bab ii kajian pustaka 2.1 pengendalian hayatieprints.umm.ac.id/60638/3/bab ii.pdf · (supriadi,...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati merupakan usaha pengendalian terhadap populasi
hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan musuh alami seperti pemangsa,
predator, patogen. Tampubolon (2014), menjelaskan bahwa dari segi ekologi
pengendalian hayati merupakan suatu fase dari pengendalian alami yang
mencakup semua pengaturan populasi hayati tanpa campur tangan manusia.
Pengendalian hayati merupakan manipulasi secara langsung menggunakan musuh
alami atau pesaing organisme pengganggu dan dampak negatifnya.
Pengendalian hayati dalam arti luas yaitu setiap cara pengendalian
penyebab penyakit atau pengurangan jumlah/pengaruh patogen yang berhubungan
dengan mekanisme kehidupan oganisma lain selain manusia (Campbell, 1989).
Menurut Damiri (2011), pengendalian hayati meliputi: (1) pergiliran tanaman dan
beberapa sistem pengelolaan tanah, pemupukan yang dapat mempengaruhi
mikroba tanah; (2) penggunaan bahan kimia untuk merubah mikroflora; (3)
pemuliaan tanaman; (4) menambahkan mikroba antagonistic pada patogen.
Pengendalian hayati secara sempit diartikan sebagai penambahan suatu
mikroba antagonis ke dalam suatu lingkungan untuk mengendalikan aktivitas
patogen. Pengendalian hayati didefinisikan sebagai usaha mengurangi kepadatan
inokulum atau aktivitas patogen baik dalam masa aktif maupun dormansi dengan
menggunakan satu atau lebih organisme yang dilakukan secara alami atau
manipulasi lingkungan ataupun inang, dapat juga melalui penambahan organisme
antagonis (Baker & Cook, 1974).
10
Pengendalian terhadap patogen yang aman serta tidak mnecemari
lingkungan yaitu dengan pengendalian biologi yang memanfaatkan agen hayati
(Supriadi, 2006). Tujuan pengendalian hayati adalah untuk mengurangi laju
perkembangan penyakit melalui penurunan daya hidup patogen pada tanaman,
menurunkan jumlah propagul yang diproduksi serta mengurangi penyebaran
inokulum, mengurangi infeksi patogen pada tanaman serta mengurangi serangan
yang berat oleh patogen (Damiri, 2011).
Pengendalian hayati mempunyai potensi dapat melindungi tanaman
selama siklus hidupnya, bahkan beberapa jenis mikroorganisme mampu
menghasilkan hormon tumbuh, memfiksasi nitrogen dan melarutkan pospor
sehingga memberi manfaat ganda bagi tanaman (Sutariati & Wahab, 2010).
Mekanisme pengendalian hayati oleh mikroorganisme seperti jamur dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme seperti kompetisi, antibiosis, hiperparasit, induksi
resistensi, dan memacu pertumbuhan tanaman (Cook & Baker, 1974; Van Loon,
2000; Kloeppet et al, 1999; Schippers et al, 1987 dalam Damiri, 2011).
Agen hayati dapat berupa jamur, bakteri, virus, nematoda, mikroplasma,
protozoa atau jasad renik lainnya yang sering disebut entomopatogen, serta
golongan hewan dan serangga yang bersifat predator. Supriadi (2006)
menjelasakan, saat ini telah dikembangkan cara pengendalian patogen dengan
menggunakan agen hayati seperti kapang antagonis. Beberapa spesies kapang
yang merupakan agensia pengendali hayati tanaman adalah sebagai berikut.
Tabel 2.1 Agensia pengendali hayati tanaman
Nama spesies Mekanisme pengendalian
Kapang Trichoderma viride
Kapang Trichoderma harzianum
Kapang Trichoderma koningii
Kapang Trichoderma hamatum
Mikoparasit, pesaing, antibiotik dan
enzimatik
11
Kapang Trichoderma pseudokoningii
Penicillium sp.
Peniophora gigantean
Pesaing dan antibiosis
Phytium oligandrum
Sporodesmium sclerotivorum
Gliocladium virens
Laccaria laccata
Lactarius sp.
Mikoparasit
Fusarium solani,
Fusarium oxysporum
Pesaing, proteksi silang dengan jenis
Fusarium yang tidak virulen
Ampelomyces quisqualis Mikoparasit
(Sumber: Damiri, 2011)
Keuntungan pengendalian hayati menurut (Jumar, 2000) adalah: (1)
bersifat aman karena tidak menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan,
maupun keracunan terhadap manusia dan hewan; (2) tidak menimbulkan
resistensi terhadap hama; (3) musuh alami bekerja selektif terhadap mangsa atau
inangnya; dan (4) lebih murah dan dapat bersifat permanen dalam jangka panjang.
Kelemahan pengendalian hayati diantaranya yaitu: (1) hasilnya sulit diramalkan
dalam waktu yang singkat; (2) diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal
baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarana; (3)
pembiakan di laboratorium kadang-kadang menghadapi kendala karena musuh
alami menghendaki kondisi lingkungan yang khusus; dan (4) teknik aplikasi di
lapangan belum banyak dikuasai.
Proses pengendalian hayati berpotensi sebagai komponen yang kuat dalam
konsep Pengedalian Hama Terpadu (PHT) yang harus dilakukan secara
berkelanjutan. Hal ini akan terwujud apabila dilakukan koordinasi untuk
melakukan eksplorasi, pengadaan agen hayati, penggunaan di lapangan dan
evaluasi secara terus menerus. Upaya eksplorasi untuk mendapatkan agen hayati
diperlukan penelitian yang tekun dan berkelanjutan (Sudarmo, 2005).
