daftar isi halaman sampul depan halaman sampul … · 2017. 9. 5. · rumusan masalah yang diangkat...
TRANSCRIPT
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN SAMPUL DALAM .................................................................. i
HALAMAN PRASYARAT GELAR.......................................................... . ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................ iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ........................................................... v
UCAPAN TERIMAKASIH.......................................................................... vi
ABSTRAK................................................................................................. .... ix
ABSTRACT .................................................................................................... x
RINGKASAN TESIS .................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 9
1.3 Ruang Lingkup Masalah .................................................... 10
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................... 10
1.4.1 Tujuan Umum ......................................................... 10
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................ 10
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................. 11
1.5.1 Manfaat Teoritis ...................................................... 11
1.5.2 Manfaat Praktis ....................................................... 11
1.6 Orisinalitas Penelitian ........................................................ 12
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ......................... 17
1.8 Metode Penelitian ............................................................... 33
1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................ 33
1.8.2 Jenis Pendekatan ..................................................... 33
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ............................................ 33
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...................... 35
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ............................... 35
xiv
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FUNGSI RUPBASAN
TERKAIT PEMANFAATAN BARANG BUKTI KAYU
SITAAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA ILLEGAL
LOGGING .................................................................................. 37
2.1 Definisi dan Fungsi Rupbasan (Rumah Penyimpanan
Barang Bukti Sitaan Negara) ............................................. 37
2.2 Barang Bukti Sitaan Negara ............................................... 43
2.3 Tindak Pidana Illegal Logging........................................ ... 44
BAB III KAJIAN YURIDIS PASAL 44 KUHAP JO PASAL 41
UNDANG-UNDANG NO. 18 TAHUN 2013 TENTANG
PENCEGAHAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN
HUTAN ...................................................................................... 47
3.1 Kedudukan Rupbasan Menurut KUHAP ........................... 47
3.2 Pengaturan Fungsi Rupbasan Terkait Pemanfaatan
Barang Bukti Kayu Sitaan Negara Dalam Tindak Pidana
Illegal Logging ................................................................... 50
BAB IV KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN
RUPBASAN DALAM PEMANFAATAN BARANG
BUKTI KAYU SITAAN NEGARA UNTUK
KEPENTINGAN SOSIAL ....................................................... 76
4.1 Kedudukan Rupbasan Dalam Penegakan Hukum Dalam
Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana Di
Indonesia.. .......................................................................... 76
4.2 Formulasi Fungsi Pengawasan Rupbasan Secara Hukum
Terhadap Pemanfaatan Barang Bukti Kayu Sitaan Negara
Untuk Kepentingan Sosial .................................................. 85
BAB V PENUTUP .................................................................................. 125
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 125
5.2 Saran ................................................................................... 125
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 127
ix
ABSTRAK
Ketentuan hukum tindak pidana illegal logging di Indonesia yang diatur
dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Perusakan Hutan memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk melakukan pemanfaatan terhadap barang bukti kayu sitaan Negara.
Ketentuan ini secara normatif diatur dalam Pasal 43 huruf (d) dan Pasal 44 ayat
(5) tentang pemanfaatan barang bukti hasil tindak pidana pembalakan liar untuk
kepentingan sosial dan khususnya bagi masyarakat miskin serta dilaksanakan
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian tesis ini adalah:
Bagaimanakah pengaturan fungsi Rupbasan terkait pemanfaatan barang bukti
kayu sitaan Negara dalam tindak pidana illegal logging serta Bagaimanakah
formulasi fungsi pengawasan Rupbasan terhadap pemanfaatan barang bukti kayu
sitaan Negara untuk kepentingan sosial.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yakni beranjak dari
adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum yang terdapat dalam ketentuan
KUHAP, Pasal 43 huruf (d) dan Pasal 44 ayat (5).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengaturan fungsi Rupbasan terkait
pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara dalam tindak pidana illegal logging
menurut ketentuan KUHAP dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah terdapat kekosongan
hukum. Formulasi fungsi pengawasan Rupbasan terhadap pemanfaatan barang
bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial menurut ketentuan KUHAP
dan Pasal 43 huruf (d), Pasal 44 ayat (5) Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah memberi
kewenangan terhadap Rupbasan melalui revisi terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan diatas serta didalam perumusan substansi pengaturan
pasalnya mengimplementasikan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kata Kunci : Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, Pemanfaatan Barang
Bukti, Tindak Pidana Illegal Logging
x
ABSTRACT
The legal provisions of illegal logging in Indonesia as stipulated in Law
Number 18 of 2013 abaut the Prevention and Eradication of Forest Destruction
provides an opportunity for the community to utilize the confiscated timber of the
State. This provision is normatively stipulated in Article 43 (d) and Article 44
paragraph (5) on the use of evidence of illegal logging proceeds for social benefit
and especially for the poor and implemented based on court decisions with
permanent legal force.
The formulation of the issues raised in this thesis research is: How is the
regulation of Rupbasan function related to the utilization of the confiscated wood
proof of the State in the illegal logging crime as well as how the formulation of
Rupbasan supervisory function forward on the utilization of the confiscated wood
for the State for social interest. The type of this research is normative law
research that is moving from existence of void of legal norm or law principle
contained in provision of KUHAP, Article 43 letter (d) and Article 44 paragraph
(5).
The conclusion of this research is the arrangement of Rupbasan function
related to the utilization of seized wood proof of the State in illegal logging crime
according to the provisions of KUHAP and Law no. 18 of 2013 about Prevention
and Eradication of Forest Destruction is a legal vacuum. The formulation of the
supervisory function of Rupbasan on the utilization of the confiscated timber of
the State for social interest according to the provisions of KUHAP and Article 43
letter (d), Article 44 paragraph (5) of Law Number 18 of 2013 on the Prevention
and Eradication of Forest Destruction is to give authority to Rupbasan through
revision of the provisions of the above legislation and in the formulation of the
substance of the implementation of the article of implementing the principles of
good governance.
Keywords: Storage House of State Objects, Utilization of Evidence, Illegal
Logging
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
ditentukan bahwa benda sitaan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan Negara. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara (selanjutnya dalam penelitian ini disebut
Rupbasan) adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses
peradilan. Rupbasan dibawah tanggung jawab Direktorat Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia keberadaannya sejajar dengan Rutan
dan Lapas. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari Pasal 44 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya.
Rupbasan sebagai tempat penyimpanan barang bukti dalam perkara pidana
terdapat dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa: “Benda
Sitaan Negara disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan Negara.” Oleh
karenanya untuk mengamankan barang bukti dengan baik, harus dititipkan pada
Rupbasan.
