digital_122490 pk i 2080.8169 hubungan hukum literatur

43
BAB 2 Teori Umum Perjanjian 2.1. Syarat Sah Perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 11 Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi perjanjian yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, perjanjian dapat di-paksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar janji (wanprestasi). 12 Pengaturan tentang perjanjian terdapat terutama di dalam KUH Perdata, tepatnya dalam Buku III, disamping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum. Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang- undang. 11 Subekti (a), op.cit., hal. 1. 12 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 2. Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Upload: thanksgod-ifoundyou

Post on 29-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

BAB 2

Teori Umum Perjanjian

2.1. Syarat Sah Perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada

orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

suatu hal.11

Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum

yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang

membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk

mematuhi perjanjian yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini

fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya

berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum,

perjanjian dapat di-paksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum

memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar

janji (wanprestasi).12

Pengaturan tentang perjanjian terdapat terutama di dalam KUH

Perdata, tepatnya dalam Buku III, disamping mengatur mengenai

perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang

timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan

hukum.

Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk

semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian

tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-

undang.

11 Subekti (a), op.cit., hal. 1. 12 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 2.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 2: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

Contoh perjanjian khusus, antara lain jual beli, sewa- menyewa,

tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pem-berian kuasa, dan

perburuhan.

Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum perjanjian lainnya di

dalam berbagai produk hukum, misalnya Undang-undang Perbankan

dan Keputusan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan. Di samping itu,

juga dalam yurisprudensi misalnya tentang sewa beli, dan sumber hukum

lainnya.

Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya perjanjian

adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya, pihak-pihak bebas untuk

membuat perjanjian apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya

maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri

isi perjanjian.13 Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat

pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-

undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.14

Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH

Perdata, yang menyiratkan adanya 3 (tiga) asas yang seyogyanya

dalam perjanjian:15

a. Mengenai terjadinya perjanjian

Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut KUH Perdata

perjanjian hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan

kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).

b. Tentang akibat perjanjian

Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara

pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah

13 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1338 ayat (1). 14 Ibid., pasal 1337.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 3: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

di antara para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para

pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

c. Tentang isi perjanjian

Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contracts-vrijheid atau

partijautonomie) yang bersangkutan.

Dengan kata lain, selama perjanjian itu tidak ber-tentangan

dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, kepen-tingan umum, dan

ketertiban, maka perjanjian itu diper-bolehkan.

Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan

pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya, sama

seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat

perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah

kontrak.

Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang

mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan

perjanjian harus berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata.

Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya

perjanjian, yaitu:

a Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya

Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa

ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-

pihak yang membuat perjanjian tersebut.16 Kesepakatan tidak ada

apabila perjanjian dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.

b Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan

16 Ibid.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 4: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat perjanjian

haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek

hukum.17 Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk

membuat perjanjian. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang

ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di

bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.

Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut

Pasal 330 KUH Perdata belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun.

Meskipun belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, apabila seseorang

telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk

membuat perjanjian18.

c Suatu Hal Tertentu

Hal tertentu maksudnya obyek yang diatur perjanjian tersebut

harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi, tidak boleh samar-

samar.19 Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian

kepada para pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif, misalnya jual

beli sebuah mobil, harus jelas merek apa, buatan tahun berapa, warna

apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin

baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan

lebih lanjut.

d Suatu Sebab yang Halal

Maksudnya isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan

perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertib-an umum, dan

17 Ibid. 18 Indonesia (a), Undang-undang Tentang Perkawinan, UU No. 14, LN No. 14 Tahun

1974, TLN No. 3019, pasal 7 ayat (1). 19 V. Febrina Kusumaningrum, loc. cit.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 5: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

atau kesusilaan, misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena

bertentangan dengan norma-norma tersebut.20

KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-

pihak untuk membuat perjanjian secara tertulis maupun secara lisan. Baik

tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Jadi, perjanjian tidak harus dibuat

secara tertulis.

2.2. Perjanjian yang Memuat Klausula Baku

Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri-

ciri perjanjian baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan

tuntutan masyarakat. Ciri-ciri tersebut men-cerminkan prinsip ekonomi

dan kepastian hukum yang berlaku di negara-negara yang

bersangkutan. Prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam perjanjian

baku dilihat dari kepen-tingan pelaku usaha, yaitu:21

“setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelengaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi,”

bukan dari kepentingan konsumen, yaitu:22

20 Ibid. 21 Indonesia (b), Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8, LN No.

42 Tahun 1999, TLN No. 3821, pasal 1 angka 3. 22 Ibid., pasal 1 angka 2.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 6: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

“setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi

pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-

syarat yang disodorkan oleh pengusaha.

Dalam praktek klausul-klausul yang berat sebelah dalam perjanjian

baku tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut:

a. Dicetak dengan menggunakan bentuk huruf yang kecil;

b. Bahasa yang sulit dipahami artinya;

c. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca;

d. Kalimat yang disusun secara kompleks dan rumit;

e. Bentuk perjanjian dan klausulanya tidak berwujud seperti suatu

perjanjian (tersamar) pada umumnya.

f. Kalimat-kalimatnya ditempatkan pada tempat-tempat yang

kemungkinan besar tidak dibacakan oleh salah satu pihak.

Misalnya, jika klausul eksemsi di dalam kotak barang yang

dibeli.23

Hampir sebagian besar transaksi bisnis saat ini dilakukan dengan

menggunakan klausula baku, baik itu ter-jadi pada negara maju ataupun

terjadi di negara berkembang seperti halnya di Indonesia. Bahkan karena

23 Munir Fuady, Hukum kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2003), hal. 76

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 7: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

begitu banyak digunakannya klausula baku tersebut mendorong seorang

penulis berkebangsaan Amerika bernama Slawson melaporkan bahwa:24

“Standard form contracts probably account for more than ninety percent of all the contracts now made. Most person have difficult remembering the last time they contracted other than by standard form”.

Namun, secara resmi definisi dari klausula baku yang dapat kita

jadikan acuan adalah definisi yang diberikan oleh UU Nomor 8 Tahun

1999, yaitu:25

“setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Untuk lebih jelasnya, maka akan diuraikan dengan singkat mengenai

karakteristik yang seyogyanya terdapat pada klausula baku sebagai berikut:

a. Bentuk Perjanjian Tertulis

Yang dimaksud dengan perjanjian di sini adalah naskah perjanjian

keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat

baku. Kata-kata atau kalimat per-nyataan kehendak yang termuat

dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau

akta di bawah tangan. Karena dibuat secara tertulis, maka perjanjian

yang memuat syarat-syarat baku itu menggunakan kata-kata atau

24 Mariam Darus Badrulzaman (b), ”Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat Dari

Sudut Perjanjian Baku (Standard),” (Makalah disampaikan pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 16-18 Oktober 1980), hal. 4.

25 Indonesia (b), op. cit., pasal 1 butir 10.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 8: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

susunan kalimat yang teratur dan rapi. Jika huruf yang dipakai kecil-kecil,

kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu singkat. Ini

merupakan kerugian bagi konsumen. Contoh perjanjian baku adalah

perjanjian jual beli, polis asuransi, charter party, dan kredit dengan

jaminan, sedangkan contoh dokumen bukti perjanjian adalah

konosemen, nota pesanan, nota pembelian, dan tiket pengangkutan.26

b. Format Perjanjian Dibakukan

Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini

dibakukan, artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya,

sehingga tidak dapat diganti, diubah, atau dibuat dengan cara lain

karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah

perjanjian lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah

syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat

syarat-syarat baku. Rumusan syarat-syarat perjanjian dapat dibuat secara

rinci dengan menggunakan nomor atau pasal-pasal atau secara singkat

berupa klausula-klausula tertentu yang mengandung arti tertentu yang

hanya dipahami oleh pengusaha, sedangkan konsumen sulit atau tidak

memahaminya dalam waktu singkat. Ini merupakan kerugian bagi

konsumen. Ukuran kertas perjanjian ditentukan menurut model, rumusan

isi perjanjian, bentuk huruf dan angka yang dipergunakan. Contoh format

perjanjian baku adalah polis asuransi, akta Pejabat Pembuat Akta Tanah,

perjanjian sewa beli, penggunaan kartu kredit, konosemen, dan obligasi.27

c. Syarat-syarat Perjanjian Ditentukan oleh Pengusaha

Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak

ditentukan sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi

26 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 6. 27 Ibid., hal. 7.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 9: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh

pengusaha daripada konsumen, maka sifatnya cenderung lebih

menguntungkan pengusaha daripada konsumen. Hal ini tergambar

dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab

pengusaha, dimana tanggung jawab itu menjadi beban konsumen.