12
2.2 Karakter Kapang Secara Umum
2.2.1 Deskripsi Kapang
Kapang adalah mikroorganisme eukariotik yang mempunyai ciri-ciri
spesifik yaitu mempunyai inti sel, memproduksi spora, tidak mempunyai klorofil,
dapat berkembang biak secara aseksual. Beberapa kapang mempunyai bagian-
bagian tubuh berbentuk filamen dan sebagian lagi bersifat uniseluler (Fardiaz,
1989). Beberapa kapang dapat menyerang inang yang hidup dan tumbuh subur
sebagai parasit yang dapat menyebabkan penyakit pada makhluk hidup. Banyak
kapang yang menghasilkan substansi beracun yang disebut mikotoksin yang dapat
menimbulkan kerusakan dan intoksikasi kronis (Najib, 2013).
Kapang dapat hidup dalam keadaan aerob maupun anaerob (bersifat
fakultatif) dengan pH berkisar 3,8 - 5,6.. Kapang dapat tumbuh dalam kisaran
suhu 22 0C - 30 0C ( kapang saprofit) dan 30 0C - 37 0C (kapang parasit), tanpa
cahaya dengan komponen structural dinding sel kitin, selulose atau glukan
(Fardiaz, 1989). Menurut Kartasapoetra dkk (1991) dari segi ekologis dikenal
beberapa golongan kapang spesifik tertentu, tergantung pada keadaan dan sifat
substrat atau nutrisinya yang sesuai bagi perkembangannya, berdasarkan
pandangan ini maka dikenal kapang pelapuk selulosa, kapang pelapuk lignin,
kapang humus, kapang parasit tanah, kapang penghuni akar, dan kapang
antagonis.
2.2.2 Morfologi dan Sifat Fisiologi Kapang
Kapang terdiri atas massa benang yang bercabang-cabang yang disebut
miselium. Miselium tersusun dari hifa (filamen) yang merupakan benang-benang
tunggal. Badan vegetatif kapang yang tersusun dari filamen-filamen disebut
13
thallus. Berdasarkan fungsinya dibedakan dua macam hifa, yaitu hifa fertil dan
hifa vegetatif. Hifa fertil adalah hifa yang dapat membentuk sel-sel reproduksi
atau spora-spora. Hifa vegetatif adalah hifa yang berfungsi untuk menyerap
makanan dari substrat. Berdasarkan bentuknya dibedakan pula pula menjadi dua
macam hifa, yaitu hifa tidak bersepta dan hifa bersepta (Fifendy, M., 2017)
Berdasarkan sifat fisiologisnya, kebanyakan kapang membutuhkan air
minimal untuk proses pertumbuhannya. Suhu optimum pertumbuhan kapang
berkisar antara 25-30 C. Beberapa kapang ada yang bersifat mesofilik yaitu
mampu tumbuh baik pada suhu kamar, ada yang bersifat psikotrofik yaitu dapat
tumbuh baik pada suhu lemari es (-5 sampai dengan -10 C), ada juga yang
bersifat termofilik yaitu mampu tumbuh pada suhu tinggi. Semua kapang bersifat
aerobik dan dapat tumbuh baik pada pH 2,0-8,5. tetapi biasanya pertumbuhannya
akan baik bila pada kondisi asam atau pH rendah (Waluyo, 2004).
Kapang dapat menggunakan berbagai komponen sumber makanan, dari
materi yang sederhana hingga materi yang kompleks. Kapang mampu
memproduksi enzim hidrolitik seperti amilase, pektinase, proteinase dan lipase.
Hal inilah yang membuat kapang mampu tumbuh pada bahan yang mengandung
pati, pektin, protein atau lipid (Waluyo, 2004). Beberapa kapang mempunyai
komponen yang dapat menghambat pertumbuhan organisme lain disebut
antibiotik. Sebaliknya, beberapa komponen lain bersifat mikostatik atau
fungistatik yaitu dapat menghambat pertumbuhan kapang, misalnya asam sorbat,
propionat dan asetat, atau bersifat fungisidal (membunuh kapang) (Fardiaz, 1992).
14
2.2.3 Interaksi antar Kapang
Suatu ekosistem terdiri dari komponen ekosistem yang saling berhubungan
satu sama lain. Menurut Kasumbogo (2006), setiap organisme yang beraktifitas
dalam komunitasnya selalu berinteraksi dengan aktifitas organisme lain dalam
suatu keterikatan dan ketergantungan yang menghasilkan komunitas stabil.
Interaksi yang terjadi dapat bersifat antagonistik, kompetitif, dan simbiotik.
Dwijoseputro (2005), menyatakan bahwa interaksi antar mikroorganisme dalam
suatu habitat yang sama akan membentuk suatu hubungan yang positif (saling
menguntungkan), hubungan negatif (saling merugikan) dan hubungan netral
(tidak ada pengaruh yang berarti). Interaksi atau hubungan yang bersifat netral
hanya dapat terjadi dalam keadaan dormansi seperti terbentuknya endospora.
Interaksi negatif antar kapang ditunjukkan dengan adanya persaingan antar
kapang dalam memperebutkan kebutuhan hidup. Hubungan yang terjadi
merupakan suatu bentuk kompetisi dimana kapang yang paling kuat adalah
kapang yang dapat bertahan hidup. Hubungan antagonis menyatakan suatu
hubungan asosial ditunjukkan adanya suatu spesies yang menghsilkan zat yang
dapat meracuni organisme lain sehingga pertumbuhan organisme tersebut
terganggu (Dwijoseputro, 2005).
