bab ii tinjauan pustaka - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. semua teori yang...

52
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab II ini, penulis akan memaparkan kerangka teori yang mendasari sistematika berfikir dalam penilisan tesis ini. Dimulai dari pengertian tindak pidana korupsi itu sendiri, pengertian sifat melawan hukum, teori pengambilan keputusan oleh hakim, hingga beberapa teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi sebagai akibat munculnya putusan Nomor : 003/PUU-IV/2006. A. Tindak Pidana Korupsi. Secara etimologis kata “Tindak Pidana Korupsi” berasal dari kata “Tindak Pidana” dan “Korupsi”. Istilah “Tindak Pidana”merupakan istilah teknis-yuridis dari kata bahasa Belanda “Stafbaar feit”. Stafbaar feit sendiri memiliki banyak arti. Dalam bukunya yang berjudul Azas- Azas Hukum Pidana, Moeljatno mengutip pendapat Somin mengenai Stafbaar feit sebagai berikut : 1 Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 1 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta,2000, Hal 120.

Upload: others

Post on 10-Nov-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Bab II ini, penulis akan memaparkan kerangka teori yang

mendasari sistematika berfikir dalam penilisan tesis ini. Dimulai dari

pengertian tindak pidana korupsi itu sendiri, pengertian sifat melawan

hukum, teori pengambilan keputusan oleh hakim, hingga beberapa

teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II

ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang

terjadi sebagai akibat munculnya putusan Nomor : 003/PUU-IV/2006.

A. Tindak Pidana Korupsi.

Secara etimologis kata “Tindak Pidana Korupsi” berasal dari kata

“Tindak Pidana” dan “Korupsi”. Istilah “Tindak Pidana”merupakan

istilah teknis-yuridis dari kata bahasa Belanda “Stafbaar feit”. Stafbaar

feit sendiri memiliki banyak arti. Dalam bukunya yang berjudul Azas-

Azas Hukum Pidana, Moeljatno mengutip pendapat Somin mengenai

Stafbaar feit sebagai berikut :1

Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan

pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan

dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggungjawab.

1 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta,2000, Hal 120.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Van Hamel berpendapat lain, Van Hamel merumuskan strafbaar

feit adalah kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan

dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf

waardig) dan dilakukan dengan kesalahan.

Pembentuk undang-undang tidak mengadopsi mentah-mentah

istilah strafbaar feit, jika diadopsi mentah-mentah istilah dan makna

strafbaar feit sebagaimana dikemukakan oleh Simon dan Van Hamel

di atas, maka istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan

putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena untuk

mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak,

dapat dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses

penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang

berlaku.

Menurut Moeljatno yang menggunakan istilah “perbuatan

pidana”, memberi makna perbuatan pidana adalah “perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut”, dengan demikian maka makna perbuatan pidana

yang dikemukakan oleh Moljatno berbeda dengan makna istilah

strafbaar feit seperti yang dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel di

atas, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja,

yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar.

Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah

diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan

batinnya dengan perbuatan itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi

perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggung-jawaban pidana

dipisahkan dari kesalahan. Lain halnya dengan strafbaar feit disitu

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

dicakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahan. Dengan demikian

makna istilah perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno

bukanlah merupakan salinan dari strafbaar feit.

Makna istilah “perbuatan pidana” yang dikemukakan Moeljatno

di atas masih terkesan bersifat pasif, baru merupakan perbuatan yang

berada dalam dimensi rumusan peraturan pidana belum keluar menjadi

perbuatan nyata yang dilakukan orang. Wiryono Projodikoro

menggunakan istilah “tindak pidana”, dan memaknai tindak pidana

dengan arti “suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman pidana”.2

Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan

masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan

suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan.3

Penempatan sifat melawan hukum materiel tersebut juga untuk

menjangkau keseimbangan dalam kehidupan masyarakat, karena

menurut Muladi tindak pidana merupakan gangguan terhadap

keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan

masyarakat yang mengakibatkan gangguan individual ataupun

masyarakat.4

Selanjutnya menurut bahasa atau etimologis, kata korupsi berasal

dari bahasa latin corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa Latin

yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari bahasa Latin itulah

turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris:

2 Wiryono, Projodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, cetakan kedua, Bandung:

PT Eresco, 1989, Hal 232. 3 Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Semarang: Badan

Penerbit Undip, 2009, Hal 49 4 Muladi , Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 2002, Hal 61

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptive

atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia

menjadi korupsi. Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan,

kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan

dari kesucian.5

Black’s Law Dictionary mengartikan korupsi sebagai perbuatan

yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan

yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah

menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu

keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain.6

KPHA Tjandra Sridjaja Pradjonggo, menyebutkan tiga model korupsi:7

Dalam cara pandang sosiologis maka korupsi di Indonesia dapat dibagi

dalam tiga model.

1. Pertama, corruption by need, artinya korupsi yang membuat

orang harus korupsi; apabila tidak korupsi atau melakukan

penyimpangan maka tidak dapat hidup.

2. Kedua, corruption by greed artinya korupsi yang memang karena

serakah yaitu sekalipun secara ekonomi cukup, tetapi tetap saja

korupsi.

3. Ketiga, corruption by chance, artinya korupsi terjadi karena

adanya kesempatan.

5 Andi Hamzah (I),Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1991, hal.7. 6 Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Depok: Pena Multi Media, 2008, hal. 2.

7 KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan hukum Dalam Tindak Pidana

Korupsi, Jakarta ; Indonesia lawyer Club, 2010, hal 12.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Dalam bukunya yang berjudul Strategi Pencegahan dan

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Chaerudin mengutip

pendapat Klitgaard sebagai berikut, korupsi ada apabila seorang secara

tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diaras kepentingan

masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk

dilaksanakan. Korupsi muncul dalam berbagai bentuk dan dapat

bervariasi dari yang kecil sampai monumental. Korupsi dapat

melibatkan penyalahgunaan perangkat kebijaksanaan, ketentuan tarip

dan perkreditan, kebijakan sistem irigasi dan perumahan, pengakan

hukum dan peraturan berkaitan dengan keselamatan umum,

pelaksanaan kontrak dan pelunasan pinjaman atau melibatkan

proseduryang sederhana. Hal ini dapat terjadipada sektor swasta atau

sektor publik dan sering terjadi dalam kedua sektor tersebut secara

simultan. Hal itu dapat jarang atau meluas terjadinya, pada sejumlah

negara yang sedang berkembang, korupsi telah menjadi sistemik.

Korupsi dapat melibatkan janji, ancaman atau keduanya, dapat dimulai

oleh seorang pegawai negeri atau masyarakat yang berkepentingan,

dapat mencakup perbuatan melakukan atau tidak melakukan, dapat

melibatkan pekerjaan yang tidak sah maupun yang sah, dapat didalam

atau diluar organisasi publik. Batas-batas korupsi sangat sulit

didefinisikan dan tergantung pada hukum lokal dan adat kebiasaan.

Tugas pertama dari analisis kebijakan adalah untuk mengelompokkan

tipe-tipe kebiasaan korupsi dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan

melihat pada contoh-contoh yang konkrit.8

Lebih lajut Robert Klitgaard, merumuskan korupsi sebagai

tingkah laku yang menyimpang dari tugas – tugas resmi sebuah jabatan

8 Chaerudin, Ahmad Syaiful Dinar & Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan & Penegakan

Hukum Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT Refika Aditama, 2008, Hal. 4.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi

(perorangan, keluarga dekat, kelompak sendiri) atau melanggar aturan

– aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.9

Syed Hussein Alatas memaknai pengertian korupsi dengan

menmberikan benang merah yang menghubungkan dalam aktifitas

korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan

tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma,

tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan,

pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan

akibat-akibat yang diderita oleh masyarakat. Dengan kata lain, menurut

Alatas korupsi adalah penyalah gunaan amanah untuk kepentingan

pribadi.10

Selanjutnya alatas juga mengembangkan tujuh tipelogi korupsi antara

lain.:11

1. Korupsi Transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan

diantara seorang donor dengan resipen untuk kepentingan kedua

belah pihak.

2. Korupsi Ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan

pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat

atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.

9 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007, hal 31.

