buletin teknika #01/2014

16
Teknika FTUI @detikteknika Teknika FTUI Kapan Film Indonesia Berjaya di Tanahnya Sendiri? Liputan Utama Liputan Khusus Melihat Geliat Perfilman Mahasiswa UI Lewat UKM Sinematografi Festival Film: Sempitnya Ruang Gerak di Negeri Sendiri Riset & Kajian Edisi 01 April 2014 www.teknikaftui.org

Upload: teknika-ftui

Post on 13-Mar-2016

269 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: BULETIN TEKNIKA #01/2014

Teknika FTUI @detikteknika Teknika FTUI

Kapan Film Indonesia Berjaya di Tanahnya Sendiri?

Liputan Utama

Liputan KhususMelihat Geliat Perfilman Mahasiswa UI Lewat UKM Sinematografi

Festival Film: Sempitnya Ruang Gerak di Negeri Sendiri

Riset & Kajian

Edisi

01April2014

www.teknikaftui.org

Page 2: BULETIN TEKNIKA #01/2014

PAGI

E D I S IP E R D A N A

2014

Diterbitkan oleh:

Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia seti-ap tanggal 30 Maret. Perfilman Indonesia pernah berada pada masa-masa keemasannya. Film Indonesia pun pernah juga bera-da pada masa kegelapannya. Ingin tahu seputar dunia perfill-man Indonesia? Selamat mem-baca Buletin Teknika Edisi Pertama Tahun 2014.

EDITORIAL

PENANGGUNG JAWAB Pemimpin Umum BSO Teknika - Maulidya Falah PEMIMPIN REDAKSI Dessy Ayu Lestari REDAKTUR PELAKSANA M Angga Dexora EDITOR Maulidya Falah, Raovina Haq Ra, Fitri Suryani

REPORTER Muhammad Angga Dexora, Akwila Eka Meliani, Muham-mad Zakki Fuadi, Farhan Mubarak, Maria Helena Lado, Raovina Haq Ra, Lomi Djari RISET DAN KAJIAN Shalsa Nabila, Prita Tri Wulandari, Fitriana Bahtiar FOTOGRAFER Riansyah Sumajaya, Fadly Achmad, Andhika Kumara Djafri, Ainu Safirra DESAIN Achmad Maulana Ibrahim, Pradipta Baskara, Muhammad Nazih Rabbani, Tsana Fitri Zhafira, Mega Ilham, Nita Diano-va, Sekar Syifa SIRKULASI & PRODUKSI Valida Herianty, Noralifa Hapsari Fairuz Hanifah, Rahmat Dani, Zanetha Hodeka

SUSUNAN REDAKSI

Daftar Isi

Sampul 1

EDITORIAL2

LIPUTAN UTAMA 3

LIPUTAN KHUSUS6

RISET & KAJIAN 8

RESENSI10

POJOK SANTAI 11

PRESS RELEASE12

PHOTO STORY 14

Page 3: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

Masih ingatkah anda dengan kalimat di atas yang diucapkan Dedy Miz-war dalam film Naga Bonar? Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup dimana gambar gerak itu biasanya disimpan dalam media seluloid tipis dalam bentuk gambar negatif, meskipun kini film bukan hanya dapat disimpan dalam media selaput seluloid saja. Sekarang film dapat disimpan dan diputar kembali dalam media digital. Mengutip pada laman Wikipedia.org, pada awalnya, di tahun 1878 di saat be-berapa pria Amerika berkumpul dan melaku-kan perbincangan ringan, muncul sebuah per-tanyaan “Apakah keempat kaki kuda berada pada posisi melayang pada saat bersamaan ketika kuda berlari?”. Pertanyaan itu terjawab ketika Eadweard Muybridge membuat 16 frame gambar dari kuda yang sedang berlari. Dia mengambil gambar secara berurut seekor kuda yang sedang berlari. Proses pembukti-

annya pun hampir sama dengan konsep film kartun. Terbuktilah kalau ada satu momen di-mana kaki kuda tidak menyentuh tanah saat berlari kencang dan itu menjadi gambar ger-ak pertama di dunia. Era awal perfilman Indonesia sendiri diawali dengan didirikannya bioskop perta-ma di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep. Film pertama yang dibuat di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heu-veldorp. Era perfilman Indonesia dimulai pada tahun 70-an. Pada era itu, film yang terkenal adalah Si Doel Anak Betawi. Film ini berceri-ta tentang drama keluarga Indonesia yang mengikuti budaya Betawi asli yang diper-ankan oleh Rano Karno sebagai tokoh Doel dan Alm. Benyamin S. sebagai ayah Doel. Selain Si Doel Anak Betawi, film yang terkenal

Kapan Film Indonesia Berjaya di Tanahnya Sendiri?

Oleh: Angga Dexora & Akwila Eka MelianiFoto : Fadly Achmad & Riansyah Sumajaya

“Apa kata dunia?” (Naga Bonar, 1986).

