pandangan muḤammad alĪ al ṢĀbŪnĪ tentang hukum … · kata kunci : hukum wanita bekerja, di...
TRANSCRIPT
PANDANGAN MUḤAMMAD ALĪ AL-ṢĀBŪNĪ TENTANG
HUKUM WANITA BEKERJA DI LUAR RUMAH
(Analisis Menurut Teori Maṣlaḥah)
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
SARI RAHMAH
NIM. 150101102
Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Program Studi Hukum Keluarga
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2020 M/1441 H
SARI RAHMAH
NIM. 150101102
Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Program Studi Hukum Keluarga
v
ABSTRAK
Nama/NIM : Sari Rahmah/150101102
Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/ Hukum Keluarga
Judul Skripsi : Pandangan Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī Tentang Hukum
Wanita Bekerja Di Luar Rumah (Analisis Menurut Teori
Maṣlaḥah)
Tebal Skripsi : 76 Halaman
Pembimbing I : Dr. Husni Mubarak, Lc., MA
Pembimbing II : Yuhasnibar, M.Ag
Kata Kunci : Hukum Wanita Bekerja, Di Luar Rumah, Teori
Maṣlaḥah.
Penelitian ini mengkaji tentang hukum wanita bekerja di luar rumah menurut
teori maslahah dalam pandangan Muhammad Ali al-Sabuni, seperti diketahui
perspektif ulama tentang hukum wanita bekerja diluar rumah tampak masih
tidak padu dan diperdebatkan. Hal ini diakibatkan karena tidak adanya dalil
yang tegas mengharamkan atau membolehkan wanita bekerja diluar rumah. Hal
lain ditambah dengan kenyataan bahwa ada bidang-bidang tertentu yang
pekerjanya dimungkinkan dilakukan oleh kalangan wanita.Masalah yang dikaji
adalah bagaimana pandangan, dalil dan metode istinbat yang dugunakan oleh al-
sabuni. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Metode yang
digunakan adalah deskriptif-analisis. Hasil analisa penelitian menunjukkan
bahwa menurut al-Sabuni, hukum wanita yang bersuami bekerja diluar rumah
dilarang, sebab ia dibatasi dengan kewajibannya dalam melaksanakan tugas-
tugas rumah tangga. Dalil yang digunakan adalah QS.Al-Maidah [5] ayat 2, QS.
Al-ahzab [33] ayat 33, HR. al-Bukhari dari Ibn Abi Laila, HR. Tirmizi dari
Abdullah bin Ma’sud. Menurut al-Sabuni dalil dan hadits tersebut menjelaskan
larangan bagi wanita untuk keluar rumah tanpa ada keperluan atau hajat. Dalam
makna ini, tidak berarti mengekang wanita untuk tetap dirumah selamanya.
Hanya saja, rumah adalah tempat asal seorang wanita, dan tempat menetapnya
seorang wanita. Seorang wanita dibenarkan keluar rumah apabila memang ada
kebutuhan dan hajat, seperti kemasjid, rekreasi dan istirahat untuk kebutuhan
tubuhnya, tetapi dengan syarat harus sopan dan mematuhi tata krama. Adapun
metode istinbat yang dipakai oleh al-Sabuni cenderung pada penalaran istislahi,
yaitu penalaran dengan bertumpu pada pertimbangan kemaslahatan. Pendapat
al-Sabuni tentang hukum wanita bekerja diluar rumah dilihat tampak sejalan
dengan teori maslahah. Sebab, larangan wanita bekerja di luar rumah bertujuan
untuk meminimalisir terjadinya kerusakan bagi wanita dan mendatangkan
kemaslahatan baginya.
vi
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah
menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya, Selanjutnya shalawat beriring
salam penulis sanjungkan ke pangkuan Nabi Muhammad saw, karena berkat
perjuangan beliau, ajaran Islam sudah dapat tersebar keseluruh pelosok dunia
untuk mengantarkan manusia dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan. sehingga penulis telah dapat menyelesaikan karya tulis dengan
judul: “Pandangan Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī Tentang Hukum Wanita
Bekerja Di Luar Rumah (Analisis Menurut Teori Maṣlaḥah)”.
Teruntuk ibu dan ayah penulis ucapkan rasa terima kasih yang tak
terhingga yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik secara moril
maupun materiil yang telah membantu selama dalam masa perkuliahan yang
juga telah memberikan do’a kepada penulis, yang selalu ada dan memberikan
motivasi kepada penulis agar dapat menyelesaikan studi ini, juga dalam
berbagai hal demi berhasilnya studi penulis.
Rasa hormat dan ucapan terimakasih yang tak terhingga juga penulis
sampaikan kepada pembimbing pertama Bapak Dr. Husni Mubarak, Lc., MA
dan Ibu Yuhasnibar, M.Ag selaku pembimbing kedua, di mana kedua beliau
dengan penuh ikhlas dan sungguh-sungguh telah memotivasi serta menyisihkan
waktu serta pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam rangka
penulisan karya ilmiah ini dari awal sampai dengan terselesainya penulisan
skripsi ini.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Muhammad Siddiq,
MH., Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Bapak
Fakhrurrazi M. Yunus, Lc., MA Ketua Prodi Hukum Keluarga, Penasehat
vii
Akademik Bapak Dr. Mursyid Djawas, S.Ag., M.HI, serta seluruh Staf pengajar
dan pegawai Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan masukan dan
bantuan yang sangat berharga bagi penulis sehingga penulis dengan semangat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Perpustakaan Syariah dan seluruh karyawan, kepala perpustakaan induk UIN
Ar-Raniry dan seluruh karyawannya, Kepala Perpustakaan Wilayah serta
Karyawan yang melayani serta memberikan pinjaman buku-buku yang menjadi
bahan skripsi penulis. Dengan terselesainya Skripsi ini, tidak lupa penulis
sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Tidak lupa pula
penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan angkatan tahun
2015 yang telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis serta
sahabat-sahabat dekat penulis yang selalu setia berbagi suka dan duka dalam
menempuh pendidikan Strata Satu.
Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih
sangat banyak kekurangannya. Penulis berharap penulisan skripsi ini bermanfaat
terutama bagi penulis sendiri dan juga kepada para pembaca semua. Maka
kepada Allah jualah kita berserah diri dan meminta pertolongan, seraya
memohon taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.
Banda Aceh 1 Agustus 2019
Penulis,
Sari Rahmah
viii
TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN
Dalam skripsi ini banyak dijumpai istilah yang berasal dari bahasa Arab
ditulis dengan huruf latin, oleh karena itu perlu pedoman untuk membacanya
dengan benar. Pedoman Transliterasi yang penulis gunakan untuk penulisan kata
Arab berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987. Adapun Pedoman
Transliterasi yang penulis gunakan untuk penulisan kata Arab adalah sebagai
berikut:
1. Konsonan
No. Arab Latin Ket No. Arab Latin Ket
ا 1Tidak
dilambangkan
ṭ ط 61
t dengan
titik di
bawahnya
B ب 2
ẓ ظ 61
z dengan
titik di
bawahnya
‘ ع T 61 ت 3
Ś ث 4
s dengan
titik di
atasnya
gh غ 61
f ف J 02 ج 5
ḥ ح 6
h dengan
titik di
bawahnya
q ق 06
k ك kh 00 خ 7
l ل D 02 د 8
m م Ż z dengan 02 ذ 9
ix
titik di
atasnya
n ن R 02 ر 10
w و Z 01 ز 11
h ه S 01 س 12
’ ء sy 01 ش 13
Ş ص 14
s dengan
titik di
bawahnya
y ي 01
ḍ ض 15
d dengan
titik di
bawahnya
2. Konsonan
Konsonan Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda
atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin
Fatḥah a
Kasrah i
Dammah u
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan Nama Gabungan
x
Huruf Huruf
ي Fatḥah dan ya Ai
و Fatḥah dan wau Au
Contoh:
,kaifa = كيف
haula = هول
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan
Huruf
Nama Huruf dan tanda
ا/ي Fatḥah dan alif atau ya Ā
ي Kasrah dan ya Ī
و Dammah dan wau Ū
Contoh:
qāla = ق ال
م ي ramā = ر
qīla = ق يل
yaqūlu = ي قول
4. Ta Marbutah (ة)
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua.
a. Ta marbutah ( ة) hidup
Ta marbutah ( ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan
dammah, transliterasinya adalah t.
xi
b. Ta marbutah ( ة) mati
Ta marbutah ( ة) yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah ( ة) diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah
maka ta marbutah ( ة) itu ditransliterasikan dengan h.
Contoh:
طافالا ضة الا rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl : روا
رةا نو /al-Madīnah al-Munawwarah : الامديانة الام
al-Madīnatul Munawwarah
Ṭalḥah : طلاحةا
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi,
seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai
kaidah penerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.
2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti
Mesir, bukan Misr ; Beirut, bukan Bayrut ; dan sebagainya.
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat keputusan penunjukkan pembimbing.
2. Daftar Riwayat Penulis
xiii
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL .................................................................................. i
PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................ ii
PENGESAHAN SIDANG ............................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ......................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
TRANSLITERASI ....................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xiii
BAB SATU PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................... 5
D. Penjelasan Istilah ........................................................... 6
E. Kajian Pustaka ............................................................... 8
F. Metode Penelitian .......................................................... 15
1. Pendekatan Penelitian ............................................... 15
2. Jenis Penelitian ......................................................... 16
3. Sumber Data ............................................................. 16
4. Teknik Pengumpulan Data ....................................... 16
5. Validitas Data ........................................................... 17
6. Teknik Analisis Data ................................................ 18
7. Pedoman Penulisan Skripsi ...................................... 18
G. Sistematika Pembahasan ............................................... 18
BAB DUA KAJIAN UMUM HAK DAN KEWAJIBAN WANITA
DALAM KONTEKS HUKUM KELUARGA ISLAM ... 20
A. Pengertian Hak dan Kewajiban ..................................... 20
B. Bentuk-Bentuk Hak Wanita dalam Perspektif
Keluarga Islam dan Dasar Hukumnya .......................... 25
C. Pembagian Tugas Pria dan Wanita dalam Hukum
Keluarga Islam .............................................................. 40
D. Teori Maṣlaḥah ............................................................. 44
1. Terminologi Maṣlaḥah ................................................ 44
2. Pendapat Ulama tentang Maṣlaḥah Sebagai Tujuan
Umum Syariat ........................................................... 45
xiv
BAB TIGA ANALISIS PANDANGAN MUḤAMMAD ALĪ AL-
ṢĀBŪNĪ TENTANG HUKUM WANITA BEKERJA
DI LUAR RUMAH: ANALISIS MENURUT TEORI
MAṢLAḤAH ....................................................................... 50
A. Biografi Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī .............................. 50
B. Pandangan Muḥammad Alī al-Ṣābūnī tentang Hukum
Wanita Bekerja di Luar Rumah ..................................... 53
C. Dalil dan Metode Istinbāṭ Muḥammad Alī al-Ṣābūnī
dalam Menetapkan Hukum Wanita Bekerja di Luar
Rumah ........................................................................... 57
D. Pendapat Muḥammad Alī al-Ṣābūnī tentang Hukum
Wanita Bekerja di Luar Rumah dalam perspektif
Teori Maṣlaḥah ............................................................. 63
BAB EMPAT PENUTUP ........................................................................... 67
A. Kesimpulan.................................................................... 68
B. Saran .............................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 70
LAMPIRAN .................................................................................................. 77
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... 78
1
BAB SATU
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perspektif Islam tentang wanita ditempatkan sejajar dengan laki-laki
terkait hak-haknya sebagai manusia di muka bumi. Wanita memang memiliki
sisi fisik yang berbeda dengan laki-laki. Ia dipandang sebagai makhluk lemah,
baik dari sisi fisik maupun psikis, dengan keterbatasan inilah wanita seharusnya
diposisikan sebagai makhluk yang mendapat perhatian khusus dibandingkan
dengan laki-laki. Meski keterbatasan psikis dan fisik tersebut ada pada wanita,
justru tidak harus memposisikannya pada posisi yang marginal, membedakan
status sosialnya. Namun, wanita tetap harus mempunyai hak yang sama dengan
laki-laki, misalnya hak yang sama untuk mendapatkan peluang kerja, hak untuk
hidup aman, hak untuk mendapat perlindungan hukum dari sikap diskriminasi.
Ditemukan batasan-batasan tentang tindakan yang harus dilakukan
wanita, baik ia telah berkeluarga ataupun tidak. Misalnya, seorang wanita yang
telah berkeluarga dilarang keluar rumah tanpa izin suaminya, baik itu untuk
bekerja untuk memenuhi kebutuhannya atau untuk keperluan lainnya.1 hal ini
mengikuti makna QS. al-Ṭalāq ayat 1. Meskipun konteks ayat ini bicara tentang
hukum larangan isteri yang sudah di talak raj’i untuk keluar rumah, namun ayat
ini juga berlaku bagi isteri yang masih dalam ikatan pernikahan.2 Lebih jelas
lagi, larangan tersebut ada dalam surat al-Aḥzāb ayat 33 yang berbunyi:
1Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ed. In, Fiqih Islam: Pernikahan,
Talak, Khulu’, Meng-Ila’ Isteri, Li’an, Zihar dan Masa Iddah, (terj: Abdul Haiyyie Al-Kattani,
dkk), jilid 9, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 45. Menurut kesepakatan ulama, seperti
dijelaskan oleh Ibn Taimiyah dalam kitab Majmu’ al-Fatāwā, bahwa seorang wanita yang telah
bersuami dilarang dan diharamkan keluar rumah tanpa ada izin dari suaminya. Dimuat dalam
Ibn Taimiyah, Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatāwa Ibn Taimiyah, (penyusun:
Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Qasim), ed. In, “Majmu Fatawa tentang Nikah”, (terj: Abu
Fahmi Huaidi & Syamsuri an-Naba), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hlm. 160. 2Abdul Majid Mahmud Mathlub, al-Wajīz fī al-Aḥkām al-Usrah al-Islāmiyyah, ed. In,
Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (terj: Harits Fadly dan Ahmad Khotib), (Surakarta: Era
2
لييةي ٱل ن ت ب رج ٱل ن في ب يوتيكن ول ت ب رج وقر هي ة وءاتيين وأقيم أول ج ن ٱلصلوع ة وأطي ا يرييد ٱلله لييذ ۥ ن ٱلله ورسوله ٱلزكو ب عنكم ٱلرج إين تي ب ل ٱل س أه هي
ركم ي تط ويطه ا هيDan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Larangan tersebut pada surat al-Ṭalāq ayat 1 dan surat al-Aḥzāb ayat 33
pada prinsipnya bukan pembatasan kebebasan hak yang melekat padanya, tetapi
itu semua hanya untuk memberi perlindungan hukum baginya, termasuk bagi
suaminya. Perlindungan ini dalam arti bahwa hukum menempatkan wanita
(yang berstatus isteri) tadi sebagai makhluk yang haknya harus dibatasi demi
dapat ditunaikannya kewajiban sempurna kepada laki-laki yang menjadi
suaminya, sedangkan untuk bekerja di luar rumah merupakan kewajiban suami
untuk memenuhi hak nafkah isterinya tadi.
Islam pada dasarnya tidak menempatkan pihak wanita sebagai makhluk
inferior atau sebaliknya laki-laki sebagai makhluk superior. Artinya hukum
tentang larangan bagi wanita yang bersuami untuk keluar rumah untuk bekerja
justru dibolehkan dalam agama Islam dalam batasan yang dibenarkan, misalnya
untuk pergi ke pasar membeli kebutuhan keluarga, bekerja di luar rumah untuk
sementara suaminya dalam keadaan sakit, dan hal-hal yang dipandang perlu bagi
wanita untuk keluar rumah.
Tentang diperbolehkannya wanita keluar rumah, baik untuk bekerja dan
kepentingan lainnya menjadi pendapat beberapa ulama, misalnya Ibnu Katsir
dalam tafsirnya yang diringkas oleh Syaikh Safiyurrahman al-Mubarakfur,
menyebutkan wanita makna surat al-Aḥzāb ayat 33 tersebut di atas tentang
wanita dilarang keluar rumah, selagi tidak ada keperluan. Sebaliknya, jika ada
Intermedia, 2005), hlm. 177: Lihat juga dalam Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, ed. In, Fikih
Sunnah, (terj: Asep Sobari), jilid 2, (Jakarta: Al-I’Tishom, 2013), hlm. 298.
3
keperluan maka ia dibolehkan, seperti kebutuhan menunaikan shalat di masjid
dengan memenuhi syarat-syaratnya.3 Demikian juga menurut Ibnu Muflih al-
Hanbali, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, yang membolehkan wanita keluar rumah
karena darurat atau untuk menjalankan kewajiban syariat, atau untuk bekerja
sekalipun.4
Perkembangan globalisasi, teknologi dan informasi, serta kepentingan
akan pekerjaan tentu lebih meningkat. Isu tentang kesetaraan gender
dinaungkan, khususnya tentang persamaan hak bagi wanita untuk bekerja di luar
rumah. Wanita dipandang mempunyai hak yang sama dan mesti dilindungi
sebagaimana hak-hak kaum laki-laki.5 Bahkan, pengaruh perkembangan zaman
tersebut banyak sekali ditemukan wanita bekerja sebagai pelayan restauran,
kafe-kafe, menjadi pramugari, menjadi cleaning service, costumer service pada
bank konvensional dan bank syari’ah, dan lain sebagainya. Ini tentu tuntutan
realita yang tidak mungkin dihindari.
Terkait fenomena wanita-wanita bekerja di luar rumah, ulama tentu tidak
menutup mata, dan pastinya memiliki pendapat-pendapat hukum tersendiri
tentang wanita bekerja di luar rumah tersebut. Dalam penelitian ini, secara
khusus diarahkan pada pendapat hukum Muḥammad Alī al-Ṣābūnī (selanjutnya
ditulis al-Ṣābūnī).
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī seorang ulama kontemporer, lahir di kota
Halb/Aleppo, Syiria pada tahun 1928 M. Setelah lama berkecimpung dalam
dunia pendidikan di Syiria, beliau pun melanjutkan pendidikannya di Mesir, dan
merampungkan program magisternya di Universitas Al Azhar mengambil tesis
khusus tentang perundang-undangan dalam Islam pada tahun 1954 M. Selama
3Syaikh Safiyurrahman al-Mubarakfur, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, (tp), jilid 5, (Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, tt), hlm. 208. 4Diakses melalui: https://konsultasisyariah.com/520-bolehkah-wanita-bekerja.html, pada
tanggal 15 Juni 2019. 5Pembahasan persamaan hak wanita dan laki-laki, banyak dimuat dalam literatur umum
tetang gender, misalnya dalam buku Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme:
Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme, (Jakarta: Garuda Wacana, 2012), hlm. 23.
4
hidupnya, Muḥammad Alī al-Ṣābūnī telah banyak menyumbangkan karya tulis
yang mengandung sisi ilmu cukup luas dan bermanfaat.6 Menarik untuk dikaji
pendapat al-Ṣābūnī tersebut dalam kaitannya dengan hukum wanita bekerja di
luar rumah.
Analisa sementara menunjukkan bahwa al-Ṣābūnī tidak membolehkan
wanita bekerja di luar rumah. Karena secara fitrahnya, wanita memiliki fisik
yang lemah, selain itu ia ditugaskan hanya untuk bekerja di dalam rumah, dan
mendidik anak-anak.7 Hal tersebut menurutnya sesuai dengan struktur fisik,
serta kelemahlembutan yang diciptakan pada seorang perempuan. Alasan ini
tentu demi kebaikan dan kemaslahatan wanita itu sendiri.
Terhadap isu persamaan hak dan gender, al-Ṣābūnī justru membantah isu
yang dibangun oleh kaum feminis tentang wanita mempunyai hak yang sama
dengan laki-laki tentang pekerjaan di luar rumah. Menurut beliau, isu tersebut
bukanlah atas nama persamaan hak antara laki-laki dengan wanita tentang
pekerjaan, tetapi justru menzalimi wanita, dan tidak sesuai dengan fitrah wanita
dalam hukum Islam.8 Al-Ṣābūnī tampak tidak setuju dengan isu persamaan hak
wanita dengan laki-laki dalam urusan bekerja di luar rumah.
Berangkat dari uraian masalah di atas, menarik untuk dikaji lebih lanjut
mengenai pendapat al-Ṣābūnī tentang hukum wanita bekerja di luar rumah,
kemudian menarik pula untuk diketahui alasan-alasan al-Ṣābūnī berikut dengan
dalil-dalil yang digunakan, serta kaitan teori maṣlaḥah dengan hukum wanita
bekerja di luar rumah. Untuk itu, permasalahan tersebut akan dikaji dengan
judul: Pandangan Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang Hukum Wanita
Bekerja di Luar Rumah: Analisis menurut Teori Maṣlaḥah.
6Dimuat dalam Redaksi Fimadani, diakses melalui http://www.fimadani.com/biografi-
syaikh-muhammad-ali-ash-shabuni/, pada tanggal 14 Oktober 2019. 7Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, Hadiyyah al-Afrāh li al-Arūsain al-Zawāj al-Islām al-
Mubakkir Sa’ādah wa Ḥasānah, ed. In, Hadiah Untuk Pengantin, (terj: Ikhlah Muzayyanah
Djunaedi). Cet. 6, (Jakarta: Mustaqim, 2004), hlm. 349. 8Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, Hadiyyah al-Afrāh..., hlm. 347.
5
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
pertanyaan penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pandangan Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang hukum wanita
bekerja di luar rumah?
2. Bagaimana dalil dan metode istinbāṭ Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang
hukum wanita bekerja di luar rumah?
3. Bagaimana pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang hukum wanita
bekerja di luar rumah dalam perspektif teori maṣlaḥah?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pandangan Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang hukum
wanita bekerja di luar rumah.
2. Untuk mengetahui dalil dan metode istinbāṭ Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī
tentang hukum wanita bekerja di luar rumah.
3. Untuk mengetahui pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang hukum
wanita bekerja di luar rumah dalam perspektif teori maṣlaḥah.
