demokratisasi dan politik luar negeri indonesia
TRANSCRIPT
Proses Demokratisasi dan Politik L uar Negeri Indonesia
Disusun Untuk Memenuhi Nilai Tugas Individual Kelas Politik L uar Negeri Indonesia
Oleh:
Ari Wijanarko Adipratomo, A+, A.A.
2004230075 / 2008231002
International Relations Department
Institute of Social and Political Science, Jakarta
2009
Pendahuluan
Pada umumnya, proses demokratisasi lebih banyak dibahas dengan penekanan terhadap
faktor faktor domestic yang mempengaruhinya baik sebagai component yang mempengaruhi
secara positive maupun negative. Hal ini bisa dipahami dengan berdasarkan pada beberapa
alasan. Diantaranya bahwa actor-aktor politik yang terlibat dalam proses dekokratisasi ini
senantiasa berusaha untuk mengkonsentrasikan kekuatannya masing masing untuk
memperkokoh atau mempertahankan atau bahkan merebut kekuasaan. K arena itu, segala macam
proses politik yang terjadi di masa transisi cenderung lebih bersifat inward looking atau melihat
kedalam. Selain alasan diatas, terdapat juga anggapan lain bahwa untuk menganalisa proses
demokratisasi melalui kacamata dinamika politik domestic juga terjadi karena terdapat anggapan
bahwa pada akhirnya actor-aktor politik domestiklah yang menentukan tindakan politik apakah
yang tepat dan mampu diterapkan dan langkah politis apa yang akan diambil dan mereka adalah
actor yang memiliki peranan terbesar dalam turbulensi politik dalam negeri.1
Dasar Permasalahan
Situasi kegamangan dan ketidakpastian yang selalu ada di sekitar proses transisi politik
sebenarnya membuat sebuah negara yang sedang menjalani sebuah proses demokratisasi sangat
mudah terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal . Pengaruh dari dunia internasional dalam proses
demokratisasi yang terjadi di sebuah negara dapat terwujudkan dalam beberapa bentuk yakni:
infectivity, control, approval dan conditionality. infectivity terjadi ketika demokratisasi di sebuah
negara mendorong gelombang demokratisasi di negara lain. Sebagai contoh proses demokratisasi
di negara-negara Eropa Timur setelah Perang Dingin usai dan juga gelombang demokratisasi di
negara-negara Amerika Latin pada tahun 1970-an.
Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak atau beberapa pihak di luar negara berusaha
menerapkan demokrasi di negara tersebut. Misalnya Doktrin Truman 1947 mengharuskan
1 Guillermo O‟Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, Transition from authoritarian rule: prospect
for democracy (Baltimore: Johns Hopkins University, 1986), Buku I, hal.5
Y unani untuk memenuhi beberapa kondisi untuk mendapatkan status sebagai „negara demokrasi‟
dan karenanya berhak menerima bantuan anti komunisme dari Amerika Serikat.2
Bentuk ketiga, approval, terjadi ketika muncul sebuah ekspektasi terhadap demokrasi dari dalam
negara sendiri karena warga negaranya melihat bahwa sistem politik yang lebih baik, seperti
yang berjalan di negara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh negara
tersebut. Dengan kata lain, pengaruh internasional datang sebagai sebuah inspirasi yang kuat
bagi warga negara di dalam negara itu. K asus yang paling sering disebut dalam hubungannya
dengan hal ini adalah reunifikasi Jerman Timur dengan Jerman Barat.3 Bentuk keempat dari
dimensi internasional dalam proses demokratisasi adalah conditionality, yaitu tindakan yang
dilakukan oleh sebuah organisasi internasional yang memberi kondisi-kondisi tertentu yang
biasanya berkaitan dengan domkratisasi dan liberalisasi yang harus dipenuhi negara penerima
bantuan.4
K eempat bentuk di atas menggambarkan proses outside-in dimana dorongan demokratisasi
datang dari luar batas sebuah negara. Proses lain yang mungkin terjadi adalah proses inside-out,
yaitu proses dimana negara yang tengah mengalami proses demokratisasi menggunakan
diplomasi dan politik luar negeri untuk mengkonsolidasikan demokrasinya. Dalam studinya
mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru menggunakan politik luar negerinya, Alison
2
Laurence Whitehead, “International aspect of democratization” dalam O‟Donnel, G., Schmitter, P., Whitehead, L .
