barret's esofagus 2 - tinjauan kepustakaan site · pdf filepada sebahagian besar kasus...

27
i TINJAUAN KEPUSTAKAAN BARRET’S ESOFAGUS Oleh : ISLAMUDDIN SUBBAGIAN GASTROENTEROHEPATOLOGI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/RSUP Dr.M.DJAMIL PADANG 2010

Upload: vudien

Post on 16-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

i

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BARRET’S ESOFAGUS

Oleh : ISLAMUDDIN

SUBBAGIAN GASTROENTEROHEPATOLOGI

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS/RSUP Dr.M.DJAMIL PADANG

2010

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdullillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya kami

telah dapat menyelesaikan tinjauan pustaka ini yang berjudul “BARRET’S ESOFAGUS”

Tinjauan kepustakaan ini merupakan tugas dan persyaratan peserta Program Pendidikan Dokter

Spesialis I Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP.Dr.M.Djamil

Padang dalam menjalani stase di Subbagian Gastroenterohepatologi.

Kami menyadari bahwa tinjauan kepustakaan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami

sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan tinjauan kepustakaan ini.

Akhirnya, izinkan kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof.Dr.dr Nasrul Zubir,SpPD-

KGEH,FINASIM ,Prof.dr.Julius,SpPD-KGEH, dr Arnelis,SpPD-KGEH dan dr Saptino Miro,SpPD.

yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama menjalani stase di Subbagian

Gastroenterohepatologi. Semoga menjadi amal baik dan mendapat balasan dari Allah SWT, Amin

Padang, Juni 2010

Penulis

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………….……….i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………….….…..ii

DAFTAR TABEL…. …………………………………………………………………………………......iii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………………..……….iii

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………….……….. 1

BAB II. INSIDEN, FAKTOR RISIKO DAN PATOFISIOLOGI SERTA MEKANISME

MOLEKULER

2.1. Insiden……………………………………………….……………………..……….….…3

2.2. Faktor Risiko……...…………………………………………………………….….……..6

2.3. Patofisiologi Barret’Esofagus……………………………………….….….……………..7

2.4. Patogenesis Barret’s Esofagus…………………………………………………………..10

2.5. Klasifikasi Berdasarkan Endoskopi……………………………………………………..11

BAB III.. GEJALA KLINIS, DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

3.1.Gejala Klinis…………………………………………………………………..................13

3.2.Diagnosis…………………………………………………………………………………13

3.3.Penatalaksanaan………………………………………………………………………….15

BAB IV. DAMPAK KLINIS DAN PENATALAKSANAAN

4.1.Dampak Klinis………………………………………………………………….…….….13

4.2.Penatalaksanaan…………………………………………………………………...…......15

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan …..…………..……………….…………………………………….………20

5.2. Saran……. ………………………………………………………………...…….………20

DAFTAR PUSTAKA

iv

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

TABEL.

Tabel 1. Insiden Barret’s Esofagus di Negara Asia………………………………………….5

Tabel 2. Penelitian-penelitian terapi endoskopik: hasil, keuntungan dan keterbatasan.……17

GAMBAR.

Gambar. 1. Insiden long segmen dan short segmen barret’s esofagus dari sejumlah hasil

Endoskopi pasien Olmsted County Minnesota dari tahun 1965 sampai 1995….….4

Gambar. 2. Angka kejadian pasien Barret’s esofagus yang berkorelasi dengan Umur……..…...6

Gambar. 3. Patogenesis Barret’s Esofagus yang multifaktor. Gabungan dari komponen lumen

serta inflamasi esofagus yang menghasilkan suatu lingkungan mikro yang potensial,

melibatkan stres oksidatif , produksi sitokin dan peningkatan kinetik sel, yang

secara bersamaan merangsang perubahan menjadi metaplasia……………….……..9

Gambar. 4. Rekomendasi strategi pengawasan Barret’s esophagus…………………………….14

Gambar. 5. Algoritma Penatalaksanaan Barret’s Esofagus……………………………………...18

v

BAB.I

PENDAHULUAN

Barret’s esofagus ialah suatu kondisi dimana terjadinya metaplasia epitel kolumnar yang

menggantikan epitel skuamous pada distal esofagus. Pada sebahagian besar kasus merupakan

lanjutan dari refluk esofagitis, yang merupakan faktor risiko terhadap adenokarsinoma esofagus

dan adenoma gastro-esofageal junction.1

Angka kejadian Barret esofagus pada populasi umum diperkirakan berkisar antara 1,6 -1,7

%. Pada sensus tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan hampir mencapai 3,3 juta individu

yang mengalami kondisi seperti ini. Pada penderita GERD angka kejadian Barret Esofagus lebih

tinggi, mencapai kurang lebih 5-10%. Penderita GERD berat seperti esofagitis erosif, angka

kejadian barret esophagus mencapai 10%, sedangkan penderita striktur peptik esofagus angka

kejadiannya hampir 30%. Barret esofagus lebih banyak mengenai pria dibandingkan wanita,

dengan perbandingan rasio 3:1. 2,3

Barret’s esofagus paling banyak dijumpai pada kelompok umur 55 sampai 65 tahun,

penyakit ini lebih sering dijumpai pada ras kulit putih. Obesitas, perokok dan peminum alkohol

merupakan faktor risiko untuk terjadinya barrett’s esofagus.5,6,7

Identifikasi dan terapi barrett’s esofagus saat ini masih menjadi perdebatan yang menarik.

Barret’s esofagus berkaitan erat dengan gastroesofageal refluk dan merupakan factor risiko yang

paling banyak terhadap adenokarsinoma esofagus. Penderita barret’s esofagus mempunyai risiko

40 kali lebih besar jika dibandingkan dengan populasi umum.5,7

Kanker Barret’s esofagus berkembang sangat cepat disebagian Negara Barat. Di Negara

asia, sebagian besar kanker esofagus berupa karsinoma sel squamous bukan adenokarsinoma.