Adapun kegunaan penelitian ini ada dua, yaitu
a. kegunaan praktis bagi penulis diharapkan bahwa seluruh tahapan
penelitian serta hasil penelitian yang diperoleh dapat memperluas
wawasan tentang hukum perempuan bekerja di luar rumah dan sekaligus
memperoleh pengetahuan mengenai penerapan fungsi Ilmu Hukum pada
Fakultas Syari’ah dan Hukum yang diperoleh selama mengikuti kegiatan
perkuliahan. Dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil
penelitian, penulis berharap manfaat hasil penelitian dapat diterima
sebagai kontribusi untuk meningkatkan pengetahuan dalam Ilmu Hukum
keluarga.
6
b. kegunaan akademis diharapkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan
rujukan bagi upaya pengembangan ilmu terkait dengan hukum wanita
bekerja di luar rumah, dan berguna juga untuk menjadi referensi bagi
mahasiswa yang melakukan kajian terkait dengan penelitian ini.
D. Penjelasan Istilah
Terdapat empat istilah yang perlu dijelaskan terkait judul penelitian yaitu
istilah “pandangan”, “hukum”, “wanita bekerja di luar rumah”, dan istilah “teori
maṣlaḥah”. Masing-masing penjelasannya sebagai berikut:
1. Pandangan
Istilah pandangan dalam Bahasa Indonesia berarti pendapat yang di
dalamnya disertakan dengan argumentasi. Terkait dengan istilah ini, maka
pandangan bermaksud semua pendapat, pemikiran, dan termasuk fatwa hukum
yang disertakan dengan argumentasi baik dali-dalil maupun cara penemuan
hukum yang digunakan oleh Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī.
2. Hukum
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata hukum memiliki empat arti: (1)
peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi
semua orang dalam suatu masyarakat (negara), (2) Undang-undang, peraturan,
dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, (3) Patokan
(kaidah, ketentuan) mengenai suatu peristiwa (alam dan sebagainya) yang
tertentu, dan (4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam
pengadilan), atau vonis.9
Menurut Junaedi, istilah hukum berarti aturan, ketentuan, norma, dalil,
kaidah, patokan, pedoman, peraturan perundang-undangan, atau putusan
hakim.10
Istilah tersebut secara bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu ḥukmun,
9Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008),
hlm. 531. 10
Jonaedi Efendi, dkk., Kamus Istilah Hukum Populer, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2016), hlm. 182.
7
artinya menetapkan. Pengertian tersebut menurut M. Zein mirip dengan
pengertian hukum yang dikembangkan oleh kajian dalam teori hukum, ilmu
hukum, dan sebagian studi-studi sosial mengenai hukum. Misalnya, hukum
diartikan sebagai norma yang menetapkan petunjuk tingkah laku. Artinya,
hukum menetapkan tingkah laku mana yang dibolehkan atau dilarang.11
Jadi, hukum dapat diartikan sebagai ketentuan-ketentuan yang berlaku
bagi seseorang, baik yang berhubungan dengan boleh melakukan atau tidak
boleh melakukan sesuatu. Dalam kaitan dengan hukum wanita bekerja, maka
istilah tersebut mengandung arti ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
hukum seorang wanita bekerja.
3. Wanita
Kata wanita atau perempuan merujuk pada jenis kelamin, yaitu lawan
dari pria atau laki-laki.12
Kata wanita yang dimaksud di sini dimaknai secara
khusus, yaitu wanita yang telah bersuami atau menikah dan statusnya sebagai
isteri. Hal ini barangkali sejalan dengan maksud hukum wanita bekerja di luar
rumah menurut Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī dalam kaitannya dengan wanita yang
telah menikah.
4. Bekerja di Luar Rumah
Bekerja berarti usaha dalam memenuhi segala tuntutan hidup berupa
nafkah, dan lainnya dan memenuhi tujuan yang diinginkan. Bekerja di luar
rumah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bekerja melakukan sesuatu
berada di luar rumah atau tempat kediaman sebuah keluarga, seperti bekerja
sebagai supir, pelayan kafe, petani, dan pekerjaan lainnya. Istilah “di luar
rumah” juga dipandang perlu untuk dijelaskan. Sebab, istilah inilah yang
menjadi fokus masalah yang dikaji. Istilah tersebut dalam pembahasan ini
berarti seorang perempuan bekerja di luar rumah. Intinya, keberadaan wanita
11
A. Patra M. Zein dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia:
Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaiakan Masalah Hukum, Cet. 2, (Jakarta: Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2007), hlm. 2. 12
Tim Redaksi, Kamus Bahasa..., hlm. 976.
8
untuk bekerja di luar rumah yang jauh dari rumahnya, termasuk bekerja berbaur
dengan laki-laki di luar dalam melakukan pekerjaannya.
5. Teori maṣlaḥah
Istilah teori maṣlāḥah terdiri dari dua kata, yaitu teori dan maṣlāḥah.
Teori berarti pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung
oleh data dan argumentasi, atau logika, metodologi, argumentasi, asas dan
hukum umum yang menjadi dasar penemuan hukum.13
Sementara itu, kata
maṣlāḥah berarti kebaikan, maslahat, adanya manfaat dan kebaikan dari suatu
hal, atau sesuatu yang mendatangkan kebaikan, kemaslahatan, faedah dan
kegunaan.14
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, maṣlāḥah berarti mengambil
keuntungan, menolak mudharat dan mengilangkan kesulitan.15
Berangkat dari makna kata tersebut, maka yang dimaksud dengan istilah teori
maṣlāḥah penelitian ini adalah suatu kaidah atau asas hukum yang telah
ditetapkan oleh para ulama tentang cara pengambilan hukum melalui teori
maṣlāḥah.
E. Kajian Pustaka
Kajian tentang pandangan Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang hukum
wanita bekerja di luar rumah, khususnya dalam kaitan analisis menurut teori
maṣlaḥah belum pernah ada. Namun demikian, terdapat beberapa penelitian
yang relevan, di antaranya:
Skripsi yang ditulis oleh Ovi Munawarah, mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum, Prodi Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
tahun 2018, dengan judul: “Kewajiban Isteri dalam Rumah Tangga: Studi
13
Tim Redaksi, Kamus Bahasa..., hlm. 1290. 14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, cet. 2, jilid 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), hlm. 47. 15
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (terj: Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib), Edisi
Kedua, (Semarang: Dina Utama Semarang, 2014), hlm. 139.
9
Terhadap Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah”.16
Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa menurut Ibnu Qayyim, isteri wajib mentaati suami dalam
perkara yang baik, tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah ketika suami
tidak ada, tidak keluar rumah tanpa izin suami, menjaga harta suami,
mensyukuri kebaikan suami, dan wajib melayani dan membantu suami. Dalam
hal melayani dan membantu suami, isteri wajib mengerjakan pekerjaan dalam
rumah tangga, seperti memasak, menyapu, membuat kue dan roti, dan pekerjaan
rumah lainnya. Landasan hukum yang digunakan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
yaitu Alquran surat al-Baqarah ayat 228, hadis tentang ketetapan Rasulullah atas
pekerjaan Fatimah di dalam Rumah, dan kebiasaan para perempuan di masa
sahabat.
Penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan yang cukup
signifikan dengan skripsi ini. Persamaannya terletak pada adanya pembahasan
secara sekilas tentang pengkajian hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Yang
membedakan dengan skripsi ini pada fokus masalah, Penelitian di atas
cenderung mengupas pendapat ulama kewajiban isteri dalam rumah tangga
dalam pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Sedangkan penelitian Penulis
dalam hal ini memusatkan pada pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang
Hukum Wanita Bekerja di Luar Rumah.
Skripsi Heri Suwandi, mahasiswa Prodi Hukum Keluarga, Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, tahun 2016 dengan judul: “Pemahaman
Masyarakat terhadap Kewajiban dan Pengabdian Isteri dalam Rumah Tangga:
Studi Kasus di Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh”.17
Penelitian ini adalah
masyarakat di Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh memandang kewajiban
16
Skripsi Ovi Munawarah, Kewajiban Isteri dalam Rumah Tangga: Studi Terhadap
Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, (Skripsi yang tidak dipublikasikan), Fakultas Syariah dan
Hukum, Prodi Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry tahun 2018. 17
Skripsi Heri Suwandi, Pemahaman Masyarakat terhadap Kewajiban dan Pengabdian
Isteri dalam Rumah Tangga: Studi Kasus di Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh, (Skripsi
yang tidak dipublikasikan), Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Keluarga, UIN Ar-
Raniry, tahun 2016,
10
dan pengabdian/bakti seorang isteri memiliki makna yang sama. Masyarakat
memandang bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah menjadi kewajiban isteri yang
mesti dilakukan sebagai ibu rumah tangga. Kewajiban isteri tidak hanya pada
pemenuhan kebutuhan seksual, tidak keluar rumah tanpa izin suami, serta
kewajiban untuk menjaga harta dan dan kesucian diri. Namun, isteri juga wajib
untuk melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, seperti mencuci, menyapu,
memasak dan tugas rumah tangga lainnya.
Penelitian di atas juga memiliki persamaan dan perbedaan dengan skripsi
ini. Persamaannya terletak pada adanya pembahasan secara sekilas tentang
pemahaman kewajiban dan pengabdian isteri dalam rumah tangga. Yang
membedakan dengan skripsi ini pada fokus masalah, Penelitian di atas
mengupas kasus-kasus yang terdapat di lapangan pada masyarakat di Kecamatan
Jaya Baru Kota Banda Aceh. Sementara dalam penelitian ini secara khusus
diarahkan pada pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang Hukum Wanita
Bekerja di Luar Rumah.
Skrispi Shirhi Athmainnah, mahasiswi prodo al-Ahwal al-Syakhsiyyah
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, tahun 2012 dengan judul: “Tinjauan Hukum Islam terhadap Istri
Bekerja di Luar Negeri dalam Pembentukan Keluarga Sakinah: Studi Kasus di
Desa Muntur, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu”.18
Kesimpulannya
yaitu Kondisi kesakinahan pada keluarga yang istrinya bekerja di luar negeri di
Desa Muntur, secara finansial dapat dikatakan cukup sejahtera. Pemenuhan
sandang, pangan dan papan tengah diupayakan oleh beberapa keluarga tersebut.
Sedangkan secara spiritual, keluarga di Desa Muntur yang istrinya bekerja di
luar negeri, jauh dari pengamalan ajaran agama Islam. Fakta tersebut terlihat
18
Skrispi Shirhi Athmainnah, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Istri Bekerja di Luar
Negeri dalam Pembentukan Keluarga Sakinah: Studi Kasus di Desa Muntur, Kecamatan
Losarang, Kabupaten Indramayu, (Skripsi yang tidak dipublikasikan), Fakultas Syari’ah dan
Hukum prodi al-Ahwal al-Syakhsiyyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
tahun 2012.
11
pada responden yang mengaku melakukan transaksi haram dalam pemenuhan
kebutuhan biologisnya, serta ketakwaan kepada Allah yang masih sangat minim
(shalat dan puasa). Dikatakan jauh dari sakinah karena tidak terkendalinya
syahwat dan kurangnya ibadah kepada Allah akan menyebabkan keretakan
rumah tangga. Hukum Islam tidak melarang istrinya bekerja di luar rumah (luar
negeri). Selama istrinya bekerja dengan sukarela, maka dianggap sedekah istri
kepada suami.
Penelitian di atas juga memiliki persamaan dan perbedaan dengan skripsi
ini. Persamaannya terletak pada adanya pembahasan secara tentang istri bekerja
di luar rumah. Yang membedakan dengan skripsi ini pada fokus masalah,
Penelitian di atas berbentuk studi kasus Kondisi kesakinahan pada keluarga
yang istrinya bekerja di luar negeri di Desa Muntur. Sementara dalam penelitian
ini secara khusus diarahkan pada pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang
Hukum Wanita Bekerja di Luar Rumah.
Skripsi Irma Erviana, mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar, tahun 2017 dengan judul: “Wanita Karir Perspektif Gender
dalam Hukum Islam di Indonesia”. Kesimpulan skripsi ini adalah wanita karir
merupakan wanita yang bekerja di luar rumah dengan berbagai profesi yang
berbeda-beda. Wanita mempunyai hak dan kewajiban yang harus mereka
penuhi, salah satunya yaitu memajukan kehidupan mereka baik secara fisik
maupun psikologis. Hal ini dapat terpenuhi bilamana wanita berkarir. Sebab
dengan berkarir dia mempunyai lebih banyak wawasan dan juga relasi. Saat ini
kehadiran wanita diranah publik sudah mulai di terima. Walaupun masih banyak
sekelompok tertentu yang masih menentang wanita untuk bekerja di luar rumah
dengan dalil bahwa wanita sudah kodratnya untuk menjadi ibu dan istri, namun
tidak ada satupun dalil dalam al-Qur’an yang melarang wanita untuk bekerja dan
mengaktualisasikan kemampuannya selama hal tersebut sejalan dengan syariat
Islam.
12
Penelitian di atas juga memiliki persamaan dan perbedaan dengan skripsi
ini. Persamaannya terletak pada adanya pembahasan secara sekilas tentang
wanita karir atau wanita yang bekerja diluar rumah. Yang membedakan dengan
skripsi ini pada fokus masalah, Penelitian pada pembahasan Wanita mempunyai
hak dan kewajiban yang harus mereka penuhi, salah satunya yaitu memajukan
kehidupan mereka baik secara fisik maupun psikologis. Sementara dalam
penelitian ini secara khusus diarahkan pada pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī
tentang Hukum Wanita Bekerja di Luar Rumah, serta mengkaji pandangan,
Dalil, dan Metode Istinbāṭ yang Digunakan Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī.
Skripsi Faishol Abdul Aziz, mahasiswa prodi Ahwal al-Syakhshiyyah,
Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN SUSKA Pekanbaru, tahun 2012 dengan
judul: “Dampak Seorang Istri yang Bekerja pada Malam Hari terhadap
Kehidupan Keluarga Perawat Ditinjau Menurut Hukum Islam”.19
Penelitian ini
menggunakan studi lapangan (field research). Analisa data digunakan dengan
analisa data kualitatif serta menggunakan metode penulisan deduktif, induktif
dan deskriptif. Kesimpulannya yaitu masih ada perawat-perawat yang memiliki
hubungan yang kurang baik dalam keluarga demi menggapai keluarga yang
bahagia, hal ini dikarenakan beberapa kendala dari pekerjaan mereka selaku
perawat diantaranya: a) Kurangnya perhatian dan pelayanan terhadap suami dan
anak-anak mereka sewaktu mereka bekerja di luar rumah. b) Kekhawatiran
suami terhadap istri yang bekerja atas ketidakpandaian istri dalam menjaga diri
dengan orang lain ketika bekerja di luar rumah.
Penelitian di atas juga memiliki persamaan dan perbedaan dengan skripsi
ini. Persamaannya terletak pada adanya pembahasan secara sekilas tentang
wanita karir atau wanita yang bekerja diluar rumah. Yang membedakan dengan
skripsi ini pada fokus masalah, Penelitian pada pembahasan Wanita mempunyai
19
Skripsi Faishol Abdul Aziz, Dampak Seorang Istri yang Bekerja pada Malam Hari
terhadap Kehidupan Keluarga Perawat Ditinjau Menurut Hukum Islam, (Skripsi yang tidak
dipublikasikan), Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum prodi Ahwal al-Syakhshiyyah, UIN SUSKA
Pekanbaru, tahun 2012.
13
hak dan kewajiban yang harus mereka penuhi, salah satunya yaitu memajukan
kehidupan mereka baik secara fisik maupun psikologis. Sementara dalam
penelitian ini secara khusus diarahkan pada pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī
tentang Hukum Wanita Bekerja di Luar Rumah, serta mengkaji pandangan,
Dalil, dan Metode Istinbāṭ yang Digunakan Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī.
Tesis Muhammad Rusli, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar (Uinam), Pada Tahun 2016, dengan judul: “Wanita
Karir Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus DiKecamatan Rappocini Kota
Makassar”.20
Kesimpulannya yaitu Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)
Wanita karir dalam perspektif Islam ditinjau dari kedudukan sebagai ciptaan
bahwa Islam memberikan kedudukan dan derajat yang layak pada wanita juga
status yang sama dengan laki-laki, baik dalam posisi dan kapasitasnya sebagai
pengabdi Tuhan. Dalam motivasi bekerja dalam Islam tidak melarang seorang
wanita atau istri bekerja, asalkan dalam menjalani pekerjaannya seorang istri
tidak melalaikan kewajiban utamanya sebagai istri dan ibu bagi keluarganya
Dari etika wanita dalam bekerja Islam menganjurkan bagi wanita yang bekerja
di luar rumah, dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: mendapat
izin dari walinya, karena hak suami untuk menerima atau menolak keinginan
istri untuk bekerja di luar rumah, sehingga dapat dikatakan bahwa persetujuan
suami bagi wanita karir merupakan syarat utama yang harus dipenuhi oleh
seorang istri.
Penelitian di atas juga memiliki persamaan dan perbedaan dengan skripsi
ini. Persamaannya terletak pada adanya pembahasan secara sekilas tentang
wanita karir atau wanita yang bekerja diluar rumah. Yang membedakan dengan
skripsi ini pada fokus masalah, Penelitian pada pembahasan studi kasus di
Kecamatan Rappocini Kota Makassar”. Sementara dalam penelitian ini secara
20
Tesis Muhammad Rusli, Wanita Karir Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus
DiKecamatan Rappocini Kota Makassar, (Tesis yang tidak dipublikasikan), Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar (Uinam), Pada Tahun 2016.
14
khusus diarahkan pada kajian pustaka khusus pendapat Muḥammad Alī Al-
Ṣābūnī tentang Hukum Wanita Bekerja di Luar Rumah, serta mengkaji
pandangan, Dalil, dan Metode Istinbāṭ yang Digunakan Muḥammad Alī Al-
Ṣābūnī.
Jurnal yang ditulis dengan judul: “Hukum Perempuan Yang Sudah
Menikah Bekerja Di Luar Rumah Dalam Perspektif Islam”, dimuat dalam
Jurnal Ittihad Kopertais Wilayah XI Kalimantan, ditulis oleh Sanawiah.21
Kesimpulannya yaitu hasil dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan
pendapat antara Ulama Klasik Imam Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab tentang
Perempuan bekerja di luar rumah, Imam Ibnu Katsir lebih menekankan
perempuan yang sudah menikah untuk berada di rumahnya, kecuali keluar kalau
ada keperluan yang sangat mendesak. Berbeda halnya dengan M. Quraish
Shihab yang berpendapat bahwa perempuan boleh bekerja dan berkarir, dan
menjadi pemimpin diranah publik, Quraish Shihab berpendapat bahwasanya
perempuan yang sudah menikah tidak ada larangan untuk atau boleh bekerja
dalam berbagai bidang, di dalam atau di luar rumah, baik secara mandiri
maupun bersama orang lain dengan lembaga pemerintahan maupun swasta
dengan syarat menjaga harga diri dan norma-norma aturan Agama.
Penelitian di atas juga memiliki persamaan dan perbedaan dengan skripsi
ini. Persamaannya terletak pada adanya pembahasan secara sekilas tentang
hukum wanita yang bekerja diluar rumah. Yang membedakan dengan skripsi ini
pada fokus masalah, Penelitian pada pandangan M. Quraish Shihab yang
berpendapat bahwa perempuan boleh bekerja dan berkarir, dan menjadi
pemimpin diranah publik, Quraish Shihab berpendapat bahwasanya perempuan
yang sudah menikah tidak ada larangan dan boleh bekerja dalam berbagai
bidang di dalam atau di luar rumah. Sementara dalam penelitian ini secara
21
Jurnal yang ditulis Sanawiah, Hukum Perempuan Yang Sudah Menikah Bekerja Di
Luar Rumah Dalam Perspektif Islam”, dimuat dalam Jurnal Ittihad Kopertais Wilayah XI
Kalimantan.
15
khusus diarahkan pada pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī yang melarang
wanita Bekerja di Luar Rumah.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, dan masih banyak penelitian
lainnya yang bicara masalah wanita yang bekerja, maka terdapat perbedaan
mendasar dengan penelitian dalam skripsi ini. Penelitian sebelumnya memiliki
kesamaan khusus dalam hal pembahasan wanita bekerja di luar rumah, namun
berbeda dengan konteks kajiannya. Penelitian ini dalam konteks kajian
pemikiran Muhammad Ali al-Sabuni yang dianalisis dengan menggunakan teori
maṣlaḥah.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian sangat penting dalam sebuah penelitian, sebab
digunakan sebagai cara dan alat dalam perolehan data, sehingga penelitian
terarah pada objek yang dikaji. Pembahasan ini terdiri dari pendekatan
penelitian, jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, validitas
data, teknik analisis data, dan pedoman penulisan skripsi. Masing-masing
penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan atau bentuk perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini
yaitu pendekatan kualitatif, menurut Cresweell menjelaskan bahwa pendekatan
penelitian dengan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan
pengetahuan berdasarkan perspektif konstruktif (misalnya makna-makna yang
bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan
tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu). Cresweell juga
menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, pengetahuan dibangun
melalui interprestasi terhadap multi perspektif yang beragam.22
Jadi pendekatan
penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yang ditujukan untuk
22
Ajat Rukajat, Penelitian Pendekatan Kualitatif (Qualitative Research Approach),
(Yogyakarta: Deepublish CV Budi Utama, 2018), hlm. 5.
16
menganalisa terhadap pemikiran Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang hukum
wanita bekerja di luar rumah. .
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)
dengan metode kualitatif, yakni mengurai pembahasan penelitian berdasarkan
narasi ilmiah terkait dengan objek kajian dan fokus masalah. Penelitian
kepustakaan dimaksudkan yaitu meneliti bahan hukum primer berkaitan dengan
pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang hukum wanita bekerja di luar
rumah.
3. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua
kategori, yaitu:23
a. Data Primer, merupakan data pokok atau bahan utama penelitian yang
dapat memberikan informasi langsung terkait objek penelitian. Data
primer yaitu data pokok yang telah dikumpulkan dari pemikiran
Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang hukum wanita bekerja di luar rumah
terkait fokus penelitian.
b. Data Sekunder, merupakan data yang berfungsi sebagai tambahan.