10 Alatas, Syed Hussein, Corption : Its Nature, Causes and Consequences, Aldershot,

Brookfield, Vt: Avebury. 1999, Hal. 7 11

Ibid, hal 8.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

3. Korupsi Investif, yaiutu korupsi yang berawal dari tawaran yang

merupakan investasi untukmengantisipasi adanya keuntungan

dimasa depan.

4. Korupsi Nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan

khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun

pemberian proye-proyek bagi keluarga dekat.

5. Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang

pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan

sebagai orang dalam tentang berbagai kebijakan publik yang

seharusnya dirahasiakan.

6. `Korupsi Supportif, yaitu perlindungan atau penguatan yang

menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.

7. Korupsi Defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka

mempertahankan diri dari pemerasan.

Vito Tanzi menemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang

tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh peroranga disektor swasta atau

pejabat publik, keputusan yang dibuat berdasarka hubungan pribadi

atau keluarga akan menimbulkan korupsi,termasuk juga konflik

kepentingan dan nepotisme.12

Samuel P. Huntington mengemukakan bahwa korupsi adalah

penyakit demokrasi dan modernitas. Pernyataan ini minyiratkan,

sebelum system negara demokrasi ada, korupsi belum meretas luas,

atau belum disebut sebagai korupsi.13

Huntington juga menambahkan

12

Tanzi, Vito, Corrption, Givernmental Activities, and Markets, IMF Working Paper,

Agustus 1994. 13

Indriati,Etty, Pola Dan Akar Korupsi, PT Gramedia, Jakarta, 2014, hal.1-2

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari public official atau

para pagawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh

masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan

pribadi.14

Secara yuridis formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat

dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 sampai dengan

20, Bab III tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak

Pidana Korupsi, Pasal 21 sampai dengan 24 UUPTPK.15

Dalam Udang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sebagimana

diubah dan ditambag dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan batasan

agar dapat memahami rumusan delik. Dalam memahami rumusan delik

maka dapat dikelompokan sebagai berikut :16

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara (pasal 2,3 Undang-undang Nimor 31

Tahun 1999).

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun

pasif (yang meneruma suap) (pasal 5,11,12,12B Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001)

3. Kelompok delik penggelapan (pasal 8,10 Undang-udang Nomor

20 Tahun 2001)

14

Ibid, 3 15

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan ,

Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut UU No. 31 Tahun 1999), , PT Citra

Aditya Bakti, 2000, hal. 17 16

Chaerudin, Ahmad Syaiful Dinar & Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan & Penegakan

Hukum Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT Refika Aditama, 2008, Hal. 4.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

4. Kelopok delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12e, dan f

Undang-undang nomor 20 Tahun 2001)

5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborosan, leveraasir,

dan rekatan (pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)

B. Sifat Melawan Hukum.

Dalam bahasa Belanda melawan hukum merupakan padanan kata

"wederrechtelijk" yang menunjukkan sifat tidak sah suatu tindakan

atau suatu maksud. Penggunaan kata "wederrechtelijk" oleh

pembentuk undang-undang untuk menunjukkan sifat tidak sah suatu

tindakan itu dijumpai dalam rumusan-rumusan delik dalam pasal

KUHPseperti pasal167 ayat (1), 179,180, dan Pasal 190. Sedangkan

penggunaan kata "wederrechtelijk" untuk menunjukkan sifat tidak sah

suatu maksud dapat dijumpai antara lain dalam rumusan-rumusan delik

dalam Pasal KUHP seperti pasal 328, 339, 362 dan pasal 389.17

Para ahli hukum pidana memberikan pengertian melawan hukum

dalam makna yang beragam. Bemmelen mengartikan melawan hukum

dengan dua pengertian, yaitu "sebagai bertentangan dengan ketelitian

yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau

17

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, : Sinar Baru, 1984, hal 332

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

barang, dan bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh

undang-undang"18

Dalam bukunya, Teguh Prasetyo mengutip beberapa pendapat

para ahli mengenai pengertian melawan hukum antara lain:19

a) Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum

pada umumnya.

b) Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak

subjektif orang lain.

c) Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum

dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan

dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak

tertulis.

d) Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/

wewenang.

e) Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut

HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan.

(arrest 18-12-1911 W 9263).

f) Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut

antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat

berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam

bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak

sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan

18

Van Bemmelen, Hukum Pidana Hukum Pidana Material Bagian Umum, Jakarta :

Binacipta, 1984, hal 149-150 19

Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah.. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan

Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal 31-32.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau

hukum subjektif”

Menurut Prof. Satochid Kertanegara dalam kumpulan kuliah

hukum pidana bgian kesatu, menyatakan bahwa wederrechtelijk

sebetulnya sama artinya dengan onrechmatig dalam lapangan hukum

perdata. Alasan untuk menyamakan arti wederrechtelijk dengan arti

onrechmatig dalam hukum perdata ini disandarkan pada paham

kemasayarakatan yaitukepatutan yang harus diindahkan dalam

pergaulan masyarakat. Penganut wederrechtelijk materiil (melawan

hukum dalam arti materiil) memilih Arrest Cohen Lindenbaum ini

sebagai sandaran untuk menafsirkan pengertian wederrechtelijk.20

Prof. Oemar Senoaji, SH, dalam bukunya yang berjudul KUHAP

Sekarang, menjelaskan pengertian melawan hukum meliputi

perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma kesopanan yang

lazim atau yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam

pergaulan hidup untuk bertindak terhadap orang lain, barangnya

maupun haknya. Sebagai unsur dari suatu tindak pidana dalam

beberapa hal, kata “melawan hukum” (wederrechtelijk) oleh kalangan

ahli hukum diartikan bertentangan dengan kesopanan yang lazim ada

dalam pergaulan masyarakat (in strijd met de zorgvuldigheid de in het

maatschappelijk verkeer betaamt). 21

20

Kertanegara, Satochid, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana Bgian Kesatu, Jakarta : Balai

Lektur Mahasisiwa, 2004, hal 431-432. 21

Senoaji, Oemar, KUHAP Sekarang, terbitan, Jakarta : Erlangga, 1985, hal 179,

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yyang penting

dalam hukum pidana diamping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari

ajaran sifat melawan hukum yang formil dan materiil.22

1. Sifat melawan hukum formil terjadi karena memenuhi rumusan

delik undang-undang. Sigat melawan hukum formal merupakan

syarat untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ajaran sifat

melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah

memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak

pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-

alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga

disebutkan secara tegas dalam undang-undang.

2. Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan

melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-

undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas

hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat

dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-

aturan yang tidak tertulis.

Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal

dengan pandangan yang materiil, maka perbedannya yaitu : 23

1. Mengakui adanya pengecualiaan / penghapusan dari sifat

melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan

yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya

mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang

saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya

22

Prasetyo, Teguh. & Abdul hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005, Hal. 34-35 23

Moeljatno , Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, hal. 134

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP,

mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa

(noodweer); dan

2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap

perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak

menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang

formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada

perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan

dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik

Berdasarkan Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia telah dimungkinkan penggunaan sifat melawan hukum

materiil dalam fungsinya yang negatif. Rangkuman Yurisprudensi

Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menunjuk pada Putusan

Mahkamah Agung tanggal 27 Mei 1972, Nomor 72 K/Kr/1970, bahwa

“Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formil, namun Hakim

secara materiil harus memperhatikan juga keadaan terdakwa atas dasar

mana ia tak dapat dihukum atau materieele wederrechttelijkheid.24

Dihadapkan pada keberadaan asas legalitas, maka sesungguhnya

hanya secara melawan hukum dalam pengertian formil yang dapat

diterima. Sifat melawan hukum dengan demikian dalam pengertian

materiil bertentangan dengan asas legalitas. Penerapan fungsi negatif

sifat melawan hukum materiil sesungguhnya juga tidak sejalan dengan

asas legalitas yang tersurat dalam Pasal 1ayat (1) KUHP.

Penerimaannya semata-mata didasarkan oleh doktrin dan kemudian

diikuti oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung, sedangkan fungsi positif

24

KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, op cit hal 61.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

dari sifat melawan hukum materiil masih belum sepenuhnya dapat

diterima dalam penegakan hukum di Indonesia. Pikiran-pikiran kearah

penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil telah

muncul, namun tampaknya masih banyak penolakan, termasuk oleh

Mahkamah Konstitusi dalam Konteks UU Tindak Pidana Korupsi.