Saat ini peningkatan jumlah kasus barret’s esofagus yang berlanjut menjadi kanker barret’s

semakin tinggi di Negara asia, seiring dengan peningkatan jumlah kasus Barret’s esofagus di

Negara asia.9

Barret’s esofagus long-segment di Negara asia angka kejadiannya lebih sedikit

dibandingkan dengan Negara-negara Barat, akan tetapi barret’esofagus short-segment sering

ditemukan. Pada penelitian epidemiologi, evaluasi angka kejadian barret’s esofagus dibatasi oleh

kurang mampunya pengamat dalam mendiagnosis. Kriteria baku diagnosis endoskopi Barret’s

esofagus pada pasien di asia, terutama barret’s esofagus short-segment harus segera ditetapkan

vi

secepat mungkin. Angka kejadian hiatal hernia yang tinggi disertai dengan penurunan kasus

infeksi Helicobakter pylori mungkin akan meningkatkan jumlah kasus barret’s esofagus yang

berlanjut menjadi kanker Barret’s di Negara Asia di masa depan. Oleh karena itu strategi

managemen barret’s esofagus di Negara Asia harus segera di buat.8,9

Tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk mengetahui modalitas penatalaksanaan

Barrett’s Esofagus yang optimal.

vii

BAB.II

INSIDEN, FAKTOR RISIKO, DAN PATOFISIOLOGI SERTA MEKANISME MOLEKULER

2.1. Insiden Insiden barret’s esofagus pada orang ras kulit putih di Negara maju tidak begitu berbeda

dalam dua dekade terakhir. Penelitian berdasarkan dua penelitian yang dipublikasikan pada tahun

1990 dan tahun 2005. Penelitian pertama dilaporkan di Minnesota dimana populasi sebahagian

besar ras Skandinavia, German dan dan keturunan Eropa lainnya. Pada penelitian kedua dari

Swedia yang populasinya lebih banyak. Dengan demikian epidemiologinya dapat diperkirakan

lebih akurat karena semua bagian kelompok termasuk.5

Pada tahun 1980 dilakukan autopsi spesimen esofagus terhadap orang yang meninggal di

Minnesota, penelitian dilakukan secara prospektif selama 18 bulan dari tahun 1986 sampai

1987. Spesimen biopsi dipilih dari esofagus yang paling kurang mempunyai 3 cm mukosa yang

berwarna salmon. Dengan demikian inilah permulaan insiden segmen pendek dari barret’s

esofagus dan metaplasia intestinal kardia. Dari 733 orang yang di autopsy, ditemukan 7 orang

mengalami barret’s esofagus, umur dan jenis kelamin berkaitan, dengan 376 per 100 000 kasus

segmen panjang barret’s esofagus atau 0,34 %.5

Insiden gabungan segmen pendek dan segmen panjang barret’s esofagus serta metaplasia

intestinal kardia pertama kali dilaporkan di Swedia tahun 2005 pada Swedish Population-Based

Study, dengan total populasi 21 610 orang. Dari sejumlah 21610 hanya 1000 0rang yang dapat

dilakukan endoskopi, yang mana ditemukan 5 orang yang telah mengalami metaplasia intestinal

dengan sel goblet kurang lebih 2 cm. oleh karena peneliti tidak melaporkan insiden barret’s

esofagus maka tidak dapat dilakukan perbandingan insiden barret’ esofagus dengan hasil autopsi

tahun 1987 dari Minnesota. Secara keseluruhan insiden barret’esofagus termasuk metaplasia

intestinal adalah 1,6 %.5

Walaupun jumlah orang yang mengalami barret’s esofagus mengalami peningkatan

selama tiga dekade ini, namun ini tidak mencerminkan terhadap insiden barret’’s esofagus.

Peningkatan ini mungkin, pertama karena peningkatan pengetahuan mengenai barret’s esofagus,

terutama short segment barret’s esofagus dan kemudian peningkatan penggunaan endoskopi

sebagai alat deteksi.5

viii

Gambar. 1. Insiden long segmen dan short segmen barret’s esofagus dari sejumlah hasil

Endoskopi pasien Olmsted County Minnesota dari tahun 1965 sampai

1995.kutip,5

Pada dua penelitian prospektif terhadap pasien yang bersedia dilakukan endoskopi, pada

penelitian pertama 8 % subjek yang dilaporkan mempunyai riwayat heartburn menderita barret’s

esofagus, dibandingkan dengan pasien tanpa gejala GERD yang hanya 6 % menderita barret’s

esofagus (Rex dkk,2003). Penelitian kedua barret’s esofagus dijumpai sekitar 20 % pada pasien

yang mempunyai gajala refluk sedangkan yang tanpa gejala hanya 15 % (Ward dkk,2006). Pada

penelitian ini laki-laki dua kali lebih besar menderita Barret’s Esofagus dibandingkan pada

wanita ,22% banding 11%(Cook dkk,2005) .3

Barret’ esofagus dibagi berdasarkan panjang segmen yang dikenai. Short segmen biasanya

di difinisikan sebagai metaplasia intestinal distal esofagus yang kurang dari 3 cm. sedangkan

long segmen barret’s esofagus berdasarkan pada panjangnya yang 3 cm atau lebih. Short segmen

hampir tiga kali lebih sering dibandingkan dengan long segmen,(Hirota dkk,1999; Csendes dkk

2003; Hannah dkk 2006). panjangnya long segmen berkaitan dengan paparan asam lambung

yang sering.(Fass dkk,2001).3

ix

Tabel.1. Insiden Barret’s Esofagus di Negara Asia.kutip,9

LSBE = Long segment Barret’s esophagus, SSBE=Short segment Barret’s esophagus.

