digital_125707-152.4 del h - hubungan antara - literatur

35
Universitas Indonesia II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Dalam bab ini dibahas tinjauan kepustakaan yang berkaitan dengan motivasi beprestasi serta juga dipaparkan mengenai prokrastinasi akademis. Kemudian beberapa teori juga disampaikan untuk menunjukkan hubungan antara keduanya. 2.1. Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Beberapa ahli mendefinisikan motivasi sebagai berikut : Menurut Morgan, King, Weisz & Schopler (1986: 268) motivasi adalah : a term reffering to the driving and pulling forces which result in persistent behavior directed toward certain goalsMenurut Santrock (1996:454) motivasi adalah : Why individual behave, think, and feel the way they do, with special consideration of the activation and direction of their behaviorDari definisi para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan penggerak yang menghasilkan kecenderungan berperilaku dengan satu atau lebih akibat. Dengan motivasi pula, perilaku seseorang dapat bertahan (Atkinson dalam Cofer & Appley, 1964). Young (dalam Cofer & Appley, 1964) menjelaskan konsep motivasi sebagai proses merangsang munculnya tindakan, mempertahankan aktivitas untuk terus berkembang, dan memiliki pola tertentu. Menurut Robbins (1986), motivasi merupakan kesediaan individu untuk melakukan usaha yang cukup besar (high levels of effort) untuk mencapai tujuan, yang dikondisikan oleh kemampuan usaha tersebut untuk memuaskan kebutuhan individu. Individu yang memiliki motivasi tinggi akan berusaha keras untuk mencapai tujuannya. Namun usaha keras tidak akan berhasil bila tidak diarahkan pada satu tujuan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Jung (dalam Misgiyanti, 1997). Jung menyatakan bahwa ada empat ciri perilaku orang yang memiliki motivasi tinggi, yaitu : Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Upload: ai-sha

Post on 28-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

UI

TRANSCRIPT

Page 1: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dalam bab ini dibahas tinjauan kepustakaan yang berkaitan dengan

motivasi beprestasi serta juga dipaparkan mengenai prokrastinasi akademis.

Kemudian beberapa teori juga disampaikan untuk menunjukkan hubungan antara

keduanya.

2.1. Motivasi Berprestasi

2.1.1. Pengertian Motivasi

Beberapa ahli mendefinisikan motivasi sebagai berikut :

Menurut Morgan, King, Weisz & Schopler (1986: 268) motivasi adalah :

”a term reffering to the driving and pulling forces which result in persistent

behavior directed toward certain goals”

Menurut Santrock (1996:454) motivasi adalah :

“Why individual behave, think, and feel the way they do, with special

consideration of the activation and direction of their behavior”

Dari definisi para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi

merupakan penggerak yang menghasilkan kecenderungan berperilaku dengan satu

atau lebih akibat. Dengan motivasi pula, perilaku seseorang dapat bertahan

(Atkinson dalam Cofer & Appley, 1964). Young (dalam Cofer & Appley, 1964)

menjelaskan konsep motivasi sebagai proses merangsang munculnya tindakan,

mempertahankan aktivitas untuk terus berkembang, dan memiliki pola tertentu.

Menurut Robbins (1986), motivasi merupakan kesediaan individu untuk

melakukan usaha yang cukup besar (high levels of effort) untuk mencapai tujuan,

yang dikondisikan oleh kemampuan usaha tersebut untuk memuaskan kebutuhan

individu.

Individu yang memiliki motivasi tinggi akan berusaha keras untuk

mencapai tujuannya. Namun usaha keras tidak akan berhasil bila tidak diarahkan

pada satu tujuan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Jung (dalam

Misgiyanti, 1997). Jung menyatakan bahwa ada empat ciri perilaku orang yang

memiliki motivasi tinggi, yaitu :

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 2: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

1) Perilaku memiliki tujuan yang jelas.

2) Adanya dorongan yang menggerakkan seseorang pada perilaku yang tepat.

3) Dorongan bersifat selektif, hanya pada perilaku - perilaku yang relevan

dengan kondisi seseorang pada saat tertentu.

4) Perilaku bertahan lama (berlangsung terus-menerus) meskipun banyak

menghadapi rintangan.

Lebih lanjut menurut Budiyanto (2005), motivasi pada individu melibatkan 3

komponen utama :

1) Pemberi daya pada tingkah laku manusia (energizer)

Usaha-usaha yang penuh semangat yang dilakukan individu yang mendorong

mereka untuk bertindak dengan cara yang tepat dan juga usaha-usaha dari

lingkungan yang memicu dorongan tersebut.

2) Pemberi arah pada tingkah laku manusia (directs)

Mengarah pada orientasi individu yang ditujukan pada tujuan, jadi motivasi

mengarahkan tingkah laku pada suatu tujuan.

3) Mempertahankan tingkah laku (sustaines)

Mengarah pada orientasi sistem dimana daya yang berasal dari individu dan

lingkuan memberikan umpan balik pada individu sehingga akan memperkuat

intensitas dorongan mereka ataupun arah tujuan mereka, atau sebaliknya.

2.1.2. Jenis-Jenis Motivasi

Monks (1999) telah membedakan motivasi menjadi dua, yakni :

a. Motivasi Instrinsik

Menurut Huffman, Vernoy dan Vernoy (1997:377)

“ The desire to perform an act for its own sake”

Motivasi merupakan aktivitas belajar yang dimulai dan diteruskan

berdasarkan penghayatan suatu kebutuhan dan dorongan yang secara mutlak

berkaitan dengan aktivitas belajar itu.

Motivasi ini merujuk kepada motivasi yang muncul dari diri individu,

dibandingkan rangsangan yang berasal dari luar seperti uang atau hadiah.

Motivasi ini bersumber dari rasa senang yang muncul dari tugas itu sendiri atau

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 3: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

dari rasa puas karena mampu menyelesaikan tugas tersebut atau pada saat

mengerjakan tugas tersebut. Individu merasa tertantang dalam mengerjakan tugas

tersebut sehingga menimbulkan perasaan senang dari dalam dan termotivasi untuk

mengerjakan.

Individu yang memiliki motivasi intrinsik bukan berarti tidak mencari

eksternal reward, melainkan eksternal reward yang diberikan tidak cukup untuk

membuat individu tersebut termotivasi (Woolfolk, 1993). Misalnya mendapat

hadiah ketika memperoleh kelulusan, tidak sebanding dengan rasa bangga dan

puas ketika menikmati kelulusan.

b. Motivasi Ekstrinsik

Menurut Huffman, Vernoy dan Vernoy (1997:377).

”The desire to perform an act because of extend reward or avoidance of

punishment”

Individu dengan motivasi ini tidak terlalu tertarik pada aktivitas itu sendiri,

melainkan hanya peduli pada apa yang diperoleh (Woolfolk, 1993). Berbanding

terbalik dengan motivasi intrinsik, individu dengan motivasi ini cenderung

memperoleh motivasi yang bersumber dari dorongan luar. Pengerjaan tugas

biasanya dilakukan berdasarkan pertimbangan eksternal reward.

Pada saat ini, konsep kebutuhan Murray banyak digunakan dalam

menjelaskan motivasi dan arah dari perilaku (dalam Schultz & Schultz, 1994).

Murray mengkategorikan kebutuhan menjadi dua kategori, yaitu kebutuhan

primer (primary needs) dan kebutuhan sekunder (secondary needs). Kebutuhan

primer adalah kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan dari keadaan internal tubuh

atau kebutuhan yang diperlukan untuk tetap bertahan hidup. Kebutuhan primer ini

adalah kebutuhan yang bersifat tidak dipelajari. Kebutuhan sekunder adalah

kebutuhan yang timbul dan berkembang setelah kebutuhan primer terpenuhi.

Contoh dari kebutuhan sekunder ini adalah kebutuhan untuk berprestasi (need of

achievement) dan kebutuhan untuk berafiliasi (need of affilitation)

Sejalan dengan pendapat Murray, McClelland dan Geen (dalam Feldman,

1992) menyebutkan bahwa di dalam diri manusia selain ada dorongan yang

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 4: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

bersifat biologis, terdapat juga dorongan lain yang sangat kuat dan tidak

memiliki dasar biologis yaitu kebutuhan untuk berprestasi. Kebutuhan untuk

berprestasi merupakan salah satu motif yang bersifat sosial karena motif ini

dipelajari dalam lingkungan dan melibatkan individu lain serta motif ini

merupakan suatu komponen penting dalam kepribadian yang membuat manusia

berbeda satu sama lain (Morgan, et al., 1986).

II.1.3. Pengertian Motivasi Berprestasi

Beberapa ahli mendefinisikan motivasi sebagai berikut :

Menurut Gage Dan Berliner (1992:61)

”A desire for interst in success in general or in a specific field fo activity”

Woolfolk ( 1993:586)

”Desire to excel, Impetus to strive for excellence and sucess”

Santrock (1996:454)

”The desire to accomplish some thing, to reach a standard of excellence and

to experd effort to excel”

Berdasarkan definisi motivasi berprestasi di atas, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa pengertian motivasi berprestasi adalah dorongan yang ada pada

individu untuk mengungguli, mendapatkan prestasi yang dihubungkan dengan

seperangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan kesuksesan atas kegiatan

yang dilakukannya.

Motivasi berprestasi menurut McClelland (dalam Robin, 1998) adalah

dorongan yang ada pada individu untuk mengungguli, berprestasi sehubungan

dengan seperangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan. Jadi,

bisa dikatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi adalah individu

yang berorientasi pada tugas, menyukai tugas-tugas yang menantang dimana

penampilan individu pada tugas tersebut dapat dievaluasi dengan berbagai cara,

bisa dengan membandingkan dengan penampilan individu lain atau dengan

standar tertentu (McClelland dalam Morgan, et al., 1986). Pintrich & Schunk

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 5: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

(1996) mengatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

biasanya memiliki usaha-usaha tertentu untuk mendukung tercapainya tujuan

2.1.4. Ciri-ciri Motivasi Berprestasi

Setiap individu yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya dapat dipastikan

memiliki motivasi berprestasi (Gellerman, 1984). Namun yang membedakan

antara individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dan yang rendah

adalah keinginan dirinya untuk dapat menyelesaikan sesuatu dengan lebih baik

(McClelland, dalam Robin, 1996).