Liputan UTAMA3

Joko Anwar sebagai pembicara pada UI Ideafest 2014 menceritakan awal mula karirnya

Page 4: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

lainnya adalah Pulau Cinta yang diperankan oleh Suzanna Martha Frederika pada tahun 1978. Pada era 80-an, film horor Indonesia mulai menunjukkan taringnya. Film-film horor yang dibintangi oleh Suzanna seperti Malam Satu Suro dan Nyi Blorong sukses di pasar film Indonesia hingga menjadi film terlaris pada ajang Festival Film Indonesia tahun 1983. Film yang terkenal pula pada tahun 80-an ada-lah film-film yang dibintangi oleh Warkop DKI. Warkop DKI beranggotakan Wahjoe Sardono (Dono), Kasino Hadiwibowo (Kasino), dan In-drodjojo Kusumonegoro (Indro). Salah satu judul yang populer kala itu adalah Itu Bisa Dia-tur. Film ini adalah film terlaris nomor empat di Jakarta pada tahun 1984 dengan jumlah pe-nonton sebanyak 541.329 penonton menurut data Perfin. Menurut data Perfin, Catatan Si Boy (1987) merupakan film terlaris ketiga di Jakar-ta, dengan 313.516 penonton. Prestasi terse-but dilampaui oleh Catatan Si Boy II (1988) dengan 475.201 penonton. Sementara itu, Catatan Si Boy IV (1990) dan V (1991) masuk lima besar film terlaris di ibukota, masing-mas-ing dengan 335.125 dan 254.009 penonton. Larisnya film-film Si Boy bisa menjadi petunjuk perihal konteks sosial-politik pada zamann-ya. Menurut pemikiran David Bordwell dalam Poetics of Cinema, penjualan tiket bioskop dapat mencerminkan ideologi massa. Suatu jenis hiburan bisa laris, dalam kasus ini film pop, karena kontennya cocok dengan imajinasi yang ada dalam benak para penonton. Da-lam kasus Indonesia, ideologi massa tersebut bisa dipahami sebagai ideologi yang dirumus-kan oleh pemerintah. Kelima film Si Boy dirilis saat Orde Baru, suatu masa di mana penci-traan masyarakat begitu penting dan dijaga oleh pemerintah. Proses pencitraan tersebut sering berujung pada kontrol pemerintah atas film, lagu, dan buku yang beredar di mas-yarakat. Pada era 90-an, film Indonesia men-galami mati suri. Produksi film hanya menca-pai dua sampai tiga film per tahunnya. Selain itu, tema film yang diangkat kebanyakan berbau seks yang meresahkan masyarakat. Perkembangan televisi swasta juga turut men-jadi pemicu mati surinya perfilman Indonesia. Titik balik dunia perfilman Indonesia dimulai pada era 2000-an. Diawali dengan

Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nu-groho, diikuti oleh Petualangan Sherina karya Mira Lesmana dan Ada Apa dengan Cinta karya Rudi Soedjarwo. Film Petualangan Sheri-na sebenarnya adalah film musikal yang dipe-runtukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak ke-bangkitan kembali perfilman Indonesia. ”Kejayaan film Indonesia itu pada saat era film Ada Apa dengan Cinta dan Janji Joni. Karena memang kualitas filmnya bagus, ada yang ringan dan berat. Contoh yang rin-gan itu seperti film romance, lalu yang berat itu contohnya Modus Anomali”, tutur Tayara Callista, mahasiswi Teknik Industri yang pernah ikut terjun dalam pembuatan film jurusannya. Untuk menghargai tiap insan pem-buat film, maka diadakanlah Festival Film Indonesia. Pada tahun 80-an, Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indo-nesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berku-tat dalam tema-tema yang khusus orang de-wasa. Pada era 90-an tersebut, karena peminat film Indonesia berkurang, maka aca-ra penghargaan film Indonesia yaitu Festival Film Indonesia pun ditiadakan. Namun setelah mucul film-film Indonesia dengan tema berbe-da seperti Petualangan Sherina, acara peng-hargaan yang bergengsi itu kembali diada-kan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun. “Menurut saya kejayaan film Indo-nesia sendiri ada pada saat film Ada Apa dengan Cinta karna memang makna yang disampaikan itu sampai”, ujar Sekar Utami mahasiswi Sastra Inggris UI yang kini menjadi pemain teater di kampusnya. Memang untuk para remaja sekarang, khususnya kaum hawa film bertema percintaan tersebut memang melekat di hati mereka. Beberapa tahun belakangan ini dunia perfilman Indonesia mengalami peningkatan. Film-film yang cukup memper-oleh keberhasilan dari penjualan tiketnya antara lain Laskar Pelangi, The Raid 2: Be-randal, dan Habibie Ainun. Film-film tersebut mengangkat kembali nama perfilman Indonesia yang tadinya sempat padam.

