bab ii tinjauan pustakalibrary.uir.ac.id/skripsi/pdf/143210643/bab2.pdf · 2018. 7. 2. · dalam...
TRANSCRIPT
5 Universitas Islam Riau
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EMULSI DALAM MINYAK MENTAH
Kandungan air di dalam minyak mentah perlu diminimalisir. Air yang
terdapat di dalam minyak mentah akan bersenyawa dengan minyak mentah dan
membentuk emulsi. Emulsi tersebut sulit dipisahkan dan akan mengganggu proses
fraksinasi. Air yang ikut terproduksi ke dalam suatu produk yang dihasilkan dari
minyak mentah (BBM) dapat menurunkan nilai bakar BBM tersebut
(Hayuningwang, Fadli, & Akbar, 2015).
Minyak mentah umumnya bercampur dengan air selama produksi. Air
menciptakan beberapa masalah dan biasanya akan meningkatkan biaya unit
produksi minyak. Air yang dihasilkan harus dipisahkan dari minyak, diolah, dan
dibuang dengan benar. Hal ini dilakukan karena minyak mentah yang dapat dijual
harus sesuai dengan spesifikasi produk tertentu, seperti; jumlah air dan sedimen
yang terkandung dalam minyak mentah (BS&W). Campuran minyak dan air
selama aktivitas produksi dikenal dengan istilah emulsi. Emulsi sebenarnya
didefinisikan sebagai suspensi tetesan berdiameter lebih dari 0,1 mikron, yang
terdiri dari dua cairan yang tidak saling bercampur. Emulsi air dalam minyak
distabilkan oleh berbagai bahan yang terdapat secara alami dalam minyak berat,
seperti aspal, surfaktan alami dan lempung (Oriji & Appah, 2012).
Emulsi makro adalah dispersi liquid-in-liquid, dengan ukuran tetesan
berkisar antara 1 sampai 100 μm (dalam kasus tertentu dapat mencapai 0,5 μm
atau sampai 500 μm). Dalam rentang ini, tetesan pada umumnya memiliki
kemungkinan yang cukup besar untuk menetap di bagian bawah akibat pengaruh
gravitasi. Mekanisme kinetik yang terlibat dalam pemecahan emulsi bisa sangat
lambat sehingga emulsi dianggap stabil (Henríquez, 2009).
Wylde et al. (2008) menyatakan bahwa emulsi minyak mentah adalah
dispersi air dalam minyak dan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
1. Emulsi air dalam minyak
2. Emulsi minyak dalam air
6
Universitas Islam Riau
3. Emulsi multipel atau kompleks
Henríquez (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis emulsi yang
diklasifikasikan berdasarkan bagaimana fase minyak dan air berada pada sistem
dispersi. Istilah minyak dan air digunakan dalam arti, lebih polar dari dua fasa
yang tidak saling bercampur. Gambar 1 menunjukkan berbagai jenis emulsi
seperti; emulsi air dalam minyak (W/O) menunjukkan tetesan air yang terdispersi
dalam fasa minyak (Gambar 1b), atau minyak dalam emulsi air (O/W) jika yang
terjadi adalah tetesan minyak yang terdispersi dalam fasa air (Gambar 1a),
sementara dua atau beberapa emulsi dilambangkan dengan W1/O/W2 (Gambar
1c) atau O1/W/O2 (Gambar 1d). Di sini, W1 (masing-masing O1) dan W2
(masing-masing O2) menunjukkan fasa paling eksternal dan yang paling internal.
Biemulsi adalah emulsi yang mengandung dua droplet fasa internal yang berbeda,
dengan perbedaan ukurannya atau sifatnya (Gambar 1e).
Gambar 2.1 Tipe-Tipe Emulsi
(a) O/W, (b) W/O, (c) W1/O/W2, (d) O1/W/O2, (e) Biemulsi O1+O2/W
(Henríquez, 2009, p.12)
Fingas (seperti yang dikutip pada Nofrizal & Prashetya, n.d.) berpendapat
bahwa air dalam emulsi minyak (W/O emulsion), dimana minyak mentah sebagai
fase kontinu dan air (yang mengandung berbagai garam terlarut) sebagai fase
terdispersi.
Karakterisasi emulsi meliputi analisis sedimen dan air (BS&W), SARA
(jenuh, aromatik, resin, dan aspal), efek demulsifier dan aditif, suhu, shear,
watercut, pencampuran minyak mentah yang berbeda, dan padatan yang
berpengaruh terhadap stabilitas emulsi (Kokal & Al-Juraid, 1999).
7
Universitas Islam Riau
2.2 STABILITAS EMULSI
Emulsi distabilkan oleh zat-zat kimia alami yang terkandung dalam minyak
mentah itu sendiri, seperti: asphaltene, resin, dan wax yang dikenal sebagai
interfacial active components atau surfaktan alami. Adanya surfaktan alami dapat
menyebabkan emulsi minyak menjadi stabil, di mana akan menimbulkan berbagai
masalah perubahan yang signifikan terhadap karakteristik dan sifat fisik minyak.
Ketika terjadi emulsi densitas minyak dapat meningkat dari 800 kg/m3 menjadi
1030 kg/m3. Perubahan paling signifikan diamati pada viskositas, yang biasanya
beberapa Mpa.s atau kurang menjadi sekitar 1000 Mpa.s (Nofrizal & Prashetya,
n.d.).
Wylde et al. (2008) menyatakan bahwa surfaktan atau yang disebut
pengemulsi, memusatkan diri pada antarmuka air-minyak dan membentuk film
antarmuka yang dapat mengurangi tegangan antarmuka serta meningkatkan
emulsifikasi juga penyebaran tetesan. Banyak pengemulsi alami terkandung di
dalam minyak mentah, meliputi: aspal, resin, asam organik dan basa. Semua
pengemulsi ini cenderung terkonsentrasi pada fraksi titik didih yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, cenderung memiliki konsentrasi yang lebih tinggi untuk jenis
minyak berat. Bahan kimia produksi lainnya juga dapat bertindak sebagai
pengemulsi (seperti corrosion inhibitor, scale inhibitor, drilling fluid, dll.)