(eds), Transition from authoritarian rule: prospect for democracy (John Hopkins University Press: Baltimore, 1986), hal. 5.
3. Laurence Whitehead, “International aspect of democratization” dalam O‟Donnel, G., Schmitter, P., Whitehead, L .
(eds), Transition from authoritarian rule: prospect for democracy (John Hopkins University Press: Baltimore, 1986), hal. 5.
4. K asus paling akhir yang masih sering diperbincangkan adalah conditionality yang diberlakukan oleh IMF dalam
paket bantuan keuangan bagi beberapa negara, termasuk dalam pemberian paket bantuan ke Indonesia, saat mengalami krisis ekonomi. Conditionality ala IMF ini menimbulkan kontroversi luas. Beberapa ahli semisal Martin Feldstein berkeyakinan bahwa conditionality yang diikutkan IMF dalam program bantuan keuangannya tidak relevan untuk perbaikan ekonomi negara penerima bantuan karena bersifat subyektif. Terlebih bila dilihat sebenarnya IMF dibentuk hanya dengan tujuan untuk menjaga sistem fixed exchange rates pada tahun 1945.
Stanger menemukan bahwa proses transisi bisa dipertahankan arahnya ketika negara –negara
demokrasi baru mampu „membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara demokrasi yang
lebih mapan‟ .5
Dua alasan bisa dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, politik luar negeri bisa
digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau menyatakan perbedaan diri rezim mereka dari
rezim authoritarian yang digantikannya. K edua, sebagai consequences dari alasan pertama,
prospect bagi kerjasama internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan
demokrasinya akan semakin baik dan pada akhirnya memberi kontribusi positive bagi proses
konsolidasi internal karena dengan system politik luar negeri yang baru mereka akan berusaha
memenuhi segala macam conditionality yang diajukan oleh negara-negara maju.
Diplomasi dan Politik L uar Negeri Indonesia di Masa Transisi Demokrasi
Masa Pemerintahan Habibie
Pasca jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, terjadi sebuah perubahan politik yang
massive yang mengekor kejatuhan pemerintahan Order baru yang authoritarian tersebut.
Pemerintahan Habibie yang menggantikan posisi pemerintahan Soeharto merupakan salah satu
contoh tepat untuk menggambarkan hubungan antara proses demokratisasi dan bagaimana
sebuah kebijakan luar negeri berhubungan erat dengan proses transisi pemerintahan.
5 Alison Stanger, “Democratization and the international system: the foreign policies of interim governments” dalam
Y ossi Shain dan Juan L inz (eds), Between states: interim governments and democratic transitions (Cambridge: Cambridge University Press, 1955), hal. 274-276.
6. Dewi Fortuna Anwar, “The Habibie presidency”, dalam Forrester, G (ed), Post-Suharto Indonesia: renewal or
chaos?(Crawford House Publishing: Bathurst, 1999), hal.4.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.6
Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan dan atensi dunia internasional melalui
beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU)
yang berkaitan dengan perlindungan atas Hak Asasi Manusia. Pertama adalah UU no.5/1998
mengenai Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment dan UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the
E limination of All Forms of Racial Discrimination 1965. Selain itu, pemerintahan Habibie pun
berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja.
Pembentukan K omnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek
tersebut.
Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian
masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari
masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya dukungan legitimacy dari kalangan
domestik. Hubungan Habibie dengan lembaga International Monetary Fund (IMF) dapat
dijadikan ilustrasi yang menarik dalam hal ini. Sebelumnya, IMF mendesak Suharto untuk
menghentikan proyek pembuatan pesawat Habibie yang berbiaya tinggi pada bulan Januari 1998,
tepat ketika suhu politik dan keberlangsungan pemerintahan Suharto sedang dipertanyakan.