Dasar pikiran perlunya penerapan fungsi positif dari sifat melawan

hukum materiil di antaranya munculnya multipologi korupsi.25

Dalam undang-undang tindak pidana korupsi, kata melawan

hukum diartikan sebagai melawan hukum formil dan melawan hukum

materiel. Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum formil

apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirurnuskan sebagai suatu

delik dalam undang-undang.26

C. Teori Pengambilan Keputusan Oleh Hakim.

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting

dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang

mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian

hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang

bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan

teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik,

dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan

25

Ibid. Hal 62. 26

Sudarto, Hukum Pidana jilid I A-B, Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,

1975, hal 62

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah

Agung27

Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik,

dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 kriteria

dasar pertanyaan (the four way test) berupa28

:

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan ini?

3. Adilkah bagi pihak-pihak putusanini?

4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan

adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan

sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian

merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di

persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian

bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna

mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat

menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa

peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan

kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para

pihak.29

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim

hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :

27

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cetakan ke-5,

Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal.140 28

Mulyadi, Lilik, Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Bina Ilmu, 2007, hal 136. 29

Ibid hal.141

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

a) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil

yang tidak disangkal.

b) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala

aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam

persidangan.

c) Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus

dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga

hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya

dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam

amar putusan.

2. Dasar Pertimbangan Hakim

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu

didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan

sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang

dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai

kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat

penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur

tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar

1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang

Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya

sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan

dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan

penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan

kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia

tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.30

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan

kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra

yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang

Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial

bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan

rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2)

menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,

dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.31

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak

memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009.

Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam

menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal

ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan

penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal

5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membeda-bedakan orang”.32

30

Ibid, hal 142 31

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta, Rineka Cipta, 1996 ,hal. 94 32

Ibid, hal. 95

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Pada prinsipnya hakim hanyalah menerima setiap perkara yang

diajukan kepadanya untuk diselesaikan dan hal ini berarti telah ada

suatu peristiwa atau kejadian ataupun persengketaan yang timbul,

kemudian peristiwa, kejadian dan persengketaan itu dibawa ke hadapan

hakim agar supaya hakim menentukan hukum yang berlaku atas

peristiwa dan persengketaan itu.

Peristiwa atau kejadian ataupun persengketaan yang diajukan

para pihak terlebih dahulu harus dikonstatir oleh hakim. Konstatering

peristiwa atau kejadian menurut Mertokusumo berarti melihat,

mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang diajukan

tersebut, akan tetapi untuk sampai kepada konstateringnya itu harus

mempunyai kepastian. Hakim harus pasti akan konstateringnya,

sehingga konstateringnya tidak sekadar dugaan atau kesimpulan yang

dangkal atau gegabah saja. Hakim haruslah menggunakan sarana-

sarana atau alat untuk memastikan tentang peristiwa yang

bersangkutan. Jadi mengonstatir peristiwa, kecuali melihat atau

membenarkan telah terjadinya peristiwa atau telah menganggap telah

terbuktinya peristiwa tersebut, maka diakui sebagal peristiwa yang

benar-benar terjadi. Hal yang harus dikonstatir adalah peristiwa, tetapi

untuk sampai pada konstatering harus melakukan pembuktian lebih

dahulu. Kegiatan yang dilakukan hakim dalam fase pertama ini

semata-mata bersifat logis.33

33

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Ke-3, Yogyakarta:

Liberti, 1988, hal. 87.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya menuliskan,

menentukan kebenaran suatu peristiwa, Kattsoff (1989: 180-189)

mengemukakan beberapa teori, yaitu:34

a) Teori Koherensi (Coherence Theory) yang pada prinsipnya

menyatakan bahwa makna suatu pernyataan (proposisi)

cenderung benar jika makna suatu pernyataan tersebut dalam

keadaan saling berhubungan dengan makna pernyataan-

pernyataan yang lain yang benar, atau dengan kata lain makna

suatu pernyataan saling berhubungan dengan pengalaman yang

ada. Ukuran derajat kebenaran menurut teori ini ialah “derajat

keadaan saling berhubungan.” Jikalau keadaan saling

berhubungan dengan semua kenyataan, itulah yang dimaksud

dengan kebenaran mutlak;

b) Teori Korespondensi (Corresponsdence Theory), teori ini

menyatakan bahwa suatu pernyataan benar jika makna

pernyataan itu sungguh-sungguh sesuai dengan faktanya;

c) Teori Empiris, yang memandang bahwa kebenaran adalah

berdasarkan pengalaman-pengalaman indriawi manusia. Makna

suatu pernyataan bersifat meramalkan atau hipotesis, kalau

ramalan makna suatu pernyataan terpenuhi, maka itulah

kebenaran;

d) Teori Pragmatis, yang memandang bahwa kebenaran itu adalah

jika makna suatu pernyataan berdasarkan konsekuensi yang

ditimbulkan atau kebenaran merupakan gagasan yang berguna

atau dapat dilaksanakan di dalam suatu situasi.

34

Ibid., hal. 88

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Jika hakim telah berhasil mengonstatir peristiwa, yaitu dengan

membenarkan suatu peristiwa, maka peristiwa yang benar tersebut

dikualifikasi ke dalam aturan hukum. Dalam hal ini Mertokusumo,

menjelaskan bahwa mengualifikasikan berarti menilai peristiwa yang

telah dianggap terbukti itu termasuk hubungan hukum apa atau yang

mana, dengan perkataan lain menemukan hukumnya bagi peristiwa

yang telah dikonstatir. Dalam menemukan hukumnya hakim

melakukan penerapan hukum (rechts toepassing) terhadap

peristiwanya. Dicarikan dan peraturan hukum yang ada, ketentuan-

ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa yang bersangkutan.35

D. Teori Hukum

1. Aliran Hukum Alam.

Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma

yang paling tua sekaligus serta paling besar pengaruhnya bagi

perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Teori-teori hukum yang

dikembangkan setelah periode hukum alam, sesungguhnya merupakan

perkembangan atau penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam.

Dalam teori hukum alam, hukum sebagai nilai yang universal dan

selalu hidup di sanubari orang, masyarakat maupun negara. Hal ini

disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan

moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.

Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara,

ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat

ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi

35

Ibid hal.88

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

hukum alam lebih superior dari hukum negara. Hal ini terjadi karena

adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan-

tindakan kemauan manusia. Karena itu nilai-nilai yang mereka bentuk

adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitrariy), subjektif atau

relatif.36

Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi

(reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang

tindakan kemauan dari seseorng yang menampilkan diri (bertindak)

sebagai legislator moral atau hukum.37

Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada

nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaaian nilai-

nilai keadilan bagi masyarakat. Para pemikir hukum paradigma hukum

alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuh esensial

(essential value) dari hukum, bahkan sering diidentikkan sebagai

sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak

tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebgai

sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga

berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat suatu

negara.38

Pada abad ke-8 sebelum Masehi, aliran hukum alam dalam

pemikiran di zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang

dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang berkembang di Yunani, terutama

oleh pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi

yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam

adalah Cicero, seorang yuris dan seorang negarawan. Cicero

36

Sidartha, B.Arief, Hukum dan Logika, Bandung: PT Alumni, 2000, hal.35 37

Ibid.,hal.35 38

MD, Moh.Mahfud, Bahan Kuliah Politik Hukum, Yogyakarta : Program Pascasarjana UII,

2009, hal.12.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

mengajarkan konsep tentang a true law (hukum yang benar) yang

disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar), serta

sesuai dengan alam, dan yang menyebar diantara kemanusiaan dan

sifat immutable danenternal. Hukum apapun harus bersumber dari true

law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita lahir

untuk keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi

pada man’s very nature. Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh

pemikir zaman Romawi tersebut, maka salah satu pemikir terkenal

adalah Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius gentium. Ius

Civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu,

sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal yang

bersumber pada akal pemikiran manusia.39

Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan

yang konkret mengenai pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat

Achmad Ali, pemikiran Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis

dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitikberatkan

pada hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum positif.40

Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran disekitar

abad ke-16 dan muncul kembali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa

Jerman yang bernama Rudolf Stammler. Stammler memberikan

pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut: 41

a. Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum

yang adil;

39

Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal.49 40

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,

Jakarta:Gunung Agung, 2002, hal.258. 41

Lihat, Rudolf Stammler, dalam Achmad Ali, Ibid.,hal.262

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

b. Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang

dapat digunakan untuk menentukan kebenaran yang relatif dari

hukum dalam setiap situasi.

c. Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal

dalam ujian dan membawanya lebih dekat pada tujuannya.