Menurut beberapa ahli yaitu McClelland & Winter (dalam McClelland, 1987),

Morgan et al. (1987), Gage & Berliner (1992), Santrock (2001), Kingston &

White (dalam Setiawati, 1996), Parson et al. (2001), Atkinson (1964), Eggen &

Kauchak (1997), Ormrod (2003), Sawitri (1992) dan Pintrich & Schunk (1996),

individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dan rendah memiliki

karakteristik tertentu. Adapun karakteristik tersebut yaitu:

1. Pemilihan tugas

a. Tingkat kesulitan tugas

Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memilih tugas yang

memiliki tingkat kesulitan yang sedang daripada tugas yang memiliki

tingkat kesulitan yang tinggi atau rendah (Santrock, 2001; Kingston &

White, dalam Setiawati, 1996). Mereka memilih tugas yang realistik

dengan derajat kesukaran yang sedang dimana memungkinkan mereka

untuk berhasil (McClelland & Winter, dalam McClelland, 1987). Individu

yang memiliki motivasi berprestasi rendah biasanya sangat senang

mengerjakan tugas yang sangat mudah dimana mereka pasti dapat

menyelesaikannya (Gage & Berliner, 1992). Mereka mempunyai

kecenderungan untuk memilih tugas yang sulit dan menghindari tugas

yang memiliki taraf kesulitan sedang (Atkinson, 1964).

b. Tugas-tugas yang menantang

Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi senang dengan tugas-

tugas yang dapat menguji kemampuan yang dimilikinya (McClelland

dalam Morgan, et al., 1986) dengan kata lain tugas yang menantang

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 6: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

(Eggen & Kauchak, 1997; Parson et al., 2001) dan sebaliknya individu

dengan motivasi berprestasi rendah menghindari tugas-tugas yang

menantang (Eggen & Kauchak, 1997).

c. Tugas-tugas yang memperlihatkan keunggulan

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan tertarik dan memilih

tugas yang melibatkan persaingan dimana mereka berkesempatan untuk

bersaing dengan orang lain karena dalam situasi persaingan terdapat

kemungkinan untuk unggul dan melebihi orang lain. Mereka lebih

mencoba untuk mengerjakan dan menyelesaikan lebih banyak tugas

daripada individu dengan motivasi berprestasi rendah (McClelland, 1987).

2. Kebutuhan akan umpan balik

Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menerima dan

menginginkan umpan balik yang bersifat korektif (Eggen & Kauchak, 1997;

Parson et al., 2001). Mereka memperhatikan umpan balik konkrit dari

bagaimana cara mereka mengerjakan tugas dimana umpan balik ini

selanjutnya akan dipergunakan untuk memperbaiki prestasinya (McClelland &

Winter, dalam McClelland, 1987).

3. Ketangguhan dalam mengerjakan tugas

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi selalu berusaha mengatasi

rintangan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, terutama pada hal

yang bersifat prestatif, dan tidak mudah menyerah (Kingston & White, dalam

Setiawati, 1996). Selain itu, individu dengan motivasi berprestasi tinggi gigih

dalam mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka gigih

dalam mengejar waktu yang mereka tetapkan untuk mengerjakan tugas-tugas

yang sulit dan gigih untuk bekerja dengan baik di sekolah (Santrock, 2001;

Parson et al., 2001).

4. Pengambilan tanggung jawab

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi mempunyai kecenderungan untuk

menyelesaikan tugas-tugas yang dikerjakannya (McClelland, 1987). Mereka

bertanggung jawab terhadap permasalahan yang mereka hadapi (Morgan et

al., 1987). Karena itulah, mereka menghubungkan kesuksesan yang mereka

dapat dengan kemampuan yang mereka miliki dan menghubungkan kegagalan

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 7: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

dengan kurangnya usaha yang mereka keluarkan daripada akibat dari faktor

eksternal (Parson et al., 2001). Sedangkan individu dengan motivasi

berprestasi rendah biasanya menyia-nyiakan kesempatan untuk berhasil dan

selalu menghindari berhadapan dan mengerjakan tugas yang mempunyai

kemungkinan gagal dan berhasil yang seimbang (Gage & Berliner, 1992).

5. Penambahan usaha-usaha tertentu

Individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah biasanya melakukan

usaha-usaha yang kecil dalam menghadapi ujian atau tugas yang mereka

hadapi (Eggen & Kauchak, 1997). Individu dengan motivasi berprestasi tinggi

cenderung untuk memperbesar usahanya agar berhasil (Pintrich & Schunk,

1996). Mereka biasanya memiliki usaha-usaha tertentu yang mendukung

tercapainya tujuan (Pintrich & Schunk, 1996).

6. Prestasi yang diraih

Individu dengan motivasi berprestasi rendah mempunyai standar nilai yang

rendah, sedangkan individu dengan motivasi berprestasi tinggi memiliki

standar nilai yang tinggi (Eggen & Kauchak, 1997). Individu dengan motivasi

berprestasi tinggi mencapai kesuksesan dan mendapatkan nilai yang baik

(Parson et al., 2001).

7. Kepuasan dalam mengerjakan tugas

Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi merasa berhasil dan

merasa puas apabila telah mengerjakan tugas (McClelland & Winter, dalam

McClelland, 1987; Morgan et al., 1987). Mereka merasa puas apabila telah

melakukan tugas dengan sebaik mungkin yang secara umum didasarkan pada

keunggulan yang ditetapkan oleh dirinya sendiri (Kingston & White, dalam

Setiawati, 1996).

8. Kreatif dan Inovatif

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung mencari cara baru

untuk menyelesaikan tugas seefeisen dan seefektif mungkin. Tidak menyukai

pekerjaan rutin dengan pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu. Bila

dihadapkan pada tugas yang bersifat rutin, ia akan berusaha mencari cara lain

untuk menghindari rutinitas tersebut namun tetap dapat menyelesaikan

tugasnya (Sawitri, 1992). Individu dengan motivasi berprestasi tinggi juga

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 8: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

cenderung melakukan hal yang berbeda dari yang biasa dilakukan oleh orang

lain pada umumnya, lebih kreatif dan inovatif (Kingson & White, dalam

Setiawati, 1996). Dengan menghasilkan sesuatu yang berbeda dari orang lain,

mereka dapat memperlihatkan keunggulan yang dimilikinya.

9. Ketakutan akan kegagalan

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi memiliki harapan untuk sukses

yang lebih kuat daripada ketakutan akan kegagalan (Ormrod, 2003),

sedangkan individu dengan motivasi berprestasi rendah cenderung merasakan

ketakutan atau keresahan dalam sebuah situasi ujian.

Selain McClelland, ahli lain yang mengungkapkan ciri-ciri individu yang

memiliki motivasi berprestasi yang tinggi adalah Atkinson dan Birch. Atkinson

dan Birch (dalam Bernstein, Roy, Christopher, Edward, Srull, Thomas &

Wickens, 1988) mengatakan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki motivasi

berprestasi yang tinggi adalah :

1) Menetapkan tujuan yang menantang dan sulit namun realistik

2) Terus mengejar kesuksesan dan mau mengambil risiko pada suatu kegiatan.

3) Merasakan puas setelah mendapatkan kesuksesan, namun terus berusaha untuk

menjadi yang terbaik.

4) Tidak merasa terganggu oleh kegagalan yang diperolehnya.

Berdasarkan pendapat McClelland, Atkinson dan Birch maka dapat diambil

kesimpulan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi

adalah: Individu yang memiliki standar berprestasi, memiliki tanggung jawab

pribadi atas kegiatan yang dilakukannya. Individu tersebut menyukai umpan balik

sehingga dapat diketahui seberapa baik tugas yang telah dilakukannya serta tidak

menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan individu lain.

Kemudian lebih suka bekerja pada tugas yang tingkat kesulitannya menengah dan

realistis dalam pencapaian tujuannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi

tinggi juga bersifat inovatif dimana dalam melakukan suatu tugas dilakukan

dengan cara yang berbeda, efektif dan lebih baik dari pada sebelumnya, tidak

terganggu atas kegagalan yang diterimanya, dan puas setelah mengerjakan tugas-

tugasnya sebaik mungkin.

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 9: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

Sebaliknya, menurut Atkinson dan Feather (dalam Feldman, 1992)

ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah individu yang

termotivasi oleh ketakutan akan kegagalan. Dalam melakukan tugas, individu

tidak memikirkan bahwa dirinya akan mendapatkan kesuksesan, tetapi lebih

terfokus agar suatu tugas yang dilakukannya tidak mendapatkan kegagalan.

Sebagai hasilnya dalam mencari tugas, individu cenderung untuk mengambil

tugas yang mudah sehingga dirinya yakin akan terhindar dari kegagalan atau

mencari tugas yang mudah sehingga dirinya yakin akan terhindar dari kegagalan

atau mencari tugas yang sangat sulit sehingga kegagalan bukanlah hal yang

negatif karena hampir semua individu akan gagal melakukannya. Individu juga

tetap menghindari tugas yang tingkat kesulitannya menengah karena individu

mungkin akan gagal sementara yang lain berhasil (Atkinson & Feather, dalam

Fernald, 1999). Ditambahkan pula menurut Weiner (dalam Bernstein, 1988)

bahwa ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah adalah

individu yang apabila dirinya memperoleh kegagalan setelah melakukan tugas

maka individu tersebut cenderung untuk meninggalkan tugasnya dengan segera.

Berdasarkan hasil uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa

individu yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah adalah indvidu yang

dalam melakukan tugasnya lebih termotivasi oleh ketakutan akan kegagalan dari

pada ingin mendapatkan keberhasilan sehingga dirinya hanya memilih tugas-tugas

dengan taraf kesulitan yang rendah atau memilih tugas dengan taraf kesulitan

yang sangat tinggi, sehingga kegagalan adalah hal yang wajar. Dan juga apabila

individu memperoleh kegagalan maka dengan segera meninggalkan tugas yang

telah dilakukannya bukan memperbaiki kegagalan sehingga memperoleh

keberhasilan.

