d i s k u s i k o t a k a t a - kotakata.files.wordpress.com · petarung sejati, dengan taji...

16
D I S K U S I K O T A K A T A Edisi Keempat, Februari 2016 MENGGALI IDE DAN RISET

Upload: lephuc

Post on 02-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

D I S K U S I K O T A K A T A

Edisi Keempat, Februari 2016

MENGGALI IDE DAN RISET

1

Sembahyang Makan Malam

Karya Hanna Fransisca

Ayam jantan yang dikebiri, yang oleh kodrat manusia

diganti nama menjadi jam kai, kini terbaring mati.

Tubuhnya gemuk. Barangkali dulu ia adalah calon

petarung sejati, dengan taji runcing setajam pisau. Tapi

atas nama doa tulus yang kelak diucapkan pada malam

imlek, pisau taji itu ditelikung berbulan-bulan. Lalu

berakhirlah nasibnya sampai di sini: pada malam imlek

saat jasad jam kai terbaring di dasar mangkuk tembaga, —

setelah direbus dengan berbagai aroma bumbu.

“Tuhanku yang adil, kenapa hidup terasa lama sekali?”

begitulah ia, lelaki karatan itu berbisik di depan jasad

harum jam kai aroma bumbu. Dan melihat mata ayam

kebiri itu seperti melihat nasibnya sendiri. Di luar bunyi

petasan jauh berdentum dan berderai. Suara langkah-

langkah berkebat di jalan, orang-orang yang bergegas

menuju vihara, dan sesekali celetukan gong xi… gong xi…

menguar di udara. Atau anak-anak berlarian. Atau

tambur dari arak-arakan barongsai. Atau barangkali ada

juga yang buru-buru menghindar hujan lantaran

2

menganggap hujan bukan berkah,—raungan truk lewat,

anak-anak muda bersenang dengan arak setelah

sembahyang, suara angin berdesis. Kota yang penuh

berkah! Mengalirlah doa. Menguaplah ribuan dupa.

Akan tetapi yang paling jelas dari semua berkah dan doa

itu: ia kini merasa semakin tua dan karatan. Duduk di

meja makan bundar, merasa hidup telah terlewati. Di

bawah lampion, di seberang altar dengan kertas-kertas

doa dan persembahan di depan foto leluhur, di bawah

aroma hio yang ia bakar barusan. Dua piring kosong,

dengan dua pasang sumpit tertata rapi. Satu piring

kosong untuk dirinya, dan satu piring kosong untuk

istrinya yang entah di mana.

Dikepung sunyi dan beragam menu mewah yang tak

setiap orang bisa. Bayangkanlah, dulu ia adalah lelaki

perkasa, tapi jangankan jam kai yang subur dan mahal,

bahkan telur ia tak selalu sanggup membeli. Anak

gadisnya anak semata wayang—tumbuh cantik, dan selalu

ia marah pada para pemuda yang selalu melirik

kecantikan anak gadisnya dengan berahi. Ia katakan

dengan tegas, di depan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki:

“Berkahi anakku dengan jodoh lelaki yang kaya!” Lalu

istrinya (yang dulu cantik dan kemudian semakin buruk

3

lantaran mulai belajar memaki), menambahkan kata:

“Dan biarkan ia dipilih lelaki kaya dari Taiwan.”

***

Ia kini duduk di meja makan bundar sebagai lelaki tua

yang karatan. Matanya berserpih bening menatap dua

piring kosong yang tertata rapi dengan sepasang sumpit

di samping. Sebuah mangkuk sup teronggok sunyi

dengan sendok bebek menghadap langit-langit rumah,

seperti memanjatkan doa: “Tuhan, ada aroma kebaikan

apakah pada orang tua yang tengah dikepung makanan

ini?”