Liputan Utama4

Page 5: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

“Jika kita lihat data yang ada, film yang diliris pertahunnya fluktuatif, biasanya sekitar 100 judul/film. Penonton di Indonesia sendiri juga kurang, negara kita hanya men-jual 60 juta tiket per tahun. Frekuensi menon-ton 0,60 per tahun. Tidak mencapai satu film per tahun”, ujar Joko Anwar saat ditemui di Screening Film UI Idea Festival pada 14 Maret 2014. “Kalau kita lihat Korea Selatan yang mempunyai penduduk 50 juta jiwa, dalam ku-run waktu satu tahun mampu menjual 200 juta tiket yang berarti satu orang di Korea Selatan menonton 4 film di bioskop per tahun. Jadi se-lain movie maker yang kurang, penontonnya juga kurang”, tambah Joko Anwar. Menurut Benni Setiawan, dikutip dari laman film Indonesia.or.id, beliau menyayang-kan perkara distribusi layar bioskop. “Katakan-lah begini, seharusnya ada kesempatan bagi film-film Indonesia untuk jadi tuan rumah. Kasih kesempatan lebih besar agar jumlah orang yang nonton juga semakin banyak. Semen-tara di sini, kalau ada dua layar jatah film asing, jatah layar yang akhirnya kami dapat juga sedikit, lebih terbatas. Sehingga kesem-patan bagi film nasional untuk bertahan lama di layar bioskop juga rendah. Ada yang baru seminggu tayang sudah turun, bahkan ada yang belum sampai seminggu. Sementara kalau diperhatikan, apresiasinya sudah mulai nampak, terutama promosi dari mulut ke mu-lut, itu yang paling efektif. Tetapi balik lagi ke masalah utama, jatah layar filmnya sudah ha-bis, filmnya sudah tidak diputar lagi di bioskop. Lantas bagaimana menontonnya?” Hal seperti ini sering terjadi. Banyak film nasional yang kualitasnya tidak kalah bagus dengan film asing, tetapi masa penayangannya hanya sebentar. “Sebaiknya ada dukungan juga dari pemerintah. Karena film nasional pun sebe-narnya punya daya saing terhadap film-film asing. Kurang lebih hal ini kembali ke uru-san modal. Film asing memang dibuat untuk masyarakat dunia, skalanya internasional. Tapi bukan berarti film-film kita tidak punya modal. Kenapa tidak dikasih kesempatan lebih? Pembuat film Indonesia masih kurang banyak yang mempunyai talenta. Tidak ha-

nya film, tapi di semua seksi industri,Indone-sia belum punya talenta yang cukup. Tidak pernah atau jarang sekali inovasi datang dari Indonesia, padahal penduduknya 250 juta jiwa. Ada dua kemungkinan. Pertama, tidak berkualitas. Kedua, salah manajemen dari pemerintah. Karena tugas pemerintah ada-lah menjadi manajer artinya mereka harus bisa membuat orang-orang yang bertalenta bagus bisa bekerja di industri. Atau ada ke-mungkinan ketiga, yaitu campuran keduan-ya.” ujar Joko Anwar. Ternyata tidak setiap tahun dunia perfilman Indonesia berjaya. Ada titik dima-na kita turun dan titik dimana kita kembali merangkak ke atas. Di periode 90-an perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi dua sam-pai tiga film setiap tahunnya. Saat ini diang-gap sebagai era kebangkitan film nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dengan berb-agai film Indonesia yang sudah terdengar namanya dan mendulang sukses sampai ke negeri seberang. Perfilman, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia membutuhkan dua faktor utama yang penting, yaitu pembuat film dan penonton. Indonesia membutuhkan banyak pembuat film yang jenius dan berbakat un-tuk memajukan industri perfilman Indonesia. Pemerintah juga seharusnya memberikan sarana dan mendukung sepenuhnya industri perfilman di negeri ini. Tidak hanya pembuat film, penonton juga menjadi faktor penting. Karena jika suatu film sudah susah payah dibuat, akan menjadi suatu kesia-siaan jika ti-dak ada penontonnya.

Liputan UTAMA5

Kostum Gaara terinspirasi dari film favorit sang sutradara Kishimoto, yaitu The MatrixTahukah Kamu?