Padatan halus dapat bertindak sebagai penstabil mekanis, dengan syarat bahwa
partikel padat ini harus jauh lebih kecil daripada tetesan emulsi dan berkonsentrasi
terhadap antarmuka air-minyak yang dibasahi oleh minyak dan air. Efikasi
padatan dalam menstabilkan emulsi bergantung pada ukuran partikel, interaksi
dan wettability relatif pada partikel. Beberapa penelitian telah mengemukakan
bahwa padatan dapat dikatakan sebagai salah satu parameter yang paling
berpengaruh terhadap stabilitas emulsi. Padatan yang dimaksud bisa meliputi
pasir, aspal, lilin, clays, lumpur, corrosion product, mineral scale, lumpur
pengeboran dll. Zanten, Miller, & Baker (2012) menyatakan bahwa stabilitas
emulsi ditentukan oleh interaksi antarmolekul dan kekuatan permukaan. Agar
emulsi terbentuk, sejumlah besar energi harus dimasukkan ke dalam sistem yang
dipengaruhi oleh shear. Energi ini diperlukan karena adanya peningkatan entropi
8
Universitas Islam Riau
dan luas permukaan. Yang dapat dijelaskan dengan menggunakan kerangka
termodinamika. Perubahan energi bebas dari sebuah sistem diwakili oleh:
∆𝐺 = ∆𝐻 − 𝑇∆𝑆 ......................................................................................... (1)
atau
∆𝐺 = ∆𝐴 . 𝛾𝑜𝑤 − 𝑇∆𝑆 ................................................................................. (2)
Dimana:
G = Energi bebas Gibbs,
T = Suhu,
S = Entropi,
A = Daerah antarmuka,
γ = Tegangan antarmuka pada antarmuka air-minyak.
Saat emulsi terbentuk, entropi akan meningkat dengan terbentuknya
beberapa tetesan kecil. Namun, pembentukan tetesan ini juga menyebabkan area
antarmuka minyak/air bertambah besar. Penambahan surfaktan dapat menurunkan
tegangan antarmuka, sehingga mengurangi jumlah energi yang dibutuhkan untuk
membentuk sebuah interface.
Kegagalan emulsifikasi dapat terjadi apabila, coalescence terjadi ketika dua
tetesan yang terdispersi saling bersentuhan dan digabungkan sehingga membentuk
tetesan yang lebih besar. Hal ini akan menyebabkan tetesan menjadi lebih besar
seiring berjalannya waktu, yang akhirnya menyebabkan pemisahan menjadi dua
fase. Hal ini bisa dijelaskan dengan Istilah tekanan Laplace:
𝑃 =2 .𝛾𝑜𝑤
𝑟 ..................................................................................................... (3)
Dimana:
P = Tekanan di dalam droplet
r = Jari-jari tetesan.
Dengan demikian tetesan yang lebih kecil (yaitu, istilah r yang lebih kecil)
memiliki tekanan internal yang lebih tinggi yang dapat menyebabkan
kemungkinan terbentuknya tetesan yang lebih besar. Kedua proses tersebut pada
akhirnya menghasilkan pemisahan fasa.
Stabilitas emulsi dapat meningkat apabila terdapat:
9
Universitas Islam Riau
1. Penambahan surfaktan/pengemulsi yang dapat menurunkan tegangan
permukaan dan membuat tetesan lebih stabil. Surfaktan bisa dapat dijadikan
sebagai pembentuk steric atau elektrostatik untuk memperlambat
koalesensi.
2. Interaksi hidrodinamika antar tetesan dan partikel tetesan dapat
menyebabkan cairan menjadi lebih kental, yang akan memperlambat
kinetika koalesensi. Viskositas dapat ditentukan berdasarkan persamaan:
𝜂 = 𝜂𝑠𝑜𝑙𝑣𝑒𝑛𝑡 (1 +5
2𝜙) ........................................................................... (4)
Dimana:
η = Viskositas,
ηsolvent = Viskositas fasa kontinu,
φ = Fraksi volume fase terdispersi
Dengan demikian, semakin tinggi fraksi volume fasa internal, emulsi
akan semakin kental dengan syarat dispersi terjadi dengan baik. Interaksi ini
juga dapat diamati dengan menggunakan berbagai campuran surfaktan yang
dapat mengubah tegangan permukaan serta sudut kontak dari tetesan dan
partikel. Interaksi inilah yang dapat meningkatkan hasil dan kekuatan dari
cairan.
3. Padatan juga dapat bertindak sebagai pengemulsi sekunder yang terdapat
pada antarmuka air-minyak untuk menstabilkan emulsi. Energi yang
dibutuhkan untuk mengganti partikel padat yang terdapat di antarmuka kira-
kira 10-100 kali yang akan digantikan dengan surfaktan/pengemulsi pada
interface yang sama. Dengan demikian, terjadi peningkatan stabilitas pada
surfaktan/padatan.
Hajivand & Vaziri (2015) dalam papernya menyatakan bahwa emulsi
merupakan sistem bisa saja menjadi tidak stabil akibat dipengaruhi oleh
termodinamika. Sehingga, sistem cairan dapat digunakan untuk memisahkan dan
mengurangi area antarmuka dan energi. Banyak emulsi yang dapat stabil dalam
jangka waktu yang lama karena mereka memiliki stabilitas kinetik. Hal ini
10
Universitas Islam Riau
menyebabkan emulsi diklasifikasikan berdasarkan pada stabilitas dari emulsi
tersebut:
1. Emulsi longgar : terpisah dalam beberapa menit
2. Emulsi sedang : terpisah dalam 10 menit atau lebih
3. Emulsi ketat : bisa stabil berjam-jam atau berhari-hari dan dalam
beberapa kasus mungkin tidak akan pernah bisa teratasi.
Banyak faktor yang memengaruhi stabilitas emulsi :
1. Suhu
Suhu memengaruhi sifat air yang dihasilkan, film antarmuka, dan kelarutan
pengemulsi dalam minyak mentah maupun air. Ada juga beberapa
komponen yang memengaruhi sifat fisik minyak mentah, yaitu viskositas.
