cinta dalam kopi
DESCRIPTION
novel karya fiky akirtaTRANSCRIPT
1 | C i n t a d a l a m K o p i
Cinta dalam Kopi
A Novel By Fiky Akirta
2 | C i n t a d a l a m K o p i
“Cinta kita seperti kopi dalam gelas…
Ia mengendap…
Tak terlihat, namun ada..”
3 | C i n t a d a l a m K o p i
Devan Rafli
Aku menatap kertas kosong dihadapanku sambil mengetuk-ngetukkan
pulpen ke meja. Sesuatu mengganggu pikiranku, dan itu selalu kamu. Kebisingan
kelas seperti mampu di mute oleh telingaku, padahal kelas saat ini jauh dari kata
sunyi. Waktu yang paling menyenangkan di sekolah adalah saat guru tidak masuk
kelas, teman-temanku langsung berseliweran kesana-kemari, menggosipkan artis,
sepak bola, game, pacar. Hh.. tapi aku lebih suka memandangi kertas kosong
dihadapanku ini. Aku seperti bisa melihat wajahmu disana, rasanya baru kemarin
aku melihatmu tersenyum padaku, mengusap kepalaku, mencubit pipiku.
Ahh…mengingatnya membuat mataku hangat. Pada kenyataanya sekarang aku
dan kamu tidak lagi menjadi kita, bahkan sekarang aku telah menjadi sampah
yang telah kamu buang. Maka itulah alasan aku membencimu.
Aku pantas membencimu kan? Aku tak tahu dimana letak kesalahanku
lalu tiba-tiba kau meninggalkanku begitu saja. Aku yang dengan tulus
mencintaimu lalu kau terlantarkan begitu saja harapanku untuk dapat lebih lama
bersamamu. Tapi sebelah hatiku membutuhkanmu, aku terlanjur terbiasa
bersamamu, dan sekarang kau hilang, menyisakan ruang hampa dalam hatiku.
Kemudian tubuhku terasa tidak seimbang, berakibat semua yang aku lakukan
terasa salah.
4 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mengeluarkan headset ponsel dari dalam tas, ketika baru akan
menyetel musik, tiba-tiba Vera dan Mega memanggilku. Mereka sedang berada di
pojok kelas sambil menatap layar laptop.
“Apa sih?” Tanyaku. Tapi mereka tak menjawab. Akhirnya aku
memutuskan untuk mendekati mereka.
“Devan.” Kata Vera. Sel-sel otakku langsung tersambung dengan cepat
saat namamu disebut. Aku langsung semangat mendekati mereka. Vera adalah
sahabat yang baik, kami mulai dekat saat kelas sebelas, dia termasuk orang bijak
yang konsisten, tidak seperti aku, aku termasuk orang bijak yang labil, yaa
terkadang bijak terkadang nggak. Dia sering menasihati aku masalah cinta, dan
banyak diantara perkataannya yang benar. Walau aku tahu dia sama sekali belum
pernah pacaran.
“Ada apa sama Devan?” Tanyaku penasaran.
“Hmm…lebih baik kamu lihat sendiri ya.” Kata Mega sambil
menyerahkan laptop yang sedang ia pegang.
Aku menerima laptop itu, ternyata mereka sedang membuka facebook dan
melihat profil Devan. Aku langsung beku menatap layar laptop itu. Ya Tuhan, aku
bahkan tidak memercayai penglihatanku. Disana ada berita terbaru, Devan
berpacaran dengan Revalina. Tubuhku langsung terasa lemas, kali ini aku benar-
benar hancur. Saput bening mulai menggenang menghalangi penglihatan.
Sekarang aku benar-benar layak membencimu kan? Belum genap satu minggu
5 | C i n t a d a l a m K o p i
kita putus dan kau sudah bersama perempuan lain. Atau mungkin saja kamu
merencanakan perpisahan kita hanya untuk bisa bersamanya?
Vera dan Mega mendekatiku, mengusap punggungku bermaksud
menenangkan. Hatiku seperti ditusuk ribuan jarum panas. “Kenapa dia tega sama
aku?” Tanyaku dengan air mata mulai jatuh di pipi.
“Lihat sisi baiknya Mik, kamu jadi tahu siapa dia sebenarnya. Ada orang
yang lebih baik dari dia yang mau sayang sama kamu di luar sana.” Ucap Vera.
“Aku salah apa?” Tanyaku lagi.
“Sabar ya, Mika.” Tambah Mega.
Aku hanya ingin menangis.
***
“Mika gak pulang?” Tanya Mega sambil mendekatiku saat semua
penghuni kelas mulai pulang satu-satu. Aku hanya menggeleng pelan. Mega juga
termasuk sahabatku, dia pendengar yang baik walau agak pendiam. Dia
mengembuskan napas panjang, “Masih mikirin si Devan?” Aku menggeleng
pelan. Aku memikirkan rasa sakit hatiku.
“Pergi yuk, Meg!” Ajakku tiba-tiba.
“Loh, Vera?”
“Sms aja, suruh dia nyusul.” Jawabku sambil berlalu. Aku butuh
pelampiasan sakit hatiku.
6 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kita mau kemana?” Tanya Mega bingung. Aku tak menjawab. Setelah
menyampirkan tas di bahuku, aku langsung menggandengnya dan keluar kelas.
***
“Heh gila kamu, Mik!” Kata Vera saat ia sudah bergabung bersama kami
di tempat bakso langganan kami. “Ini namanya bukan bakso pake sambal, tapi
sambal pake bakso.” Lanjutnya.
Mega hanya geleng-geleng kepala. Selera makannya langsung hilang
ketika melihat banyaknya sambal di mangkuk baksoku. “Itu racun, Mik.” Katanya
pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya.
Aku mulai tidak peduli dengan diriku sendiri hanya karena satu alasan,
dan alasan itu adalah kamu. Toh aku sekarang sudah setengah mati. Aku sudah
tidak bisa lagi berjalan seperti biasanya. Terlebih kau telah berlari jauh
meninggalkanku. Lalu untuk apa lagi aku memaksa diriku agar terlihat kuat dan
tegar?
Vera dan Mega tertegun menatapku kasihan. Entah kasihan karena aku
menyantap bakso yang panas sekaligus super pedas ini atau karena melihatku
yang terlihat sangat menyedihkan. Aku tak membalas tatapan mereka, aku hanya
menunduk konsentrasi pada baksoku. Keringat mulai menyembul dari kening.
Mega menyibakkan rambut panjangku ke belakang.
“Kamu berhak bersedih, Mika. Kamu berhak marah dan kamu boleh
menangis. Aku tahu ini sangat menyakitkan dan terasa sulit, tapi kamu jangan
7 | C i n t a d a l a m K o p i
menyiksa diri kamu.” Vera mulai menasehatiku. “Dirimu, tubuhmu itu tidak
bersalah, kamu gak layak untuk menghukumnya.” Lanjut Vera. “Orang yang
sayang sama kamu bukan hanya dia, banyak orang yang menyayangimu.”
Aku masih menunduk, mataku terasa panas dan mulai digenangi air
bening yang kemudian mulai kubiarkan menetes. “Aku… aku hanya ingin dia,
Ver.” Ucapku lirih disertai air mata yang mulai berkejaran.
Kudengar Vera mengembuskan napas keras, sepertinya dia mulai lelah
menyadarkanku. Dia menganga, dari ekspresinya aku tahu dia akan marah, tapi
dia katupkan kembali rahangnya.
“Memang perasaan tidak bisa dijelaskan dengan logika, malah terkadang
keduanya terlihat seperti kutub utara dan kutub selatan. Tapi inilah saatnya kamu
memakai logikamu, Mik. Cukup. Kamu harus berdamai dengan perasaanmu dan
mulai memakai logikamu.” Vera berkata lembut.
“Dia sudah bersama cewek lain, dan kamu masih saja mengharapkannya?
Mengharapkan cowok yang sudah jelas-jelas membuat kamu sakit hati sedemikian
rupa? Tidak masuk akal kan? Menurut logika, harusnya kamu berhenti
mengharapkan cowok itu. Toh dia juga belum tentu masih mengharapkanmu?”
Lanjut Vera, “Realistis, Mik.”
“Tapi hati aku gak bisa. Ada penolakan besar saat aku memutuskan untuk
berhenti mengharapkannya. Aku yakin dia tidak benar-benar mencintai cewek
itu.” Kataku kemudian.
8 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kau tetap harus memikirkan perkataanku.” Kata Vera akhirnya.
Selanjutnya hening. Bakso di mangkukku sudah hampir habis, punya
Mega bahkan tidak disentuhnya sedikitpun, sementara Vera sengaja tidak
memesan.
“Meg, Ver…” Kataku lirih disisa tangisan. Kontan mereka menatapku,
menunggu kelanjutan kata-kataku. “Pulang yuk! Perutku panas sekali.” Aku mulai
menangis lagi. Kali ini bukan karena Devan, tapi karena sakit perut. Benar apa
kata Vera, tubuhku ini tidak bersalah. Tak seharusnya ia mendapat hukuman atas
sakit hatiku pada Devan.
***
9 | C i n t a d a l a m K o p i
Paradoks
Dua minggu kemudian.
“Heh siapa lagi tuh?” Tanya Vera saat aku baru saja diantar seorang
cowok ke sekolah. Aku hanya tersenyum penuh misteri dan melangkah masuk
gerbang. Vera mengikuti sambil terus menanyaiku tentang cowok yang baru dia
lihat mengantarku ke sekolah.
“Bukan pacar aku kok.” Jawabku santai menanggapi pertanyaannya
apakah cowok tadi adalah pacar baruku.
“Hah? Wah, Mik kamu mau belajar jadi playgirl?” Tanya Vera lagi ketika
sudah sampai di kelas.
“Nggak, Vera cantik.” Jawabku kemudian. Keningku berkerut saat melihat
Vera seperti sedang mengingat dan menghitung sesuatu dengan jarinya. Lalu dia
membelalakan mata ketika sudah mengetahui jawaban yang ia cari. Ia tiba-tiba
mencengkram bahuku, aku sedikit terkejut dibuatnya. Aku memiringkan kepalaku
menunggu apa yang akan ia katakan. “Tadi itu berarti cowok ke lima yang
mengantar-jemput kamu!” Serunya kemudian.
Aku mengembuskan napas. Kupikir ia akan mengatakan sesuatu yang bisa
membuat sekolah hari ini bubar, ternyata hanya itu. Aku hanya mengangkat bahu
dan tidak ambil pusing. Dia menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
10 | C i n t a d a l a m K o p i
Apa yang dipikirkan anak ini sampai geleng-geleng seperti itu? Tanyaku dalam
hati. Pembicaraan tentang cowok pagi itu berakhir. Jam pelajaran dimulai.
***
“De, pulang sekolah ke bengkel ya!” Kata Kak Fajar di telepon saat
istirahat tiba. Sudah setahun ini aku menganggapnya seperti Kakak kandung,
begitupun dengannya, dia menganggapku seperti adik perempuannya sendiri.
Umurnya sekarang dua puluh lima, ia bekerja di sebuah bengkel motor yang tidak
jauh dari rumahku. Aku sudah biasa main di bengkelnya, walau hanya untuk
duduk melihat dia bekerja, atau mendengarkan suara derungan motor yang
memekakkan telinga.
“Memang ada apa, Kak?”
“Kakak mau ngajak kamu nonton Kakak latihan.”
“Oh, Kakak mau ada balapan ya?” Fajar juga mempunyai hobi balapan
motor, ia sering kali mengikuti balapan motor cros. Tidak jarang aku diminta
untuk menemaninya latihan.
“Hmm.. aku gak janji ya Kak, tapi aku usahakan.” Sebenarnya hari ini aku
ingin segera pulang ke rumah.
“Yaahh…” Ada nada kecewa dalam suaranya. Tapi aku kemudian
menutup teleponnya. Baru saja aku akan memasukkan ponsel ke saku rok abu-
abuku, tiba-tiba ponselku bergetar sekali, ada sms masuk.
11 | C i n t a d a l a m K o p i
Nanti pulang sekolah aku jemput yah Mik?
Sender:
Fardan
+62819909887xx
Fardan, cowok berkacamata murid SMA 2, tetangga sekolahku. Dia adalah
salah satu dari lima cowok yang masuk dalam hitungan Vera. Aku tak
membalasnya, tapi sedetik kemudian sebuah gagasan menggeitik pikiranku.
Lumayan juga buat hemat ongkos. Aku menyeringai senang. Aku sedang
mengetik balasan ketika ada lagi sms masuk. Kuurungkan membalas sms Fardan
dan melihat pesan masuk.
Mika :)
Nanti pulang bareng yah..
Sender:
Adi
+62857237238xx
12 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menghela napas membaca sms dari Adi, cowok yang juga termasuk
ke dalam hitungan Vera. Adi teman satu sekolahku, kami hanya beda kelas. Aku
IPS dan dia IPA. Aku mengerutkan kening, berpikir sejenak mana yang harus aku
pilih.
“Kenapa bengong, Mik?” Tanya Vera yang baru datang dari kantin
bersama Mega.
“Si Fardan sama si Adi ngajak pulang bareng.” Kataku datar.
Vera bersiul. Kontan aku menatapnya heran, sejak kapan Vera bisa
bersiul?
“Lalu yang tadi pagi antar kamu kesini siapa namanya?” Tanya Vera lagi.
“Ilham.”
Derrtt… ponselku bergetar, ada sms masuk lagi. Vera dan Mega ikut
membaca sms itu.
Pulang sekolah, boleh kujemput?
Sender:
Ilham
+62852446545xx
13 | C i n t a d a l a m K o p i
“Panjang umur.” Mega meringis.
“Jadi?” Tanya Vera.
“Aku gak akan pulang dengan Ilham, tadi pagi dia sudah mengantar aku.
Sekarang giliran yang lain.” Jawabku sambil tersenyum. Lalu aku menyobek
kertas dan kubagi menjadi dua, yang satu kutulis nama Fardan, dan satu lagi
kutulis nama Adi. Vera dan Mega hanya menganga melihat caraku memilih siapa
yang berhak mengantarku pulang siang ini. Kedua kertas itu kugulung, lalu
kukocok di tanganku, dan seperti memilih pemenang undian aku memilih salah
satu dari dua gulungan kertas itu.
Kubuka kertasnya dan yang terpilih adalah…
***
“Mika, kita jalan-jalan dulu ya?” Tanya Adi ketika aku sudah dibonceng di
motor Suzuki Spin-nya. Aku mengiyakan. Walaupun pada awalnya aku ingin
segera sampai di rumah, tapi tidak ada salahnya kalau jalan-jalan sebentar.
Lagipula semenjak aku berpacaran dengan Devan, sekalipun dia tak pernah
mengajakku jalan-jalan. Dan sekarang saatnya aku mendapatkan apa yang tidak
pernah aku dapatkan dari Devan. Entah dengan siapa, apakah itu orang yang
kusukai atau tidak, seperti kelima cowok dalam hitungan Vera, termasuk Adi ini.
Aku hanya membiarkan mereka dengan apa yang ingin mereka lakukan atau yang
ingin mereka berikan kepadaku, aku tak pernah memintanya. Yang penting aku
senang dan mereka senang.
14 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku sebenarnya tak pernah menyukai kelimanya, mungkin belum, hatiku
sedang bermasalah dan aku harus melalui proses yang sangat panjang sampai aku
bisa merasakan kehadiran seorang cowok dengan hatiku. Butuh penerimaan dari
hatiku sampai akhirnya ia berkata “iya” untuk mulai menyukai seseorang lagi.
Baik Adi yang pintar di sekolah, Fardan yang berwajah lucu dengan kacamatanya,
Ilham yang dewasa, Ricky yang biasa-biasa saja tapi baik dan agamis, atau Bobi
yang wajahnya pas-pasan tapi sangat kaya.
“Kita mau kemana?” Tanyaku pada Adi.
“Aku mau bawa kamu kabur.” Jawabnya tanpa senyuman. Sok serius,
padahal aku sangat tahu kalau dia berbohong.
“Ya sudah bawa aku kabur ke tempat yang bagus, biar betah.”
“Siap.”
Lalu senyap, tak ada pembicaraan lagi sampai aku tersadar dia
menghentikan motornya. Sudah sampai ternyata. Aku terperangah dengan apa
yang kulihat.
“Indah bukan?” Adi menghela napas, “Lumayan lah untuk penyegaran
mata, lihat yang hijau-hijau kan terapi mata juga.” Lanjutnya.
“Dasar orang IPA!”
“Kalau sawah yang berundak-undak itu namanya apa orang IPS?”
“Unta.” Jawabku asal.
15 | C i n t a d a l a m K o p i
“Loh kok unta?” Adi menaikkan sebelah alis matanya.
“Kan tadi kamu bilang yang berundak-undak, coba kamu lihat spesies
yang bernama unta, kan punggungnya berundak-undak gitu.” Aku tertawa garing,
tak lucu.
“Hahahaha…”
Aku terkejut melihat Adi tertawa seolah-olah lelucon yang baru saja aku
katakan adalah lelucon paling lucu yang pernah ada, atau jangan-jangan dia
menertawaiku karena aku mengatakan suatu hal yang tidak lucu atau bahkan
sangat bodoh? Aku mulai mengerutkan kening, merasa tersinggung.
“Heh berhenti tertawa!” Kataku ketus.
Adi mulai berdeham meredakan tawanya. “Memangnya kenapa?”
Tanyanya kemudian.
“Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu tertawa sampai seperti itu?”
“Hmm… lucu lah Mika.”
“Kamu meledek ya? Itu kan gak lucu sama sekali. Sejak kapan aku bisa
membuat lelucon yang lucu?” Aku melipat kedua tanganku di dada.
Adi tersenyum. “Bagiku, apapun yang kamu katakan jika itu
membahagiakan, aku akan ikut tersenyum bahagia. Jika itu menurutmu lucu,
maka aku akan tertawa. Jika itu menyedihkan, aku yang pertama menangis
sebelum kamu.” Adi menatap mataku lekat.
16 | C i n t a d a l a m K o p i
“Gombal!” Jawabku. Mana ada yang seperti itu? Kalau tidak lucu ya
sudah tidak lucu, bagaimana bisa dianggap lucu?
Dia tertawa kecil. “Justru kamu yang lucu, Mika. Kamu selalu bisa
membuat aku tersenyum.”
Aku menyipitkan mata menatapnya, sebagai pertanyaan “Maksudmu?”
dan ia mengerti isyaratku.
“Aku gak tahu bagaimana awalnya, tapi yang aku tahu aku selalu senang
setiap kali aku melihatmu, dapat berbicara denganmu saja aku bisa merasa sangat
bahagia, dan bisa berada di sampingmu seperti ini membuatku merasa tenang.”
Aku tersenyum samar. Aku tidak mau menanggapi pernyataan Adi
barusan. Semua yang dia katakan membuatku merasa… entahlah aku merasa
bersalah mendengarnya. Karena aku tidak merasakan hal yang sama padanya.
Tapi aku pernah merasakan hal seperti itu, ketika bersama Devan.
“Adi…”
“Ya?”
“Pulang yuk!”
***
“Daaahh…” Aku melambaikan tangan melepas kepergian Adi.
“Itu siapa lagi, Mika?” Tanya Mama yang ternyata sedari tadi mengintip
dari jendela.
17 | C i n t a d a l a m K o p i
“Teman, Ma.” Jawabku singkat. Lalu aku melangkah gontai menuju
kamar. Sudah hampir pukul lima sore. Aku meletakkan begitu saja tasku di lantai.
Aku merogoh ponsel yang kuletakkan di saku rokku, membuka kunci tombolnya,
kemudian melihat ada 5 sms masuk dan 2 missed call. Tapi aku sedang malas
mengecek siapa yang menelepon dan mengirim sms. Pasti isinya tidak penting.
Aku memutuskan mengambil handuk dan mandi.
Setelah mandi aku merasa lebih segar. Sambil mengeringkan rambut, aku
bernyanyi pelan, lebih seperti gumaman. Hampir semua orang yang pernah
mendengarku menyanyi mengatakan bahwa suaraku bagus. Lucunya aku tak
begitu percaya dan mempedulikan. Aku tersenyum, siapa juga yang mau jadi
penyanyi?
Aku tiba-tiba teringat sesuatu, dulu aku dan Devan pernah bernyanyi
bersama. Dia jago sekali main gitar, dan waktu itu aku diajaknya bernyanyi.
Tanpa sepengetahuannya, aku merekam suara kami diam-diam. Mataku terpejam,
melihat kembali bayangan saat itu. Senyumnya, tatapannya, caranya memainkan
gitarnya, bahkan aku masih ingat jelas bagaimana suaranya. Aku tersenyum
sekaligus merasa hatiku digigit mengingat itu. Kenangan indah yang terasa
menyakitkan ketika dikenang. Ahh.. rasanya ingin sekali lagi bernyanyi
bersamanya. Devan… apa kabarmu sekarang? Apa kau bahagia bersama cewek
itu?
18 | C i n t a d a l a m K o p i
Lagi-lagi hatiku terasa perih. Aku belum bisa menerima kalau dia
meninggalkanku untuk bisa bersama cewek itu. Apalagi jika aku mengingat
perkataan temannya kemarin sore itu.
“Hei, Mika!” Aku menoleh dan melihat Egi, teman dekat Devan. Aku
tersenyum. “Apa kabar?”
“Baik, udah lama gak ketemu ya?” Kataku.
“Iya nih, eh kamu sama Devan udah…” Egi menggantungkan kalimatnya.
Aku mengangguk dan tersenyum getir, “Iya, kami sudah putus. Kamu tahu
sekarang dia bersama si Revalina?”
Egi mengangguk, lalu tertawa, “Kemarin aku bertemu dengan mereka,
mereka terlihat serasi sekali.” Ia berkata tanpa memikirkan perasaanku, aku hanya
menggigit bibir mendengarnya.
Apakah dulu ketika bersamaku, kami tidak terlihat serasi? Aku terlalu
jelek untuknya? Seperti itukah?
“Revalina itu... memang orangnya seperti apa?” Tanyaku ragu-ragu.
“Cantik ya?” Tambahku dengan perasaan tertusuk.
Mata Egi langsung berbinar, seperti sedang menerawang dan melihat
Revalina sedang berada di hadapannya. Ia mengangguk mantap. “Iya, dia cantik,
lucu, putih, dan… dia itu seksi.”
19 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menganga mendengar penggambaran Revalina yang dibuat Egi.
Mataku mulai berkaca-kaca. Cantik? Lucu? Putih? Seksi?
“Oh.. Begitu, ya sudah aku pergi duluan ya.” Cepat-cepat aku berjalan
memunggungi Egi. Menahan tangis.
Seksi? Pertanyaan itu terus diulang-ulang oleh otakku. Karena itukah kau
memutuskan meninggalkanku dan bersamanya? Karena dia seksi, dia putih, dia
cantik? Air mataku jatuh. Aku sadar, aku hanya cewek biasa, tidak pernah tertarik
mengikuti trend kecantikan, fashion, atau apapun itu yang sedang in. Aku tidak
putih, dan sudah sangat jelas aku tidak seksi. Tapi kata Mama dan Papa aku manis
dan lucu.
Derrtt… Ponselku bergetar, membuyarkan lamunan. Terpaksa kuraih
ponselku dan membuka pesan masuk. 2 missed call tadi dari Kak Fajar. Ada apa
ya?
Aku membuka 6 pesan yang masuk.
Fajar: De, gak jadi kesini?
Fajar: De, kenapa gak jadi kesini? Kakak udah nunggu.
Deg! Kak Fajar, aku benar-benar lupa. Aku meringis sendiri. Lalu pesan
berikutnya
Ricky: Assalamualaikum Mika…
Ilham: Mika, udah pulang? Jangan lupa makan ya..
20 | C i n t a d a l a m K o p i
Bobi: Cantik, tadi kamu pulang dengan siapa? =(
Aku tertawa kecil membaca sms dari Bobi. Mungkin tadi dia melihatku
diantar Adi. Dan entah kenapa aku merasa senang.
Vera: Hey Mika, jangan lupa hapalkan materi untuk
presentasi Geografi besok! Gak pakai galau!=D
Aku membalasnya satu persatu.
Fajar: Kakak maaf banget, tadi aku ada acara dengan
teman jadi tidak bisa datang.
Ricky: Waalaikumsalam.
Ilham: Iya, Kak.
Bobi: Teman.
Vera: Siap bos! Gak pakai ceramah =P
Setelah selesai mengirim sms ke Vera, ada pesan masuk lagi dari Kak
Fajar.
Fajar: Ooh iya gak apa-apa de. Kakak kangen aja sama
kamu de.
Aku mengingat-ingat kapan terakhir kali bertemu dengan Kak Fajar. Ahh
iya minggu lalu. Lalu aku membalas.
De juga Kakak.
21 | C i n t a d a l a m K o p i
Delivered to:
Fajar
+62877534887xx
Lalu muncul sms berikutnya dari Ilham, Ricky, Bobi, Fardan, dan juga
Adi. Hanya Kak Fajar yang tidak membalas smsku lagi. Ya. Seperti inilah aku
mengusir sepi, setidaknya aku tidak merasa sendiri, selalu ada yang
memperhatikan. Bahkan dulu Devan terlalu sibuk hanya untuk mengabari bahwa
dia baik-baik saja. Sesuatu yang tak pernah aku dapatkan dari Devan, aku
dapatkan lagi dari mereka. Perhatian penuh. Aku mulai menikmati peran ini.
Dengan status sebagai teman, takkan ada yang bisa protes kalau aku pagi diantar
Ilham, pulang dengan Adi, atau bahkan dengan siapapun diantara kelima cowok
itu. Aku bisa jalan-jalan bergantian dengan kelimanya, mendapat perhatian dari
kelimanya, dan terkadang mendapatkan beberapa cokelat.
Hhh… tapi hatiku masih saja terasa kosong. Entah, sepertinya ragaku
dimasuki jiwa tersesat yang tak kukenal semenjak tak ada lagi Devan dalam setiap
langkahku.
Devan… Apa kabarmu sekarang?
Aku tahu. Kamu sudah tidak pernah memikirkanku lagi.
Memikirkan pernyataan yang baru saja kubuat membuat hatiku teriris,
luka yang belum kering menjadi semakin menganga. Perih. Aku terduduk di sudut
kamar memeluk lutut. Terisak.
22 | C i n t a d a l a m K o p i
***
23 | C i n t a d a l a m K o p i
Gerald Elmer
Aku berdiri di pinggir jalan menunggu angkot yang tanpa bosannya
menjalani rute yang sama setiap hari, melewati sekolahku. Pagi ini aku langsung
menolak siapapun yang ingin mengantarku ke sekolah. Aku ingin kembali
merasakan berangkat sekolah dengan angkutan umum. Dan sekarang, berdiri
sendirian menunggu disini membuatku ingin melamun, bahkan aku merasa jalan
aspal itu sangat menarik sehingga aku menatapnya tanpa berkedip. Dulu, bahkan
beberapa minggu yang lalu aku tidak berdiri sendiri disini. Di sampingku selalu
ada Devan, kami berangkat bersama menuju sekolah yang memang searah walau
bukan di sekolah yang sama, dan kami memakai angkot dengan rute yang sama.
Devan selalu menggodaku, membuatku tersenyum, membuat beberapa orang yang
melihat kami merasa iri.
Atau ketika aku berdiri disini sendiri, dia tiba-tiba datang mengagetkanku.
Menutup mataku dengan tangannya dari belakang, atau menarik rambutku pelan.
Aku mengembuskan napas dan mengangkat kepala, menengok ke samping kiriku
dan menatap hampa. Tidak. Tidak ada lagi Devan sekarang. Tidak ada lagi
senyumnya untukku, tawanya untukku, petikan gitarnya untukku. Aku menggigit
bibir bawahku, menahan untuk tidak menangis. Tidak ada lagi Devan. Hatiku
melanjutkan racauannya, membuat penglihatanku mulai kabur karena air mata
yang menggenang. Ya Tuhan, aku kehilangannya.
24 | C i n t a d a l a m K o p i
Akhirnya ada satu angkot yang berhenti di depanku, aku naik dan tentu
akan banyak waktu untuk melamun karena tidak ada satupun teman yang kukenal
di dalam angkot untuk ku ajak bicara sekedar mengalihkan perhatianku dari
semua kenangan tentang Devan. Karena sesungguhnya di seluruh jalan ini banyak
sekali berserakan sisa kenangan tentang dia.
Maka, demi mengalihkan perhatian, aku kini asyik mengamati pengendara
motor. Ada sepasang suami istri pegawai negeri yang akan berangkat ke kantor
bersama, ada ayah yang membonceng anaknya untuk diantarkan ke sekolah, ada
pasangan anak SMA yang berangkat bersama. Tunggu, sejak kapan Vera
berangkat sekolah diantar cowok? Berseragam SMA pula. Aku mengerjapkan
mata memastikan bahwa cewek yang aku lihat tadi benar Vera. Tapi aku tidak
salah.
Aku berjalan cepat menuju kelas, tidak sabar ingin segera menanyai Vera.
Pasalnya ia tidak pernah sekalipun bercerita tentang cowok padaku. Dan kesalnya
aku saat tidak mendapati Vera di kelas.
“Robi, lihat Vera gak?” Tanyaku pada Robi yang sedang memainkan
gadgetnya.
Robi mengangkat kepalanya melihatku, lalu menggeleng. “Eh, tadi aku
lihat dia di depan ruang kepala sekolah.” Kata Robi baru teringat.
Aku mengerutkan kening. Untuk apa Vera di ruang kepala sekolah? Aku
berjalan gontai menuju bangkuku, dan saat itulah Mega datang.
25 | C i n t a d a l a m K o p i
“Mik, kamu tahu si Vera sama si murid baru tadi?” Tanya Mega.
“Murid baru? Ooh.. cowok yang bersama Vera itu?” Aku menganguk-
angguk. “Eh, tapi serius dia itu murid baru? Tanggung sekali pindah sekolah
padahal beberapa bulan lagi tinggal UN.”
Mega mengangkat bahunya. Lalu ia terlihat tersenyum sendiri, “Dia
ganteng ya, Mik?”
“Mana ku tahu, hehe… Aku tidak melihatnya dengan jelas.” Jawabku.
“Hai, girls!” Sapa Vera yang masuk kelas langsung menuju meja kami.
“Ada seseorang yang ingin aku kenalkan pada kalian, tapi nanti ya jam istirahat.”
Ia duduk di bangkunya, depan bangkuku dan Mega.
Aku tidak berkomentar apa-apa walaupun pada awalnya aku ingin
memuntahkan sejuta pertanyaan karena shock melihat Vera diantar cowok pagi
ini. Aku lihat dari mata Mega yang berbinar, ia pun sama ingin bertanya tapi
mulutnya tidak mengeluarkan satu kalimatpun.
Bel masuk berbunyi, jam pelajaran dimulai. Saatnya fokus memerhatikan
guru.
***
“Vera mana? Aku sudah lapar nih.” Aku menengok ke kanan dan ke kiri
untuk menemukan Vera, lalu menatap nasi goreng yang baru saja kupesan di ibu
kantin. Sialnya sebelum Vera pergi, dia berpesan untuk jangan memulai makan
26 | C i n t a d a l a m K o p i
tanpa dirinya. “Aku makan sekarang yaa, Meg.” Mega hanya menatapku tanpa
ekspresi, baru saja aku akan menyuapkan sendokan pertama tiba-tiba Vera datang.
“Hayoo anak bandel, tadi Mama bilang apa?” Kata Vera sambil duduk di
hadapanku, diiringi seorang cowok yang seperti tadi pagi aku lihat, cowok itu
duduk di samping Vera, berhadapan dengan Mega. Mega menatap cowok itu
sambil menahan napas. “Kenalkan ini Gerald Elmer teman SD-ku dulu sekaligus
cucu adik nenekku.” Lanjut Vera.
Aku tersenyum sambil menyambut tangannya, “Mika.”
“Mega.” Mega menyebutkan namanya. “Mika…” Mega berbisik pelan
padaku.
Aku mendekatkan telingaku padanya, ingin mendengar apa yang hendak
dikatakan Mega.
“Cakep ya?” Lanjut Mega masih dalam bentuk bisikan.
Aku tak menjawab, lalu mengalihkan pandangan menatap Gerald. Wajah
Indojermannya yang kentara dengan kulit putih Indonesia, hidung yang mancung,
bibirnya yang agak tipis, rambut dengan gaya Taylor Lautner, belum lagi postur
tubuhnya yang tinggi dan ideal. Sudah pasti setiap cewek yang melihatnya akan
menarik kesimpulan yang sama; tampan.
Tapi saat ini ada yang lebih menarik dari Gerald, adalah nasi goreng
dihadapanku yang sejak tadi belum aku makan. “Itadakimash!” Aku berseru dan
memakan nasi gorengku.
27 | C i n t a d a l a m K o p i
Mereka bertiga menatapku bengong. Aku tidak peduli. Aku lapar.
Tanpa kusadari Gerald tersenyum tipis sambil terus menatapku.
***
“Pulang bareng gak?” Tanya Vera padaku saat bel pulang berbunyi.
“Aku ada kerja kelompok, kamu duluan saja.” Jawabku.
Vera mengangguk dan menyampirkan tas di bahunya.
“Vera, kamu pulang bersama Gerald lagi?” Tanya Mega.
Vera menggeleng, “Dia ada sedikit urusan katanya, lagi pula tadi pagi kita
berangkat bersama karena dia ingin diantar menemui kepala sekolah.”
