bab iii media dakwah khalifah abbasiyah al...

28
35 BAB III MEDIA DAKWAH KHALIFAH ABBASIYAH AL-MAKMUN A. Biografi Al-Makmun Emir Abdullah ibn Harun al-Rasyid naik menjabat khalifah ketujuh di dalam daulat Abbasiah dengan panggilan Khalifah al-Makmun (198-218 H/ 813-833 M). Ia memerintah dua puluh tahun lamanya. Ia menjabat tampuk kekuasaan di dalam usia 28 tahun dan wafat di dalam usia 48 tahun. Al-Makmun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua Khalifah Harun ar-Rasyid yang lahir pada tahun 170 H/ 786 M dari seorang ibu asal Persia. Ketika masih menjadi putra mahkota, ia diangkat oleh ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw. 1 Al-Makmun dilahirkan pada malam kemangkatan pamannya Khalifah al- Hadi. Seperti disebutkan, al-Makmun dilahirkan enam bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya al-Amin. Ibunya ialah bekas hamba sahaya, bernama Marajil. Tetapi al-Amin berkedudukan lebih baik dari al-Makmun, disebabkan oleh ibunya yang bernama Zubaidah, karena itu al-Amin dilantik sebagai putra mahkota yang pertama. Sementara itu al-Makmun, di samping usianya yang lebih tua, adalah lebih cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara. Khalifah Harun ar-Rasyid telah melantik al-Makmun sebagai putra mahkota yang kedua, sesudah al-Amin, serta menyerahkan kepadanya wilayah Khurasan sampai ke Hamdan. Al-Amin tidak diberi kekuasaan atas wilayah tersebut. 1 Departemen Agama RI. 1992. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta : Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam. Hlm. 683

Upload: lydang

Post on 06-Feb-2018

239 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

35

BAB III

MEDIA DAKWAH KHALIFAH ABBASIYAH AL-MAKMUN

A. Biografi Al-Makmun

Emir Abdullah ibn Harun al-Rasyid naik menjabat khalifah ketujuh di dalam

daulat Abbasiah dengan panggilan Khalifah al-Makmun (198-218 H/ 813-833 M).

Ia memerintah dua puluh tahun lamanya. Ia menjabat tampuk kekuasaan di dalam

usia 28 tahun dan wafat di dalam usia 48 tahun.

Al-Makmun adalah salah seorang Khalifah Bani Abbas, beliau anak kedua

Khalifah Harun ar-Rasyid yang lahir pada tahun 170 H/ 786 M dari seorang ibu

asal Persia. Ketika masih menjadi putra mahkota, ia diangkat oleh ayahnya

menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw.1

Al-Makmun dilahirkan pada malam kemangkatan pamannya Khalifah al-

Hadi. Seperti disebutkan, al-Makmun dilahirkan enam bulan lebih dulu dari

saudara sebapaknya al-Amin. Ibunya ialah bekas hamba sahaya, bernama Marajil.

Tetapi al-Amin berkedudukan lebih baik dari al-Makmun, disebabkan oleh ibunya

yang bernama Zubaidah, karena itu al-Amin dilantik sebagai putra mahkota yang

pertama. Sementara itu al-Makmun, di samping usianya yang lebih tua, adalah

lebih cerdas dan lebih pintar mengurus segala perkara.

Khalifah Harun ar-Rasyid telah melantik al-Makmun sebagai putra mahkota

yang kedua, sesudah al-Amin, serta menyerahkan kepadanya wilayah Khurasan

sampai ke Hamdan. Al-Amin tidak diberi kekuasaan atas wilayah tersebut.

1 Departemen Agama RI. 1992. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta : Proyek

Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam. Hlm. 683

36

Suatu ketika pada masa menjelang kekuasaan al-Makmun terjadilah

perebutan kekuasaan al-Amin dan al-Makmun, disebabkan oleh keangkuhan al-

Amin dan pengkhianatan al-Fadl bin ar-Rabi’, sewaktu kedua-duanya berusaha

untuk mencopot putra gelar mahkota dari al-Makmun dan menggantikannya

dengan Musa bin al-Amin.2

Bahkan untuk memahaminya pada periode itu kita harus melangkah ke

belakang mulai dari perang saudara antara kedua putranya, al-Amin dan al-

Makmun. Harun ar-Rasyid memutuskan bahwa al-Amin harus menggantikannya

dan al-Makmun adalah pengganti berikutnya. Dia juga menjadikan al-Amin

gubernur Suriah dan al-Makmun gubernur propinsi-propinsi timur.

Konflik ini oleh ilmuwan barat di gambarkan sebagai perselisihan antara

orang-orang Arab dan Persia, tetapi sekarang diakui bahwa aspirasi-aspirasi

nasional masing-masing bukanlah isu utama. Namun benar juga bahwa al-

Makmun adalah putera perempuan Persia, dan bahwa wazirnya sampai tahun 818

M, al-Fadl bin Sahal adalah seorang keturunan Persia penganut Zoroaster,

sementara ibu al-Amin adalah orang Arab dan wazirnya, al-Fadl ibnu ar-Rabi’,

walau asal-usulnya tidak diketahui, adalah mawali suatu suku Arab dan

bersimpati dengan orang-orang Arab. Wazir ini adalah juga berjasa dalam

menjatuhkan golongan Barmakiyah dalam tahun 803 M dan menggantikan

mereka dengan para pendukung Harun.

Sebaliknya saingannya, al-Fadil bin Sahal adalah seorang didikan

Barmakiyah. Namun kaum Barmakiyah bukanlah bangsa Persia sebagaimana

2 A.Syalabi. 1997. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra.Hlm.129

37

semula diduga, karena sekarang diketahui bahwa leluhur mereka adalah

Barmakatau ketua sebuah wihara Buddha di dekat Balkh (dekat sungai Oxus).

