bab ii tinjauan pustaka a. teori hermeneutika hukum 1

61
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1. Konsepsi dan Sejarah Perkembangan Hermeneutika Hukum Secara etimologis, kata “ hermeneutic ” (tanpa „s) dan “hermeneutics(dengan huruf „s). Kata yang pertama dimaksudkan sebagai bentuk adjective (kata sifat) yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai ketafsiran, yakni menunjuk kepada “keadaan” atau sifat yang terdapat dalam satu penafsiran. Sementara kata kedua (hermeneutics) adalah sebuah kata benda (noun). Kata ini mengandung tiga arti: 6 a. Ilmu penafsiran; b. Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis; c. Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran atas teks atau kitab suci. Kata Hermeneutics juga berasal dari bahasa Yunani berupa kata kerja hermeneuein” yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda “hermeneiaartinya tafsiranatau interpertasi. Dari kata kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu: a. Mengatakan : to express aloud in words, that is, "to say"; b. Menjelaskan : “to explain, as in explaining a situation; and 6 Fakhruddin Faiz. 2002. Hermeneutika Al-Qur’an. Cet. 3. Yogyakarta. Qolam. Hal. 21.

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Hermeneutika Hukum

1. Konsepsi dan Sejarah Perkembangan Hermeneutika Hukum

Secara etimologis, kata “ hermeneutic ” (tanpa „s) dan “hermeneutics”

(dengan huruf „s). Kata yang pertama dimaksudkan sebagai bentuk adjective

(kata sifat) yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat

diartikan sebagai ketafsiran, yakni menunjuk kepada “keadaan” atau sifat

yang terdapat dalam satu penafsiran. Sementara kata kedua (hermeneutics)

adalah sebuah kata benda (noun). Kata ini mengandung tiga arti:6

a. Ilmu penafsiran;

b. Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan

ungkapan penulis;

c. Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran atas teks atau

kitab suci.

Kata Hermeneutics juga berasal dari bahasa Yunani berupa kata kerja

“hermeneuein” yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda “hermeneia”

artinya “tafsiran” atau “interpertasi”. Dari kata kerja hermeneuein dapat

ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu:

a. Mengatakan : to express aloud in words, that is, "to say";

b. Menjelaskan : “to explain”, as in explaining a situation; and

6 Fakhruddin Faiz. 2002. Hermeneutika Al-Qur’an. Cet. 3. Yogyakarta. Qolam. Hal. 21.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

18

c. Menerjemahkan : “to translate”, as in the translation of a foreign tongue.

All three meanings may be expressed by the English verb "to interpret,"

yet each constitutes an independent and significant meaning of

interpretation.

Dari ketiga makna tersebut, selanjutnya dalam bahasa inggris

diekspresikan dengan kata: to interpret. Dengan demikian, perbuatan

interpretasi menunjuk tiga hal pokok:7

a. Pengucapan lisan (an oral recitation).

b. Penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation).

c. Terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language), atau

mengekpresikan).

Richard E. Palmer mengkualifikasi hermeneutika yang berkembang pada

masa modern, didefinisikan, paling tidak kedalam 6 (enam) bentuk yang

berbeda. Enam bentuk tersebut antara lain (1) teori eksegesis Bibel, (2)

metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fondasi

metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan

pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun

iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna dibalik mitos dan

simbol.8

Pada mitologi Yunani Kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari

kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan

7 Richard E. Palmer. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,

Heidegger, and Gadamer. Evanston. Northwestern University Press. Hal. 23.

8 Richard E. Palmer. 2016. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Intepretasi. Cet. 3.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 38.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

19

menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi

mitos yang lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas

menafsirakan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.

Pengertian dari mitologi ini kerap kali dapat menjelaskan pengertian

hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan

sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci.9 Dalam agama islam

yang dimaksud Hermes ini diidentikan dengan Nabi Idris a.s.. Sementara

dikalangan Mesir Kuno, Hermes dikenal sebagai Thoth atau Nabi Musa a.s.,

sementara dikalangan Yunani dikenal sebagai Unukh dan dikalangan

masyarakat Persia Kuno dikenal sebagai Hushang.10

Dalam konteks ilmu hukum, hermeneutika (Eng: hermeneutics) adalah ilmu

atau seni menafsirkan suatu pasal atau ketentuan (schriftverklaring).

Hermeneutika berangkat dari “kecurigaan” akan suatu teks undang-undang,

naskah, ataupun argumentasi yang dikemukakan hakim dalam putusannya.

Aksentualisasinya adalah upaya mencari jawaban dari “apa”. “kapan”, dan yang

paling mendasar adalah “mengapa”?. Dalam Black’s Law Dictionary,

hermeneutika didefinisikan sebagai :

“The science or art of construction and interpretation. By the phrase “legal

hermeneutics” is understood the systematic body of rules which are

recognized as applicable to the construction and interpretation of legal

writing.”

Michael N. Forster mendefinisikan hermeneutika dengan mengemukakan:

9 Habibul Umam Taqiuddin. 2016. Hermeneutika Hukum Sebagai Teori Penemuan Hukum

Baru. Jurnal Jime. Vol. 2 No. 2. Hal. 327.

10 Edi Susanto. 2016. Studi Hermeneutika: Suatu Pengantar. Jakarta. Kencana. Hal. 3.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

20

“...hermeneutics means the theory of interpretation, i.e. the theory of

achieving an understanding of texts, utterances, and so on (it does not mean

a certain twentieth-century philosophical movement)”11

Hermeneutika dalam pemikiran barat dikembangkan dan dipopulerkan oleh

para filsuf dan pakar hukum diantaranya Friedrich Schleiermacher

(Hermeneutika romantis), Wilhelm Dilthey (hermeneutika metodologis), Emilio

Betti, Martin Heidegger (Hermeneutika eksistensial/dialektis), Hans-Georg

Gadamer (hermeneutika dialogis/filosofis), Jurgen Habermas (hermeneutika

kritis), Paul Ricoeur (hermeneutika fenomenologis/naratif), E. D. Hirsch. Jr.,

Jorge J. E. Gracia, Jasques Derrida (Hermeneutika dekonstruksionis). Secara

umum Josef Bleicher membagi dan mengkerucutkan hermeneutika menjadi 3

tiga metode pencarian makna berdasar hubungan triadic antara teks, penggagas,

dan penafsir yakni: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan

hermeneutika kritis.

Gagasan hermeneutika modern barawal dari gagasan FDE.

Schleiermacher. Ia telah membawa kajian hermeneutik tidak hanya berkutat

pada lingkup penafsiran terhadap kitab suci. Lebih dari itu ia melihat

hermeneutik dapat bermanfaat besar bagi semua kalangan. Dan pada faktanya

terus berkembang ke semua bidang baik agama, sastra, sejarah, hukum,

maupun filsafat. Ia telah berjasa dalam membakukan hermeneutika sebagai

acuan dalam hal interpretasi secara metodologis.12 Schleiermacher

mengemukakan hermeneutika sebagai seni memahami yang mengandung

11 M. Natsir Asnawi. 2020. Hermeneutika Putusan Hakim: Pendekatan Multidisipliner dalam

Memahami Putusan Peradilan Perdata. Yogyakarta. UII Press. Hal. 3.

12 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 6-7.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

21

makna sebagai proses yaitu proses mengungkap makna dari “bahasa”, “teks”,

dan “simbol”. Dalam memahami problem yang mendasarkan pada gagasan

Schleiermacher interpretasi yang berpengaruh adalah interprestasi psikologis

dan interpretasi gramatis/linguistik. Interpretasi psikologis menempatkan

pada isi pikiran penulis, sedangkan interpretasi gramatis menempatkan pada

unsur-unsur bahasa teks.13

Perkembangan selanjutnya oleh Wilhelm Dilthey. Hermeneutika

berperan sebagai fondasi ilmu kemanusiaan difungsikan sebagai landasan

metodologis bagi ilmu humaniora. Dilthey berusaha menggiring

hermeneutika sebagai landasan epistimologi bagi ilmu humaniora dan tidak

hanya sekedar sebagai ilmu penafsiran teks.14 Ia melakukan pengembangan

gagasan dalam memahami problem dengan menggunakan lingkaran

hermeneutika terbuka yaitu dalam memahami makna ada dipengaruhi oleh

historis dan sosial kemanusiaan, sehingga makna tersebut dapat berubah

makna menurut waktu dan hubungan-hubungan yang terlibat melalui proses

interpretasi.15

Tahap selanjutnya, kajian hermeneutika telah berhasil memasuki

pembahasan dalam ranah ontologis. Hermeneutika sebagai pemahaman

eksistensial dan fenomenologi eksistensi lebih difungsikan sebagai penafsiran

untuk melihat fenomena keberadaan manusia itu sendiri melalui bahasa.

13 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. 2017. Urgensi Penggunaan Hermeneutika Hukum Dalam

Memahami Problem Pembentukan Peraturan Daerah. Jurnal Kertha Patrika. Vol. 39 No. 3. Hal.

162-163.

14 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 8.

15 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. Op., cit. Hal. 163.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

22

Tokohnya adalah Martin Heidegger dan Hans G. Gadamer. Dalam perspektif

Heidegger hermeneutika bukan hanya sebagai metode filologi, melainkan

menjadi karakteristik manusia itu sendiri. Memahami dan menafsirkan

merupakan bentuk paling mendasar dari eksistensi manusia. Gadamer

memandang hermeneutika sebagai usaha untuk mempertanggungjawabkan

pemahamannya sebagai proses ontologis manusia. Pemahaman merupakan

modus eksistensi manusia. Peristiwa pemahaman merupakan peristiwa

historis, dialektis, dan linguistik.16

Hermeneutika sebagai sistem penafsiran. Dalam konteks ini

hermeneutika lebih difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran

dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol, yaitu

dengan membuka selubung yang menutupinya.17 Hermeneutika yang

berpengaruh terhadap memahami problem ini adalah hermeneutika dari

Ricoeur yang menempatkan pada upaya menyingkap makna yang

tersembunyi di balik teks. Selanjutnya Ricoeur juga menegaskan bahwa

dalam menyingkap makna dalam teks, unsur metodologi sangat diperlukan.

Ricoeur menyebutnya sebagai jalan melingkar.18 Artinya dalam menyingkap

makna dalam teks harus didahului dengan adanya “metodologi”. Selanjutnya

dapat dilakukan proses “memahami” dan “menjelaskan”. Setelah ditemukan

maknanya, dengan demikian selanjutnya dapat dilakukan rekontruksi

terhadap makna tersebut.

16 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 9.

17 Ibid.

18 Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. Op., cit. Hal. 164.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

23

Drucilla Corneel bahkan menyebut bahwasannya hermeneutika hukum

merupakan bagian dari Critical Legal Studies (CLS) Movement (Gerakan Studi

Hukum Kritis) yang berusaha mewujudkan prinsip etis berupa keadilan serta

prinsip-prinsip politik akan janji keselamatan hukum. Corneel bahkan

menentang mereka yang menganggap hermeneutika hukum sebagai sebuah

penemuan atau apropriasi masa lalu dari visi keadilan kontemporer.19

Francis Lieber menyatakan bahwa hukum mesti menggunakan

hermeneutika dalam memahami teks, kata, atau isi hukum itu sendiri.