Menurut Wheeler dan Hocking (dalam Rusli, 2016), kapang memiliki
interaksi antar kapang, yaitu: (1) tipe A yaitu pertumbuhan antar kapang saling
bercampur, kedua kapang tumbuh tanpa adanya interaksi secara makroskopis; (2)
tipe B inhibisi mutual yaitu terbentuknya zona hambatan kurang dari 2 mm; (3)
tipe C inhibisi pada kapang uji yaitu kapang uji tidak mengalami pertumbuhan
sedangkan kapang patogen tetap mengalami pertumbuhan; (4) tipe D inhibisi
15
mutual yaitu terbentuk zona hambatan lebih dari 2 mm dan inhibisi pada patogen;
(5) tipe E yaitu kapang patogen yang dihambat tidak mengalami pertumbuhan
sedangkan kapang uji tetap mengalami pertumbuhan.
2.3 Kapang Patogen Tular Tanah
Patogen tular tanah (soil borne pathogen) adalah kelompok organimse yang
sebagian besar siklus hidupnya berada di dalam tanah, memiliki kemampuan
untuk menginfeksi perakaran atau pangkal batang tanaman sehingga dapat
menyebabkan tanaman tersebut mengalami kematian. Patogen tular tanah
memiliki ciri utama yaitu memiliki stadia penyebaran dan masa bertahan yang
terbatas di dalam tanah. Beberapa patogen tular tanah dapat menghasilkan spora
udara sehingga sporanya dapat menyebar ke area yang lebih luas (Berlian dkk.,
2013).
Patogen tular tanah dapat menyerang tanaman mulai stadia awal hingga
stadia tanaman telah berbunga. Berbagai macam serangan patogen tular tanah
menimbulkan gejala yang berbeda-beda pada inangnya. Kerugian akibat serangan
patogen tular tanah bervariasi dari serangan ringan hingga serangan berat yang
dapat menyebabkan tanaman tidak dapat bereproduksi (Dalmadiyo & Semangun,
2004). Menurut Damiri (2013), umumnya gejala yang disebabkan oleh patogen
tular tanah adalah busuk pada jaringan bawah tanaman termasuk biji dan akar
membusuk, rebah kecambah (damping off), serta layu jaringan karena adanya
infeksi pada akar. Beberapa patogen tular tanah dapat menyebabkan penyakit
daun dengan gejala dan kerusakan timbul pada bagian tanaman yang muncul ke
permukaan tanah.
16
Secara umum patogen tular tanah dbagi menjadi soil inhibitant (penghuni
tanah) dan soil transients (patogen yang hanya dapat hidup di tanah dalam kurun
waktu singkat). Beberapa patogen tular tanah dapat hidup sebagai saprofit dalam
sisa tanaman mati dan hidup sebagai organisme tanah non patogen dalam keadaan
tertentu. Patogen tular tanah dapat dibedakan atas kapang, bakteri, nematoda, dan
virus. Beberapa kapang tular tanah menetap dalam tanah dalam kurun waktu yang
lama karena mikroorganisme tersebut mampu menghasilkan struktur untuk
bertahan hidup seperti membentuk klamidospora, oospora, dan sklerotia yang
tahan pada lingkungan tidak memungkinkan (Damiri, 2013).
2.3.1 Kapang Patogen Tular Tanah Rhizoctonia solani
Salah satu contoh kapang patogen tular tanah dari Genus Rhizotonia adalah
Rhizoctonia solani (R. solani). Menurut Soenartiningsih (2009), kapang R. solani
yang masih muda memiliki hifa dengan percabangan yang membentuk sudut 45o.
Semakin dewasa percabangannya tegak lurus, kaku, dan mempunyai ukuran yang
sama. Diameter hifa kapang R. solani bergantung pada isolat dan jenis medium
yang digunakan. R. solani yang diisolasi dengan medium PDA umumnya
mempunyai diameter 4-6 μm. Sklerotium pada R. solani terbentuk dari hifa yang
mengalami agregasi menjadi massa yang kompak. Sklerotium pada awal
pertumbuhan berwarna putih dan berubah menjadi coklat setelah dewasa. Pada
umumnya sklerotium berbentuk bulat atau tidak beraturan, memiliki ukuran yang
bervariasi tergantung pada isolatnya.
Kapang R. solani merupakan patogen tular tanah dalam bentuk sklerotium
dan miselium yang dapat bertahan di dalam tanah terutama pada tanah-tanah yang
banyak mengandung bahan organik dan mempunyai kisaran inang yang luas.
17
Kapang ini tidak menghasilkan spora, oleh karena itu identifikasi dilakukan
berdasarkan karakteristik hifanya. Kapang Rhizoctonia dibedakan menjadi dua
kelompok spesies, yaitu binukleat (kelompok spesies yang memiliki dua inti di
dalam sel hifanya) dan multinukleat (spesies lain yang memiliki lebih dari dua inti
dalam sel hifanya). Perkembangan kapang R. solani dapat melalui fusi dua hifa
yang cocok. Terjadinya hubungan antara satu hifa dengan hifa yang lain
memungkinkan terjadinya perpindahan inti, dan peristiwa tersebut dinamakan
anastomosis (Soenartiningsih dkk., 2016). Berikut adalah gambar hifa dari kapang
R. solani.
Gambar 2.1 Hifa kapang Rhizoctonia solani dengan pengamatan mikroskop
pada perbesaran 40 x 10. (a) Hifa R. solani tanpa pewarnaan, (b)
hifa R.solani dengan pewarnaan metilen blue. Tanda panah pada
gambar foto a dan b merupakan ciri khas kapang R.solani yang
memiliki percabangan hifa dengan sudut 45o (sumber :
dokumentasi pribadi).