Namun mereka dekat hubungannya dengan kelas sekretaris dan tampaknya

bersimpati dengan sikap otokratik. Namun akhir dari dominasi dari Barmakiyah

terutama bukan disebabkan oleh masalah kebijakan, tetapi oleh kenyataan bahwa

Harun merasa terancam oleh kekuasaan dan kekayaan mereka yang besar. Maka

sebelum 803 M terdapat beberapa petunjuk, tetapi tidak lebih dari pada petunjuk

adanya ketegangan antara kedua blok itu; dan pertikaian antara putera-putera

Harun yang tampaknya tidak disengaja itu disebebkan oleh pertentangan-

pertentangan kepentingan dan polarisasi kebijakan-kebijakan.3

Tiga tahun terakhir dari kehidupan al-Makmun telah terpenuhi oleh

peperangan yang tidak henti-hentinya melawan Byzantium yang saat itu

diperintah oleh Kaisar Theopilus (829-842 M). Akhirnya pada tahun 832 M

Kaisar terpaksa meminta diadakan perdamaian. Tak lama setelah itu yaitu pada

tahun 833 M al-Makmun meninggal dunia di salah satu markas besarnya di

perbatasan Syria-Anatolia dekat Tarsus setelah memerintah lebih dari sepuluh

tahun. 4

3 Montgomery Watt.1990. Kejayaan Islam Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta : Tiara Wacana. Hlm. 122

4 Departemen Agama RI. Op.cit Hlm. 684

38

B. Kondisi Sosial Budaya Yang Melingkupi Kekuasaan Al-Makmun.

Kondisi sosial budaya yang melingkupi kekuasaan al-Makmun dapat dilihat

dari berbagai dimensi, diantaranya adalah:

Tidak memberi kesempatan bagi keturunan Bani Umayah menduduki jabatan-

jabatan kenegaraan.

Para khalifah masih tetap keturunan Arab dari dinasti Abbasiyah, sedangkan

para menteri, gubernur, panglima, dan pegawai diangkat dari non Arab

(mawali) utamanya dari keturunan Persi.

Kota Baghdad sebagai kota negara dibuka untuk semua bangsa, dan dijadikan

sebagai kota internasional ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan diangkat sebagai sesuatu yang mulia yang dikembangkan

seluas-luasnya, rakyat bebas berfikir dan dalam segala bidang diberi hak

penuh memperoleh hak asasinya, para menteri keturunan non Arab, utamanya

dari unsur Persi diberi hak penuh menjalankan pemerintahan negara, para

Khalifah Abbasiah berusaha sungguh-sungguh membangun ekonomi negara.5

Masyarakat pada pemerintahan al-Makmun terbagi dalam dua kelas yaitu

kelas khusus dan kelas umum.

Kelas khusus yaitu terdiri dari khalifah, ahli famili khalifah (bani hasyim),

para pembesar negara, para kaum bangsawan (umumnya terdiri dari suku

Quraisy) para petugas khusus negara, anggota tentara,dan pembantu-pembantu

negara. Kelas umum yaitu terdiri dari para ulama, fuqoha, seniman, pujangga,

5 Ma’ruf Misbah, 1988, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Wijaya Wicaksana, hlm. 32.

39

saudagar, pengusaha, para tukang, dan petani.6 Oleh sebab itu maka

pembagian masyarakat tersebut mencerminkan adanya pemisahan masyarakat

antara pemerintah dan masyarakat umum (yang diperintah).

Pertumbuhan dan perkembangan Islam pada masa al-Makmun adalah sejalan

pula dengan pertumbuhan dan perkembangan dakwah.

Islam identik dengan dakwah, dan dakwah identik pula dengan Islam. Islam

mengalami kemajuan berarti kemajuan bagi dakwah, begitu pula sebaliknya.

Pada pemerintahan al-Makmun, pertumbuhan dan perkembangan agama Islam

diwarnai oleh dua kehidupan, yaitu kehidupan Iman dan Zindiq. Kehidupan

Iman yaitu kehidupan yang diwarnai dengan hati dan agama, kepercayaan

iman yang kholishoh dan kehidupaan agama yang shodiqoh. Kehidupan

Zindiq yaitu kehidupan yang diwarnai akal dan pikiran serta rasa, yang

menimbulkan keraguan tentang iman dan menentang agama dengan ajaran-

ajarannya.7

Gambaran situasi agama di atas, kemudian menimbulkan berbagai interpretasi

dan apresiasi agama, yang mewarnai kehidupan umat Islam seperti : Syi’ah,

Jabariyah, Qodariyah, Murji’ah, Muktazilah, dan Ahlu sunah.

Syi’ah adalah suatu aliran agama, yang semula merupakan golongan pengikut

dan sahabat Ali ra., mereka menamakan diri demikian karena mereka

mendukung duduknya Ali ra. sebagai khalifah. Namun dalam perkembangan

selanjutnya mereka menyebarkan faham-faham keagamaan yang diindikasikan

sebagai ajaran Imam Ali ra.

6 A.Hasjmy. op.cit. hlm. 243. 7 I b i d. hlm. 148.

40

Jabariyah adalah, suatu aliran agama yang berfaham bahwa segala sesuatunya

adalah atas kehendak dan ketentuan Tuhan (ajaran serba taqdir).

Qodariyah adalah suatu aliran agama yang berpendapat bahwa seluruh gerak

dan usaha manusia atas perilakunya itu sendiri bukan dari Allah.

Murji’ah adalah berpendirian keimanan seseorang tidak akan binasa karena

kemaksiatan.

Mu’tazilah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa tolok ukur

kebenaran adalah rasio yang merupakan motor penggerak usaha manusia.

Ahlussunnah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa seseorang

memenuhi syarat keislaman bilamana menuturkan syahadat, diikuti dengan

kepercayaan hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan / tingkah laku.8

Pertumbuhan dan perkembangan aliran-aliran tersebut beserta kegiatan

dakwahnya lambat laun mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

Islam secara luas dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masing-

masing dari mereka berpegang teguh terhadap keyakinannya, mereka fanatik

dengan keyakinannya, bahkan mereka menyerang lawan madzhabnya dan

menuduhnya kafir serta keluar dari Islam. Perang argumen terjadi diantara

mereka, setiap sekte mendapat dukungan dari penguasa dan gubernur, maka

semakin kuatlah posisi mereka. Setiap aliran atau sekte memiliki makalah dan

buku tentang ajarannya, negara yang membekkingnya dan kekuasaan yang

melegalkannya.9

8 M.Taib Tahir Abdul Mu’in. 1981, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, hlm. 90-105. 9 Muhammad Sayyid Al-Wakil. 1998, Wajah Dunia Islam, dari dinasti Bani Umaiyah

hingga Imperialisme Modern, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, hlm.93.

41

Kondisi pemerintahan al-Makmun.

Ketika al-Makmun mengklaim dirinya sebagai kholifah pada tahun 913 M, al-

Makmun banyak mendapat dukungan dari rakyat Khurasan yang dulunya

dikuasai al-Amin. Al-Makmun keluar sebagai pemenang dan mulai

memegang kekuasaan.