Insiden Barret’s esofagus long-segment di Asia rendah ( <1% dari seluruh pasien Barret’s

Esofagus), sebaliknya Barret’ esofagus short-segment tinggi lebih dari 96% dari seluruh pasien

Barret’s esofagus.

x

2.2. Faktor risiko

2.2.1. Umur

Barret’s esofagus merupakan kelainan yang di dapat, dengan demikian insiden barret’s

esofagus bertambah sesuai dengan umur. Rerata umur pada saat diagnosis klinis ditegakkan

ialah 63 tahun. Barret’s esofagus long segmen jarang ditemukan pada anak-anak. Penelitian

kohor baru-baru ini mendapatkan 8 dari 166 anak yang mendapatkan terapi jangka panjang

penghambat pompa proton menderita barret’s esofagus, sebagian besar anak yang usianya

lebih dari 11 tahun yang menderita kelainan status mental atau refluk gastroesofageal yang

disertai faktor predisposisi seperti Down’s Syndrome atau Serebral Palsi.5

Pada penelitian yang dilakukan, didapatkan perubahan angka kejadian Barret’s

esofagus ( dimana 99% ialah Barret’s esofagus short-segment) berkaitan dengan umur,

dimana paling banyak dijumpai pada pasien yang berumur diatas 70 tahun dibandingkan

dengan usia yang lebih muda. Dari penemuan ini diduga bahwa patofisiologi barret’s

esofagus mungkin berbeda antara pasien di Negara asia (Terutama short-segment) dengan

pasien di Negara Barat (terutama Long-segment).8,9

Gambar.2. Angka kejadian pasien Barret’s esofagus yang berkorelasi dengan Umur.kutip,9

2.2.2. Jenis Kelamin

Pada penelitian di Mayo Clinic pada pasien yang dilakukan endoskopi antara tahun

1976 sampai dengan tahun1989, mendapatkan bahwa barret’s esofagus long segmen lebih

banyak dua kali pada pria dibandingkan wanita. Penelitian multisenter Italian Study dari

tahun 1987 sampai 1989, barret’s esofagus 2,6 kali lebih sering dijumpai pada pria

dibandingkan pada wanita.8,9

xi

2.2.3. Geografik dan etnik

Barret’s esofagus long segmen paling sering didapat di Negara barat namun kurang

dibandingkan dengan Negara lain seperti di jepang misalnya. Dari penelitian retrospektif

cross-sectional cohort study terhadap 2100 orang (37,7 kulit putih,11,8 kulit hitam,22,2

hispanik) yang dilakukan endoskopi dari tahun 2005 sampai 2006, didapatkan pada kulit

putih 6,1 % menderita barret’s esofagus sedangkan kulit hitam 1,6 % dan hispanik 1,7 %.8,9

2.2.4.Refluk

Sekitar 15 sampai 20 % orang dewasa di Amerika Serikat dilaporkan pernah

mangalami heartburn paling tidak sekali dalam seminggu, dan sekitar 7 % mengalami gejala

seperti ini setiap hari. Pada orang yang mempunyai gejala GERD , 3 sampai 7 % didapati

barret’s esofagus long segmen pada saat dilakukan endoskopi. Namun sebaliknya pada

orang yang tidak mempunyai gejala GERD hanya 1% yang didapati barret’s yang osefagus

long segmen. 6

Dari suatu penelitian yang dilakukan terhadap semua pasien yang mengeluhkan

heartburn paling kurang dua kali dalam seminggu, didapati barret’s esofagus short segmen

pada 7 pasien dari 378 pasien (1,8%) yang dilakukan endoskopi. Pada suatu penelitian

potong-lintang didapati pasien dengan barret’s esofagus short segmen lebih sering

mengeluhkan gejala refluk.6

2.3. Patofisiologi Barret’s Esofagus

Barret’s esofagus merupakan penyakit yang didapat dimana terjadi perubahan epitel

kolumnar dari epitel skuamous yang normal pada distal esofagus. Hernia Hiatal, kelemahan

spinkter esofageal bawah serta abnormalitas paparan asam di esofageal sering dijumpai pada

pasien barret’s esofagus dibandingkan dengan orang sehat yang normal pada kontrol dan pasien

dengan esofagitis. Saat ini dididuga hernia hiatal dan kelemahan spinter bawah esofagus sebagai

pencetus refluk yang berlebihan dan refluk yang berlebihan merupakan penyebab awal

metaplasia dari sel skuamous menjadi sel kolumnar.6,9,10

Sebagian besar pasien penderita barrett’s metaplasia mengalami refluk asam yang

berlebihan di distal esofagus, bahkan adanya hubungan langsung antara lamanya paparan asam

xii

terhadap esofagus dan derajat kerusakan mukosa. Peningkatan paparan asam terhadap esofagus

merupakan penyebab utama defek mekanik pada spinkter bawah esofagus, serta menurunkan

irama kontraksi esophageal bawah. Gangguan motilitas esofagus menyebabkan terhambatnya

pembersihan material refluk dan memperlama waktu kontak antara material refluk dengan

mukosa esofagus.6,7,8

Data-data eksperimental menyatakan bahwa asam saja tidak merusak mukosa esofagus,

akan tetapi kombinasi dengan pepsinlah yang memperberat kerusakan mukosa. Refluk asam

lambung tidak merupakan pencetus utama terhadap metaplasia intestinal tetapi berperan terhadap

metaplasia kolumnar. Material duodenal seperti enzim pancreas, garam empedu serta lysolesitin

diyakini memegang peranan penting terhadap terjadinya metaplasia intestinal dan degenerasi

malignan. Pengaruh kerusakan mukosa dari refluk duodenal pada mukosa esofagus didapat dari

studi-studi klinis dan eksperimental. Mekanisme kerusakan mukosa oleh pepsin dan tripsin

berkaitan dengan sifat proteolitiknya. Pepsin dan tripsin sangat cocok dalam lingkungan PH

asam ang mempengaruhi subtansi intersel sehingga menyebabkan kerontokan sel epitel. Asam

empedu terutama mempengaruhi membran sel dan organ intrasel. Tampaknya asam diperlukan

untuk mengaktifkan material perusak seperti pepsinogen atau memperkuat kemampuan garam

empedu memasuki mukosa. Hal ini terlihat jelas pada observasi terhadap pasien yang mengalami

refluk ganda dari asam lambung dan asam material dari duodenal mempunyai prevalensi yang

tinggi terhadap kerusakan mukosa esofagus. Pada lingkungan PH yang netral garam empedu

dekonyugasi lebih merusak dibandingkan dengan yang konyugasi. Terapi supresi asam

mengakibatkan berkembangnya bakteri yang mencetuskan dekonyugasi asam empedu di

lambung. Pada asam yang normal asam empedu tidak terkonyugasi mengendap, namun pada

saat supresi asam lambung terjadi, asam empedu tidak terkonyugasi berbentuk cairan dan

berkontribusi terhadap kerusakan mukosa esofagus.6,9,10

Inflamasi yang disebabkan oleh refluk kronik bisa jadi berperan penting terjadinya

lingkungan disekitar sel dimana Barret’s esofagus timbul. Mukosa esofagus dirusak oleh asam

dan garam empedu yang umumnya diinfiltrasi oleh sel-sel inflamasi. Infiltrasi oleh sel inflamasi

akut diikuti oleh limfosit T terutama di daerah metaplasia. Infiltrasi sel T selalu ada pada