Kapang Rhizoctonia solani merupakan kapang yang bereproduksi secara
aseksual, kapang tersebut memiliki fase seksual sebagai kapang Thanatephorus
cucumeris. Menurut Sumartini (2012), Thanatephorus cucumeris merupakan
bentuk sempurna dari Rhizoctonia solani dengan kisaran inang sangat luas.
Klasifikasi kapang Rhizoctonia solani menurut Alexopoulos et.al (1996) adalah
sebagai berikut.
a b
18
Kingdom : Fungi
Phylum : Deuteromycota
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Agonomycetales
Famili : Agnomycetaceae
Genus : Rhizoctonia
Spesies : Rhizoctonia solani
Berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh R. solani yaitu busuk akar
dan batang, dan hawar daun. Penyakit ini biasanya terjadi pada saat pembibitan
dan menyerang tanaman muda. Lapisan korteks pada pangkal batang maupun akar
muncul gejala khas bewarna coklat kemerahan, gejala tersebut dapat berkembang
menjadi kanker. Penyakit busuk akar dan batang merupakan serangan yang paling
parah dari kapang patogen R. solani dan hal ini dapat terjadi pada drainase tanah
yang buruk. Suhu optimum untuk perkembangan penyakit ini ialah antara 22-29
C. Penyakit busuk akar meningkat ketika tanaman tumbuh di tanah yang
kekurangan kalsium, besi, magnesium, nitrogen, fosfor, belerang atau kombinasi
dari mineral-mineral tersebut (Semangun, 1991).
Kapang R. Solani menimbulkan penyakit busuk pelepah pada tanaman
jagung dan sorgum, dan gejalanya bergantung pada kelompok anastomosisnya.
Jika kelompok anastomosisnya berbeda, maka gejalanya juga berbeda. Kapang R.
solani dapat menyerang tanaman dari famili gramineae termasuk serelia, famili
leguminoceae, famili solanaceae, cucurbitaceae (Semangun 2008). R. solani dapat
bertahan hidup pada tanaman hidup atau sebagai saprofit pada sisa-sisa bahan
organik. Pada kondisi yang mendukung sklerotia dari R. solani mampu
19
berinteraksi dengan tanaman inang. Bila patogen tersebut berhasil masuk ke
dalam jaringan tanaman inang dan berkembang biak di dalamnya maka akan
menyebabkan proses fisiologi tanaman inang terganggu (Agrios dalam Kuntari,
2014).
2.4 Kapang Trichoderma spp.
2.4.1 Karakter Kapang Trichoderma spp.
Trichoderma spp. adalah kelompok kapang tanah yang tersebar luas dan
hampir selalu dapat ditemui di lahan-lahan pertanian. Kapang ini tumbuh pada
kisaran suhu optimal antara 22 °C -30 °C. Trichoderma spp. termasuk kapang
saprofit tanah yang secara alami merupakan parasit yang menyerang jenin kapang
patogen pada tanaman. Kapang ini uga dapat menjadi hiperparasit pada beberapa
jenis kapang patogen pada tanaman, memiliki masa pertumbuhan yang cepat dan
tidak menjadi penyakit pada tumbuhan tingkat tinggi (Purwantisari & Hastuti,
2009).
Klasifikasi kapang Trichoderma spp. menurut Alexopoulus (1979) ialah
sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Divisi : Amastigomycota
Subdivisi : Deuteromycotina
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus : Trichoderma
Species : Trichoderma spp.
20
Kapang Trichoderma spp. mempunyai konidia yang berdinding halus,
koloni mula-mula berwarna hialin, kemudian menjadi putih kehijauan, selanjutnya
menjadi hijau tua terutama pada bagian yang menunjukkan banyak terdapat
konidia. Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida, yaitu pada bagian
bawah cabang lateral, sedangkan semakin ke ujung percabangan menjadi
bertambah pendek. Fialida tampak memanjang terutama pada bagian ujung dari
cabang konidiofor. Konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek
(Purwantisari & Hastuti, 2009).
Spesies kapang Trichoderma spp. dibedakan berdasarkan warna dan bentuk
konidia dan penampilan koloni. Sebagian besar spesies diidentifikasi sebagai
Trichoderma lignorum dengan ciri konidia bulat, dan Trichoderma koningii
dengan ciri konidia lonjong. Potensi penggunaan Trichoderma spp. sebagai agen
pengendali hayati telah disarankan lebih dari 75 tahun yang lalu oleh Weindling
berdasarkan aktivitas penghambatan kapang Trichoderma spp. terhadap kapang
patogen tular tanah Rhizoctonia solani (Elad dkk., 1981; Mohiddin dkk., 2011).
Pertumbuhan koloni Trichoderma spp. yang dibiakkan pada media agar pada
awalnya terlihat berwarna putih selanjutnya miselium akan berubah menjadi
kehijau-hijauan. Sebagian besar berwarna hijau ada ditengah koloni dikelilingi
oleh miselium yang masih berwarna putih dan pada akhirnya seluruh media akan
berwarna hijau berwarna hijau (Nurhayati, 2001).
21
Gambar 2.2 Kapang Trichoderma spp. dengan pengamatan mikroskop pada
perbesaran 40 x 10. Gambar a dan b diwarnai dengan
menggunakan metilen blue. Tanda panah merupakan ciri khas
dari kapang Trichoderma spp. yaitu membentuk percabangan
pada konidiofor. (Sumber: dokumen pribadi).
2.4.2 Kapang Trichoderma spp. sebagai Agen Pengendali Hayati
Octriana (2011), menyatakan suatu jenis kapang dapat ditetapkan sebagai
agen pengendali hayati harus dilakukan pengujian keefektifannya dalam kondisi
terbatas dan homogen, misalnya pengujian secara in vitro dalam cawan petri.