Page 6: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

Tidak semua mahasiswa UI tahu kalau di UI ada wadah yang menampung minat mahasiswa dalam membuat film. Tidak

semua mahasiswa UI juga tahu kalau seti-ap bulannya ada pemutaran film di Cinema Room, Perpustakaan Pusat UI. Bahkan, tidak semua mahasiswa UI juga tahu kalau ada mahasiswa UI yang menang dalam lomba festival film. Bagaimana dengan UKM Sine-matografi UI? Adakah diantara Anda yang mengetahuinya? UKM Sinematografi adalah UKM yang mewadahi minat mahasiswa di bidang pembuatan film. Setelah melewati proses panjang untuk mendapatkan izin sebagai UKM, Sinematografi UI berdiri secara resmi pada 21 Januari 2012. Bermula dari komunitas kecil pecinta film yang sering berkumpul, ter-cetus keinginan untuk mempertegas eksisten-si mereka. “Melakukan sesuatu itu pasti ada produknya. Produknya tidak bisa jadi sesuatu yang tidak jelas. Kita tidak bisa bilang, ‘ini loh film dari klub UI’. Memangnya UI punya klub film? Kita perlu sesuatu yang ada dasar lan-dasannya. Kita harus melegalkan ke rektorat. Jadi, kita mendapat back-up secara resmi un-tuk memakai nama UI. Tidak sembarang me-makai nama UI.” ujar Dina Andriani, Kepala

Departemen Produksi Sinematografi UI. Tidak mudah ternyata meresmikan Sinematografi menjadi sebuah UKM karena beberapa kali harus menyesuaikan visi dan misi mereka dengan visi dan misi rektorat UI. Dan akhirnya, jadilah UKM Sinematografi UI, lembaga perfilman tingkat universitas yang memiliki dasar landasan serta struktur organ-isasi yang jelas. UKM ini menaungi lembaga perfilman fakultas sehingga keberagaman- nya berada di bawah satu payung. Sudah dua tahun UKM ini berdiri dan menghasilkan sejumlah karya berupa film pendek. Bicara tentang siapa saja yang boleh bergabung dengan UKM ini, Sinematografi UI membuka pintu lebar-lebar bagi mahasiswa UI yang memiliki minat di bidang perfilman. Calon anggotanya tidak harus ahli dalam membuat film, yang penting memiliki minat di bidang ini. “Nanti diawal akan ada work-shop mengenai cara pembuatan film. Dari situ calon anggota belajar.” ujar Yudhistira, yang kini menjadi Staff Departemen Apresiasi. “La-gipula, sangat banyak bagian dari perfilman. Bisa gabung di videografi, talenta, artistik, dan masih banyak lagi. Jadi memang tidak melu-lu harus jago pegang kamera.” seloroh Dina menambahkan.

Melihat Geliat Perfilman Mahasiswa UI Lewat UKM Sinematografi

Oleh: Muhammad Zakki Fuadi & Farhan MubarakFoto: Riansyah Sumajaya & Dok. Sinematografi UI

Liputan KHUSUS6

Jagad menceritakan pengalaman selama menekuni dunia film

Yudistira dan Dina mengemukakan beberapa alasan pembentukan Sinetografi UI

Page 7: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

Sudah banyak film pendek yang di-hasilkan Sinematografi UI dan beberapa di-antaranya pernah menyabet penghargaan dari festival-festival film. Contoh film yang pernah mendapat penghargaan adalah‘Rengasdengklok’. “Di Hello fest itu ada kate-gori animasi dan ada juga kategori non ani-masi. Kita submit film di kategori non animasi dan menang. Sejauh ini Sinematografi UI be-lum pernah buat animasi karena belum ada yang jago di sana. Di Sinematografi UI sebe-narnya tergantung bagaimana anak-anak yang gabung. Contohnya, sebelum ada anak-anak yang mengerti cara composing lagu, kita tidak terlalu memikirkan film dari sisi sound. Kemudian mulai bergabung ma-hasiswa yang bisa komposisi lagu. Kita jadi seperti meng-improve diri gitu.” cerita Dina. Setiap bulan, Sinematografi UI men-gadakan acara Layar Kampus bertempat di Cinema Room, Perpustakaan Pusat UI yang di mana di dalamnya diputar film-film yang tidak beredar luas di pasaran. Layar Kampus juga menjadi media untuk mengenalkan film hasil karya anak Sinematografi UI dan juga film hasil karya anak-anak lembaga perfilman fakultas. “Sayangnya tingkat apresiasi dari warga UI masih tergolong rendah. Indikator yang bisa dilihat adalah jumlah mahasiswa yang datang ke acara ini masih sangat sedikit.” tutur Jagad, anggota Sinematografi UI. Jagad sendiri per-nah mengikutsertakan karyanya pada Festival Film Hello Motion yang berjudul Afeksi. Ada beberapa kendala seputar La-yar Kampus. Pertama, jumlah panitia yang

