhadap teks-teks agama, al-Qur’an,

menyebabkan perempuan menjadi “korban“.3

Realitas ini terjadi pasca kenabian dimana perempuan ditempatkan

sebagai bagian dari ruang publik yang tidak berkaitan dengan tamu (publik).

Berbagai kenyataan historis masa kenabian, mulai dari munculnya Khadijah

sebagai pebisnis perempuan, Aisyah sebagai perowi beribu-ribu hadits,

maupun Fatima sebagai bagian dari perjuangan Islam, telah “terdistorsi“ oleh

sejarah patriakhal.4 Setelah periode ini perempuan diposisikan sebagai

subordinat dari berbagai kepentingan, termasuk penafsiran agama yang

“dipelintir“ demi kepentingan sesaat. Perempuan seolah tidak memiliki

ruang personal yang asasi untuk mengekpresikan kebutuhan spiritualitasnya.

2Mansour Faqih, "Posisi Perempuan Dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender"

dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Pespektif Islam, (Surabaya; Risalah Gusti, 1996), hlm. 47

3 Masdar F. Mas'udi, "Perempuan di Lembaran Kitab Kuning" dalam Membincang Feminisme., hlm. 167-180.

4 Rasulullah memperlakukan perempuan dan laki-laki secara egaliter, ini dibuktikan dari upaya Beliau untuk menjadikan kaum perempuan sebagai media transformasi pendidikan. Dalam beberapa even majelis ilmu perempuan tanpak hadir bersama laki-laki. Terdapat beberapa metode pelacakan keum perempuan dalam ilmu pengetahuan khususnya penyampaian hadis, pertama, hadir dalam majelis khusus dan umum Nabi seperti khotbah Nabi pada 'iedul Fitri dan Adha, kedua, mendatangi rumah Nabi secara langsung, ketiga, bertemu Nabi di jalan, keempat, menyaksikan Nabi ketika berbicara dengan orang banyak, kelima, berkumpul antara kaum laki-laki dan kaum perempuan seperti pada haji wada'. Lihat, Kadarusman. Agama, Relasi Gender dan Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005) hlm. 55

Page 3: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

3

Lalu, bagaimana perempuan mengekspresikan spiritualitasnya? Bagi

perempuan Madura kebutuhan spiritual tidak bisa dipadamkan hanya

dengan penafsiran yang sempit. Perempun juga terlibat menjadi bagian dari

proses pemberdayaan secara individual dan masyarakat. Ekspresi

keberagamaan ini terlihat dalam Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di

Madura.

Ada tiga tarekat yang tersebar luas di Madura, yaitu Tarekat Qadiriyah

wa Naqsyabandiyah, Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Tijaniyah. Yang

paling belakangan, Tarekat Tijaniyah, telah meraih banyak pengikut di

Madura, sedangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Tarekat

Naqsyabandiyah lebih awal bersaing ketat merebut kesetiaan penduduk

Madura. Walaupun demikian, tampaknya tidak pernah ada syaikh tarekat

Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ternama di Madura, kecuali kiai dari

Rejoso (Jombang) yang merupakan keturunan Madura, yang menyebarkan

pengaruhnya ke seantero pulau Madura melalui badal-badal beliau. Setelah

Kiai Mustain Romli bergabung ke Golkar, tarekat ini pelan-pelan kehilangan

pengaruh di Madura, walaupun banyak pengikutnya mengalihkan kesetiaan

mereka kepada kholifah Kiai Romli yang ada di Surabaya, yaitu Kiai Usman.5

Pada saat itu hanya tarekat Tijaniyah dan tarekat Naqsyabandiyah yang

berpengaruh di Madura.

Di antara dua tarekat tersebut, tarekat Naqsyabandiyah yang memiliki

pengaruh yang lebih dominan. Tarekat Naqsyabandiyah sudah lahir di

Madura sejak akhir abad kesembilan belas. Penganut Naqsyabandiyah di

Madura tidak mempunyai hubungan langsung dengan tarekat

Naqsyabandiyah di Jawa sebab orang Madura mengikuti cabang lain dari

tarekat ini, yaitu tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Tarekat tersebut

menyebar ke Madura berkat upaya Kiai Abdul Azim Bangkalan, seorang

yang telah lama bermukim di Mekkah, telah menjadi khalifah Muhammad

5 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, ( Bandung, Mizan, 1992, hlm.

185-186)

Page 4: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

4

Shalih dan mengajarkan tarekat ini kepada orang-orang Madura yang sedang

menunaikan ibadah haji serta tinggal sebentar di kota suci Mekkah dan

Madinah.6 Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah sekarang merupakan tarekat

yang paling berpengaruh di Madura dan juga beberapa tempat lain yang

banyak pengikutnya, seperti Surabaya, Jakarta dan Kalimantan Barat.

Hal yang menarik adalah bahwa mursyid perempuan (mursyidah)

mendapat “tempat” di hati kaum laki-laki dan khususnya perempuan

Madura. Padahal, dalam pandangan masyarakat Madura terdapat kaitan erat

antara Kiai dan Tarekat. Kedudukan Kiai diposisikan lebih tinggi dibanding

“santri’ dan perempuan sering kali dimaknai sebagai santri, bukan mursyid

dari sebuah tarekat. Kiai merupakan mahkluk yang memiliki kharisma.7

Salah satu yang menunjang kharisma, pengaruh dan otoritas seorang

kiai adalah penguasaannya akan ilmu-ilmu gaib (thibb, hikmah, kesaktian)

dan kebanyakan kiai Madura dianggap ahli dalam bidang tersebut. Kaum

perempuan dianggap tidak akan sampai kepada kharisma yang dimiliki oleh

kiai tersebut. Karena itu, munculnya kaum perempuan sebagai mursyid

tarekat mengusik penulis untuk lebih jauh mendalami kaitan antara

spiritualitas kaum perempuan dengan pemahaman individual mursyid dan

pengikut (murid)nya terhadap perubahan pola pandang (religious expression)

tentang posisi perempuan dalam Islam, khususnya dalam dunia tarekat.

6 Menurut Martin, tidak hanya kepada orang Madura, Abdul Adzim setidak-tidaknya

mempunyai seorang murid dari Sasak, H. Muhammad Rais, putra sang pemberontak Haji Ali Batu, yang memimpin pemberontakan terhadap kekusaan Bali di Lombok pada tahun 1891. Keturunannya yang masih hidup tinggal di dekat Mujur. Mereka masih mengamalkan amalan Naqsyabandiyah, tetapi amalannya sudah merosot menjadi bentuk latihan magis untuk memperoleh kekebalan, dan agak jauh meninggalkan akidah yang ortodoks. Sejak meninggalnya M. Rais, tidak ada seorang guru pun di sana. Tetapi keturunan yang ada sekarang mengaku bahwa telah ada kontak lagi dengan orang Madura, dengan seorang keturunan Abdul Azim yang bernama Umar ahmad Ishaq.

7 Abdur Rozaki, Menabur Kharisma menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar Kembar di Madura, ( Yogyakarta; Pustaka Marwa, 2004), hlm. 87-88, yang menyatakan bahwa kharisma bersumber dari, pertama, kharisma yang diperoleh secara given, dan kedua, didapat dari proses perekasayaan. Bandingkan pula dengan Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda; Sosiologi Komunitas Islam, ( Surabaya; Eureka, 2005), hlm. 166-170.

Page 5: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

5

B. EMPAT MURSYID PEREMPUAN MADURA : Wujud Eksistensi Jaringan Perempuan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah Di Madura

Sebagai agama, Islam mempunyai berbagai aspek. Salah satunya

adalah mistik, yang disebut dengan tasawuf (tarekat) atau sufisme. Tasawuf

ini mempunyai sejarah panjang dan unik, khususnya ketika tasawuf

dipengaruhi oleh ajaran maupun budaya di luar Islam. Tasawuf adalah faktor

terpenting bagi penyebaran Islam secara luas di Asia Tenggara, meski setelah

itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat; apakah

bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian.

Selain itu, tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam

menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya, meski

sering menimbulkan kontroversi, pada kenyataannya menunjukkan bahwa

tasawuf memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya

menuntaskan problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa

berkembang mengikuti gerak dinamikanya. Sufisme atau tarekat dalam

sejarah perkembangan Islam di Indonesia memiliki arti penting. “Islam

Pertama” yang diperkenalkan di Jawa adalah Islam dalam corak sufi. Islam

dalam corak demikian itulah yang paling mampu memikat lapisan bawah,

menengah dan bahkan bangsawan.8

Tasawuf (mistisisme) telah menjadi sebuah aliran yang sangat penting

dalam pemikiran dan visi Islam. Tasawuf mewakili sisi batin dan esoterik

Islam yang jauh lebih banyak menyandarkan penekanan pada dimensi

spiritual daripada dimensi ritual, dan bisa dikomparasikan dengan bhakti

mang dalam agama Hindu. "Abnegasi diri", sebuah ketaatan yang luar biasa

dan praktik-praktik spiritual adalah tanda-tanda kaum sufi. Tujuan akhir

mereka adalah fana' fillah (peniadaan ego untuk menuju Tuhan).9

Dalam konteks ini, tasawuf yang berkembang di Indonesia dapat

dipetakan dalam dua tipologi, yaitu falsafi dan Sunni. Tasawuf falsafi

8 Ahmad Syafii Mufid dalam "Aliran-Aliran Tarekat di Sekitar Muria Jawa Tengah" dalam Jurnal Pesantren, 1/Vol IX, 1992. hlm. 29

9 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta; LKiS, 2003), hlm.195

Page 6: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

6

merujuk pada konsep tasawuf yang dihubungkan dengan mistisisme

phanteistik Ibnu Arabi. Sedangkan Sunni dihubungkan dengan model Al-

Ghazali. Ibnu Arabi dikenal sebagai seorang sufi Islam yang mengajarkan

"kesatuan hamba dan Tuhan". Kedua tradisi tasawuf itu sama-sama memiliki

akar yang kuat dalam sejarah Islam di Nusantara.10

Tasawuf falsafi pernah memperoleh masa kejayaannya di Aceh pada

masa Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan Syekh

Syaifurrizal. Di Pulau Jawa, tasawuf falsafi dikembangkan oleh Syekh Siti

Jenar beserta murid-muridnya, seperti Ki Ageng Pengging dan Jaka Tingkir.

Di Aceh, tasawuf falsafi mengalami kemunduran sejak munculnya Syekh

Nuruddin Ar-Raniri sebagai mufti kerajaan menggantikan Syekh Syamsuddin

Sumatrani. Ketika itu, terjadi pembunuhan terhadap penganut tasawuf falsafi

dan pembakaran buku-bukunya. Di Jawa, Syekh Siti Jenar dieksekusi oleh

"dewan Wali Sanga". Namun, tidak sedikit murid Fansuri dan Siti Jenar yang

sempat menyelamatkan diri. Salah seorang muridnya di Jawa yang kemudian

meneruskan ajaran tersebut adalah Ronggowarsito yang dikenal sebagai

pencetus ajaran Manunggaling Kawula-Gusti. Banyak yang lain kemudian

meneruskan ajaran itu dalam bentuk aliran-aliran kebatinan yang

diidentifikasi oleh Clifford Geertz sebagai komunitas Islam Abangan.11

Tasawuf Sunni yang merujuk pada model Al-Ghazali – yang ketat

memegang syariat Islam - dikembangkan di Aceh oleh Ar-Raniri beserta

murid-muridnya. Di Jawa, ajaran itu dikembangkan oleh Wali Sanga. Wali

Sanga sendiri, menurut penelusuran Alwi, berasal dari komunitass yang

sama, yakni sebagai keturunan dari Syekh Ahmad bin Isa Muhajir dari

10 Sedangkan apabila dilihat dari prilaku para pengikut tasawuf, secara garis besar

dapat dikelompokkan menjadi dua macam, pertama, pola tasawuf yang berorientasi kepada kepuasan subyektif, seperti yang dilaksanakan di kalangan tarekat secara umum - namun bukan berarti mutlak seluruhnya - dan dalam aliran kepercayaan kepada Tuhan YME dan kedua, pola tasawuf yang berorientasi kepada kepuasan amal sosial, seperti yang dilakukan oleh orang Muhammadiyah. Lihat, Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 157

11 Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Mizan,;Bandung, 2001), hlm. 32