Pada prinsipnya hukum alam bukanlah sesuatu aturan jenis

hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar

dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah lebel yang

bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan pandangan Satjipto

Rahardjo42

yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini

didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada

masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat hukum alam

merupakan hukum yaang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut

Friedman, sejarah hukum alam adalah absolute justice (keadilan yang

mutlak) di samping kegagalan manusia dalam mencari keadilan.

Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola

pikir masyarakat dan keadan politik di zaman itu.43

Pendapat Friedmann di atas, sejalan dengan pendapat Dias yang

mengatakan bahwa, hukum alam itu adalah :

a) Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan

pelaksanaannya;

42

Ali, Zainuddin, Ibid., hal. 53

43

Friedmann, dalam Rasyidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung:Citra Aditya

Bakti, 1996, hal.49

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

b) Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan

sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara yang ada

sekarang dan yang seharusnya;

c) Metode untuk menemukan hukum yang sempurna;

d) Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui

akal;

e) Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam

masyarakat.

Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran

hukum alam, juga ada Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal

melalui bukunya Summa Theologica dan De Regimen Principum.

Pemikiran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas mengenai hukum

alam banyak mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasar pemikiran

gereja hingga saat ini. Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam

empat golongan, yaitu :44

a. Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengtaur

segala hal dan bersumber dari segala hukum. Rasio ini yang tidak

dapat ditangkap oleh panca indra manusia.

b. Lex Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap oleh

manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.

c. Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu

penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia.

44

Thomas Aquinas, dalam Rasyidi,Lili, Ibid., hal.50.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

d. Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari

hukum alam oleh manusia berhubungan dengan syarat khusus

yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.

2. Aliran Hukum Positif.

Aliran hukum positif lahir sebagai sebuah antitesa dari teori

hukum alam. Aliran hukum positif memandang perlu memisahkan

secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan

hukum yang seharusnya,das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata

positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a

command of the lawgivers). Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif

yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas bahwa

hukum itu identik dengan undang-undang.45

Dalam pandangan positivisme yuridis, hukum hanya berlaku,

oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi

yang berwenang. Menurut positivisme yuridis ini pertimbangan-

pertimbangan teoretis dan metafisis tidak diperbolehkan, positivisme

yuridis merupakan suatu ajaran ilmiah tentang hukum.46

Dalam aliran positivisme hukum, dikenal adanya dua subaliran, yaitu:

a) Aliran Hukum positif yang analitis dari John Austin atau yang

dikenal sebagai analytical jurisprudence.

45

Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 113-114 46

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kansius, 1986,

hal. 128-129

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum

sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk

undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka

yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang

kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis,

tetap dan bersifat tertutup (closed logical system .47

Artinya

peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku

tanpa perlu meminta bimbingan dari norma sosial, politik dan

moral.48

Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan,

(didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan

buruk), didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi.49

Ajaran-

ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan atau

keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut

dianggapnya sebagai persolan yang berbeda diluar bidang

hukum. Walaupun Austin mengakui adanya hukum moral atau

hukum alam yang mempengaruhi warga-warga masyarakat, akan

tetapi hal itu secara yuridis tidak penting bagi hukum.50

Hukum positif atau hukum yang disebut sebenarnya, yang

masih ada, mempunyai ciri empat unsur, yakni perintah, sanksi,

kewajiban dan kedaulatan.51

Sehingga apabila hukum tidak

47

Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar Maju, , 2007,

hal. Op.cit.,hal. 56 48

Salman, Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali, Bandung : Refika Aditama, 2007, hal. 80-81 49

W. Friedmann, Legal Theory, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat Hukum oleh

Muhammad Arifin, Jakarta : CV. Rajawali, , 1990, Susunan I, Op.cit.,hal.149 50

Soekanto, Soejono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

1997, hal.31 51

W. Friedmann, Op.cit., hal. 150

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

memenuhi keempat unsur itu, maka tidak dapat disebut sebagai

hukum positif, hal itu hanya dapat disebut sebagai moral positif.

Keterkaitan keempat unsur hukum positif tersebut dijelaskan

oleh Soerjono Soekanto,52

sebagai berikut, hukum merupakan

hasil dari perintah-perintah yang artinya adalah bahwa ada satu

pihak yang menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu,

atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian pihak yang diperintah

akan mengalami penderitaan apabila perintah tersebut tidak

dijalankan, dan penderitaan tersebut merupakan sanksi.

Selanjutnya, suatu perintah diduga merupakan pembedaan

kewajiban kepada pihak lain, hal mana terlaksana apabila yang

memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan.

Kedaulatan itu dapat dimiliki oleh seseorang atau sekelompok

orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons).53

Hans Kelsen, dalam bukunya general theory of law and

state, mendukung pendapat Austin yang menyatakan setiap

hukum atau peraturan merupakan suatu perintah. Atau lebih

tepatnya hukum atau peraturan merupakan suatu spesies perintah.

Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan pendapat Austin ini yaitu

“perintah adalah suatu pernyataan kehendak seseorang dalam

bentuk keharusan (imperatif) bahwa seseorang yang lain harus

berbuat menurut suatu cara tertentu individu yang objeknya

adalah perbuatan dari seorang individu lainnya. Lebih lanjut

Kelsen menjelaskan bahwa seseorang individu terutama mungkin

memberi bentuk imperatif kepada kehendaknya ketika dia

memiliki, atau percaya diri memiliki, kekuasaan tertentu atas

52

Soekanto, Loc.cit. 53

Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum…, Op.cit.,hal.57

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

individu lain, ketika dia berada, atau mengira dirinya berada

dalam posisi untuk mengharuskan kepatuhan. Perintah baru bisa

disebut norma jika ia mengikat individu yang dituju oleh perintah

itu, dan jika individu ini harus melakukan apa yang diharuskan

oleh perintah tersebut, …A command is a norm only if it is

binding upon the individual to whom it is directed, only if this

individual ought to do what the command requires.54

Kelsen tidak sepakat dengan Austin dengan menyatakan

bahwa tidak setiap perintah yang dikeluarkan oleh seseorang

yang memiliki kekuasaan lebih tinggi mempunyai sifat mengikat.

Kelsen mencontohkan perintah seorang bandit kepada seseorang

untuk menyerahkan uangnya tidaklah mengikat, walaupun dalam

kenyataannya bandit tersebut mampu untuk memaksakan

kehendaknya. Suatu perintah mengikat, bukan disebabkan

individu yang memerintah mempunyai kekuasaan nyata yang

lebih tinggi, tetapi perintah itu mengikat oleh karena individu

tersebut diberi wewenang atau diberi kekuasaan untuk

mengeluarkan perintah-perintah yang bersifat mengikat. Individu

hanya berwenang atau berkuasa jika suatu tatanan normatif, yang

dianggap mengikat, memberikan kapasitas ini kepadanya, yakni

memberikan kompetensi untuk menerbitkan perintah-perintah

yang mengikat. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen55

,

”A command is binding, not because the individual

commanding has an actual superiority in power, but

because he is “authorized” or “empowered” to issue

54

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1973,hlm.

Op.cit.,hal.31

55

Ibid.,hal.31-32

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

commands of a binding nature. And he is “authorized” or

“empowered” only if a normative order, wich is

presupposed to be binding, confers on him this capacity,

the competence to issue binding commands.”

Penekanan pada perintah dan sanksi ditentang oleh teori-

teori yang mempertahankan ketidaktergantungan hukum dari

kekuasaan dan perintah, terutama oleh mazhab sejarah dari Von

Savigny dan sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich.

Soejono Soekanto56

sebagai salah seorang penganut aliran

hukum sosiologis, mengemukakan kelemahan dari

ajaran analytical jurisprudence dari Austin dengan menyatakan

bahwa suatu sistem hukum tidak mungkin untuk sepenuhnya

bersifat tertutup. Sistem yang tertutup secara mutlak akan

menyulitkan dan menghalang-halangi penyesuaian kaidah-kaidah

hukum terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam

masyarakat, perubahan-perubahan mana disebabkan oleh

timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru (yang kemudian

menghasilkan kepentingan-kepentingan baru). Lagi pula suatu

sistem hukum tak akan mungkin hidup lama apabila tidak

mendapat dukungan sosial yang luas.

