bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan teori 1.1. sepuluh ... · judul yang sensasional dan isi berita...

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1.1. Sepuluh Elemen Jurnalisme Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap jurnalis. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme 1 . Namun pada perkembangannya, sembilan elemen bertambah menjadi sepuluh. Kesepuluh elemen tersebut adalah: 1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran Bentuk kebenaran jurnalistik yang ingin dicapai ini bukan sekedar akurasi, namun juga merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Kebenaran dalam penyampaian peristiwa. Ini bukan soal kebenaran mutlak atau filosofis. Kewajiban utama ini agar masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat 2 . 2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens) Organisasi pemberitaan memang dituntut untuk melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain untuk pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada publik atau warga. Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik 3 . 3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang sebenar-benarnya terjadi. Dalam 1 Kovach, Bill. Rosenstiel, Tom. 2007. The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. New York: Crown Publishers. 2 Ibid, hal. 36 3 Ibid, hal. 50

Upload: others

Post on 02-Nov-2019

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TEORI

1.1. Sepuluh Elemen Jurnalisme

Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap

jurnalis. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan

Elemen Jurnalisme1. Namun pada perkembangannya, sembilan elemen bertambah menjadi

sepuluh. Kesepuluh elemen tersebut adalah:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran

Bentuk kebenaran jurnalistik yang ingin dicapai ini bukan sekedar akurasi, namun juga

merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Kebenaran dalam penyampaian

peristiwa. Ini bukan soal kebenaran mutlak atau filosofis. Kewajiban utama ini agar

masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat2.

2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)

Organisasi pemberitaan memang dituntut untuk melayani berbagai kepentingan

konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik

saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain untuk pemberitaan yang sukses. Namun,

kesetiaan pertama harus diberikan kepada publik atau warga. Ini adalah implikasi dari

perjanjian dengan publik3.

3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi

Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa,

membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak.

Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang sebenar-benarnya terjadi. Dalam

1 Kovach, Bill. Rosenstiel, Tom. 2007. The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. New York: Crown Publishers. 2 Ibid, hal. 36 3 Ibid, hal. 50

kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang

obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput

berita4. Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan:

a. Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada.

b. Jangan mengecoh audiens.

c. Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda.

d. Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri.

e. Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput

Jurnalis harus sebisa mungkin bersikap independen dari faksi-faksi, tanpa takut dan tanpa

tekanan, tanpa konflik kepentingan. Namun, dalam banyak kasus, jurnalis tidak pernah bisa

benar-benar independen. Mereka bekerja untuk majikan yang punya kekuasaan dan uang.

Atau mungkin mereka punya saudara yang dekat kekuasaan. Jika wartawan/media memiliki

hubungan yang bisa dipersepsikan sebagai konflik kepentingan, mereka berkewajiban

melakukan full-disclosure tentang hubungan itu.” Tujuannya adalah agar pembaca waspada

dan menyadari bahwa tulisan/liputan itu tidak benar – benar independen. Wartawan boleh

mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang

wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas5.

5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan

Jurnalisme berfungsi pula sebagai pemantau jalannya pemerintahan dan lembaga kuat di

masyarakat. Dengan adanya pers, pejabat dan para pemimpin didorong untuk tidak

melakukan hal yang buruk dan menggunakan kekuasaanya dengan adil. Jurnalis juga

mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri6.

4 Ibid, hal. 70 5 Ibid, hal. 94 6 Ibid, hal. 111

6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik

Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum dimana

publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong

warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap7.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan

Jurnalis harus mampu mengubah berita penting menjadi semenarik dan serelevan mungkin

untuk dibaca, didengar atau ditonton. Pembaca tidak akan bosan membaca berita dengan

komposisi berita dan penulisan yang baik8.

8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional

Judul yang sensasional dan isi berita yang terlalu emosional bukanlah suatu produk

jurnalistik yang baik. Isi berita harus proporsional, sedangkan yang dimaksud dengan

komprehensif adalah sifat menyeluruh dimana jurnalis harus mencari fakta-fakta lebih jauh

(tidak hanya menerima fakta yang terlalu mudah bisa diraih) dan disusun dalam sebuah

konteks sehingga terlihat keterkaitannya masing-masing9.

9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka

Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung

jawab personal, atau sebuah panduan moral. Jurnalis yang independen adalah yang bisa

exercise hati nurani itu tanpa tekanan dan tanpa iming-iming, termasuk tekanan atasan dan

tekanan kehilangan pekerjaan. Jika seorang jurnalis meyakini suatu kebenaran, tapi dia takut

mengungkapkannya karena takut dipecat, maka dia tidak independen, bertentangan dengan

elemen ke-410.

10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.

Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet.

Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan

7 Ibid, hal. 131 8 Ibid, hal. 147 9 Ibid, hal. 163 10 Ibid, hal. 179

media sendiri. Warga masyarakat dapat menyumbangkan berita di blog masing-masing yang

dikenal dengan citizen journalism. Selain blog, terdapat jurnalisme online, jurnalisme warga,

jurnalisme komunitas, dan media alternatif lain.

Dari sepuluh elemen jurnalisme tersebut setidaknya ada empat elemen yang sangat terkait

dengan penelitian ini. Empat elemen tersebut adalah Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada

kebenaran, Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga, Esensi jurnalisme adalah disiplin

verifikasi, dan Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput. Kovach mengatakan

Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa

memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik”

yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis

dan fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses

menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber

berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme —pengejaran

kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah

yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain11.

Loyalitas pertama dari jurnalisme harus diberikan kepada warga. Hal ini penting karena

dimasa kemajuan teknologi ini jurnalisme telah bergeser dari peran media massa menjadi sebuah

unit usaha yang mengutamakan keuntungan secara finansial. Tak jarang wartawan yang bertugas

di lapangan justru lebih berperan sebagai marketing, dari perusahaan media tempatnya bekerja.

Sementara peran utama sebagai pengumpul informasi, dilepamparkan kepada rekan sejawat yang

tentunya berbeda media. Namun pada prakteknya, perusahaan media yang mendahulukan

kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan

bisnisnya sendiri.

Sementara Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi

peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak.

Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan

dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif

sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita12.

11 Ibid 12 Ibid

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang

dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-

orang yang mereka liput. Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting

ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-

datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan

memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan13.

1.2. Orisinalitas Berita

Dan yang menjadi fokus utama di elemen ini jelas masalah orisinalitas berita. Wartawan

dituntut untuk membuat karya orisinil yang merupakan hasil peliputan sendiri, yang tentunya

bisa lebih dipertanggung jawabkan baik secara data maupun secara moral. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, definisi orisinalitas adalah keaslian14. Sedangkan Bill Kovach dan Tom

Rosenstiel sudah sangat jelas dalam rumusannya, bahwa orisinalitas berita ini sangat penting

dalam pekerjaan peliputan berita. Disiplin verifikasi ini haruslah dicamkan oleh setiap wartawan

di muka bumi ini. Banyak kasus yang terjadi seperti tuntutan narasumber pada media massa,

karena kelemahan sang wartawan dalam melakukan verifikasi. Tak jarang mereka mengutip

pernyataan dari narasumber, tanpa pernah wawancara ataupun tatap muka sekalipun. Kejujuran

adalah sesuatu yang harus dipegang teguh oleh setiap insan pers, mulai dari reporter hingga ke

level redaksi. Karena dalam proses komunikasi, mereka bertindak sebagai komunikator yang

menyampaikan pesan lewat media massa. Jika itu tidak dilandasi kejujuran, tentunya akan

berdampak kurang baik setidaknya pada berita yang mereka tulis. Pesan yang disampaikan harus

bisa dipertanggung jawabkan, terutama dari sisi kebenaran, orisinalitas, dan juga keakuratannya.