“Eh, ngomong-ngomong, kenapa dia pindah kesini? Tanggung kan?
Sebentar lagi ujian nasional.” Tanyaku, “Aku tadi sebenarnya ingin bertanya
langsung padanya, tapi tadi tidak sempat.” Lanjutku.
“Jelas saja tidak sempat, kamu khusyuk makan.” Cibir Vera. “Orang
tuanya yang memaksa pindah, semasa SD dia pernah tinggal disini sampai kelas
5, setelah itu pindah ke Makassar, dan sekarang Papanya pindah tugas lagi ke
Pulau Jawa, ya mau tidak mau Gerald ikut orang tuanya pindah.”
Aku ber‟oh‟ ria. Pasti tidak gampang harus berpindah-pindah tempat
tinggal seperti itu.
“Kamu kerja kelompok Geografi, Mik?” Tanya Vera lagi.
28 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mengangguk. “Kamu sudah?”
Vera hanya nyengir kuda, “Aku pulang ya. Daah.” Vera melambaikan
tangan lalu keluar kelas. Tinggal aku dan Mega dalam kelas ini, teman
sekelompokku yang lain sedang ke kantin.
“Mik.” Panggil Mega, dia menahan dagu dengan kedua tangannya sambil
menatap langit-langit kelas. “Gerald cakep ya?”
“Biasa saja.” Jawabku ringan. Aku baru ingat kalau sewaktu di kantin pun
Mega bertanya hal yang sama.
“Yang lain mana, Mik?” Tanya Irwan, sang ketua kelompok saat
memasuki kelas.
“Widi dan Reza sedang makan di kantin.” Jawabku.
Drrrt… Ponselku bergetar sekali. Pesan masuk.
Sudah pulang, de? Pulang bareng sama kakak yuk!
Sender:
Ilham
+62852446545xx
29 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku tidak membalas pesan dari Ilham, malas rasanya. Aku
menggeletakkan ponsel di meja begitu saja.
“Mik.” Panggil Mega lagi.
“Hmm..” Jawabku singkat, lalu menatap keluar jendela melihat lapangan
yang dilalui murid yang ingin pulang. Devan sedang apa? Tiba-tiba hatiku
membatin.
“Kenapa belum pacaran lagi?” Tanya Mega.
“Karena… Karena Devan, karena aku tidak bisa mencintai seseorang
dengan hati yang cuma separuh. Kecuali aku bisa menemukan seseorang yang
dalam dirinya kudapatkan keutuhanku.” Jawabku sambil menerawang.
“Dan itu semua tidak ada dalam satu orang pun yang selama ini
mendekatimu?” Mega bertanya tidak percaya.
Aku menggeleng. “Ya. Aku tidak menemukan keutuhanku tercermin
dalam diri mereka.”
“Tapi kamu kan tahu, Devan itu…”
“Meninggalkan aku demi cewek lain?” Aku menyela, “Mungkin ada
sesuatu dalam cewek itu yang tidak aku punyai sampai dia setega itu. Tapi aku
yakin, suatu saat dia akan tahu siapa yang benar-benar tulus mencintai dia, Meg.”
“Lalu jika dia menyesal, kamu akan kembali menerima dia lagi?” Lagi-
lagi Mega bertanya dengan nada penuh rasa tak percaya.
30 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menoleh menatap Mega, “Entahlah..” Jawabku singkat.
Disaat yang bersamaan Widi dan Reza datang.
“Ayo teman kita kerjakan tugasnya, nanti keburu sore.” Kata Widi.
“Huu.. siapa yang lama?” Irwan meledek sambil menjulurkan lidahnya.
Widi hanya nyengir kuda.
“Ayo dong, diluar sudah mendung.” Protes Mega.
Aku sedang tidak terlalu bersemangat untuk ikut berbicara. Mereka mulai
membuka buku catatan, buku tugas, serta laptop untuk bertanya kepada mbah
google.
Drrt… Ponselku yang kuletakkan di atas meja membuat suara getarnya
lebih keras. Semua teman-temanku yang baru saja akan membaca soal pertama
langsung menoleh pada ponselku. Aku meraihnya dan aku lihat Ilham lagi yang
sms.
Kakak di depan sekolah ade.
Sender:
Ilham
+62852446545xx
31 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mengembuskan napas keras. Apa sih mau kamu? Rutukku dalam hati.
Lalu aku terpaksa membalasnya.
Ade lagi kerja kelompok, kakak pulang duluan saja.
Delivered to:
Ilham
+62852446545xx
Aku setengah membanting ponsel ke atas meja, membuat semua teman-
temanku kembali menoleh serentak dengan tatapan penuh tanya. “Bagaimana
tadi? Nomor satu ya?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Kami melanjutkan mengerjakan tugas. Dan benar saja setengah jam
kemudian hujan lebat mengguyur kota kecil ini. Aku menatap keluar jendela
melihat hujan dengan pasrah.
“Akhirnya selesai!” Seru Irwan. Ia meregangkan otot tangannya yang
terasa pegal. “Hah?” Ia terlonjak kaget saat menyadari jam berapa sekarang.
“Sudah jam setengah enam?”
Aku ikut menengok jam dinding di kelas. Hujan tetap tidak berhenti dan
tetap enggan mereda. Sekarang bagaimana aku pulang? Tanyaku dalam hati.
32 | C i n t a d a l a m K o p i
Drrt… Ponselku bergetar. Kali ini suaranya kalah oleh derasnya hujan,
maka tidak ada lagi gerakan serentak menatap ponselku.
Cantik sudah pulang belum?
Sender:
Bobi
+62819098887xx
Aha. Bobi yang sms. Kebetulan sekali! Aku tersenyum lalu membalasnya.
Mika : Belum, hujan lebat disini. Gak bisa pulang :(
Bobi : Aku jemput ya cantik.
Mika : Kan jauh. Memangnya tidak apa-apa?
Bobi : Tidak apa-apa kok. Apa sih yang nggak buat kamu
cantik? :)
Mika : Ya sudah aku tunggu di sekolah ya.
Bobi : Oke, aku berangkat sekarang.
33 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kamu pulang dengan siapa, Mik?” Tanya Reza. Arah rumahnya sama
denganku, tapi rumahku lebih jauh. “Kamu mau aku antar? Tapi pasti basah,
soalnya aku pakai motor.” Tawar Reza.
“Aku dijemput kok, Za. Tidak usah repot-repot, rumah aku kan lebih
jauh.” Kataku. “Kamu pulang dengan siapa, Meg?”
“Aku seperti biasa jalan kaki, sendiri, bawa payung kok.” Jawab Mega.
“Bareng sama aku aja ya.” Tawarku. Aku khawatir, diluar sudah mulai
gelap.
“Tidak apa-apa, aku pulang sendiri saja.” Tolak Mega.
Aku mengangguk mengerti. Kami keluar kelas dan menyusuri koridor
untuk mencapai lobi sekolah. Disana ada Pak Satpam yang sedang duduk dengan
segelas kopi di depannya. Aku tertegun menatap segelas kopi itu. Ini kali kesekian
aku tertegun ketika menatap segelas kopi.
“Aku pulang duluan tidak apa-apa? Kasihan Widi.” Pamit Irwan yang
pulang bersama Widi.
“Aku juga mau pulang kok. Mega kamu mau ikut?” Tanya Reza. Sekali
lagi Mega menggeleng.
“Kamu juga pulang saja, nanti keburu malam.” Kataku pada Mega.
“Kamu…”
34 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku tidak apa-apa, lagipula disini ada Pak Santoso.” Aku melirik Pak
Satpam yang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal yang saat ini sedang asyik
membaca koran. Mega mengangguk dan pamit pulang.
Tinggalah aku disini sendiri. Tidak. Tapi berdua dengan Pak Santoso.
Hmm… bertiga dengan kopinya. Aku mengembuskan napas lalu duduk melamun
sambil menatap segelas kopi punya Pak Santoso.
Segelas kopi selalu mengingatkan aku pada Devan. Padahal aku sendiri
tidak bisa meminum kopi sama sekali. Lambungku selalu menolaknya. Tapi
Devan adalah penggila kopi, semua kopi jenis apapun ia suka. Aku rindu saat
Devan memaksa minta diantar ke kafe kopi kesukaannya, lalu ia memesan kopi
dan aku sendiri malah memesan jus. Dan kemudian Devan akan menggodaku.
Aku tersenyum kecil mengenangnya.
“Neng Mika mau kopi juga?” Tanya Pak Santoso membuyarkan
lamunanku.
“Oh.. Eh tidak Pak, Mika hanya sedang melamun saja, hehe..” Jawabku
kelabakan setengah malu karena disangka ingin kopi juga.
Tiin.. tiin..
Sebuah mobil Honda Jazz memasuki gerbang dan berhenti tepat di depan
pintu lobi. Bobi sudah datang. Aku berdiri dan pamit kepada Pak Santoso, lalu
keluar dan berlari masuk mobil Bobi.
35 | C i n t a d a l a m K o p i
“Seharusnya kamu jemput aku keluar memakai payung.” Protesku.
“Haha… kamu pikir film?” Jawabnya sambil memarkirkan mobil dan
melaju di jalanan. Hujan sudah mulai menunjukkan akan mereda.
Aku tak menanggapi perkataannya. Aku hanya diam, dia pun tidak
bersuara lagi. Yang terdengar hanya lantunan lagu yang ia putar.
“Cantik, aku boleh nanya sesuatu gak?” Tanyanya dengan pandangan
lurus ke jalan.
“Apa?”
“Sebenarnya kamu sudah punya pacar atau belum? Kenapa setiap bertemu
denganku, kamu bersama dengan cowok yang berbeda-beda?” Tanyanya hati-hati.
Aku terdiam sebentar meresapi pertanyaannya, dan hal yang dapat aku
tangkap adalah aku takut ia berpikir aku playgirl atau cewek yang… argh! Tidak.
“Belum. Mereka hanya teman.” Jawabku agak ketus.
Aku mendengar ia mengembuskan napas lega dan membuatku secara
otomatis menoleh padanya. Aku juga melihat ia tersenyum, membuat keningku
berkerut karena heran.
“Kalau begitu kita bisa meresmikan hubungan kita sekarang dong?”
Katanya sambil tersenyum sendiri.
Aku menganga mendengar kalimatnya, “Meresmikan apa? Hubungan
apa?” Aku semakin tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan.
36 | C i n t a d a l a m K o p i
Dia menginjak pedal rem saat lampu lalu lintas menunjukkan warna
merah. Dan saat itu ia menoleh menatapku lekat. “Iya, hubungan kita.” Matanya
berbinar. “Hubungan sepasang kekasih, pacaran, yaa kamu pasti tahulah.” Ia
tersenyum sangat senang, seperti baru saja aku mengangguk dan katakan iya,
padahal bergerak satu sentipun aku tidak. Lampu lalu lintas berubah hijau dan ia
kembali mengemudikan mobilnya.
Aku mengembuskan napas keras, lebih terdengar seperti luapan kekesalan
yang sudah menggunung. Aku menggigit bibir bawahku lalu menatapnya tak
percaya. Menatap Bobi yang sedang tersenyum senang. Ya Tuhan, apakah harus
aku memecahkan senyumnya sekarang?
“Bob.”
“Hmm?” Jawabnya singkat.
Aku membetulkan posisi dudukku menjadi menghadap Bobi. “Hmm…
tapi, Bob, aku… aku belum mau pacaran sekarang.” Aku diam beberapa detik dan
menatap wajahnya lekat. Terlihat perubahan air mukanya yang seketika keruh.
Aku menggigit bibir bawahku, berharap aku tidak salah bicara.
Rahangnya terlihat mengeras, napasnya memberat, wajahnya memerah.
Lalu dalam satu injakan pedal gas, tubuhku langsung terlonjak ke belakang.
“Bobi!!” Aku berteriak panik sekaligus takut melihat Bobi yang seketika
mengemudikan mobilnya seperti orang gila. Bobi tak menggubris teriakkanku, ia
malah menginjak pedal gas lebih dalam dan menyalip kendaraan-kendaraan yang
37 | C i n t a d a l a m K o p i
menghalangi di depan. “Bob, berhenti, Bob!!” Teriakku sekali lagi. Aku
berpegangan pada jok mobil, tidak sempat aku mengenakan sabuk pengaman.
Jantungku berdetak kencang, aku sangat takut. “Bob, rumah aku terlewat! Kamu
mau bawa aku kemana?” Kataku semakin panik.
Bobi tidak bereaksi, napasnya semakin memburu terselimuti amarah.
“Bobiii!” Sekali lagi aku berteriak.
Ckiiitt…
Bobi menginjak pedal rem sekaligus, membuat suara gesekan antara jalan
aspal dengan ban mobilnya. Tubuhku terlonjak kedepan, keningku membentur
dashboard mobilnya. Untung saja aku masih bisa menahannya sehingga benturan
di keningku tidak begitu keras.
Aku langsung mengangkat kepala sambil memegangi keningku yang
lumayan sakit dan menatap Bobi geram. “Kau gila!!” Teriakku.
Bahunya masih terlihat naik turun, matanya masih menatap lurus kedepan
dengan kedua tangannya mencengkram stir mobil begitu kencang. “Keluar!”
Tegasnya.
“Apa?” Aku setengah tidak percaya.
“Lo keluar dari mobil gue sekarang juga! Lo cewek paling belagu yang
pernah gue temui! Lo sok cantik padahal yang sebenarnya lo itu jelek banget!”
Maki Bobi sambil menunjuk-nunjuk ke wajahku.
38 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menganga mendengar pernyataannya. Memangnya siapa yang merasa
dirinya cantik? Aku tidak pernah merasa seperti itu, bahkan aku tidak pernah
menyuruhnya untuk memanggilku dengan sebutan cantik. Aku benar-benar kesal
atas kejadian ini. Maka aku langsung keluar dari mobilnya tanpa berkata apapun
lagi.
Setelah aku keluar, Bobi langsung tancap gas. Aku hanya berharap dia
selamat sampai rumahnya. Aku mengembuskan napas lega, mengembalikan
jantungku ke tempat semula. Aku kemudian berjalan kembali kearah rumahku
sambil mengusap keningku yang sepertinya benjol. “Orang gila!” Umpatku kesal
sambil menggelengkan kepala.
Drrrtt… Drrtt…
Ponselku terasa bergetar beberapa kali. Siapa yang menelepon? Aku
menatap layar ponsel yang berkedip-kedip menampilkan nomor baru.
“Hallo.” Sapaku sambil terus berjalan menuju rumah. Sisa hujan masih
terlihat, jalanan basah dan langit petang begitu gelap.
“Mika ya?” Tanya seseorang di seberang sana yang ternyata cowok.
“Iya. Ini siapa ya?” Tanyaku heran, sambil berbelok memasuki pagar
rumah.
“Gerald.” Jawab cowok itu singkat.
39 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku terdiam sebentar. Gerald? “Gerald teman Vera? Yang tadi siang
bertemu itu?” Aku membuka pintu rumah.
“Betul sekali.”
“Oh.. Ada apa ya?” Tanyaku.
“Haha.. Why so serious? Hanya ingin sekedar berkenalan.”
“Tadi siang kan sudah. Aku baru sampai rumah, capek. Sudah dulu ya,
Gerald.” Nada suaraku terdengar ketus, bahkan oleh diriku sendiri. Semoga
Gerald tidak tersinggung.
“Oh.. Okay. Selamat beristirahat Mika.” Gerald menutup teleponnya.
Aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Memejamkan mata dan
membayangkan kejadian barusan. Hhh.. Bobi. Apa yang tadi dia pikirkan? Aku
tidak pernah menyangka kalau ia sangat emosional.
Drrtt… Sms masuk.
De sedang apa? Sudah makan?
Sender:
Fajar
+62877534887xx
Aku membalas smsnya.
Baru sampai rumah kak.
40 | C i n t a d a l a m K o p i
Delivered to:
Fajar
+62877534887xx
Aku bangun dan memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri, rasanya pegal
sekali. Melihat jam menunjukkan pukul setengah tujuh, maka aku berdiri dan
mengambil handuk bersiap mandi.
“Mika.” Suara lembut Mama terdengar.
“Iya, Ma?” Tanyaku saat keluar dari kamar.
“Tolong fotokopikan ini untuk Papamu.” Mama mengacungkan beberapa
kertas dari ruang tengah, sementara kamarku berada sejajar dengan ruang tamu.
Aku melangkah mendekati. Melirik Papa yang sedang berkutat dengan laptopnya.
“Tapi Mika mandi dulu sebentar ya, Ma.” Kataku. Mama mengangguk.
Aku berjalan menuju kamar mandi. Seperti inilah kalau menjadi anak tunggal,
Papa dan Mama tidak mempunyai anak lagi yang dapat disuruh selain aku. Apa-
apa aku, semuanya aku. Tapi karena begitu sayangnya aku kepada mereka, aku
hampir tidak pernah menolak apa yang mereka suruh selagi aku mampu, meski
dalam keadaan capek dan memar di kening.
***
“Mas, fotokopi ya, rangkap sepuluh.” Kataku sambil menyerahkan
beberapa lembar kertas.
41 | C i n t a d a l a m K o p i
“Eh, Mika.”
Aku otomatis menoleh saat mendengar namaku disebut. “Egi.” Kataku
dengan nada datar. Aku sedikit kesal kepadanya setiap teringat pertemuan aku
dengan dia yang terakhir, saat ia bercerita tentang Devan dan tentang Revalina
yang ia sebut serasi atau apalah itu.
“Kamu belum pernah bertemu Devan lagi? Kemarin dia bertanya tentang
kamu.” Kata Egi.
Aku langsung mengerjapkan mata. Entah mengapa rasa sakit di keningku,
rasa capek, dan rasa kesal terhadap Egi seketika hilang saat mendengar nama
Devan, apalagi mengetahui bahwa Devan bertanya tentang aku!
“Bertanya apa?” Tanyaku penasaran tapi berusaha terlihat biasa saja.
“Dia bertanya apa aku pernah bertemu denganmu atau tidak.” Egi terdiam
sejenak, “Dia menanyakan kabarmu.” Lanjutnya.
Apa? Devan menanyakan kabarku? Dia masih peduli padaku! Hatiku
bersorak gembira. “Lalu?” Tanyaku dengan nada seolah tidak tertarik.
“Lalu… dia bercerita tentang Reva.”
Aku langsung mengalihkan pandangan ke jalan raya. Devan bercerita
tentang Reva? Ah.. rasanya aku kembali terjatuh. Padahal baru saja beberapa
menit yang lalu merasa senang mendengar Devan menanyakan kabarku. Tapi
42 | C i n t a d a l a m K o p i
ternyata, itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Devan bercerita tentang
Reva. Ya. Aku memang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Reva.
Untunglah fotokopianku selesai, setelah aku membayar, aku langsung
berpamitan pada Egi. “Aku duluan ya, Gi.” Tanpa menunggu jawaban dari Egi,
aku langsung berjalan menuju motorku. Mungkin Egi menatapku heran.
Terserahlah, seharusnya Egi tahu, mendengarnya akan bercerita tentang Devan
yang lebih banyak bercerita tentang Reva akan membuat aku kembali menangis
semalaman. Kenapa Egi tidak pernah peka?
Aku langsung tancap gas dan pulang. Lengkap sudah penderitaanku hari
ini. Aku berjalan gontai menuju ruang tengah dan menyerahkan fotokopian tadi.
“Ma, aku mau tidur ya. Capek sekali hari ini.”
“Iya sayang.” Jawab Mama.
“Makasih ya.” Papa mengacungkan kertas fotokopian itu sambil
tersenyum.
Aku menjawab dengan senyum dan anggukan, lalu berbalik menuju
kamarku tercinta. Aku melihat ponsel. 7 sms, 2 missed call. Aku tidak tertarik
untuk membacanya. Aku sekarang sedang tertarik untuk menyetel kembali
rekaman tentang Devan.
Aku menyalakan komputer yang sudah tersambung dengan internet. Aku
ingin tahu tentang Devan, maka aku membuka profilnya di jejaring sosial
facebook. Aku menahan napas saat membaca semua aktivitas terbarunya dengan
43 | C i n t a d a l a m K o p i
Reva. Semua statusnya untuk Reva, komentar-komentarnya bersama Reva, foto-
foto terbarunya bersama Reva.
Penglihatanku mulai kabur, mataku digenangi saput bening bernama air
mata. Kenapa aku harus melihat semua ini? Bahkan dulu, dia tak pernah
membuatkan status untukku, mengirim pesan di profilku, membalas komentarku.
Apa yang salah? Apa bedanya? Kenapa?
Air mataku jatuh. Hatiku remuk seketika. Pernahkah merasa menjadi
orang yang paling rendah di dunia? Sekarang aku sedang merasakannya. Aku
merasa sangat tidak berharga. Dulu aku kurang apa? Aku selalu sabar
menghadapinya, menerima dia apa adanya, semua aku lakukan untuk sekedar
membuatnya tersenyum. Lalu adakah artinya semua itu?
Aku menundukkan kepala di meja, menangis tersedu. Rasanya aku ingin
lenyap malam ini juga.
Dering tanda ada sms masuk berbunyi. Aku mengangkat kepala dan kali
ini melihat siapa yang mengirim sms.
Good night Mika.
Sender:
+62878555654xx
44 | C i n t a d a l a m K o p i
Sepertinya aku pernah melihat nomor ini, tapi siapa ya? Ah.. aku tidak
ingat. Tidak penting. Aku melempar ponselku ke atas tempat tidur. Lalu kembali
menunduk dan menangis.
45 | C i n t a d a l a m K o p i
Penolakan.. Penolakan ...
“Kenapa kamu, Mik?” Tanya Vera yang baru datang, melihatku sedang
cemberut dengan mata sembab.
Aku hanya menggeleng. Vera meraba keningku dengan tangannya. “Aw..”
Aku meringis, merasa sakit karena benturan ke dashboard mobil Bobi kemarin.
“Kenapa tuh?” Tanya Vera lagi.
“Sakit. Kemarin terbentur dashboard mobil Bobi.”
“Kalian nggak kecelakaan kan? Atau bertengkar ya?” Tanya Vera
menyelidik.
“Dia nembak, terus aku tolak. Dia marah, lalu main injak gas sesuka
hatinya dan injak rem semaunya. Kening aku jadi terbentur.”
“Ya ampun. Aku tidak tahu dia seemosional itu.” Kata Vera prihatin.
Aku tak ingin menanggapi. Suasana hatiku masih buruk setelah kejadian
semalam. Jadi wajar saja aku malas bicara.
“Hai!” Sapa Mega yang baru datang dan langsung menghampiri.
“Meg, tumben rambut kamu di curly?” Komentar Vera sambil mengamati
Mega.
“Cocok gak?” Tanya Mega sambil tersenyum.
46 | C i n t a d a l a m K o p i
Vera mengangguk, “Pipi tembam kamu jadi tidak terlihat jelas, ini
permanen?” Tanya Vera sambil menyentuh rambut Mega.
Aku hanya menatap mereka tidak tertarik. Tapi ada yang aneh dari Mega
hari ini. Aku memiringkan kepalaku mengamatinya. Dia dandan dan sejak kapan
dia memakai jepit rambut dengan rambut ikal seperti itu? Mega biasanya hanya
mengurai rambut lurusnya yang agak kecoklatan itu tanpa aksesoris. Tapi hari ini
dia terlihat lebih manis. Ah, mungkin dia sedang jatuh cinta.
Aku menundukkan kepala hingga keningku menempel pada meja dan
mengembuskan napas. Keningku masih terasa nyeri.
“Kamu baik-baik saja, Mik?” Aku mendengar Mega bertanya.
Aku langsung mengangkat wajahku dan tersenyum. “Aku hanya…” Aku
menatap mereka berdua bergantian, apakah aku harus mengatakan tentang Devan?
Apakah kalau aku cerita, mereka masih akan mendengarkanku? Kulihat mereka
masih menunggu. “Aku… teringat Devan.”
Terdengar suara embusan napas keras keluar dari mulut Vera. Sudah
kuduga, dia mulai bosan atau bisa jadi muak dengan ceritaku tentang Devan.
“Masih Devan?” Tanya Mega.
“Semalam aku membuka profil facebook dia dan…” Aku
menggantungkan kalimatku.
“Aku tahu. Devan dan Reva kan?” Tanya Mega lagi.
47 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menundukkan kepalaku lagi, tanda ketidakberdayaanku.
Mega dan Vera saling berpandangan. Vera menyentuh bahuku lalu
berkata, “Aku tidak menyalahkanmu kalau kamu belum bisa melupakannya, aku
tahu itu sulit. Kau harus tahu Mika, sama seperti ketika cinta datang, maka ketika
dia pergi, dia tidak bisa dipaksa.”
Vera benar, semakin aku berusaha keras melupakannya, semakin aku
teringat padanya. Lantas apa yang harus aku lakukan? Menjamu perasaan ini
setiap kali ia datang? Hh.. Beginikah rasanya rindu yang tidak terbalas? Sekaligus
disia-siakan begitu saja oleh orang yang paling disayang demi perempuan lain lalu
melihat mereka begitu bahagia? Menyesakkan sekaligus menyakitkan.
***
“Aku ingin ke perpustakaan.” Kataku sambil bangkit saat jam istirahat.
“Mau tidur ya? Aku ikut.” Tanya Vera dengan mata berbinar. Aku tidak
menjawab, lalu menoleh ke arah Mega yang sedang merapikan poninya. “Dia
tidak akan ikut, dia lebih memilih ke kantin agar bisa menemui gebetannya.”
Tambah Vera seolah tahu apa yang aku pikirkan.
“Dia benar sedang jatuh cinta? Pada siapa?” Tanyaku sambil berjalan di
koridor.
“Entahlah, dia gak mau menyebutkan namanya padaku.” Kata Vera sambil
mengangkat bahu. “Kamu masih sedih?” Tanya Vera lagi.
48 | C i n t a d a l a m K o p i
“Gak tahu, tapi ini rasanya aneh. Seperti melayang.” Kataku
mengibaratkan.
Vera tersenyum kecil. “Ya, mungkin aku tahu bagaimana rasanya dan
mungkin aku juga tahu bagaimana cara mengatasinya.”
Aku menghentikan langkah dan memegang pundaknya, “Bagaimana?”
“Makan coklat sebanyak mungkin.”
Aku mengerjapkan mata menatap Vera. Apakah benar bisa mengatasi
perasaan ini dengan memakan coklat sebanyak-banyaknya? Baiklah, kalau begitu
aku harus mencobanya. Maka aku mempercepat langkahku menuju koperasi siswa
yang terlewati sebelum perpustakaan.
“Eh, Mika.” Aku mendengar Vera memanggilku. Tapi aku sudah terlanjur
memasuki kopsis. “K.. Kamu serius membelinya?” Tanya Vera tidak percaya.
“Kenapa?” Aku bertanya polos sambil memegang satu kotak coklat choki-
choki dan lima batang coklat silverqueen. Aku melihat ekspresi aneh dari Vera,
antara kaget dan ingin tertawa. Lalu Vera mengambil semua coklat yang aku
pegang.
“Aku bercanda, Mika. Aku pikir kamu mengerti.” Vera menggeleng-
gelengkan kepalanya. “Aku tidak menyangka kamu sepolos ini.” Tambahnya
sambil menyimpan coklat-coklat itu ke tempatnya semula. “Ayo, ke perpus!”
Vera menarik tanganku keluar dari kopsis.
49 | C i n t a d a l a m K o p i
Kenapa aku bisa semudah itu percaya pada perkataan Vera. Jelas-jelas
kalau dipikirkan dengan baik sangat tidak masuk akal. Dan aku juga seperti itu
pada setiap cowok yang membohongiku. Bodoh, kenapa aku bisa sangat mudah
percaya pada mereka?
“Hai, Mika!”
Aku menghentikan langkahku saat mendengar seseorang memanggil
namaku.
“Hai, Gerald!” Vera membalas sapaan Gerald. Aku hanya tersenyum
padanya.
“Mau ke perpus ya? Siswa rajin ya kalian.” Puji Gerald.
“Iya, kan sebentar lagi ujian.” Jawab Vera lagi.
Yang benar saja, bukankah tujuan dia ke perpustakaan untuk tidur?
Kalaupun membaca, yang dibacanya pasti novel. Komentarku dalam hati.
“Aku ke kantin dulu ya.” Pamit Gerald. Kami berdua mengangguk.
“Gerald pernah menanyakanmu lho.” Kata Vera.
“Eh?”
“Kemarin dia meminta nomor ponselmu, lalu bilang kalau kamu manis.”
Tambah Vera saat kami sudah duduk di dalam perpustakaan.
50 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku hanya tersenyum. Pantas saja Gerald tahu nomor ponselku. Aku
berdiri dan mendekati rak buku novel, lalu mengambil satu buah novel yang bisa
kubaca. Aku ingin melupakan sejenak kekusutan yang ada dalam pikiranku.
“Ngomong-ngomong, aku sudah lama tidak mendengar kamu bernyanyi
lagi semenjak…” Vera menggantungkan kalimatnya.
Aku menghela napas. Semenjak Devan pergi, lanjutku dalam hati. “Ya,
habis tidak ada yang mengajakku menyanyi lagi. Dulu masih ada Devan yang
mengajakku bergabung dengan band-nya.” Pikiranku kembali melayang pada
saat-saat itu. Waktu itu rasanya menyenangkan, apalagi kalau bernyanyi solo
dengan Devan yang mengiringi memakai gitarnya. Walau hanya mengisi acara
sekolah atau acara ulang tahun teman-teman, tapi rasanya sangat menyenangkan
menyadari kami berdua mempunyai hobi yang saling melengkapi, aku hobi
menyanyi dan dia hobi main gitar. Dulu Devan mengatakan kalau itu pertanda
kami berjodoh. Nyatanya sekarang?
“Mika…” Bisik seseorang dari belakangku. Aku menoleh dan ternyata itu
adalah Adi. Aku tersenyum menyapanya. Dia akhirnya duduk di sampingku. Vera
tertawa kecil melihatku tidak bersemangat melihat Adi. “Oh, sedang baca novel?”
Tanyanya setelah melihat buku yang sedang kupegang. Padahal dia sudah tahu,
kenapa bertanya lagi?
“Wah, bacaanmu berat ya?” Kataku setelah melihat buku yang dia bawa.
“Ah, ini biasa.” Jawabnya santai.
51 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menganga sekaligus ngeri mendengar jawabannya, buku kimia
setebal lima sentimeter dianggap biasa?
“Ver, boleh aku…” Adi menyelesaikan kalimatnya dengan bahasa mata.
Aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya, tapi kemudian Vera mengedipkan
mata dan menjawab oke sambil membenahi bukunya dan berdiri lalu pindah ke
kursi agak jauh dari kami. Apa maksudnya?
“Aku meminta privacy untuk kita sebentar.” Katanya sambil tersenyum
seolah ia tahu apa yang aku pikirkan. Atau memang pikiranku segampang itu
ditebak orang?
“Untuk apa?” Tanyaku masih keheranan. Adi tidak langsung menjawab, ia
malah menatap mataku dengan tatapan aneh. Perasaanku menjadi tidak enak.
Mungkinkah?
“Mika, kamu tahu kalau kamu mempunyai wajah yang sangat manis?” Adi
memulai dialognya.
Aku mengerjapkan mata, berharap dia tidak melanjutkan kalimatnya.
Perasaanku semakin tidak enak.
“Aku diberitahu kalau kamu suka warna ungu, jadi aku membuat…” Adi
mengambil sesuatu dalam sakunya. “Ini tidak bagus, tapi… ini untuk kamu,
khusus aku buatkan untuk kamu.”
52 | C i n t a d a l a m K o p i
Adi menaruh sebuah kotak hadiah kecil yang mempunyai panjang sekitar
6 sentimeter berwarna ungu diikat pita warna emas. Lucu dan unik. “Tapi, aku
sedang tidak berulang tahun.” Kataku dengan keheranan yang belum tuntas.
“Memang, tapi buka saja pitanya. Kamu akan tahu.”
Maka aku membuka pita emas itu dan kotak itu membuka, pada tiap sisi di
dalamnya terdapat fotoku dan beberapa kalimat. Apa-apaan ini? Kalimat itu
berbunyi,
„Aku ingin menjadi udara yang selalu kau hirup‟
“Maaf kalau tidak romantis, tapi aku hanya ingin mengatakan kalau aku
sayang kamu, Mika.” Tambah Adi.
Deg! Firasatku memang benar. Adi, tolong kalimat selanjutnya jangan…
“Mika, kamu mau gak jadi pacar aku?”
Terkatakan sudah. Lalu sekarang aku harus menjawab apa? Rutukku
dalam hati. “Adi, aku sangat terkesan dengan miniatur hadiah ini, aku suka, ini
unik dan sangat bagus.” Kataku sambil tersenyum. Ya Tuhan, matanya berbinar.
“Adi, kamu sudah sangat baik padaku. Tapi aku lebih senang kalau kita berteman
saja, maaf ya, Adi.” Kataku hati-hati.
Mata berbinar Adi mulai meredup, tapi kemudian ia tersenyum. “Aku
mengerti.”
53 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menghela napas lega. Bel masuk berbunyi. “Sudah masuk, Adi. Aku
ke kelas duluan ya.” Aku berdiri.
“Mika, tapi aku masih boleh menyayangimu kan? Aku masih boleh
berharap padamu?” Adi bertanya lagi.