Apabila hasil pengujian menunjukkan potensi antagonis dalam menghambat
pertumbuhan dan perkembangan kapang patogen, maka dilakukan pengujian
lanjutan ke lapang sehingga dapat dikembangkan secara komersial. Menurut Yulia
dkk. (2018) kapang Trichoderma spp. bersifat antagonis terhadap kapang patogen
tular tanah, kapang patogen permukaan inang seperti biji dan benih, serta kapang
patogen pada bagian tanaman terinfeksi.
Menurut Calvet (1990) menyatakan bahwa beberapa spesies kapang
Trichoderma spp. dapat mengurangi insiden patogen tular tanah pada kondisi
alamiah. Faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kapang Trichoderma
spp. yaitu pH tanah, aerasi, dan sumber nutrisi.Trichoderma spp. akan
berkembang dengan baik pada pH rendah dan lingkungan yang lembab. Kapang
22
ini banyak digunakan sebagai agen hayati untuk mengendalikan patogen tular
tanah seperti Sclerotinia sp., Fusarium sp., Pythium sp., Rhizoctonia sp.
(Hajieghrari, dkk. 2008), Ganoderma sp., dan Rigidoporus microporus
(Widyastuti, 2006; Jayasuriya & Thennakoon, 2007).
Soenartiningsih, dkk. (2016), menjelaskan bahwa pengendalian dengan
menggunakan agen hayati seperti kapang Trichoderma spp. dapat mengurangi
ketergantungan dan mengatasi dampak negatif pemakaian pestisida sintetik.
Menurut Ilyas (2006), mekanisme antagonis kapang Trichoderma spp. secara
kompetitif terjadi karena kapang ini mempunyai kecepatan tumbuh yang tinggi.
Kapang Trichoderma spp. bersifat mikoparasit dan kompetitor yang aktif pada
patogen karena dapat tumbuh pada hifa kapang patogen dan melilit hingga
hifanya putus. Kapang Trichoderma spp. mempunyai kemampuan menghasilkan
sebuah produk ekstraseluler yang bersifat racun.
Menurut Shoresh, dkk (2010), kapang Trichoderma spp. dapat menekan
patogen yang menginfeksi daun, akar, buah dan invertebrata seperti nematoda.
Hal ini karena enzim dimer chitinolytic dari kapang Trichoderma spp. memiliki
aktivitas spesifik yang lebih tinggi dan kemampuan yang lebih besar dalam
menghambat pertumbuhan kapang patogen. Keuntungan memanfaatkan kapang
Trichoderma spp. sebagai agen hayati yaitu pertumbuhannya cepat, mudah
dikultur dalam media biakan maupun dalam kondisi lingkungan alami. Beberapa
spesies kapang Trichoderma spp. dapat bertahan hidup dengan membentuk
klamidiospora dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan cukup tahan
terhadap fungisida dan herbisida.
23
2.4.3 Mekanisme Antagonisme Kapang Trichoderma spp.
Kapang Trichoderma spp. memiliki mekanisme antagonisme diantaranya
yaitu mikoparasit, kompetisi ruang atau nutrisi, antibiosis atau enzimatis, maupun
kemungkinan induksi resistensi inang terhadap patogen (Harjono dkk., 2001;
Hanada dkk., 2009). Hal ini diperkuat oleh pendapat Schubert, dkk. (2008) yang
menjelaskan bahwa mekanisme antagonis yang dilakukan kapang Trichoderma
spp. antara lain menghasilkan antibiotik yang mematikan kapang patogen, sebagai
mikoparasit dengan cara menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan dinding
sel hifa kapang patogen, dan melakukan kompetisi nutrisi dan tempat hidup
dengan kapang patogen.
Umumnya kematian mikroorganisme disebabkan kekurangan nutrisi karena
kompetisi yang terjadi antar mikroorganisme dalam mendapatkan nutrisi.
Penelitian yang dilakukan oleh Mohiddin, dkk. (2011) menunjukkan bahwa
Trichoderma harzianum berhasil mengendalikan Fusarium oxysporum dengan
cara mengkoloni rizosfer dan mengambil lebih banyak nutrisi. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Grosclaude, dkk. (1973) menunjukkan bahwa kompetisi
nutrisi juga dilakukan Trichoderma viride untuk mengendalikan Chondrostereum
purpureum.
Antibiosis merupakan salah satu mekanisme antagonisme yang melibatkan
hasil metabolit penyebab lisis seperti enzim, senyawa volatile dan non volatile
atau toksin yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme. Penelitian lebih lanjut
mengungkapkan bahwa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang
Trichoderma spp. berperan penting dalam aktifitas anti kapang (Chet et.al, 2005).
24
Spesies kapang Trichoderma virens dapat bersaing cepat dengan patogen
karena mengeluarkan antibiotik dari senyawa viridiol fitotoksin yang dapat
menghambat perkembangan patogen, memarasit patogen dengan melakukan
penetrasi langsung, lebih cepat menggunakan oksigen, air, dan nutrisi (Kinerley &
Mukherjee, 2010). Enzim yang dihasilkan kapang Trichoderma spp. dapat
melarutkan dinding sel patogen dan juga menghasilkan dua jenis antibiotik seperti
gliotoksin dan viridian dimana kedua antibiotik ini dapat berinteraksi dengan
kapang Trichoderma spp. sehingga mampu menekan perkembangan penyakit (El-
Katatny dkk., 2001).