Menurutnya hermeneutika bukan sekedar hal yang selalu ada dalam hukum

dan politik, melainkan menjadi bagian penting dalam hukum dan politik itu

sendiri. Maka para legislator, hakim, pengacara, dan administrator

membutuhkan aturan-aturan yang tepat, aman, dan sehat bagi interpretasi dan

konstruksi.20

Hermeneutika menjadi kajian yang relevan sebagai alternatif metode

penemuan hukum. Yang mana hal tersebut diperlihatkan dengan ciri khasnya

yakni bingkai pemahaman melalui proses timbal balik antara kaidah-kaidah

dan fakta-fakta. J.J.H. Bruggink menjelaskan bahwa lingkaran hermeneutical

dihasilkan dari proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Dalil

hermeneutical bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya

19 Jazim Hamidi. Loc., cit.

20 Urbanus Ura Weruin, Dwi Andayani B., St.Atalim. 2016. Hermeneutika Hukum: Prinsip dan

Kaidah Interpretasi Hukum. Jurnal Konstitusi. Vol. 13 No. 1. Hal. 103.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

24

kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta,

termasuk dalam paradigma dari Teori Penemuan Hukum dewasa ini.21

Fungsi dari tujuan hermeneutika hukum menurut James Robinson adalah

untuk bringing the unclear into clarty (memperjelas sesuatu yang tidak jelas

supaya lebih jelas). Adapun menurut Gregory Leyh, tujuan hermeneutika

hukum untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi

hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Hans-Georg

Gadamer berpendapat bahwa hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat

berguna, tatkala seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah

orisinal dari teks hukum. Serta Charter, berpendapat bahwa, pengalaman

hakim pada saat menemukan hukum dalam praktek di pengadilan

memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya.22

Dalam ranah kajian hukum, hermeneutika hukum ingin membantu yuris,

khususnya hakim, dalam membangun dan mengembangkan pemahaman

secara utuh terhadap teks-teks hukum. Hermeneutika bagi hakim pada

dasarnya berperan penting dalam menghindarkan hakim dari kesesatan dalam

menafsir teks-teks hukum (mislead). Selain berkutat pada dimensi menafsir

suatu teks, hermeneutika juga berkenaan dengan kegiatan konstruksi atau

membangun teks tertentu yang bermakna. Dengan demikian hermeneutika

juga menjadi patron bagi hakim dalam menyusun atau mengontruksi teks atau

kaidah hukum tertentu dan menerapkannya pada kasus atau perkara in

21 Dalam B. Arief Sidharta. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal.

209.

22 Abintoro Prakoso, 2016. Penemuan Hukum: Sistem, Metode, Aliran, dan Prosedur Dalam

Menemukan Hukum. Yogyakarta. LaksBang Group. Hal. 135.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

25

konkreto.23 Selain daripada itu, Hermeneutika hukum juga menganjurkan

agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna

hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan,

sebagaimana dikatakan oleh Sarat, “…as an alternative, or addition, to (the

study of legal) behavior.”24

Van Apeldoorn berpendapat bahwa hakim harus menyesuaikan undang-

undang dengan fakta-fakta konkrit, kejadian-kejadian konkrit dalam

masyarakat, serta menambah undang-undang apabila memang diperlukan.

Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-kejadian

konkrit. Karena undang-undang tidak dapat mencakup segala kejadian yang

ada atau timbul dan berlaku di dalam masyarakat.25

Keputusan yang dilakukan oleh hakim akhirnya merupakan suatu

lompatan dari penalaran yang logis kepada suatu penilaian. Keputusan hakim

senantiasa tidak terlepas dari tujuan akhir keputusan hukum itu, yaitu

keadilan. Keadilan inilah yang pada hakikatnya dilihat sebagai konsekuensi

yang harus diciptakan dalam masyarakat yang dapat dirumuskan sebagai

similia similibus atau memberikan perlakuan yang sama terhadap hal-hal

yang sama (perkara yang sama/sejenis harus diputus sama). Hal ini sejalan

berdasar perkataan Paul Scholten yang menyatakan bahwa:

“Wie ..... nieuw recht zoekt moet altijd vragen : hoe is het oude geworden,

kan ik er een lijn van ontwikkeling in onderkenmen, bouw ik voortr aan

23 M. Natsir Asnawi. Op., cit. Hal. 3.

24 Dalam Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika

Masalahnya. Jakarta. Elsam dan Huma. Hal. 104-105.

25 Abintoro Prakoso. Op., cit. Hal. 19.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

26

het bestaande, past het erebji? En tegelijk moet hij zich afragen : waar

ga ik heen als ik dezen stap doe, welke consequenties liggen er in

opsegolten?.

Artinya : Siapa yang hendak menemukan hukum baru selalu harus bertanya:

bagaimanakah hukum lama terbentuk, dapatkah saya menemukan “garis

merah”, dan apakah saya melanjutkan (pranata norma) hukum (yang baru ini)

di atas apa yang kini berlaku? Apakah (norma atau pranata) hukum baru yang

akan saya kemukakan itu serasi atau dapat diserasikan dengan (sistem) hukum

positif? Dan sekaligus ia harus bertanya : menuju ke manakah norma hukum

yang baru itu serta apakah konsekuensinya apabila saya menetapkan (norma)

hukum yang baru?. Hal ini berarti bahwa proses penemuan hukum tidak

hanya dilakukan oleh hakim atau siapa saja yang pada suatu waktu melakukan

penafsiran hukum, melainkan juga merupakan hasil dari interaksi dengan

masyarakat tempat keputusan itu diterapkan, yang disebut oleh Paul Scholten

unsur konsekuensi terhadap masyarakat.26

Menurut Jazim Hamidi, esensi dari hermeneutika hukum itu terletak pada

pertimbangan “trianggel hukum”-nya, yaitu suatu metode menginterpretasikan

teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya semata, tapi juga konteks

hukum itu dilahirkan, serta bagaimana kontektualisasi atau penerapan hukumnya

di masa kini dan mendatang. Salah satu kelebihan dari metode ini yakni terletak

pada cara dan lingkup interpretasinya yang “tajam”, “mendalam”, dan “holistik”

dalam bingkai keterkaitan antara “teks”, “konteks”, dan “kontekstualisasinya”.

Dengan demikian, peristiwa hukum maupun peraturan perundang-undangan

26 Ibid. Hal 5-9.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

27

tidak semata-mata dilihat/ditafsirkan dari aspek legalitas formal berdasar bunyi

teks-nya semata, tetapi juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar

belakangi peristiwa/sengketa itu muncul, apa akar masalahnya, adakah intervensi

politik yang membidani dikeluarkannya putusan itu, serta sudahkah dampak

putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum dan keadilan (aspek sosio-

politik-kulturnya) di kemudian hari.27

Sebagaimana banyak menjadi rujukan para pakar hukum di Indonesia,

perkembangan hermeneutika dalam ilmu hukum di Indonesia banyak diilhami

oleh pemikiran B. Arief Sidharta (Almarhum). Melalui pemikirannya,

hermeneutika semakin berkembang baik melalui tulisan-tulisan maupun kuliah

tamu yang diisi beliau. Shidarta mengatakan bahwa:

“Melalui pelbagai perpaduan cakrawala dalam dialogia rasional

(hermeneutika Gadamer) dalam forum-forum diskusi ilmiah hukum terbuka

diharapkan akan dihasilkan produk penafsiran hukum yang paling

akseptabel, yakni secara rasional dapat dipertanggungjawabkan karena

kekuatan argumentasinya, sehingga memiliki keberlakukan intersubjektif.”.

2. Kerangka Pemikiran Hans Georg Gadamer Pada Konsep Hermeneutika

Hukum

Bicara mengenai hukum, senyatanya tidak akan pernah lepas dari ihwal

menafsirkan. Hal ini tak lain karena hukum senantiasa dituangkan dalam

bentuk teks yuridik tertulis (terkecuali norma kebiasaan di masyarakat). Oleh

karenanya penafsiran menjadi jantung bagi hukum itu sendiri.

27 Jazim Hamidi. Op., cit. Hal. 117-119.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

28

Dalam ilmu hukum telah dikenal suatu ajaran metode penemuan hukum

dengan menggunakan metode interpretasi dan konstruksi hukum. Meski

metode intrepretasi dan kontruksi hukum yang telah mengakar cukup lama

didunia hukum termasuk diterapkan di Indonesia. Terdapat alternatif

penemuan hukum lain yang kiranya dapat dipertimbangkan untuk dapat

digunakan didalam dunia penafsiran yang disebut sebagai hermeneutika

hukum. Pemikiran hermeneutika ala Hans-Georg Gadamer menjadi salah satu

rujukan yang sering dipakai dalam penerapan penafsiran hukum.

Hermeneutika hukum menjadi kajian yang relevan sebagai alternatif

penemuan hukum. Hal ini terlihat melalui ciri khasnya yakni bingkai

pemahaman melalui proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.

Sejalan dengan pemahaman itu, J.J.H. Bruggink berpendapat bahwa

lingkaran hermeneutical dihasilkan dari proses timbal balik antara kaidah-

kaidah dan fakta-fakta. Artinya dalil hermeneutical menyatakan bahwa orang

harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan

menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta, termasuk dalam

paradigma dari Teori Penemuan Hukum dewasa ini.28

Yang menjadi pertanyaan apakah persamaan dan titik taut perbedaan

ketiga alternatif penemuan hukum tersebut? Jazim Hamidi memberikan

penjelasan tersebut dalam bukunya Hermeneutika Hukum (Sejarah – Filsafat,

dan Metode Tafsir).29 Berikut akan dipaparkan melalui tabulasi dibawah ini:

28 Dalam Arief Sidharta. Op., cit. Hal. 209.

29 Jazim Hamidi. Op., cit. Hal. 50-51.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

29

Tabel 1: Persamaan Hermeneutika Hukum dengan Interpretasi dan

Konstruksi Hukum

Sumber: Jazim Hamidi

Adapun perbedaannya dapat dilihat dalam tabulasi berikut:

Tabel 2: Perbedaan Hermeneutika Hukum dengan Interpretasi dan

Konstruksi Hukum

Hermeneutika Hukum Interpretasi Hukum & Konstruksi

Hukum

Merupakan ajaran filsafat hukum dan

cara interpretasi atas “teks” atau

“sesuatu”.

Interpretasi = penafsiran teks

Konstruksi = analogi hukum

Lingkup kajiannya (hermeneutika

umum metode penafsiran kitab suci,

filologi, linguistic, ilmu-ilmu

humaniora (Geiteswissenschaften),

fenomologi dassein/eksistensial,

sistem penafsiran) dan hermeneutika

hukum itu sendiri.

Lingkup interpretasi hukum

(gramatikal, historis, sistematis,

sosiologis/teleologis, komparatif,

futuristik, restriktif, ekstentif, otentik,

interdisipliner, dan multidisipliner).

Lingkup konstruksi hukum

(argumentum per-analogium,

argumentum a-contrario,

rechtsvervijnings, dan fiksi hukum).

1. Sama-sama merupakan metode interpretasi;

2. Fungsi dan tujuannya untuk menggali makna hukum di balik teks

otoritatif;

3. Para pengguna terdiri dari: akademisi hukum, peneliti hukum,

penstudi hukum, ilmuwan hukum, hakim, jaksa, advokat,

konsultan hukum, polisi, notaris, dan para pencari keadilan

lainnya.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

30

Cara menggunakannya dilakukan

secara holistik dan komprehensif.

Cara menggunakannya bisa

dilakukan secara komulatif dan/atau

fakultatif

Digunakan kapan saja. Digunakan jika hukum tidak jelas,

bermakna kabur/ganda, dan bila

terjadi antinomi norm atau benturan

norma. Sedangkan konstruksi hukum

digunakan saat wet vacuum.

Sumber: Jazim Hamidi

Secara umum, hermeneutika hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau seni

penafsiran terhadap teks yuridik. Dalam tataran filosofis, hermeneutika hukum

merupakan ajaran filsafat tentang intisari ‘memahami’ sesuatu. Hermeneutika

hukum sangat berperan dalam membongkar maksud terselubung dan berusaha

menggali ‘pemahaman’ (verstehen) terhadap suatu teks undang-undang,

naskah/dokumen resmi negara, doktrin hukum, asas hukum, norma hukum, fakta

hukum, atau argumentasi hukum yang dikemukakan hakim dalam putusannya.

Menurut Hans-Georg Gadamer secara tersirat dalam bukunya (Wahrheit

und Methode) menyatakan bahwa sebuah teks hukum yang memiliki kekhasan

dogmatiknya, tidak dapat dipahami hanya secara literal saja.30 Pemahaman akan

sesuatu tidak dapat disandarkan hanya dengan melihat teks semata sebagaimana

yang dituliskan. Lebih dari itu, teks harus dapat dipahami dengan memperhatikan

bentangan historitas yang ada di masyarakat. Karena sejatinya, hukum tidak

dapat dipisahkan dari hakekat keberadaan manusia itu sendiri.