Akan tetapi, belakangan ketika ia berkuasa, Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua
institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. K edua lembaga tersebut memutuskan untuk
mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan
bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar.7
Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis dukungan legitimasi dari kalangan domestik
tidak terlampau kuat, namun dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian
kebijakan luar negeri yang digagas Habibie untuk memberi image positif kepada dunia
internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat
periode transisi menuju demokrasi baru saja dimulai.
7 Adam Schwarz, A nation in waiting (Allen-Unwin: New South Wales, edisi kedua, 1999), hal. 373
Pemerintahan Habibie pulalah yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri,
sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi.
K ebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie
mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia
mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.
Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru. Di akhir 1998,
Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia
akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim
PM Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan
Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak
Australia menyatakan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak
right of self-determination bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia juga menyarankan
bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di K aledonia Baru dimana
referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun
lamanya. K arena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan
keputusan sepihak pemerintahan Habibie sendiri .8
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. L egitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama,
Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor
Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. K edua, kebijakan Habibie dalam isu
Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,
panglima TNI pada masa itu.9 Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat
internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang
dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum,
namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di
8 Alexander Downer,”East Timor – looking back on 1999”, Australian Journal of International Affairs, vol.54/1 (2000),
9 K eith Richburg, “Seven days in May that toppled a titan: back-room intrigue led to Suharto‟s fall” dalam Aspinall, E ., Van K linken, G., Feith, H. (eds), The last days of
President Suharto(Monash University: Monash Asia Institute, 1999), hal.70
Timor Timur setelah referendum.10 Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi
menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang
dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk
memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI
sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI
menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei
1998.
Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju
demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu
separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi
contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil-militer)
dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri).Bila dalam periode Habibie terjadi
hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa
Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI
sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya.
Entry point yang digunakan oleh presiden Wahid adalah persoalan Timor Timur. PBB melalui
K omisi K hususnya menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor Timur setelah referendum 1999
telah direncanakan secara sistematis. Lebih jauh K omisi tersebut menyatakan dengan jelas
bahwa TNI dan milisi pro integrasi merupakan dua pihak yang harus bertanggung jawab atas
kerusuhan tersebut.11
10
http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca… 341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument
11.http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/13/utama/sekj01.htm
Dengan laporan sedemikian, sangat mungkin sekjen PBB akan memberi rekomendasi pada
Dewan K eamanan untuk membentuk pengadilan internasional untuk mengadili pejabat TNI yang
dinilai bertanggung jawab, termasuk Wiranto. Pada saat yang hampir bersamaan, K PP HAM
yang dibentuk presiden Wahid untuk menginvestigasi peristiwa di Timor Timur pasca
referendum juga melaporkan temuannya bahwa TNI dan milisi melakukan pelanggaran HAM
serius di Timor Timur dan merekomendasikan Jaksa Agung untuk memeriksa anggota TNI yang
terlibat, termasuk Wiranto.12 Menyikapi laporan ini, Wahid menyatakan sepulangnya dia dari
Davos saat ia menghadiri World Economic Forum bahwa ia akan meminta Wiranto mundur dari
jabatan Menkopolkam dalam kabinetnya.13 Wiranto menyatakan penolakannya untuk mundur
dari kabinet dan akibatnya memunculkan spekulasi kemungkinan kudeta oleh TNI.