Barret’s Esofagus yang dilakukan endoskopi terapi ablasi, namun tidak dijumpai pada epitel

skuamus yang baru. Dengan demikian diduga limfosit T merupakan bagian yang penting dalam

mempertahankan jaringan metaplasia.9,10

xiii

Gambar.3. Patogenesis Barret’s Esofagus yang multifaktor. Gabungan dari komponen lumen serta inflamasi esofagus yang menghasilkan suatu lingkungan mikro yang potensial, melibatkan stres oksidatif , produksi sitokin dan peningkatan kinetik sel, yang secara bersamaan merangsang perubahan menjadi metaplasia.kutip,8

Infiltrasi sel inflamasi mengakibatkan timbul produksi reactive oxygen species (ROS),

walaupun produksi ROS sudah dikenal pada mukosa pasien dengan Barret’s esofagus

dan/ataupun esofagitis, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. ROS dapat

mengakibatkan pengaruh biologis yang berlebihan pada sel termasuk sel yang berperan terhadap

siklus perkembangan sel, tranduksi sinyal, degradasi protein serta penghancuran DNA.9,10

ROS merangsang produksi sitokin yang mengstimulasi proliferasi epitel, survival serta

migrasi. Sitokin dihasilkan oleh sel inflamasi epitel barret’s melalui respon inflamasi yang

berupa growt factor-β, interleukin-1β, IL-10, IL-4, interferon-γ serta TNF-α. Hal ini mungkin

dikarenakan profil spesifik sitokin mungkin terlibat pada respon mukosa terhadap refluk.9,10

Individu yang mengalami esofagitis akan memberikan respon inflamasi akut dimana

terdapatnya sitokin proinflamasi tipe Th-1 dengan peningkatan kadar IL-1β, IL-8 dan IFN-γ.

Jenis respon ini berkaitan dengan respon imun seluler terhadap infeksi serta keganasan. Sitokin

tipe Th-2 meningkatkan IL-10 dan IL-4 yang berkaitan dengan barret’s esofagus. IL-4

merangsang metaplasia sel goblet dan gene musin pada sel epithelial saluran pernapasan.9,10

xiv

2.4. Patogenesis Barret’s Esofagus.

Barret’s esofagus terbentuk dari perjalanan GERD. Penelitian-penelitian menunjukkan

pasien Barret’s esofagus mempunyai gejala GERD yang cukup lama, semakin lama semakin

tinggi kemungkinan terjadinya perubahan onset yang spesifik. Factor risiko adalah refluk yang

lama lebih dari lima tahun, umur diatas 50 tahun serta laki-laki. penelitian di Swedia melaporkan

bahwa barret’s esofagus pada 40% yang mengalami gejala GERD lebih dari sepuluh tahun. 10

GER secara merupakan kumpulan dari gejala klinis dan refluk yang menyebabkan

perubahan morfologi secara makroskopi pada mukossa esofagus. Perubahan klinis dan morfologi

dapat ditemukan pada saat yang sama, atau penderita hanya mengalami keluhan

subjektif.perubahan mukosa pada endoskopik bias jadi merupakan dasar keluhan pada penderita.

Apabila ditemukan perubahan morfologi maka diagnosisnya ialah refluk esofagitis. Barret’s

esofagus disebabkan oleh refluk, apakah ada gejala atau tidak atau apakah disebabkan oleh

perubahan esofagitis atau tidak.10

Refluk gastroesofageal dipengaruhi oleh beberapa factor : nutrisi, obat-obatan, perokok,

obesitas, kehamilan, hernia hiatal dan pembedahan. Semuanya saling berkaitan antara satu

dengan yang lain terhadap mekanisme fisiologis anti refluk. oleh karena itu hiatus diafragma

dan tekanan spinter esophageal bawah (LES) merupakan komponen anatomis antirefluk utama.

Sebagian besar penderita barret’s esofagus didapati tekanan LES yang rendah (normal 20-

25mmHg) atau dijumpai periode relaksasi. Tonus LES dipengaruhi oleh makanan : protein dan

gula meningkatkan tonus, sedangkan lemak, obat seperti teophilin, kalsium channel blocker,

alcohol dan perokok berat menurunkan tonus LES.10

Motilitas esofagus meningkat pada GERD. Hampir sepertiganya didapati gelombang

amplitude yang lebih pendek dan kurang. Ini merupakan efek negatif bagi mekanisme bersihan

esofagus. Komponen lain yang penting ialah saliva. Penurunan sekresi saliva pada perokok

berperan penting terhadap mekanisme GERD.10,11

Gangguan motilitas lambung dan perlambatan pengosongan lambung meningkatkan

tekanan dalam lambung, sehingga mencetuskan hipersekresi dan agresifitas refluk. Makan

berlebihan dan konsumsi minuman yang mengandung gas juga menyebabkan efek yang sama.

Stenosis duodenum berkaitan erat dengan esofagitis berat.10

xv

Sifat agresif material refluk merupakan komponen pathogenesis yang penting. Penderita

ulkus dengan hipersekresi asam sering mengakibatkan esofagitis. Refluk duodenum-gastrik yang

mengeluarkan cairan duodenum yang banyak mengandung asam empedu dan enzim pankreas

memperparah cedera esofagus. Tampaknya evolusi pada barret’s esofagus terutama bergantung

pada adanya asam empedu beserta isi yang dikandungnya.10

Sangat jelas bahwa agresifitas bergantung pada komposisi cairan refluk. Asam

hidroklorida merupakan penyebab metaplasia kolumnar paling banyak. Bentuk mukosa tipe

lambung terdapat di esofagus. Lesi esofagitis kemungkinan disebabkan oleh pepsin yang

teraktifasi di lingkungan asam. Namun demkian metaplasia intestinal dapat juga disebabkan oleh

komponen lainnya seperti tripsin pancreas atau asam empedu. Peneltian yang dilakukan pada

cairan refluk mendapatkan asam empedu konyugasi, taurocholik dan glicocholic yang berupa

dehidrosikolate, taurodeoksikolate dan deoksikolate pada penderita barret’s esofagus. Aksi asam

empedu taurokonyugasi dan tak terkonyugasi kemungkinan meningkat dengan adanya asam

hidroklorida.10,12,13

Faktor pathogenesis yang berperan penting ialah sensitifitas mukosa esofagus terhadap

cairan refluk. Namun demikian perubahan morfologi tidak berkaitan erat dengan beratnya refluk,

akan tetapi bergantung pada sensitifitas individu. Resistensi mukosa atau kelemahan mukosa

bergantung pada sejumlah faktor seperti asupan darah, pergantian sel. Epithelial growth factor,

kekuatan ikatan intersel. Obat-obatan (NSAID) cenderung menimbulkan lesi mukosa esofagus.10