Purwantisari, dkk (2008), menjelaskan bahwa kapang Trichoderma spp.
mempunyai aktivitas antagonisme yang kuat terhadap kapang patogen dengan
mekanisme mikoparasit dan antibiosisnya sehingga efektif menghambat
pertumbuhan kapang patogen tanaman dengan mendegradasi dinding selnya.
Dinding sel kapang patogen menjadi rusak kemudian mati melalui aktivitas enzim
kitinase yang dihasilkan oleh kapang Trichoderma spp. Beberapa enzim
kitinolitiknya hanya toksik pada kapang patogen penyebab penyakit tanaman
namun tidak pada mikroorganisme lain dalam tanah dan tumbuhan inang. Kapang
Trichoderma spp. mempunyai kemampuan menghasilkan enzim selulase sehingga
dapat merusak dinding sel kapang patogen. Kapang Trichoderma spp. mempunyai
kemampuan melakukan pelilitan dan penetrasi hifa patogen serta menghasilkan
antibiotik yang bersifat toksin bagi patogen lawannya.
25
Mekanisme parasitisme memiliki peranan penting dalam proses
pengendalian hayati. Kapang Trichoderma spp. biasanya menggunakan
mekanisme tersebut bersamaan dengan mekanisme kompetisi dan antibiosis.
Kapang Trichoderma spp. telah diujikan terhadap beberapa patogen tanaman
seperti Ganoderma sp. (Widyastuti dkk., 1998a), R. lignosus (Widyastuti, dkk.
1998a; Widyastuti, dkk. 1998b; Widyastuti dkk., 2001), Rhizoctonia sp.,
Fusarium sp. (Lumsden & Walter, 1996; Chet et.al, 2005) dan Sclerotium rolfsii
(Widyastuti & Yuniarti, 2003) dan hasilnya menunjukkan bahwa kapang
Trichoderma spp. efektif dalam menekan pertumbuhan kapang patogen.
Menurut Baker & Cook (1974), mekanisme mikoparasit kapang
Trichoderma spp. dalam menekan patogen diawali dengan hifa kapang
Trichoderma spp. tumbuh memanjang, kemudian membelit dan mempenetrasi
hifa kapang inang sehingga hifa inang mengalami vakoulasi, lisis dan akhirnya
hancur. Menuru Harjono (2001), kapang Trichoderma spp. melakukan penetrasi
kedalam dinding sel inang dengan bantuan enzim pendegradasi dinding sel yaitu
kitinase, glukanase, dan protease. Selanjutnya menggunakan isi hifa inang sebagai
sumber makanan. Ketika melilit dan menghasilkan enzim untuk menembus
dinding sel inang, kapang Trichoderma spp. juga menghasilkan antibiotik
gliotoksin dan viridian. Kapang Trichoderma harzianum dan Trichoderma
hamatum berperan sebagai mikoparasit terhadap kapang Rhizoctonia solani
dengan menghasilkan enzim -(1,3) glukanase dan kitinase yang menyebabkan
eksolisis pada hifa inang.
26
2.4.4 Cara Mengukur Daya Antagonisme Kapang Trichoderma spp. terhadap
Kapang Patogen Tular Tanah Rhizoctonia solani
Pengujian daya antagonis kapang Trichoderma uji terhadap R. solani
dilakukan dengan metode biakan ganda (dual culture) (Chet, 1987 dalam Barakat
dkk., 2014) yaitu dengan cara mengambil biakan kapang murni dari Rhizoctonia
solani dan kapang Trichoderma uji kemudian masing-masing biakan
diinokulasikan ke dalam cawan petri yang berisi media PDA (Potato Dextrose
Agar) secara berhadapan dengan jarak 30 mm seperti yang nampak pada Gambar
(2.3 dan 2.4). Selanjutnya biakan uji diinkubasi selama 4 x 24 jam dengan suhu
20-25 °C. Pengamatan daya antagonisme dilakukan pada hari ketiga dan hari
keempat setelah inokulasi.
Keterangan:
A = potongan koloni kapang antagonis uji (Trichoderma spp.)
P = potongan koloni kapang patogen (Rhizoctonia solani)
Gambar 2.3 (Tampak atas) skema penempatan kapang patogen dengan
kapang antagonis uji dengan metode dual culture
Gambar 2.4 (Tampak samping) skema penempatan kapang patogen
dengan kapang antagonis uji dengan metode dual culture
27
Cara observasi tentang mekanisme antagonis antara kapang antagonis
Trichoderma spp. dengan kapang patogen menurut (Farida, 1992) dapat dilakukan
dengan cara:
a. Kompetisi yang terjadi antara kapang antagonis uji dengan kapang patogen
yang dibiakkan secara ganda (dual culture). Kedua kapang tersebut akan
memperebutkan ruang, makanan, dan oksigen dengan melihat kapang mana
yang lebih cepat tumbuh memenuhi cawan petri.
b. Antibiosis, yaitu dengan mengukur lebar zona hambatan (zona kosong) yang
terbentuk, kemudian dilihat terdapat perubahan warna atau tidak pada media
akibat senyawa antibiotic yang dihasilkan kapang uji.
c. Mikoparasit, dilakukan dengan mengamati kapang antagonis uji yang tumbuh
di atas hifa kapang patogen, dengan cara mengambil potongan hifa berukuran
1x1 cm pada zona pertemuan kedua kapang tersebut. Kemudian potongan
tersebut diletakkan pada gelas objek dan diamati di bawah mikroskop.