Spekulasi ini antara lain muncul karena sebelumnya duta besar Amerika Serikat untuk PBB
Richard Holbrook mengungkapkan kekhawatiran pemerintah AS bahwa TNI tidak mendukung
investigasi atas kasus pelanggaran di Timor Timur dan bahkan mempersiapkan pengambil alihan
kekuasaan.14 Untuk menolak kecurigaan ini, para kepala staff dari semua angkatan memberi
pernyataan bahwa TNI tidak memiliki rencana untuk menjatuhkan pemerintahan Wahid. Bahkan
Panglima Daerah Militer Jakarta ketika itu, Mayor Jenderal Ryamizard Ryacudu menyatakan
bahwa TNI tetap loyal kepada presiden Wahid sebagai panglima tertinggi. Bahkan ia memberi
pernyataan menarik yaitu:
TNI could have toppled the government of former President Habibie over the East Timor issue. We were able to stage a coup at that time out of our deep sorrow that the president wanted to let go of East Timor at the expense of our sacrifice to keep the territory of Indonesia for years.15
12 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0002/01/UTAMA/jaks01.htm
13 “East Timor panel blames army for atrocities”, Washington Post, 1 Februari 2000 http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPlate/2000-02/01/1441-020100-idx.htm
14“US warns against coup by military in Indonesia”, Washington Post, 15 Januari 2000. http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPlate/2000-01/15/0621-011500-idx.htm
15“Military renews allegiance to government”, The Jakarta Post, 20 January 2000.
Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto mendapat dukungan krusial dari ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Akbar Tanjung.16 Patut diingat bahwa Presiden Wahid secara terus menerus
menggunakan kredibilitasnya di dunia internasional sebagai tokoh pro-demokrasi untuk
mendapatkan dukungan atas berbagai kebijakannya mengenai TNI ataupun penanganan kasus
separatisme yang melibatkan TNI. K eputusan pemberhentian Wiranto, misalnya, diungkapkan
kepada publik ketika Sekjen PBB K ofi Annan berada di Jakarta. Bahkan dalam konferensi
persnya di istana presiden setelah bertemu Wahid, K ofi Annan menyatakan bahwa „ the decision
[onWiranto] has proven that Indonesia had taken on responsibility to ensure that those
responsible for the atrocities in East Timor would be made accountable‟ .17
Masa Pemerintahan Megawati
Seperti pendahulunya Abdurrahman Wahid, Megawati juga secara ekstensif melakukan
kunjungan ke luar negeri. Sebagai presiden, Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang,
Malaysia, New Y ork untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania, Polandia,
Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, L ibya, Cina dan juga Pakistan. Presiden
Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi
ataupun substansi dari berbagai lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian
pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan
Megawati ke Moskow.
Selain berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama masa
pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa nasional maupun internasional.
Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan
16 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0002/03/utama/amie01.htm
17 “UN chief applauds Indonesian inquiry”, Washington Post, 16 Februari 2000. Bisa diakses di http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPlate/2000-02/16/1131-021600-
idx.html
hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat
dan Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa
variabel yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.
Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang melawan terorisme
di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama internasional. Di sisi
lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di
tengah proses demokratisasi, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan
mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada
masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa
pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang
cukup. Di masa pemerintahan Megawati, Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung
tombak diplomasi Indonesia telah melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan
faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami
bahwa diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan
nasional Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan
dunia luar ke dalam negeri.[20]
Restrukturisasi ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu cepat, terutama
setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini memaksa setiap
negara untuk mampu beradaptasi dan mengelola arus perubahan tersebut.
Demokrasi dan Politik L uar Negeri di Masa Transisi:
Mencari Benang Merah
Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik mendalam terus berlangsung di
semua aspek sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut bahkan menyentuh bidang diplomasi
dan politik luar negeri yang selama ini dianggap murni merupakan kewenangan penuh pihak
eksekutif. Di masa pemerintahan Orde Baru yang otoritarian, konsultasi antara pemerintah
dengan DPR dan kalangan publik mengenai kebijakan luar negeri dan diplomasi hanya terjadi
dalam level yang sangat minimal. K arena itu, perumusan kebijakan diplomasi dan politik luar
negeri yang melibatkan semakin banyak aktor akan membuka kemungkinan bahwa setiap
kebijakan dalam dua bidang tersebut akan merepresentasikan kepentingan nasional secara lebih
luas.
Sementara itu, kritik terhadap politik luar negeri sebuah pemerintahan transisi, sebagaimana
dialami ketiga pemerintahan yang diuraikan diatas, adalah hal yang umum terjadi. Seperti ditulis
Neil Malcom dan Alex Pravda dalam bukunya Democratization and Russian Foreign Policy
(1999), partai oposisi selalu menjadikan politik luar negeri sebagai target karena ia merupakan
arena terbuka yang proses perumusannya dilihat sebagai monopoli pemerintah yang berkuasa.