Aku hanya menatapnya dan tersenyum, lalu melangkah keluar disusul
Vera.
“Tadi serius sekali.” Goda Vera sambil berjalan menyusuri koridor. “Pasti
kamu tolak dia ya?” Tanya Vera lagi. “Padahal Adi itu baik kan, Mik?” Vera terus
memancing bertanya. “Eh, kenapa diam saja?”
“Sudah, Vera. Aku gak mau membahasnya.” Kataku sambil mengibaskan
tangan.
Drrtt…
Dasar cewek belagu! Mampus aja lo!
Sender:
Bobi
+62819098887xx
“Dendamnya belum berakhir.” Kata Vera sambil menyipitkan mata.
54 | C i n t a d a l a m K o p i
“Geretakan anak SD.” Kataku sambil memasukkan kembali ponsel ke
dalam saku. Kulihat Mega melambai dari dalam kelas. Hh… jam pelajaran
dimulai lagi.
***
55 | C i n t a d a l a m K o p i
Jatuh Cinta?
“Isi kulkas kamu coklat semua, Ver?” Pertanyaan yang tidak perlu
dijawab. Mega langsung menutup kembali pintu kulkas Vera.
“Kalau mau ambil saja.” Kata Vera sambil tersenyum.
“Dasar maniak coklat.” Cibirku pada Vera. Sejak kecil dia sangat
menyukai coklat, tapi yang membuat semua orang heran adalah hal itu tidak
mempengaruhi kulit dan bentuk tubuhnya sama sekali. Tetap mulus dan cukup
proporsional. Mungkin karena perawatan yang ia lakukan setiap minggu, atau
mungkin juga karena anugerah Tuhan.
Kami sedang berkumpul di rumah Vera untuk belajar bersama. Ujian
nasional sudah semakin dekat dan belakangan ini kami hanya bersantai-santai.
Apalagi aku, melulu mengurusi masalah hati. Sangat tidak bermutu.
“Tadinya Gerald mau bergabung lho.” Kata Vera.
Mega yang sedang membolak-balik halaman buku, langsung mengangkat
wajahnya.
“Tapi dia malah diajak teman-temannya main futsal. Jelas dia lebih
memilih main futsal dong, haha.” Lanjut Vera lagi.
“Dia orangnya bagaimana sih, Ver?” Tanya Mega. Aku hanya
mendengarkan obrolan mereka sambil mencoba menjawab soal-soal bahasa
Indonesia.
56 | C i n t a d a l a m K o p i
“Hmm… Dia baik, ganteng, dermawan, tapi kadang keras kepala,
emosional dan ingin menang sendiri. Begitulah yang aku tahu.” Jawab Vera lalu
memasukkan sepotong coklat ke dalam mulutnya.
Lalu Mega ber-oh ria. Aku tidak sempat memperhatikan kalau saat itu
matanya memancarkan cahaya yang tidak biasa. Tapi aku merasa mulai risih
dengan obrolan mereka. Padahal kami datang kesini untuk belajar kelompok, tapi
sejak tadi tidak ada satupun soal yang dibahas tuntas.
“Jadi kita disini hanya untuk membahas cowok?” Aku mengembuskan
napas, meluapkan kesal. “Aku pulang aja ya, pusing.” Lalu aku memasukkan
buku dan alat tulisku ke dalam tas. Suasana hatiku sedang ekstrim, jadi wajar saja
bila aku tiba-tiba merasa emosi. Aku berdiri dan melangkah menuju pintu.
“Mika, kamu marah?” Tanya Mega khawatir.
“Tidak, aku tidak marah. Aku hanya pusing dan disini buang-buang
waktu.” Kataku. Aku memegang daun pintu, belum sempat aku menariknya tiba-
tiba pintu itu terbuka dengan satu gerakan cepat. BRAKK!
“Aaww!” Pekikku kaget sekaligus sakit. Keningku malang, terbentur
sekali lagi.
“Yaampun, maaf aku tidak sengaja.” Kata orang itu setelah masuk.
“Mika.” Tambah orang itu ketika menyadari siapa yang ada di balik pintu ini.
57 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mengangkat kepalaku dan aku melihat Gerald. Aku terpukau sejenak,
belum pernah aku sedekat ini dengan Gerald, dan aku baru menyadari betapa
indahnya makhluk ciptaan Tuhan yang ada di hadapanku ini.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya Gerald sekali lagi. Ia mengibaskan
tangannya ke depan wajahku.
“Ada apa?”
“Kamu kenapa, Mika?”
“Gerald!”
Suara tumpang tindih Mega dan Vera langsung menyadarkanku. Keningku
terasa berdenyut-denyut, sakit sekali rasanya.
“Mika, kamu tidak apa-apa?” Tanya Gerald sekali lagi, ia mulai khawatir.
“Gerald, aku apa-apa.” Jawabku polos. Aku masih memegangi keningku,
dan tiba-tiba rasanya penglihatanku berputar-putar. Aku ingin duduk, maka aku
melangkah menuju sofa, tapi kakiku tersandung karpet yang bahkan hanya
beberapa senti tingginya. Oh, tidak jika aku jatuh maka habislah sudah, keningku
sekali lagi akan membentur ujung meja.
“Aaaa!” Pekikku kaget dengan tangan menggapai-gapai berharap ada
sesuatu yang dapat kupegang untuk menahan tubuhku terjatuh.
“Haaa!” Vera dan Mega histeris bersamaan melihatku akan terjatuh.
58 | C i n t a d a l a m K o p i
Hap! Tanganku diraih Gerald dan ditariknya ke arah tubuhnya lalu
tubuhku dihempaskan ke tangan yang satunya. Aku hanya memejamkan mata,
rasanya tubuhku seperti melayang. Apakah aku sudah berada di surga sekarang?
Tapi kenapa jantungku terasa masih berdetak? Bahkan lebih kencang dari
sebelumnya.
“Mika, kamu sudah aman sekarang.” Aku mendengar suara Gerald dan
hembusan napasnya terasa.
Oh, tidak! Aku membuka mataku dan aku langsung terbelalak melihat
wajah Gerald begitu dekat. Aku berusaha melepaskan diri, tapi posisi tubuhku
tidak seimbang, lagi-lagi aku hampir jatuh, dan lagi-lagi aku diselamatkan Gerald.
“Aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja.” Kataku salah tingkah saat sudah
bisa berdiri sempurna. Aku menengok ke arah Vera dan Mega, disana mereka
mematung dengan mulut menganga.
***
“Kamu tidak apa-apa, Mik?” Tanya Vera keesokan harinya saat istirahat.
Dia merasa khawatir melihatku yang sedari tadi memejamkan mata sambil
memegangi kepala.
Aku membuka mata dan hanya mengerjap melihatnya.
“Mika, aku siapa?” Tanya Vera spontan, lalu ia menarik Mega, “Kalau ini,
ini siapa?” Tambahnya.
59 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku tidak amnesia, Vera.” Jawabku gemas. Vera hanya nyengir kuda.
“Setelah kamu pulang, Gerald terus menanyakan keadaanmu padaku.
Kelihatannya dia sangat merasa bersalah.” Kata Vera. “Malah dia bilang, dia
menyesal kenapa futsalnya dibatalkan.” Vera meringis.
Tok..tok..tok..
Seseorang mengetuk pintu kelas, otomatis semua orang yang berada dalam
kelas menoleh ke arah pintu, dan disana berdiri cowok tinggi, dengan wajah
indojerman yang tampan. “Mika.” Panggilnya sambil menatapku.
Mau tak mau aku harus menghampirinya, maka aku berdiri dan berjalan
mendekati Gerald diikuti tatapan semua orang di kelas.
“Kening kamu masih sakit?” Tanya Gerald. “Ini aku bawakan obat.”
Katanya sambil memberikan obat yang dia bawa.
“Aku sudah tidak apa-apa, tidak usah repot-repot.” Kataku menolak.
“Aku merasa sangat bersalah, jadi kamu harus terima ini supaya aku
merasa lebih tenang.” Katanya dengan raut wajah khawatir.
Aku tersenyum dan mengambil obat itu dari tangannya. Aku bisa melihat
kelegaan dalam wajahnya.
“Mika.”
Aku dan Gerald serentak menoleh ke arah suara. Adi berdiri lima meter
dari kami berdua. Gerald menoleh menatapku yang masih menatap Adi.
60 | C i n t a d a l a m K o p i
“Ya sudah, aku kembali ke kelas kalau begitu.” Kata Gerald. Aku
mengangguk dan tersenyum. Dia berjalan ke arah berlawanan dengan Adi.
“Aku dengar kamu kecelakaan, kamu tidak apa-apa?” Tanya Adi setelah
berada di depanku.
“Eh?”
“Katanya keningmu terbentur berkali-kali. Kenapa gak ke dokter?”
Tambah Adi.
Aku mengerutkan keningku menatapnya. Kecelakaan? Terbentur berkali-
kali? Siapa yang membuat lelucon itu?
“Ini aku bawakan obat untuk kamu.” Adi menyerahkan bungkusan yang ia
bawa. “Itu obat tradisional dari Ibuku, katanya sangat ampuh untuk mengobati
luka memar.”
Aku menatap kedua obat yang dibungkus kresek warna putih di kedua
tanganku. Obat dari apotik yang dibeli Gerald dan obat tradisional yang dibawa
Adi. Tidak mungkin aku memakai keduanya.
“Tapi aku sudah punya obatnya Adi, dan aku hanya terbentur pintu gak
kecelakaan.” Aku tersenyum padanya. Dia terlihat kaget dan mulai salah tingkah.
“Oh, tapi kenapa Mega bilang kamu kecelakaan dan kening kamu memar
parah karena terbentur berkali-kali?” Tanya Adi heran.
61 | C i n t a d a l a m K o p i
Mega? Aku menoleh ke dalam kelas dan melihat Mega dan Vera sedang
cekikikan. Sial, aku dikerjai.
“Ya sudah tidak apa-apa, kamu pakai saja obatnya. Aku kembali ke kelas
ya. Bye.” Kata Adi buru-buru.
“Tapi…” Kalimatku menggantung, Adi tidak mendengarkan, dia sudah
berjalan cepat menuju kelasnya. Mungkin dia malu merasa dikerjai. Mega! Sejak
kapan anak itu mengerjaiku? Anak pendiam dan penurut seperti dia.
***
Aku menatap langit-langit kamar. Entah mengapa langit-langit yang polos
berwarna putih itu menjadi sangat menarik untukku. Aku mengembuskan napas
panjang. Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam, tapi mataku masih saja
tidak mau terpejam.
Drrtt… Ponselku bergetar, ada sms masuk lagi. Sejak tadi aku malas
membukanya, tapi barangkali itu penting maka aku meraih ponselku di samping
bantal. Ternyata sudah ada 3 sms. Ricky seperti biasa mengingatkan untuk berdoa
sebelum tidur, Fardan bertanya apakah besok aku perlu dijemput, dan yang
terakhir dari Fajar, dia menanyakan kenapa aku tiba-tiba menghilang selama
beberapa hari ini. Hanya Ilham yang sudah lama menghilang setelah aku tidak lagi
merespon telepon atau smsnya.
Keningku sudah merasa lebih baik, aku memakai obat dari Gerald.
Sementara obat dari Adi nanti saja kupakai kalau obat modern ini tidak berhasil.
62 | C i n t a d a l a m K o p i
Tiba-tiba aku teringat kejadian kemarin saat di rumah Vera. Ahh… Gerald itu
memang tampan, hanya cewek tidak normal yang mengatakan dia jelek. Dan
matanya itu mampu menghipnotis setiap cewek yang menatapnya, mata cokelat
yang indah dan sentuhannya yang lembut.
Tunggu! Apa yang aku pikirkan? Aku menyukai Gerald? Tidak, tidak
mungkin. Batinku. Aku menutup kepalaku memakai selimut dan langsung
memejamkan mata, mengusir segala bayangan tentang Gerald.
***
Drrtt… Drrtt… Drrtt…
Tanganku menggapai-gapai mencari ponsel. “Hallo.” Suaraku yang serak
menyambut penelepon di seberang sana.
“Mika, aku di depan rumah, kamu belum berangkat sekolah kan?” Aku
mendengar suara cowok disana. Rasanya aku pernah hapal suara ini.
“Memangnya siapa yang mau berangkat sekolah Subuh-subuh begini?”
Kataku masih dengan mata terpejam.
“Mika, kamu masih tidur?” Cowok itu terpekik kaget. “Mika! Ini sudah
hampir jam tujuh!” Cowok itu berseru lagi.
“Iya aku tahu.” Jawabku setengah sadar. Dua detik kemudian perkataan
cowok itu baru bisa otakku cerna dengan baik. “Hah? Jam tujuh??” Aku berseru
kaget dan langsung terduduk.
63 | C i n t a d a l a m K o p i
Oh God aku terlambat! Aku langsung bangun dari tempat tidur dan meraih
handuk. Tapi aku teringat sesuatu dan kembali meraih ponsel yang kuterlantarkan
diantara selimut. Aku menatap layar, syukurlah masih tersambung dan aku baru
tahu kalau itu Fardan. “Fardan, tunggu aku sebentar! Kamu masuk aja. Tunggu
aku ya!” Kataku panik dan langsung masuk kamar mandi.
Selesai mandi dan memakai seragam, aku hanya menyisir rambut
seadanya dan langsung keluar menemui Fardan.
“Ma, Mika berangkat!” Seruku pada Mama yang berada di dapur. “Ayo,
Fardan.” Kataku pada Fardan yang sedang asyik duduk di bangku teras. Fardan
langsung tersenyum dan berdiri.
“Kamu sudah terlambat ya?” Tanya Fardan. “Aku percepat kalau begitu.”
Tambahnya. Maka ia mengegas motornya lebih kencang.
Dan angin langsung berlomba-lomba menerpa wajah dan memainkan
rambut panjangku yang biasa kugerai, “Fardan jangan kencang-kencang, aku
takut.” Kataku. Fardan sedikit memelankan motornya. “Kamu juga terlambat kan?
Maaf ya gara-gara aku.” Kataku merasa bersalah.
“Tidak apa-apa, aku senang.” Katanya. Aku tidak berkata apa-apa lagi.
Akhirnya kami sampai di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup. Aku
turun dari motor dan merapikan rambutku yang aku yakin sekarang sudah seperti
orang kesetrum. Aku langsung berlari masuk gerbang dan berkumpul dengan
64 | C i n t a d a l a m K o p i
murid-murid kesiangan yang lain. Setelah masuk barisan, aku menatap Fardan
memutar balik motornya menuju sekolahnya.
Dia terlambat ke sekolah gara-gara aku dan dia bilang dia senang? Aku
pikir otaknya sedang korslet. Kataku dalam hati.
“Mika…” Bisik seseorang disampingku.
Aku menoleh ke sebelah kananku dan, “Hah?!” Pekikku kaget. Semua
orang menoleh menatapku, termasuk guru yang sedang menceramahi kami di
depan. Dengan refleks aku menutup mulutku dengan tanganku sendiri, Gerald
hanya meringis.
“Kenapa kamu kesiangan?” Bisikku saat keadaan mulai tenang kembali.
“Aku ingin tahu di sekolah ini kalau murid kesiangan diapakan.” Katanya
sambil nyengir.
Aku melihat semua murid yang berbaris, ada dua belas orang dan sembilan
adalah cowok. Aku jadi mulai berpikir bahwa bagi seorang cowok terlambat
datang ke sekolah itu menyenangkan.
“Sekarang sebagai hukuman, kalian berlari mengelilingi lapangan ini
sepuluh keliling!” Kata Pak Eddy, selaku Guru Kesiswaan kami.
Aku menganga mendengar hukuman yang diberikan. Sepuluh keliling
lapangan basket? Oh God, aku bisa pingsan.
“Pak, ada yang sakit.” Kata Gerald tiba-tiba.
65 | C i n t a d a l a m K o p i
“Siapa?” Tanya Pak Eddy.
“Mika, Pak. Dia tidak boleh berlari jauh.” Jawab Gerald.
“Ya sudah, Mika. Kamu berdiri di samping lapangan saja.” Kata Pak
Eddy.
Aku menatap Gerald dengan tatapan penuh pertanyaan. Siapa yang sakit?
“Aku tahu kamu belum sarapan. Aku gak mau hukuman ini membuat
kamu pingsan.” Kata Gerald sesaat sebelum ia mulai lari bersama teman-teman
yang lain.
Gerald menyelamatkanku lagi. Apakah dia seperti itu pada setiap cewek?
***
“Dia seperti itu pada setiap cewek, kan?” Tanya Mega pada Vera sesaat
setelah aku menceritakan apa yang terjadi pagi tadi padaku. Yang ditanya malah
sedang asyik menatap pantulan dirinya di cermin, untuk kesekian kalinya ia
membereskan rambut curly sebahunya itu.
“Eh, setelah ini pelajaran sosiologi ya? Jangan masuk kelas yuk!” Kata
Vera tiba-tiba.
“Hah?” Aku dan Mega memekik bersamaan. Vera hanya nyengir.
“Aku tadi pagi sudah kesiangan, Vera sayang.” Kataku.
“Sekali-kali sepertinya gak apa-apa.” Kata Mega akhirnya.
66 | C i n t a d a l a m K o p i
“Hah?” Aku menganga tidak percaya. Ada apa dengan semua orang hari
ini? Dari mulai aku kesiangan, Fardan dan Gerald yang senang karena kesiangan,
dan Mega yang biasanya sangat rajin tiba-tiba ingin membolos?
“Ayolah, Mika.” Bujuk Vera. Jam pelajaran berikutnya akan segera
dimulai. Aku menatap wajah kedua sahabatku itu, akhirnya aku mengangguk.
Membolos dua jam pelajaran sekali seumur hidup aku pikir tidak akan menjadi
masalah besar.
“Jadi kemana kita?” Tanyaku. Kami saling diam, tapi Vera akhirnya malah
mengajak kami ke toilet dulu.
“Iya, bu saya ada mengajar di IPS 2. Ibu duluan saja, saya mau ke toilet
sebentar.” Suara Bu Ana yang khas terdengar dari luar. Oh God itu guru kami.
Kami bertiga menganga dan langsung mengunci pintu ruang wastafel. Toilet di
sekolah ini mempunyai ruangan khusus untuk wastafel becermin tempat kami
ganti pakaian ketika olahraga.
Kami bertiga langsung berlomba-lomba memenuhi sudut ruangan dekat
wastafel yang jauh dari pintu. Berhubung satu perempat pintu bagian atas terdapat
kaca, maka siapapun dari luar bisa melihat orang di dalam jika dia tinggi.
“Aku disana!” Bisik Vera. Ia bersikeras ingin paling pojok supaya tidak
terlihat.
“Hei, aku duluan!” Jawab Mega yang mempertahankan tempatnya.
67 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku ingin disana, please!” Bisikku panik sambil menarik tangan Vera
dan Mega. Akhirnya kami saling menarik dan berlomba mendapatkan tempat
paling pojok. Hampir delapan menit kami bergumul di pojokan ruangan.
“Ssst!” Bisik Vera. “Kalian dengar tadi Bu Ana sudah keluar?”
Aku dan Mega menggeleng, masih dengan posisi saling menarik.
“Mega cepat cek!” Kata Vera. Berhubung dia yang paling tinggi diantara
kami bertiga jadi dia hanya tinggal jingjit sedikit saja sudah bisa melihat keluar.
Mau tidak mau Mega yang harus mengecek, maka dengan berat hati Mega
berjalan menuju pintu dan mulai mengintip.
“Tidak ada siapa-siapa di toilet, semua pintu terbuka.” Kata Mega.
Aku dan Vera bernapas lega. Lalu saling berpandangan dan kemudian
mulai tertawa. Menertawakan kekonyolan yang baru saja kami lakukan.
“Haha… kalau dipikir-pikir kita berdiri disini saja sudah tidak kelihatan
dari luar.” Kata Mega sambil mempraktekan berdiri di samping pintu.
“Kamu lihat gak wajahnya?” Terdengar seorang murid cewek masuk.
Aku, Vera, dan Mega langsung kaku sambil menganga karena tawa yang
terhenti. “Mega, pintunya buka!” Bisik Vera. Mega mengacungkan jempol. Aku
dan Vera segera berdiri dan mulai berakting seolah sedang bercermin.
“Iya, aku tahu. Dia memang tampan.” Balas temannya. Terdengar mereka
melangkah menuju ruangan ini. Mereka terlihat kaget saat menemukan kami, tapi
68 | C i n t a d a l a m K o p i
langsung bersikap biasa dan mulai ikut bercermin. Beberapa saat kemudian
mereka keluar. Mega langsung mengunci pintu lagi. Lalu kami tertawa lagi.
“Lebih baik kita ke perpus atau ke kantin.” Usulku.
“Jangan! Terlalu berbahaya, kita disini saja.” Kata Mega. Kami bertiga
berpandangan dan kembali tertawa. Ini adalah hal terkonyol dan tergila yang
pernah aku lakukan. Tapi ini menyenangkan, melanggar peraturan sekolah
bersama kedua sahabat terbaikku.
***
Aku berlari menuju halte dekat sekolah. Langit sudah begitu mendung,
angin yang berembus mulai tidak bersahabat, dan jelaslah ketika gerimis mulai
turun. Aku melihat jam tanganku, hampir pukul tujuh malam. Gerimis mulai
tergantikan dengan hujan yang kian menderas. Aku menatap layar ponsel dan
mengembuskan napas kecewa, tidak ada jawaban dari Papa. Lalu bagaimana
caranya aku pulang?
Kilat terlihat seolah membelah langit, lalu menatap sekeliling sepi. Aku
mengigit bibir. Harusnya aku tidak menolak saat Indra teman sekelompokku
menawari mengantarkanku pulang. Tapi tadi kupikir Papa akan menjemputku,
sekarang ponselnya malah susah dihubungi.
Tiin… tiin…
69 | C i n t a d a l a m K o p i
Sebuah mobil berhenti di depanku, rasanya aku tidak asing dengan mobil
ini. Kaca depan disisi kemudi diturunkan, barulah aku dapat melihat siapa yang
mengemudi.
“Mangkal neng? Haha..” Kata Bobi meledek.
Aku menatapnya gusar. Itu adalah penghinaan terbesar yang pernah aku
terima. Tapi melawan Bobi adalah bukan hal yang bagus, maka aku hanya
memalingkan wajah ke arah lain.
“Kasihan. Mau aku antar pulang?” Tanyanya lagi dengan ekspresi prihatin.
Aku menoleh padanya, aku berharap dia memang serius mau
mengantarkan aku pulang karena berada disini sendirian membuatku merasa
takut.
“Haha… memangnya gue peduli sama lo? Lo mau pulang kek, kagak kek,
bukan urusan gue! Selamat menikmati hujan sendirian jelek!” Kata Bobi, lalu
langsung menutup kaca mobilnya dan melajukan mobilnya dengan kencang.
Dia benar-benar membenciku. Batinku. Kurasakan ponselku bergetar,
tanda ada sms diterima.
Mika, kening km ud sembuh?
Sender:
Gerald
+62878555654xx
70 | C i n t a d a l a m K o p i
Gerald? Apa aku meminta dia menjemput saja ya? Tanyaku dalam hati.
Aku menatap langit, hujannya semakin menderas.
Mika: Sudah baikan kok, terimakasih yaa.
Aku mengigit bibir bawahku, sambil berdoa setelah ini dia akan bertanya aku
sedang apa atau sedang dimana.
Gerald: Baguslah kalau begitu.
Aku menganga membaca balasannya. Hanya itu? Ah, ternyata aku berharap
terlalu besar.
“Aaaa!” Petir besar mengagetkanku, hampir saja ponsel ini terlepas dari
pegangan. Aku mulai bergetar ketakutan. Maka aku mencoba menelepon Papa
sekali lagi, tetap tidak aktif. Dan akhirnya…
“Gerald, aku sendirian di halte dekat sekolah. Aku tidak bisa pulang,
ponsel Papa tidak aktif, gak ada yang bisa jemput, gak ada kendaraan. Tolong
aku.” Kataku langsung sebelum Gerald sempat menyapa di telepon.
“Ya Tuhan, kenapa kamu gak bilang dari tadi? Tunggu disana, aku kesana
sekarang!” Kata Gerald.
“Maaf merepotkan, Gerald.” Kataku bergetar, tapi Gerald sudah memutus
sambungan teleponnya. Aku bisa bernapas lega sekarang. Aku kembali duduk,
tapi kakiku tidak mau diam, aku tetap cemas. Hujan sama sekali tidak
menunjukkan akan mereda.
71 | C i n t a d a l a m K o p i
Lima belas menit kemudian Gerald datang dan berhenti tepat di depanku.
Aku berdiri menyambutnya.
“Lama ya?” Tanya Gerald sambil membuka jas hujannya. Ternyata dia
membawa tas dan ia mengeluarkan jas hujan untukku. “Maaf ya aku
menjemputmu pakai motor. Aku tidak biasa meminjam mobil Papa.” Tambahnya
sambil nyengir.
“Gak apa-apa, Gerald.” Jawabku tersenyum. Ada sesuatu yang berdesir
dalam hatiku saat aku melihat mata Gerald malam itu, aku terpaku melihatnya
hingga jas hujan yang diberikan Gerald belum aku terima.
“Mika?” Tanya Gerald.
“Eh?” Aku terbangun dari lamunanku dan langsung mengambil jas hujan
yang disodorkan Gerald. Bodoh! Apa yang aku pikirkan? Rutukku dalam hati.
Aku langsung memakai jas hujan tersebut, begitupun dengan Gerald, ia memakai
jas hujannya kembali.
Aku menatap jalanan yang lengang karena hujan deras. Lalu menoleh pada
Gerald yang sepertinya sedang kesulitan dengan jas hujannya. “Kenapa?”
Tanyaku.
“Gak apa-apa, resletingnya kadang suka macet.” Katanya sambil berusaha
menaikan resleting jas hujannya.
“Kalau gak bisa lebih baik kita tukar jas hujan, kamu kan di depan, jadi…”
72 | C i n t a d a l a m K o p i
“Gak usah, Mika, nanti kamu basah.” Gerald memotong perkataanku.
“Memangnya kalau kamu yang pakai begitu gak dinaikkan resletingnya
gak akan basah? Sama aja kan?” Tanyaku heran. “Oh iya, kalau tidak salah aku
punya beberapa peniti dan bros.” Tambahku sambil berusaha mengambilnya
dalam tas. “Sini.” Aku mendekati Gerald dan memasangkan peniti di jas
hujannya. Karena penitinya kecil ditambah cahaya yang tidak begitu terang, maka
aku sedikit kesulitan. Beberapa kali mencoba akhirnya bagian atas sudah beres,
sekarang bagian bawah baju jas hujannya. Aku sedikit menunduk dan mulai
memasangkan penitinya.
“Sudah.” Kataku sambil merapikan jas hujannya. “Eh, sebaiknya satu lagi
di bagian tengah.” Tambahku. Gerald tidak berkomentar, dia diam saja bak
sebuah manekin. “Kok susah ya?” Gumamku setelah berkali-kali mencoba, tapi
penitinya tetap tidak terpasang. Aku mendongak menatap wajah Gerald yang
ternyata sedang menunduk. Mata kami langsung bersitatap, jantungku tiba-tiba
mempercepat detakkannya, aku sampai menahan napas dan menahan gerakanku.
“Sudah belum, Mik?” Pertanyaan Gerald lagi-lagi menyadarkan aku.
Aku kembali sedikit menunduk, memasangkan kembali peniti. “Sudah.”
Jawabku sambil berdiri tegak.
“Ayo pulang.” Ajaknya sambil tersenyum.
Aku mengangguk dan menaiki motornya. Malam ini, aku menitipkan satu
rasa pada hujan, membisikkan tiga kata pada angin: Aku nyaman bersamanya.
73 | C i n t a d a l a m K o p i
What is this?
“Kamu sebenarnya sedang jatuh cinta pada siapa, Meg?” Tanya Vera.
“Ada aja.” Goda Mega sambil terus membereskan rambutnya.
“Terserah kau sajalah.” Kata Vera akhirnya. Vera masih memerhatikan
Mega dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambut lurusnya yang tiba-tiba di
curly, rok sekolahnya yang lebih pendek dari biasanya, bajunya juga lebih ketat
dari sebelumnya. “Kamu harus ingat, Mega. Jangan pernah menjadi orang lain
hanya untuk menarik perhatian dari cowok yang kamu suka.”
Aku mendengar percakapan mereka sambil bersenandung pelan. Karena di
kelas hanya kami bertiga maka ketika Mega dan Vera berhenti berbincang,
senandung pelanku mulai terdengar lebih nyaring.
“Lagi bahagia ya, Mik?” Tanya Mega.
“Hmm?” Tanyaku, lalu melanjutkan senandungku.
“Seminggu lagi ujian nasional, apa yang udah kalian punya?” Tanya Vera
serius.
Aku mengacungkan pensil, penghapus, dan penggaris yang baru aku beli
khusus untuk ujian nasional. Vera menatapku tajam tanpa senyuman. Sepertinya
bukan jawaban seperti itu yang dia harapkan. Aku hanya nyengir kuda.
74 | C i n t a d a l a m K o p i
“Ngomong-ngomong kemarin kamu dijemput Gerald ya?” Tanya Vera
tiba-tiba. Senyum di wajah Mega menghilang, ia menunggu kalimat Vera
selanjutnya.
“Dia cerita padamu?” Tanyaku ringan.
“Kamu menyukainya?” Tanya Vera kemudian. Aku dan Mega terperanjat
bersamaan.
“Haha… Kenapa pertanyaan kamu kayak gitu? Jelas nggak lah.” Jawabku
mengelak. Entah aku terlihat jelas sedang berbohong atau tidak, yang jelas aku
belum ingin memberitahu mereka.
“Aku cuma nanya, Mika.” Kata Vera kemudian.
Aku keluar kelas untuk pergi ke toilet.
***
“Sebenarnya kenapa kamu bertanya seperti tadi pada Mika?” Tanya Mega
pada Vera. Ia ternyata masih penasaran.
“Oh, itu. Gerald kemarin bilang kalau dia menyukai Mika.” Jawab Vera
ringan.
Mega terlihat kaget dan wajahnya memucat. Ia tidak berkata apa-apa lagi.
Vera pun tidak terlalu memerhatikan perubahan air muka Mega.
***
75 | C i n t a d a l a m K o p i
Pulang sekolah seperti biasa kami pulang bertiga. Sengaja kami menunggu
sekolah agak sepi agar gerbang sekolah tidak terlalu sesak, itulah alasan konyol
Vera. Tapi aku dan Mega menurut saja, padahal aku juga tahu kalau Vera ingin
menikmati saat terakhir di SMA ini.
Saat kami berjalan menuju gerbang, tiba-tiba dari arah belakang ada siswa
yang membawa motor sambil bercanda dengan temannya dan menyenggol Mega
hingga hampir jatuh. Siswa cowok itu tidak berhenti.
“Heh!!” Teriakku kesal.
“Kamu gak apa-apa?” Tanya Vera yang memegangi Mega agar tidak
jatuh. Mega hanya meringis sambil memegangi tangan kanannya.
“Hai, girls, mau pulang?” Gerald dengan motornya berhenti tepat di depan
kami. Gerald mengerutkan keningnya. “Mega, kenapa?” Tambahnya.
“Tadi ada cowok naik motor nyenggol Mega.” Jawabku.
Gerald turun dari motornya dan mendekati Mega. “Apa yang sakit?”
Tanya Gerald pada Mega. Gerald melihat tangan Mega dan menyentuhnya, lalu
mengurut-urut sedikit.
Aku mengembuskan napas. Entah kenapa ada perasaan kecewa dalam
hatiku. Ada rasa yang terhempas, dan aku baru saja menyadari kalau aku
berharap. Apa yang aku harapkan dari Gerald? Berharap dia hanya baik padaku
agar aku dapat menarik kesimpulan kalau dia menyukaiku? Jatuh cinta padaku?
76 | C i n t a d a l a m K o p i
Harapan yang sangat bodoh, Mika! Rutukku dalam hati. Jelas saja Gerald
memang baik pada semua orang, bukan hanya aku.
***
Sudah saatnya aku move on dari Devan Rafli! Tekadku sudah bulat, aku
tidak bisa terus-menerus dibayangi Devan. Aku mungkin bisa mengikhlaskannya,
dan mulai bisa menerima kalau dia lebih memilih Reva dibandingkan aku. Aku
mengembuskan napas perlahan, aku akan membiarkannya mengalir dalam hati,
tidak akan membendungnya lagi. Aku akan melepaskan Devan, benar-benar
melepaskan.
Aku menatap layar komputer yang sedang menampilkan profil facebook
Devan. Aku mulai menggerakkan mouse dan mengarahkannya pada samping foto
Devan, mengklik pertemanan kami di facebook dan memblokirnya. Aku tidak
ingin melihat dia lagi dimanapun.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, lagi-lagi pikiranku
berputar-putar pada Devan dan Gerald. Ya, semenjak dia memperlakukanku
dengan sangat baik hingga membuatku merasa nyaman, hatiku mulai
mengharapkan sesuatu yang lebih darinya. Sama seperti dulu saat aku mulai
menyukai Devan lalu mencintainya.
Pertanyaan yang tidak habis dalam pikiranku, kenapa harus Gerald?
Kenapa bukan Adi atau Bobi yang jelas-jelas sayang padaku? Hhh… lagi-lagi aku
mengembuskan napas.