Pembuktian oleh pihak pengusaha yang membebaskan diri dari

tanggung jawab sulit diketahui oleh konsumen karena ketidaktahuannya.

Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat diketahui melalui

format perjanjian yang sudah pakai, jika konsumen setuju, tanda

tanganilah perjanjian tersebut.28

d. Konsumen Hanya Menerima atau Menolak

Jika konsumen bersedia menerima syarat-syarat per-janjian yang

disodorkan kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian itu.

Penandatangan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia

memikul tanggung jawab walaupun mungkin ia tidak bersalah. Jika

konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang disodorkan

itu, ia tidak boleh menawar syarat-syarat yang sudah dibakukan itu.

Menawar syarat-syarat baku berarti menolak perjanjian. Pilihan menerima

atau menolak ini dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan “take it or

leave it”.29

e. Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan

Dalam syarat-syarat perjanjian terdapat klausula standar (baku)

mengenai penyelesaian sengketa. Jika terjadi sengketa dalam

pelaksanaan perjanjian, maka penyelesaiannya dilakukan melalui

28 Ibid., hal. 8.

29 Ibid.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 10: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

arbitrase. Tetapi jika ada pihak yang mengendaki, tidak tertutup

kemungkinan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri. Sesuai

dengan nilai-nilai Pancasila, maka pengusaha di Indonesia sebelum

menye-lesaikan sengketa di pengadilan, menyelesaikan sengketa melalui

musyawarah.30

f. Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha

Kenyataan ini menunjukkan bahwa kecenderungan perkem-

bangan perjanjian adalah dari lisan ke bentuk tulisan, dari perjanjian

tertulis biasa ke perjanjian tertulis yang dibakukan, syarat-syarat baku

dimuat lengkap dalam naskah perjanjian, atau ditulis sebagai lampiran

yang tidak terpisah dari formulir perjanjian, atau ditulis dalam dokumen

bukti perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian

baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan

menguntungkan pengusaha berupa:31

a. efisiensi biaya, waktu, dan tenaga;

b. praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir

atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani;

c. penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau

menandatangani perjanjian yang disodorkan kepada-nya;

d. homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.

g. Jenis-jenis Perjanjian Baku

Mariam Darus dalam tulisannya membedakan perjanjian baku ke

dalam empat jenis, yaitu:32

30 Ibid. 31 Ibid., hal. 8-9.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 11: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan

oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu (pihak

yang kuat ialah pihak kreditur). Perjanjian ini disebut perjanjian

adhesi.

b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya

ditentukan oleh kedua pihak, yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak

majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur).

c. Perjanjian baku ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang

isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum

tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-

hak atas tanah (formulir seperti diatur dalam Surat Keputusan

Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, akta

jual beli, model 1156727, akta hipotik model 1045055, dan

sebagainya).

d. Perjanjian baku yang dipergunakan di lingkungan notaris atau

advokat.

2.3. Syarat-syarat Perjanjian yang Memuat Klausula

Baku Dalam uraian ini yang dimaksud dengan syarat-syarat perjanjian

adalah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi oleh pihak-pihak

dalam pelaksanaan perjanjian guna menca-pai tujuan perjanjian. Syarat-

syarat perjanjian meliputi ketentuan-ketentuan mengenai:33

a. kewajiban dan hak para pihak;

b. wanprestasi;

c. akibat wanprestasi;

d. tanggung jawab;

32 Mariam Darus Badrulzaman (c), ”Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia,” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Mata Pelajaran Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, (Medan, 1980), hal. 8.

33 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 11.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 12: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

e. penyelesaian sengketa.

a. Kewajiban dan Hak Para Pihak

Yang disebut kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan

oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain dengan pembebanan

sanksi jika lalai atau dilalaikan. Jika kewajiban itu ditentukan oleh undang-

undang, disebut kewajiban undang-undang. Jika kewajiban itu

ditentukan oleh perjanjian, disebut kewajiban perjanjian. Berdasarkan

asas pelengkap dalam hukum perjanjian, jika para pihak menen-tukan

lain dalam perjanjian yang mereka buat, maka kewajib-an undang-

undang dikesampingkan. Sebaliknya, jika para pihak tidak menentukan

apa-apa, maka berlakulah kewajiban undang-undang.

Kewajiban terdiri atas dua macam, yaitu kewajiban material dan

kewajiban formal.34 Kewajiban material adalah kewajiban yang

berkenaan dengan benda/obyek perjanjian sesuai dengan identitasnya

(jenis, jumlah, ukuran, nilai/ harga, kebergunannya). Bentuk kewajiban

material antara lain adalah:

a. dalam perjanjian jual beli, menyerahkan barang dan membayar

harga barang;

b. dalam perjanjian tenaga kerja, melakukan pekerjaan dan

membayar upah;

c. dalam perjanjian sewa menyewa, menyerahkan barang dan

membayar sewa;

d. dalam perjanjian tukar-menukar, menyerahkan barang dan imbalan

menyerahkan barang juga;

e. dalam perjanjian penitipan, menyerahkan barang dan memelihara

barang titipan;

f. dalam perjanjian utang-piutang, menyerahkan uang dan

membayar uang.

34 Ibid.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 13: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

Kewajiban formal adalah kewajiban yang berkenaan dengan tata

cara atau pelaksanaan pemenuhan kewajiban material, yaitu oleh siapa,

bagaimana caranya, dimana, kapan, dan dengan apa penyerahan,

pembayaran, pekerjaan, dan pemeliharaan dilakukan.

Hasil pelaksanaan kewajiban itu merupakan hak pihak lain dalam

perjanjian. Hak adalah sesuatu yang diperoleh dari pihak lain dengan

kewenangan menuntut jika tidak dipenuhi oleh pihak lainnya itu. Setiap

kewajiban selalu disertai dengan hak yang nilainya seimbang.

Kewenangan menuntut tidak bersifat memaksa, boleh digunakan dan

boleh tidak digunakan. Sebaliknya, pelaksanaan kewajiban ber-sifat

memaksa, jika lalai atau dilalaikan dikenai sanksi. Jika pihak yang

mempunyai kewajiban tidak melaksanakan sendiri kewajibannya, maka

ada pihak lain yang dapat memaksakan pelaksanaan atau

pembebanan sanksi, yaitu pengadilan.35

b. Wanprestasi

Menurut Wirjono Prodjodikoro prestasi adalah pelaksanaan janji,

sedang wanprestasi adalah ketiadaan pelaksanaan janji.36 Apabila si

berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka

dikatakan ia melaku-kan wanprestasi. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji.

Atau ia juga melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat

sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal

dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk.37 Faktor penyebab

wanprestasi ada dua kemungkinannya, yaitu faktor dari luar dan faktor

35 Ibid., hal. 12. 36 Wirjono Prodjodikoro (a), Azas-azas Hukum Perjanjian, cet. ke- 10, (Jakarta: Bale

Bandung), hal. 44. 37 Subekti (a), op. cit., hal. 45.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 14: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

dari dalam diri para pihak. Faktor dari luar adalah peristiwa yang tidak

diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian

dibuat. Faktor ini disebut keadaan memaksa, yang menghalangi pihak

dalam perjanjian memenuhi kepada pihak lainnya. Pihak yang tidak

memenuhi kewajiban itu tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat

dikenai sanksi. Dalam hal ini tidak ada yang bertanggung jawab.

Akan tetapi, dalam perjanjian baku pengusaha dapat

merumuskan syarat-syarat yang membebankan tanggung jawab kepada

pihak konsumen. Syarat tersebut dirumuskan sedemi-kian rapi, sehingga

dalam waktu relatif singkat konsumen tidak sempat memahaminya.

Karena diperlukan, konsumen me-nerima saja perjanjian yang disodorkan

kepadanya. Padahal dalam Pasal 1245 KUH Perdata ditentukan, jika

karena ke-adaan memaksa, debitur berhalangan memenuhi

kewajibannya, ia tidak diharuskan memikul beban kerugian. Dengan

peneri-maan perjanjian yang disodorkan oleh pengusaha, konsumen

mengenyampingkan pasal ini, sehingga akhirnya ia memikul beban

kerugian walaupun kerugian tersebut sebagai akibat dari keadaan

memaksa. Sesuai dengan asas pelengkap dalam hukum perjanjian, jika

para pihak menentukan lain dalam perjanjian yang mereka buat, maka

ketentuan undang-undang dikesampingkan.38

Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata, debitur

tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena wanprestasi

yang disebabkan oleh keadaan memaksa, jika ia tidak mampu

membuktikan adanya keadaan memaksa itu, atau jika ia mampu

membuktikannya tetapi mempunyai itikad buruk (te kwader trouw). Jadi,

supaya konsumen dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar

kerugian, ia harus mampu membuktikan bahwa wanprestasinya itu

semata-mata karena keadaan memaksa dan ia mempunyai itikad baik.