30 Hans-Georg Gadamer (diterjemahkan oleh: Ahmad Sahidah). 2020. Kebenaran dan Metode.

Cet. III. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 389-410.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

31

Secara tidak langsung, hadirnya hermeneutika hukum mengisyaratkan

jawaban keresahan atas hegemoni positivisme. Lebih lanjut, hermeneutika

hukum hadir untuk membantu hakim dalam menafsirkan dan memahami teks

yuridik guna mencari kebutuhan hukum yang ideal di masa kini dan mendatang.

Alhasil pemaknaan teks hukum dan penerapannya merupakan satu kesatuan

yang utuh.

Dalam bukunya, Gadamer menyelipkan sub bab yang menjabarkan aplikasi

hermeneutikanya dalam ranah hukum. Sub bab ini diberi judul “Makna Teladan

Hermeneutika Hukum”. Gadamer mendefinisikan dan menyimpulkan bahwa :31

“Legal hermeneutics is no special case but is, on the contrary, capable of

restoring the hermeneutical problem to its full breadth and so re-

establishing the former unity of hermeneutics, in which jurist and theologian

meet the philologist.” (terjemahan bebasnya: Hermeneutika hukum

bukanlah suatu hal atau kasus yang khusus/baru, tetapi sebaliknya, ia hanya

memulihkan kembali problema yang utuh dari masalah hermeneutik dan

dengan demikian membentuk kembali kesatuan hermeneutik secara

menyeluruh seperti semula, dimana pakar hukum dan teologi bertemu

dengan para pakar ilmu humaniora).

Menurut Jazim Hamidi, esensi dari hermeneutika hukum ini (H. Georg

Gadamer) terletak pada pertimbangan “trianggel hukum”-nya, yaitu suatu

metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat

teksnya semata, tapi juga konteks hukum itu dilahirkan, serta bagaimana

31 Ibid. Hal. 394.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

32

kontektualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan mendatang. Salah

satu kelebihan dari metode ini yakni terletak pada cara dan lingkup

interpretasinya yang tajam, mendalam, dan holistik dalam bingkai keterkaitan

antara “teks”, “konteks”, dan “kontekstualisasinya”.32

Bahkan dapat dikatakan bahwa ilmu hukum adalah sebuah eksemplar

hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek hukum kehidupan

bermasyarakat. Sebab, dalam mengimplementasikan ilmu hukum untuk

menyelesaikan masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan penafsiran itu

tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridik, tetapi juga terhadap kenyataan yang

menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan.33

Dengan demikian hermeneutika hukum bukanlah suatu metode, melainkan

cara atau seni memahami teks yuridik dengan sudut pandang yang lebih luas.

Bukan hanya menelisik objektifitas teks atau maksud penggagas semata, namun

juga dengan memahami keadaan aktual yang berhubungan dengan teks tersebut.

Dengan kata lain, juga melihat hukum dalam tataran praktis atau kenyataan yang

menimbulkan masalah hukum. Dengan demikian penafsir juga mengambil andil

penting didalamnya. Hal yang relevan, sebagaimana yang terjadi dalam subjek

permasalahan penelitian hukum ini.

Sebelumnya telah dijelaskan diatas tentang pemahaman dasar mengenai

hermeneutika hukum secara sederhana. Selanjutnya dalam penelitian hukum ini,

penulis secara khusus memilih dan akan melakukan analisa terhadap subjek

32 Jazim Hamidi. Op., cit. Hal. 117-119.

33 Muhammad Ilham Hermawan. Op., cit. Hal. 26.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

33

permasalahan menggunakan konsep hermeneutika berdasar pemikiran Hans-

Georg Gadamer. Oleh sebabnya, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai

implementasi hermeneutika hukum dalam pola kerja dan kerangka pemikiran

Hans-Georg Gadamer. Secara rigit pemikiran Gadamer dapat ditelisik melalui

Maha Karya-nya yang berjudul Wahrheit und Methode (Ing: Truth And Method;

Ind: Kebenaran dan Metode).

Pada perkembangannya hermeneutika telah mencapai tataran pembahasan

secara ontologis melalui pemikiran Heidegger yang kemudian dikembangkan

oleh muridnya Gadamer. Setelah sebelumnya masih berbasis pada tataran

metodologi yang dikembangkan oleh Schleiermarcher dan Dilthey.

Hermeneutika ala Gadamer tidak ingin menempatkan hermeneutika sebagai seni

menggali ‘pemahaman’ yang sukar mencapai kebenaran dalam kesempitan

sebuah metode. Alih-alih, ia ingin menempatkan hermeneutika untuk dapat

menembus dimensi kebenaran yang hakiki pada tingkat ontologis. Proses

mencapai kebenaran tersebut dilakukan melalui proses secara dialektis/dialogis.

Berbicara mengenai hermeneutika, maka berbicara mengenai masalah

hubungan antara penggagas, teks, dan penafsir/pembaca. Oleh sebabnya hasil

analisis terhadap pembacaan teks dapat saja berbeda antara maksud penggagas

dengan pembaca/penafsir. Oleh karenanya persoalan utama hermeneutika

terletak pada pencarian makna teks, apakah makna objektif ataukah makna

subjektif.34 Tiga bentuk hubungan (triadic) dalam hermeneutika tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut:

34 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 26.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

34

Gambar 1. Hubungan Triadic Konsep Hermeneutika

Pemahaman, bagi Gadamer sebagaimana digambarkan oleh Richard E.

Palmer merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistik. Gadamer

mengisyaratkan bahwa inti dasar hermeneutika adalah ontologi dan

fenomenologi pemahaman. Itu sebabnya hermeneutika ini dikategorikan

kedalam hermeneutika filosofis. Kunci untuk memahami bukanlah

memanipulasi atau menguasai, melainkan partisipasi dan keterbukaan, bukan

pengetahuan tetapi pengalaman, bukan metodologi melainkan dialektika.35 Bagi

Grondin, konsep Gadamer difokuskan pada 3 (tiga) hal yakni pemahaman

sebagai kegiatan berpikir, kegiatan praktek, dan kesepahaman.36

Masalah utamanya yakni tentang “bagaimana tindakan memahami” perse,

bukan bagaimana memahami teks dengan benar dan objektif sebagaimana

hermeneutika teoritis. Hermeneutika filosofis menolak dengan tegas anggapan

hermeneutika teoritis yang menganggap hermeneutika bertujuan untuk

menemukan makna objektif.37 Melainkan makna yang lebih berarti bagi

eksistensi manusia itu sendiri.

35 Richard E. Palmer. Op., cit. Hal. 255.

36 Lina Kushidayati. 2014. Hermeneutika Gadamer dalam Kajian Hukum. Jurnal Yudisia. Vol.

5 No. 1. Hal. 70.

37 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 29.

Teks

Pembaca/penafsir Penggagas

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

35

Bicara hermeneutika maka tidak dapat dipisahkan mengenai adanya

kesenjangan jurang antara masa-lalu dan masa-kini. Kesenjangan tersebut tidak

harus diatasi penafsir dengan berusaha memahami teks dengan menanggalkan

masa kini. Melainkan dengan memediasikan keduanya. Hal tersebut diperantarai

melalui dalektika. Dengan dialektika maka makna, maksud, dan kenyataan akan

timbul dengan sendirinya kepermukaan.

Bagi Gadamer, pemahaman bersifat historikal. Artinya perlu dicamkan

bahwa manusia itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Sehingga tidak dapat diragukan

lagi bahwa horizon (cakrawala) besar masa-lalu tempat kebudayaan dan masa-

kini kita hidup, memengaruhi kita dalam setiap hal yang kita maui, kita harapkan,

atau kita takutkan, dan khawatirkan di masa-depan. Gerakan historikal menjadi

inti pemahaman. Dalam artian, didalam pemahaman terjadi interaksi antara

masa-lalu dengan masa-kini.38 Bahkan hasil mediasi keduanya harus

diproyeksikan kepada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa

mendatang. Hubungan tersebut menciptakan gerak resiprokal sebagaimana

digambarkan berikut:

Gambar 2. Hubungan Resiprokal Historikal Masa Lalu, Masa Kini, dan

Masa Depan

38 W. Poespoprodjo. 2004. Hermeneutika. Bandung. CV Pustaka Setia. Hal. 94-95

manusia

masa lalu masa depan

masa kini

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

36

Hermeneutika tidak ditujukan untuk berurusan dengan subjektifitas

penggagasnya, juga tidak berurusan dengan situasi historisnya. Makna

senantiasa melampaui jiwa dan pemahaman penggagas. Pemahaman bukan

hanya upaya reproduktif, tetapi juga kegiatan produktif.39 Sebagai ciri khas

hermeneutika Gadamer, bahkan ia mengartikan pemahaman adalah saling

memahami hingga sampai pada “titik kesepahaman”.

Terdapat pokok-pokok konsep hermeneutika dalam spektrum pemikiran

Gadamer diantaranya sebagai berikut:

a. Teori Kesadaran Sejarah Pengaruh (Jerm: Wirkungsgeschichte Bewubtsein;

Ing: Historically Effected Conscioucness)

Kesadaran sejarah pengaruh adalah kesadaran tentang ‘situasi’

hermeneutik.40 Situasi hermeneutik ini dapat berupa tradisi, budaya, atau

pengalaman hidup yang melingkupi penafsir. Teori ini mengandung makna

bahwa sejatinya seseorang yang merupakan pelaku sejarah, tidak dapat

melampaui sejarah itu sendiri. Kita senantiasa berada dalam lintasan sejarah

itu sendiri. Sehingga seorang penafsir harus sadar bahwa ia dipengaruhi oleh

‘situasi’ hermeneutik tertentu yang menyelimutinya.

Kesadaran sejarah pengaruh itu merupakan bagian dari pemahaman itu

sendiri. Pesan dari teori ini yakni kesadaran penafsir akan sejarah, dimana

penafsir tidak berada diluarnya, sehingga tidak akan mampu untuk

mempunyai pengetahuan objektif.41 Konsep ini pada intinya mengandung 2

39 Ibid. Hal. 96

40 Hans-Georg Gadamer. Op., cit. Hal. 363.

41 Ibid.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

37

(dua) pokok persoalan yang saling mangandaikan. Pertama, dalam proses

memahami, seseorang sadar atau tidak sadar telah berhadapan dengan sebuah

karya sejarah atau data sejarah yang mendahuluinya. Arti singkatnya manusia

telah memiliki bahan pengetahuan. Kedua, dalam proses memahami, manusia

telah menemukan dirinya selalu dalam hubungan dengan apa yang hendak

ditafsirkannya.42

b. Teori Prasangka atau pra-pemahaman (pre-understanding)

Dalam mewujudkan pemahaman yang utuh, dimulai dengan suatu yang

disebut oleh Gadamer sebagai prasangka (vorverstandnis) atau

prapemahaman. Prasangka-prasangka ini terbentuk dari keterpengaruhan

sejarah pengaruh oleh ‘situasi’ hermeneutik tertentu yang menyelimuti

penafsir dan teks sebagaimana disebutkan diatas. Hal ini sebagai permulaan

untuk mewujudkan tujuan suatu pemahaman terhadap teks dengan baik.

Pesan dari teori ini adalah penafsir tidak akan bisa lepas dari ‘situasi’

hermeneutik, yang mana hal tersebut akan membentuk suatu prasangka (basis

pengetahuan awal) penafsir.