Bertahun ia membayangkan anak gadisnya agar lekas

tumbuh dewasa. Ia iri pada kebahagiaan keluarga yang

memiliki menantu. Menantu yang kelak menghormati

martabat leluhur, yang setiap malam imlek akan

bertandang ke rumah mertua dengan membawa

seekor jam kai dan sepasang kaki babi. Adakah makanan

yang lebih mewah dari itu? Bagi doa orang miskin, jam

kai dan kaki babi adalah surga. Tentu saja, doa orang

miskin yang memiliki gadis paling cantik di kota, dengan

begitu mudah dikabulkan Cai Shen, Dewa Pemberi

Rezeki. Lalu bidadari kecilnya, malaikat yang tumbuh

dinaungi kecantikan dan kelembutan Dewi Kwam Im,

4

yang seringkali naik di punggungnya sambil menghitung-

hitung panu; tiba-tiba menjelma dewasa. Dilamar lelaki

gemuk dengan perut buncit menyimpan sejarah

kekayaan. Para tetangga, kerabat, dan saudara-saudara

berdatangan, memuji-muji jodoh itu sebagai: “Mukjizat

dari doa-doa para leluhur.” Menantu baru yang dipuji

sebagai mukjizat dari doa para leluhur, meninggalkan

kaki babi, uang-uang buat membeli daging (dan kelak

mengirimnya pada setiap malam imlek, —selama

bertahun-tahun), lalu pergi membawa bidadari cantiknya

menuju Taiwan. Tak pernah pulang, berkabar pulang,

atau pun menyebut kata “pulang” dalam surat-suratnya.

Ketika ia mulai rindu setengah putus asa lalu berdoa di

hadapan Dewa Bumi, ia mengatakan begini: “Istriku dan

aku telah menukar anak gadisku dengan kaki babi.

Apakah yang harus aku lakukan untuk menebusnya,

duhai Dewa Bumi?” Istrinya, yang belakangan mulai

gemuk lantaran kiriman-kiriman rutin setiap bulan (dan

mulai sombong dengan gelang-gelang dari menantu, lalu

belajar sedikit demi sedikit untuk mulai memaki),

mendengar doa itu. Lalu memutuskan nasibnya sendiri:

pergi menyusul anak gadisnya ke Taiwan.

Tahun berganti tahun. Dan atas pertimbangan firasat

yang makin tumpul dan dungu, ia selalu melengkapi

5

sajian meja makannya dengan ikan malas. Ikan malas

(entah atas kodrat apa dengan nama ikan malas) yang

dimasak tim ala Hongkong, untuk doa-doa ‘meminta

lebih’ pada malam imlek. ‘Xin Nian Kuai Le! Nian-nian

you yu…’ begitulah kalimat doa diucapkan dengan

menggeleng-gelengkan kepala saat tiba kata “yu” berkali-

kali. “Yu” berarti ikan dan “yu” yang ke dua berarti lebih,

menjadi mantra wajib. Maka bergeleng-gelenglah ia,

setiap tahun, bergeleng-geleng dengan cepat seperti

pemabuk yang tidak percaya mendapati dirinya tiba-tiba

kaya dengan memenangkan lotre. Semakin pedih dan

rindu kepada anak dan istrinya, semakin cepat kepalanya

bergeleng ke kiri kanan sambil melafalkan kata “yu,

yu” dengan penuh putus asa.

Doa dan mantra lewat ikan malas untuk meminta lebih.

Lebih untuk apa? Pada kelaziman yang wajar, kata

“lebih” adalah menunjuk pada rezeki, tapi ia ingin

membaliknya menjadi lebih pada nasib! Sebab ia sudah

lebih, dan bertahun menebus lebih dengan kerinduan

yang pahit. Lihatlah ia yang lebih, dengan kepungan

sembahyang makan malam di meja: Sembilan macam

menu yang terhidang di depan, dan tidak mungkin

dihabiskan sendirian.

6

Sembilan, adalah juga angka keramat yang dipercaya

membawa keabadian. Tapi benarkah ia ingin abadi?

Benarkah ia ingin abadi dengan kemewahan seperti

sekarang ini? Setiap bulan menantu lelakinya selalu

memberi lebih. Tapi setiap bulan itu pula, anak gadisnya

selalu terbayang tengah melempari wajahnya dengan kaki

babi.