2.1.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi

Fernald & Fernald (1999) menungkapkan terdapat 4 faktor yang berpengaruh

terhadap motivasi berprestasi individu yaitu :

1) Keluarga dan Kebudayaan

Motivasi berprestasi mahasiswa dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial

seperti orang tua dan teman (Eastwood, 1983). Sedangkan McClelland (dalam

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 10: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

Schultz & Schultz, 1994) menyatakan bagaimana orang tua dalam mengasuh

anak mempunyai pengaruh terhadap motivasi berprestasi anak. Kemudian,

kebudayaan pada suatu negara seperti cerita rakyat atau hikayat-hikayat sering

mengandung tema-tema prestasi yang dapat membangkitkan motivasi

rakyatnya (Fernald & Fernald, 1999).

2) Konsep diri

Konsep diri merupakan bagaimana mahasiswa berpikir mengenai dirinya

sendiri. Apabila mahasiswa merasa mampu untuk melakukan sesuatu maka

mahasiswa tersebut akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut, sehingga

mempengaruhi perilakunya.

3) Jenis Kelamin

Prestasi yang tinggi biasanya diidentikkan dengan maskulinitas, sehingga

banyak para wanita belajar tidak maksimal khususnya jika wanita tersebut

berada di antara pria, yang menurut Stein & Bailey sering disebut sebagai

motivasi menghindari kesuksesan (fear of success) (Fernald & Fernald, 1999).

Morgan et al., (1986) menyatakan bahwa banyak perempuan dengan motivasi

berprestasi tinggi namun tidak menampilkan karakteristik berperilaku

layaknya laki-laki. Sprinthal, Sprinthal dan Oja (1994) mengatakan bahwa

perbedaan jenis kelamin pada pria dan wanita lebih disebabkan karena faktor

budaya bukan genetik. Dweck dan Nichollas (dalam Bernstein, et al., 1988)

mengatakan bahwa motivasi berprestasi pada wanita lebih berubah-ubah

dibandingkan dengan pria.

4) Pengakuan dan Prestasi

Individu akan berperilaku untuk bekerja lebih keras apabila dirinya merasa

dipedulikan atau diperhatikan oleh individu lain.

Selain itu dalam setiap motif individu dapat ditemukan dua struktur dasar

yang merupakan faktor-faktor yang menjadi sebab utama motivasi berprestasi

(Monks, 1999) yaitu :

1) Pengharapan akan sukses

Berarti bila ada sesuatu yang baik, yang menyenangkan, atau bernilai maka

individu juga ingin mendapatkan atau mencapainya.

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 11: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

2) Ketakutan akan gagal

Berarti bila sesuatu yang tidak enak, tidak menyenangkan atau sukar, maka

individu akan berusaha menghindarinya.

2.1.6. Jenis-Jenis Motivasi Berprestasi

Rohwer (1980) mengemukakan dua jenis motivasi berprestasi yaitu : (a)

motivasi intrinsik berasal dari dorongan untuk bertindak secara efisien dan

kebutuhan secara baik (excellence). Komponen motivasi berpestasi intrinsik

adalah sebagai berikut :

a. Dorongan Ingin tahu

Seseorang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba

setiap tugas yang menantang dan sulit, tetapi mampu untuk di selesaikan.

Sedangkan orang yang tidak mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan

enggan melakukannya. Dorongan untuk menyelesaikan tugas yang sulit ini

mencerminkan dorongan rasa ingin tahu. Dorongan rasa ingin tahu merupakan

aspek motivasi berprestasi intrinsik.

b. Tingkat Aspirasi

Tingkat aspirasi seseorang turut menentukan tingkat motivasi dalam belajar.

Level aspirasi merupakan perkiraan diri mengenai perasaan berhasil atau gagal

dalam melakukan sesuatu. Seseorang yang memerkirakan dirinya berhasil

melakukan suatu tujuan akan berusaha untuk mencapai tujuan tersebut.

Orientasi keberhasilan dan kegagalan amat penting bagi setiap mahasiswa,

karena mahasiswa memperkirakan hasil yang akan dicapainya (Gibson dan

Chander, 1998).

Selain motivasi intrinsik, juga terdapat (b) motivasi ekstrinsik, motivasi

ekstrinsik ini berkembang dalam kaitan dengan perilaku yang ditujukan untuk

kehidupan sosial.

Adapun ciri-ciri utama motivasi ekstrinsik adalah:

a. Faktor kecemasan dalam berprestasi

Kecemasan sering dikaitkan dengan 3 hal berikut (pengalaman kegagalan,

rangsangan fisik, dan keadaan kognisi) (Syam, 2004). Pengalaman gagal

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 12: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

sering mengakibatkan terjadinya tekanan emosi. Akibat kecemasan terhadap

fisik adalah keluarnya keringat yang berlebihan, gangguan fungsi pencernaan.

Sedangkan pengaruh kecemasan terhadap kognisi tampak pada rasa khawatir

terhadap kegagalan, menyalahkan diri sendiri.

b. Standar hasil yang ditetapkan oleh faktor luar.

Penetapan standar keberhasilan dalam motivasi ekstrinsik bukan dari dalam

dirinya, namun ditetapkan oleh orang lain. Individu terdorong berusaha

mencapai standar yang ditetapkan oleh orang lain karena takut kehilangan

perhatian orang lain (Syam, 2004).

c. Self Regulation Succes, karena pengaruh orang lain

Mengulangi tugas-tugas yang gagal dipecahkan, mengerjakan tugas yang lebih

sulit setelah berhasil memecahkan suatu tugas, usaha berhasil ini lebih

didorong oleh orang lain, bukan dirinya

2.2 Pengukuran Motivasi Berprestasi

Untuk mengukur tingkat motivasi berprestasi, dapat digunakan beberapa

macam cara. Menurut King, Morgan, Weisz dan Robinson (dalam Sawitri, 1992)

cara-cara yang digunakan antara lain sebagai berikut :

1) Tes proyeksi. Karakteristik dari tes ini adalah subyek diperlihatkan stimulus

berupa gambar yang ambigu, kemudian subyek diminta untuk

menginterpretasikan gambar-gambar tersebut. Dari interpretasi atau respon

yang diperlihatkan maka dapat dianalisa tingkat motivasi berprestasinya.

2) Pencil and paper questionnaire. Pada tes ini subyek diberikan satu set

kuesioner yang berisikan pertanyaan ataupun pernyataan tertentu untuk

dijawab. Isi dari kuesioner tersebut berhubungan dengan apa yang akan

dilakukan individu atau apa yang lebih suka dilakukan individu dalam situasi

tertentu. Hasil akhir dari tes ini berupa skor, yang dapat menunjukkan tingkat

motivasi berprestasi subyek.

3) Observasi tingkah laku atau tes situasional. Bentuk dari tes ini adalah subyek

berada pada sebuah situasi yang terkondisi. Kemudian peneliti melakukan

pengamatan (observasi) terhadap perilaku yang muncul, dan dapat terlihat

apakah subyek dapat berperilaku sesuai dengan standar yang diminta atau

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 13: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

tidak, dan kesesuaian perilaku ini mengacu pada tingkat motivasi

berprestasinya.

4) Analisa karya seni. Pada tes ini subyek diminta untuk membuat suatu karya

seni yang telah ditentukan oleh peneliti. Dari karya seni yang dibuat dan

diperlihatkan oleh subyek, peneliti dapat menginterpretasi dan menganalisis

tingkat motivasi berprestasi subyek berdasarkan norma-norma tertentu.

Pada penelitian ini bentuk alat ukur yang dipergunakan adalah pencil and

paper questionnaire. Karena selain lebih hemat waktu dan biaya, administrasinya

pun lebih mudah dibandingkan dengan cara-cara pengukuran motivasi berprestasi

yang lain. Kuesioner untuk mengukur motivasi berprestasi dalam penelitian ini

berbentuk skala tipe Likert dan item-itemnya pun disesuaikan dengan konteks

kehidupan akademis mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia. Adapun

dimensi-dimensi dari motivasi berprestasi yang diukur adalah (pemilihan tugas,

kebutuhan akan umpan balik, ketangguhan dalam mengerjakan tugas,

pengambilan tanggung jawab, penambahan usaha-usaha tertentu, prestasi yang

diraih, kepuasan dalam mengerjakan tugas, kreatif dan inovatif, dan ketakutan

akan kegagalan).

2.3 Prokrastinasi Akademis

2.3.1. Pengertian Umum

Prokrastinasi pada dasarnya dapat terjadi di setiap aktivitas kehidupan

manusia. Beberapa individu menganggap prokrastinasi sebagai suatu masalah

yang sulit dihilangkan, namun bagi individu yang lain, prokrastinasi dapat

digunakan sebagai suatu cara untuk mengerjakan sesuatu. Untuk memahami

prokrastinasi secara umum, berikut terdapat beberapa definisi prokrastinasi dari

para ahli, antara lain :

Procrastination adalah :

“…as the act of needlessly delaying task to the point of experiencing subjectif

discomfort”

(Solomon & Rothblum, 1984)

“Irrational tendency to delaying thing that should be done”

(Lay, 1986)

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 14: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

“To voluntarily delay an intended course of action despite expecting to be

worse off for the delay”

(Steel, 2005)

Dari definisi yang dijabarkan oleh para ahli tersebut, dapat diambil

kesimpulan bahwa prokrastinasi secara umum merupakan tingkah laku menunda

yang dilakukan oleh individu terhadap sesuatu aktivitas yang harus dilakukannya,

tingkah laku menunda tersebut dapat berupa penundaan dalam memulai atau

untuk menyelesaikan aktivitas

Penundaan yang dilakukan sebenarnya tidak perlu terjadi. Melalui hal

tersebut, mereka mencoba mengatakan bahwa prokrastinasi adalah tingkahlaku

yang dilakukan untuk menghindari sesuatu, dan bukan tingkahlaku yang terjadi

dikarenakan tidak tersedianya waktu. Penundaan ini telah menjadi suatu kebiasaan

yang dilakukan individu tersebut. Kebiasaan tesebut dapat berarti ada faktor-

faktor dalam diri individu yang mendorongnya untuk melakukan prokrastinasi.

Hal ini menunjukkan adanya konsistensi dari individu untuk melakukan

prokratinasi atas alasan tertentu.