Rujukannya yaitu berbagai bentuk literatur yang ada relevansinya
dengan objek penelitian. Data sekunder di sini disebut juga dengan data
kepustkaan, yaitu terdiri dari buku-buku, kitab-kitab fikih, jurnal, artikel
hukum, kamus hukum, dan literasi lainnya yang bersesuaian dengan
kajian penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data-data penelitian ini secara keseluruhan merujuk pada sumber
kepustakaan yang terdiri dari kitab-kitab fikih, tafsir, buku hukum, serta bahan
pustaka lainnya yang dapat memberi keterangan langsung maupun tidak
langsung terkait objek dan fokus masalah yang akan dikaji. Untuk itu, terhadap
23Ibid., hlm. 158.
17
sumber data kepustakaan tersebut, maka dapat digolongkan menjadi tiga bahan
data, yaitu sebagai berikut:
a. Bahan data primer, yaitu bahan data yang secara langsung memberi
informasi tentang pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī. Di antara rujukan
karyanya yang dipakai yaitu Kitab: Hadiyyah al-Afrāh li al-Arūsain al-
Zawāj al-Islām al-Mubakkir Sa’ādah wa Ḥasānah, Kitab: Ṣafwah al-
Tafāsir, dan Kitab: Rawā’i’ al-Bayān Tafsīr Āyāt al-Aḥkām. Rujukan
kitab Muḥammad Alī al-Ṣābūnī akan terus berkembang pada saat
dilakukannya penelitian.
b. Bahan data sekunder, yaitu bahan data yang dapat memberikan
keterangan terkait bahan data penelitian, di antara dirujuk dalam kitab
karangan Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh. Kitab
karangan Abdul Majid Mahmud Mathlub, al-Wajīz fī al-Aḥkām al-Usrah
al-Islāmiyyah. Kitab karangan Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Serta kitab
atau buku hukum lainnya yang dipandang relevan dengan kajian
penelitian ini.
c. Bahan data tersier yaitu bahan data ketiga berupa Kamus-Kamus
Hukum, Kamus Bahasa, Ensiklopedi Hukum Islam, Jurnal, Artikel, serta
bahan data lain yang dapat menambah dan memperjelas kajian
penelitian.
5. Validitas Data
Menurut Sugiyono Validitas data merupakan derajat ketepatan antara
data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dilaporkan oleh
peneliti.24
Jadi validitas data mempunyai kaitan yang sangat erat antara yang
sebenarnya dengan data penelitian yang ada dan dapat dipertanggungjawabkan
dan dapat dijadikan sebagai dasar yang kuat dalam menarik kesimpulan terkait
24
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Cet. 8, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm.
117.
18
penelitian ini yang berkaitan dengan pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī
tentang hukum wanita bekerja di luar rumah.
6. Teknik Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan dari ketiga sumber tersebut di atas,
kemudian dilakukan analisis dengan cara analisis-normatif, yaitu satu cara
analisis dengan menitikberatkan pada kajian norma hukum Islam dan teori-teori
terkait hukum Islam. Intinya, data yang telah dikumpulkan akan diurai
berdasarkan narasi ilmiah, kemudian pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī dikaji
berdasarkan teori-teori hukum Islam yang tersebar dalam kitab-kitab hukum
relevan.
7. Pedoman Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa, yang diterbitkan oleh Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2018.
Sedangkan terjemahan ayat al-Qur’an penulis kutip dari al-Qur’an dan
terjemahannya yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI Tahun 2017.
G. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini secara keseluruhan disusun atas empat bab, yaitu
pendahuluan, landasan teori, pembahasan dan hasil penelitian, serta penutup.
Masing-masing bab akan diurai beberapa sub bahasan yang dipandang relevan
dengan fokus penelitian. Masing-masing penjelasan sub bab tersebut dapat
diurai di bawah ini:
BAB SATU: Pendahuluan, tersusun atas latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan istilah, kajian
pustaka, metode penelitian, pendekatan penelitian, jenis penelitian, sumber data,
teknik pengumpulan data, validitas data, teknik analisis data, pedoman penulisan
skripsi, dan sistematika pembahasan.
19
BAB DUA: Kajian umum hak dan kewajiban wanita dalam konteks
hukum keluarga Islam. Bab ini tersusun atas pengertian hak dan kewajiban,
bentuk-bentuk hak wanita dalam perspektif keluarga islam dan dasar hukumnya,
pembagian tugas pria dan wanita dalam hukum keluarga Islam, teori maṣlaḥah,
terminologi maṣlaḥah, pendapat ulama tentang maṣlaḥah sebagai tujuan umum
syariat.
BAB TIGA: Analisis pandangan Muḥammad Alī al-Ṣābūnī tentang
hukum wanita bekerja di luar rumah: analisis menurut teori maṣlaḥah, berisi
tentang, biografi Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī, pandangan Muḥammad Alī al-
Ṣābūnī tentang hukum wanita bekerja di luar rumah, dalil dan metode istinbāṭ
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī dalam menetapkan hukum wanita bekerja di luar
rumah, serta pendapat Muḥammad Alī al-Ṣābūnī tentang hukum wanita bekerja
di luar rumah dalam perspektif teori maṣlaḥah
BAB EMPAT: Penutup yang berisi tentang ksimpulan dan saran.
20
BAB DUA
KAJIAN UMUM HAK DAN KEWAJIBAN WANITA DALAM
KONTEKS HUKUM KELUARGA ISLAM
A. Pengertian Hak dan Kewajiban
Term hak dan kewajiban cukup sering ditemukan dan dibahas baik
dalam isu hubungan seseorang dalam keluarga, maupun hak dan kewajiban yang
umum dalam konteks yang lebih luas, seperti hak dan kewajiban untuk dihargai
dan menghargai, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan pelayanan yang baik
berikut dengan kewajiban yang menyertainya. Kajian tentang hak dan kewajiban
juga sering ditelaah dalam konteks hubungan antara seorang pria dan wanita
dalam semua bidang. Untuk itu, penulis merasa perlu untuk mengungkap makna
hak dan kewajiban ini, baik dari sudut bahasa maupun istilah para ahli.
Secara bahasa, kata hak berasal dan diambil dari bahasa Arab, yaitu
ḥaqqun, atau dalam bahasa Arab ditulis “ حق”. Dalam “Lisān al-‘Arb”, Ibn
Manẓūr menyebutkan kata “ حق” kebalikan (antonim) kata dari al-bāṭil atau
dalam bahasa Arab ditulis “ الباطل”, bentuk jamaknya ada dua, yaitu “ ق وق atau ”ح
.”حقاق “1 Susunan kata “ حق” yaitu “حقق”, secara semantik terdiri dari beberapa
pengertian. Dalam “Kamus al-Munawwir”, kata “ حق” di antaranya dimaknai
nyata, pasti, tetap, menetapkan, wajib baginya, keadilan, layak, pantas, atau
patut.2 Dalam bahasa Inggris diartikan sebagai to be true, to be correct, to be
right, truth, correctness, rightness, masing-masing kata tersebut memiliki arti
1Ibn Manẓūr al-Ifrīqī al-Anṣārī, Lisān al-‘Arb, Juz’ 11, (Kuwait: Dār al-Nawādir,
2010), hlm. 332: Lihat juga dalam, Abd al-Karīm Zaidān, al-Mafaṣṣal fī Aḥkām al-Mar’ah wa
al-Bait al-Muslim fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, Juz’ 4, (Bairut: Mu’assasah al-Risālah, 1993),
hlm. 147. 2A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007), hlm. 282-283.
21
sama, yaitu benar atau menjadi benar.3 Jadi, kata hak atau “ حق” dalam bahasa
Arab berarti benar, sesuatu yang tidak dapat diingkari, pasti atau patut.
Menurut al-Jurjānī dan al-Barkatī, “ حق” secara bahasa berarti:
.الذي ل يسوغ إنكاره هو الثابت
“ Ia merupakan ketetapan yang tidak ada alasan untuk mengingkarinya”.
Menurut terminologi, terdapat banyak rumusan, di antaranya disebutkan
oleh al-Zuḥailī, seperti diikutip oleh Ghazaly dan kawan-kawan, bahwa hak
adalah suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syarak. Masih dalam kutipan
yang sama, al-Khalif mendefinisikan hak sebagai kemaslahatan yang diperoleh
secara syarak.5 Definisi lainnya dikemukakan oleh al-Zarqā, menurutnya hak
dalam makna umum adalah:
.هو إختصاص ي قرر به الشرع سلطة أو تكليفا
“ Ia adalah kekhususan yang ditetapkan oleh syarak atas suatu kekuasaan
atau pembebanan”.
Dalam pengertian lain, Fathi al-Duraini dikutip oleh Moneb, menyatakan
bahwa hak merupakan suatu kekhususan kekuasaan terhadap sesuatu atau
keharusan penunaian terhadap orang lain, untuk memenuhi kemaslahatan
tertentu.7 Subhan menyatakan bahwa hak adalah sesuatu yang mutlak yang
3Hans Wehr, A Dictionary of Modern, (New York: SLS, 1976), hlm. 191-192.
4Lihat, Muḥammad ‘Amīm al-Barkatī, al-Ta’rīfāt al-Fiqhiyyah, (Bairut: Dār al-Kutb al-
‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 80: Juga diulas dalam, Alī bin Muḥammad al-Jurjānī, Mu’jam al-Ta’rīfāt,
(Tp: Dār al-Faḍīlah, 2004), hlm. 79. 5Abd Rahman Ghazaly, dkk., Fiqh Muamalat, Cet. 4, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2015), hlm. 46: Pengertian al-Zuḥailī tersebut juga cenderung sama seperti definisi yang
dikemukakan oleh Mardani. Lihat, Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Cet. 2,
(Jakarta: Kencana Prenada Mdia Group, 2013), hlm. 66. 6Muṣṭafā Aḥmad al-Zarqā, al-Madkhal ilā Naẓariyyah al-‘Iltizām al-Āmmah fī al-Fiqh
al-Islāmī, (Damaskus: Dār al-Qalam, 1999), hlm. 19. 7Mohammad Moneb dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam
Pandangan Nurcholish Madjid, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 44.
22
menjadi milik yang penggunaannya tergantung pada diri sendiri, seperti hak
untuk mendapatkan pendidikan, hak berpendapat dan lainnya.8 Berdasarkan
beberapa rumusan tersebut, dapat dipahami bahwa hak berkaitan langsung
dengan kekuasaan untuk memiliki sesuatu. Jadi, hak merupakan kebenaran yang
ditetapkan syarak menyangkut kekuasaan atas sesuatu.
Makna hak di atas tampak masih umum, dan mencakup untuk semua
hukum, baik muamalah, jinayat termasuk hak-hak dalam keluarga yang
berkaitan dengan hak suami-isteri. Secara khusus, hak yang dimaksud di sini
adalah hak dalam hubungan suami isteri dalam sebuah keluarga. Meminjam
pendapat Amir Syarifuddin, hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang
(suami atau isteri) dari orang lain (suami atau isteri). Dalam hubungan suami-
isteri dalam rumah tangga, suami mempunyai hak dan begitu juga isteri
mempunyai hak.9 Pendapat ini barangkali sama seperti yang disebutkan oleh al-
Sarṭāwī. Menurutnya, di dalam hubungan akad nikah, sepasang suami isteri
menurut hukum syarak ditetapkan hak-hak untuk dapat dipenuhi antara satu
dengan yang lain. Ada hak bersama ada pula hak masing-masing suami isteri.10
Jadi, hak dalam konteks kajian ini adalah hak yang dimiliki oleh suami atau
isteri dalam sebuah keluarga yang wajib dipenuhi oleh masing-masing keduanya
terhadap pasangannya.
Istilah kedua yang berbarengan dengan kata hak adalah kewajiban. Kata
kewajiban merupakan bentuk derivatif dari kata wajib, merupakan satu istilah
yang diserap dari bahasa Arab “ ب جو ” dengan derivasi kata “ –وجب وبا ج ا–وجباا–و وجيبا ”,
8Zaitunah Subhan, Alquran dan Perempuan: Menujuk Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 87. 9Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama, Cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2014), hlm. 159. 10
Maḥmūd ‘Alī al-Sarṭāwī, Syarḥ Qānūn al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah, (Aman: Dār al-Fikr,
2007), hlm. 93: Lihat juga dalam, Sālim bin Abd al-Ghanī al-Rāfi’ī, Aḥkām al-Aḥwāl al-
Syakhṣiyyah li Muslimīn fī al-Gharb, (Bairut: Dār Ibn Ḥazm, 2002), hlm. 428-230.
23
dan bentuk jamaknya “ وب ج .berarti mesti, tetap, dan wajib ”و 11
Menurut al-Ḥayy,
kata wajib secara bahasa kadangkala diartikan sebagai al-suquṭ atau jatuh dan
roboh. Bisa pula dimaknai sebagai “al-tsubut” atau “al-istiqrār”, artinya yaitu
menetap.12
Hal ini seperti dalam pemaknaan istilah “wajabat al-syams”, artinya
bila matahari mulai turun, atau dalam kalimat lain “wajaba al-ha’iṭ”, artinya
dinding telah roboh. Pemaknaan ini menurutnya sama dengan yang digunakan
dalam QS. al-Ḥajj ayat 36:
ئر ٱلله لكم فيها خير ها لكم من شع عليها ٱلله ٱسم فٱذكروا وٱلبدن جعلنعت ر ٱلقانع وأطعموا منها فكلوا جنوب ها وجبت فإذا صواف
لك وٱلم ا كذ سخرن
.تشكرون لعلكم لكم
“ Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi´ar
Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah
olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri
(dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada
padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.
Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu,
mudah-mudahan kamu bersyukur”. (QS. al-Ḥajj: 36).
Sementara menurut istilah, wajib berarti (sesuatu) yang digantungkan
mengenai ketetapan dengan suatu tindakan orang-orang mukallaf.13
Dalam ilmu
Ushul Fikih, kata wajib sering didefinisikan sebagai suatu tuntutan syarak yang
mesti dilakukan oleh orang mukallaf. Hal ini dapat dipahami dari keterangan al-
Zuḥailī. Menurutnya, wajib adalah apa saja yang dituntut oleh syariat untuk
dilaksanakan dengan tuntutan yang bersifat harus.14
Definisi yang lebih rinci
dikemukakan oleh al-Khallāf, yaitu:
11
Munawwir, Kamus..., hlm. 1537: Wizārah al-Auqāf, Mausū’ah al-Fiqhiyyah, Juz’ 42,
(Kuwait: Wizārah al-Auqāf, 1995), hlm. 368. 12
Abd al-Ḥayy Abd al-Al, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, (Terj: Muhammad Misbah), (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2014), hlm. 72. 13
Wizārah, Mausū’ah..., Juz’ 42, hlm. 368. 14
Muḥammad al-Zuḥailī, al-Mu’tamad fī Fiqh al-Syāfi’ī, (Terj: M. Hidayatullah), Jilid
1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2018), hlm. xvi.
24
الواجب شرعا هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا حتما بأن اقترن طلبه .بما يدل على تحتيم فعله
“ Wajib menurut syarak adalah sesuatu yang dituntut oleh syari’ untuk
dikerjakan oleh mukallaf dengan perintah wajib, yang dengan ketentuan
perintah tersebut harus dilakukan sesuai dengan petunjuk kewajiban
melakukannya”.
Menurut Subhan, kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan
penuh rasa tanggung jawab.16
Hubungannya dengan kedudukan suami isteri
dalam rumah tangga, kewajiban adalah sesuatu yang mesti ditunaikan oleh
seorang suami terhadap isteri atau oleh isteri terhadap suaminya.17
Jadi, dapat
dipahami bahwa kewajiban adalah sesuatu yang mesti dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain, sebab ada tuntutan syariat di dalamnya. Hubungannya
dengan kewajiban suami isteri, maka istilah kewajiban di sini diartikan sebagai
sesuatu yang wajib dilakukan dan dipenuhi oleh suami atau isteri kepada
masing-masing keduanya berdasarkan adanya petunjuk syarak.
Bertolak dari uraian di atas, juga mengacu pada kekhususan pembahasan
tentang hak dan kewajiban wanita dalam hukum keluarga, maka maksud hak
dan kewajiban di sini adalah sesuatu yang mesti diterima oleh seorang wanita
dari keluarganya, serta sesuatu yang wajib ditunaikannya terhadap keluarganya
dalam batasan-batasan yang ditetapkan oleh hukum syarak. Penegasan hukum
syarak di sini ditujukan pada hukum-hukum yang ditetapkan dalam Alquran,
hadis, serta pendapat para ulama terhadap dalil-dalil yang dimaksudkan.
15
Abd al-Wahhāb al-Khallāf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, (Terj: Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib),
Edisi Kedua, (Semarang: Dina Utama, 2014), hlm. 182. 16
Subhan, Alquran..., hlm. 87. 17
Syarifuddin, Hukum..., hlm. 159.
25
B. Bentuk-Bentuk Hak Wanita dalam Perspektif Keluarga Islam dan Dasar
Hukumnya
Istilah hak wanita yang dimaksudkan di sini adalah wanita yang telah
bersuami dan statusnya sebagai isteri. Hal ini linier dengan penjelasan istilah
yang telah penulis urai terdahulu pada Bab I. Perkawinan sebagai perbuatan
hukum antara suami dan isteri untuk merealisasikan ibadah kepada Allah Swt.,
yang menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Karena
tujuan perkawinan begitu mulia, yakni membina keluarga bahagia, kekal dan
abadi, berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, maka perlu diatur hak dan
kewajiban suami-isteri masing-masing. Apabila hak dan kewajiban masing-
masing suami dan isteri terpenuhi, maka dambaan suami isteri dalam bahtera
rumah tangganya akan dapat terwujud, di dasari rasa cinta dan kasih sayang.18
Wanita merupakan satu individu yang melekat padanya hak-hak yang
harus diterima sebagaimana juga berlaku pada seorang pria. Wanita dalam Islam
sebetulnya harus diperlakukan sama seperti pria dalam beberapa hal, seperti hak
untuk hidup, berpendapat, hak agar dihargai, mendapat kasih sayang, hak untuk
mendapat nafkah bagi wanita yang sudah berkeluarga, hak untuk mendapat
pendidikan, hak untuk mendapat perlakuan baik dari suami.
Islam sebagai sebuah agama telah memberikan beberapa informasi
hukum tentang adanya hak yang melekat pada diri wanita. Kedudukan hak yang
dimaksud sama dan seimbang sesuai dengan kedudukan hak pria. Hal ini telah
diakui secara eksplisit dalam Alquran maupun hadis sebagai sumber rujukan
utama hukum Islam. Untuk lebih memudahkan dalam memahami dasar hukum
hak wanita, penulis merasa perlu untuk membuat dalam tiga kategorisasi hak-
hak yang umum yang mesti diperoleh wanita dalam konteks keluarga Islam.
Masing-masing dapat disarikan dalam poin-poin berikut:
18
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi, Cet. 2, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2015), hlm. 147.
26
1. Hak Mahar
Hak wanita yang telah berkeluarga, atau disebut juga isteri memiliki hak
mendapatkan mahar yang wajib dipenuhi seorang pria selaku suaminya. Mahar
atau maskawin, atau dalam fikih disebut dengan ṣadāq, niḥlah, atau farīḍah,19
merupakan “pemberian wajib” yang harus ditunaikan suami terhadap isterinya,
dan kedudukan “pemberian wajib” tersebut bagi isteri adalah sebagai haknya.
Mahar di sini menurut Hamid Sarong sebagai bentuk simbol kesanggupan suami
untuk memikul kewajiban-kewajibannya selaku suami dalam hidup perkawinan
yang akan memantapkan dan ketrentraman hati isteri.20
Jadi, mahar adalah hak
pertama dalam wujud harta benda, atau bisa juga dalam bentuk lain sesuai
syariat yang wajib ditunaikan suami kepada isterinya.
Cukup banyak sebaran dalil hak wanita atas mahar. Di antaranya adalah
QS. al-Baqarah [2] ayat 236:
ل جناح عليكم إن طلقتم ٱلنساء ما ل تسوهن أو تفرضوا لن فريضة وسع على ومت عوهن
قتر وعلى ۥقدره ٱلم
عا ۥقدره ٱلم عروف مت
على حقا بٱلم
حسني .ٱلم
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan
suatu mut´ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. al-Baqarah [2]:
236).
19
HMA. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Cet. 4, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 36: Secara bahasa, mahar berarti jujur atau lawan
dari dusta. Pemaknaan ini diambil dari istilah ṣadāq, hal ini menunjukkan sebagai bukti
kejujuran dan kesungguhan dari suami terhadap isterinya. Menurut istilah, mahar adalah harta
yang wajib ditunaikan suami terhadap isteri disebabkan akad nikah. Lihat, Mabrūk al-Aḥmadī,
dkk., al-Fiqh al-Muyassar, (Terj: Izudin Karimi), Cet. 3, (Jakarta: Darul Haq, 2016), hlm. 481:
Sayyid Sālim, Fiqh al-Sunnah li al-Nisā’, (Jakarta: Qisthi Press, 2013), hlm. 512. 20
A.Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3, (Banda Aceh:
Yayasan PeNA, 2010), hlm. 95.
27
Najieh mengemukakan dalil utama mahar megacu pada QS. al-Nisā’ [4]
ayat 4:21
.ا مري ا هني فكلوه نفسا منه ن طبن لكم عن شيء فإ وءاتوا ٱلنساء صدقتهن نلة Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya. (QS. al-Nisā’ [4]: 4).
Kemudian ketentuan QS. al-Nisā’ [4] ayat 20-21:
شيا منه تأخذوا فل اهن قنطار إحدى وءاتيتم زوج مكان وإن أردت ٱستبدال زوج بعض إل بعضكم أفضى وقد ۥتأخذونه وكيف . مبينا وإثما بتنا ۥأتأخذونه
.غليظا ميثقا منكم وأخذن
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
(QS. al-Nisā’ [4]: 20-21.
Kemudian ketentuan QS. al-Nisā’ [4] ayat 24:
حصنت من ٱلنساء إل ما ملكت أينكم كتب ٱلله عليكم وأحل لكم ما وٱلمفحي فما ٱستمتعتم به ور صني غير مس لكم م لكم أن تبت غوا بأمو منهن ۦاء ذ إن ٱلفريضة بعد من بۦه ت رضيتم فيما عليكم جناح ول اتوهن أجورهن فريضة ف
.حكيما عليما كان ٱلله Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
21
Abu Ahmad Najieh, Fikih Mazhab Syafi’i, Cet. 2, (Bandung: Marja, 2018), hlm. 621.