2.5 Pemanfaatan Hasil Penelitian sebagai Sumber Belajar Biologi
2.5.1 Pengertian Sumber Belajar
Sumber belajar dapat dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat memberikan
kemudahan kepada peserta didik dalam memperoleh sejumlah informasi,
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dalam proses belajar mengajar
(Munajah & Susilo, 2015). Menurut Januszewski et.al (dalam Supriadi, 2017)
mengemukakan bahwa sumber belajar adalah semua sumber termasuk pesan,
orang, bahan, alat, teknik, dan latar yang dapat dipergunakan peserta didik baik
secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk gabungan untuk menfasilitasi
kegiatan belajar dan meningkatkan kinerja belajar.
28
Sumber belajar adalah semua jenis sumber yang ada di sekitar kita yang
memungkinkan terjadinya proses belajar (Asyhar, 2012). Menurut Yunanto,
(2004) sumber belajar adalah bahan yang mencakup media belajar, alat peraga,
alat permainan untuk memberikan informasi maupun berbagai keterampilan
kepada anak maupun orang dewasa yang berperan mendampingi anak dalam
belajar. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sumber
belajar adalah segala sesuatu yang ada baik manusia, bahan, alat, pesan, teknik,
maupun lingkungan yang dapat dijadikan sebagai pengalaman belajar dan
memberikan kemudahan dalam memperoleh informasi dengan tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap yang lebih baik.
2.5.2 Fungsi Sumber Belajar
Menurut Sudrajat (2008) fungsi dari sumber belajar adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan mempercepat laju
belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik, dan
mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi.
b. Memberikan kesempatan siswa dalam mengembangkan kemampuannya serta
memberikan pembelajaran yang lebih bersifat individual dengan cara
mengurangi control guru yang cenderung kaku dan tradisional.
c. Memberikan pembelajaran dengan dasar yang lebih limiah dengan cara
perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis dan pengembangan
nahan pengajaran yang dilandasi oleh prosedur penelitian.
d. Meningkatkan kemampuan sumber belajar, penyajian informasi secara lebih
konkret untuk memantapkan pembelajaran.
29
e. Memungkinkan pembelajaran secara rileks, dengan mengurangi kesenjangan
antara pembelajaran yang bersifat abstrak dan verbal dengan realitas yang
sifatnya konkret serta memberikan pengetahuan yang bersifat langsung.
f. Menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis yang dapat
memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebihn luas.
2.5.3 Klasifikasi Sumber Belajar
Menurut Rivai & Sudjana (2009) sumber belajar diklasifikasikan menjadi:
a. Sumber belajar berbentuk cetak, contohnya seperti buku, majalah, brosur,
koran, poster, ensiklopedia, kamus, booklet, denah.
b. Sumber belajar berbentuk non cetak, contohnya seperti video, film, model,
slide, reali, transparansi.
c. Sumber belajar berupa fasilitas, contohnya seperti perpustakaan, ruang belajar,
studio, carrel, lapangan olah raga.
d. Sumber belajar berupa kegiatan, contohnya seperti kerja kelompok,
wawancara, simulasi, observasi, permainan.
e. Sumber belajar berupa lingkungan di masyarakat, contohnya seperti taman,
museum, pabrik, pasar, toko, terminal.
2.5.4 Sumber Belajar Biologi
Pembelajaran Biologi erat hubungannya dengan lingkungan sekitar siswa.
Menurut Kemendikbud (2017) sumber belajar dapat berasal dari apa yang ada diri
siswa sebagai organisme dan lingkungan alam di sekitarnya. Peristiwa yang
berkaitan dengan konsep biologi juga dapat menggunakan masalah yang
berlangsung di sekitar siswa.Saat ini sumber belajar sudah dapat diambil melalui
dunia maya, baik dalam bentuk film animasi maupun film nyata atau gambar
30
penampakan anatomi dari berbagai jenis mikroskop yang dapat diakses oleh
siswa. Teknologi informasi membantu siswa mengembangakn literasi media dan
bersikap ilmiah terutama bagaimana memilih dan memilah informasi yang
melimpah di dunia maya untuk dapat digunakan dengan pemanfaatan informasi
dengan baik sesuai kaidah secara ilmiah.
Menurut Suhardi (2012) lingkungan alam sekitar dalam pembelajaran
biologi merupakan laboratorium yang mempunyai peranan penting karena adanya
gejala-gejala alam yang dapat memunculkan persoalan-persoalan sains. Alam
dengan segenap fenomenanya telah menyediakan informasi yang dapat digunakan
dalam kehidupan manusia sebagai obyek biologi. Menurut Susilo (2014) hakikat
pembelajaran biologi adalah terjadinya interaksi yang sesungguhnya antara subjek
belajar biologi. Objek belajar biologi berupa makhluk hidup dan segala aspek
kehidupannya. Produk maupun proses interaksi ini dapat menyebabkan pada diri
siswa terjadi proses mental dan psikomotorik yang optimal.
2.5.5 Hasil Penelitian Sebagai Sumber Belajar Biologi
Suatu penelitian dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar berdasarkan
enam syarat pemanfaatan sumber belajar. Syarat-syarat sumber belajar menurut
Suhardi (dalam Maryati & Susilo, 2014) antara lain:
a. Kejelasan potensi
Kejelasan potensi yaitu proses yang terjadi serta produk yang dihasilkan
dari kegiatan penelitian yang berpotensi sebagai sumber belajar. Penelitian
Kapang Trichoderma spp. sebagai kapang saprofit memiliki potensi sebagai agen
pengendali hayati terhadap kapang patogen Rhizoctonia solani. Mengungkapkan
dan mempelajari hal ini siswa dapat mendalami hubungan antagonimse antar
31
kapang antagonis dan kapang patogen yang merupakan bagian dari interaksi antar
komponen ekosistem. Potensi kapang Trichoderma spp. sebagai agen pengendali
hayati nantinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar biologi materi
interaksi antar komponen ekosistem.