***

Ia yang perkasa, istrinya yang muda, anak gadis yang

lincah dan jelita, menunggu angpao dari majikan untuk

pakaian dan sepatu baru. Dengan angpao yang tidak

seberapa, ia membeli tiga helai pakaian murah, tiga

pasang sandal jepit, dan mendayung sepeda angin

menuju warung makan. Dengan sepiring mie panjang

untuk doa panjang umur, lalu tiga butir telur rebus

untuk membayangkan aroma ayam, mereka singgah dan

berlinangan khusuk di bawah kebahagiaan atap

kelenteng kecil. Tanpa nyala lilin, tanpa minyak, tanpa

jubah Pak Kung, tanpa membakar ‘uang sembahyang

emas’ dan ‘uang sembahyang perak’. Betapa Dewa Bumi

tiba-tiba menurunkan kebahagiaan malam yang tak

pernah bisa terlupakan. Betapa Dewa Pemberi Rezeki

telah memaafkan doa-doa yang telah diucapkan: “Wahai

Engkau, Dewa Pemberi Rezeki, maafkan keluarga kami

7

tidak dapat bersujud dihadapan-Mu dengan

‘mengirimkan’ Engkau uang sembahyang, membakarkan

dupa wangi, menuangkan minyak, dan menyalakan lilin.

Sebab mana mungkin kami menyediakan semuanya,

sedangkan Engkau tak pernah memberinya?”

Nyala lilin untuk terang jalan hidup. Tapi lilin di hati,

adakah ia akan mati? Dengan aroma dupa sepanjang

kota, lampion-lampion yang menyala dari setiap beranda,

gelak tawa dan sapaan gong xi… gong xi…., suara tambur

yang bersahut-sahut lamat dan jauh, dari rumah-rumah

terang yang menyala, dari kelenteng-kelenteng yang

dilewati dengan sukacita. Sepeda angin dikayuh, sepeda

angin menuju rumah malam, menuju sembahyang

makan malam. ‘Makanlah Siau Ling, mie panjang supaya

kelak engkau berumur panjang,’ ia berdoa untuk

anaknya. “Makanlah Xie Ling, mie panjang supaya umur

kita dipanjangkan, dan kita bisa tetap bersama,” ia

berdoa untuk dirinya dan istrinya. “Kita makan telur ini

untuk kesejahteraan, dan kelak hidup yang lebih.”

Hidup yang lebih baik. Ia kini bisa membakar uang

sembahyang sebanyak yang ia inginkan. Hidup yang

lebih baik. Ia bisa berdoa di hadapan sembilan menu

untuk menyenangkan para Dewa pada malam imlek.

Hidup yang lebih baik?! Ia ingin istri dan anaknya

8

kembali berkumpul. Ia ingin waktu kembali diputar ke

masa lalu. Ia ingin mati saat ini. Ia ingin berteriak:

“Persetan kalian, semua orang di kota ini, yang telah

membujuk para ibu untuk menyerahkan anak-anak

gadisnya, pada lelaki-lelaki dari Taiwan!”

***

Chai Shen dao! Cai Shen dao! Cai Shen dao wo de jia men

kou! Lirik syair lagu yang meneriakkan bahwa

Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki telah datang!

Dewa Rezeki tiba di depan rumahmu! Alunan lagu itu

begitu manis di telinga. Kekosongan makin terasa di

antara kerlap-kerlip lampu, kehampaan seperti lampion

di depan rumahnya yang doyong ke kiri dan doyong ke

kanan. Udara berubah sangat dingin. Bunyi petasan yang

diyakini dapat mengusir roh-roh jahat, kini meletup di

dadanya seperti balon udara yang terbakar.

Tidak ada siapa-siapa di meja makan, kecuali hidangan

mewah dan dirinya yang memandang dengan sepi. Ia

tidak meneruskan makan malamnya, —begitulah yang

memang selalu ia lakukan bertahun-tahun. Ia akan

menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam,

kemudian duduk di beranda rumah. Matanya akan terus

memandang, ke jalan raya, ke kejauhan, ke batas

9

pandang sejauh ia memandang. Ia selalu berharap ada

dua perempuan berjalan ke arahnya, barangkali dua

perempuan itu turun dari langit, memeluknya erat dan

mengucapkan, “gong xi… gong xi….”