Viskositas emulsi menurun seiring dengan meningkatnya suhu karena
kenaikan suhu dapat menurunkan viskositas minyak mentah. Hal ini
terutama dapat terjadi bila minyak mentah mengandung komponen parafin
dan penerapan panas dapat menghilangkan masalah emulsi dengan
melarutkan parafin ke dalam minyak mentah. Suhu juga berfungsi untuk
meningkatkan energi fluida. Sehingga, dapat meningkatkan jumlah
tumbukan tetesan dan koagulasi. Lagerlef (2000) menyatakan bahwa
ketegangan emulsi akan meningkat seriringnya dengan terjadinya penurunan
suhu. Oleh karena itu, masalah emulsi dan konsumsi demulsifier akan
meningkat selama musim dingin.
2. pH
Banyak zat pengemulsi yang dipengaruhi oleh asam dan basa pH-organik,
asphaltenes dan padatan. Sehingga mengubah pH dapat memengaruhi
ionisasi dari komponen ini film antarmuka yang menyebabkan sifatnya akan
berubah. pH juga memengaruhi jenis emulsi, misalnya pH rendah umumnya
menghasilkan emulsi air dalam minyak (W/O), sedangkan pH tinggi
menghasilkan emulsi minyak dalam air (O/W).
11
Universitas Islam Riau
3. Minyak mentah yang memiliki fraksi berat
Zat pengemulsi alami memiliki titik didih yang lebih tinggi. Komponen ini
meliputi resin, asphaltenes, naphthenic dan carboxylic acids and bases.
Semakin berat minyak mentah atau semakin tinggi titik didih, emulsi yang
terbentuk semakin stabil karena senyawa tersebut merupakan unsur utama
dari film antarmuka atau yang memengaruhinya.
4. Padatan
Partikel padat yang halus dapat menstabilkan emulsi minyak mentah.
Namun mekanismenya bergantung pada beberapa faktor seperti ukuran
partikel, material dan ketahanan. Partikel padat ini berdifusi ke antarmuka
air-minyak dimana mereka akan membentuk film dan menghambat
koalesensi pada tetesan. Stabilisasi emulsi kritikal merupakan sifat muatan
pada partikel dan ukurannya harus jauh lebih kecil daripada tetesan emulsi
yang mereka stabilkan.
5. Ukuran tetesan
Umumnya emulsi yang memiliki ukuran tetesan yang rata-rata lebih kecil
atau lebih stabil ini sebagian dijelaskan oleh Hukum Stoke yang
menggambarkan penyelesaian partikel dalam situasi ideal. Menurut Hukum
Stoke, tingkat pengendapan tetesan sebanding dengan perbedaan densitas
antara fasa dan kebalikan dari viskositas.
Stabilitas emulsi W/O dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk sifat kimia
minyak, sifat kimia air garam, dan suhu. Formasi emulsi W/O dapat berkorelasi
erat dengan jumlah asam total rendah (TAN). Pada proses waterflooding,
demulsifier dapat terdispersi dalam air garam atau air, dan dapat dibawa bersama
cairan injeksi sebagai tambahan untuk proses pemisahan minyak yang lebih baik.
Kedua pengamatan mikromodel dan hasil pengikatan inti menunjukkan bahwa
formasi W/O-emulsi dapat dihindari saat demulsifier 100ppm disuntikkan ke
dalam air garam. Hasil juga menunjukkan bahwa ada peningkatan recovery
minyak. Penambahan demulsifier juga meningkatkan perolehan minyak dengan
mengurangi sisa minyak. Recovery minyak dapat ditingkatkan dalam tes
waterflooding, yang mana di inti minyak jenuh dan juga pada inti semen yang
12
Universitas Islam Riau
awalnya dijenuhi di ruangan dengan suhu reservoir (Sun, Mogensen, Bennetzen,
& Firoozabadi, 2016).
Asphaltenes diyakini berada di dalam minyak sebagai suspensi koloid dan
distabilisasi oleh resin yang menempel di permukaannya. Dalam hal ini, resin
bertindak sebagai agen peptisasi untuk aspal dan bersama-sama membentuk gugus
yang disebut micelles. Serat atau koloid ini mengandung sebagian besar bahan
polar yang ditemukan di minyak mentah dan memiliki sifat aktif permukaan
(interfacial active material). Mereka dihasilkan dari Belerang, Nitrogen, Oksigen,
dan entitas yang mengandung logam dalam molekul aspalena yang membentuk
gugus polar, seperti; Aldehid, Karbonil, Asam Karbosilat, Amina, dan Amida,
yang berperan penting dalam menstabilkan emulsi. Resin adalah senyawa
kompleks dengan berat molekul tinggi yang tidak larut dalam etilasetat, tetapi
dapat larut dalam n-heptana. Tampaknya rasio aspal-resin dalam minyak mentah
bertanggung jawab atas jenis film yang terbentuk (padat atau bergerak) dan oleh
karena itu, berhubungan langsung dengan stabilitas emulsi (Hajivand & Vaziri,
2015). Pengamatan skala anorganik (kalsium karbonat) pada emulsi, dapat
digunakan sebagai salah satu kunci dalam stabilisasi emulsi (Lagerlef, 2000).
Sifat-sifat emulsifikasi dapat meningkat jika penambahan fosfolipida dalam
konsentrasi meningkat (Estiasih & Ahmadi, n.d.).
2.3 DEMULSIFIKASI
Kerusakan formasi yang disebabkan oleh air di dalam emulsi minyak
memberikan dampak besar pada produksi minyak. Penambahan bahan kimia
sering diterapkan dengan menginjeksikan surfaktan yang dikenal sebagai
demulsifier untuk memecahkan air pada emulsi minyak (Zhou et al., 2012).
Kerusakan formasi yang disebabkan oleh emulsi pada batu pasir singkapan rendah
hingga medium dapat diimbangi dengan permeabilitas (100-300 md). Kerusakan
formasi akibat emulsi bisa bersifat non-permanen karena termodinamika tidak
stabil. Potensi kerusakan permanen yang disebabkan oleh emulsi. Oleh karena itu,
potensi kerusakan permanen lebih rendah pada kondisi suhu yang lebih tinggi.