Berdasarkan alasan-alasan tertentu tersebut, Harriott dan Ferrari (1996)

membagi prokrastinasi menjadi dua bagian yaitu :

a) functional procrastination, yaitu penundaan mengerjakan tugas yang

bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dan akurat.

b) disfunctional procrastination, yaitu penundaan yang tidak bertujuan, berakibat

jelek dan menimbulkan masalah.

Dari disfunctional procrastination, Ferarri (1996) membagi kembali menjadi

dua bentuk prokrastinasi berdasarkan tujuan individu melakukan prokrastinasi

yaitu decisional procrastination dan avoidance procrastination.

a) Decisional procrastination adalah suatu penundaan dalam mengambil

keputusan. Bentuk prokrastinasi ini merupakan sebuah anteseden kognitif

dalam menunda untuk mulai melakukan suatu kerja dalam menghadapi situasi

yang dipersepsikan penuh stress (Ferrari, 1996). Jenis prokrastinasi ini terjadi

akibat kegagalan dalam mengindentifikasikan tugas, yang kemudian

menimbulkan konflik dalam diri individu, sehingga akhirnya seorang

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 15: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

menunda untuk memutuskan masalah. Decisional procrastination

berhubungan dengan kelupaan, kegagalan proses kognitif, akan tetapi tidak

berkaitan dengan kurangnya tingkat intelegensi seseorang (Ferrari, 1996).

b) Avoidance procrastination atau Behavioral procrastination adalah suatu

penundaan dalam perilaku yang terlihat. Penundaan dilakukan sebagai suatu

cara untuk menghindari tugas yang dirasa tidak menyenangkan dan sulit untuk

dilakukan. Prokrastinasi dilakukan untuk menghindari kegagalan dalam

menyelesaikan pekerjaan yang akan datang. Avoidance procrastination

berhubungan dengan tipe self presentation, keinginan untuk menjauhkan diri

dari tugas yang menantang, dan impulsiveness (Ferrari, 1996).

Dengan demikian, dari berbagai pendapat para ahli di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa pengertian prokrastinasi dapat didefinisikan sebagai suatu

penundaan yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang, dengan melakukan

aktivitas lain yang tidak diperlukan dalam pengerjaan tugas. Prokrastinasi dapat

dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan alasan dari penundaan, yaitu

prokrastinasi yang disfungsional, yang merupakan penundaan yang tidak

bertujuan dan merugikan dan functional procrastination, yaitu penundaan yang

disertai alasan yang kuat, mempunyai tujuan pasti sehingga tidak merugikan,

bahkan berguna untuk melakukan suatu upaya konstruktif agar suatu tugas dapat

diselesaikan dengan baik. Pada akhirnya dalam penelitian ini, pengertian

prokrastinasi dibatasi sebagai suatu penundaan yang dilakukan secara sengaja dan

berulang-ulang, dengan melakukan aktivitas lain yang tidak diperlukan dalam

pengerjaan tugas, dengan jenis disfunctional procrastination, yaitu penundaan

yang dilakukan pada tugas yang penting, penundaan tersebut tidak bertujuan, dan

bisa menimbulkan akibat yang negatif baik yang kategori decisional

procrastination atau avoidance procrastination.

Dalam ruang lingkup akademis, menurut Lee (2005) prokrastinasi adalah

salah satu perilaku yang sering muncul pada area akademis, dan mungkin

berhubungan dengan masalah yang dihadapi oleh banyak mahasiswa. Solomon

dan Rothblum (1984) menunjukkan bahwa mahasiswa yang sering melakukan

prokrastinasi percaya bahwa kecenderungan mereka untuk prokrastinasi secara

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 16: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

signifikan berdampak pada akademis mereka, kemampuan untuk menguasai

materi kuliah, dan kualitas hidup mereka. Solomon et al., (1986) juga

mengusulkan bahwa prokrastinasi mungkin merugikan unjuk kerja akademis,

kemungkinan mengarah pada pengunduran diri dan rendahnya nilai akademis.

Wesley (1994) mendukung penemuan ini dengan menunjukkan bahwa

prokrastinasi merupakan prediktor negatif dari nilai rata-rata mahasiswa.

Oleh karena banyaknya masalah prokrastinasi yang timbul dalam

lingkungan akademis, maka dalam penelitian ini akan lebih berfokus prokrastinasi

yang terjadi dalam lingkungan akademis, atau dapat disebut dengan prokrastinasi

akademis. Lingkungan akademis merupakan salah satu area kehidupan manusia

yang menjadi fokus penelitian, prokrastinasi, selain lingkungan kerja (McCown &

Roberts, 1994 dalam Pychyl, 2001). Pemahaman mengenai prokrastinasi

akademis secara garis besar tidak berbeda jauh dengan pemahaman prokrastinasi

yang telah disampaikan sebelumnya. Berikut adalah beberapa definisi

prokrastinasi akademis yang dijabarkan oleh beberapa ahli, antara lain.

Academic procrastination adalah :

“… the delay ini the start of task and/or the failure to complete the task at

hand”

(Ferrari & Scher, 2000)

“… the tendency to delay or avoid work of school assignments and studying”

(Milgram, Batori & Mowrer, 1993, dalam Pychyl, 2001).

“delaying task that correlate with study, work or finished academic

assignments”

(Rothblum, Solomon, & Murakami, 1986).

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, prokrastinasi

akademis menitikberatkan pada penundaan tugas-tugas akademis termasuk

kegiatan belajar. Adapun pengertian dari prokrastinasi itu sendiri tetap sebagai

tingkah laku untuk menunda atau menghindar, yang merupakan tingkah laku yang

dilakukan individu dan juga disebutkan telah berkembang menjadi kebiasaan.

Sehingga dengan kata lain, prokrastinasi akademis merupakan tingkah laku

menunda untuk memulai atau menyelesaikan suatu tugas akademis.

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 17: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

Prokrastinasi umumnya terjadi pada lingkungan akademis. Ellis dan

Knaus (1977) memperkirakan bahwa 95% mahasiswa Amerika terlibat

prokrastinasi. Dalam survey Solomon dan Rothblum (1984), 50% dari siswa

melakukan prokrastinasi pada tugas akademis, dan 38% siswa diperkirakan

memiliki kecenderungan prokrastinasi. Prokrastinasi juga terjadi pada tugas

tertulis dibandingkan ujian semester atau tugas mingguan (Vallerand, 1995).

Prokrastinasi akademis telah diketahui sebagai suatu masalah bagi para

mahasiswa di perguruan tinggi (Ellis & Knaus, 1979; Hill, Hill, Chabot, & Barall,

1978; Solomon & Rothblum, 1984), dan masalah ini menjadi pemikiran utama

bagi banyak penelitian dibandingkan penelitian mengenai prokrastinasi di bidang

lainnya seperti decisional, neurotic dan life routine procrastination (Milgram,

Gehram, & Keinan, 1992; Milgram & Toubiana, 1999).

Berdasarkan uraian diatas, maka definisi prokrastinasi akademis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah tingkah laku menunda yang dilakukan oleh

mahasiswa dalam mengerjakan ataupun menyelesaikan tugas-tugas akademis dan

melibatkan tingkat motivasi tertentu.

2.3.2. Teori-Teori Prokrastinasi

Dalam subbab ini akan dibahas mengenai perpekstif teoritis mengenai

prokrastinasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Antara lain :

A. Teori Magnetik

Bernard (dalam Yulistia, 2004) menggunakan istilah magnetik untuk

menandakan adanya suatu ciri yang khas dari tingkah laku prokrastinasi. Hal ini

dapat diilustrasikan sebagai gaya tarik-menarik antar magnet. Individu yang

seharusnya mengerjakan tugas, tiba-tiba mendapat gaya tarik dari magnet tertentu

(dalam hal ini aktivitas lain) sehingga ia menjauhi tugas yang seharusnya

dikerjakan dan justru mengikuti aktivitas lain yang tidak berhubungan sehingga

pada akhirnya tugas utamanya tidak terselesaikan.

Bernard (1991) mengemukakan sepuluh faktor yang bertindak sebagai magnet

yang mempengaruhi munculnya prokrastinasi. Faktor-faktor tersebut adalah (1)

kecemasan, (2) self-depreciation, (3) toleransi yang rendah terhadap tugas (low

discomfort tolerance), (4) mencari kesenangan (pleasure seeking), (5)

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 18: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

disorganisasi waktu, (6) disorganisasi lingkungan, (7) pendekatan yang

kurang baik terhadap tugas (poor task approach), (8) perilaku asertif yang rendah,

(9) antipati terhadap individu lain, serta (10) stres dan kelelahan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya prokrastinasi berbeda-beda

untuk tiap individu. Individu dapat melakukan prokrastinasi satu faktor saja

ataupun lebih dari satu faktor. Faktor manapun yang dimiliki individu, faktor

tersebut menarik individu untuk menjauhi tugas yang dituju dan disaat bersamaan

mendatangi tugas lain yang lebih menyenangkan. Hal ini membuat tugas yang

hendak dikerjakan pada awalnya menjadi tertunda, dan terjadilah prokrastinasi.

Bernard (1991) juga mengatakan bahwa ada individu tertentu yang

memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan prokrastinasi. Hal ini

menurutnya disebabkan oleh ada suatu karakteristik kepribadian tertentu yang

dimiliki individu tersebut yang mendorongnya untuk melakukan prokrastinasi.

B. Teori Ketakutan Dasar

Burka & Yuen (1983) mengatakan bahwa prokrastinasi digunakan sebagai

strategi untuk melindungi dari ketakutan-ketakutan yang mendasar akan ancaman-

ancaman. Adapun ketakutan dasar (basic fears) tersebut terdiri dari lima jenis,

yaitu fear of failure, fear of success, fear of losing the battle, fear of attachment,

dan fear of separation. Adapun jenis ketakutan dasar yang dimiliki individu, akan

membuatnya merasa “aman” dengan menunda hal-hal tersebut. Prokrastinasi

menjadi salah satu cara yang dianggap individu tersebut cukup ampuh untuk

menjaga harga dirinya. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai ketakutan

dasar tersebut.

a) Fear of Failure

Fear of Failure dapat diartikan sebagai adanya kekhawatiran yang berlebihan

terhadap kemungkinan terjadinya kegagalan. Faktor ini melibatkan adanya

faktor kognitif seperti berpikir bahwa tidak melakukan sesuatu adalah lebih

baik (lebih tidak menyakitkan) daripada melakukan dan gagal; adanya harapan

yang terlalu tinggi pada dirinya sehingga khawatir akan kemungkinan tidak

dapat memenuhi harapan tersebut, dan lebih baik tidak melakukan daripada

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 19: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

membiarkan individu lain tahu akan kekurangan dirinya (Burka & Yuen,

1983).

b) Fear of success

Berlawanan dengan faktor sebelumnya, fear of success adalah adanya

ketakutan akan akibat yang mungkin didapat dari keberhasilan yang dicapai.