28
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (QS. al-Nisā’ [4]: 24).
Empat ayat di atas cukup memberi gambaran sekaligus indikasi hukum
bahwa mahar masuk dalam salah satu kewajiban yang harus ditunaikan suami
dan mahar tersebut menjadi hak bagi isterinya. Dasar hukum lainnya mengacu
pada ketentuan hadis, di antaranya riwayat al-Bukhārī:22
عت سهل بن ث نا سفيان سعت أبا حازم ي قول س ث نا علي بن عبد الله حد حدالساعدي ي قول إن لفي القوم عند رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ سعد
قامت امرأة ف قالت يا رسول الله إن ها قد وهبت ن فسها لك ف ر فيها رأيك ف لم ها شيئا ث قامت ف ق الت يا رسول الله إن ها قد وهبت ن فسها لك ف ر فيها يب
ها شيئا ث قامت الثالثة ف قالت إن ها قد وهبت ن فسها لك ف ر رأيك ف لم يب حنيها قال هل عندك من شيء فيها رأيك ف قام رجل ف قال يا رسول الله أنك
قال ل قال اذهب فاطلب ولو خاتا من حديد فذهب فطلب ث جاء ف قال ما وجدت شيئا ول خاتا من حديد ف قال هل معك من القرآن شيء قال معي
.ذا وسورة كذا قال اذهب ف قد أنكحتكها بما معك من القرآن سورة ك
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah Telah menceritakan
kepada kami Sufyan Aku mendengar Abu Hazim berkata; Aku
mendengar Sahl bin Sa'd As Sa'idi berkata; Aku pernah berada di tengah-
tengah suatu kaum yang tengah berada di sisi Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, tiba-tiba berdirilah seorang wanita seraya berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah menyerahkan dirinya untuk
Anda, karena itu berilah keputusan padanya." Namun beliau tidak
memberi jawaban apa pun, kemudian wanita itu pun berdiri dan berkata
22
Muṣṭafā Dib al-Bughā, al-Tahżīb fī Adillah Matn al-Ghāyah wa al-Taqrīb, Cet. 2,
(Jakarta: Mizan Pustaka, 2017), hlm. 389. 23
Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Riyadh: Bait al-Afkār al-Dauliyyah Linnasyr,
1998), hlm. 1020.
29
lagi, "Wahai Rasulullah, sesungguh ia telah menyerahkan dirinya untuk
Anda, karena itu berilah putusan padanya." Ternyata ia belum juga
memberi putusan apa-apa. Kemudian wanita itu berdiri lagi pada kali
yang ketiga seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah
menyerahkan dirinya untuk Anda, karena itu berilah keputusan
padanya." Maka berdirilah seorang laki-laki dan berkata, "Wahai
Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya." Beliau pun bertanya: "Apakah
kamu memiliki sesuatu (untuk dijadikan mahar)?" laki-laki itu
menjawab, "Tidak." Beliau bersabda: "Pergi dan carilah sesuatu
meskipun hanya cincin dari emas." Kemudian laki-laki itu pergi dan
mencari sesuatu untuk mahar, kemudian ia kembali lagi dan berkata,
"Aku tidak mendapatkan apa-apa, meskipun hanya cincin dari emas."
Lalu beliau bertanya: "Apakah kamu mempunyai hafalan Al Qur`an?"
laki-laki itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan ini." Akhirnya beliau
bersabda: "Pergilah, telah menikahkanmu dengan wanita itu dan
maharnya adalah hafalan Al Qur`anmu. (HR. al-Bukhārī).
Kemudian, ditemukan juga dalil hadis riwayat Abī Dāwud sebagai
berikut:
ث نا ث نا حاد عن ثابت الب نان وحيد عن أنس أن حد موسى بن إسعيل حدالله عليه وسلم رأى عبد الرحن بن عوف وعليه ردع زعفران رسول الله صلى
ف قال النب صلى الله عليه وسلم مهيم ف قال يا رسول الله ت زوجت امرأة قال ما .ذهب قال أول ولو بشاة أصدق ت ها قال وزن ن واة من
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan
kepada kami Hammad dari Tsabit Al Bunani, serta Humaid dari Anas
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat Abdurrahman bin
'Auf padanya terdapat bekas minyak za'faran. Kemudian Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berkata: "Apakah ini?" Lalu ia berkata; wahai
Rasulullah, aku telah menikahi seorang wanita. Beliau berkata: "Mahar
apakah yang telah engkau berikan kepadanya?" Ia berkata; emas sebesar
biji kurma. Beliau berkata: "Rayakanlah (adakanlah walimah) walaupun
hanya dengan menyembelih satu ekor kambing. (HR. Abī Dāwud).
Dua dalil hadis di atas juga memberi indikasi dan informasi hukum
tentang hak mahar isteri yang wajib ditunaikan oleh suaminya. Selain ayat
24
Abī Dāwud Sulaimān bin al-Asy’aṡ al-Sajastānī, Sunan Abī Dāwud, (Riyadh: Bait al-
Afkār al-Dauliyyah Linnasyr, 1420 H), hlm. 240.
30
Alquran dan hadis, dalil ketiga adalah ijmak ulama. Para ulama telah sepakat
bahwa mahar adalah hak isteri yang wajib diberikan oleh suaminya. Imām al-
Qurṭubī dalam menafsirkan QS. al-Nisā’ [4] ayat 4, berpedapat bahwa ayat
tersebut menunjukkan wajibnya mahar diberikan untuk wanita, dan hal ini telah
disepakati oleh para ulama, dan tidak ada perselisihan di dalamnya.25
Ibn Ḥazm
dan Ibn Munżir menyebutkan ulama sepakat bahwa mahar merupakan hak isteri
yang wajib diberikan suami. Mahar yang dimaksud boleh juga dengan hafalan
ayat Alquran. Mahar boleh sedikit atau banyak.26
Ibn Qudāmah, dari kalangan
Ḥanabilah menyebutkan bahwa mahar disyariatkan di samping atas dasar dalil
Alquran, sunnah, juga berdasarkan ijmak kaum muslimin.27
Keterangan lainnya
dikemukakan oleh al-Māwardī, dari kalangan al-Syāfi’iyyah. Menurutnya, wajib
mahar itu ditetapkan berdasarkan kitab (Alquran), sunnah, dan ijmak ulama.
Para ulama sepakat bahwa mahar merupakan hak bagi isteri.28
2. Hak Nafkah
Term nafkah berasal dari bahasa Arab, yaitu nafqah “ نفقة”. Kata tersebut
diambil dari kata dasar na-fa-qa “نفق”, secara bahasa berarti habis atau
berkurang. Menurut al-Jazīrī, kata nafkah secara bahasa berarti mengeluarkan
dan pergi. Kata نفق tersebut sama polanya (wazan/timbangan) seperti kata دخل
dengan bentuk maṣdar (noun atau kata benda) yaitu nufūq “ ن ف وق” dan sama seperti
25
Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz’ 6, (Bairut: Mu’assasah al-
Risālah, 2006), hlm. 44: Keterangan tersebut juga diulas dalam, Sayyid Sālim, Fiqh..., hlm. 513:
Lihat juga, Imād Zakī al-Barūdī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm li al-Nisā’, (Terj: Tim Penerjemah
Pena), Jilid 1, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013), hlm. 360. 26
Ibn Ḥazm, Marātib al-Ijmā’, (Bairut: Dār Ibn Ḥazm, 1998), hlm. 116 dan 123: Lihat
juga, Ibn Munżir, al-Iqnā’, (Riyad: al-Tijāriyyah, 1408 H), hlm. 300-302. 27
Ibn Qudāmah, al-Mughnī Syarḥ al-Kabīr, Juz’ 8, (Bairut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī,
1983), hlm. 3. 28
Abī al-Ḥasan al-Māwardī, al-Ḥāwī al-Kabīr fī Fiqh Mażhab al-Imām al-Syāfi’ī, Juz’
9, (Bairut: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1994), hlm. 390-392.
31
kata dukhūl “ ول خ .”د 29
Persamaan pola antara kedua kata tersebut karena masing-
masing memiliki tiga huruf, sehingga dalam sudut ilmu ṣaraf (ilmu tentang asal
kata dan perubahan kata dalam bahasa Arab) kedua kata tersebut memiliki pola
dan bentuk perubahan kata yang sama. Berbeda dengan sebelumnya, Wahbah
al-Zuḥailī justru melihat asal kata nafkah yaitu نفقا , bukan نفق.30
Menurut terminologi, rumusan definisi nafkah cukup banyak ditemukan,
di antaranya seperti yang disebutkan oleh al-Jazīrī. Menurutnya, nafkah secara
istilah adalah beban yang dikeluarkan seseorang terhadap orang yang wajib
dinafkahi, berupa roti, lauk pauk, pakaian, tempat tinggal dan hal-hal yang
terkait dengannya seperti dana untuk air, minyak, lampu dan lainnya.31
Dalam
pengertian ini, pihak yang memberi nafkah tidak disebutkan secara tegas, sebab
hanya ditujukan kepada seseorang, baik ia suami terhadap isterinya, maupun
ayah kepada anak-anaknya. Namun, pengertian tersebut cenderung diarahkan
pada maksud nafkah suami terhadap isteri. Hal ini juga dapat dipahami dari
pendapat Amir Syarifuddin. Ia menyebutkan, kata nafkah dalam kaitan dengan
hubungan perkawinan berarti sesuatu yang dikeluarkan dari harta (suami) untuk
kepentingan isterinya.32
Makna nafkah khusus dari suami terhadap isteri
barangkali karena ketiga jenis nafkah tersebut (makanan, pakaian, dan tempat
tinggal) merupakan bentuk-bentuk yang harus diterima oleh isterinya.
Definisi lainnya disebutkan oleh al-Zuḥailī. Menurut-nya, nafkah adalah
kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian dan tempat
tinggal. Makanan yang dimaksud meliputi roti, lauk pauk dan lain sebagainya.
Pakaian yaitu sesuatu yang biasa dipakai dan menutup aurat, adapun tempat
29
Abdurraḥmān al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-Arba’ah, (Terj: Faisal Saleh), Jilid
5, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2017), hlm. 1069: Lihat juga, Munawwir, Kamus..., hlm.
1449: Syarifuddin, Hukum..., hlm. 165. 30
Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, (Terj: Abdul Hayyie al-Kattani
dkk), Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), hlm. 94. 31
Al-Jazīrī, al-Fiqh..., hlm. 1069. 32
Syarifuddin, Hukum..., hlm. 165.
32
tinggal termasuk di dalamnya rumah, perhiasan, alat pembersih, perabotan, dan
lain sebagainya.33
Rumusan ini juga cenderung sama seperti pengertian
sebelumnya. intinya, nafkah berkaitan dengan beban wajib yang ditanggung
oleh seseorang khususnya suami kepada orang yang wajib dinafkahi (kepada
isterinya) berupa tiga jenis nafkah yaitu makanan (pangan), pakaian (sandang)
dan tempat tinggal (papan).
Memberi nafkah kepada isteri merupakan kewajiban suami meliputi
makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya serta hal-hal
yang berkaitan dengan kemaslahatan isteri.34
Dengan demikian, dapat diketahui
bahwa nafkah isteri yang wajib dipenuhi oleh suami ada tiga bentuk, yaitu
pangan berupa makanan dan minuman, sandang berupa pakaian yang layak,
serta papan berupa tempat tinggal yang layak dan patut untuk didiami. Masing-
masing dari tiga macam nafkah isteri tersebut dapat diuraikan kembali sebagai
berikut:
a. Pangan
Salah satu dalil nafkah pangan mengacu pada ketentuan QS. al-
Nisā’ [4] ayat 34:
مون على ٱلنساء بما فضل ٱلله بعضهم على بعض من أنفقوا وبماٱلرجال ق ولم ت أمو لح فظت قنتت فٱلص نشوزهن تافون وٱلت ٱلله حفظ بما للغيب ح
ضاجع ف وٱهجروهن فعظوهن فل تبغوا عليهن أطعنكم فإن وٱضربوهن ٱلم
.كبيرا اسبيل إن ٱلله كان علي
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
33
Al-Zuḥailī, al-Fiqh..., hlm. 94. 34
Abdullāh al-Tuwaijīrī, Mukhtaṣar al-Fiqh al-Islāmī, (Terj: Achmad Munir Badjeber,
dkk), Cet. 23, (Jakarta: Darus Sunnah, 2015), hlm. 1078: Bandingkan dengan, Muh. Hanbali,
Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari dari Kandungan Hingga Kematian, (Yogyakarta: Laksana,
2017), hlm. 429.
33
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
(QS. al-Nisā’ [4]: 34).
Term pangan dalam pembahasan ini berupa sesuatu yang sifatnya
dimakan atau diminum. Dalam literatur fikih, nafkah pangan sering
disebut dengan aṭ’amun “أ طعم”. Ada juga yang menyebutkan nafkah
pangan dengan istilah “nafkah” saja. Kata nafkah digunakan untuk
menamakan makanan yang wajib diberikan kepada isteri.35
Nafkah
pangan ini pada dasarnya berhubungan dengan segala sesuatu yang
dimakan, misalnya nasi, roti, kue, gandum, dan makanan lainnya,
termasuk di dalamnya jenis minum-minuman.
Menurut al-Zuḥailī, termasuk dalam makna makanan adalah roti,
lauk pauk, minuman, cuka, minyak dan sejenisnya.36
Jadi, nafkah pangan
untuk isteri harus berupa makanan yang baik dan boleh di makan secara
hukum. Nafkah pangan dalam konteks fikih bukanlah nafkah pangan
yang belum matang, belum siap diminum, belum siap makan/siap santap.
Tetapi, nafkah pangan di sini adalah semua makanan dan minuman yang
sudah siap saji, isteri tidak harus memasaknya terlebih dahulu. Isteri
dalam hal ini tidak ada kewajiban untuk memasak nasi, membuat kue
dan lainnya.37
Sebab, nafkah pangan bagi isteri adalah makanan yang
35
Lihat, Aḥmadī, dkk., al-Fiqh..., hlm. 488. 36
Al-Zuḥailī, al-Fiqh..., Jilid 10, hlm. 94 dan 119. 37
Dalam konteks nafkah pangan isteri, memang ada pendapat yang tidak mengharuskan
makanan siap saji, tetapi boleh juga yang belum siap saji. Dalam kondisi makanan yang belum
siap saji, isterilah yang bertugas untuk memasaknya. Pendapat ini didasari oleh karena Nabi
Muhammad saw., dalam salah satu riwayat telah menentukan tugas-tugas antara Ali ra dengan
Fatimah ra. Ali diberi tugas untuk bekerja di luar mengahsilkan nafkah, sementara Fatimah
berkerja di dalam rumah, termasuk di dalamnya memasak apa-apa yang telah diberikan suami
apabila memang belum dimasak. Pendapat ini dipegang oleh Ibn Habib, Ibn Qayyim, Abdul
Majid, al-Sabuni, dan ulama lain. Pendapat Ibn Habib dan Ibn Qayyim dapat ditemukan dalam,
34
secara keseluruhan harus siap saji, siap makan atau siap untuk diminum.
Mencermati uraian di atas, barangkali membawa pada satu pemahaman
bahwa nafkah pangan isteri merupakan kewajiban yang ditetapkan
berdasarkan syariat, hadir berdasarkan rujukan nas lantaran keterikatan
pernikahanlah yang menjadi sebab timbulkan kewajiban nafkah tersebut.
b. Sandang
Dalil nafkah sandang mengacu pada ketentuan hadis riwayat Abī
Dāwud dari Hakim:
الله ما حق زوجة عن حكيم بن معاوية القشيري عن أبيه قال ق لت يا رسول أحدنا عليه قال أن تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا اكتسيت أو اكتسبت ول تضرب الوجه ول ت قبح ول ت هجر إل ف الب يت قال أبو داود ول ت قبح أن
ق بحك الله ت قول .
“ Dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya, ia berkata; aku
katakan; wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang diantara kami
atasnya? Beliau berkata: "Engkau memberinya makan apabila engkau
makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah
engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan
perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma’ād fī Hadyi Khair al-‘Ibād, (Terj: Masturi Irham, dkk),
Jilid 5, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), hlm. 199-203: Pendapat Abdul Majid dapat dilihat
dalam, Abd al-Majīd Maḥmūd Maṭlūb, al-Wajīz fī Aḥkām al-Usrah al-Islāmiyyah, (Terj: Harits
Fadly dan Ahmad Khotib), (Jakarta: Era Intermedia, 2005), hlm. 294-295: Sementara pendapat
al-Sabuni dapat dilihat dalam, Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, Hadiyyah al-Afrāh li al-Arūsain al-
Zawāj al-Islām al-Mubakkir Sa’ādah wa Ḥasānah, (Terj: Ikhlah Muzayyanah Djunaedi). Cet. 6,
(Jakarta: Mustaqim, 2004), hlm. 349. 38
Abī Dāwud, Sunan..., hlm. 243: Ibn Qayyim menyatakan, lafaz “وها pada hadis ”وتكس
tersebut sama artinya dengan lafaz “ذاكتسبت Hal ini sama hukumnya .(apabila kamu berpakaian) ”ا
memberi makan dengan makanan yang sama sebagaimana makanan suami. Dalil hadis tersebut
juga memberi indikasi hukum wajib suami untuk memberi makan dan pakaian isterinya sesuai
dengan kadar kesanggupan suami. Lihat, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, ‘Aun al-Ma’būd Syarḥ
Sunan Abī Dāwud, Juz 6, (Madinah: Maktabah al-Salafiyyah, 1968), hlm. 180: Yusuf al-
Qaradhawi menyebutkan larangan menampar wajah adalah salah satu yang harus diperhatikan
suami. Suami dilarang menampar karena akan merendahkan martabat isteri, di samping wajah
adalah simbol dari kecantikan seorang wanita. Kendatipun harus menampar, maka tamparan
tersebut tidak melukai, menyakiti apalagi mematikan. Lihat, Yusuf al-Qaradhawi, al-Ḥalāl wa
al-Ḥarām fī al-Islām, (terj: M. Tatam Wijaya), (Jakarta: Qalam, 2017), hlm. 307.
35
rumah." Abu Daud berkata; dan janganlah engkau menjelek-jelekkannya
(dengan perkataan atau cacian) dengan mengatakan; semoga Allah
memburukkan wajahmu”. (Abī Dāwud).
Istilah sandang dalam pengertian ini adalah berupa pakaian yang
layak untuk dipakai isteri dan sesuai dengan nilai-nilai yang Islami.
Nafkah sandang adalah salah satu yang wajib dipenuhi suami terhadap
isteri. Berdasarkan hadis riwayat Abī Dāwud dari Hakim telah dikutip
sebelumnya, jelas kiranya memberi pemahaman bahwa suami wajib
untuk memberi pakaian kepada isteri di samping wajib memberikan
nafkah pangan.
Wahbah al-Zuḥailī menyatakan nafkah sandang meliputi pakaian
yang dapat menutup aurat. Penetapan ukuran atau kadar nafkah sandang
bukanlah berdasarkan dalil syarak, tetapi lebih kepada keputusan hakim
dan disesuaikan dengan kondisi ekonomi suami. Apabila suami kaya,
maka nafkah sandang isteri adalah dari bahan yang halus dan bagus,
sedangkan bagi suami yang miskin boleh dari kain yang kasar. Termasuk
dalam cakupan nafkah sandang adalah kain, kerudung, jilbab, celana
(termasuk celana dalam dan luar), sandal, sepatu dan sejenisnya.39
Intinya, nafkah sandang adalah segala sesuatu yang dipakai. Pemenuhan
nafkah sandang ini dikondisikan sesuai dengan tingkat ekonomi suami.
c. Papan
Dalil nafkah papan mengacu pada QS. al-Ṭalāq [65] ayat 6:
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ول تضاروهن لتضي قوا عليهن وإن كن عن لكم ف ئتوهن أجورهن أرض فإن حلهن يضعن حت عليهن فأنفقوا أولت حل
.أخرى ۥله فسترضع ت عاسرت وإنوأتروا بينكم بمعروف
“ Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang
39
Al-Zuḥailī, al-Fiqh..., Jilid 10, hlm. 94 dan 123.
36
sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya”.40
Term papan dalam bahasan ini dapat diartikan sebagai tempat
tinggal. Tempat tinggal adalah kebutuhan pokok yang mau tidak mau
wajib dipenuhi, tidak hanya untuk orang yang wajib dinafkahi tetapi juga
wajib dipenuhi untuk diri sendiri. Dengan adanya tempat tinggal yang
layak, tentu pemeliharaan anggota keluarga relatif lebih dapat dipenuhi
ketimbang tempat tinggal yang tidak layak. Boleh jadi tempat tinggal
yang layak tersebut adalah rumah sewa. Bolehnya seorang suami
menyewa rumah karena dalam sudut fikih, nafkah papan bukanlah
diukur dari kepemilikannya, tetapi manfaatnya. Hal ini berbeda dengan
nafkah pangan dan sandang, yang keduanya harus dimiliki di samping
mempunyai manfaat.
Al-Jazīrī menguraikan empat pendapat ulama dalam masalah ini
dengan rinci. Poin inti yang disampaikan adalah nafkah papan yang
wajib diterima isteri adalah berupa tempat tinggal dan segala
perlengakapannya. Bagi suami yang mampu, maka tempat tinggal
tersebut haruslah yang bagus, nyaman, adanya kelengkapan perabot
rumah tangga, termasuk di dalamnya menyediakan pembantu rumah
40
Sisi pendalilan (wajh al-dilālah) ayat tersebut adalah bahwa seorang suami wajib
memberikan nafkah berupa tempat tinggal kepada isteri. Konteks ayat tersebut memang
ditujukan kepada suami di mana pernikahan mereka telah putus. Namun, secara a contrario ayat
tersebut juga berlaku bagi suami yang masih punya ikatan tali pernikahan terhadap isterinya. Al-
Qaḥṭānī menyatakan sisi pendalilan ayat tersebut secara tersurat memiliki makna hukum, wajib
bagi seorang laki-laki untuk memberikan tempat tinggal kepada isterinya sesuai dengan kadar
kemampuan. Perintah wajib memberikan tempat tinggal sama dengan perintah wajib memberi
nafkah (makanan). Lihat, Ibn Sa’īd al-Qaḥṭānī, Mausū’ah al-Ijmā’ fī al-Fiqh al-Islāmī, Juz’ 3,
(Mesir: Dār al-Hudā al-Nabawī, 2013), hlm. 765.