Sehingga semakin rendah suhu, tingkat kerusakan formasi yang terjadi semakin
13
Universitas Islam Riau
tinggi (Fjelde, 2009). Dari hal tersebut maka diperlukannya demulsifikasi untuk
mengurangi efek dari emulsi yang terdispersi dengan baik (stabil), demulsifikasi
dapat dilakukan berdasarkan mekanisme serta dengan berbagai metode, sebagai
berikut;
2.3.1 Mekanisme Demulsifikasi
Mekanisme demulsifikasi dianggap sebagai konkurensi antar muka, di
mana molekul demulsifier bermigrasi ke antar muka minyak-air dengan
menggantikan surfaktan alami (aspal dan resin). Film baru yang terbentuk oleh
demulsifier menggantikan jauh lebih tidak rigrid (kaku) dan tidak stabil, sehingga
meningkatkan koalesensi pada tetesan air (Zhou et al., 2012).
D. Nguyen, Sadeghi, & Company (2012) menyatakan mekanisme
demulsifikasi diusulkan agar pengemulsi mengganti sebagian surfaktan yang
teradsorbsi pada antarmuka air-minyak, sehingga menyebabkan penurunan
modulus elastis dan tegangan antarmuka. Modulus elastis, E, didefinisikan
sebagai rasio tegangan permukaan terhadap regangan per satuan luas (dyne/cm),
Modulus elastis mengukur ketahanan film terhadap deformasi atau koalesensi.
Semakin kecil nilai E, emulsi menjadi kurang stabil.,
𝐸 =𝑑𝛾
𝑑𝐴
𝐴=
𝑑𝛾
𝑑𝑙𝑛𝐴 (𝑑𝑦𝑛𝑒/𝑐𝑚) .............................................................. (5)
Thomas, S., (seperti yang dikutip pada D. T. Nguyen, Sadeghi, &
Company, 2011).
Wylde et al. (2008) menyatakan bahwa destabilisasi (demulsifikasi) air
dalam emulsi minyak terjadi secara bertahap dan terjadi melalui:
a) Flokulasi/Agregasi: tetesan rumpun air bersama membentuk agregat.
Tetesan mungkin menyentuh tapi tidak benar-benar menyatu karena
adanya film antarmuka yang mengelilingi tetesan air. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh penurunan air, suhu, viskositas dan kontras kepadatan
minyak-air.
b) Creaming/water drop, perbedaan densitas menyebabkan terbentuknya
creaming dan hasil dari proses ini adalah konsentrasi tetesan yang
terdispersi yang akan turun ke bagian dasar.
14
Universitas Islam Riau
c) Coalescence/free water breaking, inilah titik tetesan air untuk
membentuk tetesan yang lebih besar dalam proses irreversibel.
Coalescence cepat terjadi jika ada ketegangan antar muka yang tinggi,
viskositas rendah, watercut tinggi dan suhu yang tinggi.
Gambar 2.2 Skema Destablisasi Pada Emulsi
(Barkat Ali Khan et al., 2011, p.2719)
Evaluasi kuantitatif stabilitas emulsi dengan teknik medan listrik kritis (CEF)
dikembangkan untuk memainkan peran penting dalam riset demulsifier kimia.
Ditemukan bahwa teknik CEF berguna tidak hanya dalam evaluasi stabilitas
emulsi air dalam minyak, tetapi juga dalam mempelajari mekanisme stabilisasi
dan demulsifikasi. Dalam teknik CEF, sampel emulsi air dalam minyak dilakukan
di antara dua pelat elektroda paralel. Tegangan arus searah diterapkan antara dua
elektroda dan ditingkatkan dalam tahap inkremental, dengan pemantauan terus
menerus terhadap konduktivitas atau jumlah arus listrik melalui sampel minyak.
15
Universitas Islam Riau
Gambar 2.3 Mekanisme Proses Demulsifikasi pada Metode CEF
(Beetge, Horne, & Technologies, 2008, p.347)
2.3.2 Metode Demulsifikasi
Metode demulsifikasi bisa diklasifikasikan secara luas sebagai kimiawi,
elektrik, dan mekanik. Demulsifikasi menggunakan bahan kimia merupakan
metode yang paling sering diaplikasikan dalam memisahkan air dari emulsi
minyak dan minyak dari emulsi air, dengan melibatkan penggunaan aditif kimia
untuk mempercepat proses pemecahan emulsi. Memahami dan mengendalikan
demulsifikasi sangat penting untuk menghancurkan emulsi limbah dan untuk
menggunakan emulsi dalam proses industri memerlukan destabilisasi emulsi
sebagai langkah utama. Di industri minyak, air akan bersentuhan dengan minyak
dibanyak kesempatan, menciptakan emulsi yang distabilkan oleh berbagai
komponen dalam minyak, termasuk aspal dan resin. Di tempat pengeboran,
minyak yang diperoleh akan mengandung beberapa air yang mengandung zat
pengotor dan hidrofilik yang perlu dihilangkan sebelum proses pengiriman dan
pengolahan. Konsentrasi air dapat bervariasi, spesifikasi target untuk pembuangan
air dan kandungan sedimen mungkin sebesar ± 1% (Nour, Abu Hassan, & Yunus,
2007).
Selain itu, demulsifikasi air dalam emulsi minyak melibatkan penerapan
proses kimia, termal, listrik, kimia dan kombinasi mereka.
a. Proses listrik, dilakukan dengan mengganggu ketegangan permukaan
setiap tetesan, kemungkinan dengan menyebabkan molekul polar
merobek diri mereka sendiri. Reorientasi ini melemahkan film di sekitar
16
Universitas Islam Riau
tetesan karena molekul polar tidak lagi kuat pada permukaan tetesan.