Faktor ini melibatkan hal-hal seperti khawatir bahwa sukses akan

mendatangkan tuntutan yang lebih besar, khawatir akan dijauhi teman-teman

apabila berhasil ataupun akan menyakiti individu lain, merasa tidak pantas

mendapatkan keberhasilan, menganggap dirinya sempurna namun merasa

bersalah akan hal itu.

c) Fear of losing the battle

Fear of losing the battle dapat diartikan sebagai adanya suatu kekhawatiran

yang berlebihan akan kehilangan kontrol terhadap dirinya. Hal-hal yang

ditentukan oleh individu lain (seperti batas waktu, aturan-aturan) dilihat

sebagai suatu usaha menghilangkan kontrol tersebut.

d) Fear of attachment

Untuk kedua faktor yang terakhir ini lebih berkaitan dengan comfort zone

(Burka & Yuen, 1983). Fear of attachment menunjukkan adanya

kekhawatiran akan menjadi terkungkung, terbatasi apabila individu

membiarkan individu lain menjalin hubungan yang dekat dengannya.

e) Fear of separation

Fear of separation adalah dimana individu merasa terlalu khawatir akan

menjadi sendirian (Burka & Yuen, 1983). Prokrastinasi memberikan indikasi

pada individu lain bahwa individu membutuhkan bantuan. Mahasiswa,

misalnya, menunda kelulusan karena tidak ingin meninggalkan statusnya dan

mempertahankan “perlindungan” dari fakultas dan dosen, atau sulit membuat

keputusan walau sudah mendapatkan banyak saran dan informasi.

Selanjutnya secara khusus mengenai fear of failure, terdapat beberapa

penelitian lain yang menunjukkan hubungannya dengan prokrastinasi, terutama

dalam hal ini prokrastinasi akademis. Solomon & Rothblum (1984) menemukan

bahwa salah satu alasan utama mahasiswa melakukan prokrastinasi adalah

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 20: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

dikarenakan adanya fear of failure selain juga faktor fear of aversiveness.

Pada kedua faktor tersebut ada perbedaan individual yang muncul, yaitu pada

mahasiswa yang mempunyai fear of failure terdapat kepercayaan diri yang rendah

disertai dengan kecemasan yang tinggi. Selain itu, Entwistle (1989, dalam

Suardhika 1990) yang mengatakan bahwa pada mahasiswa yang memiliki

kecenderungan fear of failure yang tinggi akan menggunakan pendekatan surface

dalam belajar, yang berarti hanya memfokuskan diri pada menghafal materi yang

diasumsikan akan diuji oleh dosen. Sementara pendekatan belajar yang

diharapkan untuk dikembangkan mahasiswa adalah mendapatkan pemahaman

yang mendalam dan menyeluruh akan materi yang disampaikan.

Hal lain yang berhubungan dengan fear of failure adalah perfeksionisme

(Burka & Yuen, 1983). Pada diri individu ada harapan yang besar terhadap

dirinya, sehingga menuntut dirinya untuk selalu sempurna, tidak membuat

kesalahan. Prokrastinasi dapat dilakukan untk menghindari kenyataan bahwa

individu mungkin tidak selalu sempurna. Sehubungan dengan itu, Rusmaladi

(1999) melakukan penelitian untuk melihat gambaran prokrastinasi di lingkungan

akademis. Ia menemukan bahwa pada sebagian besar mahasiswa yang melakukan

prokrastinasi memiliki kecenderungan perfeksionisme dalam diri mereka.

2.3.3 Penyebab Prokrastinasi

Penyebab dari prokrastinasi cukup kompleks dan sejauh ini belum

dipahami pahami sepenuhnya. Namun, teori yang dikembangkan oleh Steel

(2007) mencoba untuk merangkum beberapa faktor penyebab dari prokrastinasi

yaitu :

a) Seberapa pentingnya tugas tersebut bagi individu

b) Keinginan atau ketertarikan tugas tersebut bagi individu

c) Keinginan seseorang untuk menunda

d) Waktu yang tersedia dalam mengerjakan tugas

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 21: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

Berikut adalah ilustrasi dari penyebab prokrastinasi.

Gambar 2.1 Penyebab prokrastinasi

Dari keempat faktor tersebut, menurut Steel (2007) yang paling berperan

dalam mempengaruhi perilaku prokrastinasi adalah faktor keinginan seseorang

untuk menunda. Faktor ini dijabarkan oleh Steel sebagai berikut :

Gambar 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan untuk melakukan

prokrastinasi

Berikut adalah penjelasan dari setiap Faktor :

a) Aversion to the task

Beberapa prokrastinasi akademis berhubungan dengan penghindaran diri

terhadap tugas yang tidak menyenangkan. Mahasiswa bisa saja memiliki

kemampuan untuk mengerjakan, namun tidak berkeinginan untuk segera

memulai atau menyelesaikan tugas akademis tersebut. Karena mahasiswa

tersebut menyadari akan adanya ancaman dari tugas tersebut (seperti akan

menyita waktu, mengeluarkan biaya yang besar untuk mencari data, dll).

b) Worry about failure

Beberapa mahasiswa merasa cemas dengan hasil yang akan diperoleh setelah

mengerjakan tugas akademis. Mereka ingin mendapatkan nilai yang sempurna

Aversion to the task

Worry about failure

Depresion or mood

related

Rebellion

Time management

issue

Impulsiveness

Enjoy working under

pressure

Environmental factors

[ PROKRASTINASI

Tinggi

Pentingnya tugas bagi

individu

Ketertarikan tugas bagi

Rendah

Keinginan untuk

menunda

Waktu yang tersedia

Rendah

Pentingnya tugas bagi

individu

Ketertarikan tugas bagi

Tinggi

Keinginan untuk

menunda

Waktu yang tersedia

Rendah dalam

mengalami

prokrastinasi

Tinggi dalam

mengalami

prokrastinasi

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 22: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

dan tidak menginginkan adanya kecacatan dari tugas yang dikerjakan.

Sehingga pada akhirnya mereka menunda untuk menyelesaikan karena selalu

muncul kekhawatiran akan kesempurnaan tugasnya.

c) Depresion or mood related

Faktor ini berhubungan dengan mood, atau dalam beberapa kasus berkaitan

dengan depresi yang dialami pelaku prokrastinasi. Dalam kaitannya dengan

mood, individu akan menunda mengerjakan atau menyelesaikan tugas jika

mood-nya belum positif. Jadi selama mood-nya negatif, mereka akan

melakukan prokrastinasi.

d) Rebellion

Merupakan perlawanan atau respon terhadap suatu tugas. Karena tugas

tersebut dirasa tidak adil dalam proporsi, tidak penting dan terlalu banyak

diberikan di satu waktu. Sehingga individu akan melakukan prokrastinasi

sebagai bentuk perlawanan terhadap tugas yang diterimanya.

e) Impulsiveness

Blatt dan Quinn (1967) mengatakan bahwa individu yang impulsif akan

berkecenderungan untuk melakukan prokrastinasi, selama mereka sibuk

dengan yang suatu kejadian pada saat ini, dibandingkan apa yang terjadi di

masa depan. Sehingga perhatian mereka mudah beralih pada apa yang mereka

lihat dari pada tugas yang dikerjakan. Dengan kata lain, individu yang

impulsif mudah sekali ter-distract, mereka akan sulit untuk memfokuskan diri,

yang pada akhirnya berimbas pada tidak selesainya tugas yang dikerjakan.

f) Time management issue

Faktor ini sangat sesuai pada konteks akademis. Misalnya, seorang mahasiswa

yang baru saja memulai aktivitas akademis setelah liburan panjang. Mereka

akan terbiasa dengan aturan waktu yang lebih longgar (tidak ada deadline

tugas) sehingga mempersepsikan waktu dengan santai. Masalah muncul ketika

mereka mendapat suatu tugas akademis, mereka mengalami kesulitan dalam

mengerjakan tugas tersebut (menunda menyelesaikan) karena konteks waktu

mereka lebih longgar, sedangkan tugas tersebut memiliki tenggat waktu untuk

dikumpulkan.

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 23: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

g) Environmental

Pada penelitian Onwuegbuzie dan Jiao (2000) menunjukkan bahwa individu

yang berada pada suatu lingkungan tertentu akan mempengaruhi

kecenderungan prokrastinasinya. Misalnya, ketika berada di dalam

perpustakaan beberapa individu cenderung tidak fokus dengan tugasnya

(mencari teori), namun justru tertarik dengan buku-buku lain yang tidak

berkaitan dengan tugasnya tersebut.

h) Enjoy working under pressure

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat individu yang merasa

senang dan tertantang ketika bekerja dalam tekanan, dalam hal ini adalah

bekerja menjelang batas akhir pengumpulan tugas. Mereka merasa

mendapatkan ide-ide kreatif jika berada dalam tekanan (Tice & Baumister,

1997)

Sedangkan menurut Peterson (1996) prokrastinasi dapat disebabkan oleh

pengalaman hidup individu dari masa anak-anak hingga masa dewasa yang terjadi

berulang-ulang. Siklus prokrastinasi menurut Peterson (1996) antara lain:

a) Sumber penyebab prokrastinasi adalah rasa malu yang tidak disadari, yang

bersumber dari pengalaman awal di selama masa anak-anak. Pengalaman

tersebut diperoleh baik berupa fisiologis maupun psikologis, antara lain seperti

kondisi fisik yang tidak sempurna, pola asuh orang tua yang salah, pengabaian

anak, serta tindak kekerasan termasuk fisik, dan seksual.

b) Rasa malu yang tidak bisa diatasi tersebut akan menimbulkan gejala-gejala

“fear” suatu rasa takut yang dimbulkan oleh pemikirannya sendiri. Rasa takut

tersebut dapat berupa takut akan kesunyian, takut akan penolakan, takut akan

kegagalan (Fear of failure), takut akan kesuksesan (Fear of Success) dan

menimbulkan kecemasan, depresi, dependable, ketidakberdayaan serta rasa

marah terhadap figur otoritas.

c) Rasa takut yang muncul tersebut dapat mempengaruhi kemampuan individu

untuk menilai dirinya (mampu) sehingga dapat menimbulkan perilaku

prokrastinasi.