Pada abad ke-20 pikiran-pikiran Austin tentang hukum

dikembangkan lebih lanjut oleh H.L.A. Hart yang tertuang dalam

bukunya The Concept Of Law. Hart menguraikan tentang ciri-ciri

pengertian positivisme pada ilmu hukum dewasan ini sebagai

berikut:57

56

Soekanto, Loc.cit. 57

Rasjidi, Lili, dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat…Op.cit.,hlm.58-59 (lihat juga Lili

Rasjidi dalam Dasar-Dasar Filsafat Hukum. hal 57-58)

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

1. Hukum merupakan perintah dari manusia (command of human

being);

2. Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum disatu

pihak dengan moral dipihak lain, atau antara hukum yang

berlaku dengan hukum yang seharusnya;

3. Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk

dilakukan dan harus dibedakan dari studi yang historis

(mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum)

maupun sosiologis (mengenai hubungan hukum dengan gejala

sosial lainnya), dan harus dibedakan pula dari penilaian yang

bersifat kritis (baik yang didasarkan moral, tujuan sosial,

fungsi hukum dan lain-lainnya).

4. Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang

logis, tetap dan bersifat tertutup, dan didalamnya keputusan-

keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh

dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang

telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-

tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral.

5. Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat

atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus

dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional,

pembuktian atau percobaan (pengujian).

b) Aliran Hukum Positif yang Murni, yang dipelopori dan

dikembangkan oleh Hans Kelsen, yang dikenal dengan teori

hukum murni (pure theory of law).

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari

anasir-anasir yang non-yuridis, seperti unsursosiologis, politis,

historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori

Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Hans Kelsen. Jadi hukum

adalah suatuSollenskategorie (kategori keharusan/ideal),

bukanSeinskategorie (kategori faktual). Hukum adalah suatu

keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk

rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah

“bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be),

tetapi “apa hukumnya” (what the law is). Dengan demikian,

walaupun hukum itu Sollenskategorie, yang dipakai adalah

hukum positif (Ius Constitutum), bukan yang dicita-citakan (Ius

Constituendum). 58

Pikiran-pikiran Hans Kelsen mengenai hukum dapat

dikelompokkan atas empat hal, yaitu:

1. Ilmu Hukum adalah Ilmu Normatif;

Dari uraian Hans Kelsen dalam bukunya general

theory of law and state terlihat bahwa ia menekankan segi

normatif dari hukum dari berbagai pembahasannya. Kelsen

berusaha mencari suatu pengertian hukum yang murni.

Untuk itu menurutnya hukum perlu diselidiki sebagai hukum

terlepas dari pandangan-pandangan diluar hukum seperti

psikologis, sosiologis, etika, politik, sejarah dan lain

sebagainya. Menurut Kelsen hukum berada dalam

dunia sollen ”keharusan” bukan dalam

58

Darmodiharjo, Darji, dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 114-115.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

duniasein “kenyataan”. Bila hal ini terjadi, maka seharusnya

hal itu terjadi pula. Nyatalah dalam rumusan prinsip ini

bahwa relasi antara hal ini dan hal itu bersifat normatif.

Artinya kalau hal ini terjadi belum tentu hal itu terjadi pula,

tetapi seharusnya hal itu terjadi.

Bila dikaitkan dengan bidang hukum maka suatu

kelakuan yang melawan hukum, harusnya disusul dengan

hukuman, sekalipun pada kenyataannya tidak selalu begitu.

Oleh sebab sanksi yang dikenakan pada seseorang yang

melanggar hukum tergantung dari penentuan oleh instansi-

instansi negara, maka norma hukum, yang disusun untuk

masyarakat umum, pertama-pertama harus dipandang

sebagai imperatif bagi negara. Dari norma hukum sebagai

imperatif bagi negara semua kewajiban individual dapat

diturunkan.59

Tegasnya ilmu pengetahuan hukum adalah

suatu hirarki mengenai hubungan normatif, bukan suatu

hubungan sebab akibat, seperti ilmu alam. Oleh karena itu

objek tunggalnya adalah menentukan apa yang dapat

diketahui secara teoritis tentang tiap jenis hukum pada tiap

waktu dan dalam tiap keadaan.60

Kelsen menyebutnya

sebagai teori yuristik (juristic theory) yang bisa juga disebut

sebagai teori normatif (normative theory).

Teori yuristik menunjukkan hukum sebagai sistem

norma yang valid. Objeknya adalah norma (norma umum

59

Huijbert, Theo, Op.cit.,hal.157 60

W. Friedmann, Op.cit.,hal.170

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

maupun norma khusus). Teori yuristik hanya

mempertimbangkan fakta-fakta yang ditentukan oleh norma-

norma dengan satu cara atau cara lain. Oleh karena itu,

pernyataan-pernyataan yang digunakan oleh teori ini dalam

mendeskripsikan objeknya bukanlah pernyataan tentang

kenyataan melainkan tentang keharusan.61

Dasar validitas

suatu norma selalu berupa norma, bukan fakta (the reason

for the validity of a norm is always a norm, not a fact).

Pencarian landasan validitas suatu norma menuntun kita

bukan kepada realitas melainkan kepada norma lain yang

menjadi sumber lahirnya norma tersebut. Norma yang

validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih

tinggi, kita sebut sebagai “norma dasar” (penulis: basic

norm atau grundnorm). Semua norma yang validitasnya

dapat ditelusuri ke satu norma dasar yang sama membentuk

suatu sistem norma, atau sebuah tatanan norma.62

Sehingga

dapat disimpulkan bahwa tatanan hukum adalah tidak lain

merupakan suatu sistem norma.

2. Teori Hukum Murni.

Teori hukum murni adalah teori tentang hukum

positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab

pertanyaan, “apakah hukumnya?” dan bukan “bagaimanakah

61

Hans Kelsen, Op.cit.,hal.162 62

Ibid.,hal. 111

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

hukum yang seharusnya?” 63

Tatanan hukum positif

merupakan hukum sebagaimana adanya, tanpa

mempertahankannya dengan menyebutnya adil, atau

menghujatnya dengan menyebutnya tidak adil. Tatanan

hukum positif berusaha menghadirkan hukum yang nyata

dan mungkin, bukan hukum yang benar.64

Oleh karena itu,

menurut Kelsen pembicaraan mengenai keadilan harus

dikeluarkan dari ilmu hukum, sebab hukum dan keadilan

adalah dua konsep yang berbeda.

Kecendrungan untuk menyamakan hukum dan

keadilan merupakan kecendrungan untuk membenarkan

tatanan sosial tertentu. Ini suatu kecendrungan politik, bukan

kecendrungan ilmiah. Teori hukum murni sama sekali tidak

dapat menjawab pertanyaan adil atau tidaknya hukum

tertentu, karena pertanyaan tersebut sama sekali tidak dapat

dijawab secara ilmiah.65

Bagi Kelsen yang terpenting adalah

apakah perbuatan seseorang berdasarkan atau tidak

berdasarkan hukum positif. Sehingga adil atau tidak adilnya

suatu perbuatan tertentu semata-mata dilihat dari sudut

hukum itu sendiri, bukan berdasarkan pada pertimbangan

etis, sosiologis maupun politis, tetapi menurut pertimbangan

hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat Kelsen yang

menyatakan: “the statement that the behavior of an

individual is “just” or “unjust” in the sense of “legal” or

“illegal” means that the behavior corresponds or does not

63

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, , 2000, hal.

Op.cit.,hlm.272 64

Hans Kelsen, Op.cit.,hal13 65

Ibid.,hal.5-6

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

correspond to a legal norm which is presupposed as valid by

the judging subject because this norm belongs to a positive

legal order.”66

Dengan alasan tersebut diatas Kelsen berpendapat

hukum harus dibebaskan dari pertimbangan/penilaian non-

yuridis seperti etis, sosiologis, politis, sejarah dan

sebagainya. Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans

Kelsen tidak memberi tempat bagi berlakunya suatu hukum

alam, dan menghindarkan diri dari penilaian baik dan buruk

suatu norma hukum tertentu. Dari unsur sosiologis berarti

bahwa ajaran hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat

bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam

masyarakat.