Namun demikian, menurut Gadamer, harus ada keterbukaan terhadap

prasangka ini. Prasangka-prasangka ini harus terus diuji, direhabilitasi, dan

dikritisi oleh penafsir.43 Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya

kesalahpahaman (mislead) terhadap maksud teks tersebut. Hasil akhirnya

42 Muhammad Ilham Hermawan. Op., cit. Hal. 130.

43 Hans-Georg Gadamer. Op., cit. Hal. 368.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

38

akan menciptakan apa yang disebut Gademer sebagai kesempurnaan

prasangka (Vollkemmenheit des Vorverstandnisses).

c. Teori Peleburan Horizon (Fusion of Horisons) dan Lingkaran Hermeneutik

(Hermeneutical Circle/Spiral)

Teori ini bermakna bahwa seorang penafsir harus sadar bahwa terdapat

dua horizon yang melingkupi hermeneutika. Dua horizon itu yakni ruang

lingkup (horizon) tersendiri bagi teks (horizon teks) yang dibuat di masa lalu

(makna objektif teks), serta horizon penafsir (subjektifitas penafsir) dilain sisi.

Prasangka membentuk horizon tersendiri bagi penafsir. Horizon penafsir

bisa saja tidak sepaham dengan horizon teks. Penafsiran adalah kegiatan

dimana bertemunya antara interpretator dan interpretandum. Perjumpaan

seperti itu menimbulkan ketegangan antara horizon penafsir dengan horizon

teks. Menurut Gadamer, memahami bukanlah menghapus ketegangan itu,

misalnya dengan membiarkan horizon teks “mencaplok” horizon pembaca,

melainkan justru mengeksplisitkan tegangan itu. Peleburan horizon-horizon

bukan asimilasi naif sebuah horizon ke horizon lain, melainkan sebuah

interseksi diantara keduanya.44 Dengan demikian, memahami teks berarti

membiarkan teks yang dimaksud berbicara.

Interaksi kedua horizon tersebut menimbulkan proses resiprokal yang

disebut Gadamer sebagai lingkaran atau sepiral hermeneutika. Yakni proses

penggabungan sintesis dan analisis: sintesis adalah proses penggabungan

44 F. Budi Hardiman. 2015. Seni Memahami: Hermeneutik Schleiermacher sampai Derrida.

Sleman. PT Kanisius. Hal. 182-183.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

39

bagian-bagiannya menjadi satu keutuhan; analisis ialah proses timbal balik

pembagian satu keutuhan menjadi bagian-bagian.45 Lihat gambar berikut:

Gambar 3. Lingkaran/Sepiral Hermeneutika

Sumber : Jazim Hamidi

Agar pemahaman utuh dapat tercapai, peleburan horizon (fusi

cakrawala) haruslah terjadi. Peleburan horizon terjadi karena teks bersifat

kebahasaan dan interpretator berada lewat dan berdiri didalam tradisi (situasi)

yang bersifat kebahasaan. Bahasa menjadi medium proses appropriasi

didalam peleburan horizon.46

Peleburan horizon ini menyebabkan horizon penafsir bergeser yang

menghasilkan, memantapkan, atau bahkan mengubah pengetahuan subjek.

Peleburan horizon yang menyebabkan pergeseran horizon disebut

Horisontverschmelzung. Dalam dinamika perpaduan horizon ini, prasangka-

prasangka yang tidak disadari sebelumnya dapat muncul ke permukaan

(kesadaran kognitifnya) sehingga terbuka kemungkinan untuk mengkajinya

secara rasional dan faktual.

45 Jazim Hamidi. Op., cit. Hal. 81.

46 W. Poespoprodjo. Op., cit. Hal. 139.

teks

satu keutuhan

bagian-bagian

an

ali

sis

sin

tesi

s

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

40

Bagan 1. Peleburan Horizon dan Sepiral Hermenutika

d. Teori Penerapan (Application)

Menurut Gadamer, hermeneutika berkaitan dengan 3 (tiga) hal yakni

subtilitas intelligendi (pemahaman), subtilitas explicandi (penafsiran), dan

subtilitas applicandi (penerapan).47 Setelah berhasil sampai pada kesimpulan

utuh atas pemahaman, penerapan (anwendung) menjadi hal yang penting.

Pertanyaannya apakah makna objektif teks terus dipertahankan dan

diaplikasikan pada masa ketika seorang penafsir saat ini? Dalam pandangan

Gadamer, pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsir bukan makna

literal (harfiah) teks semata, tetapi meaningful sense (makna yang berarti) atau

pesan yang lebih berarti daripada sekedar makna literal teks.48 Aplikasi

47 Hans-Georg Gadamer. Op., cit. Hal. 370.

48 Edi Susanto. Op., cit. Hal. 54-55.

Terjadi proses dialektika dan

keterbukaan.

Bergerak

sepiral

Terjadi pergeseran horizon dan

perluasan.

Horizon Penafsir Horizon Teks Fusi

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

41

bukanlah hal yang terpisah dari pemahaman, melainkan merupakan bagian

integral.49

Pesan yang terkandung didalamnya yakni perlu pula memperhatikan

penerapan makna dengan memperhatikan kenyataan saat ini. Atau dalam

konteks penerapan hukum terhadap teks yuridik yang ditafsirkan perlu

mempertimbangkan keberlakuan hasil tafsiran tersebut saat ini serta pengaruh

keberlakuannya selanjutnya.

Pada puncaknya, melalui pemikiran Heidegger dan Gadamer, hermeneutika

mendapatkan landasan kefilsafatannya. Dalam buku karya Gadamer Wahrheit

und Methode, juga memberikan bab tersendiri pembahasan mengenai aplikasi

hermeneutika hukum (legal hermeneutic). Dengan demikian hermeneutika dapat

menjadi landasan kefilsafatan baik secara ontologi dan epistimologi bagi

keberadaan ilmu hukum, maupun filsafat ilmu dalam ilmu hukum.

Berbeda dengan teori penemuan hukum yang selama ini kerap digunakan

dalam ranah hukum yakni metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum.

Hermeneutika hukum hadir sebagai pembeda dalam kerangka kerja penafsiran

terhadap teks yuridik. Melalui hermeneutika hukum Gadamer, teks ditafsirkan

secara terbuka melalui dialektika. Teks diajak berbicara untuk menampilkan

makna yang esensial ke permukaan.

Dalam pemikirannya, hermeneutika mendudukkan penafsir sebagai hal

yang penting. Penafsir mengambil andil dalam proses mencari pemahaman yang

utuh terhadap makna yang terselubung dibalik teks yuridik. Lebih lanjut, penafsir

49 F. Budi Hardiman. Op., cit. Hal. 189.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

42

juga dituntut untuk dapat menggali dan membuka tabir kebenaran dan keadilan

di masyarakat. Bahkan jika diperlukan, dapat memberikan lompatan hukum

guna meningkatkan efektifitas dan progresifitas hukum.

Dengan hadirnya hermeneutika hukum, suatu teks yuridik ditafsirkan secara

terbuka dengan menyadari eksistensi manusia. Artinya keberadaan manusia

sejatinya senantiasa melakukan penafsiran dan pemahaman. Penafsiran disini

dilakukan dengan memperhatikan fakta yang melingkupi manusia itu sendiri.

Penafsiran melalui pemahaman (verstehen) tidak melulu berbicara mengenai

otomomi teks semata melainkan juga terhadap fakta aktual yang berhubungan

dengan teks. Disamping itu, alih-alih hanya melihatnya sebagai teks masa lalu,

hermeneutika hukum melihatnya sebagai hubungan kontinuitas masa lalu, masa

kini, dan masa mendatang. Meski demikian, perlu mendapat perhatian disini

bahwasannya kehadiran hermeneutika hukum tidak pernah mengakui dirinya

sebagai ketunggalan ajaran mengenai penafsiran. Menurut hemat penulis,

kesemua alternatif penemuan hukum tersebut dapat digunakan secara

proporsional sesuai kebutuhan penafsir.

B. Teori Asas Proporsionalitas

1. Uji Proporsionalitas (Proportionality Test)

Dalam praktik peradilan konstitusi di dunia internasional terdapat formulasi

pengujian konstitusionalitas yang dikembangkan yang disebut sebagai uji

proporsionalitas (proportionality test). Pada mulanya, formula ini diterapkan

untuk mengukur bilamana terdapat tumpang tindih antara hak-hak yang harus

dilindungi oleh pengadilan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

43

untuk kepentingan bersama seluruh masyarakat. Pengadilan dihadapkan pada

sebuah dilemma antara melindungi hak warga negara atau mempertahankan

program yang akan dilakukan pemerintah. Dalam menimbang problematika

tersebut, ukuran-ukuran proporsionalitas digunakan sebagai acuan sebelum

mengambil keputusan.50

Praktik uji proporsionalitas sejatinya belum begitu akrab dikenal dalam

diskursus uji konsitusionalitas di Indonesia. Meski demikian praktik ini sudah

lama dikenal di dunia Internasional. Bahkan terdapat kesepakatan yang kuat

bahwa uji proporsionalitas memainkan peran yang tidak bisa digantikan

(indispensible) dalam penalaran hak konstitusional. Proporsionalitas juga telah

dimuat dalam General Comments dari komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan

Bangsa-Bangsa, serta Siracusa dalam Konvensi Internasional mengenai hak-hak

sipil dan politik.

Jerman menjadi negara yang pertama kali menerapkannya. Rupprecht

Krauss merupakan orang yang dianggap pertama kali mengenalkan dan

menggunakan penerapan uji proporsionalitas dalam penyelesaian perkara di

Mahkamah Konstitusi Jerman. Menurutnya pendekatan proporsionalitas akan

membuat negara akan menaruh perhatian lebih terhadap penghormatan hak

warga negaranya.51

Aharon Barak mendefinisikan proporsionalitas dengan pengertian berikut:

50 Bisariyadi. 2018. Penerapan Uji Proporsionalitas Dalam Kasus Pembubaran Partai Politik:

Sebuah Perbandingan. Jurnal Hukum dan Perbandingan. Vol. 48 No. 1. Hal. 87.

51 Alec Stone Sweet dan Jud Mathews. 2008. Proportionality Balancing and Global

Constitutionalism. Columbia Journal of Transnational Law. Vol. 47. Hal. 105.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

44

“Proportionality is an analitycal framework used by courts in many

countries in determining whether or not limitations on the exercise of rights

are justified, and therefore constitutional.”52

Dalam terjemahan bebasnya bermakna bahwa uji proporsionalitas ialah

kerangka analisis yang dipakai pengadilan dibanyak negara untuk menentukan

apakah batasan terhadap hak telah sesuai dengan koridor dalam konstitusi. Hal

ini bermakna bahwa dalam menentukan ukuran pembatasan hak diperlukan

prinsip kesesuaian, kecermatan, dan kehati-hatian untuk menimbang

proporsionalitas suatu norma dengan dampak faktual di masyarakat.

Pertimbangan proporsionalitas ini selanjutnya diukur melalui uji proporsionalitas

yang lazim digunakan dalam sistem peradilan konstitusi di berbagai negara.

Kai Moller, yang merupakan seorang dosen hukum di London School of

Economics and Political Science melakukan sistematisasi penggunaan asas

proporsionalitas untuk membumikan penerapan hak asasi manusia dalam

konstitusi masing-masing negara. Menurutnya, proporsionalitas adalah sebuah

doktrin yang bisa digunakan sebagai alat penyelesaian konflik persaingan hak

atau kepentingan antara satu pihak dengan pihak lain, yang pada intinya doktrin

tersebut berguna untuk menyeimbangkan antara hak atau kepentingan yang

saling bersaing.53

Dalam praktik peradilan konstitusi, terdapat perkembangan indikator-

indikator yang menjadi penilaian dalam uji proporsionalitas. Teori tradisional

52 Aharon Barak. 2012. Proportionality and Pretense. Constitutional Commentary. Vol. 29. No.

228. Hal 229.

53 Faiq Tobroni. 2018. Asas Proporsionalitas Sebagai Moderasi Pandangan Hukum Diametral.

Jurnal Yudisial. Vol. 11. No. 3.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

45

menyebutkan ada 3 (tiga) indikator penting yang dijadikan pertimbangan dalam

melakukan uji proporsionalitas dalam pembatasan hak asasi manusia yakni:

adequacy (sufficiency), necessity, and proportionality in narrow sense (stricto

sensu). Dalam perkembangannya para pakar menambahkan indikator yang

keempat yakni the existence of legitimate aim for limitation. 54

Keempat indikator diatas saat ini disebut dengan istilah dan pemaknaan

sebagai berikut: (1) tujuan sah yang hendak dicapai terhadap pembatasan

(legitimate goal of law), (2) apakah pembatasan tersebut mempunyai kesesuaian

atau pertalian yang rasional (rational achievement or suitability), (3) apakah

pembatasan telah sesuai dengan kebutuhan dan memberikan kadar kerugian

konstitusional paling rendah (necessity), dan (4) apakah pembatasan telah

menghasilkan keseimbangan dalam arti sempit (balancing in narrow sense).55

Teori ini selanjutnya menjadi teori yang lazim diterapkan dipelbagai negara

sebagai indikator-indikator dalam melakukan uji proporsionalitas.