Al-Makmun menyadari kerapuhan pemerintahannya. Kekuasaan dimulai

dengan perang saudara, dengan pemberontakan Syi’ah di Kufah dan Basrah

(814-815 M) dan dengan pemberontakan Khawarij di Khurasan. Dia menindas

kelompok-kelompok tersebut dan mengurangi ketegangan religius, tetapi

kebijakan-kebijakannya malah memperburuk keadaan. Sebagai seorang

intelektual, dia merasa harus kembali pada rasionalisme Muktazilah dan itu

mengembalikan dukungan kepadanya. Dia juga melihat bahwa gerakan

populis ahlul hadits yang mendesak agar hukum Tuhan bisa dimasuki setiap

Muslim, tidak sesuai dengan monarki absolut. Namun segera setelah berkuasa

lagi, kaum Muktazilah melakukan pembalasan kepada ahlul hadits yang

pernah memenjarakan dalam waktu lama. Inkuisi (mihnat) dilaksanakan, dan

Ahli Hadits yang sangat popular, Ahmad Ibnu Hambal dipenjara. Ahmad Ibnu

Hambal menolak semua tawaran yang diberikan oleh Khalifah adalah karena

beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh

sebab itu mereka berurusan mengajak Ahmad Ibnu Hambal untuk

bekerjasama mengikuti gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka disiksa

hingga meninggal, karena menolak semua tawaran yang mereka berikan.10

10 Http: //www. Perjuangan Ulama’ Terdahulu. / Sejarah 13-26.tm.Or.id (23 Agustus 2003)

42

Ibnu Hambal menjadi pahlawan rakyat. Kemenangan kaum Muktazilah

ternyata tidak membawa kebaikan al-Makmun, bahkan kaum Muktazilah

mengasingkan dari massa.11

Khalifah al-Makmun di dalam suratnya itu memerintah untuk melakukan al-

Mihnat (pemeriksaan) terhadap keyakinan yang dianut setiap pejabat dan

pembesar pemerintahan, terutama pejabat dan pembesar lembaga peradilan.

Juga al-Mihnat terhadap tokoh-tokoh terkemuka di dalam kehidupan

masyarakat.

Surat yang dikirimkan al-Makmun tersebut menjelaskan sebab-sebab yang

mendorong Khalifah al-Makmun mengeluarkan perintah resmi yaitu sebagai

suatu kewajiban memelihara kemurnian agama Islam dan menegakkan

keyakinan yang benar dalam lingkungan pemeluk agama Islam.12

Demikianlah pembahasan mengenai Kondisi sosial budaya yang melingkupi

kekuasaan al-Makmun yang terinterpretasikan di dalam berbagai dimensinya

melalui sistem pemerintahan yang berlangsung dan sistem sosial politik yang

menyertainnya, kesemuanya itu merupakan realitas perkembangan ummat Islam

dan sekaligus Dakwah Islam yang ada pada saat itu.

11 Karen Armstrong. 2002. Sepintas Sejarah Islam. Yogyakarta : Ikonteralitera. Hlm. 75. 12 Joesoep Sou’yb. 1997. Muktazilah Peranannya dalam Perkembangan Alam Pikiran

Islam. Jakarta : Al-Husna Zikra. Hlm.152

43

C. Media Dakwah Khalifah Abbasiyah Al-Makmun

1. Politik.

Sikap politik yang merupakan kebijakan al-Makmun tercermin di dalam

susunan organisasi pemerintahan negara dan sistem politik yang menyertainya.

Susunan organisasi pemerintahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Negara dipimpin oleh kepala negara yang bergelar khalifah, dan jabatannya

bernama khilafat. Sedangkan untuk membantu khalifah dalam menjalankan

pemerintahan negara ditetapkan suatu jabatan wizarat dan Dewan al-

Kitabah.13

Wizarat adalah suatu jabatan yang ditetapkan oleh khalifah al-Makmun guna

membantu menjalankan pemerintahan negara. Pemangku jabatan ini bernama

wazir atau disebut dengan menteri Yang dalam pelaksanaannya ditetappkan

Wizarat Tafiz dimana wazirnya hanya sebagai pembantu khalifah, bekerja atas

nama khalifah, dan Wazarat Tanfidl dimana wazirnya diberi kuasa penuh

untuk memimpin pemerintaahan negara, Khalifahnya hanya sebagaai lambang

saja. Dalam menjalankan pemerintahan negara, Wazir dibantu oleh sebuah

dewan menteri yang bernama Rais al-Ridwan yaitu, Departemen keuangan,

Departemen kehakiman, Departemen pengawasan urusan negara, Departemen

ketentramaan, perburuhan, perhubungan, pengawasan keuangan,urusan arsip,

pembelaan rakyat, keamanan, kepolisian, Sosial, Urusan wanita, keluarga, dan

pekerjaan umum.14 Dengan teraturnya sistem menjalankan pemerintahaan,

maka akan mendukung pelaksanaan dakwah itu sendiri, dimana segala urusan

13 Hamka. 1974. Sejarah Umat Islam II. Jakarta : Bulan Bintang. Hlm. 130. 14 Ibid, hlm.131.

44

di dalam departemen, baik peraturannya maupun pelaksanaannya berdasar atas

asas-asas Islam yang terpegangi secara baik.

Dewan al-Kitabah adalah suatu jabatan untuk membantu khalifah dalam tata

urusan negara. Pemangku jabatan ini adalah bernama Rasail al-Kutab atau

biasa disebut sekretaris negara. Dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh

beberapa khatib atau sekretaris yang terdiri dari; sekretaris urusan persuratan,

keuangan, tentara, kepolisian, dan kehakiman.15

Dalam urusan pemerintahan al-Makmun, wilayah negara dibagi kedalam

beberapa wilayah propinsi (imarat), dengan seorang pimpinan yang bergelar

Amir.

Bentuk-bentuk Imarat di sini adalah al-Istifa yaitu sebuah propinsi yang

kepada gubernurnya diberi hak dan kekuasaan negara di wilayahnya. al-

Hashah yaitu propinsi yang kepada gubernurnya diberi hak dan wewenang

yang terbatas. Dan yang terakhir adalah al-Istila’u yaitu propinsi defakto yang

didirikan oleh seorang panglima dengan kekerasan, kemudiaan dengan

terpaksa diakui oleh Khalifah dan panglima yang bersangkutan menjadi

gubernurnya. Sedangkan wilayah negara yang terkecil adalah terdiri dari

wilayah kota dan desa. Wilayah kota pimpinannya langsung dibawah

koordinasi para gubernurnya. Wilayah desa yang disebut al-ura’ dibawah

pimpinan kepala desa yang bergelar Syekh al-Qariah dibawah koordinasi para

15 Ibid, hlm. 130

45

pemimpin kota, masing-masing desa tersebut mendapatkan hak otonomi

penuh, sedangkan wilayah kota dan propinsi otonominya terbatas.16

Angkatan bersenjata pada Khalifah al-Makmun terdiri dari angkatan darat dan

angkatan laut, dan panglimanya diberi gelar Amir al-Umara yang membawahi

10 qa’id (sepuluh ribu prajurit). 17

Untuk mengurus keuangan negara agar mendapatkan pemasukan keuangan

dengan baik, dibentuklah badan keuangan al-Khasanah yaitu untuk mengurus

perbendaharaan negara, dewan al-Azran yaitu untuk mengurus kekayaan hasil

bumi negara, dewan khasasin sila mengurus perlengkapan perang.