37
tangga untuk mengurusi tempat tinggalnya dan segala keperluan
memasak.41
Ketiga jenis nafkah tersebut bukan berarti dipenuhi begitu saja, misalnya
suami membeli beras yang belum di masak, membeli kain yang belum di jahit,
atau membeli papan yang belum dibuat rumah. Dalam pandangan fikih, nafkah
pangan justru harus siap santap, nafkah sandang adalah harus siap dipakai, dan
nafkah papan adalah harus siap ditempati. Hal tersebut sejalan dengan uraian Al
Yasa’ Abubakar. Dalam uraiannya, kewajiban suami menyediakan nafkah
tempat tinggal untuk isteri dan anak-anaknya bukan sekedar membeli kayu,
batu, pasir, semen, dan material bangunan lainnya, lalu isteri yang membuat
rumah. Suami mesti menyediakan rumah yang siap ditempati. Begitu juga
kewajiban nafkah pakaian, bukan sekedar membeli kain lalu isteri yang
menjahitnya, atau isteri membayar sendiri dengan ongkos kepada tukang jahit,
melainkan kewajiban suami sampai pada mengolah kain tersebut atau
mengongkosinya kepada tukang jahit sehingga nafkah pakaian tersebut siap
dipakai oleh anak isterinya. Begitu juga halnya nafkah makanan bukan sekedar
membawa beras dan lauk pauk lalu isteri yang memasaknya, melainkan
suamilah yang harus mengolahnya menjadi makanan dan minuman yang siap
santap.42
Melihat rincian ini, maka jelaslah bahwa tanggung jawab suami sangat
besar. Oleh sebab itu, giliran isterilah harus menyenangkan suami sepulangnya
dari bekerja dan memperoleh nafkah tersebut.
Tiga nafkah di atas merupakan bentuk nafkah lahir. Di samping itu,
Islam juga menetapkan adanya nafkah batin, berupa menggauli isterinya.43
Sebab keinginan untuk berhubungan badan bukan saja dari pihak suami, tetapi
istri juga memiliki naluri yang sama. Untuk itu, tidak adil dan tidak patut
kiranya suami enggan mengauli isterinya, sementara isteri justru dihukumi wajib
41
Al-Jazīrī, al-Fiqh..., Jilid 5, hlm. 1074, 1079, 1082, dan 1084. 42
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2016), hlm. 197. 43
Rizem Aizid, Fiqh Keluarga Terlengkap, (Yogyakarta: Laksana, 2018), hlm. 117.
38
untuk melayaninya secara seksual. Suami dalam kondisi ini dilarang untuk
enggan menggauli isterinya sebagaimana larangan isteri enggan untuk diajak ke
tempat tidur melakukan hubungan dengan suami. Jadi, keberlakuan nafkah batin
ini sifat hukumnya adalah timbal balik, sementara nafkah lahir berupa pangan,
sandang, dan papan hanya dari pihak suami saja.
3. Hak Perlakuan Baik
Perlakuan baik dari suami merupakan salah satu hak immateril yang
wajib dipenuhi suami terhadap isteri. Dalilnya adalah ketentuan hadis riwayat
Abī Dāwud dari Hakim seperti telah dikutip sebelumnya. Dalam hadis tersebut,
Rasul melarang menjelek-jelekkan isteri, juga ada larangan memukul. Informasi
ini tentu memberi indikasi sebaliknya, di mana memperlakukan dengan baik
adalah salah satu kewajiban suami terhadap isteri, sebab mendapatkan perlakuan
baik itu bagian dari hak isteri. Selain dalil hadis, hak isteri mendapatkan sikap
dan perlakuan baik dari suami juga mengacu pada ketentuan QS. al-Nisā’ [4]
ayat 19. Ayat ini secara tegas menyebutkan kewajiban suami untuk bergaul
dengan isterinya dengan baik. Adapun bunyinya adalah:
لتذهبوا تعضلوهن ول ايأي ها ٱلذين ءامنوا ل يل لكم أن ترثوا ٱلنساء كرهحشة يأتي أن إل ءاتيتموهن ما ببعض عروف وعاشروهن مب ي نة بف
فإن بٱلم
.كثيرا خيرا فيه ٱلله ويعل شيا تكرهوا أن ف عسى كرهتموهن
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak. (QS. al-Nisā’ [4]: 19).
Sa’dāwī dalam megomentari ayat di atas menyatakan bahwa maksud
bergaul dengan baik dikembalikan kepada tradisi yang biasa dilakukan suami
39
kepada isterinya, seperti menemaninya dengan baik, mencegahnya dari segala
yang menyakitkan dan merusak, memberikan hak-haknya tanpa ditunda, muka
manis dan ceria, dan tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hatinya.44
Sikap seorang suami terhadap isteri idealnya dapat diwujudkan dalam keadaan
apapun, baik isteri dalam keadaan baik-baik terhadap suami atau tidak. Dalam
kondisi ini sekalipun, si suami harus berbuat baik terhadap isteri, sebab
perlakuan baik itu bagian dari haknya. Hal ini selaras dengan pendapat Imām al-
Ghazālī yang menyebutkan perlakuan baik terhadap isteri itu bukan hanya tidak
menyakitinya, tetapi sabar dengan tingkah laku isteri yang menyakiti suami.
Lebih kurang pendapat tersebut dapat dipahami dari kutipan berikut:
كف الأذى عنها، بل آحتمال الأذى مع المرأة حسن الخلق وآعلم أنه ليس .منها، والحلم على طيشها وغضبها
Ketahuilah bahwa memperlakukan isteri dengan baik bukan bagaimana
engkau tidak menyakitinya, tetapi bagaimana engkau sabar menghadapi
tingkah lakunya yang menyakiti dan mengusikmu.
Mencermti uraian di atas, dapat diketahui bahwa wanita selaku isteri
memiliki hak yang seimbang dalam keluarga. Pria selaku suami wajib untuk
memenuhi hak isteri, baik hak materil berupa mahar dan nafkah (pangan, papan,
dan sandang), atau hak isteri yang bersifat immateril (non-benda atau non-harta)
terutama sikap dan pelakuan baik dari suami. Oleh sebab itu, perspektif hukum
keluarga Islam sebetulnya hadir sebagai solusi dalam mengangkat derajat,
harkat dan martabat wanita menjadi lebih baik. Menempatkan wanita pada
posisi yang tidak layak, inferior, subordinat, dan diskriminasi adalah sikap dan
44
Lihat, Amrū ‘Abd al-Karīm Sa’dāwī, Qaḍāyā al-Mar’ah fī Fiqh al-Qaraḍāwī, (Terj:
Muhyiddin Mas Rida), (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), hlm. 114. 45
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūmuddīn, Juz’ 2, (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2005), hlm.
481: Kitab Imām al-Ghazālī ini telah diringkas oleh Ibn Qudāmah. Ibn Qudāmah dalam hal ini
juga mengutip pendapat tersebut. Lihat, Ibn Qudāmah, Mukhtaṣar Minhāj al-Qāṣidīn, (Beirut:
al-Maktab al-Islāmī, 2000), hlm. 99: Keterangan tersebut juga diulas dalam, M. Quraish Shihab,
Yang Hilang dari Kita Akhlak, (Tangerang: Lentera Hati, 2016), hlm. 240.
40
tindakan yang tidak patut dan tidak layak secara hukum Islam. Sebab itu pula
wanita dalam konteks keluarga Islam memiliki hak-hak yang sebetulnya
menjadi wujud dari pengangkatan status wanita tadi menjadi lebih baik.
C. Pembagian Tugas Pria dan Wanita dalam Hukum Keluarga Islam
Dalam konteks hukum keluarga Islam, pria dan wanita yang telah terikat
dalam tali pernikahan memiliki kedudukan masing-masing yang sifatnya mulia.
Pria selaku suami secara hukum Islam ditempatkan sebagai pihak yang memiliki
tanggung jawab yang relatif cukup berat, sebagai pengayom, pelindung, pencari
nafkah, dan memenuhi semua kelengkapan rumah tangga. Begitu pula dengan
seorang wanita selaku isteri, memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak
kalah susah dan sulit ketimbang suaminya.
Wanita juga memiliki kewajiban yang harus ditunaikan, melayani suami
dalam hal yang baik, patuh dan taat kepada suami sepanjang tidak menyalahi
nilai hukum Islam, serta mendidik anak-anaknya. Adanya hubungan timbal balik
hak dan kewajiban antara kedua pasangan merupakan satu bentuk keniscayaan.
Hubungan akad nikah sendiri dimaknai sebagai sebuah akad, disamping
tujuannya adalah untuk memenuhi hasrat biologis, juga di dalamnya timbul hak,
tanggung jawab, serta tugas-tugas masing-masing pihak.46
Al-Maudūdī (w. 1388
46
Makna nikah sebagai “akad yang menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik
antarasuami isteri” telah diulas oleh Abū Zahrah dan al-Khallāf. Masing-masing mendefinisikan
nikah sebagai berikut: “ عقد يفيد حل العشرة بي الر جل والمرأة وتعاونما ويد د ما لكليهما من حقوق وما عليه من :ممد أبو زهرةهو عقد يفيد حل استمتاع كل واحد من الزوجي بالآخر علي الوجه المشروع ويعل لكل منهما حقوقا قبل صاحبه : عبد الوهاب الخلف...واجبات
.وواجبات عليه ”. Artinya: “Muḥammad Abū Zahrah: Nikah adalah akad yang memberikan manfaat
hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga antara pria dan wanita dan saling tolong
menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-
masing”...“Abd al-Wahhāb al-Khallāf: Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum
kebolehan untuk bersenang-senang terhadap kedua suami isteri hingga akhir sebagainya
disyariatkan, dan bagi keduanya terdapat hak-hak yang mesti dipenuhi dan kewajiban-kewajiban
di atasnya”. Lihat, Muḥammad Abū Zahrah, al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah, (Madinah: Dār al-Fikr al-
‘Arabī, tt), hlm. 17: Abd al-Wahhāb al-Khallāf, Aḥkām al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah, (Kuwait: Dār
al-Qalām, 1990), hlm. 5.
41
H/1979 M),47
agama Islam telah memberikan hak berupa kebebasan untuk
berpendapat juga melakukan ekspresi hidup kepada semua orang. Hanya saja,
menurutnya hak dan kebebasan yang diberikan oleh Islam, juga diimbangi
dengan kewajiban yang dibebankan pada seseorang.48
Dalam konteks keluarga
Islam, ia juga menambahkan bahwa laki-laki dijadikan sebagai pihak yang
bertanggung jawab atas keluarga dan laki-laki lebih memenuhi syarat sebagai
kepala keluarga.49
Intinya bahwa pria atau suami sebagai pihak yang memenuhi syarat dan
kualifikasi sebagai kepala keluarga “head of the family”, sebab pria dipandang
kuat secara fisik, dan kuat pula secara psikis. Sementara wanita ditempatkan
pada posisi yang berada di bawah perlindungan dan proteksi suaminya. Hal ini
sejalan dengan keterangan QS. al-Nisā’ [4] ayat 34 seperti telah dikutip
terdahulu. Kata “al-qawwām” pada ayat ini oleh para ahli tafsir semisal al-
Ṭabarī, al-Qurṭubī, dan al-Zamakhsyarī memaknainya sebagai istilah metafor, di
mana pria sebagai pengayom isterinya dalam rumah tangga, pria juga menjadi
pendidik atas isterinya. Allah Swt memuliakan pria sebab ia dibebani tanggung
jawab atas isterinya, berupa maharnya dan nafkah.50
Al-Zamakhsyarī
menambahkan bahwa pria secara keseluruhan menjadi pemimpin atas waita. Hal
ini disebabkan kemuliaan yang Allah berikan pada pria atas Wanita. Dengan
dasar ini pula, menurutnya, bahwa kepemimpinan pria didapat dari pemuliaan
Allah tersebut dan bukan karena persaingan, penguasaan atau paksaan. Adapun
kemuliaan pria tersebut berupa kekuatan akal, keinginan kuat dan kekuatan
47
Barsihannor, Pemikiran Abū al-A’lā al-Maudūdī. Jurnal: “Adabiyah”. Volume 13.
Nomor 2. (2013), hlm. 141. 48
Abū al-A’lā al-Maudūdī, Ḥuqūq al-Insān fī al-Islām, (Translate: Khirshid Ahmad),
(London: The Islamic Foundation, 1980), hlm. 28. 49
Abū al-A’lā al-Maudūdī, Towards Understanding the Qur’ān, (Translate: Zafar Ishaq
Ansari), Volume 2, (London: The Islamic Foundation, 1989), hlm. 35: Keterangan serupa juga
telah diulas dalam, Etin Anwar, Gender and Self in Islam, (Terj: Kuriasih), (Bandung: Mizan
Pustaka, 2017), hlm. 89. 50
Lihat, Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān, Juz’ 6, (Riyad:
Hajar, 2001), hlm. 687: Lihat juga, Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’..., Juz’ 6, hlm. 278: Ibn Umar
al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Kasysyāf, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009), hlm. 234-235.
42
fisik, sehingga dalam beberapa masalah hukum dibebankan kepada pria dan
bukan wanita, seperti rujuk, talak, kepemimpinan, nasab, khatib jum’at, imam
shalat, dan beberapa contoh lain yang ia sebutkan.51
Pria dan wanita dalam konteks keluarga sebetulnya memiliki tugas
pribadi masing-masing. Pria disinyalir sebagai pihak yang bekerja menghasilkan
nafkah, sementara wanita diposisikan sebagai pihak yang mengatur rumah. Hal
ini sejalan dengan salah satu hadis Rasulullah Saw yang menetapkan Alī bin
Abī Ṭālib ra (sahabat sekaligus menantu Rasulullah Saw) bekerja di luar rumah,
sementara Faṭīmah ra (anak Rasulullah Saw) bekerja di dalam rumah.
Riwayat hadis yang dirujuk adalah hadis Bukhari sebagai berikut:
ث نا علي أن فاطمة عليهما السلم أتت النب صلى الله عن ا بن أب لي لى حدعليه وسلم تشكو إليه ما ت لقى ف يدها من الرحى وب لغها أنه جاءه رقيق ف لم
لعائشة ف لما جاء أخب رته عائشة قال فجاءنا وقد أخذنا تصادفه فذكرت ذلك نا ن قوم ف قال على مكانكما فجاء ف قعد ب ين وب ي ن ها حت مضاجعنا فذهب
على خير ما سألتما إذا أخذتا وجدت ب رد قدميه على بطن ف قال أل أدلكما مضاجعكما أو أوي تما إل فراشكما فسبحا ثلثا وثلثي واحدا ثلثا وثلثي
ر لكما من خادم .وكب را أرب عا وثلثي ف هو خي
Dari Ibn Abī Lailā, telah menceritakan kepada kami Alī bahwa Faṭīmah
as datang menemui Nabi Saw mengadukan tangannya yang mengeras
karena menggiling. Faṭīmah pernah mendengar kabar bahwa nabi pernah
mendapatkan budak, sayang, kebetulan ia malah tidak ke sana. Faṭīmah
pun menuturkan hal itu pada Aisyah. Ketika Rasulullah Saw datang,
maka Aisyah pun menuturkannya. Kemudian beliau mendatangi kami
yang pada saat itu kami sudah bersiap-siap untuk tidur, maka kami pun
segera beranjak. Beliau bersabda: "Tetaplah pada tempat kalian." Beliau
datang lalu duduk tepat antara aku dan Faṭīmah hingga aku merasakan
kesejukan kedua kakinya. Dan beliau bersabda: "Maukah aku tunjukkan
pada sesuatu yang lebih baik dari pada apa yang kalian minta? Bila
51
Al-Zamakhsyarī, Tafsīr..., hlm. 234-235. 52
Al-Bukhari, Ṣaḥīḥ..., hlm. 1061.
43
kalian hendak beranjak ke tempat tidur, maka bertasbihlah tiga puluh tiga
kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali serta bertakbir tiga puluh
empat kali. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian daripada seorang
pembantu”. (HR. Bukhari).
Rasul menetapkan jenis pekerjaan di dalam rumah yang harus dikerjakan
Faṭīmah dan menetapkan pekerjaan di luar rumah kepada Alī. Tugas pekerjaan
rumah tersebut meliputi tiap-tiap pekerjaan rumah, seperti pembuatan tepung,
memasak, mengatur tempat tidur, membersihkan rumah, mengambil air, dan
lainnya.53
Cukup jelas bahwa ketetapan Rasul tersebut menjadi dasar bahwa
wanita idealnya bertempat dirumah, mengurus dan mengatur rumah tangga,
sementara pria selaku kepala keluarga bekerja di luar rumah untuk kemudian
menghasilkan pundi-pundi harta benda yang selanjutnya diberikan kepada
isterinya.
Tanggung jawab dan tugas pria selaku suami, kepala rumah tangga yang
bekerja di luar rumah, idealnya harus tetap dilakukan, hal ini dengan maksud
penjagaan atas hak-hak isterinya yang mengatur rumah, menyiapkan keperluan
kerja suami, dan memenuhi semua hal yang berhubungan dengan rumah. Oleh
sebab itu, ideal hukum semacam ini merupakan satu konstruksi yang diinginkan
oleh nas syarak, sebagaimana mengacu pada riwayat hadis di atas. Hal ini juga
telah disinggung secara baik oleh Atin Anwar, bahwa ideal hukum tugas pria
adalah memenuhi kebutuhan isterinya.54
Hanya saja, dalam konteks yang
berbeda misalnya, di mana suami justru tidak mampu melaksanakan tugas dan
kewajibannya secara baik, tidak memberikan nafkah kepada isteri, atau paling
tidak, suami bekerja dengan penghasilan yang relatif sangat kurang. Oleh sebab
itu pula, perspektif hukum keluarga Islam di sini justru tidak ditempatkan secara
kaku. Artinya, wanita selaku isteri tidak lantas dilarang untuk bertugas di luar
rumah dalam membantu suaminya yang tengah kesusahan.
53
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma’ād fī Hadī Khair al-‘Ibād, Juz’ 5, (Beirut: al-
Risālah, 1998), hlm. 169 dan 395. 54
Lihat, Etin, Gender..., hlm. 92.
44
D. Teori Maṣlaḥah
1. Terminologi Maṣlaḥah
Secara bahasa, maṣlaḥah berasal dari kata ṣalaḥa, yaṣliḥu, ṣalḥan,
ṣāluḥun wa maṣlūḥun, artinya baik, bermanfaat, dan kebaikan.55
Kata maṣlaḥah
adalah maṣdar (kata dasar) dengan arti kata ṣalāḥ, yaitu manfaat, atau terlepas
dari kerusakan. Bisa juga berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong pada
kebaikan.56
Definisi maṣlaḥah mudah ditemukan dalam banyak literatur ushul
Fiqh, secara keseluruhan memberi arti maṣlaḥah sebagai kebaikan dan
kemanfaatan.57
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),58
kata maṣlaḥah
(ditulis dengan “maslahat”), diartikan sebagai sesuatu yang mendatangkan
kebaikan (keselamatan dan sebagainya), faedah, dan berguna.59
Jadi, maslahat
secara bahasa daat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan bermanfaat.
Menurut istilah, maṣlaḥah merupakan segala yang mendatangkan
manfaat, baik melalui cara mengambil suatu tindakan maupun dengan menolak
dan menghindarkan segala sesuatu yang menimbulkan kemudharatan dan
kesulitan.60
Dengan demikian, maṣlaḥah diartikan sebagai suatu kebaikan atau
kemanfaatan, di mana kemanfaatan dan kebaikan itu boleh jadi datang karena
mengerjakan sesuatu, atau justru sebaliknya, di mana kemanfaatan dan kebaikan
itu habis karena meninggalkan sesuatu.
55
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Wadzurya, 1989), hlm. 301.
Dimuat juga dalam Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Cet. 4, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012), hlm. 148. 56
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Cet. 6, Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), hlm. 345. 57
Zahrah, Uṣūl..., hlm. 229: Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2004),
hlm. 304: M. Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam
Disarikan dari Sumber-Sumbernya, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), hlm. 235. 58
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 3, (Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2009), hlm. 399. 59
Phoenix, Kamus..., hlm. 399. 60
Fridaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara
Konprehensi, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hlm. 80-81.
45
2. Pendapat Ulama tentang Maṣlaḥah Sebagai Tujuan Umum Syariat
Aspek penting dan menarik diulas dalam kajian ini dalam perspektif
Islam yaitu maṣlaḥah sebagai indikator utama tujuan umum disyariatkannya
hukum. Kajian ini erat kaitan dengan konsep maqāṣid al-syarī’ah atau maqāṣid
al-‘ām kepemimpinan. Para ulama berpendapat bahwa tujuan umum
ditetapkannya semua aspek hukum dan tata perilaku dalam Islam adalah untuk
kemaslahatan umat manusia itu sendiri, atau dalam istilah fikih disebut dengan
maṣlaḥah, yaitu kebaikan, kemanfaatan, dan kemaslahatan hidup.61
Kajian tentang al-maqāṣid, atau boleh disebut dengan tujuan
ditetapkannya hukum Islam, cukup banyak dijumpai dalam literatur ushul fikih.
Kajian tersebut mendapat tempat dan sambutan hangat oleh ahli Islam di abad
modern, sebab menawarkan gagasan yang relatif dipandang baik untuk konteks
kajian dewasa ini. Ulama yang concern dalam mengkaji teori al-maqāṣid yaitu
Abū Isḥāq al-Syāṭibī (w. 790), merupakan ulama dan tokoh yang berafiliasi
dalam mazhab Mālikī. Konsep dan penemuan al-maqāṣid untuk seluruh hukum
dalam Islam telah dimuat dalam kitab yang populer yaitu “al-Muwāfaqāt fī Uṣūl
al-Syarī’ah”.62
Tujuan umum ketetapan hukum—tidak terkecuali masalah
hukum sisi kekeluargaan—dalam Islam bermuara pada kemaslahatan
(maṣlaḥah) manusia, kemanfatan (manfa’ah), dan rahmat (raḥmah) bagi semua.