Page 7: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

7

Hadramaut, yang dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan Nabi

dari Arab Saudi dan daerah Arab lain yang tidak menganut Syiah. Komunitas

tasawuf Sunni kemudian dikembangkan lewat tarekat dan pesantren oleh

murid-murid dan keturunan Wali Sanga.12

Sejarah penyebaran Islam di Indonesia merupakan hasil perpaduan

antara doktrin-doktrin formal Islam dan kultus para wali, yang berpuncak

pada Wali Sanga sebagai sisa pengaruh pemujaan orang-orang suci (hermets)

dalam agama Hindu. Perwujudan ini tampak sekali dalam ascetisme (zuhd)

yang menjadi warna kental dari kehidupan agama Islam di negeri ini.13

Kehidupan model asketisme ini berkembang pesat terutama di dunia

pesantren. Pemilihan cara hidup semacam ini barangkali di samping alasan

geneologi keislaman nusantara yang memiliki corak tersendiri, juga

merupakan suatu culture counter terhadap kehidupan umum masyarakat yang

sedang dilanda krisis moral. Dalam konteks ini tampak bahwa tradisi yang

berkembang di pesantren memiliki kemiripan dengan tradisi dalam tasawuf

(tarekat). Persoalan penghormatan dan sikap hormat kepada kiai adalah

ajaran yang mendasar yang ditanamkan kepada santri. Bahkan kepatuhan

tersebut disinyalir lebih penting dari mencari ilmu itu sendiri.14 Tradisi

kepatuhan mungkin sulit dipahami dan dimengerti oleh setiap orang. Tetapi

kejadian itu memang ada dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu,

termasuk masyarakat pesantren dan komunitas pengikut tarekat dengan kiai

sebagai pemimpin utamanya.15

12 Tasawuf Sunni lebih cenderung pada penerapan syariat sebagai sebuah jalan menuju

mistisisme Islam yang sebenarnya. Lihat, Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2003), hlm. 81.

13 Abdurrahman Wahid sebagaimana dikutip Syahrul A'dam, ''Kiai dan Tarekat" dalam AHKAM; Jurnal Syari'ah-Hukum dan Pranata Sosial no.11/V/2003, hlm.39

14 Ibid. 15 Kepemimpinan seorang kyai berdasarkan kharisma. Dominasi kharismatik

(charistmatic domination) menurut teori Weber bisa terjadi apabila pihak yang berwenang secara pribadi diakui memiliki kharisma karena kekuatan magis, menerima wahyu, atau memiliki sifat kepahlawanan. Lihat Antony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis suatu karya tulis of Marx, Durheim and Max Weber, terjemahan oleh Soeheba

Page 8: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

8

Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para sufi yang gencar

mengadakan pengembaraan, terutama sejak abad ke 13 setelah keruntuhan

Bagdad dan Mongolia. Para sufi pengembara, waktu itu, memainkan peran

yang cukup penting dalam memelihara keutuhan dunia muslim dengan

menghadapi kecenderungan pengelompokan kawasan-kawasan kekhalifaan

ke dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persi dan Turki. Pada masa ini

tarekat secara bertahap menjdi institusi yang disiplin dan stabil, dan

mengembangkan afiliasi dengan kelompok pedagang dan pembuat kerajinan

tangan yang turut membentuk masyarakat urban.16

Demikian juga, tarekat pada mulanya mendapat tempat di istana.

Kemudian secara pelan-pelan mulai masuk ke kalangan masyarakat awam.

Menjelang abad ke 18, berbagai macam bentuk tarekat telah mulai tersebar di

nusantara. Ini terjadi karena murid-murid yang belajar di Haramain kembali

ke tanah air dan mengajarkan tarekat yang pernah dipelajarinya. Diantara

tarekat-tarekat tersebut adalah tarekat Syattariyah, tarekat Naqsyabandiyah,

tarekat Qadiriyah, tarekat Syadziliyah, tarekat Qadiriyah wa

Naqsyabandiyah, tarekat Sammaniyah, tarekat Tijaniyah dan tarekat

Kubrawiyah.17

Untuk konteks Madura, sebagaimana disebutkan di awal, hanya ada

tiga tarekat yang tersebar luas di Madura, yaitu tarekat Qadiriyah wa

Naqsyabandiyah, tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Tijaniyah.

Menarik bahwa perempuan mendapat “tempat” dan memiliki peran

dalam komunitas tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura, khususnya

kaum perempuan Madura. Hal ini menarik karena pada umumnya yang

menjadi mursyid tarekat adalah kiai yang kebanyakan laki-laki. Sebelum

Kramadibrata dari Kapitalisme dan Modern Sosial Theory: an Analysis of writing of Marx, Durheim and Max Weber (Jakarta; UIP, 1985), hlm. 197.

16 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII dasn XVIII; Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung; Mizan 1994), hlm. 33

17 Hawas Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokohnya-tokohnya di Nusantara, (Surabaya; al-Ikhlas, tanpa tahun), hlm. 49

Page 9: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

9

menjadi mursyid, kiai pada mulanya merupakan seorang murid yang telah

mendapat ijazah (limpahan wewenang) dari guru atasannya dalam susunan

mata rantai (silsilah)18 tarekat. Sebaliknya, pengikut atau murid yang belum

mendapatkan ijazah tidak diperkenankan mengajarkannya kepada orang lain.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dianggap sebagai pengkhianatan kepada

baiat (janji suci) yang diucapkannya ketika pertama kali ia memasuki

tarekat.19 Karena itu, mursyid dalam tarekat menempati kedudukan yang

sangat tinggi dan signifikan sebab mursyid berkedudukan sebagai perantara

(washilah) antara sang murid dengan Tuhannya. Dengan demikian,

kedudukan Kiai (sebagai mursyid) lebih ditinggikan dibanding “santri’. Dan

perempuan seringkali dimaknai sebagai santri, bukan mursyid dari sebuah

tarekat.

Kiai merupakan mahkluk yang memiliki kharisma (kewibawaan).

Faktor kewibawaan yang dimiliki seorang kiai merupakan salah satu

kekuatan dalam menciptakan pengaruh di dalam masyarakat (tradisional).

Tanpa kewibawaan, seorang kiai tetntu akan kesulitan dalam menciptakan

pengaruh. Dalam melihat kewibawaan kiai terdapat dua dimensi yang perlu

diperhatikan. Pertama, kewibawaan yang diperoleh seseorang (kiai) secara

given, seperti tubuh yang besar, suara yang keras, dan mata yang tajam serta

adanya ikatan geneologis dengan kiai kharismatik sebelumnya. Kedua, dengan

proses perekayasaan. Dalam arti, kharisma diperoleh melalui kemampuan

18 Ijazah dan silsilah adalah akibat logis dari adanya doktrin kerahasiaan yang ada

dalam tarekat. Dengan demikian seorang pengikut tarekat harus merahasiakan ajaran-ajaran tarekat kepada orang lain, kecuali kalau memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu. Doktrin tersebut bertitik tolak dari keyakinan bahwa nabi Muhammad datang ke dunia ini dengan membawa dua macam risalah, pertama, yamg diperuntukkan bagi semua umat muslim dan kedua, hanya dikhususkan kepada orang-orang-orang tententu saja, dalam hal ini adalah Ali bin Abi Thalib.

19 Harisuddin Aqib, al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (Surabaya; Bina Ilmu, 1998), hlm. 95-101.

Page 10: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

10

dalam penguasaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan

kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat.20

Salah satu yang menunjang kharisma, pengaruh dan otoritas seorang

kiai adalah penguasaannya akan ilmu-ilmu gaib (thibb, hikmah dan kesaktian)

dan kebanyakan kiai Madura dianggap ahli dalam bidang tersebut21.

Pandangan umum menilai kaum perempuan tidak akan sampai kepada

kharisma yang dimiliki oleh seorang kiai. Tetapi yang terjadi dalam tarekat

Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura sebaliknya. Di antara pemimpin

(mursyid)nya adalah perempuan dan mereka tidak hanya bertindak sebagai

asisten dari para suami yang lebih dominan, akan tetapi benar-benar mandiri

(independen).22

Fenomena tersebut tentu bukan merupakan sesuatu yang mengejutkan

apabila dilihat dalam perspektif sejarah Islam. Secara historis sudah banyak

sosok perempuan yang menempati posisi dan berperan sama dengan kaum

laki-laki seperti Khadijah23, Aisyah24, Fatimah25, sosok Ratu Balqis26 dan lain

sebagainya.

20 Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim

Kembar di Madura, (Yogyakarta; Pustaka Marwa, 2004), hlm. 88 21 Bila dilihat dari peran sosialnya, kiai di Madura memiliki beragam peran dan

keahlian. Mereka tidak hanya berperan sebagai tokoh agama yang mengajarkan pendidikan moral-keagamaan akan tetapi juga melakukan praktik perdukunan dengan cara memberikan pengobatan tradisional melalui praktik magisme. Kiai "dhukon" begitu orang madura menyebutnya. Lihat, Abdur Rozaki, Menabur Kharisma, hlm. 48 dan bandingkan dengan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta; LP3ES, 1994), hlm. 55.

22 Martin Van Bruinessein, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung; Mizan, 1996), hlm. 197.

23 Karena perannya yang begitu besar terutama ketika Nabi menerima wahyu yang pertama, Khadijah pantas menyandang gelar Ibu Kaum Beriman Wanita Terbaik (khairun nisa'). Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam,(Bandung; Mizan, 1998), hlm.59

24 Aisyah tercatat sebagai orang yang banyak mengetahui tentang kehidupan pribadi Nabi dan bahkan sebagai pemimpin perang ketika melawan Ali bin Abi Thalib. Annemarie Schimmel, Jiwaku., hlm. 61

25 Ibid, hlm. 64 26 Nasaruddin Umar, "Perspektif Jender Dalam Islam" dalam Jurnal Pemikiran Islam

PARAMADINA, Vol. 1 Nomor 1, Juli-Desember 1998, hlm. 110.

Page 11: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

11

Tidak bisa dipungkiri, dalam sejarah Islam, kaum sufi perempuan

muncul pada periode sangat awal, dan martabat orang suci diberikan secara

sama baik kepada perempuan maupun laki-laki. Bahkan kedudukan mereka

sebagai sufi begitu terhormat, sehingga laki-laki harus mengakui status yang

tinggi kepada mereka. Fatimah, anak perempuan Nabi mendapatkan posisi

yang sangat tinggi dan dirujuk sebagai pemimpin spiritual pertama penganut

sufi.27

Dalam perjalanan sejarah tarekat dalam Islam, hanya ditemukan satu

sosok perempuan yang paling masyhur dari Bashrah yang hidup pada abad

kedelapan, yaitu Rabi'ah Al-Adawiyah. Rabi'ah termasuk dalam golongan

wanita sufi yang mengungguli hampir semua tokoh sufi sezamannya, baik

dalam keutamaan sosial (mu'amalat) maupun pencapaiannya menuju Allah

(ma'rifat). Rabi'ah Al-Adawiyah, yang populer dengan Rabi'ah Bashri adalah

seorang sufi perempuan par excellence. Dia secara universal dihormati di

kalangan masyarakat Islam.28

Pada tataran sejarah berikutnya, tidak muncul tokoh perempuan

sebagai tokoh utama kaum sufi termasuk setelah aktifitas sufisme ini hadir di

nusantara, padahal jumlah pengikut perempuan mencapai 30 sampai 40%.29

Namun patut ditambahkan bahwa hanya di dalam tarekat Naqsyabandiyah

Muzhariyah Madura mereka bisa berbaiat kepada guru yang perempuan

juga. Paling tidak, terdapat empat mursyidah yang dapat dicatat, yaitu Nyi

Aisyah, Nyi Tobibah, Nyi Syafiah dan Syarifah Fatimah. Fenomena ini

agaknya harus dipahami dalam konteks budaya Madura. Melalui empat

mursyidah inilah jaringan perempuan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah

tidak hanya eksis akan tetapi juga berkembang sampai se antero pulau

Madura, dari kabupaten Bangkalan, Sampang, Pameksanan dan Sumenep.