Proses ini biasanya tidak mengatasi emulsi sepenuhnya dengan
sendirinya, meskipun ini adalah penambahan bahan kimia atau panas
yang efisien dan sering dibutuhkan.
b. Thermal treatment biasanya digunakan sebagai salah satu metode
demulsifikasi. Metode ini dilakukan dengan memanaskan emulsi
minyak, yang mana memiliki beberapa manfaat seperti; meningkatkan
laju dari flokulasi pada droplet air, meningkatkan solubilitas dari emulsi
kemudian mendestabilitasikan emulsi, menurunkan viskositas dari
emulsi yang mana dapat meningkatkan kemungkinan koalesensi
(Hamadi & Mahmood, 2009). Proses termal dalam memecahkan emulsi
biasanya didasarkan pada keseluruhan aspek gambaran ekonomi dari
fasilitas pengolahan. Kelebihan panas tidak dapat menjadi pelengkap
bila lebih komersial jika dengan menambahkan bahan kimia atau
mengatur panas elektrostatik. Suhu tidak cukup tinggi untuk secara
signifikan meningkatkan kelarutan air dalam minyak mentah tertentu,
dan suhu tinggi tidak menyebabkan sejumlah besar aspal menjadi tidak
larut dalam minyak mentah dan membentuk pad antarmuka (Sulaiman
et al., 2015).
c. Proses kimia adalah metode resolusi emulsi yang paling umum di
ladang minyak dan kilang. Kombinasi panas dan penerapan bahan
kimia yang dirancang untuk menetralkan efek agen pengemulsi
memiliki keuntungan besar karena dapat memutus film antarmuka
secara efektif tanpa penambahan peralatan baru atau modifikasi
peralatan yang ada (Sulaiman et al., 2015).
Kinetika proses demulsifikasi kimia disebabkan oleh tiga efek utama,
yaitu; perpindahan film pada aspal dari permukaaan (air dalam minyak) oleh
demulsifier, flokulasi, dan koalesensi pada droplet air (Hamadi & Mahmood,
2009).
17
Universitas Islam Riau
Ada banyak prosedur untuk netralisasi dan pengurangan zat pengemulsi
yang telah digunakan, misalnya pada paper yang dituliskan oleh Bailes et al. pada
1997, Hennessey et al. pada tahun 1995, Lissant pada tahun 1983 (seperti yang
dikutip pada Nour et al., 2007) mereka melakukan percobaan menggunakan
metode pemisahan berdasarkan pengaruh gaya gravitasi dan pengaruh sementara
terhadap koherensi elektrostatik. Dan juga metode sentrifugal serta filtrasi, teknik
yang digunakan untuk memecahkan emulsi.
Metode demulsifikasi dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa aspek
yang berbeda satu sama lainnya, yang mana dibagi menjadi beberapa metode,
yaitu;
Metode Bottle Test 2.3.2.1
Metode bottle test merupakan salah satu metode yang paling sering
digunakan dalam uji demulsifikasi. Pemilihan metode ini dilakukan berdasarkan
beberapa variabel di lapangan meliputi pengaruh sifat kimia dari demulsifier,
dosis demulsifier, lama waktu pegujian, suhu, dan tingkat agitasi. Metode bottle
test ini digunakan untuk mengetahui tingkat permukaan minyak/air secara teoritis
(biasa disebut grindout), penurunan air, oil dryness, dan kualitas antarmuka. Data
bottle test dapat dihubungkan dengan sifat minyak mentah, yang dilakukan
berdasarkan analisis laboratorium untuk menguji kekuatan emulsi. Jumlah air
yang tersisa dalam minyak menggambarkan aspek stabilitas emulsi secara lebih
lanjut, air sisa ini dapat dihitung dengan menggunakan beberapa parameter yang
berbeda. Beberapa sisa-sisa air di dalam fasa minyak tetap dalam kondisi emulsi.
Jenis air ini dapat memberikan deskripsi stabilitas emulsi yang lebih lengkap dan
membantu menggambarkan perbedaan yang diamati di antara emulsi yang
terdapat pada lapangan minyak yang berbeda (Poindexter, Chuai, Marble, &
Marsh, 2006). Bottle test merupakan tes empiris di mana sejumlah demulsifier
potensial yang bervariasi ditambahkan ke dalam serangkaian tabung atau botol
yang mengandung substitusi emulsi yang akan dipecah. Setelah beberapa waktu
tertentu, tingkat pemisahan fasa dan tampilan antarmuka yang memisahkan fase
dicatat. Selain demulsifier, pelarut dapat ditambahkan untuk mengurangi
18
Universitas Islam Riau
viskositas. Secara umum, melibatkan proses agitasi untuk membuat emulsi
homogen, waktu periode menunggu dan pengamatan selama fase pemisahan dapat
dipantau bersamaan dengan melihat antarmuka dan kekeruhan fasa air (Mat & Al.,
2006).
Metode Microwave Separation 2.3.2.2
Metode microwave separation juga dapat dalam diterapkan dalam proses
demulsifikasi. Efek pemanasan secara volumetrik pada metode microwave
separation, menawarkan tingkat pemrosesan lebih cepat daripada metode
pemanasan tradisional. Pemisahan air dari emulsi minyak mentah terjadi dalam
beberapa tahap; yaitu; pengendapan gravitasi, tetesan air/flokulasi tetesan terjadi
saat tetesan air saling mendekati. Tujuan pemanasan emulsi air dalam minyak
dengan radiasi gelombang mikro adalah memisahkan air dan minyak. Ketika
emulsi air dalam minyak dipanaskan dengan radiasi gelombang mikro, dua
fenomena akan terjadi. Yang pertama adalah kenaikan suhu, yang menyebabkan
reduksi viskositas dan koalesensi. Hasilnya adalah pemisahan air tanpa
penambahan bahan kimia. Menurut hukum Stoke, jika minyak adalah fase
kontinu, kecepatan tetesan tetesan air diberikan oleh:
𝑉𝑤 =(𝜌𝑤−𝜌0) 𝑔 𝐷2
18𝜇𝑜 ............................................................................... (6)
Dimana:
D = Diameter tetesan.