Hal ini sejalan dengan keterangan ahli ushul seperti al-Syāṭibī, Ibn Āsyūr, Abū
Zahrah, Khallāf, Ḥabīb al-Khaujah, dan banyak lainnya.
61
Khallāf, ‘Ilm..., hlm. 198. 62
Dalam sejarah pekembangan kajian maqāṣid al-syar’iyyah, sebetulnya al-Syāṭibī (w.
790) bukanlah peletak dasar dari kajian tersebut. Banyak ulama lain yang lebih dulu bicara
tentang teori “maṣlaḥah” sebagai maqāṣid ditetapkannya seluruh hukum kepada umat muslim.
Ulama yang lebih awal mengkaji masalah tersebut seperti Imām al-Juwainī (w. 438), al-Ghazālī
(murid al-Juwainī, w. 505), Izz al-Dīn bin ‘Abd al-Salām (w. 660), al-Qarafī (w. 684), Najm al-
Dīn al-Ṭūfī, (w. 716), dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751). Hanya saja, puncak perkembangan
penggunaan maṣlaḥah dan kajian tentang tujuan (maqāṣid) ditetapkannya hukum Islam
dilakukan oleh al-Syāṭibī. Di tangan dan hasil fikir beliaulah konsep maqāṣid disempurnakan
bahkan pembaruan. Di samping itu, al-Syāṭibī memberikan uraian landasar teoritis yang relatif
lebih komprehensif ketimbang ulama sebelumnya. Lihat, Al Yasa’ Abubakar, Metode..., hlm.
45-51.
46
Dalam satu kesempatan di dalam tulisannya, Abū Zahrah menyebutkan:
“datangnya syariat Islam sebagai rahmat bagi manusia”.63
Demikian juga
menurut Khallāf, bahwa tujuan umum syāri’ (Allah) mensyariatkan hukum-
hukum yaitu untuk menetapkan kemaslahatan bagi manusia di dalam kehidupan
ini.64
Hal ini menandakan bahwa semua hukum, baik ketentuan hukum
perkawinan, muamalah, siyasah, maupun jinayah memiliki tujuan umum untuk
kemaslahatan dan rahmat bagi kehidupan manusia sebagai objek pembebanan
hukum.
Selanjutnya, teori maqāṣid ini kemudian dikembangkan kembali menjadi
lima tujuan umum (maqāṣid al-khamsah) yang semuanya terangkum dalam
konsep ḥifẓ al-dīn (menjaga agama dan ajaran-ajarannya), ḥifẓ al-nafs (menjaga
jiwa), ḥifẓ al-‘aql (menjaga akal), ḥifẓ al-nasl (menjaga keturunan), dan ḥifẓ al-
māl (menjaga harta). Al-Syāṭibī menyebutkan bahwa pembebanan hukum
syariat dikembalikan kepada penjagaan atas tujuan-tujuannya. Tujuan yang
dimaksud dibagi ke dalam ḍarūriyyah (tujuan yang bersifat pokok/primer), yaitu
penjagaan atas lima konsep tersebut. Selain itu ada juga yang bersifat ḥājiyyah
(sekunder), dan taḥsīniyyah (tersier).65
Menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta merupakan hal pokok
yang apabila terjaga semuanya akan kembali pada tujuan umum tadi, yaitu
kemaslahatan bagi manusia (maṣlaḥah li al-nās). Term maṣlaḥah sendiri berarti
kebaikan dan kemanfaatan. Dalam rumusan yang lebih luas, al-Ghazālī
menyatakan dalam kitabnya “al-Mustaṣfā”:
63
Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1958), hlm.
364. 64
Khallāf, ‘Ilm..., hlm. 198. Ibn ‘Āsyūr juga menyatakan bahwa pembuat hukum
(syāri’) dalam membuat hukum ada sebabnya, yaitu untuk menghasilkan kemaslahatan. Lihat,
Muḥammad al-Ḥabīb al-Khaujah, Maqāṣid al-Syar’iyyah al-Islāmiyyah li Syaikh al-Islām
Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āsyūr, Juz 3, (Qatar: Amīr Daulah, 2004), hlm. 36. 65
Abū Isḥāq al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, (Bairut: Dar al-Kutb al-
‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 221: Lihat juga, Amir Starifuddin, Ushul..., Jilid 3, hlm. 177: Abdul
Manan menyebutkan tiga bentuk tujuan hukum tersebut masuk dalam konsep maṣlaḥah ditinjau
dari segi kekuatannya sebagai hujjah. Lihat, Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), hlm. 176.
47
أماالمصلحة فهي عبارة فى الأصل عن جلب منفعة او دفع مضرة.
Adapun yang dimaksud dengan maṣlaḥah adalah satu istilah yang pada
pokoknya dikembalikan pada makna mengambil dan menarik manfaat
serta menolak mudarat dan kerusakan.
Konsep maslahat di sini adalah bagian dari prinsip yang dibangun dalam
hukum Islam. Prinsip ini menurut bagian dari cita-cita atau tujuan syariat dalam
rangka memelihara dan melindungi lima hal yang bersifat menyeluruh atau
disebut juga dengan al-muḥāfaẓah ‘alā kulliyyah al-kams, yang terdiri dari lima
poin seperti telah disebutkan.67
Secara khusus, lima tujuan tersebut dapat dirinci:
a. Memelihara agama (ḥifẓ al-dīn). Dalam konteks ini, agama merupakan
unsur penting dalam kehidupan. Untuk itu, agama wajib dipelihara salah
satunya ada ketentuan hukum pidana Islam tentang jarīmah riddah,
jarīmah pelecehan agama, penyesatan agama dan sejenisnya dengan
ancaman sanksi pidana yang sangat berat.
b. Memelihara jiwa (ḥifẓ al-nafs). Dalam konteks ini, jiwa merupakan
sesuatu yang sangat penting, bahkan menjadi hak bagi setiap manusia
untuk tetap hidup. Oleh sebab itu, ada aturan hukum mengenai kisas,
yaitu hukuman yang setimpal atas perbuatan yang serupa.
c. Memelihara akal (ḥifẓ al-‘aql). Dalam konteks ini, akal merupakan
bagian penting dalam kehidupan manusia. Penjagaan atas kesehatan akal
menjadi prioritas dalam Islam. Oleh sebab itu, terdapat ketentuan pidana
bagi orang yang meminum-minuman keras atau narkoba.
Mengkonsumsinya dipandang sebagai jalan rusaknya kesehatan akal.
d. Memelihara keturunan (ḥifẓ al-nasl). Hal primer keempat bagi kehidupan
manusia adalah kesucian keturunan manusia. Pandangan demikian
mengingat bahwa kesucian keturunan merupakan salah satu hal yang
66
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, (Mesir: Sidra, t. tp), hlm. 328. 67
Abdul Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
Edisi Revisi, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 60-61.
48
menunjukkan tingginya derajat manusia. oleh sebab itu, segala bentuk
tindakan yang dapat mencederai kesucian tersebut tidak diperkenankan.
Bahkan, dalam keadaan tertentu terdapat hukuman yang dibebankan
syarak atas pelaku yang berusaha mencederai kesucian tersebut.
Menyadari urgensi kesucian keturunan tersebut, maka hukum pidana
Islam menentukan larangan berbuat zina, dan pelakunya dihukum
dengan ketentuan tertentu.
e. Memelihara harta (ḥifẓ al-māl). Hal primer yang kelima adalah
terpelihara-nya masalah harta atau hak milik. Harta adalah bagian pokok
bagi kehidupan manusia. Harta digunakan untuk memenuhi hajat hidup
agar hidup menjadi tenang, dan ada motivasi dengan tetap melakukan
pekerjaan menghasilkan harta yang halal demi mempertahankan
eksistensi hidup. Melihat urgensi ini, maka Islam melarang adanya
tindakan merusak harta dan mengambilnya dari harta orang lain. Dalam
konteks ini, hukum pidana menentukan adanya hukuman bagi pelaku
pencurian.68
Berdasarkan uraian tersebut, cukup jelas bahwa Islam menetapkan semua
aspek dan dimensi dalam setiap ajarannya, baik yang sudah jelas maupun yang
bersifat masih diperselisihkan dalam kajian ulama memiliki tujuan tersendiri,
dan pada intinya mengarah pada satu tujuan umum dan utama yaitu untuk
kemaslahatan manusia. Khusus dalam konteks adanya ketentuan hukum hak-hak
wanita dalam keluarga, Islam menetapkan itu semua juga bermuara pada tujuan
untuk melindungi wanita dari kesia-siaan, menjaga wanita, terpenuhi semua
kebutuhan hidup yang dibebankan kepada suaminya. Ini semua sebagai wujud
dari usaha menciptakan kemaslahatan itu sendiri. Oleh sebab itu, tujuan hukum
68
Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan
Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm.
306-309.
49
ditetapkan dalam ranah hak dan kewajiban pria dan wanita dalam keluarga juga
mengacu pada kemaslahatan bagi keduanya.
50
BAB TIGA
ANALISIS PANDANGAN MUḤAMMAD ALĪ AL-ṢĀBŪNĪ
TENTANG HUKUM WANITA BEKERJA DI
LUAR RUMAH DALAM TINJAUAN
TEORI MAṢLAḤAH
A. Biografi Muḥammad Alī al-Ṣābūnī
Nama lengkap Muḥammad Alī al-Ṣābūnī adalah Muḥammad bin Alī bin
Jamīl al-Ṣābūnī. Sementara nama lengkap berikut dengan predikat keilmuannya
adalah al-‘Allāmah al-Faqīh al-Mufassir al-Mujāhid al-Mu’amar al-Munawwar
Abū Aiman Muḥammad ‘Alī bin al-Syaikh Jamīl bin ‘Alī al-Ṣābūnī al-Ḥanafī
al-Ḥalabī al-Mālikī.69
Beliau lahir di kota Halb/Aleppo, Syiria pada tahun 1930
M. Setelah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Syiria, beliau pun
melanjutkan pendidikannya di Mesir, dan merampungkan program magisternya
di Universitas al-Azhar mengambil tesis khusus tentang perundang-undangan
dalam Islam pada tahun 1954 M.70
Al-Ṣābūnī dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar. Ayahnya,
Syaikh Jamil merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Ia (Al-Ṣābūnī)
memperoleh pendidikan dasar dan formal dalam bidang bahasa Arab, ilmu
waris, dan ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan langsung sang ayah. Sejak usia
kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat dan kecerdasan dalam menyerap
berbagai ilmu agama. Di usianya yang masih belia, al-Ṣābūnī sudah hafal Al-
Quran.71
Ia pernah menjadi Guru Besar pada institusi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Suriah, dan Universitas Ummul Qura, Mekkah.72
69
Muḥammad Ayyūb bin Yaḥyā al-‘Alī al-Dimasyqī, al-Taḥrīr al-Yasīr, (tp), hlm. 14. 70
Dimuat dalam Redaksi Fimadani, diakses melalui http://www.fimadani.com/biografi-
syaikh-muhammad-ali-ash-shabuni/, pada tanggal 30 Juli 2019. 71
Dimuat dalam Redaksi Fimadani, diakses melalui http://www.fimadani.com/biografi-
syaikh-muhammad-ali-ash-shabuni/, pada tanggal 30 Juli 2019. 72
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Mawāriṡ fī al-Syarī’ah al-Islāmiyah, (Terj: Hamdan
Rasyid), (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2005), hlm. 274.
51
Di samping ayahnya, al-Ṣābūnī juga mempunyai beberapa guru, yaitu
ulama terkemuka di Aleppo, seperti Syaikh Muḥammad Najīb Sirājuddīn,
Aḥmad al-Ṣamā, Muḥammad Sa’īd al-Izībī, Muḥammad Rāghib al-Tabbakh,
dan Muḥammad Najīb Khayaṭah. Untuk menambah pengetahuannya, al-Ṣābūnī
juga kerap mengikuti kajian-kajian para ulama lain yang biasa diselenggarakan
di berbagai masjid. Setelah menamatkan pendidikan dasar, beliau melanjutkan
pendidikan formalnya di Madrasah al-Tijariyyah. Dalam hal ini, ia hanya
mengenyam pendidikan selama satu tahun. Kemudian, ia meneruskan
pendidikan di sekolah khusus Syariah, yaitu di Khasrawiyya, yang berada di
Aleppo. Saat bersekolah di Khasrawiyya, ia tidak hanya mempelajari bidang
ilmu-ilmu Islam, tetapi juga mata pelajaran umum. Ia berhasil menyelesaikan
pendidikan di Khasrawiyya dan lulus tahun 1949. Atas beasiswa dari
Departemen Wakaf Suriah, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Al
Azhar, Mesir, hingga selesai strata satu dari Fakultas Syariah pada tahun 1952.
Dua tahun berikutnya, di Universitas yang sama, ia memperoleh gelar magister
pada konsentrasi Peradilan Syariah (Qudha Al-Syariyyah). Studinya di Mesir
merupakan beasiswa dari Departemen Wakaf Suriah.73
Setelah dari Mesir, al-Ṣābūnī kembali ke kota kelahirannya. Ia mengajar
di berbagai sekolah menengah atas yang ada di Aleppo. Pekerjaan sebagai guru
sekolah menengah atas selama delapan tahun, dari tahun 1955 hingga 1962.
Setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Fakultas Syariah
Universitas Ummul Qura dan Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King
Abdul Aziz. Kedua Universitas ini berada di Kota Makkah. Ia menghabiskan
waktu dengan kesibukannya mengajar di dua perguruan tinggi ini selama 28
tahun. Karena prestasi akademik dan kemampuannya dalam menulis, saat
menjadi dosen di Universitas Ummul Qura, ia pernah menyandang jabatan ketua
Fakultas Syariah. Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik
73
Dimuat dalam Redaksi Fimadani, diakses melalui http://www.fimadani.com/biografi-
syaikh-muhammad-ali-ash-shabuni/, pada tanggal 30 Juli 2019.
52
dan Pelestarian Warisan Islam. Ia tercatat sebagai guru besar Ilmu Tafsir pada
Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.74
Di samping mengajar, al-Ṣābūnī juga aktif dalam organisasi Liga
Muslim Dunia. Dalam hal ini, ia menjabat sebagai penasihat pada Dewan Riset
Kajian Ilmiah mengenai Al-Quran dan sunnah. Ia bergabung dalam organisasi
ini selama beberapa tahun. Setelah itu, ia mengabdikan diri sepenuhnya untuk
menulis dan melakukan penelitian. Berkat kiprahnya dalam dunia pendidikan
Islam, pada tahun 2007, panitia penyelenggara Dubai International Qur’an
Award menetapkan al-Ṣābūnī sebagai Personality of the Muslim World. Ia
dipilih dari beberapa orang kandidat yang diseleksi langsung oleh Pangeran
Muhammad ibn Rashid Al-Maktum, Wakil Kepala Pemerintahan Dubai.
Penghargaan serupa juga pernah diberikan kepada sejumlah ulama dunia
lainnya, di antaranya Yūsuf al-Qaraḍāwī.75
Selama hidupnya, ia telah banyak menyumbangkan karya tulis. Sebagai
penulis buku yang produktif, karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa
asing, seperti bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, Turki, dan Indonesia. Di
antara tulisannya yang terkenal antara lain:76
a. Kitab: Ṣafwah al-Tafāsir
b. Kitab: Rawai’ al-Bayān fī Tafsīr Ayat al-Aḥkām
c. Kitab: Mukhtaṣār Tafsīr ibn Kaṡir
d. Kitab: al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān
e. Kitab: al-Nubuwah wa al-Anbiyā’
f. Kitab: Mukhtaṣār Tafsīr al-Thabāri Jamī’ al-Bayān
g. Kitab: Tanwir al-Adhām min Tafsīr Rūḥ al-Bayān
h. Kitab: al-Mawāriṡ fī al-Syarī’ah al-Islāmiyah.
74
Dimuat dalam Redaksi Fimadani, diakses melalui http://www.fimadani.com/biografi-
syaikh-muhammad-ali-ash-shabuni/, pada tanggal 23 Desember 2016. 75
Dimuat dalam Redaksi Fimadani, diakses melalui http://www.fimadani.com/biografi-
syaikh-muhammad-ali-ash-shabuni/, pada tanggal 30 Juli 2019. 76
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Mawāriṡ..., hlm. 274.
53
B. Pandangan Muḥammad Alī al-Ṣābūnī tentang Hukum Wanita Bekerja
di Luar Rumah
Seperti telah disinggung di awal, bahwa al-Ṣābūnī merupakan salah satu
tokoh ulama yang populer dari kalangan Ḥanafī, meskipun pada akhirnya ia
berafiliasi dalam mazhab Mālikī. Pemikiran al-Ṣābūnī tentang tugas wanita
dalam rumah tangga juga tentang hukum wanita bekerja di luar rumah tampak
berbeda dengan pendapat maintream yang selama ini dipahami oleh ulama ahli
hukum Islam lainnya. Pandangan umum yang dibangun oleh al-Ṣābūnī adalah
bahwa wanita memiliki ketetapan dan kewajiban sebagai orang-orang mukallaf
sama seperti adanya ketetapan dan kewajiban bagi seorang pria.77
Terkait
dengan kedudukan wanita dalam rumah tangga, al-Ṣābūnī tidak sependapat
dengan pemahaman tentang isteri hanya memiliki kewajiban dalam melayani
bidang hajat biologis saja dan tidak berkewajiban melayani suami dalam urusan
rumah tangga. Menurutnya, mengurus rumah tangga seperti memasak,
menyapu, dan mengerjakan segala urusan rumah tangga adalah tugas wajib
isteri. Seorang isteri hanya dibenarkan bekerja melaksanakan tugas di dalam
rumah, sementara urusan kerja di luar rumah adalah tanggung jawab dan
kewajiban suami. Lebih kurang, pendapatnya tentang itu dapat dipahami dari
kutipan berikut:
Suami bekerja di luar rumah demi kebahagiaan isteri dan anak-anak,
dengan memenuhi segala kebutuhan sandang dan pengan mereka.
Sementara isteri melaksanakan semua tugas rumah seperti memasak,
mencuci, membersihkan perabotan rumah dan menata interiornya,
sehingga rumah menjadi tempat tinggal yang amat menyenangkan.78
Dari kutipan di atas, cukup jelas bahwa al-Ṣābūnī pada dasarnya ingin
mempertegas kembali tentang kedudukan wanita selaku isteri di dalam rumah
77
Adanya keseimbangan ketetapan wanita dan pria ini dikemukakan oleh al-Ṣābūnī saat
ia menjelaskan tentang hikmah dari praktik poligami Rasulullah Saw. lihat, Muḥammad Alī al-
Ṣābūnī, Syubuhāt wa Abāṭīl Ḥaul: Ta’addat Zaujāt al-Rasūlullāh Saw, (Mekkah: Kulliyyah al-
Syarī’ah wa al-Dirāsāt al-Islāmiyyah, 1980), hlm. 14. 78
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, Kawinlah Selagi Muda, (Tp), (Jakarta, Serambi Ilmu
Semesta, 2000), hlm. 132.
54
tangga, juga kedudukan seorang suami di dalamnya. Posisi suami sebagai kepala
keluarga wajib bekerja memenuhi kebutuhan anak isteri, sementara isteri wajib
pula melakukan tugas-tugas yang rutin di dalam rumah, seperti menyapu dan
contoh lain seperti tersebut dalam kutipan di atas. Al-Ṣābūnī menyebutkan pria
atau suami adalah pemimpin dalam melindungi wanita, memberi kemaslahatan
bagi keluarga, menutup sedapat mungkin terjadinya kerusakan.79
Hal ini
menandakan bahwa al-Ṣābūnī hendak menempatkan laki-lakilah yang bertugas
di luar rumah sementara isteri bekerja di dalam rumah, dengan kriteria pekerjaan
yang berbeda antara keduanya. Dalam kesempatan lain, al-Ṣābūnī juga
menjelaskan sebagai berikut:
و من حق الزوج على زوجته القيام على شؤون البيت، ورعايته، و العمل : خامسا
في البيت من طهي ، وغس يل وتنظيف، بما جرت به العادة و العرف فى كل
.فالحياة تعاون و تكافل... عصور
Yang kelima dari hak seorang suami terhadap isterinya adalah bertanggung jawab penuh untuk mengurusi tugas-tugas rumah tangga
yang rutin seperti memasak, mencuci dan menyapu. Itu semua dilandasi
dengan suatu kebiasaan dan adat pada tiap-tiap tempat... Pada dasarnya,
hidup berumah tangga adalah hidup untuk bisa saling tolong-menolong
dan bahu membahu.
Keterangan ini juga sama seperti sebelumnya, di mana isteri ditempatkan
sebagai pihak yang idealnya menikmati tugas rumah tangga. Isteri bekerja
melaksanakan tugas di dalam rumah, sebaliknya suami bekerja di luar rumah,
Itu semua dilandasi dengan suatu kebiasaan dan adat pada tiap-tiap tempat.
Hubungan keluarga dalam pandangan al-Ṣābūnī adalah hubungan “تعاون” atau
saling tolong menolong sebagaimana juga tersebut di atas. Sehingga isteri wajib
melakukan tugas-tugas rumah. Keterangan lebih jauh adalah tentang masalah
wanita bekerja di luar rumah, juga telah dibahas secara cukup baik dalam
79
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Fiqh al-Syar’ī al-Muyassar fī Ḍau’ al-Kitāb wa al-
Sunnah, Juz’ 3, (Beirut: al-Maktabah al-‘Aṣriyyah, 2003), hlm. 230. 80
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Zawāj al-Islāmī al-Mubakkir: Sa’ādah wa Ḥaṣānah,
(Damaskus: Dār al-Fikr, 1995), hlm. 149.
55
kitabnya “al-Zawāj al-Islāmī”. Menurutnya, wanita tidak layak dan tidak patut
bekerja di luar rumah. Sebab, kedudukannya selaku isteri dalam rumah tangga
adalah wajib untuk tetap berada di dalam rumah. Wanita bukan sama sekali
tidak diperbolehkan keluar rumah. Al-Ṣābūnī memandang wanita dibolehkan
untuk keluar rumah apabila ada izin dari suaminya, boleh melakukan rekreasi
bersama suami, mengunjungi sanak famili, dan membeli kebutuhan hidupnya.