27 Ibid, hlm. 197. 28 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryanto, (Yogyakarta: LkiS,

2003) hlm. 196. 29 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah., hlm. 198

Page 12: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

12

C. WEWENANG KHUSUS: Suatu bentuk Eksklusifitas dan Independensi Jaringan Perempuan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah Di Madura

Eksistensi jaringan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah bagi kalangan

perempuan ditunjukkan dengan tampilnya empat orang mursyidah. Mereka

menjalani aktifitasnya sebagai mursyidah dalam kurun waktu yang berbeda-

beda. Orang pertama yang dibaiat menjadi mursyidah di kalangan tarekat

Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura adalah Nyi Aisyah.30

Pembaiatan ini terjadi pada saat awal-awal tarekat ini menyebar di

Madura yaitu di akhir abad ke 19. Pengangkatan Nyi Aisyah sebagai mursyid

ditujukan untuk memimpin dan melayani pengikut perempuan. Tugas dan

wewenang utama yang diemban oleh Nyi Aisyah adalah memberikan

orientasi dan bimbingan kepada jemaahnya (kebanyakan sudah lanjut usia)

untuk siap secara mental spiritual menyongsong secara optimis persoalan

kritis yang akan segera mereka hadapi, yakni hidup sesudah mati dengan

memanfaatkan sisa hidupnya sebaik mungkin di dunia, dengan sebuah

propaganda bahwa surga "go publik". Akses ke surga terbuka untuk siapa saja,

kaya atau miskin, alim atau awam, bangsawan atau jelata. 31

Dalam konteks tujuan tersebut, mereka dibawa melakukan latihan-

latihan (riyadah) atau dzikir bersama mendekatkan diri kepada Allah Swt

yang pada akhirnya berharap memperoleh ridaNya. Syarat pertama dan

utama yang harus mereka lakukan adalah menjalankan syariat yang diajarkan

oleh Rasulullah Saw. Syarat ini memang menjadi salah satu karakteristik

30 Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Nyi Aisyah adalah seorang

mursyidah pertama di Madura dari tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah yang dibaiat oleh K. Adul Adzim. Beliau tidak tampak pada silsilah dalam penelitian Martin Van Bruinessen, akan tetapi dalam penelitian ini ditemukan dari penuturan seorang mursyid yang sekarang aktif memimpin dan mengembangkan tarekat ini. Di samping itu, memang penelitian ini secara khusus mencari aktivitas dan kegiatan tarekat khusus untuk jaringan perempuan.

31 Dengan kata lain, mengikuti tarekat tidak lebih dari mengusahakan bekal sebaik mungkin untuk mempersiapkan kehidupan akhirat khususnya bagi mereka yang mulai sadar bahwa kehidupan fananya akan segera berakhir. Lihat, AG. Muhaimin "Pesantren, Tarekat, dan Teka-Teki Hodgson: Putret Buntet dalam Perspektif Transmisi dan Pelestarian Islam di Jawa", Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 88.

Page 13: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

13

dalam tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Dengan demikian, ketaatan

yang mendalam terhadap hukum-hukum syariat yang diajarkan oleh

Rasulullah Saw adalah tema yang sering ditekankan oleh banyak kalangan

Naqsyabandiyah Muzhariyah dalam mendefinisikan jalan tarekat mereka.

Tugas pemberian bimbingan khusus bagi kalangan perempuan akhirnya

berlanjut setelah diangkatnya Nyi Tobibah dan Syarifah Fatimah menjadi

mursyidah. Nyi Tobibah bertugas memberikan bimbingan di daerah

Pamekasan dan Syarifah Fatimah memberikan bimbingan di daerah

Sumenep. Walaupun secara geografis mereka memberikan bimbingan di

daerah dan jemaah yang berbeda akan tetapi sesekali mereka masih

berkumpul dalam rangka memperdalam dan mengembangkan tarekat.

Materi bimbingan yang diberikan oleh Nyi Tobibah dan Syarifah

Fatimah sama dengan materi yang disampaikan oleh Nyi Aisyah. Mereka

(para pengikut) diajak untuk meniti kehidupan ini dengan model hidup zuhud

(asketis) dengan jalan menyucikan hati (tashfiyah al-qalb) dan mengharapkan

keridhaan Allah Swt. Model kehidupan seperti ini merupakan cara hidup

yang berusaha secara ketat mengikuti ajaran Islam dengan melaksanakan

semua amalan wajib, memperbanyak amalan-amalan sunnat, meninggalkan

semua yang diharamkan, dan menjauhi yang makruh dan subhat.

Sekalipun tidak selamanya, implementasi cara hidup seperti ini - bila

dalam kadar tertentu diperoleh keridhaan Allah Swt - adalah kemampuan

untuk menangkap hakikat, yakni kebenaran esensial tentang sesuatu yang

selama ini menjadi rahasia Tuhan. Jika kemampuan ini sudah terasa

sedemikian rupa karena ketakwaan yang tanpa henti, maka secara intuitif

banyak mengetahui berbagai hal yang selama ini menjadi rahasia Tuhan.

Kondisi ini dikatakan sebagai makrifat.32 Sudah barang tentu, tidak semua

orang Islam yang pernah membaca syahadat mau menjalankan syariat, dan

tidak pula semua orang yang menjalankan syariat mau ikut tarekat. Demikian

32 Ibid., hlm. 93

Page 14: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

14

juga, tidak semua orang yang mengikuti tarekat akan sampai pada

pengalaman ruhani berupa memperoleh hakikat, apalagi terbiasa secara

intuitif mampu mengetahui esensi banyak hal (ma'rifat).

Dengan kata lain, perjalanan spiritual seorang muslim yang diawali

dengan mengucapkan dua kalimat syahadat adalah sangat panjang. Ia harus

menjalankan syariat agar menjadi muslim yang baik dan bertakwa. Mereka

yang mau dianjurkan untuk meningkatkan ketakwaannya dengan antara lain,

mengambil salah satu jalan (tarekat) tertentu. Kalau tekun dan beruntung, ia

bisa meraih haqiqah atau bahkan ma'rifat33. Tidak heran bahwa, dalam

diskursus sufisme, istilah syariat, tarekat dan ma'rifat dipasang dalam satu

kontinum yang mengacu pada tingkat ketakwaan seorang hamba Allah Swt.,

dimana syariat dianggap sebagai yang terendah dan makrifat sebagai yang

tertinggi.

Dalam tradisi jaringan perempuan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah

Madura, pengikut tarekat menjalani dengan sungguh-sungguh serangkaian

“tahap pertapaan” mereka. Yang menjadi karakteristik khusus tahap-tahap

meditasi mereka adalah: tobat (taubah), pantangan (wara'), penolakan (zuhd),

kemiskinan (fakir), kesabaran (sabar), iman (tawakkal), dan kepuasan (ridha).

Masing-masing dari ketujuh tahapan meditasi tersebut disoroti dan diberi arti

sesuai dengan cita penyucian hati secara sufi. Namun secara urut ketujuh

tahapan tersebut mengarah kepada peningkatan secara tertib dari satu

tahapan ke tahap berikutnya. Pada puncaknya (tahapan ketujuh) akan

tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia, yaitu menciptakan

suasana hati yang netral dan memandang sepele terhadap dunia.34

33 Tujuan utama yang menjadi inti ajaran dalam tarekat adalah mencapai penghayatan

makrifat pada dzatullah. Alat untuk menghayatinya bukan pikiran atau panca indra, akan tetapi hati atau qalbu. Karena itu, dalam ajaran tarekat hati merupakan organ yang amat penting, hati bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam gaib dan puncaknya adalah penghayatan makrifat kepada Allah Swt. Lihat, Simuh, Tasawuf Dan PerkmbangannyaDalam Islam, (Jakarta; Rajawali Pers, 1996), hlm.121.

34 Menurut al-Ghazali setiap pengikut sufi yang ingin mendapatkan penghayatan makrifat pada Tuhan harus sanggup membelakangi dunia secara keseluruhan, karena makrifat pada Tuhan tidak bisa dimadu dengan dunia. Lihat, Simuh, Tasawuf, hlm. 51

Page 15: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

15

Tahap meditasi pertama adalah taubat. Taubah yang diajarkan adalah

taubat dari terlena mengingat Tuhan (ghaflah). Taubat merupakan pangkal

tolak peralihan dari hidup lama (ghaflah) ke kehidupan baru, yaitu hidup

dengan mengingat Tuhan sepanjang masa. Dengan demikian taubat

merupakan suatu proses peralihan dengan mematikan cara hidup lama (yang

ghaflah) dan membina cara hidup baru, yang selalu ingat dan dekat pada

Tuhan dalam segala keadaan. Proses peralihan dijalankan dengan upacara

inisiasi (baiat) dengan cara dimandikan dan diberi pakaian seperti halnya

mayat dikafani sebagai simbol taubat.35

Tahapan meditasi berikutnya adalah tahap wara'. Pada tahapan ini

seorang pengikut tarekat diharuskan meninggalkan segala hal yang belum

jelas (syubhat) halal atau haramnya, atau bahkan meninggalkan apa yang

tidak perlu sekalipun jelas halalnya. Dengan demikian tahap wara'

merupakan pembinaan mental yang harus dijalankan bagi seorang pengikut

tarekat untuk membersihkan hati dari ikatan-ikatan keduniaan baik secara

lahir tidak menggerakkan badan kecuali ibadah kepada Allah Swt maupun

secara batin tidak memasukkan sesuatu dalam hati kecuali Allah Swt.36

Setelah tahap wara' dijalankan baru naik ke tahap selanjutnya yaitu

tahap zuhud. Pada dasarnya zuhud diartikan tidak tamak dan tidak

mengutamakan kesenangan duniawi. Zuhud adalah sikap meninggalkan

segala yang melalaikan hati dari Allah Swt dan memandang kecil arti dunia

serta menghapus pengaruhnya dari hati. Namun pada akhirnya zuhud

diartikan dengan pengertian baru yaitu terkandung dalam makna asketis.

Dengan demikian, zuhud berarti mengasingkan diri dari kehidupan dunia

dan tekun beribadah dan menjalankan latihan rohani, memerangi keinginan-

keinginan hawa nafsu, berpuasa, menyedikitkan makan dan memperbanyak

dzikir.37

35 Ibid, hlm. 52 36 Ibid, hlm. 55 37 Ibid., hlm. 60-61.

Page 16: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

16

Tahap meditasi berikutnya adalah fakir. Pada tahapan ini pengikut

tarekat berupaya mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan

terhadap apa saja selain Tuhan. Upaya semacam ini disebut qat'ul ala'iq

(membelakangi atau membuang dunia). Yang dituju pada tahap ini

sebenarnya hanyalah memutuskan persangkutan hati dengan dunia, sehingga

hatinya hanya terisi pada kegandrungan dan keindahan penghayatan

makrifat pada dzat Tuhan disepanjang keadaan. Dengan demikian, tahap

meditasi fakir dirumuskan dengan tidak punya apa-apa dan tidak

menginginkan apa-apa, yang ada dan harus dilakukan adalah penyucian hati

secara keseluruhan terhadap apa saja selain Tuhan.38

Tahap meditasi selanjutnya adalah sabar. Sabar di samping diartikan

dengan penguasaan diri pada saat mengalami kesempitan, kesusahan, dan

penderitaan juga dimaknai dengan meninggalkan segala macam pekerjaan

yang digerakkan oleh hawa nafsu dan senantiasa melakukan ajaran agama

semata-mara karena menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat.39 Dengan

demikian dalam tahap meditasi sabar, seorang pengikut tarekat harus

menyengaja dan menyiapkan diri bergelimang dengan suatu penderitaan dan

melakukan kewajiban tanpa ada keluhan sedikitpun.

Berikutnya seorang pengikut tarekat menjalani tahap tawakkal.

Tawakkal sering diartikan dengan menyerahkan segala urusan hanya kepada

Allah Swt. Pengertian ini menyiratkan perlunya ikhtiyar dalam tindakan.

Tawakkal yang dilandasi kerja keras. Dalam tahap meditasi tawakkal, seorang

pengikut tarekat diarahkan pada tawakkal dalam konsep Jabariyah, yaitu

tawakkal tanpa memikirkan usaha, dan menggantungkan diri sepenuhnya

kepada takdir dan pemeliharaan langsung dari Allah Swt. Dengan demikian,

para pengikut tarekat mengalami segala geraknya semata-mata digerakkan

38 Ibid., hlm. 63. 39 Mustafa Zahri, Ilmu Tasawuf,(Surabaya; Bina Ilmu, 1995), hlm. 68-69

Page 17: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

17

dan dikuasai Tuhan seperti sampah yang mengapung di lautan, tidak punya

gerak dan tidak dapat menguasai diri.40

Setelah melewati tahap meditasi tawakkal, nasib hidup diserahkan bulat-

bulat kepada pemeliharaan dan rahmat Allah Swt, maka harus segera diikuti

dengan menata hatinya untuk melalui tahap meditasi terakhir yaitu Ridla.