Namun apakah hal tersebut bisa diperoleh para komunikator, dari berita yang ditulis tanpa ada

konfirmasi langsung ke sumbernya?

1.3. Media Framing

Dalam pembahasannya, Littlejohn menuliskan bahwa framing mengacu pada proses

menempatkan sebuah berita bersama-sama, termasuk cara-cara dimana cerita diatur dan

dibangun. Media Framing menyoroti aspek-aspek tertentu dari masalah dan menarik perhatian

13 http://www.andreasharsono.net/2001/12/sembilan-elemen-jurnalisme.html 14 Kamus Besar Bahasa Indonesia

kita. Konsep framing telah dikaitkan erat dengan agenda setting selama bertahun-tahun15.

Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas

sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi yang lebih besar dari isu yang lain16. Pan dan Kosicki

menyatakan bahwa terdapat dua konsepsi dari framing yang saling berkaitan. Pertama, dalam

konsepsi psikologi yaitu bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya serta

bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalam skema tertentu.

Kedua, konsepsi sosiologis yaitu bagaimana individu menafsirkan suatu peristiwa melalui cara

pandang tertentu. Bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan

menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya.17

Namun dalam penelitian ini, framing akan digunakan sebagai pedoman untuk memetakan

berita di 3 koran lokal kota Solo yang akan menjadi obyek penelitian. Berita yang akan

digunakan sebagai obyek adalah berita di halaman daerah. Dimana kemiripannya, bagaimana

tingkat kemiripannya, dan di bagian apa saja yang paling sering terlihat kemiripan berita,

disitulah framing digunakan.

1.4. Agenda Setting

Para peneliti telah lama mengetahui bahwa media memiliki kemampuan untuk menyusun

isu-isu bagi masyarakat. Salah satu penulis awal yang merumuskan gagasan ini adalah Walter

Lippmann, yang merupakan seorang jurnalis Amerika Serikat. Lippmann mengambil pandangan

bahwa masyarakat tidak merespon pada kejadian sebenarnya dalam lingkungan, tetapi pada

gambaran dalam kepala kita (media), yang dia sebut dengan lingkungan palsu. Karena

lingkungan yang sebenarnya terlalu besar, terlalu kompleks, dan terlalu menuntut adanya kontak

langsung.18

Fungsi penyusunan agenda telah dijelaskan oleh Donal Shaw, Maxwell McCombs dan

rekan-rekan mereka yang menulis bahwa, ada bukti besar yang telah dikumpulkan bahwa

penyunting dan penyiar memainkan bagian yang penting dalam membentuk realitas sosial kita

ketika mereka menjalankan tugas keseharian mereka dalam memilih dan menampilakan berita.

Pengaruh media massa ini adalah kemampuan untuk memengaruhi perubahan kognitif

15 Littlejohn, Stephen W. Foss, Karen A. 2011. Theories of Human Communication-Tenth Edition. Waveland Press. Iiiinois. hal. 344 16 Eriyanto. 2001. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LKiS. Jogjakarta. hal. 186 17 Eriyanto, Loc cit, hal. 252-253 18 Littlejohn, Foss. Op Cit. hal. 341

antarindividu untuk menyusun pemikiran mereka, telah diberi nama fungsi penyusunan agenda

dari komunikasi massa. Disini terletak pengaruh paling penting dari komunikasi massa,

kemampuannya untuk menata mental dan mengatur dunia kita bagi kita sendiri. Singkatnya,

media massa mungkin tidak berhasil dalam dalam memberi kita apa yang harus dipikirkan, tetapi

mereka secara mengejutkan berhasil dalam memberitahu kita tentang apa yang harus kita

pikirkan. Atau dengan kata lain, penyusunan agenda membentuk gambaran atau isu yang penting

dalam pikiran masyarakat. 19

Teori Agenda Setting yang ditemukan Maxwell McCombs dan Donal L. Shaw sekitar

tahun 1968 ini berasumsi bahwa media memiliki kekuatan untuk mentransfer isu untuk

mempengaruhi agenda publik. Khalayak akan menganggap isu tersebut penting apabila media

menganggap isu itu penting.20 Jadi disini peran media sangat besar dalam membentuk opini

publik, bahkan jika hal tersebut hanya berdasarkan asumsi saja. Media massa punya fungsi untuk

melakukan kontrol, baik kontro sosial maupun politik, dan memiliki kebijakan agenda setting

yang mana bisa membuat khalayak menganggap sesuatu menjadi penting, asalkan hal tersebut

dianggap penting oleh media. Disinilah media memegang peranan penting dalam kehidupan

sehari-hari. Orang cenderung menganggap apa yang dimuat di media massa adalah sesuatu yang

benar, layak untuk dipercaya, sangat mungkin untuk disebar luaskan. Dalam penelitian ini tentu

akan membahas fungsi media sebagai kontrol sosial, dengan mengacu pada teori agenda setting

ini. Ada tujuan apa dibalik sebuah produksi berita media cetak? Apakah itu kebenaran, atau

hanya mengekor saja.

1.5. Media Massa

Media massa seperti surat kabar, majalah, buku, radio, film, radio, dan televisi pada

umumnya dibedakan menjadi dua jenis yakni media cetak dan media elektronik21. Surat kabar

atau Koran sudah menjadi bagian dari sejarah dunia sejak kemunculannya lebih dari setengah

millennium lalu atau lebih dari 500 tahun. Media massa juga disebut “Pers” merupakan lembaga

sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk

19 ibid 20 Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pasal 1

tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya

dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia22.

Sebagaimana fungsinya sebagai media massa, Koran mewakili masyarakat untuk mendapatkan

informasi.

1.6. Jurnalistik dan Berita

AS Haris Sumadiria mengatakan bahwa secara etimologis jurnalistik berasal dari kata

journ. Dalam bahasa Prancis, kata journ berarti catatan atau laporan harian23. Sehingga bisa kita

ambil arti secara sederhana, jurnalistik berkaitan dengan pencatatan atau pelaporan. Jurnalistik

adalah kegiatan yang memungkinkan pers atau media massa bekerja dan diakui eksistensinya

dengan baik.

Menurut F. Fraser Bond, jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan

mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati24. Sedangkan Roland E. Wolseley

menyebutkan, jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan

penyebaran informasi umum, mendapat pemerhati, hiburan umum secara sistematik dan dapat

dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran25.

Kustadi Suhandang mengatakan, jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan

penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam

bentuk penerangan, penafsiran, dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-

sarana penerbitan yang ada26. Dalam Leksikon Komunikasi dirumuskan, jurnalistik adalah

pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyebarkan berita dan karangan untuk

surat kabar, majalah, dan media massa lainnya seperti radio dan televisi27. Sementara berita

adalah produk dari karya jurnalistik. Doug Newsom dan James A. Wollert mengemukakan,

dalam definisi sederhana, berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang atau lebih

22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran, pasal 13: 2 23 AS Haris Sumadiria, Drs. M.Si. Jurnalistik Indonesia – Menulis Berita dan Feature. 2006. Bandung. Simbiosa Rekatama Media. hal. 2 24 Bond, Frank Fraser. An Introduction to Journalism – Second Edition. 1961. New York. The Macmillan Company. hal. 1 25 Wolseley, Roland E. Understanding Magazine – Second Edition. 1969. Ames : Iowa State University Press. hal. 3 26 Suhandang. Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik, Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik. Cetakan Pertama. 2004. Nuansa. Bandung. hal. 22 27 Harimurti, Kridalaksana. Leksikon Komunikasi. Cetakan Pertama. 1984. Jakarta. Pradnya Paramita. hal. 44

luas lagi oleh masyarakat. Dengan melaporkan berita, media massa memberikan informasi

kepada masyarakat mengenai apa yang mereka butuhkan28.