Ajarah hukum Hans Kelsen hanya memandang

hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali

terlepas dari das sein/kenyataan sosial. Hukum

merupakan sollenskatagori danbukanseinskatagori: orang

menaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya

sebagai suatu kehendak negara. Hukum itu tidak lain

merupakan suatu kaedah ketertiban yang menghendaki orang

menaatinya sebagaimana seharusnya. Yang membeli barang

seharusnya membayar. Apakah dalam kenyataanya

sipembeli itu membayar atau tidak, itu soal yang

menyangkut kenyataan dalam masyarakat dan hal itu bukan

66

Ibid.,hal.14

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

menjadi wewenang ilmu hukum,67

tetapi hal tersebut sudah

memasuki wilayah sosiologi hukum.

3. Norma Dasar (grundnorm/ basic norm).

Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan

sebelumya mengenai ilmu hukum sebagai ilmu normatif,

norma dasar (grundnorm) merupakan pemberi keabsahan

(dasar validitas) bagi setiap norma hukum yang berada

dalam suatu tatanan hukum tertentu. Menurut hakikat norma

dasar, dapat dibedakan dua jenis tatanan hukum (norma)

atau sistem norma yang berbeda yaitu sistem norma yang

statis dan sistem norma yang dinamis. Dalam sistem norma

statis, norma-norma itu “valid” (sah dan berlaku) jika para

individu yang perbuatannya diatur oleh norma-norma itu

“harus” berbuat sesuai dengan yang ditetapkan oleh norma-

norma tersebut, berdasarkan isinya, dimana isinya memiliki

kualitas yang terbukti secara langsung menjamin

validitasnya.68

Sedangkan suatu norma merupakan bagian

dari suatu sistem yang dinamis jika norma tersebut telah

dibuat menurut suatu cara yang ditentukan oleh norma

dasar.69

Hans Kelsen menegaskan bahwa norma dasar dari

suatu tatanan hukum positif tidak lain adalah peraturan

fundamental tentang pembuatan berbagai norma dari tatanan

hukum positif itu. Norma dasar ini menetapkan suatu

67

Rasjidi, Lili,dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Op.cit.,hal.61 68

Hans Kelsen, Op.cit.,hal.112 69

Ibid.,hal.113

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

peristiwa tertentu sebagai peristiwa awal di dalam

pembentukan berbagai norma hukum. Norma dasar ini

merupakan titik awal dari proses pembentukan norma dan

dengan demikian memiliki karakter yang sepenuhnya

dinamis.70

Menurut Satjipto Rahardjo,71

grundnorm sebagai

suatu dalil akbar tidak hanya berfungsi sebagai dasar, tetapi

juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap

hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada

dalam kawasan rejim grundnorm tersebut harus bisa mengait

kepadanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai induk

yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu

tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama

untuk setiap tata hukum, tetapi ia selalu akan ada di situ,

apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu

pernyataan yang tidak dituliskan.

Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang

menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi

dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pula yang

memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum disitu

harus dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan dalil

daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar

dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui

dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai

70

Ibid.,hal.114 71

Satjipto Rahardjo, Op.cit.,hal.274

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka

keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh.72

4. Teori Konkretisasi Hukum (stufentheory).

Teori konkretisasi hukum memandang sistem hukum

sebagai bentuk piramid. Hukum membentang dalam proses

yang bertahap, dari norma yang paling tinggi, yang paling

abstrak, sampai kepada norma yang paling rendah, yang

secara lengkap diindividualisasikan, konkret dan

eksekutif.73

Dengan kata lain teori ini melihat tata hukum

sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari

norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih

konkret, sampai kepada yang paling konkret. Pada ujung

terakhir proses ini, sanksi hukum, lalu berupa izin yang

diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan

atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang

semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi

sesuatu yang “boleh” dan dapat dilakukan.74

Teori konkretisasi hukum (stufentheory) melahirkan

tata urutan norma-norma (hierarchy of norm), atau susunan

norma-norma dari norma yang paling tinggi sampai norma

yang paling rendah, membentuk suatu tatanan hukum

tertentu. Menurut Hans Kelsen,75

tatanan hukum, terutama

tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk

negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya

72

Ibid.,hal.274-275 73

W. Friedmann, Op.cit.,hal.176 74

Satjipto Rahardjo, Loc.cit. 75

Hans Kelsen, Op.cit.,hal.124

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat,

melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-

tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini

ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukkan norma yang

satu (norma yang lebih rendah), ditentukan oleh norma lain

yang lebih tinggi lagi. Mengenai tata urutan norma-norma

ini menurut Kelsen berbeda-beda dari setiap negara. Namun

menurutnya dengan mempostulasikan norma dasar,

konstitusi menempati urutan tertinggi didalam hukum

nasional.76

Indonesia adalah salah negara yang menganut teori

konkretisasi hukum ini. Penegasan sumber hukum dan tata

urutan peraturan perundang-undangan di dalam negara

hukum Republik Indonesia pertama kali tertuang dalam TAP

MPRS No. XX/MPRS/1966,77

kemudian diganti dengan

TAP MPR No. III/MPR/2000,78

selanjutnya diatur dalam

UU No. 10/200479

tentang Tata Cara Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Sementara posisi Pancasila

diakui dan dijadikan sebagai hukum dasar nasional, yang

menjadi sumber dari segala sumber hukum positif Indonesia.

76

Ibid. 77

Urutan peraturan perundan-undangan menurut TAP MPRS XX/1966 dari yang paling

tinggi sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) TAP MPR; 3) UU/Perpu; 4) PP; 5)

Keppres; dan 6) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang lebih rendah yaitu Peraturan

Menteri, Instruksi Menteri. 78

Urutan peraturan perundan-undangan menurut TAP MPR III/2000 dari yang paling tinggi

sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) TAP MPR; 3) UU; 4) Perpu; 5) PP; 6)

Keppres; dan 7) Peraturan Daerah. 79

Urutan peraturan perundan-undangan menurut UU No. 10/2004 dari yang paling tinggi

sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) UU/Perpu; 4) PP; 5) Peraturan Presiden; 6)

Peraturan Daerah, yang digolongkan atas Perda Propinsi, Perda Kabupaten/Kota dan

Peraturan Desa.

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Sehingga Pancasila merupakan grundnorm yang

mengilhami, dan memberi dasar validitas pembentukan dan

pemberlakuan semua hukum positif di seluruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai norma

penutup dari urutan peraturan perundang-undangan di

Indonesia dikenal adanya Keputusan Tata Usaha Negara

(beschikking) baik yang memberi manfaat (izin) maupun

yang memberikan beban kepada masyarakat (misal

pembebanan pajak, sanksi dsb) baik sebagai individu

maupun sebagai badan (hukum). Konsep tata urutan

(hierarkhie) peraturan perundang-undangan mengandung

asas lex superior derogat legi inferioriyang berarti bahwa

undang-undang yang mempunyai derajat lebih rendah dalam

hierarkhie perundang-undangan, tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang yang lebih tinggi.

3. Teori Keadilan Yang Bermartabat.

a. Skopa Teori Keadilan Bermartabat.

