bab ii tinjauan pustaka 1. tinjauan umum tentang perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/latif...

44
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Buku III B.W. berjudul “Perihal Perikatan”. Perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab dalam Buku III itu, diatur juga perihal perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum ( onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi, sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang- undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan- perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum (Subekti, 1989: 122). 1.1 Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan perikatan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, baik masyarakat umum maupun badan hukum dan perjanjian itu lahir karena ada dua orang atau lebih para pihak yang Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Upload: trinhtuong

Post on 10-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

Buku III B.W. berjudul “Perihal Perikatan”. Perkataan “perikatan”

(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab

dalam Buku III itu, diatur juga perihal perhubungan hukum yang sama sekali tidak

bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang

timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal

perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak

berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi, sebagian besar dari Buku III

ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.

Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa

suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-

undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-

perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang

karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas

perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan lahir

dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum (Subekti, 1989: 122).

1.1 Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan perikatan yang paling banyak terjadi dalam

kehidupan bermasyarakat, baik masyarakat umum maupun badan hukum dan

perjanjian itu lahir karena ada dua orang atau lebih para pihak yang

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

9

mengikatkan diri sehingga terjadi perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu

perikatan antara dua orang yang membuatnya dan bentuk perjanjian itu

berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau

kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian melahirkan perikatan.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,

dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan

pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau pihak

yang berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan

dinamakan debitur atau pihak berutang. Hubungan antara dua orang atau dua

pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum, yang berarti bahwa hak pihak

berpiutang ini dijamin oleh hukum atau undang-undang. Perjanjian atau

overeenkomst adalah hubungan hukum yang oleh hukum itu sendiri diatur

dan disahkan cara perhubungannya oleh karena itu perjanjian yang

mengandung hubungan hukum antara seseorang adalah hak-hak yang terletak

dan berada dalam lingkungan hukum (Subekti, 1995: 1).

Perjanjian atau persetujuan batasannya diatur dalam Pasal 1313 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi: “suatu

persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Mengenai batasan

tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi

atau batasan rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

10

KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas dan banyak

mengandung kelemahan, adapun kelemahannya sebagai berikut:

a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak

Hal ini dapat diketahui dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan

diri terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata ”mengikatkan”

merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,

tidak berarti kedua belah pihak.

Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikat diri dari kedua belah

pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidaknya perlu ada

rumusan saling mengikatkan diri. Jadi jelas nampak adanya

konsensus/kesapakatan antara kedua belah pihak yang membuat

perjanjian.

b. Kata “Perbuatan” mencakup juga kata konsensus/kesapakatan dalam

pengertian “perbuatan”, termasuk juga tindakan :

1. melaksanakan tugas tanpa kuasa

2. perbuatan melawan hukum

Kedua hal tersebut merupakan tindakan atau perbuatan yang tidak

mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya

sangat luas, karena sebenarnya maksud yang ada dalam rumusan tersebut

adalah “perbuatan hukum”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Untuk pengertian perjanjian dalam hal ini dapat diartikan juga pengertian

perjanjian mencakup melansungkan perkawinan atau janji kawin. Pada

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

11

hal perkawinan sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang

memncakup hubungan lahir bathin. Sedangkan yang dimaksud dalam

perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata adalah hubungan antara debitior

dengan kreditor. Dimana hubungan antara debitor dan kreditor terletak

dalam lapangan hukum harta kekayaan saja selebihnya tidak, jadi, yang

dimaksud hanya perjanjian kebendaan saja, bukan perjanjian personal.

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan Pasal 1313 KUHPerdata itu tidak disebut apa

tujuanyang mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan

dirinyaitu tidaklah jelas maksudnya apa (Abdulkadir Muhammad, 2000:

224-225).

Dari kelemahan yang diterangkan diatas, dapat kita perbandingkan pengertian

perjanjian menurut para ahli sebagai berikut:

1) Subekti

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang

lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu

hal. Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut

yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara

dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang

diucapkan atau ditulis.

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

12

2) Wiryono Projodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua

pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

melakukan suatu hal, sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu.

Dari pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata dan pendapat

para ahli di atas, rumusan yang dapat dianggap tepat untuk definisi perjanjian

itu adalah :

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih

saling mengikatkan diri untuk melaksanan suatu hal dalam lapangan

harta kekayaan”.

Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua

bentuk yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang

dilakukan secara lisan. Untuk kedua bentuk perjanjian tersebut sama

kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh

para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan

mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan (Riduan

Syahrani, 2006: 207)

1.2 Unsur‐Unsur Perjanjian

Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

simpulkan unsur-unsur perjanjian sebagai berikut :

a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang

Pihak-pihak dalam perjanjian disebut sebagai subyek perjanjian, subjek

perjanjian dapat berupa manusia pribadi atau juga badan hukum. Subyek

perjanjian harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum

seperti yang ditetapkan dalam undang-undang. Subyek hukum

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

13

berkedudukan pasif apabila sebagai debitor sedangkan yang berkedudukan

aktif apabila sebagai kreditor.

b. Adanya persetujuan antara pihak-pihak tersebut

Persetujuan disini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap

berunding. Perundingan hanya merupakan tindakan pendahuluan untuk

menuju pada adanya persetujuan. Dengan disetujuinya oleh masing-

masing pihak tentang syarat dan objek perjanjian itu, maka timbullah

persetujuan yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.

c. Adanya tujuan yang hendak dicapai

Tujuan mengadakan perjanjian, terutama guna memenuhi kebutuhan para

pihak, dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan

perjanjian dengan pihak lain.

d. Adanya prestasi yang akan dilaksanakan

Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu

kewajiban untuk melaksankannya. Pelaksanaan disini tentu saja berwujud

suatu prestasi. Pasal 1314 ayat (3) menjelaskan, bahwa prestasi dalam

perjanjian meliputi: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak

berbuat sesuatu.

e. Adanya bentuk tertentu baik lisan maupun tertulis

Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan

undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu, maka suatu

perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan sebagai bukti.

