bab ii kajian pustaka 2.1. 2.1.1. matematika dan...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Matematika dan Pembelajaran Matematika di SD
2.1.1.1. Pengertian Matematika
Istilah matematika berasal dari kata mathema artinya pengetahuan,
mathanein artinya berpikir atau belajar dalam Ali Hamzah (2014:48). Sedangkan
Andi Hakim Nasution dalam Karso dkk (2014:39) bahwa istilah matematika
berasal dari bahasa Yunani “mathein” yang artinya mempelajari, namun diduga
kata itu ada hubungannya dengan kata Sansekerta “medha” atau “widya” yang
artinya “kepandaian”, “ketahuan” atau “intelegensi”. Jadi berdasarkan asal kata
diatas dapat disimpulkan bahwa matematika berarti ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari sebuah pemikiran atau kepandaian.
Menurut Ismail dalam Ali Hamzah (2014:48) menyatakan bahwa
matematika adalah ilmu yang membahas amgka-angka dan perhitungannya,
membahas masalah-masalah numerik, mengenai kuantitas dan besaran,
mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, sarana berpikir, kumpulan
sistem, struktur dan alat.
Menurut Ruseffendi dalam Karso (2004:39) menyatakan bahwa matematika
itu terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan,definisi-definisi,
aksioma-aksioma, dan dalil-dalil, dimana dalil-dalil setelah dibuktikan
kebenarannya berlaku secara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu
deduktif.
Selanjutnya Karso (2004:1.39-1.40) mengungkapkan beberapa pendapat
tentang matematika seperti menurut Johnson dan Rising (1972) menyatakan
bahwa matematika adalah pola pikir, pola pengorganisasian pembuktian yang
logic. Matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan
dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih
berupa pada simbol mengenai arti daripada bunyi.
8
Sedangkan menurut Reys (1984) dalam Ensiklopedia Matematika (2011:6)
menyatakan bahwa matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu
jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan sebuah alat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu
pengetahuan yang mempelajari pola hubungan, struktur dan kumpulan sistem
yang ada didalamnya. Ini membuktikan bahwa pada hakikatnya adalah belajar
tentang pola hubungan suatu konsep serta strukturnya.
2.1.1.2. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) merupakan suatau
permasalahan yang menarik. Adanya perbedaan karateristik khususnya antara
hakikat matematika dengan hakikat anak. Menurut teori Jean Piaget dalam Gatot
Muhsetyo, dkk (2012:1.9) kemampuan intelektual anak berkembang secara
bertingkat atau bertahap, yaitu sensori motor (0-2 tahun), pra operasional (2-7
tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan operasional (≥11 tahun). Teori ini
merekomendasikan perlunya mengamati tingkatan perkembangan intelektual anak
sebelum suatu pelajaran matematika diberikan, terutama menyesuaikan
“keabstrakan” bahan matematika dengan kemampuan berpikir abstrak anak pada
saat itu.
Siswa di sekolah dasar pada umumnya berumur 6 atau 7 tahun hingga 13
tahun. Kemampuan intelektualnya pada tahap operasional konkret cara berpikir
logiknya berdasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Karena itu, dalam
proses pembelajaran yang abstrak siswa di Sekolah Dasar membutuhkan alat
peraga yang disesuaikan dengan materi pelajaran yang akan dipelajari.
Pembelajaran matematika juga harus di sesuaikan dengan tingkat
perkembangan siswa. Pada teori Bruner dalam Karso, dkk (2014:1.12-1.14)
menggambarkan perkembangan anak melalui tiga tahap, yaitu tahap enaktif atau
tahap kegiatan (enactive), tahap ikonik atau tahap gambar bayangan (iconic), dan
tahap simbolik (symbolic). Pada tahap pertama tahap enaktif anak belajar konsep
adalah berhubungan dengan benda-benda real atau mengalami peristiwa didunia
sekiatarnya. Pada tahap ikonik anak telah mengubah, menandai, dan menyimpan
9
peristiwa atau benda dalam bentuk bayangan mental. Pada tahap simbolik anak
dapat mengutarakan bayangan mental tersebut dalam bentuk simbol dan bahasa.