2.5. Klasifikasi Berdasarkan Endoskopi.

Klasifikasi Barret’s esofagus berdasarkan ukuran pada endoskopi dan biopsi dibagi

kedalam tiga katagori : Barrets esofagus long segmen, short segmen dan metaplasia kardia

intestinal (CIM). Sebelumnya Barret’s esofagus dibedakan panjangnya segmen barret esofagus

secara endoskopi (≥ 3 cm atau ≤ 3 cm), sedangkan metaplasia kardia intestinal didiagnosis

berdasarkan pada tidak dijumpai mukosa kolumnar esofagus tetapi dijumpai metaplasia intestinal

jika biopsi dilakukan dibawah gastroesofageal junction (GEJ). Batasan 3 cm yang digunakan

sebelumnya pada Barret’s esofagus dimulai pada tahun 1970 untuk mencegah terjadinya over

diagnosis akibat kegagalan mengenal herniasi lambung pada saat endoskopi dan juga disebabkan

mukosa kolumnar esofagus normal 1-2 cm pada distal esofagus. Ukuran barret’ esofagus tidak

xvi

berhubungan secara signifikan dengan risiko adenokarsinoma. Klasifikasi Barret’ esofagus

kedalam long segmen dan short segmen mungkin kurang begitu relevan secara klinis.14,15,17

Metaplasia kardia intestinal berisiko terhadap terjadinya progresifitas keganasan. Sharma

dkk yang melakukan penelitian terhadap78 pasien Barret’s esofagus short segmen dan 34 pasien

metaplasia intestinal mendapatkan bahwa 9 pasien Barret’s esofagus short segmen mengalami

dysplasia sedangkan pada metaplasia kardia intestinal satu pasien. Adenokarsinoma didapatkan

satu pasien pada Barret’s esofagus. Akan tetapi saat ini 64 % dari 22 pasien metaplasia kardia

intestinal baik high grade dysplasia maupun low grade dysplasia berkaitan dengan

adenokarsinoma. Insiden kardia adenokarsinoma meningkat dalam 15 tahun terakhir. Sehingga

diperlukan penelitian selanjutnya untuk mentukan secara paasti risiko keganasan dari metaplasia

kardia intestinal ini.18

Klasifikasi Z-line telah digunakan untuk menggambarkan perluasan endoskopi dengan

berdasarkan pada Barret’s esofagus short segment. sistim ini juga menggunakan batas 3 cm

dalam membedakan antara grade II dan grade III, namun sistim ini tidak akurat dalam menilai

progresi dan regresi Barret’s esofagus. Sistim stadium terbaru yang dinamakan kriteria Prague C

dan M. sistim ini menganjurka penggunaan ukuran lingkaran (C) dan panjang maksimal (M).

sistim grading ini berguna dalam pemakaian secara klinis.19

Criteria Prague C (ukuran lingkaran) dan M ( panjang maksimal) diperkenalkan oleh

Sharma dkk. Klasifikasi M maupun C diukur pada saat endoskopi. Sistim ini mempunyai tingkat

kepercayaan yang tinggi apabila secara visual dengan endoskopi panjang segmennya > 1 cm,

namun kurang kemampuannya jika panjang segmennya < 1 cm.

xvii

BAB. III GEJALA KLINIS, DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

3.1. GEJALA KLINIS

Barret’ esofagus sendiri sebenarnya tidak menimbulkan gejala. Gejala Barret’s esofagus

berkaitan dengan gejala GERD, seperti heartburn atau regurgitasi. Sangat sulit membedakan

pasien dengan gejala GERD menderita Barret’s esofagus berdasarkan gejala. dari penelitian yang

dilakukan berdasarkan penemuan endoskopi didapat bahwa penderita yang mengalami gejala

lebih dari dari lima tahun kemungkinan besar menderita Barret’s esofagus dibandingkan dengan

penderita yang gejalanya kurang dari lima tahun. Dengan demikian kronisitas gejala lebih

penting dalam memprediksi barre’s esofagus dibandingkan keparahan gejala. Dengan alasan ini

dianjurkan pada penderita GERD yang lebih dari lima tahun dilakukan skrining endoskopi guna

mendiagnosis Barret’s esofagus.12

Rex dkk (2003) mendapatkan hampir 8 % pasien Barret’s esofagus mempunyai riwayat

heart burn dibandingkan dengan yang tidak mengalami gejala GERD yang hanya 6 %.