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

14

f. Adanya syarat tertentu sebagai isi perjanjian

Mengenai syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian, karena

dengan syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban dari pihak-

pihak. Biasanya syarat ini dapat dibedakan syarat pokok dan syarat

tambahan (Subekti, 2002: 3-4).

1.3 Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian

Meskipun hukum perjanjian menganut sistem terbuka, orang bebas

untuk mengadakan perjanjian, sehingga tidak terikat pada ketentuan-ketentuan

yang telah ada, namun syarat sahnya perjanjian yang dikehendaki oleh

undang-undang haruslah dipenuhi agar berlakunya perjanjian tanpa cela.

Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya:

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu dan

d. Suatu sebab yang halal (Djaja S. Meliala, 2007: 91).

Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu :

1) Syarat Subyektif

Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek

perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian di mana hal ini

meliputi:

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

15

a. Sepakat dari mereka yang mengikatkan diri

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk

terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini terjadi dengan berbagai

cara, namun yang paling penting adanya penawaran dan

penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya

penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun

dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti

oleh pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan.

Kesesuaian kehendak ini harus dinyatakan dan tidak cukup

hanya dalam hati saja, karena hal itu tidak akan diketahui oleh

orang lain sehingga tidak mungkin melahirkan kata sepakat yang

perlu untuk melahirkan perjanjian. Pernyataan sepakat ini tidak

terbatas dengan mengucapkan kata-kata, akan tetapi juga bisa

diwujudkan dengan tanda-tanda yang dapat diartikan sebagai

kehendak untuk menyetujui adanya perjanjian tersebut seperti

tulisan.

Beberapa cara terjadinya kesepakatan/terjadinya penawaran

dan penerimaan adalah:

a. dengan cara tertulis;

b. dengan cara lisan;

c. dengan simbol-simbol tertentu; dan

d. dengan berdiam diri.

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

16

Seorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya

dilakukan baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta

autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh

para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta

seperti Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, atau pejabat lain

yang diberi wewenang untuk itu.

Kesepakatan lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak

terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini

kadang tidak disadari sebagai perjanjian padahal sebenarnya sudah

terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang

lainnya, misalnya seorang membeli keperluan sehari-hari di toko

maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan

secara lisan antara para pihak.

Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol

tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu

macam jualan pokok, contohnya adalah jual beli sapi dengan

simbol kode antara penjual dan pembeli. Maka, setelah proses

tersebut menciptakan kata sepakat.

Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri,

misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui

jurusan mobil-mobil penumpang umum, kita biasanya tanpa

bertanya mau kemana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya,

tetapi kita hanya lansung naik dan bila sampai di tujuan kita pun

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

17

turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga kita

tidak pernah mengucapkan sepakat kata pun kepada sopir mobil

tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian

pengangkutan.

Dengan demikian tolak ukur kesepakatan para pihak adalah

pernyataan-pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar

sepakat adalah pernyataan secara objektif yang dapat dipercaya,

atau yang secara sungguh-sungguh memang dikehendaki oleh para

pihak. Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut diatas,

khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya

atau lahirnya perjanjian, dapat disimpulkan bahwa tidak adanya

kesepakatan parapihak, berarti tidak akan terjadi perjanjian atau

kontrak.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap, namun

dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang

mengadakan perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum.

Seorang yang dianggap dewasa dan cakap melakukan perbuatan

hukum menurut hukum dan peraturan perundang-undangan adalah:

1) KUHPerdata

Menurut KUHPerdata, seorang yang dewasa dan cakap

melakukan perbuatan hukum adalah orang yang telah berumur

21 (dua puluh satu) tahun atau sebelum umur 21 (dua puluh

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

18

satu) tahun telah menikah. Dan serta orang tersebut tidak

berada dibawah pengampuan contoh gelap mata, sakit ingatan

atau pemboros.

2) Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(UUP) Pasal 50 ayat (1) UUP menerangkan bahwa anak yang

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum

pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada

dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali

artinya bahwa yang dikatakan orang yang cakap melakukan

perbuatan hukum menurut UUP adalah orang yang telah

berumur 18 (delapan belas) tahun keatas atau telah pernah

kawin dan tidak berada dibawah pengampuan.

3) Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

Notaris syarat orang yang cakap melakukan perbuatan hukum

dalam UU Jabatan Notaris tidak ada perbedaan dengan orang

yang cakap melakukan perbuatan hukum dengan UUP.

4) Hukum Islam

Seseorang dikatakan Dewasa/cakap melakukan perbuatan

hukum menurut Hukum Islam adalah mereka yang telah akhil

balik. Untuk menentukan telah dewasa/cakap, dalam Hukum

Islam tidak dilihat berdasarkan umur orang tersebut tetapi

ditandai, bagi laki‐laki telah datangnya mimpi dan bagi

perempuan telah mengalami datang bulan atau menstruasi.