Rosihan Anwar : Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau

bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu : singkat, padat, sederhana,

lancar, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik didasarkan pada bahasa baku, tidak

menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa, memperhatikan ejaan yang benar, dalam kosa kata

bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat. Kamus Besar Bahasa Indonesia:

Bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa Indonesia, selain tiga lainnya — ragam bahasa

undang-undang, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra29.

Dari berbagai definisi diatas, maka bisa disimpulkan bahwa berita itu adalah satu

kumpulan informasi yang berdasarkan fakta, akurat, menarik, dan penting bagi sebagian dari

masyarakat, yang dilaporkan secara cepat, dengan pengemasan naskah yang menarik dan

memiliki nilai bagi pembacanya. Dalam hal ini tentu kemampuan dan juga pola pikir sang

penulis atau reporter mempengaruhi tulisan berita yang dilaporkan tersebut.

Klaus Levinsena dan Charlotte Wien menyebutkan bahwa hasil liputan media

mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya, reaksi masyarakat juga mempengaruhi peliputan

berita30. Penelitian menunjukkan adanya interaksi terus-menerus, antara agenda politik, perilaku

pribadi dan publik kita, dan pembentukan opini. Hal ini menunjukkan bahwa sudut pandang

pemberitaan, juga tergantung oleh penerimaan masyarakat. Suatu berita yang mengangkat isu

tertentu, akan dinilai sebagai trending topic apabila menjadi bahan utama, dalam setiap

pembicaraan khalayak. Namun isu tersebut akan hilang, apabila sambutan pembaca hanya

sekadarnya saja. Hal ini juga membuat media, terus berusaha mencari berita yang bisa “dijual”

kepada masyarakat.

1.7. Eksklusivitas Berita

Kita mengenal dan mungkin sering mendengar kata berita eksklusif ataupun eksklusivitas

berita. Keduanya memiliki maksud dan arti yang sama, dan memiliki posisi yang sangat penting

28 Newsom, Doug. Wollert, James Alvin. Media Writing: News for the Mass Media. 1985. University of Minnesota. Wadsworth Publishing Company. hal. 11 29 Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat 2008) 30 Levinsena, Klaus. Wien, Charlotte Wien. Journal of Youth Studies, Changing media representations of youth in the news - a content analysis of Danish newspapers 1953 - 2003. 2011. Centre for Journalism, University of Southern Denmark, Odense. Denmark

dalam media massa. Kata eksklusivitas ini memiliki arti kualitas atau keadaan yang eksklusif31.

Ini berarti berita yang eksklusif memiliki nilai lebih dibandingkan berita yang lain. Dahulu berita

eksklusif adalah berita yang didapat oleh satu media massa saja. Sementara media lain tidak

memperolehnya, atau hanya kebagian running beritanya saja. Namun kini ditengah kemajuan

teknologi terutama teknologi komunikasi, nyaris tidak ada media yang ketinggalan satu peristiwa

dibandingkan yang lain. Kondisi ini memaksa media cetak, untuk melakukan improvisasi pada

teknik peliputannya. Selain itu terdapat pergeseran makna, dari eksklusivitas berita itu sendiri.

Berita eksklusif bisa jadi adalah satu peristiwa atau satu isu, yang diolah lebih tajam, lebih

dalam, dari sudut pandang yang berbeda dengan media lainnya.

Pada Koran lokal eksklusivitas berita ini seolah menjadi harga mati, yang harus dipenuhi

oleh tim redaksi. Bisa dengan menugaskan satu reporter khusus yang bergerak senyap, tanpa

bergabung dengan rekan reporter lain yang biasanya bergabung di lapangan. atau menugaskan

tim investigasi untuk melakukan liputan mendalam, terhadap satu kasus atau isu yang

sebenarnya juga digarap oleh media lain. Namun dengan angle yang berbeda dan lebih lengkap

menyajikan data maupun fakta, berita tersebut akan lebih menarik pembaca dibandingkan berita

sejenis di media cetak lain.

1.8. Kualitas Informasi

Pengertian Informasi Menurut Jogiyanto HM, “Informasi dapat didefinisikan sebagai

hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi

penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian – kejadian (event) yang nyata (fact) yang

digunakan untuk pengambilan keputusan”32.

Sedangkan menurut Anton M. Meliono, “Informasi adalah data yang telah diproses untuk

suatu tujuan tertentu. Tujuan tersebut adalah untuk menghasilkan sebuah keputusan”33. Informasi

disini adalah sebuah data, yang tentu didapatkan melalui sebuah proses pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara-cara tertentu. Bagi reporter di lapangan, pengumpulan data adalah suatu

kewajiban yang mutlak dan seharusnya tidak boleh diwakilkan, dalam hal ini berarti dilakukan

oleh orang lain atau teman. Secara umum informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari

31 http://www.merriam-webster.com/dictionary/exclusivity 32 Jogiyanto HM., Analisis dan Disain Informasi: Pendekatan Terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis. 1999. Yogyakarta. Andi Offset, hal. 692 33 Anton M. Meliono. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Jakarta. Penerbit Balai Pustaka, hal. 331

pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang

menggambarkan suatu kejadian-kejadian yang nyata yang digunakan untuk pengambilan

keputusan.

Sumber dari informasi adalah data. Data adalah kenyataan yang menggambarkan suatu

kejadian-kejadian dan kesatuan nyata. Kejadian-kejadian adalah sesuatu yang terjadi pada saat

tertentu. Kualitas informasi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut :

1. Keakuratan dan teruji kebenarannya.

Informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan tidak menyesatkan.

2. Kesempurnaan informasi

Informasi disajikan dengan lengkap tanpa pengurangan, penambahan, dan pengubahan.

3. Tepat waktu

Infomasi harus disajikan secara tepat waktu, karena menjadi dasar dalam pengambilan

keputusan.

4. Relevansi

Informasi akan memiliki nilai manfaat yang tinggi, jika Informasi tersebut dapat diterima

oleh mereka yang membutuhkan.

5. Mudah dan murah

Apabila cara dan biaya untuk memperoleh informasi sulit dan mahal, maka orang menjadi

tidak berminat untuk memperolehnya, atau akan mencari alternatif substitusinya34.

Dengan demikian, maka kualitas informasi akan dikatakan bagus apabila mampu memenuhi

faktor-faktor diatas. Bagi ketiga Koran lokal Solo, kualitas informasi menjadi hal utama yang

tidak boleh dikesampingkan. Sebab kualitas informasi, dalam hal ini kualitas pemberitaan,

adalah “dagangan” utama dari Koran. Namun dengan adanya persaingan antar media, maka

kualitas informasi terkadang nyaris dilupakan. Istilahnya siapa cepat dia dapat, hanya berlaku

pada kecepatan pengiriman berita saja. Sementara mengenai konten atau isi dari berita masih

bisa dilakukan perubahan di meja redaksi. Namun tak jarang karena kebutuhan dan juga adanya

tenggat waktu, proses pengeditan naskah di redaksi terkadang hanya formalitas belaka. Hal ini

terkadang menimbulkan masalah tatkala ada kesalahan baik redaksional maupun pengutipan

wawancara yang dipelintir.

34 Budi Sutedjo Dharma Oetomo. Perancangan & Pengembangan Sistem Informasi. 2002. Yogyakarta, Andi Offset, hal. 16-17

1.9. Teori Pers

Dalam buku Jurnalistik, Teori dan Praktek Hikmat Kusumaningrat membahas tentang

filosofi pers. Filosofi pers atau jurnalistik modern pertama kali ditulis dalam buku berjudul “Four

Theories of The Press” karangan Sibert, Peterson, dan Schramm pada tahun 1956 dan diterbitkan

oleh Universitas Illinois. Ada empat teori pers, yang kemudian diberi tambahan dua teori

sehingga menjadi enam teori. Tambahan dua teori tersebut dikemukakan oleh Denis McQuail

dalam tulisannya “Uncertainty about Audience and Organization of Mass Communications”.