Pada dasarnya tujuan pembelajaran matematika yang sesuai dengan hakikat
matematika merupakan sasaran utama. Sedangkan peran teori-teori belajar
merupakan strategi terhadap pemahaman matematika. Dengan demikian
matematika diharapkan dapat dipahami secara wajar sesuai dengan kemampuan
anak. Tujuan akhir dari pelajaran matematika adalah pemahaman terhadap
konsep-konsep matematika yang relative abstrak.
Berdasarkan BNSP (2006:148) tujuan mata pelajaran matematika adalah
agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep matematika menjelaskan, keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau alogaritma, secara luwes, akurat, efisien dan
tepat, dalam pemecahan masalah;
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan
gagasan dan pertanyaan matematika;
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi
yang diperoleh;
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah; dan
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu:
memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
2.1.1.3. Karakteristik Matematika di SD
Obyek pembelajaran matematika abstrak namun siswa di sekolah dasar
belum bisa berpikir secara abstrak siswa sekolah dasar masih berada pada tahap
operasional kongkrit. Sehingga diperlukan pemahaman memperhatikan sifat dan
karakteristik pembelajaran di Sekolah Dasar. Berikut adalah karakteristik
matematika di Sekolah Dasar :
10
1. Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap).
Matematika dimulai dari konsep yang sederhana ke konsep yang lebih sukar.
Sehingga pembelajaran matematika harus dimulai dari suatu hal yang
kongkrit dan berakhir ke yang abstrak.
2. Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral.
Spiral maksudnya adalah pembelajaran hari ini berkaitan dengan
pembelajaran sebelumnya dan sesudahnya begitu seterusnya. Sehingga setiap
memperkenalkan konsep atau materi yang telah dipelajari siswa sebelumnya.
Materi yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari siswa
sebelumnya sekaligus mengingatkan kembali. Karena materi sebelumnya
dapat menjadi prasyarat untuk memahami materi selanjutnya.
3. Pembelajaran matematika menekankan pada pola pendekatan induktif.
Matematika merupakan ilmu deduktif namun melihat tahap perkembangan
mental siswa maka dalam pembelajaran matematika digunakan pendekatan
induktif.
4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi.
Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya tidak
ada pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lain.
Kebenaran suatu pernyataan didasarkan kepada pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang telah diterima kebenarannya.
5. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna.
Pembelajaran matematika yang berfokus pada pengertian bukan hafalan.
Dalam pembelajaran bermakna konsep matematika ditemukan sendiri oleh
siswa melalui contoh-contoh secara induktif dan berdasarkan pengalaman
siswa secara langsung. Tidak hanya menuntut siswa untuk menghafalkan
simbol-simbol dan rumus-rumus yang terdapat dalam pembelajaran
matematika.
2.1.1.4. Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika SD
Berdasarkan BNSP (2006:148) yang menjadi ruang lingkup mata
pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi beberapa aspek
11
yaitu: 1) Bilangan; Cakupan geometri, 2) Geometri dan pengukuran; dan 3)
Pengolahan data.
Standar untuk mengetahui tercapainya tujuan pembelajaran dapat ditetapkan
melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar. Standar Kompetensi (SK),
merupakan ukuran kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan siswa
pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan. Sedangkan, Kompetensi
Dasar (KD) merupakan suatu penjabaran dari standar kompetensi siswa yang
cakupan materinya lebih sempit atau spesifik dibandingkan dengan Standar
Kompetensi siswa.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika disusun sebagai
landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan siswa. Selain itu
dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika
dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan gagasan dengan
menggunakan simbol, tabel, diagram. Berikut ini tabel Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Kelas IV Sekolah Dasar Semester
II.
Tabel 2
Standar Kompetensi dan Kometensi Dasar
Mata Pelajaran Matematika Kelas IV Semester II
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator
6. Menggunakan
pecahan dalam
pemecahan masalah
6.1 Menjelaskan arti
pecahan
menyederhanakan
pecahan dan
urutannya
6.2 Menyederhanakan
berbagai bentuk
pecahan
6.1.1 Membandingkan
pecahan
6.1.2 Mengurutkan pecahan
6.2.1 Menyederhanakan
pecahan
6.2.2 Menyatakan pecahan
sebagai pembagian
Sumber : BNSP, 2006.