Organisasi kehakiman dan peradilanpun sudah mulai dibentuk yaitu untuk

melaksanakan ketertiban hukum negara dan melaksanakan tertib hukum yang

berlaku.18 Adapun politik yang dijalankan oleh pemerintahan al-Makmun

antara lain adalah sebagai berikut:

Kebebasan berfikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya. Pada waktu

itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taklid, hal mana

menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala

bidang, termasuk bidang akidah, falsafah, ibadah dan lain sebagainya.

Para menteri turunan Persia diberi hak yang penuh dalam menjalankan

pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina

tamaddun Islam. Mereka sangat mencintai ilmu dan mengorbankan

kekayaannya untuk memajukan kecerdasan rakyat dan meningkatkan ilmu

16 Ibid, hlm. 131 17 Ibid., hlm. 132 18 A.Hasjmy. 1976, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 231-236.

46

pengetahuan, sehingga karenanya banyaklah turunan Mawaly yang

memberikan tenaga dan jasanya untuk kemajuan Islam.19

Al-Makmun mengambil sebuah kebijakan politik. Untuk

menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan

dukungan seorang panglima Khurasan yang bernama Thahir, yang diberikan

imbalan menjadi gubernur Khurasan dan menjadi jenderal militer Abbasiah

diseluruh Imperium, dengan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut

dapat diwariskan kepada anak keturunannya. Selain mendatangkan manfaat

yang bersifat sementara, konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat

diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiah untuk menyatukan sejumlah

wilayah propinsi besar menjadi sebuah sitem politik yang memusat di tangan

pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elite di bawah arahan

Khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh

sebuah persekutuan Khalifah dengan penguasa gubernur besar.20

Untuk menghentikan kekuatan Thahiriah dan untuk merebut kembali

kekuasaan langsung atas sejumlah wilayah propinsi, maka beberapa Khalifah

Abbasiah segera membentuk pasukan militer baru. Demikianlah al-Makmun

membuat dua tipe militer. Pertama disebut Syakiriah melengkapi unit-unit

yang berada di bawah kepemimpinan panglima-panglima lokal mereka, dari

Transoxiana, Armenia, dan Afrika Utara. Sekalipun pasukan-pasukan militer

tersebut tidak bertanggung jawab secara langsung kepada Khalifah, namun

mereka berjuang sebagai kekuatan tandingan bagi Thahiriah dan menciptakan

19 Ibid.Hlm. 243 20 Ira M. Lapidus. 1999. Sejarah Sosial Ummat Islam. Bagian 1 dan 2. Jakarta : Raja

Grafindo Persada .Hlm. 94

47

suatu keseimbangan militer yang akan melepaskan ketergantungan khalifah

pada seorang penguasa gubernuran. Tipe pasukan kedua terdiri dari budak-

budak Turki, yang disebut ghilman, yang didatangkan secara individual, lalu

dikelompokkan menjadi sejumlah resimen. Untuk menciptakan efisiensi dan

moralitas, dan untuk menciptakan keseimbangan kekuatan antar resimen

tersebut, masing-masing resimen tinggal di wilayah perkampungan sendiri-

sendiri, memiliki masjid dan pasar sendiri, dan mereka dilatih dan diberi

perlengkapan dan gaji oleh komandan masing-masing. Demikianlah sebuah

resimen pasukan budak telah berkembang menjadi unit-unit yang mandiri

yang lebih mencurahkan segenap loyalitas mereka kepada atasan mereka dari

pada kepada khalifah.21

Kebijakan al-Makmun ketika berada di Mesir, beliau memberi izin kepada

kedua orang Kristen pembantu istananya untuk memdirikan gereja di al-

Mugattam, suatu bukit dekat Cairo, dan dengan izin Khalifah tersebut, seorang

Kristen yang kaya raya itu bernama Bukam, membangun beberapa gereja

indah di Burah (Mesir). Timotheus seorang patriarch Nestoria mendirikan

sebuah gereja di Takrit dan sebuah biara di Baghdad.22

Namun setelah kemenangan al-Makmun ketegangan masih berlanjut. Dalam

tahun 817 M al-Makmun mengambil langkah luar biasa dengan menunjuk

penggantinya bukan salah satu puteranya tetapi salah satu keluarga Ali, Ali ar-

Ridha, yang kemudian diakui sebagai imam kedelapan dalam imamah.

Sumber-sumber yang ada mengisyaratkan bahwa Wazir al-Fadil bin Sahal

21 Ibid. Hlm. 95 22 Thomas W.Arnold. 1979. Sejarah Dakwah Islam. Terj.M Rambe, Nawawi. Jakarta:

Widjaya. Hlm. 62-63

48

tidak menginformasikan situasi di Iraq dan bahwa bakal penggantinyalah yang

justru membuka matanya; tetapi semua ini mungkin hanyalah desas-desus

istana. Yang pasti adalah bahwa al-Fadil bin Sahal dibunuh dalam sebuah

pemandian umum awal tahun 818 M dan bahwa Ali ar-Ridha meninggal enam

bulan kemudian; yang terakhir ini menurut sejarawan Imamiah adalah karena

diracuni al-Makmun. Sekarang tidak mungkin menetapkan apakah wazir

dibunuh atas perintah khalifah atau oleh lawan-lawannya dari Iraq.

Bagaimanapun, perubahan pokok dalam kebijakan keputusan bahwa khalifah

harus kembali ke Baghdad telah diambil sebelum pembunuhan itu. Sebaliknya

tidak ada alas an jelas kenapa khalifah menghendaki penyingkiran bakal

penggantinya, dan tuduhan kaum Imamiah mungkin harus ditolak.

Kembali ke Baghdad memang penting, terutama pada tahun tahun 820 M,

jenderal Thahir dikirim ke timur dan kemudian menjadikan dirinya otonom;

tetapi menjadikan Iraq sebagai pangkalan utama kekuasaan khalifah tidak

berarti adanya suatu perubahan radikal dalam keyakinan politis.