μ = Viskositas minyak sangat sensitif terhadap suhu;
Saat suhu meningkat, viskositas minyak menurun jauh lebih cepat
daripada di antara air dan minyak. Hasilnya, bila viskositas menurun, ukuran
tetesan air meningkat. Oleh karena itu, pemanasan gelombang mikro
meningkatkan dan mempercepat kecepatan pengendapan air (νw) dan pemisahan
emulsi. Fenomena kedua adalah koagulasi. Suhu yang lebih tinggi dan viskositas
yang lebih rendah memudahkan proses koagulasi, menghasilkan diameter tetesan
yang lebih besar (D) dan pemisahan yang lebih cepat. Tingkat demulsifikasi
secara signifikan dipercepat oleh radiasi gelombang mikro (Abdulbari,
Abdurahman, Rosli, & Mahmood, 2011).
19
Universitas Islam Riau
Metode Blending with Diluent 2.3.2.3
Proses demulsifikasi dapat dilakukan dengan mencampurkan pengencer
(Diluent) berupa gasoline kedalam emulsi minyak berat. Pengencer (Diluent)
berasal dari hidrokarbon ringan ditambahkan dalam proporsi yang bervariasi ke
beberapa sampel emulsi yang dikumpulkan dari lapangan minyak yang berbeda.
Dari metode ini didapatkan nilai viskositas minyak mentah yang ditaksir
berbanding terbalik dengan peningkatan volume pengencer (gasoline) yang
dicampur dengan emulsi. Pengaruh gasoline terhadap reduksi viskositas diamati
sebagai fungsi dari berat emulsi minyak mentah, karena semakin tinggi viskositas
emulsi, maka semakin rendah persentase reduksi pada nilai viskositas. (BS&W)
berkurang karena volume pengencer yang dicampur dengan emulsi meningkat.
Hal ini juga merupakan fungsi viskositas emulsi sebelum dicampur karena BS&W
menurun seiring dengan penurunan nilai viskositas. Dan juga total hidrokarbon
dari minyak bumi (TPH) menurun dengan meningkatnya volume pengencer
sampai konsentrasi pengencer optimum tercapai dan TPH meningkat seiring
dengan peningkatan volume pengencer. Namun, di atas volume optimum
pengencer pada TPH dapat menimbulkan masalah lain menyangkut dengan
pembuangan air (Salam, Alade, Arinkoola, & Opawale, 2013).
Metode Oliensis Spot Test dan Asphaltene Dispersant Test (ADT) 2.3.2.4
Wiggett, Hughes, Ricza, & Plc (2013) menggunakan dua metode
pengujian dari proses demulsifikasi yaitu, Oliensis Spot Test dan Asphaltene
Dispersant Test (ADT). Oliensis Spot Test adalah metode cepat untuk
menentukan titik ketidakstabilan aspal dan flokulasi dengan memberi titrasi
larutan minyak mentah dengan heptana dan merekam hasil visual pada kertas
saring gridded. Minyak yang tidak stabil akan memiliki titik uji di bawah 3.
Minyak yang stabil biasanya memiliki titik uji yang lebih tinggi. Selain itu juga
terdapat metode Asphaltene Dispersant Test (ADT), yang mana n-heptana dipilih
sebagai zat pengendapan untuk aspal. Agen n-heptana adalah pelarut non-polar,
dan menghasilkan aglomerasi dan presipitasi aspal polar. Ketika dispersan
20
Universitas Islam Riau
semakin baik, maka semakin banyak asphaltenes yang akan dilarutkan atau
tersuspensi dalam n-heptana.
Metode Elektrostatik 2.3.2.5
Noïk, Chen, & Dalmazzone (2006) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa koalesensi elektrostatik adalah teknologi demulsifikasi air dalam minyak
mentah yang paling efisien yang telah digunakan dalam operasi desalting hulu dan
hilir. Saat ini, kemungkinan metode pemisahan emulsi air dalam minyak (W/O)
meliputi gaya berat atau settling sentrifugal, perlakuan termal, demulsifikasi
kimia, penyesuaian pH, demulsifikasi elektrostatis, metode pembekuan/pencairan,
penyaringan, pemisahan membran, radiasi gelombang mikro dan energi
ultrasonik, dll. Sistematis dari proses demulsifikasi elektrostatik, untuk dehidrator
elektrostatik/desalter lebih memperhatikan kepada elektroda pelat komposit, (PC-
LRC) berbasis Load Responsive Controller, meningkatkan distribusi feed stream
dan variabel tegangan/frekuensi pada medan listrik. Variabel teknologi
tegangan/frekuensi adalah kecenderungan yang memungkinkan pelanggan
menyesuaikan voltase dan frekuensi secara simultan sesuai dengan sifat fisik dan
arus minyak mentah yang masuk, sehingga efisiensi dehidrasi pasti akan
meningkat. Beberapa kecenderungan teknologi yang terkait dengan koalesensi
elektrostatik emulsi air dalam minyak telah disajikan, seperti integrasi dengan
sentrifugal, kombinasi dengan flotasi, dll. Sehingga, meningkatnya tantangan dan
juga terdapat beberapa percobaan yang berhasil untuk kasus dehidrasi
elektrostatik minyak berat. Mengingat bahwa minyak berat menjadi semakin
menarik dari sudut pandang cadangan dan status ekonomi.
2.4 DEMULSIFIER
Demulsifier adalah senyawa kimia yang bisa digunakan untuk memecah
emulsi. Dengan fungsinya tersebut diharapkan emulsion blocking dapat
dipecahkan dan tidak lagi menghambat aliran dari formasi ke lubang sumur.
Demulsifier ini bisa terlarut dalam air ataupun minyak (Rusin, 2012). Demulsifier
merupakan senyawa aktif permukaan yang bermigrasi ke antarmuka air-minyak
21
Universitas Islam Riau
dan pecah atau melemahkan film yang kaku sehingga meningkatkan koalesensi
pada tetesan air. Demulsifier dapat mengubah wettability zat padat untuk
meningkatkan koalesensi. Bahan kimia demulsifier khas meliputi rantai polimer
dari etilena oksida dan propilena oksida alkohol, alkohol teretoksilasi, fenol
teretoksilasi, amina teretoksilasi, resin asam teretoksilasi, garam asam sulfonat,
diepoksida, nonylfenol teretoksilasi, alkohol polihidrat dan kemudian sejumlah
besar kimia surfaktan (Wylde et al., 2008).