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 24: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

d) Hasil akhir dari siklus prokrastinasi adalah kekurangan spiritiual dalam

kehidupan, karena individu tidak bisa mempelajari pengalaman dalam

kehidupan secara maksimal.

2.3.4 Tipe-Tipe prokrastinasi

Menurut Peterson (1996) perilaku prokrastinasi dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:

a) Prokrastinasi tingkat rendah. Individu dengan tipe ini memiliki kecenderungan

untuk merasa gelisah ketika melakukan penundaan terhadap pekerjaan yang

akan dilaksanakan atau penundaan dalam membuat keputusan. Namun

penundaan yang dilakukan tidak mempengaruhi kualitas pekerjaannya (lebih

mengutamakan hasil akhir dibandingkan proses).

b) Prokrastiansi tingkat sedang. Karakteristik individu dalam tipe ini dicirikan

dengan kualitas pekerjaan yang buruk, penundaan yang dilakukan benar-benar

mempengaruhi hasil akhir pekerjaannya. Biasanya individu ini ditandai

dengan nilai akademis yang rendah dan sering kali mendapat stigma negatif

dari para pengajar (pemalas). Namun prokrastinasi yang dilakukannya tidak

mempengaruhi kualitas hidupnya secara keseluruhan.

c) Prokrastinasi tingkat tinggi. Individu dengan tipe prokrastinasi ini dapat

disebut dengan prokrastinator yang kronis. Dampak penundaan yang

dilakukan tidak hanya mempengaruhi kualitas kerja melainkan juga kualitas

hidupnya. Pola hidup yang tidak teratur, drop out, serta relationship yang

rendah merupakan karakteristik individu dalam tipe ini.

Sedangkan menurut Fiore dan Solomon prokrastinator dapat dibagi menjadi 2

tipe, yaitu :

a) The tense-afraid type of Procrastinator

Tipe ini sering merasakan baik itu tekanan untuk berhasil dan rasa takut akan

kegagalan. Tipe tense afraid dijabarkan oleh Fiore (dalam Van Wyk, 2004)

sebagai :

• Merasakan kelelahan karena tekanan

• Tidak realistik terhadap waktu

• Tidak merasa yakin dengan tujuan yang akan dicapai

• Tidak puas dengan hasil yang diperoleh

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 25: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

• Merasa bimbang

• Menyalahkan situasi atau orang lain jika terjadi kesalahan

• Tidak percaya diri, dan

• Merupakan Perfeksionis.

Tipe ini berpikir bahwa usahanya ditentukan oleh apa yang dilakukannya,

yang mencerminkan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, tipe ini akan

mengalami stres berlebih dan bekerja hingga terlepas dari tekanan dengan

mencoba untuk bersantai, namun sayangnya justru menimbulkan rasa

bersalah.

b) The relaxed type of Procrastinator

Tipe prokrastinator yang mencoba menghindari sebanyak mungkin tekanan

dengan menunda untuk memulai mengerjakan tugas, dan melakukan aktivitas

yang “menyenangkan” atau aktivitas lainnya yang tidak berkaitan dengan

tugas tersebut. Jika mekanisme pertahanan mereka bekerja dengan efektif,

secara aktual mereka terlihat “bahagia” untuk beberapa saat. Individu dengan

tipe prokrastinator ini lebih menyukai aktivitas yang berhubungan dengan

orang lain (untuk memenuhi kebutuhan emosinya). Misalnya mendapat

perhatian dari peer, kekasih atau orang tua (Solomon & Rothblum, 1984).

2.3.5. Mahasiswa dan prokrastinasi akademis

Dalam konteks akademis, prokrastinasi terlihat sangat mempengaruhi

unjuk kerja mahasiswa. Melalui self-reporting, diketahui 80-95% terlibat dalam

prokrastinasi dalam beberapa tugas akademis (Ellis & Knaus, 1977; O’Brien,

2002), dan hampir 50 persen melakukan prokrastinasi akademis secara konsisten,

dan mengarah pada timbulnya masalah (Day, Mensink, & O’Sullivan, 2000;

Haycock, 1993; Onwuegbuzie, 2000).

Pada mahasiswa, prokrastinasi akademis di asosiasikan dengan rendahnya

nilai akademis dan drop out, penundaan belajar, and penundaan dalam

menyelesaikan tugas kuliah (Beswick, Rothblum, & Mann, 1988; Lay & Burns,

1991; Rothblum et al., 1986). Prokrastinasi akademis dapat didefinisikan sebagai

kecenderungan irasional untuk menunda dalam memulai atau menyelesaikan

suatu tugas akademis (Sene´cal, Julien & Guay, 2003).

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 26: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

Mahasiswa mungkin memiliki keinginan untuk melakukan aktivitas

akademis sesuai harapannya atau waktu yang ditentukan, namun kehilangan

motivasi untuk melakukannya (Ferrari, 1998; Lay, 1986, 1995). Prokrastinasi

akademis diasosiasikan dengan rendahnya unjuk kerja akademis (Beswick et al.,

1988; Tice & Baumeister, 1997), depression (Sadler & Sacks, 1993), kesedihan

(Lay, 1995), rendahnya ketepatan waktu, kesulitan dalam mengikuti arahan (Lay,

1986; Rothblum, et al., 1986; Solomon & Rothblum, 1984), dan meningkatnya

masalah kesehatan seiring dengan mendekatnya tenggat waktu tugas akademis

(Tice & Baumeister, 1997). Beberapa alasan mahasiswa untuk melakukan

prokrastinasi antara lain berkaitan dengan task aversiveness dan fear of failure

(Solomon & Rothblum, 1984).

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa prokrastinasi akademis dapat

bermula dari rendahnya usaha pada tugas (Sadler & Buley,1999), rendahnya self-

effifacy (Haycock et al., 1998), rendahnya task capability (Milgram, Marshevsky,

& Sadeh, 1995), tingginya kecemasan unjuk kerja (Ferrari, 1991a; Flett, Hewitt,

& Martin, 1995; Milgram & Toubiana, 1999; Solomon & Rothblum, 1984), dan

non self-determined motivasi akademis (Sene´cal et al., 1995). Sebagai tambahan,

prokrastinasi akademis dapat dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian seperti

sebagai sifat prokrastinasi, yang secara sosial ditentukan oleh perfeksionis (Sadler

& Sacks, 1993), peduli pada kesan baik publik (Ferrari, 1991b) dan tingkat

kesadaran yang rendah (Schouwenburg & Lay, 1995).

Prokrastinasi telah menjadi fenomena yang umum di masyarakat luas,

yang secara kronis terjadi pada sebagian besar orang dewasa begitu pula pada para

mahasiswa (Blunt & Pychyl, 1998; Hariot & Ferrari 1996). Sehingga dapat

dikatakan bahwa prokrastinasi merupakan konsekuensi yang cukup serius bagi

mahasiswa, dimana dalam kehidupan mahasiswa dapat dikarakteristikan dengan

banyaknya tugas yang dikerjakan pada tenggat waktu.

Kemudian, pada beberapa penelitian yang mencoba melihat hubungan

antara mahasiswa dengan tugas-tugas akademis ditemukan bahwa mahasiswa

secara konsisten mempergunakan pendekatan tertentu dalam belajar, yang

dipengaruhi oleh aspek dari perguruan tinggi serta aspek diri mahasiswa sendiri.

Seperti Rahardi (2001) menemukan bahwa pada mahasiswa, khususnya di

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 27: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, cenderung menggunakan

pendekatan belajar deep, yaitu selalu berusaha untuk mendapatkan pemahaman

yang mendalam. Adanya pembatasan dalam waktu belajar ataupun pengerjaan

tugas mengarahkan mahasiswa untuk menggunakan surface approach dalam

belajar, yang berarti mahasiswa tidak berusaha untuk mendapatkan pemahaman

yang mendalam dari materi yang dipelajari (Biggs, 1987 dalam Rahadi, 2001).

Persepsi mahasiswa juga mempengaruhi orientasi belajar yang

dikembangkan mahasiswa (Entwistle, 1989). Suardhika (1990) menemukan aspek

perguruan tinggi yang merupakan faktor utama dalam mempengaruhi orientasi

belajar mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia adalah persepsi

terhadap beban kuliah dibandingkan dengan aspek perguruan tinggi lainnya (cara

pengajaran, kebebasan dalam belajar, hal yang ditekankan dalam ujian, dan situasi

yang kompetitif).

Menurut Milgram dan Toubiana (1999) secara akademis dalam menjalani

perkuliahan seorang mahasiswa akan terlibat kedalam tiga hal utama yaitu (1)

pekerjaan rumah : seperti tugas yang harus dikerjakan di rumah baik individual

maupun kelompok, atau tugas membaca untuk persiapan presentasi kelas. (2)

pelaksanaan Ujian : ujian tertulis yang dilaksanakan secara periodik (UTS atau

UAS) maupun kuis yang dilaksanakan secara random. (3) makalah : membaca,

menelaah teori, membuat laporan penelitian. Berdasarkan sering atau jarangnya

ketiga hal utama diatas diberikan kepada mahasiswa dapat mempengaruhi

kecenderungan mahasiswa untuk melakukan perilaku prokrastinasi (Milgram &

Toubiana, 1999). Menurut hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin

sering suatu tugas atau ujian diberikan maka akan semakin mengurangi

kecenderungan berperilaku prokrastinasi akademis, dan sebaliknya semakin

jarang justru akan memunculkan perilaku tersebut.