Beban pembuktian ada pada konsumen, dan ini merupakan beban

berat bagi konsumen. Keadaan ini tetap menguntungkan pengusaha

38 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 13.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 15: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

walaupun dirumuskan atau tidak dirumuskan dalam syarat-syarat

perjanjian.39

Selain dari keadaan memaksa, wanprestasi dapat juga terjadi

karena faktor dari dalam diri para pihak, yaitu kesalahan sendiri. Supaya

dapat dikatakan wanprestasi, pihak tertentu harus berada dalam

keadaan:40

a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.

Untuk menyatakan sejak kapan pihak dalam perjanjian berada

dalam keadaan wanprestasi, biasanya ditetapkan jangka waktu tertentu

dalam syarat-syarat perjanjian, atau jika tidak ditentukan, sejak waktu

yang ditetapkan dalam pemberitahuan. Pemberitahuan itu biasanya

dilakukan ter-tulis tidak resmi (ingbreke stelling), atau secara resmi melalui

Pengadilan Negeri (sommatie).41

Keadaan wanprestasi dirumuskan sedemikian rupa dalam syarat-

syarat perjanjian, sehingga dalam waktu relatif singkat tidak terbaca oleh

konsumen, bahkan kesalahan pengusaha pun dibebankan kepada

konsumen.

c. Akibat Wanprestasi

39 Ibid. 40 Subekti (a), op.cit., hal. 45. 41 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 14.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 16: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

Tidak dilaksanakannya kewajiban perjanjian dapat menimbulkan bebagai

kemungkinan akibat, baik yang berkenaan dengan perjanjiannya sendiri maupun

yang berkenaan dengan kewajiban para pihak. Berbagai kemungkinan yang

timbul itu adalah sebagai berikut:42

a. pemutusan/pembatalan perjanjian;

b. pelaksanaan kewajiban sebagaimana mestinya;

c. pembayaran ganti kerugian;

d. pemutusan perjanjian ditambah pembayaran ganti kerugian; e. pelaksanaan kewajiban ditambah pembayaran ganti kerugian.

Jika salah satu atau kedua pihak tidak melaksanakan

kewajibannya, perjanjian dapat dibatalkan. Pembatalan dilakukan oleh

para pihak dalam hal ada kesepakatan dalam perjanjian. Tetapi jika

tidak diperjanjikan dan salah satu pihak tidak setuju, pembatalan itu

dilakukan melalui putusan pengadilan.43 Jika terjadi pembatalan, maka

per-janjian berakhir. Kewajiban yang sudah dilaksanakan di-pulihkan

kembali dan yang belum dilaksanakan dihentikan pelaksanaannya, atau

tidak perlu dilaksanakan sama sekali. Ketentuan pembatalan dirumuskan

sedemikian rapi dalam syarat-syarat perjanjian, sehingga pengusaha

tidak dirugikan.

Karena suatu halangan, debitur tidak dapat memenuhi kewajiban

perjanjian. Penundaan ini bersifat sementara dan dapat dipenuhi

sebagaimana mestinya jika halangan itu sudah lenyap. Dengan

pemenuhan kewajiban tadi, maka perjanjian berakhir. Halangan ini tidak

memutuskan perjanjian, melain-kan hanya menunda pelaksanaan

kewajiban. Jadi, kewajiban masih dapat dilaksanakan sebagaimana

mestinya, dan per-janjian berakhir karena pelaksanaan tersebut.

42 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1243, 1266, dan 1267. 43 Ibid., pasal 1266.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 17: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

Perjanjian berakhir karena pembayaran dan dalam pengertian

pembayaran termasuk juga penyerahan barang44.

Tidak dilaksanakan kewajiban oleh debitur menimbulkan kerugian

langsung atau tidak langsung bagi kreditur, misalnya kerugian berupa

biaya, kerugian berupa kerusakan benda dan kerugian berupa tidak

memperoleh keuntungan yang diharapkan. Untuk menghindari kerugian

tersebut, pengusaha merumuskan syarat-syarat sedemikian rapi, sehingga

kon-sumen bertanggung jawab walaupun kerugian timbul akibat tidak

dipenuhinya kewajiban perjanjian. Bahkan karena rapinya rumusan

syarat-syarat itu, pengusaha bebas dari tanggung jawab walaupun

kerugian timbul karena kelalai-annya.45

Mungkin juga terjadi bahwa wanprestasi itu meng-akibatkan tidak

hanya pemutusan perjanjian, melainkan juga ditambah dengan

pembayaran ganti kerugian jika karena wanprestasi itu timbul kerugian

secara nyata. Dalam dunia perdagangan dapat terjadi wanprestasi

karena ketidak-mampuan pembeli, atau keengganan pembeli

membayar uang angsuran jual beli.46

Di samping itu, mungkin juga terjadi bukan pemutusan perjanjian,

melainkan pelaksanaan kewajiban sebagaimana mestinya, ditambah

dengan pembayaran ganti kerugian. Cara ini lebih menguntungkan jika

dibandingkan dengan pemutusan perjanjian berdasarkan berbagai

macam pertimbangan, misal-nya jenis barang yang diperjualbelikan,

faktor kemampuan dan kejujuran pembeli, serta peristiwa yang tidak

terduga.47

44Ibid., pasal 1381 jo pasal 1389. 45 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 16. 46 Ibid., hal. 16-17. 47 Ibid.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 18: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

d. Tanggung Jawab

Perlu diterangkan bahwa pihak yang mempergunakan secara

teratur perjanjian baku biasanya tidak mengharapkan para

pelanggannya untuk memahami atau bahkan membaca syarat-syarat

atau klausulanya. Bahkan terdapat pembakuan untuk meniadakan

tawar-menawar tentang rincian transaksi individual, yang jumlahnya

banyak, tidak ekonomis, dan tidak praktis. Slawson pada tahun 1971

menulis bahwa kontrak-kontrak bentuk perjanjian baku (standard form)

telah dipakai di seluruh dunia, khususnya Amerika.48

Tanggung jawab merupakan realisasi dari kewajiban terhadap

pihak lain. Untuk merealisasikan kewajiban tesebut perlu ada

pelaksanaan (proses). Hasilnya adalah terpenuhi-nya hak pihak lain

secara sempurna atau tidak sempurna. Dikatakan terpenuhi secara

sempurna apabila kewajiban itu dilaksanakan sebagaimana mestinya,

sehingga pihak lain memperoleh haknya sebagaimana mestinya pula.

Hal ini tidak menimbulkan masalah. Dikatakan tidak terpenuhi secara

sempurna apabila kewajiban itu dilaksanakan tidak sebagai-mana

mestinya, sehingga pihak lain memperoleh haknya tidak sebagaimana

mestinya pula (pihak lain dirugikan). Hal ini menimbulkan masalah, yaitu

siapa yang bertanggung jawab, artinya siapa yang wajib memikul beban

kerugian itu, pihak debitur atau kreditur, pihak konsumen atau

pengusaha? Dengan adanya pertanggungjawaban ini hak pihak lain

diper-oleh sebagaimana mestinya (haknya dipulihkan). Jika pihak yang

mempunyai kewajiban tidak melaksanakan kewajibannya, ia dikatakan

“tidak bertanggung jawab”.49

Masalah tanggung jawab dirumuskan di dalam syarat-syarat

perjanjian. Dalam rumusan tersebut terdapat tanggung jawab yang

48 Todd D. Rakoff, Contracts of Adhesion an Essay Inrecontruction, (Harvard Law Review,

April 1983), hal. 1189. 49 Ibid., hal. 18.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 19: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

menjadi beban konsumen dan yang menjadi beban pengusaha. Apabila

ditelaah secara cermat, beban tanggung jawab konsumen lebih

ditonjolkan daripada beban tanggung jawab pengusaha. Bahkan terlihat

kesan bahwa pengusaha berusaha keras supaya terbebas dari tanggung

jawab. Keadaan ini dirumuskan sedemikian rapi di dalam syarat-syarat

perjanjian, sehingga dalam waktu relatif singkat kurang dapat dipahami

oleh konsumen ketika membuat perjanjian dengan pengusaha.