Pada tahap ini, seorang pengikut tarekat harus mampu megubah segala

bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesusahan menjadi kegembiraan dan

kenikmatan. Segala yang telah dan sedang dialami itulah yang terbaik

baginya. Segala derita dan percobaan Tuhan ditanggapinya sebagai rahmat

nikmat Allah Swt.41

Di samping beberapa materi tentang cara-cara penempaan diri agar

menjadi yang terbaik, para mursyidah juga mengisi kegiatan riyadah tarekat

Naqsyabandiyah Muzhariyah dengan dzikir personal, khawajagan biasa

sampai tawajjuhan. Mereka berperan sebagai penuntun dan pembimbing

dalam cara mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam dzikir ismu dzat

misalnya, terdapat wadah dan tempat yang harus diletakkan setiap orang

melakukan dzikir yaitu latifatul qalbi (dua jari di bawah payudara kiri

condong ke lambung kiri), latifatur ruh (dua jari di bawah payudara kanan

condong ke lambung kanan), latifatus Sirri (dua jari di atas payudara kiri

condong ke dada), latifatul khafi (dua jari di atas payudara kanan condong ke

dada), latifatul akhfa (di tengah-tengah dada), latifatun Nafsi (di Dahi), latifatul

qalb (seluruh badan dari pucuk rambut sampai ujung kaki). Penunjukan

tempat-tempat di atas adalah tugas dan wewenang mursyidah. Tugas-tugas

dan wewenang tersebut diberikan oleh Nyi Tobibah, dan Syarifah Fatimah

kepada para pengikut pada saat riyadah baik dzikir bersama, khawajagan

40 Ibid., hlm. 67-68 41 Rida adalah sifat yang tidak semua orang dapat memilikinya sehingga tidak semua

orang menerima keadaan-keadaan yang menimpa dirinya, apalagi merubahnya sebagai rahmat dan nikmat Allah Swt. Karena itu, dalam tarekat, rida ini merupakan tahap akhir (ketujuh) dan jika berhasil melekat pada dirinya maka akan selamat dari segala penyakit hati yang mengganggunya dan hidup penuh dengan kegembiraan dan kenikmatan. Lihat, Mustafa Zahri, Ilmu Tasawuf., hlm. 71-73

Page 18: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

18

biasa maupun tawajjuhan, khususnya untuk kalangan perempuan. Ini tentu

bukan sesuatu yang mengherankan karena memang jumlah jemaah

perempuan mendominasi.

Realitas di atas menunjukkan bahwa jaringan tarekat Naqsyabandiyah

Muzhariyah di Madura untuk kalangan perempuan sangat independen dan

ekslusif. Ekslusifitas dan independensi jaringan ini tentu bukan dalam artian

keluar dari kelompok besar tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura,

akan tetapi masih dalam satu ikatan besar dari jaringan utama tarekat ini,

hanya saja kelompok perempuan mendapatkan kewenangan khusus dalam

mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah karena banyaknya

jemaah kaum perempuan dan mereka bisa berbaiat kepada guru yang

perempuan juga.

D. MOTIVASI KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM TAREKAT

Menempuh jalan tarekat adalah meniti hidup asketis melalui

penyucian hati dan pengharapan rida Allah Swt. Di Madura ditemukan

banyak orang menempuh jalan ini. Di antara sekian tarekat yang

berkembang, di Madura paling tidak ada tiga tarekat yang tersebar luas, yaitu

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat

Tijaniyah. Tarekat Tijaniyah, yang muncul belakangan, pernah berhasil

meraih banyak pengikut di Madura, sedangkan kedua tarekat lainnya harus

bersaing ketat merebut kesetiaan orang Madura.42 Namun pada saat ini,

sebagaimana disampaikan sebelumnya, hanya tarekat Tijaniyah dan tarekat

Naqsyabandiyah yang berpengaruh di Madura. Dari sisi pengaruh, tarekat

Naqsyabandiyah memiliki pengaruh yang lebih dominan.

Pengikut tarekat Naqsyabandiyah di Madura mengikuti cabang lain

dari tarket ini, yaitu tidak tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah. Hal ini

karena mereka tidak mempunyai hubungan langsung dengan tarekat

42 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, ( Bandung, Mizan, 1960,

hlm. 185-186)

Page 19: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

19

Naqsyabandiyah di Jawa. Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah menyebar ke

Madura karena orang-orang Madura yang menunaikan ibadah haji dan

tinggal sementara di Makkah dan Madinah berguru kepada kiai Abdul Azim

dari Bangkalan, seorang yang telah lama bermukim di Mekkah yang telah

menjadi khalifah dari Muhammad Shalih.43 Tarekat Naqsyabandiyah

Muzhariyah sekarang merupakan tarekat yang paling berpengaruh di

Madura dan juga beberapa tempat lain yang banyak pengikutnya, seperti

Surabaya, Jakarta dan Kalimantan Barat.

Di antara pengikut tarekat tersebut jumlah perempuan mendominasi

dan mencapai lebih 50 % dari keseluruhan pengikut tarekat. Keikutsertaan

mereka dalam tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura didasarkan

pada tiga hal, yaitu keinginan untuk mencapai kedekatan kepada Allah Swt

dan perolehan rida-Nya, penguatan ikatan sosial tradisional sekaligus mengisi

kekosongan emosional dan moral yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan

sosial dalam masyarakat dan perubahan paradigma berpikir bahwa puncak

spiritualitas (maqam mursyid) bukan hanya dapat dicapai oleh kaum lelaki,

akan tetapi juga oleh kaum perempuan, bahkan dengan kesempurnaan

spiritualitasnya dan kemukasyafaannya, seorang mursyidah dapat membaiat

dan mengangkat tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki.

Motivasi pertama diawali dari pemahaman mereka tentang tarekat.

Tarekat berarti jalan menuju Tuhan. Secara khusus, tarekat diartikan sebagai

metode praktis untuk membimbing seseorang dengan jalan berpikir, merasa

dan bertindak melalui tahap-tahap berkesinambungan ke arah pengalaman

43 Menurut Martin, tidak hanya kepada orang Madura, Abdul Adzim setidak-tidaknya

mempunyai orang murid Sasak,H. Muhammad Rais, putra sang pembrontak Haji Ali Batu, yang memimpin pemberontakanm terhadap kekusaan Bali di Lombok pada 1891. keturunannya yang masih hidup, tinggal di dekat Mujur. Mereka masih mengamalkan amalan Naqsyabandiyah, tetapi amalannya sudah merosot menjadi bentuk latihan magis untuk memperoleh kekebalan, dan agak jauh meninggalkan akidah yang ortodoks. Sejak meninggalnya M. Rais, di sana tidak ada seorang guru pun tetapi keturunan yang ada mengaku bahwa telah ada kontak lagi dengan orang Madura, dengan seorang keturunan Abdul Azim yang bernama Umar ahmad Ishaq.

Page 20: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

20

tertinggi yaitu hakikat.44 Dalam tarekat terdapat seorang guru (mursyid) yang

berfungsi sebagai pembimbing, pimpinan sekaligus tokoh sentral bagi para

pengikutnya. Seorang mursyid diyakini sebagai orang suci, tempat

bergantung para pengikutnya dalam segala persoalan. Hubungan antara

mursyid dan murid (pengikut) diidentikkan seperti hubungan antara Nabi

Muhammad Saw dan para sahabatnya. Dengan bimbingan mursyid itulah

kedekatan dengan Tuhan akan diperolehnya.

Untuk mencapai kedekatan kepada Allah Swt, tarekat Naqsyabandiyah

Muzhariyah di Madura memiliki pranata dalam bentuk ajaran seperti baiat,

dzikir, khawajagan dan tawajjuhan (penuturan KH. Jakfar Yusuf Sodiq).

Pranata dan ajaran ini menimbulkan pembentukan struktur kehidupan

komunitas pengikut tarekat yang ketat, kuat dan tertutup. Dalam kelompok

yang dilandasi satu ajaran, keyakinan keagamaan anggota-anggota kelompok

amat kuat dan mantap sehingga tidak mudah goyah oleh gangguan luar.

Pranata dan ajaran di atas lebih dikuatkan lagi dengan lima prinsip

dasar ajaran. Prinsip menuntut ilmu sebagai perintah Tuhan, prinsip

pelayanan dan pendampingan terhadap guru dan teman se-tarekat45, prinsip

meninggalkan rukhshah dan takwil untuk mencapai kesungguhan, prinsip

mengisi waktu dengan doa dan wirid dan prinsip mengekang hawa nafsu46

agar tidak berniat salah untuk mencapai keselamatan.

44 Radjasa Mu'tasim dan Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar,

1998), hlm. 3 45 Prinsip mendampingi guru ditambah dengan sikap ketundukkan para pengikut

tarekat yang lebih besar dibanding ketundukan masyarakat kepada kiai pada umumnya. Dalam dunia tarekat, kesetiaan dan ketundukan murid kepada mursyidnya hampir mendekati mutlak. Akibatnya dalam semua keadaan, para pengikut tarekat akan mendukung aksi mursyid mereka secara penuh. Dan hal ini diyakini sebagai salah satu cara mencapai kedekatan dan memperoleh rida Tuhan. Lihat, Endang Turmudzi, Perseleingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta; LkiS, 2004), hlm. 103.

46 Hawa nafsulah yang sering membuat hidup manusia lebih giat, akan tetapi juga dapat menimbulkan kekufuran kepada Tuhan dan cinta diri yang berlebihan. Karena itu, ajaran tarekat ingin mematikan syahwat atau menguranginya dari membiasakan kenyang, cinta kepada harta benda, dan melepaskan hasrat memburu popularitas. Dengan demikian, tarekat mengajarkan manusia untuk mengisi jiwanya dengan sifat-sifat yang baik dalam rangka meraih ridha Tuhan.

Page 21: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

21

Pemenuhan kelima prinsip tersebut akan melahirkan perilaku

keagamaan yang mengarah kepada akhlakul karimah baik secara vertikal

maupun horizontal. Perilaku semacam itulah yang akan mengharmoniskan

hubungan antara sesama manusia dan bahkan menyebabkan datang dan

diperolehnya rida Tuhan.

Selain motivasi kedekatan dan pencapaian rida Tuhan, proses

modernisasi dan realitas kehidupan yang semakin rasional dan materialistik

turut memberikan sumbangan ketertarikan mereka kepada tarekat

Naqsyabandiyah Muzhariyah. Dalam kehidupan yang serba materi dan

rasionalistik, membuat manusia semakin mengalami kekeringan batiniyah

sehingga mereka semakin merindukan hal-hal esoteris. Setelah manusia

berhasil memenuhi kebutuhan ekonomi dan kekuasaan politik, rasionalisme

justru mulai digugat. Olah pikir dalam iptek menyuguhkan kenikmatan

lahiriah, namun batin manusia selalu gelisah dan terasing. Pada saat inilah

kehidupan tarekat menawarkan kesejukan yang mereka cari.47 Di samping itu,

terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat yang disebabkan oleh proses

modernisasi yang kemudian diiringi oleh memudarnya ikatan sosial tradisional,

telah menimbulkan kekosongan emosional dan tipisnya moralitas. Tarekat telah

mampu memenuhi kebutuhan yang dirasakan masyarakat tersebut dengan

menawarkan suasana emosional dan spiritual yang semakin sulit dicari dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, tarekat dapat menguatkan ikatan

sosial tradisional mereka sehingga terciptalah suasana kekeluargaan,

persaudaraan se-agama dan saling bantu membantu satu dengan yang lainnya.