Singkawang, Februari 2010

Cerpen ini pernah diterbitkan di harian Suara Merdeka, 21 Februari 2010. Disalin dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/ entertainmen/2010/02/25/1708/Sembahyang-Makan-Malam.

10

Imlek yang Terbalik

Oleh Andika Fahrizal

Pembaca awam seperti saya sebenarnya bingung ketika

disuguhkan cerpen “Sembahyang Makan Malam” karya

Hanna Fransisca. Apalagi saya tidak mengerti sama sekali

tentang kebudayaan Cina. Namun, saya melakukan

sedikit riset tentang budaya Cina untuk lebih memahami

cerpen ini. Jika kita baca cerpen nya tadi, tokoh ayah ini

sepertinya menyesali permintaannya pada dewa untuk

memiliki seorang menantu yang kaya raya. Setelah

dikabulkan permintaannya, si ayah justru merasa

kesepian setelah anak nya yang cantik seperti Dewi

Kwam Im itu pergi bersama suaminya ke Taiwan.

Kemudian istrinya pun pergi entah ke mana. Tinggallah

ia sendiri pada malam imlek yang “meriah” dikelilingi

makanan mewah dan tanpa menyalakan petasan. Hal ini

menunjukkan bahwa yang dialami sang ayah pada

malam imlek berbeda dengan malam imlek orang

kebanyakan.

Ada berapa tradisi yang saya temukan pada malam imlek.

Pertama, menyalakan petasan; kedua, mengunjungi

orang tua; ketiga, makan malam bersama keluarga.

11

Makanan makanan yang disajikan pada malam imlek

biasaya adalah babi, ikan, dan ayam. Orang Cina

memakan hewan ini dengan tujuan agar terhindar dari

sifat hewan-hewan tersebut. Babi melambangkan hewan

yang malas, ikan dilambangkan jahat karena sisiknya

seperti ular. Tetapi pada cerpen ini sang ayah justru

melakukan tradisi yang berkebalikan dari tiga tradisi di

atas.

Sebagai keturunan Cina, Hanna Fransisca pasti paham

tentang tradisi dan budayanya. Tidak perlu melakukan

riset terlebih dahulu seperti yang saya lakukan di atas.

Tetapi penulis cerpen ini menceritakan sebuah malam

imlek yang sedih bukan bahagia. Maka timbul

pertanyaan saya, apakah penulis sengaja memancing

pembaca untuk tahu tentang kebudayaannya dengan

membuat cerpen seperti ini?

12

Doa yang Disesalkan

Oleh Tosan Aji Prakoso

Di awal cerpen digambarkan ayam jantan sebagai

hidangan ayam jantan sembahyang. Dulunya, ayam

tersebut memliki kehidupan yang sempurna sebagai

seekor ayam, lalu di akhir hayatnya menjadi hidangan

mewah yang bergelimangan bumbu-bumbu. Seandainya

si ayam bisa berpikir, inikah yang dia inginkan?

Setelah kita simak keseluruhan cerpen, tidakkah kita

menerka, si ayam pada awal cerita ini memiliki kesamaan

nasib seperti tokoh utama dalam cerpen? Biarpun hanya

sebagai hidangan, adakah hubungan lebih lanjut ayam

ini terhadap ide cerita? Atau bisa jadi, dari ayam lah

pencetus ide cerpen?

Dalam cerpen “Sembahyang Makan Malam” ini nuansa

chinese dan agama Buddha dituliskan dengan intensitas

tinggi. Memang setting suasana tidak ditekankan di sini

sebab setting tempat tidak disebutkan tersurat, berada di

lokasi antah berantah di luar Taiwan. Namun

seandainya boleh menebak, setting sepertinya berada di

Singkawang, dimana cerpen ini ditulis.