e. Penyelesaian Sengketa

Dalam melaksanakan perjanjian mungkin terjadi per-bedaan

penafsiran mengenai kewajiban para pihak yang meng-akibatkan

sengketa, sehingga perjanjian sulit dilaksanakan, atau dilaksanakan tidak

sebagaimana mestinya, atau tidak dilaksanakan sama sekali. Dalam

perjanjian biasanya dimuat syarat-syarat yang memberi kesempatan

kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui

musyawarah. Prinsip musyawarah ini sesuai dengan nilai-nilai budaya

Pancasila. Penyelesaian musyawarah penting sekali artinya bagi

konsumen, karena keberlakuan klausula eksonerasi dapat ditawar atau

dirundingkan, sehingga dapat meringankan atau membebaskan

konsumen dari beban tanggung jawab.50

Tetapi jika musyawarah tidak menghasilkan penyele-saian, para

pihak diberi kesempatan menyelesaikan sengketa mereka secara hukum

melalui peradilan arbitrase atau per-adilan negara. Untuk menentukan

penyelesaian melalui per-adilan, biasanya didasari oleh pertimbangan,

yaitu jika melalui peradilan, mana yang lebih menguntungkan melalui

arbitrase atau melalui peradilan negara? Walaupun dalam perjanjian

dirumuskan syarat penyelesaian melalui arbi-trase, menurut yurisprudensi

50 Ibid., hal. 22-23.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 20: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

tidak ditutup kemungkinan penyelesaian melalui peradilan negara, sebab

klausula arbitrase dalam perjanjian tidak mengikat secara mutlak.51

2.4. Cara Memberlakukan Syarat-syarat Baku Syarat-syarat baku diberlakukan melalui perjanjian lisan atau

tertulis. Untuk mengetahui cara memberlakukan syarat-syarat baku dalam

praktek perusahaan, perlu di-telaah melalui kasus yang sudah diputus

oleh pengadilan, karena putusan pengadilan telah memberikan

kepastian hukum pada metode penerapan syarat-syarat baku.

Berdasarkan praktek perusahaan yang diakui oleh pengadilan yang

paling banyak terjadi, Hondius (1976) mengemukakan empat cara atau

metode memberlakukan syarat-syarat baku, yaitu:52

a. penandatanganan dokumen perjanjian;

b. pemberitahuan melalui dokumen perjanjian;

c. penunjukan dalam dokumen perjanjian;

d. pemberitahuan melalui papan pengumuman.

a. Penandatanganan Dokumen Perjanjian

Dalam dokumen perjanjian dimuat secara lengkap dan rinci

syarat-syarat baku. Ketika membuat perjanjian, dokumen tersebut

disodorkan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani.

Dengan penandatanganan itu konsumen menjadi terikat pada syarat-

syarat baku (yurisprudensi). Dokumen perjanjian itu dapat berupa naskah

perjanjian, formulir permintaan asuransi, formulir pemesanan barang, surat

angkutan barang, surat tanda servis, polis asuransi, dan sebagainya.53

51 Indonesia (c), Putusan Mahkamah Agung RI No. 1851K/SIP/1984. 52 Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 24. 53 Ibid.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 21: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

Dalam perjanjian tertulis, pembuatan perjanjian dapat didahului

oleh dokumen permintaan atau pemesanan yang diisi oleh konsumen.

Atas dasar dokumen ini kemudian oleh peng-usaha disiapkan naskah

perjanjiannya untuk ditandatangani oleh konsumen yang bersangkutan.

Naskah perjanjian ini memuat secara lengkap dan rinci syarat-syarat

baku. Contoh-nya, polis asuransi dan perjanjian sewa beli barang ter-

tentu. Dalam perjanjian tidak tertulis (lisan), pembuatan perjanjian

dibuktikan dengan dokumen perjanjian tanpa naskah perjanjian.54

Dalam dokumen perjanjian itu dimuat syarat-syarat baku, terutama

mengenai tanggung jawab konsumen atau eksonerasi pengusaha.

Contohnya, dokumen pengangkutan, dokumen pemesanan busana,

dan dokumen servis barang.55

b. Pemberitahuan Melalui Dokumen Perjanjian

Menurut kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak di

atas dokumen perjanjian yang tidak ditanda-tangani oleh konsumen,

misalnya konosemen, surat angkutan, surat penerimaan, surat pesanan,

dan nota pembelian. Syarat-syarat baku tersebut ditetapkan oleh

pengadilan sebagai bagian dari isi perjanjian yang diberitahukan melalui

dokumen perjanjian. Dengan demikian, konsumen terikat pada syarat-

syarat baku itu. Dalam hal ini tidak dibedakan apakah dokumen

perjanjian memuat naskah syarat-syarat baku atau hanya menunjuk

kepada naskah syarat-syarat baku. Supaya konsumen terikat pada

syarat-syarat baku, dokumen perjanjian harus sudah diserahkan atau

54 Ibid. 55 Ibid.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 22: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

dikirimkan kepada konsumen sebelum, atau pada waktu, atau sesudah

dibuat perjanjian.56

c. Penunjukan dalam Dokumen Perjanjian

Dalam dokumen perjanjian tidak dimuat atau tidak ditulis syarat-

syarat baku, melainkan hanya menunjuk pada syarat-syarat baku,

misalnya dalam dokumen jual beli perdagangan ditunjuk syarat

penyerahan barang atas dasar klausula Free On Board (FOB) atau Cost,

Insurance, and Freight (CIF). Ini berarti bahwa syarat baku mengenai

penyerahan barang atas dasar ketentuan FOB atau CIF berlaku dalam

perjanjian itu. Selain itu, yurisprudensi juga menetapkan bahwa dengan

penunjukan kepada suatu tanda suatu badan atau organisasi berarti

berlaku syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh badan atau organisasi

yang ber-sangkutan, misalnya dalam formulir permohonan penutupan

asuransi kerufian tertera tanda atau lambang “Llyod”, ini berarti bahwa

terhadap asuransi kerugian yang oleh penanggung dan tertanggung itu

berlaku syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh badan asuransi Llyod.57

d. Pemberitahuan Melalui Papan Pengumuman

Syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi perjanjian

dengan cara pemberitahuan melalui papan peng-umuman. Melalui

pemberitahuan itu konsumen terikat pada syarat-syarat perjanjian yang

ditetapkan oleh pengusaha. Untuk itu pengadilan menetapkan bahwa

papan pengumuman itu harus dipasang di tempat yang jelas, mudah

terlihat, ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa yang sederhana, serta

mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Papan pengumuman

56 Ibid., hal. 25.

57 Ibid.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 23: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

semacam ini dapat dijumpai pada perusahaan perbengkelan,

perusahaan pengangkutan, toko swalayan, dan lain-lain.58

Pemberitahuan melalui papan pengumuman pada perusaha-an-

perusahaan yang disebutkan tadi lebih sesuai karena mereka berusaha di

bidang pelayanan umum yang melayani banyak orang dalam waktu

yang bersamaan. Lagipula per-janjian yang mereka buat itu selalu dalam

bentuk lisan yang hanya dibuktikan dengan dokumen yang diterbitkan

dan di-tandatangani oleh pengusaha, misalnya tiket, surat angkut-an,

nota jual beli, nota pemesanan, dan surat servis.59

2.5. Dasar Berlakunya Syarat-syarat Baku Permasalahan yang muncul sekarang ialah apa yang menjadi

dasar berlakunya syarat-syarat baku bagi konsumen, atau apa sebab

konsumen terikat pada syarat-syarat baku yang ditetapkan oleh

pengusaha? Berbagai macam alasan sebagai dasar berlaku telah

dikemukakan oleh penulis dengan argumentasinya masing-masing. Ada

yang melihatnya dari aspek hukum, aspek kemasyarakatan, dan aspek

ekonomi.

2.5.1. Dari Aspek Hukum

Secara yuridis masalah ini dapat diselesaikan melalui Pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata yang dinyatakan bahwa, perjanjian yang dibuat

dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang

membuatnya. Berlaku sebagai undang-undang artinya mempunyai

kekuatan mengikat sama dengan undang-undang, sehingga ada

kepastian hukum. Konse-kuensinya di dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH

Perdata dinyata-kan, pihak dalam perjanjian tidak dapat membatalkan

58 Ibid., hal. 25-26. 59 Ibid., hal. 26

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 24: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

secara sepihak (tanpa persetujuan pihak lawannya) perjanjian yang telah

dibuat dengan sah itu. Keterikatan pihak-pihak dapat dibuktikan dengan

penandatanganan perjanjian atau penerima-an dokumen perjanjian.60

Hondius yang merupakan ahli hukum lainya berpendapat bahwa

perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan

(gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas

perdagangan61.