Proporsionalitas suatu peraturan dapat dicermati mulai dari hal-hal yang

melandasi dibentuknya peraturan tersebut, materi-materi pasal-pasal yang ada,

hingga yang dilakukan uji konstitusional sebagai satu kesatuan.56 Uji

proporsionalitas sejatinya tidak baku dan rigid, melainkan tergantung pada

kondisi tiap-tiap negara yang menggunakannya dengan tidak hanya melihat

54 Luka Andelkovic. 2017. The Elements Of Proportionality As A Principle Of Human Rights

Limitations. Law and Politics Journal. Vol. 15 No. 3. Hlm. 237.

55 Kai Moller. 2012. Proportionality: Challaenging The Critics. International Journal of

Constitutional Law. Vol 10. No. 3. Hal. 715.

56 Surya Oktaviandra. 2020. Analisis Aspek Legalitas, Proporsionalitas, dan Konstitusionalitas

Ketentuan Imunitas Pidana Bagi Pejabat Pemerintah Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2020. Majalah Hukum Nasional. Vol. 50. No. 2.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

46

tujuan dan cara, tetapi juga memeriksa derajat kerugian konstitusional yang akan

diderita.57

Dalam rangka mengatasi dilematis benturan antar hak asasi masyarakat

dengan pembatasan hak oleh pemerintah, tak terkecuali juga terhadap benturan-

benturan hak keperdataan para pihak dalam hubungan kontraktual, penilaian

kadar proporsionalitas harus dinilai secara hati-hati dan cermat. Oleh karenanya,

hasil akhir suatu norma yang mencerminkan kedudukan hak-hak pihak yang

berkepentingan tersebut telah atau tidak proporsional dapat diwujudkan atau

dinilai melalui uji proporsionalitas.

2. Kedudukan Asas Proporsionalitas dalam Hubungan Kontraktual

Salah satu bagian yang harus menjadi pegangan agar hukum dapat berjalan

dengan baik adalah asas hukum. Karl Larenz dalam bukunya “Methodenlehre

der Rechtswissenschaft” menyebutkan bahwa asas hukum merupakan ukuran-

ukuran ethis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum.58 Menurut

Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum.59

Sebagai bagian yang integral dengan hal tersebut, asas hukum mengandung

tuntutan etis maka asas hukum dapat dikatakan sebagai jembatan antara

peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.60

Asas proporsionalitas merupakan salah satu asas hukum yang sangat

penting dalam praktik hubungan kontraktual. Menurut Agus Yudha Hernoko,

57 Bisariyadi. Loc., Cit.

58 Dewa Gede Atmaja. 2018. Asas-asas Hukum Dalam Sistem Hukum. Jurnal Kertha

Wicaksana. Vol. 12 No. 2. Hal. 146.

59 Satjipto Rahardjo. 2012. Ilmu Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal. 45.

60 Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan. 2019. Pemahaman Terhadap Asas Kepastian

Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum. Jurnal Crepido. Vol. 1 No. 1. Hal. 13.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

47

asas proporsionalitas dimaknai sebagai asas yang melandasi atau mendasari

pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam

seluruh proses kontraktual (fase prakontraktual, pembentukan kontrak, maupun

pelaksanaan kontrak).61

Terbentuknya pemahaman mengenai asas proporsionalitas sejatinya tidak

dapat luput dari esensi ajaran keadilan. Sebagaimana dikemukakan oleh Gustav

Rudbruch dalam bukunya berjudul “einfuhrung in die rechtswissenschaften”, ia

membagi 3 (tiga) tujuan hukum yakni: keadilan (Gerechtigkeit); kemanfaatan

(zweckmassigkeit); dan kepastian hukum (rechtssicherheit). Bagi Rudbruch

keadilan merupakan hal yang paling fundamental dalam tujuan hukum.62

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Agus Yudha Hernoko menemukan

makna asas proporsional sebagaimana disebutkan diatas beranjak dari makna

filosofis keadilan.63 Pandangan Aristoteles, tentang keadilan menurut dalam

karyanya “Nichomachean ethics”, adalah berbuat kebajikan, atau dengan

kata lain, keadilan adalah kebajikan yang utama. Menurut Aristoteles,

”justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in

proportion to their inequality (Bermakna bahwa: untuk hal-hal yang sama

diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama,

secara proporsional”.64

61 Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial. Jakarta. Kencana. Hal. 87.

62 Satjipto Rahardjo. Op. Cit., Hal. 19.

63 Agus Yudha Hernoko. Op. Cit., Hal. 84.

64 Raymond Wacks. 1995. Jurisprudence. London. Blackstone Press Limited. Hal. 178.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

48

Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai “justitia est constans et

perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan adalah kehendak

yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang

menjadi haknya) atau “tribuere cuique suum” - “to give everybody his own”,

memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya (Artinya: keadilan

dapat tercapai manakala sesuatu yang diberikan kepada seseorang sebanding

dengan apa yang ia peroleh).65

Bagi Van Apeldoorn keadilan bukanlah penyamarataan. Keadilan bukanlah

berarti setiap orang memperoleh bagian yang sama.66 Thomas Hubbes

berpendapat bahwa keadilan adalah sebuah keadaan dimana ada suatu perjanjian

yang kemudian isi perjanjian tersebut dijalankan sesuai dengan aturan yang

berlaku tanpa berat sebelah. Sejalan dengan esensi tersebut, bagi Mahdi Achmad

Mahfud adil adalah tidak harus sama namun memberikan sesuatu sesuai pada

porsinya tidak berlebihan dan tidak pula kurang.67

Beauchamp dan Bowie, dengan kriteria pembagian proporsionalnya,

serta pemikiran John Rawls tentang ”justice as fairness” yang menekan

prinsip hak berlandaskan rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Lebih lanjut,

menurut P.S. Atiyah landasan pemikian tentang asas proporsionalitas dalam

kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di

dalam dunia bisnis, yang mana pertemuan para pihak dalam mekanisme pasar

65 Ibid. Hal 18-19.

66 Dalam Margono. 2019. Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum Dalam Putusan

Hakim. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 107-110.

67 Mahdi Achmad Mahfud dan Vinaricha Sucika Wiba. 2019. Kumpulan Teori-teori Hukum

Baru. Surabaya. Pustaka Media. Hal. 96-98.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

49

harus sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion what they want), adalah

bentuk pertukaran yang adil (fair exchange).68

Menurut Lyons suatu iklim kontrak yang sesungguhnya, pada hakikatnya

memberi peluang bagi perbedaan pendapat, tawar-menawar, atau bahkan

perbedaan-perbedaan yang relevan di antara para pihak. Hanya dalam proses

seperti ini hasil dari suatu kesepakatan sungguh-sungguh merefleksikan

kepentingan semua pihak.69 Disamping itu setiap kontrak harus didasarkan

pretium iustum yang bersandar pada reason dan equality yang mensyaratkan

adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi para pihak dalam

kontrak (just price). Hal mana sejalan dengan tujuan utama hukum untuk

merealisasikan keadilan. Artinya subtansi kontrak harus memenuhi aspek

atau nilai-nilai keadilan.70

Menurut Agus Yudha Hernoko, fungsi asas proporsionalitas setidaknya

ada 5 (lima). Kelima fungsi proporsionalitas itu baik terdapat dalam proses

pra kontrak, pembentukan, maupun pelaksanaan kontrak bisnis komersial.

Adapun kelima fungsi tersebut antara lain sebagai berikut:71

a. Dalam tahap pra kontrak, asas proporsionalitas membuka peluang

negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban

secara fair. Oleh karena itu adalah tidak proporsional dan harus ditolak

proses negosiasi dengan itikad buruk;

68 P.S. Atiyah. 1995. An Introduction to the Law of Contract. Oxford. Clarendon Press. Hal. 5

69 Ibid.

70 Ridwan Khairandy. 2015. Kebebasan Berkontrak & Pacta Sunt Servanda versus Itikad Baik:

Sikap yang Harus Diambil Pengadilan. Yogyakarta. FH UII. Hal. 63.

71 Agus Yudha Hernoko. Op., Cit. Hal. 459.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

50

b. Dalam pembentukan kontrak, asas proporsional menjamin kesetaraan hak

serta kebebasan dalam menentukan/mengatur proporsi hak dan kewajiban

para pihak berlangsung secara fair;

c. Dalam pelaksanaan kontrak, asas proporsional menjamin terwujudnya

distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang

disepakati/dibebankan pada para pihak;

d. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus

dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental

(fundamental breach) sehingga mengganggu pelaksanaan sebagian besar

kontrak atau sekedar hal-hal yang sederhana/kesalahan kecil (minor

importanance). Oleh karena itu pengujian melalui asas proporsionalitas

sangat menentukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan

sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan

klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan

salah satu pihak dengan merugikan pihak lain;

e. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, asas proporsionalitas

menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus

dibagi menurut pertimbangan yang fair.

Ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban didasarkan pada

nilai-nilai kesetaraan (equitability), kebebasan, distribusi-proporsional,

tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari asas atau prinsip kecermatan

(zorgvuldigheid), kelayakan (redelijkheid; reasonableness), dan kepatutan

(billijkheid; equity). Untuk menemukan asas proporsionalitas dalam kontrak

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

51

dengan menggunakan kriteria atau ukuran nilai-nilai tersebut di atas,

hendaknya tidak diartikan akan diperoleh hasil temuan berupa angka-angka

secara matematis.72

Menurut M. Yahya Harahap, asas proporsionalitas ini sangatlah penting,

termasuk dalam hal penyelesaian sengketa kontrak. Dalam hal ini hakim

harus mampu memeriksa dan mengadili suatu sengketa kontraktual dengan

dilandaskan pada fungsi asas proporsionalitas dalam memberikan beban

pembuktian secara adil kepada para pihak.73

Bertalian dengan itu, dalam konteks penyelesaian sengketa kontrak di

pengadilan, hakim dituntut untuk mampu menguasai dan memahami konsepsi

teoritis asas proporsionalitas sebagai asas fundamental dalam hubungan

kontraktual, serta mengaplikasikannya dalam suatu kasus konkret. Dengan

demikian pertimbangan dan putusan hakim akan sangat bergantung pada

penilaian hakim terhadap wujud pertukaran serta pemenuhan hak dan

kewajiban akan eksistensi kontrak para pihak.

C. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia

1. Pranata Umum dan Karakteristik Jaminan Fidusia

Mengenai pengertian-pengertian pokok pranata hukum positif jaminan

fidusia telah dijelaskan secara rigit dalam ketentuan umum dalam pasal 1

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya

disebut dengan UU Jaminan Fidusia). UU Jaminan Fidusia memberikan definisi

72 Ibid. Hal 460.

73 M. Yahya Harahap. 2006. Hukum Acara Perdata. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 507.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

52

yang berbeda antara fidusia dengan jaminan fidusia. Pasal 1 angka 1 dan 2 UU

Jaminan Fidusia memberikan definisi sebagai berikut:74

1) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya

dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

2) Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud

maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan

yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap

berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Jaminan Fidusia merupakan bagian dari pranata hukum perjanjian.

Pengertian perjanjian berdasarkan ketentuan pada pasal 1313 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa:75

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih

mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.