Pasal 44 ayat (2) KUHAP dalam ketentuannya melarang penggunaan
barang sitaan tersebut oleh siapa pun juga. KUHAP tidak mengatur sanksi
terhadap pelanggaran ketentuan tersebut karena bukanlah pada tempatnya
KUHAP yang mengatur hukum acara juga mengatur sanksi. Secara administratif
2
sanksi terhadap pelanggaran Pasal 44 KUHAP diatur oleh instansi penyidik
(misalnya kepolisian) dalam bentuk peraturan Kapolri atau instansi penuntut
umum (kejaksaan) melalui peraturan Jaksa Agung. Dalam hal pelanggaran
tersebut bersifat pidana, seperti penggelapan barang bukti berlaku ketentuan
pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 372 sampai Pasal 377 KUHP. Larangan
ini perlu ditegakkan dengan konsisten karena selama ini sudah cukup banyak
penyimpangan yang dilakukan oknum penegak hukum.
Ketentuan hukum tindak pidana illegal logging di Indonesia telah
meratifikasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-undang ini memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk melakukan pemanfaatan terhadap barang bukti kayu
sitaan Negara. Pasal 41 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
Dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam ketentuannya dijelaskan bahwa
Ketua Pengadilan Negeri setempat, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah
menerima permintaan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3),
wajib menetapkan peruntukan pemanfaatan barang bukti. Selanjutnya dijelaskan
secara lebih lanjut didalam ketentuan Pasal 43 huruf (d) dan Pasal 44 ayat (5)
tentang pemanfaatan barang bukti hasil tindak pidana pembalakan liar untuk
kepentingan sosial dan khususnya bagi masyarakat miskin serta dilaksanakan
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan data yang penulis dapat secara acak melalui media tehnologi
dan informasi dengan bersumber pada Rupbasan yang berlokasi di Kota Jaya Pura
Papua, dari data yang dikeluarkan Rumah penyimpanan Barang Sitaan Negeri
Kelas I Jayapura pada September 2014 ini, ada 6.983 batang kayu berbagai
3
ukuran. Jumlah total kayu seluruhnya adalah 278,66 kubik. Diantaranya itu setara
dengan 139,66 kubik kayu Kelas II (Kayu Kapas) dan 139 kubik kayu kelas I.
Kalau dirupiahkan dengan harga kayu kelas dua (kayu kapas) di kota Jayapura
yang mencapai harga dua juta rupiah maka Negara kehilangan 279,32 juta rupiah
dan kalau kayu kelas satu (kayu besi) dengan jumlah 139 kubik kayu yang
harganya mencapai 4 juta rupiah per kubik maka Negara kehilangan 556 juta
rupiah.1 Banyaknya barang bukti kayu sitaan Negara yang berada di dalam Rumah
Penyimpanan Barang Sitaan Negeri Kelas I Jayapura jika tidak di kelola secara
sistematis tentunya akan memberikan beban pembiayaan yang cukup tinggi
terhadap Negara atau dapat menyebabkan rusaknya benda/barang sitaan Negara
akibat waktu yang menahun. Salah satu cara yang dapat diambil oleh pemerintah
adalah dengan mendistribusikan barang-barang sitaan Negara tersebut untuk di
manfaatkan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Hal ini secara
normatif diatur didalam ketentuan Pasal 41, 43 Huruf d dan Pasal 44 Undang-
Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
Penulis berpandangan bahwa Fungsi Rupbasan dalam pemanfaatan barang
bukti sitaan Negara khususnya terkait dengan kayu masih terjadi kekosongan dan
konflik norma hukum dalam penelitian ini. Secara khusus kekosongan norma
hukum lebih penulis tekankan dalam peneltian ini. Kekosongan norma hukum
terdapat didalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHAP yang dalam
ketentuan makna pasal tersebut dapat penulis simpulkan bahwa Rupbasan tidak
1 Tabloidjubi, 2016, 2.400 Kubik Kayu Ilegal Dari Keerom Senilai 12 Milyar Dititipkan di
Tahanan, Available at http:abloidjubi.com/16/2015/07/14/2-400-kubik-kayu-ilegal-dari-keerom-
senilai-12-m-ada-di-rumah-tahanan/, Data di akses pada tanggal 31 Oktober 2016
4
memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terkait pemanfaatan barang
bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan umum. Konflik norma dalam
penelitian ini adalah terdapat dalam ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHAP yang
melarang penggunaan barang sitaan tersebut oleh siapa pun juga dengan ketentuan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Perusakan Hutan Pasal 44 ayat (2) yang menyatakan bahwa Barang bukti kayu
temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi
dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial. Yang dimaksud
dengan “kepentingan publik atau kepentingan sosial” adalah kepentingan yang
digunakan, antara lain untuk bantuan penanggulangan bencana alam, untuk
infrastruktur umum bagi masyarakat, serta untuk infrastruktur rumah dan sarana
prasarana bagi warga miskin.
Pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara ini kedepannya sangat
penting untuk dapat diterapkan serta dengan didukung penguatan secara sistem
hukum yang berlaku di Indonesia. Pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara
bagi masyarakat miskin sangat relevan untuk dilakukan guna menghindari adanya
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum penegak hukum
terhadap barang bukti tersebut. Adapun beberapa contoh penyimpangan barang
bukti kayu yang dilakukan oleh oknum penegak hukum dan kasusnya dapat
penulis deskripsikan dibawah ini yaitu:
1. Kasus Pembalakan Liar di Wilayah Hukum Polres Jembarana, Bali.
Kasus tindak pidana pembalakan liar pada tahun 2009-2010 terjadi di Bali
khususnya di wilayah hukum Kepolisian Resort Kota Jembrana dengan beberapa
pelaku beserta barang bukti berhasil diamankan oleh Polres Jembrana. Data dari
5
Polres Jembrana pada tahun 2008 sampai tahun 2009 terdapat 55 kasus dengan
barang bukti yang berhasil diamankan terdiri dari 1 unit mobil Kijang Toyota, tiga
sepeda motor, dua truk, satu buah cikar. Selain barang bukti tersebut terdapat juga
barang bukti kayu yang terdiri atas 184 kayu kuwanitan, 92 kayu kutat, 340 kayu
bayur, 3 kejimas, 642 rimba campuran, 1181 kayu jati olahan, 92 kayu jati
gelondongan, 24 kayu garu, 13 kayu tangi, 171 kayu bayur.2
2. Kayu Sitaan Raib di Dinas Kehutanan Bulukumba
Kasus ini terjadi pada tahun 2010. Sebanyak dua truk kayu hasil
pembalakan liar yang disita oleh tim Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan
Kabupaten Bulukumba pada hari Selasa 23 November 2010 lalu tiba-tiba
menghilang dari halaman Kantor Dinas Kehutanan Bulukumba.3
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Hutan Dinas
Kehutanan Bulukumba, Abdul Rahim tidak mengetahui kayu-kayu tersebut
dibawa kemana. Kayu yang hilang tersebut dalam proses pemeriksaan Dinas
Kehutanan Bulukumba. Kayu yang diduga milik Zainuddin Bundu tersebut belum
dilaporkan ke kepala Dinas Kehutanan Bulukumba. Meski barang bukti sudah
hilang, Dinas Kehutanan tetap akan mengusut kasus itu. Polisi belum dilibatkan
dalam kasus hilangnya barang bukti dugaan penebangan ilegal ini. Kayu yang
berada di halaman kantor Dinas seharusnya tidak boleh dibawa keluar sebelum
pemeriksaannya tuntas. Kayu jati ilegal itu disita karena tidak memiliki Surat Ijin
2 Balipost, 2014, Kasus Illegal Loging Di Kabupaten Jembrana, Available at
http://www.balipost.co.id/ mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=13&id=24369, Data
di akses pada tanggal 27 Januari 2014
3 Tempo, 2010, Kayu Sitaan Raib di Dinas Kehutanan Bulukumba, Alvalaible at
http://www.tempo.co/read/news/2010/11/24/176294221/Kayu-Sitaan-Raib-di--Dinas-Kehutanan-
Bulukumba. Diakses 2 April 2014
6
Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat (IPKHR). Dua truk tersebut tertangkap di Desa
Patiroan, Kecamatan Kajang.4
3. Kasus Perwira Polisi Terlibat Kasus Illegal Logging Diadili di Sorong.
Mantan Kapolres Sorong Arjun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Faisal
Abdul Nasir tersangka kasus dugaan penggelapan barang bukti 12 ribu ton meter
kubik kayu Ramin diserahkan tim penyidik Mabes Polri ke Kejaksaan Tinggi
Papua pada Rabu (01-01-2012) dan langsung diberangkatkan ke Sorong untuk
diadili di Pengadilan Negeri Sorong, Jum’at (10-02-2012).5
Faisal diserahkan bersama empat mantan anak buahnya yaitu, Bripka
Atjeng Danda, Ipda Widodo, Iptu Ansar Danhar dan Arjun Komisaris Besar Polisi
(AKBP) I Putu Mahesa. Informasi ini disampaikan oleh Mangiring Siahaan selaku
Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Papua yang ikut dalam acara penyerahan
kelima tersangka tersebut. Status kelima tersangka setelah penyerahan resmi
menjadi tanggungjawab kami. Saya akan mengawal langsung kelima tersangka ke
Sorong. Tim Jaksa penuntut sudah kami bentuk. Tim gabungan tersebut ada yang
dari Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di Sorong. Mengapa dibawa ke
Sorong, karena tempat kejadian perkara berada di wilayah Sorong," ujarnya.6
Terdakwa dikenai Pasal 221 KUHP tentang tindak pidana menghilangkan
barang bukti dan subsider Pasal 263 KUHP tentang tindak pidana pemalsuan surat
atau membuat laporan palsu. Keduanya diancam dengan ancaman penjara
maksimal sembilan bulan dan 6 tahun penjara.
4 Ibid
5 Tempo, 2014, Perwira Polisi Terlibat Kasus Illegal Logging Diadili di Sorong, Available at,
http://www.tempo.co/read/news/2004/12/08/05852509/Perwira-Polisi-Terlibat-Kasus-Ilegal-
Loging-Diadili-di-Sorong. Diakses 2 April 2014
6 Ibid
7
Kasus ini berawal dari ditangkapnya sebuah kapal asing bernama MV
Afrika berbendera Panama oleh Satuan Polisi Air dan Udara Sorong di perairan
Inawatan, Sorong Selatan pada Desember 2001. Kapal itu memuat sekitar 12 ribu
ton meter kubik kayu Ramin yang diduga hasil penebangan liar. Kemudian kapal
tersebut oleh Satuan Polisi Air dan Udara diamankan di perairan Sorong,
sedangkan kasusnya dilimpahkan untuk ditangani oleh Polres Sorong bersama
seorang warga Malaysia bernama David Tonno yang dijadikan tersangka.
Pada 15 Januari 2002 tanpa diduga kapal itu menghilang alias keluar dan
lepas dari pengawasan Polres Sorong. Akhirnya Faisal dianggap paling
bertanggungjawab atas kaburnya kapal bersama muatannya tersebut. Apalagi di
kemudian hari, Faisal dan anak buahnya diduga telah membuat laporan palsu
terkait penanganan kasus itu.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait, yakni instrumen hukum yang
memadai, kebijakan dan peraturan yang mendukung, aparat penegak hukum serta
kapasistas kelembagaan yang kuat, proses peradilan yang bersih, dan sanksi
hukum yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana. 7
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. E1.35.PK.03.10
Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengelolaan
Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rupbasan sebagai
penjabaran dari Peraturan Menteri Kehakiman No. M.05.UM.01.06 Tahun 1983
menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengelolaan Barang Sitaan Negara dan
7 S. Andrijani, 2007, Penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia,
(tesis), Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta. h.
13
8
Barang Rampasan Negara di Rupbasan meliputi penerimaan, penelitian,
pendaftaran, penyimpanan, pemeliharaan, pemutasian, penyelamatan,
pengamanan, pengeluaran, penghapusan dan pelaporan. Tujuan dibuatnya surat
keputusan itu agar pelaksanaan pengelolaan barang sitaan Negara (Basan) dan
barang rampasan Negara (Baran) di Rupbasan dapat berjalan sesuai fungsinya.
Akan tetapi dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan ini belum
mengatur fungsi pengawasan Rupbasan dalam pemanfaatan barang bukti sitaan
Negara khususnya kayu untuk kepentingan sosial setelah adanya putusan
pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan uraian secara normatif dari berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan diatas, hal yang penulis ingin uraikan disini adalah berkaitan
dengan pengaturan fungsi pengawasan Rumah Penempatan Barang Sitaan Negara
(Rupbasan) terhadap putusan pengadilan dalam hal pemanfaatan barang bukti
kayu sitaan Negara hasil tindak pidana pembalakan liar (illegal loging) untuk
kepentingan sosial bagi masyarakat miskin. Dalam Hukum Acara Pidana
(KUHAP) secera tegas tidak mengatur tentang kewenangan Rumah Penempatan
Barang Sitaan Negara sebagai pelaksana putusan pengadilan dalam hal
pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial dan
bagaimana formulasi fungsi pengawasan Rupbasan terhadap pemanfaatan barang
bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial. Penulis berpandangan peran
Rupbasan sangat diperlukan untuk memberikan fungsi kontrol secara
kelembagaan (Institution quality control) terhadap pemanfaatan barang bukti hasil
tindak pidana untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan yang dapat terjadi
dalam implementasinya dikemudian hari.