Adapun keenam teori pers tersebut antara lain:

1. Teori Pers Otoriter

Berpijak pada falsafah: membela kekuasaan absolut. Kebenaran dipercayakan hanya pada

segelintir orang bijaksana yang mampu memimpin.Posisi negara jauh lebih tinggi dibanding

individu35.

2. Teori Pers Bebas

Berpijak pada falsafah: manusia adalah mahluk rasional yang bisa membedakan baik dan buruk.

Pers adalah alat, mitra untuk mencari kebenaran bukan sebagai alat pemerintah (negara).

Sebaliknya dalam teori ini pers didorong untuk mengawasi pemerintah. Berpijak atas teori ini

pula lahir istilah pers sebagai pilar ke empat dalam negara demokrasi, yaitu setelah kekuasaan

legislatif, eksekutif dan yudikatif36.

3. Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial

Teori ini adalah turunan dari dua teori di atas. Teori ini bertujuan untuk mengatasi kontradiksi

antara kebebasan media dan tanggung jawab sosialnya. Media harus menyajikan berita yang

dapat dipercaya, lengkap, cerdas, dan akurat. Media tidak boleh berbohong, harus memisahkan

antara fakta dan opini. Lebih dari itu media harus melaporkan kebenaran. Media harus jadi forum

pertukaran komentar dan kritik. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar

mewakili kelompok konstituen masyarakat. Media harus menyajikan tujuan dan nilai mayarakat.

Media adalah instrumen pendidikan. Media memikul tanggung jawab untuk menjelaskan cita-

35 Kusumaningrat, Hikmat. Jurnalistik, Teori dan Praktek. 2006. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. hal. 19 36 Ibid. hal. 20

cita yang diperjuangkan masyarakat. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi

yang tersembunyi. Media harus mendistribusikan informasi secara luas37.

4. Teori Pers Komunis Sovyet

Teori ini tumbuh dua tahun pasca revolusi Oktober 1917 di Russia dan berakar pada teori pers

otoriatarian. Sistem pers ini memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah. Karena itu di

negara ini yang ada adalah pers pemerintah38.

5. Teori Pers Pembangunan

Teori ini umumnya terkait dengan teori pers dunia ketiga yang umumnya belum memiliki ciri-

ciri sistem komunikasi yang telah maju. Inti teori ini adalah pers harus digunakan secara positif

dalam pembangunan nasional. Preferensi diberikan pada teori yang menekankan keterlibatan

akar rumput39.

6. Teori Pers Partisipan Demokratik

Teori ini lahir dalam masyarakat libaral yang sudah maju. Teori ini lahir sebagai reaksi atas

komersialisasi dan monopoli media oleh swasta. Kedua, sebagai reaksi atas sentralisme dan

birokratisasi siaran publik. Teori ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap partai politik yang

mapan dan sistem perwakilan yang tak mengakar rumput lagi. Teori ini menyukai

keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, de-institusionalisasi, kesetaraan dalam masyarakat, dan

interaksi40.

Dalam penelitian ini, teori pers yang sesuai adalah Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial

dan Teori Pers Partisipan Demokratik. Kebebasan media yang berkembang sejak era reformasi

telah menghasilkan banyak hal dalam praktek jurnalistik di Indonesia. Dampak positifnya adalah

banyak media massa baru yang tumbuh dan berkembang. Mereka membawa warna baru dengan

ciri khas masing-masing. Banyak yang bertahan, tapi tak sedikit yang harus bubar ditengah jalan.

Namun suka atau tidak, kebebasan ini juga memiliki konsekuensi negatif di masyarakat. Adanya

kompetisi antar media membuat kinerja para wartawan di lapangan menjadi semakin berat.

37 Ibid 38 Ibid. hal. 24 39 Ibid. hal. 25 40 Ibid. hal. 26

Mereka ditarget untuk mampu menghasilkan berita yang cukup untuk mengisi halaman,

sementara sumber daya manusianya terbatas. Pada akhirnya praktek saling tukar naskah berita

menjadi jamak, dan sah untuk dilakukan. Tak jarang pula media justru berfungsi sebagai corong

satu kelumpok tertentu, yang tujuannya jelas untuk mengejar target finansial untuk menutup

operasional. Padahal dalam teori Pers Bertanggung Jawab Sosial media harus memproyeksikan

gambaran yang benar-benar mewakili kelompok konstituen masyarakat. Media harus menyajikan

tujuan dan nilai mayarakat. Media adalah instrumen pendidikan. Media memikul tanggung jawab

untuk menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan masyarakat. Media harus menyediakan akses

penuh terhadap informasi yang tersembunyi. Media harus mendistribusikan informasi secara

luas.

Sementara Teori Pers Partisipan Demokratik muncul sebagai reaksi atas komersialisasi

dan monopoli media oleh swasta. Kedua, sebagai reaksi atas sentralisme dan birokratisasi siaran

publik. Teori ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap partai politik yang mapan dan sistem

perwakilan yang tak mengakar rumput lagi. Bisa dibilang teori ini adalah akibat dari apa yang

telah dilakukan oleh media massa, dalam hal ini pemilik institusi yang cenderung mengejar

keuntungan tanpa memperhatikan fungsi dan peran pers ditengah masyarakat.

1.10. Manajemen Penulisan Berita

Bentuk organisasi penerbitan pers yang baku, belum pernah ada bahkan dimasa sekarang

ini. Masing-masing perusahaan menyusun organisasi tata kerjanya berdasarkan keadaan serta

misi yang dimiliki. Tetapi secara sederhana organisasi perusahaan penerbitan pers umumnya

tersusun dalam bidang-bidang redaksi (news room), bidang usaha (business department) dan

bidang percetakan (printing department)41. Secara umum manajemen penulisan berita adalah

tentang bagaimana berita dibuat, mulai dari pengumpulan data, menampung informasi,

menyusun kerangka berita, menulis berita, hingga pada akhirnya berita jadi dan siap cetak.

Proses menuju kesana inilah yang menarik, untuk diteliti lebih jauh. Penulisan berita seperti

halnya kemajuan teknologi, telah melalui beberapa fase perubahan dan perkembangan. Proses

produksi di ruang redaksi (news room) utamanya, memegang peranan penting sebelum berita

dinyatakan siap naik cetak. Karenanya tidak boleh ada kesalahan sedikitpun, mulai dari

redaksional hingga fakta yang dipaparkan dalam berita tersebut. Gaye Tuchman menyebut proses

41 Robbins, Stephen P. Organizational Behaviour. 2001. Pretince-Hill Inc.

pembuatan berita di ruang redaksi dengan nilai-nilai yang menyertainya menjadi hal yang

menentukan dalam menyusun berita. Dalam konteks sejarah, pers telah berperan dalam

memfasilitasi publik yang rasional. Atau pers berperan dalam public sphare sebagaimana pada

sejarah Eropa abad 18 sampai 19. Pers dengan isu-isu yang diangkat akan menjadi bahan bagi

pembicaraan publik42.

Dalam menggali berita untuk mendapatkan sumber berita yang bisa dipercaya bisa

dilakukan dengan tiga cara43. Tiga cara tersebut adalah:

a. Penulis berita menerima data atau informasi langsung dari sumber berita atau informan.