2.5.2. Dari Aspek Kemasyarakatan

Permasalahan filosofis yang muncul ialah apa dasarnya konsumen

mau menandatangani perjanjian atau menerima dokumen perjanjian

itu? Zeylemaker (1948) mengemukakan ajaran penundukan kemauan

(wiisonderwerping) yang menyata-kan bahwa orang mau tunduk karena

ada pengaturan yang aman dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun

oleh orang yang ahli dalam bidangnya, dan tidak berlaku sepihak,

sehingga orang tidak dapat berbuat lain selain tunduk. Tetapi Stein (1957)

menyatakan bahwa kebutuhan praktis dalam lalu lintas masyarakatlah

yang menyebabkan pihak lain terikat pada semua syarat baku tanpa

mempertimbangkan apakah ia memahami syarat-syarat itu atau tidak,

asal ia dapat mengetahuinya.62

Tanggapan Hondius (1976) terhadap Zeylemaker ialah bahwa

pendapat beliau ini dapat dipakai sebagai dasar keterikatan konsumen,

tetapi dengan ketentuan bahwa keterikatan itu dilengkapi dengan

60 Ibid., hal. 26-27. 61 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut banker Indonesia, 1993), hal. 129.

62 Abdulkadir Muhamad, Op.cit, hal. 27.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 25: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

alasan kepercayaan. Jadi, menurut Hondius penandatangan atau

penerima tidak hanya terikat karena ia mau, melainkan juga karena ia

percaya pada pihak lain itu berdasarkan perhitungannya.63

2.5.3. Dari Aspek Ekonomi

Menanggapi permasalahan filosofis tadi, Zonderland (1976)

menggunakan pendekatan riil. Ia menyatakan bahwa keterikatan

konsumen pada syarat-syarat baku karena konsumen ingin menukar

prestasi dan sekaligus menerima apapun yang tercantum dalam syarat-

syarat baku dengan harapan ia luput dari musibah (halangan), satu

harapan yang dilihat secara statistik kemungkinan besar terpenuhi. Jadi,

pendekatan riil Zonderland ini ialah kebutuhan ekonomi yang hanya akan

terpenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pengusaha, walaupun

dengan syarat-syarat baku yang lebih berat berdasarkan pengalaman

tidak senantiasa merugikan konsumen. Kalaupun memang timbul

kerugian karena suatu halangan, itu adalah resiko.64

63 Ibid. 64 Ibid., hal. 27-28.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 26: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

BAB 3

Perjanjian Asuransi Jiwa

3.1. Pengaturan Perjanjian Asuransi

Sampai saat ini di Indonesia secara umum, perjanjian asuransi diatur

dalam dua kodifikasi, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPer) maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)64.

Secara umum dapat juga dikatakan bahwa perjanjian asuransi mempunyai

tujuan utama untuk memberikan ganti kerugian, sehingga perjanjian asuransi

dapat diartikan sebagai perjanjian ganti rugi.

Dalam KUHPer, perjanjian asuransi diklasifikasikan sebagai salah satu

dari yang termasuk perjanjian untung-untungan sebagaimana yang tercantum pada

Pasal 1774 KUHPer yang berbunyi:

“Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung dari sebuah kejadian yang belum tentu. Demikian adalah: perjanjian pertanggungan; bunga cagak-hidup; perjudian dan pertaruhan; perjanjian yang pertama diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang”.

Pasal pertama dalam KUHD yang mengatur perjanjian asuransi dimulai

dalam Pasal 264 yaitu yang memberikan batasan perjanjian asuransi sebagai

berikut:

“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung , dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu”.

Batasan tersebut di atas oleh Prof. Emmy Pangaribuan secara luwes

dikembangkan sebagai berikut64:

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 27: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

“Pertanggungan adalah suatu perjanjian, dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketidakadaan keuntungan yang diharapkan yang akan dapat diderita olehnya, karena suatu kejadian yang belum pasti”.

Dari batasan tersebut di atas, Prof. Emmy Pangaribuan selanjutnya

menjabarkan lebih lanjut bahwa perjanjian asuransi atau pertanggungan itu

mempunyai sifat-sifat sebagai berikut64:

1. Perjanjian asuransi atau pertanggungan pada asasnya adalah suatu

perjanjian pengantian kerugian. Penanggungan mengikatkan diri untuk

menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian dan

yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh

diderita.

2. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian bersyarat.

Kewajiban menganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalu

peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan itu terjadi.

3. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian timbal balik.

Kewajiban penanggung mengganti rugi diharapkan dengan kewajiban

tertanggung membayar premi.

4. Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak

tertentu atas mana diadakannya pertanggungan.

Mengingat arti pentingnya perjanjian asuransi sesuai tujuannya, yaitu

sebagai suatu perjanjian yang memberikan proteksi, maka perjanjian ini

sebenarnya menawarkan suatu kepastian dari suatu ketidakpastian mengenai

kerugian-kerugian ekonomis yang mungkin diderita karena suatu peristiwa yang

belum pasti64.

Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 Pasal 3 ayat (a)1

dikatakan:

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 28: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

”Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam pertanggungan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya sesorang yang dipertanggungkan.”

Asuransi jiwa menurut H.M.N Purwosutjipto adalah:

“Perjanjian timbal balik antara tertanggung untuk mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar premi kepada penanggung, sedangkan sebagai akibat langsung dari meninggalnya tertanggung atau setelah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada tertangung.”64

3.1.1 Pengertian dan Tujuan Asuransi Jiwa

Sepanjang hidup, manusia selalu dihadapkan kepada kemungkinan

terjadinya peristiwa-peristiwa yang dapat menyebabkan lenyap atau berkurang

nilai ekonomi kehidupannya. Ini mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri dan

keluarganya atau orang lain yang berkepentingan. Dengan perkatan lain manusia

selalu menghadapi peristiwa-peristiwa yang menimbulkan risiko antara lain

sebagai berikut64:

a. Meninggal dunia baik secara alamiah atau meninggal pada umur muda,

misalnya dikarenakan sakit, kecelakaan dll;

b. Cacat badan karena sakit atau kecelakaan;

c. Hilang atau meosotnya keadaan kesehatan;

d. Umur Tua.

Dalam rangka inilah lembaga peransuransian jiwa berusaha mengalihkan

ketidakpastian dari perseorangan ke dalam kelompok besar orang. Di sini risiko

perseorangan akan dibagi rata pada banyak orang. Lembaga peransuransian jiwa

dapat melakukan ini, sekalipun tidak dapat menentukan umur orang per orang

(individu) namun rata-rata dari kelompok besar orang secara statistik dapat

ditentukan64.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 29: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

Pada Hakekatnya dasar dari asuransi jiwa adalah adanya sekelompok

orang yang menyadari bahwa64:

a. Setiap orang pasti akan meninggal dunia, tetapi tidak pasti kapan

terjadinya kematian tersebut;

b. Kematian pencari nafkah akan berakibat hilangnya sumber pendapatan

bagi yang berkepentingan. Oleh karena itu diperlukan jaminan keuangan

dalam jangka waktu tertentu selama yang ditinggalkan belum dapat

menyesuaikan diri dengan kondisi baru;

c. Hari tua mengakibatkan hilang/berkurangnya pendapatan bagi yang

berkepentingan, oleh karena itu diperlukan jaminan keuangan pada hari

tuanya sampai meninggal.

Pengertian asuransi jiwa menurut Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro adalah

sebagai berikut64:

“Perjanjian asuransi jiwa adalah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang, termasuk juga perjanjian asuransi kembali/ulang dengan pengertian/catatan bahwa perjanjian dimaksud tidak termasuk perjanjian asuransi kecelakan”.

Berdasarkan Undang-undang Usaha Perasuransian, Asuransi Jiwa adalah

asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan

dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.

Selanjutnya D.S. Hansel memberikan pengertian asuransi jiwa sebagai

berikut64:

“Asuransi jiwa dapat diartkan sebagai suatu rencana sosial yang bertujuan memberikan santunan untuk suatu akibat musibah, yang pembayarannya dilakukan dari iuran-iuran yang dikumpulkan dari semua pihak ang ikut serta dalam rencana dimaksud”.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 30: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

Jadi asuransi jiwa dapat diartikan suatu rencana atau alat dalam

masyarakat untuk mengumpulkan dana melalui iuran-iuran dari para anggotanya.