Dokumen yang menunjuk Ali al-Ridha sebagai pengganti masih ada, dan tidak

memuat sesuatu pun yang bias dianggap sebagai uluran tangan pada golongan

Imamiah. Tidak disebutkan mengenai penunjukan dan Umar disebutkan

dengan hormat, sementara khalifah disebut sebagai menjunjung Al-Qur’an

dan Sunnah Rosul suatu ungkapan dari kaum konstitusionalis. Ungkapan

mengenai kualitas-kualitas pribadi Ali al-Ridha, adalah bernama Zaidiyah

dalam pengertian yang diperluas seperti tersebut diatas. Demikianlah maka

kematian Ali al-Ridha, walau memberikan al-Makmun kesempatan untuk

49

berpikir lagi dan memang dia terpaksa berfikir lagi, tidak membawa

perubahan pandangan mendasar. Sebagian kelompok Muktazilah zaidiyah

kemudian berhubungan dekat dengan khalifah di Baghdad sudah sangat

dikenal sebelumnya di Istananya di timur.23

Usaha-usaha untuk mengatasi ketegangan bisa dilihat dalam hal yang ada

hubungannya yaitu ketergantungan yang makin besar pada tentara Turki dan

dipindahkannya ibukota ke Samarra. Al-Makmun dikatakan yang pertama kali

memperkerjakan serdadu-serdadu budak dari perbatasan kerajaan, kebanyakan

adalah suku Barbar dari sahara atau suku Turki dari seberang (sungai) Oxus.

Orang-orang itu tidak berpihak kemana-mana dalam pertikaian politik dan

pertimbangan utama mereka adalah serdadu-serdadu yang lebih baik.24

Dalam mempertahankan kekuasaan, Khalifah al-Makmun membawa dinasti

Abbasiah ke puncak kejayaan baik dibidang ekonomi, perdagangan, politik,

sosial, militer, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga al-Makmun

membawa dunia Islam menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan

dunia, dan menjadi kekuatan raksasa di dunia belahan Timur.25

Ada berbagai metode dan setrategi politik al-Makmun dalam hal pemantapan

dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, diantaranya adalah :

Penumpasan faham-faham yang menyimpang.

23 Mont Gomery Watt.Tt. Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.Hlm.123 24 Ibid.Hlm. 124. 25 J. Suyuti Pulungan. 1994. Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta : PT

Raja Grafindo Persada. Hlm. 172

50

Untuk membina kehidupan agama yang bersih dari berbagai faham dan

aliran yang menyimpang, maka setiap muncul aliran sesat yang

melemahkan Islam hal itu langsung dihancurkan, misalnya: Al-

Rawandiyah, Al-Muqanna’iyah, Al-Khurramiyah, Al-Zanadiqoh. Al-

Rawandiyah. Gerakan ini ditimbulkan oleh orang-orang turunan persia

yang lahiriyahnya masuk Islam, tetapi batiniyahnya tidak. Gerakan ini

bertujuan memasukkan unsur-unsur agama mereka (Zoroaster, Majusiyah,

Mazdakiyah, dan Saba’iyah) kedalam agama Islam dan untuk

menghancurkan Islam. Al-Muqanna’iyah. Gerakan ini dipimpin oleh al-

Muqanna. Gerakan ini mengajarkan bahwa harta dan wanita menjadi milik

bersama, membatalkan puasa, shalat, zakat dan haji. Al-Khurramiyah.

Gerakan ini dipimpin oleh al-Khurrami. Aliran ini mempunyai ajaran

diantaranya menghalalkan sesuatu yang di haramkan oleh syariat Islam

misalnya minum-minuman arak, berzina, mencuri dan lain-lain.

Al-Zanadiqoh. Gerakan ini lebih dikenal dengan nama Zindiq. Ajaran ini

dipengaruhi oleh adat istiadat Persia dan tergila-gila dengan kemesuman.

Mereka berfaham bahwa Tuhan lebih dari satu, serta melecehkan adat

sopan santun dan menciptakan kehidupan masyarakat yang selalu

bertentangan dengan agama.26

Pengembangan Ilmu-Ilmu Agama.

Mengubah satu situasi kepada situasi yang lebih baik berdasarkan ajaran

Islam agar memperoleh kebahagiaan adalah merupakan usaha dakwah

26 A.Hasjmy. 1976, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 225-227.

51

yang terus dikembangkan. Untuk memperoleh tatanan yang lebih baik

dikembangkanlah suatu ilmu. Ilmu-ilmu agama yang dikembangkan pada

saat itu adalah seperti Tafsir, Hadits, Tasawuf, Ilmu Kalam.

Ilmu Tafsir. Perkembangan ilmu tafsir pada saat ini telah sangat maju

dengan berbagai penafsiran yang teratur dan sistematis. Penafsiran al-

Qur’an dilakukan dengan cara bilma’tsur (ditafsirkan dengan hadits) dan

penafsiran al-Qur’an bilra’yi (ditafsirkan dengan akal). Diantara tokoh-

tokoh ilmu tafsir yang terkenal adalah Sufyan Ibn Uyainah (198 H), Waqi’

Ibn Yarrah (196 H), Syu’ban Ibn Hajjaj (160 H), al-Syu’udy (127 H), Ibn

Juraij (150 H), Al-Muqotil (150 H), al-Mutsanna (209 H) dan lain-lain.27

Ilmu Hadits. Pada masa Khalifah al-Makmun beliau meneruskan usaha

yang telah dirintis oleh Khalifah al-Mansur, dibukukanlah kitab hadits al-

Muwatha’ karya Imam Malik, kemudian setelah itu dibukukanlah kitab-

kitab hadits yang lain, namun pembukuan itu masih bercampur baur antara

Hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’. Demikian pula isinya masih

bercampur baur antara hadits-hadits Nabi dan perkataan sahabat, tabi’in,

oleh karena itu dalam perkembangan ilmu hadits lebih lanjut, muncul ilmu

Mustalah hadits untuk membedakan mana yang hadits dan bukan. Diantara

tokoh-tokoh ilmu hadits pada saat itu adalah : Ibn Iskhak (151 H), Said Ibn

Abi Arubah (156 H), al-Laits Ibn Sa’ad (175 H), Imam Malik (179 H),

27 Hasbi ash-Shiddiqie. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang, hlm.

215-219.