b. Kejelasan Sasaran
Kejelasan sasaran yaitu berhubungan dengan subjek belajar dan peruntukan
sumber belajar. Sasaran objek pengamatan dalam penelitian ini adalah
kemampuan daya antagonisme kapang Trichoderma spp. terhadap kapang
patogen Rhizoctonia solani yang meliputi kemampuan mikoparasit, antibiosis dan
kompetisi nutrisi dan tempat hidup. Sasaran peruntukan sumber belajar yaitu pada
materi interaksi antar komponen ekosistem untuk siswa SMA/MA kelas X IPA.
c. Kesesuaian dengan Tujuan Belajar
Kesesuaian dengan tujuan belajar yaitu antara tujuan penelitian dengan
tujuan belajar sesuai dengan tujuan intruksional yang dirumuskan. Pemanfaatan
penelitian ini sebagai sumber belajar sesuai dengan tujuan belajar yang
dirumuskan berdasarkan indikator pencapaian pembelajaran sesuai dengan
KD3.10 yaitu “Menganalisis komponen-komponen ekosistem dan interaksi antar
komponen tersebut”.
d. Kejelasan informasi yang dapat diungkap
Kejelasan informasi yang dapat diungkap yaitu informasi diperoleh dari
hasil penelitian yang berupa proses dan produk penelitian. Informasi yang dapat
diungkap pada penelitian ini adalah berupa fakta yang dapat dikembangkan
menjadi konsep. Informasi tersebut berkisar pada potensi kapang Trichoderma
spp. dalam mengendalikan kapang patogen Rhizoctonia solani. Konsep yang
32
diperoleh dapat digunakan untuk mengisi struktur konsep pada pokok bahasan
interaksi antar komponen ekosistem terutama tentang hubungan antagonisme
antar kapang yang hidup dalam satu lingkungan.
e. Kejelasan pedoman eksplorasi
Kejelasan pedoman eksplorasi berkaitan dengan pelaksanaan penelitian.
Kejelasan pedoman eksplorasi dalam penelitian ini mempertimbangkan
ketersediaan waktu dan kemampuan siswa. Pengamatan terhadap kapang
Trichoderma spp. dalam mengendalikan kapang patogen tular tanah dapat
dilakukan oleh siswa SMA kelas X dengan pedoman pada petunjuk kerja yang
telah dimodifikasi. Pengamatan objek dapat menggunakan media gambar hasil
penelitian dalam jurnal ilmiah.
f. Kejelasan perolehan yang diharapkan
Kejelasan perolehan yang diharapkan berkaitan dengan hal-hal yang
diperoleh dari kegiatan yang dikembangakan. Kejelasan perolehan yang
diharapkan berupa proses dan produk penelitian yang dapat digunakan sebagai
sumber belajar berdasarkan aspek dalam tujuan belajar biologi yang meliputi
perolehan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Berdasarkan pemenuhan terhadap keenam syarat pemanfaatan tersebut
diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber belajar biologi siswa
kelas X MIPA SMA/MA sederajat khususnya pada materi interaksi antar
komponen ekosistem.
33
2.6 Kerangka konseptual
Pengendalian
menggunakan agen
hayati
Pemanfaatan agen
hayati kapang
Trichoderma spp.
Keunggulan Trichoderma spp.:
bersifat parasit pada kapang patogen,
pertumbuhannya cepat, tidak menjadi
penyakit untuk tanaman tingkat tinggi
(Purwantisari 2009), mudah
dikulturkan dalam biakan maupun
kondisi alami, cukup tahan terhadap
herbisida dan fungisida (Berlian, dkk.
2013), mempunyai kemampuan
menghasilkan sejumlah produk
ektraselular yang bersifat racun
terhadap patogen (Ilyas, 2006)
Pengujian daya antagonisme dan kemampuan mikoparasit kapang
Trichoderma spp. terhadap Rhizoctonia solani
Pengendalian kapang patogen tular
tanah Rhizoctonia solani
Sumber belajar Biologi kelas X MIPA SMA/MA KD 3.10 yaitu “Menganalisis
komponen-komponen ekosistem dan interaksi antar komponen tersebut”
dimanfaatkan sebagai
Hasil penelitian
Keunggulan:tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan, tidak
menyebabkan resistensi hama,
musuh alami bekerja secara
selektif terhadap inangnya atau
mangsanya (Jumar, 2000), tidak
terakumulasi dalam rantai
makanan, mengurangi pemakaian
berulang-ulang (Susanti, 2014)
dilakukan
merupakan usaha pengendalian
terhadap populasi hama dan
penyakit tanaman dengan
menggunakan musuh alami seperti
pemangsa, predator, patogen
Mekanisme antagonisme
kapang Trichoderma spp.
(Schubert et al, 2008):
Antibiosis Mikoparasit Kompetisi nutrisi dan
tempat hidup
Menghasilkan antibiotik, senyawa
kimia volatile dan non volatile yang
berpengaruh terhadap permeabilitas
dari membran sel dan menyebabkan
kerusakan sitoplasma.
Trichodermaspp.
menghasilkan enzim yang
dapat menghancurkan
dinding sel hifa kapang
patogen
Trichodermaspp. mempunyai
pertumbuhan yang cepat dan
dapat menghasilkan variasi
reproduksi aseksual yaitu
conidia dan chlamydospora.
Gambar 2.5 Kerangka konseptual penelitian
34
2.7 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Ada perbedaan daya antagonisme antara enam isolat kapang Trichoderma
spp. terhadap pertumbuhan kapang patogen tular tanah Rhizoctonia solani.
2. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar Biologi pada
materi interaksi antar komponen ekosistem kelas X MIPA SMA/MA.