Sedangkan Ward dkk (2006) mendapatkan 20 % Barret’s esofagus pada penderita yang

mempunyai gejala GERD dibandingkan dengan Barret’s esofagus tanpa gejala GERD yang

hanya 15%. Cook dkk (2005) mendapatkan pada penelitian meta-analisis 8-20 % Barret.s

esofagus dengan gejala refluk.3,12

3.2. DIAGNOSIS Radiografi gastrointestinal atas dengan barium enema tidak sensitive untuk mendeteksi

Barret esophagus. Diagnosis Barret’s esophagus masih berpedoman pada biopsy dengan

endoscopi. Kemampuan kapsul endoskopi dalam mendiagnosis barret’s esophagus telah

dilakukan dan menghasilkan sensitivitas 67 % serta spesifisitasnya 84% . penelitian multisenter

lainnya mendapatkan bahwa kapsul endoskopi memiliki sensitifitas yang baik sekali, namun

spesifisitasnya terbatas dalam mendiagnosis barret’s esophagus ataupun refluk esofagitis.22

Pada esofagus yang normal, pertemuan epitel kolumnar lambung dan epitel skuamous

esophagus ditemukan pada bagian paling bawah esophagus. Pada barret’s esophagus pertemuan

ini berpindah keatas dan epitel kolumnar meluas kedalam esophagus dan sangat mudah

dibedakan dengan epitel skuamous yang dilihat diproksimal. Setelah barret’s esophagus

dideteksi pencarian endoskopi ditujukan untuk mencari hubungan seperti refluk esofagitis, ulkus

xviii

esophagus, striktur,atau hiatal hernia serta terutama adanya karsinoma esophagus seperti nodul

atau masa.20

Difinisi Barret’s esophagus mengharuskan paling kurang ditemukannya 3 cm epitel

kolumnar di esophagus. Saat ini peneliti menemukan bahwa short segmen epitel kolumnar

Gambar.4. Rekomendasi strategi pengawasan Barret’s esophagus.kutip,13

berkaitan dengan adenokarsinoma esofagogastrik junction. Barret’s esophagus didiagnosis jika

dari endoskopi ditemukan daerah epithelium kolumnar yang definitive pada esophagus bawah

dan secara biopsy menunjukkan metaplasia intestinal.20

xix

Biopsi perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis Barret’s esophagus. Epitel

kolumnar lambung atas yang langsung terletak dibawah esofagogastrik junction merupakan tipe

fundus atau tipe gastric. Tanda histologi barret’s esophagus adalah ditemukannya metaplasia

intestinal (juga disebut epitel kolumnar) pada esophagus. Pada epitel ini musin mengandung

goblet sel.ujung dari goblets sel masuk kedalam sel sitoplasma yang mudah dilihat dengan

pewarnaan standar hematoksilin-eosin dan dapat dilihat lebih jelas dengan pewarnaan alsian

blue. Goblet sel metaplasia intestinal meliputi seluruh daerah barret’s esophagus. Jenis histologi

seperti ini dijumpai lebih dari 95 % kasus yang ditemukan secara endoskopi pada long segmen

barret’s esophagus (lebih dari 3 cm). jenis epitel seperti ini berkaitan dengan adenokarsinoma

esophagus. Apabila sejumlah biopsy tidak menunjukkan adanya metaplasia intestinal akan tetapi

hanya epitel normal gastric atau fundus, diagnosis barret’s esophagus menjadi meragukan.

Specimen biopsi harus mengandung epitel kolumnar dari dalam hernia diafragma, tidak dari

esophagus. Apabila tidak dijumpai metaplasia intestinal penderita kemungkinan tidak

mempunyai risiko terjadinya kanker oleh sebab itu tidak perlu dilakukan follow up endoskopi

selanjutnya.20

3.3. PENATALAKSANAAN

Ada tiga sasaran terapi penderita Barret’s esophagus;(1) menghentikan refluk,(2)

mendorong atau menginduksi penyembuhan atau mengregresi epitel metaplasia dengan demikian

menghindari mukosa terhadap risiko tinggi (intestinal metaplasia), dan (3) menghambat

perkembangan menuju displasia dan kanker. Sebagian besar penderita Barret’s esophagus

diterapi dengan obat-obatan, namun demikian terapi obat yang adekuat sulit disebabkan karena

adanya gangguan spinkter esophagus bawah dan buruknya motilitas esophagus. Terapi medis

berpatokan kepada diet dan modifikasi gaya hidup, agen promotilitas serta terapi menekan

asam.20,21

Apabila barret’s esophagus sudah terjadi, terapi terutama harus langsung ditujukan untuk

mencegah progresifitas adenokarsinoma esophagus yang sama pentingnya dengan mengontrol

gejala GERD. Pencegahan kanker terutama untuk memonitor progresifitas terhadap terjadinya

dysplasia dan berguna untuk menghilangkan jaringan dysplasia sebelum berkembang kearah

keganasan. Terapi bertujuan untuk mengurangi keasaman isi lambung namun tidak untuk terapi

Barret’s esophagus itu sendiri akan tetapi untuk gejala GERD semata.3

xx

3.3.1. Peran Terapi PPI pada Barret’t Esofagus.

Penggunaan PPI tidak menghasilkan perbaikan barret’s esophagus apabila sudah

terjadi, walaupun terapi yang sangat agresif menekan asam dapat sedikit mengurangi

perluasan jaringan metaplasia (Peter dkk 1999). Dari data yang ada saat ini menunjukkan

pemberian PPI dua kali sehari diizinkan selama periode keasaman lambung dengan PH < 4

pada sebagian besar penderita, sampai gejalanya terkontrol dengan baik (Katz dkk 1998).

Dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa penderita dengan barret’s esophagus

kurang tercapai control PH esofagusnya dengan penggunaan PPI dibandingkan dengan

penderita yang mengalami GERD saja (50 %: 58 %). Gerson dkk (2004) menyatakan derajat

refluk pada penderita Barret’s esophagus lebih berat dibandingkan dengan GERD saja.

Sedangkan Yeh dkk (2003) menyatakan control gejala refluk dengan PPI tidak

menunjukkan control yang adekuat refluk asam kedalam esophagus,62 % penderita yang

diterapi dengan PPI menderita keasaman esophagus yang berat terutama malam hari

walaupun gejalanya terkontrol. Gerson dkk (2005) yang melakukan penelitian dengan

menggunakan tiga PPI yang berbeda mendapatkan PH lambung < 4 pada penderita yang

mendapatkan omeprazole 46 %, yang menggunakan Lanzoprazole 71%, sedangkan yang

menggunakan Rabeprazole 51%.3

Dari satu penelitian terhadap 39 penderita dengan Barret’s esophagus, mendapatkan

bahwa setelah penggunaan PPI selama enam bulan specimen biopsi menunjukkan

penurunan ekspresi marker proliferasi dan peningkatan marker diferensiasi pada penderita

kontrol pH esofagusnya baik namun tidak pada yang penderita yang refluk asamnya

persisten. Ini menunjukkan bahwa control refluk asam sebenarnya dapat mengganggu

terbentuknya dysplasia. El-Serag dkk yang melakukan penelitian pada Veteran’s Hospital

mendapatkan penggunaan PPI pada Barret’s esophagus secara bermakna mengurangi risiko

progresifitas displasia dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan PPI.3

3.3.2. Terapi Endoskopi

Terapi endoskopi ablasi pada Barret’s esophagus berdasarkan apabila refluk asam

gastroesofageal terkontrol dengan obat maupun dengan pembedahan. Keampuhan

endoskopi terapi telah dilaporkan oleh beberapa pusat penelitian dengan penelitian random

dan penelitian kontrol.11

xxi

Tehnik terapi endoskopi pada barret’s esophagus dapat dikelompokkan secara luas

pada yang dapat melakukan pemeriksaan jaringan histologist (Endoscopic Mucosal

Resection [EMR] dan Endoscopic submucosal dissection) dan yang tidak (terapi ablasi).