Pada hakikatnya pegertian teori keadilan yang bermartabat itu

dapat diketahui dengan jalan memahami bahwa teori keadilan

bermartabat itu adalah suatu nama dari teori hukum. Teori keadilan

bermartabat adalah suatu ilmu, dalam hal ini ilmu hukum. Sebagai

suatu ilmu hukum,cakupan atau scope dari teori keadilan yang

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

bermartabat dapat dilihat dari susunan atau lapisan dalam ilmu

hukum.80

Teori keadilan bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki suatu

skopa atau cakupan yang antara lain : dapat dilihat dari susunan atau

lapisan ilmu hukum yang meliputi filsafat hukum atau Philosophy of

law ditempat pertama.Pada lapisan kedua, terdapat teori hukum (legal

theory). Semantara itu dogmatik hukum dan praktik hukum berada

pada susunan atau lapisan ilmu hukum yang keempat.81

Sekalipun terlihat bahwa lapisan ilmu dalam teori keadilan

bermartabat itu adalah lapisan yang saling terpisah antara satu dengan

lapisan yang lainnya, namun pada prinsipnya lapisan- lapisan ilmu

hukum itu merupakan satu kesatuan sistematik, mengendap, hidup

dalam satu sistem. Saling berkaitan antarasatu dengan yang lain, bahu

membahu, gotong royong sebagai suatu sistem. Teori keadilan

bermartabat berangkat dari postulat sistem, bekerja mencapai tujuan,

yaitu keadilan yang bermartabat. Keadilan yang memanusiakan

manusia, atau keadilan yang nge wong ke wong.82

Teori keadilan bermartabat menganut suatu prinsip bahwa

sekalipun ilmu hukum itu tersusun sebagaimana dapat dilihat dalam

ilustrasi bentuk susunan atau lapisan yang dikemukakan diatas,

namun keempat komponen atau lapisan-lapisan dalam teori keadilan

bermartabat sebagai suatu ilmu hukum tersebut merupakan suatu

80

Prasetyo, Teguh, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Bandung : Nusa Media,

, Cetakan I Juni 2015 Hal. 1 81

Ibid hal. 2 82

Ibid hal 2

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

sistem atau satu kesatuan yang terdiri dari bebrapa bagian namun

saling kait-mengkait.83

Memahami ilmu hukum secara utuh berarti memahami keempat

lapisan hukum tersebut secara kait-mengkait. Lapisan yang diatas

mendikte (the law dictate), atau menerangi atau memberi pengayaan

terhadap lapisan ilmu hukum dibawahnya. Begitu pula seterusnya.

Lapisan yang dibawahnya lagi menerangi lapisan-lapisan selanjutnya,

kearah bawah (top-down), secara sistematik.84

b. Prinsip-Prinsip Keadilan Bermartabat.

Sebagai suatu sistem berfikir atau berfilsafat (jurisprudence)

yang identik dengan apa yang dikenal delam banyak literatur dunia

sebagai legal theory atau teori hukum, maka postulat dasar lainnya

dalam teori keadilan bermartabat itu tidak sekedar mendasar dan

radikal. Lebih daripada mendasar dan radikal, karakter teori keadilan

bermartabat itu, antara lain juga adalah suatu sistem filsafat hukum

yang mengarahakan atau memberi tuntunan secara tidak memisahkan

seluruh kaidah dan asas atau subtantive legal disciplines.85

Termasuk dalam subtantive legal disciplines, yaitu jejaring nilai

(values) yang saling terkait, dan mengikat satu sama lain. Jejaring

nilai yang saling kait-mengkait itu dapat ditemukan dalam berbagai

kaidah, asas-asas atau jejaring kaidah dan asas yang inheren

didalamnya nilai-nilai serta virtues yang kait-mengkait dan mengikat

satu samalain itu berada. Jejaring nilai dalam kaidah dan asas-asas

hukum itu ibarat suatu struktur dasar atau fobric menjadi utuh dan

83

Ibid hal.2 84

Ibid hal. 3 85

Ibid hal 34

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

spesifik, hidup, karena ada jiwanya atau living law dan yang berlaku

juga benar dalam satu unit politik atau negara tertentu. Bangunan

sistem hukum yang dipahami melalui teori keadilan bermartabat

tersebut yaitu NKRI.86

Sebagai suatu teori yang antara lain menagnut pula akan

kontinuitas arau sustanability dari pemikiran mengenai hukum dari

dalam jiwa bangsa yang pernah ada sebelumnya dan hingga kini

masih ada dan masih eksis di kemudian hari (volksgeist) yang

menyejarah, maka teori keadilan bermartabat disusun dalam rangka

menyempurnakan pemikiran mengenai hukum itu.87

Matrix perbandingan antara teori keadilan bermartabat dengan

dua teori yang pernah dikemukakan sebelumnya, telah dikemukakan

diatas. Kedua teori hukum hasil konstruksi orang indonesia yang

pernah ada sebelumnya yaitu teori hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat atau lebih sesuai dengan kaidah bahas

indonesia dapat disebut dengan hukum sebagai sarana pembangun

masyarakat dan teori hukum responsif. Teori pertama dikemukakan

oleh Profesor Mochtar Kusumastmadja, sedangkan teori yang kedua

dikemukakan oleh profesor Satjipto Rahardjo.88

c. Nilai Teori Keadilan Yang Bermartabat

Teori keadilan bermartabat bernilai, seperti nilai yang dimaksud

Notonagoro, sebab sekurang-kurangnya teori itu memiliki kualitas,

86

Ibid hal 34 87

Ibid hal. 35 88

Ibid hal.35

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

dapat dimanfaatkan oleh suatu bangsa yang besar wilayah dan

penduduknya, ternetang dari sabang sampai merauke dan dari talus

sampai rote. Dimaksudkan dengan berkualitas, juga antara lain bahwa

sesuatu itu dapat dirasakan bermanfaat atau dapat digunakan untuk

tujuan baik, menjadi alat pemersatu, memahami, menjelaskan dan

memelihara bentuk sistem hukum dari suatu bangsa yang besar.89

Notonagoro membagi nilai menjadi tiga kelompok, yaitu nilai

material (segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia), vital

(berguna bagi manusia untuk melaksanakan aktivitas), dan

kerohanian (berguna bagi rohani manusia). Nilai kerohanian dapat

dibagi menjadi nilai kebenaran kenyataan yang berusmber dari unsur

rasio (akal) manusia, nilai kebenaran moral yang bersumber pada

kehendak (karsa) manusia dan nilai religius yang bersumber pada

kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan melaui akal dan

budi nuraninya.90

Keinginan si pencipta datau, begitu seterusnya dengan orang

lain (pihak ketiga) yang sudah merasakan manfaat dari “alat” hasil

karya si pencipta pertama itu agar supaya nantinya orang-orang yang

lain juga turu menggunakan “alat” itu terlihat dengan jelas di balik

pernyataan dibawah ini :

“filsafat pancasila adalah hasil berfikir/pemikiran yang sedalam-

dalamnya dari bangsa indonesia yang dianggap, dipercaya dan

diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai)

yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan

paling sesuai bagi bangsa indonesai.”

89

Ibid . hal 92 90

Darmodiharjo, Darji, Penjabaran Nilai-niali Pancasia dalam Sistem Hukum Indonesia,

Jakarta : Rajawali pers, , !996 hal. 34

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Sekalipun nampak dari kutipan diatas ada semacam usaha

untuk mempromosikan teori keadilan bermartabat itu sebagai sesuatu

yang paling benar namun hal itu dilakuakan tanpa disertai dengan

maksud untuk menjadikan teori keadilan bermartabat menjadi satu-

satunya teori yang memonopoli kebenaran atau bersifat indoktrinasi

dan arogan. Seperti yang telah dikemukakan di muka, teori keadialan

yang memiliki ciri kefilsafatan, mencintai kebijaksanaan dan

bertanggung jawab. Dalam konteks itu, teori kedilan bermartabat

menolak arogansi, namun mendorong rasa percaya diri, dan

meyakinkan diri suatu sistem hukum, dalam hal ini sistem hukum

berdasarkan pancasila.91

4. Tiga Nilai Dasar Hukum.

Gustav Radbruch adalah seorang filsuf hukum dan seorang legal

scholar dari Jerman yang mengemukakan bahwa idelanya hukum

memiliki tiga nilai dasar. Ketiga nilai dasar hukum tersebut adalah :92

a) Keadilan.

Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paing

utama dibandingkan dengan kegunaan dan kepastian hukum. Secara

historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch nilai kepastian

hukum menempati peringkat paling atas diantara nilai dasar hukum

yang lain. Namun setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya

tersebut di Jerman dibawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-

peraktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia

II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek

91

Ibid hal. 94 92

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Cetakan Ke-

enam, Hal. 19

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun meralat

teorinya tersebut dengan menempatkan nilai keadilan sebagai posisi

pertama diatas nilai dasar hukum yang lain.93

Menurut plato keadilan adalah kemampuan memperlakukan

setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing. Dapat dikatakan

keadilan merupakan nilai kebajikan yang tinggi (Justice is the

suprime virtue which harmonization all other virtues). Selain itu

Plato menyatakan keadilan merupakan nilai kebajikan untuk semua

yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara moral, bukan

hanya diukur dari tindakan dan motif manusia.