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

19

Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi oleh para pihak

mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut dapat

dibatalkan. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan itu, adalah pihak

yang tidak cakap atau pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak

bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat tetap mengikat, selama tidak

dibatalkan oleh Pengadilan atas permintaan yang berkepentingan.

2) Syarat Obyektif

Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian,

ini meliputi:

a. Suatu hal tertentu

Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan

ditentukan para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang

maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal

tertentu dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang,

keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.

Dengan demikian, maka dalam setiap perjanjian, baik yang

melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu, perikatan untuk

berbuat sesuatu atau perikatan tidak berbuat sesuatu, senantiasa

haruslah ditentukan lebih dahulu kebendaan yang akan menjadi

obyek perjanjian, yang selanjutnya akan menjadi obyek dalam

perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik atau tidak) diantara

para pihak yang membuat perjanjian tersebut Pasal 1332

KUHPerdata juga menjelaskan, bahwa obyek dari perjanjian adalah

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

20

benda yang dapat diperdagangkan, karena benda diluar perdagangan

tidak dapat dijadikan obyek perjanjian.

b. Suatu sebab yang halal

Syarat obyektif lainnya dalam perjanjian yaitu suatu sebab

yang halal yang diatur oleh Pasal 1335 KUHPerdata, yang

menerangkan bahwa suatu sebab yang halal adalah:

1. Bukan tanpa sebab, artinya jika ada sebab lain dari pada yang

dinyatakan;

2. Bukan sebab yang palsu, artinya adanya sebab yang palsu atau

dipalsukan;

3. Bukan sebab yang terlarang, artinya apabila berlawanan dengan

kesusilaan atau ketertiban umum.

Pasal 1335 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik kesimpulan

sebab yang halal itu adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para

pihak tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan

peraturan perundangan-undangan yang berlaku, baik itu

diberlakukan terhadap para pihak maupun objek yang diperjanjikan

(Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2014: 154-161).

1.4 Asas‐Asas Dalam Perjanjian

Menurut Paul Scholten, asas-asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar

yang ada di dalam dan belakang tiap-tiap sistem hukum, yang telah mendapat

bentuk sebagai perundang-undangan atau putusan pengadilan, dan ketentuan-

ketentuan dan keputusan itu dapat dipandang sebagai penjabarannya. Dengan

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

21

demikian, asas-asas hukum selalu merupakan fenomena yang penting dan

mengambil tempat yang sentral dalam hukum positif.

Asas-asas hukum berfungsi sebagai pendukung bangunan hukum,

menciptakan harmonisasi, keseimbangan dan mencegah adanya tumpang

tindih diantara semua norma hukum yang ada. Asas hukum juga menjadi titik

tolak pembangunan sistem hukum dan menciptakan kepastian hukum yang

diberlakukan dalam masyarakat (Paul Scholten, 2007: 23).

Menurut Salim (2003: 9-12) hukum kontrak dikenal lima asas penting,

yaitu asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme

(concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad

baik (good faith) dan asas kepribadian (personality). Kelima asas tersebut

diatas yaitu:

a. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan

kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

22

b. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat

sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat antara kedua belah pihak.

Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada

umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya

kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara

kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

c. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda

merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta

sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,

sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh

melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para

pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata.

d. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang

berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini

merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus

melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan

yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

23

terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik

mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan

tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian

terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif

untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma

yang objektif.

e. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang

yang akan melakukan perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan

saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata.

Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak

dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.

Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian,

orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340

KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang

membuatnya”.

Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para

pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian,

ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana ditulis dalam Pasal

1317 KUHPerdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan

untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk

diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu

syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

24

dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga,

dengan adanya suatu syarat yang ditentukan.

1.5 Jenis‐jenis Perjanjian

Jenis-jenis perjanjian adalah :

a. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan

kewajiban kepada kedua belah pihak, misalnya jual beli, sewa menyewa,

pemborongan. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan

kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya

perjanjian hibah, hadiah.

b. Perjanjian percuma dan Perjanjian alas hak yang membebani

Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan

pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.

Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana

terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu mendapat kontra prestasi dari

pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya

menurut hukum.

c. Perjanjian bernama dan Perjanjian tidak bernama.

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya ialah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh

pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi

sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab

XVIII KUH Perdata.

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

25

Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH

Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Terciptanya Perjanjian tidak

bernama didasari karena pada hukum perjanjian, berlakunya asas

kebebasan mengadakan perjanjian (Partij Ekonomi).

d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik

dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan

perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang

menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan

kewajiban pihak pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang,

penjual berhak atas pembayaran harga.

e. Perjanjian konsesual dan Perjanjian riil.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada

persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian riil adalah perjanjian

disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan

nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak (Abdulkadir

Muhammad, 1982: 86).

1.6 Berakhirnya Atau Hapusnya Perjanjian

KUHPerdata tidak mengatur secara khusus tentang berakhirnya

perjanjian, tetapi yang diatur dalam Bab IV Buku III KUHPerdata hanya

hapusnya perikatan, walaupun demikian, hubungan antara perikatan dan

perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Berakhirnya

atau hapusnya perikatan juga mengakibatkan berakhirnya perjanjian.