Sudikno Mertokusumo memberi batasan bahwa perjanjian itu suatu

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum.76 Menurut Subekti, perjanjian merupakan bentuk

konkrit dari perikatan sedangkan perikatan merupakan bentuk abstrak dari

74 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 1

angka 1 dan 2.

75 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Buku Ketiga. BAB II. Pasal 1313.

76 Dalam H.P. Panggabean. 2012. Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) Dalam

Perjanjian Kredit Perbankan. Bandung. Alumni. Hal. 58.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

53

perjanjian, hal ini dapat diartikan adanya hubungan hukum antara dua pihak

yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu dan

sebaliknya suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.77

Sebagaimana penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwasannya

perjanjian merupakan pula suatu bentuk perikatan, khususnya yang lahir dari

adanya kesepatakan para pihak. Dalam kehidupan sehari-hari selanjutnya

perjanjian juga dikenal dengan istilah kontrak.

Salah satu sifat jaminan fidusia adalah bersifat accesoir. Sebagai bagian

jaminan kebendaan, pada dasarnya jaminan fidusia berbentuk perjanjian ikutan

terhadap perjanjian pokoknya. Perjanjian pokok menurut Rutten adalah

perjanjian yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri (welke elftandig

een raden van bestaan heeft).78 Sedangkan pengertian jaminan asesor, J. Satrio

menyebutkan bahwa perjanjian assesoir merupakan suatu perjanjian yang lahir

adanya perpindahan dan berakhir/hapusnya bergantung pada perjanjian

pokoknya.79

Dalam sistem hukum perdata, telah kita ketahui bahwa pada dasarnya

perjanjian jaminan merupakan perjanjian ikutan terhadap perjanjian pokoknya.

Dengan kata lain perjanjian jaminan lahir akibat adanya perjanjian pokok atau

yang dikenal dengan sebutan perjanjian accessoir. Dimana dalam hal ini

77 Hartana. 2016. Hukum Perjanjian (Dalam Perspektif Perjanjian Karya Pengusahaan

Pertambangan Batubara). Jurnal Komunikasi Hukum. Vol. 2 No. 2. Universitas Pendidikan

Ganesha Singaraja. Hal. 149.

78 Dalam D.Y. Witanto. 2015. Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan

Konsumen. Bandung. Mandar Maju. Hal. 106.

79 Ibid. Hal. 105.

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

54

biasanya perjanjian pokok tersebut berbentuk perjanjian utang piutang atau

kontrak kredit. Hal ini tak terkecuali terhadap jaminan fidusia.

Sejalan dengan penjelasan tersebut, lebih tegas lagi pasal 4 UU Jaminan

Fidusia menjelaskan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari

suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau

tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian

assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut:

a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;

b. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;

c. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan

yang disyaratkan dalam perjanjan pokok telah atau tidak dipenuhi.80

Tindakan hukum dalam setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani

benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa

Indonesia. Ketentuan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 ayat (1) UU

Jaminan Fidusia yang berbunyi:81

“Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris

dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia”

Menurut Fred B.G. Tumbuan, mengingat objek jaminan fidusia pada

umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, sudah sewajarnya bentuk

akta autentiklah yang dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum

80 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2000. Praktik Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia.

Jakarta. Raja Grafindo Persada. Hal. 125.

81 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 5

ayat (1).

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

55

berkenaan dengan objek jaminan fidusia. Lebih lanjut, menurut Sri Soedewi

Masjcoen Sofwan sering juga perjanjian fidusia dituangkan dalam akta notaris,

mengenai kredit dalam jumlah besar, dimana bank merasa lebih aman demi

kekuatan pembuktian yang dituangkan dalam akta notaris.82 Selain daripada itu,

hal ini juga telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1870 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata bahwa pada prinsipnya akta autentik merupakan alat bukti yang

sempurna.

Mengenai ketentuan biaya pembebanan jaminan fidusia dahulu diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran

Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Namun demikian,

Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran

Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia telah dinyatakan

tidak berlaku lagi melalui ketentuan pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 21

Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya

Pembuatan Akta Fidusia (selanjutnya disebut dengan PP Jaminan Fidusia).83 Hal

ini diberlakukan sebagai akibat hukum diterbitkannya Surat Edaran Ditjen

Administrasi Hukum Umum Nomor AHU-06.OT.03.01 tahun 2013 tentang

Pemberlakuan Sistem Administrasi Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara

Elektronik (Online System) serta amanat Peraturan Kementerian Hukum dan

HAM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia

Secara Elektronik. Dengan demikian segala hal-hal yang bertalian dengan

82 Dalam Rachmadi Usman. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta. Sinar Grafika. Hal.

190.

83 Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015, tentang Tata Cara

Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Fidusia. Pasal 22.

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

56

pendaftaran, perubahan, dan penghapusan jaminan fidusia tidak dilakukan lagi

di Kantor Pendaftaran Fidusia, melainkan dilakukan dalam jaringan (online)

melalui website www.fidusia.ahu.go.id.

UU Jaminan Fidusia juga mengisyaratkan terhadap objek atau benda yang

dibebani jaminan fidusia untuk dilakukan pendaftaran. Pendaftaran jaminan

fidusia diatur secara kompleks dalam pasal 11 sampai dengan pasal 18 UU

Jaminan Fidusia. Kewajiban pendaftaran Jaminan Fidusia diatur dalam pasal 11

ayat (1) UU Jaminan Fidusia yang berbunyi:84

“Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.”

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pendaftaran jaminan fidusia saat

ini diajukan melalui sistem pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik (vide

pasal 2 ayat 2 PP Jaminan Fidusia). Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia

diajukan Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi

manusia. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 ayat (1) PP Jaminan

Fidusia yang menyatakan bahwa:

“Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia, permohonan perbaikan

sertifikat Jaminan Fidusia, permohonan perubahan sertifikat Jaminan

Fidusia, dan pemberitahuan penghapusan sertifikat Jaminan Fidusia

diajukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri.”

Permohonan pendaftaran yang telah memenuhi syarat akan mendapatkan

bukti pendaftaran. Setelah mendapatkan bukti pendaftaran, pemohon harus

84 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 11

ayat (1).

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

57

melakukan pembayaran melalui bank persepsi dengan mengajukan bukti

pendaftaran tersebut (vide pasal 6 ayat 1 PP Jaminan Fidusia). Selanjutnya

Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat Jaminan Fidusia secara elektronik.

Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal Jaminan

Fidusia dicatat.

Sebagai bukti adanya Jaminan Fidusia, Kantor Pendaftaran Fidusia akan

menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia (SJF) yang ditandatangani secara

elektronik oleh Pejabat pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Sertifikat Jaminan

Fidusia dapat dicetak pada tanggal yang sama dengan tanggal Jaminan

Fidusia dicatat (vide pasal 8 PP Jaminan Fidusia). Adapun apabila terjadi

kesalahan subtansi, kerusakan, perbaikan, atau perubahan terhadap isi Sertifikat

Jaminan Fidusia, lebih lanjut diatur secara rinci pada pasal 9 sampai dengan pasal

15 PP Jaminan Fidusia.

Sertifikat Jaminan Fidusia akan memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (vide

pasal 15 ayat 1 UU Jaminan Fidusia). Irah-irah tersebut akan berimplikasi hukum

dengan memiliki kekuatan eksekutorial yang kedudukannya sama dengan

putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

2. Eksekusi Jaminan Fidusia

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan eksekusi adalah upaya dari pihak

yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya

dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yang dikalahkan untuk

melaksanakan putusan. Sedangkan menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

58

Oeripkartawinata menyatakan, bahwa eksekusi adalah tindakan paksaan oleh

pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan

dengan sukarela.85

Beberapa pengertian eksekusi menurut para ahli diatas hanya berbicara

mengenai eksekusi dalam pengertian eksekusi oleh putusan hakim. Pengertian

mengenai eksekusi yang lebih luas dapat dilihat melalui pendapat Bachtiar

Sibarani yang menyebutkan bahwa eksekusi adalah pelaksanaan secara paksa

putusan pngadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau

pelaksanaan secara paksa dokumen perjanjian yang dipersamakan dengan

putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.86

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Mochammad Dja’is yang

menyatakan bahwa eksekusi adalah upaya kreditur merealisasikan hak secara

paksa karena debitur tidak mau secara sukarela memenuhi kewajibannya.

Dengan demikian eksekusi merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa

hukum. Menurut pandangan hukum eksekusi objek eksekusi tidak hanya putusan

hakim dan Grosse Akta melainkan juga putusan dari institusi yang berwenang

bahkan kreditur sendiri secara langsung (parate eksekusi).87

UU Jaminan Fidusia menjamin aspek kepastian hukum serta kemudahan

dalam hal pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Kemudahan eksekusi jaminan

85 Junaidi Abdullah. 2017. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian

Pembiayaan Di KSPS Logam Mulia Kecamatan Klambu Kabupaten Grobogan. Jurnal Yudisia. Vol.

8 No. 1. Hal. 126.

86 Bachtiar Sibarani. 2001. Parate Eksekusi dan Paksa Badan. Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 15.

No. 8. Hal. 6.

87 Mochammad Dja’is. 2000. Hukum Eksekusi Sebagai Wacana Baru Dibidang Hukum.

Disampaikan Dalam Rangka Dies Natalis Ke-43. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Hal. 7.

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

59

tersebut juga sama halnya seperti lembaga hak kebendaan lainnya seperti gadai,

hak tanggungan, maupun hipotek. Yang mana ketentuan mengenai eksekusi

jaminan dalam gadai dan hipotek diatur dalam pasal 1155 ayat (1) dan pasal 1178

ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta hak tanggungan diatur

dalam pasal 6 dan pasal 14 ayat (2) juncto pasal 20 ayat (1) huruf a Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Dalam UU Jaminan Fidusia, ketentuan mengenai eksekusi jaminan fidusia

diatur dalam pasal 29 ayat (1) UU Jaminan Fidusia. Adapun ketentuan tersebut

diuraikan sebagai berikut:88

“Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cedera janji, eksekusi terhadap

Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

ayat (2) oleh Penerima Fidusia. Pelaksanaan titel eksekutorial sabagai

implikasi berkepala atautertuangnya irah-irah “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dalam

Sertifikat Jaminan Fidusia. Dengan demikian Sertifikat Jaminan

Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang diserupakan dengan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

Dalam praktik hukum bisnis jenis eksekusi ini dikenal dikenal dengan

sebutan eksekusi grosse akta sebagaimana diatur pada Pasal 224

HIR/Pasal 258 RBg. UU Jaminan Fidusia mengakui keberadaan

88 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 29

ayat (1).

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

60

eksekusi grosse akta yakni melalui kewajiban pembebanan jaminan

fidusia melalui akta otentik jaminan fidusia dihadapan notaris serta

kewajiban pendaftaran fidusia yang selanjutnya dibuktikan dengan

diterbitkannya Sertifikat Jaminan Fidusia.

b. Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan

Penerima Fidusia sendiri (parate executie) melalui pelelangan umum

serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan (jo pasal 15

ayat 3 UU Jaminan Fidusia); Menurut Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan,

parate executie merupakan eksekusi yang dilaksanakan tanpa

mempunyai title eksekutorial (Grosse Akta Notaris atau keputusan

hakim), melalui eksekusi langsung yaitu pemegang hak kebendaan

dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat

melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan hakim

atau grosse akta notaris.89

c. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan

Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat

diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.”

Terhadap ketentuan diatas, saat ini pengaturan mengenai eksekusi jaminan

fidusia khususnya yang tertuang pada pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan

Fidusia telah terjadi pergeseran pemaknaan norma berdasar putusan Mahkamah

89 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2000. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta. Liberty.

Hal. 32.

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

61

Konstitusi Republik Indonesia No. 18/PUU-XVII/2019 yang dikeluarkan pada

tanggal 6 Januari 2020.