77 | C i n t a d a l a m K o p i
“Mika, ada Fajar.” Teriak Mama dari luar.
Fajar?
“Hai, de.” Kata Fajar menyambutku yang keluar dari kamar.
“Ada apa, Kak? Tumben datang ke rumah tidak bilang?” Tanyaku saat
sudah duduk di sofa ruang tamu.
“Lho, tadi Kakak sudah sms. Memangnya gak ada ya smsnya?” Tanya
Fajar.
“Hehe… Ade gak lihat ponsel.” Kataku sambil cengengesan.
“Kakak cuma mau lihat ade aja, soalnya akhir-akhir ini Kakak rasa ade
berubah. Hmm… kayak menjauh, susah dihubungi. Jadi Kakak agak khawatir
dan… kangen.” Tutur Fajar.
Aku tersenyum padanya, lalu tertawa, “Haha… Kakak kan tahu sebentar
lagi ade ujian nasional. Ade bukan menjauh, Kak.”
“Kakak boleh bilang sesuatu sama ade?” Tanya Fajar.
“Bilang aja.” Kataku ringan sambil mencomot kue di meja dan
memasukannya ke mulut.
Aku mendengar Fajar mengembuskan napas lalu berkata, “Kakak sayang
sama ade.”
78 | C i n t a d a l a m K o p i
Kalimat yang baru saja kudengar mampu membuatku berhenti
mengunyah, lima detik ruangan ini sunyi, hanya terdengar sayup suara televisi di
ruang tengah. Lalu aku tertawa garing, “Haha… tentu saja, Kakak kan sudah
menganggap aku adik kandung Kakak sendiri.” Aku mencoba mencairkan
suasana yang tiba-tiba saja membuatku merasa tidak nyaman. Aku takut kalimat
selanjutnya dari Fajar adalah…
“Bukan itu, aku sayang sama Mika bukan kayak kakak pada adiknya. Tapi
kayak cowok ke cewek. Ade ngerti kan?”
Aku menelan kue yang kumakan dengan susah payah. Apa-apaan ini?
“Kakak mau ade jadi pacar Kakak.” Tambah Fajar.
Mendengar kalimat itu rasanya aku ingin marah, aku tidak terima. Orang
yang sudah aku anggap sebagai kakak, benar-benar hanya kakak, dan sekarang
mengatakan kalau dia menyayangiku bukan sebagai adik. Lelucon macam apa ini?
“Ade…” Panggil Fajar khawatir dengan perubahan raut wajahku. Dia tahu
aku marah.
“Aku gak terima diperlakukan kayak gini.” Kataku dengan dingin. “Aku
murni menganggap kamu sebagai kakak, aku udah percaya kamu untuk menjadi
kakak aku. Dan sekarang apa? Kamu mengkhianatiku dengan mencintaiku! Aku
sangat tidak terima ini!” Tambahku.
“Maaf, de. Maaf.” Kata Fajar yang terlihat semakin khawatir.
79 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menggeleng. “Silakan kamu pergi!” Kataku dengan suara rendah
namun penuh tekanan.
“De…” Fajar mulai terlihat panik. Aku berdiri dan menarik tangannya
menuju pintu. “Kalau ade gak mau terima Kakak sebagai pacar, kita masih bisa
menjadi kakak adik seperti dulu kan?” Tanya Fajar yang sudah berada di luar.
“Nggak!” Kataku tanpa senyuman dan langsung menutup pintu.
Fajar pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta padaku. Itulah alasan aku
benar-benar kecewa padanya. Aku marah, kecewa, dan sedih. Kenapa dia malah
mencintaiku?
***
80 | C i n t a d a l a m K o p i
Gerald-Mika
Ujian nasional berakhir dengan lancar. Aku, Vera, dan Mega belajar kebut
semalam sebelum ujian, dan untunglah tidak sia-sia. Beruntung aku bisa
mengesampingkan perasaanku terhadap Devan ataupun Gerald. Sementara Fajar
tidak pernah menghubungi lagi semenjak aku mengusirnya dari rumah. Tapi aku
merasa ada yang aneh dari Mega, entah sejak kapan, ia yang memang pendiam
akhir-akhir ini menjadi tambah diam. Setiap ditanya dia pun hanya tersenyum lalu
menggeleng, bahkan aku merasa dia mulai menghindar dariku.
Hari ini aku, Vera, dan Mega serta Gerald akan nonton ke bioskop. Aku
mematut di depan cermin sekali lagi. Rok coklat selutut, dengan tangtop warna
krem dan kardigan warna salem, tidak ketinggalan bando soft pink. Sepertinya
sudah sempurna. Aku keluar rumah dan naik angkot menuju halte dekat sekolah,
sesuai perjanjian. Ternyata aku yang datang terakhir.
“Mika!” Seru Vera. Aku malah diam karena orang yang pertama kali
menyedot perhatianku adalah Mega. Sejak kapan dia suka memakai rok selutut
dengan kardigan juga bando? Dan… rambutnya sudah kembali lurus.
“Gaya kalian sama.” Komentar Gerald padaku dan pada Mega. Mega
hanya tersenyum. Aku malah canggung dan merasa sangat aneh.
“Ayo berangkat!” Kata Vera, ia berjalan menuju mobilnya.
“Aku aja yang nyetir, Ver.” Kata Gerald. Vera menyetujui.
81 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kok Gerald gak beli mobil aja? Aku yakin orang tua kamu mampu beli
mobil termewah sekalipun.” Kata Mega secara tiba-tiba. Aku yang duduk
disampingnya spontan menoleh.
“Aku lebih suka motor, lagipula aku belum butuh mobil, Meg.” Jawab
Gerald.
Ada apa dengan Mega? Masalah apa yang sedang merundungnya kali ini?
Tanyaku dalam hati.
***
“Kamu tahu Mega kenapa?” Tanyaku pada Vera di toilet, aku sengaja
mengajaknya keluar saat film berlangsung.
“Stylenya yang tiba-tiba berubah?” Tanya Vera lagi. “Aku gak tahu, Mik.
Dia hanya bilang tadi bajunya sisa yang itu aja.” Jawab Vera ringan.
“Terus kamu percaya?”
Vera menoleh padaku, “Kamu gak percaya, Mik?”
“Bukan, aku… Aku cuma merasa aneh, ada yang janggal, dan
pertanyaannya di mobil tadi bukannya aneh, Ver?” Tanyaku lagi.
“Aku rasa pertanyaan dia wajar aja, Mika. Dia hanya ingin tahu aja kan?”
Kata Vera. “Cuma perasaan kamu aja, Mik.” Tambah Vera lalu keluar.
82 | C i n t a d a l a m K o p i
Vera benar, baju-baju Mega terkadang dipakai oleh adiknya yang hanya
selisih satu tahun, bisa saja memang Mega terpaksa berpakaian seperti itu. Hanya
perasaanku saja. Batinku. Aku menyusul Vera, kembali menonton film.
***
“Makan dimana kita?” Tanya Vera.
Aku melihat Gerald dan Mega yang berjalan di depanku sedang
mengobrol sangat akrab, lagi-lagi aku tidak suka melihatnya. Oh, God, ada apa
dengan hatiku?
Akhirnya kami makan di suatu restoran fastfood. Aku tidak bisa
menyembunyikan badmood-ku. Vera, Mega, dan Gerald sedang asyik mengobrol
dan aku hanya diam.
“Kamu nunggu surat kelulusan di rumah siapa, Mika?” Tanya Gerald.
Pengumuman kelulusan dikirim lewat pos ke rumah masing-masing, tetapi
sekolah kami menyarankan untuk membagi lima titik pengiriman dalam setiap
kelas untuk mempercepat datangnya surat.
“Vera.” Jawabku singkat.
“Oh, oke.” Jawab Gerald. “Eh, Mik, itu di bibir kamu ada es krimnya.”
Kata Gerald kemudian.
Aku langsung mengambil tisyu dan mengelap bibirku.
83 | C i n t a d a l a m K o p i
“Masih ada, sini sama aku.” Gerald mendekatkan tangannya ke wajahku
dan mengusap pinggir bibirku dengan tisyu. Perlakuan Gerald ini menyita
perhatian Vera dan Mega.
Tiba-tiba saja ada seseorang yang menarik tangan aku dengan keras
hingga berbalik dan kursiku jatuh. Aku terbelalak melihat Bobi dengan sangat
emosi menatapku.
“Cewek sialan! Ini penghinaan yang sangat besar buat gue! Lo bilang lo
gak mau pacaran! Nyatanya apa? Lo lagi asyik-asyik pacaran disini!” Kata Bobi
dengan napas yang memburu.
“Tolong lepasin Mika. Kita bicarakan ini baik-baik…”
“Bangsat lo!” Bobi memotong perkataan Gerald dan melempar ponsel
yang sedang dipegangnya secara tiba-tiba ke wajah Gerald dengan cukup keras.
“Aaa!” Aku memekik ketika melihat Gerald sampai terjengkang ke
belakang. “Kamu gila, Bob!” Teriakku di depan wajah Bobi.
“Lo bakal ngebayar semua ini!” Tekan Bobi padaku. “Lo dan pacar lo!”
Tambahnya sambil mempererat genggaman tangannya di pergelangan tanganku.
Aku meringis kesakitan. Aku melihat Vera dan Mega yang sedang menolong
Gerald untuk bangun. Akhirnya Bobi melepaskan aku dan pergi.
Aku langsung berlari ke arah Gerald. Jantungku langsung berdetak cepat
ketika melihat hidungnya berdarah sangat banyak. Tubuhku bergetar saking
84 | C i n t a d a l a m K o p i
takutnya. Ini salahku, ini salahku, ini salahku. Berulang-ulang kuucapkan dalam
hati.
“Aku gak apa-apa.” Kata Gerald sambil berusaha bangun tapi ternyata
terjatuh lagi.
“Kita ke rumah sakit sekarang.” Kata Vera tegas.
Gerald dipapah oleh Mega dan Vera, sementara aku mengikuti dari
belakang. Semua orang yang berada di dalam restoran tersebut hanya geleng-
geleng kepala. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan tangis.
“Aku gak apa-apa, Mika. Kamu gak usah nangis.” Kata Gerald lembut
ketika kami sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit.
“Maaf, Gerald, maaf. Maafkan aku.” Air mataku menetes satu-satu.
“Itu bukan salahmu, Mika.” Kata Vera di balik kemudi. “Bobi memang
gila.”
***
Setelah pulang dari rumah sakit malam itu aku tidak pergi kemana-mana
dan hanya menunggu hingga kelulusan di rumah. Untunglah hidung Gerald tidak
sampai patah malam itu. Sebenarnya aku ingin mengunjungi Gerald, tapi sebulan
ini dia akan berada di Padang dan baru akan pulang saat kelulusan tiba.
Dan itu berarti besok. Sebulan terasa begitu lama bagiku. Apalagi tanpa
bertemu dengan Vera dan Mega, atau Gerald. Hh… dan Devan.
85 | C i n t a d a l a m K o p i
Dan sebulan ini tidak ada yang terlalu penting. Bobi menghilang, Fajar
tidak muncul lagi, Adi, Ilham, dan yang lainnya pun entah kemana. Tapi dengan
begini aku lebih bisa menikmati hidupku. Menetralkan perasaanku terhadap
Devan dan Gerald. Ah… setiap hari masih saja aku mengharapkannya. Semakin
kutekan harapan itu, ia semakin memaksa terbang.
Malam ini aku hanya harus tidur, melewati satu malam lagi untuk
penentuan masa depanku.
***
“Aaaaa!” Aku, Vera, Mega, Reza, Widi, dan Dicky berteriak bersama saat
siap menyemprotkan pilox ke baju orang yang ada di depan kami masing-masing.
Sekolahku lulus 100% seperti tahun-tahun sebelumnya. Belajar kebut
semalam kami ternyata tidak sia-sia.
Tiin… tiin…
Serempak kami menghentikan tawa dan gerakan. “Siapa ya?” Tanya Vera.
Berhubung kami sedang berada di lantai dua rumahnya, maka untuk mengecek
siapa yang mengklakson tinggal berjalan ke beranda.
“Mikaaa!!” Vera berteriak histeris dari beranda.
“Vera kenapa?” Tanya Widi.
86 | C i n t a d a l a m K o p i
Kami saling berpandangan dan langsung berlari ke Vera, khawatir terjadi
sesuatu. Vera sedang menganga menatap jalanan di bawah dengan mata
bercahaya.
“Kenapa Ver? Ada apa?” Tanyaku langsung.
Vera menutup mulutnya dan hanya menunjuk ke arah jalanan di
bawahnya. Serempak kami menoleh ke bawah. Aku menganga, mungkin teman-
teman yang lain juga menganga.
Di bawah sana ada Gerald dan teman-temannya melambai-lambaikan
tangan. Mereka berenam, tiga diantaranya membawa balon. Orang pertama
membawa balon berbentuk „I‟, orang kedua disampingnya membawa balon
berbentuk love, dan orang ketiga membawa balon berbentu „U‟. Sementara dua
temannya membawa spanduk bertuliskan „I Love Mika‟ dengan huruf yang besar-
besar.
“Mika.” Kata Gerald dengan cool memakai toa pengeras suara. “Kamu
tahu? Aku menyukaimu semenjak pertemuan kita yang pertama,” Kata Gerald.
Tetangga sekitar rumah Vera yang dapat mendengar suara Gerald dan penasaran
mulai bermunculan.
Jantungku berdegup kencang, rasanya aku sampai harus memeganginya
agar tidak melompat ke bawah. Ya Tuhan, baru pertama kali aku diperlakukan
seperti ini oleh cowok.
87 | C i n t a d a l a m K o p i
“Lalu pertemuan kita yang kedua, ketiga, dan seterusnya membuatku
semakin suka, semakin nyaman, semakin membuatku jatuh cinta.” Lanjut Gerald.
“Mika Bellvania, aku ingin kamu jadi pacar aku. Maaf kalau keinginanku ini
terlalu tinggi. Tapi kalau kamu terima aku, silahkan kamu turun kesini.”
Tambahnya.
“Mika ayo turun, Mika. Ya ampun ini romantis banget.” Kata Widi.
“Mik, jangan sampai kamu menyesal. Sekarang kamu turun.” Kata Vera
dengan gaya sok dewasa.
“Gila tuh cowok, berani banget.” Komentar Reza.
“Aku juga bisa melakukan hal seperti itu, bro. Tapi cuma sama orang yang
benar-benar aku sayang.” Timpal Dicky.
“Aku harus gimana?” Tanyaku benar-benar bingung. Hanya Mega yang
diam dengan raut wajah aneh, sayangnya tidak ada yang terlalu memerhatikan.
“Mika, follow your heart.” Kata Vera.
Ini mimpi? Bahkan semalampun aku tidak pernah bermimpi akan
ditembak Gerald dengan cara seperti ini. Gerald sayang aku? Gerald Elmer? Ya
Tuhan, aku tahu aku juga mencintainya. Aku terlalu bahagia sampai tidak tahu
apa yang harus aku lakukan sekarang.
“Mika.” Panggil Gerald lagi.
88 | C i n t a d a l a m K o p i
Akhirnya aku berlari menuju bawah, menghampiri Gerald. Ya. Ini bukan
mimpi, ini nyata. Gerald sedang menatapku lekat yang terus mengerjap.
“Gerald?” Tanyaku dengan napas memburu sehabis lari menuruni tangga
dan melewati pekarangan rumah Vera yang tidak sempit.
“Ya.” Jawab Gerald singkat sambil tersenyum. Senyum yang dapat
membuat siapapun terperangkap dalam manisnya.
“Kamu bercanda?” Tanyaku.
“Tidak.”
“Ini lelucon?”
“Bukan. Sudah kubilang aku tidak bercanda.”
“Jadi?”
“Jadi?” Gerald mengulang pertanyaanku.
“Aku harus bagaimana?” Tanyaku begitu saja.
Gerald tertawa kecil lalu bertanya, “Kamu sayang aku?”
Aku tidak langsung menjawab dan hanya menatap matanya. Dalam hati
aku terus mengiyakan pertanyaan Gerald, tapi entah bagaimana aku tidak bisa
mengucapkannya.
“Aku tahu.” Tambah Gerald sambil tersenyum. “Kamu mau gak
menyatukan rasa cinta kita, kasih sayang kita, lalu menjaganya bersama?”
89 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mengembuskan napas panjang, lalu mengangguk. “Iya, Gerald. Aku
mau.” Senyum Gerald langsung mengembang dan dengan tiba-tiba aku sudah
berada di pelukannya. Vera dan yang lainnya yang menonton dari atas berteriak
sambil bertepuk tangan, begitupun dengan teman-teman Gerald.
“Maaf de, ini lagi syuting film apa?” Tanya seorang Ibu yang kebetulan
lewat dan sedikit menonton kejadian tadi.
Aku dan Gerald saling bertatap dan tertawa.
***
90 | C i n t a d a l a m K o p i
Devan… Benar-benar menghilang
Suasana baru, lingkungan baru, tempat pendidikan baru. Bukan lagi SMA
di sebuah kota kecil yang menyimpan beribu kenangan bersama teman, guru, atau
pacar. Gedung sekolah yang tidak terlalu mewah namun rasanya begitu indah.
Lagi, aku harus meninggalkan tempat, suasana, orang-orang yang sudah
membuatku nyaman. Tapi untunglah di universitas ini aku masih bersama Vera
dan Mega juga Gerald.
Terkadang aku berpikir Gerald adalah malaikat yang sengaja diturunkan
Tuhan untuk menjagaku. Seolah dia benar-benar sempurna, manusia paling
sempurna. Bagaimana mungkin di dunia nyata ini ada orang yang mempunyai
wajah tampan, terlahir kaya, dan masih sangat baik kepada orang lain?
Ini hari pertama kuliah setelah seminggu kemarin kami melewati masa
orientasi atau ospek. Aku dan Gerald terpisah kelompok, tapi setiap Gerald
melihatku sedang dijaili kakak senior, dia langsung mendekat dan menantang
kakak senior yang menjahiliku, alhasil dia mendapat banyak hukuman karenaku.
Drrrt… Ada sms masuk.
De, masih gak mau maafin kaka? :(
From:
Fajar
+62877534887xx
91 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mengembuskan napas panjang. Sebulan terakhir ini, Fajar lebih
sering mengirimkan sms dengan isi pesan yang sama, permintaan maaf. Tapi
selalu kuabaikan.
“Mika!” Panggil Vera dari luar. “Aku berangkat duluan ya.”
Aku membuka pintu kamar kosku. “Mega sudah berangkat juga?”
Tanyaku.
“Sudah sejak pagi sekali.” Jawab Vera. Aku hanya ber-oh ria. Mega
seperti selalu menghindar dariku, entah sejak kapan. Aku yakin itu bukan hanya
perasaanku saja. Ia selalu menghindar ketika aku akan mengajaknya mengobrol.
Apalagi sekarang kami berbeda jurusan, Mega Ilmu Hukum, sementara aku dan
Vera Ilmu Ekonomi. Gerald? Dia jurusan Psikologi.
“M!” Suara seorang lelaki di luar memanggil. Aku tahu itu siapa.
“Sebentar G.” Aku mengunci kamar kosku dan keluar menuju gerbang.
Disana Gerald sudah menunggu dengan motornya. Ya. G (baca: Ge) dan M (baca:
Em) adalah panggilan kami setelah resmi pacaran.
“Sudah sarapan?” Tanya Gerald.
Aku mengangguk dan naik ke motor Gerald. Aku tidak bertanya apakah
dia sendiri sudah sarapan atau belum, karena aku yakin pembantu di rumahnya
sudah menyiapkan. Gerald dipaksa untuk membeli rumah di sekitar kampus dan
menyimpan pembantu disana oleh orang tuanya, sekeras apapun Gerald menolak,
orang tuanya tetap saja memaksa.
92 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku ikut klub sepak bola kampus.” Kata Gerald.
“Baguslah, aku dengar klub sepak bola di kampus ini bagus.”
Komentarku. “Aku belum memikirkan akan ikut klub mana.” Tambahku.
Jarak antara tempat kos dan kampus sebenarnya cukup dekat, hanya
sepuluh menit kalau berjalan kaki. Tapi Gerald selalu memaksa mengantar
jemput.
Aku mengembuskan napas saat Gerald sudah pergi. Aku selalu ingin
berada disisinya, rasanya tidak ada lagi tempat yang lebih aman selain berada
dipelukannya. Aku melangkah memasuki gedung.
***
“Perkenalkan nama saya Mahendra Rafli Soetomo, saya akan mengajar
mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi.” Ucap dosen memperkenalkan diri.
“Rafli? Nama Devan juga Devan Rafli.” Kataku dalam hati. Pikiranku
melayang pada sosok Devan yang tidak pernah kutemui lagi. Entah dimana dia
sekarang. Tidak ada aktifitas terbaru dari facebooknya, beberapa minggu kemarin
karena saking penasarannya akhirnya aku membatalkan pemblokiran akun
facebook Devan. Kabar terakhir adalah status Devan yang memaki Reva dua
bulan yang lalu dan setelah itu menghilang. Hh… diam-diam terkadang aku
merindukannya.
Kuliah berlangsung dan akhirnya selesai pukul 12 siang. Tadi Vera
mengajak pulang bersama jadi aku tidak perlu meminta Gerald menjemput.
93 | C i n t a d a l a m K o p i
“Gak makan dulu, Miss M?” Tanya Vera.
“Masak di kosan aja lah.” Kataku. Kami berjalan menyusuri trotoar.
“Kamu bahagia sama Mr. G?” Tanya Vera lagi.
Aku menoleh dan mengerutkan keningku, “Kenapa nanya kayak gitu?”
Vera tidak menjawab, ia menunggu jawabanku. “Aku bahagia, dia sangat baik
padaku, romantis, walau kadang protektif. Ya seperti yang kamu tahu. Dan yang
lebih penting, dia membuatku lupa pada Devan.”
“Kamu masih memikirkan Devan?”
“Sudah sangat jarang, Ver. Oh iya, kamu sering mengobrol dengan Mega
kan?” Tanyaku teringat sesuatu.
Vera mengangguk, “Dia sudah bilang sama kamu kalau dia akan pindah
kos?”
Mega pindah kamar kos? Jelas saja aku tidak tahu, mengobrol saja sudah
sangat jarang. Aku menggeleng lemah, “Memangnya kenapa? Bukankah dia
sudah mengontrak kos yang sekarang untuk satu tahun?”
“Dia bilang tidak nyaman. Tapi yang membuat aku heran, bagaimana
mungkin seorang Mega membuang uang begitu saja untuk membayar kos yang
sekarang? Enam juta hanya dia tempati sepuluh hari? Bukan Mega banget kan?”
Tanya Vera.
94 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kamu merasa gak Mega berubah sejak lama? Jadi lebih diam, tambah
tertutup.”
Vera menganggukan kepalanya, “Iya, Mik. Dia kayak narik diri gitu gak
sih?”
“Coba kamu nasihati dia. Masa cuma aku aja yang dinasihati.”
Kami berbelok masuk gang menuju kosan. “Mega itu sulit ditebak, aku
belum pernah benar-benar tahu dia seperti apa. Aku agak takut menasihati dia.”
Vera meringis.
“Dasar kamu! Giliran aku, salah sedikit langsung dinasihati panjang lebar
kali tinggi.” Aku pura-pura merajuk dan berjalan duluan. Vera tertawa sambil
berlari mengejar, merangkulku.
***
“Mega, lagi banyak tugas gak?” Tanya Vera di ambang pintu kamar Mega.
Mega hanya menatap Vera dan menggeleng. “Main yuk!” Vera mengacungkan
monopoli. “Kita udah lama gak main ini.”
Mega terlihat sedikit berpikir lalu mengangguk. Aku mengintip dari dalam
kamarku dan menunggu aba-aba dari Vera. “Miss M.” Panggil Vera.
Aku langsung keluar dari persembunyian dan melangkah pelan menuju
kamar Mega. Setelah aku mencapai pintu kamar Mega, aku menyunggingkan
senyum paling lucu pada Mega berharap Mega tersenyum padaku seperti dulu
95 | C i n t a d a l a m K o p i
setiap aku memperlakukannya seperti itu. Tapi ternyata Mega hanya membuang
mukanya seolah tidak melihat kemunculanku. Aku kecewa.
“Ayo mulai!” Seru Vera saat kami sudah mengelilingi mainan monopoli.
Ia juga sibuk menghitung uang-uangan untuk dibagikan kepada setiap pemain.
“Gambreng dulu dong!”
Kami bertiga mulai gambreng dan Mega mendapat giliran pertama
mengocok dadu, setelahnya aku, baru Vera. Mega langsung mengocok dadu dan
mulai menjalankan permainan.
“Mika, Vera, Mega!” Ada orang yang memanggil dari luar.
“Siapa ya? Cowok tuh.” Tanya Vera.
“Itu suara Gerald, biar aku yang buka pintu, aku kan sudah main.” Kata
Mega. Ia menganbil kunci depan dan keluar dari kamar. Kos kami memang
berbentuk rumah, baru di dalamnya terdapat kamar-kamar, ruang tengah, dan
dapur untuk bersama.
Aku mendengar Gerald dan Mega sedikit berbincang sesuatu sebelum
bergabung dengan kami, dan aku mendengar suara tawa Mega. Apa yang mereka
bicarakan? Tanyaku dalam hati.
“Boleh gabung?” Tanya Gerald.
“Eh Bapak G, ayo duduk disini.” Vera menepuk lantai di sampingnya.
96 | C i n t a d a l a m K o p i
“Disini aja, kan sisi sebelah sini kosong.” Buru Mega. Gerald mengangguk
dan duduk di sebelah Mega sekaligus sebelahku.
“Menang M?” Tanya Gerald.
“Baru satu kali jalan.” Jawabku. “Nih giliran kamu.” Aku menyerahkan
dadu pada Gerald yang di over dari Vera.
Gerald mulai mengocok dadu dan memulai permainan. “Aku beli
Thailand.” Katanya sambil menghitung uang dan meletakkannya di bank.
Setelah setengah jam kami bermain sepertinya aku kalah, uangku tinggal
sedikit dan asetku tidak begitu banyak.
“Girls, kemenangan hampir ditangan aku loh.” Kata Gerald.
“Kamu curang.” Kata Mega.
“Eh?” Aku, Vera, dan Gerald serempak kaget.
“Tadi Gerald tidak membayar ke bank, dia kan dapat denda dari dana
umum.” Lanjut Mega.
Gerald hanya nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Gerald!” Aku dan Vera berseru geram.
“Mega.” Vera dan Mega saling bertatapan dengan serius, lalu
menganggukkan kepala dengan tegas seperti komandan yang memberikan aba-aba
pada ajudannya. Mega berdiri dan menuju meja riasnya, mengambil bedak tabur.
97 | C i n t a d a l a m K o p i
“Apa nih?” Tanya Gerald mulai panik.
“Sebagai hukuman, wajah kamu harus dicoret-coret. Mau pakai ini,” Vera
mengacungkan pulpen, “atau pakai ini?” Vera mengacungkan bedak.
“Bedak aja deh.” Jawab Gerald pasrah.
Vera mengambil gelas yang berisi sedikit air dan memasukan bedak ke
dalam gelas itu sampai membentuk bedak cair.
Aku yang pertama mengolesi bedak di wajahnya, aku memilih keningnya
dan mengukir huruf M tebal-tebal. Kini giliran Vera, ia mengolesi hidung Gerald
cukup di ujung hidungnya. Setelah selesai, ia menatap Gerald dan tertawa.
“Haha… seperti penjaga pantai di Sponge Bob.” Kata Vera.
Giliran Mega yang maju, ia cukup lama berdiam di depan Gerald,
memandangi wajahnya. Mungkin dia sedang berpikir bangusnya wajah Gerald
diapakan lagi. Mega mengolesi kedua pipi Gerald dengan tanda hati dengan
sangat tebal. Alhasil wajah Gerald terlihat sangat imut. Kami bertiga tertawa puas
dan mengabadikannya dengan berfoto bersama.
“Ngomong-ngomong kamu jadi pindah kos, Meg? Kenapa?” Tanyaku.
“Jadi, disini gak ada teman yang sejurusan. Kan biar lebih gampang
koordinasi tugasnya.” Kata Mega. “Kos baru aku dekat rumah Gerald kok.”
Tambah Mega.
98 | C i n t a d a l a m K o p i
“Wah bagus dong, nanti aku sering-sering main ke kos kamu, Meg.”
Kataku. Mega hanya menjawab dengan senyuman.
“M, besok antar aku belanja ya.” Kata Gerald, aku hanya mengangguk.
“Oke girls, aku pulang dulu ya, saatnya bobo manis.” Kata Gerald.
Vera melempar Gerald dengan bantal. Gerald akhirnya pulang setelah
membersihkan wajahnya.
***
“Loh katanya kamu mau belanja? Belanja apa ke show room mobil?”
Tanyaku heran.
“Belanja mobil.” Gerald masuk ke dalam show room.
“Hah?” Aku menganga di tempat dan menggelengkan kepala. “Begini ya
kalau orang kaya belanja.” Gumamku dan berlari menyusul Gerald.
Saat aku masuk, disana telah terhampar berbagai macam mobil dari yang
biasa sampai yang mewah.
“Kamu suka yang mana?” Tanya Gerald.
“Hah?” Aku menoleh padanya dengan ekspresi kaget.
“Kamu suka mobil yang mana?” Gerald mengulang pertanyaannya.
“Sebenarnya kenapa kamu membeli mobil?” Tanyaku.
“Untuk kita jalan-jalan.” Jawab Gerald singkat.
99 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menganga mendengarnya. Gerald mendekati satu buah mobil sport
yang sangat mewah dan menawan. “Kamu suka yang ini?”
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, itu mobil yang sering aku lihat di film-
film, yang hanya mempunyai dua jok. Aku pernah bermimpi untuk menaikinya,
tapi… “Aku suka, tapi kalau kamu beli mobil itu, Vera dan Mega tidak bisa ikut.”
Jawabku akhirnya.
Gerald menganggukan kepalanya. “Kalau begitu aku beli yang standar
aja.” Dia membalikkan tubuhnya, “Brio?” Tanya Gerald sambil menunjuk Honda
versi paling baru di hadapannya.
Aku mengangguk. Gerald lalu berbincang dengan pramuniaga. Aku
berjalan menjauh, duduk di kursi dan menatap jalanan. Aku mengembuskan
napas.
“Tunggu sebentar ya.” Kata Gerald sambil duduk disampingku. Aku
mengangguk sambil tersenyum.
“Makasih ya, M.”
“Buat apa sayang?”
“Udah sayang sama aku, udah nerima aku apa adanya. Aku gak pernah
ngerasa sebaik ini sebelumnya.” Tambah Gerald.
“Aku juga.” Jawabku sambil tersenyum. Gerald mengusap rambutku
lembut.
100 | C i n t a d a l a m K o p i
“Oh ya, ada sesuatu yang sedang kamu butuh sekarang? Untuk kuliah
mungkin atau apa.” Tanya Gerald.
“Sebenarnya laptop aku rusak, aku mau minta kamu antar aku ke tempat
service laptop.” Jawabku.
“Ya sudah, sehabis ini kita ke BEC yuk!” Ajak Gerald.
Pramuniaga yang tadi melayani Gerald menghampiri dan menyerahkan
beberapa kertas. Gerald meraih tanganku dan mengajakku pergi.
“G, padahal aku lebih suka naik motor loh.” Kataku ketika dalam
perjalanan menuju BEC.
“Kenapa? Kan panas, kalau hujan kehujanan, banyak debu pula. Biasanya
kan cewek lebih suka naik mobil.”
“Iya, tapi kalau kita naik mobil, aku gak bisa meluk kamu kayak gini.”
Aku mempererat peganganku di perut Gerald. “Kehujanan adalah kenangan
terindah saat naik motor. Coba kamu tanya hujan, sudah ada berapa kenangan
yang kita titipkan padanya?”
Gerald menghentikan motornya saat lampu merah menyala. “Kamu benar.
Hujan dan motor ini kan yang sudah membuat sejarah?”
“Sejarah apa?”
“Kamu jatuh cinta padaku, haha.” Kata Gerald bercanda. Aku memukul
punggungnya pelan.
101 | C i n t a d a l a m K o p i
Lampu hijau menyala dan Gerald kembali melajukan motornya. Akhirnya
kami sampai di BEC. Kami berdua berjalan masuk sambil saling menggenggam
tangan seolah ingin semua orang tahu kalau kita adalah sepasang kekasih.
“G… Gerald, aku cuma mau service laptop, bukan beli laptop.” Aku panik
saat dia menanyakan laptop seri terbaru pada penjual disana. Aku menggigit bibir
bawahku, aku tidak punya uang untuk beli laptop baru.
“Ayo pilih M.” Kata Gerald. “Ini hadiah, jangan menolak.” Gerald
tersenyum.
“Apa?” Aku menatapnya tidak percaya. Gerald mengangguk meyakinkan.
Aku mengembuskan napas pelan. “Terserah kamu saja.”
***
Aku menatap bingung tas besar di depanku. Tas berisi laptop yang
dibelikan Gerald. Aku bingung laptop itu harus kuapakan. Aku sedikit shock
karena sebelumnya aku tidak pernah mendapat hadiah semahal ini.
“Mika.” Vera masuk ke dalam kamarku secara tiba-tiba seperti biasa.