Hal ini dipahami dari kutipan berikut:
ل تخرج للنزهة، وزيارة ال قارب، و وليس معنى ذلك أ ن تجعل البيت حبسا لها، ب
.ال رحام، وأ داء الصلاة فى المسجد، وشراء بعض الحاجات
Ini tidak dimaksudkan bahwa wanita harus dikurung di dalam rumah. Ia
masih tetap boleh keluar rumah untuk berdarmawisata, mengunjungi
kerabat, sanak famili, melaksanakan shalat di masjid, dan memberi
kebutuhan hidupnya.
Wanita sebagai isteri seperti tersebut dalam kutipan di atas dibolekan
keluar rumah dalam perkara-perkara tertentu, seperti menjenguk saudara, shalat
dan membeli kebutuhan hidup. Sementara itu, untuk sengaja keluar rumah demi
melakukan sebuah pekerjaan sebagaimana laki-laki bekerja di luar rumah justru
tidak dipekenankan. Al-Ṣābūnī dalam konteks ini menentang adanya usaha dari
aktivis Muslim maupun Barat yang mengajukan dan menggalakkan emansipasi
wanita, merekrut tenaga kerja wanita di luar rumah dengan dasar dan alasan
persamaan hak. Dalam kitabnya “al-Mawāriṡ”, ia juga menyunggung seolah ada
usaha selama ini dari kalangan Barat menyamakan hak antara pria dan wanita.
Hal tersebut menurutnya justru mengabaikan pemuliaan terhadap wanita. Sebab,
di satu sisi kalangan ini menyerukan agar wanita juga memiliki hak bekerja di
luar rumah yang kemungkinan bahayanya cukup besar, di sisi lain menyoalkan
ajaran dan tuntunan Islam.82
81
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Zawāj..., hlm. 154. 82
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Mawāriṡ..., hlm. 26-27.
56
Usaha untuk menyamakan hak kerja antara pria dan wanita di luar rumah
menurut al-Ṣābūnī justru akan menelantarakan tanggung jawab dan tugas suami
di luar rumah, sekaligus menelantarkan tugas wajib isteri di dalam rumah,
seperti menyapu, memasak, dan memenuhi kelengkapan rumah tangga untuk
suaminya. Hal ini menurutnya adalah bagian dari bentuk penyimpangan kodrat
wanita itu sendiri. Sejauh temuan terhadap pendapat al-Ṣābūnī, sebetulnya ia
sama sekali tidak berpendapat tentang wanita harus dikekang di rumah, justru
sebaliknya ia memandang wanita boleh keluar rumah dalam posisinya sebagai
ibu rumah tangga. Wanita boleh keluar untuk bertamasya dengan suami, keluar
rumah untuk berkunjung kepada sana famili. Hal ini dapat dipahami dari salah
kutipan sebelumnya. Hanya saja, usaha untuk menyamakan hak dan peran
antara pria dan wanita akan mencelakakan wanita itu sendiri. Hal ini seperti
dapat dipahami dari kutipan berikut:
لا بسبب الفوضى التى أ شاعها الاإباحيون وليس خراب ال سر ودمار البيوت اإ
تخرج عن الطاعة، الش يوعيون لاإفساد المرأ ة المسلمة لتتمرد على تعاليم الاإسلام، و
لا لمصلحة ويصبح المنزل فوضى، لا ضوابط فيه ولا قيود، وما كانت تعاليم الاإسلام اإ
.الزوجين، ليحل الحب والوئام، محل النزاع والخصام
Dan bukanlah kehancuran dan kebinasaan yang banyak menimpa
keluarga dewasa ini tidak lain diakibatkan oleh adanya paham anarkisme
yang disebarluaskan para penganut ajaran permisif dan komunis.
Tujuannya adalah agar wanita musliman menolak dan membangkang
terhadap semua tuntutan dan ajaran Islam. Sehingga akhirnya terjadi
anarkhi dan kekacaubalauan dalam rumah tangga, tanpa ada lagi aturan
dan batasan hukum di dalamnya. Sebenarnya, semua ajaran dan tuntunan
Islam bertujuan mulia, yaitu untuk menciptakan kemaslahatan dalam
rumah tangga, menumbuhkan saling cinta dan kasih sayang antara suami
isteri dan menghindarkan mereka dari konflik dan perselisihan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-Ṣābūnī sebetulnya
ingin menempatkan kedudukan dan fitrah wanita sebagai orang yang wajib
dilindungi, wajib dipenuhi hak-haknya di dalam rumah. Wanita yang telah
83
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Zawāj..., hlm. 154.
57
bersuami menurutnya tidak layak bekerja di luar rumah, sebab dimungkinkan
tugas wajib di dalam rumah akan ditelantarkan. Dalam konteks ini, wanita tidak
harus dikekang di dalam rumah. Ia masih membolehkan wanita keluar rumah
dalam keadaan darurat, memenuhi hajat berkunjung ke tempat keluarga, dan
melakukan shalat. Hanya saja, untuk urusan bekerja di luar rumah, wanita
tampak dibatasi oleh adanya hukum yang mengikatnya, yaitu adanya kewajiban
untuk mengurusi semua urusan rumah tangga, termasuk memberikan pendidikan
kepada anak-anaknya.
C. Dalil dan Metode Istinbāṭ Muḥammad Alī al-Ṣābūnī dalam Menetapkan
Hukum Wanita Bekerja di Luar Rumah
Dalam menggali hukum wanita bekerja di luar rumah, Muḥammad Alī
al-Ṣābūnī menggunakan beberapa sebaran dalil Alquran dan juga hadis nabi,
berikut dengan atsar para sahabat. Di antara dalil Alquran yang ia gunakan yaitu
QS. al-Māidah [5] ayat 2:
ين لذ ا أ أيه ي ئد ولا لقل
لهدي ولا أ
لحرام ولا أ
هر أ لشذ
ولا أ للذ
ئ أ لهوا شع ءامنوا لا ت
صطادوا ولا ذا حللت فأ
وا نا م ورضو ب ن رذ لحرام يبتغون فضلاا م
لبيت أ
ين أ م ءا
ن ذك ش رمن لر ي لحرام أن تعتدوا وتعاونوا على أ
لمسجد أ
وم عن أ ان قومأ أن صده
لعقاب شديد أ للذ
نذ أ
ا للذ
ذقوا أ ت
ن وأ لعدو
ث وأ
لا ولا تعاونوا على أ لتذقوى
.وأ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Māidah [5]: 2).
58
Secara umum, ayat di atas menurut al-Ṣābūnī merupakan satu bentuk
perintah untuk dapat saling menolong dan hal-hal kebaikan, dan meninggalkan
semua bentuk tolong-menolong dalam keburukan.84
Pusat perhatian al-Ṣābūnī
terhadap dalil tersebut di atas adalah adanya kalimat yang memerintahkan untuk
saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa “ لتذقوى وأ لر
,Menurutnya .”وتعاونوا على أ
saling tolong-menolong dalam kerangka ayat di atas berlaku umum, termasuk
dalam urusan hubungan pernikahan. Suami wajib membantu isteri dan
sebeliknya isteri juga wajib membantu suami. Dalam realisasinya, bentuk
kewajiban isteri menolong suami adalah kewajibannya untuk mengerjakan
semua tugas-tugas di dalam rumah, seperti mencuci, masah, menyapu dan tugas
rumah tangga lalinnya.85
Dalam kitab “al-Tafsīr al-Wāḍiḥ al-Muyassar”, al-
Ṣābūnī menjelaskan makna saling tolong-menolong dalam makna ayat di atas
adalah tolong-menolong antara sesama manusia, menjunjung atau menegakkan
hak-hak dan keadilan.86
Dalam kesempatan lainnya, ia juga menjelaskan makna
saling tolong menolong pada ayat di atas adalah saling tolong-menolong dalam
mengerjakan kebaikan dan meninggalkan segala bentuk kemungkaran: “ تعاونو على فعل
.”الخيرات وترك المنكرات87
Potongan ayat tersebut juga berarti saling tolong-menolong
dalam berbuat kebaikan adalah perwujudan dari istilah “ الر”, dan meninggalkan
kemungkaran adalah wujud dari “التقوى”.88
Ayat tersebut cenderung berlaku umum, sehingga keberlakuannya tidak
sebatas dalam satu masalah hukum saja, namun mencakup semua urusan
hubungan manusia, termasuk dalam soal saling tolong-menolong antara suami
84
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, Rawā’i’ al-Bayān Tafsīr Ātāt al-Aḥkām min al-Qur’ān,
Juz’ 1, (Damaskus: Maktabah al-Ghazāī, 1980), hlm. 523. 85
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Zawāj..., hlm. 149. 86
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Tafsīr al-Wāḍiḥ al-Muyassar, (Beirut: al-Maktabah al-
‘Aṣriyyah, 2007), hlm. 241. 87
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwah al-Tafāsīr, Juz’ 1, (Beirut: Dār al-Qur’ān al-
Karīm, 1981), hlm. 326. 88
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn al-Kaṡīr, Juz’ 1, (Beirut: Dār al-
Qur’ān al-Karīm, 1981), hlm. 477.
59
dan isteri. Oleh sebab itu, ayat di atas digunakan oleh al-Ṣābūnī sebagai bentuk
pengejawantahan adanya tanggung jawab isteri untuk tetap dirumah, dan wajib
mengerjakan tugas-tugas rumah. Hal inilah yang membatasi wanita untuk dapat
keluar rumah, seperti bekerja, dan melakukan hal-hal lain yang bukan hajatnya.
Dalil lainnya mengacu pada ketentuan QS. al-Aḥzāb [33] ayat 33:
كو لزذ ة وءاتين أ لو لصذ
وأقمن أ لول
هليذة أ لج
ج أ ة وأطعن وقرن في بيوتكنذ ولا ترذجن تره
لبيت ويطهرم لرجس أهل أ
ليذهب عنك أ للذ
ذما يريد أ ن
ۥ ا ورسول للذ
اأ . تطهيرا
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguh
nya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. al-Aḥzāb [33]:
33).
Fokus yang dijadikan rujukan dalam konteks ayat di atas adalah lafaz
ayat “ هليذة لج ج أ وقرن في بيوتكنذ ولا ترذجن تره لول
أ ” . Menurut al-Ṣābūnī, makna potongan ayat di
atas adalah larangan bagi wanita untuk keluar rumah tanpa ada keperluan atau
hajat. Dalam makna ini, tidak berarti mengekang wanita untuk tetap dirumah
selamanya. Hanya saja, rumah adalah tempat asal seorang wanita, dan tempat
menetapnya seorang wanita. Seorang wanita dibenarkan keluar rumah apabila
memang ada kebutuhan dan hajat, seperti ke masjid, rekreasi dan istirahat untuk
kebutuhan tubuhnya, tetapi dengan syarat harus sopan dan mematuhi tata
krama.89
Dalil lainnya bahwa wanita wajib mengerjakan pekerjaan rumah dan
tidak bekerja di luar rumah adalah riwayat hadis yang dirujuk adalah hadis
Bukhari sebagai berikut:
لام أت ما السذ ثنا عل أنذ فاطمة علي عليه عن ابن أب ليلى حدذ ت النذبذ صلىذ اللذ
ذه جاءه رقيق فل تصادفه ح وبلغها أن ليه ما تلقى في يدها من الرذ تشكو ا وسلذ
ته عائشة قال فجاءن وقد أخذ ا جاء أخر ن مضاجعنا فذهبنا فذكرت ذلك لعائشة فلمذ
ل نقوم فقال على مكانكا فجاء فقعد بين وبينا حتىذ وجدت برد قدميه على بطن فقا
89Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Tafsīr..., hlm. 1046-1047.
60
ذا أخذتما مضاجعكا أو أويتم ا سألتما ا حا ألا أدلهكا على خيرأ ممذ ب ل فراشكا فس
ا ا
ا وثلاثين فهو خير لكا من خادمأ ا أربعا دا ثلاثا وثلاثين وكر .ثلاثا وثلاثين واح
Dari Ibn Abī Lailā, telah menceritakan kepada kami Alī bahwa Faṭīmah
as datang menemui Nabi Saw mengadukan tangannya yang mengeras
karena menggiling. Faṭīmah pernah mendengar kabar bahwa nabi pernah
mendapatkan budak, hanya saja ia malah tidak ke sana. Faṭīmah pun
menuturkan hal itu pada Aisyah. Ketika Rasulullah Saw datang, maka
Aisyah pun menuturkannya. Kemudian beliau mendatangi kami yang
pada saat itu kami sudah bersiap-siap untuk tidur, maka kami pun segera
beranjak. Beliau bersabda: "Tetaplah pada tempat kalian." Beliau datang
lalu duduk tepat antara aku dan Faṭīmah hingga aku merasakan
kesejukan kedua kakinya. Dan beliau bersabda: "Maukah aku tunjukkan
pada sesuatu yang lebih baik dari pada apa yang kalian minta? Bila
kalian hendak beranjak ke tempat tidur, maka bertasbihlah tiga puluh tiga
kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali serta bertakbir tiga puluh
empat kali. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian daripada seorang
pembantu”. (HR. Bukhari).
Hadis ini sebetulnya digunakan al-Ṣābūnī dalam kaitan mempertegas
pendapatnya tentang wanita wajib di rumah dan mengerjakan pekerjaan dan
tugas rumah tangga. Mengikuti dalil hadis di atas pula, al-Ṣābūnī memandang
wanita wajib untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan tidak boleh keluar
rumah kecuali ada keperluan. Wanita yang bekerja di luar rumah justru akan
membuka peluang pelanggaran hukum, termasuk hukum yang berkaitan dengan
keluarga maupun hukum pada pribadi wanita, yaitu tidak jarang wanita yang
keluar rumah membuka auratnya, baik disengaja atau tidak. Oleh sebab itu, dalil
yang lain digunakan adalah riwayat Tirmiżī: Bukhari sebagai berikut: (QS. al-
Aḥzāb [33]: 33). QS. al-Māidah [5] ayat 2Dari Ibn Abī Lailā,
ذا المرأة عورة : عن عبد الله بن مسعود عن النذبى صلى الله عليه وسل قال ا ا نذ
، وا
ل الله منا في قعر ا لاتكون أقرب ا نذ
يطان، وا فها الش ذ خرجت من بيتا استش
.بيتا
90
Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Riyadh: Bait al-Afkār al-Dauliyyah Linnasyr,
1998), hlm. 1061.
61
Dari Abdullah bin Ma’sud, dari Nabi Saw bersabda: Wanita itu aurat,
jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya. Dan tidaklah ia
lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya.
(HR. Tirmiżī).
Mengomentari hadis tersebut, al-Ṣābūnī menyebutkan wanita yang
keluar rumah rumah maka akan mudah dilihat syaitan, dan masuk dalam
perangkapnya, karena tubuh wanita dipandang sebagai aurat.92
Aurat di sini
menurut al-Ṣābūnī yaitu seluruh bagian tubuh wanita kecuali muka dan telapak
tangan.93
Oleh sebab itu, wanita wajib menutup aurat kecuali dalam keadaan
darurat, seperti seorang dokter wanita. Alasannya dengan adanya kaidah fikih
yaitu:94
.الضرورات تبيح المحظورات
Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Mencermati pendapat al-Ṣābūnī sebelumnya, juga terhadap dalil-dalil
yang ia kemukakan, tampak bahwa al-Ṣābūnī bukan melarang sama sekali isteri
keluar rumah. Wanita yang telah bersuami dipandang boleh keluar rumah jika
ada hajat dan kebutuhan yang sifatnya darurat. Wanita diperkenankan keluar
rumah dalam konteks dan keadaan tertentu, seperti membeli keperluan rumah,
menjenguk dan bersilaturrahim dengan sanak saudara, juga dibolehkan
berwisata dengan syarat mampu menutup aurat, berlaku dan bersikap sopan,
menjaga tata krama, dan tentunya didampingi oleh suami. Dalam konteks wanita
yang bersuami bekerja di luar rumah, pada asalnya al-Ṣābūnī melarangnya,
91
Īsā bin Saurah al-Tirmiżī, al-Jāmi’ al-Tirmiżī, (Riyadh: Bait al-Afkār al-Dauliyyah,
1998), hlm. 337. 92
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Zawāj..., hlm. 153. 93
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Fiqh..., Juz’ 3, hlm. 228-229. 94
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Fiqh..., Juz’ 3, hlm. 227. 95
Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Asybāh wa Naẓā’ir fī Qawā’id wa Furū’ Fiqh al-Syāfi’iyyah,
Juz’ 1, (Riyad: Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’ūdiyyah, 1997), hlm. 140: Kaidah tersebut dapat
pula dilihat dalam, Abdissalām al-Sallamī, Qawā’id al-Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anām, Juz’ 2,
(Mesir: Maktabah al-Kulliyyāt al-Azhadiyyah, 1991), hlm. 23.
62
sebab yang berkewajiban bekerja itu adalah suaminya, bukan dia. Wanita hanya
wajib mengerjakan pekerjaan yang ranahnya adalah dalam ligkup domestik,
seperti mengurus dan membereskan rumah, serta mendidik anak-anak.
Terhadap pendapat tersebut, maka penulis menduga kuat bahwa metode
istinbāṭ hukum yang digunakan al-Ṣābūnī adalah menggunakan metode istiṣlāḥī.
Para ahli memaknai metode istiṣlāḥī sebagai satu metode penalaran dengan
bertumpu pada pertimbangan kemaslahatan atau tujuan dari pensyariatan. Dalam
makna lain, metode istiṣlāḥī merupakan metode dengan melihat ada tidaknya
sisi maslahat dari satu peristiwa hukum, dan acuannya adalah dalil-dalil yang
memberi indikasi pemahaman umum tentang adanya kemaslahatan itu sendiri.96
Metode istiṣlāḥī yang digunakan al-Ṣābūnī tampak jelas ketika ia menghimpun
dalil-dalil yang umum tentang kedudukan wanita dalam rumah tangga, dan
kewajiban wanita untuk tetap dirumah dan wajib mengerjakan pekerjaan rumah.
Selain itu, alasan maṣlāḥah menjadi acuan al-Ṣābūnī melarang wanita bekerja di
luar rumah juga tampak pada beberapa kutipan pendapat al-Ṣābūnī sebelumnya.
Ia menyatakan: “لا لمصلحة الزوجين artinya, “Sebenarnya, semua ajaran ,”وما كانت تعاليم الاإسلام اإ
dan tuntunan Islam bertujuan mulia, yaitu untuk menciptakan kemaslahatan
dalam rumah tangga”.97
Setidaknya, ada empat langah umum dalam menggali
hukum melalui teori maṣlāḥah, yaitu:
a. Menetapkan masalah yang dikaji
b. Mengumpulkan dalil-dalil
c. Memahami makna nas-nas hukum tersebut, mepertimbangkan kondisi-
kondisi dan indikasi-indikasi signifikan suatu masyarakat, mencari
alasan yang dikandung oleh nas-nas tersebut, serta mereduksi nas-nas
hukum menjadi satu kesatuan yang utuh.
96
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2016), hlm. 18. 97
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Zawāj..., hlm. 154.
63
d. Kesimpulan.98
Empat langkah tersebut telah cukup memberi indikasi hukum al-Ṣābūnī
menggunakan metode istiṣlāḥī. Untuk langkah pertama, masalah yang dikaji
adalah tentang wanita bekerja di luar rumah, kemudian dalil-dalil yang di atas
telah dikutip menjadi rujukan al-Ṣābūnī. Dalam konteks dalil, al-Ṣābūnī
memahami semua dalil yang ada hubungannya dengan hubungan suami isteri
memberi indikasi kuat bahwa wanita hanya layak dan dimuliakan di dalam
rumah dan bekerja di dalamnya mengurusi rumah. Adapu kesimpulannya bahwa
al-Ṣābūnī memandang larangan wanita bekerja di luar rumah adalah demi
kemaslahatan.
D. Pendapat Muḥammad Alī al-Ṣābūnī tentang Hukum Wanita Bekerja di
Luar Rumah Dilihat dari Perspektif Teori Maṣlaḥah
Kajian teori maṣlaḥah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kajian
hukum. Agama Islam sendiri, seperti telah disebutkan pada bab dua,
menetapkan hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan kehiduapan manusia.
Artinya, bicara maṣlaḥah tidak lain bicara dalam hal tujuan yang ingin dicapai
dari semua konstruksi hukum yang ada dalam Islam. Bidang hukum keluarga
misalnya, semua ketetapan yang ada, baik mengenai kewajiban orang tua
terhadap anak, maupun hak-hak dalam keluarga secara umum ditetapkan
berdasarkan nilai-nilai kemaslahatan.
Kaitannya dengan pendapat Muḥammad Alī al-Ṣābūnī tentang hukum
wanita bekerja di luar rumah, cenderung bersesuaian dengan konsep maṣlaḥah
yang dibangun dalam hukum keluarga Islam. Wanita yang sudah bersuami
ditempatkan sebagai pihak yang harus mendapat perlindungan daru suaminya.
Salah satunya adalah dengan melengkapi semua kebutuhan hidup isteri, bekerja
di luar rumah dengan tujuan agar nafkah isteri dapat dipenuhi dengan baik.
Dalam konteks wanita bekerja di luar rumah, barangkali disesuaikan dengan
98
Al Yasa’ Abubakar, Metode..., hlm. 66.
64
situasi dan kondisi. Sebab, dewasa ini, ada pekerjaan-pekerjaan yang ahlinya
memang dari kalangan wanita, seperti dokter, perawat, menjadi notulen atau
sekretaris dalam sebuah perusahaan, dosen, dan lain sebagainya. Untuk itu,
kondisi ini tentu tidak boleh dinafikan. Hukum idealnya tidak ditempatkan
secara kaku dan menghambat wanita yang memiliki hobi dan keinginan untuk
bekerja di luar rumah.