Akibatnya, mudah diidentifikasi kekuatan atau kelemahan politisnya.
Sementara itu, realitas kontemporer kita yang merupakan buah dari proses demokratisasi
memperlihatkan bahwa sentra kekuasaan telah mengalami diversifikasi. K onsekuensinya, terjadi
perubahan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, termasuk dalam bidang politik luar
negeri. Berkaitan dengan hal ini, adalah penting bagi Deplu untuk menyadari bahwa ia bukanlah
satu-satunya instrumen diplomasi. K arena, input-input untuk sebuah kebijakan menjadi amat
beragam, baik isi ataupun sumbernya.
Sebagai contoh, berseberangannya pendapat antara pihak pemerintah dan beberapa pihak di DPR
dalam negosiasi masalah Aceh dengan GAM merupakan fenomena sehat dalam bidang
diplomasi sebuah negara yang demokratis. Robert Putnam (1993) menyebutnya sebagai‟double-
edged diplomacy’[21], yaitu adanya keharusan mereka yang terlibat dalam proses diplomasi
untuk menyadari bahwa diplomasi selalu memiliki dua dimensi: dalam dan luar negeri. Di dalam
negeri, langkah diplomasi dan kebijakan luar negeri secara imperatif harus mendapatkan
persetujuan sebanyak mungkin aktor politik, salah satunya adalah pihak legislatif.
Akan tetapi, pada saat yang sama, aktor-aktor politik di dalam negeri juga harus menyadari
bahwa dalam bidang diplomasi dan politik luar negeri, setiap kebijakan juga penting untuk selalu
memperhatikan harapan atas peran yang dinantikan dari negara tersebut oleh negara-negara lain,
baik dalam konteks regional ataupun global.
Indonesia, pada level ASEAN, berkali-kali menjalankan peran sebagai pihak yang mencoba
menjembatani konflik di kawasan Asia Tenggara. Indonesia aktif membantu mencari solusi
damai dalam persoalan Spratly Island di Laut Cina Selatan yang diklaim oleh beberapa negara
ASEAN dan luar ASEAN, aktif membantu penyelesaian konflik K amboja, dan juga dalam isu
domestik di Filipina Selatan.
Peran tradisional ini kembali dimunculkan ketika Indonesia mengajukan konsep pembentukan
ASEAN Security Community (ASC). Fakta bahwa proposal ASC datang dari Indonesia
memperlihatkan bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan refleksi atas perubahan politik
dalam negeri menuju kearah yang lebih demokratis. Masyarakat demokratis adalah masyarakat
yang selalu menempatkan penyelesaian konflik dengan cara damai sebagai pilihan utama.
ASC merupakan refleksi yang menempatkan diplomasi sebagai first-linerpertahanan negara di
masa damai. ASC yang digagas Indonesia tersebut bertujuan membentuk sebuah masyarakat
Asia Tenggara yang bersepakat untuk menjauhi penggunaan kekerasan atau instrumen militer
dalam menyelesaikan konflik. K arena itu, apabila Indonesia tidak mampu secara konsisten
menempuh jalan damai untuk menyelesaikan persoalan di Aceh, bukan tidak mungkin Indonesia
akan terjebak dalam praktek standar ganda, yakni selalu mendorong penyelesaian damai dalam
persoalan yang dialami negara tetangga, namun menempuh cara kekerasan dalam menghadapi
persoalan dalam negeri sendiri. Praktek standar ganda semacam ini yang akan memberi citra
buruk di luar negeri.
K arena itu, aktor-aktor politik di luar Deplu harus menerima informasi yang cukup dan perlu
memahami bahwa situasi damai dan stabil di kawasan Asia Tenggara sepenuhnya bersesuaian
dengan kepentingan Indonesia. Situasi damai dan stabil hanya akan dicapai apabila penyelesaian
konflik secara damai, tanpa kekerasan, telah disepakati menjadi norma bersama. Dan Indonesia
telah menunjukan diri sebagai penganjur penyelesaian damai dalam berbagai konflik di kawasan
Asia Tenggara sebagaimana dicontohkan di atas.
Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri akan menjadi dorongan untuk pencitraan
diri sebagai negara demokratis di dalam negeri. Pengalaman transisi demokrasi di negara-negara
Eropa Timur seperti Hongaria dan Polandia memperlihatkan bahwa pencitraan diri sebagai
negara demokratis melalui politik luar negeri dapat memberi dorongan substansial bagi proses
konsolidasi di dalam negeri.
Preseden baik telah dicapai dalam sikap Indonesia saat menolak aksi unilateralisme dalam isu
Irak. Sikap Indonesia dalam forum internasional konsisten dengan sikap sebagian besar
masyarakat Indonesia yang menolak perang. Bahkan melalui diplomasi publiknya, Deplu
bersama-sama elemen masyarakat dan tokoh agama aktif mengkampanyekan suara anti perang
dan memilih prinsip multilateralisme. Dalam isu Irak tersebut semakin terlihat bahwa suara
publik kian menjadi elemen penting dalam politik luar negeri Indonesia.
Catatan Penutup
Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri dapat memberi sumbangan positif bagi
proses konsolidasi demokrasi di dalam negeri. K arena itu, Indonesia berkepentingan untuk
menciptakan lingkungan eksternal yang kondusif bagi proses konsolidasi tersebut. Sehingga,
menciptakan kawasan Asia Tenggara yang dihuni negara-negara yang demokratis seharusnya
menjadi tujuan politik luar negeri Indonesia saat ini. Bukan dalam pengertian „mengekspor
demokrasi‟ , akan tetapi sebagai lingkungan eksternal terdekat bagi Indonesia, demokratisnya
kawasan Asia Tenggara akan turut mempengaruhi situasi politik di Indonesia. Bila di zaman
Orde Baru terbentuk pemerintahan tertutup di hampir sebagian besar negara anggota ASEAN
karena adanya like-minded authoritarian leaders, termasuk pemerintahan Suharto di Indonesia,
tiba waktunya untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang dipimpin oleh like-minded
democratic leaders.
Dalam hal ini, kita perlu belajar dari Organization of American States (OAS) yang secara
multilateral telah bersepakat sejak tahun 1991 bahwa negara-negara anggota OAS akan „adopt
any measures deemed appropriate to restore democracy if one of their members were to be
overthrown by non-constitutional means‟ . Bahkan dalam Inter-American Democratic Charter
dari OAS yang ditandatangani pada tahun 2001, anggota-anggota OAS memperkuat perjanjian
terdahulu dengan menyatakan bahwa negara-negara anggota OAS tidak akan melegitimasi
perubahan rezim secara inkonstitusional di salah satu negara anggotanya.[22] K uatnya
komitmen regional semacam ini hanya mungkin muncul dari kesadaran bahwa demokrasi
merupakan kepentingan seluruh masyarakat, bukan penguasa negara, yang menghuni kawasan
tertentu, seperti Amerika Latin atau Asia Tenggara atau ditempat lain.
[9]Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibe dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai K etua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam K ongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung. Selanjutnya lihat K eith Richburg, “Seven days in May that toppled a titan: back-room intrigue led to Suharto‟s fall” dalam Aspinall, E ., Van K linken, G., Feith, H. (eds), The last days of President Suharto(Monash University: Monash Asia Institute, 1999), hal.70. L ihat juga Marcus Mietzner, “From Suharto to Habibie: the Indonesian armed forces and political Islam during transition” dalam Forrester, G. (ed), Post Suharto Indonesia: renewal or chaos?(Bathurst: Crawford House Publishing, 1999).