9
Selain permasalahan yang telah penulis uraikan diatas adapun sasaran
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan kehidupan masyarakat miskin melalui pemanfaatan barang bukti
kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial, formulasi fungsi pengawasan
Rupbasan dalam hal pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara untuk
kepentingan sosial melalui sistem manajamen pemanfaatan barang bukti yang
profesional, serta intergrasi pelaksanaan terhadap pemanfaatan barang bukti kayu
sitaan Negara.
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, menarik bagi penulis untuk
menulis usulan penelitian tesis dengan judul : Fungsi Rumah Penyimpanan
Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Terkait Pemanfaatan Barang Bukti Kayu
Sitaan Negara Dalam Tindak Pidana Illegal Logging.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas adapun rumusan masalah yang
dapat penulis uraikan adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan fungsi Rupbasan terkait pemanfaatan barang
bukti kayu sitaan Negara dalam tindak pidana illegal logging ?
2. Bagaimanakah formulasi fungsi pengawasan Rupbasan terhadap
pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk membatasi ruang lingkup masalah dalam penelitian ini agar sifatnya
lebih spesifik untuk rumusan masalah pertama dibahas tentang pengaturan fungsi
Rupbasan terkait pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara dalam tindak
pidana illegal logging.
10
Untuk rumusan masalah kedua dalam penelitian ini dibahas mengenai
formulasi fungsi pengawasan Rupbasan terhadap pemanfaatan barang bukti kayu
sitaan Negara untuk kepentingan sosial.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum.
Adapun tujuan umum dari penelitian tesis ini dapat penulis deskripsikan
sebagai berikut :
Untuk memberikan wawasan dan khasanah keilmuan bagi para pembaca,
akademisi hukum dan praktisi hukum tentang pengaturan fungsi Rupbasan terkait
pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara dalam tindak pidana illegal logging.
1.4.2 Tujuan Khusus.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah dapat penulis uraikan sebagai
berikut :
1. Untuk menganalisis secara mendalam serta mendeskripsikan pengaturan
fungsi Rupbasan terkait pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara
dalam tindak pidana illegal logging menurut KUHAP dan Undang-
Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
2. Untuk formulasi fungsi pengawasan Rupbasan terhadap pemanfaatan
barang bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial menurut
ketentuan Pasal 44 ayat 2, Pasal 43 huruf (d) dan Pasal 44 ayat (5)
Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
11
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sosial dan kontribusi
keilmuan. Manfaat sosial dalam hal ini adalah meningkatkan peran serta
masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam menjaga hutan dari tindak pidana
pembalakan liar. Kontribusi keilmuan adalah untuk memberikan pembenahan
secara akademis tentang pengaturan fungsi Rupbasan terkait pemanfaatan barang
bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial dalam tindak pidana illegal
loging setelah adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap
menurut KUHAP dan ketentuan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat khusus atau manfaat praktis penulisan ini adalah karya tulis
ilmiah ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para praktisi hukum,
akademisi, serta mahasiswa hukum tentang formulasi fungsi pengawasan
Rupbasan dalam melaksanakan putusan pengadilan terhadap pemanfaatan barang
bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial menurut KUHAP dan Undang-
Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan.
1.6 Orisinalitas Penelitian.
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat dalam dunia
pendidikan di Indonesia mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan
orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan tiga judul
penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Dalam penelitian kali
12
ini ditampilkan tiga buah tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan
tindak pidana kehutanan adalah:
a) Tahun 2009, tesis karya G.P HUTAJULU (mahasiswa program pasca
sarjana Universitas Sumatra Utara) yang berjudul “Kewenangan Polri
Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan”. Dalam peneltian tesis ini permasalahan yang dikaji adalah
bagaimana kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak
pidana di bidang kehutanan dan bagaimana koordinasi antara Polri dengan
aparat penegak hukum lainnya dalam penanganan tindak pidana di bidang
kehutanan. Kesimpulan dari penelitian tesis ini adalah kewenangan Polri
sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan
pada dasarnya penyidik dalam tindak pidana umum adalah Kepolisian
namun dalam beberapa tindak pidana tertentu misalnya, tindak pidana
dibidang kehutanan selain penyidik Polri ada juga penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) yang berada di lingkungan departemen kehutanan
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP dan Pasal 77 ayat (2)
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Koordinasi antara
Polri dengan aparat penegak hukum lainnya dalam penanganan tindak
pidana di bidang kehutanan adalah antara lain dengan aparatur penegak
hukum lainnya seperti Kejaksaan, Pengadilan dan PPNS Kehutanan dalam
penanganan tindak pidana di bidang kehutanan secara umum dapat
terlaksana baik dalam kegiatan preventif maupun kegiatan represif,
sehingga jumlah kasus-kasus/tindak pidana di bidang kehutanan semakin
13
berkurang/menurun, terutama setelah dilakukannya operasi wanalaga dan
operasi hutan lestari di wilayah hukum Sumatera Utara.
b) Tahun 2009, tesis karya ROBERTS KENNEDY (mahasiswa program
studi magister hukum Universitas Sumatra Utara) yang berjudul
“Penanggulangan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Study
Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi PT Keangnam Development
Indonesia)”. Dalam tesis ini rumusan masalahnya adalah terkait dengan
bagaimana pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana
kehutanan dan money laundring di Indonesia serta bagaimanakah
pertanggung jawaban pelaku tindak pidana kehutanan dan money
laundering di Indonesia. Kesimpulan dalam penelitian tesis ini adalah
pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan
telah dirumuskan di dalam ketentuan Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 78 ayat
(1), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 41 sampai dengan
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Untuk pengaturan tentang tindak pidana pencucian
uang (money laudering) yakni diatur didalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UUTPPU
dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang
(Pasal 3 dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang
14
(Pasal 8 dan 9). Pertanggung jawaban pelaku tindak pidana kehutanan dan
money laundering di Indonesia adalah sebagai kejahatan asal (predicate
crime) melalui pendekatan rezim money laundering tentunya terlebih
dahulu dilakukan pendekatan secara represif sebagai bagian dari kebijakan
kriminal (criminal policy) yang merupakan tindakan pemberatasan dan
sekaligus penumpasan terhadap kejahatan kehutanan yang menggunakan
lembaga keuangan sebagai sarana untuk mengalihkan, menyembunyikan
kejahatan kehutanan dengan maksud dana tersebut seolah-olah legal dan
digunakan untuk mendanai kejahatan-kejahatan.
c) Tahun 2007, tesis karya TUTY BUDHI UTAMI, (mahasiswa program
pasca sarjanastudi magister hukum Universitas Diponegoro) yang berjudul
“Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana
Illegal Logging”. Dalam tesis ini rumusan masalahnya yaitu
bagaimanakah kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan
penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang dan bagaimanakah
perumusan kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging dan
penerapan sanksi pidana yang akan datang. Kesimpulan dari penelitian
tesis ini adalah Formulasi Tindak Pidana illegal logging dan penerapan
sanksinya yang berlaku sekarang :
- Tindak pidana dibidang kehutanan;
Diatur dan dirumuskan dalam pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang
No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, namun mengenai definisi yang
dimaksudkan dengan illegal logging tidak dirumuskan secara limitatif
15
sehingga banyak para praktisi hukum yang menafsirkan illegal logging
sendiri-sendiri.