Istilah menerima disini sifatnya pasif, artinya bahan berita sudah matang dan tinggal

dilakukan pengeditan dan memuatnya. Contohnya: menerima press release dari instansi

pemerintah ataupun swasta.

b. Meliput acara. Artinya penulis menghadiri sebuah acara untuk kemudian menulis

beritanya, mendatangi tempat kejadian perkara atau TKP untuk meliput sebuah peristiwa,

dan juga datang langsung menemui narasumber yang berkompeten dengan apa yang

tengah ditulisnya.

c. Menggali berita. Penulis atau reporter melakukan penelitian sendiri, untuk menghasilkan

sebuah berita mendalam atau depth news terhadap satu isu ataupun peristiwa. Data yang

diperoleh berasal dari berbagai pihak.

Dengan tiga cara ini dapat kita pahami bahwa sang penulis atau reporter, turun langsung ke

lapangan untuk melakukan kegiatan peliputan. Bukan hanya pasif menunggu datangnya kiriman

naskah dari sesama wartawan, atau bahkan hanya melakukan copy paste dari sumber yang sudah

menulis terlebih dahulu. Dengan demikian manajemen penulisan berita memang langsung

berasal dari tangan pertama, bukan berasal dari orang lain yang terkadang kurang bisa

dipertanggungjawabkan.

Dahulu kala saat teknologi masih dikuasai pita, teknik penulisan saat melakukan

reportase atau peliputan pun sangat terbatas. Hanya ada dua media yang dipakai, yaitu pena dan

mesin ketik. Reporter mencatat semua hal penting, disebuah notes serta mengabadikannya dalam

bentuk foto dengan kamera yang menggunakan pita atau klise. Tentunya hal ini sangat

merepotkan, jika dilihat betapa kerja reporter di lapangan sangat berat. Mereka dituntut harus

42 Tuchman, Making News: A Study in the Construction of Reality. Lihat Utomo, Tesis Pascasarjana UNS, 2007, Keberlangsungan Hidup Koran Daerah 43 Djuroto, Totok, Drs, M.si. Manajemen Penerbitan Pers. 2004. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya Offset. hal. 53

cepat dalam berpikir, mengambil gambar, menentukan sudut pandang berita, dan mengejar

narasumber. Usai melakukan peliputan, reporter juga dituntut untuk bekerja dalam tekanan untuk

memenuhi deadline dari kantor redaksi. Alatnya pun terbatas, hanya dengan menggunakan mesin

ketik. Untuk reporter yang bekerja di kota yang sama dengan kantor redaksi, pekerjaan akan

selesai saat naskah berita diserahkan kepada redaktur. Tapi lain ceritanya bagi reporter, yang

lokasi peliputan berbeda dengan kota tempat kantor redaksi berada. Reporter tersebut harus

mengirimkan naskah berita, menggunakan sarana yang ada dimasa itu yaitu mesin faksimili.

Sedangkan foto berita, dikirimkan menggunakan jasa kurir.

Namun hal tersebut sudah lama berlalu, seiring kemajuan teknologi yang semakin pesat.

Kini kerja para reporter di lapangan sangat terbantu, oleh alat-alat canggih yang mudah dibawa.

Untuk merekam suara narasumber, tersedia alat perekam yang berformat mp3 dengan media

penyimpanan kartu memori. Untuk mengabadikan setiap kejadian, tersedia kamera digital yang

mudah untuk digunakan. Untuk melakukan penulisan berita, para reporter cukup mengandalkan

laptop yang dengan mudah dibawa kemana saja. Ditambah dengan perlengkapan berupa modem

internet, naskah berita lengkap dengan foto bisa segera dikirimkan ke kantor redaksi melalui e-

mail. Semua itu bisa dilakukan dalam hitungan jam, bahkan menit jika sudah mendekati

deadline.

Namun semua kemajuan teknologi tersebut, seperti halnya penemuan-penemuan lainnya,

tidak hanya membawa dampak positif. Dampak negatif pun menyertainya, tak terkecuali pada

kinerja reporter di lapangan. Dengan semakin majunya teknologi, membuat persaingan bisnis

media massa menjadi semakin hebat. Semua media cetak kini telah memiliki media online yang

isinya merupakan representasi dari apa yang akan dimuat di edisi cetaknya. Dengan demikian,

para reporter dituntut untuk lebih cepat dalam bekerja. Tak jarang saling berbagi data, bahkan

juga berbagi naskah berita, mereka lakukan untuk mempercepat proses penulisan berita. Di

komunitas wartawan yang memiliki ikatan kuat, saling berbagi tugas menulis ataupun liputan

menjadi hal yang biasa. Hal ini dilakukan dengan sukarela, untuk menunjang kinerja masing-

masing.

Proses produksi berita masih terus berlanjut, hingga ke kantor redaksi masing-masing.

Disini ada yang disebut redaktur, bertugas untuk mengedit setiap berita yang dikirim ke reporter.

Pengeditan ini sekaligus menyaring, apakah berita yang dikirim tersebut sudah sesuai dengan

kaidah berita yang baku, sudah memenuhi 5W 1H, dan apakah berita tersebut berdasarkan fakta

yang dapat dipertanggung jawabkan, serta tidak mirip dengan berita yang dimuat Koran lain?

Untuk yang terakhir ini tidak bisa diketahui secara langsung, namun bisa diketahui dari gaya

penulisan sang reporter yang sudah dihapal oleh redaktur.

1.11. Plagiarisme dan Wartawan Copy, Paste, Kloning

Menurut Adimihardja, plagiarisme adalah pencurian dan penggunaan gagasan atau

tulisan orang lain (tanpa cara-cara yang sah) dan diakui sebagai miliknya sendiri. Plagiarisme

juga didefinisikan sebagai kegiatan dengan sengaja menyalin pemikiran atau kerja orang lain

tanpa cara-cara yang sah44. Pelaku plagiarisme dikenal juga dengan sebutan plagiat45. Di

Indonesia perlindungan hak cipta diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19

Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Pembajakan karya ini, bisa terjadi diberbagai bidang seperti

sastra, musik, hingga ke perangkat lunak atau software. Dalam pasal 12 huruf a dijelaskan,

semua karya ciptayang dilindungi adalah buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay

out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain46. Jadi jelas bahwa karya

jurnalistik adalah termasuk karya tulis yang diterbitkan, yang masuk dalam perlindungan

Undang-Undang ini. Ancaman hukumannya dipidana dengan pidana penjara masing-masing

paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),

atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)47.

Namun plagiarisme justru dikatakan bukan suatu kejahatan, kecuali dalam kesusastraan

ataupun karya yang memiliki hak cipta. Namun didalam bidang akademis dan jurnalistik,

tindakan ini dianggap salah dan tidak pantas untuk dilakukan. Hukumannya pun beragam, mulai

dari sanksi moral hingga pemecatan, tentunya dengan melihat seberapa parah tindakan plagiat

yang dilakukan. Tindakan plagiarism sudah terjadi sejak berabad-abad silam, namun di masa kini

semakin marak dan berkembang pesat. Hal ini tidak bisa dilepaskan, dari kemunculan internet.

Disini siapapun bisa menyalin sebagian, atau bahkan keseluruhan artikel, tulisan, jurnal, dan

karya ilmiah milik orang lain48.