“Wow, kamu beli laptop baru?” Tanya Vera lagi. Aku tidak menjawab, Vera
mulai mengamati diriku. “Ini… dari Gerald ya?”
Aku menoleh padanya cepat. Sebegitu gampangkah dia membaca
pikiranku?
102 | C i n t a d a l a m K o p i
“Oke, aku gak baca pikiran kamu, tapi aku hanya, hmm… sedikit tahu,
mungkin.”
Nah! Darimana dia tahu aku menyangka dia membaca pikiranku? “Gerald
itu sekaya apa sih, Ver?” Tanyaku tanpa semangat dan lebih seperti bergumam
kepada diri sendiri.
“Hmm… Ayahnya pengusaha perhotelan di Bali, Lombok, dan Bunaken.
Sementara Ibunya seorang jaksa. Sekaya itulah orang tuanya.” Kata Vera sambil
duduk di sebelahku dan ikut memandangi laptop.
“Katamu dia pindah-pindah ikut orang tuanya pindah tugas kerja, ayahnya
kan pengusaha?” Tanyaku tidak mengerti.
“Iya, waktu itu ayahnya sedang mendirikan hotel di Bunaken, jadi ayahnya
ingin semua terpantau oleh dirinya sendiri, setelah semua berjalan dengan beres
dan dirasa sudah bisa dipercayakan kepada seseorang ya mereka kembali kesini.”
Jelas Vera. “Satu hal Mik, aku gak pernah tahu bagaimana Gerald kalau pacaran.
Tapi sepertinya sampai sekarang kalian baik-baik saja. Gak pernah berantem
kan?”
Aku menggeleng pelan. “Gerald seribu kali lebih baik dari Devan.”
“Semoga, Mik.” Vera menyelipkan rambutku di belakang telinga. “Mega
pindah lusa.”
Aku mengangguk pelan.
103 | C i n t a d a l a m K o p i
***
M, maaf ya hari ini aku gak bisa antar jemput.
Sender:
My G
+62878555654xx
Aku membaca sms dari Gerald saat bangun tidur. Belum juga aku bangun,
Vera sudah mengetuk pintu kamarku.
“Mika bangun Mika!” Teriak Vera.
Aku terpaksa bangun dan membukakan pintu, “Ada apa sih?” Tanyaku
jengkel.
“Mega ngajak jogging dong.” Kata Vera. Mega yang sudah siap dengan
kostum joggingnya tersenyum di ambang pintu. “Ayo, Mika.” Vera mendorongku
masuk kamar untuk berganti baju.
Akhirnya aku menurut, setelah mencuci muka dan menyikat gigi aku
langsung memakai kaos dan celana traning beserta sepatu. Ini akan sangat
menyenangkan mengingat sudah lama kami tidak benar-benar bertiga selama
beberapa waktu.
Aku keluar rumah kos dan menghirup dalam-dalam udara pagi Bandung
yang sangat segar. Kami jogging menyusuri jalan dekat kampus lalu berhenti di
taman.
104 | C i n t a d a l a m K o p i
“Cowok yang tadi merhatiin kamu terus tuh, Ver.” Kata Mega menggoda
Vera.
“Iyuhh…” Vera memperagakan gaya alaynya.
“Tapi dia ganteng loh Ver, kok iyuh?” Tanyaku polos.
“Aku kan…”
“Nyari calon suami bukan pacar.” Lanjutku dan Mega bersamaan. Kami
sudah hapal kalimat Vera itu di luar kepala. Vera cemberut, sementara aku dan
Mega tertawa.
Aku memerhatikan Mega dengan seksama. Vera benar, Mega berubah
hanya perasaanku saja. Tentu saja, kami bertiga adalah sahabat yang tidak
terpisahkan. Sahabatku hanyalah mereka berdua.
“Mika.” Mega melayangkan tangannya di depan wajahku.
“Aku sayang kalian berdua.” Karena kaget, aku jadi mengucapkan apa
yang kupikirkan.
“So sweet.” Kata Vera. Mega yang tepat berada di hadapanku hanya
tertegun.
“Best friend forever.” Vera mengacungkan jari kelingkingnya sambil
tersenyum. Aku menyambut jari kelingkingnya, sementara Mega masih diam
seperti sedang berpikir. Aku dan Vera menunggu sambil mengerutkan kening.
Tapi akhirnya Mega menyambut jari kelingking kami.
105 | C i n t a d a l a m K o p i
Hari itu kami bertiga berpelukan sambil tertawa. Kesalahpahaman dalam
hatiku seketika meluruh.
***
Aku menatap layar laptopku dengan serius, maksudku laptop pemberian
Gerald. Hari ini aku mulai memakainya ke kampus. Karena mata kuliah pertama
sudah selesai dan mata kuliah selanjutnya baru dimulai satu jam setengah lagi
maka aku iseng saja membuka facebook sambil duduk di lobi gedung kampusku.
“Oh, masih stalking Devan Rafli?”
“Ha?” Aku terperanjat kaget saat Vera tiba-tiba sudah berada di
belakangku. “Kapan kamu datang?”
“Baru saja.” Vera duduk di sampingku. “Kamu…”
“Aku sudah lupa padanya kok, Ver. Sumpah.” Aku memotong Vera cepat,
karena aku rasa dia akan mengomeliku. “Aku hanya ingin tahu saja sekarang dia
dimana, kabar dia bagaimana, dan dia sedang dengan siapa.” Tambahku dengan
nada suara semakin melemah di ujung kalimat.
Vera tertawa. “Yakin kamu sudah melupakannya? Terus kenapa kamu
masih perhatian padanya?”
“Aku… Aku…” Kalimatku menggantung, aku tidak bisa menjawab
pertanyaanya, karena akupun masih tidak tahu apakah Devan sudah benar-benar
aku lupakan ataukan hanya sesaat.
106 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kamu rindu padanya?” Tanya Vera.
Untuk beberapa saat aku terdiam. Aku tidak bisa mengaku kalau aku
memang merindukannya.
“Apa bagian dari Devan yang tidak Gerald miliki?” Tanya Vera.
“Mereka berdua orang yang berbeda, Ver. Aku gak bisa menyamakan
mereka. Devan dan Gerald memang berbeda, sangat. Bahkan Gerald lebih
segalanya dari Devan, dan aku sayang Gerald, Ver. Tapi aku gak ngerti, setiap aku
sendirian tiba-tiba saja yang aku ingat itu Devan.”
“Kamu sedang dalam masa transisi, Mik. Wajar.” Kata Vera sambil
mengintip profil facebook Devan. “Loh, Devan sama Reva putus?”
“Mungkin.” Aku menerawang membayangkan wajah Devan, senyumnya.
“Aku benar-benar tidak tahu tentang dirinya sekarang. Seperti aku tidak pernah
mengenalnya.” Gumamku lalu mengembuskan napas panjang.
“Oh ya, Gerald gak jemput?” Tanya Vera mengalihkan perhatianku.
“Tadi pagi dia cuma sms gak bisa antar jemput aku hari ini, aku tanya dia
mau kemana gak ada balasan.”
“Ke kantin yuk!” Ajak Vera. Aku mengangguk, setelah membereskan
laptopku aku berdiri dan berjalan menuju kantin.
107 | C i n t a d a l a m K o p i
Kantin gedung tempat aku kuliah memang tidak besar, kalau pada saat jam
istirahat seperti jam 12 siang kantin pasti penuh. Tapi sekarang kantin terlihat
agak lengang.
“Mik, itu Mega sama teman-temannya. Tapi kalau kita gabung kayaknya
tempat disana udah penuh.” Kata Vera.
“Duduk disini aja, Ver.” Kataku sambil menempati kursi yang kosong.
Vera mengikuti.
“Itu teman-teman barunya Mega ya? Akrab sekali.” Komentar Vera sambil
terus memerhatikan Mega. “Eh, dia menengok kesini.” Vera melambaikan
tangannya, tapi kemudian mengerucutkan bibirnya. “Dia gak lihat aku.”
Drrrt..
Cewek belagu! Bangsat!
Sender:
Bobi
+62819098887xx
Aku mengerutkan kening membaca sms dari Bobi. Isi smsnya belum
berubah, entah apa untungnya buat dia mengirim sms seperti itu setiap hari. Vera
merebut ponselku dan membaca sms dari Bobi.
“Dia lagi.” Gumamnya bosan.
108 | C i n t a d a l a m K o p i
“Semalam ada private number nelpon terus, Ver. Aku angkat gak ada yang
ngomong.”
“Ya itu, si Bobi mungkin.” Jawab Vera ringan.
“Aku pikir juga gitu, Ver.” Jawabku. Makanan kami datang dan Vera yang
sudah sangat lapar langsung makan, tidak bisa diganggu.
Kamu dimana G? Lagi apa?
Delivered to:
My G
+62878555654xx
***
109 | C i n t a d a l a m K o p i
The Change
Aku menatap jam di kamar, hampir pukul 9 malam dan Gerald belum juga
menghubungiku. Aku menggigit bibir bawah sambil tak hentinya mondar-mandir
dan menelepon nomor yang sama. Tidak ada jawaban. Ini sungguh mengesalkan,
pasalnya Gerald tidak pernah absen menjawab teleponku sebelumnya, tidak
pernah membuatku terlalu lama menunggu balasan sms, dan seharian ini dia
menghilang tanpa kabar. Aku mengkhawatirkannya.
Aku melangkah keluar kamar menuju kamar Vera dengan tergesa. “Ver,
coba kamu telpon Gerald. Tanya dia sedang apa dan dimana, sejak tadi pagi dia
gak balas sms atau jawab telponku.” Kataku dengan nada khawatir.
Vera mengangguk, ia mencoba menelepon Gerald. Mendadak suasana
hening, hanya terdengar suara nada sambung yang berakhir dengan nada tulalit.
“Mungkin ada kegiatan di kampus, Mik.” Kata Vera mencoba menenangkanku.
“Kenapa dia gak memberi tahuku sebelumnya? Biasanya kan dia selalu
memberi tahu.” Sangkalku masih khawatir.
“Mungkin dia gak sempat.” Kata Vera lagi.
Aku diam. Mencoba menerima kemungkinan-kemungkinan yang
disebutkan Vera. Tapi tetap saja aku khawatir. Akhirnya aku memutuskan
kembali ke kamarku.
110 | C i n t a d a l a m K o p i
Mataku tidak mau terpejam, aku terus ingin menatap layar ponselku.
Haruskah aku meneleponnya lagi? Pertanyaan itu muncul berulang-ulang hingga 2
jam. Sekarang pukul 11 malam. Tidak juga Gerald memberi kabar. Maka aku
putuskan untuk meneleponnya satu kali lagi, jika masih tidak diangkat, aku akan
menyerah.
“Ya?” Gerald menjawab.
“Kamu kemana aja sih? Aku telpon dari tadi siang gak diangkat, di sms
gak ada balasan. Kamu sedang apa sebenarnya? Aku khawatir.” Kataku memburu,
Gerald diam beberapa detik, lalu terdengar seperti mengembuskan napas.
“Tadi pagi aku ngampus sampai jam 12, lalu lanjut ada kegiatan sampai
malam. Maaf ya membuat kamu khawatir.” Gerald menjelaskan dengan tenang.
“Sebegitu sibuknya ya sampai gak sempat balas sms aku?” Tanyaku masih
tidak habis pikir. Padahal kan mengirim sms hanya untuk mengabarkan kalau dia
sibuk tidak butuh waktu satu jam, dua menit juga cukup.
“Sejak siang aku gak pegang ponsel, Mik. Ponselku di tas, jadi aku gak
tahu kalau kamu sms atau nelpon. Maaf ya sayang.” Ucap Gerald lagi.
“Oh, begitu.” Gumamku. Ternyata aku yang salah menuduh. “Ya sudah
baiknya kamu istirahat sekarang ya.” Ucapku melembut.
“Iya, Mik. Aku capek sekali.” Jawab Gerald.
111 | C i n t a d a l a m K o p i
Kini aku sudah tenang, Vera benar aku harus berpikiran positif pada
Gerald. Tidak semua yang aku pikirkan adalah benar.
***
“Mika!” Terdengar suara Gerald di luar. Aku sedang memasak mie untuk
Vera. Kebetulan aku tidak ada kuliah pagi hari ini, jadi aku membuatkan sarapan
untuk Vera selagi ia mandi.
Aku membukakan pintu untuk Gerald. “Loh, kamu gak kuliah pagi ini?”
Tanya Gerald heran melihatku masih mengenakan piyama.
“Nggak. Dosen pagi ini gak bisa ngajar, aku baru ada kuliah lagi nanti
sore.” Jawabku dengan tenang.
“Kalau begitu aku buang-buang waktu ke sini.” Ucap Gerald terlihat agak
kesal.
Aku kaget melihat perubahan air mukanya, sejak kapan Gerald gampang
sekali kesal padaku? Tiba-tiba pintu kamar Mega terbuka.
“Eh, ada Gerald.” Kata Mega sambil mengunci pintu kamarnya dan sudah
siap berangkat ke kampus.
Gerald melambaikan tangan ke arah Mega. “Ya sudah aku berangkat ya,
sudah telat nih.” Kata Gerald.
“Kamu mau berangkat, Gerald? Boleh aku nebeng?” Tanya Mega.
Gerald langsung mengangguk dan melangkah menuju mobil barunya.
112 | C i n t a d a l a m K o p i
“Dah, Mika.” Kata Mega sambil melewatiku yang terpaku di pintu. Aku
melambaikan tangan pada Mega dan Gerald.
“Mikaaaa!!!!” Suara Vera langsung menggema membuyarkan lamunanku.
Aku langsung menutup pintu dan masuk. “Kamu ini masak mie kok ditinggal?”
Aku meringis melihat mie yang tadi kumasak sekarang sudah terlalu
bengkak. “Maaf, aku buatkan yang baru ya.” Kataku sambil menyisihkan mie
yang tadi. Lalu membuat yang baru. Aku masih terpikirkan sikap Gerald barusan.
***
Kosan sepi, Vera dan Mega sudah berangkat kuliah, sisanya aku tidak
terlalu akrab. Aku hanya duduk di depan laptop sambil memeluk lutut. Melihat
slide show fotoku bersama Gerald selama 4 bulan terakhir ini. Aku mengingat-
ingat, kapan Gerald pernah kesal padaku? Apa tadi aku salah? Aku juga tidak tahu
dia akan menjemputku pagi-pagi.
Sekali-kali aku melihat layar ponsel, tidak ada apa-apa disana. Aku
kembali melamun.
Drrtt…
De lagi apa? Gimana kuliahnya?
From:
Fajar
+62877534887xx
113 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mendengus kesal melihat sms yang masuk dari siapa. Aku sudah
berharap itu sms dari Gerald tapi yang muncul malah Fajar. Aku sama sekali tidak
mau berhubungan dengan Fajar lagi.
Aku memutar lagu dari software di laptopku. Musik adalah hal yang
mampu membuatku lupa pada kesedihan, kegalauan, kebosanan. Aku memutar
lagu One Ok Rock yang berjudul Wherever You Are. Itu adalah lagu teromantis
yang pernah aku dengar. Kalau saja Gerald bisa bermain musik dan
menyanyikannya untukku, aku akan sangat tersanjung dan terharu.
Bermain musik? Dulu Devan sering memainkan lagu untukku. “Arrgghh!”
Aku mengusap wajahku. Kenapa yang terlintas Devan lagi, lagi, dan lagi? Aku
kesal pada diriku sendiri, kesal pada hatiku karena pada setiap sisinya tertulis dua
nama yang berbeda, atau berharap dua orang itu disatukan dalam satu raga,
bagaimana mungkin?
***
“Aku selesai kuliah jam 18.15 Ver. Tolong sampaikan permintaan maafku
pada Mega ya, aku gak bisa bantu dia pindahan.” Kataku di telepon saat
pergantian mata kuliah.
“Iya gak apa-apa katanya, soalnya disini ada Gerald bantu kita,
mewakilkan kamu, Mik.” Ucap Vera dan diakhiri dengan cekikikan.
Aku tertegun. Gerald disana? Berarti sejak tadi ia sudah selesai kuliah,
kenapa dia tidak membalas smsku sama sekali? Batinku. Tapi dia bersama Mega?
114 | C i n t a d a l a m K o p i
Apakah sejak tadi ia juga bersama Mega? Tapi bukankah bagus kalau pacar dan
sahabatku akrab? Ya, mungkin tadi kebetulan saja jadwal kuliah mereka sama.
“Mika Bellvania.” Panggil dosen yang ternyata sejak tadi sudah datang
dan mulai mengabsen.
Oh, God.
***
Sekali lagi kulihat layar ponselku, tidak ada apa-apa selain dua puluh
misscal dari private number. Aku mencoba menelepon Gerald, aku harus
menunggu sampai 5 nada tunggu baru dijawabnya.
“Ya M.” Katanya dengan nada manis.
“Aku baru pulang, G. Kamu mau jemput aku di kampus?” Tanyaku.
“Aduh, maaf, M. Sekarang aku ada latihan futsal sama teman-teman, gak
apa-apa kan? Kamu pulang dengan siapa?”
“Oh, iya gak apa-apa kok G, aku bisa pulang sendiri kok.”
“Kamu sendirian? Aduh bagaimana ya, ini sudah mau mulai M.” Nada
Gerald terdengar bingung.
“Gak apa-apa G, kamu latihan saja, aku bisa sendiri kok. Aku kan udah
besar, haha.” Kataku mencoba bercanda.
“Ya sudah hati-hati ya sayang.” Katanya di ujung telepon.
115 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku melangkah gontai menyusuri trotoar, langit sudah berubah gelap dan
angin menerpa rambutku menjadikannya melambai-lambai, aku harus bergegas
pulang, seharusnya Vera sudah masak, aku lapar.
Sesampainya di dalam rumah kos, aku mengintip ke kamar Mega yang
gelap. Aku sempat tidak percaya kalau Mega benar-benar memutuskan untuk
pindah.
“Sudah gak ada orang di kamar itu Mika Bellvania!” Seru Vera dari
kamarnya.
Aku menoleh ke kamar Vera yang pintunya sedikit terbuka, ternyata dia
mengintip. “Vera Anjani Septian Nugroho!” Seruku dari luar.
“Apa?”
“Aku lapar.”
“Masuk!”
Aku masuk ke kamar Vera dan aku terbelalak melihat Vera sedang makan
pizza. “Wah, orang kaya makanannya yang seperti ini terus ya?” Tanyaku sambil
mencomot satu potong pizza.
“Nggak lah, kurang bagus juga buat kesehatan.” Jawab Vera. “Coba ada
Mega, pasti dia senang sekali. Kapan-kapan aku kirim ke rumahnya ah.” Lanjut
Vera sambil menggigit pizzanya.
“Loh, ke rumahku nggak?” Protesku.
116 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kamu bisa beli kapan aja, Mika.”
“Tapi kan lebih enak kalau gratis, Ver. Hehe..” Vera tidak menanggapi
omonganku. “Ver, tadi Gerald dan Mega bagaimana?”
“Apanya?”
“Tadi kan Gerald datang ke sini bersama Mega dan membantunya
pindah.” Kataku hati-hati.
“Hmm.. lalu?”
“Sebelum itu Gerald gak menghubungi aku. Ternyata dia bersama Mega.”
Vera menatapku dan menghentikan kunyahannya. “Kamu cemburu pada
Mega?”
Lagi dan lagi Vera dengan sangat mudah menebak perasaanku. Aku
mengigit bibir bawahku, tidak menjawab.
“Hahahaha…” Vera tertawa tergelak. “Mika… Mika… masa kamu
cemburu pada Mega?”
“Haha… iya ya, bagaimana mungkin aku bisa cemburu pada sahabatku
sendiri, haha.” Aku tertawa hambar. Giliran Vera yang diam. “Gerald berubah.”
Tambahku sambil menunduk. Vera mengerutkan keningnya, menunggu lanjutan
perkataanku. “Aku menjadi sangat sulit menghubunginya, padahal dulu dia yang
selalu menghubungiku. Tadi pagi dia kesal padaku karena hal yang gak aku
mengerti.”
117 | C i n t a d a l a m K o p i
“Sabar, ya, Mika. Aku beritahu satu hal sama kamu, Gerald kalau sudah
menemukan kesenangannya, ia jadi lupa pada hal lain. Dia ikut klub sepak bola di
kampus kan? Kamu tahu seberapa tergila-gilanya dia pada sepak bola?”
Aku menggeleng pelan.
“Kamu hanya harus mengerti dan mendukungnya, maka semuanya akan
baik-baik saja. Percaya sama aku.” Kata Vera dengan raut wajah yang serius.
Aku mencerna kalimat Vera.
***
Aku menatap langit-langit kamar kosku. Besok libur kuliah, biasanya
Gerald main ke sini dan menonton film bersama. Tapi sekarang Gerald sibuk,
ditambah Mega pindah, kosan ini jadi semakin sepi saja.
Drrrt… Drrrtt…
Aku meraba-raba sisi bantal mencari ponselku, setelah kutemukan dan
kulihat layarnya, aku mengerutkan kening. Private number lagi. Kuputuskan
untuk menjawabnya.
“Hallo.” Sapaku. Hening, tidak ada jawaban. Dua detik kemudian aku
mendengar suara perempuan terisak, “hallo, ini siapa?” Tanyaku sekali lagi.
Isakkan tadi berubah menjadi tangisan yang mulai menjadi, semakin menjadi, dan
semakin histeris. “Ini siapa? Hallo?” Tanyaku sekali lagi. Dadaku semakin
berdebar, aku mulai takut.
118 | C i n t a d a l a m K o p i
“M…mika…” Katanya di tengah tangisnya.
“Aaaa!!” Aku menjerit takut dan langsung melempar ponselku ke karpet.
Tak lama kemudian Vera masuk ke kamarku.
“Kenapa? Ada apa? Ada maling?” Tanya Vera setelah membuka pintu.
Aku bergidig ngeri sambil menunjuk ponsel. Vera penasaran dan
memungut ponselku, tapi ia hanya mengerutkan kening. “Ada apa, Mik?” Vera
menunjukkan layar ponselku yang sudah seperti semula. Orang itu sudah
memutus sambungan telepon. “Kenapa?” Tanya Vera sekali lagi. Kemudian aku
menceritakan apa yang terjadi barusan.
“Mungkin gak kalau itu Mega? Mungkin dia sedang ada masalah dan
ingin curhat, Mik?” Vera mulai mencari kemungkinan-kemungkinan yang positif
seperti biasanya.
Aku hanya menatapnya ragu. Tiba-tiba ponselku bergetar lagi, sang
penelepon misterius itu menelepon lagi. “Angkat, Ver.” Kataku setengah berbisik.
Vera menelan ludah dan memantapkan dirinya.
“Hallo? Siapa ini?” Kata Vera seperti costumer service. Vera menekan
tombol loudspeaker dan kejadian yang sama terulang, kami berdua terperanjat saat
perempuan di seberang sana menangis histeris. “Ini Mega bukan? Mega
Handayani?” Tanya Vera. Orang di seberang sana malah terus menangis. Aku
mencengkram tangan Vera. “Oh, bukan Mega, ya? Kayaknya situ salah
sambung.” Vera menutup telpon. “Mungkin ini kerjaan orang iseng.” Kata Vera.
119 | C i n t a d a l a m K o p i
“Bobi kayaknya gak mungkin, dia kan cowok.” Kataku.
“Kamu udah makan? Keluar yuk, mumpung masih jam setengah sembilan.
Aku ingin jagung bakar.” Vera mengalihkan pembicaraan. Aku mengangguk.
***
Tok… tok… tok…
“Mika! Mika! Mika!”
Aku menggeliat, terbangun oleh suara ketukan pintu dan teriakan
seseorang memanggil namaku. Ketika kesadaran mulai terkumpul, barulah aku
tahu kalau itu suara Gerald. Vera malah masih tertidur pulas. Karena masalah si
penelpon misterius semalam aku tidak berani tidur sendirian, jadi aku memaksa
Vera tidur di kamarku.
“Mik… Mika!” Gerald kembali memanggil. Aku memaksakan tubuhku
untuk bangun dan membuka pintu. “Eh, baru bangun sayang?”
Aku mengedip berat, masih dengan rambut dan wajah yang kusut. Gerald
membalikkan tubuhku dan mendorong menuju kamar mandi.
“Kamu mandi ya, kita jalan-jalan hari ini.” Kata Gerald. Aku tidak
bertanya lebih lanjut dan hanya menurut. Gerald menatap Vera yang masih
tertidur pulas dengan senyum geli.
***
“Jadi udah tahu mau nonton apa?” tanya Gerald untuk kedua kalinya.
120 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku tertegun melihat poster film yang sedang tayang hari ini. Tidak ada
yang ingin aku tonton satupun. “Gak suka semua filmnya.” Kataku.
“Ya sudah.” Gerald menarik tanganku untuk pergi dari bioskop dan
mengikutinya. Aku menatap wajah Gerald dari samping, dia tetap tampan. “Aku
mau belikan sesuatu untuk kamu.” Gerald berbelok ke sebuah toko baju.
“Kamu mau beli baju?” Tanyaku.
“Iya, kita.” Jawabnya sambil terus berjalan dan mulai memilih.
Aku mematung menatap Gerald. Menjelang akhir bulan seperti ini Gerald
mengajakku berbelanja baju? Lagi pula aku tidak butuh baju untuk saat ini.
Tapi…
“Kamu suka yang ini?” Gerald mengacungkan kemeja cewek yang manis
sekali.
Aku mengangguk. Gerald tersenyum dan langsung memisahkannya, lalu ia
memilih-milih lagi. Aku mendekati Gerald, “G, aku… hmm… aku lagi gak butuh
baju sekarang, jadi baju ini di simpan lagi ya?” Kataku.
“Loh, kenapa? Aku belikan untuk kamu loh, kamu menolak?” Gerald
mengerutkan keningnya, matanya menyiratkan ketidaksenangan.
“Bukan begitu G, tapi… tapi sayang kan uangnya.” Jawabku.
“Bukannya kamu senang ya?” Tanya Gerald lagi masih dengan ekspresi
anehnya.
121 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku gak mau kamu…” Kalimatku belum selesai, tapi Gerald langsung
menempelkan jari telunjuknya di bibirku. Akhirnya aku mengalah, aku diam, dan
hanya duduk melihatnya memilihkan baju untukku dan untuknya. Aku mulai
merasa bosan. Apakah Gerald itu sebenarnya sophaholic? Aku memiringkan
kepala menatapnya.
Aku tak hentinya mengerjapkan mata melihat Gerald akhirnya menenteng
tiga tas kertas dari toko tersebut. “G, lain kali kita jangan main ke mall atau
departement store ya?” Gumamku.
“Kenapa? Bukannya cewek sukanya main ke mall? Dulu waktu kita masih
suka jalan berempat seringnya ke mall, Mik.” Kata Gerald.
Aku tidak menjawab dan hanya mengembuskan napas.
***
“Ini semua… Gerald?” Tanya Vera dengan datar dan biasa. Aku
mengangguk lesu. Vera hanya menggelengkan kepalanya.
“Gerald itu shopaholic ya, Ver?” Tanyaku.
“Hah?” Vera kaget mendengar pertanyaanku yang sudah jelas bodoh.
“Nggak, sama sekali dia bukan tipe orang yang sering menghamburkan uang.
Malah dia yang paling rajin menabung.” Vera melihat satu-satu baju yang
dibelikan Gerald. “Selera Gerald bagus juga.” Vera bergumam.
“Aku gak minta semua itu, Ver.”
122 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku tahu.” Kata Vera sambil terus melihat-lihat baju tersebut.
“Vera!” Seruku mulai kesal. Vera menoleh padaku agak kaget. Aku hanya
mengembuskan napas panjang. Kulihat Vera menunggu kelanjutan kalimatku, tapi
aku mengempaskan tubuh dan menutup wajah memakai bantal.
Drrtt… drrtt…
Aku meraih ponsel dan ternyata Gerald yang menelpon, aku langsung
bangun dan menerima telponnya.
“M, besok aku gak bisa antar jemput kamu, pagi sampai sore aku ada
kuliah, lanjut latihan bola. Gak apa-apa kan sayang?” Kata Gerald.
Aku mengembuskan napas keras. “Iya, gak apa-apa G, apapun yang
menurut kamu penting silakan.”
“Kamu gak ikhlas?” Nada suara Gerald terdengar berubah.
Aku mengerutkan kening. Vera menatapku penasaran. “Aku ikhlas, aku
kan sudah bilang gak apa-apa, sayang.”
“Berarti besok kamu gak perlu sms terus-terusan ya, apalagi aku dengar
kamu merajuk.”
Aku menganga mendengar perkataan Gerald. Vera sudah menepuk-nepuk
tanganku ingin tahu. “Maksud kamu apa?” Tanyaku tak habis pikir.
“Udah Mika, aku lagi gak mau berantem sama kamu.” Kata Gerald.
123 | C i n t a d a l a m K o p i
“Memangnya siapa yang mau berantem? Siapa yang ngajak berantem?”
Nada suaraku meninggi karena kesal.
“Stop, Mik. Aku pusing.”
“Kamu yang membuat diri kamu pusing, Gerald!” Seruku.
Tut.. Tutt.. Tuut… Gerald menutup telepon.
“Gerald! Sialan!” Umpatku kesal.
“Kenapa, Mik? Ada apa? Bukannya tadi baik-baik saja?” Tanya Vera.
“Dia yang membuat masalah sendiri. Memangnya siapa yang mau
berantem? Siapa, Ver, siapa?” Aku meluapkan kekesalanku pada Vera.
Vera hanya mengerjapkan mata. “Bukan aku, Mik. Sumpah.” Vera
mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
***
124 | C i n t a d a l a m K o p i
Segitiga? Segiempat? Segilima?
“Hai, Mika, Vera!” Sapa Mega pagi-pagi saat kami sedang bersiap-siap
untuk pergi ke kampus.
“Megaaa!” Seru kami berdua bersamaan lalu memeluknya.
“Loh, kamu masih menyimpan kunci depan?” Tanyaku. Mega
mengangguk.
“Eh, aku bawakan kue untuk kalian berdua, pasti kalian belum sarapan,
jadi aku sengaja bawakan ini.” Mega mengacungkan kantung plastik di
tangannya.
“Asyik, kamu memang yang paling pengertian.” Kata Vera sambil
mengambil kuenya. “Brownis, Mik.” Tambah Vera.
“Kamu sendirian, Meg?” Tanyaku.
“Iya, memangnya dengan siapa?” Tanya Mega.
“Gerald, Meg.” Vera menyeletuk.
“Oh, dia pagi-pagi sekali sudah berangkat, Mik.” Kata Mega sambil
becermin.
“Dari mana kamu tahu?” Tanyaku agak heran.
Mega terlihat sedikit kaget, lalu terbata berkata, “hmm… Tadi aku melihat
mobilnya keluar rumah.”
125 | C i n t a d a l a m K o p i
“Ya sudah berangkat yuk, udah siang. Brownisnya di bekal saja, nanti kita
makan di kantin.” Kata Vera. Aku dan Mega mengangguk.
***
“Mika, langsung pulang?” Tanya Nadya, teman sekelasku.
“Duluan saja, aku masih ada urusan.” Kataku. Siang ini aku ingin ke
gedung Fakultas Psikologi, mencari Gerald. Obrolan semalam tak hentinya
mengganggu pikiranku. Aku ingin meminta maaf, walaupun aku merasa tidak
salah, tapi semalam aku telah kesal padanya.
Aku merapikan buku dan memasukkannya ke dalam tas, lalu keluar kelas.
Aku tidak mengajak Vera karena aku tahu dia masih ada kelas. Mengajak Mega
juga sama saja sibuknya.
“Hai, Mika!” Sapa seorang teman di tangga. Aku tersenyum.
“Mika..” Sapa seorang lagi di lobi, akupun hanya tersenyum.
Aku keluar gedung dan berjalan menuju gedung K yang suka dipakai
jurusan psikologi belajar. Masalahnya aku tidak tahu dia sekarang sedang berada
di ruang kelas mana. Aku mulai memasuki gedung, tidak ada yang aku kenal.
Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di lobi, barangkali nanti Gerald lewat.
Aku mengeluarkan ponsel hendak mengirim sms pada Gerald. Tapi
kebetulan sekali Gerald lewat dihadapanku bersama… cewek.
“Gerald.” Panggilku sambil berdiri.
126 | C i n t a d a l a m K o p i
Gerald menengok, bersamaan dengan cewek yang berada di sampingnya.
Cewek cantik, kulitnya putih mulus, gayanya modis. Oh, God.
“Eh, Mik. Sedang apa di gedung ini?” Tanya Gerald dengan biasa, tak ada
kekesalan seperti semalam.
“Err, mencari kamu, G.” Kataku jujur.
“Oh, ya. Ada apa?”
Aku tidak menjawab, tapi malah menggerakkan mataku melihat cewek
disampingnya yang menunggu. “Oh, iya, Mika, perkenalkan ini Maya, Maya ini
Mika, pacar aku.” Tambah Gerald.
Maya tersenyum manis padaku sambil mengulurkan tangannya, aku
menyambut sambil tersenyum. Aku lega, Gerald menyebutku pacarnya. “Aku
hanya ingin meminta maaf masalah semalam.” Kataku pada Gerald.
“Oh, itu. Iya gak apa-apa, M.” Kata Gerald sambil tersenyum, ia kemudian
melihat jam di tangannya. “Maaf, Mik, aku harus masuk kelas.”