Terapi ablasi dapat diklasifikasikan kepada heat-generating thermal (Radiofrequency

ablation [RFA], multipolar electrocoagulation dan argon plasma coagulation), tehnik

photochemical (photodynamic therapy [PDT]) dan cryotherapy. Multimodalitas terapi

endoskopi yang mana menggunakan tehnik reseksi guna menyingkir abnormalitas yang

terlihat dan diikuti dengan tehnik ablasi untuk mengeradikasi epitel barret’s yang tersisa

merupakan managemen endoskopik komprehensif yang paling banyak dilakukan pada

neoplasia Barret’s esofagus.11

Tabel.2. Penelitian-penelitian terapi endoskopik: hasil, keuntungan dan keterbatasan.kutip,11

EMR meliputi pengangkatan jaringan mukosa dan submukosa biasanya setelah

sasaran segmen mukosanya terangkat oleh injeksi cairan submukosa. Tehnik EMR yang

paling sering digunakan adalah metoda isap dan potong, dimana lesi mukosa dihisap

xxii

kedalam mangkok endoskopi dan kemudian dipotong dengan menggunakan jerat diatermik.

Juga ada metoda ikat jerat yang menggunakan alat ikat dan ligasi, alat yang sama digunakan

pada endoskopi ligasi varises, yang menggunakan pita elastic disekeliling segmen mukosa

yang terhisap. Segmen yang terikat kemudian diangkat dengan jerat. Metoda hisap dan

potong dapat mengambil sampel jaringan yang luas, sementara ikat dan ligasi lebih cepat

dan lebih murah untuk reseksi multiple.11

Gambar.5. Algoritma Penatalaksanaan Barret’s Esofagus.kutip,22

Dibandingkan dengan metoda biopsi endoskopi konvensional, EMR lebih akurat

terhadap neoplasia, tidak banyak menggunakan ahli pathologi dan lebih akurat dalam

menilai stadium dan dalamnya invasi. Keakuratan stadium dari neoplasia yang terlibat

diperlukan untuk menilai apakah terapi endoskopi dapat dipertimbangkan secara definitive.

Reseksi esophagus yang dilakukan pada penderita karsinoma intramukosa yang belum

memasuki mukosa muskularis menghasilkan tingkat metastasia yang rendah pada kelenjar

limfe (<5%). Oleh sebab itu terapi endoskopi boleh jadi sebagai kuratif pada sebagian besar

penderita neoplasma yang terbatas pada mukosa. Oleh karena itu terapi endoskopi umumnya

tidak dianjurkan secara definitive pada penderita submukosa.11

xxiii

Endoscopic submucosal dissection telah digunakan terutama di jepang, lebih banyak

digunakan untuk terapi neoplasia gastric. Keuntungan yang utama dari Endoscopic

submucosal dissection dibandingkan dengan EMR ialah kemampuannya mengangkat lesi

neoplasia lebih banyak dan lebih terukur dan lebih berpotensi mengangkat semua sel

neoplasia. Namun demikian tehniknya lebih sulit dan prosedurnya lebih lama yang

terkadang memerlukan waktu beberapa jam serta juga menimbulkan komplikasi seperti

perforasi.11,12

multipolar elektrocoagulation menggunakan energi panas pada mukosa. Tehnik ini

membutuhkan waktu dan tidak praktis mengablasi pada daerah yang lebih luas namun

berguna untuk mengeradikasi sisa metaplasia intestinal.11

Argon plasma coagulation merupakan tehnik yang tidak bersentuhan langsung,

dimana energy monopolar dihantarkan ke jaringan melalui ionisasi gas argon. Energy yang

digunakan dari 40-90 W untuk mengablasi metaplasia dan dysplasia Barret’s dengan

keberhasilan antara 70-90 %. Namun demikian beberapa penelitian melaporkan angka

kekambuhan yang tinggi sampai 66% serta sering dijumpai metaplasia kelenjar yang

mendasari epitel squamous (disebut “buried metaplasia”). Komplikasi seperti perforasi,

pneumomediastinum dan perdarahan telah dilaporkan sehingga mengurangi keinginan

terhadap pemakaian Argon plasma coagulation.

PDT merupakan tehnik ablasi yang menghancurkan epitel barret’s meggunakan

energy photochemical melalui interaksi antara hantaran sinar endoskopik serta fotosensitif

yang dikonsentrasikan dijaringan. Interaksi ini menyebabkan keracunan yang menyebabkan

kerusakan jaringan. Fotosensitif yang digunakan pada PDT ialah sodium porfimer yang

diberikan secara intravena dan 5-asam aminolevulinic yang diberikan secara oral. Efek

samping yang terjadi ialah fotosensitif pada 60% penderita, striktur esophagus 36%.11

RFA menggunakan energi radiofrekuensi yang dihantarkan melalui balon kateter

endoskopi atau suatu alat ablasi fokal untuk menghancurkan epitel barret’s. RFA tidak

direkomendasikan pada penderita dengan striktur esophagus oleh karena ballon dapat

menyebabkan perforasi. Energy radiofrekuensi dihantarkan melalui elektroda yang

menghasilkan panas untuk menghancurkan jaringan metaplasia. Penderita kembali setelah