13

Tradisi dan budaya yang digambarkan dalam cerpen ini

mengizinkan kita mengingat-ingat kembali bagaimana

manusia hidup bersama harapan dan doa-doa. Setiap

umat beragama tentu memenuhi geraknya dengan

harapan dan doa lewat caranya masing-masing. Dalam

cerpen ini hal tersebut muncul secara unik dan khas.

Sebagai contoh, permintaan lelaki dengan lantang

kepada Dewa Pemberi Rezeki agar anaknya dijodohkan

dengan lelaki kaya. Keinginan yang sungguh-sungguh

tampak boleh dikatakan dengan yakin dan tegas, seolah

menerima apa pun konsekuensinya. Lalu doa dan

mantra lewat ikan malas, jumlah hidangan yang

berjumlah sembilan dipercaya membawa keabadian, mie

panjang untuk doa panjang umur, membakar uang

sembahyang, dan sebagainya, merupakan contoh

bagaimana manusia berharap dan berdoa demi

keinginannya.

Kemudian, permintaan tokoh lelaki pada Dewa Pemberi

Rezeki dikabulkan. Bagai mukjizat, seorang lelaki kaya

dari Taiwan (persis seperti permintaan istri si lelaki)

datang meminang anak mereka. Anak mereka yang

cantik itu dibawa ke Taiwan, dan orang tuanya yang

ditinggal dijanjikan uang-uang, kaki babi, begitu

seterusnya akan selalu dikirimkan. Namun sayang sekali,

14

bukan kesenangan yang didapat seperti yang diharapkan,

namun kerinduan. Lalu beban itu bertambah lagi ketika

istri Lelaki menyusul anak gadisnya ke Taiwan.

Demikian tahun berganti tahun, sampai sampai lelaki

tak lagi tahu bagaimana cara berdoa dan berharap. Lelaki

menggunakan doa meminta rezeki, meskipun yang ia

inginkan sebetulnya nasib baik, karena rezeki baik sudah

berhamburan di hadapannya. Salah satu hikmah yang

bisa kita ambil adalah, sudah benarkah apa yang kita

harap? Apa yang kita harapkan dalam segala gerak kita

pada umumnya, dan doa pada khususnya?

Usaha untuk menggambarkan seseorang yang bernasib

sama seperti ayam hidangan saya kira adalah gagasan

utamanya. Namun darimana kah kiranya ide tersebut

berawal? Dari ayam hidangan kah? Tokoh nyata kah?

Atau berangkat dari lingkungan yang begitu gigih

mengharapkan sesuatu yang duniawi?

Sering terdengar, ide bisa datang dari mana saja. Itu

benar, apabila kita bersedia memanfaatkan ide tersebut

untuk menulis tentang apa saja. Bila tidak, ide biasanya

muncul dari topik yang sudah kita kuasai, atau dengan

kata lain, informasi tentang suatu topik sudah banyak

kita miliki. Tidak memiliki informasi yang cukup, bisa

dilanjutkan dengan riset.

15

Ide muncul dari kepekaan penulis. Penulis biasanya

menyadari hal menarik yang orang awam seringkali tidak

pedulikan. Apa yang menarik dari orang tua kesepian

yang duduk di beranda rumah dan merokok? Apa

menariknya ayam hidangan ini? Atau tidakkah orang-

orang tampak terlalu ngotot dengan keinginannya

kepada Tuhan?

Dengan hal biasa seperti itu, ide bisa didapatkan.

Ungkapkan alternatif kenyataan dan pertanyaan menarik

untuk hal biasa. Misalnya pertanyaan seperti, orang tua

kesepian ini bergelimangan harta, mengapa tidak

bahagia? Adakah hal yang lebih diinginkannya? Ayam ini

begitu berisi, apa ayam ini jagoan di masa hidupnya? Jika

iya dan akhirnya hanya jadi hidangan, adakah manusia

yang bernasib serupa seperti ayam ini? Orang yang

ngotot dengan keinginannya ini, bagaimana jika Dewa

mengabulkannya? Apa hidupnya berubah jadi lebih baik,

atau kah buruk? Jika buruk, menyesalkah dia dengan

permohonannya?