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

26

Berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata hapusnya perikatan karena sebagai

berikut:

a. pembayaran;

b. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

c. pembaharuan utang;

d.perjumpaan utang atau kompensasi;

e. percampuran utang;

f. pembebasan utang;

g. musnahnya barang yang terutang;

h. kebatalan atau pembatalan;

i. berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini;

j. lewatnya waktu (Djaja S. Meliala, 2007: 105).

2. Tinjauan Umum tentang Jual Beli

2.1 Pengertian jual beli

Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan dari contract of sale.

Pengertian jual beli menurut KUHPerdata pasal 1457 adalah suatu perjanjian

dengan mana pihak yang satu meningkatkan dirinya untuk menyerahkan

suatu benda dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan (Subekti,

2008: 366). Perjanjian Jual beli adalah persetujuan dimana penjual

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang

sebagai milik (en eigendom te leveren) dan menjaminnya (vrijwaren) pembeli

mengikat diri untuk membayar harga yang diperjanjikan (Salim, 2003: 48).

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

27

Lahirnya suatu perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata disebabkan

adanya kesepakatan dari para pihak (Asas Konsesualisme). Sebagaimana

telah disebutkan dimuka, hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut

asas konsesualisme yang artinya hukum perjanjian itu menganut suatu asas

bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat

saja sehingga dengan demikian perikatan yang ditimbulkan lahir pada saat

terjadinya kata sepakat tersebut. Begitu pula dengan saat terjadinya jual beli.

Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi pada saat dicapai kata sepakat

antara penjual dan pembeli, hal yang demikian ini telah diatur dalam Pasal

1458 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “ Jual beli dianggap sudah

terjadi antara para pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat

tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun

harganya belum dibayar”. Dengan demikian jual beli itu sebenarnya sudah

terjadi pada waktu terjadinya kesepakatan tersebut (J.Satrio, 1999: 39).

2.2 Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli

Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan

harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian

B.W. perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata

“sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju

tentang barang dan harga, maka lahirnya perjanjian jual beli yang sah.

Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458

yang berbunyi: “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

28

seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga,

meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

2.3 Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Jual Beli

Perjanjian yang dibuat pastinya melahirkan hubungan hukum antara

para pembuatnya. Hubungan hukum itu berisi hak dan kewajiban para pihak.

Hak adalah segala sesuatu yang diterima akibat dari perjanjian yang

dibuatnya sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus

dilaksanakan oleh masing-masing pihak atas segala apa yang telah disepakati

dalam perjanjian yang mereka buat.

Pihak-pihak yang ada dalam perjanjian jual beli biasanya hanya ada 2

(dua) pihak yaitu Penjual dan Pembeli. Oleh sebab itu yang perlu dipaparkan

dalam penulisan ini adalah hak dan kewajiban dari penjual dengan pembeli

dan sebaliknya.

1. Hak Dan Kewajiban Penjual

Hak merupakan suatu hal yang tidak dipisahkan dari kewajiban.

Hak dari penjual menurut KUHPerdata adalah menerima harga

pembelian atas benda yang dijualnya kepada pembeli. Apabila pembeli

tidak membayar harga pembelian, penjual dapat menuntut pembatalan

perjanjian jual beli tersebut. Dari beberapa ketentuan yang terdapat di

dalam KUHPerdata kewajiban yang utama dari penjual ada dua yaitu:

a. Kewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan

Berdasarkan Pasal 1475 KUHPerdata penyerahan ialah suatu

pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

29

kepunyaan pembeli. Menurut KUHPerdata, walaupun perjanjian jual

beli mengikat para pihak setelah tercapainya kesepakatan, namun

tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjual belikan

tersebut akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya

kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang

diperjual belikan dibutuhkan penyerahan.

Kewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual

belikan meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan

untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan dari

penjual kepada pembeli, seperti:

1) Penjual berkewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala

sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi

pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika ada

(Pasal 1482 KUHPerdata).

2) Penjual diwajibkan menyerahkan barang yang dijual seutuhnya,

sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian, dengan perubahan-

perubahan yang pernah dilakukan (Pasal 1483 KUHPerdata).

Dalam KUHPerdata dikenal dua macam penyerahan atas

barang ditinjau dari bentuk penyerahannya. Penyerahan benda

tersebut adalah penyerahan benda yang sesungguhnya dari yang

menyerahkan kepada yang menerima penyerahan atau penyerahan

dari tangan ketangan. Penyerahan ini disebut dengan

“feitelijklevering” atau penyerahan sesungguhnya. Sedangkan

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

30

penyerahan hak atas benda itu dari yang menyerahkan kepada yang

menerima penyerahan disebut “jurisdiche levering” atau penyerahan

yuridis.

Pelaksanaan penyerahan hak milik dari penjual kepada

pembeli untuk setiap barang tidaklah sama, akan tetapi harus melihat

jenis barangnya terlebih dahulu, untuk penulisan ini penulis hanya

membedakan terhadap dua bentuk kebendaan, yaitu:

1) Benda Bergerak

Pasal 509 sampai dengan Pasal 518 Bagian ke empat,

Buku II KUHPerdata merupakan pasal-pasal yang mengatur

mengenai benda bergerak. Pengertian benda bergerak dijelaskan

dalam Pasal 509 KUH Perdata berbunyi “kebendaan bergerak

karena sifatnya ialah kebendaan yang dapat berpindah atau

dipindahkan”.