- Subyek hukum;
Illegal logging menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan adalah orang dalam pengertian baik pribadi, badan hukum
maupun badan usaha, diatur dalam satu pasal yang sama tidak
dibedakan pasal mengenai pribadi atau korporasi sehingga korporasi
dikenakan ancaman sanksi yang sama dengan pribadi. Tentang pejabat
yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi
meningkatkan intensitas kejahatan illegal logging belum terakomodasi
dalam undang-undang ini oleh karena itu, hal tersebut menjadi celah
hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku yang tidak diatur secara
tegas dalam undang-undang tersebut untuk lolos dari tuntutan hukum.
- Ancaman pidana yang dikenakan;
Adalah sanksi pidana bersifat kumulatif, pidana pokok yakni penjara
dan denda, pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan
atau alat-alat untuk melakukan kejahatan, ganti rugi serta sanksi tata
tertib.
- Pidana denda untuk korporasi belum dilengkapi dengan aturan
khusus.
Kebijakan aplikasi formulasi tindak pidana illegal logging dan
penerapan sanksi dirasakan tidak memenuhi aspek kepastian dan
keadilan. Hal ini terjadi dalam berbagai kasus illegal logging yang
16
terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Blora, Purwodadi dan
Bodannegoro.
Kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging yang akan datang
diharapkan memuat secara jelas dan lengkap mengenai :
a. Definisi Illegal Logging;
b. Subyek Hukum tindak pidana illegal logging (pribadi dan badan
hukum atau badan usaha atau korporasi dan pegawai negeri
dirumuskan dalam pasal-pasal yang komprehensif;
c. Sanksi Pidana hendaknya dirumuskan tidak secara kaku kumulatif
namun lebih fleksibel dengan perumusan alternatif atau kumulatif-
alternatif.
Guna menghindari adanya plagiasi karya tulis ilmiah dengan pemaparan
penelitian tesis terdahulu diatas terlihat jelas adanya perbedaan masing-masing
peneltian. Tesis karya G.P HUTAJULU membahas permasalahan tentang
bagaimana kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana
di bidang kehutanan dan bagaimana koordinasi antara Polri dengan aparat
penegak hukum lainnya dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.
Tesis karya ROBERTS KENNEDY mengkaji permasalahan tentang bagaimana
pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan
money laundring di Indonesia serta bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku
tindak pidana kehutanan dan money laundering di Indonesia. Penelitian tesis dari
TUTY BUDHI UTAMI membahas permasalahan tentang kebijakan formulasi
tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksi pidana yang berlaku sekarang
17
dan bagaimanakah perumusan kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging
dan penerapan sanksi pidana yang akan datang.
Dalam penelitian tesis ini permasalahan yang dikaji adalah tentang
pengaturan fungsi pengawasan Rupbasan dalam hal pemanfaatan barang bukti
kayu sitaan Negara terkait tindak pidana illegal logging dan bagaimana formulasi
fungsi pengawasan Rupbasan terhadap pemanfaatan barang bukti kayu sitaan
Negara untuk kepentingan sosial.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Baerpikir
A. Landasan Teoritis
Menganalisis rumusan masalah pertama teori, asas, ataupun konsep hukum
yang penulis gunakan adalah:
1. Konsep Negara Hukum
Sebagai dasar dan landasan konsep yang paling universal atau umum,
penulis menggunakan konsep Negara Hukum dari Friedrich Julius Stahl. Konsep
Negara Hukum ini selanjutnya menjadi dasar dalam menganalisis tentang
pengaturan fungsi Rupbasan dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait
dengan pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara hasil tindak pidana
pembalakan liar (illegal loging) untuk kepentingan sosial.
Konsep Negara Hukum sering diterjemahkan dengan istilah Rechtsstaat
atau Rule of Law. Paham Rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum
Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem hukum
Anglo Saxon atau Common Law System. Paham Rechtsstaat ini dikembangkan
oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich
18
Julius Stahl. 8
Paham Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Van Dicey pada
tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study of The Law
of The Constitution.9 Paham Rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem
hukum Eropa Kontinental. Dalam penelitian ini, digunakan Konsep Negara
Hukum dari Friedrich Julius Stahl, karena Indonesia menganut sistem hukum
yang sama yakni sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga terdapat persesuaian
atau persamaan-persamaan terkait dengan penerapan sistem hukum Eropa
Kontinental. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya
Rechtstaat mencakup 4 (empat) elemen, yaitu :
a. Perlindungan hak asasi manusia;
b. Pembagian kekuasaan;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
d. Peradilan tata usaha Negara.10
Pemerintahan berdasarkan undang-undang dalam konsep Negara Hukum
penulis jadikan dasar untuk menganalisis kekosongan hukum dalam pengaturan
fungsi pengawasan Rupbasan terkait pemanfaatan barang bukti kayu sitaan
Negara dalam tindak pidana illegal logging. Ketentuan Pasal 43-48 Undang-
Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan mengatur tentang pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara, namun
dalam hal pengawasannya masih terjadi kekosongan norma hukum yang tidak
diatur didalam KUHAP dan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor
: E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis
8 Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama,
CV. Mandar Maju, Bandung, h. 3.
9 AV. Dicey, 1952, Introduction To The Study of The Law of The Constitution, Nine Edition,
Macmillan and Co Limited, London, p. 202
10
Ibid
19
Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan
Benda Sitaan Negara.
2. Teori Kewenangan
Teori kewenangan ini befungsi sebagai pisau analisis untuk membahas
rumusan masalah pertama dalam hal sumber lahirnya suatu kewenangan. Dalam
pelaksanaannya setiap penyelenggara kenegaraan dan pemerintahan harus
memiliki legitimasi kewenangan yaitu kewenangan yang diberikan dan berasal
dari undang-undang. Dengan demikian kewenangan memiliki keterkaitan dengan
legalitas. Dalam wewenang terdapat asas legalitas didalamnya yaitu kemampuan
untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Seiring dengan pilar utama
Negara Hukum adalah asas legalitas, tersirat makna bahwa wewenang
pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber
wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis,
kewenangan yang bersumber dari Peraturan Perundang-undangan tersebut
diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.11
Ridwan HR menterjemahkan teori kewenangan dari H.D. Van
Wijk/Willem Konijnenbelt mengenai definisi atribusi, delegasi dan mandat
sebagai berikut :
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan
een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan
oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan);
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan
aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari
satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya);
11 Ridwan H.R., 2008, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Cetakan keempat, Jakarta,
h. 100-102.