Sumbangan-sumbangan itu dibayar dalam bentuk premi, dan sebagai imbalannya

setiap anggota berhak menuntut pembayaran sejumlah tertentu dari dana itu

apabila mengalami peristiwa atau musibah tertentu.

Purwosutjipt, S.H di dalam buku Hukum Pertanggungan mengatakan

bahwa pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup

(pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup asuransi

mengikatkan diri selama jalanya pertanggungan membayar uang premi kepada

penanggung. Sedangkan penanggung, sebagai akibat langsung dari meninggalnya

orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampau suatu jangka waktu yang

diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada

orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai penikmatnya. Lebih lanjut

Purwosutjipto menjabarkan hal-hal tersebut sebagai berikut64:

a. Penutup atau pengambil asuransi adalah pihak dalam perjanjian

pertanggungan yang mengikatkan diri untuk membayar premi dengan

teratur kepada penanggung, akibatnya ia memiliki polis;

b. Tertanggung adalah orang yang jiwanya dipertanggungkan, mungkin si

penutup asuransi sendiri dan mungkin juga orang lain yang ditunjuk oleh

si penutup asuransi;

c. Penikmat mungkin si penutup asuransi sendiri atau ahli warisnya dan

mungkin orang lain yang ditunjuk oleh penutup asuransi.

Molengraff, mengajukan dua macam definisi asuransi jiwa64:

a. Pertanggungan jiwa dalam arti luas meliputi semua perjanjian tentang

pembayaran sejumlah uang pokok atau suatu bunga, yang didasarkan atas

kemungkinan hidup atau matinya seseorang, dan oleh karena itu

pembayaran uang pokok atau pembayaran uan premi atau kedua-duanya

bagi segala jenis pertanggungan jiwa dipertanggungkan pada hidup atau

matinya satu atau beberapa orang tertentu.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 31: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

b. Dalam arti sempit, pertanggungan jiwa adalah perjanjian tetang pembayara

uang pokok, satu jumlah sekaligus pada waktu hidup atau matinya orang

yang ditunjuk.

Tujuan dari semua asuransi ialah untuk menutup suatu kerugian yang

diderita selalu akibat dari suatu peristiwa yang bersangkutan dan yang belum

dapat ditentukan semula akan terjadi atau tidak.

Sedangkan menurut Prof.Wirjono Prodjodikoro, tujuan asuransi adalah

jaminan oleh asurador kepada seseorang untuk tidak dirugikan oleh suatu

peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Sehingga hakikat asuransi jiwa adalah

suatu pelimpahan risiko atas kerugian keuangan oleh tertanggung kepada

enanggung. Risiko yang dilimpahkan kepada penanggung bukanlah risiko

hilangnya jiwa seseorang, melainkan kerugian keuangan sebagai akibat hilangnya

jiwa seseorang atau karena mencapai umur tua sehingga tidak produktif lagi64.

3.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi Jiwa

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian

diperlukan empat syarat yaitu:

a. Sepakat mereka yang saling mengikatkan dirinya;

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

c. Mengenai suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat sepakat dan kecakapan disebut syarat-syarat subjektif karena

mengenai orang/badan hukum atau subjek yang mengadakan perjanjian itu

sendiri. Sedangkan syarat hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat-syarat

objektif karena menyangkut objek atau tujuan pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian64.

Syarat adanya sepakat dalam perjanjian dimaksudkan bahwa kedua pihak

yang mengadakan perjanjian secara bebas tidak ada paksaan, penipuan dari

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 32: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

siapapun, menyepakati apa yang diisyaratkan atau diminta oleh masing-masing

pihak. Misalnya, calon pemegang polis menghendaki jumlah uang pertanggungan

tertentu, atas permintaan tersebut penanggung mengajukan syarat-syarat calon

tertanggung wajib memeriksakan kesehatan dan pemegang polis menyetujuinya.

Jika kemudian terbukti kesehatan baik, baru dinyatakan dapat disetujui

asuransinya. Jika persyaratan yang diajukan penanggung disetujui oleh pemegang

polis, maka terjadi kesepakatan bebas64.

Seseorang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum, artinya

bahwa ia berwenang berbuat dan mampu mempertanggungjawabkan perbutannya.

Disamping itu ia telah dewasa, sehat akal dan budidaya serta tidak didalam

pengampuan. Di dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebutkan bahwa orang-orang

yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang berada di bawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

udang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

Seseorang belum dewasa, menurut Pasal 330 KUHPerdata, adalah mereka

yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu

telah kawin.

Syarat ketiga sahnya suatu perjanjian menyebutkan bahwa suatu perjanjian

harus mengenai suatu hal tertentu, yang berarti ada objek yang diperjanjikan.

Sejumlah uang yang menjadi objek perjanjian, yang dalam praktek asuransi jiwa

disebut uang pertanggungan, merupakan kewajiban yang akan diserahkan kepada

pemegang polis. Pihak penanggung akan membayar premi. Kewajiban-kewajiban

pihak-pihak tersebut disebut prestasi64.

Syarat Keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya sebab yang

halal, maksudnya adalah adanya dasar dan alasan diadakannya perjanjian.

Perjanjian itu sah bila tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban

umum atau nilai-nilai kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata).

Perjanjian asuransi jiwa merupakan perjanjian yang sah, tidak dilarang

oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan nilai-nilai

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 33: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

kesusilaan, sebab prosedur pendiriaannya diatur oleh peraturan pemerintah

(Keputusan Mentri keuangan No. 292/KMK.011/1982). Bila sebab atau perjanjian

itu tidak halal atau bertentangan dengan undang-undang, maka perjanjian itu tidak

sah64.

3.1.3 Prinsip Umum Asuransi Jiwa

Prinsip Umum Asuransi Jiwa, yaitu64:

a. Prinsip Ekonomi (Economic Principles);

b. Prinsip Hukum (Legal Principles);

c. Prinsip Aktuaria (Actuaria Principles);

d. Prinsip kerja Sama (Cooperation Principles).

Ad 1. Prinsip Ekonomi (Economic Principles)

Yang dimaksud ialah alasan-alasan ekonomi yang mendorong manusia

menggunakan jasa asuransi jiwa. Tiga jenis risiko yang mempengaruhi nilai

ekonomi hidup manusia dan menjadi alasan timbulnya kebutuhan/memerlukan

asuransi jiwa, adalah sebagai berikut:

a. Risiko kematian

Peristiwanya pasti terjadi kapan terjadinya, tidak diketahui. Peristiwa

kematian menyebabkan penghasilan lenyap dan mengakibatkan kerugian

ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan atau orang-orang yang menjadi

tanggungan.

b. Risiko sebagai akibat hari tua

Peristiwa hari tua pasti akan terjadi, tetapi berapa lama kehidupan hari tua

itu berlangsung tidak diketahui.

c. Risiko kecelakan/sakit

Peristiwanya tidak pasti menyebabkan kematian atau ketidakmampuan.

Merosotnya kondisi kesehatan dapat menimbulkan ketidakmampuan

sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi dirinya sendiri maupun

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 34: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

keluarga. Kerugian ekonomi dimaksud dapat dikurangi karena di dalam

asuransi jiwa terdapat unsur-unsur perlindungan dan tabungan.

Ad. 2. Prinsip hukum (Legal Principles)

Kontrak asuransi jiwa harus dibuat dalam akta yang disebut polis. Polis

merupakan suatu perjanjian yang memuat hak dan kewajiban pihak pelimpah

risiko (pemegang polis) dan pihak penerima risiko (penanggung).

Dua prisip hukum penting di dalam asuransi jiwa ialah prinsip itikad baik

dan prinsip hubungan kepentingan.

a. Prinsip itikad baik (utmost good faith)

Semua data dan keterangan yang diberikan oleh pihak yang melimpahkan

risiko dianggap dilakukan dengan itikad baik dan dijadikan dasar bagi

penerima pelimpahan risiko. Apabila prinsip ini kemudian terbukti tidak

dipatuhi (tidak beritikad baik) maka kontrak dapat dibatalkan oleh pihak

penerima pelimpahan risiko.