Demulsifier merupakan surfaktan, sangat penting memahami peran
demulsifier sebagai zat aktif di permukaan. Pada dasarnya, ada dua kelompok
dalam molekul demulsifier; kelompok hidrofobik (tidak mudah larut dengan air)
dan kelompok hidrofilik (kelompok yang mudah larut dengan air). Molekul
demulsifier dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 2.4 berikut.
Gambar 2.4 Struktur Dasar pada Demulsifier ((Porter,1994) dalam
(Mat & Al., 2006, p.35))
Radhakrisnan Selvarajan et al. (2001) berpendapat bahwa terdapat
pembuatan serta evolusi dari penggunaan bahan kimia terhadap pembuatan
demulsifier dari tahun 1920-1990, yang sebagaimana tertera pada tabel 2.1
berikut.
22
Universitas Islam Riau
Tabel 2.1 Pembuatan Serta Evolusi dari Penggunaan Bahan Kimia pada
Demulsifier
Tahun Demulsifier
1920-1930 Sabun, garam asam naftenat dan alkil aril sulfonat, minyak
jarak silang
1930-1940 Minyak sulphonate, turunan dari minyak jarak yang
teroksidasi asam sulfo dan ester asam sulfosuksinat
1940-1950 Asam lemak, alkohol berlemak, alkilfenol
1950-1960 Kopolimer etilena oksida/propilena oksida, resin
formaldehid sikloksiklik siklikat alkoksilat
1960-1970 Amine alkoksilat
1970-1980 Resin formaldehida sikloksiklik siklikat alkoksilat
1980-1990 Poliesteramin dan campuran
Sumber: (Mat & Al., 2006)
Saat ini, mekanisme untuk destabilisasi belum sepenuhnya dipahami dan
pilihan demulsifier yang paling efisien merupakan tugas yang panjang dan sulit.
Selain itu, seumur hidup kondisi produksi (suhu, salinitas, pH, zat aktif
permukaan, tekanan sumur bor, dll) dapat berubah-ubah dan sering diperlukan
untuk melanjutkan ke pemilihan aditif lain (Graham & Stockwell, 1980).
Demulsifier dapat menurunkan muatan anionik pada permukaan tetesan
minyak, menurunkan elastisitas film, dan menurunkan tingkat reduksi ketegangan
antarmuka, membuat pemisahan fasa lebih cepat (D. T. Nguyen, Sadeghi, &
Company, 2011).
Terdapat dua jenis formulasi demulsifier yang digunakan, yaitu:
2.4.1 Demulsifier Konvensional
Formulasi demulsifier dibuat dari surfaktan kationik, anionik atau non-
ionik dengan berbagai tingkat nilai Hydrophilic-Lipophilic Balance (HLB) dan
berbagai bobot molekul (Wylde et al., 2008). Nilai Hydrophilic-Lipophilic
Balance (HLB) merupakan karakteristik surfaktan yang digunakan sebagai ukuran
afinitas relatif surfaktan untuk fase air dan minyak. HLB mengukur kepentingan
relatif kelompok hidrofilik dan lipofilik dalam molekul surfaktan. Hidrofilik
23
Universitas Islam Riau
didefinisikan sebagai material yang dibasahi hanya oleh air, sedangkan material
yang secara istimewa dibasahi oleh parafin didefinisikan sebagai lipofilik
(Henríquez, 2009).
Demulsifier konvensional pada umumnya diformulasikan dalam pelarut
seperti alkohol rantai pendek, aromatik, atau aromatik aromatik berat dan dapat
mengandung campuran beberapa bahan aktif (Particle Sciences, 2011).
2.4.2 Demulsifier “Green”
Demulsifier yang umumnya digunakan di dalam industri lapangan minyak
bumi sering mengandung bahan kimia yang dianggap tidak dapat diterima
lingkungan. Dengan semakin ketatnya standar dan keamanan untuk penggunaan
bahan kimia di lapangan minyak, adanya dorongan yang signifikan untuk
mengembangkan formulasi yang lebih ramah lingkungan untuk diaplikasikan di
lapangan minyak dengan seefisien mungkin menggunakan bahan kimia yang ada.
Dalam sistem penilaian, kategori bahaya dipertimbangkan menjadi tiga yaitu;
lingkungan, kesehatan, dan fisik. Jordan (seperti yang dikutip pada Zhou et al.,
2012) menyatakan setiap kategori dibagi lagi menjadi beberapa kriteria, bahaya
lingkungan meliputi toksisitas akuatik akut/kronis, bioakumulasi, biodegredasi,
polutan prioritas, dan senyawa organik volatil (VOC). Bahaya kesehatan
memperhitungkan toksisitas mamalia akut, karsinogenisitas, toksisitas genetik,
toksisitas reproduksi, perkembangan, dan iritasi/korosi. Bahaya fisik
mempertimbangkan sifat fisik bahan kimia, seperti mudah terbakar, oksidasi, dan
korosi, dll (Zhou et al., 2012).
Dalmazzone & Noïk (2001) menyatakan bahwa demulsifier silikon tampil
sebagai salah satu “kandidat yang baik” untuk pengembangan formulasi “green”
dalam produksi minyak. Sekarang sedang dalam proses pengembangan formulasi.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan pentingnya pengukuran sifat antarmuka
untuk memahami mekanisme stabilisasi dan destabilisasi pada air dalam emulsi
minyak. Definisi formulasi yang lebih baik, sekarang dapat dicapai dengan
menggunakan pengukuran antarmuka yang spesifik:
24
Universitas Islam Riau
a) Pengukuran tegangan antarmuka dinamis dengan metode drop volume
untuk menentukan kinetika adsorpsi dan untuk membandingkan
perilaku surfaktan yang berbeda pada interface minyak/air.
b) Pengukuran interfacial rheology dengan teknik yang berbeda
(Langmuir Balance or Drop Volume Method) untuk menentukan sifat
viskoelastik film antar muka.