20
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem
uitoefenen dooreen ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).12
Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari
peraturan perundang-undangan. Organ pemerintah memperoleh kewenangan
secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau
memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern
pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima
wewenang (atributaris). Pada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, namun
hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya.
Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi
beralih pada penerima delegasi (delegataris). Selanjutnya, pada mandat, penerima
mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat
(mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap
berada pada mandans.13
Relevansi teori kewenangan dalam penelitian tesis ini adalah agar
kedepannya Rupbasan memiliki kewenangan yang sah yang kewenangannya
dibentuk secara atribusi yaitu pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang kepada organ pemerintahan, mengingat terkait pemanfaatan
barang bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial dalam tindak pidana
illegal logging fungsi kewenangan pengawasan Rupbasan masih terjadi
kekosongan hukum.
12 Ibid, h. 104-105
13
Ibid, h.108-109
21
3. Teori Fungsi Hukum
Roscoe Pound mengenai fungsi hukum bertolak dari pengertiannya tentang
hukum. Bagi Pound, hukum bukan saja sekumpulan sistem peraturan, doktrin, dan
kaidah atau azas-azas, yang dibuat dan diumumkan oleh badan yang berwenang,
tetapi juga proses-proses yang mewujudkan hukum itu secara nyata melalui
penggunaan kekuasaan.14
Berdasarkan pengertian hukum tersebut Pound
mengemukakan gagasannya mengenai fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial
(social engineering). Pound membuat suatu daftar kepentingan agar hukum dapat
melakukan fungsinya. Daftar tersebut merupakan penggolongan kepentingan yang
terdiri dari:
(1) Kepentingan-kepentingan umum (public interests);
(2) Kepentingan-kepentingan sosial (social interests);
(3) Kepentingan-kepentingan individu (individual interests).
Kepentingan-kepentingan tersebut digolong--golongkan dengan maksud
jika terjadi perselisihan kepentingan dalam proses pembangunan khususnya
benturan kepentingan umum atau sosial dengan kepentingan individu, maka perlu
diupayakan keseimbangan atau harmonisasi kepentingan. Dalam pertentangan
kepentingan itu, hukum akan memilih dan mengakui kepentingan yang lebih
utama melalui penggunaan kekuasaan.
Relevansi teori ini dalam mengkaji permasalahan dalam penelitian ini
adalah terdapat dalam gagasan Pound mengenai fungsi hukum sebagai alat
rekayasa sosial (social engineering). Penulis berpandangan terkait dengan hukum
14 Melkias Hetharia, 1996, Fungsi hukum menurut Roscoe Pound, Perpustakaan Universitas
Indonesia, Avalaible at http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=79780&lokasi=lokal.
Diakses 14 April 2015
22
sebagai alat rekayasa sosial dalam kaitannya dengan pengaturan fungsi Rubasan
terhadap pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara dalam tindak pidana
illegal logging adalah melalui fungsi hukum sebagai alat pembaharuan dalam
masyarakat, Rupbasan dapat menggunakan hukum sebagai alat/instrument untuk
mengatur pemanfaatan barang bukti serta memberikan fungsi pengawasan
terhadap pihak-pihak yang berkepentingan ingin memanfaatkan barang bukti
tindak pidana. Rupbasan merupakan suatu institusi yang keberadaanya diakui
berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06 Tahun 1983
tentang Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara.
4. Asas Legalitas
Asas legalitas merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu
perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan
dari principle of legality. Dalam bahasa latin asas legalitas disebut dengan
“Nullum delictum nullapoena sina praevia lege poenale” artinya adalah tidak ada
suatu perbuatan pidana yang dapat dipidana tanpa adanya peraturan terlebih
dahulu yang mengaturnya. Asas legalitas mengandung tiga pengertian yaitu:
1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-
undang;
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi;
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).15
15 M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, h. 122-123
23
Asas legalitas merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap
kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya.16
Asas legalitas sebagai pisau analisis membahas permasalahan penelitian
ini memberikan makna bahwa pemanfaatan barang bukti tindak pidana harus
berdasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku dan Rupbasan dalam fungsi
pengawasannya harus memiliki legitimasi hukum yang sah dan berdasarkan atas
undang-undang.
Pada rumusan masalah kedua adapun teori, asas dan konsep hukum yang
penulis gunakan adalah :
1) Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)
Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence Friedman. Inti dari teori
ini adalah sistem hukum terdiri dari tiga komponen sistem, yaitu 1) substansi
hukum (legal subtance), 2) struktur hukum (legal structure) dan 3) budaya hukum
(legal culture).17
Menurut Friedman yang dimaksud dengan komponen sistem
hukum tersebut yakni:
a. Struktur hukum adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi termasuk di dalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan seterusnya;
b. Substansi hukum adalah keseluruhan aturan hukum (termasuk asas hukum dan norma hukum), baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;
c. Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum
16 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 61-62
17
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, h. 141,
24
selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
18
Relevansi teori ini dalam mengkaji permasalahan dalam penelitian ini
adalah bahwa berhasilnya penegakan hukum dipengaruhi oleh faktor struktur
hukum, kultur hukum, dan substansi hukum.
Formulasi fungsi pengawasan Rupbasan terhadap pemanfaatan barang
bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial yang merupakan amanah dari
ketentuan Pasal 44 ayat 2, Pasal 43 huruf (d) dan Pasal 44 ayat (5) Undang-
Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan
Hutan adalah formulasinya dengan memfokuskan pada perbaikan dan penguatan
secara substansi hukum.
Penguatan secara substansi hukum yang terintergrasi dengan aturan
lainnya dan tidak tumpang tindih sangat peting untuk diterapkan mengingat
ketentuan Pasal 44 Ayat (2) KUHAP melarang penggunaan barang bukti sitaan
tersebut oleh siapapun juga, kemudian hal ini dilakukan dengan seimbang diikuti
dengan struktur hukum yang didalamnya meliputi bekerjanya para aparatur
penegak hukum serta diikuti/dilengkapi dengan budaya hukum terkait dengan
kesadaran hukum masyarakat.