52

Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Syafi’i (204 H), Ibn Juraij (150 H) dan

lain-lain.28

Ilmu Fiqih. Ilmu fiqih ini adalah merupakan ilmu hukum Islam dan

merupakan dasar dari pengambilan hukum untuk mengatur hidup

masyarakat yang dilakukan oleh negara. Hanya saja dalam prateknya

terjadi berbagai pertentangan karena perbedaan pendapat hasil ijtihad

masing-masing mujtahid yang ada. Sehingga akhirnya para fuqoha’ pada

saat itu terbagi menjadi dua aliran, yaitu ahlu al-Hadits dan ahlu al-Ra’yi.

Ahlu al-Hadits yaitu aliran yang ijtihatnya berdasarkan al-Hadits.

Sedangkan ahlu al-Ra’yi yaitu aliran yang ijtihatnya berdasarkan akal dan

pikiran. Ilmu Fiqih sebagai ilmu hukum Islam pada masa ini telah

dibukukan dengan sempurna, karena usa yang sungguh-sungguh dari

mujtahid, diantaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam

Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hambal, Syarik Ibn Abdullah Nakha’i,

Muhammad Ibn Abdurrahman, Sofyan Ibn Sa’id Sury, dan lain-lain.

Ilmu Kalam. Ilmu ini lahir dikarenakan oleh masuknya filsafat yunani

dalam kebudayaan Islam. Berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan dan

adanya usaha penterjemahan buku-buku berbahasa asing. Tumbuhnya

ilmu kalam ini oleh al-Muktazilah sebagai pelopornya, hal ini karena

untuk membela Islam dari serangan kaum Zindiq, kaum Nasrani, Yahudi.

Adapun tujuan yang pokok adalah membela Islam dengan bersenjatakan

filsafat, membendung perkembangan ilmu dan akal yang membahayakan

28 I b I d., hlm. 82-96.

53

agama. Tokohnya adalah antara lain Washil ibn Atha’, Abu Huzail al-

Alaf, al-Dham, Abu Hasan al-Asyari, Imam al-Ghazali , dan lain-lain. 29

Perkembangan dan kemajuan ilmu agama di atas pada akhirnya :

Berintegrasi dalam kehidupan Negara, dalam hal ini maka lahirlah ilmu

hukum Islam (fiqh) yang menjadi dasar berlakunya tertib hukum pranata

sosial kehidupan masyarakat; berintegrasi dalam pertumbuhan dan

perkembangan ilmu pengetahuan. Maka lahirlah ilmu sastra, kaligrafi,

arsitektur, dan lain-lain. ;mengadakan pendekatan persuasive dalam

kehidupan masyarakat sehari-hari. Kemudian lahirlah berbagai macam

faham keagamaan yang mengkristal dalam berbagai macam faham

kepercayaan imam mdzhab, tasawuf, teologi. Diantara imam madzhab

yang terkenal adalah Hanafi, Mambali, Maliki, dan Syafi’i ; mengadakan

control sosial terhadap pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Maka lahirlah kemudian ilmu kalam, falsafah dan ilmu agama lainnya. 30

Disamping ilmu agama di atas, juga berkembang dan pertumbuhan ilmu

pengetahuan dalam memajukan kebudayaan dan terciptanya kebudayaan

baru yaitu, membangun pranata sosial kehidupan umat, menciptakan

suasana kehidupan yang cinta ilmu, memajukan seni dan budaya,

memajukan ghiroh kehidupan yang dinamis, membangun kota peradaban

29 I b I d., hlm. 266-267.

30 H.A.R.Gibb. 1981,Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Abusalamah, Jakarta : Bhatara Karya Aksara, hlm.78-79

54

dan kebudayaan, menciptakan sarana dan prasarana kemudahan hidup

umat manusia. 31

(3) Sikap Khalifah al-Makmun terhadap al-Mihnat

Al-Makmun merasakan dirinya berkewajiban memelihara kemurnian

keyakinan yang dianut ummat Islam itu dari setiap kekeliruan, apalagi

jikalau bertalian dengan pokok-pokok keyakinan yaitu mempersamakan

keazalian Allah Maha Esa dengan sesuatu yang lainnya, seumpama Al-

Qur’an.

Lapisan Awwam dewasa itu sangat hangat memperbincangkan masalah

kejadian Al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an itu “qadim” karena mengikuti

pendapat pemuka-pemuka agama yang memanggilkan dirinya Ahlus-

Sunnah, dan pendapat itu dibantah oleh Al-Makmun di dalam suratnya

beralaskan pernyataan-pernyataan di dalam Al-Qur’an sendiri.

Bahkan sebagian besar para Hakim (Al-Quddhat) sendiri, yang menduduki

jabatan-jabatan peradilan, menganut keyakinan tentang “keazalian” Al-

Qur’an itu; dan selanjutnya bertindak menerima kesaksian setiap saksi

yang mengakui keazalian Al-Qur’an dan sebaliknya menolak kesaksian

setiap saksi yang mengakui kebaruan Al-Qur’an.

Al-Makmun berpendirian bahwa keputusan seseorang Hakim dan

kesaksian seseorang saksi tidaklah dapat diperpegangi kecuali keyakinan

yang dianutnya itu benar. Barangsiapa berkeyakinan tentang keazalian Al-

Qur’an itu maka keyakinan Tauhid-nya telah rusak. Baikpun keputusannya

31 Ahmad Amin. 1987, Islam dari masa ke masa, terj. Abu laila dan M. Thohir, Bandung

: Rosda Karya, hlm. 288.

55

maupun kesaksiannya sudah tidak dapat dipercayai, hingga sudah

disangsikan kejujuran kesaksiannya dan dikuatirkan kesewenangan pada

keputusannya. Justru al-Makmun tidak bersedia mempercayakan jabatan-

jabatan agung serupa itu kepada seseorangpun, kecuali imannya benar dan

tauhidnya benar.32

Demikianlah pembahasan mengenai sikap politik yang terinterpretasikan di

dalam berbagai dimensinya melalui sistem pemerintahan al-Makmun yang

berlangsung dengan baik.

2. Ekonomi

Di tengah kesibukan dan kehausan dunia mencari ekonomi yang mampu

menciptakan bahagia bersama, baik jasmaniah maupun ruhaniah para juru dakwah

harus menggali sistem ekonomisme Islam.