Aku mengangguk. “Semangat belajarnya, G!” Kataku akhirnya. Gerald
hanya tersenyum, kulihat mereka menaiki tangga sambil mengobrol dengan
akrabnya. Ada sesuatu menggelitik hatiku.
***
Aku melangkah menuju gedung UKM, menuju ruang UKM musik, aku
butuh sesuatu untuk menyalurkan emosi yang sedang menjalari tubuhku. Emosi
127 | C i n t a d a l a m K o p i
yang tidak kumengerti, bagaimana mungkin aku terus saja menganggap ada yang
salah dengan Gerald? Gerald berubah, dan ini bukan hal baik untukku. Aku
merasa semua ini salah.
Ruang musik kosong saat aku datang kesana, ruangan ini lebih besar
dibandungkan ruang UKM manapun. Karena ada berbagai alat musik di dalamnya
tempat anak-anak musik latihan. Aku mengambil stik drum yang tergeletak di
kursi lalu memutuskan bermain drum walaupun aku sebenarnya tidak bisa sama
sekali.
Masing-masing tanganku sudah memegang stik drum dengan erat, aku
terus saja terganggu dengan pikiran dan hati yang kacau karena Gerald. Ada apa
dengan dia? Aku salah?
“Aaaaa..!!” Aku berteriak sambil memukul-mukul drum sesuka hati.
Setelah puas aku lalu meraih gitar akustik dan duduk di kursi, mengembuskan
napas dan mulai memainkan intro lagu Evanescence – Broken. Lagu yang sering
kumainkan dan kunyanyikan bersama Devan.
“Cause I‟m broken, when I‟m lonesome and I don‟t feel right when you‟re
gone away…” Aku menyanyikan reff lagu tersebut. Bayangan Devan langsung
menyeruak masuk ke dalam pikiran dan hatiku. Aku bahkan seolah melihat
bayangan diriku dan Devan sedang menyanyikan lagu ini berdua, seperti malam
itu, malam-malam berdua di taman, bernyanyi dengan ditemani bulan purnama
dan bintang-bintang bertaburan. Hanya ada aku dan Devan. Malam pergantian
tahun yang kulewati hanya berdua bersamanya.
128 | C i n t a d a l a m K o p i
Ah… Devan, kau tidak pernah tahu aku sangat kehilangan. Aku hampir
setengah mati saat kau pergi, melihat kamu bersama Reva. Melupakan semua
yang telah kita lalui dengan sangat mudah. Batinku mulai meracau. Air mataku
menetes begitu saja. Aku sudah berhenti menyanyi karena suaraku bergetar, tapi
tanganku masih memetik senar gitar.
Aku tidak bisa membohongi hatiku kalau aku sangat merindukan Devan.
Gerald sama sekali berbeda dengannya. Tentu saja, dilihat dari sudut manapun
mereka berdua memang berbeda, tidak ada sedikitpun kesamaan. Oh, God. Aku
menginginkan Devan.
Aku menutup wajahku dan tangisanku semakin menjadi. Entah sebab yang
sebenarnya apa. Tapi saat ini aku hanya ingin menangis.
***
Mega tergesa-gesa menuju gedung B, tempat Vera kuliah. “Ver.” Mega
mengintip dari kaca kecil di pintu dan memberikan isyarat dengan tangannya
untuk menyuruh Vera keluar. Vera yang saat itu sedang belajar terpaksa keluar.
“Ada apa, Meg?” Tanya Vera khawatir melihat ekspresi wajah Mega yang
juga khawatir.
“Ver… Gerald…”
***
129 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. Membuka kontak dan
mencari satu nama, aku mengetik nama Devan. Aku menatap nomor yang rasanya
sudah lama sekali tidak pernah kuhubungi lagi. Haruskah aku menghubunginya?
Aku menempelkan ponsel di telinga dengan detak jantung yang semakin
berdetak kencang.
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”
Aku mengembuskan napas kecewa. Mungkin Devan sudah mengganti
nomornya. Dia benar-benar tidak ingin aku hubungi lagi. Menyadari kenyataan itu
hatiku semakin sakit. Aku menangis lagi.
***
Langit sudah menjingga saat aku melangkah masuk rumah kos. Belum
juga aku membuka kunci kamarku, aku melihat Vera dan Mega sedang melihatku
dengan aneh dari pintu kamar Vera. “Kalian kenapa?” Tanyaku. Mereka tidak
menjawab dan hanya menatapku masih dengan tatapan yang sama. Aku melihat
diriku sendiri, apakah ada yang salah dengan penampilanku. “Apa sih?” Tanyaku
agak jengkel.
Vera keluar kamar sambil berdeham, “Mika, kami berdua mau bicara sama
kamu.”
“Ada apa?” Gumamku sambil berjalan mendekati Vera. Vera mengajakku
masuk ke kamarnya dan tinggalah kami bertiga di dalam kamar Vera yang serba
berwarna pink itu.
130 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menunggu salah satu diantara mereka berbicara, tapi mereka malah
hanya saling pandang. “Apa?” Aku mulai tidak sabar menunggu.
“Hmm… Begini, Mika sayang. Mega mendapat kabar buruk tentang
Gerald.”
“Apa? Gerald kenapa? Tadi siang dia baik-baik saja.” Tanyaku memburu.
“Tenang Mik, tenang. Gerald memang baik-baik saja. Ini tentang hal lain.”
Kata Mega.
“Iya, apa?” Tanyaku dengan kening tambah berkerut.
“Kami mendapat informasi dari seseorang dan sumbernya terpercaya, lalu
aku udah coba investigasi dan kami menarik kesimpulan kalau kabar itu benar.”
Vera memulai kalimatnya.
“Aku gak ngerti, Ver!” Ucapku dengan penuh penekanan di tiap katanya.
Aku mulai jengkel, mereka seperti mempermainkan aku.
“Gerald… Gerald… Dia…” Vera mulai berbicara lagi.
“Iya, apa?” Tanyaku lagi dengan nada lebih tinggi.
“Dia mempunyai pacar selain kamu, Mik.” Mega menyelesaikan kalimat
Vera.
Aku menganga, tubuhku terpaku, otakku bekerja lebih lambat dari
biasanya. Apa katanya? Gerald? Apa?
131 | C i n t a d a l a m K o p i
“Bukan anak kampus kita, cewek ini kuliah di politeknik negeri di
Bandung. Aku tadi menelpon dia, berpura-pura menjadi pacar Gerald, dan dia
sama sekali gak tahu kalau Gerald udah punya pacar.” Tambah Vera.
Aku menggelengkan kepala, “Aku gak percaya.”
“Mika…” Mega menggenggam tanganku bermaksud menguatkan. “Aku
juga gak percaya, tapi itu kenyataannya, Mik.”
Aku menatap Mega dan Vera bergantian, ekspresi wajah mereka prihatin.
Dadaku memang bergemuruh mendengar pernyataan dari Vera dan Mega, terlebih
aku merasa hatiku patah. Mungkin Gerald berubah karena ada perempuan lain,
mungkin dia berubah karena dia sudah tidak menyayangiku lagi, mungkin…
“Aku gak percaya!” Seruku penuh emosi. Sebenarnya aku berteriak
kepada diriku sendiri, aku ingin menyangkal semua kemungkinan-kemungkinan
yang ada. Tidak mungkin Gerald seperti itu. Tidak boleh, Gerald tidak boleh
seperti itu.
“Mika…” Panggil Vera lirih.
Napasku memburu, penglihatanku mulai kabur. Aku memutuskan untuk
pergi ke kamarku sebelum air mata ini pecah. Ya Tuhan apakah ini mimpi? Aku
menatap foto Gerald yang kupajang di mejaku. Sekarang aku bingung, apa yang
harus aku lakukan? Siapa yang harus aku percaya?
Aku memutuskan untuk menelpon Gerald. Nada sambungnya hampir
berakhir dan ia tidak juga menjawab telponku. Entah kenapa rasanya lebih sakit
132 | C i n t a d a l a m K o p i
saat mendapati kenyataan bahwa sekarangpun Gerald tidak mau menjawab
telponku. Apa benar dia mempunyai pacar selain aku?
“Apa sih?”
Aku tersentak mendengar suara Gerald yang seperti marah. Hatiku
semakin terasa teriris, lalu seperti terhubung, air mataku pun semakin deras
mengalir. Aku tidak menjawab Gerald.
“Aku kan sudah bilang jangan ganggu aku dulu, Mika! Kamu gak bodoh
kan? Kamu ngerti gak sih kalimat aku?” Tambah Gerald dengan kalimat yang
semakin menyayat hati. “Please, Mika, aku gak suka kamu ganggu aku terus.”
Aku menganga mendengar kalimatnya. Apa telingaku salah mendengar
sehingga berakibat sakit yang lebih dalam pada hatiku atau memang kata-katanya
memang menyakitkan? Aku langsung menutup telpon, tidak sanggup mendengar
kalimat-kalimat Gerald selanjutnya.
Aku mengusap air mata di pipi dan dengan gerakan cepat keluar kamar
mendatangi Vera dan Mega. “Aku minta nomor cewek itu!”
Mereka berdua serempak menatapku.
***
Jika seseorang yang mulai sangat kau cintai ternyata mengkhianatimu, apa
yang akan kau lakukan? Ketika rasanya sakit yang mendera tidak mampu lagi
133 | C i n t a d a l a m K o p i
ditahan oleh tubuhmu sendiri, mengakibatkan lemas pada tubuhmu karena
dadamu terasa penuh sesak. Apa yang akan kau lakukan?
Aku hanya duduk memeluk lutut meratapi nasib. Aku lelah, setiap lelaki
yang kucinta dan kusayangi dengan tulus selalu saja mengkhianati. Apakah ada
yang salah dengan aku? Apakah ada yang salah dengan caraku mencintai?
Cewek itu bernama Tasya, mahasiswa tingkat dua jurusan Akuntansi
Politeknik Negeri di Bandung yang letaknya tidak jauh dari Universitas dimana
aku belajar. Mereka pacaran hampir sebulan yang lalu. Ya Tuhan, itu bukan waktu
yang singkat.
Tapi tidak seluruh hatiku memercayai bahwa perkataan cewek itu benar.
Aku tidak ingin percaya, bahkan jika boleh aku tidak ingin tahu. Aku merasa
aman dalam semua ketidaktahuanku.
Jam sudah menunjukan lewat tengah malam tapi mataku belum juga mau
terpejam. Gerald pun tidak mencoba menghubungiku semenjak telponku tadi sore.
Dia sama sekali tidak merasa bersalah. Padahal dulu, bahkan yang kuanggap
bukan kesalahannya dia langsung meminta maaf.
Aku melirik ponselku yang bergetar berkali-kali tanda ada yang menelpon.
Nomor yang tidak kukenal, siapa yang menelpon tengah malam seperti ini? Aku
meraih ponsel dan menjawab telponnya tetapi aku tak menyapa.
Sepuluh detik hening.
“Mika.”
134 | C i n t a d a l a m K o p i
DEG! Suara itu. Ya Tuhan, apakah aku sedang bermimpi? Atau telingaku
yang tidak beres? Itu suara…
“Mika, ini aku, Devan.” Suaranya rendah tetapi sangat jelas di telinga.
Suara yang sudah lama menghilang dari pendengaran. “Kamu udah tidur, Mik?”
Tanyanya lagi karena aku tidak juga bersuara.
“Belum, Van.” Jawabku.
“Kamu kenapa, Mik? Habis nangis atau sedang sakit?” Tanya Devan saat
mendengar suaraku yang sengau.
Ya Tuhan, Devan saja masih bisa membedakan mana suaraku yang baik-
baik saja atau tidak baik-baik saja. “Kenapa menelpon tengah malam? Ada apa?”
“Aku hanya ingin tahu kabarmu.” Katanya diikuti tawa kecil, “konyol ya?
Yah, aku juga gak tahu kenapa akhirnya aku menelpon kamu malam-malam
begini, tapi aku gak bisa berhenti memikirkan kamu, aku butuh mendengar suara
kamu agar aku bisa tenang.” Tuturnya.
Aku ingin menangis mendengar semua kata-katanya. Kenapa harus
bertolak belakang dengan sikap Gerald saat ini? Hatiku yang kering kerontang
seolah menemukan air terjun Niagara, dan itu membuat bunga-bunga dihatiku
yang hampir mati mulai menguncup kembali untuk menunggu mekar.
“Aku… aku baik-baik saja. Kalau kamu?” Dia tidak tahu kalau aku yang
sangat ingin tahu keadaannya lebih dari siapapun.
135 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku baik-baik saja, Mika.” Jawabnya. “Aku mau minta maaf, Mik. Aku
tahu mungkin terlambat, aku terima kalau kamu gak mau maafin aku. Maaf untuk
semua yang udah aku…”
“Aku udah maafin kamu, jauh sebelum kamu meminta maaf.”
Terdengar Devan mengembuskan napas lega. “Kamu di Bandung
sekarang?”
“Iya, kamu sekarang kuliah atau bekerja?”
“Aku kerja di Samarinda, Mik.”
“Samarinda? Jauh sekali, kamu kerja apa di sana?” Tanyaku sambil
mengigit bibir.
“Aku mengurus kafe Om-ku.” Jawabnya. “Hmm… Mika?”
“Ya?”
“Aku sangat merindukanmu.”
***
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan oleh suara ribut-ribut di luar. Setelah
kesadaranku pulih barulah aku hafal kalau itu suara Vera, Mega, dan Gerald. Aku
membuka pintu kamar dan melihat Gerald sedang di dorong-dorong oleh Vera.
“Mika, ini ada apa? Kenapa aku gak boleh masuk?” Tanya Gerald begitu
melihatku.
136 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku teringat kejadian kemarin dan langsung memacu emosiku menjadi
naik. Aku berjalan menghampiri Gerald dan menatapnya tajam. “Siapa Tasya?”
“Tasya? Tasya siapa? Aku gak tahu.” Jawab Gerald.
“Jangan bohong, Gerald!” Seru Vera.
“Aku kan udah bilang, Ver. Aku gak pernah berniat buat mengkhianati
Mika.” Bela Gerald.
“Tapi cewek itu bilang kalau dia pacar kamu. Apanya yang gak
mengkhianati?” Sambung Mega.
“Cukup, Gerald.” Aku mengembuskan napas panjang, Gerald menatapku
khawatir. “Kata-kata kamu kemarin udah cukup membuktikan kalau kamu
memang udah gak sayang sama aku.”
“Tunggu!” Sela Gerald.
“Aku cuma pengganggu dalam hidup kamu kan? Aku cuma cewek manja
yang menyebalkan kan?” Suaraku bergetar. “Ya udah, Gerald. Sekarang kamu
juga udah berubah,” aku menarik napas, “kita putus aja ya.”
“Nggak, Mik. Ini apa?” Teriak Gerald panik. Vera dan Mega hanya
menganga. “Masalah akhir-akhir ini aku minta maaf, aku sedang banyak pikiran
jadi aku gampang emosi. Tapi masalah cewek antah berantah itu aku gak tahu
apa-apa, Mika. Aku – gak – mau – putus!” Gerald mengucapkan kalimat terkahir
dengan penuh penekanan.
137 | C i n t a d a l a m K o p i
“Tapi…”
Gerald memotong kalimatku, “aku sayang kamu, Mika. Aku gak mau
kehilangan kamu. Kamu milik aku yang paling berharga. Maafin aku, Mika.
Maaf.” Gerald menggenggam tanganku.
“Kalian selesaikan ini berdua deh.” Kata Vera lalu berjalan masuk ke
dalam kamarnya diikuti Mega.
“Lalu si Tasya mahasiswa tingkat dua jurusan Akuntansi di Polban itu?”
Aku menatapnya menantang.
Gerald mengembuskan napas panjang, dan menatapku tajam. “Kamu lebih
percaya dengan dia daripada aku?” Aku diam tidak menjawab. “Sumpah, Mika.
Aku gak kenal Tasya itu siapa. Mungkin ada orang yang gak suka dengan
hubungan kita dan sedang mencoba membuat kita putus?”
Aku mulai terpengaruh perkataan Gerald, mungkin saja ini hanya akal-
akalan Tasya atau mungkin orang lain yang menyuruhnya, mungkin Bobi.
Pikirku.
“Mika, aku gak mau kehilangan kamu.” Ucap Gerald lirih penuh
kepasrahan.
Aku membuang muka, memikirkan semua perkataan Gerald yang
sepertinya sungguh-sungguh. Ya, mungkin saja ini hanya ulah seseorang yang
ingin menghancurkan hubunganku dengan Gerald. Aku menatap Gerald yang
138 | C i n t a d a l a m K o p i
sedang menatapku penuh harap bercampur khawatir. Melihatnya seperti itu
membuatku tidak tega.
“Mik…” Panggilnya.
“Aku rindu kamu yang dulu Gerald.” Ucapku.
“Aku akan berusaha memperbaiki semuanya, Mika. Aku janji.”
Aku menganguk, “sekali ini aku maafkan kamu. Aku percaya sama kamu.
Tapi kalau ternyata benar kamu mendua, aku akan sangat membenci kamu
Gerald!”
“Gak ada niat sedikitpun untuk mengkhianati kamu, Mik.” Jawab Gerald.
Ia merengkuhku ke dalam pelukannya. “Karena aku sangat sayang sama kamu.”
Aku juga sangat menyayangi kamu, aku juga tidak ingin kehilangan kamu
Gerald, kataku dalam hati. Walau bagaimanapun Gerald telah memenuhi hatiku,
membuatnya utuh, mewarnai hari-hariku dengan senyumnya, tawanya, dan semua
tentangnya. Aku menyayangi Gerald lebih dari aku menyayangi Devan, lebih dari
siapapun.
***
139 | C i n t a d a l a m K o p i
Cinta dalam Kopi
“Mika, aku udah buatkan sandwich buat kamu sarapan, aku taruh di meja
ya.” Seru Vera saat aku sedang mandi.
“Iya, makasih, Ver.” Jawabku dari dalam kamar mandi.
“Aku berangkat ya, Mik.”
“Iya, hati-hati di jalan, Vera.” Kataku lagi. Lima menit kemudian aku
keluar dan melihat sandwich di atas meja. Aku menyanyi riang sambil bersiap-
siap.
“Mika.” Suara Gerald memanggil. Aku langsung mengambil kunci dan
membuka pintu dengan senang. “Hallo cantik, lagi dandan ya?” Sapa Gerald saat
melihatku. Aku hanya tersenyum dan membiarkan dia masuk.
“Sebentar ya.” Kataku pada Gerald dan kembali becermin. Gerald
mengangguk sambil tersenyum.
“Pulang jam berapa?” Tanya Gerald.
“Selesai kuliah jam 12, tapi ada latihan sampai jam 3.” Jawabku sambil
merapikan poniku sekali lagi, lalu duduk di samping Gerald.
“Nanti aku jemput.” Kata Gerald sambil tersenyum.
“Eh, bukannya kamu sore ini ada latihan juga?”
140 | C i n t a d a l a m K o p i
“Iya, tapi gak apa-apa, aku antar kamu pulang dulu juga masih sempat.”
Jawabnya. “Oh ya, kapan pulang ke rumah, Mik?”
“Nanti saja, sekarang sedang banyak tugas. Mama juga ngerti kok.” Aku
meraih sandwich di meja dan mengigitnya. “Kamu sudah sarapan?”
Gerald mengangguk. Rasanya kejadian kemarin hanya mimpi, dengan
ajaib Gerald kembali seperti dulu, menjadikan aku prioritasnya. Orang bilang,
kalau ada cowok yang lebih memprioritaskan ceweknya daripada hobinya, itu
berarti kamu sangat berharga baginya. Ah, rasanya aku ingin selalu seperti ini.
“Mika, berangkat yuk!”
***
“Kamu kenapa maafin dia, Mika? Harusnya kamu putusin aja dia!” Aku
sudah mendengar kalimat itu keluar dari mulut Mega dua kali, semalam dan saat
ini. Kami bertiga makan siang bersama di kantin.
“Aku sayang dia, Meg.”
“Tapi dia kan udah mengkhianati kamu, Mika!” Kata Mega tidak habis
pikir.
“Dia bilang, dia gak mengkhianati aku kok. Dia bilang, dia gak kenal
dengan Tasya.” Kataku lemah.
“Tapi Mika…”
141 | C i n t a d a l a m K o p i
“Udahlah, Meg, yang menjalani kan Mika, toh dia udah pilih jalan itu.”
Vera memotong kalimat Mega dengan tenang. Aku menatap Vera yang tidak
biasanya membela aku dalam keadaan seperti ini. Padahal saat aku dikhianati
Devan saja, dia yang paling marah. “Aku juga gak percaya kalau Gerald benar
pacaran dengan si Tasya itu.” Tambah Vera.
Mega bungkam dengan ekspresi wajah menahan kesal. “Lalu kamu tadi
bercerita kalau Devan menghubungi kamu lagi, apa itu gak berarti sesuatu?”
Tanya Mega lagi.
“Ya itu berarti dia lagi kangen sama aku.” Jawabku polos.
“Kamu juga kangen sama dia kan? Aku yakin masih ada perasaan kamu
buat Devan.” Kata Mega lagi.
Aku mengangguk, “aku memang merindukannya dan rasa itu masih ada
walau udah gak sebesar dulu.”
“Nah kalau Devan mengajak balikan?” Todong Mega.
Aku terdiam, itu adalah pertanyaan yang paling sulit. “Aku gak tahu.”
Jawabku jujur.
“Kamu mau milih Gerald atau Devan?” Tanya Mega lagi.
“Mega!” Seru Vera saat melihatku tiba-tiba menjadi diam melamun.
***
142 | C i n t a d a l a m K o p i
Seusai latihan, aku melihat ponsel dan disana ada 3 missed call dari Devan
dan 9 missed call dari private number. Ada suatu perasaan senang dan menyesal
saat mengetahui Devan mencoba menghubungiku lagi. Menyesal mengapa di saat
aku mulai memantapkan hatiku pada Gerald, dia malah kembali muncul.
“Mika, Gerald nunggu di luar tuh.” Kata Alice yang baru masuk ke ruang
musik.
Aku mengangguk dan pamit kepada yang lain untuk pulang. Saat Gerald
melihatku keluar ruang musik, ia langsung berdiri dan berjalan tanpa
menungguku. Ia bergegas keluar gedung dan menuju tempat motornya di parkir.
Akupun tidak berbicara apapun padanya, aku mengerti jika Gerald buru-buru,
maka aku langsung naik ke motornya dan kami pulang.
“Makasih ya, Gerald.” Kataku saat sudah sampai di kosan.
Gerald tersenyum dan mengangguk. “Aku latihan dulu ya sayang.” Pamit
Gerald.
Aku melambaikan tangan padanya. Saat aku sudah masuk ke rumah kosku
tiba-tiba ponselku bergetar berkali-kali tanda ada yang menelpon. Devan. Aku
menatap layar ponsel beberapa saat sebelum akhirnya aku memutuskan untuk
menjawabnya.
“Mika, sedang sibuk ya?” Tanya Devan langsung.
“Baru sampai kosan, Van. Ada apa? Ada yang penting?” Tanyaku dengan
nada sebiasa mungkin.
143 | C i n t a d a l a m K o p i
“Besok bisa bertemu?”
Aku menganga mendengar pertanyaannya. Bertemu dengannya? Tentu
saja aku mau, aku sangat merindukannya sejak dia pergi dari hidupku. Tapi…
“Bukankah kamu di Samarinda?”
“Aku pulang hari ini untuk bertemu dengan kamu.”
***
“Mika, kamu udah makan malam?” Tanya Vera sambil masuk ke
kamarku.
Aku sedang berbaring menatap langit-langit kamar memikirkan perkataan
Devan tadi sore. Dia pulang demi bertemu denganku? Ya Tuhan, apa yang harus
aku lakukan? Aku belum menjawab kapan aku bisa bertemu dengannya, tapi tidak
besok. Aku memang merindukannya dan aku juga ingin bertemu dengannya, tapi
aku belum siap. Terlebih tadi sore aku mengatakan kalimat yang sangat fatal. Aku
memejamkan mata dan mengingat kembali percakapan itu.
“Mika, kamu tahu? Selama ini aku merasa menjadi orang yang sangat
bodoh karena pernah menyia-nyiakan kamu. Sekarang aku baru sadar kalau aku
sangat menyayangi kamu, sejak dulu, kemarin, sekarang pun rasanya tetap sama.
Mungkin ini terdengar konyol tapi hati aku yakin kamu juga merasakan hal yang
sama.” Tuturnya.
Aku yang sedang sibuk menekan perasaanku pada Devan dalam-dalam,
menghancurkan tunas-tunas baru yang tiba-tiba muncul, meredam kegembiraan
144 | C i n t a d a l a m K o p i
yang membuncah dalam hati. Ya Tuhan, seharusnya ini tidak boleh kurasakan.
Perasaan itu kembali muncul ke permukaan, perasaan yang kupikir telah hilang
atau setidaknya sudah berkurang, tapi ada apa? Kenapa rasa itu kian jelas, rasa
sayangku terhadap Devan ternyata memang masih tetap sama. Lalu selama ini
perasaan-perasaan itu bersembunyi dimana, hingga yang bisa kulihat hanya
Gerald?
“Sebelumnya aku pikir aku sudah melupakanmu, tapi ternyata aku masih
menyayangimu, Mika. Masih sangat menyayangimu.” Tambah Devan.
“Aku… aku juga merasakan hal yang sama Devan.” Kataku spontan,
setelahnya aku menggigit bibir teringat Gerald. Ya Tuhan.
Aku mendengar Devan tertawa kecil, “kamu tahu, Mika? Cinta kita seperti
kopi dalam gelas, ia mengendap, tak terlihat namun ada.”
Aku mencerna kalimatnya, ia benar. Dan cintaku pada Devan ibarat air
larutan kopi itu, maka aku tak bisa melihat ampas kopinya yang mengendap dalam
gelas. Aku memejamkan mataku, ada sesuatu yang merembes mulai meluber
dalam hatiku.
“Mika!” Seru Vera tepat di telingaku. Aku terduduk saking kagetnya.
“Kamu melamun apa sih? Sampai-sampai kamu gak sadar sejak tadi aku disini.”
Vera menggerutu kesal.
Aku hanya nyengir kuda, lalu berpikir apakah sebaiknya aku menceritakan
ini pada Vera atau tidak. Saat aku sedang berpikir, muncul Gerald mengajak kami
145 | C i n t a d a l a m K o p i
makan malam. Hhh… Aku tahu, seharusnya aku fokus pada Gerald, dia yang ada
saat ini bersamaku, tidak seharusnya aku kembali mengharapkan Devan. Tidak
boleh.
***
Aku menggeliat saat sinar matahari masuk melewati celah gorden yang
tidak tertutup sempurna. Kebetulan dosen mata kuliah hari ini tidak bisa mengajar,
maka aku bisa tidur sampai siang. Baru saja aku akan kembali terlelap ketika ada
seseorang yang menggedor-gedor pintu depan seperti sedang kalap.
Tidak lama kemudian ada suara orang membuka pintu dan samar-samar
kudengar suara Vera dan Gerald. Apakah yang menggedor-gedor pintu itu
Gerald? Aku terperanjat kaget saat sadar bahwa lagi-lagi aku lupa memberitahu
Gerald kalau hari ini aku tidak kuliah.
“Kamu… baru bangun?” Tanya Gerald dengan raut muka kesal bercampur
heran.
“Ya ampun Gerald, maaf, aku lupa memberi tahu kamu kalau hari ini aku
gak ada kelas. Maaf Gerald.” Aku menatap Gerald khawatir, wajahnya terlihat
merah padam menahan kesal.
“Kamu tahu gak aku masuk kuliah jam berapa?” Bentak Gerald. “Aku
nunggu kamu buka pintu lebih dari 5 menit, Mika! Aku bela-belain kesini jemput
kamu, nunggu kamu padahal udah telat, Mika! Aku belain!” Tambah Gerald
masih membentak.
146 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menunduk, hatiku terasa seperti dibanting dengan keras. Sakit,
terlebih aku merasa sedih.
“Kerjaan aku itu bukan hanya antar jemput kamu, balas sms kamu, telpon
kamu, jalan-jalan sama kamu! Hidup aku itu gak melulu soal kamu, Mika!”
Gerald meledak seperti bom nuklir di siang bolong.
Aku kaget mendengar kalimatnya. Hatiku merasa tergigit, dan seketika
aku ingin menangis.
Brakk!
Aku dan Gerald kaget mendengar seseorang membanting pintu. Ternyata
itu Vera, ia sengaja membanting pintu kamarnya dengan wajah penuh emosi
menatap Gerald. “Kamu bisa gak ngomong lebih baik sama Mika? Hah?” Vera
berseru sambil berkacak pinggang.
“Kenapa kamu ikut campur?”
“Kalau kamu udah gak sayang sama Mika, udah gak bisa bersikap lembut
sama Mika, mending kamu pergi aja deh dari hidup Mika! Aku menyesal punya
saudara seperti kamu!” Kata Vera berapi-api. Padahal sebelumnya Vera selalu
menjadi penengah kalau aku bertengkar dengan seseorang.
Semuanya gara-gara aku. Gerald marah gara-gara aku, dan sekarang Vera
marah kepada Gerald gara-gara aku, tetangga-tetangga kamar menonton kami
juga gara-gara aku. Aku yang salah, aku penyebab semua keributan ini. Aku
147 | C i n t a d a l a m K o p i
menutup pintu kamar dan menguncinya. Tidak peduli Vera mengetuk seribu kali.
Aku hanya ingin menangis.
3 jam kemudian rumah kos sudah sepi, Vera juga sudah berangkat kuliah.
Aku menyeka air mata di pipiku. Aku tidak habis pikir, apa yang bisa membuat
Gerald menjadi kasar seperti sekarang, apakah benar aku hanya beban untuk
hidupnya? Atau dia sudah merasa bosan padaku? Lantas kenapa waktu itu dia
tidak mau putus kalau memang dia sudah tidak sayang padaku?
Aku teringat Devan, aku bergegas meraih ponsel dan menelponnya.
“Devan, aku bisa bertemu kamu hari ini.”
***
Aku terus menatap keluar dinding kaca kafe. Secangkir kopi di atas meja
mulai mendingin tak disentuh. Sekali lagi aku mengembuskan napas panjang.
Seharusnya aku tak kesini, seharusnya aku tak menelpon dia dengan gegabah,
seharusnya aku tak menyetujui untuk menunggu.
Menemui seseorang yang tidak seharusnya kutemui. Mungkin inilah yang
disebut pertemuan terlarang. Menemui masa laluku yang sudah hampir setengah
tahun tak pernah aku lihat lagi sosoknya. Tapi memangnya apa peduli Gerald?
Kata-katanya tadi pagi sudah manggurat luka jelas dalam hatiku. Bahkan Devan
tidak pernah berkata kasar seperti itu walau dia sedang marah. Hhh… Devan…
“Hai! Sudah lama? Maaf ya tadi ada sedikit urusan mendesak.” Kata
Devan santai sambil duduk di hadapanku.
148 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menatapnya lekat, meyakinkan diriku bahwa sosok yang saat ini
dihadapanku adalah benar Devan. Tidak ada yang berubah darinya kecuali
rambutnya yang dibiarkan sedikit panjang, dia datang mengenakan t-shirt dan
celana jeans seperti biasa, tapi aku suka, dia selalu terlihat manis.
“Hei, kamu memesan kopi? Bukankah kamu tidak suka kopi sama sekali?”
Tanyanya heran.
“Aku hanya ingin memesannya, rasanya menyenangkan menatap
secangkir kopi hitam. Aku merasa sedang mengenang kita.” Kataku sambil
memainkan cangkir kopiku. “Cinta kita seperti kopi hitam dalam gelas, ia
mengendap. Tak terlihat, namun ada. Itu kan yang terakhir kamu bilang tentang
cinta kita?”
Devan tertegun menatapku.
“Masih adakah kopi dalam gelas itu sekarang?” Tanyaku.
Devan menjawab mantap, “Masih.” Ia tersenyum padaku dan oh lesung
pipinya… “aku baru saja mengatakan hal itu semalam kan? Tidak mungkin
perasaanku berubah secepat itu.” Tambahnya.
Aku seperti menyadari kekonyolan dari pertanyaanku. Pikiranku sedang
kacau, terlebih karena aku tiba-tiba merasa takut kalau perasaan Devan padaku
berubah. “Aku… aku hanya memastikan.” Jawabku gelagapan.
“Kamu kenapa? Ada masalah?” Tanya Devan lembut.
149 | C i n t a d a l a m K o p i
Seandainya Gerald bisa sepeka Devan, seandainya Gerald selembut
Devan. Tapi dulu Gerald juga baik sekali padaku, lembut sekali. Dulu.
“Mika, kok melamun?” Tegur Devan lagi. “Kamu habis nangis?”
Aku menggeleng pelan. “Reva apa kabar?” Tanyaku mengalihkan
perhatian.
Devan terlihat kaget mendengar pertanyaanku. “Baik, mungkin. Udahlah,
Mik jangan bahas dia. Aku menyesal seumur hidup karena dia.”
“Bukankah dia cantik, putih, seksi?” Tanyaku dengan sedikit emosi.
Devan tertawa, “siapa yang bilang seperti itu?”
“Egi.” Jawabku singkat.
“Kamu cemburu?” Goda Devan.