Solomon dan Rothblum (1984) juga menemukan bahwa tugas-tugas

akdemis yang paling sering di prokrastinasi adalah menulis makalah, tugas

membaca dan belajar untuk menghadapi ujian. Hal ini sesuai dengan pengalaman

peneliti selama berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Bahwa

banyak rekan-rekan mahasiswa sering menunda mengumpulkan tugas, khususnya

tugas makalah baik itu individu maupun kelompok. Begitu pula dalam belajar

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 28: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

menghadapi ujian dan tugas membaca, sering kali mahasiswa Fakultas

Psikologi menerapkan metode belajar SKS (sistem kebut semalam/sejam).

Disisi lain, Ferrari et al., (1998) berpendapat bahwa pada universitas yang

memiliki tingkat selektivitas tinggi, mahasiswanya cenderung memiliki

karakteristik overachiver. Overachiever berhubungan dengan self-esteem yang

rendah, adanya kecenderungan tinggi self–handicapping, serta menarik diri dari

beberapa tugas (Olafson et al., 1995 dalam Ferrari et al., 1998). Hal ini bukan

tidak mungkin terjadi juga pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia. Karena untuk dapat mengikuti pendidikan di fakultas ini, calon

mahasiswa diharuskan mengikuti seleksi dalam taraf nasional (SPMB-Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru) sehingga dengan tingkat persaingan yang tinggi ini,

akan memunculkan mahasiswa yang overachiever (Ferrari, Keane, Wolfe dan

Beck, 1998)

Selanjutnya, adanya karakteristik tertentu yang dimiliki oleh tugas-tugas

akademis mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kecenderungan tingkah

laku prokrastinasi pada mahasiswa. Prokrastinator menghindari kegiatan yang

akan memunculkan informasi mengenai kemampuan mereka yang sebenarnya,

dan dalam bidang akademis, prokrastinator lebih memilih tugas yang mudah,

tidak terlalu menantang, dan menyenangkan (Ferarri & Scher, 2000). Juga

dikatakan tugas yang dianggap membosankan, tidak menyenangkan, sulit untuk

tidak ditunda pengerjaannya oleh mahasiswa (Milgram et al., 1993 dalam Ferrari

et al., 1998).

Dikatakan bahwa mahasiswa yang mempunyai manajemen waktu yang

baik akan selalu mempunyai batas akhir dalam setiap pengerjaan tugasnya (Martin

& Osborne, 1989). Dengan kemampuan menentukan prioritas yang baik, akan

membantu mahasiswa untuk menyeleksi, memutuskan dan melaksanakan tugas-

tugas yang harus didahulukan, sehingga dapat memenuhi tuntutan tugas yang ada.

Berkaitan dengan masalah pengaturan prioritas tugas dan pembagian waktu,

ditemukan pula adanya kecenderungan prokrastinasi akademis yang luas di

kalangan mahasiswa. Kecenderungan prokrastinasi akademis tersebut dikatakan

memerlukan intervensi yang lebih mendalam dari pendekatan manajemen waktu

saja (Ferrari et al., 1998)

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 29: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

2.3.6 Ciri-ciri Prokrastinasi Akademis

Ferrari dkk., (1995) mengatakan bahwa sebagai suatu perilaku penundaan,

prokrastinasi akademis dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu yang

dapat diukur dan diamati ciri-ciri tertentu berupa:

a) Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang

dihadapi. Seseorang yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang

dihadapinya harus segera diselesaikan dan berguna bagi dirinya, akan tetapi

dia menunda-nunda untuk mulai mengerjakannya atau menunda-nunda untuk

menyelesaikan sampai tuntas jika dia sudah mulai mengerjakan sebelumnya.

b) Keterlambatan dalam mengerjakan tugas. Orang yang melakukan

prokrastinasi memerlukan waktu yang lebih lama daripada waktu yang

dibutuhkan pada umumnya dalam mengerjakan suatu tugas. Seorang

prokratinator menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk mempersiapkan

diri secara berlebihan, maupun melakukan hal-hal yang tidak dibutuhkan

dalam penyelesaian suatu tugas, tanpa memperhitungkan keterbatasan waktu

yang dimilikinya. Kadang-kadang tindakan tersebut mengakibatkan seseorang

tidak berhasil menyelesaikan tugasnya secara memadai. Kelambanan, dalam

arti lambannya kerja seseorang dalam melakukan suatu tugas dapat menjadi

ciri yang utama dalam prokrastinasi akademis.

c) Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual. Seorang prokrastinator

mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan batas waktu

yang telah ditentukan sebelumnya. Seorang prokrastinator sering mengalami

keterlambatan dalam memenuhi deadline yang telah ditentukan, baik oleh

orang lain maupun rencana-rencana yang telah dia tentukan sendiri. Seseorang

mungkin telah merencanakan untuk mulai mengerjakan tugas pada waktu

yang telah ia tentukan sendiri. Seseorang mungkin telah merencanakan untuk

mulai mengerjakan tugas pada waktu yang telah ia tentukan sendiri, akan

tetapi ketika saatnya tiba dia tidak juga melakukannya sesuai dengan apa yang

telah direncanakan, sehingga menyebabkan keterlambatan maupun kegagalan

untuk menyelesaikan tugas secara memadai.

d) Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada melakukan tugas

yang harus dikerjakan. Seorang prokrastinator dengan sengaja tidak segera

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 30: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

melakukan tugasnya, akan tetapi menggunakan waktu yang dia miliki

untuk melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih menyenangkan dan

mendatangkan hiburan, seperti membaca (koran, majalah, atau buku cerita

lainnya), nonton, ngobrol, jalan, mendengarkan musik, dan sebagainya,

sehingga menyita waktu yang dia miliki untuk mengerjakan tugas yang harus

diselesaikannya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri prokrastinasi akademis adalah

penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang

dihadapi, keterlambatan dalam mengerjakan tugas, kesenjangan waktu antara

rencana dan kinerja aktual dan melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan

daripada melakukan tugas yang harus dikerjakan.

2.4 Pengukuran Prokrastinasi Akademis

Beberapa teori yang telah dipaparkan sebelumnya menyebutkan sejumlah

faktor yang dapat melatarbelakangi prokrastinasi. Secara garis besar, faktor-

faktor tersebut terdiri atas faktor afektif, kognitif serta tingkahlaku. Ketiga faktor

ini akan disertakan dalam penelitian ini. Mahasiswa yang menjadi subyek dari

penelitian ini akan diminta untuk mengsisi sebuah kuesioner yang berisi sejumlah

pertanyaan mengeani frekuensinya melakukan prokrastinasi, sejauh mana

tingkahlaku tersebut di danggap mengganggu dan pernyataan-pernyataan

mengenai kemungkinan menjadi alasan yang mendorongnya untuk melakukan

prokrastinasi akademis. Dalam hal ini teknik pengukuran yang digunakan adalah

berupa self-report questionnaire.

Kuesioner memiliki beberapa kelebihan, sehingga merupakan teknik yang

umum digunakan dalam mengukur prokrastinasi akademis. Kelebihan tersebut

adalah kemudahanya untuk diadministrasikan kepada sejumlah besar individu

dalam waktu yang relatif singkat. Model kuesioner yang digunakan adalah dengan

metode skala likert. Dengan metode ini, subyek diminta untuk menentukan dalam

rentang kontinum tertentu sejauh mana kecenderungannya melakukan

prokrastinasi. Instrumen yang menggunakan metode ini diantaranya adalah Form

G Procrastination Inventory yang dikembangkan oleh Haycock et al., (1998),

Tuckman Procrastination Scale yang dikembangkan oleh Tuckman (1989), dan

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 31: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

Procrastination Assessment Scale-Student (PASS) yang dikembangkan oleh

Solomon & Rothblum (1984). Instrumen-instrumen tersebut berisi sejumlah

pernyataan-pernyataan yang menggambarkan tingkah laku prokrastinasi seperti

“saya menunda mengerjakan yang lebih sulit”, “saya memilih untuk melakukan

kegiatan lain yang lebih menyenangkan”.

Teknik lain dalam mengukur prokrastinasi adalah dengan menggunakan

pengukuran tingkahlaku saja. Seperti pada penelitian Blatt dan Quinlan (1967,

dalam Solomon & Rothblum, 1984), digunakan pengukuran tingkahlaku jangka

waktu pengembalian kuesioner survei berdasarkan batas waktu tertentu. Pada

penelitian lainnya digunakan pengukuran cepat atau lambatnya penyelesaian

persyaratan-persyaratan kuliah (Dosset et al., 1980 dalam Solomon & Rothblum,

1984).

Rothblum et al., (1986, p. 387) mendifinisikan prokrastinasi akademis

sebagai kecenderungan untuk (a) selalu atau hampir selalu untuk menunda tugas

akademis, dan (b) selalu atau hampir selalu mengalami masalah kecemasan yang

diasosiasikan dengan prokrastinasi ini. Mereka mengatakan bahwa prokrastinasi

akademis dapat diukur secara langsung melalui kuesioner self reports. Self reports

dirasa cukup reliabel dan penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan

yang positif dengan perilaku aktual prokrastinasi, Self reports ini dapat berupa

bentuk pernyataan tertulis (Beswick et al., 1988; Rothblum et al., 1986: Solomon

& Rothblum, 1984).

Kemudian Solomon dan Rothblum (1984) mengembangkan

Procrastination Assessment Scale-Student (PASS) untuk mengukur frekuensi

kognitif-behavioral dari prokrastinasi akademis. PASS memiliki dua bagian. Pada

bagian pertama mengukur kecenderungan prokrastinasi dalam enam area

akademis (a) writing a term paper (mengerjakan tugas makalah), (b) Studying for

an exam (belajar untuk ujian), (c) Keeping up with weekly reading assignments

(tugas membaca mingguan), (d) performing administrative tasks (tugas

adminstratif), (e) attending tasks (menghadiri rapat), dan (f) performing academic

tasks in general (tugas akademis secara umum). PASS menggunakan skala likert

dengan rentang nilai 5 poin untuk menilai seberapa jauh kecenderungan individu

melakukan prokrastinasi pada tiap tiap area akademis (1= tidak pernah

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 32: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

prokrastinasi; 5=selalu prokrastinasi) dan menilai seberapa jauh prokrastinasi

yang mereka lakukan di tiap area akademis dapat menjadi masalah (1=bukanlah

menjadi suatu masalah; 5=selalu menjadi masalah). Total skor diperoleh dengan

menjumlahkan nilai yang diperoleh (dengan rentang 2-10) pada tiap area

akademis. Sehingga total skor memiliki rentang minimal 12 dan maksimal 60.