Jadi terhadap benda bergerak, pelaksanaan

penyerahannya cukup dilakukan dengan menyerahkan

kekuasaan saja atas barang itu. Pasal 612 KUHPerdata

menyebutkan bahwa, penyerahan barang bergerak, terkecuali

yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata

kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan

penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan

itu berada. Terhadap benda bergerak juga terdapat juga

penyimpangan yaitu siapa yang menguasai barang dianggap

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

31

sebagai pemiliknya (bezit geldt als volkmen title). Menurut asas

ini bahwa siapa yang tampak sebagai pemilik harus dipandang

sebagai pemilik dan orang yang menerima barang bergerak

tersebut harus dilindungi oleh hukum.

2) Barang Bergerak Tidak bertubuh

Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama,

cara penyerahannya adalah dengan melalui akta dibawah tangan

atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas

nama tersebut mengikat bagi si berutang, penyerahan tersebut

harus diberitahukan kepada si berutang atau disetujui dan diakui

secara tertulis oleh si berutang.

3) Benda Tidak Bergerak (Tetap)

Benda tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya

adalah melalui pendaftaran atau balik nama. Seperti pengalihan

hak atas tanah dilakukan melalui Kantor Pertanahan dan

kepemilikan kapal dengan bobot diatas 20 ton dilakukan melalui

Syahbandar atau Administrasi Pelabuhan.

b. Kewajiban menanggung kenikmatan, ketentraman dan cacat

tersembunyi atas benda sebagai obyek jual beli

Kewajiban untuk menanggung kenikmatan/ketentraman atas

barang yang dijualnya merupakan konsekuensi logis yang penjual

diberikan kepada pembeli bahwa benda yang dijualnya dan

diserahkan kepada pembeli adalah sungguh-sungguh merupakan

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

32

benda miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan

hukum dari pihak lain. Terhadap hal ini, Pasal 1471 KUHPerdata

menerangkan bahwa jual beli yang dilakukan terhadap milik orang

lain batal demi hukum.

Bebas dari suatu beban artinya adalah bahwa barang yang

dijualnya tidak dijadikan suatu jaminan hutang dari pihak penjual

sedangkan bebas dari tuntutan pihak lain artinya pihak pembeli

dijamin oleh pihak penjual jika ada tuntutan mengenai apa yang

telah dibelinya dari penjual. Kewajiban ini diwujudkan dalam bentuk

kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai

terjadi si pembeli karena gugatan dari suatu pihak ketiga, dengan

putusan hakim untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya

kepada pihak ketiga tersebut.

Setiap penjual berkewajiban bahwa benda yang dijualnya

dalam keadaan baik, sedangkan penjual juga wajib menanggung

apabila benda itu terdapat cacat tersembunyi. Mengenai kewajiban

penjual dalam hal ini telah diatur dalam KUHPerdata, yaitu:

1) Penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada

barang yang dijual, yang membuat barang tak sanggup untuk

pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi

pemakaian itu. Sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat

itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

33

membelinya selain dengan harga yang kurang (Pasal 1504

KUHPerdata).

2) Penjual tidaklah diwajibkan menanggung terhadap cacat yang

kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh pembeli (Pasal 1505

KUHPerdata).

3) Penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat yang

tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat

itu, kecuali jika ia, dalam hal demikian, telah meminta

diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu

apapun (Pasal 1506 KUHPerdata).

4) Jika penjual telah mengetahui cacat-cacatnya barang, maka selain

diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah

diterimanya, ia juga diwajibkan mengganti segala biaya, kerugian

dan bunga kepada si pembeli (Pasal 1508 KUHPerdata).

5) Penjual diwajibkan mengembalikan harga pembelian, dan

mengganti kepada si pembeli biaya yang telah dikeluarkan untuk

pembelian dan penyerahan, sekadar itu telah dibayar oleh pembeli

(Pasal 1509 KUHPerdata) (Salim, 2003: 54).

2. Hak Dan Kewajiban Pembeli

Hak utama pembeli dari perjanjian jual beli adalah menerima

barang dari penjual sesuai dengan apa yang diperjanjikan sedangkan

kewajiban yang utama dari pembeli diatur dalam Pasal 1513

KUHPerdata adalah membayar harga pembelian, pada waktu dan

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

34

ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Hak dan

Kewajiban lain berdasarkan KUHPerdata yang dimiliki dan harus

dipenuhi pembeli adalah sebagai berikut:

a. Pembeli dapat menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan

benda yang menjadi obyek jual beli karena kelalaian penjual tidak

dapat dilaksanakan (Pasal 1480 KUHPerdata).

b. Dalam hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 1504 dan 1506, si

pembeli dapat memilih apakah ia akan mengembalikan barangnya

sambil menuntut kembali harga pembeliannya, atau apakah ia akan

tetap memiliki barangnya sambil menuntut pengembalian sebagian

harta, sebagaimana akan ditentukan oleh Hakim, setelah mendengar

ahli-ahli tentang itu (Pasal 1507 KUHPerdata).

c. Pembeli diwajibkan membayar harga pembelian, di tempat

penyerahan benda dilakukan apabila tidak diperjanjikan mengenai

tempat pembayaran harga pembelian (Pasal 1514 KUHPerdata).

d. Pembeli walaupun tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan

membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yang dijual dan

diserahkan memberikan hasil atau lain pendapatan (Pasal 1515

KUHPerdata).

e. Pembeli dapat menangguhkan pembayaran harga pembelian, apabila

pembeli dalam penguasaannya diganggu oleh suatu tuntutan hukum

yang berdasarkan hipotik atau suatu tuntutan untuk meminta kembali

barangnya, atau jika pembeli mempunyai suatu alasan yang patut

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

35

untuk berkuatir bahwa ia akan diganggu dalam penguasaannya,

hingga si penjual telah menghentikan gangguan tersebut kecuali jika si

penjual memilih memberikan jaminan, tersebut atau jika telah

diperjanjikan bahwa si pembeli diwajibkan membayar biarpun segala

gangguan (Pasal 1516 KUHPerdata) (Salim, 2003: 54-57).