Memang ada larangan bagi wanita untuk keluar rumah. Namun, larangan
tersebut tentu masuk dalam “larangan bersyarat”, yaitu ketika wanita keluar
rumah menampakkan aurat, ada keinginan untuk dilihat oleh kaum pria. Ketika
syarat ini tidak ada, dan wanita bekerja di luar rumah mampu menjaga tata
kesopanan dan hukum-hukum yang digariskan dalam Islam, tentu Islam tidak
melarangnya. Bahkan, wanita yang memiliki peran ganda (ranah domestik dan
publik) berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga tentu bagian dari
cara mewujudkan kemaslahatan itu sendiri.
Berangkat dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pendapat al-Ṣābūnī
sebelumnya cenderung bersesuaian dengan teori maṣlaḥah mursalah, di mana
hukum boleh tidaknya wanita bekerja di luar rumah agaknya belum dijelaskan
secara pasti di dalam Alquran maupun hadis. Hanya saja, dengan pertimbangan
ada tidaknya sisi maṣlaḥah, maka kedudukan hukum wanita bekerja di luar
rumah dikondisikan dalam dua keadaan. Satu sisi, wanita yang bekerja lantaran
ingin menampakkan perhiasan dan aurat kepada pria justru diharamkan. Di sisi
lain, wanita bekerja di luar rumah demi untuk memenuhi hajat hidup keluarga,
maka hal ini dibolehkan dengan memenuhi syarat dan ketentuan dalam hukum
Islam, misalnya bekerja dengan tertutup aurat, tidak mengabaikan kewajibannya
selaku isteri dalam rumah tangga, dan syarat-syarat lainnya.
Islam mengakui keberadaan konsep maṣlaḥah sebagai satu langkah
penemuan hukum. Tetapi maṣlaḥah yang dimaksud harus tidak bertentangan
dengan dalil yang lebih tinggi kedudukannya, atau paling tidak maṣlaḥah yang
65
dibangun justru dalam kategori hukum yang masih kurang tegas penunjukan
dalilnya.
Dalam konteks penetapan hukum wanita bekerja di luar rumah, maka
timbangan utamanya adalah dalil nas yang menyebutkan ada tidaknya larangan
wanita bekerja di luar rumah, atau ada tidaknya dalil yang memberi peluang
wanita dimungkinkan bekerja di luar rumah. Apapila wanita bekerja di luar
rumah justru akan menimbulkan bahaya, maka hukum bekerja di luar rumah
dipandang haram, sementara jika sebeliknya, wanita mampu untuk memenuhi
syarat dan ketentuan tata krama dalam Islam, ditambah dengan adanya peluang
maslhata yang besar, maka hukum wanita bekerja di luar rumah justru
dibolehkan. Hal ini sesuai dengan salah satu kaidah fikih yang dimuat dalam
kitab “Qawā’id al-Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anām” karya Izzuddīn bin Abdussalām,
yaitu:
ل أ فضل المقاصد هي أ فضل الوسائلوللوسائل أ حكام المقاصد فمن .... ، فالوس يلة اإ
.وفقه الله للوقوف على ترتب المصالح عرف فاضلها من مفضولهاHukum sarana sebagaimana hukum maksud yang dituju. Sarana menuju
maksud yang paling utama merupakan sara yang paling utama.... Barang
siapa yang diberikan karunia Allah untuk menentukan urutan
kemaslahatan niscaya ia tahu hal yang lebih utama.
Poin penting yang harus dilihat adalah pertimbangan penetapan hukum
suatu masalah. Dalam Islam, pertimbangan penetapan hukum adalah
mendahulukan dalil nash syarak dibandingkan dengan rasionalitas akal. Sebab,
akal posisisnya hanya digunakan dalam menelaah ketentuan nash syarak.
Misalnya menganalisis sebab-sebab satu ketentuan hukum ditetapkan bagi
manusia dan menganalisis tujuan ditetapkannya hukum. Demikian juga dalam
kasus penetapan hukum wanita bekerja di luar rumah. Jika semata didasari oleh
99
Izzuddīn bin Abdussalām, Qawā’id al-Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anām, (Mesir: Maktabah
al-Kulliyyāt al-Azhadiyyah, 1991), hlm. 53-55.
66
emansipasi wanita tanpa mengindahkan hukum Islam, maka hal tersebut tentu
berseberangan dengan hukum Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, sisi maslahat
yang ada dalam hukum wanita keluar rumah barangkali bersifat conditional,
artinya disesuaikan dengan kondisi dan motivasi wanita tersebut bekerja di luar.
67
BAB EMPAT
PENUTUP
Bab empat, merupakan bab penutup yang merupakan hasil dari analisa
yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya. Bab ini disusun dengan dua
poin yaitu kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud yaitu beberapa
poin penting terkait jawaban singkat atas temuan penelitian, khususnya mengacu
pada pertanyaan yang telah diajukan sebelumya. Adapun saran dikemukakan
dalam kaitan dengan masukan-masukan yang diharapkan dari berbagai pihak
terkait, baik secara khusus dalam kritik dan saran tentang teknik dan isi
penelitian, maupun dalam hubungannya dengan analisis isi.
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab terdahulu, ditemukan beberapa yang
menjadi kesimpulan penelitian ini. Masing-masing dapat disarikan dalam poin
berikut:
1. Pandangan Muḥammad Alī al-Ṣābūnī tentang Hukum Wanita Bekerja di
Luar Rumah, Muḥammad al-Ṣābūnī tidak berpandangan yang sama
dengan pemahaman ulama mazhab tentang isteri hanya memiliki
kewajiban dalam melayani bidang hajat biologis saja dan tidak
berkewajiban melayani suami dalam urusan rumah tangga. Menurutnya,
mengurus rumah tangga seperti memasak, menyapu, dan mengerjakan
segala urusan rumah tangga adalah tugas wajib isteri. Seorang isteri
hanya dibenarkan bekerja melaksanakan tugas di dalam rumah,
sementara urusan kerja di luar rumah adalah tanggung jawab dan
kewajiban suami.
2. Dalil dan Metode Istinbāṭ Muḥammad Alī al-Ṣābūnī dalam menetapkan
hukum wanita bekerja di luar rumah. Menurutnya, hukum wanita yang
bersuami bekerja diluar rumah dilarang, sebab ia dibatasi dengan
68
kewajibannya dalam melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Dalil yang
digunakan adalah QS. al-Māidah [5] ayat 2, QS. al-Aḥzāb [33] ayat 33,
HR. al-Bukhārī dari Ibn Abī Lailā, HR. Tirmiżī dari Abdullāh bin
Ma’sūd. Adapun metode istinbāṭ yang dipakai oleh al-Ṣābūnī cenderung
pada penalaran istiṣlāḥī, yaitu penalaran dengan bertumpu pada
pertimbangan kemaslahatan. Metode istiṣlāḥī yang digunakan al-Ṣābūnī
tampak saat ia menghimpun dalil-dalil yang umum tersebut tentang
kedudukan wanita dalam rumah tangga, dan kewajiban wanita untuk
tetap di rumah dan wajib mengerjakan pekerjaan rumah. Dalam konteks
dalil, al-Ṣābūnī memahami semua dalil yang ada hubungannya dengan
hubungan suami isteri memberi indikasi kuat bahwa wanita hanya layak
dan dimuliakan di dalam rumah dan bekerja di dalamnya mengurusi
rumah. Adapun kesimpulannya bahwa larangan wanita bekerja di luar
rumah adalah demi kemaslahatan.
3. Pendapat Muḥammad Alī Al-Ṣābūnī tentang hukum wanita bekerja di
luar rumah dilihat tampak sejalan dengan teori maṣlaḥah. Sebab,
larangan wanita bekerja di luar rumah bertujuan untuk meminimalisir
terjadinya kerusakan bagi wanita dan mendatangkan kemaslahatan
baginya.
B. Saran
Terhadap permasalah penelitian ini, terdapat beberapa saran yang
diajukan sebagai berikut:
1. Hendaknya, wanita yang bersuami yang bekerja di luar rumah tetap
mematuhi tata krama dan nilai hukum Islam, seperti tetap melakukan
kewajiban dalam rumah tangga, tidak menutup aurat dan perkara
larangan lainnya. Wanita juga diharapkan dapat membantu suami dalam
mengurus dan melaksanakan tugas-tugas rumah tangga.
69
2. Bagi akademisi, parktisi hukum, dan instansi terkait dapat mengajukan
telaah ulang mengenai hukum wanita bekerja di luar rumah dilihat
tampak sejalan dengan teori maṣlaḥah. Temuan-temuan ini nantinya
dapat dijadikan sebagai bahan dan referensi lanjutan terhadap
penyelesaian persoalan hukum wanita bekerja di luar rumah.
70
DAFTAR PUSTAKA
A. Patra M. Zein dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum di
Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaiakan Masalah
Hukum, Cet. 2, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia, 2007.
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3, Banda Aceh:
Yayasan PeNA, 2010.
A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawwir, Surabaya:
Pustaka Progressif, 2007.
Abd al-Ḥayy Abd al-Al, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, Terj: Muhammad Misbah,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014.
Abd al-Karīm Zaidān, al-Mafaṣṣal fī Aḥkām al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fī
al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, Juz’ 4, Bairut: Mu’assasah al-Risālah, 1993.
Abd al-Majīd Maḥmūd Maṭlūb, al-Wajīz fī Aḥkām al-Usrah al-Islāmiyyah, Terj:
Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Jakarta: Era Intermedia, 2005.
Abd al-Wahhāb al-Khallāf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, Terj: Moh. Zuhri dan Ahmad
Qarib, Edisi Kedua, Semarang: Dina Utama, 2014.
______, Aḥkām al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah, Kuwait: Dār al-Qalām, 1990.
Abd Rahman Ghazaly, dkk., Fiqh Muamalat, Cet. 4, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2015.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2004.
Abdul Majid Mahmud Mathlub, al-Wajīz fī al-Aḥkām al-Usrah al-Islāmiyyah,
ed. In, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, terj: Harits Fadly dan
Ahmad Khotib, Surakarta: Era Intermedia, 2005.
Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Edisi Pertama, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2017.
Abdul Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, Edisi Revisi, Cet. 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012.
Abdullāh al-Tuwaijīrī, Mukhtaṣar al-Fiqh al-Islāmī, Terj: Achmad Munir
Badjeber, dkk, Cet. 23, Jakarta: Darus Sunnah, 2015.
71
Abdurraḥmān al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-Arba’ah, Terj: Faisal Saleh,
Jilid 5, Cet. 2, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2017.
Abī al-Ḥasan al-Māwardī, al-Ḥāwī al-Kabīr fī Fiqh Mażhab al-Imām al-Syāfi’ī,
Juz’ 9, Bairut: Dār al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1994.
Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz’ 6, Bairut: Mu’assasah
al-Risālah, 2006.
Abī Dāwud Sulaimān bin al-Asy’aṡ al-Sajastānī, Sunan Abī Dāwud, Riyadh:
Bait al-Afkār al-Dauliyyah Linnasyr, 1420.
Abu Ahmad Najieh, Fikih Mazhab Syafi’i, Cet. 2, Bandung: Marja, 2018.
Abū al-A’lā al-Maudūdī, Ḥuqūq Insān fī al-Islām, Translate: Khirshid Ahmad,
London: The Islamic Foundation, 1980.
______, Towards Understanding the Qur’ān, Translate: Zafar Ishaq Ansari,
Volume 2, London: The Islamic Foundation, 1989.
Abū Ḥāmid al-Ghazālī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, Mesir: Sidra, t. tp.
______, Iḥyā’ ‘Ulūmuddīn, Juz’ 2, Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2005.
Abū Isḥāq al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, Bairut: Dar al-Kutb al-
‘Ilmiyyah, 2004.
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi, Cet. 2,
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2015.
Al Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2016.
Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme: Pemahaman Awal
Kritik Sastra Feminisme, Jakarta: Garuda Wacana, 2012.
Alī bin Muḥammad al-Jurjānī, Mu’jam al-Ta’rīfāt, Tp: Dār al-Faḍīlah, 2004.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama, Cet. 5,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
______, Ushul Fiqh, Cet. 6, Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011.
Amran Suadi dan Mardi Candra, Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan
Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2016.
72
Amrū ‘Abd al-Karīm Sa’dāwī, Qaḍāyā al-Mar’ah fī Fiqh al-Qaraḍāwī, Terj:
Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009.
Barsihannor, Pemikiran Abū al-A’lā al-Maudūdī. Jurnal: “Adabiyah”. Volume
13. Nomor 2. 2013.
Etin Anwar, Gender and Self in Islam, Terj: Kuriasih, Bandung: Mizan Pustaka,
2017.
Fridaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara
Konprehensi, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Hans Wehr, A Dictionary of Modern, New York: SLS, 1976.
HMA. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap, Cet. 4, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Ibn Ḥazm, Marātib al-Ijmā’, Bairut: Dār Ibn Ḥazm, 1998.
Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān, Juz’ 6, Riyad:
Hajar, 2001.
Ibn Manẓūr al-Ifrīqī al-Anṣārī, Lisān al-‘Arb, Juz’ 11, Kuwait: Dār al-Nawādir,
2010.
Ibn Munżir, al-Iqnā’, Riyad: al-Tijāriyyah, 1408.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, ‘Aun al-Ma’būd Syarḥ Sunan Abī Dāwud, Juz 6,
Madinah: Maktabah al-Salafiyyah, 1968.
______, Zād al-Ma’ād fī Hadyi Khair al-‘Ibād, Terj: Masturi Irham, dkk, Jilid 5,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008.
Ibn Qudāmah, al-Mughnī Syarḥ al-Kabīr, Juz’ 8, Bairut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī,
1983.
______, Mukhtaṣar Minhāj al-Qāṣidīn, Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 2000.
Ibn Sa’īd al-Qaḥṭānī, Mausū’ah al-Ijmā’ fī al-Fiqh al-Islāmī, Juz’ 3, Mesir: Dār
al-Hudā al-Nabawī, 2013.
Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatāwa Ibn Taimiyah, penyusun: Abdurrahman bin
Muhammad ibnu Qasim, ed. In, “Majmu Fatawa tentang Nikah”,
terj: Abu Fahmi Huaidi & Syamsuri an-Naba, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002.
Ibn Umar al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Kasysyāf, Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009.
73
Imād Zakī al-Barūdī, Tafsīr Qur’ān al-‘Aẓīm li al-Nisā’, Terj: Tim Penerjemah
Pena, Jilid 1, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013.
Īsā bin Saurah al-Tirmiżī, al-Jāmi’ al-Tirmiżī, Riyadh: Bait al-Afkār al-
Dauliyyah, 1998.
Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Riyadh: Bait al-Afkār al-Dauliyyah
Linnasyr, 1998.
Izzuddīn bin Abdussalām, Qawā’id al-Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anām, Mesir:
Maktabah al-Kulliyyāt al-Azhadiyyah, 1991.
Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Asybāh wa Naẓā’ir fī Qawā’id wa Furū’ Fiqh al-
Syāfi’iyyah, Juz’ 1, Riyad: Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’ūdiyyah,
1997.
Jurnal yang ditulis Sanawiah, Hukum Perempuan Yang Sudah Menikah Bekerja
Di Luar Rumah Dalam Perspektif Islam”, dimuat dalam Jurnal Ittihad
Kopertais Wilayah XI Kalimantan.
Jonaedi Efendi, dkk., Kamus Istilah Hukum Populer, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2016.
M. Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum
Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2013.
M. Quraish Shihab, Yang Hilang dari Kita Akhlak, Tangerang: Lentera Hati,
2016.
Mabrūk al-Aḥmadī, dkk., al-Fiqh al-Muyassar, Terj: Izudin Karimi, Cet. 3,
Jakarta: Darul Haq, 2016.
Maḥmūd ‘Alī al-Sarṭāwī, Syarḥ Qānūn al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah, Aman: Dār al-
Fikr, 2007.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Wadzurya, 1989.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Cet. 2, Jakarta: Kencana
Prenada Mdia Group, 2013.
Mohammad Moneb dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam
Pandangan Nurcholish Madjid, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Muh. Hanbali, Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari dari Kandungan Hingga
Kematian, Yogyakarta: Laksana, 2017.
74
Muḥammad ‘Amīm al-Barkatī, al-Ta’rīfāt al-Fiqhiyyah, Bairut: Dār al-Kutb al-
‘Ilmiyyah, 2003.
Muḥammad Abū Zahrah, al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah, Madinah: Dār al-Fikr al-
‘Arabī, tt.
______, Uṣūl al-Fiqh, Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1958.
Muḥammad al-Ḥabīb al-Khaujah, Maqāṣid al-Syar’iyyah al-Islāmiyyah li
Syaikh al-Islām Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āsyūr, Juz 3, Qatar: Amīr
Daulah, 2004.
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Fiqh al-Syar’ī al-Muyassar fī Ḍau’ al-Kitāb wa
al-Sunnah, Juz’ 3, Beirut: al-Maktabah al-‘Aṣriyyah, 2003.
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, al-Mawāriṡ fī al-Syarī’ah al-Islāmiyah, Terj:
Hamdan Rasyid), Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2005.
______, al-Tafsīr al-Wāḍiḥ al-Muyassar, Beirut: al-Maktabah al-‘Aṣriyyah,
2007.
______, al-Zawāj al-Islāmī al-Mubakkir: Sa’ādah wa Ḥaṣānah, Damaskus: Dār
al-Fikr, 1995.
______, Kawinlah Selagi Muda, Tp, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2000.
______, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn al-Kaṡīr, Juz’ 1, Beirut: Dār al-Qur’ān al-Karīm,
1981.
______, Rawā’i’ al-Bayān Tafsīr Ātāt al-Aḥkām min al-Qur’ān, Juz’ 1,
Damaskus: Maktabah al-Ghazāī, 1980.
______, Ṣafwah al-Tafāsīr, Juz’ 1, Beirut: Dār al-Qur’ān al-Karīm, 1981.
______, Syubuhāt wa Abāṭīl Ḥaul: Ta’addat Zaujāt al-Rasūlullāh Saw, Mekkah:
Kulliyyah al-Syarī’ah wa al-Dirāsāt al-Islāmiyyah, 1980.
Muḥammad al-Zuḥailī, al-Mu’tamad fī Fiqh al-Syāfi’ī, Terj: M. Hidayatullah,
Jilid 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2018.
Muḥammad Ayyūb bin Yaḥyā al-‘Alī al-Dimasyqī, al-Taḥrīr al-Yasīr, tp.
Muṣṭafā Aḥmad al-Zarqā, al-Madkhal ilā Naẓariyyah al-‘Iltizām al-Āmmah fī
al-Fiqh al-Islāmī, Damaskus: Dār al-Qalam, 1999.
Muṣṭafā Dib al-Bughā, al-Tahżīb fī Adillah Matn al-Ghāyah wa al-Taqrīb, Cet.
2, Jakarta: Mizan Pustaka, 2017.
Rizem Aizid, Fiqh Keluarga Terlengkap, Yogyakarta: Laksana, 2018.
75
Sālim bin Abd al-Ghanī al-Rāfi’ī, Aḥkām al-Aḥwāl al-Syakhṣiyyah li Muslimīn fī
al-Gharb, Bairut: Dār Ibn Ḥazm, 2002.
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Cet. 4, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, ed. In, Fikih Sunnah, terj: Asep Sobari, jilid 2,
Jakarta: Al-I’Tishom, 2013.
Sayyid Sālim, Fiqh al-Sunnah li al-Nisā’, Jakarta: Qisthi Press, 2013.
Syaikh Safiyurrahman al-Mubarakfur, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, tp, jilid 5,
Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, tt.
Skripsi Ovi Munawarah, Kewajiban Isteri dalam Rumah Tangga: Studi
Terhadap Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Skripsi yang tidak
dipublikasikan, Fakultas Syariah dan Hukum, Prodi Studi Hukum
Keluarga, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry tahun 2018.
Skripsi Heri Suwandi, Pemahaman Masyarakat terhadap Kewajiban dan
Pengabdian Isteri dalam Rumah Tangga: Studi Kasus di Kecamatan
Jaya Baru Kota Banda Aceh, Skripsi yang tidak dipublikasikan,
Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Hukum Keluarga, UIN Ar-
Raniry, tahun 2016,
Skrispi Shirhi Athmainnah, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Istri Bekerja di
Luar Negeri dalam Pembentukan Keluarga Sakinah: Studi Kasus di
Desa Muntur, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Skripsi
yang tidak dipublikasikan, Fakultas Syari’ah dan Hukum prodi al-
Ahwal al-Syakhsiyyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, tahun 2012.
Skripsi Faishol Abdul Aziz, Dampak Seorang Istri yang Bekerja pada Malam
Hari terhadap Kehidupan Keluarga Perawat Ditinjau Menurut
Hukum Islam, Skripsi yang tidak dipublikasikan, Fakultas Syari’ah
dan Ilmu Hukum prodi Ahwal al-Syakhshiyyah, UIN SUSKA
Pekanbaru, tahun 2012.
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 3, Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2009.
Tesis Muhammad Rusli, Wanita Karir Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus
DiKecamatan Rappocini Kota Makassar, Tesis yang tidak
dipublikasikan), Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Uinam,
Pada Tahun 2016.
Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008.
76
Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, Terj: Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk., Jilid 10, Jakarta: Gema Insani Press, 2011.
Wizārah al-Auqāf, Mausū’ah al-Fiqhiyyah, Juz’ 42, Kuwait: Wizārah al-Auqāf,
1995.
Yusuf al-Qaradhawi, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām, terj: M. Tatam Wijaya,
Jakarta: Qalam, 2017.
Zaitunah Subhan, Alquran dan Perempuan: Menujuk Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama Lengkap : Sari Rahmah
Tempat /Tgl Lahir : Agusan/ 25 Oktober 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
NIM : 150101102
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Desa Mangul Dusun Gele, Kec. Blangkejeren, Kab
Gayo Lues
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD : MIN Ujong Baro, Tahun Lulus 2008
SMP : MTS Negeri 1 Blangkejere, Tahun Lulus 2011
SMA : SMA Negeri 1 Blangkejeren, Tahun Lulus 2014
PTN : UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Fakultas Syariah dan
Hukum
NAMA ORANG TUA
Ayah : Syawaluddin
Ibu : Aminah
Pekerjaan Orang Tua
Ayah : Petani
Ibu : Pedagang
Alamat Orang Tua : Desa Mangul Dusun Gele, Kec. Blangkejeren, Kab
Gayo Lues
Banda Aceh, 4 Januari 2020
Sari Rahmah