Sementara Aristoteles menyatakan bahwa keadilan menuntut

supata tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri (ius suum cuique

tribuere).94

Akan tetapi kenyataannya kepentingan perseorangan dan

kepentingan golongan selalu bertentangan. Selanjutnya Aristoteles

mengajarkan adanya dua macam keadilan yaitu keadilan distributif

dan keadilan commutatief.95

Keadilan distributif adalah keadilan

yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menuntut jasanya.

Keadilan distributif tidak menuntut supaya tiap-tipa orang mendapat

bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan

kesebandingan. Sedangkan keadilan commutatief adalah keadilan

yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak

mengingat jasa-jasa perseorangan.

93

Carl Joachim, Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan

Nusamedia, 2004, hal 23.

94 Apeldoorn ,Van, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ke-dua puluh empat, Jakarta: Pradnya

Paramita,1990 hal 13 95

Ibid, hal 14

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Kemudian Aquinas membangaun teori keadilan dengan

bertoklak pada asumsi bahwa tiap orang memiliki integritas.

Integritas diwujudkan melalui aktualitsasi kesetaran (equality) hak

yang dimiliki. Menurut Aquinas keadilan adalah kebajikan utama

(first virtue), seperti yang diungkapkan sebagai berikut justice is

properly included among the other virtues is that others man in his

relationship with other. It is concerned with a certain equality, as it

name indicates. Equality moreover is concerned with other, whereas

the other virtues perfec a man solely in those things to himself.96

Dilanjutkan oleh Rawls, memberikan pandangannya yaikni

untuk menvcapai suatau keadilan, disayaratkan sekaligus adanya

unsur keadilan yang substantif (justice) yang mengacu pada hasil dan

unsur keadilan procedural (fairness). Atas dasar demikian munculah

istilah istilah yang digunakan oleh Rawls yakni Justice as Fairness,

meskipun dalam istilah justice of fairness tersebut unsur fairness

mendapat prioritas tertentu dari segi metodologinya. Apabila unsur

fairness sudah tercapai, maka keadilan sudah terjadi. Dengan

demikian unsur fairness atau keadilan procedural sangat erat

hubungannya dengan keadilan substantif (justice).

b) Kemanfaatan Hukum.

Menurut Radbruch bahwa hukum adalah segala yang berguna

bagirakyat. Sebagai bagian dari cinta hukum (idee des recht),

96

Aquinas, Thomas, Justice Eyre and Spottiswoode, London England: Sunma Theologia,,

1975, hal 37.

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

keadilan dan kepastian hukum membutuhkan pelengkap yakni

kemanfaatan.97

Kemanfaatn berkembang pada penganut aliran Utillistis seperti

Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Mereka

berpandapat bahwa pada intinya hukum harus bermanfaat untuk

membahagiakan kehidupan manusia. Hukum yang baik menurut

aliran ini adalah hukum yang dapat mendatangkan kebahagiaan yang

sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Bentham menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia akan

bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya

dan mengurangi penderitaannya. Kebahagiaan tersebut diartikan

sebagai kebebasan untuk mengemukakan diri dalam membela hak-

hak asasi manusia itu sendiri.98

Sementara John Stuart Mill mengartikan lebih jauh hubungan

antara unsur kemanfaatan dan unsur keadilan. Mill berpendapat

bahwa standar keadilan harus didasarkan pada unsur kemanfaatan,

tetapi sumber kesadaran keadilan itu bukan terletak pada keadilan,

melainkan pada 2 hal yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri

dan perasaan simnpati. Sumber keadilan terletak pada naluri manusia

untuk menolak atau membalas kerusakan yang dideritanya, baik oleh

diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari orang

lain.99

Secara garis besar pendapat Mill lebuh bersifat

menyempurnakan gagasan darai Bantham. Mill mengaitkan

97

Gustav Radbruch, Einfuehrung In Die rechtswissenschaft, Stuttgart: Koehler Verlag,

1961, Hal 36. 98

Pound, Roscoe, An Introduce to The Philosophy Of Law, Yale University Press, 1978, hal

5. 99

Sajipto rahardjo, Op.cit, 2006, hal. 16.

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

kebahagiaan perorangan dengan keharusan untuk menciptakan

kebahagiaan manusia seharusnya.

Menurut Sudikno Mertokusumo masyarakat mengaharapkan

manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah

untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum

harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan

sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul

keresahan didalam masyarakat.100

Pendapat Mertokusumo tersebut dapat dimaknai bahwa dalam

menegakkan hukum ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian

sevara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu

mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang

antara ketiganya.

Menurut Nurhasan Ismail kemanfaatan itu diartikan sebagai

optimalisasi tujuan sosial dari hukum. Bahwa setiap ketentuan hukum

disamping dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban dan

keteraturan sebagai tujuan akhir, tetapi juga memepunnyai tujuan

sosial tertentu yaitu kepentingan-kepentingan yang diinginkan untuk

diwujudkan melalui hukum baik yang berasal dari orang

perseorangan maupun masyarakat dari negara.101

100

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007,

hal. 47 101

Ismail, Nurhasan, Perkembangan Hukum Indonesia: Suatau Pendekatan Ekonomi-

Politik, Yogyakarta: Disertasi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2006. Hal. 74.

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

c) Kepastian Hukum

Van Apeldoorn berpendapat kepastian hukum yaitu adanya

kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua

warga masyarakat termasuk konsekwensi-konsekwensi hukumnya.

Kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapt ditentukan dari

hukum, dalam hal-hal yang kongkret.102

Pada dasarnya kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum

sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan

bahwa hukum dilaksanakan. Kepastian hukum intinya adalah hukum

itu ditaati dan dilaksanakan.

Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan,

bahwa yang berhak menuntut hukum dapat diperoleh haknya dan

bahwa putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan

perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang

berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang

diharapkan dalam keadaan tertentu.103

Dari pernyataan tersebut kepastian hukum dapat dimaknai

yakni pertama adanya kejelasan hukum itu sendiri. Kedua, hukum itu

tidak menimbulkan keraguan atau multi tafsir. Ketiga, hukum itu

tidak menimbulkan atau mengakibatkan kontardiktif, Yang keempat,

hukum itu dapat dilaksanakan.

Sekalipun ketiga-tiganya ini merupakan nilai dasar dari hukum,

namun antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis atau suatu

102

Apeldoorn ,Van, Op.cit,1990 Hal 24-25 103

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007,

Hal 160.

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

ketegangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan yang demikia ini

bisa dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang

berlain-lainan dan yang yang satu sama lain mengandung potensi

untuk bertentangan. Apabial kita ambil contoh kepastian hukum,

maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai-nilai keadilan dan

kegunaan kesamping. Karena yang utama bagi kepastian hukum

adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu

harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah

diluar pengutamaan nilai kepastian hukum.104

Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda-beda tersebut, maka

penilaian kita mengenai keabsahan hukum pun bisa bermacam-

macam. Masalah ini biasanya dibicarakan dalam hubungan dengan

berlakunya hukum, suatu singkatan dari “dasar-dasar berlakunya

hukum”. Perbedaan dalam penilaian kita mengenai keabsahan dari

hukum itu menagndung arti, bahwa dalam menilainya kita perlu

membuat suatu perbandingan. Hal ini misalnya berarti, bahwa

penilaian keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya

barulah merupakan suatu segi, bukan satu-satunya penilaian. Lebih

dari itu, sesuai dengan potensi ketiga nilai dasar yang saling

bertentangan, apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang

harus dipenuhi oleh suatu peraturan, bisa dinilai tidak sah dari segi

kegunanannya bagi masyarakat. 105

Bagi Radbruch ketiga aspek ini

sifatnya relatif, bisa berubah-ubah. Satu waktu bisa menonjolkan

keadilan dan mendesak kegunaan dan kepastian hukum ke wilayah

tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan.

104

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Cetakan Ke-

enam, Hal. 19

105

Ibid, Hal. 19

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edu...teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang terjadi

Hubungan yang sifatnya relatif dan berubah-ubah ini tidak

memuaskan. Meuwissen memilih kebebasan sebagai landasan dan

cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan kesewenangan, karena

kebebasan tidak berkaitan dengan apa yang kita inginkan. Tetapi

berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita ingini. Dengan

kebebasan kita dapat menghubungkan kepastian, keadilan, persamaan

dan sebagainya ketimbang mengikuti Radbruch.106

106

Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum

dan Filsafat Hukum, Bandung : PT Refika Aditama, , 2007, hal. 20-21