Demikian pula kebalikannya karena kekurangan pengetahuan tentang

asuransi jiwa pemegang polis hanya percaya pada itikad baik dari

perusahaan asuransi jiwa. Biasanya hal ini diatur oleh undang-undang dan

juga perusahaan asuransi jiwa berada dalam pengawasan Direktorat

Asuransi, Direktorat Jendral lembaga Keuangan, Departemen keuangan

Republik Indonesia (Insurance Commissioner).

b. Prinsip hubungan kepentingan (Insurable Interest)

Pada abad ke 16 di Inggris pernah diperdagangkan sebagai suatu kontrak

taruhan. Di dalam kondisi demikian oleh banyak orang, asuransi jiwa

dianggap sebagai immoral dan merupakan perjudian atas hidup manusia

karena tidak terdapat hubungan insurable interest antara pemegang polis

dengan tertanggung sebab di dalam ada unsur spekulasi.

Baru pada abad ke 17 dibuat ketentuan bahwa kontrak asuransi jiwa hanya

dapat berlaku menurut hukum apabila terdapat unsur hubungan

kepentingan antara pemegang polis, tertanggung dan tertunjuk (penerima

faedah).

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 35: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

Ad. 3. Prinsip Aktuaria (Actuarial principles)

Dalam asuransi jiwa terdapat hubungan antara hak dan kewajiban yang

dinyatakan di dalam jumlah tertentu seperti jumlah uang pertanggungan dan

premi. Premi ditentukan dengan menggunakan dasar-dasar perhitungan: tingkat

kematian; suku bunga majemuk dan biaya. Demikian pula perhitungan unsur

tabungan dan perlindungan, cadangan premi, nilai tebus, pinjaman atas polis dan

sebagainya, semua ditentukan atas dasar prinsip aktuaria.

Ad. 4. Prinsip Kerja sama

Asuransi jiwa pada dasarnya merupakan suatu benuk kerjasama dari

orang-orang yang ingin menghindari atau setidak-tidaknya memperingan kerugian

akibat terjadinya risiko.

Kerja sama tesebut dikoordiasikan oleh perusahaan asuransi jiwa yang

bekerja atas dasar hukum bilangan besar. Kerja sama dalam bentuk penyebaran

risiko kepada perusahaan asuransi lainnya disebut co-insurance. Kerja sama dalam

bentuk mengasuransikan di atas risiko yang ditanggung sendiri kepada perusahaan

reasuransi disebut reasuransi.

3.1.4 Pihak Pihak Dalam Perjanjian Asuransi Jiwa

Para pihak dalam pertanggungan jiwa terbagi atas tertanggung dan

penanggung. Pihak tertanggung dapat memecah diri menjadi dua bentuk, yaitu

penutup pengambil) asuransi dan penikmat, yang dapat diuraikan lebih lanjut

sebagai berikut64:

a. Penutup asuransi

Penutup atau pengambil asuransi adalah orang yang menutup perjanjian

pertanggungan jiwa dengan penanggung. Penutup asurasi adalah lawan pihak dari

penanggung, yang mengikatkan diri untuk membayar uang premi dan berhak

menerima polis. Penutup asuransi juga berhak menetapkan atau menunjuk orang

lain yang jiwanya dipertanggung dan dapat pula menunjuk orang yang berhak

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 36: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

menerima (menikmati) santunan dari penanggung yang berupa sejumlah uang

sebagai yang telah ditetapkan pada saat ditutupnya pertanggungan jiwa tersebut.

b. Penikmat

Penikmat adalah orang yang ditunjuk oleh penutup asuransi sebagai orang

yang berhak menerima santunan berupa sejumlah uang tertentu dari penanggung.

Penunjukan ini terjadi sesuai dengan kehendak si penutup asuransi sendiri,

sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum. Penutup asuransi dapat menunjuk

dirinya sendiri atau orang lain sebagai penikmat. Penutup asuransi juga dapat

mengubah penunjukannya kepada penikmat lain, asal penikmat pertama belum

menyatakan akan memanfaatkan janji itu. Maka dapat disimpulkan bahwa

penikmat berkedudukan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 1317

ayat 2 KUHPerdata).

3.1.5 Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Asuransi Jiwa

Pasal 246 KUHD menetapkan bahwa pertanggungan itu adalah perjanjian,

dimana penanggung berkewajiban untuk mengganti kerugian bila terjadi peristiwa

yang merugikan tertanggung serta berhak untuk menerima uang premi, sedangkan

tertanggung berkewajiban untuk membayar uang premi dan berhak untuk

mendapat penggantian kerugian. Pasal 257 ayat (1) KUHD menetapkan bahwa

hak dan kewajiban itu mulai berlaku pada saat perjanjian pertanggungan itu

ditutup.

Hak dan Kewajiban yang bersifat timbal balik antara penanggung dan

tertanggung adalah sebagai berikut64:

a. Kewajiban membayar uang premi dibebankan kepada tertanggung atau

orang yang berkepeningan (Pasal 246 KUHD);

b. Kewajiban pemberitaan yang lengkap dan jelas dibebankan kepada

tertanggung (Pasal 251 KUHD);

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 37: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

c. Kesalahan-kesalahan tertanggung yang tidak termasuk dalam kesalahan

orang yang berkepentingan, tidak dapat dilimpahkan kepada orang yang

berkepentingan (Pasal 276 KUHD);

d. Tertanggung bukan orang yang berkepentingan dalam pertanggungan,

tidak dibebani kewajiban sebagaimana yang disebut dalam Pasal 283

KUHD yaitu kewajiban mengusahakan segala sesuatu untuk mencegah

dan mengurangi kerugian yang mungkin terjadi;

e. Tertanggung mempunyai hak untuk menuntut penyerahan polis (Pasal 257

ayat (2) KUHD), sedangkan orang yang berkepentingan berhak untuk

menuntut ganti rugi kepada penanggung (Pasal 264 KUHD).

Hubungan hukum antara tertanggung dengan orang yang berkepentingan

itu dapat berwujud pemberian kuasa, dan penyelenggaraan urusan. Hubungan

hukum antara tertanggung dan penanggung adalah hubungan antara para pihak

dalam perjanjian. Sedangkan hubungan hukum antara pihak yang berkepentingan

dengan penanggung adalah hubungan bukan pihak, tetapi orang yang

berkepentingan menanggung semua akibat hukum dari pertangunggan yang dibuat

oleh tertanggung.

Adapun para pihak dalam perjanjian asuransi jiwa dalam arti sempit, maka

terdapat dua pihak yaitu penaggung dan tertanggung. Sedangkan dalam arti luas,

para pihak yang terdapat pada perjanjian asuransi jiwa yaitu penanggung,

tertanggung, pemegang polis dan tertunjuk.64

Dalam perjanjian asuransi jiwa perlu diketahui para pihak yang melakukan

perjanjian. Untuk itu, berikut ini menerangkan mengenai masing-masing para

pihak dalam perjanjian asuransi dalam arti luas:

a. Penanggung

Pihak yang menerima risiko dari perjanjian asuransi, kemudian

menannggung pembayaran uang pertanggungan dan mengikatkan

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 38: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

diri untuk pembayaran jumlah pertanggungan tersebut. Perusahaan

asuransi hanya boleh melakukan satu jenis usaha, apakah asuransi

kerugian atau asuransi jiwa.64

b. Tertanggung

Orang yang lama hidupnya atau umurnya menjadi dasar daripada

perjanjian asuransi. Kemudian dari hidupnya itu digantungkan

“penyelesaian” dari perjanjian asuransi jiwa.

c. Pemegang Polis

Merupakan orang yng mengadakan perjanjian dengan penanggung

dan orang itu ikut serta dalam melakukan perjanjian. Orang itu

mempunyai kewajiban membayar premi dan berhak menerima

polis.Jika seseorang mempertanggungjawabkan jiwanya sendiri

maka ia berfungsi sebagai pemegang polis dan tertanggung. Jika

pemegang polis mempertanggung dirinya sendiri untuk waktu

tertentu, yaitu setelah jangka waktu tertentu ternyata ia masih hidup

maka pemegang polis dapat menjadi tertunjuk.

d. Tertunjuk

Merupakan pihak yang berhak atas penerimaan uang

pertanggungan berdasarkan perjanjian asuransi jiwa. Tertunjuk

sangat penting dalam perjanjian sebagai imbangan dari penanggung

yang harus membayar uang pertanggungan. Uang pertanggungan

baru dapat diterima jika waktu jangka waktu pertanggungan sudah

berakhir dan tertanggung masih hidup atau tertanggung meninggal

dunia pada waktu pertanggungan. Jika pemegang polis dan

tertanggung adalah orang sama maka tertunjuk menggantikan

kedudukannya sebagai pemegang polis. Jika terdapat lebih dari

lebih dari satu nama tertunjuk maka salah satu nama tertunjuk

maka salah satu diantaranya mereka akan bertindak atas nama yang

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 39: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

lainnya sebagai pemegag polis. Apabila dalam keadaan dimana

pemegang polis belum menunjuk siapa yang menjadi tertunjuk,

padahal ia sendiri berkedudukan sebagai tertanggung, kemudian ia

meninggal dunia maka para ahli waris dan orang-orang yang

memperoleh hak dari pemegang polis berhak atas uang

pertanggungan.