sedikit. Kedua, waktu perizinan yang lama sehingga berimbas pada kurangnya waktu publikasi. Ketiga, mahasiswa kurang tertarik dengan film yang tidak jelas siapa pembuat-nya. “Kita belum bisa publikasi kalau wak-tunya belum fix karena terbentur masalah perizinan pemakaian ruang. Dan yang lebih susah itu perizinan dari pembuat film yang film-nya akan kita tayangkan di Layar Kampus”, terang Yudhistira. “Jadinya, yang datang ke acara Layar Kampus ujung-ujungnya anak Sine-matografi UI lagi.” Tambah Dina. “Anak-anak Sinematografi UI memi-lih untuk membuat film yang penting. Karena film yang penting itu sudah pasti bagus. Tetapi film bagus belum tentu penting. Contohnya, ‘Harry Potter’. Filmnya bagus tapi sebenar-nya ga penting. Kita biasanya dapat ide dari berita-berita yang ada. Dari mulai masalah ke-hidupan kampus sampai masalah kehidupan sehari-hari.” urai Jagad. “Membuat film juga tidak melulu mesti berbiaya tinggi, karena yang terpenting itu adalah memunculkan ide ceritanya.” tam-bahnya lagi. Spirit untuk membuat film sebenarn-ya sudah dimiliki anak-anak Sinematografi UI dan badan-badan perfilman fakultas. Apre-siasi yang baik dari warga UI dapat meng-hasilkan atmosfer positif bagi mereka untuk terus berkarya dan meningkatkan kualitas karyanya.

Pada film “Terminator 2: Judgement Day”, Arnold Schwarzenegger hanya berbicara 700 kata dan dibayar 150 miliar rupiah. Ini sama dengan sekitar 200 juta per kata

Tahukah Kamu?

Liputan KHUSUS7Yudistira dan Dina mengemukakan beberapa alasan pembentukan Sinetografi UI

Di balik pembuatan film pendek oleh Sinematografi UI

Page 8: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

Dialog di atas dikutip dari film ‘Babi Buta yang Ingin Terbang’ karya Edwin. Film berdurasi tujuh puluh tujuh menit itu se-

cara blak-blakan menyinggung salah satu masalah paling sensitif di Indonesia, yaitu ra-sialisme. Seperti kata Edwin selaku sutradara-nya, film dengan latar belakang kerusuhan Mei

1998 ini dapat diungkapkan dalam satu gam-bar dimana sang tokoh utama menyumpal mulutnya dengan petasan sebagai interpre-tasi dari perlakuan mengerikan yang pernah diterima masyarakat minoritas Tionghoa di Indonesia. Film ini berhasil menyabet penghar-

Festival Film: Sempitnya Ruang Gerak di Negeri Sendiri

Oleh: Shalsa Nabila & Prita Tri WulandariFoto: Dokumentasi Film Babi Buta yang ingin terbang

“Nanti kalau sudah besar kamu mau jadi apa?” “Apa aja deh, asal bukan ‘China’ (Tiongkok)” - Babi Buta yang Ingin Terbang

RISET & KAJIAN8 BuLETIN TEKNIKA

Poster yang digunakan untuk Film Babi Buta yang ingin terbang

Page 9: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

gaan dalam berbagai festival film internasi-onal seperti Rotterdam International Film Festi-val 2009, Pusan International Film Festival 2008, dan Singapore International Film Festival 2009. Meskipun banyak memperoleh penghargaan berskala internasional, film ini hanya sempat diputar sekali di negerinya sendiri. ‘Babi Buta yang Ingin Terbang’ adalah sebuah satire terhadap identitas bangsa Indonesia yang mengagung-agungkan Bhinneka Tunggal Ika namun masih menganggap tabu untuk menyinggung masalah perbedaan etnis. Film ini bisa menjadi sebuah refleksi yang jujur mengenai sudah sejauh mana kita, sebagai bangsa pluralis, menghargai perbedaan etnis. Dengan menggunakan dialog yang minim, ‘Babi Buta yang Ingin Terbang’ menarasikan sindirannya melalui metafora-metafora visual. Sebagian orang menganggap hal ini memiliki nilai artistik yang tinggi, namun kebanyakan orang justru menganggapnya membosankan dan sulit dipahami. Banyak film serupa ‘Babi Buta yang Ingin Terbang’ yang diciptakan secara gerilya oleh sutradaranya dengan didanai yayasan film seperti Hubert Bals Fund, Goteborg Inter-national Film Festival Fund, dan Sundance Institute, yang mengedepankan idealisme sutradaranya dalam menuturkan ide cerita lewat adegan-adegan yang artistik. Film-film seperti ini sangat sulit untuk laku di pasaran dan hampir tidak pernah ditayangkan secara massal di bioskop. Akibatnya film-film ini kemu-dian hanya berakhir pada festival-festival film internasional. Dari situlah kita pun mengenal istilah ‘film seni’ ataupun ‘film festival’. Adalah Garin Nugroho, salah satu sineas yang berperan dalam mempopuler-kan film seni. Mulai berkarir pada akhir tahun 80-an, Garin seringkali mengekspresikan film-nya melalui pengambilan gambar yang este-tik dan dialog-dialog puitis. Bahkan Garin pun berpuisi dalam pemilihan judul filmnya, seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Puisi Tak Terkubur-kan, dan Bulan Tertusuk Ilalang. Setelah tahun 1998, mulai bermunculan film-film seni, con-tohnya saja film berjudul Pasir Berbisik yang secara eksplisit mengangkat isu feminisme. Ada juga film Impian Kemarau yang diang-gap JB Kristanto selaku kritikus film sebagai