Sebagaimana disebutkan diatas, pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia

sejatinya dapat terjadi apabila pihak debitur melakukan perbuatan cidera janji

(wanprestasi). Dalam KUH Perdata, ketentuan mengenai wanprestasi diatur

tersebar diantaranya pada pasal 1238, 1243, 1244, 1245, 1246, 1247, 1248,

1249, 1250, dan 1251 KUH Perdata. Pemahaman mengenai bentuk-bentuk

wanprestasi selanjutnya dapat ditelisik melalui ajaran konsepsi wanprestasi

menurut para pakar hukum.

Menurut Subekti, begitupula Ahmadi Miru, berpendapat bahwa

wanprestasi itu merupakan kelalaian atau kealpaan oleh debitur yang dapat

berupa 4 (empat) macam perbuatan yakni:90

a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi.

b. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna.

c. Terlambat memenuhi prestasi.

d. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Debitur akan dinyatakan wanprestasi manakala ia tidak segera memenuhi

prestasi dan telah ditegur atau diberi somasi secara tertulis (sommatie, in

gebreke stelling, or aamaning). Ketentuan perihal somasi dan pernyataan

lalai ini diatur pada pasal 1238 KUH Perdata. Dalam kondisi tertentu somasi

tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan

90 R. Subekti. 1979. Hukum Perjanjian. Jakarta. Pembimbing Masa. Hal. 50. Lihat juga Ahmadi

Wiru dan Sakka Pati. 2008. Hukum Perikatan. Jakarta. Rajawali Press. Hal. 12.

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

62

wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu yang disyaratkan dalam

perjanjian (verval termijn), debitur mengakui dirinya wanprestasi, debitur

telah segera melakukan prestasinya yang telah jatuh tempo namun tidak

sempurna, atau manakala debitur melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan isi perjanjian.

Pernyataan lalai atau wanprestasi yang tidak memerlukan adanya somasi

dengan mensyaratkan mengenai batas waktu (fatal terminj) pelaksanaan

kontra prestasi dalam perjanjian disebut dengan mora ex re. Meski demikian

yang dimaksud dalam ketentuan pasal 1238 KUH Perdata ini hanya berlaku

terhadap jenis perikatan yang dengan tidak atau telat dilaksanakan kewajiban

debitur, berakibat hukum membuat prestasi tidak sebernilai jika prestasi tidak

terlambat dilaksanakan.

Mengenai pernyataan lalai dan perihal kapan debitur dapat dikatakan

telah lalai selain diatur dalam KUH Perdata, perlu juga memperhatikan

yurisprudensi yang berkembang. Menurut kaidah yurisprudensi Mahkamah

Agung No. 186 K/Sip/1959 menyatakan bahwa:91

“Apabila dalam perjanjian telah ditentukan dengan tegas kapan pihak

yang bersangkutan harus melaksanakan sesuatu dan setelah lampau

waktu yang ditentukan ia belum juga melaksanakannya, ia menurut

hukum belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban perjanjian

selama hal tersebut belum dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh

pihak lawan (ingebreke gesteld).”

91 Republik Indonesia, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959.

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

63

Artinya terhadap jenis perjanjian tertentu sebagaimana dimaksud diatas,

meskipun telah mencantumkan perihal kapan debitur dinyatakan lalai dalam

perjanjian, kreditur tetap harus melakukan langkah hukum pemberian somasi

secara tertulis.

Dalam hal debitur wanprestasi, terdapat 5 (lima) kemungkinan yang

dapat dilakukan kreditur (vide pasal 1276 KUH Perdata) antara lain:

a. Menuntut pemenuhan perjanjian;

b. Menuntut pembatalan perjanjian;

c. Menuntut ganti rugi (berdasarkan Pasal 1243 KUH Perdata, ganti rugi

tersebut terdiri dari biaya, rugi, dan bunga);

d. Menuntut pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; atau

e. Menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.

Dalam hal terjadinya wanprestasi, Pasal 30 UU Jaminan Fidusia

mewajibkan pemberi fidusia untuk menyerahkan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia dalam rangka untuk melaksanakan eksekusi jaminan fidusia.

Bahkan jika diperlukan penerima fidusia dapat menggunakan haknya untuk

meminta pihak yang berwenang sebagaimana telah diatur dalam Peraturan

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.

Terhadap benda perdagangan atau efek yang menjadi objek jaminan fidusia

yang dapat dijual di pasar atau di bursa, pasal 31 UU Jaminan Fidusia mengatur

bahwa penjualannya dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

64

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut, pasal 32 Undang-

Undang Jaminan Fidusia memberikan ketentuan sebagai berikut:92

“Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi

objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum”

Ketentuan diatas mengartikan bahwa dalam pasal 29 dan pasal 31 UU Jaminan

Fidusia pada prinsipnya mengikat secara hukum. Sebagai konsekuensi

yuridisnya bahwa setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang

menjadi objek jaminan fidusia dengan cara yang lain atau bertentangan dengan

kedua pasal diatas maka hukum tidak mengakui keberadaannya sedari awal.

D. Tinjauan Umum Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi

1. Konsepsi Konstitusi

Konstitusi secara harfiah berarti pembentukan. Kata konstitusi sendiri

berasal dari bahasa Perancis yaitu constituer yang bermakna membentuk.

Pemaknaan istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu

Negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.93 Dalam bahasa Latin,

kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere.

Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “bersama dengan...”, sedangkan

statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja yang berarti berdiri.

Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri

atau mendirikan/menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal (constutio)

92 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 32.

93 Wiryono Projodikoro. 1989. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta. Dian

Rakyat. Hal. 10.

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

65

berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak

(constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.94

Istilah ini berkaitan dengan kata jus atau ius, yang berarti hukum atau

prinsip. Saat ini, bahasa yang biasa dijadikan rujukan istilah konstitusi adalah

bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Portugis, dan Belanda.

Menurut Jimly Asshiddiqie, untuk pengertian constitution dalam bahasa

Inggris, bahasa Belanda membedakan antara constitutie dan grondwet,

sedangkan bahasa Jerman membedakan antara verfassung dan gerundgesetz.

Malah dalam bahasa Jerman pengertian tentang konstitusi ini dibedakan pula

antara gerundrecht dengan gerundgesetz seperti antara grondrecht dengan

grondwet dalam bahasa Belanda. Gerundrecht (Jerman) dan grondrecht

(Belanda) secara harfiah berarti hak dasar, tetapi sering juga diartikan sebagai

hak asasi manusia.95

Dalam bahasa Prancis, digunakan istilah Droit Constitutionel untuk

pengertian luas, sedangkan pengertian sempit, yaitu konstitusi yang tertulis

digunakan istilah Loi Constitutionnel. Droit Constitutionnel identik dengan

pengertian konstitusi, sedangkan Loi Constitutionnel identik dengan Undang-

Undang Dasar dalam bahasa Indonesia, yaitu dalam arti konstitusi tertulis.96

Dalam bahasa Italia, istilah yang dipakai untuk pengertian konstitusi

adalah Dirrito Constitutionale. Dalam bahasa Arab dipakai pula beberapa

94 Koemiatmanto Soetoprawiro. 1987. Konstitusi: Pengertian dan Perkembangannya. Jakarta.

Pro Justitia. Hal. 28-29.

95 Isharyanto. 2016. Konstitusi dan Perubahan Konstitusi: Kajian Efek Perubahan Undang-

Undang Dasar Dalam Penyelenggaraan Negara. Surakarta. Pustaka Hanif. Hal. 1.

96 Ibid.

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

66

istilah yang terkait dengan pengertian konstitusi itu, yaitu Masturiyah,

Dustuur, atau Qanun Asasi. Di Negeri Belanda, pada awalnya digunakan

istilah staatsregeling untuk menyebut konstitusi. Tetapi, atas prakarsa Gijbert

Karel van Hogendorp pada tahun 1813, istilah grondwet digunakan untuk

menggantikan istilah staatsregeling yang juga memiliki pengertian Undang-

Undang Dasar atau konstitusi.97

Dalam tataran kajian teoritis, konstitusi dibedakan menjadi dua yakni

konstitusi yang dituangkan dalam dokumen tertulis (written constitutions)

dan konstitusi yang tidak tertulis (unwritten constitutions). Menurut Jimly

Asshiddiqie, di berbagai negara di Eropa Kontinental, yang menganut tradisi

civil law, istilah konstitusi memang selalu dibedakan antara pengertian

konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi yang tertulis itulah

yang biasa disebut dengan istilah-istilah grondwet (Belanda), gerundgesetz

(Jerman), Loi Constituionnel (Prancis). Sementara itu, kata constitutie,

verfassung, gerundrecht, grondrecht, Droit Constitutionnel, Dirrito

Constitutionale, merupakan istilah-istilah yang dipakai dalam arti luas.98

Dalam perkembangan teori hukum konstitusi, konstitusi dapat diartikan

dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pengertian konstitusi dalam arti sempit

hanya menyangkut dokumen hukum saja, yang didalam mengatur pembagian

kekuasaan negara, fungsi, tugas antara lembaga, dan hubungan antara

kekuasaan pemerintah dengan hak-hak rakyat. Terdapat beberapa ahli yang

97 Ibid. Hal. 2.

98 Ibid.

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

67

memberikan pengertian konstitusi dalam arti sempit seperti Lord James

Brace, K.C where, dan John Alder. Sedangkan pengertian konstitusi dalam

arti luas tidak hanya menyangkut dokumen hukum saja melainkan aspek

diluar hukum (tertulis). Beberapa ahli yang memberikan pengertian konstitusi

dalam arti luas ini antara lain Leon Duguit, Ferdinand Lassalle, Strong,

Bolingbroke, Hermann Heller. Artinya konstitusi mencakup pula konstitusi

dalam arti sosial-politik, kebiasaan, atau konstitusi yang lahir dan hidup di

masyarakat.99

Menurut Jimly Asshiddiqie, konsep konstitusi itu mencakup pengertian

peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi-konvensi kenegaraan

(ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ

negara tersebut dengan warga negara.100 Pengertian konstitusi, dalam praktik

dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada

juga yang menyamakan pengertian Undang-undang Dasar. Bagi para sarjana

ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu

keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak

tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu

pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.101

Sebagai hukum dasar tertinggi, konstitusi disusun secara sistematis dan

berfungsi sebagai pijakan dasar dalam penyelenggaraan suatu negara baik

99 Muhammad Ilham Hermawan. Op., Cit. Hal. 23-25.

100 Erry Gunawan. 2019. Perkembangan Teori Konstitusi Untuk Mendukung Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Ensiklopedia of journal. Vol. 1 No. 2. Hal. 164-165.

101 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda. 2008. Teori dan Hukum Konstitusi.

Jakarta. Rajawali Pers. Hal.7.

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

68

mengatur struktur, komposisi, fungsi, kewenangan lembaga-lembaga negara,

serta alat kelengkapan negara; perlindungan hak-hak dasar warga negara;

serta hubungan antara Negara dan warga negaranya. Serangkaian kesatuan

tersebut bertujuan untuk mencapai tujuan suatu negara. Dimana didalamnya

berisikan norma-norma fundamental baik secara tertulis maupun tidak tertulis

berupa norma kebiasaan yang hidup dimasyarakat. Dengan demikian,

konstitusi merupakan bentuk legitimasi dan otoritas tertinggi bagi peraturan

perundang-undangan dibawahnya.

2. Uji Konstitusionalitas (Judicial Review)

Perkembangan teori konstitusi dan pengujian konstitusionalitas diawali

dengan berkembangnya teori negara hukum, pergeseran kedaulatan parlemen

menjadi supremasi konstitusi, pemisahan kekuasaan, dan konsep negara

demokrasi. Konsep negara hukum (rechtstaats dan rule of law) yang

memberikan dasar pemaknaan bahwa kekuasaan harus dijalankan

berdasarkan hukum. Arus demokratisasi yang telah membawa konsekuensi

memudarnya konsep kedaulatan parlemen “parliamentary sovereignty” dan

semakin menguatnya konsep supremasi konstitusi di dunia. Konstitusi yang

hadir sebagai bentuk pembatasan kekuasaan guna melindungi hak-hak warga

negara. Serta, konsep negara demokrasi yang memberikan legitimasi

kekuasaan kepada penguasa berdasar kedaulatan rakyat. Kesemua ini

membawa dampak semakin berkembangnya gagasan konsep uji

konstitusionalitas atau judicial review.