Dalam konteks di atas, tarekat sebagai orde suci, sebenarnya mulai

muncul pergulatan panjang dalam bentuk tarekat sebagai sebuah relegious

brotherhood (persaudaraan se-agama) atau dalam tarekat disebut sebagai

ikhwan, persaudaraan antara sesama anggota tarekat. Persaudaraan ini

dilandasi dari perasaan se-keyakinan, se-ritual dan atau bahkan se-organisasi

47 Radjasa Mu'tasim dan Munir Mulkhan, Bisnis.,hlm. 20

Page 22: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

22

tarekat.48 Persaudaraan inilah yang kemudian dapat menguatkan ikatan sosial

tradisional antar sesama mereka.

Demikian juga yang menjadi motivasi kaum perempuan berbondong-

bondong mengikuti tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura adalah

adanya perubahan paradigma pemikiran tentang pengakuan dan kepatuhan

kepada guru perempuan (mursyidah). Sebagaimana terhadap seorang mursyid,

pengakuan mereka terhadap mursyidah didasarkan pada kharisma yang

dimiliki. Dilihat dari tipologi kepemimpinan dalam hirarki ketarekatan,

kepemimpinan adalah berdasarkan kharisma, maka kepemimpinan dalam

tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura khusus dalam jaringan kaum

perempuan juga memiliki tipologi yang didasarkan pada kharisma tersebut.

Menurut tipe tersebut, sumber wewenangnya berasal dari kualitas

pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang agung maupun diri

pribadinya yang popular karena memiliki kharisma. Dengan demikian,

seorang pemimpin yang kharismatis adalah seorang yang memiliki kualitas

disebabkan mendapat anugerah istimewa dari kekuatan supranatural

sehingga menimbulkan pesona dan daya tarik bagi masyarakat.49 Karena itu,

dimensi personal pemimpin tarekat menjadi sangat penting. Ia harus

memiliki kemampuan dan keistimewaan yang tentu saja harus berbeda

dengan para pengikutnya. Kelebihan tersebut dapat berupa kemampuan

ketabiban, pengetahuan tentang hal-hal yang gaib dan sebagainya.

Di samping itu, faktor yang paling dominan dalam kepemimpinan

tarekat ialah aspek pengakuan dan kepercayaan dari para pengikut tarekat

48 Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda:Sosiologi Komunitas Islam, (Surabaya; Pustaka Eureka,

2005), hlm. 162 49 Max Weber menggunakan istilah kharismatik untuk menunjuk kata pada permulaan

pengembangan agama Kristen, yang merujuk pada tiga jenis otoritas (kekuasaan), yaitu kekuasaan tradisional, kekuasaan rasional dan kekuasaan kharismatik (yang didapatkan dari pengabdian kesucian, kepahlawanan dari percontohan). Titik berat dari pemimpin akan dianggap kharismatik atau tidak,tergantung pada sikap dan tindakan para pengikutnya yang tercermin dari ketundukannya. Lihat, An Ruth dan Doronth Willner, " Kebangkitan dan Peranan Pimpinan-Pimpinan Kharismatik" dalam Sartono Kartodirdjo, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, (Jakarta; LP3ES, 1984), hlm. 166.

Page 23: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

23

yang mendudukkan para pemimpin (guru)nya sebagai pewaris para ambiya'

(apostolic, utusan Tuhan) yang menjembatani hubungan manusia dengan

Tuhan melalui washilah (perantaraan) yang berpola tetap dari generasi ke

generasi.50

Dalam tarekat, konsep pemimpin disebut sebagai mursyid atau

mursyidah. Mursyid atau mursyidah adalah orang yang memperoleh

legalitas untuk memimpin, membimbing dan mengatur berbagai pelaksanaan

upacara ketarekatan yang tersruktur, seperti tawajuhan, baiat, kwajagan,

talqin dan sebagainya. Dalam tradisi tarekat, seorang pengikut tarekat tidak

akan dapat mengamalkan ajaran tarekat kalau belum mendapatkan

pengabsahan (baiat) dari mursyid atau mursyidah yang telah memperoleh

wewenang untuk mengesahkan pengikut baru.

Pembaiatan merupakan pintu masuk bagi pengikut tarekat. Orang

yang belum memasuki pintu pembaiatan tentu tak boleh melakukan, atau

bahkan mengkaji ajaran tarekat. Inilah hakekat kerahasiaan ajaran tarekat.

Dengan demikian, tugas utama seorang mursyidah adalah menjadi pemimpin

dan pembimbing kehidupannya, baik kehidupan spiritual maupun

kehidupan lainnya.51

Dalam tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura bagi kalangan

perempuan, seorang mursyidah menjadi tempat bertanya bagi murid-

muridnya dalam segala urusan kehidupannya, seperti mau membangun

rumah, menjodohkan anaknya sampai pengobatan keluarganya yang sakit.

Faktor tersebut di samping sebagai bukti pengakuan atas kepemimpinan

perempuan dalam tarekat, juga menjadi perekat hubungan antara guru

(mursyidah) dengan pengikut (murid)nya dalam interaksi sosialnya.

E. POSISI DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN

50 Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda.,hlm. 167 51 Ibid., hlm. 170.

Page 24: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

24

Apakah relevansi feminisme, patriarkhisme, dengan dunia

spiritualisme? Tak mudah menjawab persoalan ini. Tapi, gerakan sufisme -

sebagai bagian dari dunia spiritualisme- ternyata memendam persoalan

tersendiri. Ditinjau dari perspektif gender, gerakan sufisme sering dianggap

bersikap "seksisme", dan terlalu berpihak pada patriarkhisme, yaitu ideologi

kekuasaan laki-laki atas inferioritas perempuan.52

Tuduhan tersebut memang bukan tak beralasan. Selama ini, di

kalangan kaum sufi berkembang suatu anggapan bahwa (kepemimpinan)

spiritualitas adalah hak prerogatif laki-laki. Sekian panjang daftar mursyid

(guru sufi) dalam sejarah sufisme adalah laki-laki. Kita kesulitan mencari

nama seorang mursyid dari kalangan perempuan. Mitos ini semakin

diperkuat oleh satu pepatah Arab yang tumbuh di kalangan kaum sufi, thalib

al-mawla mudzakar, yang berarti "pencari Tuhan adalah pria atau laki-laki".

Namun demikian, dalam sebuah penelitian, sejumlah nama wanita sufi

dalam kurun waktu kurang lebih sepuluh abad ditemukan tak kurang dari

seratus dua puluh nama wanita sufi.53 Data ini memberi bukti bahwa sufisme

bukanlah hak monopoli manusia berjenis kelamin laki-laki. Selain itu, data ini

juga membongkar mitos ketiadaan wanita sufi dalam lintasan sejarah sufisme

Islam sekaligus membuktikan keberadaan wanita sufi yang mampu mencapai

pengalaman spiritualitas hingga tingkat (maqam) yang tertinggi, dan

melampaui apa yang pernah dicapai oleh kaum pria. Hal tersebut seperti

diteladankan oleh wanita sufi termasyhur dari Bashrah yang hidup pada abad

kedelapan, Rabi'ah al-Adawiyah.54 Rabi'ah termasuk dalam golongan wanita

52 Patriarkhi yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki atas perempuan telah

menjadi isu sentral dalam wacana feminisme. Laki-laki menguasai anggota keluarga, harta dan sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan. Konstruksi budaya patriarkhi ini telah mapan dan berlangsung selama berabad-abad, tidak lagi dipandang sebagai ketimpangan, bahkan dipandang sebagai 'fakta alamiah'. Lihat, Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, ( Yogyakarta; kerjasama Psw Suka-Pustaka Pelajar-McGill-ICIHEP, 2002), hlm. 9-10

53 Javad Nurbakhsh, Sufi Women (London; tnp. 1983), hlm. 70 54 Rabi'ah mungkin lahir sekitar tahun 95-99 (717 M) di Basrah. Ia dilahirkan di tengah

keluarga termiskin. Ia merupakan anak ke empat karena itu ia diberi nama Rabi'ah. Kisah

Page 25: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

25

sufi yang mengungguli hampir semua tokoh sufi sezamannya, baik

dalam keutamaan sosial (mu'amalat) maupun pencapaiannya menuju Allah

(ma'rifat).

Dalam hal menafsirkan dan mengimplementasikan ajaran-ajaran

(syari'ah) Islam, kaum sufi menganut paham (ideologi) "Jalan Muhammad".

Seperti diketahui, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam banyak

bercerai-berai. Berbagai firqoh atau sekte bermunculan, yang akhirnya

mengkristal menjadi tiga kelompok besar, yakni Sunni, Syiah, dan penganut

Jalan Muhammad. Paham Sunni lebih banyak dipengaruhi paham

tradisionalisme Islam dan nasionalisme Arab. Dan dalam hal kepemimpinan,

mereka mengikuti khalifah empat" (Abu Bakar As-Sidiq, Umar bin Khatab,

Ustman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib). Sedangkan paham Syiah lebih

condong pada kepemimpinan khalifah Ali dan keturunannya saja.55

Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok ketiga lebih

mengambil jalan tengah. Mereka mencintai keluarga dan keturunan Nabi,

karena nabi memang mencintai keluarga dan keturunannya. Tapi, mereka

juga mencintai para sahabat nabi, karena Nabi juga mencintai sahabat-

sahabatnya. Kaum sufi kebanyakan menganut pada paham yang

ketiga tersebut, meski juga tak jarang lebih berat pada salah satu sisi dari

paham sebelumnya. Dasar pemikiran kaum sufi memilih pemahaman

kelompok ketiga adalah bahwa ketaqwaan pada hakikatnya lebih sebagai

penghayatan pribadi dan tak memandang golongan ataupun keturunan.

Penafsiran baru di dunia Islam (termasuk sufisme) tentang

relasi gender masih banyak mengundang perdebatan dan kesalahpahaman.

Kalangan feminisme, misalnya, hampir seluruhnya bersepakat, agama -

terutama agama wahyu (termasuk Islam) - adalah agama yang seksis. Agama-

tentang Rabi'ah dan Pergulatan Spiritualnya dapat dikaji di Disertasi Margaret Smith, Rabi'a; the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam, (London; Cambridge University Press, 1928)

55 Asumsi dasar kelompok Syiah lebih didasari pada hadis: "Carilah aroma mawar dari air mawar!", yang diyakini bahwa kalau hendak mencari intisari Islam juga harus pada sumbernya: nabi dan keturunannya. Paham ini lebih banyak dianut bangsa Mesir dan Iran.

Page 26: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

26

agama tersebut hampir keseluruhannya mencitrakan Tuhan dalam citra laki-

laki, dan menganut pola kepemimpinan yang pada ujungnya mengesahkan

superioritas laki-laki. 56

Pemahaman atas ayat tersebut memang lebih condong pada sintesis

yang bersifat seksis, melebihkan sebagian mereka (laki-laki) terhadap

sebagian yang lain (perempuan). Akan tetapi, penafsiran baru tokoh-tokoh

neo-modernisme Islam semacam Fazlur Rahman, Asghar Ali Engineer, Amina

Wadud Muhsin, Fatimah Mernissi, dan sebagainya, pada umumnya

berkesimpulan lain. Menurut mereka ayat tersebut tidak lagi dipahami

sebagai sesuatu yang bersifat seksis, karena relasi gender yang digambarkan

lebih pada tataran peranan atau sesuatu yang bersifat fungsional, bukan

hierarki kederajatan.

Dengan demikian, laki-laki dan perempuan tetap dalam tingkat

kesederajatan yang sama, hanya saja keduanya memiliki fungsi atau

peran yang berbeda sesuai kodratnya. Ajaran Islam, dalam memandang

persoalan gender, lebih menganut "paham kesetaraan", yaitu setiap manusia -

baik laki-laki maupun perempuan - setara atau setingkat di hadapan Tuhan.57

Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas ketakwaan

seseorang tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin.58

56Dalam Islam, pemahanan tersebut didasarkan pada salah satu ayat Alquran surat An-

Nisa': 34. Ayat tersebut diartikan ;"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat (suami) tidak hadir oleh karena Allah telah memelihara mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatiri nusyuz-nya (pelanggaran kewajiban suami istri), nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar".

57 Penafsiran serupa juga dilakukan Sachito Murata yang memandang relasi gender dalam teologi Islam memiliki kemiripan dengan kosmologi Tao dari Cina. Dalam konsepsi Tao, hubungan alam semesta digambarkan dengan prinsip-prinsip yin dan yang. Yin dan yang bukanlah sesuatu yang secara dikotomis saling menindas, melainkan dalam kerangka hubungan fungsional yang saling mengisi. Lihat, Sachito Murata, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender in Islamic Thought (Amerika Serikat ; State University of New York , 1992)

58 Islam tidak menganut the second sex yang memberikan keutamaan pada jenis kelamin tertentu, atau the fisrt ethnic yang mengistimewakan etnik tertentu.