film puitis Indonesia yang paling berhasil dan masuk nominasi Best film pada Bangkok Inter-national Film Festival 2005. Kemudian ada lagi film Jermal karya Ravi Bharwani yang meng-gambarkan kegamangan manusia dalam kemiskinannya pada sebuah jermal, dan ma-sih banyak lagi puluhan judul film yang akan jarang Anda dengar namun mendapatkan prestasi dalam festival film internasional. Para sineas film seni cenderung be-rani menyinggung isu-isu yang masih diang-gap tabu untuk diangkat ke layar lebar. Selain itu, dalam eksperimen estetiknya, tidak jarang film-film seni ini keluar dari pakem-pakem ten-tang ‘bagaimana seharusnya film itu’. Melalui film-film seni kita dapat hanyut pada pengalaman menonton yang berbeda. Lewat tutur visual dan dialog yang hanya sepotong-sepotong kita sudah dapat menangkap pesan moral di sana atau bah-kan kebalikannya, yaitu ketika pesan moral tidak lagi penting karena kita telah masuk ke dalam ilusi-ilusi gambar estetik film tersebut. Sayangnya, hingga sekarang, film-film seni masih sangat sulit untuk mendapatkan pe-nontonnya di Indonesia. Sulitnya mendapatkan penon-ton ini kemudian berimbas pada sulitnya mendapatkan biaya untuk mendanai pem-buatan film. Alhasil, film-film seni tersebut banyak mendapatkan dananya dari dana hibah yayasan film non-komersial dan hanya tayang pada festival-festival film internasi-onal. Jika siklus ini terus berlanjut, akan sangat sulit bagi kita untuk mengapresiasi film-film seni yang bahkan tidak tayang di bioskop lokal. Ini juga yang menyebabkan apresia-si untuk film-film seni baru sebatas diberikan oleh komunitas-komunitas film. Melalui ruang sempit komunitas-komunitas film inilah, film-film seni tetap dapat hidup di tengah-tengah kita. Walau tidak banyak, penikmat film seni itu ada. Sayangnya, kesulitan mendapatkan rekaman film-film seni menjadi salah satu ken-dala mengapa ruang gerak film-film seni ini susah untuk berkembang. Seandainya komu-nitas-komunitas film seni lebih santer menga-dakan acara pemutaran film-film seni untuk publik, maka kesempatan film-film seni untuk diapresiasi akan terbuka lebih lebar.

RISET & KAJIAN9

Sutradara film Despicable Me 1&2 adalah Pierre Coffin, anak novelis Indonesia NH Dini.

Tahukah Kamu?

Page 10: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

A Lady Caddy who Never Saw a Hole in One adalah salah satu film pendek karya anak bangsa. Film karya Yosep

Anggi Noen ini mendapatkan penghargaan Sonje Award untuk kategori Film Pendek Asia Terbaik, Busan International Film Festival, South Korea, 2013. Dalam wawancara Tekni-ka dengan Yosep saat acara XXI Short Film Festival 2014 di Epicentrum (14/03), Yosep mengatakan bahwa inspirasi dari pembuatan film ini adalah dari persoalan politik yaitu ten-tang sebuah pembukaan lahan persawahan di daerah Yogyakarta untuk dijadikan lapa-ngan golf. Yosep mampu mengangkat perso-alan politik melalui cerita yang unik tetapi se-derhana, yakni tentang cinta dan golf.

Film berdurasi 15 menit inibercerita tentang golf dan cinta yang berlatar belakang di sebuah lapangan golf di tepian Kota Yogyakarta. Film ini apik menampilkan gerak tubuh dan percakapan bahasa Jawa yang simbolik. Film yang minim dialog ini menggambarkan seorang pria di sawah dan seorang wanita berseragam caddy yang se-dang berdiri di sampingnya. Dengan berpura-pura bermain golf, pria itu menginterogasi sang wanita tentang cara hidupnya sebagai caddy karena sang pria curiga saat dia melihat sang wanita ber-jalan bersama orang-orang kaya. Tanpa cerita tertentu, film ini menunjukkan kontradiksi profe-si, kesenangan, kemiskinan, dan kekayaan.

Judul : A Lady Caddy who Never Saw a Hole in OneSutradara : Yosep Anggi NoenProduser : Arya SwetaDurasi : 15 MenitTahun : 2013

A Lady Caddy who Never Saw a Hole in One

Oleh : Zaneta Alfiagnes Hodeka Sanjiwo

RESENSI10

Beberapa adegan dari Film A Laddy Caddy who Never Saw a Hole in One

Film Indonesia pertama adalah Loetoeng Kasaroeng (1926).

Tahukah Kamu?“Casino Royale” adalah film perta-ma yang lulus sensor di Tiongkok.