4.1.2. Pengertian Model Pembelajaran Dan Model Pembelajaran Tipe NHT
4.1.2.1. Pengertian Model Pembelajaran
Model dapat dimaknakan sebagai suatu obyek atau konsep yang digunakan
untuk mempresentasikan sesuatu hal Trianto (2013:21). Sedangkan menurut Mills
12
(dalam Agus Suprijono, 2014:45) bahwa model adalah bentuk repersentasi akurat
sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang
mencoba bertindak berdasarkan model itu. Jadi sebuah model pembelajaran dapat
diartikan sebagai sebuah konsep atau rencana yang akan digunakan dalam
pelaksanaan pembelajaran, meliputi rancangan bahan belajar, bimbingan aktivitas
siswa dalam pembelajaran. Dalam sebuah proses pembelajaran diperlukan model
pembelajaran yang sesuai. Hal ini dimaksudkan agar tujuan pembelajaran dapat
tercapai dengan baik. Selain itu siswa juga dapat berperan aktif dalam proses
pembelajaran.
Menurut Joyce (dalam Trianto, 2013:22) model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk
menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku,
film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Selanjutnya Joyce menyatakan bahwa
setiap model pembelajaran mengarahkan kita kedalam mendesain pembelajaran
untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran
tercapai.
Menurut Soekamto (dalam Trianto, 2013:22) mengemukakan bahwa model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengelaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.
Dengan demikian, aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan
bertujuan yang tertata secara sistematis.
Menurut Agus Suprijono (2014:45-46) bahwa model pembelajaran ialah
pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dikelas
maupun tutorial. Menurut Arends (dalam Agus Suprijono, 2014:46) model
pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk
didalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dengan kegiatan
pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
13
Berdasarkan uraian tentang pengertian model pembelajaran diatas dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah konsep, pola, atau kerangka yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu dan digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran dikelas maupun tutorial. Model pembelajaran sangat berperan
penting dalam kesuksesan sebuah proses pembelajaran.
2.1.2.2. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Hamdani (2011:30) pembelajaran kooperatif adalah rangkaian
kegiatan belajar siswa dalam kelompok tertentu untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang dirumuskan. Dalam pembelajaran kooperatif diterapkan
strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang
tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk
memahami materi pelajaran.
Menurut Nur dan Wikandari (dalam Jamil Suprihatiningrum, 2014:191)
pembelajaran kooperatif mengacu pada metode pemebelajaran, yang mana siswa
bekerja berasama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar.
Anggota-anggota kelompok bertanggung jawab atas ketuntasan tugas-tugas
kelompok dan untuk mempelajari materi itu sendiri. Kebanyakan melibatkan
siswa dalam kelompok yang terdiri dari empat siswa dengan kemampuan berbeda-
beda.
Menurut Vygotsky (dalam Agus Suprijono, 2014:56) model pembelajaran
kooperatif adalah penekanan pembelajaran sebagai proses dialog interaktif.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran berbasis sosial. Dialog interaktif
(interaksi sosial) adalah semua kunci dari semua kehiduppan sosial. Vygotsky
menambahkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah arti penting belajar
kelompok.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar siswa dalam kelompok
14
kecil dengan tingkat kemampuan berbeda untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang telah dirumuskan atau ditentukan.
Menurut Slavin (dalam Hamdani, 2011:32) tujuan pembelajaran kooperatif
adalah menciptakan situasi, yaitu keberhasilan individu ditentukan atau
dipengaruhi oleh keberhasilan kelompok. Sedikit berbeda menurut Johnson dan
Johnson (1994) dalam Trianto (2013:57) tujuan pembelajaran kooperatif adalah
memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan
pemahaman baik individu maupun dalam kelompok.
Menurut Arends (1997) dalam Jamil Suprihatiningrum (2014:197)
menyatakan bahwa the cooperative learning model was developed to achieve at
least three important instrucsional goals: academic achievement, acceptance of
diversity, and social skill development, yang maksudnya adalah bahwa model
pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai sekurang-kurangnya tiga
tujuan pembelajaran penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap
perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai tujuan pembelajaran kooperatif
dapat disimpulkan bahwa sebuah situasi dimana keberhasilan individu
dipengaruhi oleh keberhasilan kelompok dalam mencapai tiga tujuan penting
pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan
invidu, dan pengembangan sosial.