Dienul Islam bukan saja petunjuk, hidayah dan hujjah bagi keselamatan

manusia di akhirat, ia bukan saja merupakan ritual keagamaan, tetapi juga sistem,

aturan dalam lapangan ekonomi.33

Ekonomisme Islam tidak hanya menentang kapitalisme dan riba dalam

segala bentuknya, penghisapan dan pemerasan dalam segala manifestasinya, tapi

memberikan moral dan watak luhur, memberikan jaminan dan kepastian bagi

segala manusia sebagai pribadi.34

Para Juru Dakwah harus pandai membuka pengertian kepada masyarakat

tentang resep dan konsepsi ekonomi dalam Islam, yang bebas dari penindasan

32 Joesoef Souyb. 1977. Sejarah Daulat Abbasiah I. Jakarta : Bulan Bintang. Hlm. 201 33 M.Isa Anshary. 1995. Mujahid Da’wah. Bandung: Diponegoro. Hlm.170 34 Ibid. Hlm.170

56

manusia atas manusia. Bagaimana Islam memecahkan persoalan kaum yang lapar,

mencegah penghisapan dan pemerasan, dalam Islam bukan lagi teori, bukan lagi

semboyan atau slogan, tapi telah pernah dipraktekkan dalam bentuk yang sesuai

dengan zaman waktu itu, dan ajaran dan teladan itu masih dapat dilakukan di

segala zaman, di segala selat dan benua.

Pada masa pemerintahan al-Makmun kesejahteraan ekonomi masyarakat

semakin meningkat dan memiliki paradaban yang tinggi. Kerajaan penuh dengan

kota-kota indah, penuh masjid megah, dimana-mana terdapat universitas, di

dalamnya tersimpan peradaban-peradaban dan hikmah-hikmah lama yang bernilai

tinggi. Kecemerlangan Islam Timur merupakan hal yang kontras dengan dunia

Nasrani Barat, yang tenggelam dalam malam kegelapan zaman.35

Kedermawanan al-Makmun dalam penelitian perikeadaan ekonomi

rakyatnya, beliau menunjuk 1.700 perempuan tua supaya tetap berkeliling di

Baghdad guna melaporkan perikehidupan ekonomi rakyat umum kepadanya.36

kegiatan pertanian di sana sini berkembang kembali dengan pesat.

Begitupun kegiatan dagang berjalan kembali dengan lancar. Tempat-tempat

perhentian kafilah-kafilah dagang yang datang memencar ke berbagai penjuru.37

Lalulintas dagang dengan Tiongkok melalui dataran tinggi Pamir, yang

dipanggilkan dengan jalan sutera (Silk Road) itu, ramai kembali dengan kafilah-

kafilah dagang yang hilir mudik. Begitupun lalulintas dagang melalui laut (Sea

Routes) dari teluk Parsi menuju Bandar-bandar dagang pada pesisir lembah Sind

dan wilayah Gujarat yang sudah dikuasai pihak Islam masa itu, selanjutnya

35 Lothof Stoddard. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 15 36 Ibid. hlm. 185 37 Joesoef Sou’yb. Op.cit. Hlm.178

57

Bandar-bandar dagang di pesisir Tiongkok, semakin bertambah ramai dengan

kapal-kapal dagang yang hilir mudik.

Pertanian diperkembang dengan luas; dengan sistim penanaman penuh

keahlian maka mutu dan keistimewaan buah-buahan dan bunga-bungaan dari

Parsi telah makin dipertinggi, dan anggur-anggur dari Shiraz dan Yed dan Ispahan

telah menjadi komoditi penting dalam perdagangan di seluruh Asia. Tambang-

tambang bijibesi, timah hitam, dan benda-benda logam lainnya dihasilkan dengan

penuh ketelitian. Hasil-hasil pabrik yang indah diusahakan pada berbagai kota di

Irak dan Syria. Kemajuan yang luarbiasa berlangsung pada setiap cabang

peralatan mekanik.38

3. Budaya

Islam mendatangkan ajaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dan meningkatkan perkembangan budayanya, dengan demikian terbentuklah satu

setting nilai dan budaya Islami yang lengkap dan sempurna dalam ruang

lingkupnya yang sepadan, baik dari segi situasi dan kondisi maupun waktu dan

perkembangan zamannya. Setting tersebutlah yang diwariskan kepada generasi

berikutnya untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Pengembangan secara kualitatif, dalam arti bahwa nilai dan budaya yang ada

ditingkatkan kualitasnya sehingga menjadi lebih baik dan lebih sempurna,

sedangkan pengembangan secara kuantitatif, mengarah kepada pembentukan

ajaran dan budaya baru untuk menambah kesempurnaan dan kesejahteraan hidup

38 Ibid. Hlm. 179.

58

manusia. Sumber pengembangan tersebut tidak lain kecuali wahyu Allah yang

telah sempurna yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sebenarnya sasaran pembudayaan Islam tersebut bukan hanya mewariskan

kepada generasi muda saja, tetapi juga meluaskan jangkauan penetrasi budaya

Islami kepada budaya ummat.39

Seluruh kehidupan yang dituntun oleh petunjuk wahyu itu membentuk diri

Mukmin menjadi Manusia berbudaya. Hasil segala karya dan cipta kaum

Mukmin, kebudayaan, segala isi dan coraknya tidak mungkin terlepas dari norma

dan ukuran wahyu Ilahi. Wahyu itu sendiri telah mencetak otak dan benaknya,

hati dan budinya, pikiran dan perasaannya.40

Budaya merupakan media dakwah yang tidak kurang pentingnya. Juru

Dakwah mempunyai kewajiban moril membendung “kebudayaan liar” yang

meracuni masyarakat. Budaya Islam harus tampil kedepan mengimbangi

kebudayaan asing.

Budayawan Islam adalah Juru Dakwah dalam bidangnya. Mereka adalah

karyawan dan ciptawan Dakwah Islam yang tidak kurang pentingnya dengan

Muballigh Islam.

Kondisi budaya yang melingkupi kekuasaan al-Makmun dapat dilihat dari

berbagai dimensi, diantaranya adalah:

Kota Baghdad sebagai kota negara dibuka untuk semua bangsa, dan dijadikan

sebagai kota internasional ilmu pengetahuan.

39 Departemen Agama RI.1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm.69 40 M. Isa Anshary. Op.cit.Hlm.165

59

Ilmu pengetahuan diangkat sebagai sesuatu yang mulia yang dikembangkan

seluas-luasnya, rakyat bebas berfikir dan dalam segala bidang diberi hak

penuh memperoleh hak asasinya, para menteri keturunan non Arab, utamanya

dari unsur Persi diberi hak penuh menjalankan pemerintahan negara, para

Khalifah Abbasiah berusaha sungguh-sungguh membangun ekonomi negara.41

Masyarakat pada pemerintahan al-Makmun terbagi dalam dua kelas yaitu

kelas khusus dan kelas umum.