Page 11: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

POJOK SANTAI11Teka Teki Silang

MENDATAR2. Rumah produksi yang memiliki lambang singa5. Nama pejahat di film Petualangan Sherina8. Sutradara yang menyutradarai film Jurrasic Park10. Film yang proses pembuatannya me- makan waktu 10 tahun13. Penghargaan film tertinggi di Amerika15. Nama anaknya Mumble dalam film Happy Feet17. Nama tokoh utama film Home Alone18. Film Indonesia tahun 2012 yang disutradarai oleh Gareth Evans dan memenangkan Prix Du Public / Public’s Prize di Festival International De Cinema De Genre De Tours- Perancis19. Peran Pevita Pearce dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,

MENURUN1. Nama pacar Wall-E 2. Hewan yang menjadi kapten bajak laut di Ice Age 43. Sahabat Lighting McQueen dalam film Cars4. Pemeran antagonis anjing di Film Up6. Film peraih piala Oscar terbanyak sepanjang sejarah7. “Do or Do Not there is no try” adalah kutipan dari film....11. Nama celengan di Toy Story12. Kode nama yang diberikan Marvel untuk film The Avengers14. Nama Benua tempat Alex dan kawan- kawannya tersesat dalam film Madagascar 16. Rumah Produksi yang diciptakan oleh Edwin Catmull dan Steve Jobs

Semua jam di film Pulp Fiction menunjukkan waktu pukul 4.20Tahukah kamu?

oleh: Tsana Fitri Zhafira

Page 12: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

Seminar Pengembangan Wawasan Industri (SPWI) merupakan seminar tahunan yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Teknik Industri Universitas Indonesia. Pada ta-hun ini, SPWI telah diselenggarakan pada 22 Februari 2014 di Crowne Plaza Hotel, Jakarta, dengan mengusung tema “Quo Vadis Indo-nesian Transportation Planning : Integrated Mass Transportation System & Low Cost Green Car.” Pemilihan tema seminar tahun ini di-dasari oleh rencana dan kesiapan Indonesia dalam pengembangan sistem transportasi massal. Hampir 52,03% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Hal ini membuat kota se-makin mekar sehingga keinginan untuk memi-liki kendaraan pribadi semakin meningkat. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara jumlah supply (jaringan jalan) dan demand (jumlah pengguna kendaraan pribadi) se-hingga menimbulkan kemacetan di kota-kota

besar. Oleh karena itu, revitalisasi dan integra-si dalam mengembangkan sistem transportasi massal di Indonesia sangat diperlukan. Seminar ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi para mahasiswa sehingga mereka dapat memecahkan masalah terkait transportasi massal di Indonesia serta dapat berkontri-busi langsung di masyarakat sesuai dengan keilmuan mereka masing-masing. Beberapa pembicara yang diun-dang dalam SPWI 2014 ini antara lain, Bam-bang Susantono, Ph.D (Wakil Menteri Per-hubungan Republik Indonesia), M. Akbar, M.Sc (Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta), Drs. Pargaulan Butarbutar, M.Si (Kepala Unit Pengelola Transjakarta Busway), Renaldo (Head of Customer Unilever), dan Yoga Adiwinarto (Country Director Indonesia at Institute for Transportation and Develop-ment Policy)

SEminar Pengembangan Wawasan Industri

Oleh: Maria Helena LadoFoto: Achmad Maulana Ibrahim

PRESS RELEASE12

Leadership Talks PPSDMS Nurul FIkri 2014

“Enlighten Indonesia through leader”

(Kamis, 20/02/2014) Sebanyak 200 mahasiswa memenuhi Auditorium Fakutas Ekonomi Universitas Indonesia untuk meng-hadiri Talk Show Kepepemmpinan yang diselenggarakan oleh PPSDMS Nurul Fikri re-gional 1 Jakarta . Acara ini diselenggarakan pukul 13.30-17.30 dan mengangkat tema En-lighten Indonesia through leader.Acara leadership talks ini terbagi menjadi dua sesi. Pada sesi pertama menghadirkan Fahira Idris (Aktivis Sosial dan Founder Gerakan Na-sional Antimiras), Sari Wahyuni (Chief editor Asian Management Journal dan Peneliti Ke-mendag), serta Roy Darmawan (Perwakilan

Kemenko), sedangkan pada sesi kedua meng-hadirkan Suhaela (Direktur Tusk Consulting dan Founder Indonesia Youth for Small Medium Entreprises), Johari Zein (Direktur Eksekutif JNE), dan Ghibran (Founder E-Fishery). Dengan adanya acara Leader-ship Talks PPSDMS NF ini, diharapkan meng-gaungkan harapan bahwa pemimpin yang menginspirasi dapat dicetak dari siapapun yang mau dan mampu. Dari acara ini juga di-harapkan peserta talkshow dapat mengambil pelajaran serta mulai menyadari dan memu-lai untuk melakukan aksi yang mampu ber-dampak luas.