Menurut Hamdani (2011:31) dalam pembelajaran kooperatif memiliki
beberapa ciri yaitu sebagai berikut:
1. Setiap anggota memiliki peran;
2. Terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa;
3. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas cara belajarnya dan
juga teman-teman sekelompoknya;
4. Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan
interpersonal kelompok; dan
5. Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
15
Sedangkan menurut Arends (dalam Trianto, 2013:65-66) menyatakan
bahwa pembelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif memiliki ciri-
ciri sebagai berikut:
1. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan
materi belajar;
2. Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi,
sedang, dan rendah;
3. Bila memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku,
jenis kelamin yang beragam; dan
4. Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu.
2.1.2.3. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads
Together)
Numbered Heads Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama adalah
merupakan jenis model pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa sebagai alternatif terhadap struktur kelas
tradisional. Numbered Heads Together (NHT) (dalam Trianto, 2013:82) pertama
kali dikembangkan oleh Spenser Kagan tahun 1993 untuk melibatkan lebih
banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan
mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
Dalam Hamdani (2011:89) Numbered Heads Together (NHT) adalah model
pembelajaran dengan cara setiap siswa diberi nomor dan dibuat suatu kelompok,
kemudian secara acak, guru memanggil nomor dari siswa.
Numbered Heads Together (NHT) merupakan varian dari diskusi kelompok.
Menurut Slavin (1995) (dalam Miftahul Huda, 2013:203) metode yang
dikembangkan oleh Russ Frank ini cocok untuk memastikan akuntabilitas
individu dalam diskusi kelompok. Selain untuk meningkatkan kerjasama siswa,
model pembelajaran kooperatif tipe NHT juga bisa diterapkan untuk semua mata
pelajaran dan tingkat kelas.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)
16
adalah pembelajaran kooperatif yang di rancang untuk mempengaruhi pola
interaksi siswa dalam diskusi kelompok yang setiap siswanya diberi nomor
kemudian dipanggil secara acak, dan setiap nomor yang dipanggil guru akan
mewakili kelompoknya.
Numbered Heads Together (NHT) adalah model pembelajaran yang
merupakan sebuah variasi diskusi kelompok dengan ciri khusus yaitu dalam
proses pembelajarannya setiap siswa menggunakan nomor, guru memanggil
nomor secara acak dan siswa yang ditunjuk guru maka akan mewakili
kelompoknya. Dalam menunjuk siswa tersebut, guru tanpa memberitahu terlebih
dahulu. Cara tersebut menjadikan siswa dapat berperan aktif dalam proses
pembelajaran dan merupakan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan
tanggungjawab setiap individu dalam diskusi kelompok.
2.1.2.4. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif tipe NHT
Kelebihan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) dalam
Hamdani (2011:90) adalah sebagai berikut:
a. Setiap siswa menjadi siap semua,
b. Siswa dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh, dan
c. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) dalam
Hamdani (2011:90) adalah sebagai berikut:
a. Kemungkinan nomor yang dipanggil akan dipanggil lagi oleh guru, dan
b. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.
Melihat kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads
Together (NHT) yaitu adanya nomor yang dipanggil berulang, peneliti memiliki
solusi untuk menanggulangi atau meminimalisir munculnya kelemahan tersebut
dalam kegiatan pembelajaran. Peneliti merumuskan solusi arisan yang berupa
undian angka. Peneliti menyiapkan kertas yang berisi masing-masing nomor
kelompok dan nomor kepala, kemudian kertas tersebut digulung dan dimasukkan
17
ke dalam wadah. Ketika menunjuk siswa, peneliti mengocok undian tersebut, dan
nomor yang dipanggil maju ke depan kelas untuk melaporkan hasil diskusi.
2.1.2.5. Sintaks Model Pembelajaran Koopetatif tipe NHT
Menurut Trianto (2013:82-83) dalam bukunya Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif-Progresif menjelaskan bahwa sintaks Numbered Heads
Together (NHT) ada beberapa fase, yaitu fase 1: penomoran, fase 2: mengajukan
pertanyaan, fase 3: berpikir bersama, dan fase 4: menjawab. Fase-fase tersebut
dijelaskan pada tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3
Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif
tipe Numbered Heads Together (NHT)
Fase-fase Tingkah Laku Guru dan Siswa
Fase 1
Penomoran
Dalam fase ini, guru membagi siswa ke
dalam kelompok 3-5 orang dan kepada
setiap anggota kelompok diberi nomor
antara 1 sampai 5.
Fase 2
Mengajukan Pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan
kepada siswa. Pertanyaan bisa amat
spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya.