Page 27: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

27

Sosok ideal perempuan digambarkan sebagai pertama, kaum yang

memiliki kemandirian politik (al-istiqlal as-Siasah) seperti sosok ratu Balqis

yang mempunyai kekuasaan "super power"59, kedua, memiliki kemandirian

ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadiy)60 seperti pemandangan yang disaksikan nabi

Musa di Madyan, wanita pengelola peternakan61, ketiga, memiliki

kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi)

yang diyakini kebenarannnya sekalipun harus berhadapan dengan suami

bagi perempuan yang sudah kawin atau menentang orang banyak (publik

opinion) bagi perempuan yang belum kawin62. Gambaran tersebut

menjelaskan bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw ditemukan sejumlah

perempuan yang memiliki kemampuan dan prestasi besar sebagaimana

layaknya kaum laki-laki.

Secara historis, perempuan sufi sudah menampakkan dirinya pada

periode sangat awal, dan dalam perkembangan evolutif penghargaan

terhadap kesucian diberikan sama tingginya antara kaum perempuan dan

kaum laki-laki. Sejauh kajian mengenai "sahabat-sahabat Tuhan" ini

dibicarakan, maka tidak akan ada perbedaan dalam jenis kelamin tersebut.

Perkembangan sufisme dalam Islam memberikan kesempatan luas

kepada kaum perempuan untuk mencapai gelar kesufian. Tujuan utama

pencapain kaum sufi adalah untuk dapat menyatu dengan Yang Maha Suci,

dan dalam pencarian tersebut mereka telah meninggalkan keindahan dan

daya tarik gemerlapnya dunia dengan membakar gelora cintanya kepada

Tuhan, secara terus menerus, guna mencapai tujuan paling akhir, yaitu

59 Lihat surat al-Mutahanah (60);12. Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan; Bias

Laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta; LkiS, 2003), hlm. 75-79 60 Lihat surat an-Nahl;97 61 Lihat surat al-Qashash, 23 62 Lihat surat at-Tahrim, 11 dan 12. Bahkan al-Qur'an mengklasifikasikan peran

perempuan sebagai sosok yang ideal dengan tiga kategori; (1), peran yang menggambarkan konteks sosial budaya, dan historis di mana perempuan sebagai individu hidup, tanpa disertai pujian atau ancaman. (2). peran yang bisa diterima secara universal sebagai suatu fungsi perempuan (misalnya menyusui dan merawat bayi). (3). peran yang tidak berkaitan secara spesifik dengan jenis kelamin, misalnya peran yang menggambarkan usaha di bumi. Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan., hlm. 71

Page 28: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

28

menggapai pencerahan dalam kehidupan, bersama kegembiraan dan

kegairahannya, dan perenungan kehidupan yang lebih tinggi, hingga

akhirnya dapat mencapai ma'rifat dan menggapai Bayang-bayang Tuhan,

dimana Sang Pencipta tersebut akan menjadi satu dengan yang dicintainya

dan kekal bersama-Nya selamanya.63

Konsep hubungan antara sufi dengan Tuhannya tidak memberikan

ruang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kehidupan spiritual tidak

mempedulikan laki-laki dan perempuan. Gelar kesufian akan dapat dicapai

dengan mengikuti jalur Tuhan, untuk menyatu denganNya dan bagi mereka

yang dapat mencapainya akan mendapat derajat tinggi dalam kehidupan

spiritualnya di dunia.64

Tingginya kedudukan yang dapat diraih oleh para Sufi perempuan

dibuktikan oleh adanya kenyataan bahwa kaum sufi ternyata memberikan

kedudukan utama bagi kaum perempuan di antara para sufi pada masa-masa

awal dan menjadikan kaum perempuan sebagai wakil yang representatif dari

perkembangan pertama sufisme dalam Islam.65

Ini dapat ditunjukkan oleh adanya sederetan nama-nama kaum

perempuan sufi pada masa-masa awal seperti Aminah dan Fatimah. Ibunda

dan putri Rasulullah ini diakui sebagai perempuan sufi pada masa sebelum

bangkitnya sufisme dalam Islam. Demikian juga Ummu Haram, yang selalu

disebut-sebut oleh para penulis arab awal, diakui sebagai perempuan sufi,

yang meninggal bersama suaminya pada saat ikut berperang bersama para

Sahabat pada masa khalifah Utsman tahun 28 H sehingga disebut syahidah.

Sebagaimana orang-orang sufi lainnya, ia memiliki beberapa karamah.66

63 Margaret Smith, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Penterjemah. Jamilah Baraja

(Surabaya; Risalah Gusti, 1997), hlm. 3 64 Ibid., hlm. 4 65 Ibid., hlm. 5 66 Salah satu karomah beliau yang terjadi adalah ketika dalam perjalanan dari Ramalah

ke Jerussalim Ummu Haram diberi hadiah 3 batu besar oleh seorang pendeta Kristen, akan tetapi batu tersebut tidak mungkin dibawanya karena begitu besarnya dan batu itu memang tidak dibawa oleh Ummu Haram. Namun demikian dengan izin dan kekuasaan Allah Swt

Page 29: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

29

Perempuan sufi periode awal lainnya adalah Rabi'ah binti Ismail dari

Syria. Ia sering dikacaukan dengan nama sufi besar Rabi'ah al-'Adawiyah,

akan tetapi karena ia menikah, menetap dan meninggal di Syiria lima puluh

tahun sebelum Rabi'ah al-'Adawiyah, maka cukup jelas perbedaan keduanya.

Rabi'ah binti Ismail yang dikenal sangat asketis (zuhud) mendapatkan

penghormatan yang tinggi diantara para Sufi semasanya dan banyak orang

yang berkonsultasi dan meminta penjelasan tentang masalah-masalah

tasawuf kepadanya.67

Zahidah perempuan lainnya adalah Mu'adzah al-'Adawiyah, seorang

sahabat Rabi'ah al-'Adawiyah. Mu'adzah adalah salah seorang anggota aliran

Hasan al-Bashri yang menitikberatkan pada kezuhudan daripada mistikisme.

Pandangan hidupnya sama dengan Hasan al-Bashri, yaitu bahwa hidup

selalu di bawah bayangan takut akan kemurkaan yang akan datang. Ibadah

yang dilakukannya sangat sulit untuk ditiru karena selama empat puluh

tahun ia tidak pernah mendongakkan kepalanya ke atas langit, tidak pernah

makan sesuatupun di siang hari dan tidak pernah tidur di malam hari serta

biasa melakukan salat sebanyak 600 rakaat sehari semalam. Itulah

karakteristik Rabi'ah dalam upaya mendapatkan kebahagiaan disisi Allah

Swt.68

Seorang sufi perempuan agung lainnya adalah Nafisah, buyut Hasan

bin Ali yang lahir di Mekah tahun 145 H dan tumbuh dewasa di Madinah. Ia

menikah dengan Ishaq, putra Imam Ja'far ash-Shadiq dan dikaruniai dua

orang anak, yaitu al-Qasim dan Ummu Kultsum. Sebagaimana para sufi

lainnya ia menghabiskan siang harinya dengan berpuasa dan menghabiskan

malamnya dengan ibadah salat. Ia sangat terkenal dengan pengetahuannya

tentang kitab al-Quran beserta tafsirnya dan sering menyairkannya dengan batu besar tersebut berpindah sendiri pada saat penguburan Ummu Haram. Lihat, Margaret Smith, Rabi'ah., hlm. 159

67 Diantara keajaibannya, Rabi'ah melihat informasi akan meninggalnya Harun ar-Rasyid di sebuah tempayan yang ada di hadapannya dan beberapa hari kemuadian Harin ar-Rasyid ternyata benar-benar meninggal. Ibid., hlm. 163.

68 Ibid., hlm 164

Page 30: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

30

syair keagamaan. Bahkan mujtahid besar Imam Syafi'i, sering

mengunjunginya dan mengadakan diskusi. Penghormatan imam Syafi'i dapat

dilihat dari seringnya beliau mengadakan salat-salat khusus dengan Nafisah

di bulan Ramadhan. Nafisah dikenal di seluruh Mesir dan kemana saja ia

pergi reputasinya selalu mengikutinya dan ia selalu menerima penghormatan

dari masyarakat baik individu ataupun kelompok. Akhirnya ia wafat di Mesir

pada bulan Ramadhan tahun 208 H.69

Perempuan lain yang termasuk dalam kelompok Syeikha (mursyidah)

adalah Zaynab, putri Abu al-Qasyim 'Abdur Rahman asy-Syari. Ia lahir di

Naysabur pada tahun 1130 dan meninggal pada tahun1219 M. Ia termasuk

sebagai murid terbaik di masanya sehingga mendapatkan ijazah untuk

mengajarkan tentang ilmu Hadis. Dan ia mendapat pengakuan dari murid-

muridnya tentang kesalehannya, seperti Ibnu Khallikan, Ibnu Batutah dan

Ummu Muhammad Aisyah, Zainab binti Kamaluddin.70

Seorang figur perempuan sufi yang juga menarik adalah Fatimah yang

dikenal dengan Jahan Ara. Ia adalah putri seorang raja Mughal, Shah Jahan71.

Guru Fatimah adalah Mullah Shah. Fatimah diakui oleh gurunya sebagai

perempuan yang tingkat pengetahuan tasawufnya begitu tinggi dan oleh

karena itu ia dianggap pantas menjadi wakilnya. Ia adalah seorang sufi sejati

dan telah mencapai suatu keadaan (derajat) yang sempurna, yang murni

dengan Allah Swt dan mendapatkan rahmat (menuju ma'rifat) yang didapat

melalui Penyaksian Allah Swt.72

Perempuan sufi lain yang tak kalah tinggi kedudukannya adalah

Zarrin Taj, yang dikenal dengan Qurrat al-'Ayn. Ia wafat pada tahun 1852 M.

Ia terkenal sebagai seorang penyair, meskipun hanya sedikit karyanya yang

69 Sebuah karomah yang dapat dicatat adalah beliau dapat mengajak seorang gadis

Yahudi sekaligus orang tuanya masuk Islam setelah beliau mendoakan untuk kesembuhannya dari penyakit yang dideritanya. Ibid., hlm 169-171.

70 Diantara guru beliau adalah Abul Qasim (bapaknya sendiri), 'Abdul Mun'im al-Qusyairi dan Adul Ghafir al-Farisi. Ibid., hlm. 174.

71 Shah Jahan adalah pendiri bangunan Taj Mahal India. 72 Margaret Smith, Rabi'ah., hlm. 174-176.

Page 31: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

31

terselamatkan. Doktrin ajarannya adalah pantheistik yang menganggap

bahwa dasar ajarannya menjadi percikan suci yang tersembunyi dalam

manusia itu sendiri, dimana dengan pengembangan itu manusia dapat

mencapai suatu tingkatan fana' fillah atau penihilan ego untuk menuju Allah.

Doktrinnya ini (yang menyebabkan kematiannya) menunjukkan bahwa

dirinya adalah seorang penerus sufi agung syahid yang layak diakui sebagai

seorang perempuan sufi yang mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf.73

Pandangan dan realitas semacam itu juga terelaborasi dalam tradisi

tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura. Pengakuan akan prestasi

spiritualitas perempuan sudah terbentuk sejak awal masuknya tarekat ini di

Madura. Salah satu diantara beberapa deretan mursyid yang terbaiat adalah

Nyi Aisyah. Tentu fenomena ini merupakan suatu hal yang sangat

mengejutkan karena dalam tradisi Madura pemimpin sebuah tarekat biasanya

diidentikkan dengan Kyai.

Penghormatan atas kedudukan dan posisi perempuan ternyata

semakin mengkristal dalam pola pikir pengikut tarekat Naqsyabandiyah

Muzhariyah di Madura. Ini dapat dibuktikan dari beberapa kaum perempuan

sufi yang terbaiat dan diangkat sebagai mursyidah, bahkan tidak hanya untuk

kalangan perempuan akan tetapi juga sebagian kaum laki-laki, seperti Nyi

Tobibah, Syarifah Fatimah dan Nyi Syafi'ah.