3. Tinjauan Umum tentang Itikad Baik

Perjanjian-Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan

tersebut memberikan arti bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui

oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati

sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup. Hal

kedua yang mendasari keberadaan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata dengan rumusan itikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat

hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak

dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditur, maupun

pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian. Hal mengenai itikad baik

ini sebenarnya telah kita temukan dalam Pasal 1235 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa:

“Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk

menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai

seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas

tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada perjanjian tertentu;

akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”.

Dalam kaitannya dengan Pasal 1237 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

yang menyatakan bahwa:

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

36

“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu

menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk

menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak

perikatan dilakukan menjadi tanggungan” (Kartini Muljadi dan Gunawan

Widjaja, 2014: 79).

Menurut teori klasik, asas itikad baik hanya berlaku pada saat

penandatanganan dan pelaksanaan kontrak. Sebalinya, menurut pandangan teori

kontrak yang modern janji prakontrak harus didasarkan pada itikad baik, sehingga

pihak yang ingkar janji dapat dituntut untuk membayar ganti rugi berdasarkan

perbuatan melawan hukum sehingga ganti rugi yang diberikan hanyalah kerugian

nyata, atau disebut juga Reliance damages yaitu harga yang telah dibayar oleh

pembeli (Suharnoko, 2004: 10).

Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada

dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal

diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif,

dinyatakan oleh Muhamad Faiz bahwa: " Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang

bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad

baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap

tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik".

Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan

disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi pra kesepakatan perjanjian,

dinyatakan oleh Ridwan Khairandy bahwa: " Itikad baik sudah harus ada sejak

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

37

fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai

kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak".

Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari

makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial

terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan

menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan

adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah

pengingkaran dari kebutuhannya sendiri. Kebutuhan akan hidup bersama, saling

menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial.

Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti

penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak

melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih

tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada

perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap

batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada

„kesengajaan sebagai bentuk kesalahan‟ pembuat yang secara psikologis

menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada

perbuatan tersebut (Ridwan Khairandy, 2003: 190). Syarat itikad baik, kepatutan,

kepentingan umum dan kebiasaan:

a. Kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik

Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, suatu kontrak haruslah dilaksanakan

dengan itikad baik (gooder trouw, bona fide). Rumusan dari Pasal 1338 ayat

(3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

38

syarat sah suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320

KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan”

dari suatu kontrak, bukan pada “perbuatan” suatu kontrak.

Dapat saja suatu kontrak dibuat secara sah, dalam arti memenuhi semua

syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata),

dan karenanya kontrak tersebut dibuat dengan itikad baik, tetapi justru dalam

pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan salah satu pihak

atau merugikan pihak ketiga.

b. Kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan

Suatu kontrak haruslah sesuai dengan asas “kepatutan” (vide Pasal 1339

KUHPerdata). Untuk ini pemberlakuan asas kepatutan terhadap suatu kontrak

mengandung dua fungsi sebagai berikut:

1) Fungsi yang melarang

Dalam hal ini, kontrak yang mengandung unsur-unsur yang

bertentangan dengan asas kepatutan adalah tidak dapat dibenarkan.

Misalnya dilarang membuat suatu kontrak pinjaman uang dengan bunga

yang sangat tinggi. Bunga yang sangat tinggi ini bertentangan dengan

asas kepatutan (reasonability).

2) Fungsi yang menambah

Sebaliknya, suatu kontrak juga dapat ditambah dengan atau

dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip kepatutan. Dalam hal ini

kedudukan prinsip kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam

pelaksanaan suatu kontrak, dimana tanpa isian tersebut, tujuan

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

39

dibuatnya kontrak tidak mungkin tercapai. Misalnya terhadap suatu

kontrak jual beli (yang dibayar kemudian) tidak jelas siapa yang

menanggung resiko inflasi/devaluasi mata uang, maka adalah sesuai

dengan asas “kepatutan” jika di pengadilan hakim menafsirkan bahwa

resiko inflasi/devaluasi mata uang tersebut di pikul bersama secara fifty-

fifty.

c. Kontrak tidak melanggar prinsip kepentingan umum

Suatu perbuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh melanggar prinsip

kepentingan umum (openbaar orde). Karena sesuai dengan prinsip hukum

yang universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh

dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Karena itu, jika ada kontrak yang

bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum, maka kontrak tersebut

sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, yang menurut

Pasal 1339 KUHPerdata hal tersebut tidak dibenarkan. Contoh kontrak yang

bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum adalah kontrak jual beli

obat bius (Munir Fuady, 1999: 80-82).

4. Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi

Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan

sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan

prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk

melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra

prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukarn prestasi

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

40

tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut

wanprestasi (Agus Yudha Hernoko, 2010: 260).

Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah

“performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan

hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri

untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana

disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan (Munir Fuady, 1999: 87).

Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang

disebutkan dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu berupa:

a) Memberikan sesuatu;

b) Berbuat sesuatu;

c) Tidak berbuat sesuatu.