[10]Utusan K husus PBB untuk masalah HAM di T imor Timur (UN High Commissioner for Human Rights) melaporkan bahwa pembunuhan dan kekerasan di T imor Timur setelah referendum, terutama Dili, dilakukan oleh milisi pro integrasi yang diduga keras didukung oleh TNI. Laporan Utusan K husus PBB tersebut bisa diakses di http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca… 341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument
[11]“Sekjen PBB periksa pelanggaran HAM Timtim”, Kompas Online, 13 Januari 2000 bisa diakses di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/13/utama/sekj01.htm
[12] “Rekomendasi K omnas HAM: Jaksa Agung diminta menyidik Wiranto”, Kompas Online, 1 Februari 200, bisa diakses di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0002/01/UTAMA/jaks01.htm
[13] “East T imor panel blames army for atrocities”, Washington Post, 1 Februari 2000 bisa diakses di http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPlate/2000-02/01/1441-020100-idx.htm
[14]“US warns against coup by military in Indonesia”, Washington Post, 15 Januari 2000. Bisa diakses di http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPlate/2000-01/15/0621-011500-idx.htm
[15]“Military renews allegiance to government”, The Jakarta Post, 20 January 2000.
[16] “Soal pemberhentian Wiranto: Amien dan Akbar Tanjung dukung Gus Dur”, Kompas Online, 3 Februari 2000. Bisa diakses di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0002/03/utama/amie01.htm
[17]Abdurrahman Wahid memiliki reputasi internasional misalnya pada tahun 1993 mendapat penghargaan Ramon Magsaysay. Sejak tahun 1994 ia juga aktif dalam World Council on Religion and Peace.
[18]“UN chief applauds Indonesian inquiry”, Washington Post, 16 Februari 2000. Bisa diakses di http://www.washingtonpost.com/wp-srv/WPlate/2000-02/16/1131-021600-idx.html
[19]Dalam konferensi bersamanya dengan presiden Wahid, PM Malaysia waktu itu Mahathir Mohammad menyatakan bahwa Malaysia tidak mendukung pemisahan Aceh dari Republik Indonesia dan tidak akan membiarkan Malaysia dijadikan basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam K TT Informal ASEAN ke 3 di Manila tahun 1999 juga dikeluarkan pernyataan bersama para pemimpin ASEAN bahwa ASEAN mengakui integritas teritorial Indonesia sepenuhnya. Presiden Cina Jiang Zemin ketika menerima presiden Wahid di Beijing juga menekankan bahwa stabilitas politik Indonesia dan integritas teritorial Indonesia merupakan kunci bagi stabilitas regional, tidak hanya Asia Tenggara namun juga Asia secara keseluruhan. Selanjutnya lihat “PM Mahathir Mohammad: Malaysia tidak ingin Aceh lepas dari Indonesia” Kompas10 Maret 2000; “Tahun 2010 ASEAN bebaskan bea masuk”, Kompas 29 November 1999; “Cina tidak mendukung separatisme di Indonesia”, Republika 2 Desember 1999.
[20]Dalam siaran persnya diawal tahun 2002, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyebutnya sebagai faktor intermestik. Sejalan dengan pemahaman baru ini, Deplu memperkuat fungsi diplomasi publik yang dimaksudkan untuk memperkuatnetworkingdengan berbagai komponen bangsa, termasuk di dalamnya media, masyarakat, akademisi dan juga lembaga swadaya masyarakat.
[21]Penjelasan lebih lengkap lihat Robert Putnam, Harold Jacobson dan Peter Evans, Double-edged diplomacy: international bargaining and domestic politics (University of California Press: Los Angeles, 1993).
[22]Adanya kesepakatan ini sedikit banyak menjadi alasan tidak berhasilnya usaha kudeta terhadap Presiden Hugo Chavez pada tahun 2002 di Venezuela. Selanjutnya lihat Philips J Vermonte, “Democracy interrupted: lessons from Venezuela”, Jakarta Post 24 Mei 2002.
Daftar Pustaka
Buku:
- O‟Donnel, Guillermo, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead. 1986. Transition from authoritarian rule: prospect for democracy . Baltimore: Johns Hopkins University.
- Stanger, Alison. “Democratization and the international system: the foreign policies of interim governments” dalam Y ossi Shain dan Juan L inz (eds), Between states: interim governments and democratic transitions.1955. Cambridge: Cambridge University Press
-