3. Tori kemanfaatan
Bentham dalam teori hukum kemanfaatannya menyatakan bahwa tujuan
hukum adalah untuk mencapai dan menjamin kebahagiaan bagi masyarakat (the
greatest happiness of the greatest number). Kriteria baik dan buruk yang harus
ada di dalam hukum harus berasal dari kebahagiaan itu sendiri. Semua institusi
18 Lawrence Friedmandalam Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence),
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 225
25
politik dan publik harus dinilai berdasarkan apa yang dikerjakannya, bukan oleh
ide-idenya. Sehingga yang dinilai adalah kemampuan mereka dalam memberikan
kebahagiaan kepada masyarakat, bukan karena kesesuaiannya dengan hak-hak
alamiahnya atau keadilan yang mutlak. Utilitarianisme didasarkan kepada doktrin
hedonisme yang memandang bahwa manusia adalah makhluk yang berkesadaran,
makhluk yang memiliki perasaan dan sensitivitas. Prinsip kemanfaatan ditujukan
untuk menguji dan mengevaluasi segala kebijakan dan peraturan yang ditetapkan
oleh pemerintah. Negara dalam fungsinya menurut utilitarianisme harus
merealisasikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat dan ini
merupakan fungsi alat, bukan fungsi tujuan.19
Bentham lebih lanjut menjelaskan bahwa secara alamiah manusia hidup
dalam dua kekuatan yaitu ketidaksenangan (pain) dan kesenangan (pleasure).
Selengkapnya, Bentham mengatakan sebagai berikut:
Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters,
pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as
well as to determine what we shall do. On the one hand the standard of right
and wrong, on the other the chain of causes and effects, are fastened to their throne”. Dalam konteks ini, kebahagiaan akan dipahami sebagai keadaan
yang sepenuhnya berada dalam kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu
perbuatan dapat dinilai sebagai hal yang baik atau buruk sepanjang dapat
meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan seseorang. Inilah yang
merupakan konsep dasar dari teori ulitarianisme Bentham (the principle of
ulity). 20
Bentham memaknai kegunaan atau kemanfaatan sebagai sesuatu yang
dapat dimiliki dan dapat mendatangkan manfaat, keuntungan, kesenangan, dan
kebahagiaan, atau sesuatu yang dapat mencegah terjadinya kerusakan,
19
Jeremy Bentham, 2000, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation,
Kitchener: Batoche Books, h. 14.
20
Ibid
26
kedaksenangan, kejahatan, atau kedakbahagiaan. Nilai kemanfaatan ini ada pada
tingkat individu yang menghasilkan kebahagiaan individual (happiness of
individual) maupun masyarakat (happiness of community). Bagi Bentham,
moralitas suatu perbuatan ditentukan dengan mempertimbangkan kegunaannya
untuk mencapai kebahagiaan segenap manusia, bukan kebahagiaan individu yang
egois sebagaimana dianut oleh hedonisme klasik. Inilah yang kemudian
melahirkan dalil klasik Bentham mengenai kebahagiaan: the greatest happiness of
the greatest number (kebahagiaan terbesar untuk mayoritas).21
Teori kemanfaatan ini relevansinya dalam formulasi norma terkait fungsi
pengawasan Rupbasan terhadap pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara
untuk kepentingan sosial kedepan adalah normanya harus akurat dan tepat sasaran
serta mampu merealisasikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat.22
2. Konsep Due Pocces Model
Secara teoritis didalam sistem peradilan pidana indonesia menganut sistem
“Due Procces Model”. Karakteristik due proses model yaitu:
a. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusia atau
human error menyebabkan model ini menolak informal fact finding
process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt
seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal-adjudicative dan
adversary fact finding. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka
harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak, dan
diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk
mengajukan pembelaannya;
b. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan
menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi
peradilan;
c. Model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan,
sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt.
21
Ibid
22
Jeremy Bentham, 2000, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation,
Kitchener: Batoche Books, h. 14.
27
d. Doktrin “Legal-Guilty” menjadi dasar atas dasar :
1. Seseorang dianggap bersalah bila kesalahannya dibuktikan
secara prosedural dan oleh mereka yang memiliki otoritas untuk
itu;
2. Penetapan kesalahan hanya dapat ditetapkan oleh pengadilan
yang berwenang dan tidak memihak;23
e. Gagasan persamaan di muka hukum atau “equality before the law”
lebih diutamakan;
f. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan
sanksi pidana (criminal sanction).24
Konsep Due Pocces Model dalam penelitian ini relevansinya adalah
terdapat pada poin b menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme
administrasi peradilan serta memberikan pemahaman tentang kebenaran yang
prosodural sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku pada sistem hukum di
Indonesia dalam kaitannya dengan formulasi fungsi pengawasan Rupbasan dalam
hal pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial. Due
Pocces Model pada poin b diatas mensyaratkan bahwa pengawasan Rupbasan
dalam hal pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial
hendaknya sedapat mungkin menghindari adanya kesalahan mekanisme
administrasi peradilan serta memberikan pemahaman tentang kebenaran yang
prosedural sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku pada sistem hukum di
Indonesia. Prinsip inilah idealnya dapat diterapkan kedepan dalam
memformulasikan fungsi pengawasan Rupbasan dalam hal pemanfaatan barang
bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial agar terhindar dari sejauh
mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan serta memberikan
pemahaman tentang kebenaran yang prosodural.
23 Eva Achjani Ulfa Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk
Agung, Bandung, h. 27
24
Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen,
Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya Padjajaran, Bandung, h..42
28
3. Konsep Politik Hukum Pidana
Konsep Poltik Hukum Pidana dalam penelitian ini digunakan sebagai
sarana untuk formulasi pengaturan fungsi pengawasan Rupbasan terhadap
pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial menurut
ketentuan Pasal 44 ayat 2, Pasal 43 huruf (d) dan Pasal 44 ayat (5) Undang-
Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
Politik Hukum Pidana menurut Sudarto pengertiannya dapat dilihat dari
politik hukum pada umumnya yang meliputi: (1) kebijakan dari Negara melalui
badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan, (2) usaha
untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu.25
Sebagai bagian dari politik hukum, politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-
undangan pidana yang baik. Melaksanakan politik hukum pidana berarti
mengadakan pemulihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.26
Politik hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya
25 Sudarto, 1993, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, h. 113-11
26
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17
29
kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan. 27
Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana (strafrechts politiek)
ialah garis kebijakan untuk memutuskan; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan
pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, (2) apa yang dapat diperbuat
untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara bagaimana penyidikan,
penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana dilaksanakan.28
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik
pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Dengan demikian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian
dari politik kriminal, atau dengan kata lain politik hukum pidana identik dengan
pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
Politik kriminal menurut Sudarto diartikan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu:
(1) dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran
hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti yang lebih luas, dimana politik kriminal
merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk di
dalamnya cara kerja dari polisi dan pengadilan, (3) dalam arti yang lebih luas,
dimana politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui
27
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I), Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.1
28
Mulder dalam M. Hamdan, 1999, Politik Hukum Pidana, Penerbit PT Raja Grafindo,
Persada, Jakarta, h. 20
30
peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dalam pengertian yang praktis, Politik Hukum Pidana (Politik Kriminal)
adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan, usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat yang terkait dengan eksekusi
pemidanaan. Aktivitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan
berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.29
Politik
Hukum Pidana (Politik Kriminal) tidak hanya berdiri sendiri tetapi mencakup
kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup, baik oleh hukum pidana,
hukum perdata maupun hukum administrasi Negara.30
Usaha penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari
usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana, oleh karena itu
sering pula dikatakan bahwa politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).
Usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum
pidana) juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat
(social defence), oleh karena itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).31
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup
29 Barda Nawawi Arief, 2002, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II) h. 59
30
Indrianto Seno Adji, 2009, Korupsi Dan Penegakan Hukum, Diadit Media Jakarta, h. 10
31
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya bakti,
Bandung, (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief III), h. 99
31
perlindungan masyarakat. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa
tujuan akhir (tujuan utama) dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
32
B. Kerangka Berpikir.
Fungsi Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Terkait
Pemanfaatan Barang Bukti Kayu Sitaan Negara Dalam Tindak Pidana
Illegal Logging.
1.8. Metode Penelitian
Latar Belakang Masalah
Ketentuan hukum tindak pidana illegal logging di Indonesia telah meratifikasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-undang ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
melakukan pemanfaatan terhadap barang bukti kayu sitaan Negara. Pasal 41 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam ketentuannya dijelaskan bahwa Ketua Pengadilan Negeri setempat,
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima permintaan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(3), wajib menetapkan peruntukan pemanfaatan barang bukti.
Pasal 44 Ayat (2) KUHAP dan Pasal 43 huruf (d) dan Pasal 44 ayat (5) Undang-Undang No.18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor:
E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang
Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara tidak mengatur pengaturan tentang fungsi pengawasan
Rupbasan dalam hal pemanfaatan barang bukti kayu sitaan negara untuk kepentingan sosial dalam tindak pidana illegal
logging
Landasan Teoritis
1. Rumusan Masalah 1:
1. Konsep Negara Hukum
2. Teori Kewenangan
3. Teori Fungsi Hukum
4. Asas Legalitas
2. Rumusan Masalah 2:
1. Teori Sistem Hukum
2. Teori Kemanfaatan
3. Konsep Due Procces Model
4. Konsep Politik Hukum Pidana
Sasaran Penelitian
1. Sasaran dari penelitian ini adalah pengaturan fungsi Rupbasan terkait pemanfaatan barang
bukti kayu sitaan Negara dalam tindak pidana illegal logging menurut KUHAP dan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
2. Untuk intergrasi pelaksanaan terhadap pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara dan
memformulasikan pengaturan dalam hal fungsi pengawasan Rupbasan terhadap
pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara untuk kepentingan sosial.
Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaturan fungsi Rupbasan terkait pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara dalam tindak pidana
illegal logging ?
2. Bagaimanakah formulasi fungsi pengawasan Rupbasan terhadap pemanfaatan barang bukti kayu sitaan Negara untuk
kepentingan sosial ?
Metode Penelitian Untuk menghimpun bahan yang dipergunakan guna penyusunan dan
pembahasan digunakan metode Penelitian Hukum Normatif yakni beranjak
dari adanya kekosongan hukum.
33
1.8.1 Jenis Penelitian
Untuk menghimpun bahan yang dipergunakan guna penyusunan dan
pembahasan digunakan metode Penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari
adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum.32
Kekosongan norma hukum
dalam penelitian ini terdapat didalam ketentuan Pasal 44 Ayat (2) KUHAP dan
Pasal 43 huruf (d) dan Pasal 44 ayat (5) Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan Dan Keputusan
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 tentang
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang
Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan
(The Statute Approach), Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical &
Conseptual Approach) dan pendekatan kasus (The Case Approach).33
Jenis-jenis
pendekatan ini akan digunakan untuk menganalisis permasalahan yang ada dalam
penelitian ini.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dalam penelitian hukum normatif, masing-masing dapat diuraikan
sebagai berikut dibawah ini.
Bahan Hukum Perimer terdiri dari :
32 Jhony Ibrahim, 2005, “Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif” Surabaya, h. 284
33
H. Zainudin Ali, 2010, “ Metode Penelitian Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta, h.24
34
- Asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum dalam kaitannya
dengan karya tulis ilmiah ini terdiri dari:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Peraturan Hukum Acara
Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76;
2. Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Perusakan Hutan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5432;
3. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609;
4. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E1.35.PK.03.10
Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis
Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara.
Bahan Hukum Sekunder terdiri dari :
- Buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau
pandangan ahli hukum yang termuat dalam dalam media masa, kamus dan
enslikopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan enslikopedi
hukum kedalam bahan hukum tersier) dan ;
- internet dengan menyebut nama dan situsnya.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan
mengelaborasikan antara bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
dianalisis dan disusun secara sistematis.
35
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik penulisan analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan
teknik deskripsi dan tehnik penemuan hukum (rechtsvinding). Teknik deskripsi
adalah menguraikan adanya suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi
hukum atau non hukum.34
Teknik penemuan hukum (rechtsvinding) menggunakan teknik konstruksi
hukum. Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah proses
penemuan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan
untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa yang konkret.
Dalam teknik konstruksi hukum penemuan hukum (rechtsvinding) dapat
dibentuk melalui 3 jenis metode yaitu:
1. Analogi adalah suatu bentuk penalaran dengan memperluas berlakunya
suatu pasal dari aturan hukum atau undang-undang terhadap peristiwa
hukum yang eksplisit (jelas-jelas) tidak disebut dalam aturan hukum
dimaksud;
2. Argumentum a contrario adalah penalaran ini sama juga dengan analogi
tetapi sampai pada hasil yang berlainan yakni aturan hukum dalam
undang-undang hanya berlaku pada kejadian-kejadian yang secara
eksplisit disebut, dan tidak berlaku bagi kejadian yang tidak disebut;
3. Rechtsverfijning atau penghalusan hukum dijelaskan oleh Sudikno
Mertokusumo dinamakan “penyempitan hukum” karena itu penalarannya
34 M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I,
Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43
36
berlawanan dengan analogi, pada penghalusan hukum yang terjadi adalah
aturan hukum yang dikhususkan.35
Penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau individualisasi
peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret
tertentu.36
Apabila terjadi kekosongan hukum maka hukum harus dicari dan
ditemukan melalui penemuan hukum.
35 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal
Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga, h.48
36
Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan
Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jogjakarta, h. 56