44 Adimihadja, M. 2005. Plagiarisme. Makalah Disampaikan dalam Lokakarya Etika diPerguruan Tinggi yang Dilaksanakan di Medan pada Tanggal 19—20 April 2005. Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Medan. 45 http://rosyidi.com/plagiarisme-merugikan-semua-pihak 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta 47 Ibid 48 Isaacs, David. 2011. Journal of Paediatrics and Child Health. Royal Australasian College of Physicians. hal. 159

Terlepas dari kejahatan atau bukan, jelas plagiarisme adalah satu tindakan yang

melanggar etika. Dalam dunia jurnalistik, hal ini sangat dilarang dan bahkan masuk dalam kode

etik jurnalistik. Dalam pasal 13 Kode Etik Jurnalistik disebutkan, bahwa wartawan tidak

melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya49. Jadi

disini walaupun sudah meminta ijin dari penulis aslinya, pengutipan ini tetap harus menyertakan

sumbernya. Namun karena produk jurnalistik bukan termasuk dalam karya ilmiah, biasanya

penyertaan sumber ini selalu diabaikan. Praktek saling berbagi naskah berita, memang tidak bisa

langsung dikategorikan sebagai tindakan plagiarisme. Hal ini dikarenakan si penulis naskah,

sadar dan tahu jika naskah bertanya digunakan sebagai referensi. Bahkan secara sukarela,

membagi naskah beritanya tersebut. Tapi hal inilah yang menarik, dan membutuhkan penelitian

untuk membuktikannya. Apakah Fenomena ini memang muncul karena suatu kondisi dimana

reporter saling diuntungkan, karena tanpa harus susah payah melakukan peliputan berita sudah

datang dengan sendiri. Bahkan tidak hanya datang, namun sudah menjadi paket lengkap dengan

kutipan wawancara dan foto.

Cara pengumpulan berita oleh para wartawan, dalam hal ini disebut reporter, sangat

beragam. Di masa teknologi maju seperti saat ini, kinerja para reporter sangat terbantu dan

menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, reporter cukup menelepon narasumber dan melakukan

wawancara jarak jauh. Untuk foto pendukung berita, juga bisa dikirimkan lewat e-mail atau

bahkan lewat media jejaring sosial. Namun ada kalanya kemajuan teknologi tersebut,

menjadikan reporter tidak sungguh-sungguh memahami kondisi di lapangan. hal ini dikarenakan

mereka tidak terjun langsung, melainkan hanya mendapat informasi dari orang lain, baik

narasumber atau bahkan sesama reporter.

Dalam buku Rambu-Rambu Jurnalistik, Sirikit Syah membahas hal yang cukup menarik.

Bahkan di salah satu sub bab, dia menulis tentang wartawan copy paste, kloning, dan

plagiarisme. Permasalahan ini senada dengan apa yang menjadi obyek penelitian ini, yaitu

tentang manajemen produksi berita di media cetak, ditengah kian pesatnya kemajuan teknologi.

Syah mengatakan bahwa tradisi saling berbagi berita ini, justru muncul akibat adanya

pembatasan pemberitaan yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Di masa orde baru

tersebut, berita-berita memiliki topik yang sama akibat pembatasan tersebut. Penulisan hingga

49 Kode Etik Jurnalistik untuk Wartawan Indonesia No.03/SK-DP/III/2006

penerbitan diawasi dengan ketat, dan sensor adalah hal yang lazim dilakukan. Namun ditengah

pembatasan tersebut, para wartawan masih memiliki kebanggaan bila angle beritanya berbeda

dengan rekan sejawatnya. Hal inilah yang memunculkan kesan eksklusif, namun bukan dari

siapa yang dapat berita dan siapa yang tidak. Eksklusivitas berita diihat dari narasumber yang

berbeda, lead berita yang benar-benar baru, hingga isi berita yang lebih “tajam.” Namun dimasa

sekarang ini, dimana kebebasan pers sudah didapatkan, justru para wartawan seolah

menyeragamkan tulisannya. Judul, lead, angle, kutipan, bahkan tanda baca, bisa dibilang identik

jika tidak dikatakan mirip50.

Eksklusivitas berita sendiri saat ini seperti mengalami pergeseran makna, baik bagi

wartawan maupun sebuah kantor media. Jika dulu berita eksklusif adalah berita yang benar-

benar didapat sendiri, dengan narasumber yang berbeda, lead dan angle yang tajam. Namun kini

eksklusif bukan berarti yang lain tidak memuat berita tersebut, melainkan ditentukan oleh

pemilihan angle dan lead. Media lain boleh mendapatkan berita tersebut, namun konten berita

akan mengalami perubahan di meja redaktur. Tentunya dengan bahasa atau ulasan yang tajam,

dan sebisa mungkin berbeda dengan yang lain. Namun dari pengamatan yang dilakukan di

sejumlah media cetak, terutama media cetak lokal, justru yang muncul adalah sebaliknya.

Banyak berita yang mirip, bahkan identik diantara media-media cetak tersebut. Dan cara-cara

seperti wartawan copy paste dan kloning, menjadi penyebab utama hal tersebut.

Dan seperti yang sudah dibahas sebelumnya, kemudahan dalam penggunaan komputer

dan internet, juga mempengaruhi munculnya tentang wartawan copy paste, kloning, yang

kemudian mengarah ke tindak plagiarisme. Sebagai contoh kemudahan tersebut, adalah praktek

copy paste dari situs berita atau portal berita di internet. Adalah hal yang lazim di masa sekarang

ini, sebuah kantor media cetak meng-copy paste berita dari situs berita atau dotcom, untuk

digunakan di media cetaknya. Tindakan ini bisa bervariasi, seperti menyadur, mengambil

sebagian teks, atau bahkan seluruhnya. Tindakan ini sah, apabila kantor media cetak tersebut

sudah berlangganan situs berita, tentunya dengan adanya kontrak kerjasama. Namun karena

mudahnya praktek copy paste ini, ada juga yang mengambil secara ilegal tanpa menyebutkan

narasumber ataupun penulis aslinya. Tentunya apa yang dilakukan media cetak tersebut, bisa

dikategorikan sebagai plagiarisme. Dalam Kode Etik Jurnalistik, jelas-jelas tercantum larangan

50 Sirikit Syah. Rambu-Rambu Jurnalistik, Dari Undang-Undang Hingga Hati Nurani. 2011. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. hal. 30

plagiarisme. Dalam pasal 10 Kode Etik Jurnalistik disebutkan, Wartawan Indonesia menempuh

cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik51. Disini cara yang profesional,

salah satunya adalah dengan tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan

wartawan lain sebagai karya sendiri.

Dalam pembahasannya, Syah merasa bahwa kode etik ini seringkali diabaikan oleh para

wartawan. Wartawan masa kini tetap melakukan copy paste, terkadang tanpa ijin pemiliknya,

namun tak jarang pula atas ijin dari pemilik berita aslinya. Hal ini terjadi, karena adanya rasa

saling membutuhkan diantara para wartawan ini. Sudah bukan hal yang tabu di kalangan

wartawan, terdapat pembagian tugas melakukan liputan di lapangan, bahkan diantara para

wartawan yang berbeda media. Dari hasil pembagian tersebut, maka tidak ada wartawan yang

“kebobolan” dan semua pun senang. Bagi para pelaku di lapangan, mungkin hal ini tidak

merugikan namun justru menguntungkan. Tapi bagi para pembaca yang berlangganan dua atau

lebih Koran, hal ini bisa jadi sangat merugikan. Karena walau sudah berlangganan lebih dari satu

Koran, namun isi beritanya sama dan bahkan penulisannya pun mirip. Padahal tujuan dari

berlangganan lebih dari satu Koran, adalah untuk membaca perspektif yang berbeda52.

1.12. Kompetisi antar Media

Kota Solo adalah sebuah kota yang sangat dinamis, baik isu maupun realita kehidupan

masyarakatnya. Hal ini membuat Solo menjadi satu kota, yang menjadi basis dari beberapa

media cetak baik lokal maupun nasional. Media cetak atau koran sangat penting untuk bagi

sebuah negara karena dua alasan yang penting. Di satu sisi koran nasional dapat fokus pada

gambaran yang lebih besar, sementara itu koran lokal bisa menganalisa dengan detail, apa yang

pemerintah pusat dan daerah lakukan serta dampak dari kebijakan mereka terhadap masyarakat.