Misalnya, “Berapakah gigi orang
dewasa?” atau dalam bentuk arahan,
misalnya “Pastikan setiap orang
mengetahui 5 ibu kota provinsi yang
terletak di Pulau Sumatera.”
Fase 3
Berpikir Bersama
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap
jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan
tiap anggota dalam timnya mengatahui
jawaban tim.
Fase 4
Menjawab
Guru memanggil satu nomor tertentu,
kemudian siswa yang nomornya sesuai
mengacungkan tangannya dan mencoba
untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh
kelas.
Sumber: Trianto, 2013:82-83
Menurut Miftahul Huda (2013:203-204) sintaks atau tahap-tahap
pelaksanaan mode pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together
18
(NHT) pada hakikatnya hampir sama dengan diskusi kelompok, yang rinciannya
adalah sebagai berikut.
1. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok;
2. Masing-masing siswa dalam kelompok diberi nomor;
3. Guru memberi tugas/pertanyaan pada masing-masing kelompok untuk
mengerjakannya;
4. Setiap kelompok mulai berdiskusi untuk menemukan jawaban yang
dianggap paling tepat dan memastikan semua anggota kelompok
mengetahui jawaban tersebut;
5. Guru memanggil salah satu nomor secara acak;
6. Siswa dengan nomor yang dipanggil mepresentasikan jawaban dari hasil
diskusi kelompok mereka.
Sedangkan menurut Hamdani (2011:90) langkah-langkah pembelajaran
Numbered Heads Together (NHT) adalah sebagai berikut:
1. Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam setiap kelompok
mendapat nomor;
2. Guru memberikan tugas dan tiap-tiap kelompok disuruh
mengerjakannya;
3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan bahwa
setiap anggota kelompok dapat mengerjakannya;
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dan siswa yang nomornya
dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka;
5. Siswa lain diminta untuk memberi tanggapan, kemudian guru menunjuk
nomor yang lain;
6. Kesimpulan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah model pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) adalah:
1. Penomoran
Guru membagi siswa dalam kelompok dan memberikan nomor kepada
setiap anggota sesuai dengan jumlah anggota.
19
2. Mengajukan pertanyaan
Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan yang diberikan
diambil sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari.
3. Berpikir bersama
Siswa berdiskusi dan menyatukan pendapatnya terhadap jawaban dari
pertanyaan yang diberikan guru dan meyakinkan anggota dalam
kelompok mengetahui jawabannya.
4. Menjawab pertanyaan
Guru memanggil salah satu nomor dan setiap siswa dari tiap kelompok
yang bernomor sama mengacungkan tangan dan menyiapkan jawaban
yang akan disampaikan untuk seluruh kelas. Dan siswa yang ditunjuk
mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas, kemudian kelompok lain
menanggapi jawaban tersebut.
2.1.2.6. Sintaks Pembelajaran Matematika melalui Model Pembalajaran
Kooperatif tipe NHT
Pada dasarnya Numbered Heads Together (NHT) merupakan varian dari
diskusi kelompok. Dalam pembelajaran ini siswa diberikan kesempatan untuk
saling berbagi gagasan dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Menurut Trianto (2013:82) Numbered Heads Together (NHT) merupakan jenis
pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi
siawa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional.
Tabel 4 Pemetaan Pembelajaran Matematika melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe
Numbered Hedas Together (NHT) adalah sebagai berikut:
Sintaks NHT Kegiatan Pembelajaran
Eksplorasi elaborasi Konfirmasi
Fase 1: Penomoran √
Fase 2: Mengajukan
Pertanyaan √
Fase 3: Berpikir
Bersama √
Fase 4: Menjawab √ √
20
Tabel 5
Implementasi Melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe NHT
dalam Pembelajaran Matematika
Sintaks NHT Langkah dalam Proses
Pembelajaran
Kegiatan Guru
Penomoran Eksplorasi Guru membagi siswa dalam
kelompok dan memberikan
nomor kepala setiap
kelompok sesuai dengan
jumlah anggota kelompok.
Mengajukan
Pertanyaan
Eksplorasi Guru mengajukan
pertanyaan berupa lembar
kerja siswa
Berpikir bersama Elaborasi Memfasilitasi siswa dan
membimbing siswa dalam
diskusi kelompok agar
semua siswa tahu jawaban
kelompok
Menjawab Elaborasi, Konfirmasi Guru mengarahkan saat
mempresentasikan di depan
kelas dan kelompok lain
mengutarakan pendapat dan
bertanya terhadap hasil
diskusi kelompok tersebut.