“Jelas lah, waktu itu kamu baru putus denganku dan kalian langsung
pacaran.” Jawabku ketus karena terbawa emosi.
“Aku kan udah minta maaf, Mika.”
“Iya, aku maafkan, tapi gak berarti harus dilupakan, kan?”
Devan tersenyum, “kamu benar, ingat itu agar kamu bisa mengingatkan
aku jangan melakukan hal yang sama.”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. “Jadi kapan kamu kembali ke
Samarinda?”
150 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kapan saja aku mau.” Jawabnya ringan, “kamu mau pesan teh, susu, atau
cokelat panas?”
“Susu cokelat.” Jawabku singkat.
Devan memesankan susu cokelat dan dia sendiri memesan kopi, tentu saja,
bisa dibilang dia maniak kopi, untung saja dia bukan perokok. “Jadi pacar kamu
sekarang orang kaya?” Tanya Devan tiba-tiba.
“Dia masih saudara Vera, aku mau pacaran dengan dia bukan karena dia
kaya, Van.”
“Tapi dia memang kaya kan? Pasti dia sering membelikanmu barang-
barang mewah.”
Aku tertawa kecil mendengar perkataan Devan, “Aku gak butuh dibelikan
apa-apa, sama sekali aku gak butuh. Yang aku butuh hanya perhatian dia,
pengertian dia, kasih sayang dia.” Jawabku sambil menerawang ke masa dimana
Gerald masih sangat baik terhadapku.
Tiba-tiba saja Vera menelpon. “Ya, Ver?” Aku menganga mendengar
kalimat Vera selanjutnya. “Gerald kecelakaan? Sekarang dia dimana? Rumah
sakit mana?” Tanyaku panik. Devan langsung menegakkan tubuhnya.
“Van, antar aku ke rumah sakit.” Pintaku dengan kekhawatiran yang amat
sangat. Devan mengangguk dan kami langsung berangkat.
***
151 | C i n t a d a l a m K o p i
Salah Siapa?
“Mana Gerald, Ver?” Tanyaku pada Vera yang sedang menunggu di luar
UGD rumah sakit bersama Mega.
“Tenang, Mika. Insya Allah Gerald baik-baik saja.” Vera menenangkan.
Ponsel Mega berbunyi dan membuat perhatianku dan Vera beralih pada
Mega. “Aku angkat telpon dulu ya.” Mega berjalan menjauh.
“Bagaimana ceritanya, Ver? Kenapa Gerald bisa kecelakaan?” Tanyaku
lagi.
“Aku gak tahu pasti, Mik. Kejadiannya gak jauh dari kampus. Katanya
Gerald membawa motor kencang sekali saat keluar dari kampus, lalu entah
bagaimana, Gerald jatuh, Mik. Menurut orang yang ada di kejadian, ban motor
Gerald pecah.” Jelas Vera, “tapi ada yang aneh, Mik.” Tambah Vera ragu-ragu.
“Aneh apa, Vera?” Tanyaku tidak sabar.
“Si Andre bilang, waktu dia di parkiran, dia lihat ada orang yang lagi
jongkok dekat motor Gerald. Mungkin gak sih kalau dia berniat buat
mencelakakan Gerald?”
“Hah? Siapa, Ver? Anak kampus kita?” Tanyaku tidak percaya.
Vera menggeleng, “Andre bilang bukan, dia gak kenal cowok itu.”
152 | C i n t a d a l a m K o p i
Suster membawa Gerald keluar, “pasien dipindahkan ke ruang rawat 306
ya.” Kata si suster ramah sebelum kami sempat bertanya.
Aku menelan ludah melihat Gerald, kepalanya diperban, tangan kanannya
pun diperban, dan kaki kanannya juga. Ditambah matanya lebam. Rasanya tidak
tega melihat Gerald seperti itu. Dadaku bergemuruh karena kekhawatiran yang
amat sangat. Ya Tuhan, jangan biarkan terjadi apa-apa pada Gerald.
“Ayo, Mik ke ruang rawat Gerald.” Vera menarik tanganku yang masih
mematung.
Kami berdua menunggu suster yang mengantarkan Gerald keluar. Saat
suster keluar Vera langsung mencegatnya dan bertanya, “suster, Gerald gak apa-
apa kan?”
“Kami belum bisa memastikan sebelum hasil rontgen keluar, mungkin
nanti malam akan diberitahukan.” Jawab suster itu ramah.
Aku menelan ludah, berarti ada kemungkinan Gerald terluka parah. Tidak,
tidak boleh, Gerald harus baik-baik saja. Aku teringat kejadian tadi pagi, sekarang
aku menyesal telah membuatnya marah. Lagi-lagi aku melamun di pintu, Vera
menarik tanganku untuk masuk ke ruang rawat Gerald.
“Kamu ngapain sih Gerald?” Tanya Vera kepada Gerald yang masih
terpejam. “Hhh… aku harus memberi tahu ibunya kalau begitu.”
153 | C i n t a d a l a m K o p i
“Ver, jangan.” Bisik Gerald. Aku dan Vera serempak menatapnya,
matanya masih terpejam, tapi beberapa saat kemudian matanya yang tidak lebam
mulai membuka sedikit.
“G, kamu baik-baik aja kan?” Aku menatap wajahnya lekat. Dia
mengangguk lemah. “Maafkan sikap aku tadi pagi, G. Aku udah membuat kamu
marah, maaf G.” Tambahku dengan air mata mulai menggenang. “Kamu harus
janji, kalau kamu akan baik-baik saja, G. Kamu janji kan sama aku?” Bibirku
bergetar menahan tangis. Aku melihat senyuman samar di wajah Gerald.
“Aku baik-baik aja, M. Besok juga aku udah bisa pulang.” Kata Gerald
dengan suara parau.
“Udah, Mik. Biarkan Gerald istirahat dulu. Oh ya, kamu tadi kesini
sendirian?” Tanya Vera, ia juga menengok ke kanan dan ke kiri, “loh, Mega tadi
kemana ya?” Tanyanya lagi.
Aku tertegun. Aku baru teringat kalau aku melupakan sesuatu. “Vera,
kamu jaga Gerald ya, aku cari Mega dulu.” Kataku dan langsung bergegas keluar.
Aku tadi meninggalkan Devan di lobi rumah sakit, apakah dia menunggu?
Aku menengok ke kanan dan ke kiri mencari Devan. Ah, sepertinya dia sudah
pulang. Aku bersandar pada dinding dan mengembuskan napas kecewa. Lalu
tanpa sengaja aku mendengar percakapan dua orang yang menarik perhatianku.
154 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku udah bilang jangan buat dia celaka!” Itu suara cewek, samar-samar
kudengar karena sepertinya dia berada di lorong kanan setelah dinding ini.
Suaranya sangat jelas sengaja di rendahkan.
“Aku gak sengaja.” Jawab cowok itu sama dengan suara di rendahkan dan
seperti teredam sesuatu.
Aku berkhayal kalau itu adalah sepasang mafia yang tidak sengaja
melakukan pembunuhan dan korbannya sedang di rawat di rumah sakit ini. Aku
memejamkan mata dan membenturkan kepalaku pelan ke dinding, mana ada yang
seperti itu? Lagipula untuk apa aku menguping mereka?
“Kalau sesuatu terjadi pada Gerald,” Ucap cewek itu, aku mengurungkan
niatku untuk pergi saat nama Gerald disebut. “Kamu orang yang harus
bertanggung jawab.” Lanjutnya.
Cewek itu menyebut nama Gerald, tadi apa yang mereka bicarakan? Aku
tiba-tiba teringat perkataan Vera yang mengatakan bahwa temannya melihat ada
orang yang sedang jongkok di dekat motor Gerald, mungkinkah Gerald yang
mereka bicarakan adalah Geraldku?
Dengan gerakan cepat aku melangkah dan berbelok ke kanan. Tapi
alangkah sialnya mereka berdua sudah menghilang. Maka aku meneruskan
berjalan menuju toilet. Saat aku membuka pintu, ternyata disana ada Mega sedang
becermin. Kebetulan sekali.
155 | C i n t a d a l a m K o p i
“Eh, Mika. Aku baru saja mau menelpon kamu. Jadi Gerald di rawat di
ruang berapa? Dia gak apa-apa kan?” Tanya Mega.
“306, aku belum tahu, suster bilang harus menunggu hasil rontgen. Eh,
tapi Gerald udah sadar. Aku dari tadi nyari kamu, ternyata kamu disini.” Kataku.
“Ya udah ke kamar Gerald yuk!” Mega menarik tanganku keluar dan naik
ke lantai 3, ke kamar inap Gerald.
Mungkin nanti aku akan meminta maaf pada Devan melalui sms atau
telpon. Sekarang pikiranku dipenuhi dua orang tadi yang tak sengaja kudengar
percakapannya. Aku ingin tahu Gerald siapa yang dia maksud? Karena Gerald ini
pun baru saja mengalami kecelakaan dan sedang berada di rumah sakit ini.
“Kamu kenapa? Aku lihat dari tadi kamu melamun terus.” Kata Vera. Aku
hanya menggeleng pelan.
“Aku keluar dulu, Ver.” Aku berjalan menuju resepsionis, rasa
penasaranku belum usai. Aku harus menanyakan ada berapa Gerald yang sedang
di rumah sakit ini karena mengalami kecelakaan.
“Ada Gerald Pramudya, Agustino Geraldio, dan Gerald Elmer.” Kata
suster bagian resepsionis.
“Kalau yang di rawat karena kecelakaan Gerald yang mana ya, sus?”
Tanyaku lagi.
156 | C i n t a d a l a m K o p i
“Gerald Pramudya masuk rumah sakit ini kemarin, dan Gerald Elmer baru
siang ini, Mbak.” Jawab si suster lagi.
Masalahnya sekarang ada 2 Gerald yang di rawat di rumah sakit ini karena
kecelakaan. Aku hanya berharap Gerald yang mereka maksud adalah Gerald
Pramudya bukan Gerald Elmer.
***
“Lihat kan, aku sudah bisa pulang.” Kata Gerald dua hari setelah hari
kecelakaan itu. Perban yang membungkus lukanya tidak sebanyak kemarin, dan
mata lebamnya sudah agak membaik. Dokter mengatakan tidak ada masalah jadi
Gerald bisa pulang hari ini. “Mika, papah aku dong, kaki aku masih sakit.”
Aku tersenyum dan menghampirinya yang masih duduk di tempat tidur.
Aku, Vera, dan Mega sengaja membolos hari ini demi Gerald. Awalnya memang
aku saja yang berniat membolos, tapi dengan alasan kesetiakawanan akhirnya
mereka ikut-ikutan membolos.
“Katanya gak apa-apa, katanya udah sembuh.” Vera mencibir.
Mega masuk membawakan kursi roda. “Loh, Mik, gak berat? Lebih baik
pakai kursi roda saja.” Kata Mega.
Aku hanya menatap Gerald, dan raut wajahnya menyiratkan kecewa. Tapi
mau tidak mau akhirnya Gerald duduk di kursi roda. Kami berempat pulang ke
rumah Gerald dengan memakai mobil Gerald yang dikemudikan Vera.
157 | C i n t a d a l a m K o p i
Menurut penuturan Gerald, pada hari kecelakaan itu ia tidak menyadari
kalau ada yang tidak beres dengan ban motornya. Karena waktu itu Gerald sedang
bad mood dan emosi, maka dia memacu motornya dengan kecepatan penuh saat
keluar dari gerbang kampus. Dan tiba-tiba motornya oleng, lalu masuk lubang
jalan sebelum akhirnya ia terpental jatuh beberapa meter dari motornya, kepalanya
membentur trotoar dan matanya terbentur sesuatu yang Gerald sendiri lupa apa.
Tapi Gerald tidak mempunyai musuh siapapun. Tentang cowok yang
Andre katakan, sampai sekarang tidak ada yang mengaku kalau hari itu ada yang
berniat jahil pada Gerald.
“Kebetulan, Mik. Pada hari itu semuanya orang sedang sial. Ya kamu, ya
Gerald, ya orang yang dilihat Andre, juga orang yang di rumah sakit. Mereka jadi
kita kaitkan pada kecelakaan Gerald. Padahal bisa saja mereka hanya berada di
tempat dan waktu yang salah.” Itu penjelasan Vera kemarin. Ya. Vera mungkin
benar, lagi pula bukankah itu bagus? Itu berarti tidak ada yang berniat
mencelakakan Gerald, kan?
***
158 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku Salah Apa?
Satu bulan kemudian.
“Aku bilang juga apa, lebih baik kamu ganti nomor atau kamu cari Bobi
dan suruh dia berhenti ganggu kamu pakai private number itu!” Kata Vera untuk
kesekian kalinya. Selama satu bulan ini si penelpon misterius lebih sering
menghubungi.
Cinta dalam kopiku berlanjut. Ternyata benar apa yang dikatakan orang-
orang, yang sulit adalah ketika memulai, jika sudah dimulai semuanya akan lebih
mudah. Hhh… aku sempat ingin mengakhiri hubunganku dengan Devan. Aku
tidak mau membuat Gerald marah, aku tidak ingin kehilangannya.
“Mika, Gerald di depan tuh.” Kata Vera.
Aku mengangguk dan menghampiri Gerald. “Ayo M, kita jalan-jalan.”
Kata Gerald.
“Kemana G?” Tanyaku. Gerald tidak menjawab, ia hanya mengemudikan
mobilnya ke suatu tempat entah kemana.
“Mika, kamu tahu gak ada berapa banyak orang yang ingin hubungan kita
putus?” Tanya Gerald tiba-tiba.
“Apa? Kok kamu nanya kayak gitu?” Aku menatapnya sambil
mengerutkan kening.
159 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kalaupun orang itu berusaha untuk mencelakakan aku demi kita berpisah,
sampai aku dibunuh orang itu pun, aku gak akan mau meninggalkan kamu.” Kata
Gerald sambil menatapku lekat.
Ya Tuhan, apakah sedalam itu cintanya padaku? Sampai ia mau
mengorbankan dirinya sendiri hanya demi aku? Tapi aku juga menyadari satu hal
saat Gerald diberitakan selingkuh, saat Gerald kecelakaan, kalau aku begitu takut
kehilangannya, takut ditinggalkan olehnya, aku menyadari kalau dia sangat berarti
untuk hidupku.
“Kecelakaanku kemarin disengaja oleh seseorang, Mik.” Tambahnya.
Aku menatapnya kaget dan jantungku langsung berdetak cepat. “Maksud
kamu?”
“Aku menyuruh seseorang untuk menyelidiki sebab kecelakaan kemarin,
karena aku mendengar Andre melihat seseorang mengotak-atik ban motorku
sebelumnya. Dan hasilnya memang kecelakaan itu disengaja.”
“Kamu punya musuh di kampus ini?”
Gerald menggeleng, “Nggak. Tapi aku gak tahu kalau ada yang gak suka
sama aku. Lalu aku ingat kejadian aku dituduh selingkuh tempo hari itu, aku jadi
mikir kalau semenjak itu ada orang yang sengaja ingin kita putus. Nah, mungkin
juga dia sengaja ingin membuatku celaka.”
160 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menganga mendengarnya, lalu teringat dua orang yang tidak sengaja
kudengar percakapannya di rumah sakit. Mungkinkah mereka yang merencanakan
kejadian ini? Tapi siapa? Bobi?
“Lo bakal ngebayar semua ini!” Tekan Bobi padaku. “Lo dan pacar lo!”
Aku terperanjat mengingat ancaman Bobi saat ia memukul Gerald di restoran
waktu itu. Tapi kejadian itu sudah lama. Aku menelan ludah penuh rasa bersalah,
kalau benar itu semua ulah Bobi, berarti penyebabnya adalah aku, aku yang sudah
membuat Gerald celaka. Tiba-tiba pandanganku berubah buram, air mata sudah
menggenang di sana.
“Lho, sayang kamu kenapa?”
“Maaf Gerald, aku merasa bersalah, karena aku kamu jadi celaka. Itu
semua karena aku.” Air mataku jatuh satu-satu.
“Bukan karena kamu sayang, kamu gak bersalah sama sekali.” Gerald
memegang kedua pipiku dan menatapku lekat.
“Iya Gerald, iya, dia ingin kita berdua putus, dan itu karena dia dendam
padaku. Ini semua salah aku.” Kataku lagi.
“Nggak sayang, nggak.” Gerald menarikku ke dalam pelukannya. “Kamu
gak salah sama sekali, kamu hanya perlu berjanji satu hal sama aku, kamu harus
percaya padaku, Mika.” Bisiknya.
***
161 | C i n t a d a l a m K o p i
“Mika, besok bisa ketemuan?” Aku sedang bernyanyi saat Devan tiba-tiba
menelpon dan tiba-tiba meminta bertemu.
Aku menutup jendela, karena udara malam mulai menusuk. “Aku gak
tahu, Van. Ada apa? Ada yang penting?”
“Aku punya masalah yang gak aku mengerti, Mik. Itu berhubungan juga
dengan kamu.” Katanya.
“Masalah apa, Van?” Aku menggigit bibir, apakah dia akan membicarakan
tentang hubungan aku dengannya lagi?
“Aku gak tahu, Mika. Aku gak ngerti sama sekali. Coba kamu tanya Vera
atau Mega.” Katanya lagi.
“Vera dan Mega? Mereka tahu kamu ada di sini?” Ternyata aku salah
menduga, Devan tidak membicarakan tentang hubungan kita.
“Mereka menuduh aku…”
Tut… tut… tut… Sambungan terputus. Aku mencoba menelpon Devan
tapi tidak aktif. Vera dan Mega menuduh apa?
Aku bergegas ke kamar Vera, dengan cepat aku membuka kamar Vera. Ia
sedang memakai masker wajah dan karena kaget maskernya belepotan.
“Mikaaaa!” Seru Vera geram.
Aku meringis dan mengendap-endap masuk ke kamarnya.
162 | C i n t a d a l a m K o p i
“Gagal deh.” Kata Vera sambil cemberut. Ia lalu ke kamar mandi dan
menghapus maskernya. “Ada apa?” Tanyanya saat sudah keluar dari kamar
mandi.
“Kamu tahu Devan di sini? Kamu dan Mega sedang merencanakan apa di
belakangku?” Tanyaku langsung.
Vera langsung terdiam kaku dengan mulut menganga. Jelas ia
menyembunyikan sesuatu. Ia berdeham, “Ehm, jadi begini Mika.” Vera
menggaruk kepalanya, “Aku harus bercerita mulai dari mana?”
Aku melotot menatapnya. “Oke, aku cerita. Waktu itu di rumah sakit,
Mega bilang kalau dia melihat Devan di hari kecelakaan Gerald. Lalu aku waktu
itu sengaja melihat ponsel kamu dan mencari sms dari Devan, ternyata benar
kamu dan Devan berkomunikasi lagi.”
“Terus?” Tanyaku tidak sabar.
“Aku dan Mega membicarakan tentang orang yang dilihat Andre sebelum
Gerald kecelakaan, awalnya aku menyangka itu Bobi. Tapi setelah tahu kalau
kamu dan Devan berkomunikasi lagi dan mempunyai hubungan perasaan yang
lebih, jadi Mega mengambil kesimpulan kalau Devan ingin kembali sama kamu
dan membuat kamu putus sama Gerald.”
Aku menganga tak percaya mendengar penuturan Vera.
163 | C i n t a d a l a m K o p i
“Kemarin aku dan Mega menemui Devan, dan menanyakan hubungan
kalian, perasaan satu sama lain. Devan bilang kalau dia memiliki kesempatan dia
ingin kembali sama kamu.”
“Lalu yang membuat kalian menarik kesimpulan kalau pelakunya itu
Devan apa? Gak masuk akal Vera.” Aku terbawa emosi.
“Memang gak ada yang masuk akal, Mik. Kita mau menuduh Bobi juga
gak masuk akal, coba kapan terakhir kali dia muncul di hadapan kita? Dan hari itu
Devan berada di rumah sakit dengan keadaan gelisah. Mungkin saja dia merasa
bersalah atas Gerald.”
“Devan berada di rumah sakit itu karena dia mengantar aku Vera. Aku gak
terima kalau Devan dituduh mencelakakan Gerald. Itu semua salah Bobi, dia yang
melakukan terror padaku, itu kan yang kamu bilang?”
“Iya, awalnya aku pikir itu Bobi. Aku sudah menghubungi adik Bobi dan
menanyakan keberadaannya selama ini, lalu adiknya bilang Bobi berada di
London, Mika.”
“Tapi itu bukan Devan!” Seruku tidak terima kalau Devan disalahkan.
“Kamu masih sayang sama Devan?” Tanya Vera. Aku hanya menunduk
tidak berani menjawab. “Oke, aku gak akan bilang lagi kalau pelaku adalah
Devan. Ini masalah lain. Kamu tahu Mika bagaimana perasaan Gerald jika
mengetahui kamu dan Devan?”
***
164 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku Salah Apa?
Akhir minggu ini aku, Vera, Mega, dan Gerald memutuskan untuk pulang
ke rumah. Aku sangat merindukan mama dan papa, pasti mereka berdua kesepian
karena tidak ada aku lagi di rumah. Gerald mengemudikan mobilnya dengan
santai.
‘Van, aku pulang ke rumah.’
Delivered to:
DR
+6281990787xxx
Tidak ada balasan, sampai empat jam kemudian ketika Gerald
menghentikan mobilnya di depan rumahku.
“M, maaf ya aku gak bisa mampir dulu.” Kata Gerald.
“Gak apa-apa G. Nanti aku salamin aja ke mama. Kamu hati-hati ya,
jangan ngebut.” Kataku. Vera dan Mega sudah diantarkan lebih dulu karena
rumah mereka terlewati lebih dulu.
Aku mengembuskan napas dan berbalik menatap rumahku tercinta.
“Mama!” Seruku sambil berjalan masuk. Mama yang sedang berada di dapur ke
depan menyambutku.
“Mika, sayang.” Mama memelukku. “Kamu sehat?”
165 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mengangguk, “Papa mana? Belum pulang, Ma?”
“Belum, kamu istirahat dulu. Mama membuat kue kesukaan kamu.” Kata
Mama lalu kembali ke dapur.
Aku melangkah masuk ke kamarku. Aku juga merindukan kamar ini. Ah,
rasanya seperti mimpi aku pulang. Aku mengempaskan tubuh di atas tempat tidur
dan melihat ponselku. Devan sama sekali tidak membalas sms dariku. Aku
khawatir dia memang memutuskan tidak mau berhubungan denganku lagi gara-
gara telah dituduh mencelakakan Gerald.
Aku tahu aku harus mulai memikirkan siapa yang akan kupilih antara
Gerald atau Devan, tapi itu adalah pilihan tersulit sepanjang hidupku. Aku tidak
bisa memilih. Oh, God, betapa egoisnya aku yang tidak ingin kehilangan salah
satu diantara mereka berdua.
***
“Vera, aku takut kehilangan Devan lagi. Sejak kemarin dia sama sekali
gak balas sms aku, Ver.” Paginya aku langsung menelpon Vera karena cemas.
Terdengar suara embusan napas Vera. “Kamu memang udah kehilangan
dia sejak lama kan, Mik?” Aku diam mendengar kalimat Vera. “Mika, aku gak
pernah tahu sedalam apa kamu sayang sama dia, tapi ingat, Mik, dia pernah
khianatin kamu.”
166 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. “Gerald udah
datang, Ver.” Aku menutup telpon dan keluar menghampiri Gerald yang sedang
berbincang dengan Papa.
Aku pamit pada Mama dan Papa untuk pergi bersama Gerald. Tapi saat di
perjalanan Gerald diam saja, biasanya mengajakku mengobrol atau bercanda tapi
kali ini dia hanya diam. “Kita mau ke mana?” Tanyaku membuka suara.
“Mall.” Gerald menjawab tanpa menatapku.
Setelah itu aku memutuskan untuk diam sampai tiba di mall. “Kayaknya
kalau nonton gak ada yang rame, G.” Kataku setelah melihat film apa saja yang
sedang tayang.
“Aku ngajak kamu ke sini bukan untuk nonton.” Gerald menarik tanganku
menuju department store. Gerald melepaskan tanganku dan berjalan sendiri
menuju tempat pakaian cewek.
Aku diam, melihat punggung Gerald dari kejauhan menebak-nebak apa
yang ada dipikirannya saat ini. Ia mengambil beberapa potong kemeja, satu dress,
dan sepasang jaket kulit couple yang dipakaikan pada manekin. Setelah itu ia
menuju kasir dan membayar.
Gerald berjalan menuju tempatku berdiri dengn wajah yang tidak aku
kenal, entahlah dia terlihat menyeramkan saat ini. Sejak tadi ia tak memasang
senyum sedikitpun di wajahnya.
“Ikut aku!” Katanya sambil melewatiku.
167 | C i n t a d a l a m K o p i
Tidak ada pilihan lain selain mengekor kemana ia pergi. Ia menuju
electronic centre. “Kamu mau beli ponsel, G?” Tanyaku heran untuk apa ia datang
ke tempat ini.
Gerald tidak menjawab, ia melihat tablet keluaran terbaru. Tidak perlu
waktu lama, dalam lima menit tablet itu sudah berada di tangannya. Aku melihat
Gerald sangat kerepotan membawa semua tas belanjanya. “Sini aku bantu, G.”
Aku meraih kantong belanjaan baju tadi.
Gerald menghentakkan tanganku bersama kantong belanjaannya, aku
sedikit oleng karena kaget. Ada apa dengan Gerald? Matanya menatap tajam ke
arahku, tatapan yang sangat menusuk tanpa senyuman.
“Kamu kenapa G?” Tanyaku.
“Kamu yang kenapa!” Gerald membentakku. Beberapa orang di sekitar
kami yang mampu mendengar suara Gerald serentak menoleh. Wajah Gerald
berubah merah padam dan napasnya kian memburu.
“Kita jangan ngomong di sini ya G. Kita ke mobil aja ya.” Aku memegang
tangan Gerald dengan maksud ingin mengajaknya pergi karena aku sangat tidak
nyaman ditatap oleh beberapa orang seperti ini.
Untunglah Gerald menurut. Tapi sesampainya di mobil dia malah diam.
“Aku salah, G?” Tanyaku membuka suara sambil menatap lurus pada dashboard.
Gerald masih diam menatap setir mobilnya.
168 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku kurang apa, Mika?” Tanyanya dengan suara rendah. Aku menoleh
menatapnya. “Apa yang dia miliki dan aku nggak? Apa yang gak bisa aku beli dan
dia bisa? Apa yang bisa dia lakukan dan aku nggak?”
Dia? Jantungku berdetak lebih cepat. Dia siapa yang Gerald maksud? Apa
dia mengetahui tentang Devan?
“Mika, aku udah kasih semuanya. Kasih sayang aku, semua waktu yang
kupunya, kalaupun aku gak bisa menemani kamu, aku ganti dengan membelikan
semua ini.” Gerald menunjuk kantong-kantong belanjanya. “Apa dia bisa belikan
kamu semua ini? Bisa?”
Aku menganga mendengar pertanyaannya, tanganku sudah mengepal
meredam emosi. “Gerald, aku gak pernah minta untuk dibelikan semua ini. Aku
gak pernah sekalipun memandang kamu dari sudut ekonomi. Dan yang harus
kamu tahu, waktu gak akan pernah bisa digantikan dengan semua barang-barang
ini.” Aku menatapnya tajam, “Memangnya aku senang apa dibelikan semua ini?
Aku gak pernah butuh dibelikan semua ini! Aku cuma butuh kamu, Gerald!” Nada
suaraku mulai meninggi. “Picik banget pikiran kamu, kalau kamu pikir kamu bisa
beli semuanya dengan uang kamu.”
“Tapi cewek-cewek aku sebelumnya senang dibelikan semua ini.”
Aku mengembuskan napas kesal, “jangan pernah samakan aku dengan
cewek-cewek matre kamu itu!”
“Tapi kenapa dia bisa…”
169 | C i n t a d a l a m K o p i
“Dia siapa, Gerald?” Teriakku.
Gerald diam, lalu mendesah, “aku tidak tahu namanya.”
“Aku gak pernah menyangka kamu berpikiran seperti ini.” Aku
menatapnya kesal. “Dengar Gerald Elmer, uang bukan segalanya. Entah siapa
yang kamu maksud, tapi aku berani bertaruh, meskipun dia tidak sekaya kamu, dia
jauh lebih baik daripada kamu.”
Gerald menatapku kaget dan terluka. “Mika…”
“Kita putus aja ya, Gerald.” Aku menatap Gerald sungguh-sungguh,
wajahnya terlihat pucat. “Aku gak bisa jalani hubungan, kalau kamu masih
berpikiran seperti ini. Coba hargai orang lain Gerald, bukan dari status sosial, atau
dari apa yang bisa dia beli.” Aku keluar dari mobilnya.
“Mika!” Gerald berteriak. Aku menghentikan langkahku tapi tidak
berbalik. “Itu cuma alasan kamu aja kan supaya kamu bisa dengan dia?”
Dadaku terasa penuh dan mengakibatkan sesak lalu mendesak air mata
bergumul di pelupuk. Sudah cukup, semuanya sudah berakhir sekarang. Aku
kembali melangkahkan kakiku.
“Oke, Mika! Oke, kita putus!” Teriak Gerald lagi.
Aku memejamkan mataku, rasanya teramat sakit. Sekarang, aku sudah
kehilangan Gerald sepenuhnya. Semua sudah berakhir.
***
170 | C i n t a d a l a m K o p i
Sudah setengah jam aku menatap cangkir kopi di hadapanku. Dulu aku
sering sekali datang ke sini bersama Devan, duduk di kursi yang sama,
menatapnya menyesap secangkir kopi dengan nikmat. Sekarang kursi di
hadapanku kosong. Hidupku sunyi seketika.
Masih kuingat raut wajah Gerald yang marah, wajah Gerald saat aku
mengatakan putus, teriakkannya untuk menyetujui hubungan kita berakhir. Aku
termakan emosi, bagaimana mungkin Gerald bisa berpikir hal sepicik itu?
Air mataku masih jatuh satu-satu. Aku mungkin menyesal, mengapa aku
bisa dengan mudah terperangkap emosi. Harusnya aku sudah tahu bagaimana
ucapan Gerald kalau dia sedang termakan amarah. Harusnya aku bisa lebih sabar,
harusnya aku bisa menjadi air. Harusnya.
“Mika.”
Aku mengusap air mata di pipiku dan menoleh pada orang yang
memanggil namaku. “Devan.”
“Boleh aku duduk di situ?” Tanya Devan. Aku mengangguk, Devan
menatap secangkir kopi di hapadanku yang tidak disentuh. Ia duduk dan
meletakkan cangkir kopinya di meja. “Kamu…”
“Aku baik-baik aja, Devan.” Kataku dengan suara sengau. “Kapan kamu
sampai di sini?”
“Kenapa dia sering sekali membuat kamu menangis?” Tanyanya dengan
kening berkerut dan rona khawatir. Devan tidak menjawab pertanyaanku.
171 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku tidak menjawab dan hanya mengembuskan napas panjang.
“Dan membuatmu sering mengembuskan napas panjang seperti itu.”
Tambahnya, lalu menyesap kopinya pelan. “Kamu memesan kopi itu untuk
kembali mengenang… kita?”
“Aku mau pulang. Maaf Devan.” Aku meraih tasku dan berjalan keluar
menyisakan tanda tanya besar dalam benak Devan.
Aku benci harus menjawab pertanyaan Devan, aku tidak bisa mengaku.
Apa yang harus kukatakan bila tadi yang sedang kukenang adalah bukan hanya
dirinya tapi juga dengan Gerald?
Aku memutuskan pergi ke rumah Vera, ternyata di sana ada Mega. Mereka
sedang bermain game di lantai dua. Aku langsung memeluk mereka berdua dan
menangis.
“Kamu kenapa, Mika?” Tanya Vera. Aku hanya diam dan tetap menangis.
“Aku bawakan minum ya.” Kata Mega lalu keluar dan mengambil segelas
air putih di dapur.
“Semuanya udah selesai Ver.” Kataku di tengah isak tangis.
Mega datang dengan segelas air putih. “Kamu minum dulu, Mik. Biar
tenang.” Kata Mega sambil memberikan gelas yang sedang di genggamnya.
Aku menggeleng pada Mega.
172 | C i n t a d a l a m K o p i
“Maksud kamu selesai apa, Mika?” Tanya Vera sambil membereskan
rambutku.
“Aku dan Gerald udah berakhir, Ver.”
Vera kaget dan Mega seketika berwajah tegang. “Kenapa, Mik?” Tanya
Vera dengan lembut dan prihatin. “Kalian bertengkar lagi? Kali ini masalahnya
apa?”
Aku menceritakan semua yang terjadi, setiap detail kecuali saat aku
bertemu Devan.
“Aku kan udah pernah bilang, Mik. Jangan mengambil keputusan saat
kamu marah.” Ucap Vera.
“Tapi Gerald itu memang menyebalkan. Bagaimana mungkin dia bisa
sesombong itu?” Timpal Mega.
“Mungkin Gerald bisa menjadi semarah itu karena cemburu, Mika. Dia
menyombong seperti itu karena tidak ingin kalah dalam mendapat perhatian
kamu.” Kata Vera.
Aku tertegun, Vera mungkin benar. Ya. Vera memang lebih sering benar.
Tapi sekarang semuanya sudah terlambat, Gerald sudah pergi, mungkin dia
membenciku saat ini.
“Veraa!” Terdengar seseorang berseru di bawah.