Kedua, koran lokal sangat penting dalam membantu untuk membangun masyarakat yang lebih

besar dan lebih kuat. Ada kesenjangan besar antara negara di satu sisi, dan individu pada sisi

lain, dan Koran lokal membantu mengisi ruang di antara pembaca, dan membangkitkan mereka

ke dalam satu tindakan53.

51 Op cit Kode Etik Jurnalistik untuk Wartawan Indonesia No.03/SK-DP/III/2006 52 Ibid, hal. 31 53 Shabir, Ghulam. Safdar, Ghulam. Seyal-Asad Mumtaz. Imran, Muhammad. Bukhari-Ali Raza. 2015. Maintaining Print Media in Modern Age: A Case Study of Pakistan. Asian Journal of Social Sciences & Humanities. Department of Media Studies, The Islamia University of Bahawalpur, Pakistan. hal. 2

Khusus untuk Koran lokal, Solo lebih dikenal sebagai kuburan Koran. Sudah tak

terhitung berapa Koran lokal yang muncul, namun kemudian tutup ditengah jalan. Sebut saja

Bengawan Pos, Suara Bengawan, atau Pos Kita, semua tutup ditengah kuatnya persaingan.

Tingkat melek informasi masyarakat yang tinggi, membuat mereka selektif dalam memilih

Koran sebagai sumber informasi sehari-hari. Selain itu pengelolaan Koran-koran yang telah tutup

usia tersebut dikatakan kurang profesional. Tenaga ahli yang terlibat sangat sedikit dan pada

akhirnya memaksakan dengan sumber daya yang tersedia. Kini di era kemajuan teknologi,

profesionalitas adalah hal yang mutlak. Koran yang hendak melebarkan sayap di kota Solo ini

haruslah tahan banting, mampu memberi warna yang berbeda, serta memiliki ide segar yang bisa

diterima masyarakat.

Untuk Solopos, nasibnya lebih beruntung dibandingkan Koran-koran yang lebih dahulu

tutup. Kerusuhan yang melanda Solo pada tahun 1998 mendatangkan “berkah” bagi Solopos.

Karena Solo terisolir, satu-satunya Koran yang masih beredar adalah Solopos. Hal ini membuat

oplah hariannya naik pesat, hingga bisa mencapai balik modal di tahun ketiga berdiri.

Terlepas dari itu semua, kondisi Solo sebagai kuburan Koran memang mempengaruhi

kompetisi antar media cetak lokal. Namun perkembangan teknologi tetap memegang peranan

utama, dalam persaingan ini. Langkah pertama dalam Membangun hubungan antara kualitas

berita dan kompetisi berita adalah untuk menentukan konsep-konsep kunci. Tidak ada Konsep

yang mudah untuk mengukur dan kini bahkan semakin sulit untuk menentukan. Lebih rumit

masalahnya adalah bahwa saya ingin membuat perbandingan di berbagai waktu, tempat, dan

jenis media, kadang-kadang menggunakan data saya sendiri dan kadang-kadang bergantung pada

data yang dikumpulkan oleh orang lain. Kebutuhan, Oleh karena itu, untuk konsep yang mudah

untuk dilakukan dan diadaptasi.” 54

Dengan kondisi seperti ini, media cetak lokal pun mau tak mau harus punya strategi yang

bisa mengungguli kompetitornya. Zaller juga berpendapat, bahwa Persaingan antar media

memungkinkan adanya kesamaan dalam fokus pemberitaan. Gaye Tuchman mengatakan bahwa

para pemilik dari media massa, dalam permasalahan ini tentu akan mengambil kebijakan dan

prosedur pemberitaan, yang dapat memberikan jaminan keuntungan baik dalam jangka pendek

maupun jangka panjang. Dengan demikian mereka harus merespon segala reaksi, baik dari

54 Zaller, John. Market Competition and News Quality, UCLA (Paper prepared for presentation at the 1999 annual meetings of the American Political Science Association, Atlanta, GA). hal. 2

pembaca maupun para pemasang iklan. Selain itu para owner ini, juga wajib memperhatikan para

pesaing yang juga berada di wilayah operasi yang sama55. Tuchman menjelaskan pengaruh

lingkungan serta audiens kepada isi dan idealisme media massa, dalam sebuah bagan sebagai

berikut:

Gambar 1. Organisasi berita dalam bidang kekuatan sosial56

Dari gambaran diatas jelas terlihat, bahwa media massa kini lebih dari sekedar sebuah

alat kontrol dari masyarakat terhadap suatu pemerintahan ataupun sebagai satu sumber informasi

belaka. Media massa telah tumbuh sebagai sebuah kerajaan bisnis, dimana didalamnya

melibatkan berbagai macam kepentingan. Media tak bisa berdiri sendiri, mengatur opini publik

dengan total, seperti yang terjadi di masa lalu. Kasus ini bisa terjadi pada media lokal, yang

memiliki fokus pemberitaan sama dalam satu peristiwa57. Hal ini menarik untuk dikaji lebih

55 A Handbook of Media and Communication Research, Qualitative and quantitative Methodologies. Edited by Klaus Bruhn Jensen. 2002. Routledge. London. hal. 79 56 ibid 57 Zaller, Op Cit, hal. 2-3

Pressure Groups Investors

Sources Owners

News Organization A

Audiences Advertisers

Other Social Institutions Regulatory Agencies

News Organization C News Organization B

lanjut lewat sebuah penelitian. Apakah semakin ketatnya persaingan, telah menggeser makna

“eksklusivitas” dari satu berita?

Brian McNair menuliskan, isi media dapat ditentukan oleh:

1. Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik (the political-economy approach).

2. Pengelola berita sebagai pihak yang aktif dalam proses produksi berita (organizational

approach).

3. Gabungan berbagai faktor, baik internal media atau pun eksternal media (culturalis

approach)58.

Sedangkan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese memandang bahwa telah terjadi

pertarungan dalam memaknai realitas dalam isi media. Pertarungan itu disebabkan oleh berbagai

faktor, yaitu:

• Latar belakang awak media (wartawan, editor, dll).

• Rutinitas media (media routine), yaitu mekanisme dan proses penentuan berita. Misalnya,

berita hasil investigasi langsung akan berbeda dengan berita yang dibeli dari kantor

berita.

• Struktur organisasi, bahwa media adalah kumpulan berbagai job descriptions. Misalnya,

bagian marketing dapat mempengaruhi agar diproduksi isi media yang dapat dijual ke

pasar.

• Kekuatan ekstramedia, yaitu lingkungan di luar media (sosial, budaya, politik, hukum,

kebutuhan khalayak, agama, dan lainnya).

• Ideologi (misalnya ideologi negara)59.

Dengan kondisi semacam ini, mau tidak mau kinerja para wartawan di lapangan pun

terpengaruh. Mereka dituntut untuk menjadi “mata dan telinga” dari redaksi masing-masing.

Selain harus melakukan peliputan dan produksi berita, mereka juga dituntut untuk memantau

para kompetitor di lapangan. Namun hal ini bisa dilakukan, bisa juga tidak dilakukan. Dalam

Jurnal Internasional yang berjudul Markets, Ownership, and the Quality of Campaign News

Coverage, Johanna Dunaway menuliskan bahwa pemilik entitas tunggal yang beroperasi dalam

58 McNair, Brian, News and Journalism in the UK: A Texbook. 1994. Routledge, London and New York. hal. 39-58 59 Shoemaker, Pamela J. Reese, Stephen D. Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content. 1996. Longman Trade/ Caroline House.

kondisi persaingan yang terbatas dapat mengontrol arah ideologis dari sebuah peliputan berita60.

Dalam kondisi seperti ini, para pemilik media juga berperan dalam mempengaruhi kinerja dari

para reporter di lapangan. Tuntutan dari redaksi pun bisa berseberangan, dengan idealisme sang

reporter sendiri. Sehingga pada akhirnya, idealisme tersebut “dikalahkan” oleh kepentingan

media untuk tetap berjalan sambil mengakomodir keinginan sang pemilik.