2.1.3. Hakekat Hasil Belajar
Hasil belajar dapat dikatakan sebagai tolok ukur keberhasilan siswa dalam
suatu proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Maka, sebuah keberhasilan
atau kegagalan dalam proses pembelajaran dapat dilihat melalui hasil belajar yaitu
berupa lembar evaluasi.
Menurut Slameto (2003) (dalam Hamdani, 2011:20) menyatakan bahwa
belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Menurut Ahmad Susanto (2013:4) belajar adalah suatu aktivitas yang
dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memperoleh
suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan
21
seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir,
merasa, maupun dalam bertindak.
Menurut Oemar Hamalik (2008:27) menyatakan bahwa belajar adalah suatu
proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi lingkungan. Sedangkan
menurut Gagne (1977) (dalam Catharina Tri Anni, 2005:2) menyatakan bahwa
belajar merupakan perubahan disposisi atau kecakapan manusia, yang
berlangsung selama periode waktu tertentu, dan perubahan perilaku itu tidak
berasal dari proses pertumbuhan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar
adalah perubahan pola tingkah laku individu yang dilakukan dengan sengaja
melalui interaksi lingkungan yang berlangsung dalam periode waktu tertentu
untuk memperoleh konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru.
Hasil belajar menurut Catharina Tri Anni (2005:4) merupakan perubahan
perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan
aspek-aspek perubahan perilaku tersebut tergantung dari apa yang dipelajari oleh
pembelajar. Oleh karena itu apabila pembelajar mempelajari pengetahuan tentang
konsep, maka perubahan perilaku yang diperoleh adalah berupa penguasaan
konsep. Dalam pembelajaran, perubahan perilaku yang harus dicapai oleh
pembelajar setelah melaksanakan aktivitas belajar dirumuskan dalam tujuan
pembelajaran.
Menurut Nawawi dalam Ahmad Susanto (2013:5) hasil belajar dapat
diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran
disekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai
sejumlah materi pelajaran tertentu. Sedangkan menurut Reigeluth (1983) (dalam
Jamil Suprihatiningrum, 2014:37) bahwa hasil belajar adalah suatu kinerja
(performance) yang diindikasikan sebagai suatu kapabilitas (kemampuan) yang
telah diperoleh.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah suatu perubahan tingkah laku dari aktivitas belajar yang
diindikasikan sebagai kemampuan yang diperoleh atau tingkat keberhasilan siswa
22
dalam mempelajari suatu materi yang dinyatakan dalam bentuk skor yang
dipeoleh dari hasil tes evaluasi.
2.1.4. Hubungan Pembelajaran melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe
NHT
Pembelajaran dengan menggunakan model Pembelajaran Kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT), dalam pembelajaran ini siswa dituntut untuk
aktif saat proses pembelajaran berlangsung. Semua siswa dituntut aktif dan
bekerjasama dalam kelompok, dalam diskusi kelompok semua siswa juga dituntut
harus tahu jawaban dari hasil diskusi dan semua siswa harus siap ketika guru
menunjuk untuk menyampaikan hasil diskusi di depan kelas. Sedangkan peran
guru dalam proses pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together
(NHT) ini adalah sebagai fasilitator, pembimbing dan motivator, dalam proses
pembelajaran siswa dituntut aktif karena inti pembelajaran ini siswa harus berpikir
bersama untuk menyelesaikan masalah yang ada pada lembar kerja siswa yang
diajukan oleh guru, seluruh siswa diharapkan siap karena pada tahap berikutnya
guru memanggil nomor kepala secara acak dan nomor kepala yang dipanggil guru
harus maju kedepan untuk menyampaikan hasil diskusi kelompok. Dengan
melalui pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)
diharapkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika siswa juga akan
meningkat.