Dari konteks di atas, para perempuan sufi telah menampakkan

prestasinya pada pencapaian kedudukan dan posisi yang sejajar dengan

kaum laki-laki, khususnya dalam dunia spiritualitas (tarekat). Kenyataan ini

memberikan harapan yang besar bagi kaum perempuan di masa sekarang

dan yang akan datang.

F. POLA HUBUNGAN GURU-MURID : Transfer Keilmuan Dalam

Pengangkatan Mursyidah

73 Ibid., hlm. 179.

Page 32: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

32

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tarekat memiliki konsep

kepemimpinan yang disebut sebagai Mursyid (guru atau pemimpin orde

tarekat). Mursyid adalah orang yang telah memperoleh legalitas untuk

memimpin, membimbing dan mengatur berbagai pelaksanaan upacara

ketarekatan yang terstruktur, misalnya tawajjuhan, baiat, uzlah, talqin, nariyahan

dan lain sebagainya. Ia adalah pemimpin spritual yang dapat

menghubungkan antara murid dan Tuhan secara vertikal berdasarkan hirarki

kemursyidan yang berlaku.74

Dalam tradisi tarekat naqsyabandiyah, seorang penganut tarekat tidak

akan dapat mengamalkan ajaran tarekat kalau belum dapat pengabsahan

(baiat) dari mursyid yang telah memperoleh wewenang untuk melegalkan

penganut baru. Pembaiatan merupakan pintu masuk bagi penganut tarekat.

Orang yang belum memasuki pintu pembaiatan tentu tidak boleh melakukan,

atau bahkan mengkaji ajaran tarekat. Inilah hakekat kerahasiaan ajaran

tarekat.75

Pada tahap awal, seorang murid harus melakukan taubah, yaitu

mengingat segala dosa yang pernah diperbuatnya di masa lampau, memohon

pengampunan dan bertekad untuk tidak melakukan lagi dosa-dosa tersebut.

Pada sebuah upacara inisiasi, seorang murid menyatakan kesetiaannya

kepada syeikh mursyidnya, dan setelah itu akan menerima talqin yang

merupakan pelajaran esoterik pertama di dalam ajaran tarekat.76 Rangkaian

pembaitan tersebut merupakan langkah awal seorang anggota tarekat untuk

dapat mengikut berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam tarekat.

Dari tahapan ini, seseorang dapat secara bertahap mengikuti bimbingan

guru mursyidnya melalui serangkaian kegiatan tawajuhan, khalwat dan

uzlah. Dan jika ada kemajuan pada dirinya, maka guru mursyid dapat

memberikan sebuah ijazah yang memberinya wewenang untuk menjadi wakil

74 Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., hlm. 168. 75 Ibid. 76 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah Di Indonesia, ( Bandung; Mizan, 1996),

hlm. 87

Page 33: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

33

syeikh mursyid dan berhak menyebarkan ajaran terekat ke tempat lain.

Hanya saja, mereka yang telah mendapatkan ijazah ini tidak serta merta dapat

membaiat anggota baru, sebab wewenang untuk membaiat tetap ada pada

syeikh mursyid terdahulu. Dengan demikian, meskipun secara relatif ia telah

mandiri, namun ia tetap memperlihatkan kepatuhannya kepada guru

mursyidnya dan di Indonesia mereka ini disebut badal.77

Upacara inisiasi adalah simbol dari transmisi spiritual seorang guru

kepada muridnya dalam tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang

murid. Guru-Mursyid adalah pembimbing dalam kehidupan murid dalam

hal pengalaman keagamaan. Dengan demikian, tugas utama seorang mursyid

terhadap seorang murid adalah menjadi pembimbing kehidupan spiritualnya

maupun kehidupan duniawi lainnya. Sementara hak dan wewenang badal

adalah membimbing dan mengarahkan perjalanan bagi tersebarnya tarekat,

akan tetapi tidak berhak membaiat atau memberikan petunjuk tentang

perjalanan menuju maqam (stage) yang lebih tinggi (menjadi tugas mursyid).78

Karena itu, seorang mursyid atau mursyidah tidak dapat diangkat secara

mudah dan sembarangan, akan tetapi melalui proses dan rentang waktu yang

cukup panjang.

Proses menjadi mursyid dalam tarekat Naqsyabandiyah cukup lama

apabila dihitung dari proses inisiasi pertama dari guru-mursyid. Berbeda

dengan dunia kepemimpinan yang berdimensi duniawi, tolak ukur

kepemimpinan dalam tarekat bersifat multi dimensi. Ukuran utamanya

adalah unsur penglihatan dan kerelaan seorang mursyid. Penglihatan seorang

mursyid didasarkan atas kemampuannya untuk melihat kegaiban dan

petunjuk yang diterimanya dari kekuatan supranatural. Jadi penglihatan

seorang mursyid bukan penglihatan rasional, akan tetapi penglihatan intuitif

dan transendental.79

77 Ibid. 78 Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., hlm. 169-170. 79 Ibid., hlm. 172

Page 34: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

34

Untuk menjadi mursyid,80 ada dua proses pengangkatan yang dikenal

dalam tarekat naqsyabandiyah, yaitu pertama, proses barzakhi atau uwaisi dan

kedua, proses komunikasi langsung. Proses barzakhi atau uwaisi adalah proses

pengankatan mursyid melalui dan berasal dari alam barzakh (alam kubur)

lewat komunikasi spiritual (melalui pertemuan dengan wujud rohaniahnya),

bukan melalui komunikasi langsung.81 Dalam tarekat naqsyabandiyah,

pembaiatan barzakhi dapat berlangsung dari mursyid yang telah meninggal

kepada orang yang masih hidup, misalnya dari Jakfar as-Shadiq kepada Abu

Yazid al-Bustami. Sedangkan proses komunikasi langsung, yaitu

pengangkatan mursyid melalui dan berasal dari guru mursyid secara

langsung kepada muridnya seperti Muhammad Baba as-Syamasi membaiat

muridnya secara langsung, Amir Sayyid Kulal a-Bukhari.82 Pada proses yang

kedua ini terjadi karena adanya pola hubungan langsung antara guru

mursyid kepada muridnya yang sama-sama hidup dan bertemu.

Dalam konteks di atas walaupun dua proses tersebut berbeda, pada

pembaiatan dalam tarekat Naqsyabandiyah ada juga yang mendapatkan

pembaiatan dua kali, melalui proses wajar (langsung) dan proses tidak wajar

(barzakhi) seperti Muhammad Baha' ad-Din Naqsyabandi yang mendapat

baiat dari gurunya langsung yaitu Amir Sayyid Kulal a-Bukhari dan juga dari

Abd Khaliq al-Gujdawani melalui proses barzakhi.83

Dalam konteks tradisi tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura,

dilihat dari dua proses pengangkatan mursyid tersebut, pembaiatan,

pengangkatan dan pengukuhan ijazah hanya tampak pada proses

komunikasi langsung antara guru mursyid dengan muridnya. Ini dapat

80 Orang yang telah memperoleh ijazah dari gurunya melalui proses wajar atau tidak

wajar adalah orang yang secara sah menjadi pemimpin dari orde tarekat yang dianutnya, yang dinamakan Mursyid. Rantai baiat dan ijazah yang diberikan secara berkesinambungan inilah yang disebut dengan silsilah. Eksistensi silsilah dengan begitu menjadi tolak ukur sah atau tidaknya dalam tarekat.

81 Uwaisi berasal dari nama Uwais al-Qarni yang se zaman dengan Nabi, tidak pernah berjumpa Nabi Saw akan tetapi diyakini telah diislamkan Nabi melalui roh setelah wafat.

82 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah., hlm. 50 83 Ibid., hlm. 51

Page 35: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

35

dilihat dari proses pengangkatan beberapa mursyidah di Madura seperti Nyi

Aisyah yang dibaiat dan diangkat menjadi mursyidah oleh gurunya sendiri,

KH Abdul Adzim. Temuan terhadap proses pengangkatan Nyi Aisyah ini

diperoleh dari salah seorang guru mursyid yang sekarang masih aktif yaitu

KH. Jakfar Yusuf Shodiq Sampang.

Pada generasi berikutnya juga tampak pengangkatan Nyi Tobibah

(mursyidah) melalui proses komuniksi langsung oleh gurunya sendiri, KH

Ali Wafa Ambunten.84 Pada masa-masa masih menjadi murid, Nyi Tobibah

memang kelihatan berbeda dengan murid-murid lainya. Beliau sangat tekun

mempelajari dan mengamalkan tarekat sebagaimana yang diajarkan oleh

gurunya serta menampakkan kemajuan yang tidak ditemukan pada teman-

temannya yang lain. Dengan prestasinya tersebut, KH Ali Wafa

mengangkatnya sebagai mursyidah. Pada saat predikat mursyidah melekat

padanya, banyak anggota pengikut tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah

Madura khususnya di daerah Pamekasan, tidak hanya terbatas jemaah

perempuan akan tetapi juga jemaah laki-laki85, mengakui kharisma dan

ketinggian ilmunya sehingga bertawajjuh padanya. Di samping itu, beliau

juga mengadakan perjalanan spiritual ke daerah-daerah yang pernah

didatangi gurunya.

Hal ini berbeda dengan proses yang dilalui Syarifah Fatimah yang

dibaiat dan diangkat sebagai mursyidah melalui dua guru mursyid yang

berbeda. Ketika ia masuk tarekat, ia dibaiat oleh K Sirajuddin dan diangkat

sebagai seorang mursyidah oleh seorang mursyid yang masih gurunya

sendiri, KH. Syamsuddin serta memperdalam keilmuannya terhadap guru

84 Nyi Tobibah tidak memiliki hubungan nasab dengan KH Ali Wafa. Hubungan

keduanya adalah hubungan guru-murid. Predikat mursyidah yang didapatinya disebabkan keistimewaan yang dimilikinya seperti dengan kemuksyafaannya beliau mengetahui apa yang diinginkan oleh tamunya. Wawancara dengan K Sholehuddin dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 2006

85Namun dalam praktiknya, Nyi Tobibah juga membimbing pengikut laki-laki termasuk membaiat ikhwan-akhwat seperti kepada Syahid Sumber Nong Gunung Sepudi. Wawancara dengan Nyi Hj Khofi dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 2006

Page 36: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

36

mursyid yang berbeda, KH. Ali Wafa. Syarifah Fatimah banyak memberikan

tawajjuh di daerah Sumenep, dan juga tempat lain di Kalimantan Barat dan

Malang Selatan. Murid-muridnya sangat banyak (semuanya perempuan).

Beliau adalah salah satu mursyid perempuan Madura keturunan Arab, Habib

Muhammad. Beliau juga berbeda dengan beberapa mursyid lain yang masih

ada hubungan kekerabatan dengan mursyid yang lain.86

Hal lain yang berbeda adalah pembaiatan yang terjadi pada Nyi

Syafi’ah. Ia dibaiat dan diangkat menjadi mursyidah oleh gurunya sendiri,

KH Abdul Wahid Khudzaifah, yang kebetulan adalah suaminya sendiri.

Pengangkatan Nyi Syafi'ah sebagai mursyidah ditujukan untuk membantu

KH Abdul Wahid Khudzaifah dalam membimbing murid-muridnya yang

mayoritas adalah kaum perempuan. Namun demikian, walaupun ia diberi

izin akan tetapi ia tidak berkenan untuk memberikan bimbingan. Dengan

demikian, diantara beberapa mursyidah tarekat naqsyabandiyah muzhariyah

di Madura hanya Nyi Syafi'ah yang tidak menfungsikan predikat

kemursyidahanya dalam memberikan bimbingan kepada murid-muridnya,

khususnya murid suaminya.

Konteks di atas menunjukkan bahwa proses pengankatan mursyid atau

mursyidah menggunakan pola hubungan komunikasi langsung antara guru-

mursyid dengan muridnya. Namun demikian tidak semua murid dapat

diangkat menjadi mursyid atau mursyidah. Pengangkatan mursyid atau

mursyidah tersebut menjadi wewenang mursyid (guru) karena hanya

kemukasyafaan mursyid (guru) lah seseorang dapat diangkat menjadi

mursyid atau tidak.