Pada bagian kedua dari PASS, mencoba menggambarkan suatu skenario

situasi akademis (menunda mengerjakan makalah individu) dan melihat alasan-

alasan melakukan prokrastinasi pada tugas ini. Alasan-alasan tersebut antara lain

(a) evaluation anxiety (kecemasan akan suatu evaluasi), (b) Perfectionism

(perfeksionis), (c)difficulty making decisions (kesulitan membuat keputusan),

(d)dependency and help seeking (ketergantungan dengan orang lain),

(e)aversiveness of the task dan low frustration tolerance (ancaman dari tugas dan

rendahnya toleransi terhadap frustasi), (f)lack of self-confidence (rendahnya

kepercayaan diri), (g)laziness (kemalasan), (h)lack of assertion (kurangnya

penerimaan diri), (i)fear of success (takut akan keberhasilan), (j)tendency to feel

overmhelmed dan poorly manage time (kecenderungan untuk merasa kelelahan

dan rendahnya pengaturan waktu), (k)rebellion against control (pemberontakan

terhadap aturan yang ada), (l)risk taking (pengambilan risiko), dan (m) peer

influence (pengaruh teman sebaya). PASS pada bagian kedua ini juga

menggunakan skala likert dengan rentang 5 poin yang mengukur kecenderungan

individu dalam melakukan prokrastinasi pada tugas membuat makalah ini. Contoh

dari dua pernyataan perfeksionis adalah “anda merasa tidak akan pernah bisa

memenuhi harapan anda sendiri” dan “anda membuat standar diri yang sangat

tinggi dan anda merasa cemas tidak akan bisa memenuhi standar tersebut”

Tujuan dari dikembangkan PASS ini dikarenakan penelitian prokrastinasi

sebelum-sebelumnya hanya melihat aspek dari kebiasan belajar saja. Sedangkan

prokrastinasi melibatkan tidak hanya ketidakmampuan mengatur waktu dan cara

belajar (Burka & Yuen, 1983). Selain itu, pada penelitian-penelitian sebelumnya

juga belum pernah melihat alasan-alasan individu dalam melakukan prokrastinasi.

Penyusunan PASS mempunyai tiga tujuan utama (a) mengukur kecenderungan

prokrastinasi akademis diantara mahasiswa; (b) mengetahui alasan-alasan akan

prokrastinasi akademis dan (c) mengembangkan pengukuran self-report

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 33: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

prokrastinasi yang dapat dibandingkan dengan indeks behavioral

prokrastinasi dan pengukuran self –report yang telah distandarisasi dari konstruk

pontensial yang berkaitan (seperti kecemasan, kebiasan belajar, depresi, self

esteem, irrational cognition, dan assertion).

Dari proses data normatif PASS diperoleh frekuensi dari kecenderungan

prokrastinasi pada area akademis sebesar 46% untuk tugas menulis makalah,

27,6% pada belajar untuk ujian, dan 30,1% untuk tugas membaca mingguan.

Sedangkan untuk area akademis lainnya sebesar 10.6% untuk tugas administrasi,

23% untuk tugas kehadiran dan tugas akademis secara umum sebesar 10.2%.

Berdasarkan frekuensi prokrastinasi maka dilihat tingkat masalah yang

ditimbulkan dari melakukan prokrastinasi, yaitu 23,7% untuk tugas makalah,

21.2% untuk belajar menghadapi ujian dan 23.7% untuk tugas membaca

mingguan

Analisis faktor dari alasan individu untuk melakukan prokrastinasi

menunjukkan terdapat dua faktor utama. Faktor pertama adalah fear of failure

yang mewakili 49% dari variasi pernyataan. Faktor ini merupakan gabungan dari

evaluation anxiety (kecemasan akan suatu evaluasi), perfeksionisme dan lack of

self confidence (rendahnya kepercayaan diri). Sedangkan faktor kedua

merefleksikan aversiveness of the task dan laziness (ancaman dari tugas dan

kemalasan) yang mewakili 18% dari variasi pernyataan. Faktor ini merupakan

gabungan dari kurangnya energi dan ketidaksukaan terhadap tugas. Dari

perhitungan statistik (varimax rotation) tidak ditemukan lagi variasi alasan-alasan

yang lebih besar dari nilai (1.50). Sehingga analisa faktor menyatakan bahwa fear

of failure dan task aversiveness adalah dua alasan utama dari Prokrastinasi

akademis.

2.5. Hubungan Antara Prokrastinasi Akademis dengan Motivasi Berprestasi

Menurut Ferarri (1998) dan Lay (1986, 1995) Mahasiswa mungkin

memiliki keinginan untuk melakukan suatu aktivitas akademis sesuai harapannya

atau waktu yang telah ditentukan, namun pada akhirnya kehilangan motivasi

untuk melakukannya sehingga mahasiswa tersebut terjebak dalam perilaku

menunda pekerjaan secara akademis atau disebut dengan prokrastinasi akademis.

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 34: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

Lebih lanjut dalam penelitian Sene´cal et al., (1995) mengusulkan bahwa

prokrastinasi akademis merupakan masalah motivasi yang melibatkan tidak hanya

rendahnya kemampuan mengatur waktu atau perilaku malas.

Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa

kehilangan motivasi sehingga melakukan prokrastinasi akademis. Namun

pernyataan ini tidak sesuai dengan pendapat Schouwenberg dan Groenewoud

(2001) yang menemukan bahwa mahasiswa yang melakukan perilaku

prokrastinasi akademis tetap memiliki motivasi dengan memotong reward masa

depannya (menyelesaikan tugas dengan segera). Mereka menunda mendapatkan

reward, karena ingin memperoleh manfaat yang lebih luas (menyelesaikan tugas

yang lebih penting) dibandingkan mahasiswa yang tepat waktu.

Dari penelitian Schouwenberg dan Gronewoud tersebut menunjukan

bahwa individu dengan perilaku prokrastinasi tidak kehilangan motivasi.

Pendapat ini didukung oleh Knaus (2000) yang membantah bahwa tidak semua

prokrastinasi mengarah kepada hasil yang negatif. Misalnya, penundaan yang

dihasilkan dari waktu yang dihabiskan untuk perencanaan dan penyiapan

informasi yang penting dapat menjadi menguntungkan (Knaus, 2000). Kemudian,

banyak orang menyatakan bahwa meskipun mereka bekerja pada menit-menit

terakhir, mereka dapat menyelesaikannya tepat waktu dan mereka cenderung

bekerja lebih cepat dan lebih baik atau membangkitkan lebih banyak ide-ide

kreatif dibawah tekanan waktu (Tice & Baumister, 1997). Kemudian Chu dan

Choi (2005) mengidentifikasi dua jenis dari prokrastinasi akademis (aktif dan

pasif) yang menyatakan bahwa prokrastinasi aktif mempengaruhi perilaku yang

berkorelasi positif dengan self-effifacy dan personal outcomes seperti kepuasan

hidup dan higher point average, menghadapi tenggat waktu dengan memusatkan

diri pada tugas dan memanfaatkan tekanan waktu untuk keuntungan dan meraih

pengaruh yang positif. Sedangkan prokrastinasi pasif tidak dapat membuat

keputusan dengan cepat, terpengaruhi oleh perasaan ragu dan tidak kompenten,

serta tidak menggunakan waktunya dengan purposively.

Namun Ferrari et al., (1998) tidak sependapat dengan pernyataan di atas,

meskipun mahasiswa merasa lebih kreatif dan produktif jika bekerja di menit-

menit terakhir, prokrastinasi hanya menghasilkan keuntungan jangka pendek.

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Page 35: Digital_125707-152.4 DEL h - Hubungan Antara - Literatur

Universitas Indonesia

Prokrastrinator mungkin dapat mengumpulkan tugas akademis dengan tepat

waktu, namun hasil yang diperoleh tidak maksimal. Prokrastrinator justru

menunjukkan performa yang rendah, karena kecenderungan telat untuk memulai,

sehingga prokrastinator tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan

tugas sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki (Ferrari, Johnson, & McCown,

1995).

Berdasarkan teori-teori yang telah ditemukan peneliti telah

mengidentifikasi dua jenis dari motivasi yaitu ekstrinsik dan instrinsik. Kedua

jenis motivasi ini merupakan karateristik dari motivasi berprestasi. Instrinsik

motivasi mengarah kepada motivasi yang timbul akibat dorongan dari dalam.

Sebaliknya, ekstrinsik motivasi merupakan dorongan yang berasal dari luar baik

itu dorongan positif maupun dorongan negatif (Deci & Ryan, 1985). Selanjutnya,

Conti (2000) menyatakan meskipun motivasi ekstrinsik diperlukan untuk

mencegah penundaan tugas, namun partisipan dengan instrinsik motivasi

menghabiskan banyak waktu pada tugasnya dibandingkan partisipan dengan

motivasi ekstrinsik, karena ingin memperoleh kesempurnaan (perfeksionis). Hasil

penelitian sebelumnya menemukan baik itu ekstrinsik motivasi ataupun intrinsik

motivasi memiliki hubungan yang negatif dengan prokrastinasi akademis

(Brownlow & Reasinger, 2000). Jadi dapat dikatakan bahwa jenis motivasi yang

dimiliki seseorang juga akan mempengaruhi prokrastinasi secara negatif, di mana

semakin tinggi motivasi intrinsik (memiliki motivasi berprestasi tinggi) yang

dimiliki individu ketika menghadapi tugas, akan semakin rendah

kecenderungannya untuk prokrastinasi akademis (Briordy, dalam Ferrari, et al.,

1995). Oleh karena itu dalam penelitian ini ingin membuktikan kembali apakah

ada hubungan yang signifikan antara Prokrastinasi Akademis dengan Motivasi

Berprestasi.

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007