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

69

Konsep judicial review berangkat dari sejarah yang ditelisik para

sejarawan dan ahli ketatanegaraan. Pelacakan sejarah yang dilakukan oleh

Mauro Cappelleti menunjukkan bahwa konsep judicial review telah dimulai

sejak sistem hukum Yunani kuno yang menetapkan keniscayaan suatu

peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan nilai peraturan

yang berada diatasnya.102 Kerajaan Athena membedakan secara prinsip antara

nomoi (konstitusi) dan psephisma (undang-undang) yang menyatakan bahwa

apapun isi dan bentuk psephisma tidak boleh bertentangan dengan nomoi

yang memiliki implikasi terhadap pemberlakuannya.103

Setelah Perang Dunia Ke-I mulai berkembang teori Stufenbau atau

hierarki yang menjabarkan bahwa norma hukum tersusun secara hierarki dan

norma hukum yang lebih rendah bergantung kepada norma hukum yang lebih

tinggi (Konsep ini juga membedakan antara penciptaan hukum dan penerapan

hukum) oleh Hans Kelsen.104 Serta teori yang menyatakan bahwa

Staatsfundamentalnorm (norma dasar negara) sebagai norma yang tertinggi

yang harus menjadi acuan bagi norma-norma hukum yang ada dibawahnya

oleh Hans Nawiasky.105 Konsepsi judicial review mulai tersebar diseluruh

dunia bermula dari kasus Judicial Review pertama di Amerika Serikat dalam

102 Saldi Isra. Negative Legislator, diakses dari http://www.saldiisra.web.id, diakses tanggal 20

Januari 2021, pukul 13.12 WIB.

103 Machmud Aziz. 2010. Pengujian Peraturan Perundang-undangan dalam sistem Peraturan

Perundang-undangan Indonesia. Jurnal Konstitusi. Vol. 7 No. 5. Hal. 121.

104 Muhammad Ilham Hermawan. Op., cit. Hal. 63.

105 Maruarar Siahaan. 2010. Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan Negara

Kita: Masalah dan Tantangan. Jurnal Konstitusi. Vol. 7 No. 4. Hal. 14.

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

70

kasus Marbury vs Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat

dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803.106

Secara sederhana, judicial review dimaknai sebagai “the power of courts

to decide upon the constitutionality of legislative act” (terjemahan secara

bebas: judicial review diartikan sebagai kewenangan pengadilan untuk

menentukan konstitusionalitas undang-undang legislatif). Dalam Black’s

Law Dictionary, judicial review diartikan sebagai:

a. A court’s power to review the actions of other branches or levels of

government; esp., the court’s power to invalidated legislative and

executive actions as being unconstitutional (Kewenangan pengadilan

untuk menguji tindakan pemerintah dan cabang pemerintah lain,

khususnya kewenangan pengadilan untuk membatalkan tindakan eksekutif

dan legislative yang tidak sesuai dengan konstitusi.);

b. The constitutional doctrine providing for this power (Kewenangan untuk

melengkapi doktrin konstitusional.);

c. A court’s review of lower court’s or an administrative body’s factual or

legal finding107 (Pengujian oleh pengadilan terhadap putusan pengadilan

yang lebih rendah atau lembaga-lembaga administratif berdasarkan fakta

atau penemuan hukum).

Mengutip pendapat Joseph Tanenhus, Judicial Review diartikan sebagai

“the process with his a body judicial specify unconstitutional from action-

106 Muhammad Ilham Hermawan. Op., cit. Hal. 53.

107 Ali Marwan Hsb. 2017. Konsep Judicial Review dan Pelembagaannya di Berbagai Negara.

Malang. Setara Press. Hal. 23-25.

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

71

what is done by legislative bidy abd by excecutive head”. Rumusan ini

menggambarkan bahwa judicial review merupakan suatu proses untuk

menguji tingkat konstitusionalitas suatu produk hukum badan legislatif atau

badan eksekutif. Jika dilakukan breakdown terhadap definisi tersebut

rumusan ini menandung 3 unsur pokok tentang judicial review. Pertama,

badan yang melaksanakan judicial review adalah badan/lembaga kekuasaan

kehakiman (dapat berupa Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi).

Kedua, adanya unsur pertentangan antara norma hukum yang derajatnya di

bawah dengan norma hukum yang dirajatnya diatas, dan ketiga, objek yang

diuji adalah lingkup tindakan atau produk hukum badan legislatif dan

ketetapan kepala eksekutif.108

Dalam kerangka pikir untuk menegakkan ideologi negara hukum atau

konstitusionalisme, judicial review memiliki sekurangnya sepuluh fungsi

pokok yang merupakan dasar atau landasan teoritis untuk membenarkan

judicial review di negara-negara modern. Kesepuluh fungsi pokok judicial

review adalah sebagai berikut: (1) untuk melindungi konstitusi sebagai

hukum tertinggi; (2) untuk menjamin pelaksanaan tujuan penyusunan

konstitusi; (3) untuk memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai

fundamental kenegaraan yang tercantum dalam konstitusi; (4) untuk

mengontrol kekuasaan legislatif; (5) untuk menjamin penyelenggara negara

dan rakyat mematuhi konstitusi; (6) untuk menjamin tegaknya prinspip

108 Zainal Arifin Hoesein. 2009. Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian

Peraturan Perundang-undangan. Jakarta. Rajawali Press. Hal. 41-42.

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

72

control dan perimbangan; (7) untuk mencegah tirani mayoritas atau

mengontrol prinsip hukum mayoritas; (8) untuk menegakkan nilai-nilai dan

prinsip-prinsip demokrasi konstitusional; (9) untuk mewujudkan ideologi

negara hukum; dan (10) untuk menjaga konsistensi sistem hierarki norma

hukum.109

3. Judicial Review Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pembentukan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) tidak

dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang

pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review.110 Dari

sisi hukum, keberadaan MK adalah salah satu konsekuensi perubahan dari

supremasi MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menjadi supremasi

konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara

hukum.111 Dengan demikian, prinsip supremasi konstitusi telah diterima

sebagai bagian dari prinsip negara hukum.112

Konstitusi menentukan substansi yang harus menjadi orientasi sekaligus

sebagai batas penyelenggaraan negara, yaitu ketentuan tentang hak asasi

manusia dan hak konstitusional warga negara yang perlindungan,

109 Benny K. Harman. 2013. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi: Sejarah Pemikiran

Pengujian UU terhadap UUD. Jakarta. Kepustakaan Popular Gramedia. Hal. 95-96.

110 Jimly Asshiddiqie. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara.

Jakarta. Konpress. Hal. 6.

111 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan

Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

Jakarta. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Hal. 7.

112 Menurut A.V. Dicey, Salah satu prinsip negara hukum adalah supremasi hukum (supremacy

of law). Salah satu konsekuensi dari kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi, maka berlaku

pula prinsip supremasi konstitusi. Lihat A.V. Dicey. 1959. Introduction to the Study of the Law of

the Constitution, Tenth Edition. London. Macmillan Education LTD.

Page 57: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

73

pemenuhan, dan pemajuannya adalah tanggung jawab negara. Agar konstitusi

tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar, maka harus dijamin

bahwa ketentuan hukum didalam Undang-Undang tidak bertentangan dengan

konstitusi itu sendiri dengan memberikan wewenang pengujian serta

membatalkan jika memang ketentuan hukum dimaksud bertentangan dengan

konstitusi.

Pengujian ini sangat diperlukan karena aturan hukum undang-undang

itulah yang akan menjadi dasar penyelenggaraan negara. Salah satu ukuran

yang paling mendasar adalah ada atau tidaknya pelanggaran terhadap hak

konstitusional yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945).

Dengan latar belakang tersebut, MK RI dibentuk melalui Perubahan Ketiga

UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD

1945.113

Salah satu kewenangan yang melekat pada Mahkamah Konstitusi adalah

pengujian konstitusional atau judicial review Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini

sebagaimana amanah konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2)

UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa:114

113 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan

Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Op., cit. Hal. 8.

114 Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 24C

ayat (1) dan (2).

Page 58: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

74

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar,…”

Selain daripada itu, terdapat perkembangan terbaru bahwa dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, MK juga berwenang

untuk melakukan pengujian atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (selanjutnya disebut PERPPU). Hal ini dikarenakan dalam PERPPU

melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat

menimbulkan (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, (c) dan akibat

hukum baru.115

4. Putusan Mahkamah Konstitusi

Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan

MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat

meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam

perkara pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut UU), putusan yang

mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi

hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD

NRI Tahun 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan

keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan

keadaan hukum baru.

Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam proses

pengambilan putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan

115 Ali Marwan Hsb. Op., cit. Hal. 99.

Page 59: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

75

pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.116 Putusan harus

diupayakan semaksimal mungkin diambil dengan cara musyawarah untuk

mufakat.117 Apabila tidak dapat dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai

RPH berikutnya.118 Apabila tetap tidak dapat dicapai mufakat, putusan

diambil berdasarkan suara terbanyak.119 Di dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (5)

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(selanjutnya disebut UU MK) ditentukan bahwa dalam sidang

permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara abstain.120

Putusan MK dibuat berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sesuai dengan

alat bukti yang diperiksa di persidangan dan keyakinan hakim.121 Putusan

harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 alat bukti.122 Jika tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah antara hakim konstitusi dalam menjatuhkan

putusan, maka putusan dapat diambil dengan suara terbanyak. Putusan

dibacakan oleh Hakim MK dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.123

116 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 45 ayat (5).

117 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 45 ayat (4) dan (7).

118 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 45 ayat (6).

119 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 45 ayat (7).

120 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 5 ayat (5).

121 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 45 ayat (1).

122 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 45 ayat (2).

123 Munafrizal Manan. 2012. Penemuan Hukum Oleh Mahkamah Konstitusi. Bandung. Mandar

Maju. Hal. 51-52.

Page 60: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

76

Dalam putusannya, MK harus memuat beberapa hal yang ditentukan oleh

Undang-Undang. Setiap putusan MK harus memuat:124

a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas pemohon dan

termohon (jika dalam perkara dimaksud terdapat pihak termohon), baik

prinsipal maupun kuasa hukum;

c. ringkasan permohonan;

d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

f. amar putusan; dan

g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

Pasal 56 UU MK mengatur tiga jenis amar putusan, yaitu permohonan

tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak.125

Mengenai tata cara beracara pengujian UU terhadap UUD NRI Tahun 1945

secara lengkap selanjutnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian

Undang-Undang.

Selain kemungkinan diputus dengan amar putusan permohonan tidak

dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak, terdapat

pula kemungkinan lainnya, yaitu perkara tersebut ditarik kembali dan

124 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 48.

125 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 56.

Page 61: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Hermeneutika Hukum 1

77

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang. Dalam

hal perkara tersebut ditarik kembali, maka sebagaimana diatur dalam Pasal

17 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara

Pengujian UU, maka Ketua Mahkamah Konstitusi menerbitkan Ketetapan

Penarikan Kembali yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.126

Dalam dinamika perkembangannya, amar putusan dalam praktik judicial

review di MK, terdapat beberapa model putusan diantaranya yakni: (i)

konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), (ii) inkonstitusional

bersyarat (conditionally unconstitutional), (iii) penundaan keberlakuan

putusan, dan (iv) perumusan norma dalam putusan.127 Putusan MK

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang

pleno terbuka untuk umum.128 Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat

putusan MK yang ditentukan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

jo. Pasal 10 ayat (1) UU MK yakni bersifat final dan mengikat (final and

binding). Dengan demikian peradilan MK merupakan peradilan pertama dan

terakhir yang terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum.

126 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan

Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Op., cit. Hal. 137.

127 Ibid. Hal 142-147.

128 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 47.