Kelas khusus yaitu terdiri dari khalifah, ahli famili khalifah (bani hasyim),

para pembesar negara, para kaum bangsawan (umumnya terdiri dari suku

Quraisy) para petugas khusus negara, anggota tentara,dan pembantu-pembantu

negara. Kelas umum yaitu terdiri dari para ulama, fuqoha, seniman, pujangga,

saudagar, pengusaha, para tukang, dan petani.42 Oleh sebab itu maka

pembagian masyarakat tersebut mencerminkan adanya pemisahan masyarakat

antara pemerintah dan masyarakat umum (yang diperintah).

Pertumbuhan dan perkembangan Islam pada masa al-Makmun adalah sejalan

pula dengan pertumbuhan dan perkembangan budaya dakwah.

Islam identik dengan dakwah, dan dakwah identik pula dengan Islam. Islam

mengalami kemajuan berarti kemajuan bagi dakwah, begitu pula sebaliknya.

Pada pemerintahan al-Makmun, pertumbuhan dan perkembangan agama Islam

diwarnai oleh dua kehidupan, yaitu kehidupan Iman dan Zindiq. Kehidupan

Iman yaitu kehidupan yang diwarnai dengan hati dan agama, kepercayaan

iman yang kholishoh dan kehidupaan agama yang shodiqoh. Kehidupan

41 Ma’ruf Misbah, 1988, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : Wijaya Wicaksana, hlm. 32.

42 A.Hasjmy. op.cit. hlm. 243.

60

Zindiq yaitu kehidupan yang diwarnai akal dan pikiran serta rasa, yang

menimbulkan keraguan tentang iman dan menentang agama dengan ajaran-

ajarannya.43

Gambaran situasi budaya di atas, kemudian menimbulkan berbagai

interpretasi dan apresiasi agama, yang mewarnai kehidupan umat Islam seperti:

Syi’ah, Jabariyah, Qodariyah, Murji’ah, Muktazilah, dan Ahlu sunah. Syi’ah

adalah suatu aliran agama, yang semula merupakan golongan pengikut dan

sahabat Ali ra., mereka menamakan diri demikian karena mereka mendukung

duduknya Ali ra. sebagai khalifah. Namun dalam perkembangan selanjutnya

mereka menyebarkan faham-faham keagamaan yang diindikasikan sebagai ajaran

Imam Ali ra. Jabariyah adalah, suatu aliran agama yang berfaham bahwa segala

sesuatunya adalah atas kehendak dan ketentuan Tuhan (ajaran serba taqdir).

Qodariyah adalah suatu aliran agama yang berpendapat bahwa seluruh gerak dan

usaha manusia atas perilakunya itu sendiri bukan dari Allah. Murji’ah adalah

berpendirian keimanan seseorang tidak akan binasa karena kemaksiatan.

Mu’tazilah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa tolok ukur kebenaran

adalah rasio yang merupakan motor penggerak usaha manusia.

Ahlussunnah adalah aliran agama yang berpendirian bahwa seseorang

memenuhi syarat keislaman bilamana menuturkan syahadat, diikuti dengan

kepercayaan hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan / tingkah laku.44

Pertumbuhan dan perkembangan aliran-aliran tersebut beserta kegiatan

dakwahnya lambat laun mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Islam

43 I b i d. hlm. 148. 44 M.Taib Tahir Abdul Mu’in. 1981, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, hlm. 90-105.

61

secara luas dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masing-masing dari

mereka berpegang teguh terhadap keyakinannya, mereka fanatik dengan

keyakinannya, bahkan mereka menyerang lawan madzhabnya dan menuduhnya

kafir serta keluar dari Islam. Perang argumen terjadi diantara mereka, setiap sekte

mendapat dukungan dari penguasa dan gubernur, maka semakin kuatlah posisi

mereka. Setiap aliran atau sekte memiliki makalah dan buku tentang ajarannya,

negara yang membekkingnya dan kekuasaan yang melegalkannya.45

4. Pendidikan

Pendidikan (dakwah) Islam ke luar tidak lain adalah untuk menyampaikan

ajaran Islam kepada masyarakat bangsa / suku bangsa agar mereka menerimanya

menjadi sistem hidup.

Pendidikan Islam pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada

masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran yaitu generasi muda sebagai

generasi penerus dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam,

untuk sasaran kedua, yaitu penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya

dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang dalam Islam lazim

disebut sebagai dakwah Islami. Sedangkan dalam arti yang pertama, yaitu

pewarisan ajaran Islam kepada generasi penerus sebagai pendidikan Islam.46

Seorang pendidik agama yang sekaligus seorang da’i, bukanlah tugasnya

semata-mata untuk mengajarkan ilmu agama. (Islamologi) akan tetapi yang

terpenting adalah mendidik. Sebab mengajar hanyalah memberikan pengetahuan

45 Muhammad Sayyid Al-Wakil. 1998, Wajah Dunia Islam, dari dinasti Bani Umaiyah hingga Imperialisme Modern, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, hlm.93.

46 Departemen Agama RI. Op.cit. Hlm.70

62

agama saja, sehingga orang pandai ilmu agama. Sebaliknya mendidik mempunyai

arti menanamkan tabiat kepada orang agar mereka taat kepada ajaran agama

membentuk pribadi muslim.47 Pendidikan agama di lembaga merupakan media

dakwah. Sebab pendidikan agama pada dasarnya menanamkan ajaran Islam

kepada orang, yang mana hal ini bertujuan untuk melaksanakan perintah Allah

(dakwah).

Kecintaan dan keintelektualannya al-Makmun kepada ilmu Kependidikan

tersebut yang meletakkan dirinya di puncak daftar khalifah Abbasiah. Di Baitul

Hikmah beliau mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan asing, kemudian

memerintahkan supaya dibeli dan dikumpulkan untuknya buku-buku karya asing,

kemudian memerintahkan supaya diterjemahkan kepada bahasa Arab. Pada

zamannya itulah muncul filosof Arab yang agung, yaitu al-Kindi, yang telah

menulis mengenai beberapa ilmu pengetahuan. Al-Hallaj bin Yusuf bin Matr

menterjemahkan untuk al-Makmun beberapa buah buku karya Euclides dan buku

Ptolemy.48 Baitul Hikmah yang semula hanya disediakan untuk menterjemahkan

buku-buku, kemudian ditingkatkan fungsinya sebagai sekolah tinggi,

perpustakaan dan tempat penterjemahan. Di samping itu masjid-masjid juga

merupakan pusat pendidikan dan penyebaran-penyebaran ilmu, baik ilmu agama

maupun ilmu umum.49

47 Asmuni Syukir. Op.cit. Hlm.168 48 A.Syalab,.Op.cit. Hlm. 137 49 Abu Ahmadi. 1976. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: CV.Toha Putra. Hlm.84