3.2. Polis Asuransi Jiwa Pada Umumnya

Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu

dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti yang sangat penting

karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti

tidak hanya bagi para pihak saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai

hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjajian bersangkutan64.

Asuransi dalam terminologi merupakan suatu perjanjian. Oleh karena itu

perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian

asuransi.

Pasal 255 KUHD menentukan bahwa semua asuransi haruslah dientuk

secara tertulis dengan suatu akta yang dinamakan polis.

Undang-undang menentukan bahwa untuk setiap polis harus memenuhi

syarat-syarat minimal diatur oleh Pasal 256 KUHD sebagai syarat-syarat umum.

Di samping syarat-syarat umum setiap jenis polis sesuai dengan jenis asuransi

masih harus ditambah dengan syarat-syarat khusus pula64. Pada dasarnya syarat-

syarat tersebut adalah berfungsi sebagai ketentuan umum. Kadang-kadang

dianggap belum/kurang cukup mengatur bagi para pihak dalam perjanjian-

perjanjian yang mereka adakan. Oleh karena itu selanjutnya timbullah suatu

kebutuhan untuk menambah syarat-syarat lain yang khusus berlaku bagi para

pihak pada suatu persetujuan tertentu yang bersangkutan. Syarat-syarat tambahan

yang sifatnya khusus tadi biasanya ditulis atau diketik pada bagian kertas polis

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 40: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

yang khusus disediakan untuk keperluan itu. Lambat laun dalam perjalanan waktu

dan sesuai dengan berkembangnya berbagai jenis risiko yang dapat timbul serta

karena kebutuhan proteksi yang makin luas, maka syarat khusus itu makin

merupakan suatu kebetulan. Oleh perusahaan-perusahaan pertanggungan syarat-

syarat tambahan itu kemuian dicetak pula. Sehingga apabila diperlukan kemudian

secara dapat dilekatkan pada polis-polis yang bersangkutan (tujuannya untuk

mempermudah pelaksanaan). Tentu saja syarat-syarat tambahan yang dilekatkan

pada polis hanyalah sah apabila dilandasi oleh klausula yang menyebutkan bahwa

terhadap pertanggungan yang bersangkutan, disamping syarat-syarat yang telah

disebut dalam polis juga berlaku syarat-syarat tambahan yang dilekatkan pada

kertas polis termaksud. Syarat tambahan ialah syarat-syarat lain yang belum diatur

dalam polis, tetapi oleh para pihak/satu pihak dianggap penting baginya. Jadi

klausua yang mengatur penting artinya64.

Isi polis yang dikeluaran oleh perusahaan asuransi masih harus

ditambahkan atau diubah untuk memenuhi berbagai kebutuhan antara lain

kemungkinan adanya perubahan nama, perubahan alamat, penambahan atau

pengurangan ahli waris, penambahan atau pengurangan jumlah pertanggungan

dan sebagainya.

Setiap perubahan atau penambahan isi polis, baik yang bersifat syarat atau

bersifat pemberitahuan harus dicatat pada polis yang bersangkutan, agar

perubahan ini dapat dianggap sah dan mengikat para pihak64.

Pada dasarnya setiap polis terdiri dari empat bagian, yaitu64:

a. Deklarasi

Merupakan suatu pernyataan yang dibuat oleh calon ertanggung, yang

pada dasarnya memberikan keterangan mengenai jati dirinya atau mengenai

segala sesuatu yang berhubungan dengan penutupan perjanjian asuransi.

Informasi atau keterangan dari calon tertanggung, pada dasarnya dapat

diberikan baik secara lisan maupun secara tertulis. Apabila secara tertulis,

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 41: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

dilaksanakan dengan cara pengisian daftar isian/form aplikasi yang sudah

disiapkan oleh penanggung. Aplikasi permohonan untuk menjadi nasabah juga

berisikan informasi yang dibutuhkan huna pengisian pada bagian deklarasi suatu

polis.

Blanko isian yang sudah diisi kemudian ditandatangani oleh calon

tertanggung sebagai pemohon. Aplikasi yang bersangkutan dapat disiapkan secara

rinci atau tidak di samping tertanggung pada jenis asuransi juga sangat

dipengaruhi oleh kebutuhan keterangan-keterangan penting yang perlu dan harus

diketahui oleh penanggung.

b. Klausula Pertanggungan

Klausula pertanggungan merupakan bagian yang utama dari suatu polis.

Pada bagian klausula ini dengan jelas diatur ketentuan mengenai risiko apa saja

dari polis yang bersangkutan, yang ditanggung oleh penanggung, syarat-syarat

yang diminta dan ruang lingkup tanggung jawab penanggung.

c. Pengecualian-pengecualian

Dalam setiap polis dengan kondisi apapun juga selalu terdapat bagian yang

mengandung Pasal-Pasal mengenai pengecualian. Dengan tegas polis menentukan

terhadap hal-hal apa saja terdapat pegecualian; apakah bencana atau bahanya atau

mengenai kerugian-kerugian tertentu yang dikecualikan dari perjanjian

pertanggungan yang dimaksud. Untuk ini seorang tertanggung harus tahu persis

apa saja yang dikecualikan dari penutupan polis termaksud.

d. Kondisi-kondisi

Pada bagian polis ini dijelaskan tentang apa yang menjadi hak dan

kewajiban para pihak baik penanggung atau tertanggung. Kondisi-kondisi

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 42: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

termaksud biasanya mengenai: pembayaran premi, kewajiban tertanggung bila

terkena suatu peristiwa, gugurnya hak ganti rugi, dan perselisihan.

Sedangkan menurut Pasal 304 KUHD polis pertanggungn jiwa memuat64:

• Hari ditutupnya pertanggungan

Hari dan tanggal ditutupnya pertanggungan perlu disebut dalam polis

untuk mengetahui kapan mulainya masa pertanggungan, dalam jangka

waktu mana risiko menjadi beban pertanggungan.

• Nama tertanggung

Kata tertanggung masih dipakai dalam undang-undang, sedangkan

dalam ilmu dan praktek telah mempergunakan kata

penutup/pengambil asuransi. Sebagai pihak dalam perjanjian

pertanggungan jiwa, penutup asuransi mempunyai kewajiban yang

kurang daripada tertanggung. Penutup asuransi hanya mempunyai

kewajiban untuk membayar premi dan berhak menerima polis,

sedangkan tertanggung disamping berhak untuk menerima polis, juga

berhak untuk menerima penggantian kerugian dari penanggung bila

terjadi klaim. Dalam pertanggungan jiwa nama orang yang berhak

menerima sejumlah uang tertentu dari penanggung disebut penikmat.

Nama penikmat ini seharusnya ditulis dalam pertanggungan jiwa.

• Badan tertanggung

Istilah yang diberikan kepada orang yang jiwanya dipertanggungkan.

• Masa pertanggungan

Yang dimaksud dengan masa pertanggunagn adalah suatu jangka

waktu tertentu, dalam jangka waktu mana, mulai dan berakhirnya

risiko menjadi beban penanggung, misalnya suatu pertanggungan jiwa

mulai pada tangga 1 Juni 193 sampai tanggal 1 Juni 1993, yakni masa

pertangungan selama 10 tahun.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009

Page 43: Digital_122490 PK I 2080.8169 Hubungan Hukum Literatur

• Jumlah pertanggungan

Jumlah pertanggungan adalah suatu jumlah uang tertentu yang

diperjanjikan pada saat ditutupnya pertanggungan sebagai jumlah

santunan yang harus dibayarkan oleh penanggung kepada penikmat,

bila terjadi klaim.

• Uang premi

Uang premi adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh

penutup asuransi kepada penanggung setiap bulan atau setiap jangka

waktu tertentu selama jalannya pertanggungan. Besarnya jumlah uang

premi itu tergantung dari jumlah pertanggungan yang dikehendaki

oleh penutup asuransi yang ditetapkan pada saat ditutupnya

pertanggungan.

Hubungan hukum..., Ilham Satria Pradana, FHUI, 2009