Oleh: PPSDMS, Foto: Dokumentasi PPSDMS

Page 13: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

PRESS RELEASE13

PetroGas Days (PGD) UI merupa-kan acara besar yang diselenggarakan tiap tahun oleh Ikatan Mahasiswa Teknik Kimia UI. Acara yang berlangsung dari tanggal 7 – 9 Maret 2014 ini mengusung tema “Com-pehending Oil And Gas Industry: One Step Closer To Self-Supporting Nation”. “PGD yang ke-10 ini merupakan PGD pertama dengan peserta internasional,” menurut Elsa Widowati, Project Officer PGD 2014. Tema tersebut didukung dengan cabang-cabang acara PGD, yaitu seminar, workshop, CPDC (Chemical Product Design Competition), conference, dan debat. PetroGas Days ber-langsung di Gedung Rumpun Ilmu Keseha-tan, Perpustakaan Pusat, dan Fakultas Teknik. Seminar berlangsung pada tang-gal 8 Maret 2014 di Gedung Rumpun Ilmu Kesehatan. Seminar terbagi menja-di dua kelas yaitu oil class dan gas class, masing-masing dengan dua sesi seminar. Workshop berlangsung pada tang-gal 7 Maret 2014 di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Ada dua kelas workshop yang diadakan, yaitu “Economical Aspect of Oil and Gas: Production Sharing Contract” dengan pembicara Eko Hariadi dari SKK Migas dan “Drilling Method of Hydrocarbon Produc-tion” dengan pembicara Didit Achmad dari Total E&P Indonesia. Pameran CPDC berlangsung pada tanggal 7 Maret 2014 di Perpustakaan Pusat, dilanjutkan dengan grand final tanggal 9 Maret 2014. Peserta CPDC tahun ini berjum-lah 84 tim dari 13 institusi dari 4 negara ber-beda, yaitu Indonesia, Filipina, Indonesia, dan Vietnam. Juara ketiga CPDC 2014 adalah Mendeys, juara kedua adalah Caredona, dan juara pertama CPDC 2014 adalah Chira.

Konferensi mahasiswa PGD dilak-sanakan pada tanggal 7 – 9 Maret 2014 di Per-pustakaan Pusat Universitas Indonesia. Event ini baru diadakan untuk kedua kalinya. Peserta konferensi mahasiswa ini berasal dari 12 negara yang berbeda, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Pakistan, India, Algeria, Italia, Mauritius, Nepal, dan Tanzania. Kompetisi debat PGD yang juga diadakan baru kedua kalinya dilaksanakan pada tanggal 8 – 9 Maret 2014. Tema yang dibawakan adalah Enchanting World of Oil and Gas Policy through Art of Words dengan mosi berupa topik-topik yang masih diperde-batkan berkaitan dengan kebijakan minyak dan gas. Juara kedua adalah tim ITB A dan juara pertama adalah tim UGM A. Ditemui setelah seminar, Johannes Anton Witono menyatakan kegembiraan- nya terhadap PGD saat ini. Beliau merupa-kan Project Officer PGD pertama yang dilak-sanakan pada tahun 2004. “PGD saat ini, jika dibandingkan pada 2004, sangat besar”. Pak Anton, demikian biasa disapa, menambah-kan beberapa harapan untuk PGD kedepan-nya. “Fundamental core dari PGD adalah, sebesar apapun acaranya, selain sebagai forum mahasiswa, adalah untuk knowledge sharing. Jangan jadikan masalah finansial sebagai kendala untuk knowledge sharing,” menurut beliau. Menurut PO PGD 2014, Elsa Widowati, yang terpenting adalah memper-tahankan nama PGD sebagai Petrochemical Gas Days. “Sebelum ini, 3 tahun ke belakang, topik yang diangkat hanya oil & gas. Seha-rusnya tidak hanya itu,” tutupnya mengakhiri wawancara.

PetroGas Days “Comprehending Oil and Gas

Industry: One Step Closer to Self-Supporting Nation”

Oleh: Farhan Mubarak & Akwila E. Foto: Dokumentasi Panitia PGD

Tahukah Kamu?Konsep film “Avatar” sudah ada sejak tahun 1999, tapi karena keterbatasan dana maka ia baru bisa dirilis 10 tahun kemudian

Page 14: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

PHOTO STORY14DIBALIK LENSA

King Kong adalah film favorit Adolf HitlerTahukah kamu?

Marilyn Monroe tak pernah memenangkan Piala Oscar

Para Fotografer

Laras Panjang

Oleh: Andhika Kumar Djafri

Page 15: BULETIN TEKNIKA #01/2014

BuLETIN TEKNIKA

EDISI 01 // APRIL 2014

PHOTO STORY15Kamera Obscura

Screen Check

LihatlahAku

Oleh: Andhika Kumar Djafri

Page 16: BULETIN TEKNIKA #01/2014