Aku terperanjat, “Itu suara Gerald, Ver.”
173 | C i n t a d a l a m K o p i
“Vera, kamu di atas ya?” Katanya lagi.
“Aku harus sembunyi dimana Ver?” Aku berdiri dan menengok ke kanan
dan ke kiri mencari tempat yang bisa dijadikan persembunyian.
“Gak usah sembunyi, Mika.” Kata Vera.
Terdengar Gerald menaiki tangga. “Tuh kan, dia udah naik tangga, Ver.”
Mata Mega membulat dan langsung bergegas keluar. Aku dan Vera
menatap Mega dengan kening berkerut. Mega kenapa? Kebelet pipis?
“Gerald stop!” Terdengar Mega berteriak ditimpali teriakan Gerald.
“Woaa!”
Aku dan Vera saling pandang, karena ingin tahu apa yang terjadi maka
tanpa berpikir lagi aku mengikuti Vera keluar dengan segera. Aku melihat Gerald
sedang berpegangan pada pegangan tangga dan hampir jatuh.
“Ada apa? Kenapa?” Tanya Vera menatap Mega dan Gerald.
Mega hanya menunduk sementara Gerald sudah berdiri normal dan
meraba-raba lantai anak tangga dengan tangannya. Setelah itu ia berjalan naik dan
menghampiri kami.
“Minyak.” Gerald mengacungkan tangannya.
Aku dan Vera serempak menganga. “Mbok!” Vera berteriak kepada
pembantunya.
174 | C i n t a d a l a m K o p i
“Bukan si mbok.” Kata Gerald. Lalu ia menoleh pada Mega yang hanya
menunduk.
“Mega?” Aku dan Vera bertanya tak percaya.
“Demi Tuhan aku gak niat mencelakakan kamu Gerald.” Kata Mega pada
Gerald.
“Kamu mau mencelakakan aku, Meg?” Tanya Vera sambil mendekati
Mega. Mega menggeleng pelan. Vera dan Gerald menoleh padaku.
“Aku?” Tanyaku tidak percaya dengan suara bergetar akibat tangisan tadi.
Mega diam saja. Aku menganga, “Tapi kenapa, Meg? Aku salah apa?” Air
mataku jatuh lagi mendapati satu kenyataan baru yang amat pahit ku ketahui.
Gerald menarik tangan Mega dan menariknya ke ruang tv di lantai dua.
“Kamu suruh si mbok bersihkan minyak di tangga.” Katanya pada Vera. Vera
berteriak pada pembantunya yang sedang ada di bawah.
“Ada apa, Meg?” Tanya Vera dengan nada agak tinggi. Terlihat dia marah.
“Aku…” Mega menjawab terbata.
“Jawab Mega! Kenapa kamu mau mencelakakan Mika?” Gerald bertanya
keras dengan mata menyalak marah.
Melihat Gerald seperti itu, aku merasa Gerald masih bersamaku, masih
milikku. Terlihat dia masih peduli padaku. Padahal kenyataannya sejak beberapa
jam yang lalu dia sudah bukan siapa-siapaku lagi.
175 | C i n t a d a l a m K o p i
“Karena kamu Gerald!” Mega berteriak di hadapan Gerald, bibirnya
bergetar. Aku menganga karena kaget. Mega menatapku dengan tatapan melemah,
“Mika, aku gak mempunyai maksud untuk mencelakakan kamu.”
“Gak punya maksud? Lalu dengan menabur minyak di tangga seperti tadi,
itu bukan maksud?” Teriak Gerald.
“Mega kamu keterlaluan.” Tambah Vera.
Aku yang masih shock dengan semua yang kudengar selama kurang dari
sepuluh menit terakhir, hanya berdiri kaku tak dapat bersuara dan tak dapat
bergerak. Aku tidak bisa memercayai semua ini, bagaimana mungkin seorang
sahabat yang sudah lama kupercaya ternyata mempunyai maksud untuk
mencelakakan diriku sendiri?
“Mega kamu punya otak kan? Bagaimana kalau yang jatuh bukan Mika?”
Tanya Gerald tajam.
“Aku minta maaf.” Suara Mega bergetar.
“Kamu bisa jelaskan semuanya Mega?” Tanya Vera. Ia menarik lenganku
untuk duduk di sebelahnya.
Mega mengangguk kaku. “Aku… aku…” Mega terbata.
“Cepat jelaskan!” Gerald membentak.
176 | C i n t a d a l a m K o p i
“Ini tidak adil. Aku yang terlebih dulu suka pada Gerald, aku yang lebih
dulu jatuh cinta pada Gerald, tapi kenapa pada akhirnya Mika yang memiliki
Gerald?” Mega mulai menjelaskan.
Aku, Vera, dan Gerald serempak menatap Mega tajam.
“Jadi ini semua cuma karena Gerald? Kamu suka sama dia?” Aku tidak
bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
Mega menggeleng, “alasan aku menabur minyak di lantai karena dia sudah
mencelakakan Gerald. Jadi aku ingin membuatnya merasakan bagaimana
khawatirnya saat aku tahu Gerald kecelakaan karena dia.”
“Dia siapa?” Aku, Vera, dan Gerald bertanya hampir bersamaan.
Mega menatapku, “dia yang sudah lama tidak kamu pedulikan. Dia sangat
mencintai kamu tapi kamu tidak pernah mau melihatnya lagi. Dia yang sudah
membuat Gerald celaka.”
DEG! Siapa yang Mega maksud?
“Bobi?” Tanya Vera.
Mega langsung menggeleng. “Fajar.”
“Apa?” Aku dan Vera serentak bertanya. Gerald terlihat bingung. “Jadi dia
juga yang sering menelpon Mika tengah malam?”
“Siapa Fajar?” Tanya Gerald.
177 | C i n t a d a l a m K o p i
“Aku menyesal, Mika. Setelah tahu kalau kalian sudah putus, aku berniat
membersihkan minyak itu, tapi ternyata Gerald datang. Aku minta maaf.” Mega
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Tidak bisa, kamu dan Fajar harus bertanggung jawab! Ini tindak kriminal,
percobaan pembunuhan!” Kata Gerald.
Mega menatap Gerald memelas, “aku mohon Gerald, maafkan aku. Aku
tidak ada maksud untuk membunuh siapa-siapa, kami hanya ingin kalian putus.”
Mega menunduk. “Aku pindah rumah kos karena gak tahan lihat kalian berdua,
aku sampai berusaha menjadi seperti Mika karena aku ingin kamu lihat aku
Gerald. Aku ingin kamu balas perasaan aku.”
“Ya Tuhan, Mega. Ini semua gak masuk akal. Kenapa kamu bisa setega itu
sama aku cuma gara-gara Gerald? Kita sahabatan gak seminggu dua minggu, 4
tahun Meg, 4 tahun!” Rasa sakit dihatiku seketika mengganda. Vera mengusap
punggungku pelan.
“Dan masalah Tasya juga kerjaan kamu?” Tanya Vera.
Mega mengangguk lemah.
Tiba-tiba aku seperti kehilangan kemampuan untuk membedakan antara
mimpi dan kenyataan, antara realitas dan ilusi. Mengapa kenyataan selalu
berbanding terbalik dengan harapan?
178 | C i n t a d a l a m K o p i
Mega menatapku dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Tatapannya
menusuk tetapi bersaput air bening di pelupuknya. Antara seakan ingin marah dan
menyesal. Tapi dia tak mengucapkan pembelaan apapun.
“Suruh Fajar ke sini atau aku laporkan ke polisi!” Ucap Gerald tegas pada
Mega.
“Berarti akar masalahnya adalah aku.” Kataku pelan dengan pandangan
yang memburam. Mega mengangkat wajahnya melihatku, Gerald dan Vera
hampir serempak menoleh padaku. “Fajar menjadi seperti itu karena aku
menolaknya dan selalu mengabaikannya, dan Mega bisa berbuat setega ini karena
aku merebut Gerald darinya.”
“Kamu gak pernah merebut aku dari siapa-siapa.” Gerald berkata.
Ya Tuhan, itu memang benar. Tapi Mega tidak merasa demikian, Mega
merasa aku yang telah merebut Gerald darinya sehingga menganggapku
musuhnya.
Hening. Tidak ada yang berbicara. Vera hanya mengusap punggungku
menenangkan sambil berbisik pelan mengatakan bahwa bukan aku yang salah.
“Kamu harus tahu satu hal, Mega. Dulu, aku menganggap kamu sebagai
temanku juga, sejak pertama kali kita berkenalan. Tidak lebih. Kamu mau berubah
seperti Mika dengan cara apapun, kamu tetap kamu, Mega. Bahkan aku lebih suka
Mega yang sebenarnya, gak perlu pakai rok atau pakai bando.” Gerald berbicara
setenang mungkin. “Sekarang, menganggap kamu sebagai teman pun rasanya
179 | C i n t a d a l a m K o p i
sulit. Aku gak suka cewek yang berotak kriminal, apalagi sama sahabatnya
sendiri, sama orang yang aku sayang.”
Aku mengangkat wajahku menatap Gerald. Telingaku mendengar jelas
empat kata terakhir dari kalimatnya dan otakku merekamnya dengan cepat lalu
memutar ulang dalam kepalaku, membuatku melupakan kejadian di mall siang
tadi.
Mega menunduk dan menangis. Aku yakin dia merasa lebih sedih saat
mendengar Gerald tidak mau memaafkannya daripada mendengar aku yang tidak
memaafkannya. Dan meyakini opini itu membuatku semakin merasa sakit.
“Aku pulang ya, Ver.” Bisikku pada Vera.
Vera menatapku prihatin. “Kita selesaikan masalah ini dulu ya Mik.” Kata
Vera.
Aku mengeleng pelan, “ini semua udah selesai kan? Persahabatan aku dan
Mega udah selesai, aku juga udah gak mau dengar lagi soal Fajar, dan aku juga
udah selesai sama Gerald, jadi Mega bisa miliki Gerald sekarang.” Kataku sambil
terisak.
Gerald mengerutkan keningnya seolah protes dengan apa yang sudah aku
ucapkan. Mega malah semakin menunduk. Ia tidak melakukan pembelaan apapun,
dan hal itu menegaskanku bahwa Mega memang tidak ingin mendapat maaf
dariku.
180 | C i n t a d a l a m K o p i
“Lalu kamu mau membiarkan Mega dan Fajar lolos begitu saja? Ingat
Mik, mereka mencoba mencelakakan kamu, mencelakakan kita.” Kata Gerald.
“Biarkan saja Gerald, toh aku gak mau berhubungan dengan mereka
berdua lagi.” Ucapku serius.
Mega menatapku dengan ekspresi khawatir.
“Aku juga.” Tambah Vera.
Lalu tatapan Mega beralih pada Vera.
“Aku juga gak sudi.” Sambung Gerald sambil memalingkan wajah dari
Mega.
Mega mulai menangis lebih kencang, “aku minta maaf sama kalian, aku
minta maaf.”
Gerald mencengkram tangan Mega dan memaksanya berdiri.
“Gerald, aku mohon.” Tambah Mega lagi di tengah tangisannya.
Gerald memaksa Mega untuk berjalan mengikutinya menuruni tangga.
Aku mengikuti mereka sementara Vera mengambilkan tas Mega yang ada di
kamarnya, baru mengikuti kami. Gerald mendorong Mega keluar pintu rumah
Vera. “Kamu pulang sana!” Kata Gerald sambil menunjuk keluar rumah.
“Aku cinta kamu Gerald, aku sayang kamu. Kita bisa jadi GM, Gerald
Mega, aku bisa jadi M pengganti Mika. Gerald…”
181 | C i n t a d a l a m K o p i
Gerald menggelengkan kepalanya dan berteriak, “dasar cewek gila!”
BRAKK!
Gerald membanting pintu tepat di depan wajah Mega. Aku hanya
menangis terisak. Mega masih menggedor-gedor pintu beberapa kali sebelum
akhirnya dia menyerah.
“Harusnya kita berbicara dengan Fajar juga.” Kata Vera.
“Aku gak mau.” Kataku cepat. Mengingat semua yang telah ia lakukan
terhadapku terlebih pada Gerald membuat kebencianku semakin bertambah.
“Tapi kan kita butuh bukti kalau yang melakukan itu Fajar, jangan-jangan
Mega hanya asal menyebut nama saja.”
“Cewek bodoh!” Terdengar suara cowok berteriak di luar rumah Vera.
Kami tidak membuka pintu tapi malah melihat melalui jendela. Mega sedang
menangis tergugu di hadapan Fajar yang membentaknya. “Kamu berniat
mencelakakan Mika? Hah? Kamu langkahi dulu mayat aku!” Teriak Fajar.
“Kamu juga membuat Gerald celaka!” Teriak Mega tidak mau kalah.
“Udah aku bilang, aku cuma mau membuat ban motor Gerald kempes saat
dia pakai!” Fajar berteriak lagi.
“Ya udahlah! Percuma kamu teriak sama aku! Mereka udah benci sama
kita! Itu semua gara-gara kamu!” Mega memukul Fajar dengan tasnya dan
berjalan menjauhi rumah Vera. Fajar melihat ke rumah Vera sebelum ia pergi.
182 | C i n t a d a l a m K o p i
“Itu buktinya, Ver.” Kataku pelan sambil mengusap air mata di pipi.
Vera menelan ludah dan mengangguk pelan.
***
Tok.. Tok.. Tok
“Mika, kamu kok belum keluar kamar?” Tanya Mama.
Aku diam menatap langit-langit kamar, lalu menoleh ke jam dinding di
kamarku. Pukul 09.00 WIB. Sepulang dari rumah Vera semalam, aku merasa
enggan keluar kamar. Aku ingin menenangkan diriku sendiri setelah apa yang
baru saja terjadi. Hh…
“Mika, kamu jadi ke Bandung hari ini nggak?” Tanya Mama lagi.
“Nanti aja, Ma.” Jawabku. Aku menunggu jawaban Mama, tapi tidak ada.
Rencananya aku akan kembali ke Bandung hari ini bersama Vera, Gerald, dan
Mega. Ya. Rencana itu dibuat sebelum aku putus dengan Gerald, dan sebelum aku
tahu pengkhianatan yang dilakukan oleh Mega.
Gerald sedang apa? Ya Tuhan, aku merasa sepi tanpa Gerald. Jika
membandingkan antara Gerald dan Devan, keduanya memang berbeda. Aku rasa
Devan bisa lebih mengerti aku, dia tidak pernah marah atau berteriak kepadaku,
tapi Gerald bisa memanjakanku, hampir selalu ada setiap aku butuh dan aku
menyayanginya, menginginkannya. Hhh… apakah kedua orang itu tidak bisa
disatukan saja?
183 | C i n t a d a l a m K o p i
Drrtt… drrtt…
“Iya, Ver.” Sapaku malas.
“Jadi berangkat nggak tuan putri?” Vera bertanya gemas.
“Aku gak berangkat hari ini, Ver. Besok aku bolos aja.” Jawabku lemah.
“Hah? Kenapa?” Vera memekik saking terkejutnya.
“Aku masih kacau, Ver. Aku gak mau ketemu Gerald atau Mega atau
siapapun.”
“Semalam Gerald gak ngomong apa-apa waktu dia mengantarkan kamu ke
rumah?” Tanya Vera penasaran sekaligus heran.
Aku menggeleng, tentu saja Vera tidak bisa melihatnya, tapi dengan aku
diam seperti ini dia langsung mengerti apa jawabanku.
“Semalam Gerald bicara padaku kalau dia amat menyesal, Mik. Dia
termakan cemburu jadi emosinya naik, kamu tahu kan kalau tempramennya
buruk?” Tutur Vera. “Dia sangat menyayangimu, Mik. Aku tahu itu, aku belum
pernah melihat Gerald seperti ini.”
“Seperti bagaimana?” Tanyaku penasaran. “Membelikanku barang-barang
mewah?”
“Bukan. Masalah dia membelikanmu semua barang-barang itu karena dia
terpengaruh mantan-mantannya. Hampir semua mantannya dulu adalah cewek
184 | C i n t a d a l a m K o p i
matre, jadi otak Gerald seolah-olah udah menyeting bahwa cewek akan senang
kalau dibelikan barang-barang mahal.”
“Tapi aku gak gitu.” Sangkalku merasa tersinggung.
“Iya, aku tahu, Mika. Aku tahu kamu lebih dari siapapun, yaa setelah
ibumu tentunya.” Kata Vera.
“Aku harus bagaimana? Bagaimana dengan Devan?” Akhirnya aku
menanyakan satu hal yang tak hentinya menggangguku.
“Mik, hati kamu tahu siapa yang harus kamu pilih. Aku gak bisa
menyebutkan satu nama untuk kamu. Jauh dalam hati kamu, kamu udah tahu
jawabannya, Mik.”
“Aku gak tahu, Ver. Aku gak tahu. Aku merasa jadi orang paling egois
dan serakah di dunia. Aku sayang mereka berdua, aku ingin mereka berdua, aku
gak mau kehilangan mereka berdua, Vera.” Aku memejamkan mataku, meresapi
setiap rasa bimbang yang menjalari hati.
“Mika, dia yang selalu hadir dalam pikiranmu tanpa pernah kamu sengaja
dan tanpa pernah kamu cipta, dia adalah orangnya. Orang yang selalu kamu
sayang, bukan orang yang ketika dia menghubungimu, kamu baru merasa kalau
kamu menyayanginya.”
Aku mencerna setiap kalimat Vera dengan lancar. Begitukah? Aku
mengembuskan napas panjang dan menutup mata. Ya. Aku tahu jawabannya.
185 | C i n t a d a l a m K o p i
186 | C i n t a d a l a m K o p i
Is it over?
Aku melihat jam tanganku sekali lagi sebelum memasuki kafe kopi di
dekat SMA-ku. Dulu aku dan Devan sering ke sini hanya untuk sekedar
menontonnya menyesap kopi atau untuk bernyanyi. Sudah pukul 13.17 WIB, aku
terlambat 17 menit, apakah Devan sudah tiba dan mau menunggu?
Aku mendorong pintu kaca kafe dan langsung disambut ramah oleh
pelayan di sana. Pandanganku menyapu seluruh ruangan mencari sosok Devan.
Ada. Dia sedang duduk di meja paling pojok sambil membaca sebuah majalah, di
hadapannya ada satu cangkir kopi yang sudah tidak beruap, tanda mulai
mendingin.
“Udah lama?” Tanyaku saat di hadapannya.
Dia mengangkat kepala dan tersenyum lalu menggeleng. Aku duduk di
kursi di hadapannya sambil mengedarkan pandang ke seluruh ruangan sekali lagi.
Aku khawatir tiba-tiba dipergoki Gerald. Tunggu, kenapa aku harus
mengkhawatirkan Gerald? Otakku mengoreksi.
“Nyari siapa?” Tanya Devan sambil memutar badannya dan melihat ke
seluruh ruangan.
“Nggak, nggak nyari siapa-siapa.” Jawabku sambil membetulkan
dudukku.
“Kamu baik-baik aja kan?” Tanya Devan hati-hati.
187 | C i n t a d a l a m K o p i
“Seperti yang kamu lihat.” Jawabku singkat.
“Aku udah dengar semuanya. Kamu yang sabar ya, Mega dan Fajar hanya
khilaf.”
“Kamu tahu dari siapa?” Tanyaku sambil mengerutkan kening.
“Vera. Kemarin dia meminta maaf karena udah menuduhku tempo hari,
lalu dia menceritakan semuanya.”
Aku menunduk, teringat kejadian kemarin. “Itu semua salah aku, Van.
Kalau aja aku gak nolak Fajar, kalau aja aku gak pernah pacaran dengan Gerald,
dan kalau aja aku tahu kalau Mega menyukai Gerald. Aku baru ingat, Van, saat
Mega pertama kali bertemu dengan Gerald, dia pernah bilang kalau Gerald itu
ganteng. Aku pikir Mega gak benar-benar menyukai Gerald. Bodohnya aku…”
“Cukup, Mika, cukup. Ini semua gak sepenuhnya kesalahan kamu. Kalau
semua kejadian sebelumnya dikaitkan, maka yang paling salah adalah aku. Kalau
aja aku gak ninggalin kamu, kamu pasti sekarang masih sama aku dan semua itu
gak akan pernah terjadi.”
Aku menatap mata Devan, dadaku bergemuruh seakan ingin mengatakan
bahwa aku memang masih menyayanginya.
“Kamu tahu, Mika? Selama ini aku terus dihantui rasa bersalah itu,
penyesalan itu. Itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.” Kata Devan
sungguh-sungguh. Tersirat penyesalan yang amat dalam dari sorot matanya.
“Besok aku harus kembali ke Samarinda.”
188 | C i n t a d a l a m K o p i
“Apa?” Aku berharap telingaku salah mendengar.
“Aku gak minta banyak dari kamu, Mik. Aku hanya ingin kamu
mendengarkan aku sekali ini.” Devan mengembuskan napas panjang. “Aku masih
menyayangi kamu, Mik. Sama seperti dulu, gak pernah berubah. Setiap malam,
kamu tahu-tahu jadi hantu yang selalu menggangguku, aku seperti gak bisa lari
dari kamu. Ibarat berjalan dalam labirin, setiap aku melangkah, aku kembali
melewati lorong yang sama,seperti gak ada jalan keluar. Maaf, Mika, aku masih
menginginkanmu untuk jadi pacar aku lagi.”
Aku menganga mendengar penuturannya. Ya Tuhan, aku menyayangi
sosok dihadapanku yang sedang menatap memelas ini. Iya, aku menyayanginya.
“Tapi sepertinya itu gak mungkin sekarang, atau bisa jadi selamanya.”
Tambah Devan.
“Kenapa?” Keningku berkerut semakin dalam mendengar lanjutan
kalimatnya.
“Aku tahu kamu lebih menyayangi dia.” Devan tersenyum, “cowok
indojerman itu. Gerald.” Lanjutnya. “Benar, kan?”
Bagaimana Devan tahu? Bahkan aku sendiri saja tidak yakin.
“Aku gak akan memaksa kalau memang pilihan kamu adalah dia. Aku
rela, toh dia juga sangat menyayangimu.” Devan kembali tersenyum penuh
misteri.
189 | C i n t a d a l a m K o p i
“Bagaimana kamu tahu isi hati seseorang?”
“Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan Gerald, dengan sedikit
memancingnya, aku jadi tahu kalau dia memang menyayangimu.”
“Bertemu?” Tanyaku masih belum mengerti.
Devan mengangguk. “Aku hanya butuh penegasan dari kamu, apakah
kamu memilih dia atau memilihku.”
Aku mengusap keningku yang mulai terasa pening. Padahal aku datang ke
sini tujuannya adalah untuk ini, lalu bagaimana mungkin ketika saatnya tiba
kalimat itu terasa sangat membebani lidah?
Saat berbicara dengan Vera di telepon aku begitu yakin kalau pilihanku
adalah Gerald. Tapi setelah aku melihat Devan, mendengarkan kejujuran serta
penyesalannya, aku menjadi sangat ingin memilihnya. Devan lebih tenang
dibandingkan Gerald. Tapi…
“Mika…” Panggil Devan lembut.
Aku menatap matanya lekat. “Maaf, Devan, aku terlanjur menyayangi
Gerald.” Aku menundukkan wajahku tidak ingin melihat raut kecewanya.
“Jangan menggunakan kata terlanjur, Mika. Kata terlanjur hanya
digunakan oleh orang yang menyesal.” Devan tersenyum dan mengusap tanganku
yang berada di atas meja.
190 | C i n t a d a l a m K o p i
Menyesal? Entahlah, aku belum tahu apakah aku menyesal telah
menyayangi Gerald dan tidak bisa memilih Devan, atau malah sebaliknya. Dan
saat ini sedang banyak pertanyaan yang muncul dalam hatiku. Apakah setelah ini
aku dan Devan benar-benar berakhir? Apakah setelah ini Devan akan berhenti
menyayangiku? Apakah Devan akan melupakanku? Ya Tuhan, mengapa aku
khawatir?
“Lalu setelah ini apakah kopi dalam gelas itu akan tetap ada?” Tanyaku
hati-hati.
Devan tersenyum, “selama masih ada kopi dalam gelas di dunia ini.
Selama itu aku masih menyayangimu.”
Aku tersenyum lega mendengarnya. Tuhan, ijinkan aku menjadi egois
untuk hal ini saja.
“Mau naik?” Tanya Devan sambil menunjuk tempat live music. Aku
mengangguk setuju dan berjalan menuju stage.
Devan meraih gitar dan memasang mic di stand mic-nya, aku menatapnya
seperti baru kemarin kita berada di sini untuk menyanyi. Devan menganggukan
kepalanya tanda sudah siap, aku membalasnya.
Ia mulai memainkan intro lagu Evanescence – Broken. Ah, rasanya seperti
kembali ke masa lalu.
191 | C i n t a d a l a m K o p i
“I wanted you to know, I love the way you laugh…” Devan mulai
bernyanyi dengan pandangan yang tidak lepas dariku, seolah ia ingin mengatakan
kalimat itu untukku.
“Cause I’m broken when I’m lonesome and I don’t feel right when you’re
gone away…” kami bernyanyi bersama dan saling bersitatap.
“You’ve gone away, you don’t feel me here anymore…” Devan menatapku
lekat saat menyanyikan satu lirik itu. Aku merasa tersinggung dan tidak lagi
berani menatapnya.
Usai lagu dinyanyikan, semua pengunjung kafe saat itu langsung bertepuk
tangan. Mereka tidak tahu kalau emosi yang tercipta di stage tadi adalah emosi
yang sebenar-benarnya. Aku kembali ke tempat duduk disusul Devan.
“Aku harus pergi, Mik.” Kata Devan.
“Aku gak pernah pergi, Van. Kamu harus tahu kalau aku ada.” Aku ingin
menjawab lirik yang membuatku tersinggung tadi.
Devan mengangguk dan tersenyum, “tentu. Kamu selalu ada di sini.”
Devan menunjuk dadanya. Ia sudah menyampirkan tas di bahunya. “Maaf, aku
gak bisa mengantar kamu pulang,” Devan menyadari sesuatu lalu tertawa, “aku
lupa, sejak dulu kan aku gak pernah bisa mengantar kamu pulang.”
“Gak apa-apa.” Jawabku.
192 | C i n t a d a l a m K o p i
Devan menatapku lekat sekali lagi. “Kamu harus janji, kamu bakal
bahagia sama Gerald.”
Aku mengangguk sekali. “Van, aku boleh bertanya satu hal lagi?”
Devan mengangkat alis matanya, menunggu lanjutan kalimatku.
“Dari mana kamu tahu Gerald benar-benar menyayangiku?”
Devan tersenyum, “dia mau mengalah padaku demi kamu tetap
bersamanya. Cuma cowok yang benar-benar menyayangi ceweknya lah yang bisa
melakukan hal itu.”
Setelah itu Devan melangkah menuju pintu kafe dan keluar, satu langkah
dua langkah tiga langkah hingga menghilang dari pandanganku. Aku kembali
duduk di kursi kafe. Sendirian di meja pojok seperti ini membuatku merasa sangat
hampa. Mataku tertuju pada secangkir kopi di meja milik Devan yang terlihat
masih agak penuh.
Apakah ini adalah keputusan benar? Melepaskan Devan untuk seseorang
yang bahkan aku tidak tahu dia sedang dimana. Apakah semua yang dikatakan
Devan tentang Gerald adalah benar bahwa Gerald sangat menyayangiku? Aku
memutuskan meraih cangkir kopi Devan hendak meminumnya, tapi belum sempat
bibirku bersentuhan dengan bibir cangkir tiba-tiba ada sepasang tangan mencegah.
Aku mengangkat kepalaku pelan menyusuri sepasang tangan ini.
“Gerald!” Aku memekik tak percaya. “Bukannya kamu sudah berangkat
bersama Vera?”
193 | C i n t a d a l a m K o p i
Gerald menyimpan cangkir kopi itu di meja. “Bukannya kalau kamu
minum kopi perutmu akan langsung sakit?” Ia sama sekali tidak menggubris
pertanyaanku.
“Memangnya apa pedulimu?” Tanyaku sok ketus.
“Jelas aku peduli, aku gak mau terjadi apa-apa sama orang yang paling aku
sayang.” Kata Gerald dengan tegas. “Mika, kamu mau kan maafin aku dan kita
pacaran lagi?”
Aku diam menatapnya.
“Aku tahu, aku kemarin terbawa emosi. Tadi pagi dia menemuiku lagi dan
menjelaskan semuanya kalau di antara kalian berdua memang gak ada apa-apa.”
Lanjut Gerald.
Aku mengerutkan kening. Dia lagi?
“Aku janji, Mik. Aku akan belajar mengontrol emosi aku, aku akan belajar
lebih dewasa lagi. Buat kamu, Mika.”
“Kalau kamu ingkar janji?” Tanyaku.
“Kamu boleh marah satu jam.”
“Apa? Cuma satu jam?” Tanyaku protes. “Kalau kamu ingkar janji, kita
putus.” Tantangku. Gerald terlihat sedang berpikir keras.
“Iya, aku setuju. Aku gak akan pernah ingkar janji.” Jawab Gerald mantap.
“Jadi kita pacaran lagi kan?” Tanyanya dengan raut wajah senang.
194 | C i n t a d a l a m K o p i
Aku menganggukan kepalaku. Senyumnya mulai mengembang. “Eh,
ngomong-ngomong, kamu udah tahu dia yang kamu maksud itu namanya siapa?”
Gerald menganga bingung lalu menggeleng, dan giliran aku yang
menganga. “Kok bisa?” Tanyaku tidak habis pikir.
“Aku lupa nanya, Mik.” Kata Gerald sambil menggaruk kepalanya yang
tidak gatal.
“Ciri-cirinya?” Tanyaku mulai putus asa.
Bola mata Gerald memutar ke atas, tanda ia sedang berpikir, “hmm…
untuk ukuran cowok, dia ganteng, rambutnya agak panjang, tidak terlalu tinggi,
kulit tidak putih tidak coklat, alis tebal, hidung tidak terlalu mancung, memakai t-
shirt dan celana jeans setiap dia menemuiku.
Aku mulai menebak-nebak siapa yang Gerald maksud. “Lalu yang
memberitahumu aku ada di sini?”
“Dia juga.”
Aku tahu siapa dia. Aku melirik secangkir kopi di dekat tanganku.
“Lalu tadi pagi dia bicara apa?” Tanyaku penasaran.
“Dia meminta maaf atas kejadian kemarin – kemarin, lalu dia bilang itu
semua untuk kebaikan kita berdua.”
“Terus kamu percaya begitu aja?”
195 | C i n t a d a l a m K o p i
“Dia menjanjikan kamu akan kembali, aku gak begitu aja percaya, tapi
karena penasaran makannya aku memutuskan datang ke sini. Ternyata dia nggak
berbohong.” Jawab Gerald jujur. “Dan dia benar, aku akan menyesal kalau tidak
datang ke sini.” Ia tersenyum, senyum yang selalu aku rindukan. Satu senyum
yang tidak pernah dimiliki orang lain di dunia ini.
“Memangnya apa yang dia katakan kemarin sampai membuat kamu
semarah itu?”
***
196 | C i n t a d a l a m K o p i
Epilog
Sabtu pagi Gerald memutuskan untuk jogging di sekitar komplek
rumahnya. Ia membuka pintu pagar dan menarik napas panjang, menghirup udara
dalam-dalam hingga memenuhi seluruh rongga paru-parunya lalu ia mulai berlari.
Saat ia melewati taman komplek ia tertarik untuk berhenti sejenak dan mengamati
tempat ini.
Ia duduk di banggu taman dan meregangkan otot kakinya. Tiba-tiba ada
sepasang kaki berdiri di hadapannya sambil menyodorkan sebotol air mineral.
Gerald menolak dengan halus. Cowok itu duduk di samping Gerald.
“Mika cewek yang baik kan?” Cowok itu yang ternyata Devan mulai
membuka suara. Gerald mengerutkan kening sambil menoleh pada Devan dengan
tatapan tidak mengerti. “Kamu udah kasih apa untuk membuat dia bahagia?”
Lanjut Devan dengan tatapan masih lurus menatap pohon mangga yang tepat
berada tujuh meter darinya.
“Maaf?” Tanya Gerald tidak mengerti.
“Mika Bellvania.” Tegas Devan. “Kamu tahu gak? Ada sesuatu yang bisa
membuat dia bahagia tapi kamu gak punya itu.”
“Apa?” Tanya Gerald.
“Iya, sayangnya aku yang punya sesuatu untuk membahagiakan Mika.”
Kata Devan lagi sambil menoleh pada Gerald.
197 | C i n t a d a l a m K o p i
Gerald yang sangat mudah terpancing emosinya, wajahnya mulai merah
padam. “Apa yang gak aku punya buat Mika?”
“Mika bisa lebih bahagia denganku.” Kata Devan dengan santainya.
Gerald langsung berdiri dan mencengkram kerah baju Devan sampai
membuat Devan berdiri. “Kamu siapa? Apa hubungan kamu dengan Mika? Hah?”
Napas Gerald mulai memburu.
“Lepasin aku atau aku akan membuat Mika melepaskan kamu!” Kata
Devan dengan tenang tapi penuh penekanan di setiap katanya.
Gerald akhirnya melepaskan cengkraman Devan. Devan merapikan
bajunya dan mulai melangkah pergi, ia telah mendapatkan apa yang ia cari dari
Gerald.