2-3 bulan kemudian untuk dilakukan evaluasi endoskopi serta ablasi sisa jaringan

metaplasia dengan menggunakan alat ablasi focal. Dengan menggunakan kombinasi alat

xxiv

RFA focal dan balon, penelitian menunjukkan eradikasi komplit epitel barret’s pada 98 %

penderita yang dilakukan follow-up selama 30 bulan. Penelitian terbaru dari multicenter

yang dilakukan secara random menunjukkan kemampuan RFA dalam mengeradikasi

dysplasia dan metaplasia intestinal pada Barret’s esophagus. Efek samping ialah terjadinya

striktur esophagus 6%, perdarahan gastrointestinal dan nyeri dada serta robeknya mukosa

esophagus namun dilaporkan jarang terjadi.11

Cryotherapi meliputi penggunaan cryogen secara endoskopi (cairan nitrogen atau

carbon dioksida) yang dikenakan pada jaringan injuri. Kerusakan jaringan akibat cryotherapi

terjadi dalam dua fase: fase cepat disebabkan oleh pembekuan sel dan organelnya. Diikuti

fase lambat dimana sel mengalami apoptosis. Cryoterapi dihantarkan melalui semprotan

tampa memerlukan kontak langsung mukosa dengan kateter yang dapat digunakan terhadap

permukaan yang tidak rata. Masalah yang dapat timbul pada cryoterapi overdistensi dengan

perforasi ( pada penderita Marfan sindrom) dan lensa endoskopi berkabut (alat

menggunakan cairan nitrogen). Walaupun hasil dari cryoterapi menjanjikan dan efek

sampingnya dapat ditoleransi, namun data jangka panjangnya masih terbatas. 11

xxv

BAB.IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Barret’s esofagus merupakan mukosa premalignant dan risiko transformasi menjadi Keganasan sekitar 0,5 % pasien pertahun.

2. Risiko adenokarsinoma esofagus pada Barret,s esophagus mengalami penimgkatan, oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan endoskopi biopsi berkala. 3. Penderita dengan dysplasia stadium tinggi atau adenokarsinoma superficial yang mana terapi pembedahan bukan merupakan pilihan, terapi fotodinamik dan endoskopi reseksi mucosal merupakan alternatif 4.2. Saran 1. Penderita dengan riwayat gejala refluk lebih dari 5 tahun, sebaiknya perlu dilakukan skrining endoskopi.

2. Perlu dipertimbangkan reseksi dengan pembedahan pada dysplasia yang high-grade, apabila reseksi tidak memungkinkan endoskopi ablasi mukosa merupakan pilihan.

xxvi

DAFTAR PUSTAKA

1. Spechler SJ, Gastroesophageal Reflux Disease & Its Complication. Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology.2nd Ed. McGraw-Hill Pub.2003, p 266-282.

2. Poneros JM, Barret Esophagus. Current Diagnosis & Treatment Gastroenterology, Hepatology & Endoscopy. McGraw-Hill Pub.2009. p 148-153.

3. Modiano N, Gerson LB. Barret’ Esophagus : Insidence, Etilogy, Pathophysiology, Prevention and Treament. Ther and Cli R Man.2007.p 1035-1045.

4 Goldblum JR. Barret’s Esophagus and Barret’s-Related Dysplasia. Mod Path J .2003.p 316- 324.

5. Romero Y. Barret’s Esophagus and Esophageal Cancer.

6. DeMeester TR : Barrett’s Esophagus. Update of Pathophysiology and Management. Hep Gast J, 1998.p 1348-1355.

7. Anwar SA, Kanthan SK, Riaz AA. Current Management of Barrett’s Oesofagus. Bri J of Med Prac.2009, Vol 2,p 8-14.

8. Clemons NJ, Fitzgerald C and Farthing MJG. Pathogenesis of Barrett’s Esophagus. Barrett’s Esophagus and Esophageal Adenocarcinoma.Blackwell Publishing.2nd. 2006.p 27-37.

9. Amano Y and Kinoshita Y: Barrett’s Esophagus ; Perspectives on Its Diagnosis and Management in Asia Population. Gast and Hep J. Vol 4.2008.p 45-53.

10.Pascu O, Lencu M ; Barrett’s Esophagus. Rom J of Gast, Vol 13, 2004,p 219-222.

11.Spechler SJ, Fitzgerald RC, Prasad GA et al : Review in Basic and Clinical Gastroenterology. Gastroenterology J.2010.Vol 138.p 854-869.

12.Morales TG, Sampliner RE : Barret’s Esophagus ( Update on Screening, Surveillance, and Treatment). Arch Int Med J.1999.Vol 159.p 1411-1416.

13.Sing R, Ragunath K and Jankowski J : Barret’s Esophagus : Diagnosis, Screening, Surveillance, and Controversies. Gut and Liv J.2007. Vol 1.p 93-100.

14.Chang JT, Katzka DA : Gastro esophageal Reflux Disease, Barret Esophagus, and Esophageal Adenocarcinoma. Arc Int Med J.2004.Vol 164.p 1482-1487.

15.Kamat PP, Anandasabapathy S: Barret’s Esophagus : Evaluation and Management. J C O M. Vol 15.p 402-407.

16.Keswani RN, Noffsinger A, Waxman I et al : Clinical use of p53 in Barret’s Esophagus. C Epi Bio Prev J.2006.p 1243-1250.

17.Rudolph RE, Vaughan TL, Storer BE et al : Effect of Segment Length on Risk for Neoplastic Progression in Patients with Barret’s Esophagus. Ann Int Med J. 2000. Vol 132.p 612-620.

18.Pera M : Trend in incidence and Prevalence of specialized intestinal Metaplasia, barret’s

xxvii

esophagus, and Adenocarcinoma of the Gastroesophageal Junction. Worl J Surg.2003.p 999- 1008.

19.Amstrong D: Review article. Towards Consistency in the Endoscopic Diagnosis of Barret’s Esophagus and Columnar Metaplasia. Alim Pha Ther.2004.p 40-47.

20. Cameron AJ : Management of Barret’s Esophagus. Mayo Clin Proc. 1998.Vol 73.p457-461.

21. Oh DS, DeMeester SR: Pathophysiology and Treatment of Barret’s Esophagus. Wor J Gas.2010.p 3762-3772.

22. Badreddine RJ and Wang KK : Barret’s Esophagus : an update. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2010.Vol 7.p 369-378.