Dalam Media Competition and Information Disclosure, Ascensión Andina-Díaz

mengatakan bahwa ada kepercayaan bahwa media memainkan peran penting dalam masyarakat

dengan menyediakan informasi kepada masyarakat. Namun, tidak ada konsensus besar seperti

pada pertanyaan apakah kompetisi media yang meningkatkan akurasi berita61. Karena kompetisi

media murni berdasarkan kepentingan ekonomi, sedangkan akurasi berita lebih kepada identitas

dari media itu sendiri. Jadi penting sekali untuk dibedakan, antara kepentingan pemilik media

dengan kualitas pemberitaan pada media tersebut. Walau begitu, dua hal tersebut memang tidak

bisa dilepaskan satu sama lain.

Ignatius Haryanto mengatakan, media cetak yang ingin terus maju, harus menghasilkan

produk yang berkualitas prima. Artinya media cetak harus menghasilkan informasi yang lebih

memiliki nilai dan makna bagi masyarakat., mengembangkan liputan mendalam dan meluas

untuk membuat masyarakat jadi semakin mengerti lingkungan sekitarnya. Untuk hal ini

Haryanto memberikan beberapa masukan bagi para pengelola media cetak, salah satunya dengan

memberikan keleluasaan bujet untuk liputan-liputan bermutu, serta mengembangkan lembaga

riset internal62.

B. PENELITIAN TERDAHULU

Berbagai penelitian tentang jurnalistik, kinerja reporter, analisis isi dari pemberitaan

suatu kantor berita, sudah dilakukan oleh banyak orang. Juga penelitian yang membandingkan isi

dari beberapa media cetak atau Koran, sudah banyak dilakukan oleh para peneliti ataupun

akademisi di bidang komunikasi. Penelitian ini lebih kepada meneliti isi media namun tidak

60 Dunaway, Johanna. Markets, Ownership, and the Quality of Campaign News Coverage. 2008. The Journal of Politics. Southern Political Science Association, Louisiana State University. hal. 1194 61 Andina- Díaz. A. Media Competition and Information Disclosure. 2007. Academic Journal. Dpto Teoría e Historia Económica, Campus de El Ejido, Universidad deMálaga. Spain. hal. 1 62 Haryanto, Ignatius. Jurnalisme Era Digital, Tantangan Industri Media Abad 21. 2014. Jakarta. PT. Kompas Media Nusantara. hal. 37

terfokus pada satu isu atau permasalahan tertentu. Media framing dan agenda setting digunakan

dalam penelitian ini, untuk menjawab pertanyaan penelitian. Serta mencari apakah ada upaya

atau kegiatan yang mengarah ke tindak plagiarisme, pada saat melakukan produksi berita di

lapangan. Dan kenapa saling berbagi naskah menjadi kebiasaan, bahkan menjadi satu hal yang

tak bisa dilepaskan oleh para reporter. Penelitian sejenis sejauh ini belum pernah dilakukan,

karena memang akses untuk berinteraksi dan menggali informasi dari para wartawan bukan

sesuatu yang mudah. Ada kecenderungan untuk menutup diri, apabila mereka ditanya segala

sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Bisa dikatakan penelitian ini, adalah awal dari

penelitian sejenis dimasa mendatang.

C. KERANGKA PIKIR

Kerangka pikir dalam penelitian ini, bisa dijelaskan sebagai berikut. Penelitian ini

berangkat dari adanya fenomena, yang peneliti temukan di 3 koran lokal kota Solo yaitu Solopos,

Radar Solo, dan Joglosemar. Sebagian berita di halaman daerah, memiliki kemiripan satu dengan

yang lain. Kemiripan ini terlihat dari sudut pandang berita, beberapa kesamaan pemilihan kata

dan kalimat, serta penyusunan kerangka berita. Peneliti ingin menelusuri proses produksi berita

mulai dari liputan reporter di lapangan, pengetikan naskah berita, pengeditan di redaksi, hingga

berita naik cetak. Seberapa besar pengaruh interaksi wartawan dalam komunitas non formal,

dalam melakukan kegiatan peliputan dan saling berbagi naskah berita, juga menjadi satu hal

yang menarik untuk diteliti. Apakah dengan menyadur naskah orang lain, bisa dikategorikan

sebagai plagiarisme, walau sang pemilik naskah dengan sukarela membagi data dan naskahnya.

Apakah tindakan para reporter di lapangan tersebut sah dimata redaksi, ataukah sebenarnya

tindakan tersebut dilarang? Dan seberapa besar pengaruh saling berbagi naskah, terhadap

eksklusivitas sebuah berita. Karena saat ini peneliti menyadari, ada pergeseran makna berita

eksklusif di dalam dunia jurnalistik. Jika dahulu eksklusif berarti hanya satu media saja yang

memperoleh berita tertentu, saat ini eksklusif justru tergantung dari sudut pandang media

terhadap satu kejadian atau isu yang tengah menjadi topik hangat.

Yang terpenting lagi sebuah media bisa menggiring opini publik. Semua media massa

memiliki agenda setting masing-masing, yang seharusnya tidak sama satu sama lain. Agenda

setting ini penting, karena dari situlah fungsi media massa sebagai alat kontrol sosial bisa

berjalan. Apabila media massa memiliki kesamaan sudut pandang dari sebuah permasalahan,

agenda setting ini yang akan membedakan langkah media massa tersebut selanjutnya. Apabila

ternyata dalam prosesnya ada kerjasama antar wartawan dari media yang berbeda, tentu saja

agenda settingnya akan berubah dan tidak lagi bisa menjalankan fungsi kontrolnya seperti apa

yang sudah dilakukan sebelumnya.

Seorang wartawan bagaimanapun juga, haruslah memegang teguh kode etik jurnalistik.

Sebagaimana sudah dijelaskan diatas, wartawan bertugas untuk membuat laporan mengenai

suatu peristiwa, dengan bahasanya sendiri dan sejujur-jujurnya. Seperti yang dikatakan oleh

Luwi Ishwara dalam Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, Wartawan mengumpulkan informasi,

menganalisis, dan membentuk bahan-bahan itu menjadi tulisan yang ramping, akurat, dan

jernih63. Namun disamping itu wartawan juga harus memiliki rasa kebanggaan atas karya orisinil

miliknya. Dengan inilah maka praktek saling berbagi naskah berita akan bisa dikurangi.

Tentunya setiap keputusan aka nada konsekuensinya, terutama bagi wartawan yang dinilai

“pelit” dalam berbagi naskah berita. Bisa saja akses informasinya akan ditutup, atau juga tidak

diberi informasi tentang kejadian atau peristiwa. Namun bagi seorang wartawan profesional yang

memang berdedikasi, hal tersebut bukanlah masalah. Karena informasi bisa diperoleh dari mana

saja, tanpa harus bergantung pada sesama wartawan. Tinggal bagaimana wartawan mengelola

informan yang berasal dari masyarakat, pejabat teritorial, dan juga kalangan intelejen. Jika dibuat

bagan, kerangka pikir penelitian ini bisa dijabarkan sebagai berikut:

63 Ishwara, Luwi. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar – Seri Jurnalistik Kompas. 2005. Jakarta. PT. Kompas Media Nusantara. hal. 100

Analisis Isi di 3 koran lokal Solo

Ada kesamaan pada penulisan berita

Reporter

• Teknik peliputan • Penulisan Berita • Kode Etik Jurnalistik • Plagiarisme

• Manajemen Penulisan • Teori Pers • Sembilan Elemen

Jurnalisme • UU RI No. 19 tahun

2002 Tentang Hak Cipta

Redaksi