Namun demikian, apabila dilihat dari pola hubungan nasab

tampaknya hubungan antara beberapa mursyidah terlihat karena hubungan

kekeluargaan, misalnya Nyi Aisyah masih ada hubungan kekerabatan dengan

KH Khudzaifah. Nyi Aisyah adalah Ibu dari KH Khudzaifah dan KH

86 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah., hlm. 198

Page 37: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

37

Khudzaifah adalah ayah dari Nyi Tobibah. Dengan kata lain Nyi Aisyah

adalah nenek Nyi Tobibah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Nyi

Tobibah adalah mursyidah penerus dari Nyi Aisyah walaupun

pengangkatannya sebagai mursyidah bukan merupakan pola hubungan

nasab, akan tetapi pola hubungan komunikasi langsung antara guru-murid

dengan KH Ali Wafa87.

Demikian juga Nyi Syafi’ah adalah mursyidah yang memiliki

hubungan kekeluargaan dengan Nyi Tobibah, yaitu hubungan saudara. Nyi

Syafi’ah adalah istri dari KH Wahid Khudzaifah dan Nyi Tobibah adalah adik

dari KH Wahid Khudzaifah. Karena itu, dapat disimpulkan Nyi Syafi’ah-Nyi

Tobibah merupakan saudara ipar.88

Diantara beberapa mursyidah tersebut yang tidak memiliki hubungan

kekeluargaan dengan mursyid-mursyidah yang lain hanya Syarifah Fatimah.

Beliau adalah putri dari Habib Muhammad dan merupakan keturunan Arab.

Walaupun beliau termasuk keturunan Arab, namun beliau menerima baiat

masuk tarekat dan mendapat ijazah sebagai mursyidah dari orang yang

bukan keturunan Arab.

G. PENUTUP

Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah termasuk tarekat yang paling

berpengaruh di Madura. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya jumlah

pengikut yang mencapai ribuan orang. Yang unik dan menarik dari tarekat

ini adalah sejak awal menyebarnya (awal abad XX) sudah muncul pengakuan

atas equalitas (kesejajaran) posisi perempuan. Kaum perempuan diakui dapat

mencapai puncak spritulitas sebagaimana komunitas laki-laki sehingga dari

beberapa paparan sebelumnya, peneliti dapat merumuskan beberapa

87 KH Khudzaifah adalah sahabat senior KH Ali Wafa yang wafat sebelum memberi

ijazah kepada putra-putrinya, yaitu KH Wahid Khudzaifah, KH Sya’duddin dan Nyi Tobibah.

88 Sebagaimana dituturkan oleh Nyi Aminah, yang selama Nyi Tobibah masih hidup beliau menjadi khadamnya dan selalu mengikuti kemana saja Nyi Tobibah pergi memberikan tawajjuh.

Page 38: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

38

kesimpulan berikut: pertama, jaringan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah

bagi kalangan perempuan sudah ada di Madura sejak awal abad 20, yaitu

dimulai sejak Nyi Aisyah diangkat oleh K. Abdul Adzim sebagai mursyidah

bersama dengan diangkatnya mursyid yang lain seperti K Hasan Basuni, K

Muhammad Saleh, K Zainal Abidin Bangkalan, K Ahmad Syabrawi dan K

Jazuli. Dari beberapa mursyid tersebut tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah

berkembang sampai akhirnya muncul beberapa mursyidah yaitu Nyi

Tobibah, Nyi Syafi'ah dan Syarifah Fatimah yang mayoritas pengikutnya

adalah perempuan. Eksistensi tarekat ini membentuk jaringan yang kuat

khususnya di tiga tempat yaitu Sumenep, Pamekasan dan Sampang. Kedua,

jaringan tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura untuk kalangan

perempuan sangat independen dan ekslusif. Ekslusifitas dan independensi

jaringan ini tentu bukan dalam arti keluar dari kelompok besar tarekat

Naqsyabandiyah Muzhariyah Madura, akan tetapi masih dalam satu ikatan

dari jaringan utama tarekat ini, hanya saja kelompok perempuan

mendapatkan kewenangan khusus dalam mengembangkan tarekat

Naqsyabandiyah Muzhariyah karena jumlah jemaah kaum perempuan

mendominasi dan mereka bisa berbaiat kepada guru perempuan juga. Ketiga,

yang menjadi motivasi jemaah perempuan mengikuti tarekat

Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura adalah keinginan untuk mencapai

kedekatan kepada Tuhan dan perolehan rida-Nya, menguatkan ikatan sosial

tradisional sekaligus mengisi kekosongan emosional dan moral yang

diakibatkan oleh terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, dan adanya

perubahan paradigma berpikir bahwa puncak spiritualitas (maqam mursyid)

bukan hanya dapat dicapai oleh kaum lelaki akan tetapi juga oleh kaum

perempuan, bahkan dengan kesempurnaan spiritualitasnya dan

kemukasyafaannya, seorang mursyidah dapat membaiat dan mengangkat tidak

hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Keempat, Perempuan dalam tarekat

Naqsyabandiyah Muzhariyah di Madura memiliki kedudukan dan

Page 39: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

39

kesempatan yang sama (egaliter) dengan laki-laki dalam pencapaian puncak

spritualitas baik sebagai kepala kwajagan, kholifah bahkan sebagai mursyidah

sekalipun. Hal ini menunjukkan bahwa tarekat dapat menjadi bagian dari

spiritualitas kaum perempuan sebagai bentuk dari penghayatan

keberagamaan kaum perempuan di Indonesia khususnya di Madura. Dan

kelima, Pengangkatan Mursyidah dalam Tarekat Naqsyabandiyah

Muzhariyah di Madura menggunakan pola penunjukan mursyid secara

langsung (pola komunikasi hubungan guru-murid) karena hanya

kemukasyafaan mursyid (guru) lah seseorang dapat diangkat menjadi

mursyid atau tidak. Walaupun demikian terdapat beberapa mursyid yang

memiliki hubungan nasab, akan tetapi bukan dalam konteks pengangkatan

mursyid.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta;

Pustaka Pelajar, 1999. Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokohnya-tokohnya di

Nusantara, Surabaya; al-Ikhlas, tt. Aceh, Bakar, Abu, Pengantar Ilmu Tarekat:Kajian Historis Tentang Mistik, Solo;

Ramadhani, 1996. Al-Hinduwan, 'Ali, Muhsin, Sayyid "Nafahat al-'Anbariyah fi at-Tariqah an-

Naqsyabandiyah al-Mudzhariyah". Aqib, Harisuddin, al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa

Naqsyabandiyah, Surabaya; Bina Ilmu, 1998. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

VII dasn XVIII; Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung; Mizan 1994.

------------------,Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2003.

A'dam, Syahrul, ''Kiai dan Tarekat" dalam AHKAM; Jurnal Syari'ah-Hukum dan Pranata Sosial no.11/V/2003.

Bruinessen, Van, Marin, NU: Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta; LkiS, 1994.

Page 40: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

40

------------------, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung; Mizan, 1996. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai

Jakarta; LP3ES, 1994. Dzuhayatin, Ruhaini, Siti, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan

Gender dalam Islam, Yogyakarta; kerjasama Psw Suka-Pustaka Pelajar-McGill-ICIHEP, 2002.

Engineer, Ali, Asghar; Pembebasan Perempuan,Penerjemah; Agus Nuryanto, Yogyakarta; LkiS, 2003.

Faqih, Mansour, "Posisi Perempuan Dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender" dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Pespektif Islam, Surabaya; Risalah Gusti, 1996.

Fudhaili, Ahmad, Perempuan Di Lembaran Kitab Suci : Kritik Atas Hadis-Hadis Sahih, Yogyakarta; Pilar Religia, 2005.

Giddens, Antony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; Suatu Analisis suatu karya tulis of Marx, Durheim and Max Weber, terjemahan oleh Soeheba Kramadibrata dari Kapitalisme dan Modern Sosial Theory: an Analysis of writing of Marx, Durheim and Max Weber, Jakarta; UIP, 1985.

Illich, Ivan, Matinya Gender, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2002. Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan; Bias Laki-laki dalam Penafsiran,

Yogyakarta; LkiS, 2003. Jurnal Kajian Islam, Al-Insan, LKPI, No. 2, Vol. I, 2005. Kadarusman. Agama, Relasi Gender dan Feminisme, Yogyakarta: Kreasi Wacana,

2005. Kartodirdjo, Sartono, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, Jakarta; LP3ES, 1984. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta; Gramedia,

1989. Mas'udi, F., Masdar, "Perempuan dintara Lembaran Kitab Kuning" dalam

Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya; Risalah Gusti, 1996.

Megawangi, Ratna, "Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman" dalam Membincang Feminisme.

Mufid, Syafii, Ahmad dalam "Aliran-Aliran Tarekat di Sekitar Muria Jawa Tengah" dalam Jurnal Pesantren, 1/Vol IX, 1992.

Mufidah, Paradigma Gender, Malang; Bayumedia, 2004. Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta; Rake Sarasin,

1996.

Muhaimin A.G. “ Pesantren, Tarekat dan Teka-teki Hodgson: Potret Buntet dalam Perspektf Transmisi dan pelestarian islam di Jawa dalam pesantren Masa depan, Editor Marzuki Wahid dkk, Bandung, pustaka Hidayah, 1999.

Mulia, Musdah, Perempuan Reformis; Perempuan Pembaharu Keagamaan, Bandung; Mizan, 2005.

Page 41: Feminitas Dalam Tarekat Naqsabandiyah

41

Mulyana, Dedy, Meodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung; Rosda Karya, 2003.

Murata, Sachito, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender in Islamic Thought Amerika Serikat ; State University of New York , 1992.

Murniati, P., Nunuk, Getar Gender, Magelang; Indonesiatera, 2004. Mustain, Rajasa dan Mulkhan, Munir, Abd., Bisnis Kaum Sufi; Studi Tarekat

dalam Masyarakat Industri, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1998. Muthali'in, Achmad, Bias Pendidikan dalam Pendidikan, Surakarta;

Muhammadiyah University Press, 2001. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung; Tarsito, 1992. Nawawi, Hadari, Penelitian Terapan, Yogyakarta: UGM University Press, 1994. Nurbakhsh, Javad, Sufi Women, London; Yale University Press, 1983. R. C. Bogdan, dan S.K., Biklen, Qualitative Research for education to theory dan

Methods, Boston; alllyn and Bacon, Inc, 1982. Rozaki, Abdur, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai

Rezim Kembar di Madura, Yogyakarta; Pustaka Marwa, 2004. Said, Fuad, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, Jakarta; Alhusna Zikra, 1993. Schimmel, Annemarie, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalam Spiritualitas

Islam, Bandung; Mizan, 1998. Shihab, Alwi, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di

Indonesia, Mizan,;Bandung, 2001. Simuh, Tasawuf dan PerkmbangannyaDalam Islam, Jakarta; Rajawali Pers, 1996. Smith, Margaret, Rabi'ah; Pergulatan Spiritual Perempuan, Penterjemah. Jamilah

Baraja Surabaya; Risalah Gusti, 1997. Spradly, Participant Obsvation, New York; Holt and Wingston, 1980. Subhan, Arief, dkk, Citra Perempuan Dalam Islam: Pandangan Ormas Keagamaan,

Jakarta; PT Gramedia Pustaka, 2003. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta; Sebelas Maret, 2002. Syam, Nur, Bukan Dunia Berbeda: Sosiologi Komunitas Islam, Surabaya; Pustaka

Eureka, 2005. -------------, Islam Pesisir, Yogyakarta; LKiS, 2005. Tong, Putnang, Rosemarie, Feminist Thought, Penerjemah; Aquarini P.

Yogyakarta; JALASUTRA, 1998. Turmudzi, Endang, Perseleingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta; LKiS,

2004. Umar, Nasaruddin, "Perspektif Jender Dalam Islam" dalam Jurnal Pemikiran

Islam PARAMADINA, Vol. 1 Nomor 1, Juli-Desember 1998. Water Malcolm, Modern Sociological Theory, London; Sage Publications, 1994. Yanggo, Tahido, Huzaemah, "Pangdangan Islam Tentang Gender" dalam,

Membincang Feminisme. Zahri, Mustafa, Ilmu Tasawuf, Surabaya; Bina Ilmu, 1995.