Sementara itu, dengan wanprestasi (default atau non fulfilment, maupun

yang disebut juga dengan istilah breach of contract) yang dimaksudkan adalah

tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang

dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan

dalam kontrak yang bersangkutan.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak

pihak yang dirugikan untk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk

memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu

pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini

dapat terjadi karena:

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

41

a) Kesengajaan;

b) Kelalaian;

c) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

Berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan

hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak

dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibat

umunya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan

tertentu (Munir Fuady, 1999: 87-88).

Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi.

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban

sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan

debitur (Salim, 2003: 98). Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi

karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut juga karena

terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa

(J.Satrio, 1999: 122):

1) Sama sekali tidak memenuhi prestasi;

2) Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;

3) Terlambat memenuhi prestasi;

4) Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan. Terjadinya

wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi)

dirugikan. Oleh karena itu pihak yang dirugikan akibat wanprestasi tersebut,

pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak yang

dirugikan, yang dapat berupa tuntutan (J.Satrio, 1999: 144) :

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

42

1) pembatalan perjanjian;

2) peralihan resiko;

3) membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat

dinamakan ganti‐rugi;

4) membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan

pengadilan.

d) Akibat Adanya Wanprestasi

Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut

1) Perikatan tetap ada

Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi,

apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak

menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal

ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur

melaksankan prestasi tepat pada waktunya.

2) Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH

Perdata)

3) Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul

setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan

besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk

berpegang pada keadaan memaksa.

4) Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat

membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan

menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata (Salim, 2003: 99)

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

43

5. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Menurut Hukum Adat

Sering kita jumpai pada fenomena terurainya lingkungan hidup yang

didalamnya para warganya melakukan tolong-menolong. Untuk keperluan tukar-

menukar jasa dan barang dalam segala urusan kepentingan hidup masing-

masing, salah satunya melakukan transaksi jual beli. Istilah jual itu mengenai

pengoperan hak dari sesuatu orang kepada orang lain. Apabila pengoperan itu

dilakukan untuk selama-lamanya, maka dipakailah istilah “Jual lepas”, atau “jual

mutlak”, sedangkan kalau pengoperan itu hanya untuk waktu yang tertentu saja,

misalnya satu tahun, dipergunakan istilah “Jual Tahunan” dan apabila

pengoperan tersebut disertai syarat, bahwa dapat pulang kembali kepada si

penjual lagi asalkan uang pembayaran yang dahulu ia terima dikembalikan

kepada pembeli lagi, maka istilah yang dipergunakan adalah “Jual sende” atau

“Jual gadai”.

Perjanjian jual beli didalam masyarakat hukum adat biasanya dalam jual

beli mempunyai sifat Kontan ( Tunai ) dan percaya yang kuat. Kontan ( Tunai )

adalah suatu bentuk prestasi yang dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu

itu juga. Lalu , sifat percaya yang kuat yaitu saling percaya satu sama lain ,

antara pembeli dan penjual dalam proses jual beli, sehingga didalam proses

tersebut, mereka tidak membuat bukti tertulis karena mereka sudah saling

percaya. Jadi, di dalam hukum adat jual beli dilakukan dengan tunai. Dalam

hukum adat sisa pembayaran dianggap harga yang pada kenyataannya belum

dibayar penuh dianggap sebagai hutang pembeli kepada penjual atas perjanjian

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

44

utang-piutang yang dianggap terjadi antara penjual dan pembeli (Soerojo, 1995:

71).

Perbandingan perjanjian jual beli hukum B.W dengan hukum adat yaitu

hukum B.W , memiliki ketentuan,“ jual beli sudah terjadi apabila sudah terucap

kata sepakat , walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya belum

dibayar” dan dalam perjanjian jual beli pun diharuskan untuk membuat

suatu bukti tertulis sebagai ketentuan yang sudah ditetapkan untuk masalah

pembuktian, sedangkan didalam hukum adat , jual beli berasaskan sifat Kontan

yang memiliki ketentuan “ jual beli terjadi bersama-sama pada saat waktu itu

juga”, sehingga walaupun sudah terucap kata sepakat antara kedua belah pihak

itu belum terjadi jual beli. Adapun didalam jual beli, masyarakat adat tidak

mengenal namanya pembuktian tertulis, karena masyarakat adat memiliki sifat

percaya, saling percaya satu sama lain, dan jual beli menurut adat tidak perlu

dengan membuat bukti tertulis seperti didalam B.W (http://sifauzi174.blogspot

.co.id/2014/04/hukum-bw-vs-hukum-adat-dalam-perjanjian.html).

6. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa

Para pelaku bisnis dalam hubungannya dengan pihak lain senantiasa

mengharapkan agar kontrak yang mereka buat dapat berjalan sebagaimana yang

diharapkan. Namun demikian, dalam perjalanan waktu tidak menutup

kemungkinan terjadi sengketa diantara mereka, meskipun hal ini sebenarnya

sama sekali tidak diharapkan. Sengketa kontrak pada umumnya muncul sebagai

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

45

akibat adanya ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan, kompetisi, atau

ketidakseimbangan di antara para pihak.

Adakalanya pelaku bisnis bersikap rasional ketika menghadapi sengketa

bisnis karena hal itu dianggap sebagai bagian dari resiko bisnis. Persoalan

terpenting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana upaya mereka dalam

mengantisipasi atau mencegah kemungkinan terjadinya sengketa, oleh karena itu

umumnya dalam kontrak bisnis (komersial) para pihak mencantumkan klausul

penyelesaian sengketa (Dispute settlement clause atau midnight clause) dalam

kontrak mereka (Agus Yudha Hernoko, 2010: 304-307).

Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: (1)

melalui litigasi, dan (2) non litigasi. Penyelesaian sengketa melalui litigasi

merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa di ritualisasikan yang

menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan

kepada seseorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan (Salim,

2003: 141). Sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangannya dalam

penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya, yaitu:

a) Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-

kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat

mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial;

b) Litigasi sangat baik sekali untuk menemukan berbagai kesalahan dan

masalah dalam posisi pihak lawan;

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

46

c) Litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan

peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum

mengambil keputusan;

d) Litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa

pribadi;

e) Dalam sistim litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang

terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.

Basuki Rekso Wibowo, mengemukakan bahwa paradigma beracara di

pengadilan telah mengalami pergeseran yang memprihatinkan. Idealisme

berperkara untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah bergeser menjadi

pergulatan kesempatan dan kekuatan untuk saling megalahkan (to be the winner,

not the losser). Kondisi demikian akhirnya membuat masyarakat pencari

keadilan sedapat mungkin menghindari pengadilan dalam menyelesaikan

berbagai problematika hukum yang mereka hadapi.

M. Yahya Harahap dalam buku Agus Yudhi Hernoko (2010: 309),

mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan

dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis, karena:

1) Penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu;

2) Biaya mahal;

3) Peradilan tidak responsif tehadap kepentingan umum;

4) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa.

Litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga

menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam Undang-undang

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

47

secara eksplisit maupun implisit. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui

alternatif (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat

prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan

dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal

1 ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa). Apabila mengacu ketentuan Pasal 1

ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian

sengketa melalui ADR dibagi tiga cara, yaitu:

a) Negosiasi

b) Mediasi

c) Konsiliasi

Ketiga bentuk penyelesaian sengketa dilakukan oleh pihak yang merasa

dirugikan atau terjadinya perbedaan pendapat baik itu antara individu, kelompok

maupun antar badan usaha. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi

dilakukan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan

hasil penyelesaian konflik atau sengketa secara kekeluargaan. Menurut Salim

(2003: 140-160) bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur Non-

Litigasi, sebagai berikut:

a) Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua orang

atau lebih/para pihak yang mempunyai hal atau bersengketa saling

melakukan kompromi atau tawar menawar terhadap kepentingan

penyelesaian suatu hal atau sengketa untuk mencapai kesepakatan. Dengan

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

48

cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan

mengakhiri sengketa tersebut secara baik. Pihak yang melakukan negosiasi

disebut negosiator, sebagai seorang yang dianggap bisa melakukan

negosiasi. Seorang negosiator harus mempunyai keahlian dalam

menegosiasi hal yang disengketakan antara kedua pihak. Beberapa hal yang

harus diperhatikan dalam menjalankan negosiasi, diantaranya:

1. Memahami tujuan yang ingin dicapai

2. Menguasai materi negosiasi

3. Mengetahui tujuan negosiasi

4. Menguasai keterampilan tehnis negosiasi, didalamnya menyangkut

keterampilan komunikasi.

b) Mediasi

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang

kurang lebih hampir sama dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak

ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi

mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya

boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya

yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak

ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran

yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi

merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata,

bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib

memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

49

tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang

bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator

dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.

Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, kesepakata penyelesaian sengketa

atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak

untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis tersebut wajib

didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran (Gunawan

Widjaja, 2001: 92).

c) Konsiliasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian

konsiliasi. Konsiliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan

pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelasaikan

peselisihan tersebut. Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi adalah

“Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada

suatu komisi orang-orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan

fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan

mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat

usulan-usulan suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak

mengikat”

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

50

Inti konsiliasi dalam definisi di atas adalah penyelesaian sengketa

kepada sebuah komisi dan keputusan yang dibuat oleh komisi tersebut tidak

mengikat pihak. Artinya bahwa para pihak dapat menyetujui atau menolak

isi keputusan tersebut.

Berbeda dengan negosiasi, konsialiasi dari pengertian yang diberikan

dalam Black‟s Law Dictionary merupakan langkah awal perdamaian

sebelum sidang peradilan (litigasi) dilaksanakan. Bahkan jika kita melihat

pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

dengan berasumsi bahwa yang dimaksud konsiliasi dalam Undang-undang

No. 30 Tahun 1999 adalah identik dengan perdamaian yang diatur dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka berarti konsiliasi tidak hanya

dapat dilakukan untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi

(peradilan), melainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak, dalam setiap

peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun diluar

pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah

diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap, tidak dapat dilakukan konsiliasi (Gunawan Widjaja, 2001: 94).

Selain itu, ADR dipandang sebagai pilihan terbaik (the best choice),

karena:

1) Bersifat informal;

2) Penyelesaian secara kooperatif oleh pihak yang bersengketa;

3) Biaya murah (nominal cost atau zero cost);

4) Penyelesaian cepat (quick);

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjianrepository.ump.ac.id/3460/3/Latif Argani_BAB II.pdf · Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita

51

5) Menyelesaikan sengketa serta memperbaiki hubungan masa depan (the

future);

6) Penyelesaian secara kompromi;

7) Hasil yang dicapai sama-sama menang (win-win)

8) Hubungan semakin mesra (Agus Yudha Hernoko, 2010: 310).

Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016