Yang et al. (2009) menyatakan dalam penelitiannya, efektivitas
demulsifikasi minyak mentah telah diuji dengan menggunakan demulsifier
berbasis mikroemulsi baru (ME) dengan formulasi yang lebih aman lingkungan.
Produk berbasis ME ini, yang diuji pada kisaran minyak mentah, telah terbukti
lebih efektif daripada demulsifiers non-ME yang tersedia secara komersial. Data
komparatif menunjukkan inisiasi demulsifier berbasis mikroemulsi dan
melengkapi proses destabilisasi emulsi lebih cepat daripada demulsifier non-
mikroemulsi sejenis. Hasil demulsifikasi yang sangat baik telah diperoleh untuk
minyak mentah yang mengandung aspal dan parafin. Pembentuk demulsifier
berbasis mikroemulsi memulai dan menyelesaikan destabilisasi emulsi lebih cepat
daripada pengemulsi non-ME sejenis. Setelah demulsifier yang tepat
diidentifikasi, kinerjanya dapat ditingkatkan dengan merumuskannya menjadi
mikroemulsi. Mikroemulsi dapat diformulasikan untuk treatment berbasis minyak
atau air.
Sulaiman et al. (2015) menyatakan dalam penelitiannya, campuran
demulsifier dapat diformulasikan dengan menggunakan berbagai campuran bahan
lokal, yaitu benih Jatropha curcas, pati singkong dan lilin, dan bahan baku
kamper dan sabun cair lokal tersedia,dll.
Emuchay et al. (2013) menyatakan dalam penelitiannya, formulasi bahan
lokal dapat digunakan untuk menciptakan demulsifier yang lebih efektif dari
demulsifier konvensional seperti campuran bahan lokal berupa minyak kelapa,
lemon, paraffin wax, pati singkong, dan bahan baku kamper, sabun cair lokal
tersedia,serta kalsium hidroksida yang dicampur dengan penambahan massa serta
volume yang berbeda dari setiap bahannya. Mengenai fungsi dari bahan-bahan
organik dan lokal tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.
25
Universitas Islam Riau
Tabel 2.2 Contoh Bahan-Bahan Lokal Beserta Fungsinya yang Digunakan
dalam Memisahkan Emulsi
Bahan Kode Sumber Keterangan
Minyak
Jarak
Pagar
Jo Biji Jarak
Pagar
Minyak kuning kehijauan yang
tidak dapat dimakan ini bertindak
sebagai pelarut kamper dan juga
untuk meningkatkan sifat
lipofilik pada minyak mentah.
Kamper C
Pohon Konifer
/ Pinene
(Turpene)
Pembentuk ujung lipofilik
demulsifier yang bersumber dari
bahan lokal.
Lilin Cw Minyak
Mentah
Berfungsi sebagai agen bulking
(penggumpal) dalam demulsifier
yang bersumber dari bahan lokal.
Pati S Singkong
Pembentuk ujung hidrofilik dari
demulsifier yang bersumber dari
bahan lokal karena afinitasnya
yang kuat terhadap air.
Sabun cair Ls
Saponifikasi
asam lemak
dan basa
Berfungsi sebagai pengikat
formulasi demulsifier yang
bersumber dari bahan lokal untuk
mengikat ujung lipofilik dan
hidrofilik.
Air
sulingan Ds Uap
Digunakan sebagai pelarut untuk
larutan pati.
D-
Limonene Dl Lemon
Digunakan untuk mencegah
adhesi di antara dua permukaan
Minyak
Kelapa Co Kelapa
Memiliki sifat dehidrasi dan juga
dapat mengontrol interface
dengan baik
26
Universitas Islam Riau
Kalsium
Hidroksida Ca(OH)2
Kapur atau
kapur sirih
yang
dicampur, atau
dicairkan
dengan air.
Berfungsi sebagai flocculants
dan pit booster
Sumber: (Sulaiman et al., 2015) dan (Emuchay et al., 2013)
Penggunaan bahan organik serta bahan lokal dalam formulasi demulsifier
organik pada penelitian ini terdiri dari Jeruk Purut (Citrus Hystrix), Lemon (Citrus
Limon), dan sabun cair. Penentuan penggunaan bahan lokal tersebut dilakukan
berdasarkan sifat kandungan dari bahan tersebut yang mampu memecahkan
emulsi. Berikut penjelasan singkat mengenai hal tersebut;
1. Asam Sitrat
Asam sitrat (Citric Acid) memiliki efisiensi demulsifikasi yang tinggi
dikarenakan memiliki lebih banyak gugus karboksil yang lebih tinggi dari asam
lainnya, sehingga efisiensi demulsifikasi menggunakan asam sitrat memiliki nilai
yang tinggi. Selain itu, asam sitrat merupakan jenis asam yang tidak beracun,
tidak menimbulkan iritasi, dan ramah lingkungan (Liu et al., 2018). Asam sitrat
juga mudah ditemukan pada bahan organik sejenis jeruk (citrus) termasuk jeruk
purut (Citrus Hystrix) dan lemon (Citrus Limon). Kandungan asam sitrat yang
terdapat dalam jeruk purut (sejenis lime) adalah 45.8 g/L, sedangkan kandungan
asam sitrat yang terdapat dalam lemon adalah 48.0 g/L (L., Penniston, Stephen Y.
Nakada, Ross P. Holmes, & Dean G. Assimos, 2008).
2. Surfaktan
Sabun cair (detergent) merupakan cairan pembersih yang komposisi
utamanya terdiri dari surfaktan, yang mana pada umumnya surfaktan yang
digunakan dalam sabun cair adalah anionic surfactant (Colgate-Palmolive
Australia, 2006). Surfaktan anionik merupakan agen yang ramah lingkungan dan
telah dievaluasi sebagai pengemulsi untuk memecahkan air dalam emulsi minyak
mentah dan juga telah dievaluasi baik menggunakan prosedur bottle test maupun
menggunakan interval pemanasan microwave dielektrik (Martínez-palou &
Aburto, 2015).