2.2. Kajian Penelitian yang Relevan
Berdasarkan telaah pustaka yang telah dilakukan, berikut ini dikemukakan
beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Menurut
penelitian yang dilakukan Juwito (2012) dengan judul “Upaya Peningkatan
Prestasi Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Numbered
Heads Together (NHT) Pada Siswa Kelas IV SD Madugowongjati 02 Kecamatan
Gringsing Kabupaten Batang Tahun Pelajaran 2011/2012”. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh kesimpulan bahwa
pembelajaran dengan model Numbered Heads Together (NHT) dapat
23
meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV. Hal ini terbukti adanya
peningkatan tiap siklusnya, dari kondisi awal sebelumnya dilaksanakan nilai rata-
rata siswa 55, siklus I nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 70, dengan
prosentase ketuntasan 67%, kemudian meningkat lagi pada siklus II nilai rata-rata
kelas meningkat menjadi 83 dan prosentase ketuntasan 98%.
Hasil penelitian yang relevan lainnya adalah penelitian yang dilakukan
Suhatmi (2013) yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Dengan
Menggunakan Model Numbered Heads Together (NHT) Siswa Kelas 1 SD Negeri
Terteg Kabupaten Pati”. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran dengen model pembelajaran Numbered
Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar matematika di kelas I
SD. Hal ini terbukti adanya peningkatan pada setiap siklusnya, dari pra siklus atau
sebelum dilakukan tindakan nilai rata-rata siswa adalah 50, ada mengalami
peningkatan pada siklus I nilai rata-rata siswa menjadi 73,3 atau dengan
prosentase ketuntasan sebesar 66,7%, kemudian meningkat lagi pada siklus II
nilai rata-rata siswa menjadi 84,2 atau dengan prosentase ketuntasan yaitu 91,7%.
2.3. Kerangka Berpikir
Suatu pembelajaran dikatakan berhasil apabila hasil belajar yang di peroleh
mencapai standar yang diinginkan. Agar memperoleh hasil belajar yang maksimal
diperlukan beberapa faktor pendukung pembelajaran. Faktor-faktor pendukung
tersebut bisa berupa alat peraga, model pembelajaran, serta hal-hal lain yang dapat
mempengaruhi proses pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together)
adalah model pembelajaran yang mampu membuat siswa bekerjasama dalam
kelompok kecil dengan tingkat, dan membuat semua siswa siap dalam proses
pembelajaran.
Dalam model pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Heads together
(NHT) memiliki tahap-tahap pembelajaran atau langkah-langkah pembelajaran
diantaranya: tahap 1 penomoran, tahap 2 mengajukan pertanyaan, tahap 3 berpikir
bersama, dan tahap 4 menjawab pertanyaan.
24
Dalam proses pembelajaran sebelum diterapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) kurang memuaskan. Siswa
kurang memperhatikan saat pembelajaran berlangsung, guru masih banyak
berperan dalam pembelajaran, dan siswa sering merasa bosan ketika pembelajaran
berlangsung. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan hasil belajar siswa pada mata
pelajaran matematika rendah bahkan masih banyak siswa yang nilainya dibawah
KKM. Selanjutnya akan dilakukan tindakan berupa perlakuan dalam proses
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT).
Pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Heads Together (NHT), dalam pembelajaran ini siswa dituntut untuk aktif secara
individu maupun bekerjasama dalam kelompok, sedangkan peran guru dalam
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) adalah hanya
sebagai fasilitator dan motivator, dalam proses pembelajaran siswa dituntut aktif
karena dalam proses pembelajaran pada kegiatan inti siswa harus berdiskusi
dengan kelompok dan semua anggota kelompok harus mengetahui hasil dari
diskusi. Setelah itu semua siswa harus siap jika nomor kepalanya dipanggil dan
siswa yang ditunjuk oleh guru harus mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya di depan kelas. Dalam pembelajaran ini siswa menjadi siap dan
berdiskusi dengan baik karena guru memanggil siswa secara acak dan tanpa
memberitahu kepada siswa sebelumnya. Dengan melalui model pembelajaran
Kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) diharapkan hasil belajar siswa
akan meningkat.
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
1. Pembajaran dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif tipe
Numbered Heads Together (NHT) diduga dapat meningkatkan hasil
belajar Matematika materi pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri
25
Wonorejo 04 Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang semester II
tahun ajaran 2014/2015.
2. Melalui model pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Heads Together
(NHT) untuk dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri
Wonorejo 04 Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang Semester II
tahun ajaran 2014/2015 dapat dilakukan dengan empat fase yaitu dengan
melalui tahapan penomoran, mengajukan pertanyaan, berpikir bersama
dan manjawab.